mitigasi kel. 4

34
MAKALAH IDENTIFIKASI PENYEBAB, DAMPAK DAN ANALISIS DAERAH RENTAN TANAH LONGSOR DI INDONESIA Disusun Oleh: Adiarn !"##$"!$%$"""& Muha'ad Adi Nur(ah) !"##$"!$%$""#* Asih Les+ari Nu raha !"##$"!$%$""#- Ris.a A us+ina !"#/$"!$%$"""- Li+a Sul0iana R$ !"#/$"!$%$""#/ I'a Nur'alia P$ !"#/$"!$%$""!" 12R2SAN OSEANOGRAFI FAK2LTAS TEKNIK DAN ILM2 KELA2TAN 2NI3ERSITAS HANG T2AH S2RABAYA !"#%

Upload: diascahaya

Post on 06-Oct-2015

215 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Menjelaskan dan mengaitkan metode mitigasi longsoran tanah di indonesia

TRANSCRIPT

MAKALAH

IDENTIFIKASI PENYEBAB, DAMPAK DAN ANALISIS DAERAH RENTAN TANAH LONGSORDI INDONESIA

Disusun Oleh:Adiarno2011.02.4.0006Muhamad Adi Nurcahyo2011.02.4.0015Asih Lestari Nugraha2011.02.4.0018Riska Agustina 2013.02.4.0008Lita Sulfiana R. 2013.02.4.0013Ima Nurmalia P. 2013.02.4.0020

JURUSAN OSEANOGRAFIFAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KELAUTANUNIVERSITAS HANG TUAHSURABAYA2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penyusunan Makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini disusun sebagai tugas dengan mengambil judul Pendekatan, Pemahaman, dan Pencegahan Bencana Tanah Longsor serta Penanggulangannya.Dalam penyusunan Makalah ini, penulis banyak menerima bantuan dari beberapa pihak. Maka dengan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua yang telah memberikan dukungan doa, moril dan materiil. Dan terima kasih juga kepada Engki Andri Kisnarti, ST, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberi saran sehingga tersusun makalah ini.Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Untuk itu kami penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan penyusunan makalah selanjutnya.

Surabaya, 23 November 2014

Penulis

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangIndonesia sangat rentan terhadap bencana alam khususnya adalah tanah longsor, hal itu disebabkan karena iklim di Indonesia yang sangat ekstrim, struktur geologi batuan, topografi, susunan batuan dan beberapa daerah yang mempunyai kemiringan yang curam. Peristiwa tanah longsor menurut Varnes 1978 dalam Darsono dkk. 2013, adalah gerakan massa tanah atau dapat didefinisikan sebagai perpindahan material pembentuk lereng, dapat berupa batuan asli, tanah pelapukan, bahan timbunan atau kombinasi dari material-material yang bergerak ke arah bawah dan keluar lereng. Gerakan massa tanah atau batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan, dan sebenarnya merupakan fenomena alam, dimana alam mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah (Karnawati, 2003).Di Indonesia khususnya di Kota Bukit Tinggi merupakan salah satu lokasi terjadinnya tanah longsor akibat kestabilan lereng yang terganggu sehingga dapat membahayakan permukiman di sekitar kota tersebut. Letak kota yang berada di sepanjang patahan aktif sumatera yang lebih dikenal dengan Ngarai Sianok dan di kelilingi oleh dua buah gunung berapi yang dapat memicu bencana tanah longsor akibat gempa bumi. Menyikapi hal tersebut, pemerintah menetapkan kawasan rawan bencana tanah longsor di Sempadan Ngarai Sianok Kota Bukit Tinggi sebesar 100 meter dari bibir ngarai dengan arah menjauhi ngarai. Kebijakan pemerintah sejauh ini lebih bersifat pengendalian sedangkan kondisi yang dihadapi tersebut memerlukan kebijakan penanganan. Salah satu kelurahan yang perlu diberikan prioritas penanganan adalah Kelurahan Belakang Balok. Citra satelit menunjukkan bahwa keseluruhan wilayah kelurahan sudah terbangun dan kawasan permukiman di kelurahan ini berkembang hingga mencapai bibir Ngarai Sianok. Dengan kondisi tersebut, kebutuhan penanganan permukiman di sekitar Ngarai Sianok semakin mendesak. Meskipun fokus utama penanganan berdasarkan analisis di permukiman yang berada di dalam kawasan sempadan, bentuk penanganan yang disusun tidak dapat dipandang terpisah. Artinya, penanganan permukiman tidak dapat hanya diterapkan dan diusahakan pada kawasan sempadan saja, tetapi juga pada permukiman lain di sekitarnya. Penanganan permukiman di kelurahan ini akan dibedakan pada karakteristik masing-masing. Karakteristik ini dinilai berdasarkan kondisi keteraturan permukiman sehingga bentuk penanganan yang dirumuskan rasional dan lebih bisa diterapkan.Tanah longsor tidak hanya terjadi di daerah pemukiman sepanjang jalur patahan saja tetapi di daerah kawasan Gunung Merapi di kabupaten Sleman juga, karena tingkat kerawanan bencana tanah longsor cukup tinggi. Kondisi ini dilihat dari pegunungan dan perbukitan di Kabupaten Sleman seluas 72,11% dari luas wilayah keseluruhan (RT/RW Kabupaten Sleman, 2011-2031). Fakta menununjukkan Kabupaten Sleman memiliki ketinggian antara 100-2.500 meter dpl, dengan kemiringan yang sangat curam diatas > 40% seluas 1.526 km dengan total wilayah mencapai 27.01 ha. Berangkat dari masalah kerentanan tersebut, penelitian serta analisa mengenai Identifikasi Penyebab, Dampak dan Analisis Daerah Rentan Tanah Longsor di Indonesia sangat diperlukan.

1.2 Tujuan Penelitiana. Menganalisis risiko bencana gerakan Ngarai Sianok pada pemukiman di Kelurahan Belakang Balok.b. Meneliti Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan masyarakat terhadap tanah longsor dan menentukan zona tingkat kerentanan masyarakat terhadap tanah longsor di kawasan gunung Merapi, Sleman.

1.3 Manfaat Peneltiana. Dapat diketahui penetapan prinsip penanganan dan perumusan penanganan pemukiman di Kelurahan Belakang Balokb. Diperoleh Zona tingkat kerentanan kawasan terhadap tanah longsor dari zona sangat rentan ke zona tidak rentan.

BAB IIMETODE PENELITIAN

2.1 Penanganan Pemukiman di Kawasan Rawan Bencana Gerakan Tanah.Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah single case study dengan memfokuskan wilayah penelitian pada satu kawasan permukiman di Kelurahan Belakang Balok saja. Kebutuhan penanganan permukiman didasarkan pada masing-masing tipologi permukiman yang dinilai berdasarkan keteraturan yang ditunjukkan dengan lima kriteria, yaitu: konsistensi hirarki jalan; kondisi drainase; keteraturan kavling; kemantapan sempadan jalan; dan kemantapan sempadan bangunan. Kemudian dilakukan tahapan-tahapan analisis isi terhadap peraturan, literatur, maupun penelitian yang relevan untuk merumuskan kriteria dan komponen penanganan, serta prinsip-prinsip penanganan. Kemudian dilakukan analisis risiko bencana dengan terlebih dahulu menganalisis tingkat bahaya dan kerentanan wilayah studi. Penentuan faktor kerentanan dan pembobotannya dilakukan berdasarkan kajian terhadap pedoman-pedoman dan penelitian relevan lainnya. Secara garis besar, perumusan arahan penanangan merupakan keluaran akhir dari studi ini. Dari hasil kajian literatur, pedoman-pedoman terkait, maupun penelitian yang relevan, ditetapkan kriteria dan komponen penangan permukiman yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria dan Komponen PenangananKriteriaKomponenTemuan/Indikator

Karakteristik Kawasan PermukimanTipologi PermukimanTipologi diindikasikan dengan konsistensi hirarki jalan, kondisi drainase, keteraturan kavling, kemantapan sempadan jalan, kemnatapan sempadan bangunan

Karakteristik Kawasan Rawan BencanaTipologi KawasanTipe A, tipe B, atau tipe C

Tingkat Bahaya

Penilaian dilakukan melalui kajian kelerengan, struktur geologi, kondisi kegempaan, kondisi keairan, curah hujan, vegetasi dan guna lahan.

Dapat menggunakan peta yang telah tersedia

KerentananKerentanan fisik meliputi jaringan jalan dan bangunan yang terdapat di dalam kawasan

Kerentanan aktivitas manusia meliputi jumlah penduduk

Risiko BencanaRisiko bencana tinggi, menengah dan rendah

Kebijakan Terkait Ngarai SianokPeruntukkan fungsi yang diperbolehkan di sekitar Ngarai Sianok adalah fungsi lindung, yaitu Kawasan Sempadan Ngarai Sianok

Kemungkinan Bentuk-Bentuk Penanganan PermukimanKebijakan Terkait Pengembangan Permukiman BaruArahan lokasi pengembangan permukiman baru yang memungkinkan relokasi permukiman di Kawasan Sempadan Ngarai Sianok

Konstruksi yang DiperbolehkanArahan konstuksi yang diperbolehkan di dalam kawasan rawan bencana gerakan tanah

2.2 Penanganan Daerah Kawasan Rentan Tanah Longsor dalam KSN Gunung merapi di Kabupaten Sleman.a. Metode Pengumpulan DataDalam pengumpulan data, dilakukan survey primer dan survei sekunder. Survei primer terdiri dari observasi langsung ke wilayah penelitian (foto kondisi eksisting) dan wawancara (wawancara stakeholders, yang mana telah didapatkan beberapa stakeholders untuk wawancara yang didapatkan melalui analisis stakeholders. Stakeholder yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian untuk responden dalam analisa AHP (Bappeda, BPBD, ESDM,Dinas PU Cipta Karya, Ahli kebencanaan, Praktisi (PT.Studio Cilaki Empat Lima), Koperasi UPT susu, UKM pengrajin batu, Pengelola Candi Prambanan, dan tokoh masyarakat ), dan responden untuk analisa Triangulasi (Bappeda, BPBD, ESDM, Dinas PU Cipta Karya, Koperasi UPT susu, dan tokoh masyarakat). Survei sekunder terdiri dari survei instansi dan survey literatur. Survei instansi merupakan survei yang dilakukan dalam mengumpulkan data sekunder atau pendukung di instansi atau dinas-dinas. Studi literatur atau kepustakaan dilakukan dengan meninjau isi dari literatur yang bersangkutan dengan tema penelitian ini, di antaranya berupa buku, hasil penelitian, dokumen rencana tata ruang, tugas akhir, serta artikel di internet dan media massa.b. Metode Analisis Untuk mengidentifikasi kawasan rentan tanah longsor di KSN Gunung Merapi Kabupaten Sleman maka diperlukan beberapa tahapan analisis, adapun tahapan analisis tersebut adalah sebagai berikut :a. Analisa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan masyarakat terhadap tanah longsor. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan masyarakat pada kawasan rawan tanah longsor ditinjau dari teori-teori terkait kerentanan longsor berdasarkan kerentanan lingkungan, fisik, sosial dan ekonomi. Dalam analisa faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan masyarakat terhadap tanah longsor digunakan analisis deskriptif dan analisis AHP yang melakukan perhitungan dengan tingkat kepentingan pada analisa stakeholder-nya.

Analisis deskriptif mendeskripsikan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan masyarakat terhadap tanah longsor berdasarkan teori, kebijakan dan kondisi eksistingnya. Analisis AHP digunakan untuk menentukan bobot tiap faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan, dalam analisis digunakan alat analisis expert choice. Hasil proses analisis AHP digunakan untuk melakukan perhitungan antara bobot masing-masing faktor dengan tingkat kepentingan masingmasing stakeholder. Sehingga menghasilkan faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan masyarakat berdasarkan tingkat kepentingan stakeholdernya.b. Penentuan zona tingkat kerentanan masyarakat terhadap tanah longsor.Teknik analisa yang digunakan untuk memperoleh zona tingkat kerentanan masyarakat terhadap tanah longsor berdasarkan tingkat kerentanannya adalah menggunakan teknik overlay weighted sum beberapa peta/faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan. Metode analisis ini merupakan analisis spasial dengan menggunakan teknik overlay beberapa peta yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penilaian kerentanan. Alat analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan Geographic Information System (GIS). Proses analisa dengan GIS ini menghasilkan zona tidak rentan dan sangat rentan pada overlay masing-masing faktor.

2.3 Bidang Gelincir Pemicu Bencana Tanah Longsor dengan Metode Resistivitas 2 Dimensi di Desa Pablengan Kecamatan Matesih Kabupaten KaranganyarPenelitian dilaksanakan di Dusun Salaman, Desa Pablengan, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah menggunakan metode geolistrik resistivitas konfigurasi dipole-dipole. Peralatan yang digunakan Resistivitimeter OYO Model 2119C McOHM-EL dan GPS. Pengolahan data dengan software RES2DINV versi 3,54 dengan maksimum interasi 3 kali. Pengukuran dilakukan 2 lintasan, lintasan pertama sepanjang 260 meter pada S 07 37.868 E 111 03.431 dengan arah lintasan Barat-Timur sedangkan lintasan kedua sepanjang 100 meter pada S 07 37.783 E 111 03.517, dengan arah lintasan Timur Laut-Barat Daya.

BAB IIIPEMBAHASAN

3.1 Penyebab Terjadinya Bencanaa. Pemukiman di Sekitar Ngarai Sianok di Kelurahan Belakang Balok, Kota Bukit TinggiPenyebab tidak langsung terjadinya longsor, yaitu faktor-faktor yang mengkondisikan suatu lereng rentan atau siap bergerak. Faktor pengontrol terdri dari dua faktor, yaitu faktor pengontrol alam dan non alam atau biasa disebut mekanis atau teknis. Berikut penjabarannya : a. Faktor Pengontrol Alam, berupa kondisi geologis, kelerengan, dan kondisi vegetasi yang dapat memicu kerentanan suatu wilayah terhadap longsor. b. Faktor Pengontrol Mekanis/Teknis, meliputi pendekatan mekanis atau teknis yang digunakan sebagai pengendali longsor. Ada-tidaknya faktor pengontrol jenis ini sangat mempengaruhi kerentanan suatu lereng, selain juga dipengaruhi faktor alam. Baik tidaknya kondisi faktor pengontrol mekanis juga seringkali berperan dalam pencegahan longsor.Kondisi dan bentuk faktor mekanis biasanya disesuaikan dengan kondisi topografi dan besar kecilnya tingkat bahaya longsor. Contoh faktor pengontrol mekanis adalah saluran drainase, bangunan penahan materiallongsor, bangunan penguat tebing, dan trap terasering. Penyebab langsung terjadinya longsor, yaitu proses-proses yang menyebabkan bergeraknya lereng tanah/batuan. Faktor-faktor pemicu terjadinya tanah longsor sebagai berikut: a) Hujan b) Lereng terjal c) Tanah yang kurang padat dan tebal d) Batuan yang kurang kuat e) Jenis tata lahanf) Getaran g) Susut muka air danau atau bendungan h) Adanya beban tambahan i) Pengikisan atau erosi j) Adanya material timbunan pada tebing k) Bekas longsoran lama l) Adanya diskontinuitas m) Penggundulan hutan n) Daerah pembuangan sampah b. Daerah Kawasan Rentan Tanah Longsor dalam Kawasan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman.Penyebab terjadinya rawan tanah longsor yaitu pada permasalahan lingkungan dan sosial yang menonjol seperti pertanian intensif, kerusakan hutan atau luasnya lahan kritis di Kabupaten Sleman yang mencapai 3.225,74 ha dengan tingkat curah hujan tahunan diatas 2000 mm pertahun. Hal ini mengakibatkan tidak adanya tutupan tanah yang membentuk ruang-ruang dalam tanah akibat pembusukan sistem perakaran pohon yang menampung air dan menyebabkan tanah dalam keadaan lewat jenuh, sehingga berpotensi longsor.c. Bidang Gelincir Pemicu Bencana Tanah Longsor Penyebab longsoran yang sangat berpengaruh adalah bidang gelincir (slip surface) atau bidang geser (shear surface). Pada umumnya tanah/bidang yang mengalami longsoran akan bergerak di atas bidang gelincir tersebut. Contoh aktifitas manusia yang dapat memicu terjadinya tanah longsor : penebangan pepohonan secara serampangan di daerah lereng penambangan bebatuan tanah atau barang tambang lain yang menimbulkan ketidakstabilan lereng tingkat kebasahan tanah dan bebatuan (juga daya ikatnya) pengubahan kemiringan kawasan (seperti pada pembangunan jalan, rel kereta atau bangunan) pembebanan berlebihan dari bangunan di kawasan perbukitan.

Faktor internal yang dapat menyebabkan terjadi gerakan tanah : Daya ikat tanah atau batuan yang lemah sehingga butiran tanah dan batuan dapat terlepas dari ikatannya. Pergerakan butiran ini dapat menyeret butiran lainnya yang ada disekitar sehingga membentuk massa yang lebih besar.Sedangkan faktor eksternal yang dapat mempercepat dan memicu terjadinya gerakan tanah : Diantaranya sudut kemiringan lereng, curah hujan, perubahan kelembaban tanah, dan tutupan lahan

3.2 Dampak yang di Timbulkan jika Mitigasi Tidak Dilakukana. Pemukiman di Sekitar Ngarai Sianuok di Kelurahan Belakang Balok, Kota Bukit TinggiDampak yang akan di dimbulkan jika mitigasi tidak dilakukan di pemukiman di sekitar Ngarai Sianuok di Kelurahan Belakang Balok Kota Bukit Tinggi adalah sebagai berikut : Kehilangan Harta Benda Kerusakan sarana prasarana vital dan fasilitas umum Jatuhnya korban manusia Rusaknya tata kehidupan dan penghidupan masyarakatb. Daerah Kawasan Rentan Tanah Longsor dalam KSN Gunung Merapi di Kabupaten Sleman.Dampak yang akan di dimbulkan jika mitigasi tidak dilakukan di daerah kawasan longsor dalam KSN Gunung Merapi di Kabupaten Sleman adalah sebagai berikut : Rumah tertimbun Jatuhnya korban jiwa Kerusakan sektor pertanian Rusaknya lahan-lahan pariwisata dan lahan produktif lainnya di wilayah penelitian Rusaknya jalan di Kecamatan Pakem Rusaknya jembatan desa di Kecamatan Cangkringan Rusaknya irigasi di Sungai Opak Desa Bokoharjo Rusaknya satu unit pipa transmisi di Kecamatan Kalasan- Prambanan3.3 Analisis Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Bencana Tanah Longsora. Berdasarkan tingkat kerentanan masyarakat di daerah kawasan Gunung Merapi di Kabupaten SlemanBerdasarkan tahapan analisis yang telah dilalui mulai dari analisa deskriptif dan analisa AHP dengan perhitungan dari tingkat kepentingan stakeholder, didapat faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan masyarakat terhadap tanah longsor. Berikut tabel faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan masyarakat terhadap tanah longsor.Tabel 2.Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan masyarakat terhadap tanah longsorFaktor Parameter Penilaian Kerentanan Longsor

Kerentanan Lingkungan

Jenis tumbuhan yang menutupilereng dikawasan rawan tanahlongsorSemakin tinggi tutupan lahan yangdialih fungsi untuk kegiatan budidayamaka semakin rentan terhadap tanahlongsor

Supply kebutuhan airberdasarkan jarak potensilongsor yang dekat dengansungaiSemaikin dekat jarak tanah longsordengan sungai maka semakin rentankualitas supply kebutuhan airnya yangterkena tanah longsor.

Kerentanan Fisik

Tingkat kepadatan bangunan diwilayah rawan tanah longsorSemakin tinggi tingkat kepadatanbangunan maka semakin rentanterhadap tanah longsor

Tingkat distribusi pelayananjaringan listrik yang beradadilereng kawasan longsorSemakin banyak titik jaringan listrikyang berdekatan dengan kawasanrawan longsor, maka semakin rentanterhadap tanah longsor

Panjang jalan yangrusak/tertimbun tanah longsorSemakin rendah ketersediaan jalan,maka semakin rentan terhadap tanahlongsor

Kerentanan Sosial

Tingkat kepadatan pendudukdilokasi rawan longsorSemakin besar kepadatan penduduk,maka semakin rentan terhadap tanahlongsor

Tingginya persentase lajupertumbuhan Penduduk dilokasi rawan longsorSemakin tinggi laju pertumbuhanpenduduk tiap kecamatan makasemakin rentan terhadap tanah longsor

Tingginya jumlah pendudukusia tua-balitaSemakin banyak jumlah penduduk usiatua-balita tiap kecamatan maka semakinrentan terhadap tanah longsor

Kerentanan Ekonomi

Tingginya persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (petani)Semakin besar persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (pertanian) maka semakin rentan terhadap tanah longsor

Tingginya persentase rumah tangga miskin yang berada disekitar kawasan rawan longsorSemakin besar persentase rumah miskin maka semakin tinggi tingkat kerentanan terhadap tanah longsor

Dari tabel diatas diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh/prioritas dalam penentuan tingkat kerentanan terhadap masyarakat dilokasi rentan tanah longsor berdasarkan hasil perhitungan bobot AHP dan kepentingan analisa stakeholder adalah sebagai berikut:1. Jenis tumbuhan yang menutupi lereng dengan bobot (0,565)2. Tingginya persentase rumah tangga miskin dengan bobot (0,515)3. Tingginya persentase rumah tangga yang bekerja disektor rentan (petani) dengan bobot (0,485)4. Supply kebutuhan air berdasarkan jarak potensi longsor yang dekat dengan sungai (bobot 0,435) 5. Tingkat kepadatan bangunan dengan bobot (0,416)6. Tingginya jumlah penduduk usia tua-balita dengan bobot (0,406)7. Tingginya kepadatan penduduk dengan bobot (0,317) 8. Panjang jalan yang rusak/tertimbun tanah longsor (0,307)9. Tingginya persentase laju pertumbuhan penduduk dengan bobot (0,277)10. Tingkat distribusi pelayanan jaringan listrik dengan bobot (0,277)

b. Penentuan zona tingkat kerentanan masyarakat terhadap tanah longsor Berdasarkan hasil analisa overlay weighted sum di wilayah penelitian didapat zona sangat rentan dan tidak rentan pada masing-masing kerentanan (kerentanan lingkungan, kerentanan fisik, kerentanan sosial, kerentanan ekonomi) yang dihasilkan dari faktor-faktor yang mempengaruhi masing-masing kerentanan.a. Kerentanan Lingkungan dengan zona sangat rentan berada di Kecamatan Cangkringan (luas kerentanan 4.799 ha), dan zona tidak rentan di Kecamatan Prambanan dengan luas kerentanan 4.135 ha

b. Kerentanan Fisik dengan zona sangat rentan berada di Kecamatan Kalasan dengan luas kerentanan 3.584 ha, zona tidak rentan berada di Kecamatan Turi dengan luas 4.309 ha dan Kecamatan Cangkringan dan Pakem dengan luas 9.183 ha.

c. Kerentanan Sosial dengan zona sangat rentan berada di Kecamatan Kalasan dengan luas kerentanan 3.584 ha dan zona tidak rentan berada di Kecamatan Cangkringan, Turi dan Pramabanan dengan luas kerentanan 13.492 ha.

d. Kerentanan Ekonomi dengan zona sangat rentan berada di Kecamatan Cangkringan (luas kerentanan 4.799 ha), Kecamatan Turi dan Pakem dengan luas kerentanan 8.693 ha, sedangkan zona tidak rentan berada di Kecamatan Kalasan dengan luas kerentanan 3.584 ha dan Kecamatan Berbah dengan luas kerentanan 2.299 ha.

Berdasarkan hasil overlay kerentanan total wilayah penelitian diperoleh zona sangat rentan berada di Kecamatan Kalasan dengan luas kerentanan 26,76 km2 dari total wilayah penelitian 274,1125 km2. Sedangkan zona tidak rentan berada di Kecamatan Turi dengan luas kerentan 4.309 ha.

c. Berdasarkan Tipologi Pemukiman di Kelurahan Belakang Balok Analisis tipologi permukiman dimaksudkan untuk mengindentifikasi karakteristik keteraturan permukiman sehingga dapat dirumuskan bentuk penanganan yang paling sesuai dengan kondisi permukiman tersebut. Bentuk penanganan permukiman pada masing-masing tipologi dapat berbeda satu dengan lainnya. Analisis tipologi permukiman dilakukan berdasarkan penilaian terhadap lima kategori, yaitu: konsistensi hirarki jalan; kondisi drainase; keteraturan kavling; kemantapan sempadan jalan; dan kemantapan sempadan bangunan. Penilaian terhadap kelima kategori tersebut dilakukan dengan cara observasi lapangan kemudian dilakukan delineasi batas-batas perubahan ciri keteraturan. Hasil analisis menunjukkan kawasan permukiman di Kelurahan Belakang balok memiliki tiga jenis tipologi, yaitu: tipologi teratur; tipologi cukup teratur; dan tipologi tidak teratur. Hasil observasi dan analisis terhadap kelima kriteria yang dinilai akan digunakan sebagai satuan unit lingkungan dalam analisis risiko bencana gerakan tanah. Begitu pula dalam proses perumusan penanganan permukiman, tipologi ini akan menjadi dasar penyusunan sehingga arahan penanganan yang disusun akan menyesuaikan dengan kondisi masing-masing tipologi. Delineasi batas masing-masing tipologi permukiman dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Tipologi PermukimanSumber: Hasil Analisis, 2012

Penilaian terhadap masing-masing kategori untuk menghasilkan delineasi batas-batas tipologi permukiman adalah sebagai berikut. 1. Tipologi Teratur a. Konsistensi Hirarki Jalan Lebar jalan 3-12 m, lebar jalan konsisten pada tiap hirarki b. Kondisi Drainase Lebar drainase 30-60 cm, terbuat dari material padat dengan kondisi tidak retak, tidak ada hambatan pada aliran drainasec. Keteraturan KavlingBentuk kavling cenderung seragam dan memilik luas yang sama atau tidak jauh berbeda satu dengan lainnya d. Kemantapan Sempadan Jalan Tidak ada bangunan maupun aktivitas ekonomi seperti PKL

e. Kemantapan Sempadan Bangunan Tidak ada penambahan bangunan pada sempadan bangunan 2. Tipologi Cukup Teratur a. Konsistensi Hirarki JalanLebar jalan 3-6 m, lebar jalan konsisten pada tiap hirarki b. Kondisi Drainase Lebar drainase 15-30 cm, drainase ada yang terbuat material padat, ada pula hanya berupa tanah beralur. Makin mendekati ngarai, drainase tanah beralur makin banyak ditemui. Demkian pula kondisi drainase material padat, semakin sering ditemukan retak atau pecah. c. Keteraturan Kavling Bentuk kavling cenderung seragam namun memiliki luas berbeda.d. Kemantapan Sempadan Jalan Semakin mendekati ngarai, semakin banyak ditemukan bangunan pada sempadan jalan. e. Pemantapan Sempadan Bangunan Banyak penambahan bangunan, baik berupa perluasan rumah maupun penambahan kios. 3. Tipologi Tidak Teratur a. Konsistensi Hirarki Jalan Lebar jalan umumnya < 3 m, lebar jalan tidak konsisten. Banyak yang hanya berupa jalan setapak b. Kondisi Drainase Drainase hanya berupa tanah beralur dengan lebar tidak menentuc. Keteraturan Kavling Bentuk dan luas kavling cenderung tidak menentu. d. Kemantapan Sempadan Jalan Pada berbagai titik dapat ditemukan bangunan tidak permanene. Kemantapan Sempadan Bangunan Cenderung tidak mempunyai sempadan bangunan dan bangunan rumah berbatasan langsung dengan jalan.d. Berdasarkan Karakteristik Kawasan Rawan Bencana Gerakan Tanah Ngarai SianokAnalisis karakteristik kawasan rawan bencana gerakan tanah ini berguna untuk mempermudah perumusan bentuk penanganan yang paling sesuai dengan kondisi wilayah studi. Analisis ini didahului dengan dengan menetapkan tipologi kawasaan rawan bencana gerakan tanah. 1. Tipologi Kawasan Rawan Bencana Gerakan Tanah Menurut Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Gerakan Tanah, No. 22 tahun 2007 dari Kementerian Pekerjaan Umum, terdapat tiga tipe zona kawasan yang berpotensi longsor, sebagai berikut: a. Zona Tipe A Zona berpotensi longsor pada daerah lereng gunung, lereng pegunungan, lereng bukit, lereng perbukitan, dan tebing sungai dengan kemiringan lereng lebih dari 40%, dengan ketinggian di atas 2000 meter di atas permukaan laut. b. Zona Tipe B Zona berpotensi longsor pada daerah kaki gunung, kaki pegunungan, kaki bukit, kaki perbukitan, dan tebing sungai dengan kemiringan lereng berkisar antara 21% sampai dengan 40%, dengan ketinggian 500 meter sampai dengan 2000 meter di atas permukaan laut.c. Zona Tipe CZona berpotensi longsor pada daerah dataran tinggi, dataran rendah, dataran, tebing sungai, atau lembah sungai dengan kemiringan lereng berkisar antara 0% sampai dengan 20%, dengan ketinggian 0 sampai dengan 500 meter di atas permukaan laut.

Zonasi Tipologi Kawasan Rawan LongsorSumber: Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor, 2007Berdasarkan pedoman tersebut, wilayah studi dapat digolongkan ke dalam zona tipe A. Penggolongan tersebut dikarenakan kawasan permukiman berada dipinggir Ngarai Sianok. Meskipun kawasan permukiman itu sendiri memiliki kemiringan relatif datar, kemiringan tebing Ngarai Sianok yang berbatasan dengan permukiman sebagian besar berada diatas 70%. Atas pertimbangan itulah kawasan permukiman di Kelurahan Belakang Balok digolongkan sebagai kawasan rawan bencana gerakan tanah tipe A.

Ilustrasi Kemiringan dan Ketinggian Wilayah StudiSumber: Hasil Analisis, 2012

1. Analisis Tingkat Bahaya Gerakan TanahAnalisis tingkat bahaya gerakan tanah diperlukan untuk mengetahui potensi bencana yang dihadapi suatu kawasan permukiman. Analisis ini juga merupakan langkah awal untuk mencapai analisis risiko bencana gerakan tanah. Peneliti dapat menggunakan peta bahaya gerakan tanah yang sudah tersedia. Dalam studi ini peneliti menggunakan peta bahaya gerakan tanah dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan telah digunakan di dalam analisis RTRW Kota Bukittinggi 2010-2030. Peta bahaya gerakan tanah menunjukkan bahwa kawasan permukiman di kelurahan ini menghadapi bahaya gerakan tanah dengan tingkat menengah hingga tinggi. Interpretasi dari peta yang telah tersedia merupakan interpretasi pengaruh masing-masing tingkat bahaya tersebut terhadap ketiga tipologi permukiman yang ada dalam wilayah penelitian. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana bahaya gerakan tanah pada masing-masing tingkatannya itu berpengaruh pada tipologi-tipologi permukiman tersebut.Dilakukan pembobotan terhadap masing-masing tingkat bahaya, yaitu 60% untuk tingkat bahaya tinggi dan 40% untuk tingkat bahaya menengah. Kemudian dilakukan perbandingan luas zonasi masing-masing tingkat bahaya terhadap luas masing-masing tipologi permukiman. Hasil perbandingan kemudian dijumlahkan dan dilakukan normalisasi hingga memperoleh indeks kerentanan total di dalam masing-masing tipologi permukiman. Tabel 3. Indeks Bahaya Gerakan Tanah pada Masing- Masing Tipologi PermukimanTipologi Permukiman Persentase Zona Bahaya Tk. Tinggi (%) Persentase Zona Bahaya Tk. Menengah (%) Indeks Bahaya Total

Teratur 21.8765 78.35 0.44465

Cukup Teratur 53.745 46.24 0.50743

Tidak Teratur 67.251 33.2 0.536306

Pengindeksan ini juga dilakukan untuk melakukan standardisasi satuan antara faktor bahaya dan faktor kerentanan yang berbeda satuan agar dapat dijumlahkan. Penjumlahan kedua faktor ini dilakukan untuk menghasilkan risiko bencana gerakan tanah di permukiman. Hasil analisis menunjukkan tipologi permukiman tidak teratur menghadapi bahaya gerakan tanah lebih besar dibandingkan dengan tipologi permukiman lainnya. Hasil analisis ini memperkuat fakta di lapangan bahwa tipologi permukiman tidak teratur yang berada di pinggir Ngarai Sianok menghadapi bahaya yang lebih besar daripada tipologi lainnya yang menjauhi ngarai. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa pada masing-masing tipologi permukiman terdapat bahaya gerakan tanah tingkat tinggi dan menengah. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya mikrozonasi bahaya gerakan tanah di permukiman Belakang Balok. Untuk itu, dilakukan proses tumpang-susun (overlay) GIS antara peta bahaya gerakan tanah dengan peta tipologi permukiman. Hasil analisis GIS menunjukkan terdapat 6 mikrozonasi bahaya gerakan tanah di permukiman. Keenam mikrozonasi bahaya gerakan tanah dapat dilihat pada gambar di bawah ini

Peta Mikrozonasi Bahaya Gerakan Tanah PermukimanSumber: Hasil Analisis, 2012Hal ini dimungkinkan pula dengan kondisi wilayah studi yang cenderung hanya digunakan sebagai tempat tinggal sedangkan tempat bekerja, aktivtias perekonomian seperti pasar tidak ditemukan.Karenanya, aktivitas manusia yang difokuskan dalam penelitian ini adalah aktivitas manusia di dalam permukiman, yaitu aktivitas rumah tangga. Aktivitas rumah tangga yang dimaksud adalah aktivitas yang dapat memperngaruhi kestabilan tanah dan tebing di wilayah studi, yaitu utamanya pembuangan limbah rumah tangga, maupun aktivitas pengolahan tanah berupa kolam dan permakaman. Kemudian digunakan asumsi bahwa semakin banyak jumlah penduduk semakin beragam pula aktivitas yang mungkin terjadi dalam suatu permukiman. Masing-masing faktor kerentanan kemudian diberikan bobot sebagai berikut. Tabel 4. Karakteristik Bahaya Gerakan Tanah Pada Tiap MikrozonasiFaktor KerentananBobot FaktorIndikatorBobot Indikator

Fisik50 %Jaringan Jalan40%

Bangunan Rumah60%

Aktifitas ManusiaCukup TeraturJumlah Penduduk100%

Sumber: Hasil Analisis, 2012

a. Kerentanan Fisik Identifikasi kerentanan fisik di wilayah studi dilakukan dengan menganalisis indikator jaringan jalan dan jumlah bangunan rumah. Pada masing-masing indikator tersebut, dilakukan perbandingan panjang jaringan jalan pada tiap tipologi permukiman dengan panjang jaringan jalan total kelurahan. Begitu pula dengan jumlah bangunan rumah pada masing-masing tipologi dibandingkan dengan jumlah bangunan rumah total kelurahan. Proses analisis ini dilakukan dengan bantuan GIS.Dari hasil analisis kemudian diperoleh persentase masing-masing indikator tersebut pada tiap tipologi permukiman. Kemudian, masing-masing indikator dikalikan dengan bobot indikator yang telah ditentukan sebelumnya. Hasil dari perkalian masing-masing indikator kemudian dijumlahkan dan dinormalisasi hingga mendapat indeks kerentanan fisik. Hasil analisis ini memunculkan rentang nilai indeks kerentanan. Dengan menggunakan bantuan GIS, ditentukanlah tiga tingkat kerentanan, yaitu kerentanan rendah, kerentanan menengah dan kerentanan tinggi. Tabel 5. Kerentanan Fisik Permukiman di Kelurahan Belakang BalokTipologi Permukiman Persentase Jar. Jalan (%) Persentase Jumlah Bangunan dan Rumah (%) Indeks Kerentanan Fisik

Teratur 32.57 20.24 0.12586

Cukup Teratur 38.3 36.8 0.187

Tidak Teratur 29.12 42.98 0.18718

Hasil analisis ini juga perlu ditampilkan dalam bentuk peta kerentanan fisik dengan bantuan software GIS. b. Kerentanan Aktivitas Manusia Indikator kerentanan aktivitas manusia dalam studi ini adalah jumlah penduduk. Asumsi yang digunakan adalah jumlah pendudk menggambarkan banyak aktivitas manusia di dalam suatu kawasan permukiman. Aktivitas yang dimaksud adalah aktivitas rumah tangga. Dalam penelitian ini, aktivitas rumah tangga dianggap sangat memperngaruhi kestabilan tebing Ngarai Sianok. Selanjutnya dihitung persentase jumlah penduduk dalam tiap tipologi permukiman sehingga menghasilkan indeks kerentanan aktivitas manusia total. Tabel 6. Kerentanan Fisik Permukiman di Kelurahan Belakang BalokTipologi Permukiman Jumlah Penduduk (Jiwa) Penduduk Total (Jiwa) Persentase Jumlah Penduduk (%) Indeks Kerentanan Aktivitas Manusia

Teratur 490 2420 20.25 0.10125

Cukup Teratur 890 2420 36.78 0.1839

Tidak Teratur 1040 2420 49.975 0.214875

Sumber: Hasil Analisis, 2012Hasil analisis ini juga perlu ditampilkan dalam bentuk peta kerentanan fisik dengan bantuan software GIS. Dengan proses yang sama dengan analisis kerentanan fisik, hasil rentang indeks kemudian dibagi kedalam tiga tingkatan, yaitu kerentanan rendah, menengah dan tinggi dengan bantuan GIS.

c. Identifikasi Kerentanan Total Hasil analisisi kerentanan fisik dan kerentanan aktivitas manusia kemudian dijumlahkan hingga memperoleh indeks kerentanan total pada Tabel 5. Kemudian ditetapkan tiga tingkat kerentanan, yaitu rendah, menengah dan tinggi dengan bantuan GIS. Tabel 7. Kerentanan Total Kawasan Permukiman di Kelurahan Belakang BalokTipologi Permukiman Indeks Kerentanan Fisik Indeks Kerentanan Aktivitas Manusia Indeks Kerentanan Total

Teratur 0.12586 0.10125 0.22711

Cukup Teratur 0.187 0.1839 0.3709

Tidak Teratur 0.18718 0.214875 0.402055

Sumber: Hasil Analisis, 2012Hasil analisis ini juga perlu ditampilkan dalam bentuk peta kerentanan fisik dengan bantuan software GIS agar dapat dilakukan proses overlay dengan peta bahaya gerakan tanah untuk menghasilkan peta risiko. d. Identifikasi Risiko Bencana Gerakan Tanah Indeks bahaya gerakan tanah total dan indeks kerentanan kawasan permukiman total yang telah dihitung pada proses sebelumnya dijumlahkan sehingga menghasilkan indeks dan tingkat risiko pada masing-masing mikrozona permukiman. Penilaian risiko ini juga dilakukan dengan bantuan software GIS. Kemudian hasil analisis pada tahap ini juga ditampilkan dalam bentuk peta risiko bencana gerakan tanah pada Gambar 5. Tabel penilaian risiko bencana gerakan tanah dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.Tabel 8. Penilaian Risiko Bencana Gerakan Tanah Kawasan PemukimanTipologiPemukimanMikrozonaTingkatBahayaIndeksBahayaTingkat KerentananIndeks KerentananIndeksRisikoTingkatRisiko

Teratur1Tinggi0.13125Rendah0.35836Tinggi

2Menengah0.31340.227110.54051Menengah

Cukup Teratur3Tinggi0.32247Menengah0.37090.69337Tinggi

4Menengah0.184960.55586Menengah

Tidak Teratur5Tinggi0.403506Tinggi0.4020550.805561Tinggi

6Menegah0.13280.534855Menengah

Sumber: Hasil Analisis, 2012

Peran Risiko Bencana Gerakan Tanah PemukimanSumber: Hasil Analisis, 2012Proses identifikasi risiko bencana gerakan tanah di permukiman ini akan menjadi dasar penyusunan penanganan permukiman. Sebelumnya akan ditetapkan prinsip penanganan permukiman terlebih dahulu. e. Prinsip Penanganan Permukiman di Kawasan Rawan Bencana Gerakan Tanah Ngarai Sianok Empat prinsip dalam penanganan permukiman di kawasan rawan bencana gerakan tanah Ngarai Sianok adalah:1. Peningkatan Kualitas Lingkungan Kawasan Permukiman 2. Melibatkan Masyarakat 3. Berkelanjutan 4. Rasional

f. Arahan Penanganan Permukiman di Kawasan Rawan Bencana Gerakan Tanah Ngarai Sianok 1. Matriks Arahan Penanganan Permukiman Matriks arahan penanganan ini disusun dengan menentukan konsep penanganan terlebih dahulu kemudian menentukan rekayasa teknik yang mungkin dilakukan serta pengaturan vegetasi. Matriks arahan penanganan ini dapat dilihat pada Tabel 9.

2. Relevansi Arahan Penanganan Terhadap Bencana Gempa Bumi Dalam studi ini gempa bumi diposisikan sebagai penyebab terjadinya gerakan tanah di permukiman, selain karena faktor aktivitas manusia. Karenanya arahan penanganan permukiman disusun dengan mengupayakan bentuk-bentuk penanganan yang juga relevan dengan kondisi wilayah studi yang menghadapi ancaman gempa bumi. Arahan penanganan ini pada akhirnya memerlukan studi lanjutan yang lebih mendalam untuk mengetahui kekuatan dan ketahanan konstruksi yang dianjurkan terhadap gempa bumi. Untuk itu diperlukan studi mendalam dari bidang kelimuan geologi dan sipil konstruksi.

Tabel 9. Arahan Penanganan Permukiman di Sekitar Ngarai Sianok Kelurahan Belakang BalokMikrozonaArahan Penanganan

PermukimanRekayasa TeknisVegetasi

1Dipertahankan sesuai kondisi saat ini namun dikendalikan limbah rumah tangganya Rekayasa teknik difokuskan pada peningkatan kondisi drainase pada titik-titik tertentu yang kurang baik Bila memungkinkan dilakukan penanaman pohon dan vegetasi lainnya untuk menguatkan kestabilan lereng

2Dipertahankan sesuai kondisi saat ini Dipetahankan sesuai kondisi saat ini Bila memungkinkan dilakukan penanaman pohon dan vegetasi lainnya untuk menguatkan kestabilan lereng

3Diizinkan dengan beberapa rekomendasi: Tidak diizinkan melakukan penambahan atau perluasan kavling maupun bangunan, khususnya dengan konstruksi yang dapat menambah beban lereng saat ini, seperti beton, dll. Mengurangi konstruksi yang menyebabkan pembebanan berlebihan pada lereng. Pengurangan konstruksi yang membebani lereng utamanya diarahkan pada rumah-rumah yang memiliki kavling besar. Konstruksi yang lebih dianjurkan adalah konstruksi dari kayu. Menghentikan kegiatan pengolahan tanah berupa pembuatan kolam. Melakukan kegiatan penggalian tanah lereng.

Rekayasa teknik difokuskan untuk memperbaiki kondisi drainase yang retak dan masih terbuat dari tanah Perbaikan kondisi jalan pada titik-titik tertentu yang rusak dan berlubang. Pembongkaran bangunan, baik permanen maupun tidak permanen yang terdapat pada badan jalan sehingga tidak mengganggu sirkulasi.

Pohon-pohon asli (native) dan pohon-pohon yang berakar tunggang,diupayakan untuk dipertahankan pada lereng, guna memperkuat ikatan antar butir tanah pada lereng, dan sekaligus menjaga keseimbangan sistem hidrologi kawasan. Melakukan penanaman vegetasi yang sesuai untuk memperkuat lereng. Pemilihan vegetasi sebaiknya bukan merupakan tanaman yang dapat memberikan beban berlebihan pada lereng. Rumah dengan kavling besar diwajibkan menanam vegetasi yang sesuai untuk menambah kestabilan lereng namun tidak memberikan beban berlebihan pada lereng.

4 Relokasi ke lokasi yang lebih aman dan direncanakan sebagaiperuntukan permukiman Dikonversi menjadi ruang terbuka hijau

Rekayasa teknik utamanya dilakukan dengan memperkuat kaki tebing Ngarai Sianok dari sebelah Bawah. Hal ini dilakukan dengan: o Membuat bangunan penahan material longsor o Membuat bangunan penguat tebing. o Melandaikan tebing yang curam dengan membuat trap-trap terasering Mengalihkan muara jalur drainase dari tebing Ngarai Sianok. Menggunakan konstruksi yang tidak membebani secara berlebihan untuk pembuatan ruang terbuka hijau setelah proses resettlement.

Menanam vegetasi dengan kriteria: o Vegetasi berakar dalam, pertumbuhan cepat dan tajuk tidak besar dengan kapasitas evapotranspirasi tinggi misalnya Eucalyptus o penanaman vegetasi tanaman keras yang ringan dengan perakaran intersif dan dalam, seperti sengon, lamtoro o di bagian kaki/lereng bawah ditanami jenis pohon berakar dan batang kuat seperti jati o penanaman rumput pada tebing-tebing jalan, terutama pada tebing-tebing baru

5 Relokasi ke lokasi yang lebih aman dan direncanakan sebagaiperuntukan permukiman

Rekayasa teknik utamanya dilakukan dengan memperkuat kaki tebing Ngarai Sianok dari sebelah Bawah. Hal ini dilakukan dengan

Menanam vegetasi dengan kriteria: o Vegetasi berakar dalam, pertumbuhan cepat dan tajuk tidak besar dengan kapasitas evapotranspirasi tinggi misalnya Eucalyptus

Dikonversi menjadi ruang terbuka hijau

o Membuat bangunan penahan material longsor o Membuat bangunan penguat tebing. o Melandaikan tebing yang curam dengan membuat trap-trap terasering. Mengalihkan muara jalur drainase dari tebing Ngarai Sianok. Menggunakan konstruksi yang tidak membebani secara berlebihan untuk pembuatan ruang terbuka hijau setelah proses resettlement.

o penanaman vegetasi tanaman keras yang ringan dengan perakaran intersif dan dalam, seperti sengon, lamtoro o di bagian kaki/lereng bawah ditanami jenis pohon berakar dan batang kuat seperti jati o penanaman rumput pada tebing-tebing jalan, terutama pada tebing-tebing baru.

g. Analisis Bidang Gelincir Pemicu Tanah Longsor di Desa Pablengan, Kecamatan MatesihHasil pada pengolahan lintasan pertama, menunjukkan bahwa bidang gelincir dengan kedalaman dari permukaan bervariasi dari 1,7 meter - 17 meter yang terdeteksi diduga lepisan batuan lapuk/berupa lapisan lempung basah sampai pasir lempungan yang dapat menyimpan kandungan air. Jika hujan/curah hujan yang tinggi, kemungkinan air akan terakumulasi di lapisan tersebut dan bila hal itu terjadi akan sangat berbahaya karena secara grativasi akan memperberat gaya ke bawah yang sewaktu-waktu dapat memicu adanya tanah longsor. Pola bidang gelincir yang berbentuk lengkung gerakan longsoran jenis longsoran rotasi.Hasil pengolahan yang kedua menunjukkan bahwa bidang gelincir tanah longsor terdeteksi dengan ketebalan kurang lebih 2 meter dan berada pada kedalaman mulai 8,9 meter sampai 16,4 meter selain itu juga terdeteksi material yang diduga material pasir sampai breksi. Material ini dapat menyimpan kandungan air sehingga air hujan melalui retakan akan terakumulasi pada lapisan ini, sehingga akan menambah beban pada gaya penahan, ini akan berbahaya jika curah hujan tinggi dan akan masuk ke dalam batuan akuifer terebut sehingga membebani lereng yang akan memicu terjadinya tanah longsor. Tipe longsoran yang terjadi termasuk dalam jenis longsoran translasi.

BAB IVKESIMPULAN

4.1 Berdasarkan hasil penelitian terhadap tindakan penanganan permukiman di kawasan rawan bencana gerakan tanah Ngarai Sianok di Kelurahan Belakang Balok, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Dalam merumuskan arahan tindakan penanganan permukiman di kawasan rawan bencana gerakan tanah Ngarai Sianok, perlu ditetapkan kriteria dan komponen terlebih dahulu. Penentuan kriteria dan komponen tersebut dilakukan berdasarkan kajian literatur dan masukan pakar. Kriteria dan komponen tersebut adalah karakteristik kawasan permukiman yang diteliti, karakteristik kawasan rawan bencana gerakan tanah, serta kemungkinan bentuk-bentuk penanganan permukiman yang sesuai 2. Wilayah studi memiliki dua jenis tingkat bahaya yang menyebabkan terbentuknya mikrozonasi bahaya dalam tiap-tiap tipologi permukiman yang ada di kawasan ini. 3. Secara umum, bentuk penanganan permukiman terdiri dari: a. relokasi b. penguatan tebing melalui rekayasa teknik c. penguatan tebing melalui pemilihan vegetasi d. pembuatan RTH 4.2 Berdasarkan hasil analisis di dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor berpengaruh terhadap tingkat kerentanan masyarakat dilokasi rawan tanah longsor yaitu: faktor jenis tumbuhan yang menutupi lereng, faktor supply kebutuhan air berdasarkan jarak titik longsor yang dekat dengan sungai, faktor tingkat kepadatan bangunan, faktor panjang jalan yang rusak/tertimbun tanah longsor, tingkat distribusi pelayanan jaringan listrik di kawasan rawan longsor, tingkat kepadatan penduduk dilokasi longsor, tingginya persentase laju pertumbuhan penduduk dilokasi longsor, tingginya jumlah penduduk usia tua-balita, tingginya persentase rumah tangga bekerja disektor rentan, dan tingginya persentase rumah tangga miskin.Dari hasil faktor tersebut didapatkan zona kerentanan tanah longsor di kabupaten Sleman pada zona sangat rentan berada di Kecamatan Kalasan luas kerentanan 26,76 km2 dari total wilayah penelitian 274,1125 km2. Sedangakan zona kerentanan lingkungan dengan zona sangat rentan berada di Kecamatan Cangkringan (luas kerentanan 4.799 ha), zona kerentanan fisik dengan zona sangat rentan berada di Kecamatan Kalasan dengan luas kerentanan 3.584 ha, zona kerentanan sosial dengan zona sangat rentan berada di Kecamatan Kalasan dengan luas kerentanan 3.584 ha, dan zona kerentanan ekonomi dengan zona sangat rentan berada di Kecamatan Cangkringan (luas kerentanan 4.799 ha), Kecamatan Turi dan Pakem dengan luas kerentanan 8.693 ha.4.3 Dari hasil yang diperoleh untuk dua lintasan terdeteksi litologi batuan berupa lempung, lempung basah, batuan lempung pasiran sampai pasir lempungan dan batuan pasir sampai breksi. Bidang gelincir pada kedua lintasan berupa batuan lempung basah, pada lintasan pertama terdeteksi pada kedalaman antara 1,7 meter 17 meter, sedangkan lintasan dua terdeteksi pada kedalaman 8,9 meter 16,4 meter. Lapisan batuan yang diduga menyimpan kandungan air atau material akan longsor berupa batuan lempung pasir sampai pasir lempungan dan batuan pasir sampai breksi, yang letaknya diatas bidang gelincir, dimana batuan ini yang berpotensi memicu tanah longsor.

REFERENSI

Imanda, A. 2013. Penanganan Pemukiman di Kawasan Rawan Bencana Gerakan Tanah Studi Kasus Pemukiman Sekitar Ngarai Sianok di Kelurahan Belakang Balok Kota Bukittinggi. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 24 No. 2, 141-156.Destriani, N, Pamungkas, A. 2013. Identifikasi Daerah Kawasan Rentan Tanah Longsor dalam KSN Gunung Merapi di Kabupaten Sleman. Jurnal Teknik POMITS Vol. 2, No. 2, ISSN: 2337-3539, C-134C-138.Darsono, dkk. 2012. Identifikasi Bidang Gelincir Pemicu Bencana Tanah Longsor dengan Metode Resistifitas 2 Dimensi di Desa Pablengan. Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar. Indonesian Journal of Applied Physics Vol. 2, No. 1, ISSN: 2089-0133, 51-66.