mistenia gravis laporan

18
BLOK XVII: NEUROPSIKIATRI PENUGASAN MIASTENIA GRAVISNAMA: KHALIDA FAILASUFI NIM : H1A012027 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

Upload: khalida-nacharyta-failasufi

Post on 26-Sep-2015

27 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

laporan

TRANSCRIPT

BLOK XVII: NEUROPSIKIATRI PENUGASAN MIASTENIA GRAVIS

NAMA: KHALIDA FAILASUFINIM : H1A012027

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM 2015

PENDAHULUAN Miastenia gravis adalah suatau keadaan yang ditandai dengan kelemahan atau kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas dan akan pulih kekuatannya setelah beberapa saat yaitu dari beberapa menit sampai jam (Harsono, 2011). Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia. Pada miastenia gravis, ditemukan adanya defisiensi dari acetylcholine reseptor (AchR) pada neuromuskular junction. Pada tahun 1977, karakteristik autoimun pada miastenia gravis dan peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa penelitian. Hal ini meliputi demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR pada hampir 90% penderita miastenia gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus, lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan efek menguntungkan dari plasmaparesis ( Engel, 2008).

DEFINISIMiastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction (Finnis and Jayawant, 2011).

EPIDEMIOLOGIMiastenia gravis lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria dengan rasio 6 ; 4. Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun. Early onset miastenia gravis biasanya terjadi pada wanita pada usia 18-50 tahun dan late onset miastenia gravis lebih sering pada laki-laki dengan usia 50 tahun ke atas.ETIOLOGIMiastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang berhubungan dengan penyakit-penyakit lain seperti tirotoksikosis, miksedema, artritis rematoid dan lupus eritematosus sistemik. Dulu di katakan bahwa IgG autoimun antibodi merangsang pelepasan thymin, suatu hormon dari kelenjar timus yang mempunyai kemampuan mengurangi jumlah asetilkolin. Sekarang dikatakan bahwa miastenia gravis disebabkan oeh kerusakan reseptor asetilkolin neuromuscular junction akibat penyakit autoimun ( Harsono, 2011). Pada penyakit miastenia gravis yaitu kelemahan otot yang berbahaya telah ditemukan adanya antibodi yang menduduki reseptor acetylcholine dari motor end plate sehingga ia tidak dapat menggalakkan serabut-serabut otot skeletal. Antibodi tersebut dikenal sebagai anti-cetylcholine reseptor antibodi yang terbukti dibuat oleh kelenjar timus yang dihasilkan oleh proses imunologik.

KLASIFIKASIMiastenia gravis dibagi atas 4 golongan yaitu antara lain :Golongan I : Miastenia OkularPada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot okular yang menyebabkan timbulnya gejala ptosis dan diplopia, seringkali ptosis unilateral. Bentuk ini biasanya ringan akan tetapi seringkali resisten terhadap pengobatan ( Harsono, 2011 ).Golongan II : Miastenia bentuk umum yang ringanTimbulnya gejala perlahan-lahan dimulai dengan gejala okular yang kemudian menyebar mengenai wajah, anggota badan dan otot-otot bulbar. Otot- otot respirasi biasanya tidak terkena. Perkembangan ke arah golongan III dapat terjadi dalam dua tahun pertama dari timbulnya penyakit miastenia gravis ( Harsono, 2011 ).Golongan III : Miastenia bentuk umum yang beratPada kasus ini timbulnya gejala biasanya cepat, dimulai dari gangguan otot okular, anggota badan dan kemudian otot pernafasan. Kasus-kasus yang mempunyai reaksi yang buruk terhadap terapi antikolinesterase berada dalam keadaan bahaya dan akan berkembang menjadi krisis miastenia ( Harsono, 2011 ).Golongan IV : Krisis miasteniaKadang-kadang terdapat keadaan yang berkembang menjadi kelemahan otot yang menyeluruh disertai dengan paralisis otot-otot pernafasan. Hal ini merupakan keadaan darurat medik. Krisis miastenia dapat terjadi pada penderita golongan III yang kebal terhadap obat-obat antikolinesterase yang pada saat yang sama menderita infeksi lain. Keadaan lain yang berkembang menjadi kelumpuhan otot-otot pernafasan adalah disebabkan oleh banyaknya dosis pengobatan dengan antikolinesterase yang disebut krisis kolinergik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit ini, penderita akan bertambah lemah pada waktu menderita demam, pada golongan III biasanya akan terjadi krisis miastenia pada waktu adanya infeksi saluran nafas bagian atas, pada kebanyakan wanita akan terjadi peningkatan kelemahan pada saat menstruasi ( Harsono, 2011 ) .Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :KelassubkelasGejala

IAdanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.

IITerdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

KelasSubkelasGejala

IIaMempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan

IIbMempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.

IIITerdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan tingkat sedang.

IIIaMempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.

IIIbMempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.

IVOtot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat

IVaSecara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.

IVbMempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

VPenderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

PATOFISIOLOGIMiastenia gravis disebabkan oleh antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin (AChR). AChR ditemukan lebih dari 80% pada orang dewasa dengan penyakit umum, tetapi hanya 55% dari orang dewasa dengan penyakit kelemahan dan terbatasnya kekuatan dari otot-otot (Finnis and Jayawant, 2011).Kelemahan pada otot-otot pada miastenia gravis dan meningkatnya kelemahan otot pada saat melakukan kegiatan fisik adalah disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada orang normal waktu untuk kegiatan fisik adalah lebih lama dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan kekuatan otot atau istirahat, sebaliknya pada miastenia gravis justru waktu yang dibutuhkan untuk istirahat adalah lebih lama dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan fisik ( Harsono, 2011).Antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata. Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin.

MANIFESTASI KLINISPenyakit miastenia gravis biasanya mulai tampak pada umur 20-40 tahun. Gejala utama pada penyakit ini adalah timbulnya kelemahan otot bila otot tersebut digunakan terus menerus. Otot mata yang sering terkena sehingga timbul ptosis dan strabismus. Selain itu juga dapat timbul kelemahan pada otot masseter, sehingga mulut penderita sukar untuk menutup. Selain itu juga dapat pula timbul kelemahan faring, lidah, palatum molle dan laring sehingga timbulnya kesukaran untuk menelan dan kesukaran untuk bicara. Parese dari palatum molle akan menimbulkan suara sengau, selain itu bicaranya juga menjadi kurang jelas. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis seperti ptosis dan strabismus akan tampak dengan jelas pada sore hari dan pada cuaca panas, pada pemeriksaan tonus otot tampak agak menurun (Ngoerah, 2009). Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan lokal yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat gejala kelainan okular disertai dengan kelemahan otot-otot lainnya. Kira-kira 15% ditemukan kelemahan ektremitas tanpa disertai dengan gejala kelainan okular. Yang lainnya kira-kira 20% penderita didapati kesulitan mengunyah dan menelan. Anamnesis yang klasik dari penderita dengan miastenia okular adalah adanya gejala diplopia yang timbul pada sore hari atau pada waktu maghrib dan menghilang pada waktu pagiharinya. Dapat pula timbul ptosis pada otot-otot kelopak mata. Bila otot-otot bulbar terkena, suaranya menjadi suara basal yang cenderung berfluktuasi dan suara akan memburuk bila percakapan berlangsung terus. Pada kasus yang berat akan terjadi afoni temporer. Adanya kelemahan rahang yang progresif pada waktu mengunyah dan penderita seringkali menunjang rahangnya dengan tangan sewaktu mengunyah. Keluhan lainnya adalah disfagia dan regurgitasi makanan sewaktu makan ( Harsono, 2011 ).Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius sering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walaupun otot levator palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, otot-otot okuler adakalanya masih bisa bergerak normal, tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okuler kedua belah sisi akan melengkapi ptosis. Ptosis miastenia gravis yang ringan dapat diperjelas dengan test Wartenberg, dengan test tersebut pasien di suruh menatapkan kedua matanya pada sesuatu yang berada sedikit lebih tinggi dari matanya. Pada ptosis miastenik, kedua kelopak mata atas akan lebih tinggi dari matanya dan akan menurun 1-2 menit setelah menjalani test tersebut. Setelah bekerja secara bertenaga ptosis akan timbul dengan jelas ( Sidharta, 2008 ).

DIAGNOSISDiagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan dilanjutkan dengan tes klinik sederhana untuk menilai berkurangnya kekuatan oto setelah aktivitas ringan tertentu, kemudian ditegakkan dengan pemeriksaan farmakologi yaitu tes edrifonium atau dengan tes neostigmin. Penderita miastenia gravis derajat ringan sering tidak menunjukkan gambaran yang tegas pada EMG, pada keadaan ini perlu diperiksa kadar antibody reseptor dalam darh. Foto rongsen dada sebaiknya dilakukan seawal mungkin untuk mendeteksi adanya kelainan di kelenjar timus ( Harsono, 2011 ).

Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan bahwa :1. 30-40% dari penderita dengan miastenia gravis memperlihatkan adanya muscle binding complement fixing antibodies dalam serumnya dan 90-100% pada penderita miastenia gravis dengan timoma.2. Patologi anatomia. Timus penderita memperlihatkan adanya proliferasi limfosit.b. Dalam otot-otot ditemukan limforagia, yang terdiri dari lomfosit-limfosit yang mengandung zat-zat imunologik.3. Telah ditemukan antibodi dalam darah penderita miastenia gravis yaitu acetycholine receptor basic protein antibodies. Hal ini memyebabkan timbulnya suatu reaksi auto-imunologik, atrofi dari membran post-sinaptik sehingga acetycoline reseptor pada menyebabkan melebarnya celah sinaptik sehingga penyeberangan acetycholine akan memrlukan waktu yang lebih banyak. Akibat penyeberangan yang lebih panjang adalah bahwa akan lebih banyak terjadi penguraian dari acetycholine oleh cholinesterase sehingga acetycholine yang sampai pada membran post-sinaptik tidaklah lagi mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi, maka timbullah gejala-gejala miastenia gravis (Ngoerah, 2009).

Pemeriksaan LaboratoriumAnti-asetilkolin reseptor antibodi. Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibodi. Rata-rata titer antibodi pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibodi, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut:Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia GravisOsserman ClassMean antibodi TiterPercent Positive

R0.7924

I2.1755

IIA49.880

IIB57.9100

III78.5100

IV205.389

Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB = moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe4Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis. Antistriated muscle (anti-SM) antibody. Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies. Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab. Antistriational antibodies. Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.

TATALAKSANATerapi tatalaksana miastenia gravis meliputi : penggunaan obat antikolinesterase, timektomi, dan pemberian kortikosteroid.a. Obat antikolinesteraseObat-obat antikolinesterase misalnya neostigmin dan piridostigmin. Obat-obat ini berperan menghambat kolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin. Biasanya dimulai dengan 1 tablet neostigmin atau piridostigmin 3 kali perhari, kemudian dosisnya ditingkatkan bergantung pada reaksi penderita. Obat-obat antikolinesterase ini mempunyai aktivitas muskarinik dan nikotinik. Efek muskarinik yaitu mempengaruhi otot polos dan kelenjar, sedangkan efek nikotinik yaitu mempengaruhi ganglion autonom dan myoneural junction ( Harsono, 2011 ). b. TimektomiTindakan bedah pada miastenia gravis adalah timektomi. Ini terutama diindikasikan pada penderita-penderita wanita muda dengan riwayat yang kurang dari 5 tahun menderita miastenia gravis. Prognosis pada kelompok ini biasanya jelek. Pada wanita muda tanpa timoma kira-kira 80%-90% penderita akan membaik atau akan terjadi remisi yang sempurna dalam beberapa tahun. Persiapan untuk timektomi yaitu : ( Harsono, 2011 )1. Terapi antikolinesterase dengan neostigmin atau piridostigmin yang optimal dilanjutkan sampai saat operasi.2. Harus dilakukan tes fungsi paru, bila kapasitas vital sangat menurun maka harus dilakuka trakeotomi pada saat dilakukan timektomi supaya bantuan respirasi dapat diberikan pada saat pascabedah.Pada pascabedah, terapi antikolinesterase dimulai dengan memberikan dosis rendah dn disesuaikan dnegan kebutuhan penderitac. KortikosteroiodKortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B.

PENYULITAda 2 penyulit yang penting yaitu :1. Krisis KolinergikDapat terjadi bila kolinesterase dihambat secara berlebihan oleh obat-obat antikolinesterase. Gejala kolinergik antara lain bingung, pucat, berkeringat dan pupil miosis akan menyertai kelemahan otot yang progresif, terdapat deteriorasi yang bersifat temporer ( Sidharta, 2008 ). 2. Krisis MiasteniaTerjadi akibat terapi yang tidak adekuat dan adanya deteriorasi, terutama terjadi pada keadaan pascabedah, partus, infeksi atau dengan mempergunakan obat-obat yang memperberat keadaan miastenia. Bila ragu-ragu dapat digunakan endofronium. Terdapat perbaikan yang bersifat sempurna. Penderita miastenia gravis yang menderita krisis miastenik bila kelemahan otot-otot penderita terus meluas sampai pula mengenai otot-otot pernafasan. Keadaan demikian dapat timbul apabila penderita terlalu lelah atau mendapat penyakit infeksi lain ( Harsono, 2011 ).

TERAPI PENYULITTerapi penyulit pada krisis kolinergik, obat-obat antikolinesterase dihentikan sementara dan dimulai dengan dosis yang lebih kecil bila keadaan menjadi stabil. Segera diberikan atropin 1,25 mg intravena dan diberikan 1,25 mg intramuskular setiap jam sampai keringat berhenti dan pupil midriasis lebih dari 3 mm. Pada krisis miastenia diberikan neostigmin 1-2,5 mg intramuscular ( Harsono, 2011 ).

KESIMPULANMiastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivita. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B melawan reseptor asetilkolin. Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan, thymomectomy ataupun dengan kortikosteroid yang dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis.

DAFTAR PUSTAKAEngel, A. G. MD. 2008. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann Neurol 16: Page: 519-534.Harsono, 2011. Buku Ajar Neurologi Klinik PERDOSSI. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 327-332.Ngoerah, I. G. N. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press. Page: 301-305. Finnis F M and Jayawant S. 2011. Juvenile Myasthenia Gravis: A Paediatric Perspective. Review Article. Department of Paediatric Neurology, Childrens Hospital, John RadcliffeHospital,Oxford OX39 DU,UK. Volume 2011, Article ID 404101,7 pagesSidharta P. 2008 .Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta. Penerbit Dian Rakyat