sosek kel 4

Upload: aditia-putra

Post on 12-Jul-2015

104 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

INDONESIA DALAM KAJIAN SARJANA JEPANG(Perubahan Sosial-Ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia) Dosen : Drs. Wakidi, M.Hum

Oleh : Kelompok 4

Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung 2011

Kelompok : 4 Anggota : Aurora Nandia F. Ayu Lukita Tiana Eko Susanto Rena Prasesti Vivi Hardiana Yudi Putra A. Yuli Tri Larasati (0913033028) (0913033030) (0913033038) (0913033060) (0913033068) (0913033070) (0913033098)

PrakataPuji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmatnya kami dapat menyelesaikan makalah berjudul Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang (Perubahan Sosial-Ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia yang mengutip judul dari buku aslinya.

Makalah ini berisikan tentang tulisan-tulisan asing tentang negeri dan masyarakat Indonesia dalam ranah kehidupan sosial-ekonomi. Dengan melihat isi kumpulan tulisan dari buku dengan judul yang telah disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa, pertama, pada saat ini Jawa dan Minangkabau adalah daerah dan suku bangsa yang paling menarik perhatian para sarjana Jepang; kedua, di samping masalah-masalah sosial-ekonomi, khususnya di daerah pedesaan, tampaknya politik dan kebudayaan merupakan aspek-aspek tematis yang menjadi pokok perhatian; ketiga, bila dilihat dari sudut kronologi maka zaman kolonial, sejak abad ke-19, cukup disukai.

Dengan dituliskannya makalah ini, kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak Drs. Wakidi, M.Hum sebagai dosen pengampu dan rekan-rekan kelompok yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Akhir kata, kami penulis mohon maaf apabila ada kesalahan atau kekeliruan dalam penyusunan makalah ini. Kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini, akan kami terima dengan senang hati.

Bandar Lampung, 24 Oktober 2011

Penyusun

Daftar IsiPrakata .......................................................................................................................... Daftar Isi ....................................................................................................................... Pengantar ....................................................................................................................... i ii iii

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ......................................................................................... I.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... I.3 Tujuan ...................................................................................................................... 6 7 7

BAB II PEMBAHASAN BAGIAN I PERUBAHAN SOSIAL-EKONOMI DI INDONESIA ABAD XIX DAN XX Bab I Bab II Bab III Bab IV Sejarah Ekonomi Masyarakat Pedesaan Jawa : Suatu Interpretasi Kembali .. Perkebunan Tebu dan Masyarakat Pedesaan Jawa ....................................... Rantau Pariaman : Dunia Saudagar Pesisir Minangkabau Abad XIX .......... Catatan Mengenai Sejarah Industri Tekstil di Sumatera Barat ..................... Masa Awal Pembentukan Perhimpunan Indonesia, Kegiatan Mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda, 1916-1917 ................................... Bab VI Satria vs Pandita, Sebuah Debat Dalam Mencari Identitas .......................... 15 17 18 8 10 12 13

BAGIAN II BERBAGAI ASPEK NASIONALISME INDONESIA Bab V

Bab VII Perjuangan Taman Siswa Dalam Pendidikan Nasional ............................... Bab VIII Pemberontakan Partai Komunis Indonesia dan Pengaruhnya Atas Jemaah Haji 1926-1927 ....................................................................... Analisis Data : Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI .................................

22 25

BAB III PENUTUP III.1 Kesimpulan .......................................................................................................... III.2 Saran ..................................................................................................................... 27 27

Daftar Pustaka ..............................................................................................................

v

PENGANTARJika tidak disebabkan hal-hal lain, maka tulisan-tulisan asing tentang negeri dan masyarakat kita sangat menarik, bahkan kadang-kadang bermanfaat, oleh karena dua hal. Pertama, mereka acap kali menanyakan hal-hal yang bagi kita sudah lumrah, yang telah diterima sebagaimana adanya saja. Karena pertanyaan itu diajukan, maka penelitian untuk mencari jawaban pun dilakukan. Dalam suasana pemikiran inilah kumpulan tulisan dari sarjana-sarjana Jepang ini diterbitkan. Prof. Akira Nagazumi yang menjadi editor kumpulan tulisan ini. Dengan melihat isi kumpulan tulisan ini, dapat dikatakan bahwa, pertama, pada saat ini Jawa dan Minangkabau adalah daerah dan suku bangsa yang paling menarik perhatian para sarjana Jepang; kedua, disamping masalah-masalah sosial ekonomi, khususnya di daerah pedesaan, tampaknya politik dan kebudayaan merupakan aspek-aspek tematis yang menjadi pokok perhatian; ketiga, bila dilihat dari sudut kronologis maka zaman kolonial, sejak abad ke 19 cukup disukai. Setiap tulisan bukan hanya bisa membangkitkan perhatian pada hal-hal tertentu yang dikemukakan para penulis, tetapi juga memperlihatkan kesungguhan dalam pengerjaan ilmiah. Sudah barang tentu dari keragaman perhatian dan masalah yang diajukan ini tidaklah bisa diharapkan terdapatnya suatu uraian yang utuh tentang aspek tertentu dari Sejarah Indonesia Modern. Dampak agraris barulah salah satu aspek saja dari sistem kolonial. Kisah klasik tentang hancurnya industri tekstil India karena membanjirnya tekstil murah dari Inggris. Hal yang sama juga dialami tekstil rakyat yang lain, yaitu Silungkang.Tetapi memang, suasana kolonial menghasilkan berbagai bentuk reaksi yang tak selalu konsisten. Dalam konteks inilah bisa pula dimengerti perdebatan antara Tjipto Mangoenkoesoemo dengan Soetatmo Soertjokoesoemo. Masalahnya bukanlah soal baik dan buruk, dan bukan pula masalah progresif dan konservatif, tetapi suatu pranata sosial dan sikap hidup yang tidak sesuai perlu dirumuskan di saat cengkeraman kolonialisme dirasakan makin mengeras. Ada saatnya K.H. Dewantara menghadapi situasi kolonial secara konfrontatif, yaitu ketika ia mendirikan partai politik dan menulis esei yang sangat tajam. Barangkali tak perlu dibuktikan lagi, bahwa K.H. Dewantara mulai merumuskan pemecahannya terhadap masalah identitas dan kemajuan dalam konteks kolonial ketika ia berada di negeri Belanda.

Penulis Jepang tersebut yaitu Prof. Akira Nagazumi, Hiroyoshi Kano, Uemera Yasuo, Akira Oki, Tsuyosi Kato, Takashi Shiraishi, Kenji Tsuchiya. Dan kumpulan tulisan sarjanasarjana Jepang ini tak lebih daripada secuil simfoni tersebut, yang dibunyikan sesuai dengan kesadaran musik sejarah dan ketrampilan teknis yang dibunyikan sesuai dengan kesadaran musik sejarah dan ketrampilan teknis yang dipunyai para penulisnya.

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Sejarah studi Jepang tentang Indonesia boleh dikatakan telah dilakukan dalam kurun waktu yang lama. Walaupun sejak tahun-tahun awal Zaman Meiji semakin banyak orang Jepang bermukim di Indonesia. Terdiri dari berbagai profesi, termasuk pelacuran dan germo yang tidak disertakan dalam kajiannya. Baru petengahan 1930, pemerintah Jepang merasa tertarik. Salah satunya dapat dilihat dalam memoar Almarhum Ahmad Subardjo Djojoadisurjo, S.H., yang ditulis 40 tahun kemudian. Bagaimanapun, koleksi yang menakjubkan dari karya-karya tentang Indonesia tidak berarti harus disusul dengan pengembangan pengkajian. Sebelum tahun 1945, mata pelajaran sejarah Asia di atas tingkat pendidikan sekolah menengah di Jepang, terbanyak tentang sejarah Tiongkok yang kadang-kadang mendapat tambahan sejarah India, sedangkan negerinegeri lain sedikit dan tidak ada tentang sejarah Asia Tenggara. Universitas Kekaisaran Taihoko di Taiwan, yang waktu itu berada dalam kekuasaan kolonial Jepang, adalah satusatunya lembaga yang memberikan mata pelajaran sejarah Asia tenggara. Bahkan dalam hal ini pun guru besar satu-satunya yang ada di sana lebih tertarik pada sejarah penjajahan Belanda daripada sejarah Indonesia. Dengan demikian pengkajian mengenai Indonesia kontemporer benar-benar dilalaikan. Dalam waktu singkat kegairahan pada masa perang terhadap judul apa pun yang menyebutkan kata Asia berbalik ke arah yang bertentangan, dan orang Jepang menutup telinganya terhadap pengkajian Asia Tenggara. Keadaan tanpa arus informasi dari dunia luar terus berlangsung dan bertambah buruk, karena Jepang sudah terputus oleh Asia Tenggara. Keadaan isolasi budaya agak berkurang pada akhir tahun 1940-an, namun terdapat perubahan sepanjang tahun 1950-an. Dalam isolasi budaya ini apa yang masih bisa dilakukan oleh para ahli Jepang mengenai Asia Tenggara ialah data tersedia yang sudah mereka kumpulkan, dan lebih penting lagi, mempertimbangkan prospek pengkajian Asia Tenggara untuk masa depan. Pengkajian makalah ini dibagi ke dalam dua golongan utama: 1) Perubahan SosialEkonomi di Indonesia Selama Abad XIX dan XX, dan 2) Berbagai Aspek nasionalisme Indonesia Sebelum Perang.

Pengkajian orang Jepang mengenai sejarah Indonesia tidak selalu menyeluruh dan juga tidak berimbang. Banyak sekali ahli dalam bidang sejarah Jawa dan Minangkabau, tetapi hanya sedikit di bidang-bidang lain mengenai Indonesia. Beberapa sejarawan lebih banyak menelusuri masa kini daripada menyelidiki masa silam, sedangkan beberapa antropolog menelusuri masa lampau dalam usaha mencari akar historis suatu masyarakat.

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan di atas, dapat diambil suatu perumusan masalah sebagai berikut:1. Bagaimanakah bentuk perubahan sosial-ekonomi di Indonesia pada abad XIX dan

XX? 2. Hal-hal apa sajakah yang mencakup berbagai aspek nasionalisme Indonesia? 3. Bagaimanakah analisis data mengenai perekonomian Indonesia menjelang abad XXI?

I.3 Tujuan

Tujuan penyusunan paper ini adalah:1. Untuk mengetahui bentuk perubahan sosial-ekonomi di Indonesia pada abad XIX

dan XX. 2. Untuk mengetahui hal-hal yang mencakup berbagai aspek nasionalisme Indonesia. 3. Untuk mengetahui analisis data mengenai perekonomian Indonesia menjelang abad XXI.

BAB II PEMBAHASANBAGIAN I PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI DI INDONESIA PADA ABAD XIX DAN XX

BAB I Sejarah Ekonomi Masyarakat Pedesaan Jawa : Suatu Interpretasi Kembali

Karangan ini berniat mengetengahkan pandangan baru untuk menganalisa perubahan historis di pedesan Jawa dari abad XIX hingga tegaknya dan runtuhnya pemerintahan kolonial.

I. Kerangka Konsep Geertz Involusi pertanian dan kemiskinan berasama adalah dua konsep dasar dalam kerangka teori yang digunakan Geertz untuk menelaskan sejarah perekonomian di Jawa, dan Beliau juga mengembangkan dua jalur argumen , pertama ialah argumen ekologis menyamgkut sawah yang dipertentangkan denagn ladang atau ladang tebang bakar, dan yang kedua adalah argumen ekonomi ganda , argumen ini bahwa sektor asing dan sektor pribumi berdiri terpisah dari sau sama lain, dan eduanya sama-sama hidup selam masa Pemerintahan Kolonial belanda, yang akhirnya menyebabkan adanya sturuktur ganda dalam perekonomian Indonesia. Dalam mengambangkan ekologis Geertz membagi Indonesia ke dalam dua wilayah geografis yakni Indonesia dalam meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat Laut, Bali Selatan dan Lombak Barat, dan Indonesia luar yang terdiri dari pulau-pulau luar Jawa termaksud Jawa Barat Daya. Kedua bagian ini jelas berbeda dilihat dari kepadatan penduduk yaitu padat yang pertama dan renggang pada bagian yang kedua, penggunaan tanah yaitu intensif pada yang pertama dan ekstensif pada yang kedua , dan produktifitas tiap bidang tanah yaitu tinggi yang pertama dan rendah pada yang ke dua. Semua perbedaan ini diterangkan berdasarkan ekosistem dalam produksi petanian yaitu sistem sawah. Kendatipun ada peristiwa besar yaitu peranng dunia ke II , Greetz melihat ada kemerosotan perekonomian orang Jawa khususnya dalam sekttor perkebunan , lebih lanjut menyatakan bahwa involusi menjadi semakin meningkat dan menyebar luas.

II. Sebuah Tinjaun Kritis Terhadap Teori Geertz Involusi pertanian tidak menghasilkan kelas petani komersial yang berarti di Jawa tak dapat dibenarkan, menurut sensus pertanian tahun 1963 setiap orang dari 7,8 uta petani Jawa rata-rata menguasai 0,7 ha tanah. jika ditarik garis besar 0,5 ha, maka gambaran distribusi tanah menurut jenjang lapisan menunjukan bahwa 3,8 juta petani di bawah garis batas rataratanya hanya menguasai 1,2 ha, sedangkan 4 juta petani dibawah garis batas 0,5 ha rataratanya hanya menguasai 0,27 ha. Lapisan terbawah terdiri dari 4 juta keluarga bukan petani yang memilki kurang dari 0,1 ha atau sama sekali tidak memiliki tanah. Lapisan teratas (32%) adalah kelas petani komersial yang mau mengeluarkan uang untuk masukan tenaga buruh dan sejak masa revolusi pupuk, yang dimulai tahun 1960-an juga untuk masukan modern. Petani gurem yang luas tanahnya di bawah 0,5 ha merupakan lapisan petani marjinal yang jauh tertinggal karena kurangnya modal dan tidak bisa melepaskan diri dari ikatannya pada sebagian besar petani lapisan atas. Lapisan terbawah tentu sudah bertambah banyak lagi pada tahun 1975 dibanding dengan jumlah 4 juta tahun 1963 inilah lapisan proletar dan setengah proletar di pedesaan yang terutama tergantung pada berburuh upahan atau beragam usaha tani bermodal kecil. Collier menyimpulkan bahwa semuapun perubahan dalam peraktek pertanian dalam praktek pertanian dan panciutan tenaga yang dipakai sehubungan dengan perubahanperubahan itu memberikan bukti-bukti yang cukup bahwa sesuatu yang lain dari proses evolusi telah menjadi penggerak utama dalam alokasi dan pembagian fungsi-fungsi produksi pada tingkat usaha tani, konsep revolusi mengandalkan adanya seperangkat mekanisme sosial dan norma-norma hidup bersama yang membuat keperluan orang banyak lebih diutamakan dari pada keperluan segelintir orang. Namun bukti-bukti di atas menunjukan bahwa mekanisme ini sedang terdesak dan bahwa keseimbangan yang dikira ada antara persediaan dan penyerapan tenaga kerja sedang digantikan oleh suatu keadaan yang memberikan kemungkinan kepada nilai-nilai efesiensi dan laba untuk lebih banyak berperan dalam kegiatan produksi pertanian.

Mencari Prespektif Baru Ada kemungkinan bahwa kemungkinan perubahan-perubahan itu sudah berlangsung di beberapa daerah jauh sebelum Greetz mengetengahkan teori involusinya dan mengingat keadaan historialnya dalam suatu wilayah tertentu dan mengingat kegiatan dengan involusi dan atau lawan kutubnya yakni sistem pertanian yang lebih komersial, mempunyai pengaruh

yang berbeda atas sifat desa dan masyarakatnya maka boleh di konsep involusi tak pernah menggambarkan secara benar-benar memadai proses historis yang kaya dan beragam di daerah di Jawa dan sudah pasti bahwa penelitian-penelitian selanjutnya mulai sekarang harus melepaskan konsep involus dalam uasaha memahami perekonomian beras yang tampaknya memperlihatkan suatu kecendrungan kuat ke arah pemikiran dan bukan penyerapan tenaga kerja yang membengkak.

BAB II Perkebunan Tebu Dan Masyarakat Pedesaan Di Jawa

Pasal 1 suikerwet (indische Staatsblad 1870, no 117) menetapkan bahwa penanaman tebu secar paksa di Jawa harus berangsur-angsur dikurangi mulai tahun 1879 dan dihapuskan seluruhnya pada tahun 1891. Mulai darinitu penanaman tebu diserahkan pengusaha perkebunan swasta Belanda, dan harus dilakukan berdasarkan sistem penanaman bebas yaitu dengan menyewa sewa penduduk dan menggunakan buruh upah-upahan. Oleh karena itu seakan akhir abad XIX sampai permulaan abad XX perkembangan tebu berkembang dengan pesatnya terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan gula merupakan eksploitasi yang utama di Jawa.

I. Penanaman Tebu Di Perkebunan Jawa

1. Cara Perkebunan Tebu Yaitu dengan Undang-udang penyewaan tanah (indische Staatsblad 1870, no 117) perjanjian itu terjadi dengan sekelompok yang tinggal di sebuah desa yang menggambungkan tanah mereka, atau berhasil membungkamnya, dan bertanggung jawab secara bersama dan kepala desa menjadi saksi. Kontrak yang berisi daftar semua yang berminat menyewakan dan bagian masingmasing disewakan serta harga sewanya, bila tidak ada yang keberatan maka dilakukanlah pembayaran, bergantian setiap orang yang berkepentingan dipanggil ke depan dan bagiannya dibayarkan. Hal ini dilakukan dengan menyentuh jari-jari kerani kemudian dibubuhi tanda tanggan silang di bawah harus menadatangani kontrak, semua itu adalah sandiwara kepala desa. Keuntungan yang paling besar diperoleh meraka zang menanam atas kemaun sendiri dan kemudian menjualnya dan mereka yang menanam tebu dengan kontrak. Tetapi mereka

yang hanya menyewakan sawah mereka kepada pemilik pabrik akan mendapat rugi dan mereka hanya melakukannya karena butuh uang tunai.

2. Sistem pembudidayaan tebu dan masalah upah buruh

Ciri khas penanaman tebu atau pembudidayaan tebu di perkebunan di Jawa itu adalah berusaha mendapatkan panen berlimpah per arealnya dengan cara menggunakan banyak tenaga buruh serta pengelolaan usaha pembudidayaan secara hati-hati. Harga padi rata-rata adalah f.2,0-2,75 perpikul di Surabaya dan para petani mendapat rata-rata sebesar f.140 dari sawah mereka dan tidak cukup untuk mempertahankan tingkat hidup yang layak jadi penghasilan sampingan diperlukan, dan dapat dikatakan bahwa upah harian buruh sangat rendah. Penyedian buruh pada umumnya melalui perantara kepala desa, kepala desa memberikan laporan kepada perkebunan dan bertanggung jawab selama menjalankan kontrak.

II. Perkembangan Perkebunan Tebu Dan Masyarakat Desa

1. Bentuk Penguasaan Sawah Sehubungan dengan laporan penguasaan tanah 1893 bahwa dicukup banyak desa di afdeling Jombang terdapat pemilikan komunal dengan sistem pembagian tetap, maka kini diberitahukan bahwa pembagian tanah garapan yang tetap itu tidak seluruhnya bersifat seperti keadaan yang dilukiskan dengan istilah sawah otok. Dengan kata lain bagian tanah garapan yang diperuntukan bagi para gogol tidak setiap tahun terletak pada tempat yang sama. Keadaan semacam itu di desa-desa yang biasa menyewakan tanah mereka setiap tahun kepada pemilik pabrik gula boleh dikatakan tidak mungkin terjadi. Di Surabaya penyewaan tanah pribumi jauh lebih suka memperoleh tanah lain, dan perkebunan hanya ingin menyewa tanah yang berhubungan satu sama lain dalam satu blok yang mau disewanya, sehingga seorang gogol tidak ingin menyewa bagian tanahnya yang terletak dalam kompleks itu, demi ketenangan terpaksa mencari tanah lain kemudian

menukarnya dengan bagian yang tidak termasuk kompleks yang akan disewakan.

2. Pertanian Rakyat Di Jawa Pada umumnya di Jawa sistem giliran penanaman di sawah selesai dalam satu tahun. Dari bulan Desember sampai Maret ditanami padi dan pada musim kemarau pada bulan Juni sampai September ditanami palawija.

Kesimpulanya : Perkembangan perkebunan tebu di Surabaya dari dua sudut cara penyewaan dan cara pembudidayaan serta meneliti sebab kemiskinan ekonomi di desa dan kami dapat menjelaskan bahwa sistem pembagian sawah diteruskan oleh adanya penyewaan dan dengan demikian pemustaan atau pemupukan tanah secara besar-besaran tidak terjadi dan pertanian rakyat menurun hasilnya serta terhambat perkembanganya. Kecuali ada beberapa kepala desa yang menjadi kaya dan petani yang menguasi tanah pada umumnya tidak terpisah menjadi dua golongan yang punya tanah dan yang tak punya tanah walaupun ekonomi uang berkembang dengan cepat pada waktu itu dan secara keseluruhan semua menjadi miskin, dan ada juga yang tak bertanah mempunyai ciri lompen proletarial mereka menjadi buruh di perkebunan tebu, ini merupakan beberapa ciri khas pertanian di desa di Surabaya pada masa perkembangan tebu, karena adanya kondisi-kondisi inilah perkebuana tebu berkembang.

BAB III Rantauan Pariaman : Dunia Saudagar Pesisir Minangkabau Abad Ke XIX

Tahun 1914, Muhammad Saleh, seorang minang asal kota Pariangan telah menyusun buku otobiografi dirinya yang merupakan seorang pedagang yang kaya raya. Ia menulis tentang sejarah hidup dan penderitaanku. Dalam kisahnya ia lahir tahun 1841. Ketika itu ayahnya telah jatuh dari usaha perdagangan dan hubungan relasi dengan Belanda. Hal ini dikarenakan gaya hidupnya yang berfoya-foya, ia suka minuman keras, merokok dan berjudi dan berusaha untuk memamerkan kekayaan yang dimilikinya dengan cara berkuda berkeliling kota dengan diiringi para pelayan. Ketika Saleh berusia sepuluh tahun, kakak perempuannya, Nangsibah meminta Saleh agar ikut bersamanya. Di rumah kakak perempuannya, ia mulai mengenal dunia perdagangan, kemudian ia pernah bekerja menjadi kuli dan mencoba mendapatkan pendidikan. Selain itu di rumah kakaknya ia pun harus melakukan kegiatan rumah tangga. Atas saran temannya Saleh belajar ilmu agama Islam karena pada saat itu ia belum tahu bagaimana cara bersembahyang. Di siang harinya, ia bekerja sebagai penyeret pukat di

pantai. Namun karena mendapat larangan dari ayahnya, kemudian ia berhenti. Lalu ia pun menjajakan ikan kering. Ketika Saleh berusia 14 tahun, ia telah berhenti menjaja dan juga sudah pandai mengaji. Kemudian ia ditawarkan saudara tirinya untuk menjadi nahkoda dan mengangkut padi dari Sibolga yang kemudian diperdagangkan dipelabuhan-pelabuhan Sumatra. Peristiwaperistiwa antara bulan Mei-Oktober 1867 sangat mempengaruhi kehidupan Saleh. Peristiwa pertama dimulai dengan ayahnya yang sakit keras dan kemudian meninggal. Tak lama kemudian Saleh pun terkena malaria dan kemudian menyerang anak laki-lakinya. Dan kemudian putra keduanya lahir. Hal ini pun mengeruk harta yang dimilikinya. Kemudian ia merasa perjalanan karirnya sebagai nahkoda tidak mendapatkan keuntungan dan membuat ia berhenti menjadi nahkoda. Kemudian Saleh merintis karir baru dibidang perdagangan. Kemudian di dalam kepandainnya ia menjual barang terpenting yakni gula merah. Saleh juga menjual barangbarang seperti Gambir, Lombok merah, bawang, kubis, kentang dan umbi rambat. Kemudian usaha Saleh mengalami kemajuan yang pesat. Kemudian Saleh pun merambat menjadi kontraktor garam. Ia harus menyewa sejumlah sampan beserta awaknya untuk mengangkut garam dari kapal ke pantai. Ia menyewa enam puluh kuli untuk memasukkan garam ke dalam karung serta memindahkannya dari kapal ke sampan. Ini benar-benar merupakan suatu bidang kegiatan yang sama sekali lain dari pada pekerjaan nahkoda. Keberanian, ketajaman naluri berdagang, spekulasi dan kemujuran semuanya merupakan syarat yang sangat pribadi sifatnya yang mungkin turut menentukan. Tapi yang lebih menentukan suksesnya seorang anemer adalah hubungan baik dengan Belanda, modal besar dan organisasi usaha yang baik. Dan Saleh melambangkan peralihan dari zaman nahkoda ke zaman anemer.

BAB IV Catatan Mengenai Sejarah Industri Tekstil di Sumatra Barat

Sejarah mengenai industri tekstil di Sumatra barat sangat sedikit dikarenakan saat itu terjadi kemerosoton drastis industri tenun di Kubang. Berlawanan dengan di Kubang industri tenun di Silungkang bertahan sampai penyerbuan Jepang tahun 1942 ke Sumatra. Industri rendah di Sumatra Barat mulai diperkenalkan pertama kalinya dalam tahun 1908 oleh seorang misionaris Kristen Belanda. Namun industri ini tidak tumbuh dan berkembang di Sumatra barat. Awalnya industri renda cukup maju di Sumatra Barat namun dengan pecahnya perang dunia I, industri ini mulai merosot karena sukarnya pengiriman.

Orang Minangkabau tidak bisa memperoleh benang bermutu tinggi yang dulunya diimpor dari Eropa, terutama dari Paris. Akibatnya mutunya semakin rendah, harganya pun semakin mahal sehingga barang-barang tertanam di rumah para pekerja. Industri tenun Sumatra Barat mulai berkembang kembali tahun 1934 ketika pemerintah memperkenalkan pembatasan impor kain cita dan benang, membatasi pabrik tenun di Jawa, dan kebijakan umum lainnya yang ditujukan untuk meningkatkan mutu industri tekstil. Produksi tekstil di Sumatra Barat berkembang dalam tahun 1937 ketika terjadi ledakan karet yang menimbulkan kenaikan permintaan akan kain dari pekerja-pekerja perkebunan. Namun hal ini hanya terjadi beberapa bulan. Dengan berakhirnya ledakan karet itu, pasaran tekstil minangkabau menjadi sempit. Hal ini dikarenakan masalah berikut.

a. Kasus Kubang Sebelum PD I, Kubang telah berhasil menghasilkan 250 sarung tenun dan menyusut 150 di tahun 1925. Krisis besar tahun 1929 yang diikuti oleh depresi ekonomi, sangat merusak pasar sarung Kubang. Jatuhnya harga secara umum dan membanjirnya tekstil Jepang yang murah dengan sendirinya menurunkan harga sarung Kubang. Dan hal ini menghilangkan hasrat penenun untuk menenun. Tahun 1934 pertenunan di Kubang mendapat rangsangan dari pembatasan impor dan pendirian sebuah badan penasehat setempat, serta pembangunan model bengkel kerja oleh pemerintah tahun 1935. Ketika rakyat menikmati pulihnya industri tenun pada tahun 1937, sarung-sarung Jawa yang harganya lebih murah mengalir ke daerah-daerah luar pulau Jawa. Dan akhir tahun 1937 Kubang mengalami kehancuran tiba-tiba. Pendapatan penenun pun merosot tajam dan akhirnya penenun mulai tidak mengoperasikan alat tenunnya.

b. Kasus Silungkang Ditengah merosotnya industri diberbagai daerah Sumatra Barat, Silungkang justru meluas produksinya dan bahkan tidak dapat memenuhi permintaan Eropa. Produksi industri tenun Silungkang ini berhenti tahun 1915 sebagai akibat sukarnya mengimpor benang dari Eropa selama PD I. Setelah PD I berakhir, Silungkang mulai berkembang kembali. Namun perkembangan ini menurun kembali sesudah tahun 1927 yaitu setelah menurunnya harga produk tropis secara umum. Industri Silungkang terus merosot sampai tahun 1934, namun kemudian berkembang kembali sejak dikeluarkannya pelarangan impor tahun 1934. Industri

tenun Silungkang memasuki tahap baru pada permulaan tahun 1938. Sampai dengan tahun 1941 Silungkang terus menghasilkan berbagai ragam tekstil.

BAGIAN II BERBAGAI ASPEK NASIONALISME INDONESIA Bab V Masa Awal Pembentukan Perhimpunan Indonesia Kegiatan Mahasiswa Indonesia Di Negeri Belanda, 1967-1917

I.

Pendahuluan

Pada tahun 1925 mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda mengubah nama organisasi mereka menjadi Perhimpunan Indonesia. Nama baru ini merupakan terjemahan dari namanya dalam bahasa Belanda, de Indonesische Vereniging, yang telah digunakan sejak tahun 1922. Dari tekanan pada kata Indonesia serta pemakaian bahasa Indonesia jelaslah, bahwa organisasi ini pada tahun 1920-an telah mendambakan pembebasan tanah airnya dari cengkraman kolonialisme Belanda.

II. Kegiatan Perhimpunan Indonesia Sebelum Tahun 1913

Baru pada tahun bagian kedua abad XIX, pemerintah Kolonial Belanda mulai berusaha meningkatkan pendidikan di Hindia-Belanda. Pada tahun 1852 Pemerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah pertama untuk guru pribumi (kweescholen) dan satu sekolah untuk melatih juru suntik (dokter Djawa-Scholen). Pada tahun 1878 di Jawa telah didirikan sekolah pimpinan pemerintahan (Hoofden-Scholen). Sementara sekolah-sekolah kejuruanhukum, peternakan, pertanian, dan perdagangan tumbuh seperti jamur dalam dasawarsadasawarsa awal abad XX.

III. Saat Menentukan Bagi Indische Vereniging 1913-1917

Indische Vereniging memasuki periode keduanya ketika mendapat kunjungan beberapa pemimpin Indische Partij yang dibuang ke luar dari daerah jajahan, khususnya kedatangan Soewardi Soerjaningrat. Hadir nya tokoh-tokoh pimpinan partai ini dalam

pertemuan-pertemuan tidak hanya mengubah sama sekali suasana yaitu selera orang-orang Belanda yang duduk sebagai pelindung organisasi tetapi juga langsung membangkitkan keinginan untuk membuat publikasi. Namun demikian, ternyata masih harus berlalu tiga tahun lagi, yakni sebelum bulan Maret 1916, baru terbit sebuah judul: Hindia Poetra. IV. Isi Hindia Poetra, Seri Pertama Isi Karangan Dalam Hindia Poetra Seri Pertama, 1916-1917 Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 jmlh hlm

Isi Penjelasan dan Pembahasan Kebijaksanaan organisasi Keadaan di Hindia Belanda, Tinjauan pers, dll Timbangan Buku Kebudayaan dan Kesenian Pendidikan (termasuk pelajaran bahasa) Laporan tentang India Jajahan Inggris Tokoh-tokoh (termasuk berita duka) 4 Laporan Bencana Alam di Hindia-Belanda Masalah Pertahanan Hindia-Belanda Berita Volksraad Pemberontakan, Gerakan Politik, & Penekanan, dll Serba-serbi

8 4 5,2 2,8 -

9,7 1,5 2,5 4,7 -

6 3,5 2 3,6 4 -

2,5 3,2 2 7 5,5 -

1 6,6 1 7 10,7 2,3 -

1,2 4 0,8 1 10,6 9,6 1,8

0,5 0,3 10,2 4,5 8,8

3,8 8,2 6,2 2 12,2 -

-

32,7

1,6 22,9 6,5 14,1 39,5 37,4 6,8 8,3 5,5 10,8 37,1 10,6

8,2

9,3

4,6

3,2

3,1

2,5 0,9

5,2 1,6

3,1

1,5 7,1

9,2 41,1

Total

32,2

27,7

23,7

23,4

31,7

32,4

31,1

35,5

27,5 265,2

Catatan : a. Walaupun tinjauan atau ringkasan pers tentu memuat kembali topik-topik lain yang terdaftar disini, saya tidak membuat klasifikasi baru b. Mulai nomor 8 masalah Volksraad dan pertahanan sering dibahas secara tergabung. Dalam keadaan demikian, saya klarifikasikan di bawah topik pertahanan c, serba-serbi meliputi sajak, pepatah, dan peribahasa, laporan perjalanan ringan serta parodi.

V. Kesimpulan: Berbagai Arti Asosiasi Istilah asimilasi atau asosiasi juga mempunyai konotasi yang sah dan dalam arti kata yang sebenarnya merupakan anak judul dari istilahunifikasi (penyatuan). Penyatuan berdasarkan asimilasi akan menghasilkan kesatuan menurut pengertian orang eropa sebagai dilukiskan di atas, penyatuan berdasarkan asosiasi mengandung arti kesatuan sejauh ini dapat terjadi dengan sendirinya (secara alamiah) dan memperkenankan keanekaragaman sejauh kesatuan hanya akan bermanfaat luar biasa bagi satu kelompok. Keduar istilah itu bagaimanapun masih mempunyai arti yang lebih luas dan digunakan berkenaan dengan masalah kebudayaan. Di sini asimilasi menunjuk pada penggantian kebudayaan Indonesiaoleh kebudayaan Belanda dengan jalan mengatur/memerintah, mendidik dan membuat undang-undang bagi daerah jajahan, seakan akan daerah jajahan merupakan bagian utuh dari negara penjajah dengan seluruh penduduk disamakan dalam segala hal. Asosiasi sebaliknya. Sambil ingin membuat kebudayan negara penjajah terjangkau oleh rakyat daerah jajahan untuk kemakmuran dan kesejahteraan mereka di hari kedepan, asosiasi mengandung suatu kecendrungan yang kuat untuk menghormati kebudayaan asli dan menolak perubahan secara paksa. BAB VI Satria Vs. Pandita Sebuah Debat Dalam Mencari Identitas

Pada tahun 1918 terjadi debat antara Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pimpinan terkemuka nasionalisme Hindia (meliputi kawasan yang dulu disebut Hindia Belanda dan kemudian menjadi kawasan Republik Indonesia) dan Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin dari Komite Nasionalisme Jawa (Comite voor het Javaansche Nationalisme), mengenai masalah nasionalisme di Hindia atau Jawa dan masalah perkembangan kebudayaan Jawa. Tjipto dan Soetatmo berdebat untuk menyambut pembukaan sidang Volksraad tersebut. Dalam debat itu Tjipto dan Soetatmo mengemukakan pendapatnya masing-masing tentang persoalan tersebut dan bersaing untuk memenangkan ideologinya di kalangan priyayi golongan bawah yang berpendidikan Belanda. Dalam zaman pergerakan, Tjipto Mangoenkoesoemo telah merumuskan pandangan yang sama sekali berlawanan mengenai pergerakan dan zamannya. Soetatmo hanya melihat kekacauan di dalam pergerakan dan menganjurkan kebangkitan kembali kebudayaan Jawa sebagai satu-satunya jalan ke luar dari zaman edan itu. Kebudayaan Jawa yang

dimaksudkannya tidak lain daripada penafsiran kembali dan dengan demikian bentuk konkret dari paham atau ideologi Jawa tradisional tentang kekuasaan, yang oleh Soetatmo dianggap sebagai kunci untuk membimbing pergerakan ke masa kejayaan. Maka menurut pendapatnya, kebangkitan atau pembangunan kembali berarti menghidupkan kembali hubunga kawulagusti yang dijadikan sebagai cita-cita . mengenai tugas seorang pandita, ia menyatakan bahwa menciptakan ketertiban di dalam kekacauan pergerakan hanya mungkin bila rakyat menjadi kawula sang pandito-ratu. Sebaliknya Tjipto melihat bahwa dengan timbulnya pergerakan, telah berakhirlah zaman edan dan mulai muncul zaman terang. Menurut pendapatnya, evolusi dan pembebasan Jawa dapat terwujud hanya apabila rakyat dititisi jiwa satria sejati, yaitu keluhuruan moral, melalui perlawanan tanpa kompromi terhadap penindasan dan pemerasan Belanda dan para priyayi terhadap rakyat.

BAB VII Perjuangan Taman Siswa Dalam Pendidikan Nasional

I.

Pendahuluan

Tulisan ini merupakan suatu penelitian yang dilakukan oleh seorang sarjana Jepang yang berminat pada sejarah Indonesia Modern, khususnya sejarah perkembangan nasionalisme Indonesia dari periode sejak permulaan abad XX sampai jatuhnya Pemerintah Kolonial Belanda. Masalah yang dibahas adalah konsep apa yang ditemukan dan proses yang diperlihatkan oleh pergerakan nasional dalam bentuk sutau institusi tandingan yang mampu menentang dan mengimbangi institusi penjajahan Belanda yang secara nyata berkuasa di Indonesia. Pembahasan saya selanjutnya ialah memperhatikan konsep-konsep yang dikemukakan oleh pergerakan Taman Siswa, yang menurut saya merupakan pergerakan yang sangat

menonjol dalam usaha melahirkan suatu institusi nasional.

1. Institusi Kolonial Yang dimaksud dengan istilah institusi adalah situasi masyarakat kolonial secara keseluruhan, artinya suatu keadaan dan kenyataan masyarakat yang sudah sedemikian jauh sampai keseluruh lapisannya diresapi oleh pengaruh kolonial sehingga dirasakan sebagai

suatu kenyataan dan kebiasaan. Istilah kolonial trdiri dari tiga unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu : a. Sistem kolonial b. Ideologi kolonial c. Gaya kolonial

2. Dualisme Diatas telah saya uraikan tiga unsur pokok institusi penjajahan Belanda. Ketigatiganya berkaitan satu sama lainnya dan berfungsi untuk mempertahankan susunan masyarakat yang dualistis. Dualisme inilah yang melandasi masyarakat kolonial secara keseluruhannya, seperti misalnya saja dualisme antara ras dengan ras dan antara bahasa Belanda dengan Bahasa Melayu. Dualisme menjamin tercapainya tujuan pokok kegiatan perniagaan, yaitu membeli dengan harga murah dan menjual dengan harga mahal di pasaran dunia, dan tambahan lagi, keuntungannya tidak akan dikembalikan ke negeri asal dari semua barang dagangan itu. 3. Perkara Comite Boemi Poetra Di antara tiga serangkai (Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat) yang memainkan peranan penting dalam Comite Boumi Poetra pada bulan Juli dan Agustus tahun 1913, yang menjadi tokoh utama ialah Soewardi Soerjaningrat. Taman siswa dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dalam perjuangan untuk menentang Wilde Scholen Ordonnantie yang berlaku mulai dari akhir tahun 1932 sampai awal tahun 1933. Kemenangan yang diperoleh Taman Siswa dalam perjuangan tersebut merupakan salah satu puncak keberhasilan dari seluruh sejarah perkembangan Taman Siswa di zaman kolonial. Malah hal itu bisa dianggap sebagai salah satu gejala dalam sejarah pergerakan tempo dulu, yang menunjukan keberhasilan pergerakan nasional dalam membuat pemerintah kolonial mundur secara lebih jauh dan lebih menyeluruh. Dengan demikian, Taman Siswa dan Ki Hadjar Dewantara kelihatannya berdiri di pusat pergerakan nasionalisme Indonesia.

I.

Latar Belakang

1. Pembentukan Wilayah Kekuasaan Pada awal abad XX jajahan Belanda sudah meliputi daerah dari sabang sampai marauke. Ini tidak berarti bahwa kekuasaan penjajah terutama ditandai dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang dikuasai, tetapi juga bahwa sifat khas Belanda. 2. Pembentukan Hirarki Birokrasi dan Pusat Baru Gejala baru yang sangat menonjol yang terjadi sejak akhir abad XIX sampai pada awal XX ialah pembentukan pusat dan sub pusat. Sebagai akibatnya wilayah yang dikuasai Belanda makin luas dan sususan pemerintahan untuk melayani wilayah itu dengan lebih lancar dan efisien makin berkembang.fungsi Batavia sebagai pusat makin diperbesar serta diperkokoh. Sedangkan fungsi kota-kota baru seperti Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Makasar, Manado, dan Padang diperkuat sebagai sub-pusat, yang menghubungkan setiap wilayah dengan pusat, dalam arti pemerintahan, ekonomi dan sosial.

3. Rasa Identitas Pemerintah kolonial Belanda bersifat sentrifugal, dalam arti bahwa wilayah penjajahan harus diawasi secara monopolistis dan menyeluruh, tetapi sekaligus juga bersifat sentripetal, dalam arti bahwa seluruh aparatur pemerintahan kolonial harus ditempatkan dipusat. Kalau diperhatikan tahap-tahap permulaan dari sejarah perkembangan nasional indonesia dari segi timbulnya perasaan identitas, maka bisa dimengerti mengapa Batavia atau negeri Belanda merupakan tempat para tokoh nasionalis menyatakan identitas mereka menurut konteks diatas.

4. Terbuka terhadap informasi dari dunia luar Selain itu masih ada salah satu hal yang tidak bisa diabaikan dalam perkembangan nasional Indonesia, yakni kesempatan untuk mendapatkan informasi tentang dunia luar mulai terbuka pada sekelompok orang yang telah menguasa bahasa Belanda. Menguasai bahasa Belanda pada waktu itu tidak hanya berarti bisa mendapatkan kesempatan kerja yang lebih baik tetapi juga kesempatan yang bermanfaat untuk mendapatkan aneka ragam informasi tentang dunia luar, baik melalui koran maupun buku-buku Belanda.

II. Institusi Tandingan

Cendikian nasional dizaman pergerakan nasional adalah orang-orang yang memikirkan masalah-masalah seperti wilayah dualisme, bahasa, dan bangsa, termasuk nasib rakyat yang telah disinggung diatas. Salah satu ciri pokok yang terlihat disetiap usaha kaum nasionalis itu ialah, seperti sudah diutarakan, kemampuan untuk membentuk suatu masyarakat baru yang mampu menentang masyarakat, kolonial atau membentuk suatu institusi tandingan yang mampu berimbang dengan, dan malah mampu mengalahkan institusi kolonial. Taman siswa merupakan gerakan yang sangat menonjol. Tamn siswa menampilkan suatu konsep bagi pembentukan institusi tandingan dan pembentukan diri yang mereka inginkan disesuaikan dengan konsep yang telah ditampilkan itu. Beberapa sifat tandingan Taman Siswa:

1. Tapa Salah satu sifat yang menonjol di kalangan Taman Siswa adalah tapa atau askese. Sejak didirikan pada tahun 1922, Taman Siswa selalu mementingkan adanya suatu Keluarga Besar Taman Siswa yang bersifat terbatas, yang lain dari masyarakat luar. Orang tisak bisa ikut serta memasuki lingkungan Taman Siswa dengan semaunya saja. Yang dapat ikut serta dan yang dapat diterima ke dalam lingkungan Taman Siswa, ialah hanya mereka yang sudah atau sedang memutuskan untuk menyiapkan diri menjadi pandito-sinatria, yakni pendukung masyarakat baru. Disitu jelas terdapat tapa brata, atau menghapuskan sifat pamrih. Bagi Taman Siswa, organisasi tidak hanya berarti suatu sistem administrasi yang efisien, tetapi juga mengandung arti bahwa setiap anggota Taman Siswa hendaknya memiliki suatu sikap yang selalu siap menyerahkan diri bagi pembinaan sang anak.

2. Demokrasi dan Kepemimpinan/Kebijaksanaan Istilah democratie dan leiderschap atau demokrasi dan kepemimpinan saya pungut dari judul sebuah selebaran yang ditulis Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1959, beberapa bulan setelah ia meninggal dunia. Akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa gagasan demokrasi dan kepemimpinan itu baru dirumuskan ketika gagasan demokrasi dan kepemimpinan dari soekarno diterima secara resmi. Malah gagasan ini telah dikemukakan sebelum Taman Siswa didirikan pada tahun 1922.

Salah satu masalah pokok yang dihadapinya adalah gagasan mengenai bagaimana melahirkan suatu masyarakat nasional yang mampu menjamin adanya sama rata dan sama rasa, suatu gagasan yang muncul seiring dengan tumbuhnya konsep rakyat pada zaman gerakan serekat islam tanpa merusak tata tentrem masyarakat asli.

3. Mengatasi kemelut dunia Barat modern Masih terdapat ciri pokok lagi yang tak dapat dilupakan. Para pemimpin taman siswa yakin bahwa gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Taman Siswa dibidang pendidikan maupun organisasi sungguh melebihi gagasan Barat. Dalam kalangan Taman Siswa khusus pada waktu permulaannya, nampak pengaruh gagasan pendidikan Montessori, Frobel, Jan Lighart dan lainnya.

BAB VIII Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Dan Pengaruhnya Atas Jemaah Haji : 1926 1927

Perubahan Kekuasaan di Arab dan Negara-negara Barat

Sejak peningkatan pesat dalam pelayaran di Laut Merah setelah dibukanya Terusan Suez tahun 1869, negara-negara Barat yang menjajah Negara Islam sudah mulai mengawasi masuknya para warga mereka ke Jeddah dengan dalil karantina. Meskipun demikian, kalau kita memperhitungkan orang-orang Indonesia yang mendapat paspor Inggris di Singapura dan mereka yang menyelundup masuk tanpa paspor sama sekali, jumlah jemaah haji Indonesia yang sesungguhnya pastilah jauh lebih besar. Perubahan kekuasaan di Arab sangat mempegaruhi negara-negara besar di Barat yang mempunyai kepentingan di Timur Tengah. Sudah bertahun-tahun kebijaksanaan politik Inggris terhadap Timur Tengah tak terurus dengan baik karena perbedaan pendapat antara bagian Urusan Arab dan Urusan India di Departemen Luar Negerinya.

Pengaruh Pemberontakan Partai Komunis yang Gagal

Pemberontakan partai komunis Indonesia bermula di Jakarta dan Banten tanggal 12 November 1926. Namun pemberontakan tersebut dengan mudah dipadamkan oleh pemerintah pada pertengahan Desember. Segera setelah berita mengenai pemberontakan itu tersebar ke seluruh dunia, surat kabar Kairo Al Ahram tanggal 28 November mengutip harian

Prancis Les Debats sehubungan dengan kegiatan-kegiatan konsulat soviet di Jeddah. Kegiatan ini bertujuan menyebarkan gagasan-gagasan komunis dikalangan para jemaah haji.

Banyak kurir pergi menemui para jemaah haji pada perjalanan dari Jedah ke Mekkah, membagi-bagikan dokumen propoganda diantara mereka yang bisa baca tulis, dan berusaha menarik mereka kepada komunisme serta membangkitkan kebencian mereka terhadap Eropa. Cemas dengan berita ini, menteri luar negeri Arab Saudi segera mwnghubungi konsultan Belanda. Menteri luar negeri tersebut meminta konsul Belanda membicarakan masalah itu dengan gubernur jendral Hindia Belanda. Pemerintah Arab Saudi cemas kalau-kalau Mekkah dan Madinah akan menjadi pusat kegiatan anti Belanda. Mentri luar negeri memberitahukan kepada konsul bahwa pemerintahannya siap untuk mencegah jangan sampai hal itu terjadi, sebab ia yakin bahwa ini akan merusak persahabatan kedua negara. Penagkapan Delapan Anggota PII

PII menuduh Raja Saud menarik pajak angkutan dari pajak jemaah dan mencoba mengawasi ajaran-ajaran sesat. Mereka terang-terangan menunjukan kecondongan pada rezim Husein dibandingkan dengan rezim saud. Demikianlah maka PII mencoba mendorong bukan hanya penduduk perkebangsaan Iran dan India untuk melawan rezim saud. Walaupun demikian pemerintah saud akhirnya juga mengambil keputusan untuk anggota PII. Van der Maulen mengirim telegram pada tanggal 4 Juni kepada Gubernur Jendral yang menyatakan bahwa penangkapan tak lama lagi akan dilakukan.

Ketua PII Mahdar berhasil lolos, tapi laporan Van der Maulen tanggal 17 Juni 1927 mencatat nama keenam tokoh PII yang ditangkap : 1. Soetan Moentjak dari Padang Panjang. Ia adalah seorang pemimpin di Sumatra Barat yang ikut serta dalam pemberontakan di Padang Panjang dan Solok. 2. 3. 4. 5. 6. Pakih Ripat dari Solok. Ia seorang pemimpin pemberontakan di Solok. Marhoem dari Padang. Bendahara PII, yang bertugas menjual kartu anggota. Abdoellah Kamil dari Panaman, Padang. Sekertaris PII. Soemadisastra, sekertaris SBI. Ganda dari Ujung Berung di Bandung, bendahara SBI.

Sesudah Penangkapan

di dalam negeri Arab Saudi, pengawasan yang ketat atas pers berhasil mencegah munculnya kecaman-kecaman terhadap penangkapan tersebut. Namun, para wartawan di luar negeri menuduh keras bahwa raja serta pemerintah saud telah membantu negeri kolonial Barat, dan dengan demikian menekan gerakan pembebasan dari kaum muslim. Banyak telegram protes yang dikirim ke alamat Raja Saud. Yang paling menyolok datang dari mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas Al-Azhar di Kairo. Pemerintah Saudi terkejut sedemikian rupa sehingga mengeluarkan pernyataan bela diri, yang menjelaskan bahwa penangkapan kedelapan orang tersebut dilakukan semata-mata atas prakasa mereka sendiri tanpa diminta oleh Pemerintah Belanda, dan bahwa penangkapan mereka tidak disebabkan oleh apa yang mereka lakukan di Mekkah.

ANALISIS DATA PEREKONOMIAN INDONESIA MENJELANG ABAD XXI

Dalam kaitannya dengan upaya meningkatkan daya dukung social-ekonomi yang merupakan kunci bagi penguatan competitive advantage of nation dalam rangka menghadapi persaingan dunia yang kian ketat di pasar internasional, yang antara lain juga ditandai oleh aktifnya lembaga-lembaga ekonomi internasional seperti GATT, APEC, NAFTA, AFTA, dan sebagainya, dibutuhkan kesungguhan untuk mengeliminasikan sumber-sumber distorsi yang ada di pasar domestic dan meningkatkan keandalan factor-faktor produksi di dalam perekonomian nasional. Jepang merupakan suatu kisah keberhasilan spektakulerdari dunia industri maju, yang menyeruak dari kehancuran setelah perang dan kelunglaian ekonomi ke decade-dekade pertumbuhan menakjubkan (Krugman dan Obstfeld, 1994). Banyak pihak menganggap bahwa keberhasilan ekonomi dan teknologi Jepang yang gemilang tersebut bersumber dari akar budaya dan gaya manajemen yang superior, selain campur tangan pemerintah yang besar dalam alokasi sumber daya. Keberhasilan Jepang juga di topang oleh tingkat tabungan masyarakatnya yang tinggi, bahkan tertinggi di dunia, sistem pendidikan yang sangat efektif, suburnya budaya berwiraswasta.

Kesan kuat yang diperoleh dari kebijakan Jepang dalam rangka untuk meningkatkan kapabilitas tekonologi adalah dengan memadukannya dengan kebijakan industrial yang berorientasi pada pasar. Pemerintah lebih menitikberatkan perhatiannya kepada perangkatperangkat insentif yang merangsang dunia usaha untuk meningkatkan kappabilitas teknologi dan memupuk efek penyebaran manfaatnya kepada industri-industri lain.

Pemerintah Jepang sangat menyadari bahwa peningkatan kapabilitas teknologi nasional hanya di mungkinkan kalau terjadi perbaikan dalam kapabilitas teknologi yang relative menyebar dan merata. Oleh karena itu, pemerintah Jepang selalu memperhatikan segmen industri menengah dan kecil serta yang ada di daerah. Salah satu perubahan yang tidak terbantahkan adalah pergeseran kekuatan ekonomi dunia yang disertai dengan pergeseran pusat kekuatan gravitasi perdagangan dunia pasifik. Perekonomian Negara-negara di kawasan Pasifik, khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara merupakan yang paling dinamis di dunia.

Konsentrasi kekuatan ekonomi semakin meningkat di berbagai sector industri dan bidang usaha, sehingga pasarnya pun kian mengarah ke struktur yang oligopolistic atau monopolistic dan bersifat enclave. Kelompok ekonomi yang tumbuh selama kurun waktu itu hanya mengandalkan, atau paling tidak sangat di topang oleh fasilitas Negara. Untuk mempertahankan dan mengembangkan produksi baja nasional.

Permasalahan hubungan ekonomi antarbangsa, khususnya dalam perdagangan internasional, akan sulit teratasi seandainya gejala-gejala antagonisme terus berlanjut. Pertentangan kepentingan anatara berbagai Negara/kelompok Negara yang makin mengemuka diperkirakan sulit dipecahkan.

Di tengah perubahan dalam pola pembiayaan eksternal yang menempatkan penanaman modal asing langsung sebagai sumber pembiayaan yang semakin penting yakni sebagai akibat dari terus meningkatnya porsi pembiayaan oleh swasta dalam bentuk keterlibatan penuh atau joint venture. Yang jelas harus di sadari bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang cuma-cuma. Jika kita menghendaki perluasan pasar bagi produk-produk kita, maka kita harus bersedia membuka diri bagi masuknya produk-produk luar negeri.

BAB III PENUTUPIII.1 Kesimpulan

Masa lalu negara dan bangsa Indonesia masih banyak yang tertutup kabut, padahal masa lalu itu mengandung akar-akar perkembangan negara dan bangsa dewasa ini serta serta sangat banyak perlu penyusunan strategi pembangunan negara dan bangsa di masa depan. Beberapa sarjana ilmu sosial Jepang sudah berusaha meneropong masa lalu negara dan bangsa kita yang belum tersingkap itu. Antara lain mereka menyampaikan sejarah perkembangan ekonomi Indonesia sejak Zaman Kolonial hingga kini, muncul dan berkembangnya semangat wiraswasta, pertentangan pendapat mengenai paham nasionalisme di awal Pergerakan Nasional. Hasil kajian sarjana Jepang ini tidak saja akan memperluas pengetahuan kita tentang masa lampau tetapi juga akan menggugah para mahasiswa dan sarjana kita untuk berusaha menggali lebih banyak lagi hal-hal di masa lampau yang masih penuh rahasia.

III.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang didapat maka penulis menyarankan agar para pembaca dapat lebih semangat untuk berusaha menggali dan mencari lebih banyak lagi kejadian dan hal-hal pada masa lampau yang belum terungkap. Pembaca dapat lebih memperluas pengetahuan melalui membaca tentang berbagai buku yang menceritakan sejarah bangsa agar pembaca dapat belajar dari berbagai pengalaman yang telah terjadi di masa lalu agar dapat hidup lebih baik. Pengembangan pengkajian ini dilakukan oleh orang Jepang ini akan memungkinkan bangsa Indonesia yang memiliki sejarah bangsa Indonesia dapat menyusun lebih banyak buku serupa ini.

Daftar Pustaka

Nagazumi, Akira (Eds).1986.Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang, Perubahan Sosial Ekonomi di Jawa Abad XIX dan XX. Jakarta. Balai Pustaka Basri, Faisal. 1995. Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI. Jakarta. Erlangga