miranti lbm3 tht

Upload: miranti-dewi-puspitasari

Post on 03-Apr-2018

242 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    1/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    STEP 7

    1.Anatomi dan fisiologi

  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    2/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    3/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    4/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    2. KENAPA hidung selalu tersumbat yang makin lama makin

    berat?

  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    5/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    Kenapa konka bisa oedem?

    Perubahan morfologi dari mukosa respirasi pada Sinusitis Kronik menunjukkan adanya

    disorientasi siliar, hilangnya sel-sel silia dan peningkatan jumlah sel non silia, metaplasia,

    ekstrasi dari sel-sel epitel dan silia-silia yang pendek yang kesemua hal tersebut

    mengindikasikan sebagai suatu siliogenesis.

  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    6/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    3.Bagaimana bisa terbentuk polip?

    Mekanisme patogenesis yang bertanggungjawab terhadap pertumbuhan polip nasi sulit

    ditentukan. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan polip, antara

    lain:

    1. Proses inflamasi yang disebabkan penyebab multifaktorial termasuk familiar dan

    faktor herediter

    2. Aktivasi respon imun lokal

    3. Hiperaktivitas dari persarafan parasimpatis.

    Semua jenis imunoglobulin dapat ditemui pada polip nasi, tapi peningkatan IgE merupakan

    jenis yang paling tinggi ditemukan bahkan apabila dibandingkan dengan tonsil dan serum

    sekalipun. Kadar IgG, IgA, IgM terdapat dalam jumlah bervariasi, dimana peningkatan

    jumlah memperlihatkan adanya infeksi pada saluran napas.

    Beberapa mediator inflamasi juga dapat ditemukan di dalam polip. Histamin merupakan

    mediator terbesar yang konsentrasinya di dalam stroma polip 100-1000 konsentrasi serum.

    Mediator kimia lain yang ikut dalam patogenesis dari nasal polip adalah Gamma

    Interferon (IFN-) danTumour Growth Factor (TGF-). IFN- menyebabkan migrasi dan

    aktivasi eosinofil yang melalui pelepasan toksiknya bertanggungjawab atas kerusakan epitel

    dan sintesis kolagen oleh fibroblas . TGF- yang umumnya tidak ditemukan dalam mukosa

    normal merupakan faktor paling kuat dalam menarik fibroblas dan meransang sintesismatrik ekstraseluler. Peningkatan mediator ini pada akhirnya akan merusak mukosa

  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    7/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    rinosinusal yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap natrium sehingga

    mencetuskan terjadinya edema submukosa pada polip nasi.

    Fenomena bernouli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui celah yang sempit akan

    mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya, sehingga jaringan yang lemah akan

    terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga menyebabkan polip, fenomena ini dapat

    menjelaskan mengapa polip banyak terjadi pada area yang sempit di kompleks osteomatal.

    Patogenesis polip pada awalnya ditemukan bengkak selaput permukaan yang kebanyakan

    terdapat pada meatus medius, kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler

    sehingga selaput permukaan yang sembab menjadi berbenjol-benjol. Bila proses terus

    membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai

    sehingga terjadi Polip

    Epitel normal dari kavum nasi adalah epitel

    kolumnar bertingkat semu bersilia. Epitel permukaan dari sinus lebih tipis, memiliki sel

    goblet dan silia yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan kavum nasi.

    4.Mengapa pasien mengeluh rhinore, bersin2, gatal, dan apakah

    ada hubungannya dengan obat pilek yang dibeli?

    http://www.youtube.com/watch?v=tyf4EAdtll8&feature=youtube_gdata
  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    8/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    Kandungan obat:

    1. Analgesik-antipiretik.

    Ini istilah medis untuk obat yang khasiatnya meredakan nyeri (analgesik) dan menurunkan

    demam (antipiretik. Obat flu berisi pereda nyeri karena memang salah satu gejala flu yang

    mungkin timbul adalah sakit kepala. Adapun kandungan antipiretik dimaksudkan untukmenurunkan gejala panas badan (demam) yang menyertai flu.

  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    9/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    Contoh golongan obat ini antara lain parasetamol dan asetosal. Di kemasan obat,

    parasetamol kadang ditulis sebagai asetaminofen, sedangkan asetosal kadang ditulis dalam

    versi panjangnya, asam asetil salisilat.

    2. Dekongestan (Pelega Hidung)

    Obat golongan ini bekerja melegakan hidung tersumbat. Istilah dekongestan berasal dari

    kata de- yang berarti menghilangkan, dan congest yang merujuk pada penyumbatan saluran

    hidung. Contohnya fenil propanolamin dan pseudoefedrin.

    3. Antihistamin (Obat Alergi)

    Obat ini bekerja dengan cara menetralkan histamin. Histamin sendiri adalah bahan yang

    bertanggung jawab terhadap timbulnya gejala flu-pilek seperti hidung meler dan bersin-

    bersin. Contoh obat golongan ini klorfeniramin maleat, difenhidramin, tripolidin,

    bromfeniramin maleat.

    Selain punya khasiat antialergi, antihistamin juga punya khasiat sampingan menekan refleks

    batuk dan efek samping membuat kantuk. Itu sebabnya, saat minum obat flu yang

    mengandung antihistamin, kita disarankan untuk tidak mengendarai kendaraan bermotor

    karena obat ini bisa menyebabkan kantuk dan mengurangi konsentrasi.

    4. Obat batuk

    Karena flu kadang disertai batuk, banyak produk obat flu mengandung obat batuk. Ada dua

    kelompok besar obat batuk, yaitu penekan batuk (antitusif) dan pengencer dahak

    (ekspektoran). Antitusif bekerja langsung di otak dengan cara menekan sistem refleks batuk.Contoh obat, dekstrometorfan dan noskapin.

    Sementara ekspektoran bekerja dengan cara membantu mengurangi kekentalan dahak

    sehingga lebih mudah dikeluarkan. Contoh obat, bromheksin, guaifenesin (biasa disebut

    juga gliseril guajakolat, GG), ambroksol, dan karbosistein.

    5.Kenapa pasien kurang bisa membau parfum jika aromanya

    tidak tajam?

  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    10/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    Fungsi pembau dipengaruhi oleh :

    1. Defek konduksi : gangguan transport transmisi stimulus reseptor.

    2. Defek Neurosensori: gangguan di SSP stimulus reseptor tidak mampu .Gangguan penghidu dipengaruhi oleh neuroepitel olfaktorius yang terletak pada

    rongga hidungbagian atas dekat cribiform plate, septum nasi superior dinding nasal

    supralateral, neuroepitel mengandung chemoreseptor yang menghasilkan sel

    reseptor pembau apabila neuro epitel terganggu menurunkan sel chemoreseptor

    berakibat fungsi pembau menurun.

    Etiologi :

    - Obstruksi saluran hidung : Rinitis, Polip, Tumor Nasal.

    - Trauma kepala (Frontal, Kerusakan jaringan, gangguan nervus I)- Proses menua

    - Zat kimia beracun (dengan paparan terus, iritasi hidung, proses membau menurun.

  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    11/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    - Gangguan kromosom, menurunkan reseptor pembau.

    6.Bagaimana cara dokter mendiagnosa adanya polip dan apa

    yang ditemukan pada hasil px?

    Dapat dilakukan pemeriksaan Endoskopi nasal dan sinus untuk memastikan adanya

    polip nasal maupun sinus dan untuk menentukan letak polip nasal tersebut. Dapat pula

    dilakukan pemeriksaan CT-scan, tes alergi,kultur tetapi hal ini dilakukan atas indikasi.

    Gambar dari suatu polip nasiyang tampak dengan endoskopi.

    7.Mengapa ingusnya sering encer, kadang kental, bewarna

    kuning mengalir ke tenggorok disertai dengan demam?

  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    12/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    Mucus dalam jumlah kecil pada hidung bersifat normal untuk membersihkan hidung

    dari partikel-partikel yang ikut masuk melalui respirasi seperti debu, kotoran, dal

    lain-lain. Partikel tersebut akan ditangkap oleh mucus yang dikeluarkan oleh sel

    goblet dan akan dialirkan oleh silia pada mukosa hidung. Jika terjadi terjadi gangguan

    pada mukosa seperti edema mukosa akan menyebabkan ostium tersumbat karenasilia tidak dapat bergerak. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus

    yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Bila kondisi ini

    menetap, sekret yang terkumpul merupakan media baik untuk pertumbuhan bakteri.

    Sekret jadi purulen.

    Enzim myeloperoksidase. Enzim ini berperan mematikan protein yang terdapat

    dalam granula netrofil azurofilik & lisosom monosit utama & berwarna hijau dalam

    pus.

    Post nassal drip

    Post-nasal discharge, also called post-nasal drip (PND), describes the sensation of mucous

    accumulation in the throat or a feeling that mucus is dripping downward from the back of

    the nose. PND can be caused by excessive or thick secretions or throat muscle and

    swallowing disorders.

    Normally, the glands lining the nose and sinuses produce one to two quarts of thin mucus a

    day. On the surface of this mucous membrane lining, the rhythmic beat of invisible cilia

    (which look like tiny hairs under the microscope) thrust the mucus backward. Then it is

    swallowed unconsciously. This mucus lubricates and cleanses the nasal membranes,

    humidifies air, traps and clears inhaled foreign matter, and fights infection. Mucus

    production and clearance is regulated by a complex interaction of nerves, blood vessels,

    glands, muscles, hormones, and cilia.

    8.Bagaimana fisiologi sistem drainase dari sinus paranasal?

    http://www.artikelkedokteran.com/850/sindrom-nefrotik.htmlhttp://www.artikelkedokteran.com/850/sindrom-nefrotik.html
  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    13/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    Paranasal sinus merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala sehingga terbentuk

    rongga di dalam tulang. Rongga tersebut berisi udara dan dilapisi oleh mukosa bersilia dan

    palut lendir. Pada keadaan normal sinus tidak mengandung organisme atau bakteri. Di

    dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium

    alamiahnya pada rongga hidung mengikuti jalur pola yang telah ditentukan. Jadi mucus

    tersebut dapat dikeluarkan dan udara dapat bersirkulasi dengan baik.

    Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transpot mukosiliar sinus. Lendir yang

    berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid

    dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba eustacius. Lendir yang berasal dari sinus

    posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis dialirkan ke nasofaring di posteriorsuperior

    muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati post nasal drip tetapi belum tentu ada

    sekret di tenggorokan.

    Fungsi:

    Sebagai pengatur kondisi udara

    Sebagai penahan suhu

    Membantu keseimbangan kepala

    Membantu resonansi suara

    Sebagai peredam perubahan tekanan udara

    Membantu produksi mucus

    1. Sinus frontal : terletak pada tulang frontal, biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus

    berlekuklekuk. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang tipis dari orbita dan fossa

    cerebri sehingga infeksi akan mudah menyebar ke daerah ini. Persarafan adalah

    dengan nervus supraorbital (V1)

    2. Sinus maksilaris adalah sinus paranasal terbesar. Dengan batas-batas: superior

    dasar orbit, inferior = prosesus alveolaris dan palatum, anterior = permukaan facial os

    maksila, posterior : permukaan infra temporal maksila, medial = dinding lat dari

    rongga hidung. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinusdan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum ethmoid.

  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    14/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    a. sinus maksilaris sangat berdekatan dengan akar gigi (P1,P2, M1,M2) sehingga

    infeksi gigi geligi mudah naik ke atas disebut sinusits dentogen

    b. sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita

    c. pembukaan sinus maksila ini terletak lebih tinggi daripada dasar sinus,

    sehingga drainase hanya tergantung gerak cilia dan juga hanya melalui

    infundibulum yang sempit. Pembengkakan pada daerah iniakibat radang atau

    alergi dapat menghalangi drainase sinus maksila dan bisa terinfeksi lebih

    mudah = sinusitis

    Suplai darah : arteri superior alveolar (arteri maksilaris) Persarafan = cabang dari

    nervus anterior/ middle / posterior alveolar superior (V2)

    3. Sinus Etmoidal yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap penting karena

    merupakan focus infeksi bagi sinus lainnya. Sinus ini berongga-rongga terdiri dari

    sel-sel yang menyerupai sarang tawon yang terletak di dalam massa bagian lateral os

    etmoid, antara konka media dan dinding medial orbita. Dibagi menjadi sinus etmoid

    anterior dan posterior.Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit yang disebut resesus

    frontal yang berhubungan dengan sinus frontal dan pembengkakan pada daerah ini

    dapat menyebabkan sinusitis frontalis. Set etmoid yang terbesar disebut bula etmoid

    juga di daerah ini ada penyempitan yang disebut infundibulum tempat bermuaranya

    ostium sinus maksila dan pembengkakannya dapat menyebabkan sinusitis maksila.

    Batas-batas : atap = lamina kribosa, lateral = lamina papirasea yang sangat tipis dan

    membatasi sinus etmoid dari rongga orbita, posterior = sinus sfenoid.

    Persarafan adalah nervus anterior/posterior etmoid cabang dari C1

    4. Sphenoid : sinus terletak di tulang sphenoid, bagian dari atap rongga hidung adalahatap rongga hidung pada bagian ni lemah. Jika rusak dalam perkelahian, dapat

    menyebabkan kebocoran isi sinus atau bahkan CSF keluar dari hidung. Persarafan

    adalah nervus ethmoidal posterior.

    9.Apakah ada hubungannya keluhan pasien dengan keluhan

    istrinya?

    Reaksi fisiologis suhu turun. Ketika tidur silia bergerak lambat.

    Berhubungan dengan. Orang alergi ige tereksitasi sehingga

    terjadi reaksi silang. reaksi hipersensitivitas

    10. Apa hubungannya riwayat hipertensi dan epistaksis?

    Hipertensi mungkin berkontribusi terjadinya epistaksis, tetapi teori ini kontroversial. Sebuah

    studi cross-seksional, studi berdasarkan populasi menunjukkan tidak ada hubungan antara

    epistaksis dan hipertensi. Dalam sebuah studi prospektif pasien dengan hipertensi yangmempunyai epistaksis, insiden epistaksis tidak tergantung pada keparahan dari hipertensi.

  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    15/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    Dalam populasi ini, tekanan darah yang diukur pada saat epistaksis sama dengan tekanan

    yang diukur setiap saat. Dalam penelitian yang berbeda dilaporkan bahwa peningkatan

    tekanan darah terjadi pada pasien epistaksis. Ketika onset epistaksis mendadak terjadi, hal

    ini menjadikan sulit menilai apakah hipertensi adalah penyebabnya, karena banyak pasien

    dengan perdarahan yang aktif mempunyai kecemasan yang memicu peningkatan tekanandarah. Talangiektasis hemorraghic heriditer adalah gangguan genetik lainnya yang

    mengakibatkan hidung berdarah.

    Sebab2 epistaksis???

    Keadaan lokal dan sistemik memberikan kontribusi terjadinya epistaksis. Yang paling sering

    adalah dipicu sendiri dengan tangan, khususnya pada anak-anak. Trauma mukosa dari obat

    hidung topikal, seperti kortikosteroid atau antihistamin, mungkin mengakibatkan epistaksis

    minimal pada 17-20% dari pasien yang menggunakan produk tersebut. Insiden dari

    epistaksis muncul lebih rendah jika pasien langsung menyemprotkan ke arah lateral untuk

    meminimalkan efek pengobatan ini pada septum. Pelarangan penggunaan obat hidung

    mungkin juga karena epistaksis. Profound Epistaksis mungkin akibat dari trauma pada tulang

    atau septum nasal. Dehumidification mukosa nasal mungkin mendasari peningkatan insiden

    epistaksis yang tercatat selama musim dingin. Faktor lain yang berhubungan dengan

    epistaksis termasuk perforasi septum, dimana biasanya menyebabkan mukosa kering,

    rhinosinusitis viral dan bakteri, dan neoplasma.

    11.

    DD?

    1.Rhinitis alergica

    Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan

    diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic

    reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen

    sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL)

    yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan

    dapat berlangsung 24-48 jam.

  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    16/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    Gambar 2.1 Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan

    alergen pertama dan selanjutnya (Benjamini, Coico, Sunshine, 2000).

    Diagnosis rinitis alergi

    Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:1. AnamnesisAnamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.

    Hampir50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah

    terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan

    banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak

    air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama

    atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu

    ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi

    faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi,

    respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkanberdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap

    serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata

    merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).

    2. Pemeriksaan Fisik

    Pada muka biasanya didapatkan garisDennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap

    di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain

    itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian

    sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan

    (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat

    atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanyakelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu,

  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    17/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti

    sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).

    3. Pemeriksaan Penunjang

    a. In vitro

    Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE

    total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bilatanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga

    menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno

    Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi

    hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan

    pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi

    inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan

    sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).

    b. In vivo

    Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau

    intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk

    alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat

    kepekatannya. KeuntunganSET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial

    untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti

    tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan

    provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima

    hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah

    berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan

    setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan

    meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).

    Penatalaksanaan rinitis alergi

    1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.

    2. Simptomatisa. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor

    komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling

    sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi

    atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan

    yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin

    generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada

    SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis

    adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan

    antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari

    saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila

    gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yangsering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason,

    mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    18/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena

    aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).

    b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka

    inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25

    % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).

    c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasimembentukblocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung

    lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).

    2.Rhinosinusitis

    Rinosinusitis

    Sinusitis dapat didefinisikan sebagai peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus

    paranasal, umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut sebagai rinosinusitis.

    Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus

    paranasal disebut pansinusitis. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)Menurut Konsensus International tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan

    batas sampai 4 minggu, sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3 bulan atau 12 minggu dan

    kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12 minggu. (Soetjipto D & Wardani RS,2007) Rinosinusitis kronis

    adalah peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang menetap selama lebih 12 minggu atau

    4 kali serangan akut berulang pertahun yang masing-masing serangan lebih dari 10 hari.

    Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2

    gejala minor. Pemeriksaan fisik THT dengan menggunakan nasoendoskopi dan foto polos hidung dan

    sinus paranasal atau SPN. (Busquets JM ,2000 ; Draft , 1995 ; Stankiewicz, 2001)

    Gejala Mayor :

    Hidung tersumbat

    Sekret pada hidung / sekret belakang hidung / PND

    Sakit kepala

    Nyeri / rasa tekan pada wajah

    Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)

    Gejala Minor :

    Demam, halitosis

    Pada anak ; batuk, iritabilitas

    Sakit gigi

    Sakit telinga / nyeri tekan pada telinga / rasa penuh pada telinga.

    Kriteria lain dalam menegakkan rinosinusitis adalah berdasarkan European Position Paper

    On Rhinosinusitis And Nasal Polyps (EPOS), 2007, maka panduan untuk penatalaksanaan

    rhinosinusitis kronis pada orang dewasa bagi para dokter spesialis THT adalah sebagai berikut :

    Gejala dan tanda

    Gejala yang timbul lebih dari 12 minggu.

    Dua atau lebih gejala, salah satu yang seharusnya dijumpai adalah hidung tersumbat /

    pembengkakan / keluarnya cairan dari hidung ( cairan hidung yang menetes keluar bisa melalui

    anteriormaupunposterior) :

    disertai rasa sakit pada wajah / rasa tertekan pada wajah

    berkurang / hilangnya penciuman

  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    19/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    Berdasarkan anamnesis ada tanda-tanda alergi seperti : bersin , ingus yang cair, hidung gatal dan

    mata gatal berair. Jika positif dijumpai tanda-tanda alergi tersebut maka dilakukan tes alergi.

    (Fokkens W.2007)

    2.8 Kekerapan

    Kaszuba, 2006, mencatat bahwa penyakit sinusitis akut ataupun kronik telah dapat

    diperkirakan meningkat hingga mencapai 31 juta orang setiap tahunnya dengan perkiraan rata-rata

    4 hari tidak bekerja setiap tahunnya akibat menderita penyakit tersebut. Sebagian besar pasien

    dengan rinosinusitis mencari pengobatan langsung dengan dokternya, dengan lebih dari 18 juta yang

    berkunjung ke praktik dokter setiap tahunnya yang terdiagnosis penyakit rinosinusitis. (Kaszuba,

    2006)

    Pada tahun 1996, di Amerika Serikat , seluruh pelayanan kesehatan mencatat bahwa

    pelayanan yang dikeluarkan hingga berakhir dengan tegaknya diagnosis sinusitis diperkirakan lebih

    dari 5,8 miliar dolar Amerika dan termasuk dalam 10 besar diagnosis penyakit pada seluruh

    kunjungan praktik dokter di Amerika Serikat. (Kaszuba, 2006)Sedangkan Chen Bei, 2006, memperkirakan bahwa rinosinusitis adalah salah satu keluhan

    medis yang terbanyak dijumpai, hingga mencapai 16% populasi, dan diperkirakan 13 juta setiap

    tahunnya yang berkunjung ke praktik dokter di Amerika Serikat dan diperkirakan menghabiskan

    biaya sekitar 6 milliar dolar Amerika setiap tahunnya. (Chen B, 2006)

    Di RSUP.H.Adam Malik Medan jumlah penderita rinosinusitis dari bulan Januari 2006

    Desember 2008 adalah 1967 orang.

    2.9 Patofisiologi

    Fungsi ventilasi dan drainase adalah penting dalam menjaga kondisi sinus agar tetap normal.

    Hal ini berhubungan erat dengan keadaan KOM penderita. Apabila KOM terganggu dapat

    menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi yang menurunkan kandungan oksigen, peningkatan

    PCO2, menurunkan pH, mengurangi

    aliran darah mukosa. Pembengkakan mukosa juga dapat menyempitkan ostium dan

    menurunkan fungsi pembersihan mukosiliar. (Ballenger JJ, 1994 ; Busquets JM, 2006 ; Wilma T,

    2007)

    Sakakura, 1997, menerangkan bahwa patofisiologi dari rinosinusitis kronik berawal dari

    adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoaktif

    amin, proteases, arachidonic acidmetabolit, imun kompleks, lipopolisakarida dan lain-lain. Hal- hal

    tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan dari mukosa hidung dan akhirnya menyebabkandisfungsi mukosiliar. Adanya disfungsi mukosiliar menyebabkan terjadinya stagnasi mukus.

    Akibatnya bakteri akan semakin mudah untuk berkolonisasi dan proses inflamasi akan kembali

    terjadi. (Katsuhisa K, 2001 ; Sakakura, 1997)

  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    20/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    2.10 Gejala Klinis Dan Diagnosa

    Rinosinusitis didiagnosis apabila dijumpai 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala

    minor. Jika hanya 1 gejala mayor atau 2 atau lebih gejala minor yang dijumpai, maka diperkirakan

    sebagai persangkaan rinosinusitis yang harus termasuk sebagai diagnosis banding. (Busquets JM

    ,2000 ; Draft , 1995 ; Stankiewicz, 2001)

    Gejala Mayor :

    Obstruksi hidung

    Sekret pada hidung / sekret belakang hidungSakit kepala

    Nyeri / rasa tekan pada wajah

    Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)

    Gejala Minor :

    Demam, halitosis

    Pada anak ; batuk, iritabilitas

    Sakit gigi

    Sakit telinga/ nyeri tekan pada telinga/rasa penuh pada telinga

    Tx.

    Cairan Salin

    Cairan Salin sebagai adjuvan terapi pada sinusitis dapat mencegah sekresi krusta pada

    rongga hidung, khususnya di KOM. Hal ini difasilitasi oleh gerak mekanik silia dalam mendorong

    gumpalan mukus yang dibersihkan dengan cairan salin. Secara teoritis cairan hipertonik salin

    kemungkinan dapat mengurangi edema mukosa secara difusi berdasarkan kandungan

    osmolaritasnya. Hal ini dapat meningkatkan daya pembersihan mukosiliar dan secara sekunder

    dapat memperbaiki patensi dari ostium sinus. Penelitian dari Mayers et al, menunjukkan bahwa

    terjadi peningkatan sebesar 12 kali dalam peningkatan pembersihan mukosiliar yang dibuktikan

    dengan mukosa dari trakea binatang yang dicuci dengan cairan yang sama dengan cairan buffer

    hipertonik salin. (Talbot AR, 1997 ; Raymond GS,2005, Shoseyov D, 2005)

  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    21/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    Bagaimana cara hipertonik salin dapat memperbaiki Sinusitis Kronis (SK) masih belum

    dimengerti. Perubahan morfologi dari mukosa respirasi pada SK menunjukkan adanya

    disorientasi siliar, hilangnya sel-sel silia dan peningkatan jumlah sel non silia, metaplasia,

    ekstrasi dari sel-sel epitel dan silia-silia yang pendek yang kesemua hal tersebut

    mengindikasikan sebagai suatu siliogenesis. Hiperosmolaritas dari cairan terhadap jalan

    napas dapat meningkatkan jumlah pengeluaran Ca2+

    dari dalam sel (intraseluler) dan

    peningkatan Ca2+

    ini mungkin

    dapat merangsang peningkatan dari frekuensi gerak silia dan hal ini kemungkinan juga

    dipengaruhi oleh adanya pengaturan dariAdenosin Tri-Phosphat(ATP) oleh axon-axon silia. Efek

    antibakterial topikal dari hipertonik salin dikenal baik dapat memperbaiki luka dan mencuci luka

    yang terbuka. (Shoseyov D, 2005)

    Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)

    Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan tehnik terbaik untuk penatalaksanaan

    rinosinusitis kronik sampai dengan saat ini. BSEF lebih konservatif dengan morbiditas yang rendah

    apabila dibandingkan dengan tehnik operasi yang lain, (Kennedy DW,2006).

    Tehnik bedah ini pertama kali diperkenalkan oleh Messerklinger dan dipopulerkan oleh Stamberger

    di Eropa dan Kennedy di Amerika dengan sebutanfunctional endoscopik sinus surgery(FESS). Tehnik

    operasi ini dilakukan secara bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi sampai

    etmoidektomi total (Ahmed, 2003; Kennedy DW, 2006).

    Konsep dari teknik BSEF adalah didasari pada perubahan yang reversibel pada fungsi

    mukosiliar dan patologi mukosa dengan cara memperbaiki patologi penyakit sinusitis kronis di

    daerah komplek osteomeatal / KOM dan untuk memulihkan fisiologi dari ventilasi serta drainase

    sinus paranasal di daerah KOM ke jalan alamiah, karena meskipun kelainan di KOM sangat minimal

    dapat mengganggu ventilasi sinus dan mucociliary clearance (Busquets JM,2006 ; Katsuhisa I.1996 ;

    Kennedy DW,2006)

    Setelah penelitian Messerklingerpada tahun 1950-1960 an telah banyak peneliti lain yang

    mengkaji ulang serta berusaha membuktikan kevaliditasan teori beliau baik secara simptomatik,

    radiologi, dan mengevaluasi secara patologi pada

    sebelum dan sesudah operasi dan salah satunya adalah Katsuhisa. Menurut beliau konsep

    dari teknik BSEF adalah didasari pada perubahan yang reversibel pada fungsi mukosiliar dan patologi

    mukosa hidung dengan cara memperbaiki patologi penyakit sinusitis kronis di daerah KOM,

    memperbaiki mukosa sinus yang telah rusak dengan cara membuka ostium sinus sealamiah mungkin

    dan bersamaan itu juga memulihkan fisiologi dari ventilasi dan drainase sinus paranasal sehinggadaya pembersihan mukosiliar meningkat. (Katsuhisa I. 1996 : Bassiouny. 2003 : Wilma T.2007)

    http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf

    Klasifikasi Sinusitis

    Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas

    sampai delapan minggu dan kronik jika lebih dari delapan minggu (Mangunkusomo dan

    Soetjipto,2007).

    Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai empat

    minggu, subakut antara empat minggu sampai tiga bulan dan kronik jika lebih dari tiga bulan

    http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdfhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf
  • 7/28/2019 Miranti Lbm3 Tht

    22/22

    m i r a n t i

    LBM 3 MODUL THT

    atau berdasarkan jenis atau tipe inflamasinya yaitu infectious atau non-infectious

    (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007; Sobol, 2011).

    Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut dan kronis (Hilger, 1997).

    Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis tipe rinogen dan sinusitis tipe

    dentogen. Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan kelainan atau masalah di hidung dimana segala

    sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe

    dentogen pula terjadi disebabkan kelainan gigi serta yang sering menyebabkan sinusitis adalah

    infeksi pada gigi geraham atas yaitu gigi pre molar dan molar (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

    http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf

    http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdfhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf