(metafisika) makalah fordian 2013

40
1 METAFISIKA DALAM ASPEK KETUHANAN MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN FILSAFAT 1 (Studi Analisis dan Komparasi) Oleh : Faiz Husaini 2 بسم الرحمن الرحيمA. Prolog Pembahasan tentang metafsika tidak bisa dipisahkan dari disiplin ilmu filsafat dan juga lingkup agama-agama Semitik (Yahudi, Kristen, dan Islam), karena meskipun manusia lebih banyak bersinggungan dengan hal yang besifat materi bisa dijangkau dengan panca indera, akan tetapi mereka juga sebenarnya selalu berhubungan dengan hal-hal yang di luar jangkauan indera mereka. Bahkan manusia juga terdiri dari dua unsur, yaitu ruh dan jasad. Ruh inilah yang menjadi penguat bahwa dalam diri manusia saja ada unsur yang tidak bisa dilihat, tetapi semua orang meyakini bahwa ruh itu ada, apalagi hal-hal yang di luar lingkaran manusia, tentunya tidak semuanya bisa dijangkau oleh panca indera. Jadi, ketika suatu hal tidak bisa terdeteksi oleh indera manusia, maka bukan berarti hal itu tidak ada, akan tetapi bisa jadi kemampuan manusia yang terbatas untuk bisa mengetahuinya. Metode dalam makalah ini adalah analisis dan komparasi, yang dimaksud analisis pada tulisan ini adalah penulis berupaya menganalisa berbagi persoalan yang terkait dengan ketuhanan dan mengemasnya dalam bentuk tematik, dimana fokus kajiannya ada pada aspek ketuhanan. Adapun maksud dari komparasi di sini adalah mengadakan perbandingan dalam mengkaji aspek ketuhanan dari sudut pandang al-Qur'an dan filsafat. Sedikit ataupun banyak makalah ini memiliki korelasi dengan tema yang diangkat pada kajian FORDIAN beberapa bulan yang lalu, yaitu tentang ''Teori Majaz dan Pengaruhnya dalam Penafsiran'' , khususnya dalam pembahasan ayat-ayat sifat. Ada beberapa faktor pendorong yang menyebabkan penulis mengangkat judul di atas, diantaranya adalah; - Upaya mengkaji secara lebih detail pembahasan tentang metafisika, khususnya dalam aspek ketuhanan, yaitu dengan mengkajinya dari perspektif al-Qur'an, filsafat Yunani, Islam, dan Kristen; - Berangkat dari rasa kepedulian yang dalam terhadap orang atau golongan yang tidak mempercayai adanya Allah, padahal tanda-tanda wujud-Nya sangat banyak di sekitar mereka dan bahkan dalam setiap diri manusia; 1 . Makalah ini dipresentasikan pada kajian reguler FORDIAN di rumah Bpk. Muh ammad Saifuddîn, MA., Quthâmiyah, 23, 9, 2013. 2 . Mahasiswa Univ. al-Azhar, Kairo.

Upload: arif-ramadhan

Post on 27-Oct-2015

143 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

1

METAFISIKA DALAM ASPEK KETUHANAN MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN FILSAFAT1

(Studi Analisis dan Komparasi)

Oleh : Faiz Husaini2

الرحيم الرحمن هللا بسم

A. Prolog

Pembahasan tentang metafsika tidak bisa dipisahkan dari disiplin ilmu filsafat dan juga lingkup agama-agama Semitik (Yahudi, Kristen, dan Islam), karena meskipun manusia lebih banyak bersinggungan dengan hal yang besifat materi –bisa dijangkau dengan panca indera–, akan tetapi mereka juga sebenarnya selalu berhubungan dengan hal-hal yang di luar jangkauan indera mereka. Bahkan manusia juga terdiri dari dua unsur, yaitu ruh dan jasad. Ruh inilah yang menjadi penguat bahwa dalam diri manusia saja ada unsur yang tidak bisa dilihat, tetapi semua orang meyakini bahwa ruh itu ada, apalagi hal-hal yang di luar lingkaran manusia, tentunya tidak semuanya bisa dijangkau oleh panca indera. Jadi, ketika suatu hal tidak bisa terdeteksi oleh indera manusia, maka bukan berarti hal itu tidak ada, akan tetapi bisa jadi kemampuan manusia yang terbatas untuk bisa mengetahuinya.

Metode dalam makalah ini adalah analisis dan komparasi, yang dimaksud analisis pada tulisan ini adalah penulis berupaya menganalisa berbagi persoalan yang terkait dengan ketuhanan dan mengemasnya dalam bentuk tematik, dimana fokus kajiannya ada pada aspek ketuhanan. Adapun maksud dari komparasi di sini adalah mengadakan perbandingan dalam mengkaji aspek ketuhanan dari sudut pandang al-Qur'an dan filsafat. Sedikit ataupun banyak makalah ini memiliki korelasi dengan tema yang diangkat pada kajian FORDIAN beberapa bulan yang lalu, yaitu tentang ''Teori Majaz dan Pengaruhnya dalam Penafsiran'', khususnya dalam pembahasan ayat-ayat sifat.

Ada beberapa faktor pendorong yang menyebabkan penulis mengangkat judul di atas, diantaranya adalah;

- Upaya mengkaji secara lebih detail pembahasan tentang metafisika, khususnya dalam aspek ketuhanan, yaitu dengan mengkajinya dari perspektif al-Qur'an, filsafat Yunani, Islam, dan Kristen;

- Berangkat dari rasa kepedulian yang dalam terhadap orang atau golongan yang tidak mempercayai adanya Allah, padahal tanda-tanda wujud-Nya sangat banyak di sekitar mereka dan bahkan dalam setiap diri manusia;

1 . Makalah ini dipresentasikan pada kajian reguler FORDIAN di rumah Bpk. Muhammad Saifuddîn, MA.,

Quthâmiyah, 23, 9, 2013. 2 . Mahasiswa Univ. al-Azhar, Kairo.

Page 2: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

2

- Munculnya berbagai macam pertanyaan dalam diri penulis seputar permasalahan yang diangkat dalam makalah ini, sehingga penulis berharap bisa menemukan jawaban atas masalah-masalah itu.

Membahas tentang metafisika berarti mendialogkan hal-hal gaib yang perlu diyakini akan kebenarannya, sebagai sebuah langkah untuk membangun akidah yang kokoh. Berawal dari akidah yang berpondasi kuat maka seseorang akan mampu menjalani kehidupan dunia –dan akhirat– dengan baik, sehingga tidak aneh jika al-Qur'an selalu menggabungkan antara iman dan amal shaleh, karena keduanya tidak bisa terpisahkan. Syeikh al-Azhar Imâm al-Akbar Mahmûd Syalthût (w. 1963 M) menegaskan bahwa akidah di dalam Islam adalah inti dan di atasnya akan dibangun sebuah syariat, karena syariat adalah sebuah tanda khusus yang akan terus mengiringi akidah. Oleh karena itu, tidak ada syariat di dalam Islam tanpa adanya sebuah akidah, sepertihalnya tidak ada nilai yang tinggi dalam syariah kecuali ia berada di bawah payung akidah. Korelasi antara keduanya tidak bisa terpisahkan satu sama lain, karena akidah menjadi pondasi untuk menuju syari’at dan syari’ah menjawab atas hentakan hati –dari akidah–, serta korelasi keduanya yang akan mengantarkan seseorang kepada jalan kesuksesan dan kemenangan yang sudah Allah janjikan kepada hamba-hambaNya yang beriman.3 Ibnu khaldûn (w. 1406 M) dalam ''Muqaddimah-nya'' juga menegaskan bahwa ilmu tentang ketuhanan adalah ilmu yang sangat mulia dan kajian tentang hal-hal ketuhanan masuk pada kategori pembahasan hal-hal di luar materi (mâ warâ'a al-thabîah). Dengan mengetahui ilmu ini berarti bisa merasakan inti dari kebahagiaan.4 Al-Qâdhi 'Adhud al-Dîn 'Abdu al-Rahmân al-Îjî (w. 756 H) dalam prolog kitabnya Syarhu al-Mawâqif menerangkan bahwa suatu keinginan yang sangat utama dan indah adalah mengetahui urusan-urusan agama (ilmu syariat), yang ''di dalamnya'' terdapat jalan yang mengantarkan kepada keyakinan. Di situlah kebahagiaan dan kemuliaan yang agung akan manusia dapatkan di akhirat. Ilmu kalam dalam akidah Islam adalah ilmu yang tinggi/agung tingkatannya, karena di dalamnya terdapat dalil-dalil yang kuat, pondasi yang kokoh, penjelasan yang sangat detail, dan ilmu itulah yang menjadi rujukan dan pondasi inti.5 Nampaknya sudah sangat jelas apa yang para ulama tadi sampaikan terkait keutamaan dan manfaat mempelajari aspek akidah agama Islam.

Dalam realita kehidupan manusia, tak jarang juga terdapat orang yang merasakan kehampaan hidup, meskipun kebutuhan jasmani tercukupi dengan baik oleh materi yang ia miliki. Ternyata setelah diteliti lebih jauh salah satu faktor utamanya adalah tidak adanya iman kepada Allah SWT. yang tumbuh di dalam hatinya, sehingga hidup yang dijalani terasa begitu hampa, karena tak ada harapan yang ia impikan lagi setelah kehidupan dunia yang fana ini, sebab ia

3 . al-Imâm al-Akbar Mahmûd Syalthût, al-Islâm ‘Aqîdah wa Syari’ah, (Kairo : Dâr al-Syurûq, 2007), cet. XXIX, h.30-31. 4 . 'Abdu al-Rahmân Abû Zayd Waliyyu al-Dîn ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, (Beirut : Dâr al-Fikri

li al-Thibâ'ah wa al-Nasyr wa al-Tawzî', 2004), h. 492. 5 . al-Qâdhi 'Adhu al-Dîn 'Abdu al-Rahmân al-Îjî, Syarh al-Mawâqif, tahqîq : 'Ali ibn Muhammad al-Jurjâni,

(Kairo : Dâr al-Bashâir, 2008), cet. I, vol. I, h. 3-4.

Page 3: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

3

menganggap tak akan ada lagi kedidupan setelah kehidupan di dunia. Di sinilah pengaruh iman seseorang terhadap kebahagiaan yang bisa ia rasakan di dunia dan di akhirat.

Adapun cakupan pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :

- Definisi metafisika secara etimologi dan terminology; - Sejarah singkat metafisika; - Metafisika dalam perspektif al-Qur'an; - Mengenal Allah dengan tadabbur alam semesta; - Membincang tentang ketuhanan dalam perspektif filsuf Yunani, Islam, dan

Kristen; - Membahas sifat-sifat Allah SWT. –khususnya yang termaktub dalam al-

Qur'an– sesuai dengan pandangan para filsuf, mufassir, dan juga para ahli ilmu kalam.

Bagian terakhir yang ingin penulis sampaikan dalam prolog ini adalah tujuan dari mengangkat judul di atas adalah ingin mencari benang merah (korelasi) antara pandangan berbagai macam aliran dengan pendekatan yang beragam tetapi sampai pada satu kesimpulan yang sama yaitu mengakui dan mengimani adanya Allah SWT. sebagai Sang Maha Pencipta alam semesta ini. Selain itu adalah upaya memberi jawaban bagi golongan atheis dan juga golongan yang masih meragukan adanya Allah Yang Maha Esa.

B. Definisi Metafisika 1. Secara etimologi

Metafisika secara harfiah berarti ‘’sesudah fisika’’, merupakan cabang filsafat yang membicarakan problem watak yang sangat mendasar daripada benda atau realitas yang berada di belakang pengalaman yang langsung secara komprehensif.6

Metafisika (Bahasa Yunani: μετά (meta) = "setelah atau di balik",φύσικα (phúsika) = "hal-hal di alam") adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti : Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?

2. Secara terminologi

Penggunaan istilah metafisika telah berkembang untuk merujuk pada "hal-hal yang di luar dunia fisik". "Toko buku metafisika", sebagai contoh, bukanlah menjual buku mengenai ontologi, melainkan lebih kepada buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif, dan hal-hal sejenisnya.

6 . Pius A Partanto & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer,(Surabaya : Arkola, 1994), h. 458.

Page 4: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

4

Beberapa tafsiran metafisika dalam menafsirkan hal ini, manusia mempunyai beberapa pendapat. Tafsiran yang pertama yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supernatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme.7 Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme.8

Menurut Ibarâhim Madkûr dalam al-Mu’jam al-Falsafi, metafisika memiliki dua makna, yaitu :9

1. Merupakan nama salah satu dari bukunya Aristoteles, buku ini datang setelah buku yang membahas tentang materi (al-mâddah/al-thabi’ah).

2. Salah satu cabang dari filsafat, tetapi para filsuf berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Misalnya:

- Menurut Aristoteles : metafisika adalah ilmu mabâdi’ al-‘ammah dan ‘ilal al-Ula atau disebut sebagai filsafat inti atau ilmu tentang ketuhanan

- René Descartes (w. 1650 M) : Metafisika adalah untuk mengetahui Tuhan dan al-nafs (jiwa).

7 . http://id.wikipedia.org/wiki/Metafisika.

8 . Selain paham di atas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. paham ini amat bertentangan

dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dapat diketahui. Orang-orang yang menganut paham naturalisme ini beranggapan seperti itu karena standar kebenaran yang mereka gunakan hanyalah logika akal semata, sehingga mereka mereka menolak keberadaan hal-hal yang bersifat gaib itu.

Dari paham naturalisme ini juga muncul paham materialisme yang menganggap bahwa alam semesta dan manusia berasal dari materi. Salah satu pencetusnya ialah Democritus (460-370 S.M). Adapun bagi mereka yang mencoba mempelajari mengenai makhluk hidup. Timbul dua tafsiran yang masing saling bertentangan yakni paham mekanistik dan paham vitalistik. Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika semata.

Berbeda halnya dengan telaah mengenai akal dan pikiran, dalam hal ini ada dua tafsiran yang juga saling berbeda satu sama lain. Yakni paham monoistik dan dualistik. Sudah merupakan aksioma bahwa proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (objek) yang ditelaahnya. Dari sini aliran monoistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat, keduanya (pikiran dan zat) hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama. Pendapat ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistik.

Dalam metafisika, penafsiran dualistik membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara substansif. Aliran ini berpendapat bahwa yang ditangkap oleh pikiran adalah bersifat mental. Maka yang bersifat nyata adalah pikiran, sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas ada.

Lihat : http://id.wikipedia.org/wiki/Metafisika. 9 . Dr. Ibrâhîm Madkûr, al-Mu’jam al-Falsafi, (Kairo : al-Hay'ah al-'Âmmah li Syu'ûn al-Mathâbi' al-

Âmiriyyah, 1983), h. 197-198.

Page 5: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

5

- Henri Bergson (w. 1941 M) : mengetahui secara mutlak dan untuk bisa mencapainya harus dengan mengetahui secara langsung.

- August Comte (w. 1857 M) : mengetahui ''permasalahan'' antara teologi dan ilmu materi (al-thabî'ah), untuk mengungkap hakekat sesuatu, asal-usulnya dan tempat kembalinya.

C. Sejarah Singkat Metafisika

Istilah metafisika sudah dikenal sejak zaman berkembangnya filsafat Yunani, lebih tepatnya Aristoteles yang secara sharih menjelaskan masalah ini. Buktinya adalah bahwa ia memiliki buku yang menjelaskan tentang mâ ba’da al-thabî’ah (sesuatu yang di luar materi) dan juga teori populernya yang mengatakan bahwa Tuhan adalah “al-muharrik al-ladzî lâ yataharrak’’. Bahkan sebenarnya Plato (w. 347 SM) yang notabene-nya adalah senior (gurunya) Aristoteles (w. 322 SM) sudah memiliki nazhariah al-mustl (teori-kemiripan), yaitu suatu teori yang menganggap bahwa segala sesuatu yang ada di dunia memiliki perumpamaan di alam lain. Ini menjadi sebuah indikisi kuat bahwa Plato juga sudah membicarakan tentang bagian dari metafisika walaupun belum secara komprehensif.

Dalam al-Mawsû'ah al-Falsafiyyah penulis juga mendapatkan penjelasan yang berkaitan dengan sejarah metafisika, di sana dijelaskan bahwa istilah metafisika sudah mulai digunakan sejak abad pertama sebelum masehi, salah satu indikasinya adalah karya peninggalan Aristoteles (w. 322 SM), hal ini merupakan bagian penting dari aliran filsafat ''al-falsafah al-Ûlâ'' yang membahas atau mengkaji tentang al-mabâdi' al-a'lâ dari segala sesuatu yang ada. Panca indera manusia tidak bisa membahas masalah ini, akan tetapi akal yang penuh penghayatan dalam akan mampu menyentuh pembahasan ini dan sebagaiamana ilmu-ilmu lainnya juga yang tak bisa dipisahkan dari akal. Oleh karena itu, istilah metafisika selalu ada di balik disiplin ilmu filsafat. Pada abad pertengahan (al-'ushûr al-washîth) pembahasan metafisika lebih banyak dijumpai pada pembahasan seputar ketuhanan dan pada sekitar abad ke-16 istilah metafisika juga dikenal dengan istilah antologi. Bagi Rene Descartes, dkk, pembahasan metafisika akan selalu memiliki korelasi yang sangat erat dengan ilmu-ilmu yang membahas tentang materi dan terkait dengan kemanusiaan.10

Pembahasan tentang metafisika dalam filsafat Islam dan Kristen tentunya masih sangat dipengaruhi oleh dogma agama masing-masing yang berbeda-beda, meskipun juga diperkaya dengan pengembangan logika, sehingga tidak heran jika argumentasi yang digunakan juga sangat variatif. Akan tetapi, ini juga menunjukkan bahwa kebanyakan manusia masih melekat dengan nilai-nilai agama yang mereka yakini, meskipun mereka merasa sudah sangat jauh menggunakan nalar untuk memahami hakekat dari pelbagai persoalan.

10

. M. Rosenthal & P. Yudin, al-Mausû'ah al-falsafiiyyah, diterjemahkan oleh Samîr Karam, (Beirut : Dâr al-Thalî'ah li al-Thibâ'ah wa al-Nasyar, t. th.), h. 514.

Page 6: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

6

D. Metafisika dalam Perspektif Al-Qur'an

Istilah metafisika hampir serupa dengan hal yang gaib atau al-ghayb dalam bahasa arab, kata al-ghayb dalam kamus ''Lisân al-'Arab" berarti segala sesuatu yang sirna dari kamu, dan juga segala yang tidak tampak oleh mata.11 Dalam konteks pembahasan ini penulis lebih memilih makna al-ghayb dengan sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata. Berangkat dari urgensinya pembahasan ini maka tidak heran jika dalam bagian permulaan al-Qur'an tepatnya pada (Q.S. al-Baqarah [2]: 3) Allah SWT. menekankan tentang wajibnya beriman pada hal-hal yang gaib. Imam al-Qurthubi (w. 671 H) dalam al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân menjelaskan tentang makna al-ghayb dalam ayat itu, beliau berkata : '' para mufassir berbeda pendapat dalam mentakwil kata al-ghayb, sebagian dari mereka mentakwil dengan qadha dan qadar, ada juga golongan yang memaknainya dengan Allah SWT., tetapi pendapat ini dilemahkan oleh Ibn al-'Arabi (w. 543 H), sebagian kelompok lain menafsirinya dengan segala sesuatu yang tidak terjangkau oleh akal, seperti tanda-tanda hari kiyamat, siksa kubur, hari kebangkitan, surga dan neraka. Pendapat-pendapat ini dikuatkan oleh Syeikh Ibn 'Athiyyah (w. 541 H) dengan perkataanya; bahwa tidak ada kontroversi dalam penafsiran-penafsiran mereka, bahkan yang terjadi adalah saling melengkapi dan makna al-ghayb terkumpul dalam perbedaan pendapat tersebut.12Adapun Syeikh Abu al-Su'ûd dalam buku tafsirnya Irsyâd al-'Aqli al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm berpendapat bahwa kata al-ghayb adalah sesuatu yang tidak bisa diterka oleh salah satu dari indera (al-his) dan akal (al-'aql) secara mutlak, meskipun dengan cara badîhi (spontan/otomatis). Beliau membagi sesuatu yang ghaib ke dalam dua kategori, yaitu hal gaib yang tidak ada dalil atau cara untuk bisa mengetahuinya, inilah yang sesuai dengan firman Allah SWT. :13

. اآلية... إالهووعنده مفاتح الغيب اليعلمها

dan sesuatu yang gaib tetapi masih ada celah atau cara untuk mengetahuinya, seperti untuk mengetahui tanda-tanda adanya Sang Pencipta, sifat-sifatNya, kenabian, hal-hal yang terkait dengan hukum dan syariat, hari akhir, hari kebangkitan, hari perhitungan, dan juga hari pembalasan. Kelompok yang ke dua ini lah yang dimaksud dalam penjelasan makna al-ghaîb menurut beliau. 14

Syeikh Muhammad al-Thâhir ibn 'Âsyûr dalam al-Tahrîr wa al-Tanwîr menambahkan penjelasan tentang kandungan ayat tersebut, beliau berpendapat bahwa kekhususan dalam penyebutan iman terhadap hal yang gaib –bukan dengan menyebut hal lain yang memiliki korelasi juga dengan keimanan– adalah karena iman terhadap hal yang gaib merupakan inti dari sebuah akidah, dimana

11 . Ibn Manzhûr, Lisân al-'Arab, (Kairo : Dâr al-Hadîts, 2003), vol. 6, h. 704. 12 . Abû 'Abdillâh Muhammad ibn Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, al-Jâmi' lî Ahkâmi al-Qur'an, (Kairo : Dar al-Hadits, t. th.), vol. 1, h. 164. 13

. (Q.S al-An'âm [6]: 59). 14

. Syeikh Abu al-Su'ûd, Irsyâdu al-'Aqli al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm, (Kairo : Dâr al-Fikr, t. th.), vol. 1, h. 36.

Page 7: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

7

hal itu bersumber dari ajaran yang disampaikan Rasulullah saw. yang menjelaskan tentang wujudnya Allah SWT. Apabila seseorang beriman dan mencermati dengan seksama terhadap hal-hal yang disampaikan Rasulullah saw., maka ia akan lebih mudah mengetahui tanda-tanda kebenaran ajaran-Nya. Sedangkan orang-orang yang hanya mengimani hal-hal yang bisa dijangkau oleh panca indera saja (al-mâddah/al-thabî'ah) dan sama sekali tidak mengimani hal-hal di luar materi (mâ warâ'a al-mâddah), maka pada hakekatnya mereka telah mengingkari kebenaran ajaran Rasulullah saw. yang sudah menjelaskan tentang wujudnya Allah dan adanya kehidupan di akherat. Mereka sering disebut dengan golongan mâddiyyûn atau dahriyyûn yaitu orang-orang yang hanya percaya dengan hal yang bersifat materi saja.15

Selain perbedaan pendapat di atas, ada juga penafsiran tentang makna al-ghayb yang menurut penulis lumayan unik, maksudnya sangat berbeda dengan penafsiran yang penulis sampaikan sebelumnya. Misalnya, pendapat yang disampaikan oleh Syeikh al-Jamal dalam bukunya al-Futûhât al-Ilâhiyyât, beliau mengatakan bahwa yang dimaksud al-ghaîb adalah hati, karena hati itu tertutup (tidak nampak), sehingga yang dimaksud adalah bahwa orang-orang yang bertaqwa itu beriman dengan hati, bukan seperti orang munafik yang antara mulut dan hatinya tidak sama.16

Berangkat dari pembahasan makna al-ghayb di dalam al-Qur'an, maka pada makalah ini penulis akan mencoba mengkorelasikan dengan pembahasan metafisika atau populer juga dengan istilah ( ةما وراء الماد ) . Dari sini bisa kita ambil sebuah kesimpulan bahwa pembahasan tentang hal di luar materi tidak hanya dibahas oleh filsafat Yunani atau filsafat kuno lainnya, tetapi juga dikupas secara mendalam di kitab suci al-Qur'an. Bahkan sepertiga isi al-Qur'an membahas tentang akidah dan sebagian besar dari isi akidah berbicara tentang hal-hal yang gaib. Di sinilah manusia akan selalu diuji keteguhan imannya, di saat ia harus selalu yakin terhadap hal-hal yang hanya bisa dimengerti dengan tanda-tandanya saja.

Pembahasan tentang keimanan terhadap hal yang gaib menjadi sangat penting, khususnya tatkala dihadapakan oleh fakta dimana banyak kelompok –sebut saja atheis dan sejenisnya– di berbagai penjuru dunia yang tidak mengakui adanya Allah SWT. Padahal dengan pendekataan akal saja –tanpa dogma agama– mayoritas manusia akan mengakui ‘’secara naluri’’ adanya pencipta alam semesta ini. Munculnya kaum atheis tentunya dengan berbagai macam faktor, baik internal ataupun eksternal. Sehingga ini menjadi ancaman yang serius bagi generasi di abad modern serta menjadi tugas berat dan mulia bagi para agamawan untuk memberikan pencerahan terhadap mereka. Tentunya kita tidak bisa membayangkan suasana kehidupan di saat orang-orang sudah tidak mempercayai Allah atau sebaliknya di saat manusia sama sekali tidak peduli

15

. Syeikh Mu hammad al-Thâhir ibn 'Âsyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tunis : Dâr Suhnûn li al-Nasyr wa al-Tawzî', 1997), vol. 1, h. 230. 16

. Sulaimân ibn 'Umar al-'Ajjîliy al-Syâfi'I (al-Jamal), al-Futûhât al-Ilâhiyyâh bi Tawdlîh Tafsîr al-Jalâlayn li al-Daqâiq al-Khafiyyah, (Kairo: Dar Ihyâ' al-Kutub al-'Arabiyyah, t. th.), vol. 1, h. 12.

Page 8: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

8

dengan dunia dan hanya sibuk dengan ritual di tempat-tempat ibadah saja. Oleh karena itu, dengan adanya risalah Nabi Muhammad saw. akan mengajarkan manusia tentang perlunya keseimbangan antara kesibukan untuk urusan dunia dan akhirat.

E. Konsep Ketuhanan a- Menurut filsuf Islam

Al-Fârâbi (w. 339 H) telah memberikan perhatian maksimal dalam pembahasan tentang ketuhanan. Hal ini terbukti, ketika menulis buku ‘’Mabâdi’ wa Arâ’u Ahli al-Madînah al-Fadhîlah’’ beliau membaginya menjadi dua bagian. Bagian pertama membahas tentang falsafi dan di dalamnya terdapat dua pembahasan, yaitu al-thabî’ah (materi) dan mâ warâ’a al-thabi’ah (immateri). Adapun pada bagian ke dua, buku itu mengupas tentang ijtimâ’i wa al-siyâsiy (sosial-politik). 17

Dalam membahas tentang ketuhanan, al-Fârâbi (w. 339 H) menggunakan dua pendekatan, yaitu mantiqiy (akal) dan lâhûtiy (teologi)18. Diantara pendapat-pendapatnya dalam menjelaskan tentang Allah SWT. :

- Dialah adalah sebab utama atas adanya semua yang ada; - Dia terbebas dari segala bentuk kekurangan; - Esensi-Nya adalah sebaik-baik yang ada dan wujud yang paling awal; - Wujud-Nya adalah azali; - Dia adalah wujud yang tanpa sebab; - Dia tidaklah terbagi dan wujudnya juga bukan dari materi (mâddah).

Konsep ketuhanan di dalam Islam sebenarnya sudah terangkum pada (Q.S. al-Ikhlâsh [112]: 1-4), Allah SWT. berfirman :

مد ( ) قل هوهللا أحد 2(4)ولم يكن له كفواأحد ( 3)لم يلد ولم يولد ( 2) هللا الص

17

Fârûq Sa'ad, Ma'a al-Fârâbi wa al-Mudun al-Fâdlilah, (Kairo : Dâr al-Syurûq, 1982), cet. I, h. 46. 18

. Ilmu yang membahas tentang Allah, Dzat-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Kalau dalam agama Islam popular dengan sebutan ilmu kalam, dan juga bisa disebut sebagai al-'imu al-rubûbiyyah atau al-'ilmu al-ilâhiyyât. 19

. Menurut al-Azhari sebagaimana dikutip dalam Hâsyiyah al-Qunawi 'alâ al-Baydhâwi, beliu berpendapat bahwa ada perbedaan antara kata al-wâhid dan al-ahad, kata al-ahad berarti menafikan bilangan (al-'adad) yang menyertainya dan kata al-wâhid adalah ''termasuk'' nama bilangan, contoh جا ئني al-wâhid juga berarti Esa di dalam dzat-Nya dengan tidak adanya yang , جا ئنى أحد dan bukan واحد من الن اس menyerupai dan menandingi-Nya dan al-ahad adalah Esa secara maknawi. Ada juga yang berpendapat bahwa al-wâhid adalah yang tidak bisa terbagi, tidak bisa digandakan menjadi dua –atau lebih–,tidak ada yang menyerupai-Nya, dan juga tidak bisa mengumpulkan dua sifat ini kecuali hanya Allah SWT. Masih menurut Al-Azhari, bahwa makna al-ahad yang merupakan salah satu dari asmâul husnâ adalah salah satu sifat Allah SWT. yang hanya Dialah yang mengetahui hakekat maknanya dan siapapun tidak boleh disifati dengan ahad kecuali hanya Allah SWT. Lihat : 'Ishâm al-Dîn Ismâîl ibn Muhammad al-Hanafi, Hâsyiyah al-Qûnawi 'alâ Tafsîr al-Imâm al-Baydhâwi, tashhih : 'Abdullâh Mahmûd Muhammad 'Umar, (Beirut : Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, 2001), cet. I, vol. XX, h. 491. 20

. Maksud dari ayat ini adalah tidak ada yang sepadan dengan-Nya dan juga tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai Allah SWT. Lihat : Ibn 'Abbâs, Tafsîr Ibn 'Abbâs (Shahîfah 'Ali ibn Abî Thalhah 'an Ibn

Page 9: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

9

Artinya : Katakanlah : ''Dialah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengannya''.

Di dalam surat inil terdapat sepertiga isi al-Qur'an, yaitu tentang inti dari aspek akidah. Nabi Muhammad saw. bersabda :

دها( قل هوهللا أحد: )رجال سمع رجال يقرأ أن :سعيد الخضري عن أبى رسول هللا صل ى فلما أصبح جاء إلى , يرد إنها , والذى نفسى بيده : رسول هللا صل ى هللا عليه وسل مقال ف, وكأن الرجل يتقال ها, فذكر ذلك لههللا عليه وسل م

2ثلث القرآن لتعدل

Adapun mengenai penjelasan dari hadits ini ada beberapa pendapat, diantaranya adalah :22

- Yang dimaksud menyamai sepertiga al-Qur'an adalah kesamaan dalam pahala membacanya, maksudnya membaca surat al-Ikhlash satu kali berarti menyamai membaca sepertiga al-Qur'an, jadi kalau membacanya tiga kali, maka pahalanya seperti orang yang membaca al-Qur'an secara keseluruhan.

- Maksud dari hadits itu adalah barang siapa yang belum bisa bagus membaca al-Qur'an, kecuali hanya surat al-Ikhlash, maka ketika ia membacanya nilainya sama dengan membaca sepertiga al-Qur'an.

- Maksudnya adalah dari sisi kandungan maknanya, karena al-Qur'an terdiri dari tiga aspek inti, yaitu ahkâm, akhbâr, dan tawhîd. Hanya pada surat inilah terkumpul inti akidah agama Islam –dalam satu surat–, yaitu tentang ketuhanan.

Dari keterangan di atas menurut hemat penulis bahwa ayat-ayat akidah lainnya merupakan pelengkap dan menjadi pensyarah secara lebih detail dari apa yang terrangkum dalam surat al-Ikhlash. Kesimpulan yang juga bisa penulis ambil dari surat al-Ikhlash adalah bahwa ''untuk pantas'' disebut sebagai Tuhan harus memiliki empat unsur, yaitu harus Esa (tunggal), segala sesuatu bergantung pada-Nya, tidak beranak dan juga tidak dilahirkan, serta tidak ada satupun yang setara dengan-Nya.

'Abbâs fî Tafsîr al-Qur'ân al-Karîm), tahqîq : Râsyid 'Abdu al-Mun'im al-Rajjâl, ( Kairo : Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiyyah, t.th.), h. 543. 21 . Abû 'Abdillâh Muhammad ibn Ismâ'îl al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhâri, murâja'ah : Hasan 'Abdu al-'Âl & Haytsam Khalîfah al-Thu'aymi, (Beirut : Maktabah al-'Ashriyyah, 2008), vol. III, h. 1042. Dalam riwayat lain juga disebutkan sebagai berikut :

أينا : فشق ذلك عليهم, وقالوا" أيعجز أحدكم أن يقرأ بثلث القرآن في ليلة:" أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال ألصحابه: وفي رواية -

((. رواه البخاري.". )) ثلث القرآن{ قل هو هللا أحد}:" فقال : ارسول هللايطيق ذلك ي

قل هوهللا أحد تعدل ثلث القرآن: عن أبى هريرة رضى هللا عنه أن رسول هللا صل ى هللا عليه وسل م قال -

22 . Syeikh Mu hammad al-Thâhir ibn 'Âsyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, op. cit., vol. 12, h. 621.

Page 10: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

10

Adapun ayat-ayat lain yang menunjukkan keesaan Allah SWT. juga sangat banyak, seperti (Q.S. al-Baqarah [2]: 163, 255), (Q.S. Âli 'Imrân [3]:2), (Q.S. al-Anbiya' [21]: 22, 108), dll.

b- Menurut perspektif filsuf Kristen

Selain pandangan dari filsuf Islam, di sini penulis akan menyampaikan sedikit pandangan dari perwakilan filsuf Kristen yang hidup di abad pertengahan (al-'ashru al-washît)23. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ada beberapa perbedaan yang sangat mendasar dalam konsep ketuhanan antara teologi Islam dan Kristen, seperti masalah yang sangat popular, yaitu konsep trinitas (Tuhan Bapa, Tuhan Anak,24 dan Ruh Kudus)25 dan tentunya juga masih banyak permasalahan-permasalahn lainnya.

23 . Sebagaimana diketahui disiplin ilmu filsafat bahwa periode sejarah filsafat dibagi menjadi empat fase, yaitu al-'ashru al-qadîm (masa filsafat Yunani), al-'ashru al-washîth (masa pertengahan) bagi filsafat Islam dan Kristen, al-'ashru al-hadîts (masa modern) yang dipelopori oleh aliran rasionalis ('aqliyyûn), mereka berpijak pada konsep dasar ''bahwa manusia sudah memiliki banyak informasi di dalam otak semenjak mereka baru dilahirkan''. Adapun aliran ke dua dalam perkembangan filsafat di masa modern adalah aliran hissiyyûn, golongan ini berpedoman bahwa manusia ketika baru lahir tidak mengetahui hal apapun, tetapi setelah melalui usaha dan proses panjang untuk mencoba, meneliti, dan mempelajari banyak hal maka ia bisa mengetahui berbagai macam ilmu. Di tengah perbedaan kedua aliran ini muncullah sebuah golongan yang mencoba menggabungkan kedua aliran tersebut, mereka adalah para pengikut filsuf Immanuel Kant. Fase terakhir yaitu al-'ashru al-mu'âshir (masa terkini). Mengenai informasi lebih lengkap terkait empat fase sejarah filsafat bisa meruju' referensi-referensi berikut:

- Yûsuf Karam, Târîkh al-Falsafah al-Yûnaniyyah, Maktabah al-Anjalu, Kairo - Yûsuf Karam, Târîkh al-Falsafah al-Erobiyyah fî al-'Ushûr al-Washîth - 'Âli Muhammad,Târikh al-Falsafah fî al-'Ushûri al-Washîth al-Masîhi wa al-Islâmi - Yûsuf Karam, Târikh al-Falsafah al-hadîtsah - Zakariyya Ibrâhîm, al-Falsafah al-Erobiyyah al-Mu'âshirah - Ibrâhîm Mushtafâ Ibrâhîm, Târikh al-Falsafah al-Hadîtsah min Rene Descartes ilâ David Hume - Bertrand Russell, Târîkh al-Falsafah fi al-Qadîmah wa al-Washîth wa al-Hadîtsah wa al-

Mu'âshirah 24 . Pada pembahasan Tuhan Anak, penulis tiba-tiba teringat dengan konsep hulûl dalam dunia sufi yang diamini oleh sebagian orang. Dimana antara konsep Tuhan Anak dan hulûl ada kemiripan yaitu Allah menyatu (ittihâd) dengan makhluk-Nya atau 'menjelma' dengan wujud makhluk, makanya di sinilah kerancauan kedua konsep ini, sehingga mudah sekali untuk disangsikan kebenarannya karen sangatlah mustahil adanya dua unsure yang berbeda akan bisa menyatu. Dalam penjelasan lain juga disebutkan bahwa Al-hulûl merupakan sebuah paham dalam tasawuf yang menyatakan bahwa Tuhan menempati diri manusia, sehingga dalam diri Tuhan ada sifat lâhût (ketuhanan) dan nâsût (kemanusiaan). Demikian halnya pada diri manusia. Ajaran demikian sering disebut dengan ajaran “panteis”. Tokoh dalam teori ini adalah Abû al-Mughîts Husayn al-Hallâj (w. 309 H) yang rela dihukum mati demi mempertahankan teori hulûl-nya yang terkenal itu. Menurut tokoh mistis agung ini, semua agama itu hakikatnya satu, yaitu mengakui, menyembah, dan mengabdi kepada Tuhan alam semesta, Tuhan semua agama. Ini adalah hakikat semuaagama. Sementara namanya, yakni atribut

dan simbolsimbolnya, dapat saja bervariasi, seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, Islam ataupun selainnya. Lihat : Jurnal Studi al-Qur'an, vol. II, no. I, vol. II, no. I, (Jakarta : PSQ, 2007), h. 57.

Page 11: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

11

Namun, kita juga tidak bisa menafikan adanya persamaan pandangan sebagaian filsuf Kristen dalam beberapa hal yang terkait dengan teologi Islam (konsep ketuhanan, red). Seperti, Saint26 Anselme de Cantorbéry (w. 1109) yang meyakini adanya Tuhan dengan konsep bahwa Tuhan itu tidak berjasad, wujud-Nya tidak bisa dijangkau dengan panca indera, tetapi keberadaan (wujud-Nya) bisa dirasakan, dan Dia juga tidak bisa terbagi-bagi (Esa).27Akan tetapi, tidak semua filsfus Kristen berpandangan sama dengan Anselme de Cantorbéry, tentunya banyak juga dari mereka yang justru menguatkan paham trinitas dengan berbagai argumentasi, bahkan sebagian dari mereka juga ada justru menolak agama Semitik (Yahudi, Kristen, Islam) dan non Semitik (Hindu, Budha, Shintoisme, dll) seperti yang dilakukan David Hume (w. 1776 M).28 Ketika mereka menolak kebenaran agama maka –secara otomatis— mereka juga menolak hal yang berkaitan dengan metafisika, seperi yang dilakukan oleh seorang filsuf Jerman Immanuel Kant (w. 1804), ia menyampaikan kritik terhadap metafisika yang diabadikan dalam bukunya ''Naqd al-'Aql al-Nazhari al-Khâlish'' dan aliran positivisme logique (al-wadh'iyyah al-mantiqiyyah) juga menolak permasalahan-permasalahan metafisika, etika dan estetika, karena menurut mereka pembahasan metafisika tidak memiliki 'arti penting'. Meskipun Kant dan Hume menolak metafisika, tetapi tidak secara mutlak, karena mereka masih mengakui dalam beberapa pembahasan yang terkait dengan metafisika, hanya saja dengan pendekatan yang berbeda.29

Dari keterangan di atas menunjukkan adanya ‘’beberapa kesamaan’’ atau minimal mendekatinya, yaitu antara konsep ketuhanan dalam teologi Islam dan pandangan yang disampaikan Anselme de Cantorbéry, dimana kita semua meyakini bahwa Allah adalah ada, panca indera juga tidak bisa menjangkau-Nya, Dia juga tidak berbentuk materi, dst. Jika, al-taqrîb bayna al-madzâhib dalam satu agama mungkin dilakukan, maka tidak menutup kemungkinan juga 25 . Dalam keyakinan umat Kristen terdapat apa yang disebut dengan konsep trinitas (trinity). Diyakini

bahwa ada satu Tuhan, tetapi dalam satu hakekat Tuhan tersebut terdapat tiga pribadi yaitu Tuhan Bapa,

Tuhan anak (Yesus Kristus), dan Roh Kudus. Tiga pribadi tersebut adalah sepadan dan sama kekal, tetapi

berbeda dalam pribadi. Keyakinan seperti ini menjadi sangat ambigu, karena umat Kristen tidak bisa

menempatkan konsep ketuhanannya ke dalam golongan monteisme (keyakinan pada satu Tuhan) dan

juga politeisme (keyakinan pada banyak Tuhan). Sebab monoteisme menganggap bahwa Tuhan itu hanya

terdiri dari satu oknum saja. Namun, umat Kristen juga menolak dengan tegas jika dikatakan bahwa

konsep ketuhanannya bersifat politeisme. Tidak ada penekanan dalam ‘keesaan’ atau ‘ketigaan’ Tuhan,

sebab penekanan terhadap ‘keesaan’ akan menghilangkan konsep ‘ketigaan’ itu sendiri. Menurut mereka

konsep tentang trinitas bukanlah konsep tentang ‘Tiga Tuhan’ melainkan konsep tentang Satu Tuhan.

Lihat : Konsep Agama-Agama Besar Dunia, h. 7 (pdf).

26 . Sebutan atau julukan khusus dalam Kristen untuk seseorang yang berilmu tinggi dan sudah sampai pada tingkatan ritual yang mapan, sepertihalnya panggilan syeikh, al-'ârif billâh dalam Islam, dll. 27 . Dr. Hasan Hanafi Hasanîn, Namâdzij min al-Falsafah al-Masîhiyyah fi 'Ashri al-Wasîth, (Kairo : Maktabah al-Anjluo al-Masriyyah, 1978), cet. II, h. 144-145. 28

. Dr. Muhammad 'Utsmân al-Khasyat, al-Din wa al-Mîtâfîsîqâ fî Falfsafah Hume, (Kairo : Dâr Quba' li al-Thiâ'ah wa al-Nasyar wa al-Tawzî', t. th. ), h.49. 29

. Dr. 'Umar al-Thâlibi, Madkhal ilâ 'Alami al-Falsafah'', (Doha : Maktabah Markaz al-Hikmah, 1999), h. 32.

Page 12: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

12

adanya upaya al-taqrîb bayna al-adyân al-samâwiyyah. Penulis tidak bermaksud terlalu masuk pada pembahasan prularisme –yang terkadang dipahami oleh sebagian kelompok– untuk menyamakan ajaran semua agama, tetapi yang penulis garis bawahi dalam persoalan ini adalah perlunya kita melihat adanya kesamaan dalam beberapa hal secara obyektif dan jauh dari rasa fanatik yang berlebihan, demi menjunjung tinggi sisi ilmu pengetahuan dan sejarah yang sangat berharga bagi manusia. Namun, tentunya juga perlu adanya ketegasan sikap dari perbedaan-perbedaan yang ada, intinya adalah perlu ada sikap adil dan terbuka dalam semua perbedaan dan kesamaan. Hal ini akan sangat positif juga untuk meningkatkan toleransi antar umat beragama dan kasih sayang di antara mereka, karena dengan adanya sikap itu manusia akan bisa merasakan kedamaian dalam kehidupan mereka dan di saat itulah nilai-nilai kemanusiaan bisa dijunjung tinggi dengan keberagaman yang ada.

F. Mengenal Allah Dengan Tadabbur Alam

Dengan menghayati segala ciptaan Allah maka akan menjadi alat bantu untuk memperkuat keimanan seseorang. Lihatlah langit yang Allah ciptakan tanpa tiang, matahari yang begitu besar dan menjadi rajanya cahaya di muka bumi dan tata surya, lautan yang begitu luas dengan jutaan bahkan milyaran makhluk hidup yang ada di dalamnya, daratan yang terhampar luas dengan dihiasi gunung-gunung, tumbuh-tumbuhan, manusia dan hewan, serta perhatikanlah keunikan organ tubuh yang kita miliki beserta fungsinya masing-masing! serta masih banyak sekali tanda-tanda kekuasaanNya yang menunjukkan wujud-Nya.

Pertanyaan yang perlu dijawab adalah adalah bagaimana kita bisa mengenal dan mengetahui Allah (معرفة هللا)? mungkin secara sekilas pertanyaan itu sangat sederhana, tetapi dalam prakteknya tidaklah semudah itu.30 Pada pembahasan ini penulis akan menyampaikan satu contoh perjalanan rasional Nabi Ibrahim As. untuk sampai pada tingkatan mengenal Allah SWT., tentunya ini menurut sebagian ulama –bukan mutlak pendapat semua golongan–. Al-Qur’an sudah menjelaskan permasalahan itu, Allah SWT. berfirman :31

إبراهيم ملكوت ىوكذلك نر( 44)أراك وقومك في ضالل مبين ىآلهة إن وإذ قال إبراهيم ألبيه آزر أأت خذ أصناماا جن عليه الليل ر( 47)السموات واألرض وليكون من الموقنين ا ىأي كوكبا قال هذا ربفلم أفل قال ال أحب فلم

ا أفل قال لئن لم ( 47)اآلفلين ا رأي القمر بازغا قال هذا ربي فلم ( 44)ين ل ألكونن من القوم الضا ىيهدني ربفلم ا أفلت ىالشمس بازغة قال هذا رب ىفلما رأ ىإني وجهت وجه( 48)بريئ مما تشركون ىقال ياقوم إنهذا أكبر فلم

( 4)فطر السموات واألرض حنيفا وما أنا من المشركين ىللذ

Artinya: “Dan (ingatlah) saat Ibrahim berkata kepada bapaknya Azar: “Pantaskah bapak

30 . Dalam teologi sudah sangat masyhur : “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya’’. Seperti halnya seruan Imam Suhrawardi kepada alam sempurnanya (al-Thiba’ al-Tam): engkau adalah bapak spiritualku (al-Ab al-Ruhani) dan engkau adalah anak mentalku (al-Walad al-ma’nawi). Lihat : Mozaik Eseoterisme (Menyibak Dimensi Teosofis Islam), Jurnal pemikiran Islam Nuansa, 2012, edisi XVIII, h. 54 31

. (QS. al-An'âm [6]: 74-79)

Page 13: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

13

menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat bapak (paman, red) dalam kesesatan yang nyata”.

Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar ia termasuk orang-orang yang yakin.

Ketika malam telah menjadi gelap, ia melihat sebuah bintang (lalu) ia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam ia berkata: “Aku tidak suka kepada yang tenggelam”.

Kemudian tatkala ia melihat bulan terbit ia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam ia berkata. “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”.

Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, ia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”, maka tatkala matahari itu terbenam dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.

Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”.

Setidaknya ada satu permasalahn yang sangat mendasar yang terdapat dalam kisah Nabi Ibrahim As, yaitu apakah ini benar-benar maqâm nazhar (perenungan) yang mesti beliau lewati untuk sampai kepada maqâm ma'rifatullah ataukah hanya sebagai maqâm munâzharah (debat) antara Nabi Ibrahim dengan kaumnya yang masih menyembah berhala dan sesembahan-sesembahan selain Allah?.

Para ulama (mufassir, red) berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang menganggap bahwa yang terjadi adalah nazhar (tafakkur), tetapi sebagian yang lain beranggapan yang terjadi adalah munâzharah (perdebatan) antara Nabi Ibrahim dengan kaumnya. Pendapat pertama dikuatkan dengan dalil yang disampaikan Imam Ibn Katsîr (w. 774 H) dalam bukunya Tafsir al-Qur'an al-'Azhîm, beliau berkata: ''Ibn Jarîr meriwayatkan yang bersumber dari 'Ali ibn Thalhah dari Ibn 'Abbâs : apa yang terjadi –pada Nabi Ibrahim– menunjukkan maqâm nazhar dan Ibn Jarir menguatkan dengan mengambil dalil ( يهدني رب ي لئن لم Imam al-Râzi (w.606 H) juga masih memberikan celah atas 32. (ألكونن من القوم الضال ينpendapat ini –artinya ada kemungkinan pendapat ini bisa jadi benar– dengan mengatakan bahwa apa yang Ibarahim As. katakan, itu terjadi sebelum ia sampai usia baligh atau mendekati fase ini, maka Allah SWT. menyempurnakan akalnya dan agar di saat itu beliau mampu memantapkan keyakinannya bahwa Allah SWT. adalah Maha Pencipta.33 Meskipun menurut analisa penulis Imam al-

32

. (Q.S. al-An’âm [6]: 77). 33

. Fakhru al-Dîn Muhammad ibn 'Umar ibn al-Husayn ibn al-Hasan ibn 'Ali al-Tamîmi al-Bakri al-Râzi al-Syâfi'I, al-Tafsîr al-Kabîr aw Mafâtîh al-Ghaîb , (Kairo : Maktabah al-Tawfiqiyyah, 2003), vol. 7, h. 43.

Page 14: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

14

Râzi (w. 606 H) lebih merajihkan pendapat yang ke dua, tentunya dengan berbagai dalil yang beliau jelaskan.

Selain dalil yang Imam Ibn Jarîr (w. 310 H) sampaikan untuk memperkuat pendapat pertama, menurut yang penulis pahami dari kalimat ( ينوليكون من الموقن )34 juga bisa menjadi dalil untuk memperkuat pendapat pertama, alasannya adalah bahwa kata yaqîn atau fa'ilnya disebut mûqin memiliki arti mengetahui sesuatu yang berawal dari ketidaktahuan, oleh karena itu tidak patut jika mengatakan ilmu Allah itu yaqîn, Syeikh Zakariya al-Anshâri telah menjelaskan makna yaqîn dalam bukunya Fathur Rahmân bi Kasyfi mâ Yaltabisu Fî al-Qur'an.35 Imam al-Râzi juga mendefinisakan al-yaqîn sebagai sebuah ilmu yang telah berhasil dicapai dan tatkala ilmu itu mampu menghilangkan keraguan (al-syak), usaha ini mesti melewati proses berfikir secara mendalam.36 Jadi, berangkat dari pemahaman makna al-yaqîn pada ayat tersebut, maka bisa memberikan isyarat bahwa Nabi Ibrahim juga melewati tahapan-tahapan khusus untuk bisa sampai kepada iman yang sempurna. Namun, dengan catatan bahwa apa yang terjadi pada beliau –jika hal ini memang benar– sebelum sampai pada fase atau usia baligh (dewasa).

Membahas tentang ragu (الشك) atau (Ing: doubt) jadi teringat teori yang dipelopori Imam al-Ghazali (w. 505 H), yaitu al-syak al-manhaji (skeptisme metodologis). Beliau mengatakan: '' man lam yasyuk lam yanzhur wa man lam yanzhur lam yubshir wa man lam yubshir baqiya fî mutthâti al-'amâ''. Secara istilah ragu adalah sebuah kondisi psikologi seseorang yang di dalam otaknya terus berulang-ulang/bertanya-tanya untuk menentukan ya atau tidak dalam suatu hal.37

kemudian teori kesangsian-metodis banyak dikembangkan oleh seorang filsuf ternama dari Prancis René Déscartes (w. 1650 M), meskipun juga ada sebagian yang mengangap bahwa Descartes hanya melakukan copy paste dari pemikiran al-Ghazali. Namun, terlepas dari pro dan kontra terhadap pendapat tersebut kita bisa mengambil satu pelajaran berharga atau sebuah kesimpulan, yaitu bahwa tidak selamanya keraguan itu mengantarkan kepada kesesatan, tetapi terkadang justru sebaliknya, yaitu bisa mengantarkan seseorang melewati tahapan-tahapan tertentu yang kemudian bisa sampai kepada keyakinan.

Al-syak al-manhaji (skeptisme metodologis) berbeda dengan dengan al-syak al-madzhabiy aw al-irtiyâbiy sebagaimana yang disampaikan Hamdi Zaqzûq dalam bukunya Dirâsât al-falsafah al-hadîtsah, karena al-syak al-mahaji tidak mengingkari sebuah kebenaran, bahkan ia mencari kebenaran yang mutlak dan terus berupaya untuk menemukan pondasi yang kokoh. Berbeda dengan

34 . Q.S. al-An’âm : 75. 35 . Zakariyyâ al-Anshâri, Fathu al-Rahmân bi Kasyfi mâ Yaltabisu fî al-Qur'an, (Kairo : Dâr al-Kitâb al-Jâmi'I), vol. 1, h. 5. 36

. Fakhru al-Dîn Muhammad ibn 'Umar ibn al-Husayn ibn al-Hasan ibn 'Ali al-Tamîmi al-Bakri al-Râzi al-Syâfi'I, op. cit., h. 38 37

. Dr. Ibrâhîm Madkûr, op.cit., h. 103

Page 15: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

15

kesangsian jenis kedua yang tidak berupaya untuk keluar dari keraguan ini dan justru menolak untuk mengakui adanya solusi dari sebuah kesangsian.38 René Déscartes juga memperjelas bahwa al-syak al-manhaji (skeptisme metodologis) adalah sebagai perantara untuk bisa mengetahui tentang hakekat dari sesuatu dengan pengetahuan yang sangat jelas.39

Adapun pendapat kedua –dalam kisah Nabi Ibrahim– juga tidak kalah argumentatif, banyak sekali dalil-dalil yang disampaikan oleh para mufassir untuk menunjukkan bahwa apa yang Nabi Ibrahim sampaikan adalah bentuk dialog atau perdebatan yang terjadi antara beliau dengan kaumnya. Diantara dalil-dalil tersebut adalah :40

- Bahwa Nabi Ibrahim sudah mengetahui lebih awal siapa sesembahannya sebelum beliu melakukan perdebatan dengan kaumnya;

- Allah SWT. mensifati hati Ibrahim dengan qalbun salîm (hati yang selamat), dan tingkatan minimal dalam sifat ini adalah hati yang terhindar dari kufur;

- Dikuatkan dengan dalil pada ayat selanjutnya (Q.S al-An’âm [6]: 83),41 yang mengindikasikan bahwa hal yang terjadi adalah perdebatan antara Ibrahim dengan kaumnya yang bertujuan untuk mencerahkan dan meluruskan mereka kepada keimanan dan ketauhidan, bukan karena tujuan beliau untuk mencari agama dan untuk mengetahui dirinya sendiri.

- Ibn Katsir juga menambahkan bahwa jika manusia dilahirkan dalam kondisi suci (fithrah) dan sudah mengakui Allah SWT. sebagai Tuhannya, maka dalam kondisi ini Nabi Ibrahim lebih berhak atau lebih utama untuk menyandang kesucian dalam dirinya daripada manusia pada umumnya.42

Dalam hal ini penulis tidak akan mentarjih pendapat mana yang lebih kuat di antara kedua pendapat tersebut, akan tetapi yang akan penulis lakukan adalah istifâdah (mengambil pelajaran) dari pendapat pertama yang bisa memotivasi seseorang dalam memaksimalkan peran logika untuk mengenal Allah secara lebih dekat. Bukankah Allah menciptakan akal manusia untuk bertafakkur atas ciptaan-ciptaanNya sehingga semakin bisa mengenal Sang Pencipta? banyak sekali ayat-ayat al-Qur'an yang menganjurkan manusia untuk memikirkan dan meneliti dengan lebih dalam –dengan menggunakan akalnya– atas segala yang Allah ciptakan dari makhluk yang sangat sederhana sampai makhluk yang sangat rumit, dst. Ini semua bertujuan agar hati kita semakin meyakini dengan kebesaran dan keagungan Dzat yang telah menciptakan alam semesta.

Hujjatu al-Islâm Imam al-Ghazali (w. 505 H) berpendapat bahwa ada dua metode untuk mengetahui tanda-tanda wujudnya Allah SWT. Kedua metode itu adalah 39 . Dr. Mahmûd Hamdi Zaqzûq, Dirâsât fi al-Falsafah al-Haditsah, (Kairo : Dar al-Fikr, 1993), cet. II, h. 82-

83. 40

. Fakhru al-Dîn Muhammad ibn 'Umar ibn al-Husayn ibn al-Hasan ibn 'Ali al-Tamîmi al-Bakri al-Râzi al-Syâfi'I , op. cit., h. 41 41

تنا آتيناها إبراهيم على قومه . اآلية... وتلك حج 42

. al-Hâfizh Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Âzhîm, (Kairo : Dar al-Hadits, t.th.), Vol. 2, h. 206.

Page 16: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

16

dengan memikirkan dan memperhatikan (tadabbur) apa yang ada di langit dan bumi, serta segala sesuatu yang Allah telah ciptakan. Adapun cara yang ke dua adalah dengan memperhatikan apa yang ada dalam diri kita (jasad). Masih menurut beliau; bahwa metode pertama lebih banyak dipraktekkan oleh para filsuf dan metode ke dua lebih banyak dipraktekkan oleh para Nabi dan Wali (pendekatan-sufistik).43 Terkait dengan metode ke dua Al-Qur'an juga sudah menegaskan, Allah SWT. Berfirman :

44وفي أنفسكم أفال تبصرون

"Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?''

Imam al-Alûsi menjelaskan maksud dari ayat ini adalah agar manusia memperhatikan apa yang ada dalam diri mereka, karena dalam diri mereka terdapat banyak tanda-tanda kekuasaan-Nya, misalnya susunan tubuh yang sangat rumit dan ajaib, menjadi salah satu pemandangan yang bagus untuk dilihat, mampu melakukan berbagai perbuatan-perbuatan yang dahsyat dan kemampuan menyempurnaan berbagai masalah, serta tanda-tanda kekuasaan-Nya yang ada dalam diri manusia sebenarnya lebih banyak dari yang mereka ketahui.45

Pada tabel di bawah ini penulis akan menyebutkan beberapa contoh dari ayat-ayat al-Qur'an yang membahas tentang alam semesta.

NO Nama Surat & Nomer Ayat Tema Pembahasan

1 (QS. al-Baqarah [2]: 22) Penciptaan bumi

2 (QS. al-An'am [6]: 1) Penciptaan langit, bumi, kegelapan dan cahaya

3 (Q.S Nûh [71]: 15) Penciptaan tujuh langit, bulan dan matahari

4 (QS. al-Hijr [15]: 22) Tentang angin

5 (Q.S Ibrâhîm [14]: 10) Tiada keraguan lagi bahwa Allah adalah pencipta langit dan bumi

6 (QS. al-Anbiyâ' [21]: 30) Asal muasal bentuk langit dan bumi dan segala sesuatu diciptakan dari air

7 (QS. al-Mu'minûn [23]: 12-14) Penciptaan manusia

8 (QS. Yâsîn [36]: 37) Pembahasan tentang malam

9 (QS. Yâsîn [36]: 38) Matahari berputar pada porosnya

10 (QS. al-Dzâriyât [51]: 47) Penciptaan langit

11 (Q.S al-Wâqi'ah [56]: 59) Allah pencipta hakiki

12 (QS. al-Mulk [67]: 5) Tentang bintang-bintang di langit

13 (QS. al-Naba' [78]: 7) Fungsi gunung

43 . Dr. Fayshal Badîr 'Awn, al-Falsafah al-Islâmiyyah fi al-Masyriq, (Kairo : Dâr al-Tsaqâfah li al-Nasyr wa al-Tawzî', t.th.), h. 406-407. 44

. (QS. al-Dzâriyyât [51]: 21). 45

. Abû al-Fadl Syihâbu al-Dîn al-Sayyid Mahmûd al-Alûsi, Rûh al-Ma'âni fi Tafsîr al-Qur'an al-'Âzhîm wa al-Sab'I al-Matsâni, tahqîq : Sayyid 'Imrân, (Kairo : Dâr al-Hadits, 2005), vol. 14, h. 15.

Page 17: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

17

Dari kumpulan ayat-ayat tersebut setidaknya mengisyaratkan bahwa segala sesuatu yang ada di sekitar kita bukan kareka faktor kebetulan dan ada dengan sendirinya, tetapi itu adalah ciptaan Allah SWT. Tidak ada satupun yang bisa ada atau berwujud dengan kehendak sendiri kecuali hanya Allah yang Maha Esa dan segala sesuatu selain Dia adalah ada karena kehendak-Nya.

Membincang tentang rasionalitas secara lebih mendalam bukan berarti menafikan hal-hal yang irasional, akan tetapi bagaimana menyeimbangkan antara keduanya. Karena pada hakekatnya akal juga ciptaan Allah dan hal-hal yang belum/tidak bisa dijangkau akal juga atas kehendak Allah. Sehingga tidak bisa dipandang negatif secara mutlak orang-orang yang cenderung berpegang logika, tetapi dalam banyak permasalahan masih mengindahkan dalil naqli untuk mengkaji kebenarannya.

Terkadang sebagaian hal yang awalnya dianggap irasional, sifatnya sangat temporal (sementara), misalnya pada zaman dahulu banyak orang mengira bahwa manusia tidak mungkin bisa sampai ke bulan, tetapi ternyata di abad modern ini bisa dibuktikan oleh para astronot yang sudah bisa sampai ke bulan. Begitu juga ketika orang-orang di zaman dahulu menganggap mustahil untuk bisa berbicara dengan lawan bicaranya dengan jarak ribuan mil atau puluhan ribu kilo meter dan bahkan lebih jauh dari itu, tetapi faktanya dengan perkembangan teknologi semua itu bisa terjadi di zaman sekarang dan bahkan tidak hanya berbicara, tetapi juga bisa sambil melihat lawan bicaranya sehingga seperta perbincangan face to face. Oleh karena itu, dalam hal ini sudah terjadi pergeseran dari hal yang sebelumnya dianggap irasioanal menjadi sesuatu yang rasional.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah wujudnya Allah bisa diterima

atau diyakini secara fithri (naluri, red) ataukah harus melalui proses perenungan

dan pencarian atas tanda-tanda wujud-Nya? ada dua golongan dalam menjawab

pertanyaan tersebut ;

a. Kelompok pertama mewakili dari sebagian kalangan ahli hadits, mufassir,

ahli ilmu kalam, dan juga banyak dari kalangan sufi, mereka berpendapat

bahwa –untuk mempercayai– wujudnya Allah tidak membutuhkan proses

perenungan yang dalam (nazhar/ta’ammul) dan mencari dalil-dalil naqli

ataupun ‘aqli. Permasalahan ini adalah tidak termasuk aspek yang perlu

diperdebatkan lagi dalam internal agama, karena setiap jiwa manusia

yang berakal bisa merasakan dengan batin mereka yang sangat dalam,

meskipun tidak menggunakan berbagai macam metode. Adapun dalil

yang digunakan golongan ini untuk menguatkan pendapatnya adalah (QS.

al-A’râf [7]: 172), Allah SWT. berfirman :

يتهم وأشهدهم على أنفسهم ألست بربكم قالوا بلى شهدنا أن تقولوا وإذ أخذ رب ك من بنى آدم من ظهورهم ذر

.يوم القيامة إنا كنا عن هذاغافلين

Page 18: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

18

b. Kelompok ke dua dari mayoritas Sunni dan Muktazilah46 berpendapat

bahwa untuk mengetahui Allah tidak cukup dengan naluri saja, tetapi juga

membutuhkan usaha khusus yaitu menggunakan metode berfikir dengan

akal. Banyak sekali dalil-dalil yang dijadikan acuan oleh para filsuf dan

mutakallimin untuk membahas masalah ini yang kemudian dituangkan

dalam karya-karya mereka.

Di saat perbedaan pendapat di atas terus berjalan, ternyata ada upaya dari

sebagian kelompok untuk mencoba '‘menyatukan’' kedua pendapat tersebut.

Seperti apakah argumentasi yang mereka tawarkan? sesungguhnya

permasalahan untuk mengakui dan mengimani adanya Allah adalah

permasalahan yang cukup dilalui dengan naluri saja, akan tetapi dalam hal ini

perlu adanya perbaikan (al-ishlâh) dan pengingat (al-tadzkîr), seperti halnya

mengingatkan kematian kepada seseorang yang terkadang lupa bahwa ia

suatu saat pasti akan meninggal dunia. Sedangkan untuk bisa melakukan

proses perbaikan (ishlâh) dan tadzkîr, maka perlu adanya perenungan dan

pengkajian yang dalam dan intensif.47

Setelah penulis memaparkan perlunya sebuah rasionalitas untuk mengenal Allah, maka pertanyaan yang perlu dijawab juga adalah dari manakah sumber keyakinan itu muncul?

- Al-Ghazali (w. 1111 M) berpendapat : bahwa keyakinan itu bersumber dari cahaya ilahi.

- Menurut Rene Descartes (w. 1650 M) : keyakinan adalah berawal dari mengetahui sesuatu secara langsung atau kemampuan secara alamiah.

- Henri Bergson (w. 1941 M) berpendapat bahwa yakin adalah suatu gambaran yang ada dalam psikologi seseorang.

Keyakinan tidak selamanya bersumber dari akal, karena akal manusia sangatlah terbatas. Meskipun suatu kebenaran terkadang bisa dibenarkan dengan akal, tetapi ini tidak mutlak. Selain itu keyakinan jauh lebih luas daripada jangkauan

46 . Sebuah aliran Islam yang muncul pada awal abad ke dua Hijriah di kota Bashrah, Irak. Pendiri aliran ini adalah Wâshil ibn ‘Athâ’ yang lahir di Madinah pada tahun 80 H, kemudia beliau pindah ke Bashrah sebagai pusat peradaban Islam di masa itu. Salah satu murid beliau yang paling terkenal adalah Hasan al-Bashri dan beliau meninggal sekitar tahun 131 H. Aliran ini terkenal dengan ushûl al-khamsah, yaitu al-tawhîd, al-‘adl, al-wa’du wa al-waîd, al-manzilah bayna al-manzilatayn, dan al-amru bi al-ma’rûf wa al-nahyu ‘an al-munkar. Lihat : Mawsû’ah al-Firaq wa al-Madzâhib fî al-‘Âlami al-Islâmi, (Kairo : Wizârah al-Awqâf al-Majlis al-A’lâ li al-Syu’ûni al-Islâmiyyah, 2009), cet. II, h. 855-863. 47 . Dr. ‘Abdu al-‘Azîz Hâji, Tafsîru Âyâti al-‘Aqîdah (Isti’râdl Syâmil li Madzâhibi al-Mufassirîn fi al-‘aqîdah),

(Kairo : Dâr al-Shâbûni, 2003), cet. I, vol. I, h. 61-64.

Page 19: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

19

akal, karena jangkauan akal sangatlah terbatas. Oleh karena itu, agama adalah sumber keyakinan.48

Apabila kita perhatikan bersama, nampaknya pendapat Imam al-Ghazali sejalan dengan konsep hidayah adalah hak preogatif Allah, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya :

(77)إنك ال تهدى من أحببت ولكن هللا يهدى من يشاء وهو أعلم بالمهتدين

‘’ Sesungguhnya kamu tidak akan bisa member petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah member petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.’’49

Selain itu jika agama dipandang sebagai sumber keyakinan, maka ini juga seirama dengan konsep perlunya mengedepankan dalil naqli daripada dalil ‘aqli, tetapi bukan berarti akal tidak dibutuhkan, karena sejatinya keduanya saling melengkapi. Tentunya hal ini berbeda dengan pandangan Muktazilah yang menganggap bahwa iman dan kufur adalah pilihan manusia secara mutlak dan seringkali mengedepankan nalar daripada nash.

Ya’qûb ibn Ishâq al-Kindi (w. 256 H) sebagai seorang filfus muslim dan arab yang paling senior juga telah memberikan perhatian khusus dalam pembahasan tentang ketuhanan, ia telah mengupas dalil-dalil tentang wujudnya Allah SWT., diantara dalil-dalilnya adalah:50

- Sesungguhnya segala sesuatu yang ada di depan akal dan indera kita itu menunjukkan bahwa alam yang diciptakan dengan sangat rapi, teratur, serta bagian satu dan lainnya saling berhubungan dan ketergantungan, begitu juga perjalanan alam semesta secara serempak (sangat teratur). Semua ini menunjukkan bahwa di sana ada Yang Maha Mengatur, Dialah yang telah mengatur segala yang ada di alam semesta ini dengan sangat sistematis.

- Adanya fenomena alam, seperti perubahan, kerusakan, sesuatu yang banyak, proses menjadi sesuatu, bergabung/berkumpul, berpisah adalah menunjukkan adanya Dzat yang menjadi sebab utama atas segala fenomena alam ini dan Dia adalah Allah SWT.

Dari paparan di atas nampaknya sudah sangat jelas bahwa dengan tadabbur alam akan bisa mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan baru, langkah ini menjadi sebuah upaya untuk memaksimalkan karunia Allah yang sangat agung, yaitu akal sempurna yang Allah anugerahkan kepada manusia. Di saat yang sama fungsi akal juga bisa semakin mengokohkan iman dan mendekatkan diri kita semua kepada Allah SWT. lewat penemuan-penemuan baru dalam berbagai

48

. Dr. Muhammad Ibâhim al-Fayyûmi, al-Imâm al-Ghazali wa 'Alâqatu al-Yaqîn bi al-'Aql, (Kairo : Dâr al-Fikr al-'Arabi, t.th.), h.183. 49

. (Q.S. al-Qashash [28]: 56). 50

. Dr. Fayshal Badîr 'Awn , op. cit., h. 122-125.

Page 20: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

20

ilmu pengetahuan –yang belum terungkap sebelumnya– dan semakin jelas menunjukkan keagungan dan keajaiban ciptaan-ciptaanNya. Oleh karena itu, kajian sains yang dipadukan dengan kajian al-Qur’an dan al-Sunnah atau yang terkadang disebut dengan istilah tafsir al-‘ilmi atau kajian i’jâz al-‘ilmi menjadi daya tarik tersendiri di masa modern ini yang bisa disuguhkan kepada umat, karena di dalamnya lebih banyak membahas tentang ayat-ayat kawniyyah. Meskipun masih ada pro dan kontra dalam menyikapi metode ini, tetapi terlepas dari itu penulis masih yakin bahwa dalam metode ini juga banyak manfaatnya.

Keajaiban dan keindahan alam semesta tidak hanya menjadi sebuah pemandangan yang patut untuk dinikmati oleh panca indera kita semua, tetapi ada pesan moral yang sangat agung dan dalam, yaitu sejauh mana kita bisa semakin yakin kepada keagungan Allah SWT. atas segala ciptaan-Nya di alam semesta ini, tanyakanlah pada diri kita masing-masing!.

G. Membincang Sifat-Sifat Allah SWT.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pembahasan tentang sifat-sifat Allah SWT. meliputi pelbagai aspek. Adapun poin-poin yang akan didiskusikan dalam pembahasan ini mencakup hal-hal sebagai berikut :

1. Pandangan berbagai aliran dalam menerima atau menolak adanya sifat-sifat Allah SWT.

Penulis sengaja lebih fokus untuk membahas tentang sifat-sifat Allah dan tidak membahas tentang nama-namaNya terlebih dahulu, karena pembahasan di dalamnya tidak sebanyak dengan pembahasan tentang sifat-sifat Allah dan pembahasan tentang masalah ini lebih banyak dibahas dan diperbincangkan dengan panjang lebar oleh para ulama dari sejak zaman dahulu sampai sekarang. Apakah Allah SWT. memiliki sifat? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita awali dengan membahas makna dzat dan sifat.

Dzat ‘’secara bahasa’’ adalah hakekat dari sesuatu yang ada (esensi).51 Kata dzat dalam bahasa arab juga bisa berarti yang memiliki (shâhib), menurut al-Laîts dzât sebagai ta’nits dari kata dzû (memiliki) , misalnya dalam sebuah kalimat Hiya dzâtu mâlin'' (dia memiliki harta)52. Dari makna lughawi ini kita juga bisa menganggap bahwa Allah SWT. adalah pemilik hakiki segala sesuatu yang ada di alam semesta dan hanya Dialah yang memiliki esensi sebenarnya.

51

. Dr. Ibrâhîm Madkûr, op. cit., h. 78. 52

. Ibnu Manzhûr, op. cit., vol. III, h. 475.

Page 21: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

21

Adapun kata sifat ( صفة) secara etimologi adalah sesuatu yang berdiri/meliputi suatu hal yang disifati dan ada juga yang berpendapat bahwa sifat adalah tanda khusus yang berfungsi untuk mengetahui hal yang disifati.53

Dalam pembahasan tentang makna dzat dan sifat Allah SWT. ada hal yang menarik untuk dicermati bersama, yaitu apakah sifat adalah dzat itu sendiri? ataukah antara keduanya adalah hal yang berbeda? ataukah sifat itu bukanlah dzat, tetapi juga bukan berarti ‘’berbeda/terpisah secara mutlak’’ dengan dzat?. Jawabannya adalah Muktazilah dan para filsuf menganggap bahwa sifat adalah dzat itu sendiri, mayoritas mutakallimin beranggapan bahwa sifat berbeda dengan dzat, dan Asy’ariah mengambil pendapat yang ke tiga, yaitu bahwa sifat itu bukanlah dzat, tetapi juga bukan berarti ‘’berbeda/terpisah secara mutlak’’ dengan dzat, karena ia berdiri (eksis) dengan dzat.54

Pada pembahasan ini penulis akan menyebutkan berbagai macam pandangan aliran-aliran yang menerima dan menolak sifat-sifat Allah.

a. Filsuf dan Muktazilah

Hal yang menarik dalam pembahasan tentang ketuhanan adalah hubungan sifat-sifat Allah dengan dzat-Nya. Apakah ada korelasinya ataukah tidak? para filsuf –sebagian besar– sepakat untuk menafikan sifat-sifat Allah, sepert al-‘ilm, al-qudrah, al-iradah, dll. Muktazilah juga mengamini pendapat ini, dengan alasan bahwa Allah SWT. tidaklah mengetahui, berkuasa, berkehendak dengan sifat-Nya, akan tetapi Dia maha mengetahui dengan dzat-Nya, berkuasa dengan dzat-Nya, dst. Hal ini mereka lakukan dengan tujuan untuk menjauhkan dari anggapan atas qidamnya sifat-sifat ini. Karena jika seperti itu akan menunjukkan qidam yang ta’addud (banyak).55 Imam al-Ghazâli juga memperjelas mengenai pendapat mereka dalam karyannya '' al-Iqtishâd fî al-I'tiqâd'', beliau berkata : Muktazilah –dan juga para filsuf– menafikan sifat-sifat ma'âni, mereka menganggap bahwa : 56

- Yang qadim hanyalah satu Dzat yang tunggal dan tidak boleh ada beberapa dzat yang sama-sama qadim.

- Sesungguhnya ketika Allah disebut 'Alim, Qâdir, Hay, Murîd, dst. tidak bisa langsung disifati dengan al-'ilm, al-hayah, al-qudrah, al-irâdah.

- Allah menciptakan kehendak-Nya (al-irâdah) 'di tempat lain' dan juga kalam-Nya dalam bentuk tertentu dan Dia sebagai mutakallim bih,

53.http://www.almaany.com/home.php?language=arabic&word=%D8%B5%D9%81%D8%A9&cat_group=1&lang_name=%D8%B9%D8%B1%D8%A8%D9%8A&type_word=2&dspl=0 54

. Dr. Muhammad Sayyid Ahmad al-Musayyar, al-Ilâhiyyât fi al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, (Kairo : Maktabah al-Îmân, 2006), cet. III, h. 153. 55 . al-Imâm Zaynuddîn Hujjatu al-Islâm Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazâli, Tahâfutu al-Falâsifah, ta'liq : Dr. Shalâhu al-Dîn al-Hawwâri,(Beirut : Maktabah al-'Ashriyyah, 2009), h. 119. 56

. al-Imâm Zaynuddîn Hujjatu al-Islâm Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazâli, al-Iqtishâd fî al-I'tiqâd, Syarah, Ta'lîq & Tahqîq : Dr. Inshâf Ramadhân, (Beirut : Dâr Qutaybah li al-Thibâ'ah wa al-Nasyr wa al-Tawzî' : 2003), cet. I, h. 99.

Page 22: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

22

misalnya dalam masalah kalam, mereka menganggap bahwa Allah menciptakan dalam pendengaran Nabi Muhammad saw. suara-suara yang tersusun secara sistematis, baik yang beliau dengar ketika tidur ataupun dalam kondisi sadar, dan suara tersebut tidak ada –di luar pendengaran Nabi saw-, akan tetapi hanya beliau yang bisa mendengarnya. Sebagaimana orang yang tidur dan bermimpi mendengarkan sesuatu yang hanya dia sendiri yang bisa mendengarkan nya, adapun orang yang dalam kondisi sadar tidak bisa mendengar suara itu, meskipun ia berada di dekatnya.

Pembahasan tentang sifat-sifat Allah tidak bisa terpisahkan dari perhatian serius para mutakallimin. Muktazilah menganggap bahwa mensucikan Allah –dari segala kekurangan– ''mengharuskan'' untuk mentakwil sifat-sifatNya yang terkadang dipandang oleh sebagian orang ada kemiripan (musyâbahah) antara manusia dan Allah, selain itu mereka juga menafikan sifat-sifat azalinya Allah, serta mengingkari ru'yatullah (melihat Allah).57

Namun, al-Fârâbi (w. 339 H) tidak mengingkari sifat-sifat ulûhiyyah dan juga nama-namaNya, selagi nama-nama dan sifat-sifatNya tetap menunjukkan atas keagaungan dan kesempurnaan Allah SWT. Beliau juga menambahkan bahwa wujudnya Allah tidak seperti wujud-wujud selain diri-Nya dan kemulian wujud-Nya di atas segala wujud-wujud yang lain.58

b. Asy’ariah

Adapun Asy’ariah59 sepakat bahwa Allah memiliki sifat-sifat tambahan yang ada pada dzat-Nya. Seperti Allah Maha Mengetahui dengan ilmu-Nya, Maha Berkuasa dengan kuasanya, dst. Sifat-sifat ini azali dan berdiri dengan dzat Allah.60

Dalam pembahasan tentang sifat-sifat Allah, Imam al-Ghzâli juga banyak memeberikan andil yang cukup besar. Sebagaimana diketahui bahwa beliau adalah termasuk salah satu pembesar ulama Asyâirah, seperti juga al-Bâqilani, al-Juwayni, dll. Oleh karena itu, pendapat beliau tentang sifat-sifat Allah sama

57

. Dr. Shâbir 'Abdu al-Rahmân Tha'îmah, al-Mutakallimûn fi Dzâti Allah wa sifâtihi wa al-Raddu 'alayhim, (Kairo : Maktabah Madbûli, 2005), cet. I, h. 22. 58 . Dr. Fayshal Badîr 'Awn, op. cit., h. 248 59 . al-‘Asy’ariyyah dan pengikutnya disebut dengan Asyâ’irah adalah sebuah aliran ‘terbesar’ dalam ilmu kalam, dinamakan dengan itu karena dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Abû al-Hasan ‘Âli ibn Ismâ’il ibn Abi Basyar al-Asy’ari dan nasabnya berhenti sampai kepada sahabat Rasul Saw. Abû Mûs^a al-Asy’ari. Imam al-Asy’ari lahir di kota Bashrah, Irak pada tahun 260/270 H., beliau hidup di lingkungan yang sangat agamis dan sangat erat dengan dunia keilmuwan. Ayahnya adalah seorang sunni (pengikut ahli sunnah wal jama’ah) yang ahli juga hadits sebagimana disebutkan oleh Ibn ‘Asâkir. Lihat : Mawsû’ah al-Firaq wa al-Madzâhib al-Islâmiyyah, op. cit., h. 89. 60

. al-Imâm Zaynuddîn Hujjatu al-Islâm Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazâli, op. cit., h. 119.

Page 23: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

23

dengan pendapat mayoritas Asyâ’irah. Imam al-Ghazali menjelaskan tentang sifat-sifat Allah sebagai berikut :61

a. Allah tidaklah memiliki bentuk khusus, karena jism (bentuk) sendiri harus bisa dirasakan oleh panca indera dan ia harus terdiri/terbentuk dari beberapa bagian, sedangkan Allah tidak terdiri dari beberapa bagian;

b. Dia juga bukan seperti gambar atau bentuk tertentu; c. Segala makhluk sangat tergantung pada Allah dan hubungan antara

keduanya berbeda dengan hubungan antar sesama makhluk, maksudnya –dalam hubungan antar makhluk– sebagian menjadi ‘illah dan yang lain menjadi ma’lul. Sedangkan Allah SWT. tidaklah bergantung pada makhluk-Nya, karena Dia adalah pelaku hakiki, ‘illah (bukan ma’lûl), ada dengan sendirinya dan bukan karena selain dari-Nya;

d. Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa di alam ini, sebagaimana hanya ada satu jiwa (ruh) dalam satu jasad;

e. Segala sesuatu selain Allah adalah hâdits (baru).

Adapun tentang masalah pembagian sifat-sifat Allah Imam al-Ghazali juga

sepakat dengan para ulama Asya’irah lainnya. Bahwa sifat-sifat Allah dibagi

menjadi tiga macam, yaitu :62

- Shifât al-salbiyyah : al-qidam, al-mukhâlafah li al-hawadits, al-qiyâm bi al-

nafs, al-wahdâniyyah, dan al-baqâ’

- Shifât al-ma’âniy : al-qudrah, al-‘ilmu,63 al-hayâh, al-irâdah, al-kalâm, al-

sam’u, dan al-bashar

- Shifat al-nafsiyyah : al-wujûd

Selain yang disebutkan di atas dalam pandangan Asy’ariah juga mempercayai

adanya sifat khabariyah64 yang –menurut sebagian dari mereka– dibagi menjadi

61

. Ibid., h. 407-408 62

. Ibid., h. 409 63

. Ada pembahasan menarik tentang ilmu Allah, apakah Allah ilmu Allah hanya mencakup kulliyyât saja ataukah juga juziyyat? Menurut pandangan para filsuf bahwa ilmu Allah hanya mencakup kulliyyât, misalnya pandangan Ibn Sînâ (w. 428 H) bahwa ilmu Allah tidak meliputu juziyyât, pandangan beliau dibantah dalam sebuah disertasi yang berjudul ''al-Ilâhiyyât bayna Ibn Sînâ dan Ibn Taymiyyah, penulis 'Izzat 'Abdu al-Majîd mengatakan : jika Ibn Sînâ menganggap seperti itu, maka artinya bahwa Allah Swt. sangat bodoh, padahal agama (Islam, red) sudah menjelaskan sesungguhnya Dia mengetahui juziyyât dari sisi keterkaitannya dengan waktu, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Swt. (QS. al-Qamar [54]: 45) اآلية... غلبت الروم ) dan (QS. al-Rûm [30]: 2) (سيهزم الجمع ويول ون الدبر) ). Imam al-Ghazali dalam Tahâfut al-Falâsifah juga mengkritik masalah ini. 64 . Shifât khabariyyah adalah sifat tambahan dari sifat-sifat ma'âni yang berjumlah tujuh, seperti al-sam'u,al-'ilmu, al-hayâh, dst., Imam al-Haramayn menjelaskan bahwa sifat khabariyyah seperti al-yad, al-wajh, al-'aynayn adalah sifat yang tsâbit bagi Allah Swt. yang bersumber atas dalil naqli (bukan 'aqli). Lihat : Dr. 'Abdu al-'Âzîz Sayfu al-Nasr 'Abdu al-'Âzîz, Masâil al-'aqîdah al-Islâmiyyah bayna al-Tafwîdl wa al-Itsbât wa al-Ta'wîl wa Arâi al-Firaq al-Islâmiyyah fîhâ, (Kairo : Maktabah al-Îmân li al-Thibâ'ah wa al-Nasyr

Page 24: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

24

sifat dzât, seperti al-yad, al-wajh,al-'ayn, dll dan sifat fi'il, seperti al-majî', al-nuzûl,

al-istiwâ', dll.

Dalam pembahasan tentang sifat khabariyah ada hal yang menarik juga untuk

didiskusikan, yaitu apakah Imam al-Asy’ari dalam menyikapi sifat-sifat

khabariyah hanya dengan itsbât ataukah hanya dengan takwil saja? atau dengan

itsbât dan takwil juga? ada dua pendapat dalam menjawab pertanyaan tersebut,

menurut syeikh al-Islâm Ibn Taymiyah bahwa Syeikh al-Asy’ari tidak melakukan

takwil terhadap sifat khabariyah, akan tetapi hanya itsbât saja. Pendapat ini juga

diamini oleh muridnya Ibn al-Qayyim al-Jawzi.65 Memang ada beberapa

penjelasan atau bukti bahwa Asy’ari bersikap itsbat terhadap sifat khabariyah,

seperti yang beliau kuatkan dalam al-Maqâlât ahli hadist berkata : kami tidak

berkata –dalam sifat khabariyah– kecuali apa yang Allah SWT. katakan, atau

riwayat yang bersumber dari Rasulullah saw., maka kami berkata : wajhun bilâ

kayf, wa yadân wa ‘aynân bilâ kayf. Sebagaimana diketahui bahwa madzhab

Asy’ari tidak bertentangan dengan ahli hadits dan juga ahlus sunnah wal jamaah,

sebagaimana dijelakan pula dalam kitabnya al-Ibânah.

Namun, pendapat Ibnu Taymiyah terbantah dengan beberapa bukti dari

referensi-referensi yang ada, misalnya menurut al-Syahrastâni dalam al-Milal wa

al-Nihal, beliau mengatakan : Imam al-Asy’ariy juga memiliki pendapat lain, yaitu

tentang bolehnya melakukan takwil –dalam sifat khabariyah– dan juga perkataan

al-Ijî dalam al-Mawâqif ketika membahas makna istiwâ, beliau berkata : syeikh

Abû Hasan al-Asy’ari berpendapat bahwa makna istiwâ adalah sifat zâidah dan

dalam pendapat lain juga mengatakan bahwa istiwâ’ adalah al-wujud. Dalam

konteks yang berbeda, seperti ketika memahami firman Allah (تجرى بأعيننا)66 dan

Beliau berpendapat bahwa maksud dari ayat itu adalah sifat .67(ولتصنع على عينى)

zâidah dan terkadang menganggap maknanya adalah al-bashar. Dari

penjelasan tersebut semakin memperjelas bahwa Asy’ari memiliki dua pendapat

dalam menyikapi sifat-sifat khabariyah, yaitu itsbât dan takwil. Oleh karena itu,

wa al-Tawzi', 2013), cet. I, h. 293. Jadi, perbedaan antra sifat al-ma'âni dan khabariyyah adalah bahwa sumber sifat ma'ani adalah dalil naqli dan 'aqli, sedangkan landasan sifat khabariyyah adalah dalil naqli saja. 65 . Dalam permasalahan hakekat dan majaz, Ibn al-Qayyim al-Jawzi juga banyak sependapat dengan Ibn Taymiyah yang menolak adanya majaz di dalam al-Qur'an dan bahasa arab, dimana hal ini telah mengantarkan perdebatan panjang antara beliau berdua dengan para ulama lainnya. Salah satu implikasinya dalam konteks memahami ayat-ayat sifat ketika seseorang menolak adanya majaz dalam al-Qur'an adalah memahaminya dengan tekstual yang akhirnya sikapnya bisa itsbât, tafwîdh, dan bahkan terkadang bisa bersikap tasybîh/tajsîm. Lihat : Dr. 'Abdu al-'Azhîm Ibrâhîm al-Math'ani, al-Majâz fi al-Lughah wa al-Qur'an bayna al-Ijâzah wa al-Man' ('ardh wa tahlîl wa naqd), (Kairo : Maktabah al-Wahbah, 2007), cet. II, h. 23-26, 247. 66

. (Q.S. al-Qamar [54]: 14). 67

(Q.S. Thâhâ [20]: 35).

Page 25: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

25

dalam masalah ini pendapat yang disampaikan Ibn Taymiyah yang juga disetujui

oleh muridnya Ibn al-Qayyim al-Jawzi tidaklah tepat.68

c. Madzhab Ismailiyah

Ternyata tidak hanya dari kalangan Muktazilah dan filsuf saja yang menafikan sifat-sifat Allah SWT., tetapi aliran Ismailiyah69 juga menafikan sifa-sifatNya. Mereka menentang menafikan wujûd-Nya Allah, akan tetapi mereka juga menafikan ''wujûd-Nya''. Maksudnya adalah tidak boleh mensifati Allah dengan tidak ada, karena dalil yang menunjukkan wujûd-Nya banyak, Dialah yang menjadi 'illah dan pencipta alam semesta. Bagi mereka tidak boleh juga mensifati Allah dengan al-wujûd, karena menurut mereka dengan mensifati-Nya al-wujûd akan menunjukkan adanya hubungan/keterkaitan antara wujûd-Nya dengan wujud makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Intinya sebenarnya mereka masih percaya Allah memiliki wujûd, tetapi wujûd-Nya berbeda dengan wujud makhluk-Nya.

Tauhid dalam perspektif aliran ini adalah dengan menafikan tasybîh kepada Allah SWT., menurut mereka hal ini tidak bisa terrealisasi kecuali dengan menafikan nama-nama dan sifat-sifatNya. Selain itu, mereka menafikan segala sesuatu ''yang tidak pantas'' dinisbatkan kepada Allah SWT. dengan makhluk-Nya dalam berbagai bentuk jasmani yang tergambarkan dalam nama-nama dan sifat-Nya. Alasan menafikan nama-nama Allah dan juga sifat-sifatNya adalah karena nama dan sifat merupakan sesuatu yang baru (hâdits), buktinya adalah –nama dan sifat– tersusun dengan huruf, dan huruf adalah hâdits. Apabila hal ini

68 . Dr. 'Abdu al-'Âzîz Sayfu al-Nasr 'Abdu al-'Âzîz, op. cit., h. 296-297. 69

. Cabang aliran Syi'ah dan dinamakan Ismailiyah karena dinisbahkan kepada Muhammad ibn Ismâ'îl ibn Ja'far al-Shâdiq. Adapun Ismâ'îl adalah anak terbesar dari Ja'far al-Shâdiq dan ia meninggal di saat ayahnya masih hidup, sehingga anaknya (Muhammad) menggantikan posisinya, maka sebagian golongan Sy'iah memberikan dukungan kepada Muhammad dan mereka berkata : dialah 'Muhammad yang lebih patut dan berhak atas imâmah daripada saudaranya Mûsâ al-Kâzhim yang menjadi pimpinan Syi'ah al-Istna 'Asyriyyah. Aliran Ismailiyah juga berpendapat bahwa persaratan untuk mendapatkan Imâmah adalah harus dari imam yang ma'shûm dan nasabnya bersambung kepada Muhammad ibn Ismâ'îl dan begitu seterusnya. Aliran ini juga disebut sebaigai Bâthiniyyah, karena mereka beranggapan bahwa '' إن لكل ظاهر"باطنا ولكل تنزيل تأويال , selain itu terkadang mereka juga disebut aliran al-Ta'lîmiyyah, karena salah satu

landasan penting mereka adalah menolak pendapat dan nalar (tasharrafu al-'aql), tetapi menganjurkan pengikutnya 'agar hanya bealajar' dari seorang Imam yang ma'shum. Lihat : Ibid., h. 195. Pengikut Ismailiyah dari kalangan Syiah juga menyatakan bahwa terdapat dua aspek utama dalam agama, yaitu zhâhir (eksoterik) dan bâthin (esotorik). Bentuk zhâhir ini berbeda antara satu nabi dengan nabi yang lain yang dipengaruhi oleh situasi zaman yang dihadapinya. Hanya saja, antara zhâhir dan bhâtin tidak bisa dipisahkan, karena keduanya saling melengkapi dan tidak ada yang dapat eksis tanpa yang lainnya. Klasifikasi demikian mengakibatkan lahirnya dua macam kategori keilmuwan, yaitu zhâhiriyyah yang mencakup filologi sampai fisika, atau sejarah hingga hukum, sedangkan selainnya digolongkan sebagai bhâtiniyyah yang hanya bisa dinalar sebagai takwil. Lihat : Jurnal Studi al-Qur'an, op. cit., h. 43 dan Lihat juga : Ismail K. Poonawala, Ismâ' Lî Ta'wîl of the Qur'ân, dalam Approac to the History of the Interpretation of the Qur'ân (ed.). Andrew Rippin, (Oxford : Clarendon Press, 1998), h. 199.

Page 26: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

26

dinisbatkan kepada Allah SWT., maka akan menunjukkan kehudutsan-Nya dan menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.70

2. Keragaman pendapat dari berbagi aliran yang menerima adanya sifat-sifat Allah SWT.

Apabila menurut beberapa golongan Allah SWT. mempunyai sifat-sifat khusus, maka bagaimana cara kita memahami sifat-sifatNya, apakah secara tekstual saja, ataukah perlu dengan pendekatan takwil, atau tidak perlu dibahas? karena untuk mengetahuinya secara hakekat pasti di luar jangkauan akal manusia.

Para ulama berbeda pendapat di dalam memahami ayat-ayat sifat, sebagian dari mereka ada yang mengkategorikannya ke dalam kelompok ayat-ayat mutasyâbihât dan sebagian yang lain ada yang memahaminya dengan pendekatan makna zhâhir saja. Terkadang mereka populer dengan sebutan musyabbihah atau mujassimah. Dengan pendekatan yang berbeda dalam memahami ayat-ayat sifat tentunya akan menimbulkan interpretasi yang beragam pula. Perbedaan ulama salaf dan khalaf71 sangat jelas dalam menyikapi ayat-ayat sifat, ulama salaf cenderung tafwidh72 dan ulama khalaf lebih banyak mentakwil73 kandungan ayat-ayat sifat.

Hemat penulis lebih condong kepada golongan yang mentakwil ayat-ayat sifat, kenapa demikian? upaya ini perlu dilakukan agar apa yang tertuang di dalam al-Qur'an bisa dipahami oleh para pembacanya dan sebagai upaya agar terhindar dari pemahaman tekstual yang justru bisa berakibat fatal dan kontradiktif terhadap substansi aslinya, misalnya kalimat ( يد هللا) ketika dipahami hanya dengan makna zhâhir saja, yaitu ditashawwurkan dengan tangannya manusia atau makhluk lain, maka ini justru akan kontradiksi dengan konsep ( ليس كمثله شيئ), tetapi takwil yang tanpa kedisiplinan dengan aturan-aturannya dan lebih dominan dengan hawa nafsu juga sangat berbahaya, karena justru akan bertentangan

70 . Ibid., h. 540. 71 . Ulama salaf adalah golongan para sahabat, tabi'în, tabi'u al-tâbiîn atau pada tiga abad pertama Hijriah, dan ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah yang hidup sebelum tahun 500 H dan ulama khalaf adalah para ulama yang hidup setelah periode para sahabat, tabi'în, tabi'u al-tâbiîn dan ada juga yang berpendpat bahwa mereka adalah yang hidup setelah tahun 500 H. Lihat : Imam al-Bayjûri, Tuhfatu al-Murîd 'alâ Jawharati al-Tawhîd, tahqîq : Dr. 'Ali Jum'ah, (Kairo : Dâr al-Salâm, 2006), cet. II, h. 156. 72 . Secara umum ulama salaf cenderung sangat berhati-hati dalam menyikapi hakekat Dzat Allah dan

sifat-sifat-Nya, mereka beranggapan bahwa akal manusia sangat terbatas untuk mengetahui hakekat dari

Dzat Allah, maka mereka berhenti menyelaminya atau membahasnya dengan lebih detail dan lebih

menyerahkan maksudnya pada Allah Swt. Lihat: Dr. Muhammad Sayyid Ahmad al-Musayyar, op. cit., h.

153.

73 . Sebagaian ulama, seperti Tsa'lab, Ibn al-A'râbi, Abû Ubaydah, dll. berpendapat bahwa takwil dan tafsir memiliki makna yang sama. Namun, sebagaian ulama lain membedakan antara keduanya, mereka berpendapat bahwa tafsir lebih identik dengan makna zhahir dan takwil lebih dekat dengan –ayat- mutasyâbihat, dan ada juga yang berpendapat bahwa takwil adalah mengubah lafazh dari makna dzahir kepada makna lain (bâthin) disebabkan oleh indikasi khusus. Lihat : Syeikh Muhammad al-Thâhir ibn 'Âsyur, op. cit., vol. 1, h. 16.

Page 27: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

27

dengan pesan yang sebenarnya, oleh karena itu sikap yang lebih aman dan selamat adalah berada di tengah-tengah ‘’tidak berlebihan di dalam takwil dan tafwîdh’’.

Namun, penulis berpendapat bahwa sebenarnya ada sisi kesamaan antara golongan yang lebih suka mentakwil ayat-ayat sifat dengan golongan yang lebih memilih itsbât, adapun persamaannya adalah bahwa mereka sama-sama berpegang teguh dengan kaedah sesungguhnya Allah sama sekali tidak menyerupai makhluknya. Persamaannya adalah golongan yang mentakwil kata yadullâh dengan kekuatan-Nya juga tidak menyamakan kekuatan Allah dengan kekuatan makhluk dan golongan yang lebih memilih tidak mentakwilinya dengan alasan takut terjadi kesalahan atau alasan lainnya juga tidak menganggap bahwa kata yad itu maknanya seperti tangan manusia atau makhluk lain. Perbedaan pendapat sudah menjadi sunnatullâh yang tak mungkin dielakkan, salah satu yang terpenting dalam hal ini adalah sikap berhati-hati dalam memahami nash dan toleransi yang bagus terhadap perbedaan pendapat yang sangat beragam.

3. Cakupan takwil

Adapun cakupan takwil terhadap ayat-ayat sifat sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Ibrâhim 'Abdur Rahmân al-Khâlifah dalam bukunya al-Muhkam wa al-Mutasyâbih fî al-Qur'ân al-Karîm adalah sebagai berikut :74

a. Takwil terhadap ayat-ayat dan hadits yang mustahil dipahami dengan makna zhâhir, seperti kata nûr, al-nuzûl, wajhullâh, ashâbi' al-rahmân;

b. Takwil terhadap ayat-ayat dan hadits yang diduga –oleh sebagian orang– menunjukkan Allah terbagi-bagi (taba'udl/inqisâm), jika hanya memahaminya dari zhâhir nashnya, seperti kata al-rûh, al-nafs, al-'ayn, al-janby, al-yamîn, maka akan terjadi kerancauan;

c. Takwil terhadap ayat dan hadist yang secara zhâhir terkadang dipahami sebagian orang untuk menunjukkan bentuk Allah SWT., seperti dalam sebuah ayat :

47 في أي صورة ماشاء رك بك

atau dalam sebuah hadits juga disebutkan خلق هللا آدم علي صورته d. Takwil atas ayat-ayat yang menunjukkan adanya gerakan dan

perpindahan yang dilakukan Allah –jika memahaminya hanya dari makna zhâhir-, seperti dalam sebuah ayat 76والملك صف ا صف ا جاء ربكو :

e. Takwil terhadap ayat-ayat yang menunjukkan Allah punya arah-arah khusus dan adanya tahayyuz (penggabung Dirinya dengan yang lain), seperti istiwâ, al-'urûj, al-nuzûl, al-'indiyyah, al-liqâ'.77

74

. Dr. Ibrâhîm 'Abdu al-Rahmân Muhammad Khalîfah, al-Muhkam wa al-Mutasyâbih fi al-Qur'ân al-Karîm, (Kairo : Dâr al-Nahdlah Misr li al-Nasyr, 2012), cet. I, h. 711. 75

. (Q.S. al-Infithâr [82]: 8). 76

. (Q.S. al-Fajr [89]: 22).

Page 28: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

28

4. Contoh-contoh takwil pada ayat-ayat sifat

Dalam tabel di bawah ini para pembaca akan mendapatkan beberapa contoh takwil pada ayat-ayat sifat yang penulis nukil dan rangkum dari buku al-Muhkam wa al-Mutasyâbih fi al-Qur'ân al-Karîm :78

Takwil Nash No

Syeikh Jalâl al-Mahalli (w. 864 H) berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan rûh dalam ayat itu adalah Jibril, kemudian Syeikh al-Jamal dalam Hâsyiahnya 'alâ al-jalalayn ''al-Futûhât al-Ilâhiyyât'' juga menjelaskan maksud dari rûhinâ adalah ay min jihati rûhinâ, adapun makna rûh adalah Jibril ''Allah menyuruh Jibril untuk meniupkan ruh''.

Rûh (QS. al-Anbiya' [21]: 197) اآلية... فنفخناها فيها من روحنا

1

Dr. Ibrâhîm dalam bukunya ''al-Muhkam wa al-Mutasyâbih'' menyimpulkan bahwa dalam ayat ini bisa dipahami dengan mengaplikasikan terori majaz al-mursal, atau isti'ârah al-tamtsîliyyah sebagaimana yang Imam al-Alûsi (w. 1270 H) lakukan, atau juga isti'ârah al-tashrîhiyyah. Dengan cara seperti ini akan bisa menghasilkan makna al-hifzhu wa al-shawn wa al-ri'âyah (menjaga). Imam al-Zarkasyi (w.794 H) di dalam al-Burhân fî Ulûm al-Qur'an menjelaskan makna al-'aîn, ia adalah sifat dan untuk mengungkapkan hakekat dari sesuatu terkadang dengan kata itu, adapaun ketika disandarkan kepada Allah SWT., maka bisa dipahami secara hakekat bukan majaz –seperti yang sebagian orang pahami–, karena al-'ayn disitu adalah sifat dengan arti al-ru'yah wa al-idrâk (melihat/mengetahui).

Al-'Ayn (QS. Thâhâ [20]: 39) ( 3)ولتصنع علي عيني

2

77 . Dr. Ibrahim Khalîfah menganggap pendapat Ibnu Taymiyah dan para pengikut/kelompoknya dalam masalah jihah adalah termasuk golongan musyabbihah dan sesungguhnya keyakinan kelompok tertentu atas jihah (arah) tertentu yang dinisbatkan kepada Allah, maka akan mengarah kepada anggapan bahwa Allah memeiliki bentuk tertentu, dan hal ini adalah sebuah kekufuran menurut ijma', atau kapaun tidak kufur minimal mereka terjerumus kepada kefasikan dan kebodohan. Lihat : Dr. Ibrâhîm 'Abdu al-Rahmân Muhammad Khalîfah, op. cit., h. 907. 78

. Dr. Ibrâhîm 'Abdu al-Rahmân Muhammad Khalîfah, op. cit., h. 776-810.

Page 29: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

29

Kata al-nafs dalam surat Thâhâ hanya menjadi penguat (ta'kîd) yang berfungsi menambah makna mubâlghah-nya. Sedangkan dalam surat al-Mâidah maksudnya adalah ''Engkau mengetahui informasi yang aku miliki dan aku tak mengetahui ilmu Engkau'', ini adalah perkataan Ibn 'Abbas Ra. dan diamini juga oleh al-Zamakhsyari (w. 534 H). Adapun menurut al-Samîn dalam al-Durru al-Mashûn bahwa makna ayat tersebut adalah ''Engkau mengetahui apa yang aku rahasiakan dari rahasia-rahasiaku yang tidak aku tampakkkan dan aku tidak mengetahui hal-hal yang Engkau rahasaikan dan Engkau tidak perlihatkannya padaku''.

Al-Nafs (QS. Thâhâ : 41, QS. al-Mâidah : 161)

واصطنعتك لنفسي -

م تعلم مافي نفسي والأعل - اآلية ... مافي نفسك

3

Memahami makna yad secara hakekat dari lafazhnya secara zhâhir dengan makna tangan –yang ada pada manusia– adalah sebuah kemustahilan. Oleh karena itu, bisa mentakwilnya dengan teori majaz al-mursal –'alâqatuhû al-sababiyyah–, sehingga makna yang bisa dipahami dari kata itu adalah nikmat atau kuasa.

Al-Yad (QS. al-Fath [48]: 10) اآلية... يد هللا فوق أيديهم -

4

Yang dimaksud datang pada ayat tersebut adalah bisa dengan makna '' yang datang adalah آيات هللا (ayat-ayat Allah)'', maka tatakala datangnya ayat-ayat Allah dijadikan kedatangan-Nya ini menunjukkan atas agungnya ayat-ayat Allah. Namun, bisa juga ditakwil dengan makna lain, yaitu أمر هللا karena biasanya apabila Allah SWT. menyandarkan fi'il kepada sesuatu yang secara zhâhir –tidak bisa dipahami secara hakekat–, maka mesti merubah makna zhâhir dengan takwil, seperti dalam ayat وسئل القرية , maksudnya adalah وسئل أهل القرية. Ada dua alasan yang menjadi dalil 'kebenaran' takwil tersebut, kedua alasan itu adalah :

Al-Ityân dan al-majî' (Q.S. al-Baqarah [2]: 210), (Q.S. al-Fajr [89]: 22)

أتيهم هللا في هل ينظرون إال أن ي -

اآلية... ظلل من الغماموجاء ربك والملك صفا -

. صفا

5

Page 30: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

30

a. Firman Allah ( يأتيهم هللا) dan ( وجاء ربك) adalah kabar tentang kondisi hari kiyamat, kemudian Allah SWT. menjelaskan kejadian tersebut dengan lebih rinici pada (Q.S. al-Nahl [16]: 33)

هل ينظرون إال أن تأتيهم الملئكة أو

اآلية...يأتي أمر ربك , sehingga ayat ini menjadi penjelas (Q.S. al-Baqarah [2]:210)

b. Allah berfirman وقضي األمر

setelah ( يأتيهم هللا), tidak diragukan lagi bahwa alif lâm ( ال) pada kalimat itu fungsinya adalah li al-'ma'hûd al-sâbiq, maksudnya adalah hal yang sudah disebutkan sebelumnya tersirat dalam alif lâm. Kata amr secara bahasa bisa berati pekerjaan (al-fi'l) dan jalan (al-Tharîq).

Ada sekitar 16 takwil pada kalimat istiwâ', penulis akan menyebutkan sebagian saja, diantaranya adalah :

- Imam al-Baydhâwi (w. 685 H) berpendapat bahwa makna istiwâ' adalah قصد إليها bermaksud kelangit ) بإرادتهdengan kehendak-Nya).

- Makna istiwâ' adalah al-I'tidâl (berbuat adil) dalam menciptakan makhluk dan mengatur/mengurusinya. Jadi, hakekat istiwâ' yang dinisbahkan kepada Allah SWT. di dalam al-Qur'an adalah dengan makna adil (Allah berlaku adil)

Al-Istiwâ' (Q.S. Shâd) ... ثم استواء إلي السماء -

اآلية

6

Page 31: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

31

- Istiwâ' dalam ayat itu bisa berarti istitâm (menyempurnakan), sebagaimana firman Allah dalam (Q.S. al-Qashash ىولما بلغ أشده واستو ...: (14 :[28] , maka maksud dari ayat tersebut adalah bahwa Allah telah menyempurnakan ciptaan-Nya dengan –menciptakan– al-'arsy. Lebih tepatnya ini adalah makna istiwâ' dalam (Q.S. Thâha [20]: 5)

ىالرحمن علي العرش استو- Imam al-Zarkasyi mengutip

pendapat Syeikh Ismâ'il al-Dharîr yang mengtakan : Pendapat yang benar –dalam masalah ini– adalah apa yang disampaikan oleh al-Farrâ', Asy'ari, dan sekelompok ahli bahasa, bahwa makna istiwâ' adalah bermaksud dan sengaja untuk menciptakan langit. Shâhib al-Mawâqif dan pensyarahnya juga berpendapat bahwa makna istiwâ di sini adalah al-qasd dan makna ini kembali kepada makna al-irâdah.

Imama al-Râzi (w. 606 H) dalam bukunya Asâs al-Taqdîs menjelaskan bahwa maksud dari lafazh fawq adalah menunjukkan kedudukan –yang tinggi– dan kekuasaan. Fawq di sini berkaitan dengan kata al-qahr yang berarti kekuasaan, bukan arah tertentu!

al-Fawqiyyah (Q.S. al-An'âm [6]: 61), (Q.S. al-Nahl [16]: 50), (Q.S. Yûsuf [12]: 76).

... وهو القاهرفوق عباده - اآلية

... يخافافون ربهم من فوقهم - اآلية

وفوق كل ذي علم عليم -

7

Yang dimaksud dengan makna al-'uluw adalah dengan makna al-qahr dan al-qudrah (memaksa dan berkuasa).

Al-'uluw (Q.S. al-A'lâ [87]: 1), (Q.S. Thâhâ [20]: 68)

ىسب ح اسم رب ك األعل - ىإنك أنت األعلال تخف -

8

Page 32: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

32

Al-Zujâj berpendapat bahwa makna رفع adalah al-'ilmu, seperti dalam sebuah perkataan ارتفع األمرإلي القاضي أي علمه maksudnya adalah seorang qadhi telah mengetahui permasalahan itu. Menurut al-Qurthubi (w. 671 H) arti kata al-shu'ûd –secara bahasa– adalah gerakan ke atas, begitu juga dengan al-'urûj, tetapi dalam konteks ini maksudnya adalah isyarat diterima –suatu amal–, karena 'biasanya' tempat pahala itu di atas dan tempat adzab di bawah.

Al-Raf'u, al-shu'ûd, dan al-'urûj (Q.S. al-Nisâ' [4: 158), (Q.S. Fâthir [35]: 10), (Q.S. al-Ma'ârij [70]: 4-5)

اآلية .. بل رفعه هللا -إليه يصعد الكلم الطيب -

الح يرفعه ... والعمل الص اآلية

( 3)من هللا ذي المعارج -تعرج الملئكة والروح إليه

اآلية...

9

5. Klasifikasi golongan –dengan lebih spesifik– dalam menyikapi ayat-ayat

sifat

Dr.Muhammad Sayyid Ahmad al-Musayyar telah memberikan penjelasan

tentang sikap aliran-aliran terhadap ayat-ayat sifat. Beliau mengklasifikasikan ke

dalam empat kelompok, yaitu :

1. al-Mufawwidhah, adalah golongan yang cenderung ''pasrah/menyerah''

dalam memahami ayat-ayat mutasyâbihât, sehingga lebih menyerahkan

maksud dari ayat tersebut kepada Allah SWT. secara mutlak. Kelompok

ini banyak dipelopori para ulama salaf. Apabila kita ingat perkataan Imam

Mâlik Ra. Saat ditanya tentang makna istiwâ, maka beliau menjawab al-

istiwâ' ghayru majhûl wa al-kayf ghayru ma'qûl wa al-îman bihî wâjib wa

al-suâl 'anhu bid'atun, maka ini adalah satu dari sekian bukti sikap para

ulama salaf terhadap ayat-ayat mutasyâbihât.

Imam al-Syahrastâni (w. 548 H) dalam al-Milal wa al-Nihal juga

membahas tentang sikap ulama salaf yang cenderung memilih untuk

menjauhi takwil, mereka berkata : kami tidak mengetahui makna lafadz

yang ada di dalamnya dan kami juga tidak terbebani (diwajibkan) untuk

mengetahui makna ayat-ayat mutasyâbihât dan takwilnya. Sedangkan

kewajiban kita adalah hanya mengimani bahwa tidak ada sekutu bagi

Allah SWT. dan tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Seperti itulah

kami menetapkannya sebagai sebuah keyakinan. Beliau juga

menjelaskan bahwa metode ulama salaf adalah metode yang ''lebih

selamat'', mereka juga berkata : kita beriman dengan segala yang apa

yang ada di dalam al-Qur'an dan Sunnah, serta kami –tidak punya

kecenderungan– mentakwilnya setelah kami mengetahui secara pasti

Page 33: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

33

bahwa Allah SWT. tidak menyerupai satupun dari makhluk-makhlukNya

dan segala sesuatu yang tergambarkan dalam dugaan, maka Dialah

Penciptanya dan yang mengaturnya.79

2. al-Musyabbihah, adalah kelompok yang memahami ayat-ayat sifat dengan

pemahaman tekstual atau hanya berpijak pada makna zhâhir. Mereka

juga disebut dengan mujassimah. Dalam arti yang lebih sederhana

mereka memahami ayat-ayat sifat dengan apa adanya dan tanpa

mengunakan takwil dan juga tanzîh, tetapi justru sebaliknya yaitu tasybîh

dan tajsîm. Bahkan sebagain dari mereka menganggap Tuhannya

memiliki jasad, daging, darah, bagian-bagian tubuh seperti tangan, kaki,

dan kepala. Diantara pembesar/pemimpin golongan ini adalah Abû

'abdillâh Muhammad ibn Karâm dari Sajastân, pengikutnya di daerah

Khurasan mencapai 20 ribu orang.80

Selain Abû 'abdillâh Muhammad ibn Karâm dan para pengikutnya ternyata

banyak juga dari aliran-aliran yang berafiliasi ke kelompok Syi'ah lainnya

yang memiliki kesamaan dalam hal menyerupakan Allah SWT. dengan

makhluk, mereka adalah al-Hasyimiyyîn. al-Hâsyimiyyah adalah para

pengikut Hâsyimiyyîn, pembesar dari kelompok ini adalah Hisyâm ibn al-

Hakam dan Hisyâm ibn Sâlim, keduanya adalah para konseptor tasybîh.

Hisyâm ibn al-Hakam adalah seorang mutakalim dari golongan Syi'ah.

Dalam sejarahnya pernah terjadi beberapa kali perdebatan dahsyat antara

dia dan Abî al-Hudzayl dalam berbagai masalah ilmu kalam, misalanya

tentang tasybîh, ilmu Allah, dll. Diceritakan oleh Ibn al-Râwandâ dari

Hisyâm berkata : bahwa di antara Tuhan-nya dan jasad mereka ada

kemiripan dalam beberapa hal. Menurut aliran Hâsyimiyah, Tuhan mereka

memiliki bentuk khusus yang terdiri dari anggota tubuh dan bagian-bagian

lainnya, baik dalam bentuk jasmani ataupun rohani. Selain memiliki

bentuk, Tuhan mereka juga bisa berpindah –dari satu tempat ke tempat

lain–, naik-turun, dan bersemayam –dalam tempat tertentu–. Dalam

pandangan sebagaian aliran Syi'ah lainnya, seperti al-Sabiyyah yang

menamakan/menganggap sayyidina Ali karramallâhu wajhah sebagai

79 . Abû al-Fath Muhammad ibn Abdi al-Karîm al-Syahrastâni, al-Milal wa al-Nihal, tashhîh & ta'lîq : Ahmad Fahmi Muhammad, (Beirut : Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1992), cet. I, vol. I, h. 92 80 . Sesungguhnya aliran musyabbihah dan mujassimah terbagi menjadi dua kelompok, yaitu golongan yang tidak melarang perkataan yang menunjukkan tajsîm kepada Allah SWT. dan kelompok yang melarang atas tindakan tersebut (tasybîh/tajsîm), tetapi sebenarnya yang mereka lakukan tak berbeda dengan para pendahulunya. Pada dasarnya tasybîh dan tajsîm adalah –pendapat/anggapan– yang salah dan penuh kontroversial, padahal sudah sangat jelas adanya dalil qath'i yang membantahnya. Lihat : Dr. Ibrâhîm 'Abdu al-Rahmân Muhammad Khalîfah, op. cit., h. 906.

Page 34: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

34

Tuhan, al-Bayâniyyah (pengikut Bayân ibn Sam'ân) yang meyakini bahwa

Tuhan mereka adalah manusia –yang berasal– dari cahaya dan

wujudnya seperti bentuknya manusia yang memiliki anggota badan, dan

semua anggota badannya akan fana' (hancur) kecuali wajahnya, al-

Mughîrah (pengikut Mughîrah Sa'îd al-'ajali) mempercayai bahwa Tuhan

mereka mempunyai anggota tubuh dan bentuknya seperti huruf-huruf

hijaiyah, al-Manshûriyah (pengikut Abî Manshûr al-'Ajali) yang

menganggap dirinya mirip dengan Tuhan dan mengimani bahwa Allah

telah mengusap kepalanya dengan tangan-Nya seraya berkata : ''wahai

anakku, sampaikanlah dari-Ku!, al-Khathâbiyyah adalah sebuah aliran

yang berkeyakinan bahwa para imam mereka memiliki unsur ketuhanan

dan al-Khattab al-Asadi juga termasuk yang memiliki unsur itu, al-

Hulûliyyah adalah golongan yang berkeyakinan bahwa Allah telah

menyatu dengan diri (jasad & ruh) para imam mereka, sehingga para

pengikutnya menyembahnya dengan sebab proses hulûl yang sudah

terjadi, al-Hulûliyyah al-Hilmâniyyah, nama ini dinisbahkan kepada Abî

Hilmân al-Dimasyqi yang mempercayai bahwa Tuhan menampakkan

dirinya dalam segala bentuk kebaikan, sehingga ia selalu sujud kepada

semua bentuk kebaikan.81

3. al-Mu’awwilah, adalah golongan yang dalam menyikapi ayat-ayat sifat dan

mutasyâbihât lainnya dengan melalui pendekatan takwil. Adapun para

pembesar kelompok ini adalah mayoritas mutakallimin dari Muktazilah dan

juga Asyâ'irah, tetapi perbedaan antara keduanya dalam konteks ini

adalah bahwa Muktazilah menjadikan takwil satu-satuya pilihan dan

Asyâ'irah berada pada posisi tengah-tengah (di antara golongan

musyabbihah dan muawwilah yang melewati batas) atau menjadikan

takwil sebagai alternatif dari kedua pilihan yang ada. Jadi, mereka

menerapkan takwil atau tafwidh, tetapi kebanyak dari mereka melakukan

tarjîh dari pemahaman yang ada.

4. Madzhab al-itsbât, adalah kelompok yang hanya mengakui (itsbât) sifat-

sifat Allah dengan tanpa takwil dan menafikan tasybîh. Para tokoh dalam

madzhab ini seperti Imam Abû Hanîfah (w. 150 H) dan Imam Muhammad

ibn Khuzaymah (w. 311 H). Selain mereka berdua ada juga Imam Ibn

Taymiyyah (w. 728) dan para pengikut syeikh Muhammad ibn 'Abdi al-

Wahhâb (w. 1206 H), mereka yang membangun pesat aliran ini, tetapi –

sayangnya– mereka mengingkari bahwa al-tafwidh adalah salah satu

pandangan ulama salaf dan meyakini bahwa bahwa ulama salaf tidak

berdiam diri dari menjelaskan maksud ayat-ayat mutasyâbihât dan tidak

meninggalkan tafsirannya, akan tetapi mereka tetap menganggap bahwa

81

. Ibid., h. 404-405.

Page 35: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

35

semuanya adalah sifat-sifat Allah SWT. yang mereka ketahui dan

kayfiyyahnya tidak diketahui.

Contoh konkret dalam masalah ini adalah misalnya ketika memahami maksud

dari firman Allah SWT. :82

اآلية..... يد هللا فوق أيديهم

Bagaimana pemahaman mereka? jawabannya adalah :83

a. al-Mufawwidlah akan berkata : Allah yang lebih mengetahui tentang

maksud dari ayat tersebut. Mereka tidak membenarkan adanya yad bagi

Allah dan juga tidak menafikannya, serta tidak menganggap itu hakekat

ataupun majaz;

b. al-Musyabbihah berpendapat sesungguhnya Allah memiliki tangan seperti

tangan manusia, karena berangkat dari pemahaman terhadap linguistik

dan kita tidak mengetahui –makna– tangan, kecuali tangannya manusia;

c. al-Mu’awwilah menganggap bahwa maksud dari yad pada ayat tersebut

adalah majaz dari qudrah, kita sudah mengubah lafadz dari makna dzâhir

secara bahasa –kepada makna lain–, karena adanya qarînah al-lâzim

lahû (tasybîh), sedangkan Allah SWT. suci/terhindar dari segala

kekurangan dan hal yang menyerupai-Nya;

d. Madzhab al-Itsbât berpendapat bahwa Allah secara hakekat memiliki yad

(tangan), tetapi dengan tanpa tasybîh dan takwil.84

Dari klasifikasi di atas, menurut hemat penulis memang sangat penting adanya takwil terhadap ayat-ayat sifat, tentunya tidak semua takwil bisa diterima, karena ada kode etik yang harus diindahkan oleh para mufassir. Cara seperti ini akan sangat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin terhindar dari tasybîh dan tajsîm di dalam memahaminya, lebih khusus jika yang memahami adalah orang-orang awam. Kenapa demikian? karena akan sangat berbahaya khususnya bagi orang-orang awam jika dalam memahami ayat-ayat sifat hanya dari makna zhâhir, maka bisa jadi secara otomatis yang ada dalam anggapan atau pikiran mereka bahwa ada kemiripan (tasyâbuh) antara manusia dan Allah, wal'iyâdzu billâh!.

82 . (Q.S al-Fath[48]: 10) 83 . Dr. Muhammad Sayyid Ahmad al-Musayyar, op. cit., h. 168 84

. Dalam sebuah disertasi penulis menemukan sebuah kesimpulan bahwa Seikh Ibnu Taimiyyah dalam menyikapi ayat-ayat sifat seirama dengan madzhab Salaf yaitu dengan memahami nash secara dzhair dengan tanpa kayfiyyah dan tasybîh, tetapi tidak menafikan turunnya Allah setiap malam dan segala hal yang sudah disampaikan al-Qur'an terkait dengan al-istiwâ, al-wajh, al-yad, dan juga al-maji'. Oleh karena itu, apakah beliau sejalan dengan madzhab salaf yang popular dengan sikap tafwidl atau punya pandangan lain? Lihat : Dr. 'Izzat 'Abdu al-Majîd Abû Barakah, al-Ilahiyyât Bayna Ibn Sînâ wa Ibn Taymiyyah, (Kairo : Maktabah Ushûlu al-Dîn, Univ. al-Azhar, 1995), h. 380

Page 36: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

36

H. Epilog

Dengan mengucapkan hamdalah akhirnya penulis sampai juga pada bagian akhir makalah ini –meskipun yang tertuang di sini baru pengantar– setelah melewati beberapa tahapan dan perjalanan yang cukup panjang, disebabkan keterbatasan potensi penulis, waktu, dan juga fikiran. Tentunya kekurangan dalam materi, pembahasan dan juga metodologi pada tulisan ini menjadi catatan penting bagi penulis untuk bisa memperbaiki segala kekurangan yang ada. Oleh karena itu, peran aktif dari para pembaca dengan memberikan kritik dan masukan akan sangat bermanfaat, sebagai bahan koreksi atas segala kesalahan informasi yang tertuang dalam makalah dan tentunya akan menjadi pelengkap atas pelbagai kekurangan yang ada. Selain itu, supaya pembahasan yang sudah ada bisa penulis kembangkan dengan lebih detail dan mendalam lagi pada waktu dan catatan selanjutnya.

Setidaknya ada beberapa poin yang bisa penulis simpulkan di akhir makalah ini, diantaranya adalah:

a. Ilmu metafisika merupakan bagaian dari macam-macam ilmu yang sangat penting untuk dikaji secara mendalam, khususnya dalam aspek ketuhanan. Kenapa demikian? karena sebenarnya cakupan ilmu itu tidak hanya pada hal yang bisa dijangkau oleh panca indera saja, tetapi di luar jangkauan indera manusia masih terdapat lautan ilmu yang sangat luas dan berada jauh di luar jangkauan manusia. Jika seseorang mampu mempelajari aspek ketuhanan dengan benar, maka niscaya ia akan lebih mampu menjalakan tugasnya sebagai khâlifah di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya.

b. Pembahasan tentang ketuhanan akan selalu menjadi perbincangan hangat yang tidak akan pernah habis dan terpisahkan dari kehidupan manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda (filsuf, mutakallimin, ahli hadits, mufassir, saintis, orang awam, dst.) dan juga dari satu generasi ke generasi selanjutnya, karena tanda-tanda wujud dan kekuasaan-Nya terlalu banyak di sekeliling manusia sehingga mereka tak mampu menghitugnya.

c. Untuk bisa mengenal Allah SWT. awalilah dari teori yang paling sederhana, yaitu dengan mengenal diri kita masing-masing terlebih dahulu sebelum melakukan banyak penelitian terhadap makhluk yang lain. Ingatlah sebuah ungkapan ''Barang siapa yang mengenali dirinya maka ia mengenali Allah SWT.'' Kemudian setelah kita mengenali diri kita masing-masing maka pelajari dan telitilah alam sekitar kita, niscaya kita akan semakin banyak mendapatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya.

d. Menurut hemat penulis sebenarnya dalam naluri setiap manusia sudah mengakui adanya Allah SWT., akan tetapi sebagian dari mereka terkadang tidak meningkatkan keimanan dalam hatinya atau bahkan

Page 37: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

37

mengingkari kejujuran yang ada di dalam hati mereka, sehingga mereka menjadi kafir. Bahkan setiap makhluk hidup atau mungkin juga benda-benda yang tak bernyawa ikut mengakui keberadaan-Nya dengan bukti-bukti penjelasan al-Qur'an yang menerangkan bahwa ciptaan Allah yang tak bernyawa juga ikut bertasbih kepada-Nya, meskipun maksud dari tasbîh masih menjadi perdebatan antara makna hakekat dan majaz. Namun, jika ternyata makna yang paling tepat pada konteks tersebut adalah dengan makna hakekat, maka alangkah lebih mulianya benda-benda yang tak bernyawa itu dibandingkan dengan manusia yang memiliki akal, tetapi tidak beriman kepada Allah SWT.

e. Terdapat banyak sekali dalil-dalil naqli ataupun 'aqli yang menunjukkan atas wujûdnya Allah SWT. sebagai Yang Maha Pencipta alam semesta, sehingga sebenarnya sudah tidak ada alasan lagi bagi manusia untuk mengingkari wujûd-Nya.

f. Memaksimalkan peran rasional sebagai upaya untuk semakin memperkokoh iman kepada Allah SWT. adalah sebuah usaha yang positif, selagi selalu dilengkapi dengan landasan-landasan agama yang cukup serta dengan pendekatan rohani yang ikhlas.

g. Konsep ketuhanan dalam Islam sudah sangat jelas dan terangkum dalam Q.S. al-Ikhlâsh, adapun ayat-ayat aqidah lainnya adalah menjadi pelengkap dan penjelas dari konsep yang sudah terangkum dalam surat tersebut.

h. Allah SWT. bukanlah materi (ة sehingga tidak ada satupun yang ,(الماد menyerupai-Nya dan juga tidak ada satupun yang bisa mendeskripsikan wujud-Nya dengan sedetail-detailnya. Kita semua hanya bisa mengimani-Nya dengan mengenali sifat-sifat Allah dan nama-namaNya yang Agung, itupun dengan keterbatasan pemahaman manusia melalui pendekatan takwil dan sejenisnya, bahkan tidak sedikit dari mereka yang tawaqquf untuk tidak menjelaskan maksudnya, karena rasa kehati-hatian dan takut terjebak dalam kesalahan. Meskipun sebagian mereka juga ada yang bersikap ''ekstrim'', yaitu dengan menganggap Allah menyerupai makhluk-Nya dan teori-teori sejenisnya. Kita semua memiliki kebebasan untuk menentukan sikap dalam memahami ayat-ayat sifat, akan tetapi kebebasan di sini bukanlah yang tanpa dasar sama sekali, tetapi kebebasan memilih setelah melalui proses yang panjang untuk mengkajinya dan menjauhkan diri dari pemahaman yang lebih didominasi oleh hawa nafsu.

Kampung 8, Nasr City, Kairo, 2013

~~~ Bersambung ~~~

Page 38: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

38

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Madinah : Majma' al-Malik Fahd li

Thibâ'ati al-Mushhaf al-Syarîf (mutarjam), 1418)

Ahmad al-Musayyar, Dr. Muhammad Sayyid, al-Ilâhiyyât fi al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, (Kairo : Maktabah al-Îmân, 2006)

Abu al-Su'ûd, Syeikh, Irsyâdu al-'Aqli al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm, (Kairo : Dâr al-Fikr, t.th.)

al-Qurthubi, Abû 'Abdillâh Muhammad ibn Ahmad al-Anshâri, al-Jâmi' lî Ahkâmi al-Qur'an, (Kairo : Dar al-Hadits, t.th.) al-'Ajjîliy, Sulaymân ibn 'Umar, al-Futûhât al-Ilâhiyyâh bi Tawdhîh Tafsîr al-Jalâlayn li al-Daqâiq al-Khafiyyah, (Kairo : Dar Ihyâ' al-Kutub al-'Arabiyyah, t.th.) al-Râzi, Fakhru al-Dîn Muhammad ibn 'Umar ibn al-Husayn ibn al-Hasan ibn 'Ali al-Tamîmi al-Bakri, al-Tafsîr al-Kabîr aw Mafâtîh al-Ghaîb, (Kairo : Maktabah al-Tawfiqiyyah, t.th.) al-Alûsi, Abû al-Fadh Syihâbu al-Dîn al-Sayyid Mahmûd, Rûh al-Ma'âni fi Tafsîr al-Qur'an al-'Âzhîm wa al-Sab'I al-Matsâni, tahqîq : Sayyid 'Imrân (Kairo : Dâr al-Hadits, 2005) al-Bayjûri, Imam, Tuhfatu al-Murîd 'alâ Jawharati al-Tawhîd, tahqîq : Dr. 'Ali Jum’ah, (Kairo : Dâr al-Salâm, 2006) al-Ghazâli, al-Imâm Zaynuddîn Hujjatu al-Islâm Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad, Tahâfutu al-Falâsifah, ta'lîq : Dr. Shalâhu al-Dîn al-Hawwâri, (Beirut : Maktabah al-'Ashriyyah, 2009)

_________, al-Iqtishâd fî al-I'tiqâd, Syarah, Ta'lîq & Tahqîq : Dr. Inshâf Ramadhân, (Beirut : Dâr Qutaybah li al-Thibâ'ah wa al-Nasyr wa al-Tawzî' : 2003).

al-Fayyûmi, Dr. Muhammad Ibâhim, al-Imâm al-Ghazali wa 'Alâqatu

al-Yaqîn bi al-'Aql, (Kairo : Dâr al-Fikr al-'Arabi, t.th.)

Page 39: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

39

al-Thâlibi, Dr. 'Umar, Madkhal ilâ 'Alami al-Falsafah'', (Doha :

Maktabah Markaz al-Hikmah, 1999) Abû Barakah, Dr. 'Izzat 'Abdu al-Majîd, al-Ilahiyyât Bayna Ibn Sînâ

wa Ibn Taymiyyah, (Kairo : Maktabah Ushûlu al-Dîn, Univ. al-Azhar, 1995) 'Abdu al-'Âzîz, Dr. 'Abdu al-'Âzîz Sayfu al-Nasr, Masâil al-'aqîdah

al-Islâmiyyah bayna al-Tafwîdl wa al-Itsbât wa al-Ta'wîl wa Arâi al-Firaq al-Islâmiyyah fîhâ, (Kairo : Maktabah al-Îmân li al-Thibâ'ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi', 2013)

Bertrand Russel, Târîkh al-Falsafah al-Gharbiyyah, terjemah : Zaki Najîb Mahmûd, (Kairo : al-Hay'ah al-Mashriyyah al-'Âmmah li al-Kitâb, 2010)

Hâji, Dr. ‘Abdu al-‘Azîz, Tafsîru Âyâti al-‘Aqîdah (Isti’râdl Syâmil li Madzâhibi al-Mufassirîn fi al-‘aqîdah), (Kairo : Dâr al-Shâbûni, 2003)

Hasanîn, Dr. Hasan Hanafi, Namâdzij min al-Falsafah al-

Masîhiyyah fi 'Ashri al-Wasîth, (Kairo : Maktabah al-Anjlou al-Masriyyah, t.th.)

http://id.wikipedia.org/wiki/Metafisika

http://www.almaany.com/home.php?language=arabic&word=%D8%B5%

D9%81%D8%A9&cat_group=1&lang_name=%D8%B9%D8%B1%D8%A8%D9%8A&type_word=2&dspl=0

Ibn Abdi al-Karîm al-Syahrastâni, Abû al-Fath Muhammad, al-Milal wa al-Nihal, tashhîh & ta'lîq : Ahmad Fahmi Muhammad, (Beirut : Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1992)

Ibn 'Âsyur, Syeikh Muhammad al-Thâhir, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tunis : Dâr Suhnûn li al-Nasyr wa al-Tawzî', 1997)

Ibn Katsîr, al-Hâfizh, Tafsîr al-Qur'ân al-'Âzhîm, (Kairo : Dar al-

Hadits, t.th.) Ibn Ismâ'îl al-Bukhâri, Abû 'Abdillâh Muhammad, Shahîh al-

Bukhâri, murâja'ah : Hasan 'Abdu al-'Âl & Haytsam Khalîfah al-Thu'aymi, (Beirut : Maktabah al-'Ashriyyah, 2008)

Ibn Muhammad 'Ishâm al-Dîn Ismâîl, Hâsyiyah al-Qûnawi 'alâ Tafsîr al-Imâm al-Baydhâwi, tashhih : 'Abdullâh Mahmûd Muhammad 'Umar, (Beirut : Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, 2001)

Page 40: (Metafisika) Makalah FORDIAN 2013

40

Ibn Khaldûn, 'Abdu al-Rahmân Abû Zayd Waliyyu al-Dîn,

Muqaddimah Ibn Khaldûn, (Beirut : Dâr al-Fikri li al-Thibâ'ah wa al-Nasyr wa al-Tawzî', 2004)

Ibrâhîm al-Math'ani, Dr. 'Abdu al-'Azhîm, al-Majâz fi al-Lughah wa

al-Qur'an bayna al-Ijâzah wa al-Man' ('ardh wa tahlîl wa naqd), (Kairo : Maktabah al-Wahbah, 2007)

Ibn 'Abbâs, Tafsîr Ibn 'Abbâs (Shahîfah 'Ali ibn Abî Thalhah 'an Ibn

'Abbâs fî Tafsîr al-Qur'ân al-Karîm), tahqîq : Râsyid 'Abdu al-Mun'im al-Rajjâl, ( Kairo : Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiyyah, t.th.)

Jurnal Studi al-Qur'an, vol. II, no. I, (Jakarta : PSQ, 2007) Jurnal Pemikiran Islam Nuansa, edisi. XVIII (Kairo : 2012). Muhammad Khalîfah, Dr. Ibrâhîm 'Abdu al-Rahmân, al-Muhkam wa

al-Mutasyâbih fi al-Qur'ân al-Karîm, (Kairo : Dâr al-Nahdlah Misr li al-Nasyr, 2012)

Mawsû’ah al-Firaq wa al-Madzâhib fî al-‘Âlami al-Islâmi, (Kairo : Wizârah al-Awqâf al-Majlis al-A’lâ li al-Syu’ûni al-Islâmiyyah, 2009)

Mahmûd Syalthût, al-Imâm al-Akbar, al-Islâm ‘Aqîdah wa Syari’ah, (Kairo : Dâr al-Syurûq, 2007)

Manzhûr, Ibn, Lisân al-'Arab, (Kairo : Dâr al-Hadîts, 2003) Partanto, Pius A & Al Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer,

(Surabaya : Arkola, 1994) Rosenthal, M. & Yudin, P., al-Mausû'ah al-falsafiiyyah, terjemah :

Samîr Karam, (Beirut : Dâr al-Thalî'ah li al-Thibâ'ah wa al-Nasyar, t.th.)

Sa'ad, Fârûq, Ma'a al-Fârâbi wa al-Mudun al-Fâdlilah, (Kairo : Dâr al-Syurûq, 1982)

Tha'îmah, Dr. Shâbir 'Abdu al-Rahmân, al-Mutakallimûn fi Dzâti Allah wa sifâtihi wa al-Raddu 'alayhim, (Kairo : Maktabah Madbûli, 2005)

'Utsmân al-Khasyat, Dr. Muhammad, al-Din wa al-Mîtâfîsîqâ fî Falfsafah Hume, (Kairo : Dâr Quba' li a-Thiâ'ah wa al-Nasyar wa al-Tawzî', t.th.)