myastenia gravis

23
ANALISIS MASALAH 1d. Bagaimana mekanisme penglihatan kabur pada kasus? Bilik mata depan merupakan salah satu media refraksi cahaya pada mata dalam proses penglihatan. Apabila terdapat darah pada bilik mata depan (hifema), refraksi cahaya dari dunia luar akan terganggu dan ketajaman penglihatan seseorang pun akan menurun. Tingkat penurunan dapat bersifat ringan hingga tingkat hand movement ataupun light perception. 2g. Mengapa mata kanan semakin kabur? Tingkat penurunan penglihatan tergantung pada banyaknya darah pada bilik depan mata. Pada kasus, mata pasien tampak seperti blackball eye, yang berarti pasien mengalami hifema grade IV dimana seluruh kamera okuli anterior tertutup darah. Penurunan penglihatan juga dapat disebabkan oleh glaukoma sekunder yang merupakan komplikasi dari hifema itu sendiri. Hifema yang tidak teratasi pada pasien juga dapat menyebabkan glaucoma. Pada glaucoma, peningkatan tekanan intraokular mengakibatkan tekanan diteruskan ke seluruh bagian mata, termasuk ke tunika neuralis. Tunika neuralis yang merupakan retina akan mengalami tekanan dan mengakibatkan kerusakan pada saraf. Kerusakan pada saraf mata akibat tekanan akan timbul dalam bentuk atrofi optik, atau berkurangnya akson di nervus optikus, yang dapat menyebabkan penurunan penglihatan (mata semakin kabur). 4d. Apa diagnosis kerja pada kasus? Hifema dan glaucoma sekunder et causa trauma tumpul pada mata kanan 4g. Manifestasi klinis Pada umumnya pasien mengeluhkan penurunan tajam penglihatan, sakit kepala, fotofobia, serta menjelaskan riwayat trauma atau percideraan pada mata. Tanda yang dapat ditemukan adalah keberadaan darah yang dapat terlihat melalui

Upload: sandra-magdalena-devina

Post on 07-Dec-2015

261 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

ptosis

TRANSCRIPT

ANALISIS MASALAH

1d. Bagaimana mekanisme penglihatan kabur pada kasus?

Bilik mata depan merupakan salah satu media refraksi cahaya pada mata dalam proses penglihatan. Apabila terdapat darah pada bilik mata depan (hifema), refraksi cahaya dari dunia luar akan terganggu dan ketajaman penglihatan seseorang pun akan menurun. Tingkat penurunan dapat bersifat ringan hingga tingkat hand movement ataupun light perception.

2g. Mengapa mata kanan semakin kabur?

Tingkat penurunan penglihatan tergantung pada banyaknya darah pada bilik depan mata. Pada kasus, mata pasien tampak seperti blackball eye, yang berarti pasien mengalami hifema grade IV dimana seluruh kamera okuli anterior tertutup darah. Penurunan penglihatan juga dapat disebabkan oleh glaukoma sekunder yang merupakan komplikasi dari hifema itu sendiri.

Hifema yang tidak teratasi pada pasien juga dapat menyebabkan glaucoma. Pada glaucoma, peningkatan tekanan intraokular mengakibatkan tekanan diteruskan ke seluruh bagian mata, termasuk ke tunika neuralis. Tunika neuralis yang merupakan retina akan mengalami tekanan dan mengakibatkan kerusakan pada saraf. Kerusakan pada saraf mata akibat tekanan akan timbul dalam bentuk atrofi optik, atau berkurangnya akson di nervus optikus, yang dapat menyebabkan penurunan penglihatan (mata semakin kabur).

4d. Apa diagnosis kerja pada kasus?

Hifema dan glaucoma sekunder et causa trauma tumpul pada mata kanan

4g. Manifestasi klinis

Pada umumnya pasien mengeluhkan penurunan tajam penglihatan, sakit kepala, fotofobia, serta menjelaskan riwayat trauma atau percideraan pada mata. Tanda yang dapat ditemukan adalah keberadaan darah yang dapat terlihat melalui kornea. Keberadaan hifema perlu ditentukan derajatnya (berdasarkan klasifikasinya) serta warna hifema yang terbentuk.

4j. Penatalaksanaan

Pasien dengan hifema yang tampak mengisi lebih dari 5% bilik mata depan sebaiknya diistirahatkan. Pemberian steroid tetes harus segera dimulai. Aspirin dan antiinflamasi nonsteroid harus dihindari. Dilatasi pupil dapat meningkatkan risiko perdarahan kembali sehingga mungkin ditunda sampai hifema reda dengan penyerapan spontan. Oleh karena itu, pemeriksaan dini untuk mencari kerusakan segmen posterior mungkin memerlukan pemeriksaan ultrasonografi. Mata sebaiknya diperiksa secara berkala untuk mencari adanya perdarahan sekunder, glaukoma, atau bercak darah di kornea akibat pigmen besi. Perdarahan ulang terjadi pada 16-20% kasus dalam 2-3 hari. Komplikasi ini memiliki risiko tinggi menimbulkan glaukoma dan pewarnaan kornea. Beberapa penelitian mengisyaratkan bahwa penggunaan asam aminokaproat oral (100 mg/kg setiap 4 jam sampai maksimum 30 g/hari selama 5 hari) untuk menstabilkan pembentukan bekuan darah sehingga

menurunkan risiko perdarahan ulang. Tatalaksana glaukoma meliputi terapi topikal dengan penyekat-β (mis, timolol 0,25% 2 kali sehari), analog prostaglandin (mis, latanoprost 0,005% malam hari), dorzolamide 2% dua atau tiga kali sehari, atau apraclonidine 0,5% tiga kali sehari. Terapi oral dengan acetazolamide 250 mg per oral empat kali sehari, dan obat hiperosmotik (manitol, gliserol, dan sorbitol) dapat pula digunakan bila terapi topikal tidak efektif. Bedah drainase glaukoma mungkin diperlukan pada kasus-kasus yang sangat berat.

Hifema harus dievakuasi secara bedah bila tekanan intraokular tetap tinggi (> 35 mmHg selama 7 hari atau 50 mmHg selama 5 hari) untuk menghindari kerusakan nervus optikus dan pewarnaan kornea, tetapi terdapat risiko terjadinya perdarahan kembali. Jika pasien mengidap hemoglobulinopati, besar kemungkinan terjadi atrofi optik glaukomatosa dan pengeluaran bekuan darah secara bedah harus dipertimbangkan lebih dari awal. Instrumen-instrumen vitrektomi digunakan untuk mengeluarkan bekuan di sentral dan membilas (levage) bilik mata depan. Dimasukkan alat irigasi dan probe mekanis di sebelah anterior limbus melalui bagian kornea yang jernih untuk menghindari kerusakan iris dan lensa. Jangan mencoba mengeluarkan bekuan yang terdapat di sudut bilik mata depan atau di jaringan iris. Di sini, dilakukan iridektomi perifer. Cara lain untuk membersihkan bilik mata depan adalah dengan evakuasi viskoelastik. Dibuat sebuah insisi kecil di limbus untuk menyuntikkan bahan viskoelastik, dan sebuah insisi yang lebih besar berjarak 180 derajat (dari insisi pertama) untuk memungkinkan hifema di dorong keluar.

Glaukoma onset lambat dapat timbul setelah beberapa bulan atau tahun, terutama bila terdapat penyempitan sudut bilik mata depan lebih dari satu kuadran. Pada sejumlah kasus yang jarang, bercak darah di kornea menghilang secara perlahan-lahan dalam jangka waktu hingga satu tahun.

LEARNING ISSUE

HIFEMA

Definisi

Hifema didefinisikan sebagai keberadaan sel darah merah di kamera okuli anterior

(anterior chamber). Apabila keberadaan sel darah merah sangat sedikit sehingga hanya

terbentuk suspensi sel-sel darah merah tanpa pembentukan lapisan darah, keadaan ini disebut

sebagai mikrohifema.

Etiologi dan Patogenesis

Berdasarkan penyebabnya, hifema terbagi menjadi tiga yakni:

1. Hifema traumatik

2. Hifema iatrogenik

3. Hifema spontan

Hifema traumatik merupakan jenis yang tersering, yang merupakan hifema akibat

terjadinya trauma pada bola mata. Trauma yang terjadi pada umumnya disebabkan oleh

benda tumpul, misalnya bola, batu, projektil, mainan anak-anak, pelor mainan, paint ball,

maupun tinju.

Bilik mata depan merupakan suatu ruangan yang berisi aqueous humour, berada di

antara kornea dan iris. Aqueous humour yang mengisi bilik mata depan berasal dari epitel

badan silier yang memproduksinya. Aqueous humour ini akan mengalir melalui bilik mata

belakang, melewati pupil, kemudian ke bilik mata depan. Dari sini, aqueous humour akan

masuk ke sudut bilik mata depan, yaitu sudut yang dibentuk oleh jaringan korneosklera

dengan pangkal iris, dan memasuki trabecular meshwork menuju ke kanal Schlemm.

Kemudian aqueous humour akan dilanjutkan ke vena sclera dan episklera. Iris sendiri

diperdarahi oleh kompleks antara 2 arteri siliar posterior dan 7 arteri siliar anterior, yang

membentuk greater arterial circle of iris, yang memperdarahi iris dan badan siliaris.

Gambar 1. Perdarahan iris dan badan siliar

Sumber: http://www.medicinesia.com/kedokteran-dasar/penginderaan-kedokteran-dasar/hifema/

Jika terjadi trauma tumpul yang menghantam bagian depan mata, dapat terjadi

perubahan bola mata berupa kompresi diameter anteroposterior serta ekspansi bidang

ekuatorial. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intraokular secara

transien yang mengakibatkan terjadinya penekanan pada struktur pembuluh darah di uvea

(iris dan badan silier). Pembuluh darah yang mengalami gaya regang dan tekan ini akan

mengalami ruptur dan melepaskan isinya ke bilik mata depan (camera oculi anterior/COA).

Hifema iatrogenik adalah hifema yang timbul dan merupakan komplikasi dari proses

medis, seperti proses pembedahan. Hifema jenis ini dapat terjadi intraoperatif maupun

postoperatif. Pada umumnya manipulasi yang melibatkan struktur kaya pembuluh darah

dapat mengakibatkan hifema iatrogenik.

Hifema spontan sering dikacaukan dengan hifema trauma. Perlunya anamnesis

tentang adanya riwayat trauma pada mata dapat membedakan kedua jenis hifema. Hifema

spontan adalah perdarahan bilik mata depan akibat adanya proses neovaskularisasi (seperti

pada diabetes melitus, iskemi, maupun sikatriks.), neoplasma (seperti retinoblastoma dan

melanoma maligna), maupun adanya gangguan hematologi (seperti leukemia, hemofilia,

penyakit Von Willebrand yang mana terjadinya ketidakseimbangan antara faktor pembekuan

dan faktor anti-pembekuan).

Gambar 2 – Proses trauma dari arah anterior bola mata dapat mengakibatkan distorsi dimensi antero-posterior

dan ekuatorial yang mengakibatkan perubahan tekanan intraokular mendadak dan menyebabkan ruptur

pembuluh darah (Kanski, 2011)

Gejala dan Tanda

Pada umumnya pasien mengeluhkan penurunan tajam penglihatan, sakit kepala,

fotofobia, serta menjelaskan riwayat trauma atau percideraan pada mata. Percideraan

yang dikeluhkan umumnya diakibatkan oleh benda tumpul. Tanda yang dapat ditemukan

adalah keberadaan darah yang dapat terlihat melalui kornea. Keberadaan hifema perlu

ditentukan derajatnya (berdasarkan klasifikasinya) serta warna hifema yang terbentuk. Pada

komunitas khusus (seperti kaum Hispanik maupun orang kulit hitam ras Afro-Amerika) perlu

dieksplorasi mengenai anemia sel sabit sebab hifema pada seorang dengan sel sabit dapat

menunjukkan perburukan yang cepat akibat ertirosit sabit mengoklusi trabekula dengan lebih

efektif dan menyebabkan peningkatan tekanan intraokular yang lebih berbahaya dan akut.

Klasifikasi hifema berdasarkan severitasnya adalah sebagai berikut:

Gambar 3 – Klasifikasi hifema secara skematis (Sumber: drhem.com)

Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah:

1. Peningkatan tekanan intraokular secara akut, yakni suatu gluakoma traumatik

2. Atrofi optik, terutama akibat glaukoma traumatik

3. Perdarahan ulang atau perdarahan sekunder (2o hemorrhage)

4. Sinekia posterior

5. Sinekia anterior, terutama pada kondisi hifema yang lebih dari sembilan hari

6. Corneal blood staining, yakni adanya deposisi dari hemoglobin dan hemosiderin pada

stroma kornea akibat keberadaan darah hifema total yang umumnya disertai dengan

peningkatan tekanan intraokular. Corneal blood staining dapat menghilang, namun

memerlukan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun lamanya.

7. Glaukoma kronik

Glaukoma Traumatik

Glaukoma traumatik dapat ditemukan 4% apabila perdarahan kurang dari setengah

COA, dengan komplikasi lain mencapai 22% dan prognosis ketajaman penglihatan >6/18

berada pada angka 78%. Sementara itu pada kasus yang lebih berat, yakni perdarahan lebih

dari setengah COA, glaukoma traumatik memiliki insidens yang jauh lebih tinggi, yakni

85%, dengan komplikasi lain mencapai 78% serta prognosis ketajaman penglihatan >6/18

jauh lebih rendah, yakni hanya 28%. Perjalanan glaukoma yang terjadi akibat trauma pada

umumnya mengikuti pola sebagai berikut:

• 24 jam

o TIO akut

o Plugging trabekula oleh eritrosit dan fibrin

• Hari 2-6

o Penurunan TIO subnormal akibat berkurangnya produksi aqueous humour

• Hari 7 dst

o Kembalinya TIO ke tingkat normal (atau sedikit meningkat)

Perdarahan Sekunder

Perdarahan sekunder merupakan hal yang harus diwaspadai pada hifema. Hal ini

disebabkan 1/3 dari perdarahan sekunder justru dapat lebih berat dibandingkan hifema awal,

yakni dapat mengakibatkan hifema total. Perdarahan sekunder umumnya terjadi pada hifema

derajat 3 dan 4, dan secara umum terjadi pada 22% kasus hifema, dengan rentang antara 6,5%

hingga 38%4. Perdarahan sekunder disebabkan oleh lisis dan retraksi dari bekuan darah dan

fibrin yang telah berfungsi secara stabil untuk menyumbat pembuluh darah yang mengalami

ruptur atau kebocoran. Perdarahan sekunder membuat prognosis pasien menjadi buruk,

dengan penelitian menunjukkan tajam penglihatan pasien (kurang dari 20/50 atau 6/15) yang

mengalami perdarahan sekunder lebih buruk dibandingkan dengan yang tidak mengalami

komplikasi ini (79,5% vs 64%).

Keadaan yang menjadi faktor prediksi terjadinya perdarahan sekunder adalah:

Sickel cell trait

Tajam penglihatan saat presentasi <20/200 (6/60)

Derajat hifema saat presentasi yang lebih dari II

Ada riwayat penggunaan salisilat (aspirin), antiplatelet (seperti pada penderita angina

pektoris)

Penanganan hifema yang lebih dari dua puluh empat jam

Atrofi Optik

Atrofi optik merupakan keadaan akhir akibat glaukoma traumatik yang dapat terjadi

pada pasien dengan hifema. Terjadinya peningkatan tekanan intraokular mengakibatkan

tekanan diteruskan ke seluruh bagian mata, termasuk ke tunika neuralis. Tunika neuralis yang

merupakan retina akan mengalami tekanan dan mengakibatkan kerusakan pada saraf.

Kerusakan pada saraf mata akibat tekanan akan timbul dalam bentuk atrofi optik.

Gambar 4 – Gambaran papil atrofi, yakni berupa papil yang tampak pucat akibatnya menghilangnya serabut

saraf dan pembuluh darah kapiler akibat tekanan intraokular yang meninggi. (Crouch, 2006)

Gambar 5 – Gambaran corneal blood staining yang berwarna kekuningan pada kornea (Sumber:

dro.hs.columbia.edu)

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan hifema sangat bergantung kepada derajat hifema, komplikasi yang

terjadi, serta respons pasien terhadap pengobatan. Demikian pula hal-hal inilah yang menjadi

parameter dalam menentukan apakah pasien perlu dirawat atau hanya berobat jalan saja.

Untuk kasus ringan, penatalaksanaan dapat meliputi terapi konservatif, seperti:

1. Membatasi aktivitas pasien

2. Melakukan penutupan mata dengan eye patch atau eye cover

3. Melakukan elevasi kepala 30-45o. Adapun maksud dari elevasi kepala adalah untuk

membuat darah mengumpul di bagian inferior dari COA dan tidak menghalangi tajam

penglihatan. Posisi ini juga mempermudah dalam evaluasi harian COA tentang

resorpsi hifema sehingga dapat menunjukkan kemajuan pengobatan. Selain itu posisi

ini merupakan posisi optimal dalam mencegah kontak sel-sel darah merah dengan

korena dan trabekula Fontana.

4. Memberikan sedasi, terutama pada pasien pediatri yang hiperaktif. Hal ini juga sesuai

dengan poin pertama.

5. Pemberian analgesik, apabila dirasakan nyeri yang ringan dapat diberikan

asetaminofen, atau nyeri yang cukup berat dapat diberikan kodein. Hindair

penggunaan aspirin dan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS, NSAID) sebab dapat

menimbulkan perdarahan dan berisiko menyebabkan perdarahan sekunder.

6. Pemantauan berkala (setiap hari) tentang tajam penglihatan, tekanan intraokular, serta

regresi hifema.

Tujuan terapi sesuai dengan komplikasi yang mungkin terjadi. Untuk mengatasi

peningkatan tekanan intraokular, dapat dilakukan pemberian antiglaukoma topikal, seperti

timolol (antagonis reseptor beta), latanoprost (analog prostaglandin), serta brimonidin (agonis

reseptor 2 tipe perifer). Kesemua agen ini bertujuan untuk mengurangi produksi akueous

humor dan dapat membantu menurunkan tekanan intraokular. Apabila masih tinggi, dapat

dicobakan pemberian inhibitor enzim karbonat-anhidrase (CAI) topika.. Tekanan yang belum

terkontrol mengindikasikan pemberian agen lain, yakni CAI sistemik (melalui oral), yakni

asetazolamid dengan dosis 20 mg/kg/hari terbagi dalam empat dosis. Hal ini terutama

digunakan apabila tekanan masih di atas 22 mmHg. Pilihan terakhir apabila tekanan masih

tinggi adalah pemberian agen osmotik (seperti manitol IV 1,5 g/kg dalam larutan 10% 2 kali

sehari atau 3 kali sehari apabila tekanan sangat tinggi), atau pemberian gliserol per oral. Hal

ini penting apabila tekanan intraokular tetap di atas 35 mmHg meskipun hal-hal di atas telah

dicobakan pada pasien.

Untuk mencegah perdarahan seknder, dapat diberikan asam aminokaproat / ACA

yang merupakan agen anti-plasmin. Plasmin merupakan enzim yang melisiskan bekauan

darah sehingga dapat mengakibatkan perdarahan ulang. Asam aminokaproat yang pertama

kali diteliti menggunakan dosis 100 mg/kg dan diberikan setiap 4 jam (dengan maksimal 30 g

setiap hari) melalui oral. Agen ini diberikan selama 5 hari dan terbukti secara klinis sangat

menurunkan kejadian perdarahan sekunder, dibandingkan dengan pemberian plasebo.

Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa asam aminokaproat 50 mg/kg juga sama efektifnya

dengan pemberian 100 mg/kg. Pemberian asam aminokaproat terutama diindikasi pada

hifema dengan kurang dari 75% COA sebab pada kondisi yang lebih dari ini mencegah lisis

dari bekuan darah dianggap tidak efektif dalam mencegah terjadinya perdarahan sekunder.

Penelitian lanjutan juga menunjukkan pemberian asam aminokaproat secara topikal

juga sama efektifnya, sehingga apabila tersedia agen topikal, agen ini lebih dianjurkan

diberikan secara topikal. Steroid juga terbukti dapat menunjukkan risiko perdarahan

sekunder.4

Pasien diindikasikan rawat inap jika:

1. Pasien mengalami hifema derajat Ii atau lebih, sebab berpotensi terjadinya perdarahan

sekunder

2. Merupakan sickle cell trait

3. Terjadi trauma tembus okuli

4. Pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan

5. Pasien yang memiliki riwayat glaukoma

Dalam pasien rawat, perlu dilakukan pemantauan secar a intensif seperti tajam

penglihatan, tekanan intraokular, serta resolusi hifema. Selain itu perlu pula diamati apakah

terdapat indikasi bedah pada pasien.

Pasien akan menjalani bedah apabila terdapat:

1. Corneal blood staining

2. Riwayat sickle cell trait, dengan tekanan intraokular di atas 24 mmHg lebih dari 24

jam

3. Hifema dengan derajat lebih dari 50% COA selama 9 hari atau lebih. Hal ini perlu

dilakukan pembedahan agar tidak terjadi sinekia anterior, meskipun sudah

mendapatkan terapi medik secara maksimal

4. Hifema total, dengan tekanan intraokular lebih dari 50 mmHg selama 4 hari atau lebih

meskipun sudah mendapatkan terapi medik secara maksimal

5. Hifema total atau hifema dengan derajat >75% COA, dengan tekanan intraokular

lebih dari 25 mmHg selama lebih dari 6 hari meskipun sudah mendapatkan terapi

medik secara maksimal

Prognosis

Prognosis pada kasus hifema ditentukan berdasarkan pulihnya tajam penglihatan

pasien. Fungsi penglihatan harus merupakan goal dalam penatalaksanaan pasien dengan

hifema.

Dalam menentukan kasus hifema perlu dipertimbangkan:

1. Kerusakna struktur mata lain

2. Perdarahan sekunder

3. Komplikasi lain: glaukoma, corneal blood staining, serta atrofi optik

Secara umum, hifema grade I memiliki kemungkinan 80% untuk mencapai tajam

penglihatan minimal 6/12. Hifema yang lebih tinggi, yakni grade II memiliki kemungkinan

60%, sedangkan pada hifema total kemungkinan tajam penglihatan minimal 6/12 relatif

rendah, yakni sekitar 35%.

GLAUKOMA

Definisi

Glaukoma merupakan suatu neuropati optik yang ditandai dengan pencekungan

“cupping” diskus optikus dan penyempitan lapang pandang yang disertai dengan peningkatan

tekanan intraokuler yang merupakan faktor resiko terjadinya glaukoma. Mekanisme

peningkatan tekanan intraokuler pada glaukoma dipengaruhi oleh gangguan aliran keluar

humor aquos.

Gambar 6: Trabecular Outflow (kiri) dan Uveoscleral outflow (kanan)

Sumber: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31224/4/Chapter%20II.pdf

Tabel 2. Perbedaan komposisi plasma dan humor aquos

Sumber: http://eprints.undip.ac.id/44546/3/Dina_Ameliana-22010110120122-BAB_2_KTI.pdf

Humor aquos merupakan media refrakta jadi harus jernih. Sistem pengeluaran humor aquos terbagi menjadi dua jalur, yaitu sebagian besar melalui sistem vena dan sebagian kecil melalui otot ciliaris.

Patofisiologi

Penurunan penglihatan pada glaukoma terjadi karena adanya apoptosis sel ganglion retina yang menyebabkan penipisan lapisan serat saraf dan lapisan inti dalam retina serta berkurangnya akson di nervus optikus. Diskus optikus menjadi atrofi disertai pembesaran cawan optik. Kerusakan saraf dapat dipengaruhi oleh peningkatan tekanan intraokuler. Semakin tinggi tekanan intraokuler semakin besar kerusakan saraf pada bola mata. Pada bola mata normal tekanan intraokuler memiliki kisaran 10-22 mmHg.

Klasifikasi

Glaukoma primero Glaukoma Sudut Terbuka Primer

Glaukoma sudut terbuka primer terdapat kecenderungan familial yang kuat. Gambaran patologi utama berupa proses degeneratif trabekular meshwork sehingga dapat mengakibatkan penurunan drainase humor aquos yang menyebabkan peningkatan takanan intraokuler. Pada 99% penderita glaukoma primer sudut terbuka terdapat hambatan pengeluaran humor aquos pada sistem trabekulum dan kanalis schlemm.

Gambar 7. Aliran aqueous humour glaukoma sudut terbukaSumber: http://eprints.undip.ac.id/44546/3/Dina_Ameliana-22010110120122-BAB_2_KTI.pdf

o Glaukoma Sudut Tertutup Primer Glaukoma sudut tertutup primer terjadi pada mata dengan predisposisi anatomis tanpa ada kelainan lainnya. Adanya peningkatan tekanan intraokuler karena sumbatan aliran keluar humor aquos akibat oklusi trabekular meshwork oleh iris perifer.

Gambar 8. Glaukoma sudut tertutupSumber: http://eprints.undip.ac.id/44546/3/Dina_Ameliana-22010110120122-BAB_2_KTI.pdf

Glaukoma Sekunder Peningkatan tekanan intraokuler pada glaukoma sekunder merupakan

manifestasi dari penyakit lain dapat berupa peradangan, trauma bola mata dan paling sering disebabkan oleh uveitis.

Glaukoma Kongenital Glaukoma kongenital biasanya sudah ada sejak lahir dan terjadi akibat

gangguan perkembangan pada saluran humor aquos. Glaukoma kongenital seringkali diturunkan. Pada glaukoma kongenital sering dijumpai adanya epifora dapat juga berupa fotofobia serta peningkatan tekanan intraokuler. Glaukoma kongenital terbagi atas glaukoma kongenital primer (kelainan pada sudut kamera okuli anterior), anomali

perkembangan segmen anterior, dan kelainan lain (dapat berupa aniridia, sindrom Lowe, sindom Sturge-Weber dan rubela kongenital).

Penilaian Glaukoma

Tonometri Tonometri merupakan suatu pengukuran tekanan intraokuler yang

menggunakan alat berupa tonometer Goldman. Faktor yang dapat mempengaruhi biasnya penilaian tergantung pada ketebalan kornea masing-masing individu. Semakin tebal kornea pasien maka tekanan intraokuler yang di hasilkan cenderung tinggi, begitu pula sebaliknya, semakin tipis kornea pasien tekanan intraokuler bola mata juga rendah. Tonometer yang banyak digunakan adalah tonometer Schiotz karena cukup sederhana, praktis, mudah dibawa, relatif murah, kalibrasi alat mudah dan tanpa komponen elektrik. Penilaian tekanan intraokuler normal berkisar 10-22 mmHg. Pada usia lanjut rentang tekanan normal lebih tinggi yaitu sampai 24 mmHg. Pada glaukoma sudut terbuka primer , 32-50% pasien ditemukan dengan tekanan intraokuler yang normal pada saat pertama kali diperiksa.

Penilaian Diskus Optikus Diskus optikus yang normal memiliki cekungan di bagian tengahnya. Pada

pasien glaukoma terdapat pembesaran cawan optik atau pencekungan sehingga tidak dapat terlihat saraf pada bagian tepinya.

Pemeriksaan Lapangan Pandang Gangguan lapangan pandang pada glaukoma dapat mengenai 30 derajat

lapangan pandang bagian central. Cara pemeriksaan lapangan pandang dapat menggunakan automated perimeter.

GonioskopiGonioskopi merupakan pemeriksaan dengan alat yang menggunakan lensa

khusus untuk melihat aliran keluarnya humor aquos. Fungsi dari gonioskopi secara diagnostik dapat membantu mengidentifikasi sudut yang abnormal dan menilai lebar sudut kamera okuli anterior.

Terapi Medikamentosa

Supresi Pembentukan Humor Aqueus o Golongan β-adrenergik Bloker

Obat golongan ini dapat digunakan sebagai monoterapi atau dengan kombinasi dengan obat yang lain. Contoh obat golongan β- adrenergic bloker misalnya timolol maleat 0,25% dan 0.5%, betaxolol 0,25% dan 0,5%, levobunolol dan lain-lain.

Timolol maleat merupakan β-adrenergik non selektif baik β1 atau β2. Timolol tidak memiliki aktivitas simpatomimetik, sehingga apabila diteteskan pada mata dapat mengurangi tekanan intraokuler. Timolol dapat menurunkan tekanan intraokuler sekitar 20-30%.15,16 Reseptor β- adrenergik terletak pada epitel siliaris, jika reseptornya terangsang aktifitas sekresinya akan meningkatkan inflow humor aquos melalui proses komplek enzim adenyl cyclase-reseptor sehingga menurunkan produksi humor aquos.

Farmakodinamik golongan β-adrenergic bloker dengan cara menekan pembentukan humor aquos sehingga tekanan intraokuler dapat turun.

Sedangkan farmakokinetiknya sebagian besar diserap dengan baik oleh usus secara peroral sehingga bioavaibilitas rendah , dan memiliki kadar puncak dalam plasma mencapai 1 sampa 3 jam. Kebanyakan golongan β-adrenergic bloker memiliki waktu paruh antara 3 sampai 10 jam. Waktu ekskresi yang dibutuhkan ginjal untuk mengeluarkan obat golongan ini dapat diperpanjang apabila terdapat hambatan aliran darah yang menuju ke hati atau hambatan enzim hati.

Penggunaan obat golongan ini dalam jangka lama dapat mengakibatkan kontraindikasi berupa obstruksi jalan napas kronik. Indikasi pemakaian diberikan pada pasien glaukoma sudut terbuka sebagai terapi inisial baik secara tunggal atau kombinasi terapi dengan miotik. Indikasi lainnya dapat diberikan pada glaukoma inflamasi, hipertensi okuler dan glaukoma kongenital.

o Golongan α2-adrenergik Agonis Golongan α2-adrenergik agonis obat ini dibagi menjadi 2 yaitu selektif

dan tidak selektif. Golongan α2-adrenergic agonis yang selektif misalnya apraklonidin memiliki efek menurunkan produksi humor aquos, meningkatkan aliran keluar humor aquos melalui trabekula meshwork dengan menurunkan tekanan vena episklera dan dapat juga meningkatkan aliran keluar uveosklera.5 Farmakokinetik dari pemberian apraklonidin 1% dalam waktu 1 jam dapat menghasilkan penurunan tekanan intraokuler yang cepat paling sedikit 20% dari tekanan intraokuler awal. Efek maksimal dari apraklonidin dalam menurunkan tekanan intraokuler dapat terjadi sekitar 3-5 jam setelah pemberian terapi.18,19

Indikasi penggunaan apraklonidin untuk mengontrol peningkatan akut tekanan intraokuler pasca tindakan laser. Sedangkan kontraindikasi pemakaian obat ini apabila pasien dengan mono amin oksidase (MAO) dan trisiklik depresan karena mempengaruhi metabolisme dan uptake katekolamin.

o Penghambat Karbonat AnhidraseAsetasolamid oral merupakan obat yang sering di gunakan karena

dapat menekan pembentukan humor aquos sebanyak 40-60%. Bekerja efektif dalam menurunkan tekanan intraokuler apabila konsentrasi obat bebas dalam plasma ±2,5 µM.16,18 Apabila diberikan secara oral, konsentrasi puncak pada plasma dapat diperoleh dalam 2 jam setelah pemberian dapat bertahan selama 4-6 jam dan menurun dengan cepat karena ekskresi pada urin.

Indikasi asetasolamid terutama untuk menurunkan tekanan intraokuler, mencegah prolaps korpus vitreum, dan menurunkan tekanan introkuler pada pseudo tumor serebri. Kontraindikasi relatif untuk sirosis hati, penyakit paru obstruktif menahun, gagal ginjal, diabetes ketoasidosis dan urolithiasis.

Efek samping yang paling sering dikeluhkan parastesi dan inisial diuresis, sedangkan efek lain yang dapat muncul apabila digunakan dalam jangka lama antara lain metalic taste, malaise, nausea, anoreksia, depresi, pembentukan batu ginjal, depresi sumsum tulang, dan anemia aplastik.

o Penghambat Karbonat Anhidrase Topikal Penghambat karbonat anhidrase topikal bersifat larut lemak sehingga

bila digunakan secara topikal daya penetrasi ke kornea relatif rendah. Pemberian dorsolamid topikal akan terjadi penetrasi melalui kornea dan sklera

ke epitel tak berpigmen prosesus siliaris sehingga dapat menurunkan produksi humor aqueus dan HCO3- dengan cara menekan enzim karbonik anhidrase II. Penghambat karbonik anhidrase topikal seperti dorsolamid bekerja efektif menurunkan tekanan intraokuler karena konsentrasi di prosesus siliaris mencapai 2-10µM.17 Penghambat karbonat anhidrase topikal (dorsolamid) dapat menurunkan tekanan intraokuler sebesar 15-20%.

Indikasi pemberian untuk mengontrol glaukoma baik jangka pendek maupun jangka panjang, sebagai obat tunggal atau kombinasi. Indikasi lain untuk mencegah kenaikan tekanan intraokuler pasca bedah intraokuler. Efek samping lokal yang dijumpai seperti mata pedih, keratopati pungtata superfisial, dan reaksi alergi. Efek samping sistemik jarang dijumpai seperti metalic taste, gangguan gastrointestinal dan urtikaria.

Fasilitasi Aliran Keluar Humor Aqueuso Parasimpatomimetik

Golongan obat parasimpatomimetik dapat menimbulkan efek miosis pada mata dan bersifat sekresi pada mata, sehingga menimbulkan kontraksi muskulus ciliaris supaya iris membuka dan aliran humor aquos dapat keluar.

o Analog prostaglandin Analog prostaglandin merupakan obat lini pertama yang efektif

digunakan pada terapi glaukoma misalnya, latanopros. Latanopros merupakan obat baru yang paling efektif katena dapat ditoleransi dengan baik dan tidak menimbulkan efek samping sistemik.

Farmakokinetik latanopros mengalami hidrolisis enzim di kornea dan diaktifkan menjadi asam latanopros. Penurunan tekanan intraokuler dapat dilihat setelah 3-4 jam setelah pemberian dan efek maksimal yang terjadi antara 8-12 jam.

Cara kerja obat ini dengan meningkatkan aliran keluarnya humor aqueus melalui uveosklera. Obat ini diindikasikan pada glaukoma sudut terbuka, hipertensi okuler yang tidak toleran dengan antiglaukoma lain. kontrandikasi pada pasien yang sensitif dengan latanopros.

o Penurunan Volume Vitreus Obat yang digunakan dalam menurunkan volume vitreus dapat

menggunakan obat hiperosmotik dengan cara mengubah darah menjadi hipertonik sehingga air tertarik keluar dari vitreus dan menyebabkan pengecilan vitreus sehingga terjadi penurunan produksi humor aquos. Penurunan volume vitreus bermanfaat dalam pengobatan glaukoma sudut tertutup akut dan maligna yang menyebabkan pergeseran lensa kristalina ke anterior yang menyebabkan penutupan sudut ( glaukoma sudut tertutup sekunder ).

Referensi

1. American Academy of Opthalmologi. Glaucoma. Singapore : BCSC. 2013.

2. Bruce James, Chris Chew, Anthony Brown. Oftalmologi. Jakarta: Erlangga. 2006. Edisi 9.

3. Chraibi F, Bhallil S, Benatiya I, Tahri H. Hyphema revealing retinoblastoma in childhoot. A case

report. Bull. Soc. Belge Ophtalmol. 2011(318): 41-3

4. Crouch Jr ER, Crouch ER. Trauma: ruptures and bleeding. In: Tasman W, Jaeger E. Duane’s

ophtalmology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006

5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan

Terapi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.

6. Goodman, Gilman. Farmako Dasar Terapi. Jakarta : EGC. 2012.

7. Harmen Seda Hampri. Gambaran Sudut Trabekula pada Glaukoma Primer Sudut Tertutup. 2007.

http://repository.unand.ac.id/294/1/Gambaran_Sudut_Trabekula_Pada_Gl

aukoma_Primer_Sudut_Tertutup.pdf. Diakses tanggal 25 Agustus 2015.

8. Ilyas Sidarta, Muzakkir Tansil ,dkk. Sari Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Indonesia.

2002.

9. Ilyas Sidarta. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.

2009.

10. Kanski JJ, Bowling B. Clinical ophtalmology. A systematic approach. Seventh edition. Philadelphia:

Elsevier Saunders; 2011

11. Katzung G Bertram. Farmakologi Dasar Dan Klinik. Jakarta : EGC. 2012. Edisi 10.

12. Keiko, dkk. Diskusi Topik Glaukoma. Universitas Indonesia. 2013. Diakses tanggal 25 Agustus 2015.

13. Masjid Abdul. Clonidine Per Oral Sebagai Premedikasi Alternatif untuk Menurunkan Tekanan

Intraokuler pada Ekstrasi Katarak. Semarang : Undip. 1999. Available from : www.eprintsundip.ac.id

14. Oldham GW. Hyphema. [Internet]. Cited: 2015 Aug 25. Available from:

http://eyewiki.aao.org/Hyphema

15. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s General Ophtalmology. 16th edition. New York:

McGraw Hill; 2004

16. Sativa oriza. Tekanan Intraokuler pada Myopia Ringan dan Sedang. Available :

www.repository.usu.co.id

17. Sheppard JD. Hyphema. [Internet]. Updated: 2011 Mar 19, Cited: 2015 Aug 25. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/1190165-overview

18. Zulmani, Harmen. Glaukoma Neovaskuler. Padang : Universitas Andalas. 2009.

Repository.unand.ac.id. diakses tanggal 25 Agustus 2015