metlit
DESCRIPTION
metlitTRANSCRIPT
TUGAS
METODELOGI PENELITIAN
PENURUNAN PENDENGARAN AKIBAT INTENSITAS KEBISINGAN
PT. X Bergerak di Industri Komponen Kendaraan Bag. Manufacture
2015
A. M. Dwi Ari Bayu
Nelwan Sirait
Puspita Wahyu Dwi Sesanti
Selly Oktavianti
Agus Widodo
Ricad Krisanto Raharjo
Anggie Anarahmy
Yuda Wira Pratama
Winarti
Tasya Amanda
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINAWAN
PRODI K3 PROGRAM B
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing
loss/NHL) adalah tuli akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dalam
jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising
lingkungan kerja.
Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan. Bising yang
intensitasnya 85 desibel (db) atau lebih dapat menyebabkan kerusakan reseptor
pendengaran corti pada telinga dalam. Sifat ketuliannya dan biasanya terjadi
pada kedua telinga.
Bising industri sudah lama merupakan masalah yang sampai sekarang
belum bisa ditanggulangi secara baik sehingga dapat menjadi ancaman serius
bagi pendengaran para pekerja, karena dapat menyebabkan kehilangan
pendengaran yang sifatnya permanen. Sedangkan bagi pihak industri, bising
dapat menyebabkan kerugian ekonomi karena biaya ganti rugi kepada pekerja.
Oleh karena itu untuk mencegahnya diperlukan pengawasan terhadap pabrik
dan pemeriksaan terhadap pendengaran para pekerja secara berkala.
Polusi suara sekarang diakui di seluruh dunia sebagai masalah utama
untuk kualitas hidup di perkotaan. Kebisingan merupakan salah satu penyebab
“penyakit lingkungan“ yang penting. World Health Organization (WHO)
melaporkan Tahun 2000 terdapat 250 juta (4,2%) penduduk dunia mengalami
gangguan pendengaran dari dampak kebisingan dalam berbagai bentuk.
Sekitar 75-140 juta (50%) di Asia Tenggara, dalam hal Indonesia
menempati urutan ke empat di Asia Tenggara yaitu 4,6% sesudah Srilanka
(8,8%), Myanmar (8,4%) dan India (6,3%). Angka tersebut diperkirakan akan
terus meningkat (Rahayu, 2010 : 59).
Intensitas kebisingan yang melebihi ambang batas akan menyebabkan
penurunan yang serius pada kondisi kesehatan seseorang khususnya gangguan
2
pendengaran, dan bila berlangsung lama dapat menyebabkan kehilangan
pendengaran sementara, yang lambat laun dapat menyebabkan kehilangan
pendengaran permanen (bersifat kumulatif).
Tingkat gangguan tersebut ditentukan oleh tiga aspek yaitu lama
pajanan kebisingan, intensitas kebisingan dan frekuensinya. Kebisingan yang
berlangsung lama akan memperburuk pendengaran. Intensitas yang sangat kuat
dapat mengganggu pendengaran, bahkan akibat paling buruk adalah manusia
bisa tuli. Aspek yang ketiga adalah frekuensi yang menunjukkan jumlah dari
gelombang-gelombang suara yang sampai di telinga setiap detik. Frekuensi
dinyatakan dalam jumlah getaran perdetik atau Hertz (Hz) (Purnomo, 2003).
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah :
A. Bagaimana cara mencegah gangguan pendengaran pada pekerja di industri
yang memiliki resiko bising?
B. Apa yang harus kita lakukan bila terjadi masalah pendengaran pada pekerja
karena kebisingan dilingkungan kerja?
C. Bagaimanakah Intensitas bising dapat menurunkan daya Pendengaran
pekerja di PT. X?
1.3. Tujuan Penelitian
A. Mengetahui cara mencegah gangguan pendengaran pada pekerja di industri
yang memiliki resiko bising.
B. Mengetahui apa yang harus dilakukan bila terjadi masalah pendengaran
pada pekerja karena kebisingan dilingkungan kerja.
C. Memberikan informasi yang jelas tentang intensitas kebisingan yang dapat
menimbulkan PAK menurunnya indera pendengaran.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Telinga
Telinga merupakan sebuah organ yang mampu mendeteksi/mengenal
suara & juga banyak berperan dalam keseimbangan dan posisi tubuh. Telinga
memiliki tiga bagian yaitu:
A. Telinga Luar
Aurikula (daun telinga) Terdiri dari tulang rawan (kartilago) yang
dibungkus kulit. Fungsi utama aurikula adalah untuk menangkap
gelombang suara dan mengarahkannya ke dalam MAE.
Meatus auditorius eksternus (saluran telinga) merupakan saluran ke
dalam os temporale dan membentuk kurva yang condong ke atas dan ke
bawah. Fungsinya sebagai buffer terhadap perubahan kelembaban dan
temperatur yang dapat mengganggu elastisitas membran timpani.
B. Telinga tengah
Telinga tengah adalah rongga yang berisi udara dalam tulang
temporal yang terdiri dari:
1. Membran timpani (gendang telinga), membentang sampai bagian akhir
saluran telinga, Terdiri dari jaringan fibrosa elastic berbentuk bundar
dan cekung dari luar dan akan bergetar ketika gelombang suara
4
melaluinya. Getaran ini akan diteruskan menuju ketiga tulang
pendengaran.
2. Tulang pendengaran terdiri dari : meleus inkus dan stapes. Stapes
kemudian menghantarkan getaran ketelinga dlam yang terisi oleh cairan
pada fenesta vestubuli. Fungsi ke tiga tulang ini adalah menurunkan
amplitudo getaran yang diterima dari membran tympani dan
meneruskannya ke jendela oval.
3. Tuba eustachi bermula dari ruang tympani ke arah bawah sampai
nasofaring Struktur mukosanya merupakan kelanjutan dari mukosa
nasofaring Tuba dapat tertutup pada kondisi peningkatan tekanan secara
mendadak. Tuba ini terbuka saat menelan dan bersin Berfungsi untuk
menjaga keseimbangan tekanan udara di luar tubuh dengan di dalam
telinga tengah.
C. Telinga Dalam
Telinga dalam merupakan suatu rongga yang disebut labirin
berdinding tulang (maze), yang dilapisi oleh membrane yang disebut
membranosa labirin. Perilimf adalah cairan yang terdapat di antara tulang
dan membran, dan edolimf adalah cairan yang terdapat di dalam struktur
membrane didalam telinga dalam. Struktur-struktur tersebut adalah koklaea
yang terkait erat dengan pendengaran dan utrikuklus, sakulus dan kanalis
semisirkularis, yang semuanya berfungsi untuk mempertahankan
keequlibrium.
5
1. Koklea, adalah berbentuk seperi rumah keong dengan struktur dua
setengah putaran.
2. Utrikulus dan sakulus adalah kantong membranosa disuatu daerah yang
disebut vestibulum yang terletak di antera koklea dan kanalis
semisirkularis.
3. Kanalis Semi Sirkularis adalah membrane lonjong yang berisi cairan
yang terdiri dari 3 duktus semiserkular, masing-masing berujung pada
ampula.Pada ampula terdapat sel rambut, krista dan kupula Berkaitan
dengan sistem keseimbangan tubuh dalam hal rotasi.
Secara ringkas, proses mendengar melibatkan transmisi getaran dan
menghasilkan impuls saraf. Ketika gelombang suara memasuki saluran telinga,
getaran dihantar oleh urutan struktur berikut: gendang telinga, meleus, inkus,
stepaes, fenestra vestubuli pada telinga dalam, perimlf dan endolimf yang
terdapat di koklea dan sel rambut organ kortil
(http://jabbarbtj.blogspot.co.id/2014/09/anatomi-telinga.html).
2.2. Kebisingan
Menurut Suma’mur (1996), dalam suatu lingkungan kerja terdapat
faktor-faktor yang dapat menyebabkan beban tambahan dan menimbulkan
gangguan kesehatan bila tidak dikendalikan. Secara umum didalam lingkungan
kerja terdapat faktor-faktor bahaya yang meliputi :
A. Faktor Fisik : Penerangan, Kebisingan, Tekanan Panas, Getaran dan
Radiasi.
B. Faktor Biologi : Golongan Bakteri, Jamur serta Golongan
Mikrobiologi lainnya.
C. Faktor Kimia : Debu, Uap, Fume, Gas dll
D. Faktor Fisiologi : Konstruksi Mesin, Sikap Kerja, Keserasian Mesin dan
Manusia.
Kebisingan didefinisikan sebagai semua suara yang tidak dikehendaki
yang bersumber dari alat proses produksi dan atau alat kerja yang pada tingkat
6
tertentu dapat menyebabkan gangguang pendengaran. (Kepmenaker No. 51/
MEN/ 1999).
Kebisingan diartikan sebagai suara yang tidak dikehendaki, misalnya
yang merintangi terdengarnya suara-suara, music dan sebagainya atau
menyebabkan rasa sakit atau yang menghalangi gaya hidup (JIS Z 8106,
IEC60050-801kosakata elektro-teknik Internasional Bab 801 : Akustikal dan
elektroakustikal).
Kebisingan yaitu bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan
dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
manusia dan kenyamanan lingkungan, (KepMenLH No.48 Tahun 1996).
Kebisingan dapat diartikan sebagai bunyi-bunyian yang tidak
dikehendaki oleh telinga kita, karena dapat mengganggu ketenangan bekerja,
merusak pendengaran dan dapat menimbulkan salah komunikasi.
Rangsang suara yang berlebihan atau tidak dikehendaki (bising), yang
dijumpai diperusahaan akan mempengaruhi fungsi pendengaran. Berbagai
faktor seperti intensitas, frekuensi, jenis atau irama bising. Lama pajanan serta
lama waktu istirahat antar dua periode pemajanan sangat menentukan dalam
priosesterjadinya ketulian atau kurang pendengaran akibat bising. Demikian
juga faktor kepekaan tiap pekerja seperti umur, pemajanan kebisingan
sebelumnya, kondisi kesehatan, penyakit telinga yang pernah diderita, perlu
pula dipertimbangan dalam menentukan gangguan pendengaran akibat bising
(Budiono, 2003).
Bising Industri sudah lama merupakan masalah yang sampai sekarang
belum bisa ditanggulangi secara baik sehingga dapat menjadi ancaman serius
bagi pendengaran para pekerja, karena dapat menyebabkan kehilangan
pendengaran yang sifatnya permanen (Rambe, 2003).
Berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia, bising dapat dibagi atas :
A. Bising yang Mengganggu (Irritating Noise)
Intensitasnya tidak terlalu keras, misalnya suara dengkuran
B. Bising yang Menutupi (Masking Noise)
7
Merupakan bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas. Secara tidak
langsung bunyi ini akan membahayakan kesehatan dan keselamatan kerja.
C. Bising Yang Merusak (Damaging / Injurious Noise)
Bunyi yang intensitasnya melampaui nilai Ambang Batas. Bunyi jenis ini
akan merusak atau mengakibatkan menurunnya fungsi pendengaran.
Pengaruh kebisingan terhadap tenaga kerja adalah sebagai berikut :
A. Gangguan fisiologis, gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah,
nadi dan dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.
B. Gangguan psikologis, gangguan psikologis berupa rasa tidak nyaman,
kurang konsentrasi, emosi dan lain-lain.
C. Gangguan komunikasi, gangguan komunikasi dapat menyebabkan
terganggunya pekerjaan, bahkan bisa berakibat kepada kecelakaan karena
tidak dapat mendengar isyarat ataupun tanda bahaya.
D. Gangguan pada pendengaran (Ketulian), merupakan gangguan yang paling
serius karena pengaruhnya dapat menyebabkan berkurangnya fungsi
pendengaran. Gangguan pendengaran ini bersifat progresif tapi apabila
tidak dilakendalikan dapat menyebabkan ketulian permanen.
2.3. Pendengaran
Daya dengar seseorang dalam menangkap suara sangat-sangat
dipengaruhi oleh faktor internal maupun external. Faktor Internal meliputi umur,
kondisi kesehtan maupun riwayat penyakit yang pernah diderita, obat-obatan
dan lain sebagainya. Sedangkan faktor eksternal dapat meliputi masa kerja,
tingkat intensitas sara disekitarnya, lamanya terpajan dengan kebisingan,
karakteristik kebisingan serta frekuensi suara yang ditimbulkan (Patrick dalam
tarwaka,dk, 2004).
Dari berbagai faktor yang dapat mempengaruhi ambang dengar
tersebut yang paling menonjol adalah faktor umum dan lamanya pemajanan
terhadap kebisingan (masa kerja ditempat tersebut), (tawaka,dkk, 2004).
8
Pengaruh utama dari paparan kebisingan adalah gangguan terhadap
Inder. Pendengaran yang menyebabkan ketulian progresif. Ditempat kerja,
tingkat kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin dapat merusak pendengaran
dan dapat pula menimbulkan gangguan kesehatan (tingkat kebisingan 80-90 dB
(A) atau lebih dapat membahayakan pendengaran.
Pendengaran akan terganggu apabila tenaga kerja terpapar terus-
menerus terhadap bising diatas 85 dB disbanding dengan pemaparan secra
intermitten yang kurang berbahaya (Suma’mur, 1996). Apabila telinga
memperoleh rangsang suara, maka menurut Ballantyne dan Groves dalam
Budiono (2003), sesuai dengan besarnya rangsangan akan terjadi proses :
A. Adaptasi, yang berlangsung 0- 3 menit, yakni berupa kenaikan ambang
dengar sesaat.
B. Pergeseran ambang dengar sementara (Temporary Threshold Shift),
Kelanjutan Proses adaptasi akibat rangsangan suara yang lebih kuat.
C. Pergeseran Ambang dengar persisten (Persistent Threshold Shift), yang
masih ada setelah 40 jam rangsang suara berhenti.
D. Pergeseran ambang dengar yang menetap (Permanent Threshold Shift),
Meskipun rangsang suara sudah tidak ada, pada keeadaan ini sudah terjadi
kelainan patologis yang permanen pada Cochlea umumnya pada kasus
trauma akustik dan akibat kebisingan ditempat kerja.
Ditempat kerja tingkat kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin dapat
merusak pendengaran dan dapat pula menimbulkan gangguan kesehatan. Pada
80-90 dB (A) atau lebih dapat membahayakan pendengaran seseorang yang
terpapar kebisingan secra terus-menerus dapat menyebabkan duirinya
menderita ketulian.
2.4. Gangguan Pada Indera Pendengaran
A. Trauma Akustik: Merupakan gangguan pendengaran yang disebabkan
pemaparan tunggal (Single exposure) terhadap intensitas yang tinggi dan
terjadi secara tiba-tiba, sebagai contoh gangguan pendengaran atau ketulian
9
yang disebabkan suara ledakan bom. Hal ini dapat menyebabkan robeknya
membran tympani dan kerusakan tulang-tulang pendengaran.
B. Temporary Threshold Shift (TTS) atau kurang pendengaran akibat bising
sementara (KPABS). Adalah efek jangka pendek dari pemaparan bising,
berupa kenaikan ambang sementara yang kemudian setelah berakhirnya
pemaparan terhadap bising akan kembali normal. Faktor yang
mempengaruhi terjadinya TTS adalah intensitas dan frekuensi bising, lama
waktu pemaparan dan lama waktu istirahat dari pemaparan, tipe bising dan
kepekaan individual.
C. Permanent Threshold Shift (PTS) atau kurang pendengaran akibat bising
tetap. Adalah kenaikan ambang pendengaran yang bersifat irreversibel,
sehingga tidak mungkin terjadi pemulihan. Ini dapat disebabkan oleh efek
kumulatif pemaparan terhadap bising yang berulang selama bertahun-
tahun.
2.5. Pemantauan Kebisingan
Alat ukur untuk pengukuran kebisingan di tempat kerja adalah Sound
Level Meter (SLM) dan untuk personal monitoring digunakan Noise
Dosimeter.
a. b.
Gambar a. Sound Level Meter (SLM), b. Noise Dosimeter
Sebelum melakukan pengukuran yang pertama harus dilakukan adalah
identifikasi bahaya apakah di area kerja terdapat sumber bahaya dari mesin atau
10
aktifitas pekerjaan yang dapat menimbulkan kebisingan, bisa juga dengan
melakukan Work Through Survey yaitu survey ke tempat kerja dan melakukan
identifikasi bahaya.
Langkah selanjutnya melakukan pengukuran kebisingan dengan SLM,
perlu diketahui bahwa noise adalah menggunakan fungsi logaritma, karena
rentang pendengaran manusia sangat lebar dengan satuan desible (dbA).
Lakukan pengukuran secara periodik baik tempat kerja maupun
personal monitoring, bandingkan data pengukuran dengan Nilai Ambang Batas.
2.6. Test Audiometri/Pendengaran
Apabila hasil pengukuran di tempat kerja menunjukkan intensitas
kebisingan melebihi NAB maka lakukan audiometri test kepada karyawan
minimal 1 tahun sekali. Audiometri test juga harus dilakukan pada karyawan
baru/rotasi/mutasi sebelum di tugaskan ke area dengan intensitas kebisingan
yang tinggi. Target dari audiometri test adalah pemeriksaan gangguan
pendengaran persepsi, konduksi atau campuran
(http://www.batan.go.id/ptlr/k3/?q=node&page=5).
2.7. Pengendalian Kebisingan
Seperti halnya pada pengendalian faktor-faktor bahaya lain di tempat
kerja, pengendalian kebisingan juga harus melalui urutan-urutan/hirarki
(hierarchy of control) yang benar dan sesuai. Enam langkah/metode yang
biasanya dijadikan pedoman dalam hirarki pengendalian adalah sebagai berikut :
A. Rekayasa ulang (redesign) --- mesin atau proses
B. Penggantian (substitution) --- bahan atau proses
C. Isolasi (segregation/isolation) --- sumber bahaya dari pekerja
D. Pengendalian teknis (engineering control) --- pemeliharaan atau modifikasi
mesin
E. Pengendalian secara administrasi (administrative control) --- modifikasi
jadwal kerja
11
F. Alat pelindung diri (personal protective equipment) --- bagi para pekerja
Pengendalian kebisingan yang paling baik adalah dengan
menghilangkan sumber suara darimana kebisingan tersebut berasal. Akan tetapi
karena berbagai alasan biasanya langkah ini sangat sulit untuk dilakukan. Untuk
itu dengan berpedoman pada enam langkah pengendalian di atas, kebisingan
bisa dikendalikan melalui beberapa cara di bawah ini :
A. Pengendalian pada sumbernya
1. Dengan merekasaya ulang (redesign) proses atau penggantian alat,
misalnya menggantian rollerdengan conveyor belt, penggunaan mesin-
mesin yang tidak membutuhkan kipas pendingin, atau panggantian pipa-
pipa logam dengan yang dari plastik.
2. Dengan mengganti bahan-bahan atau proses yang menghasilkan bising;
misalnya pembelian bahan-bahan dengan ukuran yang sudah dipotong
sebelumnya untuk menghilangkan proses pemotongan.
3. Dengan modifikasi teknis pada alat-alat dan mesin-mesin yang sudah
terpasang; misalnya pemasangan isolasi atau damping pada bagian yang
bergetar, mengurangi jarak jatuh material, atau penggantian komponen-
komponen logam dengan bahan-bahan yang lebih rendah emisi
suaranya.
B. Pengendalian pada jalan rambat kebisingan
1. Pemisahan sumber bising dari pekerja; misalnya pemindahan ruang
generator jauh dari tempat kerja.
2. Isolasi peralatan yang bising di ruang kedap suara; misalnya pompa dan
kompresor udara bisa ditempatkan di ruang dengan insulasi suara.
3. Isolasi pekerja di ruang kedap suara; misalnya ruang operator mesin
dengan remote-control panel.
4. Modifikasi teknis pada peralatan atau bahan-bahan yang mengeluarkan
bising; misalnya pemasangan penghalang kebisingan frekuensi tinggi,
pembuatan alat-alat anti kebisingan atau pemasangan panel-panel
penyerap kebisingan pada dinding atau atap ruangan.
12
5. Pengendalian secara administrasi untuk mengurangi waktu pemaparan
pekerja terhadap kebisingan; misalnya rotasi pekerjaan sehingga tidak
ada pekerja yang terpapar kebisingan melebihi ambang batas.
6. Penggunaan alat pelindung diri (APD) untuk menghalangi rambatan
kebisingan pada pekerja; misalnya jika sudah tidak ada langkah-langkah
pengendalian yang mungkin dilakukan maka ear plug atau ear muff
menjadi alternatif terakhir untuk melindungi pekerja dari resiko bahaya
kebisingan (Kuntodi, 2007).
2.8. Kerangka Teori
Gangguan pendengaran akibat terpapar suara yang bising atau Noise
Induced Hearing Loss (NIHL) merupakan salah satu penyakit akibat kerja
paling banyak dijumpai pada saat ini Noise Induced Hearing Loss dalam bahasa
Indonesia disebut Tuli Akibat Bising. Tuli Akibat Bising adalah suatu kelainan
atau gangguan pendengaran berupa penurunan fungsi indera pendengaran
akibat terpapar oleh bising dengan intensitas yang berlebih terus-menerus
dalam waktu lama (Rotinsulu, 2008). Beberapa kondisi lain ikut berperan pada
gangguan pendengaran seperti intoksikasi, trauma pada usia 55 tahun ke atas
juga presbiakusis. Pernyataan ini sesuai dengan yang dilaporkan Tasbeh (1999)
dalam penelitiannya yang dilakukan terhadap 6 perusahaan di Jakarta,
menunjukkan bahwa noise induce permanent treshold shift meningkat terus
setelah masa kerja 10 tahun dan perubahan ini bukan diakibatkan oleh penuaan
namun disebabkan oleh pengaruh pemaparan terhadap kebisingan (Arini,
2005), (Erman, D., Sukendi., Suyanto 2014:8 (2)).
13
2.9. Kerangka Konsep
14
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini Deksriptif yang bertujuan
untuk memberikan informasi yang jelas tentang intensitas kebisingan yang
dapat menimbulkan PAK menurunnya indera pendengaran, di PT. X bergerak
Industri Komponen kendaraan Bag. Manufacture
3.2. Lokasi Penelitian
Lokasi yang dijadikan untuk Objek Penelitian dalam pengumpulan
data adalah Sebagai berikut :
Nama perusahaan : PT. X
Lokasi : Unit Manufacturing
Penelitian ini dilaksanakan selama 1 Bulan, Mulai tanggal … s/d … 2015
3.3. Teknik Pengumpulan data
A. Observasi Lapangan
Observasi dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap pelaksanaan
program keselamatan dan kesehatan kerja di lapangan.
B. Kepustakaan
Selain dengan cara diatas sumber data diperoleh dengan studi pustaka
dengan membaca referensi-referensi yang menunjang.
3.4. Sumber Data
Data yang diperoleh dan dikumpulkan dalam penelitian ini berssumber
dari data primer dan sekunder, yaitu :
A. Data Primer
1. Mengadakan Observasi Langsung mengenai Proses Produksi,
penggunaan Mesin.
15
2. Wawancara dengan Tanya jawab
B. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui data-data yang ada pada dokumen dan
catatan-catatan perusahaan yang berhubungan dengan pemaparan
kebisingan di PT. X unit Manufacturing.
3.5. Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dibahas dan dibandingkan dengan
peraturan yang berlaku khususnya SK menteri NO. Kep 51/MEN/1999 tentang
nilai ambang batas faktor fisik di tempat kerja.