mherdin_31109026_14090416562_jurnal
DESCRIPTION
tugasTRANSCRIPT
-
Seminar Kolokium 11-12 Agustus Page 1
PEMANFAATAN LIMBAH KULIT KACANG KEDELAI DAN KERSEN (Muntingia
calabura L.) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN Nata De Munti
Mochamad Herdi Nurzaman, Lilis Tuslinah, Tresna Lestari
Prodi Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bakti Tunas Husada
ABSTRACT
Research has been conducted through the manufacture of Nata de Munti fermentation method using Acetobacter
xylinum at inoculum concentrations of 30%, 35% and 40% are first converted into ammonium sulfate as a
nitrogen source and cherry fruit in ivertation into glucose as carbon source. The results were obtained on the
fiber content nata inoculum concentration of 30%, 35% and 40% respectively 1.31%, 1.63%, 1.99% and total
plate count, respectively is 12.23 x 102 cfu / grams, 12.59 x 102 cfu / g, 12.89 x 102 cfu / g and the thickness of
nata respectively 12.64 mm, 14.52 mm, 16.16 mm. Based on comparisons with products traded optimum
inoculum concentration was 30%.
Keywords : Skin soybeans waste, cherry fruit and Nata de Munti.
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian pembuatan Nata de Munti melalui metode fermentasi dengan menggunakan
Acetobacter xylinum pada konsentrasi inokulum 30%, 35% dan 40% yang terlebih dahulu dirubah menjadi
ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen dan buah kersen yang diinvertasi menjadi glukosa sebagai sumber
karbon. Hasil penelitian diperoleh kadar serat nata pada konsentrasi inokulum 30%, 35% dan 40% masing-
masing adalah 1,31%, 1,63%, 1,99% dan angka lempeng total masing-masing adalah 12,23 x 102 cfu/ gram,
12,59 x 102 cfu/ gram, 12,89 x 10
2 cfu/ gram serta ketebalan nata masing-masing 12,64 mm, 14,52 mm, 16,16
mm. Berdasarkan perbandingan dengan produk yang diperdagangkan konsentrasi inokulum optimum adalah
30%.
Kata kunci : limbah kulit kacang kedelai, buah kersen dan Nata de Munti
PENDAHULUAN
Serat merupakan komponen makanan yang
harus dipenuhi karena serat sangat diperlukan pada
sistem pencernaan. Kurangnya asupan serat bisa
berdampak pada banyak hal, seperti sembelit atau
konstipasi (susah buang air besar), wasir, penyakit
divertikulosis, kanker usus besar, radang apendiks,
kencing manis, jantung koroner, dan kegemukan
(obesitas). Pola makan masyarakat modern
nampaknya tidak sadar serat, hal ini disebabkan
karena masyarakat lebih memilih untuk
mengkonsumsi makanan instan (junk food) yang
relatif sedikit mengandung serat. Menurut data dari
Indonesia Vegetarian Society (IVS), "Warga
Indonesia baru mampu memenuhi kebutuhan serat
sekitar 10 gram-15 gram per hari. Sedangkan menurut Food and Nutrition Board dari US
National Academy of Sciences merekomendasikan
konsumsi serat sekitar 25-35 gram per hari untuk
setiap individu. (Gaya Hidup Sehat No. 555 / 5-11
Maret 2010http://www.p3gizi.litbang.depkes.go.id)
Nata berupa lapisan putih, kenyal (agak liat),
dan padat sebagai hasil fermentasi oleh bakteri
Acetobacter xylinum. Jenis makanan ini mirip
dengan kolang-kaling, dapat digunakan sebagai
manisan, pengisi es krim, yoghurt, jelli, agar-agar,
dan sebagai campuran cocktail. Nata dapat dibuat
dari air kelapa, tetes tebu (molases), limbah cair
tebu atau sari buah (Sutarminingsih, 2004).
Acetobacter xylinum dapat hidup dan berkembang
biak dalam suatu media dengan suhu 28 C, pH 3-
5,5, dengan tersedia sumber karbon dan nitrogen
(Dwiari, 2008).
Kersen atau talok (Muntingia calabura L.)
merupakan salah satu jenis buah yang terdapat di
Indonesia, mempunyai penyebaran yang merata.
Tanaman kersen yang terdapat di sepanjang sungai
Cimulu, Cilolohan kota Tasikmalaya banyak
tumbuh dengan subur, tetapi selama ini
pemanfaatannya belum optimal, buah kersen yang
mempunyai rasa manis hanya dimakan ataupun
dibiarkan begitu saja sampai membusuk di atas
pohon.
Tempe merupakan salah satu makanan
tradisional Indonesia hasil fermentasi kacang
kedelai, kandungan dan manfaat yang ditawarkan
makanan ini menjadikan banyak negara asing yang
mulai memproduksi tempe dengan membangun
industri-industri tempe di negara mereka. Semakin
banyaknya kacang kedelai yang diolah maka makin
banyak limbah yang dihasilkan, tidak adanya
-
Seminar Kolokium 11-12 Agustus Page 2
sistem penanganan terhadap limbah yang
dihasilkan merupakan tantangan bagi akademisi
untuk mengolah limbah tersebut menjadi bahan
yang bermanfaat dan memiliki nilai ekonomi.
Berdasarkan hasil penelitian kulit kacang kedelai
mengandung kadar protein 18-26%. (Prof. Eddy
Muchtadi, 2010).
Sumber nitrogen untuk media Acetobacter
xylinum dapat berasal dari nitrogen anorganik.
Sumber nitrogen anorganik diantaranya amonium
sulfat, urea, kalium nitrat dan zwuafel ammonium
(ZA) (Ajaban, 1961). Amonium sulfat bisa
didapatkan dari limbah kulit kacang kedelai yang
mengandung protein tinggi dengan cara memecah
senyawa organiknya menjadi senyawa
anorganiknya.
Nata de Munti adalah nata yang dibentuk oleh
bakteri asam (Acetobacter xylinum) dari campuran
bahan yang berasal dari kulit kacang kedelai yang
dikonversi menjadi amonium sulfat sebagai sumber
nitrogen dan kersen sebagai sumber karbon.
METODOLOGI PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat dan Bahan yang digunakan adalah botol
500 ml dan 1000 ml, autoklaf, gelas kimia 500 ml
dan 1000 ml, Erlenmeyer 500 ml dan 1000 ml,
kertas koran, loyang, corong Buchner, kertas
whatman 541, cawan petri, ose, H2SO4, NaOH,
pereaksi Luff schoorl, natrium tiosulfat, amilum,
HCl, K2SO4, etanol, NaCl fisiologis, agar nutrien,
penetrometer.
Sampel Penelitian
Sampel yang digunakan adalah limbah kulit
kacang kedelai yang didapat dari pabrik tempe jl.
Ampera dan buah kersen dari pinggir sungai
Cimulu, kota Tasikmalaya.
Prosedur Penelitian
Determinasi Buah Kersen
Determinasi buah kersen dilaksanakan di
Laboratorium Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati
ITB.
Pembiakan Kultur Acetobacter xylinum
Strain murni Acetobacter xylinum dibiakan
pada agar miring dan inkubasi pada suhu 27C
selama 5 hari.
Pembuatan Inokulum Nata
Biakan murni dari Acetobacter xylinum
diinokulasikan pada media starter yang
berkomposisikan 500 mL air kelapa, 1 gram
amonium sulfat dan asam asetat glasial sampai pH
4. Inkubasi selama 5 hari (Hamdalah, 2011).
Preparasi Sampel
Limbah kulit kacang kedelai didestruksi basah
menggunakan H2SO4 dan K2SO4 diperoleh
amonium sulfat. Buah kersen dicuci bersih, di
blender kemudian disaring sampai didapat
filtratnya. Filtrat dinvertasi dengan penambahan
HCl kemudian disterilkan menggunakan autoklaf
121 oC selama 15 menit.
Penentuan Kadar Nitrogen Sampel dengan
Metode Kjeldahl
Timbang 3 gram sampel dimasukan ke dalam
labu Kjeldahl tambah 1 gram Na2SO4, 0,1 gram
CuSO4 dan setelah itu ditambah H2SO4 pekat lalu
dipanaskan sampai cairan menjadi jernih. Api
dimatikan dan dibiarkan bahan menjadi dingin.
Hasil kemudian di destilasi dengan penambahan 10
mL NaOH 50% dan butiran zink. Destilat
ditampung dalam Erlenmeyer yang berisi 25 mL
HCl 0,1 N dan 3 tetes indikator metil merah.
Kelebihan HCl kemudian di titrasi dengan NaOH
(Osborne, 1978).
Penentuan Kadar Gula dengan Metode Luff
schoorl
Penetapan Blanko
10 mL air dimasukan ke dalam Erlenmeyer
tambah 25 mL larutan Luff schoorl kemudian
campur dan panaskan selama 10 menit, dinginkan
segera. Tambah 1,5 gram KI dan H2SO4 6 N sampai
pH 3 lalu dititrasi dengan Na2S2O3 tambah
indikator amilum. Titik akhir berwarna biru.
Penetapan Kadar Gula Invert
Sebanyak 10 ml sari buah kersen ditambahkan
Pb-asetat hingga semua protein terendapkan. Untuk
menghilangkan kelebihan Pb ditambahkan Na-
karbonat, kemudian di kocok dan disaring.
Ditambahkan 3 ml HCl 4 N dan dipanaskan selama
20 menit. Setelah dingin dimasukan kedalam labu
ukur 100 ml dan ditambahkan 3 tetes indikator
fenolftalin, netralkan dengan NaOH 10% hingga
timbul warna. Tambahkan HCl 0,1 N tetes demi
tetes hingga warna hilang, kemudian encerkan
dengan akuadest sampai tanda batas. Dipipet 10 ml
larutan tersebut kemudian dimasukan kedalam
labu ukur 100 ml tambahkan sampai tanda batas.
Dipipet 10 ml masukan kedalam Erlenmeyer 250
ml, tambahkan 25 ml larutan Looff schoorl.
Kemudian dipanaskan sampai mendidih dan segera
didinginkan. Ditambahkan KI sebanyak 1 gram dan
dan 10 ml H2SO4 6 N sambil digoyang-goyang.
Kemudian dititrasi dengan menggunakan Na2S2O3
0,1 N dengan indikator amilum 1% hingga larutan
berubah menjadi biru-putih (Osborne, 1978).
-
Seminar Kolokium 11-12 Agustus Page 3
Pembuatan Nata de Munti
Mencampurkan limbah kulit kacang kedelai
yang sudah dirubah menjadi amonium sulfat dan
hasil invertasi kersen dengan perbandingan kadar
protein dan karbohidrat kedua limbah tersebut
adalah 2 gram : 30 ml. Kemudian tambahkan
variasi inokulum (starter) 30%, 35%, dan 40% dari
satu inokulum nata lalu tambahkan asam asetat
glasial sampai pH 4. Wadah ditutup dengan kertas
Koran lalu diinkubasi selama 7 hari.
Pemisahan Nata de Munti dari Media
Lembaran Nata de Munti yang terbentuk
dibersihkan dicuci dan direndam semalam. Setelah
bersih lembaran nata dipotong bentuk kubus
kemudian direbus sampai bau dari cukanya hilang.
Nata yang sudah dingin kemudian direbus kembali
dalam air dengan penambahan gula untuk memberi
rasa Nata de Munti.
Uji Kualitas Nata de Munti
Uji Kadar Serat Kasar
Timbang 3 gram Nata De Munti ditambah
larutan H2SO4 1,25% kemudian didihkan selama 30
menit dengan menggunakan pendingin tegak
kemudian tambah NaOH 1,25% dan didihkan lagi
selama 30 menit. Dalam keadaan panas saring
dengan corong Buchner yang berisi kertas saring
tak berabu yang telah dikeringkan dan diketahui
bobot konstannya. Mencuci endapan yang terdapat
dalam kertas saring tersebut berturut-turut dengan
HCl 1% panas, air panas dan etanol 96%. Angkat
kertas saring kemudian masukan ke dalam krus
yang telah diketahui bobotnya, dikeringkan pada
suhu 105 oC, didinginkan dan ditimbang sampai
bobot tetap. (Osborne, 1978).
Uji Cemaran Mikroba
Timbang 5 gram sampel ditambahkan
kedalam 45 mL NaCl fisiologis, kocok
homogenkan (hingga mendapatkan pengenceran
10-1
). Sebanyak 1 mL dari campuran tersebut
diambil dan dimasukan ke dalam 9 mL NaCl
fisiologis (pengenceran 10-2
) dan seterusnya sampai
pengenceran10-6
. Masing-masing pengenceran
diambil 1 mL, diinokulasikan pada agar nutrient
dengan sistem tuang. Inkubasi selama 24 jam pada
suhu 37 0C. Koloni yang tumbuh dihitung sebagai
TPC (total plate count). (SNI 19 2897 1992)
Pengaruh Penambahan Inokulum terhadap
Ketebalan
Nata yang diperoleh, dipotong-potong kubus,
diukur ketebalnnya dengan menggunakan jangka
sorong dan data yang diperoleh dianalisis dengan
ANOVA.
Uji Hedonik
Dilakukan terhadap 20 orang panelis yang
dibagi kedalam 3 kelompok untuk menilai rasa, bau
dan warna. Kriteria rasa (tidak enak, enak, sangat
enak), aroma (bau, agak bau, tidak bau), dan warna
(merah, agak putih, putih). Data yang diperoleh
dianalisis dengan metode Friedment Test.
Uji Kekenyalan Metode Penetrometry
Penetrometer disiapkan dan diletakkan pada
tempat yang datar kemudian jarum dipasang, dan
ditambah pemberat pada penetrometer. Sampel nata
disiapkan dan diletakan pada dasar penetrometer
sehingga jarum penunjuk dan permukaan sampel
tepat bersinggungan dan jarum pada skala
menunjukan angka nol. Tekan tuas (lever)
penetrometer selama 10 detik kemudian di baca
skala pada alat yang menunjukan kedalaman
peneterasi jarum kedalam sampel. Kekenyalan nata
adalah b/t/a dengan satuan mm/dt/gr.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembiakan Kultur Acetobacter xylinum
Kultur murni Acetobacter xylinum dibiakan
pada Glucosa Yeast Extract Agar dalam bentuk
agar miring. Kultur murni Acetobacter xylinum
digoreskan pada agar miring yang diinkubasi pada
suhu ruangan selama dua hari karena kultur
Acetobacter xylinum akan berkembang setelah 0-24
jam sejak inokulasi. Kultur akan tumbuh pada
media agar miring.
Pembuatan Inokulum Nata
Pembuatan inokulum ini diperlukan untuk
memproduksi sel mikroba yang maksimal. Pada
dasarnya komposisi media inokulum dan media
fermentasi nata adalah sama terdapat sumber
karbon, sumber nitrogen dan keasaman.
Perbedaannya terletak pada lamanya inkubasi
dimana inokulum nata hanya diinkubasi 5 hari
waktu ini merupakan fase eksponensial
Acetobacter xylinum. Fase ini yang menentukan
kecepatan strain Acetobacter xylinum dalam
membentuk nata karena pada fase ini bakteri
mengeluarkan enzim ekstraselulerpolimerase yang
maksimal untuk mengubah glukosa menjadi
selulosa.
Preparasi Sampel
Sampel harus disterilkan dengan tujuan
membunuh semua mikroorganisme baik patogen
ataupun non patogen, sebelum disterilkan kersen
(Muntingia calabura) terlebih dahulu melalui
proses pencucian, penghalusan kemudian
penyaringan. Filtrat kersen yang telah disterilkan
kemudian diinvertasi dengan HCl, tujuan proses
invertasi ini adalah merubah disakarida dari filtrat
kersen menjadi bentuk yang lebih sederhana yaitu
monosakrida, dimana jika dalam bentuk
-
Seminar Kolokium 11-12 Agustus Page 4
monosakridanya akan memudahkan Acetobacter
xylinum untuk pembentukan serat nata.
Limbah kulit kacang kedelai yang telah
dibersihkan, dihaluskan kemudian dilakukan
destruksi basah dengan H2SO4 pekat dan K2SO4
hingga diperoleh ammonium sulfat. Mekanisme
reaksi pembentukannya adalah:
Senyawa N organik (NH4)SO4
Ammonium sulfat yang terbentuk diuji secara
kualitatif dimana ammonium diuji dengan NaOH
terbentuk uap putih, uap putih tersebut
diidentifikasi sebagai gas ammonia yang dapat
menyebabkan kertas lakmus merah berubah
menjadi biru.
NH4OH + NaOH NH3 + H2O
Uji kualitatif untuk sulfat yaitu dengan
menambahkan larutan barium klorida. Ammonium
sulfat ditambahkan dengan larutan barium klorida
yang kemudian terbentuk endapan putih.
SO42-
+ Ba2+
BaSO4
Penentuan Kadar Nitrogen Sampel
Dilakukan metode Kjeldahl pada limbah kulit
kacang kedelai, diperoleh kadar nitrogen sebesar
0,87% dengan membandingkan berat molekul
antara (NH4)2SO2 dan N maka kadar ammonium
sulfat nya adalah 8,20%.
Acetobacter xylinum menghasilkan enzim
dalam aktivitas perkembangbiakannya dan media
yang jadi tempat perkembangannya harus
memenuhi sumber nutrisi yang dibutuhkan,
diantaranya adalah sumber nitrogen yang berasal
dari ammonium sulfat. Apabila didalam media
kekurangan nitrogen akan menyebabkan jumlah sel
Acetobacter xylinum berkurang sehingga dapat
menghambat pembentukan enzim dan akibatnya
proses fermentasi tidak akan sempurna atau
mengalami kegagalan.
Penentuan Kadar Gula
Karbohidrat merupakan subtrat utama yang
akan digunakan dalam tahap proses fermentasi,
terutama gula sederhana yaitu monosakarida. Kadar
gluksoa dalam medium fermentasi berpengaruh
pada penyediaan energi dan pembentukan senyawa
metabolit.
Pengukuran karbohidrat yang merupakan gula
pereduksi dengan metode Luff Schoorl didasarkan
pada reaksi sebagai berikut :
R-COH + 2Cu2+
Cu2O + R-COOH
2Cu2+
+ 4I- Cu2I2 + I2
I2 + S2O32-
S4O62-
+ 2I-
(Sudarmadji,1989)
Monosakarida mereduksikan CuO dalam
larutan Luff Schoorl menjadi Cu2O. Kelebihan
CuO direduksikan dengan KI berlebih, sehingga
dilepaskan I2. I2 yang dibebaskan tersebut dititrasi
dengan larutan Na2S2O3. Pada dasarnya prinsip
metode analisa yang digunakan adalah Iodometri
yang merupakan titrasi tidak langsung dan
digunakan untuk menetapakn senyawa-senyawa
yang bersifat oksidator kuat seperti halnya tembaga
pada pereaksi Luff Schoorl ini (Ganjar, 2007).
Hasil pemeriksaan kadar glukosa yang
terkandung dalam kersen (Muntingia calabura)
adalah 22,3%.
Adanya glukosa dalam media akan
dimanfaatkan oleh Acetobacter xylinum sebagai
sumber karbon. Glukosa akan masuk kedalam sel
dan digunakan bagi penyediaan energi yang
dibutuhkan dalam perkembangbiakannya dan juga
merupakan faktor penting dalam proses fermentasi
untuk membentuk senyawa metabolit diantaranya
adalah selulosa.
Pembuatan Nata de Munti
Media nata yang berkomposisi 30 ml ekstrak
buah kersen dan 2 gram ammonium sulfat
difermentasi selama 7 hari karena Acetobacter
xylinum memiliki beberapa tahap fase pertumbuhan
yaitu fase adaptasi, fase logaritma, fase
pengurangan pertumbuhan, fase stasioner (tetap),
dan fase kematian.
Selama pembuatan nata, wadah tidak boleh
digoyang-goyangkan karena akan menyebabkan
lapisan nata yang terbentuk akan pecah. Kebutuhan
oksigen harus mencukupi karena Acetobacter
xylinum merupakan bakteri aerob. Bila kekurangan
oksigen, bakteri ini akan mengalami gangguan atau
hambatan dalam pertumbuhannya dan tidak boleh
kontak langsung dengan udara karena akan
menyebabkan kematian, sehingga diperlukan
penutup berpori, tetapi tidak terlalu besar untuk
mencegah kontaminasi. Tempat fermentasi nata
harus disesuaikan dengan sifat bakteri Acetobacter
xylinum, karena akan rusak oleh adanya cahaya,
maka harus disimpan ditempat yang gelap pada
suhu 30C yang memiliki sirkulasi udara yang baik.
Pemisahan Nata de Munti dari Media
Pemisahan Nata de munti dari media
dilakukan pada hari ke 7 karena Acetobacter
xylinum memasuki fase pertumbuhan atau fase
stasioner yaitu jumlah sel bakteri yang tumbuh
sama dengan jumlah sel bakteri yang mati. Apabila
pemisahan Nata de munti dilakukan setelah fase
pertumbuhan atau setelah hari ke 7, maka akan
terbentuk lapisan tipis yang terpisah dibawah
lapisan nata yang menyebabkan kenaikan pH dan
pembusukan nata. Pemanenan nata yang terlalu
lama akan mengakibatan bobot nata mengalami
penurunan, hal ini terjadi karena Acetobacter
xylinum berada pada fase kematian dimana akan
H2SO4
K2SO4
-
Seminar Kolokium 11-12 Agustus Page 5
terjadi pengambilan sumber karbon sebagai nutrisi
dari nata dalam bentuk polisakarida yang kemudian
dirubah menjadi monoksakarida oleh Acetobacter
xylinum terhadap pertumbuhan sel yang baru.
Nata yang telah dipanen dicuci bersih dengan
menggunakan air yang mengalir, kemudian
direndam semalam untuk menghilangkan bau asam
yang dihasilkan oleh Acetobacter xylinum sebagai
produk metabolit. Nata dipotong kubus dan direbus
dengan air mendidih supaya bau asam benar-benar
hilang untuk menjaga cita rasa dari Nata de munti.
Serat Kasar
Pengujian terhadap nata yang telah dibuat
dengan konsentrasi inokulum 30%, 35%, 40%
didapatkan kadar serat bertutrut-turut 1,307%,
1,693% dan 1,993%. Kadar serat yang paling tinggi
didapat dari data dengan penambahan inokulum
40%, karena secara teori penambahan inokulum
(strater) pada nata berpengaruh pada pembentukan
metabolit sekunder dari Acetobacter Xylinum,
karena aktivitasnya yang dapat merubah glukosa
menjadi selulosa. Menurut Pembayun (2000),
dalam kondisi yang sesuai, bakteri Acetobacter
Xylinum akan menghasilkan enzim ekstraseluler
yang dapat mempolimerisasi zat gula (glukosa)
menjadi ribuan rantai (homopolimer) serat atau
selulosa.
Kadar serat yang tinggi pada nata dapat
mempercepat proses eksresi sisa-sisa makanan dari
saluran pencernaan. Hal ini dapat menurunkan
aktivitas mikroba yang dapat menyebabkan
gangguan di saluran pencernaan.
Cemaran Mikroba
Penentuan angka cemaran mikroba dilakukan
untuk mengetahui jumlah pertumbuhan koloni
bakteri aerob. Pada nata dengan penambahan
inokulum 30% terdapat jumlah koloni bakteri 12,23
x 102 cfu/ gram, nata dengan penambahan 35%
terdapat jumlah koloni bakteri 12,59 x 102 cfu/
gram dan pada nata dengan penambahan 40%
terdapat jumlah koloni bakteri 12,89 x 102 cfu/
gram.
Menurut BPOM angka cemaran mikroba
maksimal yang diperbolehkan dalam nata adalah 1
x 104 cfu/ gram. Dari data, bisa dikatakan bahwa
Nata de munti memenuhi syarat angka lempeng
total, hal ini dikarenakan dalam proses pengerjaan
pembuatan Nata de munti, bahan, alat dan tempat
disterilkan terlebih dahulu. Sehingga angka
pencemaran mikroba dapat diminimalisir,
disamping itu juga pada saat perebusan nata dengan
suhu yang tinggi membantu dalam mengurangi
cemaran mikroba.
Pengaruh Penambahan Inokulum terhadap
Ketebalan
Pengaruh penambahan inokulum yang
bervariasi yaitu 30%, 35%, dan 40% berpengaruh
pada ketebalan nata yang dihasilkan setelah
dilakukan pengujian terhadap nata yang telah
diukur ketebalannya dengan jangka sorong
sehingga didapat data ketebalan setiap variasi
inokulum. Kemudian melalui proses pengolahan
data menggunakan uji statistik yaitu ANOVA
semakin memperkuat bahwa dengan penambahan
inokulum yang bervariasi berpengaruh signifikan
terhadap ketebalan nata. Ketebalan ini dipengaruhi
karena dengan penambahan inokulum yang
semakin banyak dan jumlah nutrisi yang
mencukupi dapat meningkatkan aktivitas bakteri
dalam membentuk enzim ekstraselulerpolimerase.
Uji Hedonik
Hasil uji hedonik yang dilakukan terhadap 20
orang panelis terhadap aroma, rasa, dan warna
pada konsentrasi inokulum 30%, 35%, 40% dan
nata kemasan sebagai pembanding.
Dari hasil uji hedonik untuk aroma, rasa, dan
warna dengan metode Friedment Test dapat
diketahui Mean rank panelis lebih menyukai
aroma, rasa, dan warna pada kemasan, hal ini
karena nata pada kemasan telah diformulasi sesuai
dengan tuntutan konsumen. Tetapi tujuan penelitian
ini hanya sampai bahan baku pembuatan nata.
Kekenyalan
Pada uji kekenyalan menggunakan
penetrometri, dilakukan dengan variasi konsentrasi
nata 30%, 35%, 40% dan nata kemasan sebagai
pembanding.
Hasil uji kekenyalan terjadi perbedaan
signifikan antara nata kemasan dengan konsentrasi
nata 35% dan 40%, sedangkan nata dengan
penambahan konsentrasi 30% tidak berbeda
signifikan dengan nata kemasan, hal ini
membuktikan bahwa kekenyalan nata dengan
penambahan konsentrasi 30% sama dengan
kekenyalan nata kemasan sebagai pembanding.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil penelitian pembentukan Nata de Munti
yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa
penambahan variasi konsentrasi berpengaruh pada
ketebalan nata. Uji kualitas yang paling tinggi
kandungan seratnya adalah nata dengan konsentrasi
40% yaitu 1,97%. Untuk uji cemaran mikroba
semua nata dengan variasi konsentrasi memiliki
nilai cemaran mikroba yang memenuhi persyaratan
BPOM yaitu tidak boleh lebih dari 1 x 104 cfu/
gram. Dan untuk uji kekenyalan nata dengan
konsentrasi 30% tidak berbeda signifikan dengan
pembanding yaitu Nata de Coco kemasan yang
diperdagangkan.
-
Seminar Kolokium 11-12 Agustus Page 6
Saran
Untuk penelitian selanjutnya diharapkan
adanya penyempitan range variasi konsentrasi
antara 30%-35% supaya kualitas dari Nata de
Munti bisa lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiari, S.R. 2008. Teknologi Pangan. Jakarta :
Departemen Pendidikan Nasional.
Fitriani, Shofa. 2012. Pemanfaat Limbah Kulit
Tauge Hijau (Vigna radiata) dan Limbah
Nanas (Ananas comosus) sebagai Bahan Baku
Pembuatan Nata De Pinana [Skripsi]: STIKes
BTH Tasikmalaya.
http://www.p3gizi.Litbang.depkes.go.id (4 maret
2013)
Muchtadi D. 2010. Kedelai Komponen untuk
Kesehatan. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Pambayun, Rindit. 2002. Teknologi Pengolahan
Nata.Yogyakarta: Kanisus.
Sutarminingsih, Lilies. 2004. Peluang Usaha Nata
de Coco. Yogyakarta: Kanisius.
Osborne, D.R and P. Voogt. 1987. The Analysis of
Nutreint in Food. London New York san
Francisco: Academic Press.