metlit bab 2 ayang - copy

21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori yang relevan 2.1.1 Grand Theory Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan bahwa hubungan keagenan sebagai kontrak antara satu orang atau lebih yang bertindak sebagai prinsipal (yaitu pemegang saham) yang menunjuk orang lain sebagai agen (yaitu manajer) untuk melakukan jasa untuk kepentingan prinsipal termasuk mendelegasikan kekuasaan dalam pembuatan keputusan. Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Situasi ini akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry). Asimetri informasi merupakan suatu kondisi ketidakseimbangan dalam memperoleh informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi (prepaper) dengan pihak pemegang saham sebagai pengguna informasi (user). Scott (2000) menyatakan bahwa terdapat dua macam asimetri informasi yaitu: a) Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investor pihak luar. Fakta yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham.

Upload: gusti-yoga

Post on 09-Jul-2016

9 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Metlit Bab 2 Ayang - Copy

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori yang relevan

2.1.1 Grand Theory

Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan bahwa hubungan keagenan sebagai kontrak antara

satu orang atau lebih yang bertindak sebagai prinsipal (yaitu pemegang saham) yang menunjuk orang

lain sebagai agen (yaitu manajer) untuk melakukan jasa untuk kepentingan prinsipal termasuk

mendelegasikan kekuasaan dalam pembuatan keputusan. Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih

banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan

pemilik (pemegang saham). Situasi ini akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai

asimetri informasi (information asymmetry). Asimetri informasi merupakan suatu kondisi

ketidakseimbangan dalam memperoleh informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi

(prepaper) dengan pihak pemegang saham sebagai pengguna informasi (user). Scott (2000)

menyatakan bahwa terdapat dua macam asimetri informasi yaitu:

a) Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya

mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investor pihak

luar. Fakta yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang

saham tersebut tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham.

b) Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya

diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi 27 pinjaman sehingga manajer dapat

melakukan tindakan di luar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan

sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.

Adanya asimetri informasi memungkinkan adanya konflik yang terjadi antara principal dan

agent untuk saling mencoba memanfaatkan pihak lain untuk kepentingan sendiri dan selalu berusaha

untuk memaksimalkan fungsi utilitasnya tersebut. Pemilik perusahaan harus melakukan pengawasan

terhadap kinerja manajemen dengan sistem pengendalian yang efektif untuk mengantisipasi tindakan

menyimpang yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen. Sistem pengendalian tersebut diharapkan

mampu mengurangi adanya perilaku menyimpang dalam sistem pelaporan, termasuk adanya

kecurangan akuntansi. Eisenhardt (1989) menjelaskan bahwa teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga)

buah asumsi yaitu:

Page 2: Metlit Bab 2 Ayang - Copy

a) Asumsi tentang sifat manusia

Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk

mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded

rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion)

b) Asumsi tentang keorganisasian

Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai

kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information (AI) antara prinsipal dan agen.

c) Asumsi tentang informasi

Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang bisa

diperjualbelikan. Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa informasi

yang dihasilkan manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan reliabilitasnya dan dapat

dipercaya tidaknya informasi yang disampaikan. Pola pertanggungjawaban pengelolaan keuangan

negara sejalan dengan teori keagenan (agency theory) yang menciptakan hubungan keagenan.

Jensen dan Meckling (1976), Brickley dan James (1987), dan Shivdasani (1993) menjelaskan

bahwa prinsipal dapat memecahkan permasalahan agensi dengan mengeluarkan biaya

monitoring.Hasil monitoring yang baik memerlukan pengendalian internal perusahaan yang efektif.

Manajemen perusahaan seharusnya melaksanakan aturan akuntansi dengan benar agar dapat

mengatasi permasalahan keagenan.

2.1.2 Kecurangan Akuntansi (Fraud)

Kegagalan pemerintah dalam mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan dapat

diakibatkan oleh beberapa hal antara lain penyimpangan kebijakan dan penyimpangan yang

diakibatkan oleh kecurangan (fraud). Penyimpangan kebijakan dilakukan oleh manajemen puncak

terutama untuk mencapai tujuan tertentu, dengan cara membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan

peraturan yang berlaku. Sedangkan penyimpangan kecurangan (fraud) dapat dilakukan baik oleh

manajemen puncak maupun pegawai lainnya dengan untuk mendapatkan keuntungan, dengan cara

melakukan tindakan-tindakan kriminal seperti korupsi, kolusi, penipuan, dan lain sebagainya.

Michael J.Cormer menyatakan bahwa:

“Fraud is any behavior by which one person gains or intends to gain a dishonest advantage over

another. A crime is an intentional act that violates the criminal law under which no legal excuse

Page 3: Metlit Bab 2 Ayang - Copy

applies and where there is a state to codify such laws and endorce penalties in response to their breach.

The distinction is important. Not all frauds are crims and the majority of crimes are not frauds.

Companies lose through frauds, but the police and other enforcement bodies can take action only

against crimes.”

Dari pengertian kecurangan (fraud) menurut Michael J.cormer berkenaan dengan perilaku

dimana seseorang mengambil atau secara sengaja mengambil manfaat secara tidak jujur atas orang lain.

Kejahatan merupakan suatu tindakan yang disengaja yang melanggar undang-undang kriminal yang

secara hukum tidak boleh dilakukan dimana sebuah negara mengikuti hukum tersebut dan memberikan

hukuman atas pelanggaran yang dilakukan. Perusahaan menderita kerugian akibat kecurangan, tetapi

polisi dan badan penegak hukum lainnya bisa mengambil tindakan hanya terhadap kejahatan.

Robert Cockerall (auditor Ernst & Young) dalam makalahnya "Forensic Accounting

fundamental : Introduction to the investigations" dinyatakan bahwa:

Lingkungan profil fraud mencakup beberapa hal yaitu motivasi, kesempatan, tujuan/objek fraud,

indikator, metode dan konsekuensi fraud. Motivasi dan kesempatan memiliki pengertian yang sama

dengan definisi sebelumnya. Tujuan/objek fraud adalah sarana yang digunakan untuk mencapai

motivasi kecurangan di atas. Indikator fraud mengandung pengertian adanya gejala-gejala yang

merujuk kepada pembuktian kecurangan. Metode fraud adalah cara-cara yang dilakukan untuk

melakukan kecurangan. Sedangkan konsekuensi fraud adalah dampak kecurangan yang terjadi pada

organisasi tersebut.

Menurut Sawyer (2006: 339) melakukan kejahatan dengan penipuan memiliki banyak istilah

antara lain disebutkecurangan (fraud), kejahatan kerah putih (white collar crime) dan penggelapan.

Kecurangan adalah serangkaian tindakantindakan tidak wajar dan ilegal yang sengaja dilakukan untuk

menipu, kecurangan dilakukan oleh individu atau organisasi untuk mendapatkan uang, kekayaan atau

jasa untuk menghindari pembayaran/kerugian jasa atau untuk mengamankan keuntungan pribadi.

2.1.2.1 Fraud Triangle

Cressey (1953) dalam Lisia Gandhatama (2014) mengemukakan tiga penyebab fraud sebagai

berikut:

1. Tekanan (pressure)

Pressure (tekanan) memiliki berbagai arti, di antaranya keadaan di mana kita merasa ditekan,

kondisi yang berat saat kita menghadapi kesulitan. Dari dua arti di atas, dapat dilihat bahwa

Page 4: Metlit Bab 2 Ayang - Copy

pressure dapat menjadi motivasi bagi manusia dalam melakukan tindakan. Pressure sendiri

dapat memberikan dampak yang positif, pressure dapat membuat kita meningkatkan perhatian

dalam melakukan tindakan, meningkatkan ingatan dan kemampuan untuk mengingat. Dengan

kata lain, pressure dapat meningkatkan kinerja. Akan tetapi, di lain pihak pressure dapat

menjadi salah satu sumber dari munculnya fraud dan akhirnya menjadi salah satu elemen dari

fraud triangle.

2. Peluang (opportunity)

Peluang merupakan faktor yang paling mendasari terjadinya kecurangan. Peluang ini dapat

muncul kapan saja, sehingga pengawasan dan kontrol internal perusahaan sangat diperlukan

untuk mengantisipasi kemungkinan adanya peluang seseorang melakukan

kecurangan.seseorang yang tanpa tekanan sekalipun dapat melakukan kecurangan dengan

adanya peluang ini.

3. Rasionalisasi (rationalization)

Rasionalisasi merupakan salah satu faktor di mana pelaku kecurangan mencari-cari pembenaran

atas tindakannya, Pelaku fraud pada umumnya menganggap bahwa tidakan yang dilakukan

merupakan tindakan yang benar, sehingga apa yang dilakukan bukanlah suatu tindak

kecurangan.

Seperti yang kita ketahui kejahatan kerah putih atau white collar crime memiliki ciri khas

kurangnya perasaan atau ketidakpedulian pelaku yang berasal dari serangkaian alasan atau rasionalisasi

untuk membebaskan diri dari rasa bersalah yang timbul dari perilaku mereka yang menyimpang

(Dellaportas, 2013).

Pressure

Opportunity Rationalization

Gambar 2.1

Fraud Triangle

Sumber : Assosiate of Certified Fraud Examiners

Page 5: Metlit Bab 2 Ayang - Copy

ACFE dalam Tuanakotta (2010) membagi fraud (kecurangan) dalam 3 (tiga) jenis atau tipologi

berdasarkan perbuatan, yaitu:

1. Kecurangan Laporan Keuangan (Fraudulent Statement)

Kecurangan Laporan keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh

manajemen dalam bentuk salah saji material Laporan Keuangan yang merugikan investor dan

kreditor. Kecurangan ini dapat bersifat finansial atau kecurangan non finansial.

2. Penyimpangan atas Aset (Asset Misappropriation)

Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau

pihak lain. Ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang

tangible atau dapat diukur/dihitung (defined value).

3. Korupsi (Corruption)

Jenis fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain

seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-

negara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata

kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali

tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis

mutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan

(conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities)

dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).

2.1.3 Moralitas Individu

Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya

mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:

592), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis, terdapat berbagai

rumusan pengertian moral, yang dari segi substantif materiilnya tidak ada perbedaan, akan tetapi

bentuk formalnya berbeda. Widjaja (1985: 154) menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik dan buruk

tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak).

Hurlock (1978) mengemukakan bahwa tingkah laku moral berarti tingkah laku yang sesuai

dengan kode moral kelompok sosial. Pengertian ini hampir sama dengan pendapat sebagian besar ahli

psikologi dalam menerangkan masalah moral. Penganut teori behaviorisme menyatakan bahwa

moralitas identik dengan konfonnitas terhadap aturan-aturan sosial. Nilai moral merupakan evaluasi

dari tindakan yang dianggap baik oleh anggota masyarakat tertentu. Dengan demikian jelas bahwa

Page 6: Metlit Bab 2 Ayang - Copy

pemahaman moral merupakan proses internalisasi dari norma budaya atau norma dari orangtua

(Setiono, 1993).

2.1.3.1 Tingkatan Perkembangan Moral

Salah satu teori perkembangan moral yang banyak digunakan dalam penelitian etika adalah

model Kohlberg. Kohlberg (1969) dalam Gusti Ayu Ketut Rencana Dewi (2014) menyatakan bahwa

moral berkembang melalui tiga tahapan, yaitu tahapan pre-conventional, tahapan

conventional dan tahapan post-conventional. Welton et al. (1994) menyatakan bahwa kemampuan

individu dalam menyelesaikan dilema etika dipengaruhi oleh level penalaran moralnya. Hasil dari

beberapa studi yang dipaparkan dalam Liyanarachi (2009) menunjukkan bahwa level penalaran moral

individu mereka akan mempengaruhi perilaku etis mereka. Orang dengan level penalaran moral yang

rendah berperilaku berbeda dengan orang yang memiliki level penalaran moral yang tinggi ketika

menghadapi dilema etika. Semakin tinggi level penalaran 35 moral seseorang, maka individu tersebut

semakin mungkin untuk melakukan ‘hal yang benar’.

Individu akan melakukan suatu tindakan karena takut terhadap hukum/ peraturan yang ada jika

berada pada tahapan yang paling rendah (preconventional). Selain itu individu pada level moral ini juga

akan memandang kepentingan pribadinya sebagai hal yang utama dalam melakukan suatu tindakan.

Pada tahap kedua (conventional), individu akan mendasarkan tindakannya pada persetujuan teman-

teman dan keluarganya dan juga pada norma-norma yang ada di masyarakat. Pada tahap tertinggi (post-

conventional), individu mendasari tindakannya dengan memperhatikan kepentingan orang lain dan

berdasarkan tindakannya pada hukum-hukum universal.

Menurut Welton et al. (1994) dalam setiap stage Kohlberg, individu memiliki pandangan

sendiri mengenai versi ‘hal yang benar’ menurutnya. Individu dalam stage 1 merasa bahwa hal yang

benar adalah apa yang menjadi kepentingan individu tersebut. Individu dalam stage 2 menganggap

bahwa hal yang benar adalah hasil dari pertukaran yang imbang, persetujuan maupun posisi tawar yang

imbang. Individu dalam stage 3 merasa bahwa hal yang benar adalah terkait dengan pengharapan akan

kepercayaan, loyalitas, dan respek dari teman-teman dan keluarganya. Individu dalam stage 4

menganggap bahwa hal yang benar adalah dengan membuat kontribusi untuk masyarakat, grup atau

institusi. Individu dalam stage 5 dan stage 6 menganggap bahwa kebenaran adalah mendasarkan diri

pada prisip-prinsip etis, persamaan hak manusia dan harga diri sebagai seorang makhluk hidup.

Ringkasan mengenai tahapan moral model Kohlberg dipaparkan pada Tabel 2.1.

Page 7: Metlit Bab 2 Ayang - Copy

Tingkat Tahap/Stage

1. Pre-conventional

Tidak adanya internalisasi terhadap nilai-nilai

moral. Penilaian tentang moral didasarkan pada

hadiah atau hukuman yang berasal dari luar

dirinya

1. Orientasi Kepatuhan dan Hukuman

Pemahaman individu tentang baik dan buruk

ditentukan oleh otoritas. Kepatuhan terhadap

aturan adalah untuk menghindari hukuman dari

otoritas.

2. Orientasi minat pribadi

Perilaku yang benar didefinisikan dengan apa

yang paling diminatinya. Kurang menunjukkan

perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya

sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh

terhadap kebutuhannya sendiri.

2. Conventional

Ada proses internalisasi, hanya masih sebagian

atau sedang. Penilaian individu sebagian

didasarkan oleh standar pribadi (internal) tapi

ada juga yang berdasarkan standar orang lain

(orangtua).

3. Orientasi keserasian interpersonal dan

konformitas

Individu menyesuaikan diri dengan orang lain.

Sesuatu yang dinilai baik apabila menyenangkan

untuk orang lain.

4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan

sosial

untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi

sosial karena berguna dalam memelihara fungsi

dari masyarakat (ketertiban).

3. Post-conventional

Aturan dan institusi dari masyarakat tidak

dipandang sebagai tujuan akhir, tetapi

diperlukan sebagai subjek. Individu menaati

aturan sesuai dengan prinsipprinsip etika

universal.

5. Orientasi kontrol sosial-legalistik

Ada semacam perjanjian antara dirinya dan

lingkungan sosial. Perbuatan dinilai baik apabila

sesuai dengan perundangundangan yang berlaku.

6. Orientasi kata hati Kebenaran

ditentukan oleh kata hati, sesuai dengan prinsip-

prinsip etika universal yang bersifat abstrak dan

penghormatan terhadap martabat manusia.

Sumber : Erma Gunawan

Page 8: Metlit Bab 2 Ayang - Copy

2.1.4 Pengendalian Internal

Pengendalian Internal (Menurut Marshall B. Romney) adalah proses yang dijalankan untuk

menyediakan jaminan memadai bahwa tujuan-tujuan pengendalian berikut telah dicapai:

Mengamankan aset, mencegah atau mendeteksi perolehan, penggunaan, atau penempatan yang

tidak sah.

Memberikan informasi yang akurat dan reliabel

Mendorong dan memperbaiki efesiensi operasional

Mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku

Menyiapkan laporan keuangan yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.

Mendorong ketaatan terhadap kebijakan majerial yang telah ditetapkan.

Mengelola catatan dengan detail yang baik untuk melaporkan aset perusahaan secara akurat dan

wajar.

Menurut Sawyers (2005: 59) pengendalian internal adalah setiap tindakan yang diambil

manajemen untuk meningkatkan kemungkinan tercapainya tujuan dan sasaran yang ditetapkan.

Pengendalian internal bersifat preventif (untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan),

detektif (untuk mendeteksi dan memperbaiki hal-hal yang tidak diinginkan yang telah terjadi), dan

direktif (untuk menyebabkan atau mengarahkan terjadinya hal-hal yang diinginkan).

Pengendalian internal adalah sebuah proses karena ia menyebar ke seluruh aktivitas

pengoprasian perusahaan dan merupakan bagian integral dari aktivitas manajemen. Pengendalian

memberikan jaminan memadai yaitu jaminan menyeluruh yang sulit dicapai dan terlalu mahal. Selain

itu, sistem pengendalian internal memiliki keterbatasan yang melekat, seperti kelemahan terhadap

kekeliruan dan kesalahan sederhana, pertimbangan dan pembuatan keputusan yang salah,

pengesampingan manajemen, dan kolusi.

Menurut COSO (2013:3) mendefisinikan pengendalian internal sebagai :

“ Internal control is a process, efected by an entity's board of directors,

management, an other personel, designed to provide reasonable assurance

regarding the achivement of objective relating to operations, reporting, and

compliance”

Dapat diartikan bahwa pengendalian internal adalah proses, karena hal tersebut menembus

kegiatan operasional organisasi dan merupakan bagian internal dari kegiatan dasar manajemen.

Page 9: Metlit Bab 2 Ayang - Copy

Kerangka pengendalian Internal Committee of sponsoring Organizations (COSO) adalah sebuah

kerangka COSO yang menjelaskan pengendalian internal dan memberikan panduan untuk

mengevaluasi dan meningkatkan sistem pengendalian internal.

Menurut Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2008 mendefinisikan sistem pengendalian internal

sebagai:

“Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan

yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk

memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan

yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara

dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan”

Penerapan SPIP bersifat menyatu dan menjadi bagian integral dari kegiatan Instansi Pemerintah.

Ia bukan bagian terpisah dari kegiatan, ataupun ditambahkan ke dalam kegiatan-kegiatan yang telah

disusun. Sebaliknya, SPIP berjalan bersama-sama dengan kegiatan lain dalam satuan kerja instansi

pemerintah. Sesuai dengan PP Nomor 60 Tahun 2008, Sistem Pengendalian Intern Pemerintah terdiri

dari lima unsur, yaitu:

1. Lingkungan pengendalian

PP Nomor 60/2008 mewajibkan Pimpinan Instansi Pemerintah untuk menciptakan dan

memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk

penerapan Sistem Pengendalian Intern dalam lingkungan kerjanya. Hal ini merupakan

komponen yang sangat penting dan menjadi unsur dasar di dalam SPIP. Kemampuan pimpinan

untuk menciptakan dan memelihara lingkungan kerja yang kondusif akan menjadi motivasi kuat

bagi para pegawai untuk memberikan yang terbaik dalam pelaksanaan pekerjaannya.

Sebaliknya, pimpinan yang tidak/kurang kompeten dalam menciptakan lingkungan yang positif

akan berpotensi mempengaruhi pegawai untuk melakukan hal-hal negatif yang dapat merugikan

instansinya. Untuk menciptakan lingkungan pengendalian seperti dimaksud PP tersebut,

pimpinan instansi dapat menerapkannya melalui:

a) Penegakan integritas dan nilai etika;

b) Komitmen terhadap kompetensi;

c) Kepemimpinan yang kondusif;

d) Pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan;

e) Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat;

f) Penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia;

Page 10: Metlit Bab 2 Ayang - Copy

g) Perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan

h) Hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.

2. Penilaian risiko

Penilaian risiko merupakan suatu proses pengidentifikasian dan penganalisaan risiko-risiko

yang relevan dalam rangka pencapaian tujuan entitas dan penentuan reaksi yang tepat terhadap

risiko yang timbul akibat perubahan (Djasoerah:2010). Ini berarti bahwa penilaian risiko

dimulai dari penetapan tujuan dan berakhir dengan penentuan reaksi terhadap risiko.

Oleh karena itu, pimpinan instansi pemerintah melakukan penilaian resiko melalui beberapa

tahap, yaitu:

a. Menetapkan tujuan instansi dengan cara memuat pernyataan dan arahan yang spesifik,

terukur, dapat dicapai, realistis, dan terikat waktu.

b. Menetapkan tujuan pada tingkatan kegiatan berdasarkan pada tujuan dan rencana strategis

Instansi Pemerintah.

c. Melakukan identifikasi risiko untuk mengenali risiko dari faktor eksternal dan faktor

internal dengan menggunakan metodologi yang sesuai untuk tujuan Instansi Pemerintah dan

tujuan pada tingkatan kegiatan secara komprehensif.

d. Melakukan analisa risiko untuk menentukan dampak dari risiko yang telah diidentifikasi

terhadap pencapaian tujuan Instansi Pemerintah.

Selanjutnya, pimpinan instansi menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menentukan tingkat

risiko yang dapat diterima. Dalam mempertimbangkan risiko, pimpinan Instansi Pemerintah

mengambil keputusan setelah dengan cermat menganalisis risiko terkait dan menentukan bagaimana

risiko tersebut diminimalkan (Penjelasan Pasal 7).

3. Kegiatan pengendalian

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai dengan

ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang bersangkutan.

Yang dimaksud dengan “kegiatan pengendalian” adalah tindakan yang diperlukan untuk

mengatasi risiko serta penetapan dan pelaksanaan kebijakan dan prosedur untuk memastikan

bahwa tindakan mengatasi risiko telah dilaksanakan secara efektif.

Kegiatan pengendalian dilaksanakan dalam bentuk:

a. Review atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan;

b. Pembinaan sumber daya manusia;

Page 11: Metlit Bab 2 Ayang - Copy

c. Pengendalian atas pengelolaan sistem informasi

d. Pengendalian fisik atas aset;

e. Penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja;

f. Pemisahan fungsi;

g. Otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting;

h. Pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian;

i. Pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya;

j. Akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan

k. Dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian

penting.

4. Informasi dan komunikasi

Informasi yang ada di dalam organisasi diidentifikasi, dicatat dan dikomunikasikan dalam

bentuk dan waktu yang tepat dengan cara yang efektif. Ini dilaksanakan mulai dari pimpinan

hingga ke seluruh pegawai yang ada di instansi pemerintah. Dengan mengkomunikasikan

informasi secara efektif, maka akan tercipta pengertian yang sama di seluruh tingkat organisasi.

Ini akan menghindarkan terjadinya kesalahpahaman (misunderstanding) maupun distorsi

informasi sehingga pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi akan efektif untuk mencapai tujuan

yang telah ditetapkan.

Untuk melakukan komunikasi efektif, maka pimpinan instansi:

a. Menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi; dan

b. Mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi secara terus menerus.

5. Pemantauan pengendalian intern

Untuk memastikan apakah SPIP dijalankan dengan baik oleh suatu instansi pemerintah, maka

perlu dilakukan pemantauan. Pemantauan akan menilai kualitas kinerja dari waktu ke waktu

dan memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya dapat segera ditindaklanjuti.

Pemantauan dilakukan melalui tiga cara, yaitu:

a. Pemantauan berkelanjutan, diselenggarakan melalui kegiatan pengelolaan rutin, supervisi,

pembandingan, rekonsiliasi, dan tindakan lain yang terkait dalam pelaksanaan tugas

b. Evaluasi terpisah diselenggarakan melalui penilaian sendiri, reviu, dan pengujian efektivitas

Sistem Pengendalian Intern

Page 12: Metlit Bab 2 Ayang - Copy

c. Tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya harus segera diselesaikan dan

dilaksanakan sesuai dengan mekanisme penyelesaian rekomendasi hasil audit dan reviu

lainnya yang ditetapkan.

2.2 Penelitian Terdahulu

Nilam (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh sistem pengendalian internal,

kesesuaian kompensasi, dan moralitas manajemen terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi pada

kantor BUMN di kota Padang yang diukur dengan variabel bebas: sistem pengendalian internal,

kesesuaian kompensasi, dan moralitas manajemen terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi

sebagai variabel independen.

Hasil penelitian Nilam ini menunjukkan sistem pengendalian internal berpengaruh signifikan

negatif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi dalam pada BUMN di kota Padang, kesesuaian

kompensasi berpengaruh signifikan negatif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi pada

BUMN di kota Padang, dan moralitas manajemen berpengaruh signifikan negatif terhadap

kecenderungan kecurangan akuntansi pada BUMN di kota Padang.

Made dan Nyoman (2014) melakukan penelitian mengenai pengaruh moralitas individu,

asimetri informasi dan efektivitas pengendalian internal terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi

pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Buleleng, memperoleh hasil secara parsial

bahwa moralitas individu, asimetri informasi, dan efektivitas pengendalian internal berpengaruh

signifikan terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi (fraud). Dan secara simultan dapat diketahui

bahwa moralitas individu, asimetri informasi dan efektivitas pengendalian internal berpengaruh

signifikan terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi (fraud) pada BUMD Kabupaten Buleleng.

Yulina Eliza (2015) melakukan penelitian mengenai pengaruh moralitas individu dan

pengendalian internal terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi pada SKPD kota Padang,

memperoleh hasil moralitas individu berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Tingkat

Kecenderungan Kecurangan Akuntansi pada SKPD kota Padang. Pengaruh ini bersifat negatif artinya

semakin baik moralitas individu maka tingkat kecurangan akuntansi semakin berkurang. Sistem

Pengendalian Intern menunjukkan bahwa sistem pengendalian intern memberikan pengaruh negatif dan

signifikan terhadap tingkat kecenderungan kecurangan akutansi SKPD kota Padang. Pengaruh ini

Page 13: Metlit Bab 2 Ayang - Copy

bersifat negatif artinya semakin efektif sistem Pengendalian Intern maka Tingkat Kenderungan

Kecurangan Akutansi semakin berkurang.

2.3 Kerangka Penelitian

Penelitian ini akan menganalisis apakah terdapat perbedaan kecenderungan melakukan

kecurangan akuntansi antara individu yang memiliki level penalaran moral tinggi dan level penalaran

moral rendah dalam kondisi terdapat elemen pengendalian internal dan tidak terdapat elemen

pengendalian internal. Konsep Variabel independen 1. Moralitas Individu (Level Moral Tinggi dan

Rendah) 2. Pengendalian Internal (ada dan tidak ada elemen pengendalian internal) Variabel Dependen

KecuranganAkuntansi.

Gambar tersebut merupakan kerangka penelitian dan sebagai alur pemikiran dalam menguji hipotesis

2.4 Pengulangan Hipotesis

2.4.1 Pengaruh Moralitas Individu terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi

Moralitas individu akan mempengaruhi kecenderungan seseorang melakukan kecurangan

akuntansi. Artinya, semakin tinggi tahapan moralitas individu, semakin individu memperhatikan

kepentingan yang luas dan universal daripada kepentingan organisasinya, apalagi untuk kepentingan

individual. Oleh sebab itu, semakin tinggi moralitas seseorang, maka ia akan berusaha untuk

menghindarkan diri dari tindak kecenderungan kecurangan akuntansi, sehingga hipotesis penelitian ini

adalah:

H1 : Moralitas individu berpengaruh signifikan positif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi

Moralitas Individu

Pengendalian Internal

KecenderunganKecuranganAkuntansi

Page 14: Metlit Bab 2 Ayang - Copy

2.4.2 Pengaruh Pengendalian Internal terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi

Pada umumnya, pengendalian internal merupakan kontrol yang dilakukan oleh pihak internal

suatu organisasi yang berguna untuk memberikan keyakinan yang memadai tentang pencapaian tujuan

organisasi yang berupa efektifitas, efisiensi dan keandalan pelaporan keuangan, sehingga hipotesis

penelitian ini adalah:

H2 : Pengendalian internal berperanguh signifikan positif terhadap kecenderungan kecurangan

akuntansi