metafisika eksistensial telaah atas kitab al masha ir...

290
METAFISIKA EKSISTENSIAL : TELAAH ATAS KITAB AL- MASHAIR MULLA SADRA Skripsi Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.) Oleh Dwi Pratomo NIM : 1113033100076 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/ 2020 M

Upload: others

Post on 01-Dec-2020

21 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

METAFISIKA EKSISTENSIAL : TELAAH ATAS KITAB AL-

MASHA’IR MULLA SADRA

Skripsi

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama

(S. Ag.)

Oleh

Dwi Pratomo

NIM : 1113033100076

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H/ 2020 M

Page 2: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

METAFISIKA EKSISTENSIAL : TELAAH ATAS KITAB AL-

MASHA’IR MULLA SADRA

Skripsi

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama

(S. Ag.)

Oleh

Dwi Pratomo

NIM : 1113033100076

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H/ 2020 M

Page 3: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Page 4: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

iii

Page 5: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

iv

Page 6: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

v

ABSTRAK

Jika metafisika didefinisikan sebagai “suatu kajian atas eksistensi (wujud) qua

eksistensi (wujud)”, maka metafisika yang dirumuskan oleh Mulla Sadra ialah

metafisika par exellence. Mulla Sadra merupakan jawaban bagi pertanyaan besar,

yang kerap diselubungi oleh prasangka inferioritas spekulasi filosofis dalam Islam,

“Apakah filsafat Islam sudah mati?” Sejarah spekulasi filosofis dalam Islam,

sejarah filsafat Islam, tidaklah mati karena Tahafut al-Falasifah, justru ia menemui

titik kematangannya di bagian lain dalam dunia Islam: Persia, tempat kelahiran Ibn

Sina, dan juga filsuf kita, Mulla Sadra. Metafisika Eksistensial Mulla Sadra pun

tidak lahir dalam suatu ruang kosong; ia merupakan suatu strategi penafsiran dan

pengajuan persoalan baru, sebuah kerangka baru, yang dirumuskan Sadra dalam

suatu horizon filosofis yang khusus. Metafisika Ibn Sina, kritik metafisika Ibn Sina

oleh Suhrawardi, dan intuisi-intuisi sufistik dari Ibn ‘Arabi dan para pengikutnya.

Mulla Sadra, sebagaimana Aristoteles pada masanya, merupakan seorang filsuf

yang tidak pernah lupa atas jasa teoretis dari para pendahulunya: ia mewarisinya,

memasukkannya dalam persoalan baru, untuk pada gilirannya mengajukan

tawaran-tawaran persoalan baru atasnya. Penelitian ini merupakan sebuah upaya

untuk melihat bagaimana Mulla Sadra merumuskan jawaban tersebut, atau

setidaknya, memasukkan persoalan tersebut dalam kerangka baru, yang kami sebut

sebagai ‘Metafisika Eksistensial.’

Kata kunci: metafisika, eksistensi (wujud), esensi (mahiyah), primasi, modulasi,

Mulla Sadra, Suhrawardi, Ibn Sina, Aristoteles, Ibn ‘Arabi, al-Farabi

Page 7: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah azza wa jalla, Yang Maha Ada, yang tiada Ada

selain-Nya. Kemuliaan bagi Rasulullah Muhammad S.A.W. yang merupakan filsuf

dari segala filsuf.

“Skripsi yang bagus adalah skripsi yang selesai”, di balik kepolosan dari

kalimat ini, terdapat suatu makna yang bisa ditarik, setidaknya bagi kami. Sebuah

skripsi yang tidak selesai bukanlah sebuah skripsi. Agar ia menjadi suatu skripsi,

maka ia harus selesai. Sebuah skripsi yang bagus adalah sebuah skripsi yang eksis;

yang ada, yang telah selesai ditulis. Kalimat tersebut mengandung sebuah intuisi

filosofis yang mendasar: yang bagus adalah yang eksis. Dengan semangat itulah,

skripsi ini telah diselesaikan.

Skripsi ini merupakan sebuah rekam jejak, dari kegelisahan, keputusasaan,

dan kengerian eksistensial yang dihadapi penulis. Ketakutan-ketakutan,

keterputusan-keterputus-an, kecemasan-kecemasan yang tak kunjung hilang dari

nafas ke nafas. Ia ditulis dalam jangka waktu yang cukup panjang, dari 2019 ke

2020. Dan tentunya, penyelesaian panjang ini melibatkan banyak manusia, relasi-

relasi yang tak bisa dilepaskan dari dasein, bahkan meskipun ia berkata bahwa ia

memilih kesendirian. Manusia tidak dapat lepas dari relasi eksistensialnya dengan

manusia lain.

Dan manusia-manusia lain itulah yang dalam satu atau lain cara telah membantu

penyelesaian skripsi ini, sebuah penelitian sederhana ini. Untuk itu, kami ucapkan

terima kasih kepada mereka, di antaranya:

1. Bapak Iqbal Hasanuddin, yang selalu memberikan nasihat yang telah kami

sebut di atas, sebuah kalimat yang akan selalu hadir dalam pikiran penulis.

Saran dari beliau pulalah yang membuat penulis merombak outline pada bab

3 dan bab 4 skripsi ini sehingga ia tidak terjebak dalam ambisi penulis untuk

mengejar suatu penelitian berjenis komparatif yang akan memakan waktu

lebih panjang. Terimakasih telah menjadi dosen pembimbing penulis.

2. Bapak Fariz Pari sekeluarga, sebagai ‘pembimbing’, penguji, dan dosen

penulis. Sebagai dosen, beliau adalah sosok yang pertama kali

Page 8: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

vii

memperkenalkan penulis dengan metode ‘logis-analitik’ yang khas di prodi

Aqidah Filsafat. Jejak-jejak dari pemahaman penulis atas mata kuliah yang

beliau berikan dapat ditemukan dalam penelitian ini. Bimbingan, semangat,

diskusi dan segala dukungan dari beliau, terkhusus di fase terakhir masa

studi penulis memungkinkan skripsi dan studi kami selesai. Revisi beliau

atas skripsi ini memberikan kesempatan bagi penulis untuk memperbaiki

jurang-jurang logis-filosofis yang bertebaran di sana-sini. Pak Fariz

sekeluarga (Bu Fariz, teh Rizfi dan Cara, mas Razaf dan mas Nahwan)

adalah orang tua, pembimbing, penguji, serta kawan dan keluarga baru

penulis.

3. Ibu Tien Rahmatin, sebagai ketua Prodi Aqidah dan Filsafat Islam, yang

tanpa bantuannya bagi mahasiswa semester akhir, mungkin skripsi ini tidak

akan pernah ada. Dan atas saran beliau pula penulis akhirnya memutuskan

untuk memilih Mulla Sadra sebagai objek penelitian, setelah sebelumnya

berniat untuk menulis sesuatu mengenai Jean Paul Sartre.

4. Ibu Banun Binaningrum, yang selalu menyemangati kawan-kawan

angkatan tiga belas, angkatan manusia terakhir yang harusnya telah punah.

Kehadiran beliau dan Kaprodi sungguh merupakan titik terang, harapan

bagi kami, angkatan AF 2013, untuk menyelesaikan skripsi, di tengah-

tengah kemalangan pandemik COVID-19.

5. Kepada seluruh dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis,

kepada rektor dan semua staff UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kepada seluruh teman Aqidah Filsafat 2013 yang selalu menemani

perjalanan panjang dan melelahkan dalam keseharian menuntut ilmu dan

kebenaran filosofis ini. Di antaranya: Ahmad Syafi’ih, M Deden Rojani,

Nurkholis Mazid, Said Riyadhi, Ahmad Riyadhi, Khairul Fiqih, M Nur

Rizky.

7. Kepada seluruh teman Rusabesi: Sir Ahmad Zaky, Aliffaiz, Fajar, Fathur,

Kode, Divani dan lain-lainnya. Forum diskusi kalian adalah forum diskusi

terbaik, di antara forum diskusi lainnya yang pernah saya ikuti.

8. Kepada seluruh teman yang bersedia mendengar pendapat remeh-temeh

penulis, pada mereka yang mengajak penulis untuk menikmati pemikiran-

Page 9: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

viii

pemikiran spekulatif seremeh apapun itu: Tri Wibowo, dia adalah seorang

Heideggerian dalam praxis, kepada Aliffaiz alias Deval, sang pendiri toko

buku legendaris di gang nomor 65, juga seorang kritikus budaya yang

sebentar lagi hadir di kancah kritik budaya kontemporer; dan @fajar17,

selebtweet dan donatur bagi banyak hal.

9. Kepada kamerad-kamerad dari Kolektif Tarjo, sebuah kolektif tiada guna

yang menampung beberapa orang: Ghifari Misbahuddin, Ishlah

Muhammad, Sahrul Latif dan Ahmad Syafiih, tanpa mereka saya tidak tahu

harus tinggal di mana selama masa studi saya.

10. Kepada kawan-kawan wibu lulusan Darqo: sekali lagi Ishlah, kepada Fikri

Kammil, Budat. Mereka adalah contoh dari wibu-wibu yang dapat

diandalkan dalam dunia nyata, bukan hanya isekai.

11. Sekali lagi kepada Ghifari Misbahuddin, yang, selain menjadi kawan

diskusi yang relatif lebih intens dari yang lain, selalu membantu penulis

untuk terus hidup dan menulis skripsi. Diskusi dengan Ghifari selalu

menjadi diskusi filosofis yang menarik, semoga ia lekas menemukan

kebenaran atau ketidakbenaran dari Meillasoux.

12. Bapak dan Ibu penulis, Iksan dan Sumaroh, yang selalu mendukung apapun

yang dilakukan penulis ‘selama itu baik’; Doa dan usaha mereka untuk

menghidupi anak-anaknya, termasuk penulis, adalah anasir esensial yang

membuat skripsi ini terwujud. Begitu juga untuk adik-adik penulis, Heni

dan Yuni, yang terus membuktikan pernyataan bahwa eksistensi (wujud) itu

tidaklah sia-sia.

13. Kepada seluruh komposer, musisi, dan mereka yang selalu menemani

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini: Kitaro, Tchaikovsky, Chopin,

Beethoven, Porcupine Tree, Red Velvet dan lainnya.

Purwokerto, 17 Juli 2020

Dwi Pratomo

Page 10: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab

ا

ب

ت

ث

ج

ح

خ

د

ذ

ر

ز

س

ش

ص

ض

Indonesia

a

b

t

ts

j

kh

d

dz

r

z

s

sy

Inggris

a

b

t

th

j

kh

d

dh

r

z

s

sh

Arab

ط

ظ

ع

غ

ف

ق

ك

ل

م

ن

و

ه

ء

ي

ة

Indonesia

gh

f

q

k

l

m

n

w

h

y

h

Inggris

gh

f

q

k

l

m

n

w

h

y

h

Vokal Panjang

Arab

أ

يإ

أو

Indonesia

ā

ī

ū

Inggris

ā

ī

ū

Page 11: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

x

DAFTAR ISI

COVER…………………………………….……………………………………...i

ABSTRAK ............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... ix

DAFTAR ISI .......................................................................................................... x

DAFTAR TABEL............................................................................................... xiii

BAB I: PENDAHULUAN..................................................................................... 2

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 2

B. Batasan & Rumusan Masalah .................................................................... 13

1. Batasan Masalah ..................................................................................... 13

2. Rumusan Masalah .................................................................................. 13

C. Tujuan & Manfaat Penelitian ..................................................................... 14

D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 15

E. Metode Penelitian....................................................................................... 16

1. Pengumpulan Data.................................................................................. 16

2. Analisis Data .......................................................................................... 18

F. Sistematika Pembahasan ............................................................................ 18

BAB II: EKSISTENSI MULLA SADRA .......................................................... 20

A. Potret Intelektual-Historis .......................................................................... 20

1. Peripatetik ............................................................................................... 21

2. Ishraqi ..................................................................................................... 22

3. Irfani ....................................................................................................... 23

4. Kalam ..................................................................................................... 24

B. Potret Intelektual-Biografis ........................................................................ 27

1. Prolog ..................................................................................................... 27

2. Fase 0 (Shiraz I)...................................................................................... 30

3. Fase 1 (Isfahan) ...................................................................................... 34

4. Fase 2 & 3 (Shiraz II & Qum) ................................................................ 38

5. Fase 4 (Shiraz III) ................................................................................... 41

C. Karya-Karya Mulla Sadra .......................................................................... 44

Page 12: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

xi

1. Karya-Karya Spiritual ............................................................................ 45

2. Karya-Karya Intelektual ......................................................................... 50

BAB III: GENEALOGI METAFISIKA EKSISTENSIAL ............................. 73

A. Prolog: Persoalan Terminologis ................................................................. 73

B. Persoalan Eksistensi (Wujud) ..................................................................... 77

1. Distingsi Aristotelian .............................................................................. 77

2. Metafisika Penciptaan ............................................................................ 78

3. Kontribusi al-Farabi................................................................................ 80

4. Kontribusi Ibn Sina................................................................................. 82

5. Divisi Eksisten Ibn Sina ......................................................................... 84

6. Warisan Persoalan Ibn Sina .................................................................... 86

C. Persoalan Primasi (Asalat) ......................................................................... 88

1. Substansi dan Aksiden dalam Aristoteles............................................... 90

2. Lahirnya Persoalan Primasi .................................................................... 92

3. Relasi Eksistensi (wujud) dan Esensi (mahiyah) .................................... 94

4. Dua Makna Esensi .................................................................................. 96

5. Argumen Primasi Esensi (Asalah al-Mahiyah) ...................................... 97

D. Persoalan Modulasi (Tasykik) .................................................................. 101

1. Prolog: Tinjauan Singkat atas Persoalan Sebelumnya ......................... 101

2. Tahap Pertama: Dari Aristotelianisme ke Neoplatonisme ................... 107

3. Tahap Kedua: Dari Neoplatonisme ke Peripatetisme Islam ................. 110

4. Tahap Ketiga: Dari Peripatetisme ke Mistisisme ................................. 119

BAB IV: PRINSIP METAFISIKA EKSISTENSIAL .................................... 136

A. Konsep dan Realitas Eksistensi ................................................................ 136

1. Problematisasi....................................................................................... 136

2. Oposisi .................................................................................................. 140

3. Posisi..................................................................................................... 142

4. Rekapitulasi .......................................................................................... 156

B. Struktur al-Masha’ir ................................................................................. 184

C. Prinsip Metafisika Eksistensial ................................................................ 190

1. Primasi Eksistensi ................................................................................. 190

2. Relasi Eksistensi-Esensi ....................................................................... 223

Page 13: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

xii

3. Modulasi Eksistensi .............................................................................. 240

BAB V: PENUTUP ........................................................................................... 264

A. Kesimpulan .............................................................................................. 264

1. Poin-Poin Biografis .............................................................................. 264

2. Poin-Poin Genealogis ........................................................................... 265

3. Poin-Poin Metafisis .............................................................................. 266

B. Tinjauan.................................................................................................... 266

C. Saran ......................................................................................................... 267

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 270

Page 14: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel A.0. Daftar Transliterasi Istilah Teknis…………………………………xiv

Tabel A.1. Perbedaan antara Eksistensi dan Esensi (A)..……………………..136

Tabel A.2. Perbedaan antara Eksistensi dan Esensi (B)....................................139

Tabel A.3. Distingsi dan Primasi Eksistensi/Esensi ……………………..141-142

Tabel B. Perumusan Konsep Eksistensi …………………………………....…138

Tabel C.1. Posisi Eksistensi Menurut Suhrawardi ……………………………168

Tabel C.2. Posisi Eksistensi menurut Mulla Sadra …………………...……….169

Tabel D. Prinsip Persamaan & Perbedaan ……………………………....…….180

Tabel E. Isi Bab Masha'ir ……………………………………………..…..184-185

Tabel F. Rincian Argumen pada Penembusan Ketiga ……………………194-195

Page 15: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

Tabel A.0. Daftar Transliterasi Istilah Teknis

PENULIS ISTILAH TEKNIS

Wujud Mawjud Mahiyyah Asalah Tasykik ‘arad Al dzat

F. Rahman Existence Existent Essence #1 Primacy Systematic

Ambiguity Essence #2

S. H. Nasr

Being,

being

Existence,

existence

existent Quiddity

Essence

Fundamentality,

Principiality Gradation Accident Essence

Acikgenc, A Being Existent Essence Essentialism

Existentialism

Systematic

Ambiguity - -

I. Kalin Existence existents

beings

Essence

Quiddity

Principality

Primacy Gradation Accident -

M. Kamal Being beings Essence Primacy Systematic

Ambiguity Accident -

S.H. Rizvi Being existent Quiddity Ontological Primacy Modulation - -

T. Izutsu Existence existent Quiddity Primacy

Principality

Analogical

Gradation Accident Essence

E. Kutubi Being,

Existence beings Essence Primacy modulation Accident Essence

Page 16: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

2

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Musim dingin 1928, Freiburg, Jerman. Heidegger memberikan seminar

mengenai Landasan-landasan Metafisika Moral Immanuel Kant di Universitas

Freiburg; setahun setelah Ada dan Waktu diterbitkan dan kemasyhuran Heidegger

terdengar di seantero benua Eropa. Siang itu, setelah seminar pembuka kuliah

musim dingin di Freiburg selesai, di kelas Heidegger yang berisi sekitar 20-25

kursi, masih terdapat dua mahasiswa yang tetap di kelas, menemani Heidegger yang

juga masih belum beranjak dari kursinya. Dua mahasiswa itu adalah Max Muller

dan Simon Moser. Siang itu pula, Emmanuel Levinas hadir dalam seminar perdana

tersebut namun telah terlebih dahulu meninggalkan kelas. Heidegger, bersama dua

mahasiswa yang masih tersisa di kelas, memulai pembicaraan yang tak sempat

ditulis dalam biografi-biografi Heidegger yang kini telah terbit di pasar.

Heidegger : Kenapa kalian berdua belum meninggalkan kelas?

Simon Moser : Saya sedang meninjau catatan kuliah hari ini, Herr Heidegger.

Max Muller : Saya melakukan hal yang sekiranya sama.

Heidegger : Moser, apakah kau juga membuat transkrip dari seminar tahun

lalu di Marburg mengenai Persoalan-Persoalan Dasar

Fenomenologi?

Simon Moser : Betul, Herr Heidegger.

Heidegger : Baik, bolehkah saya melihatnya nanti? Jika ya, tolong berikan

salinannya kepada saya.

Simon Moser : Baik, Herr Heidegger.

Heidegger : Apakah kalian mengenal Levinas, Emmanuelis Levinas?

Simon Moser : Ya, Herr Heidegger, tadi dia ada di sini, duduk dua bangku di

sebelah kiri saya, sekarang ia sudah tidak ada di sini.

Max Muller : Pemuda dengan kacamata berlensa tebal itu, apakah itu yang anda

maksud, Herr Heidegger?

Heidegger : Betul

Max Muller : Saya sempat bertanya kepada dia, mengapa ia pulang dengan

tergesa-gesa. Ia berkata bahwa salah satu temannya telah tiada. Ia

pulang untuk mengikuti upacara pemakaman hari ini.

Page 17: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

3

Simon Moser : Bagaimana menurutmu, Herr Heidegger, apakah hal macam itu

bermakna bagi Dasein?

Heidegger : (tersenyum tipis), Apakah kau sedang menanyakan pendapatku

mengenai keberadaan Tuhan dan hal-hal relijius, ataukah yang lain?

Simon Moser : Persisnya, bukankah ontologi fundamental yang anda tulis di Ada

dan Waktu dapat ditafsirkan secara spiritual? Terlebih lagi jika kami

melihat riwayat pendidikan anda.

Heidegger : (menghela nafas) Sepertinya aku harus bergegas, ada hal yang

harus aku lakukan. Moser, tolong letakkan salinan di meja saya jika

sudah siap. Muller, terima kasih atas obrolan pagi ini dan karena

telah membantu saya menemukan ruang kelas ini. Oh ya, Moser,

jawaban bagi pertanyaanmu ada di bukuku, Ada dan Waktu. Adakah

kau waktu untuk membacanya sekali lagi?

Simon Moser : Baik, terimakasih Herr Heidegger.

Dalam keseharian, kita mendapati perulangan kata ada dan turunan-

turunannya: ada, tak ada, ber-ada, ke-ada-an, ke-ber-ada-an, ada-pun, meng-ada,

meng-ada-kan, peng-ada-an, meng-ada-ada dan seterusnya. Kumpulan kata-kata

yang nampaknya polos, lugu dan maknanya telah terberi. Ketika kita lupa menaruh

sesuatu, kita berkata, “Tadi ada di sini, kok sekarang tidak ada?.” Ketika seseorang

meninggal dunia, kita menyebut “Ia telah tiada.” Ketika kita kebingungan dalam

mengerjakan sesuatu, seperti merevisi skripsi, kita berkata, “Aku masih belum ada

ide.” Namun, ketika seseorang – yang, entah sungguh-sungguh atau sekedar iseng

– bertanya kepada kita, “Apa itu ada?” apa kiranya jawaban yang lebih tepat dan

masuk akal ketimbang “Ada apa dengan kepalamu?”

Hingga hari ini, kita menggunakan kata “ada” dengan begitu saja. Tanpa

menanyakan apa sebenarnya yang dimaksud denga nada, mengenai apa yang

sebenarnya sedang kita bicarakan ketika kita membicarakan “ada.” Dalam

percakapan antara Heidegger dengan dua orang mahasiswanya di atas, kita

mendapati penggunaan kata “ada” dan beberapa turunannya. Mari kita berupaya

merenungkan apa maksud dari kata-kata tersebut. Heidegger mencari Levinas,

salah satu mahasiswa yang “ada” ketika seminar, di waktu sebelumnya, namun

“tidak ada” setelah seminar. Maka dalam konteks ini, keber-ada-an Levinas dan

ketidakber-ada-an Levinas terkait dengan setidaknya dua hal: waktu dan tempat.

Levinas dikatakan “ada” pada waktu pagi dan ada di tempat, yakni kelas. Mari kita

Page 18: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

4

sebut waktu pagi menjadi wa dan kelas sebagai ta. Maka, Levinas ada pada wa dan

ta. Levinas tidak ada pada wb dan ta yakni, pada jam setelah seminar di kelas tersebut.

Makna dari ke-ada-an dan ketidakber-ada-an Levinas dalam percakapan di atas

ialah bahwa Heidegger, Moser dan Muller mengetahui bahwa pada wa dan ta

Levinas hadir, yakni ada di kelas, sementara pada wb dan ta Levinas tidak hadir,

tidak dilihat dalam kelas.

Kemudian, kita mendapati bahwa Levinas tidak ada pada wb dan ta , yakni,

ia tidak diketahui keberadaannya, ia tidak dilihat atau disaksikan, karena ia sedang

mengikuti upacara pemakaman temannya di suatu tempat, pada jam ketika seminar

telah usai tepat di mana ia sedang dicari oleh Heidegger, yakni wb dan ta , maka

pada wb Levinas berada pada pemakaman, tb, secara bersamaan, Levinas ada dan

tidak ada: ia ada pada wb dan tb , dan tidak ada pada wb dan ta . Kemudian, kita dapat

mengajukan pertanyaan selanjutnya: apakah ke-ada-an dank e-tiada-an Levinas

sama maknanya dengan ke-ada-an dan ke-tiada-an temannya yang telah meninggal

dunia?

Levinas dikatakan “ada” oleh Heidegger dan kedua mahasiswanya ketika

mereka melihatnya, mengetahui secara inderawi kehadirannya pada pada wa dan ta,

di bangku nomor sekian. Ia dikatakan tidak ada karena pada wb dan ta Levinas tidak

hadir, yakni, ia tidak diindera oleh Heidegger, tetapi di sisi lain, ia ada pada wb dan

tb. Sementara, teman Levinas telah meninggal dunia, ia tidak ada baik pada wb dan

ta, wb dan tb, kecuali jika apa yang dimaksud dengan teman Levinas adalah jasadnya.

Ini pun memberikan suatu persoalan baru, apa yang membuat manusia disebut ada?

Apakah kehadiran tubuh atau jasad belaka menyebabkan seseorang disebut ada?

Apakah kehadiran, keterin-deraan ataupun sebaliknya, ketidakhadiran dan

ketidakterinderaan Levinas, yang kemudian adalah ke-ada-an dan ke-tiada-annya

dapat disamakan maknanya dengan teman Levinas yang telah meninggal dunia,

yang, hanya jasadnya sajalah yang dapat diindera (setidaknya sebelum

dikebumikan) pada ruang dan waktu tertentu?

Heidegger, pada percakapan di atas mengundang pertanyaan mengenai

keberadaan Tuhan. Seseorang yang meninggal dunia disebut tidak ada, mereka

disebut “telah tiada.” Mereka tidak lagi ada-di-dunia. Levinas, di sisi lain, meskipun

Page 19: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

5

ia dapat dikatakan tidak ada pada ruang dan waktu tertentu, yakni pada wb dan ta, ia

dapat dikatakan ada pada wb dan tb. Ia masih “ada”, karena ia masih hadir pada

ruang dan waktu tertentu, ia masih ada-di-dunia. Apa yang dimaksud dengan “ada”

ketika kita mengatakan bahwa seseorang itu ada-di-dunia?

Levinas ada-di-dunia, teman Levinas dulunya ada-di-dunia. Sampai di sini,

kita melihat bahwa setidaknya terdapat dua makna dari ada dan tiada. Ketiadaan

Levinas di wb dan ta disebabkan karena keberadaannya di wb dan tb. Sebaliknya,

ketiadaan teman Levinas tidak memiliki ciri yang sama dengan ketiadaan Levinas:

ia tidak lagi ada di ruang dan waktu, ia tidak lagi ada-di-dunia. Salah satu

pertanyaan sulit yang diajukan bagi mereka yang membahas tentang Tuhan adalah

“Apakah Tuhan ada? “Di manakah Tuhan, jika Ia Ada?”. Pada kasus di atas, kita

tidak mendapati Tuhan pada ta, tb dan seterusnya, yakni, di ruang dan waktu

tertentu; tidak pula kita mengatakan dengan yakin bahwa Tuhan ada-di-dunia.

Teman Levinas tadi, ketika ia masih ada-di-dunia, dapat dikatakan ada karena ia

memiliki badan, kesadaran, yang membuatnya menjadi manusia, dan yang

membuatnya dapat dikatakan hadir di ruang dan waktu tertentu, baik yang terindera

maupun yang terpikirkan. Ketiadaannya bermakna bahwa hal-hal yang dulunya

dapat diketahui mengenainya kini sudah tidak ada. Tentu saja, kita masih dapat

mengatakan bahwa ia tetap ada di dalam hati dan pikiran kita. Tetapi apa maksud

dari “ada di dalam hati” dan “ada di dalam pikiran”? Apa makna dari keadaan atau

ketiadaan sesuatu dalam pikiran? Apakah keadaan ataupun ketiadaan sesuatu dalam

pikiran sama dengan keadaan atau ketiadaan Levinas dalam perbincangan di atas?

Apakah keadaan dan ketiadaan temannya di pikiran sama dengan keadaan atau

ketiadaan Levinas dalam percakapan di atas? Apakah kita juga dapat berkata bahwa

Tuhan ada dalam hati dan pikiran sebagaimana kenangan mengenai seorang teman

ada dalam pikiran dan hati Levinas?

Kiranya, persoalan-persoalan tersebut hadir kala kita mulai merenungkan

makna dari kata “ada.” Pada mulanya, kita selalu mengucapkan kata “ada” dan

turunan-turunannya dengan ringan, tanpa pikir panjang. Segera setelah kita

menunda sejenak, memasukkan kata “ada” ke dalam kurung, kita dihadapkan pada

persoalan-persoalan semacam itu. Persoalan-persoalan yang telah disebutkan di

Page 20: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

6

atas bukan hanya ada karena penuturnya adalah sosok-sosok yang dikenal sebagai

filsuf. Kita dapat saja mengganti tokoh-tokoh dalam pembicaraan di atas dengan

sembarang nama, tempat, dan kejadian. Mungkin kini kita menghadapi persoalan

baru: apakah terdapat perbedaan antara pembicaraan natural mengenai “ada” dan

pembicaraan filosofis mengenainya. Terlepas dari itu, kita tak dapat menghindar

dari kata “ada” dan turunan-turunan-nya, sejauh kita ada-di-dunia, sejauh kita

berbicara dalam bahasa. Kini, kata “ada” kehilangan cangkangnya yang polos.

Umumnya, kita merujuk asal-muasal pembicaraan mengenai ada sebagai

suatu persoalan filosofis kepada Aristoteles. Maka, mari kita melihat sekilas, dalam

sejarah filsafat, bagaimana para filsuf tersebut membicarakan “ada” sebagai suatu

persoalan filosofis. Metafisika adalah nama yang diberikan kepada kumpulan

tulisan Aristoteles. Jika seseorang membaca tulisan-tulisan Aristoteles, ia akan

segera menyadari bahwa segala yang ditulis atau dibicarakan oleh Aristoteles

merupakan suatu kesatuan diskursus problem filosofis. Karenanya, persoalan

mengenai “ada” yang merupakan kajian utama Metafisika sebagai suatu diskursus

yang membicarakan ada sebagai ada, secara prinsip telah dibahas dalam teks-teks

logika Aristoteles, yaitu Organon: mulai dari Categories hingga Posterior

Analytics. Aristoteles, dalam Metafisika, tepat sebelum menentukan objek kajian

dari metafisika, mempersoalkan bagaimana kata “ada” diterapkan kepada banyak

hal. Persisnya, terkait dengan kategori-kategori yang telah ia rumuskan dalam

Organon.

Maka, problem filosofis Aristotelian terkait “ada” ialah bagaimana, setelah

ia menemukan kategori-kategori logis yang ia gunakan untuk menggolongkan,

mengelompok-kan, menyatukan dan membedakan segala hal yang dapat

dibicarakan, kemudian merumuskan suatu sains yang mengkaji penerapan kata

“ada” pada segala sesuatu tersebut. Ini adalah gambaran umum dari teks-teks

Aristoteles yang kita dapati terkait dengan persoalan ini. Bagaimana “ada” dapat

disifatkan kepada substansi, aksiden, materi, forma, dan Sembilan kategori

Aristoteles secara keseluruhan?

Benar bahwa istilah Metafisika memang dikaitkan dengan teks atau

kumpulan teks Aristoteles, dengan catatan khusus. Istilah ini adalah istilah yang

Page 21: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

7

diberikan secara post-datum; Aristoteles sendiri bukanlah orang yang mengusulkan

atau memberikan nama tersebut. Ini adalah nama yang diberikan oleh Andronikus

dari Rhodes. Dengan demikian, Metafisika pada dasarnya adalah istilah yang tidak

meniscayakan bahwa sebelum Aristoteles menulis atau mengajarkan teks tersebut,

sama sekali tidak ada kajian mengenai ada secara filosofis. Filsafat, dan utamanya

filsafat Yunani umumnya dikatakan diawali dari Thales menyiratkan bahwa asal-

muasal spekulasi filosofis adalah pertanyaan mengenai apa yang membentuk alam

semesta, atau kenyataan.

Thales, Heraklitos, Demokritos, Anaximander, Anaximenes, dan filsuf Pre-

Sokratik lainnya mencoba merenung-kan mengenai apa sebenarnya sesuatu yang

menyusun alam semesta ini. Bukankah, dengan sedikit penyesuaian istilah. Kita

dapat menyatakan bahwa pada hakikatnya mereka sedang merenungkan mengenai

“Apa asal-muasal dari segala sesuatu yang ada?” Air, api, udara, cinta, kontradiksi,

dan lainnya ialah persoalan yang dalam artian ini, berdekatan dengan rumusan

metafisika sebagai kajian atas “ada”. Sama halnya dengan Platon, bukankah

teorinya mengenai Dunia Forma merupakan pernyataan tersirat bahwa segala

sesuatu yang ada pada hakikatnya tidak dapat disematkan pada alam materi, bahwa

dunia forma-lah yang merupakan sesuatu yang menyusun kenyataan pada

pemahaman yang hakiki? Platon pun menggeluti persoalan Ada dalam caranya

sendiri.

Para filsuf Islam secara khusus melihat metafisika bukan hanya sebagai

suatu sains. Kecenderungan teologis mereka mengantarkan mereka pada spekulasi

filosofis mengenai metafisika; filsafat pertama, karenanya tempat istimewa dalam

filsafat islam, bukan hanya karena ia mengkaji persoalan paling mendasar dari

kenyataan. Tetapi huga karena mereka telah mengetahui dari wahyu bahwa Tuhan

adalah apa yang menciptakan kenyataan. Dalam filsafat Islam, karenanya,

persoalan mendasar mengenai kenyataan terkait langsung dengan persoalan Tuhan

sebagai pencipta kenyataan. Upaya al-Kindi menulis Falsafah al-Ula merupakan

contoh representatif dari kecenderungan spekulasi, dengan corak teologis khusus

yang mencirikan filsafat islam secara umum. Farabi dan Ibn Sina melanjutkan

upaya Kindi dalam membicarakan metafisika. Kindi, sebagai pelopor filsafat Islam,

Page 22: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

8

tentu saja pertama-tama harus membenahi hal-hal teknis-linguistik seperti

bagaimana menerjemahkan istilah-istilah Aristoteles dari bahasa Yunani yang lahir

dari horizon logis-filosofis tertentu, untuk kemudian mencari padanannya, atau

setidaknya menyesuaikan penggunaannya dalam bahasa Arab. Maka kita

mendapati Kindi menjelaskan apa itu metafisika, sembari melihat keterkaitan atau

kesesuaian kajian ini dengan wahyu, dan mencari istilah yang sesuai dengan apa

yang dalam teks Metafisika Aristoteles dinamai “ada.”

Filsuf Islam pertama yang mengkaji metafisika dalam cakupan menyeluruh

adalah Ibn Sina. Pada dasarnya, perbedaan antara pendekatan Farabi dan Ibn Sina

dalam kajian mereka atas metafisika adalah bahwa yang satu lebih lengkap dan

sistematis dari yang lain. Titik keberangkatan spekulasi keduanya sama: teks

Metafisika Aristoteles. Persoalan yang mereka bahas pun, pada gilirannya tercakup

dalam dua hal besar: Bagaimana menjelaskan pernyataan Aristoteles bahwa pada

setiap sesuatu, kita mendapati dua hal: “bahwa ia ada” dan “bahwa ia adalah

sesuatu”. Persoalan ini kemudian diikuti oleh pemberian istilah teknis yang

nantinya akan dikenal sebagai “wujud” dan “mahiyyah” dari sesuatu. Perbedaan

lain antara Farabi dan Ibn Sina terkait dengan seberapa eksplisit mereka mengaitkan

persoalan “ada” dengan persoalan teologis mengenai Tuhan. Farabi, karena

kebutuhan filosofis pada zaman itu, memusatkan diri lebih kepada aspek-aspek

logis dan linguistic dari persoalan “ada”, sementara Ibn Sina, dengan warisan

formulasi dari Farabi, melanjutkan projek spekulasi metafisis dalam sejarah filsafat

Islam dengan lebih menyeluruh. Jika disebutkan, setidaknya terdapat beberapa

persoalan yang dibahas oleh keduanya, dengan istilah: ‘arid, wujud, mahiyyah dan

tasykik.

Persoalan “ada” dalam filsafat islam dapat digambarkan sebagai berikut: ini

merupakan suatu persoalan yang dihimpun dari berbagai sumber; yang paling

utama adalah Metafisika Aristoteles terkait bagaimana menjelaskan kenyataan

bahwa terdapat dua hal atau dua sisi dari sesuatu; dan kedua, bagaimana kata “ada”

disifatkan kepada banyak hal. Ciri kedua dari posisi filosofis, baik tersirat maupun

tersurat, mengenai keterkaitan, baik langsung ataupun tak langsung, dengan aspek-

aspek teologis dalam Islam. Kita bahkan dapat melihat bagaimana konsepsi “ada”

Page 23: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

9

bagi filsuf Islam, untuk dibandingkan dengan posisi teologis mazhab-mazhab

kalam dalam Islam. Bahwa sejarah filsafat dan kalam dalam Islam tidak dapat

dipisahkan merupakan sebuah truisme. Kecenderungan untuk mengaitkan studi

metafisik dengan “entitas” metafisis yakni Tuhan, juga didorong lebih jauh oleh

teks-teks Neoplatonis yang juga menjadi ilham bagi spekulasi para filsuf Islam.

Sampai di sini, kita telah melihat bagaimana persoalan “ada” dijadikan sebagai

suatu problem filosofis, dimulai dari filsafat Yunani, via Neoplatonisme, ke filsafat

Islam. Bahwa persoalan mengenai “ada” merupakan persoalan yang menarik bagi

para filsuf kini sudah jelas. Tetapi, apakah persoalan mengenai “ada” benar-benar

sepenting itu? Mengapa persoalan mengenai “ada” menjadi begitu penting dalam

filsafat? Beberapa filsuf telah mengupayakan argumentasi untuk mendukung

pentingnya pembicaraan dan pemahaman atas “ada” bagi filsafat. Tetapi, apakah

“ada” dan persoalannya hanya penting bagi filsafat?

Objek “kajian” dari tasawuf, atau mistisisme dalam Islam, ialah Tuhan.

Tujuan dari tasawuf sendiri adalah kedekatan, atau bahkan, kesatuan dengan Tuhan,

dengan berbagai penafsiran atas istilah ini. Dari sini, kita mendapati satu benang

merah yang menyatukan spekulasi dalam peradaban Islam, dalam berbagai

bentuknya: filsafat Islam, kalam, tasawuf. Kesemuanya, dalam satu atau lain cara,

terkait dengan pemikiran atas Tuhan sebagai prinsip dan kenyataan. Pada filsafat

Islam, kita mendapati keterkaitan ini dengan spekulasi mengenai “ada”, mengenai

dasar dari kenyataan. Pada teologi, kita mungkin tidak mendapati suatu bahasan

spesifik mengenai metafisika dalam artian Aristoteliannya. Tetapi, rujukan silang

antara figure filsafat Islam dan Kalam menghasilkan keterkaitan-keterkaitan yang

berputar di sekitar konsepsi Tuhan, sebagai prinsip dari kenyataan, sebagai objek

kajian serta spekulasi. Hubungan antara kedua disiplin ini terkait konsepsi mereka

mengenai Tuhan masih perlu ditentukan.

Berbeda dengan Kalam, yang secara umum, setidaknya dalam pembacaan

kami, tidak menjadikan “ada” sebagai suatu istilah teknis, Tasawuf menggunakan

istilah ini sebagai padaan dari kata Tuhan, Allah. Merupakan kesepakatan bersama

bahwa istilah wujud begitu dekat dengan tasawuf dalam sejarah Islam. Sampai-

sampai, suatu pembicaraan filosofis mengenai wujud hamper selalu dirujuk pada

Page 24: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

10

asal-muasal tasawufnya. Hal ini amat jelas terlihat, khususnya pada kajian atas

Mulla Sadra. Di satu sisi, ia disebut sebagai seorang filsuf besar, di sisi lain ia

disebut sebagai seorang sufi besar. Adalah Mulla Sadra yang mengkaji persoalan

wujud, atau “ada” ini, dalam kemencakupan seperti Ibn Sina, dan dengan nada-nada

ekstatil seperti Ibn ‘Arabi. Dengan kelebihan bahwa Sadra beserta gaya bahasa dan

penulisannya, jauh lebih jelas dibaca dan dipahami dibandingkan dengan keduanya.

Ini adalah hal yang disepakati oleh para pengkaji filsafat Islam.

Pada Mulla Sadra, kita mendapati keterkaitan antara, setidaknya tiga

disiplin ilmu yang kita bicarakan di atas: filsafat, kalam, tasawuf. Kita hanya perlu

mengingat bahwa Sadra diasosiasikan dengan kecenderungan sintesis besar antara

tiga disiplin tersebut. Sadra tentunya merupakan suatu kasus yang unik dalam

sejarah filsafat Islam. Filsafat Islam dinyatakan mandek, dan bahkan mati, paska

serangan Ghazzali terhadap filsafat, persisnya filsafat sebagaimana terdapat dalam

karya-karya filosofis Ibn Sina; sementara, upaya Ibn Rusyd untuk membangkitkan

kembali ilmu-ilmu filsafat, persisnya, filsafat dalam semangat Aristotelianisme,

tidak begitu berhasil di wilayah Islam; suatu kenyataan yang berbeda dengan

pengaruhnya dalam pembentukan gerakan rasionalis, Averroisme Latin di Barat.

Dengan begitu, Sadra tidak masuk dalam bingkai sejarah ini. Gerakan spekulasi

filosofis paska Ibn Rusyd direduksi dalam buku-buku sebagai gerakan non-

filosofis, atau setidaknya quasi-filosofis, untuk tidak mengatakan insignifikan.

Di sisi lain, para peneliti yang sadar atas kontribusi besar Mulla Sadra bagi

khazanah intelektual Islam mencirikan Sadra sebagai seorang mistik murni dan

penganut esoterisme. Suatu label yang, ironisnya, memperkuat praduga bahwa

Mulla Sadra memiliki posisi insignifikan dalam khazanah spekulasi filosofis

sejarah Islam. Fazlur Rahman adalah salah seorang peneliti yang mempelopori

kajian atas Sadra, dan melihatnya dalam kerangka filosofis: analitik-demonstratif,

sebagai lawan dari mistisisme-esoterik. Dalam penelitian ini pulalah penelitian ini

ditulis.

Penelitian tentang Mulla Sadra, hingga saat ini, masih berkutat pada aspek-

aspek sufistik, esoterik, dan mistiknya; sebagaimana ditulis oleh Fazlur Rahman

dalam pengantar pada bukunya, The Philosophy of Mulla Sadra. Kekurangan dari

Page 25: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

11

model penelitian macam ini adalah mempersempit pemikiran Mulla Sadra;

khususnya, mengabaikan sumbangsih pemikiran filosofis Sadra yang lebih koheren

bagi diskursus filsafat kontemporer. Pembatasan pada aspek sufistik-intuitif –

sebagai yang berbeda dengan pendekatan filosofis-demonstratif – ini, juga

bertindak abai terhadap pernyataan Sadra sendiri mengenai posisi intelektualnya

dalam lanskap pemikiran islam secara umum. Sejauh penulis ketahui, karya yang

membahas pemikiran Sadra secara analitik-demonstratif masih dapat dihitung jari,

tentu saja, karya Fazlur Rahman kami kira masih menjadi rujukan yang paling

representatif dalam upaya ini. Fazlur Rahman menyatakan sebagai berikut:

“Tetapi kebanyakan sarjanawan terkemuka dalam kegiatan ini, karena

kecenderungan spiritual bawaan mereka, telah diarahkan untuk menekankan

sisi sufi dan esoteris dari literatur ini, dengan mengorbankan, Saya percaya,

pusat intelektual dan filosofisnya, yang memiliki nilai serta daya tarik yang

besar bagi pelajar filsafat modern.”1

Fazlur Rahman menulis karya ini pada tahun 1975, namun, apa yang ia

nyatakan kami kira masih sesuai untuk menggambarkan kenyataan tersebut,

khususnya, sebagaimana kami amati, dalam khazanah filsafat Islam di Indonesia.

Tentu saja setelah karya Fazlur Rahman, yang ditujukan untuk “menjadi pendorong

bagi penelitian filosofis yang hingga hari ini masih amat sedikit dijelajahi namun

begitu kaya dalam pemikiran Islam.” Kita dapat memberi contoh beberapa karya

mengenai pemikiran Mulla Sadra yang diselesaikan dengan apik, seperti karya

Sajjad A. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, karya Muhamad Kamal, Mulla

Sadra’s Transcendent Theosophy, Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic

Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect and Intuition serta pengantar yang

brilian dari Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din al-Shirazi and His Transcendent

Theosophy. Namun, penulis masih meyakini bahwa dari sekian karya yang telah

ditulis setelah Philosophy of Mulla Sadra Fazlur Rahman, masih belum ada yang

dapat disebut melampaui cakupan analitik dan ekspositoris darinya. Itulah

permasalahan pertama yang kita hadapi dan kami angkat dalam penelitian ini.

1 “But most leading scholars in this activity, have, through their own spiritual proclivities,

been led to emphasize the Sufi and esoteric side of this literature at the cost, I believe, of

its purely intellectual and philosophical hard core, which is of immense value and interest

to the modern student of philosophy.” Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New

York: SUNY Press, 1975) preface, h. vii.

Page 26: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

12

Sepanjang pengetahuan penulis, pembahasan mengenai Mulla Sadra dan

filsafatnya selalu didasarkan pada kitab Asfar. Sebagaimana yang dinyatakan

Fazlur Rahman, hingga ia menyelesaikan tulisannya tentang filsafat Sadra,

terjemahan atas kitab al-Masha’ir yang telah ada ialah terjemahan Henry Corbin,

dengan judul Prancis ‘Le livre des Penetration Metaphysiques’. Signifikansi karya

ini terbukti sendiri dengan penerjemahan atasnya oleh Seyyed Hossein Nasr, dan

sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, ini merupakan salah satu karya

Sadra yang paling dewasa, dan karenanya secara implisit, dapat disebut sebagai

buah dari pemikirannya yang paling matang dan sistematis. Atas dasar itu, ditambah

dengan kelangkaan pembahasan atas kitab ini, penulis menjadikan kitab ini menjadi

rujukan utama dalam penelitian ini. Jumlah halaman yang lebih ringkas dan

pemaparan Sadra yang lebih padat mengenai metafisika eksistensialnya merupakan

alasan utama lainnya.

“Hati-hati mengkhayalkan dengan kecerdasan menyim-pang anda bahwa

tujuan-tujuan dari para gnostik agung (y.i., seperti Ibn ‘Arabi) itu kosong dari

daya demonstratif dan semata-mata pendapat-pendapat iseng serta citra-citra

puitis. Jauh dari hal ini: ketidaksesuaian (yang nampak) dari pernyataan-

pernyataan mereka dengan bukti-bukti serta asas-asas demonstratif ...

disebabkan oleh pandangan dangkal dari para filsuf yang mempelajari mereka,

serta kurangnya kesadaran serta pemahaman yang sesuai atas asas-asas

demonstratif tersebut.”2

Pernyataan Sadra ini menjadi dasar bagi pemaparan-pemaparan pemikiran

filosofisnya yang menggunakan suatu cara demonstratif dan logis. Dalam karya-

karyanya, terutama Asfar dan Masha’ir, Sadra menggunakan metode demonstratif

dengan pemilihan bahasa yang padat dan jelas. Mengikuti teknik tersebut, penulis,

dalam penelitian ini akan berupaya menunjukkan bahwa Sadra tidak hanya sedang

menulis suatu racauan ekstatik ala sufi yang tak koheren dan logis secara

tatabahasa. Pemaparan metafisikanya atas eksistensi (wujud), yang dalam

penelitian ini selalu merujuk kepada kitab al-Mashair (bagian pertama),

menggunakan metode demonstratif bak karya-karya dalam korpus Aristotelian.

2 “Beware of imagining by your perverted intelligence that the objectives of these great gnostics

(i.e., like Ibn ‘Arabi) – are devoid of demonstrative force and are mere conjectural frivolities and

poetic images. Far it be from this: The (apparent) non-conformity of their statements with correct

demonstrative proofs and principles ... is due to the shortsightedness of the philosophers who study

them and their lack of proper awareness and comprehension of those demonstrative principles.”

Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New York: SUNY Press, 1975) h. 6.

Page 27: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

13

Di tahun 2014, Kitab al-Masha’ir telah berhasil diterbitkan. Ini adalah salah

satu bukti bahwa penelitian mengenai pemikiran Mulla Sadra terus berlanjut dan

terus meningkat kualitasnya. Kitab al-Mashair sendiri merupakan salah satu kitab

Mulla Sadra yang paling banyak dibaca dan beredar di lingkaran pengkajinya. Ini

dikarenakan Mashair merupakan ringkasan padat atas metafisika sekaligus teologi

eksistensialis Sadra. Al-Masha’ir merupakan salah satu dari karya Sadra paling

dewasa dan mutakhir; di dalamnya Sadra membahas dua isu: ontologi dan teologi.

Kitab ini diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr, yang lahir dari pertemuan

antara Nasr dan Henry Corbin; penerjemahan ini sendiri dilakukan karena belum

tersedianya terjemahan inggris atas karya Mulla Sadra satu ini. Pertemuan Nasr dan

Ibrahim Kalin lah yang memprakarsai penerbitan terjemahan kitab ini dalam bahasa

Inggris.3

B. Batasan & Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah ditulis pada latar belakang,

yakni, bahwa persoalan mengenai “ada” merupakan persoalan yang begitu penting

dalam filsafat, mulai dari Aristoteles hingga para filsuf Islam; bahwa Mulla Sadra

merupakan salah satu filsuf Islam yang hadir setelah filsafat Islam – persisnya,

dalam bentuk peripatetisme Ibn Sina – telah mati. Dan, Mulla Sadra, yang

merupakan salah satu tokoh terpenting dalam filsafat Islam dikenal sebagai filsuf

yang merumuskan persoalan “ada” dengan keketatan dan kerumitan filosofis; hal

ini semata sudah dapat dijadikan sebagai pembenaran atas penelitian ini. Dari

beberapa persoalan yang telah disinggung, disebutkan baik secara tersirat maupun

tersirat, maka penelitian ini akan dipusatkan kepada pembahasan mengenai

metafisika eksistensial Mulla Sadra, dengan mengkhususkan pula pada Kitab al-

Masha’ir. Pembahasan-pembahasan terkait lainnya akan dibahas seperlunya sejauh

ia relevan bagi permasalahan utama yang dirumuskan dalam penelitian ini.

2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini, karenanya adalah:

3 Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetration: Kitab al-Masha’ir (Utah: Brigham Young

University Press, 2014) h. xxxi.

Page 28: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

14

i. Bagaimana persoalan mengenai “ada” (eksistensi) dirumuskan dari

Aristoteles hingga filsafat Islam?

ii. Bagaimana Mulla Sadra merumuskan metafisika eksistensial, dalam latar

belakang filosofis persoalan “ada” (eksistensi)?

iii. Bagaimana rumusan metafisika eksistensial ini dalam Kitab al-Masha’ir?

C. Tujuan & Manfaat Penelitian

Berdasarkan Batasan dan Rumusan Masalah di atas, penelitian ini memiliki

beberapa tujuan, yaitu:

i. Melacak persoalan “ada” (eksistensi) dan anasir-anasirnya dari asal-muasal

Aristotelian ke filsafat Islam

ii. Menempatkan rumusan metafisika eksistensial Mulla Sadra dalam kerangka

persoalan metafisis dan filosofis yang telah dilacak dan dijabarkan.

iii. Memperjelas posisi metafisika eksistensial Mulla Sadra dengan merujuk

kepada poin-poin dalam teks al-Masha’ir.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini di antaranya, Pertama, manfaat

teoretis, yaitu menjadi suatu prakarsa yang masih sedikit ditemui dalam mengkaji

kitab al-Masha’ir dari Sadra, menyoroti gagasan metafisika Sadra yang dirumuskan

bukan dalam kitab al-Asfar, tetapi dari kitab al-Masha’ir, yang sebagaimana telah

dinyatakan, karyanya yang lebih akhir. Penelitian ini diharapkan menjadi awal bagi

penelitian lebih lanjut dan menyeluruh atas kitab yang baru diterjemahkan ke

bahasa inggris pada tahun 2014 ini; dan mungkin menjadi awal dari

penerjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Kedua, manfaat praktis dari suatu kajian metafisis macam ini tentunya berkaitan

dengan pengalaman intelektual-spiritual pribadi dari pihak pembaca. Gagasan

metafisika Sadra, dan filsafat Islam pada umumnya selalu memiliki tujuan

intelektual-spiritual, di zaman di mana pertanyaan mengenai kebenaran, ketuhanan,

keimanan dan lainnya dipertanyakan, pemahaman mengenai konsepsi metafisis,

ontologis dan teologis atas dunia dan kehidupan kiranya dapat membantu kita untuk

menghidupi dunia yang di tiap-tiap pojoknya selalu dihantui krisis eksistensial

tentang makna.

Page 29: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

15

D. Tinjauan Pustaka

Penulis menemukan beberapa penelitian tentang Sadra dan filsafatnya,

misalnya disertasi dari Syaifan Nur yang kemudian diterbitkan menjadi buku,

berjudul Filsafat Hikmah Mulla Sadra. Ini merupakan suatu karya yang membahas

metafisika eksistensi (wujud) Sadra secara mendalam dengan rujukan yang

otoritatif; adapun, penelitian ini masih dipusatkan pada kitab Asfar dan, meskipun

telah membahas aspek-aspek dari metafisika eksistensial ini, masih memiliki

kekurangan dalam hal tiadanya pembahasan mengenai metafisika esensialis yang

merupakan posisi yang darinya Sadra berangkat untuk kemudian dikritik habis.

Kedua, Skripsi dari Asep Hidayatullah berjudul Keesaan dan Keragaman

Wujud dalam Pandangan Mulla Sadra.4 Skripsi ini hanya membahas satu konsep

Mulla Sadra, yaitu tashkik al-wujud, dan sayangnya sama sekali tidak

menggunakan rujukan primer dari Mulla Sadra, baik kitab al-Asfar, al-Masha’ir

maupun yang lainnya. Pembahasan mengenai filsafat Mulla Sadra masih

merupakan pembahasan umum yang diambil dari sumber sekunder yang mengulas

filsafat Mulla Sadra.

Kemudian, skripsi dari Andi Muhammad Guntur yang berjudul Pengaruh

Pemikiran Mulla Sadra Terhadap Perkembangan Filsafat Islam Kontemporer.5

Sebagaimana skripsi sebelumnya, skripsi ini masih menggambarkan filsafat Sadra

dalam cakupan yang amat umum, akibatnya, kecanggihan dari sistem filsafat

eksistensial Mulla sadra hanya disinggung seadanya tanpa ada pemaparan yang

rinci. Meskipun skripsi ini menggunakan rujukan primer, yaitu Hikmah al-Arsyi’ah

serta fragmen dari al-Asfar, ia tidak memaparkan filsafat Sadra dengan cukup.

Terdapat suatu tulisan dalam Jurnal berjudul The Philosophy of Mulla Sadra:

Being a Summary of His Book al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-

Arba’ah. Ini merupakan suatu tulisan yang padat dan jelas, dan sesuai dengan

subjudulnya, ini merupakan ringkasan dari karya Sadra, kitab al-Asfar. Namun,

tulisan ini sebenarnya, penulis yakin, merupakan replikasi dari pernyataan-

4 Asep Hidayatullah, “Keesaan dan Keragaman Wujud dalam Pandangan Mulla Sadra”. (Skripsi,

Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, 2013). 5 Andi Muhammad Guntur, “Pengaruh Pemikiran Mulla Shadra terhadap Perkembangan Filsafat

Islam Kontemporer”. (Skripsi, Prodi Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Alauddin, 2015).

Page 30: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

16

pernyataan Fazlur Rahman dalam bukunya, Philosophy of Mulla Sadra yang telah

dijelaskan sebelumnya. Dengan kata lain, alih-alih merupakan rujukan langsung

kepada Mulla Sadra, Hamid Fahmy Zarkasyi sebenarnya sedang meminjam

kerangka buku Fazlur Rahman - dan bahkan kata-katanya di dalam buku tersebut -

dalam menulis esai ini. Pun, persoalannya masih sama, kurangnya rujukan kepada

al-Mashair.

Demikian adalah karya-karya yang penulis temui berasal dari Indonesia yang

membahas mengenai Filsafat Mulla Sadra. Adapun, penelitian ini akan

menggunakan karya primer dari Mulla Sadra, yang telah dibahas sebelumnya, yaitu

Kitab al-Masha’ir yang diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr menjadi

Metaphysical Penetrations; Untuk rujukan primer lainnya adalah Kitab al-Arsyiah

yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Wisdom of the Throne oleh

James Winston Morris; karya sekunder yang utama adalah karya Fazlur Rahman,

Philosophy of Mulla Sadra, kemudian karya Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s

Transcendent Philosophy, Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, dan

karya Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka (library research)

berdasarkan dari watak objek yang diteliti, yaitu metafisika eksistensial Mulla

Sadra.

1. Pengumpulan Data

Kajian Kepustakaan secara konkret adalah mengumpulkan data dari sumber-

sumber tertulis seperti buku, jurnal, baik versi fisik di perpustakaan, maupun versi

daring dari kanal jurnal seperti JSTOR. Adapun data tersebut digolongkan secara

umum menjadi dua jenis, yaitu primer atau rujukan utama kepada karya dari penulis

yang diteliti, atau karya otoritatif mengenai penulis, dalam hal ini, Mulla Sadra sang

filsuf, yang diakui absah secara internasional. Menurut pembagian tersebut, maka

berikut ini adalah daftar dari data primer dan sekunder yang penulis gunakan:

a. Data Primer

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, rujukan utama dari penelitian

ini, pertama adalah karya Mulla Sadra dari periodenya yang paling matang, yaitu

Page 31: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

17

Kitab al-Mashair, yang telah diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr dan diberi

catatan dan ulasan oleh Ibrahim Kalin, keduanya merupakan pemikir representatif

yang mengkaji Sadra secara mendalam. Teks ini merupakan teks yang ditulis Mulla

Sadra khusus mengenai metafisikanya, penelitian ini menggunakan teks ini sebagai

data primer.

b. Data Sekunder

Pertama, data-data sekunder yang ada ialah karya-karya Mulla Sadra yang lain

(yang juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris), semisal Kitab al-Arsyiah

yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh James Winston Morris menjadi

Wisdom of the Throne. Kemudian adalah karya yang sudah berapa kali disebut

sebelumnya, yaitu karya Fazlur Rahman, Philosophy of Mulla Sadra, yang,

menurut penulis, merupakan salah satu karya cemerlang mengenai bangunan

metafisika Sadra dalam kerangka analitis. Ada pula karya Seyyed Hossein Nasr,

Sadr al-Din al Shirazy and His Transcendent Theosophy yang merupakan

pengantar ringan namun otoritatif kepada pemikiran Sadra dan filsafatnya yang

disebut sebagai Hikmah Muta’aliyyah. Serta Karya dari Muhammad Kamal, Mulla

Sadra and His Transcendent Philosophy, dan karya Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra

and Metaphysics

Selain karya-karya lain dari Sadra, banyak. Di teks yang penulis dapati dalam

jurnal-jurnal filsafat Islam yang membahas mengenai filsafat Mulla Sadra. Terdapat

seorang penulis yang membahas Mulla Sadra secara kurang lebih lengkap dalam

beberapa esainya dalam jurnal, yaitu Muhammad Abdul Haq, judulnya adalah:

Mulla Sadra’s Concept of Being, Mulla Sadra’s Concept of Man, Mulla Sadra’s

Concept of Substantial Motion, Psychology of Mulla Sadra, An Aspect of

Metaphysics of Mulla Sadra, Metaphysics of Mulla Sadra II. Tulisan Muhammad

Abdul Haq ini amat membantu penulis memahami secara umum sisi-sisi filsafat

Mulla Sadra yang di buku-buku yang ada dibahas secara panjang lebar dan agak

rumit. Kemudian juga terdapat jurnal-jurnal lain yang penulis gunakan untuk

memperjelas poin-poin dari pernyataan yang kami nyatakan dalam penelitian ini.

Page 32: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

18

2. Analisis Data

Berdasarkan watak dari penelitian ini, maka pendekatan yang dipakai adalah

analisis tekstual. Yaitu pembacaan atas data-data baik primer maupun sekunder.

Penelitian filsafat terkait dengan teks-teks, karenanya, penelitian ini menggunakan

metode analisis atas teks-teks yang telah disebutkan di atas sebagai data-data. Kami

menggunakan Kitab al-Masha’ir atau Metaphysical Penetrations yang ditulis oleh

Mulla Sadra, tepatnya yang telah diterbitkan dalam terjemahan paralel Arab-Inggris

oleh Seyyed Hossein Nasr dan diberi pengantar oleh Ibrahim Kalin, yang keduanya

merupakan filsuf yang memiliki otoritas akademis dalam diskursus Sadra pada

masa ini. Dengan pembacaan menyeluruh atas teks tersebut didukung dengan data-

data sekunder, baik dari karya Mulla Sadra sendiri maupun teks-teks lain seperti

terbitan jurnal daring yang kami peroleh utamanya via JSTOR dan LibGen,

penelitian ini dilakukan.

F. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini dibagi menjadi lima rangkaian Bab yang secara bertahap

melangkah dari aspek umum hingga mengerucut pada kesimpulan logis dari

rumusan masalah yang telah dibahas, adapun masing-masing babnya adalah

sebagai berikut:

1. BAB I: PENDAHULUAN, berisi latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian

dan sistematika pembahasan. Bab ini merupakan kerangka awal dari

penelitian ini.

2. BAB II: EKSISTENSI MULLA SADRA, menjelaskan riwayat historis,

sosiologis, intelektual dan filosofis dari Mulla sadra yang akan menjadi

landasan dan penguat penjelasan pada bab-bab berikutnya.

3. BAB III: GENEALOGI METAFISIKA EKSISTENSI-AL, setelah

pembahasan mengenai riwayat hidup sebagai latar belakang historis Mulla

Sadra, maka bab ini akan membahas mengenai bagaimana rumusan

metafisika eksistensial Sadra dibentuk dari teks-teks filsuf terdahulu dengan

mengutamakan, mengikuti Seyyed Hossein Nasr, para filsuf Islam yang

membentuk pemikiran Sadra secara langsung.

Page 33: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

19

4. BAB IV: PRINSIP METAFISIKA EKSISTENSIAL: Jika pada bab

sebelumnya, pemikiran Mulla Sadra, yakni apa yang disebut sebagai

metafisika eksistensial, telah dibahas dari aspek genealogis, yakni melihat

bagaimana gagasan-gagasan metafisika eksistensial Sadra dikembangkan

dari gagasan-gagasan yang ada di hadapan Mulla Sadra pada waktu itu, dan

dengan kata lain, melihat aspek metafisika eksistensial ini dari filsuf-filsuf

selain Mulla Sadra; maka di sini kita akan melihat bagaimana rumusan

metafisika eksistensial itu terdapat dalam Masha’ir, teks utama yang

menjadi bahan pokok dari penelitian ini.

5. BAB V: PENUTUP; Bab ini berisi tiga sub-bab, yakni pertama, kesimpulan

dari keseluruhan penelitian ini dalam tiga poin; kedua, tinjauan kritis atas

hasil pemahaman penulis, dan yang terakhir, saran untuk penelitian

selanjutnya.

Page 34: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

20

BAB II: EKSISTENSI MULLA SADRA

A. Potret Intelektual-Historis

Mulla Sadra mencerminkan pencapaian puncak dari satu milenium kehidupan

dan perkembangan intelektual Islam. Ia memahami ajaran-ajaran yang ada

mendahului eksistensinya, menciptakan sintesis atasnya; suatu sintesis, perpaduan

yang didasarkan atas suatu interpretasi, penafsiran baru atas kebenaran-kebenaran

tradisional.6 Darimana, apa saja, dan seperti apa ajaran-ajaran yang oleh Sadra

kemudian dirumuskan menjadi Teosofi Transenden ini? Dengan mengikuti skema

Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya, bab ini akan menerangkan latar belakang

intelektual yang darinya Sadra mendapatkan batu-bata konseptual untuk bangunan

filosofisnya.

Filsafat Sadra merupakan puncak dari suatu kehidupan intelektual bernama

Mazhab Isfahan pada periode Safawi.7 Untuk mengetahui pemikirannya, tentu kita

terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana dan seperti apa mazhab ini. Laiknya

kita menakar sebuah pohon dari buahnya, kita dapat, secara retrospektif melihat

bagaimana buah ini lahir dari pohon tersebut. Dengan meneliti dan mengamati

pohon tersebut, kita akan mengetahui lebih banyak mengenai buah tersebut.

Begitulah kita akan melihat bagaimana pohon tersebut, dalam hal ini, tradisi-tradisi

yang melahirkan Sadra dan pemikirannya, membentuk pemikiran Sadra. Sebelum

membahas bagaimana pengaruh langsung dari Mazhab Isfahan atas pemikiran

Sadra, kita akan melihat bagaimana tradisi panjang dari pemikiran Islam merupakan

batu-bata yang menyusun jalanan ini, karena Sadra bukan hanya puncak dari suatu

kehidupan bernama Mazhab Isfahan, tetapi, ia adalah puncak dari tradisi-tradisi

Islam: filosofis, sufistik, teologis dari peradaban Islam secara umum.8

6 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life and

Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 27-28. 7 Seyyed Hossein Nasr, ‘Sadr al-Din al Shirazi (Mulla Sadra)’ dalam MM Sharif ... h 932 8 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life and

Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 19.

Page 35: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

21

Nasr melacak asal-usul sintesis Sadra dari empat mazhab klasik Islam selama

periode paska-Mongol, yaitu mazhab Peripatetik (mashsha’i), Iluminasionis

(ishraqi), gnostik (‘irfani) dan teologis (kalam). Keempat mazhab inilah yang

mendasari sintesis besar yang dilakukan oleh Mulla sadra. Singkatnya, ini

merupakan tinjauan singkat atas kehidupan intelektual Islam yang merentang dari

abad 7/13 hingga abad 10/16. Ironisnya, periode ini jugalah yang merupakan

periode yang hilang dari pandangan orientalis Barat, yang merupakan terra

incognita; di Barat sana, studi atas Sadra dan filsuf lain dinyatakan secara sepihak

mandek, paska terbitnya Tahafut al-Falasifah dari Ghazzali; falsafah Islam disebut

mati kecuali di Andalusia yang berhasil hidup sementara waktu karena pengaruh

Ibn Rusyd.9 Dengan demikian, meneliti rentang periode Islam yang membentuk

pemikiran Sadra sekaligus adalah memaparkan kepada mata publik suatu sejarah

yang sengaja dilupakan dari Islam, suatu masa keemasan falsafah Islam.

Syaifan Nur, dalam tesisnya yang kemudian dibukukan menjadi Filsafat

Hikmah Mulla Sadra, mengikuti strategi Nasr untuk melihat asal-usul sintesisnya

dari empat mazhab di atas.10 Kami kira tidak berlebihan untuk menyebut bahwa

tesis Syaifan Nur tersebut adalah terjemahan tidak resmi dari Bab 1 karya Nasr soal

Sadra.11 Maka di sini kami juga akan mengikuti strategi tersebut, meninjau ulang

empat mazhab tersebut secara singkat untuk mendapatkan gambaran yang lebih

jelas atas sintesis Sadra. Maka, kita dapat melihatnya menjadi empat fase, karena

masing-masing mazhab tersebut mencapai rumusan konseptual puncaknya pada

rentang kronologis yang secara kasar dapat dirunut, yang satu mendahului yang

lain:

1. Peripatetik

Di abad ke 7/13, Nasr al-Din Tusi membangkitkan kembali mazhab Ibn Sina,

yang sebelumnya mendapatkan serangan telak baik dari pihak Sufi maupun

mutakallimun. Semisal, Sana’i dan Rumi dari pihak Sufi mengkritik secara umum

kecenderungan-kecenderungan rasionalistik dari akal manusia, serta upaya para

9 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life and

Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 20-21 10 Syaifan Nur, Filsafat Hikmah Mulla Sadra (Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2012) h. 27. 11 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life

and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 19-28.

Page 36: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

22

filsuf untuk mencapai Pengetahuan Ilahi dengan bantuan silogisme Aristotelian.

Dari pihak mutakallimin kita mendapati Gazzali mengarahkan kritiknya pada topik-

topik terpilih yang dibahas dalam karya-karya Ibn Sina, kritikan yang didasarkan

atas dugaan bahwa apa yang ditulis filsuf Peripatetik berpotensi bertentangan

dengan ajaran-ajaran agama. Ada pula Fakhr al-Din Razi yang memilih karya

terakhir Ibn Sina, al-Isharat wa’l-tanbihat, menganalisis setiap halaman dan hampir

per kata dan per kalimat. Nasir al-Din Tusi kemudian menjawab serangan-serangan

tersebut, khususnya dalam Sharh al-isharat yang ia tulis. Sebuah karya

monumental yang dapat dibandingkan dengan karya-karya Ibn Sina sendiri. Nasir

al-Din Tusi menulis banyak karyanya sendiri, dalam kerangka mazhab Peripatetik

Ibn Sina. Upayanya ini tidaklah sendiri, terdapat tokoh seperti Najm al-Din Dabiran

Katibi, yang semasa dengannya yang juga temannya, ia menulis traktat besar

pemikiran mashsha’i, Hikmat al-’Ayn, ada pula Athir al-Din Abhawi yang menulis

Kitab al-Hidayah. Ada pula murid Nasir al-Din Tusi, Qutb al-Din Shirazi, yang

menulis ensiklopedia filsafat berjilid-jilid, Durrat al-Taj dalam bahasa Persia,

mengikuti model Shifa’ karya Ibn Sina, ada pula muridnya yang lain, Qutb al-Din

Razi yang menulis Muhkamat sebagai jawaban atas komentar Fakhr al-Din Razi

dan Nasir al-Din Tusi atas Isharat.12

Selanjutnya, dari abad 8/14 kemudian, komunitas filsafat terpusat di Shiraz.

Mengikuti Nasr al-Din, Jalal al-Din Dawani menulis suatu karya tentang etika

filosofis dalam bahasa Persia, Akhlaq-i Jalali, yang didasarkan atas karya Tusi,

Akhlaq-i Nasiri. Dari keluarga Dashtaki, lahir beberapa sosok cemerlang, seperti

Sadr al-Din Dashtaki dan Ghiyath al-Din Mansur Dastaki, yang keduanya

memberikan pengaruh besar pada para pemikir Safawi.13

2. Ishraqi

Pengaruh dari Mazhab Ishraqi atas Sadra sudah tidak diragukan lagi, hal ini

akan menjadi lebih jelas pada pembahasan di bab selanjutnya penelitian ini.

Mazhab yang didirikan oleh Syaikh al-Ishraq Shihab al-Din Suhrawardi; kendati

12 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life

and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 21-22 13 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life

and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 22

Page 37: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

23

umur beliau singkat, namun ia telah berhasil mendirikan suatu perspektif intelektual

baru, serta memberikan pengaruh yang begitu besar di peradaban Islam bagian

timur, khususnya Mulla Sadra. Ia telah menciptakan suatu teosofi yang didasarkan

atas iluminasi, yang juga terpengaruh oleh pemikiran filosofis Ibn Sina, membuat

jalan tengah antara pemikiran rasional dan intuisi mistik. Mazhab ini segera

mendapati banyak pengikut serta komentator. Di antaranya adalah Shams al-Din

Shahrazuri, selain sebagai penulis biografi Suhrawardi, ia juga menulis komentar

apik atas karya besarnya, Hikmat al-Ishraq, yang kemudian segera dicontoh oleh

Qutb al-Din Shirazi yang karyanya lebih masyhur. Bahkan Suhrawardi juga

mempengaruhi Nasir al-Din Tusi dalam beberapa hal. Mulla Sadra begitu kenal

akan tradisi mazhab ini dan faktanya telah menulis komentar atas komentar Qutb

al-Din atas Hikmat al-Ishraq.14

3. Irfani

Sosok spiritual besar Islam seperti Ibn Arabi, Sadr al-Din Qunyawi dan

Jalaludin Rumi menandai puncak tradisi irfani dalam dunia Islam, suatu periode

kembalinya pemikiran Islam pada intensitas spiritual. Adapun, pemikiran Ibn Arabi

lah, dari segi doktrin dan forma intelektualnya yang secara besar mempengaruhi

Mulla Sadra. Baik melalui murid langsung Sadra seperti Sadr al-Din Qunyawi,

maupun dari komentator-komentator atas karya dan pemikirannya seperti Sa’d al-

Din Farghani, Mu’ayyid al-Din Jandi, ‘Abd al-Razzaq Kashani, Da’ud Qaysari dan

‘Abd al-Rahman Jami, mazhab ini mengembangkan suatu metafisika yang amat

ketat dan rinci, kita tidak dapat memahami pemikiran Mulla Sadra tanpa terlebih

dahulu memahami metafisika yang dibangun oleh mazhab ini. Mulla Sadra pun

mengutip para penyair Sufi Persia seperti Rumi, Fakhr al-Din ‘Araqi, Sa’d al-Din

Hamuyah, ‘Aziz al-Din Nasafi, Awhad al-Din Kirmani, Mahmud Shabistari dan

Jami serta Hafiz; jelas mereka memiliki pengaruh kepada pemikiran Sadra.15

14 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life

and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 23. 15 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life

and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 23

Page 38: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

24

4. Kalam

Dalam periode ini pula, ilmu kalam, baik di tradisi Sunni maupun Syi’ah

mengalami perkembangan pesat. Di pihak Sunni, terdapat fase kreatif penting

setelah Fakhr al-Din Razi di mana tokoh seperti Qadi ‘Adud al-Din Iji, Sa’d al-Din

Taftazani dan Sayyif Syarif Jurjani menulis karya penting mereka mengenai kalam;

di periode ini pula terbentuk pembukuan kalam yang terus menerus berlangsung

hingga kehadiran Shah Waliullah di abad 12/18. Sementara di pihak Syi’ah, ilmu

kalam dengan bentuk yang sistematis lahir. Pertama dengan ketersediaan karya-

karya guru besar dari abad ke 4/10 seperti Muhammad ibn Ya’qub Kulayni dan Ibn

Babuyah. Adapun, Tajrid karya Nasir al-Din Tusi merupakan karya sistematis

pertama dalam kalam Syi’ah, diikuti oleh muridnya Allamah Hilli dan banyak

sarjanawan lain. Terdapat banyak pula jumlah komentar-komentar atas Tajrid, yang

membentuk garis batas antara teologi dan filsafat, yang juga mengandung aspek

penting dari pemikiran Islam.16

Setelah tinjauan singkat atas empat mazhab tersebut, kini kita akan masuk ke

pembahasan mengenai atmosfer intelektual yang memiliki pengaruh langsung

terhadap perumusan falsafah Sadra. Jika empat mazhab tersebut, yang hidup dalam

rentang ratusan tahun sebelum Mulla Sadra memberikan jalan bagi Sadra untuk

merumuskan Hikmah al-Muttaaliyah-nya, yaitu, menyediakan suatu kultur

diskursif, suatu peradaban yang berfungsi sebagai horizon bagi pemikiran-

pemikiran selanjutnya secara umum, yang menjadi pengaruh langsung bagi Sadra

dapat ditemukan pada bijak besrari generasi pertama periode Safawi. 17 Mereka

menyiapkan jalan lapang bagi upaya sintesis intelektual besar. Kita di sini sedang

membicarakan soal bagaimana kedatangan Dinasti Safawi, Persia secara

kebangsaan menjadikan Syi’ah sebagai keyakinan resminya. Empat mazhab

pemikiran di atas, pada gilirannya, pada taraf umum, memasuki kerangka fikir

Syi’ah sebagai suatu peradaban. Dan dari segi tokoh, beberapa tokoh penting di

periode ini, sesaat sebelum kehadiran Sadra sebagai sosok sintesis, telah berupaya

16 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life

and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 23-24 17 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life

and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 25

Page 39: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

25

untuk melakukan sintesis ini; atau dengan kata lain, menunjukkan betapa serasi

setiap mazhab dan pemikiran tersebut dengan peradaban Syi’ah secara khusus.

Kebangkitan Dinasti Safawi yang menjadi latar dari upaya sintesis Sadra secara

khusus, adalah masa di mana Ismaiiliyah mulai kehilangan pengaruhnya mengikuti

kejatuhan Alamut, sementara Syi’ah Itsna Asyariyah mulai menghasilkan karya-

karya monumentalnya. Tokoh-tokoh dari Syiah Dua Belas ini, seperti Sayyid

Haydar Amuli, yang berupaya menyerasikan Sufisme dan Syi’isme dengan

menunjukkan keserasian esensial antara keduanya menjadikan hal ini sebagai tema

pokok dari karyanya, Jami’ al-Asrar. Beliau juga merupakan komentator atas Fusus

al-Hikam Ibn Arabi. Suatu pencapaian sintesis besar antara Sufisme Sunni

dipadukan dengan perspektif Syi’isme. Di samping peran dari Sayyid Haydar

Amuli, terdapat beberapa mutakallimun Syiah seperti Rajab Bursi dan Ibn Abi

Jumhur Ahsa’i, dengan karyanya, Kitab al-Mufti merupakan interpretasi para

mutakallimun Syi’ah atas Sufisme Ibn Arabi. Terdapat pula Mutakallimun Syi’ah

yang condong kepada mazhab ishraqi dan mashsha’i, dan berupaya untuk

melakukan harmonisasi; seperti Sa’in al-Din ibn Turkah Isfahani, pengarang dari

Tamhid al-Qawa’id, orang pertama yang melakukan sintesis atas ajaran-ajaran Ibn

Sina, Suhrawardi dan Ibn Arabi. Dan jelas, ini merupakan jalan masuk langsung

bagi upaya sintesis besar Sadra.18

Di sini kita dapat melihat bahwa, periode yang merentang dari penjajahan

Mongol hingga pendirian rezim Safawi, kita melihat perkembangan mazhab

intelektual Islam di satu sisi dan upaya sintesis atasnya di sisi lain. Ada tokoh seperti

Dawani yang sekaligus seorang teolog dan filsuf, Sattid Sharif Jurjani yang

sekaligus adalah Sufi dan teolog, ada pula Qutb al-Din Shirazi dan Ibn Turkah yang

begitu fasih dalam mazhab Peripatetik, Iluminasionis dan Sufi. Ini adalah landasan

intelektual-personal bagi upaya Sadra. Adapun, landasan intelektual-institusional

bagi pemikiran Sadra dapat kita rujuk kembali kepada pernyataan sebelumnya,

bahwa Syi’ah menjadi keyakinan resmi negara, yang, konsekuensinya, dipadukan

dengan upaya sintesis dari tokoh teolog Syi’ah sebelumnya, memberikan landasan

18 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life

and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 24

Page 40: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

26

institusional dan sekaligus konstitusional bagi upaya sintesis ini: sarjanawan Syi’ah

dari berbagai tempat datang ke Safawi, Safawi menjadi pusat intelektual dan

menyebabkan ilmu-ilmu relijius tumbuh subur. Ini adalah akar dari apa yang

disebut sebagai renaissans ilmu intelektual Islam.

Di sisi lain, terdapat pertentangan antara ilmu esoterik dan eksoterik mengiringi

renaissans intelektual ini. Sebagaimana rumusan esoterik kesatuan-transenden-ada

(wahdat al-wujud) menjadi satu aspek yang rentan kritik di dunia Sunni, ia juga

mendapat kritik di dunia Syi’i. Akan tetapi, Syi’i berhasil menyelesaikan konflik

permukaan ini dan berhasil memasukkan aspek esoteris teosofis ini ke dalam

madrasah-madrasahnya. Keberhasilan ini, dilihat dari aspek ketokohan, melibatkan

beberapa sosok seperti Mir Damad, Mir Findiriski, Syaikh Baha al-Din ‘Amili dan

Sayyid Ahmad ‘Alawi. Yang beberapa di antaranya merupakan guru langsung bagi

Mulla Sadra, terutama Mir Damad. Mir Muhamamd Baqir Damad, karena ia

dilindungi oleh ayah-mertuanya yang merupakan otoritas relijius, berhasil

menghidupkan kembali filsafat tradisional di Isfahan serta menangkis kritik-kritik

dari otoritas eksoteris yang menyerang aspek esoteris teosofi.

Keberhasilan yang disebabkan oleh faktor personal-institusional inilah yang

membuat Mulla Sadra muda, yang baru datang ke Isfahan, masuk ke dalam suatu

iklim di mana ilmu-ilmu intelektual dapat dikaji bersama dengan ilmu-ilmu relijius,

dan di mana guru-guru besar yang ada merupakan guru di dua cabang ilmu ini.

Isfahan di hari-hari Mulla Sadra, di Shiraz dan di kota-kota besar Persia, mampu

menyediakan suatu pendidikan tradisional di mana hikmat-i ilahi dapat dipelajari

dan dikuasai. Demikianlah potret intelektual-historis, suatu lanskap, pemandangan,

kronologis dan bagan waktu di mana kita melihat bahwa Sadra memang lahir di

waktu yang tepat, dan bahwa Sadra, pemikirannya, falsafahnya, adalah titik puncak

dari kecenderungan yang ada di Isfahan, Persia waktu itu. Ia menarik hingga ke

ujung terjauh kecenderungan sintesis ilmu agama ini, antara esoterik-eksoterik,

antara ilmu naql dan aql, antara mazhab-mazhab yang dulunya dipandang berbeda

satu sama lain.

Page 41: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

27

B. Potret Intelektual-Biografis

1. Prolog

“Informasi faktual mengenai kehidupan Mulla Sadra amat sangat jarang”;19

dengan kalimat ini, Fazlur Rahman mengawali tulisannya tentang falsafah Mulla

Sadra. Memang terdengar ironis bahwa seorang filsuf sekaliber Sadra yang

demikian penting dalam sejarah intelektual Islam kita dapati begitu sedikit

informasi mengenai kehidupan biografisnya. Seorang pemikir yang merupakan

pentolan utama dalam kebangkitan Neoplatonisme dalam persoalan intelektual,

yang oleh Seyyed Hossein Nasr disebut sebagai nama yang paling dikenal di Persia,

Afghanistan, dan India. Sosok historis yang begitu penting di satu sisi, di sisi lain

sejarah mengenai kehidupan, keluarga dan konteks sejarahnya begitu asing.

Namun, ini bukan hal yang aneh bagi mereka yang melibatkan diri dalam kajian

atas sejarah intelektual Islam.20

Sajjad H. Rizvi menjadikan ke(tidak)tersediaan data biografis-historis ini

sebagai suatu permasalahan, dan dengannya ia mengkritik pendekatan-pendekatan

biografer-biografer Sadra sebelumnya. Kendati data yang diperoleh mengenai

kehidupan Sadra begitu sedikit, biografi secara umum mengikuti suatu narasi, suatu

logika, kesatuan biografis yang mengisahkan bagaimana seorang sosok historis

lahir dan berkembang dalam suatu lingkungan tertentu dengan mengandalkan data

yang tersedia. Tidak ada yang “menghidupi suatu cerita”, suatu cerita, kisah

mengenai kehidupan seseorang pastilah sesuatu yang dibangun atas dasar

metaforis; dengan menggunakan fragmen-fragmen yang didapati dari surat-surat,

mimpi-mimpi serta ujaran-ujaran sosok historis tersebut. Lebih jauh, Rizvi

melanjutkan, bahwa kebanyakan biografi yang ada menyajikan kepada pembaca

amat sedikit informasi: nama, perkiraan tanggal kematian, gambaran singkat

mengenai para guru dan murid, dan beberapa catatan mengenai karya sosok

tersebut. 21 Para biografer yang mengabai-kan rincian dari kehidupannya

nampaknya memiliki alasan bahwa hal-hal tersebut tidak terlalu penting, karena

19 Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New York: SUNY Press, 1975) h. 1. 20 Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy

(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 2. 21 Sajjad H. Rizvi, “Reconsidering the Life of Mulla Sadra Shirazi: Note Towards an Intellectual

Biography”. Iran 40 (2002): 181.

Page 42: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

28

yang mereka tekankan adalah bagaimana gagasan-gagasan dan sosoknya memberi

pengaruh dalam sejarah.22 Jarangnya informasi faktual tersebut juga diperparah

dengan spekulasi-spekulasi yang dimaksudkan untuk menambal celah-celah logika

kesatuan biografis dari tokoh tersebut – hal ini akan dibahas pada paragraf-paragraf

selanjutnya.23

Penelitian ini menggunakan beberapa rujukan untuk menulis biografi Mulla

Sadra, di antaranya adalah Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy

oleh Seyyed Hossein Nasr, sebagaimana yang ditulis di bab sebelumnya, buku ini

merupakan suatu pengantar dasar yang otoritatif dan cukup lengkap untuk memulai

mengkaji Sadra, Nasr memusatkan perhatiannya pada konteks sejarah dan

intelektual yang menjadi latar belakang bagi pemikiran Sadra, di sub-bab

sebelumnya, kami banyak mengutip dari buku ini terutama dalam penjelasan

mengenai empat mazhab yang menjadi prekonsepsi bagi teosofi transenden Mulla

Sadra; selain dalam buku ini, Nasr juga menulis dalam antologi History of Muslim

Philosophy yang disunting oleh M.M. Sharif dengan judul artikel ‘Mulla Sadra’;

Kemudian ada dua tulisan dari Sajjad H. Rizvi, yaitu pertama, sebuah artikel dalam

jurnal ... berjudul Reconsidering the Life of Mulla Sadra Shirazi, dan bukunya,

Mulla Sadra Shirazi, His Life and Works and the Sources for Safavid Philosophy.

Kami menggunakan dua rujukan tersebut, yang uniknya memiliki posisi yang

berbeda dalam menulis biografi Mulla Sadra - hal ini akan dijelaskan di paragraf-

paragraf selanjutnya. Adapun, rujukan lainnya adalah tulisan Ibrahim Kalin, An

Annotated Bibliography of the Works of Mulla Sadra with a Brief Account of His

Life dan pengantarnya dalam terjemahan kitab yang menjadi rujukan utama dari

penelitian ini, yaitu Metaphysical Penetrations (Kitab al-Masha’ir). Ada pula

tulisan dari Seyed G Safavi, Mulla sadra’s Life and Philosophy, serta artikel singkat

Ibrahim Kalin dalam The Biographical Encyclopedia of Islamic Philosophy.

Beberapa buku yang perlu disebut juga adalah tulisan James Winston Morris dalam

22 Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy

(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 3. 23 Sajjad H. Rizvi, “Reconsidering the Life of Mulla Sadra Shirazi: Note Towards an Intellectual

Biography”. Iran 40 (2002): 181-183.

Page 43: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

29

terjemahan atas karya sadra yang lain, Hikmah al-Arsyiyah, yang mengambil

pendekatan begitu berbeda dari tulisan lainnya mengenai biografi Sadra.

Terlepas dari sedikitnya data historis mengenai Mulla Sadra dan beberapa

pendekatan biografis berbeda dari masing-masing pengkaji Mulla Sadra, beberapa

hal mengenai kehidupan Sadra disepakati oleh kesemua peneliti Mulla Sadra,

misalnya tanggal kelahiran, guru yang paling berpengaruh bagi Mulla Sadra,

kepergiannya ke Qum untuk mengasingkan diri, serta polemiknya dengan pihak-

pihak tertentu semasa hidupnya. Adapun, perbedaan yang mencolok kami dapati

hadir dalam rincian-rincian perjalanan intelektual dan personal Sadra. Misalnya,

mengikuti Sajjad H. Rizvi, pada umumnya para pengkaji Sadra membagi kehidupan

Sadra menjadi tiga fase: Fase Isfahan, di mana ia berguru pada Mir Damad dan

Syaikh Baha’i, Fase Qum di mana ia mengasingkan diri dari masyarakat, dan fase

Syiraz di mana, setelah mendapatkan ilham spiritual, ia kembali lagi ke Shiraz,

mengajar dan menetap di sana hingga wafat; ini disebut oleh Rizvi sebagai ‘tripartit

Henry Corbin’, dan kesemua penulis yang kami dapati – dan yang kami jadikan

rujukan bagi penelitian ini – mengikuti kerangka historis ini dalam menyusun narasi

biografis Mulla Sadra. Sedangkan, menurut Rizvi, tripartit biografis ini bermasalah

karena, jika diteliti lebih lanjut, ternyata didasarkan pada data yang tak lengkap

serta spekulasi-spekulasi tak berdasar dari data-data tersebut. Rizvi mengusulkan

empat fase kehidupan Mulla Sadra, dengan menambahkan satu fase sebelum fase

Qum, yaitu fase Shiraz. Jadi, menurut Rizvi, kehidupan Sadra lebih tepat dibagi

menjadi empat fase: Fase Isfahan di mana Sadra mendapatkan guru intelektual-

spiritual, Fase Shiraz di mana Sadra kembali dari Isfahan, salah satunya

dikarenakan wafat dari ayahnya, Fase Qum, di mana Sadra mengasingkan diri

karena beberapa pertentangan yang ia temui di Shiraz, dan Fase Shiraz. Adapun,

kami menambahkan satu fase awal, yaitu fase Shiraz I, di mana Sadra lahir dan

mengambil pendidikan awalnya sebelum bertemu guru besarnya, Mir Damad, di

Isfahan. Maka, biografi Sadra dalam bab ini dibagi secara kronologis menjadi lima

fase: Fase Shiraz I, Fase Isfahan, Fase Shiraz II, Fase Qum, dan Fase Shiraz III.

Page 44: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

30

2. Fase 0 (Shiraz I)

Mulla Sadra lahir sebagai anak semata wayang dari sebuah keluarga

ningrat,24pejabat kerajaan,25 di Shiraz pada tahun 979-980/1571-1572. Sejauh yang

kami ketahui, tidak ada perdebatan mengenai perkiraan waktu kelahiran Sadra, dan

tentang status ningrat dari keluarga Sadra. Meskipun tanggal kelahiran ini tidak

dirinci dalam teks-teks tradisional yang ditulis untuk beliau; mengenai tahun

kelahiran yang disepakati ini ditemukan oleh ‘Allamah Sayyid Muhammad Husayn

Tabatabai yang sedang mengoreksi edisi baru dari Asfar untuk diterbitkan. Beliau

mendapatkan data ini di marjin dari manuskrip yang disalin tahun 1197/1703 yang

didasarkan atas suatu salinan yang ditandatangani Mulla Sadra; tepatnya kalimat

berikut ini: “Aku menerima ilham ini di waktu terbit mentari hari Jum’at, tanggal

tujuh Jumadi al-ula tahun 1037 A.H. [14 Januari 1628 di tahun Masehi] kala 58

tahun hijriah telah melewati hidup penulis.”26 Ada pula bukti tekstual lain yang

mendukung hal ini, yaitu pada ulasannya atas hadits no 239, dalam kitab al-Tawhid

dari bagian Usul dalam al-Kafi, yaitu kumpulan hadis Syi’ah Dua Belas; Sadra

menyatakan bahwa ia sampai kepada pemahaman atas isu tersebut kala usianya

sudah uzur, yaitu enam puluh lima tahun. Dihitung dari tanggal penulisan karya

tersebut di tahun 1044/1635, kita dapat menyatakan bahwa ia lahir di sekitar tahun

979/1571-2 (1044-65= 979).27

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Ibrahim ibn Yahya al-Qawami al-

Shirazi28, lebih dikenal sebagai Mulla Sadra dan Sadr al-muta’alllihin yang artinya

“yang terdepan di kalangan para teosof”, ia biasa dipanggil Akhund oleh para

muridnya.29 Ayahnya, Ibrahim b. Yahya Qawami adalah seorang pejabat kerajaan.

Adapun, salah seorang penulis biografi Sadra, Khajavi menyatakan bahwa ia adalah

24 Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy

(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 5. 25 Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy

(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 6. 26 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life

and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 31. 27 Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy

(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 5. 28 Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra”. Dalam The Biographical Encyclopaedia of Islamic Philosophy ed.

Oliver Leaman (New York: Bloomsburry, 2015) h. 349 29 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life

and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 31.

Page 45: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

31

gubernur Shiraz, suatu pernyataan yang tak memiliki landasan biografis.30 Ibrahim

Kalin misalnya, ia masih menulis “ayahnya dikabarkan merupakan seorang

gubernur Shiraz” dalam dua tulisannya. 31 Rizvi mengajukan argumen bagi

pernyataannya bahwa ayah Sadra bukanlah seorang gubernur. Gubernur dari

provinsi Fars di abad enam belas biasanya merupakan seorang pangeran Safawi;

dan di waktu kelahiran Mulla Sadra, adalah pangeran Muhammad Khudabanda,

anak laki-laki dari Shah Tahmasp [w. 984/15760]. Sementara gubernur dari kota

Shiraz merupakan seorang tokoh dari keluarga terkenal di sana, Abu Ishaw Inju,

dan ada salah seorang warga yang menyatakan bahwa Ibrahim adalah wazirnya.

Rizvi melanjutkan, biografer Roger Savory memperkirakan dengan keliru bahwa ia

adalah wazir dari Ratu Shah Muhammad Khudabanda [w. 995/1587], Khayr al-

Nisa’ Begum, dikenal sebagai Mahd-i ‘Ulya. Namun, nampaknya Savory tak dapat

membedakan antara Ibrahim Qawami dengan Mir Qawam al-Din Shirazi (ayah

Sadra) yang merupakan pengurus finansial di provinsi Shiraz dan seorang tokoh

penting yang mendampingi Ratu. Sementara wazir sebenarnya dari Ratu adalah

Mirza Salman Jabiri [w. 991/1583].32

Sadra adalah seorang anak tunggal dari keluarga terpandang yang sudah lama

mengharapkan kehadiran anak laki-laki, tak heran jika ia dibesarkan dengan penuh

perhatian dan diberi pendidikan terbaik di kota kelahirannya.33 Salah satu catatan

sejarah abad sembilan belas yang ditulis oleh filsuf ‘Ali Zunuzi [w. 1307/1889-90]

menulis sebagai berikut: “Ayahnya [Mulla Sadra] adalah seorang wazir penting

tetapi tidak memiliki penerus laki-laki. Ia telah membuat sebuah sumpah untuk

membagikan sebagian besar dari kekayaannya di jalan Allah jika Allah

menganugerahinya seorang anak lelaki yang baik dan bertauhid. Allah

30 Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy

(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 5. 31 Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra”. Dalam The Biographical Encyclopaedia of Islamic Philosophy ed.

Oliver Leaman (New York: Bloomsburry, 2015) h. 349 & Ibrahim Kalin, “An Annotated

Bibliography of the Works of Mulla Sadra with a Brief Account of His Life”. Islamic Studies 42,

no. 1 (2003): 22. 32 Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy

(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 6. 33 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life

and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 31.

Page 46: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

32

mengabulkan doanya dan menganugerahinya anak lelaki yang akalnya cemerlang,

baik dan bertauhid ini.”34

Selama berabad-abad sebelum bangkitnya Dinasti Safawi, Shiraz telah menjadi

pusat dari kajian filsafat Islam dan disiplin-disiplin tradisional Islam lainnya yang

masih hidup di abad sepuluh/enam belas meskipun tidak sehidup dahulu. Mulla

Sadra ada di tradisi kajian ini di masa-masa awal pendidikannya. Sebagai seorang

anak yang cemerlang, ia mampu menguasai semua yang diajarkan kepadanya, ia

mempelajari baik ilmu-ilmu religius maupun intelektial, penguasaannya atas bahasa

Arab dan Persia serta kefasihannya dalam al-Qur’an dan Hadits mengantarkannya

kepada semesta intelektual lebih luas. 35Penguasaannya atas disiplin tradisional

mencakup tatabahasa (Nahwu), Tafsir al-Qur’an, Fiqih, dan Ilmu Hadits. Semua

pendidikan yang Sadra dapatkan di awal ini memiliki pengaruh yang abadi bagi

pemikirannya sendiri yang tercermin dalam karya-karyanya baik yang filosofis,

polemis dan tafsir al-Qur’annya sendiri nantinya.36 Lingkungan intelektual Shiraz

dan dukungan dari ayahnya ini merupakan sebuah keistimewaan bagi Sadra, seperti

yang ia tulis pada pengantar karya filosofisnya, Asfar, ia menyatakan bahwa

ketertarikan awalnya pada filsafat dan teologi filosofis sudah ada sejak awal: ‘Saya

mengabdikan kemampuan saya bertahun-tahun sejak usia yang amat muda pada

filsafat.’ Namun, Ia tidak pernah memberitahu kepada siapa ia berguru pada masa

awal ini. Seperti yang ditulis oleh para murid Mir Ghiyath al-Din Mansur Dashtaki

[w. 1542], tidak ada bukti bahwa pada masa itu masih terdapat pendidikan filosofis

melalui seminar-seminar di Shiraz. Karenanya, kemungkinan besar di masa ini

Sadra menjadi seorang otodidak, ia mempelajari buku-buku dari para filsuf,

khususnya karya-karya dari pendahulunya di Shiraz.37

Setelah ia mendapatkan pendidikan terbaik yang dapat ia peroleh di Shiraz dan

guru-gurunya, kehausan intelektualnya masih belum terpuaskan dan ia rasa ia tidak

34 Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy

(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 6. 35 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life

and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 32 36 Ibrahim Kalin, “An Annotated Bibliography of the Works of Mulla Sadra with a Brief Account

of His Life”. Islamic Studies 42, no. 1 (2003): 22. 37 Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy

(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 7.

Page 47: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

33

mungkin berdiam diri di Shiraz.38 Sadra yakin akan pemahamannya dan ia juga

yakin bahwa ia telah mendapatkan sesuatu sebagai seorang filsuf, sebagaimana ia

bahas pada pengantar dari komentarnya atas Surat al-Waqi’a, di mana ia menulis

bahwa ia telah menyadari bahwa pengetahuan sejati itu melampaui filsafat diskursif

dari kelompok Peripatetik (mashsha’iyyun, Aristotelian) dan kaum Illuminasionis

(Ishraqiyyun, ‘Platonis’) sebagaimana diungkapkan dalam pemikiran para filsuf di

Shiraz. Sebagai seorang lelaki muda yang telah mencapai umur dua puluh tahun

dan telah menguasai filsafat diskursif, ia menyadari bahwa ia perlu mencari seorang

guru spiritual yang dapat mengajarinya dalam suatu filsafat yang lebih tinggi yang

dapat memadukan intuisi spiritual dan pengalaman mistik, seorang guru yang

membawanya menuju sebuah pemahaman yang lebih tepat atas Kitab Suci dan

Hadits serta perkataan Imam. Sebuah pencarian atas petunjuk bagi pelatihan

filosofis dan spiritual yang mencirikan tradisi filsafat Iluminasionis yang

memadukan citarasa Neoplatonik dengan keimanan Pythagorean.39

Dengan semangat intelektual yang besar namun tidak terpenuhi di Shiraz, Sadra

pergi ke Isfahan, yang kini menjadi pusat intelektual bagi kajian filsafat di Persia,

atau mungkin bahkan di Islam bagian Timur. 40 Ia memutuskan untuk mencari

seorang sosok yang dapat ia jadikan guru spiritual dan filosofis, yang tidak ia

temukan di Shiraz.41 Nasr menyatakan bahwa waktu kepergian Sadra ke Isfahan

tidak diketahui, yang pasti adalah bahwa Sadra masih sangat muda di saat itu,42

namun Rizvi menyatakan bahwa keberangkatan Sadra dari Shiraz ada di sekitar

tahun 1000/1500-1 dan 1003/1595 (di tahun 995/1587, Shah ‘Abbas yang

sepantaran dengannya telah naik tahta), sementara Sadra berangkat ke Qazwin

untuk melanjutkan kajiannya dengan dua sosok agung di kerajaan Shah Abbas I,

Shaykh Baha’ al-Din al-Amili [w. 1030/1620-1] dan Mir Muhammad Baqir Damad

38 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life

and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 32 39 Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy

(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 8. 40 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life

and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 32 41 Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy

(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 8 42 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life

and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 32

Page 48: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

34

Astarabandi [w. 1040/1631]. 43 Terkait dengan poin bahwa sebelum menuju

Isfahan, Sadra terlebih dahulu menuju Qazvin, yang adalah ibukota pertama dalam

pemerintahan Shah ‘Abbas, baru kemudian ia menuju Isfahan, seiring dengan

proses pendaulatan ibukota baru yang kemudian diresmikan di tahun 1006/1598.

Berdasarkan beberapa manuskrip yang ada tentang karya Mir Damad yang ditulis

Sadra, ia menuntut ilmu di Qazvin dengan sayyid dari tahun 1000/1591 hingga

1006/1597, setelahnya baru mereka pindah ke ibukota baru, yaitu Isfahan.44

3. Fase 1 (Isfahan)

Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya di Shiraz, Sadra meninggalkan

kampung halamannya - ke Qazvin - kemudian ke Isfahan yang saat itu telah menjadi

sebuah pusat besar kebudayaan yang tinggi dalam seni dan ilmu pengetahuan, yang

utamanya berkat kepemimpinan visioner dari Shah ‘Abbas II (996-1038/1588-

1629), yang dikenal dengan julukan kehormatan ‘yang Agung’.45

Isfahan memberikan Sadra sebuah milieu yang menyaksikan perpaduan dari

bermacam pendirian filosofis, intelektual dan relijius di Persia, peran Shah Abbas

yang Agung dalam kebangkitan kebudayaan ini benar-benar penting bagi

pencarian intelektual dan spiritual Sadra. Meskipun pada saat itu Syiah secara

bertahap menjadi identitas relijius dominan bagi kebanyakan penduduk persia di

abad enam belas dan tujuh belas, aliran-aliran intelektual yang berbeda bertahan

hidup dalam Syiisme dinasti Safawi. Seperti yang telah ditulis di awal bab ini,

empat mazhab yang ada, yaitu filsafat Peripatetik yang diwakili al-Farabi dan Ibn

Sina, Mazhab Iluminasi (ishraqi) yang didirikan oleh Shihab al-Din Suhrawardi al-

Maqtul, Mazhab Akhbari yang didirikan oleh Ibn al-’Arabi dan para pelajarnya

yaitu Sadr al-Din al-Qunawi dan Dawud al-Qaysari, serta Mazhab Kalam Sunni dan

Syi’i; kesemuanya begitu penting bagi sintesis filosofis yang menemukan

pengungkapan terbaiknya dalam Kebijaksanaan Transenden Sadra, yang berpuncak

dalam suatu sintesis yang merupakan buah terakhir yang dihasilkan dari semua

43 Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy

(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 8 44 Sajjad H. Rizvi, “Reconsidering the Life of Mulla Sadra Shirazi: Note Towards an Intellectual

Biography”. Iran 40 (2002) h. 183. 45 Ibrahim Kalin, “An Annotated Bibliography of the Works of Mulla Sadra with a Brief Account

of His Life”. Islamic Studies 42, no. 1 (2003): 23.

Page 49: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

35

kecenderungan ini. Julukan Sadra sebagai Sadr al-Din (yang bermakna “dada dari

agama”) dan Sadr al-Muta’allihin (yang bermakna yang terdepan di antara mereka

yang suci) menjadi bukti bagi kemampuannya untuk memadukan semua perspektif

berbeda ini dalam suatu visi filosofis tunggal. 46 Upaya Sadra ini juga berhasil

dicapai karena Isfahan menawarkan kepada Sadra sebuah kesempatan unik untuk

ikut dalam barisan para filsuf Syi’i seperti Sayyid Baqir Muhammad Astarabadi

(Mir Damad) [w. 1040/1631], dan Baha’ al-Din Muhammad al-’Amili (Syaikh

Baha’i) [w. 1031/1622].47 Berkat guru-guru yang Sadra temui ini, dia sendiri segera

menjadi seorang yang menguasai ilmu-ilmu Islam dan mencapai suatu tahapan

yang bahkan melampaui para gurunya. 48 Karenanya, kemudian kita akan

membahas dua guru besar Sadra ini, Syaikh Baha’i dan Mir Damad.

a. Syaikh Baha’i

Antara tahun 100/1500-1 dan 1003/1595, Sadra, pemuda ningrat dan

berpengetahuan luas beranjak menuju ibukota Qazwin untuk melanjutkan

belajarnya dnegan dua tokoh besar di istana Shah ‘Abbas I. Syaikh Baha al-Din al-

Amili [w. 1030/1620-1] dan Mir Muhammad Baqir Damad Astarabadi [w.

1040/1631]. Sadra tertarik kepada dua tokoh itu karena reputasi mereka sebagai

fuqaha dan polymath (ahli berbagai bidang) di jantung peradaban istana

Safawi.49Kita akan membahas Syaikh al-Amili terlebih dahulu.

Syaikh Baha’i merupakan seorang ahli hukum, penyair serta ilmuwan, ia pun

merupakan salah satu tangan kanan dari raja, melayaninya sebagai Syaikh al-Islam

di Isfahan. Nama lengkapnya ialah Muhammad bin al-Husayn bin Abd al-Samad

al-’Amili, lahir di Ba’lbakk di tahun 953/1547. Syaikh Baha’i tergabung dalam

komunitas sarjanawan Syi’i dari Jabal ‘Amil di Lebanon yang bermigrasi ke

Kekaisaran Safawi Syi’ah yang baru dengan ayahnya, al-Shaykh ‘Izz al-Din al-

Husayn ibn ‘Abd al-Samad [w. 984/1576], seorang murid dari martir sekaligus ahli

46 Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-

Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.

xxii. 47 Ibrahim Kalin, “An Annotated Bibliography of the Works of Mulla Sadra with a Brief Account

of His Life”. Islamic Studies 42, no. 1 (2003): 23. 48 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life

and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 32. 49 Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy

(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 8.

Page 50: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

36

hukum Syi’ah Zayn al-Din al-Amili, yang dikenal sebagai al-Shahid II [dieksekusi

pada 965/1558], ia belajar kepadanya dari tahun 960/1553 dan awalnya menetap di

Mashhad. Ayahnya kemudian menjadi Syaikh al-Islam pertama ibukota Qazwin di

tahun 963/1556, suatu posisi yang ia jabat hingga tahun 970/1563 ketika dia

dipindahkan dari jabatannya dan digantikan oleh al-Sayyid al-Husayn bin al-Hasan

al-Karaki [w. 1001/1592-3]. Ia kemudian diberi jabatan baru menjadi Syaikh al-

Islam Mashhad dan kemudian Herat. Ia meninggal setelah umrah di tahun

984/1576. Syaikh Baha’i mengkaji hukum, hairs (tradisi-tradisi yang disabdakan

Nabi dan Imam) dan tafsir dengan ayahnya dan ayah mertuanya, al-Shaykh ‘Ali ibn

Hilal Minshar [w. 984/1576], yang dulunya adalah Syaykh al-Islam Isfahan. Ia

mungkin juga telah mengkaji jurisprudensi dan hadis di Kashan dengan ‘Abd al-

’Ali ibn ‘Ali al-Karaki [w. 993/1585], serta logika dan filsafat dengan Mulla ‘Abd

Allah Yazdi [w. 981/1573] di Mashhad. Ia kemudian meneruskan jabatan

mertuanya sebagai Syaikh al-Islam Isfahan.

Dari tahun 991/1583 hingga 993/1585, Syaikh Baha’i bepergian sebagai

seorang darwis pengembara, bila perlu, ia menyamar menjadi seorang fuqaha

Syafi’i. Pengalaman ini menghasilkan bahan yang berharga bagi antologi sastranya,

al-Kashkul. Ia kemudian kembali ke Isfahan dan lalu pindah ke Qazvin di mana ia

menggantikan al-Karaki setelah ia wafat sebagai Syaikh al-Islam di Ibukota, satu

jabatan yang akan ia tempati pula di Isfahan ketika ibukota berpindah di tahun

1006/1597 hingga kematiannya di tahun 1030/1621. Ia dimakamkan di dekat

makam suci Imam Syi’ah Dua Belas, Imam ‘Ali al-Rida di Mashhad, rumah

pertamanya di Iran.

Dengan Syaikh Baha’i, Mulla Sadra mengkaji fiqih, tafsir dan hadis, pertama di

Qazvin kemudian di Isfahan. Pengaruh Syaikh Baha’i kepada Sadra terkait hadis

jelas, ketika Sadra melacak rantai sanad hadis melalui otoritas Syaikh Baha’i. Ia

merujuk kepada gurunya ini sebagai ‘guru kami yang kepadanya kami andalkan

dalam disiplin teks-teks tradisional. Sulit untuk menentukan kapan pertama kali

Sadra bertemu dengan Syaikh Baha’i; kemungkinan, mereka bertemu ketika Syaikh

Baha’i mengunjungi Shiraz di tahun 998/1588.

Page 51: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

37

b. Mir Damad

Guru kedua Sadra, dan mungkin yang memberikan pengaruh lebih besar dalam

kehidupannya, adalah Mir Muhammad Baqir Astarabadi, dikenal sebagai Mir

Damad (yang bermakna menantu dalam bahasa Persia) karena ayahnya, Mir Shams

al-Din Muhammad adalah menantu dari mujtahid hebat, al-Syaikh ‘Ali al-Karaki

[w. 940/1534]. Kemungkinan beliau lahir di Astarabad tahun 969/1561-2 tetapi

dibesarkan di Mashhad. Ia mengkaji filsafat di Mashhad dengan Mir Fakhr al-Din

Muhammad bin Husayn Sammaki Astarabadi. Sammaki menjabat menjadi Syaikh

al-Islam daerah Sabzawar di bawah kekuasaan Shah Tahmasp dan pernah menjadi

murid dari filsuf Shiraz, Mir Ghiyath al-Din Mansur Dashtaki [w. 948/1542]. Para

guru fiqih dan hadisnya adalah al-Husayn bin ‘Abd al-Samad al-Amili dan al-

Sayyid al-Husayn al-Karaki di Mashhad dan pamannya ‘Abd al-’Ali bin ‘Ali al-

Karaki. Selama kekuasaan Shah Tahmasp [w. 984/1576] ia pindah ke Isfahan di

tahun 1006/1597. Kemudian, Mir Damad meneruskan Syaikh Baha’i sebagai

Syaikh al-Islam Isfahan di tahun 1030/1621, jabatan yang ia pegang hingga

wafatnya. Ia melaksanakan pelantikan Syah Safi pada 2 Jumada II 1038/28 Januari

1629. Ia wafat di tahun 1040/1631 di perjalanan dari Karbala menuju Najaf ketika

mengawal Syah ke pemakaman suci Syi’ah di Iraq. Mir Damad dimakamkan di

dekat makam suci dari Imam Syi’ah pertama, Ali bin Abi Talib di Najaaf.

Dengan Mir Damad, Mulla Sadra mengkaji filsafat dan teologi, khususnya

karya-karya Peripatetik Avicenna dan muridnya, Bahmanyar [w. 458/1066], teks-

teks Plotinian, pseudo-Aristotelian berbahasa Arab (khususnya Teologi

Aristoteles), karya-karya Iluminasionis Suhrawardi dan komentar-komentar teologi

filosofis atas kitab Nasir al-Din al-Tusi [w. 672/1274], Tajrid al-I’tiqad. Sadra

mulai menjadi murid Mir Damad setidaknya mulai tahun 1004/1595. Dalam salah

satu surat tertanggal 1018/1617 yang Sadra tulis dari Shiraz, ia menggambarkan

Mir Damad sebagai “Sang pembagi anugerah kepada hati orang-orang bijak, akal

kesebelas, ia yang menguasai baik teori maupun praktik dari ilmu pengetahuan,

sayyid dan pemimpin, tuan para filsuf dan para fuqaha, guru dari para guru dan

sarjanawan, sarjanawan termulia dan sang pemulia peradaban Islam”

Page 52: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

38

Dalam salah satu surat tertanggal sekitar tahun 1021/1612, kemungkinan ditulis

dari Shiraz, Sadra menggambarkan gurunya sebagai sultan dari para filsuf, yaitu

para teosis. Ia menggambarkan ajaran spiritual Mir Damad sebagai “gerbang yang

membuka jalur spiritual menuju Tuhan dan yang dari kehadirannya anugerah

ilahiah diperoleh; sebuah gerbang yang tidak mengecewakan para pencarinya dan

tidak mengkhianati mereka yang mempercayainya ... Ia mengetahui segala yang ia

ketahui melalui penalaran tertentu, dan menyaksikan pewahyuan batin serta

pengalaman ekstatik yang darinya intelek tidak terceraikan, tak pula pengujian

terhenti. Semua ini dicapai hanya melalui anugerah ilahiah dan wahyu ketuhanan

dan petunjuk intelek” Dari gambaran tersebut, kita dapat mengambul kesimpulan

bahwa huubungan antara Mulla Sadra dan Mir Damad lebih dari sekedar hubungan

antara seorang guru filsafat dan muridnya; ini merupakan hubungan antara guru

Sufi dan pengikutnya. Kedekatan antara guru dan pengikut ini lebih jauh terungkap

dalam fakta bahwa Mir Damad menamai salah satu anaknya Sadra.

c. Mir Finderiski

Bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh Corbin dan lainnya, tidak

terdapat bukti bahwa Sadra pernah belajar kepada sarjanawan Astarabadi serta

kawan dari Mir Damad, Mir Abu’l-Qasim Findiriski [w. 1050/1640-1]. Meskipun

terdapat kisah terkenal yang dicatat oleh beberapa penulis biografi yang

menyatakan bahwa Mulla Sadra, saat kedatangannya sebagai seorang murid baru

di Isfahan, dinasihati oleh Findiriski untuk belajar kepada Mir Damad,

kemungkinan besar kisah ini tak benar karena Sadra telah mengenal Mir Damad,

gurunya, semenjak di Qazwin.

4. Fase 2 & 3 (Shiraz II & Qum)

Fase berikutnya adalah setelah Sadra menyelesaikan kajiannya di Isfahan, dan

karena kematian ayahnya di tahun 1010/1601-2, ia kembali ke Shiraz untuk bekerja

dan mengajar, tetapi gagal untuk menemukan seorang patron yang kuat, serta

menghadapi pertentangan serta kritik dari suatu kota yang telah melupakan nilai

dari kajian filsafat. Lalu Sadra bersuaka di Kahak, sebuah desa kecil di luar kota

suci Qum, untuk merenungkan berbagai persoalan serta memulai penulisan karya-

karya utamanya, terutama puncak dari karya filsafat dan teologinya, al-Hikma al-

Page 53: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

39

Muta’aliya fi’l-Asfar al-’aqliyya al-Arba’a yang ia mulai di tahun 1015/1606.

Khalwat-nya di Kahak kemungkinan bertahan hingga lima tahun di pertengahan

tahun 1015/1600. Ia kemudian kembali ke Shiraz, sesuai dengan tanggal di surat-

suratnya kepada Mir Damad, di sekitar tahun 1022/1613. Lalu ia memulai hidup

mengembara: mengajar dan menulis di Qum, mengunjungi dan saling bersurat

dengan Mir Damad di Isfahan hingga kematiannya di tahun 1040/1631, dan

menghabiskan waktunya di keluarga kerajaan di Shiraz. Kemungkinan selama

periode pengembaraan inilah ia menyelesaikan kebanyakan dari tujuh kali

umrahnya ke Mekkah, yang menyiratkan interaksi dengan sarjanawan di wilayah

tersebut.

Berdasarkan manuskrip yang ada, Sadra menjalani kehidupan mengembara

hingga tahun 1040/1630-1. Komentar atas Ayat Kursi menempatkannya di Qum

tahun 1023/1613. Surat lainnya kepada Mir Damad juga ditulis dari Qum tertanggal

1026/1617. Surat keempat tertanggal 1028/1619 menempatkannya di Kashan.

Pengunduran dirinya ke Kahak, karenanya, harus dipisahkan dari kehidupannya

sebagai guru di Qum (dan kemungkinan Kashan), di mana ia menemui murid dan

menantunya, Muhsin Fayd Kashani. Di Qum pula ia mendapatkan salah satu ilham

yang ia tulis ulang di Risalat al-Khulsa, di malam Ramadhan 1028/September 1619.

Catatan sejarah ini membuktikan bahwa terdapat keterikatan yang kuat antara Sadra

dan Qum sebagai tempatnya melakukan perenungan spiritual dan intelektual. Hasil-

hasil perenungan inilah yang nantinya ia ubah menjadi gagasan-gagasan diskursif

dalam karya-karya filosofisnya.

Seperti yang telah dijelaskan, di periode Qum ini pula Sadra mengajar sejumlah

filsuf penting, di antaranya adalah Muhsin Fayd Kashani [w. 1090/1680], dan ‘Abd

al-Razzaq Fayyad Lahiji [w. 1072/1661-2] keduanya menjadi menantunya.

Muhammad b. Murtadha dikenal dengan nama Muhsin Fayd (nama pena

penyairnya) Kashani lahir di tahun 1007/1598. Kashani muda berkelana ke Isfahan

di tahun 1027/1616 di mana ia belajar hadis dan fiqh dengan Syaikh Baha’i. Setelah

menerima ijazah sanad, ia pindah ke Shiraz di tahun berikutnya dimana ia

mencapatkan suatu izin untuk menyampaikan hadis dari al-Sayyid Majid b. Hashim

al-Sadiqi al-Bahrani yang wafat di tahun tersebut, 1028/1619. Sembari menunaikan

Page 54: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

40

umrahnya, ia mengkaji hadis dan fiqih di Madinah dengan Muhammad b. al-Hasan

al-’Amili [w/ 1030/1621], cucu dari al-Shahid II. Setelah kematian gurunya, ia

kembali ke Iran dan menemui Mulla Sadra di Qum tahun 1030/1628, seperti yang

dinyatakan traktat autobiografis Sharh-i Sadr. Kemudian ia menghabiskan dua

tahunnya dari 1040/1631 hingga 1042/1633 dengannya di Shiraz. Seorang

polymath dan spesialis hebat baik dalam disiplin skriptural dan intelektual, dia

ditawari jabatan menjadi Syaikh al-Islam Isfahan tahun 1065/1655 selama

pemerintahan Shah ‘Abbas II [w. 1077/1666] tetapi ia menolaknya, dan

memusatkan perhatiannya pada kegiatannya mengajar di Qum, madrasah miliknya

yang ia namai berdasarkan namanya (Madrasa-yi Faydiyya yang terkenal). Di

kemudian hari, ia menulis satu epitome penting dari pemikiran gurunya berjudul

Usul al-Ma’arif.

Kedua, ‘Abd al-Razzaq b. Ali Lahiji, yang memiliki nama pena Fayyad,

merupakan seorang murid yang penuh pengabdian pada Sadra, meskipun dalam

karyanya yang dewasa, ia menolak sejumlah ajaran kunci yang dinyatakan oleh

Mulla Sadra. Ia berasal dari Lahijan tetapi aspek-aspek nostalgik dalam puisinya

kemungkinan menyiratkan bahwa ia besar di Tabriz. Puisinya, faktanya, merupakan

sebuah sumber utama dari kehidupannya, di dalamnya ia menuliskan sejumlah

pujian yang ia tulis kepada patronnya yang mencakup Sadr Mir Habib Allah al-

Karaki, Shahs Safi [w. 1642] dan ‘Abbas II [w. 1667], Mirza Talib Khan [w.

1044/1634] yang dulunya merupakan wazir dari Shah Safi, dan Murtada-quli Khan

yang menjabat sebagai kepala militer di bawah Shah ‘Abbas II. Periode kajiannya

mungkin dimulai di tahun 1020/1610. Dia juga belajar di Isfahan dengan Mir

Damad dan membantu Sadra ketika ia menjadi Syaikh al-Islam Isfahan.

Lahiji merupakan salah satu tokoh kesukaan Shah ‘Abbas II (yang untuknya

Lahiji menulis sebuah manifesto penting mengenai kehidupan Sufi), ia

menghabiskan masa hidupnya di Qum, mengajar di Madrasa-yi Ma’suma yang

tergabung dengan makam suci, di sana ia dikenal sebagai seorang filsuf Avicennian.

Kemudian, ia menulis karya utamanya, Shawariq al-Ilham fi Sharh Tajrid al-

Kalam, sebuah komentar Avicennian yang berharga dan luas mengenai teks

teleologis al-Tusi, di dalamnya Lahiji mengambil sejumlah posisi filosofis yang

Page 55: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

41

amat kritis terhadap pandangan-pandangan dari gurunya, khususnya dalam

metafisika. Dalam puisinya, ia memuliakan serta mengenang Sadra.

Murid Sadra lainnya adalah Husayn Tunikabuni [w. 1105/1693-4] serta

Muhammad Rida Aqajani [w. setelah 1071/1660-1]. Rincian kehidupan keduanya

amat sedikit diketahui, yang kita tahu adalah mengenai teks yang mereka tulis yang

masih selamat. Syaikh Husain b. Ibrahim Tunikabuni merupakan seorang murid

berbakti yang menulis sejumlah traktat mengenai tema kunci dari pemikiran Sadra,

khususnya yang terkait dengan eskatologi. Dia menulis sebuah komentar Sadrian

atas Tajrid al-I’tiqad, karya al-Tusi, mungkin sebagai tanggapan atas komentar

kritis dari Fayyad-i Lahiji. Ia sama-sama memiliki cita rasa Sadra atas pemikiran

Ibn ‘Arabi [w. 1240] dan menulis suatu risalah singkat berjudul Risala fi Wahdat

al-Wujud. Seperti gurunya, ia juga dikenal telah melakukan perjalanan panjang

menuju kota-kota suci di Iraq dan umrah ke Mekkah dan Madinah. Muhammad

Rida b. Ali-Rida Aqajani bahkan merupakan seorang karakter yang lebih sulit

diketahui. Bagaimanapun, ia meninggalkan sebuah komentar besar dalam 561

halaman folio mengenai al-Qabasat dari Mir Damad, yang mungkin menyiratkan

bahwa ia juga belajar kepadanya. Satu-satunya tanggal yang diketahui mengenai

kehidupannya ada dalam suatu teks tertanggal 1071/1661 dan mungkin telah ditulis

di Mashhad.

5. Fase 4 (Shiraz III)

Di tahun 1040/1630-1, Sadra pindah secara tetap ke kampung halamannya atas

permintaan Imamquli Khan [w. 1042/1633]. seorang ghulam Georgia yang ditugasi

administrasi militer Safawi dan gubernur provinsi Fars, wilayah Mulla Sadra. Ia

telah meneruskan ayahnya Allahvirdi Khran, yang telah menjadi gubernur dari

tahun 1004/1595-6 hingga kematiannya di tahun 1022/1633. Madrasa-yi Khan,

yang didirikan oleh ayah Imamquli tepat sebelum ia meninggal dan selesai di tahun

1024/1615 telah didirikan dengan tujuan mengajar filsafat dan sains. Akan tetapi,

hanya di tahun 1036/1627 Madrasah itu menjadi waqaf. Dalam waqfnama ini

sendiri merupakan sebuah dokumen yang menarik. Dokumen ini menggambarkan

Imamquli Khan sebagai patron yang telah menyerasikan dalam dirinya

kebijaksanaan filosofis serta seni pemerintahan, menandai kajian filsafatnya,

Page 56: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

42

mungkin bukti atas kedekatannya dengan Mulla Sadra. Madrasah tersebut

merupakan bangunan yang luas dan bagus, dirancang untuk menjadi tempat ibadah,

dengan sebuah masjid dan menara serta asrama dengan satu aula besar di atas eivan

dari gerbang utama, empat ruang ajar kecil dan ratusan kursi bagi para pelajar.

Undangan bagi Sadra untuk mengajar Madrasah tersebut datang dari Imamquli,

seketika Madrasah mulai berjalan, Sadra pun mulai mengajar di sana, sekitar tahun

1036/1627. Madrasah ini waktu itu memerlukan seorang direktur yang telah

menguasai disiplin intelektual dan mampu mengajarkannya. Tentu Mulla Sadra

merupakan pilihan yang amat tepat untuk mengisi posisi tersebut. Ia telah

menyelesaikan karya besarnya, Asfar, di Shiraz tahun 1038/1628.50

Madrasah Khan ini menjadi begitu terkenal hingga menarik para pengelana dari

luar. Thomas Herbert, seorang pengelana abad sebelas/tujuh belas yang

mengunjungi Shiraz pada masa hidup Mulla Sadra, menulis, “Dan memang Shiraz

memiliki satu Kampus yang di dalamnya Filsafat, Astrologi, Fisika, Kimia dan

Matematika dipelajari; ia kemudian menjadi lebih terkenal seantero Persia.”

Bahkan hari ini ruangan yang di dalamnya sang guru mengajar adalah ruangan yang

sama di mana Mulla Sadra mengajar diskursus hikmat tiga abad lalu, dan madrasah

Khan, terlepas dari penuaan dari beberapa bagiannya, tetap menjadi salah satu

tempat yang paling indah dan secara arsitektur mungkin merupakan bangunan

Safawi di Shiraz yang terpenting. Madrasah ini kini diambil alih oleh Akademi

Filsafat Imperial Iran dan akan mengalami perbaikan besar sebelum sekali lagi

menkadi suatu pusat bernilai untuk mengajar filsafat tradisional. Di masa mengajar

ini pula, yang kira-kira bertahan sekitar tiga puluh tahun, Mulla Sadra, selain

mengajar dan menulis, melakukan beberapa perjalanan kaki ke Mekkah.51

Mulla Sadra meninggal di Basrah dalam perjalanan umrahnya yang ketujuh,

setelah karir yang cemerlang dan prolifik. Mengenai peristiwa, keadaan dan waktu

dari kejadian ini, belum ada bukti baru yang ditemukan mengenai pengaruh-

pengaruh serta warisan-warisan intelektual baru dari Mulla Sadra. Data biografis

50 Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy

(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 24.

Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life and

Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 38.

Page 57: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

43

umum dari sumber-sumber biografis yang ada menyatakan bahwa Sadra wafat di

tahun 1050/1640-1. Catatan ini menyatakan bahwa ia meninggal di Basrah dan

dikebumikan di sana. Hal ini dikuatkan oleh filsuf Iran abad keduapuluh, al-Sayyid

Abu’l-Hasan Rafi’i Qazwini [w. 1976] saat dia menulis di tahun 1961: “Sekitar

empat puluh tahun yang lalu, Saya bertanya kepada seorang Arab yang hidup di

Najaf yang sering mengunjungi Basrah tentang makam dari Mulla Sadra ... Ia

berkata bahwa terdapat sebuah makam di Basrah yang merupakan makam Mulla

Sadra Shirazi. Akan tetapi, akhir-akhir ini jika seseorang pergi ke Basrah untuk

memastikan hal ini, mereka tidak menemukan apa-apa; tidak pula mereka

menemukan tempat terkenal semacam itu. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh

perubahan dalam kota, jejak-jejak makam ini telah hilang.

Namun tidak terdapat bukti yang jelas yang mendukung tanggal ini (dan tidak

pula terdapat makam yang utuh). Cucunya, Muhammad ‘Alam al-Huda [w.

1115/1703-4], anak dari Fayd Kashani, melaporkan bahwa kakeknya meninggal di

Basrah pada 1045/1635-6 dan dikebumikan di Najad di sekitar makam suci Imam

‘Ali: “Kakek saya, Master dari para teosis dan hieratik (Sadra al-’Urafa’ wa’l-

Muta’alihhin), Muhammad b. Ibrahim b. Yahya al-Shirazi yang dikenal sebagai

Sadr al-Din, meninggal di Basrah ketika berniat untuk menunaikan Hajji dan

Umrah bagi baginda Rasul [di Madinah] di tahun 1045. Tubuh mulianya

dipindahkan ke Najaf. Saya mendengar dari salah satu temannya bahwa ia

dikebumikan di sisi kiri dari taman makam suci dan mulia Imam ‘Ali.”

Menurut pernyataannya sendiri, Muhammad lahir di Qum pad Selasa 15 Rabi’

I 1039/1 November 1629 yang berarti bahwa kira-kira ia berusia enam tahun ketika

kakeknya wafat. Nampak bahwa bukti yang ia tulis kemungkinan berdasarkan dari

apa yang diceritakan ayahnya kemudian. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa tanggal

penyelesaian karya-karya terakhirnya, termasuk yang masih belum lengkap, adalah

1044/1635-6. Satu potongan bukti yang nampak mempersoalkannya adalah

pernyataan dari editor bahwa terdapat suatu manuskrip al-Masa’il al-Qudsiyya

tertanggal 1049/1639-40. Akan tetapi, manuskrip ini bukanlah suatu autograf dan

bisa jadi disalin setelah kematiannya. Faktanya, bukti internal menyiratkan bahwa

tanggal kelengkapan dari manuskrip yang masih ada adalah 1034/1624. Karenanya,

Page 58: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

44

tanggal paling mungkin dari wafatnya Mulla Sadra adalah yang disebutkan oleh

cucunya, yaitu 1045/1635-6. Meskipun masih saja makamnya belum diketahui oleh

penduduk Najaf.

C. Karya-Karya Mulla Sadra

Keseluruhan karya Mulla Sadra memiliki aspek intelektual dan sastrawi.

Hampir semua karya Sadra ditulis dalam bahasa Arab yang sederhana jelas dan

mengalir, kecuali Sih Asl dan beberapa risalah yang ditulis dalam bahasa Persia.

Kebanyakan sarjanawan membagi karya Sadra menjadi dua jenis: karya-karya yang

ditulis dalam ilmu relijio-spiritual (naqli) dan karya-karya yang ditulis dalam ilmu

intelektual (aqli). Pembagian tersebut tidak berarti bahwa keduanya terpisah sama

sekali, karena bagi Sadra, dua jenis ilmu ini terhubung begitu dekat, dan berasal

dari sumber pengetahuan tunggal, yakni Intelek Ilahiah, karenanya, ia membahas

persoalan relijius dalam karya teosofisnya, begitu pula sebaliknya. Karya-karyanya

sulit pula dibagi secara kronologis karena tidak semua karyanya diberi tanggal

kapan ia selesai ditulis, hanya beberapa karya saja yang dapat dilacak.52

Dari segi halamannya, karya-karya Sadra merentang dari Asfar yang begitu

tebal hingga risalah-risalah dengan beberapa halaman saja. Secara bentuk, Sadra

hampir bisa dikatakan menulis karyanya secara dinamis baik sebagai seorang filsuf

Peripatetik yang menulis dengan logika yang ketat, dan seorang mistik yang

menulis dengan gaya ekstatik. Kerapkali Sadra tiba-tiba menulis berbagai aforisme,

pernyataan-pernyataan ekstatik laiknya karya yang ditulis Abu Hamid al-Ghazali

[w. 505/1111] dan Ibn al-’Arabi, setelah membahas satu persoalan filosofis atau

kosmologis dalam cara-cara analitis yang ketat. Tak jarang pula ia mengutip puisi-

puisi baik Arab atau Parsi ketika prosa saja tidak cukup untuk mengungkapkan apa

yang ingin ia maksudkan.

Karya-karya Sadra merentang dari filsafat tradisional, metafisik, ontologi,

kosmologi, ontologi, epistemologi, aksiologi, eskatologi, psikologi, dan filsafat

alam; seperti yang telah dikatakan, Sadra pun menulis beberapa karya tafsir Qur’an

dan hadits-hadits Syi’i. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, yaitu

52 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life

and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 39.

Page 59: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

45

banyaknya karya Sadra, kesulitan penentuan tanggal, dan sebagainya, pembagian

karya Sadra menjadi dua jenis digunakan di sini, yaitu karya-karya spiritual dan

karya intelektual.53

1. Karya-Karya Spiritual54

1. Asrar al-Ayat wa Anwar al-Bayyinat. Salah satu komentar besar Sadra atas

Qur’an, kitab ini terbagi menjadi sebuah pengantar dan tiga bagian. Bagian

pertama membahas pengetahuan Ketuhanan (‘ulum rububi) dalam tiga

kesaksian (mashhad) dan dua puluh satu asas (qa’idah). Bagian kedua

membahas, dalam empat kesaksian dan dua puluh lima asas, tindakan-

tindakan Ilahiah, emanasi dari dunia yang jamak ke Yang Satu, dan

kembalinya ia kepada-Nya. Bagian ketiga ditulis khusus membahas

kebangkitan (al-ma’ad) dalam dua belas kesaksian dan sembilan asas.

Empat puluh manuskrip Asrar telah ditemukan di Mashhad dan

perpustakaan Qum.

2. Ayat al-Kursi, juga dikenal sebagai Tafsir al-Urwat al-Wuthqa. Sebuah

komentar panjang atas ayat kursi, yang arti pentingnya telah dinyatakan di

sejumlah hadis. Ia terdiri dari sebuah pengantar (muqaddimah), dua puluh

bagian (maqalah), dan sebuah kesimpulan (khatimah). Masing-masing bab

memiliki nama yang berbeda: maqasid (niatan), masha’ir (penembusan),

isharat (isyarat), latifat (kedalaman), fawa’id (manfaat), dan seterusnya.

Beberapa persoalan yang dibahas di antaranya adalah kenyataan dan

kesatuan dari ada, kasih Tuhan, keabsahan imam-imam Syii dan

sebagainya. Tiga puluh satu manuskrip dari teks ini telah ditemukan.

3. Ayat al-Nur. Komentar penting Sadra atas Ayat Cahaya (Qur’an, 24: 35),

yang telah menjadi pembahasan dari banyak komentar filosofis dan mistis

sebelumnya. Ia terdiri dari sebuah pengantar (muqaddimah), sebuah diskusi

53 Ibrahim Kalin, “An Annotated Bibliography of the Works of Mulla Sadra with a Brief Account

of His Life”. Islamic Studies 42, no. 1 (2003): 31. 54 Sub-bab karya-karya Mulla Sadra ini merupakan parafrase dari 3 rujukan: a) Ibrahim Kalin, “An

Annotated Bibliography of the Works of Mulla Sadra with a Brief Account of His Life”. Islamic

Studies 42, no. 1 (2003): 21-62 b) Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the

Sources for Savafid Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 51-111 c) Seyyed

Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life and Works

(Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 39-50.

Page 60: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

46

pembuka (tamhid) mengenai makna cahaya (nur), tujuh bagian (fasl), dan

sebuah kesimpulan dengan pembuktian (wasiyyah) Sadra. Beberapa hal

yang dibahas di antaranya adalah definisi cahaya sebagai kesempurnaan hal-

ihwal, emanasi cahaya menjadi langit dan bumi, pengetahuan Tuhan identik

dengan esensi (Dzat)-Nya, makna dari dada (al-sadr), hati (al-qalb) dan

jiwa (al-ruh), manusia sebagai mikrokosmos, dan doktrin mengenai

manusia sempurna (al-insan al-kamil) dan relasinya dengan kosmologi.

Empat puluh empat manuskrip dari komentar ini telah ditemukan.

4. Ma’ani ‘l-Alfaz al-Mufradah min al-Qur’an. Sebuah penjelasan singkat

mengenai beberapa istilah dan ungkapan dalam Qur’an. masing-masing

istilah dianalisis dalam suatu bab yang berbeda. Terdapat dua manuskrip

dari teks ini di perpustakaan Pusat Tehran dan Parlemen.

5. Mafatih al-Ghayb. Salah satu dari karya terpenting Sadra dalam kategori

tulisan spiritual, terdiri dari sebuah pengantar (muqaddimah) dan dua puluh

‘kunci’ (miftah). Ia berisi pembahasan paling panjang atas pendekatan Sadra

terjadap Qur’an dan metodologinya dalam menafsirkan Kitab Suci. Sadra

memilih sejumlah tema-tema filosofis dan gnosis, lalu menjelaskannya

dalam miftah-miftah yang berbeda. ‘Miftah’ pertama membahas rahasia dan

hikmah di balik penciptaan alam semesta, kedua, niatan Ilahi dalam

menurunkan Qur’an; ketiga, pengetahuan dan derajatnya; keempat,

penyingkapan (kashf) dan derajatnya; kelima, pengetahuan Ilahiah; keenam,

makna dari ‘keseimbangan’ (mizan) dalam Qur’an; ketujuh, penyingkapan

dari pengetahuan atas esensi (dzat) Tuhan, Nama dan Sifat-Sifat-Nya, dan

tanda-tanda-Nya dalam alam semesta yang terlihat; kedelapan, tindakan-

tindakan Tuhan (af’al); kesembilan, malaikat, tingkatan dan sifat-sifatnya;

kesepuluh, pembagian badan fisik; kesebelas, substansi-substansi intelijibel

sebagai harta dan kekuasaan Ilahi; keduabelas, penciptaan temporal dunia;

ketigabelas, keberadaan dunia arwah; keempatbelas, jalan spiritual menuju

keselamatan; kelimabelas, penciptaan manusia dan perjalanannya dari lahir

hingga kebangkitan kembali; keenambelas, kekuatan malaikat sebagai

tahap-tahap perjalanan spiritual manusia; ketujuhbelas, kebangkitan

manusia dan alam semesta; kedelapanbelas, kebangkitan badani dan

Page 61: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

47

penjelasannya; kesembilanbelas, derajat-derajat kebangkitan di Hari

Pengadilan; dan keduapuluh, disiplin spiritual dan jenis-jenisnya. Dua puluh

tujuh manuskrip dari Mafatih telah ditemukan.

6. Mutashabihat al-Qur’an. Merupakan penjelasan Sadra atas ayat-ayat

Qur’an yang berbentuk perumpamaan (mutasyabih) dengan merujuk

kepada Qur’an seperti ‘Tuhan duduk di Singgasana’ dan ‘Tangan Tuhan’.

Meskipun Sadra tidak menambahkan sesuatu yang baru pada apa yang telah

menjadi metodologinya dalam mengulas Qur’an dalam Mafatih al-Ghayb

dan Tafsir Ayat al-Kursi, ia membahas dan mengkritik pendapat-pendapat

dari para pengulas dan teolog sebelumnya, sebelum ia menyatakan

pandangan-pandangannya sendiri mengenai suatu hal. Kitab ini terdiri dari

enam bagian (fasl). Bagian pertama membahas berbagai pandangan

mengenai ayat mutasyabihat dari Qur’an; kedua, pandangan-pandangan dari

para pengulas yang menekanka ‘transendensi’ (tanzih); ketiga, penolakan

atas pandangan-pandangan dari para teolog yang disebut mu’atillah atau ahl

al-ta’il, y.i. mereka yang menolak segala jenis penyifatan bagi Tuhan;

keempat, pandangan-pandangan Sadra sendiri mengenai hal tersebut;

kelima, penjelasan lebih lanjut atas bagian keempat; dan terakhir, tafsir-

tafsir sebagian atas ayat-ayat mutasyabihat tertentu dari sudut pandang

penyingkapan (kashf) dan gnosis (irfan). Risalah ini telah diterbitkan dalam

Sayyid Jalal al-Din Ashtiyani, Sih Risalah. Sebelas manuskrip dari teks ini

telah ditemukan.

7. Sharh Usul al-Kafi. Sebuah ulasan atas kitab Hadits Syi’ah yang terkenal

yang dikumpulkan oleh Abu ja’far Kulayni. Ini merupakan salah satu dari

karya terpenting Sadra dalam kategori spiritual, Sharh merupakan sebuah

tour de force dari tafsir-tafsir filosofis dan esoteris Sadra atas perkataan-

perkataan dari Syi’ah Dua Belas Imam. Corbin menganggap teks ini sebagai

salah satu karya terpenting Syi’ah Dua Belas Imam. Kitab ini menjadi salah

satu contoh paling bagus dari perpaduan Sadrean atas ilmu spiritual dan

intelektual, ini merupakan ulasan filosofis atas tiga puluh empat perkataan

dari kitab Usul al-Kafi yang dikelompokkan dengan judul Kitab al-’Aql wa

al-Jahl. Semua perkataan ini terhubung langsung dengan intelek, inteleksi,

Page 62: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

48

pengetahuan, dan keabaian. Sadra pertama menarasikan setiap hadis secara

lengkap dengan rantai sanadnya, membahas sumber-sumber dan

keasliannya, lalu menyediakan ulasannya. Dua belas perkataan pertama

dianalisis bersamaan, setelahnya Sadra mengambil putar balik yang panjang

lalu membahas berbagai hal terkait filsafat, metafisik dan gnosis dalam

hampir 140 halaman dalam edisi cetak. Beberapa hal yang dibahas adalah

makna dan tingkatan intelek (al-’aql) dan keabaian (al-jahl), esensi (dzat),

Nama dan Atribut Tuhan, kosmos dan penciptaannya, relasi antara intelek

dan hati (al-qalb), dan peran intelek dalam meraih kebahagiaan. Kemudian

pembahasan ini diikuti dengan ulasan terpanjang atas kitab mengenai hadits

nomor empatbelas, yakni perkataan bahwa “Tuhan telah menciptakan

intelek”. Di sini Sadra masuk ke dalam sebuah pembahasan yang amat rinci

dengan mengutip sejumlah perkataan Imam dari sumber-sumber lainnya.

Sharh belum selesai ditulis, dan beberapa telah menyatakan bahwa Sadra

wafat di tengah-tengah penulisan kitab ini. Tujuh puluh dua manuskrip teks

ini telah ditemukan.

8. Surat al-A’la. Sebuah ulasan filosofis dan gnostik atas Surat 87 dari Qur’an.

Ia terdiri dari sebuah pengantar (muqaddimah) dan sepuluh ‘pujian’

(tasbih).

9. Surat al-Baqarah. Sebuah ulasan yang belum selesai namun panjang,

tentang Surat kedua dalam al-Qur’an hingga ayat 65. Dalam menjelaskan

ayat-ayat ini, Sadra mengkritik sudut pandang dari kelompok Asy’ariyah

dan Mu’tazilah dalam beberapa hal. Ia juga membahas makna dari ‘huruf

terpisah’ (huruf muqatta’ah) dalam Qur’an. Dua belas manuskrip dari teks

ini telah didaftar.

10. Surat al-Fatihah. Juga dikenal sebagai Surat al-Hamd. Sebuah ulasan

filosofis dan gnostik atas surat pembuka Qur’an/ Sadra membahas banyak

hal, merentang dari arti penting basmalah hingga teorinya mengenai gerak

substansial (al-harakah al-jawhariyyah). dan perbedaan di antara manusia

dalam perjalannya menuju keselamatan. Sembilanbelas manuskrip dari teks

ini telah ditemukan.

Page 63: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

49

11. Surat al-Hadid. Sebuah tafsir gnostik atas Surat 57 dari Qur’an. Ulasan ini

terbagi menjadi empat bagian: ‘penyingkapan’ (mukashafah). ‘divine

gleaming’ (lam’ah ilahiyyah). ‘manfaat’ (fa’idah), dan ‘kesimpulan’

(khatimah). Duapuluh enam manuskrip telah didaftar.

12. Surat al-Jumu’ah. Sebuah ulasan gnostik atas Surat ke 62 dari Qur’an. Ia

terdiri dari sebuah pengantar (muqaddimah), dua belas bab atau ‘fajar’

(matla’), dan sebuah kesimpulan (khatimah). Sadra membahas sejumlah isu

ontologis dan menjelaskan perbedaan Avicennan antara jenis ada yang

bertahan sendiri dan yang secara ontologis eksistensinya bergantung kepada

yang lain (y.i. niscaya-dengan-sendirinya dan niscaya-melalui-yang lain).

Dua puluh lima manuskrip telah didaftar.

13. Surat al-Sajdah. Sebuah ulasan esoteris atas Surat ke 32 dari Qur’an dengan

sebuah pengantar, sembilan bab (masing-masing dengan judul yang

berbeda), dan sebuah kesimpula. Salah satu tulisan terbaik Sadra terkait

perjalanan spiritual manusia dan stasiun-stasiunnya. Dua belas manuskrip

telah didaftar.

14. Surat al-Tariq. Sebuah ulasan filosofis dan gnostik singkat atas Surat ke 86.

Dalam pengantar, Sadra menyatakan bahwa ulasan-ulasannya didasarkan

atas intuisi-intuisi Ilahiah yang diberikan kepadanya. Dua puluh dua

manuskrip dari teks ini telah ditemukan.

15. Surat al-Tawhid atau al-Ikhlas. Sebuah ulasan filosofis dan gnostik atas

Surat 112, yang juga dikenal sebagai Surat al-Ikhlas. Dalam enam bab atau

‘manfaat’ (fa’idah), Sadra membahas nama-nama dari surah, alasan-alasan

pewahyuannya, makna dan derajat-derajat ketauhidan serta pengetahuan

Tuhan dan diperjelas dengan argumen-argumen intelektual dan spiritual.

Tiga manuskrip dari teks ini telah didaftar.

16. Surat al-Waqi’ah. Sebuah ulasan gnostik dan filosofis atas Surat 56.

Sepanjang ulasan ini, Sadra membahas berbagai hal terkait kebangkitan

kembali, ruh, dan konsep ada. Dua puluh empat manuskrip telah didaftar.

17. Surat al-Zilzal. Sebuah ulasan filosofis atas Surat 99 berdasarkan gagasan

Sadra tentang gerak substansial dan eskatologi. Dua puluh dua manuskrip

dari teks ini telah dicatat.

Page 64: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

50

18. Surat Ya-Sin. Sebuah ulasan filosofis panjang atas Surat 36 dengan

penekanan istimewa pada Hari Pembalasan dan kebangkitan badaniah.

Pengantarnya berisi sebuah pembahasan rinci mengenai arti penting

inteleksi (ta’aqqul) dalam Qur’an. Tujuh belas manuskrip dari teks ini telah

didaftar.

19. Berbagai ulasan Hadis. Sadra telah menulis ulasan-ulasan atas beberapa

sabda Nabi, di antaranya, yang terpenting adalah hadis “Aku merupakan

harta tersembunyu”. Banyak sufi telah mengulas hadis ini sebelum Sadra.

Mengikuti hermeneutika esoterisnya, Sadra memberikan sebuah penjabaran

lengkap atas hadis tersebut. Tiga manuskrip dari ulasan singkat ini telah

didaftar.

2. Karya-Karya Intelektual

1. Ajwibat al-Masa’il al-Kashaniyyah. Jawaban-jawaban Sadra atas lima

persoalan tentang jiwa yang diajukan oleh Mulla Muzaffar Husayn Kashani,

seorang pemikir sejawat Sadra yang juga murid dari Mir Findiriski. Dalam

jawaban-jawabannya, Sadra menjabarkan berbagai aspek dari jiwa,

fakultas-fakultas perseptual dan intelektualnya, serta perbedaan-perbedaan

di antara jiwa manusia dari keadaan potensialitas dan ketidaksempurnaan

menuju perwujudan penuh dan kesempurnaan spiritual. Edisi kritis dari teks

ini muncul dalam kitab Majmu’ah karya Isfahani.

2. Ajwibat al-Masa’il al-Nasiriyyah. Merupakan jawaban-jawaban Sadra atas

tiga persoalan yang diajukan oleh Muhammad ibn Muhammad oleh Nasir

al-Din al-Tusi [w. 672/1274] kepada Shams al-Din ‘Abd al-Hamid ibn Isa

Khusrawshasi [w. 652/1254], yang sampai saat itu belum terjawab.

Persoalan pertama yang diajukan oleh Tusi dan dijawab oleh Sadra adalah

persoalan mengenai gerak dan relasinya dengan waktu. Persoalan kedua

adalah mengenai potensialitas (al-imkan) dan bagaimana ia terhubung

dengan perkembangan fisik dan spiritual manusia. Persoalan ketiga terkait

dengan multiplisitas (kejamakan), bagaimana ia terlahir dari Yang Satu, dan

apakah kejamakan teremanasi dari Yang Satu dalam tindak tunggal kreasi

atau dalam tatanan menurun. Edisi litograf dari teks ini muncul dalam

Page 65: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

51

marjin kitab Sadra, al-Mabda’ wa al-Ma’ad dan Sharh al-Hidayah. Edisi

kritisnya terdapat dalam kitab Majmu’ah, Isfahani.

3. Ajwibat al-Masa’il Shams al-Din Muhammad Ghilani. Ini merupakan

tanggapan Sadra atas lima pertanyaan filosofis yang ditanyakan oleh filsuf

Peripatetik, Mulla Shamsa-yi Ghilani [w. 1081], juga dikenal sebagai as

Shamsa’, yang merupakan seorang murid dari Mir Damad. Dalam satu arti,

persoalan ini dapat dilihat sebagai sebuah kritik Peripatetik atas filsafat

transenden Sadra oleh salah satu tokoh utama lingkaran Mir Damad.

Nampaknya, persoalan-persoalan dari Ghilani ini, telah memberikan bagi

Sadra sebuah kesempatan untuk lebih jauh memperjelas beberapa

gagasannya melawan para pengkritiknya. Lima pertanyaan singkat yang

diajukan oleh Ghilani adalah sebagai berikut: (1) perubahan dalam kategori

kuantitas (kamm), yang untuknya Sadra menjawabnya dengan membahas

makna dari perubahan dalam kategori; (2) watak dari jiwa vegetatif (nafs

nabati), seperti apakah ia, jika memang benar, berubah, dan penanggalan

jiwa manusia (tajarrud al-nafs) dari eksistensi (wujud) korporeal; (3)

eksistensi (wujud) mental (wujud dhihni) dan bagaimana akal mencerap

kategori-kategori semacam kualitas, kuantitas, posisi dan tempat; (4)

perbedaan antara indera manusia dan binatang, yang telah membawa, baik

Ghilani dan Sadra untuk membahas persoalan menarik mengenai apakah

binatang juga akan dibangkitkan kembali seperti manusia; dan (5)

penciptaan jiwa dari setiap manusia sebelum penciptaan badan mereka atas

dasar hadis “Aku dulunya adalah seorang nabi ketika Adam berada di antara

air dan lempung [y.i. sebelum ia diciptakan]”. Setelah sebelumnya teks ini

terbit dalam marjin dari Kitab Sadra, al-Mabda’ wa al-Ma’ad, ia muncuk

kembali dalam Sih Risalah yang telah disunting oleh S.J. Ashtiyani. Edisi

kritis dari teks ini diterbitkan dalam Isfahani, Majmu’ah. Enam manuskrip

tentang risalah ini telah didaftar.

4. Asalat Ja’l al-Wujud (Risalah). Merupakan sebuah risalah mengenai

bagian penting dari ontologi Sadra, y.i. instaurasi (ja’l), yang merujuk

kepada keutamaan wujud dalam eksistensiasi hal-ihwal. Sadra telah

membahas persoalan ini secara panjang baik dalam Asfar dan Masha’ir.

Page 66: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

52

Dalam karya yang relatif kecil ini, Sadra membahas poin-poin utama

tentang instaurasi dari kuiditas yang dipertahankan oleh al-Suhrawardi dan

mazhabnya. Kedua adalah terpadunya ada dan kuiditas, yang Sadra

atributkan kepada para filsuf Peripatetik. Dan yang ketiga adalah keutamaan

instaurasi wujud, yang merupakan posisi Sadra sendiri. Edisi kritik dari teks

ini muncul dalam Isfahani, Majmu’ah.

5. Dibajah-i Arsh al-Taqdis, juga disebut Risalat al-Khalisah. Sebuah

pengantar tiga halaman kepada kitab Mir Damad, Asfar. Dibajah dan al-

Khalisah terkadang didaftar sebagai dua karya terpisah tetapi nyatanya

keduanya merupakan bagian dari risalah yang sama. Di bagian pertama,

yang disebut Risalat al-Khalisah, Sadra menarasikan sebuah mimpi yang ia

dapat di malam terakhir bulan Ramadan, 1028 M, diikuti dengan tafsiran

atasnya. Dalam mimpi tersebut, Sadra melihat Rasulullah dan dirinya

melaksanakan suatu perjalanan setelah menyelesaikan solat sunnah. Saat

menaiki jalanan pegunungan yang kecil dan sempit, Sadra melalui sejumlah

tahapan yang mudah dan susah, terkadang berjalan, terkadang menaiki

keledai. Setelah beberapa lama, seorang lelaki yang agung dan berwibawa

muncul dan berkata kepada Sadra bahwa keledainya tidaklah dibuat demi

perjalanan yang berat ini. Ketika mendengarkannya, Sadra meninggalkan

tunggangannya dan menapaki jalan tersebut sendiri dengan kesadaran dan

tenaga penuh. Setelah menceritakan mimpinya tersebut, Sadra memberikan

suatu tafsir spiritual atasnya dan berbagai tahapannyya. Bagian kedua dari

risalah tiga halaman ini, yang dikenal dalam judul Persia-nya, Dibajah,

memuji Mir Damad dan karyanya. Dua bagian dari risalah tersebut

diterbitkan dalam Majmu’ah Isfahani.

6. Hashiyah Sharh Hikmat al-Ishraq. Meskipun ditulis dalam bentuk suatu

ulasan atas ulasan terkenal dari Qutb al-Din Shirazi atas kitab Hikmat al-

Ishraq al-Suhrawardi, teks paling definitif dari Mazhab Iluminasi (ishraq),

ini merupakan salah satu karya filosofis penting Sadra. Sadra menyajikan

relasi dan perbedaan antara mazhab Peripatetik dan Iluminasionis dengan

kejelasan dan kedalaman luar biasa. Hashiyah juga penting untuk

memahami keseluruhan posisi Sadra terkait dua mazhab yang darinya ia

Page 67: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

53

telah memasukkan banyak anasir ke dalam pemikirannya sendiri. Suatu

terjemahan parsial atas ulasan Sadra ini telah diterbitkan bersama dengan

ulasan Qutb al-Din Shirazi oleh Henry Corbin dalam terjemahannya atas

Hikmat al-Ishraq. Sembilan manuskrip dari teks ini telah didaftar.

7. Al-Hashr (Risalah). Teks ini dikenal dengan beberapa nama berbeda:

Hashr al-Ashya’ wa Ma’ad kull shay’, Tarh al-Kawnayn fi Hashr al-

’Alamayn, dan Hashr al-’Awam fi Ma’ad al-Ashya’ wa Hashriha. Tema

utama dari risalah ini adalah kebangkitan kembali semua eksistensi,

termasuk kerajaan binatang dan tumbuhan serta dunia mineral. Sadra

memperluas makna dan cakupan dari kebangkitan kembali kepada semua

eksistensi (wujud) bersama dengan ontologi dan filsafat alamnya, yang

melihat dunia ciptaan itu tak lain dari berbagai derajat dan moda dari suatu

realitas ada yang mencakup segalanya melalui gradasi ontologis.

Risalah ini dibagi menjadi delapan bab (fasl). Dalam pengantar,

Sadra membagi ada menjadi lima ‘lapis’ atau ‘kelas’ (tabaqah) dalam suatu

urutan menurun. Ini adalah intelek-intelek terpisah, yang termasuk ke dalam

ranah Ilahiah di maba arketip-arketip dan Forma-Forma/Idea-Idea Platonik

bertempat; ruh-ruh yang bergerak dalam dunia intelijibel dan terhubung

dengan ‘badan-badan’ (ajram) yang lebih rendah dan lebih tinggi; ruh-ruh

partikular seperti setan dan manusia di mana ranah manusia dimulai; jiwa-

jiwa tumbuhan dan binatang, yang bertujuan sebagai sebuah jembatan

antara wilayah manusia dan material; dan terakhir, keberadaan derajat

terendah (asfal al-safilin), y.i. badan-badan tak-gerak.

Setelah memaparkan pembagian ini, Sadra menjelaskan, dalam

delapan bab, kebangkitan kembali dari semua ada dari intelek-intelek yang

berbeda menjadi entitas-entitas material kasar. Bagian pertama membahas

kebangkitan kembali dari tatanan ada tertinggi, y.i. intelek-intelek terpisah

dan kekekalannya (baqa’) dalam dan oleh Tuhan; kedua, kebangkitan

kembali dari ‘jiwa-jiwa rasional’ (al-nufus al-natiqah), yang Sadra bagi

menjadi ‘celestial’ (falakiyyah) dan ‘manusiawi’ (insaniyyah); ketiga

kebangkitan kembali dari ‘jiwa-jiwa binatang’ (al-nufus al-haywaniyyah) di

mana Sadra berpendapat mengenai kembalinya fakultas binatang seperti

Page 68: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

54

persepsi, pendengaran dan penglihatan dalam bentuk-bentuk arketipal

mereka; keempat, kebangkitan kembali tanaman dan kekuatan-kekuatan

penggerak lainnya seperti pertumbuhan dan perkembangbiakan dimana

Sadra menggambarkan kerajaan tumbuhan memiliki suatu derajat

kesadaran yang lebih rendah dari kerajaan binatang dan manusia tetapi lebih

tinggi dari wilayah-wilayah tak bergerak; kelima, kebangkitan kembali dari

entitas-entitas dan anasir-anasir fisikal di mana Sadra menyematkan satu

derajat kesadaran bahkan untuk badan-badan material karena mereka sama-

sama memiliki watak eksistensi (al-wujud); keenam, kembalinya dan

kebangkitan kembali dari fakultas penginderaan (al-hissiyat); ketujuh,

kebangkitan kembali dari materia prima (al-hayula al-ula) dan entitas-

entitas material lainnya di mana Sadra mengartikan pembagian eksistensial

dari materia prima sebagai potensialitas murni (al-imkan); dan delapan,

penjelasan terakhir mengenai kebangkitan kembali dari semua ada. Risalah

ini diakhiri dengan sutu kesimpulan dan kesaksian. Sepanjang

pembahasannya, Sadra kerapkali membuat rujukan kepada Plato dan kaum

Peripatetik. Risalah ini dicetak di Rasa’il. Muhamamd Khawajawi telah

menerbitkan sebuah edisi kritis dengan penerjemahan Persia dengan judul

Risalat al-Hashr ya Kitab-i Rastakhiz-i Jahan. Tiga puluh manuskrip

tentangnya telah ditemukan.

8. Al-Hashriyyah. Sebuah risalah yang membahas persoalan mengenai akhirat

dan kebangkitan kembali. Risalah ini, yang hanya muncul dalam koleksi

Isfahani, merupakan sebuah ringkasan dari pandangan-pandangan Sadra

mengenai perkara ini yang diambil dari Asfar, al-Mabda’ wa’l Ma’ad,

Mafatih al-Ghayb, Asrar al-Ayat, dan al-Shawahid al-Rububiyah. Karena

teks Hashriyyah ini hampir keseluruhannya salinan kata per kata dari karya-

karya Sadra lainnya, ia mungkin semata-mata merupakan kompilasi yang

ditulis Sadra sendiri atau oleh salah satu muridnya, ketimbang merupakan

sbeuah risalah terpisah. Risalah ini dibagi menjadi sembilan bagian (fasl).

Bagian pertama membahas dengan singkat alam kubur dan siksanya; kedua,

makna dan kenyataan kebangkitan kembali; ketiga, jembatan al-Sirat, yang

digambarkan dalam al-Qur’an, yang mana nantinya manusia idminta untuk

Page 69: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

55

melintasinya di Hari Penghakiman; keempat, penghitungan dan

penimbangan amal yang dilakukan di dunia; kelima, peristiwa-peristiwa

yang akan terjadi di Hari Kiamat seperti dibukanya buku-buku catatan,

turunnya malaikat bagi mereka yang baik dan setan bagi mereka yang jagat;

keenam derajat-derajat dari manusia yang nantinya ditanyai oleh Tuhan,

yang Sadra bagi menjadi berbagai kategori; ketujuh, gambaran mengenai

surga dan neraka; kedelapan, kekembalian terakhir dari semua manusia

menuju watak fitrahnya; dan kesembilan akhir dan penciptaan kembali jagat

raya di Hari Penghakiman. Edisi Kritis dari teks ini muncul di Majmu’ah

Isfahani.

9. Khalq al-A’mal (Risalah fi); teks ini juga dikenal sebagai Jahr wa Tafwid

al-Qadar wa Af’al al-’Ibad. Sebuah pembahasan singkat mengenai

persoalan teologis kehendak bebas dan takdir. Sadra bertujuan untuk

mencapai posisi seimbang antara dua posisi teologis ekstrem takdir mutlak

(al-jabr) dan kehendak mutlak (al-tafwid). Untuk menjabarkan perkara ini,

Sadra memperkenalkan empat posisi yang saling terhubung satu sama lain

dalam sejarah Islam. Pandangan pertama dipegang oleh kelompok

Mu’tazilah, memberikan manusia kebebasan mutlak atas keputusan dan

tindakannya. Pandangan kedua digawangi oleh mazhab teologis bernama

‘jabariyyah’; mereka tidak menganggap keberadaan ‘pelaku’ (fa’il) dan

‘agen’ (mu’aththir) di dunia kecuali Tuhan, karenanya tergelincir dalam

fatalisme. Pandangan ketiga dibela oleh mazhab Asy’ariyah, mereka

menyamakan Tuhan sebagai sebab tertinggi dari semua sebab (musabbib al-

asbab) tetapi mengizinkan kehendak parsial (al-iradah al-juz’iyyah) bagi

manusia atas tindakan-tindakannya. Pandangan keempat disokong oleg

mereka yang ia sebut ‘kuat dalam pengetahuan’ (al-rasikhun fi ‘l-’ilm),

sebuah nama yang diambil dari al-Qur’an (3:7), dan mengajukannya sebagai

satu-satunya posisi yang diterima, yang menetapkan keseimbangan di antara

dua ekstrem. Di bagian ini, Sadra mengutip dari Imam Shi’i dan merujuk

kepada ucapan-ucapan terkenal dari Imam Syi’i keenam, Imam Ja’far al-

Sadiw [w. 148/765] terkait kehendak bebas dan predeterminasi bahwa ‘yang

benar adalah bahwa tidak ada determinasi mutlak atau kehendak mutlak,

Page 70: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

56

tetapi sesuatu di antara keduanya.” Risalah ini diterbitkan dalam Rasa’il S.

J. Ashtiyani. Edisi Kritis dari teks ini muncul dalam Majmu’ah Isfahani.

Dua puluh lima manuskrip dari teks ini telah didaftar.

10. Al-Hikmah al-’Arshiyyah. Ini Merupakan karya terpenting Sadra mengenai

eskatologi dan penerapan dari filsafat transendennya terhadap persoalan-

persoalan eskatologis. Kitab ini terbagi menjadi dua bagian utama. Bagian

pertama membahas Tuhan, Nama dan Atributnya dengan ringkas, yang

Sadra sajikan sebagai sebuah pengantar bagi tema utama. Bagian kedua

membahas kebangkitan kembali dan keadaan setelah mati. Bagian kedua

lebih jauh terbagi menjadi tiga sub-bagian. Sub-bagian pertama secara

khusus membahas psikologi: jiwa manusia (al-nafs), tingkatan-

tingkatannya, indera, relasi antara jiwa dan badan, dan jiwa sebagai sebuah

gerbang menuju dunia abadi. Sub-bagian kedua khusus ditulis menjadi

suatu pembahasan rinci atas kebangkitan kembali di mana Sadra, dengan

menggunakan kosakata filosofisnya, memperagakan kemungkinan dari

kebangkitan badaniah, yang telah ditolak oleh Farabi dan Ibn Sina. Sub-

bagian ketiga berkisar di antara pembahasan keadaan manusia setelah mati.

Di sini Sadra mendasarkan analisisnya atas eskatologi Qur’ani dan

membahas perkara semacam surga dan neraka, isthmus (al-a’raf) dan para

penghuninya (y.i. mereka yang ada di antara surga dan neraka). dan apakah

binatang akan mengadakan suatu ‘perkumpulan’ sama halnya dengan

manusia. Kitab ini telah menggiring suatu kontroversi jangka panjang

terkait posteritas-nya, khususnya di antara para teolog Syi’ah. Syaikh

Ahmad Ahsa’i, pendiri dari mazhab Syaikhi yang dirujuk di atas, memiliki

suatu ulasan atas ‘Arshiyyah di mana ia menolak argumen-argumen utama

Sadra. Mulla Isma’il Isfahani menulis sebuah tanggapan untuk kritik Ahsa’i.

James Winston Morris telah menerjemahkan teks penuh dari ‘Arshiyyah ke

dalam bahasa Inggris. Lima puluh satu manuskrip dari teks ini telah

ditemukan.

11. Al-Hikmah al-Muta’aliyah fi ‘l-Asfar al-’Arba’ah. Magnum Opus Sadra.

Teks ini ditulis dalam empat bagian (9 jilid dalam edisi cetak) dalam bentuk

‘empat perjalanan’, Asfar merupakan teks paling definitif dari korpus

Page 71: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

57

Sadrean. Ini juga merupakan salah satu karya paling penting dari filsafat

Islam paska Ibn Sina. Ia mencakup keseluruhan spektrum filsafat tradisional

dari ontologi dan epistemologi ke psikologi dan eskatologi. Menggunakan

gambaran perjalanan (safar) yang tak diragukan lagi diambil dari Sufi,

Sadra membagi Asfar menjadi ‘empat perjalanan intelektual’ (al-asfar al-

’aqliyyah al-’arba’ah). Perjalanan pertama, dibagi menjadi tiga bagian

(juz’) dan sepuluh tahap (marhalah), adalah dari dunia ciptaan menuju

Kebenaran dan/atau Pencipta (min al-khalw ila ‘l-haqq) di mana Sadra

memaparkan persoalan metafisik dan ontologi yang dikenal juga di bawah

rubrik ‘asas-asas umum’ (al-umur al-’ammah) atau ‘ilmu ketuhanan dalam

artian umum’ (al-’ilm al-ilahi bi ‘l-mana al-amm). Dalam bagian ini, Asfar

membahas dasar-dasar ontologis dari sistemnya termasuk topik seperti

makna filsafat, ada (wujud) dan keutamaannya (asalah) atas kuiditas

(mahiyah), gradasi ada (tashkik al-wujud), eksistensi mental (wujud dhihni),

Forma Platonik (al-muthul al-aflatuniyyah), kausalitas, gerak substansial,

waktu, penciptaan temporal dunia, intelek dan kesatuan antara intelek dan

intelijibel.

Perjalanan kedua adalah dari Kebenaran menuju Kebenaran oleh

Kebenaran (min al-haqq ila ‘l-haqq bi ‘l-haqq). Bagian pertama lebih jauh

dibagi menjadi funun (bermakna seni atau ilmu) dan bagian kedua menjadi

enam funun. Dalam perjalanan kedua ini kita akan menemukan catatan

lengkap dari filsafat alam Sadra dan kritiknya atas sepuluh kategori

Aristotelian. Di antara perkara yang dibahas secara luas adalah kategori,

substansi dan aksiden, bagaimana entitas fisik eksis, hyle dan arti

filosofisnya, materi dan forma (hylomorphisme), forma-forma natural, dan

hirarki dari semesta fisik.

Perjalanan ketiga, dibagi menjadi dua bagian (juz’) dan sepuluh

stasiun (mawqif), adalah dari Kebenaran menuju dunia ciptaan dengan

Kebenaran (min al-haqq ila ‘l-khalq bi ‘l-haqq) di mana Sadra

merekonstruksi teologi, yang dibahas di bawah judul ‘metafisik’ atau ‘ilmu

ketuhanan dalam arti khusus’ (al ‘ilm al-ilahi bi ‘l-ma’na ‘l-akhass). Dalam

bagian Asfar ini, dimensi teologis dari pemikiran Sadra dan serangan tak

Page 72: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

58

hentinya kepada para teolog (mutakallimun) maju ke depan. Di antara

perkara yang dialamatkan Sadra adalah ketauhidan dan eksistensi (wujud)

Tuhan dan bukti-bukti kalam sebelumnya mengenainya, kesederhanaan

ontologis dari Wujud Mutlaq, Nama dan Sifat Tuhan, Pengetahuan Tuhan

atas dunia, Kekuasaannya, Divine Providence, kalam sebagai suatu sifat

Tuhan, baik dan jahat (teodisi), prosesi dari dunia kejamakan dari yang Satu,

dan kesatuan filsafat (‘kebijaksanaan’, hikmah) dan Hukum Ilahiah

(shari’ah).

Perjalanan keempat, perjalanan terakhir; dibagi menjadi dua bagian

(juz’) dan sebelas ‘gerbang’ (bab), adalah dari dunia penciptaan menuju

dunia penciptaan dengan Kebenaran (min al-khalq ila l-khalq bi ‘l-haqq) di

mana rantai besar ada dilengkapi dengan psikologi, kebangkitan kembali,

dan eskatologi. Hal ini memiliki dua makna yang terkait erat dalam

pemikiran Sadra. Pertama, perjalanan intelektual dari sang pejalan (salik)

berakhir di masa kini dan keadaan manusia setelah mati. Kedua, perjalanan

material dan spiritual dari tatanan eksistensi (wujud), yang telah dimulai

dengan penciptaan dunia dan kenyataan ada, dilengkapi dengan penuh

dengan kekembalian terakhir menuju Tuhan. Bagian dari Asfar ini

menyediakan penyelidikan tour de force atas psikologi tradisional dengan

bahan yang dipilih dari psikologi Peripatetik Ibn Sina dan pandangan-

pandangan gnostik Ibn al-’Arabi. Seperti dalam bagian lainnya dari Asfar,

Sadra menyajikan suatu sejarah kritis dari gagasan-gagasan dan teori-teori

mengenai jiwa manusia dari Yunani hingga filsuf dan teolog Muslim. Di

antara perkara yang dibahas adalah jiwa dan keadaan-keadaannya, berbagai

kekuatan jiwa dalam interaksinya dengan dunia fisik dan intelijibel, indera,

imajinasi (takhayyul) dan dunia imajinal (‘alam al-khayal). Sadra juga

membahas ajaran terkenalnya bahwa jiwa itu bersifat badani/material dalam

penciptaannya dan spiritual dalam kekekalannya (jismaniyyat al-huduth

ruhaniyyat al-baqa), ketidakmungkinan transmigrasi (tanasukh),

kebangkitan kembali spiritual dan badaniah, dan kenyataan surga dan

neraka. Edisi litografis dari Asfar pertama diterbitkan di Tehran, 1282 A.H.

Lunar. Sebuah edisi modern dari Asfar dalam 9 jilid telah dipersiaplan oleh

Page 73: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

59

Muhammad Rida al-Muzaffar, dan diterbitkan di Beirut dengan catatan oleh

Mulla Hadi Sabziwari [w. 1290/1873], ‘Ali Mudarris Zunuzi Tabrizi, Aqa

Muhammad Rida Qumsha’i [w. 1306/1888-9], dan Muhammad Husayn

Tabataba’i. Banyak ulasan lainnya serta catatan telah ditulis atas Asfar oleh

Aqa Muhamamd Bidabadi, Mulla ‘Ali ibn Jamshid Buri [w. 1246/1830],

Mulla Isma’il Isfahani [w. 1277/1860-1], Mirza Hasyim Gilani Rashti

Askiwari, Mulla Aqa-i Qazwini [w. 1282 AH], Mirza Muhammad Musawi

Khawansari, dan Muhamamd ibn Ma’sum Zanjani [w. 1349 AH].

Sarjanawan Persia kontemporer Hasan Hasan-Zadah Amuli menerbitkan

sebuah edisi baru dari Asfar dengan catatan dan glossesnya sendiri. Dua

ratus tiga puluh manuskrip dari Asfar telah dicatat.

12. Huduth al-’Alam. Karya terpenting Sadra mengenai penciptaan temporal

dunia. Sadra melihat bahwa topik ini amat penting bagi kesatuan dari

bentuk-bentuk pengetahuan filosofis dan spiritual. Ini juga persoalan yang

di dalamnya Sadra memasukkan ruang yang cukup besar di Asfar. Konsep

gerak substansial, yang tentangnya Sadra menggunakan sepenuhnya untuk

menghubungkan filsafat alamnya dengan metafisika, berdiri sebagai tesis

utama dari risalah ini. Sadra pertama menyajikan sebuah tinjauan cemerlang

atas perkara ini, dimulai dengan pre-Sokrates, Plato (dengan kutipan-

kutipan dari Timaeus), dan Aristoteles. Dia kemudian berpindah menuju

penyajian serta kritik atas pandangan-pandangan dari para filsuf dan teolog

Muslim. Risalah ini terdiri dari sebuah pengantar, dua belas bagian (fasl),

dan sebuah kesimpulan. Pengantar ini menyajikan perkara tersebut sebagai

salah satu persoalan tersulit di filsafat, dan membahas alasan-alasan Sadra

menyusun buku ini. Bagian pertama menganalisis konsep keniscayaan dan

kontinjensi; kedua, konsep potensi dan aktualitas; ketiga, gerak dan diam;

keempat, penjabaran atas watak (tabi’ah) sebagai prinsip bawaan dari gerak

dan perubahan dalam setiap penggerak; kelima, pembaruan terus-menerus

dari substansi jiwa rasional; keenam, watak sebagai prinsip langsung

pembaruan dalam badan-badan korporeal; ketujuh, gerak sirkular sebagai

gerak terkuno dan tersempurna; kedelapan, penjabaran atas kenyataan

waktu; kesembilan, kemendahuluan dari waktu terhadap segala sesuatu;

Page 74: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

60

kesepuluh, ringkasan dari poin-poin yang telah dibahas sejauh ini;

kesebelas, relasi dari yang tercipta secara temporal dan yang kekal; dan

keduabelas, eksistensi dari Intelek Aktif. Dalam kesimpulan, Sadra

merangkup pandangan dari para filsuf sebelumnya kemudian menyajikan

keseluruhan penilaiannya. Dua puluh sembilan manuskrip dari teks ini telah

didaftar.

13. Iksir al-’Arifin fi Ma’rifat Tariq al-Haqq wa ‘l-Yaqin. Salah satu dari

karya Sadra yang lebih gnostik dan sufistik, ia dibagi menjadi empat bagian

utama (bab) dengan sub-bagian (fasl). Bagian pertama membahas, dalam

lima sub-bab, pengetahuan dan pembagian ilmu-ilmu; kedua, jiwa manuusia

sebagai penerima dari semua pengetahuan dan kemampuan manusia untuk

mengetahui; ketiga, jiwa dan keadaan-keadaannya; dan keempat, akhir dari

semua pengetahuan dan kekembalian terakhir semua hal kepada Tuhan.

Tiga puluh empat manuskrip dari teks tersebut telah dicatat. Sebuah

terjemahan berbahasa Inggris atas Iksir oleh William Chittick direncanakan

cetak pada tahun 2003.

14. Ittihad al-’Aqil wa ‘l-Ma’qul. Karya filosofis Sadra terpenting mengenai

intelek dan intelijibel, Ini merupakan rangkuman Sadra sendiri atas bagian

ketiga daru perjalanan pertama dalam Asfar yang berjudul ‘tentang intelek

dan intelijibel’ (fi ‘l-’aql wa ‘l-ma’qul). Risalah ini terdiri dari sebuah

pengantar dan dua bagian (maqalah). Bagian pertama kemudian dibagi

menjadi enam sub-bagian (fasl) dan bagian kedua menjadi tiga sub-bagian.

Sadra mulai dengan membahas tiga makna dan tingkat intelek, y.i. intelek

material/hylic (al-’aql al-hayulani), intelek aktual atau perolehan (al-’aql bi

‘l-fi’l) dan intelek aktif atau agen (al-’aql al-fa’al). Sepanjang

pembahasannya, Sadra mengkritik para filsuf secara umum dan Ibn Sina

secara khusus karena gagal memahami kesatuan antara intelek dan

intelijibel sebagai definisi sejati pengetahuan. Untuk tujuan itu, ia mengutip

Alexander dari Aphrodisias dan Plotinus (dari Uthulujiyyah yang dengan

keliru disandarkan kepada Aristoteles), membela Porphyry di hadapan

catatan-catatan kritis Ibn Sina, dan menjelaskan banyak prinsip dari

filsafatnya termasuk keutamaan ada (asalat al-wujud), gerak substansial (al-

Page 75: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

61

harakah al-jawhariyyah), dan gagasan bahwa suatu kenyataan sederhana

mengandung semua hal dalam dirinya (basit al-haqiqah kull al-ashya’).

Sadra juga menyajikan sebuah diskusi panjang tentang intelek aktif atau

agen, seperti yang ditafsirkan oleh para filsuf Peripatetik, untuk menguatkan

pandangan-pandangannya mengenai kesatuan intelek dengan intelijibel.

Risalah ini tanpa alasan yang jeals tetiba berakhir dengan sebuah

pembahasan mengenai beberapa istilah teknis dan sebuah kutipan dari

Uthulujiyya. Edisi kritis dari risalah ini diterbitkan di Majmu’ah Isfahani.

Sembilan belas manuskrip telah didaftar.

15. Ittisaf al-Wujud bi ‘l-Mahiyah. Sebuah risalah mengenai bagaimana ada

dan kuiditas terkait satu sama lain. Sadra membahas salah satu perkara

utama dari ontologi tradisional, y.i. bagaimana ada (wujud) disifatkan

kepada kuiditas (mahiyah). Ia memulai analisisnya dengan menegaskan

kesulitan-kesulitan yang disebabkan oleh persoalan ini, serta mengkritik

pandangan-pandangan kalam atas perkara ini, khususnya Fakhr al-Din al-

Razi [w. 606/1210] dan Jalal al-Din Dawani [d. 908/1502]. Pembahasan ini

berkisar di sekeliling dua persoalan: dapatkah kuiditas dikatakan ‘eksis’,

dan dapatkah ada (wujud) menjadi sebuah predikat bagi kuiditas? Risalah

ini dicetak dalam Rasa’il. Enam belas manuskrip telah didaftar.

16. Kasr al-Asnam al-Jahiliyyah fi Dhamn al-Mutasawwifin. Ini merupakan

serangan Sadra kepada mereka yang mendaku Sufi dan memegang

pendapat-pendapat yang berlebihan. Risalah ini penting untuk memahami

pandangan-pandangan Sadra tentang tradisi Sufi yang darinya ia meminjam

secara bebas dan luas sama halnya dengan para pengikut yang mendaku-

daku. Sadra admonishes mereka yang mengabaikan ilmu Ketuhanan (al-

’ilm al-ilahi) dengan mengartikannya sebagai suatu hijab. Ia mengutip

sejumlah ayat Qur’an dan sabda Rasul, begitu pula dari para filsuf. Risalah

ini terdiri dari sebuah pengantar, empat bab (maqalah), masing-masingnya

terdiri dari sub-bab (fusul), dan sebuah kesimpulan. Bagian pertama

mengukuhkan, dalam tiga sub-bab, makna dari pengetahuan Ilahi dengan

menekankan resiprositas di antara pengetahuan (ma’rifah) dan praktik

spiritual (riyadah). Bab kedua menjelaskan, dalam sembilan sub-bab, sifat-

Page 76: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

62

sifat dari kebijaksanaan (al-abrar), yang Sadra anggap sebagai pejalan sejati

jalur spiritual. Bab keempat berisi, dalam lima sub-bab, seangkaian ceramah

dan nasihat dengan rujukan khusus kepada status rendah dunia dan mereka

yang mematuhinya. Teks ini telah disunting oleh M.T. Danechepazuh. Tiga

belas manuskrip telah dicatat.

17. Al-Lama’at al-Mashriqiyyah fi ‘l-Mabahith (al-funun) al-Mantiqiyyah,

juga dikenal sebagai al-Tanqih dan al-Tanqiyah. Sebuah risalah singkat

tentang logika yang ditulis dari sudut pandang kritik al-Suhrawardi terhadap

logika dan kategori Aristotelian. Karena analisis kritisnya, risalah ini

terkadang disebut ‘Risalah mengenai Penolakan Logika’ (Risalah dar

Naqd-i Mantiq) dalam katalog manuskrip Persia. Ini merupakan sebuah

ringkasan dari ulasan Sadra yang lebih panjang atas sub-bab logika dari

Hikmat al-Ishraq Suhrawardi. Ia terdiri dari sembilan bab atau iluminasi

(ishraq) dengan masing-masing ‘iluminasi’ dibagi lagi menjadi ‘gleaming’

(lam’ah). Sadra memulai dengan definisi dari logika (mantiq) dan

pengetahuan (‘ilm) dan mengalamatkan hampir semua perkara besar dari

logika klasik termasuk konsep-konsep sederhana dan susunan, luma

universal (al-kulliyat al-khamsah), proposisi (al-alfaz), predikasi (al-haml),

definisi (al-hadd), posibilitas (al-imkan), keniscayaan (al-wujub) senagai

kategori-kategori logis, analogi (al-qiyas) dan jenis-jenisnya, bukti logis

(al-burhan), dan sofistri (sufistiqi dan mughalatah). Edisi kritis dari teks ini

telah diterbitkan dalam Majmu’ah Isfahani. Enam manuskrip telah didaftar.

18. Limmiyat Ikhtisas al-Mintawah bi-Mawdi’ Mu’ayyan min al-Falak; juga

dikenal dengan judul al-Limmiyat fi ikhtisas al-Falak bi-Mawdi’

Mu’ayyam. Sebuah risalah empat halaman mengenai persoalan astronomi

mengapa zodiak memiliki posisi yang lebih jika dibandingkan dengan yang

lainnya. Beberapa sumber menyebut suatu risalah yang disebut Hall al-

Ishkalat al-Falakiyyah sebagai seuatu buku terpisah atas dasar sebuah

rujukan kepadanya di Asfar. Akan tetapi, hampir pasti bahwa keduanya

adalah karya yang satu dan jelas sama. Dalam mengalamatkan perkara

astronomis ini, Sadra masuk ke dalam sebuah diskusi filosofis mengenai

prosesi Zodiak dan bintang-bintang lain dari intelek universal, dan

Page 77: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

63

mempercanggih argumen ontologis ini untuk membuktikan emanasi dari

wilayah dunia malaikat. Edisi kritis dari kitab ini ada dalam Majmu’ah

Isfahani. Lima manuskrip dari teks ini telah dicatat.

19. Al-Mabda’ wa ‘l-Ma’ad. Sebuah risalah tentang kosmogo-ni dan

eskatologi. Seperti yang digambarkan oleh judulnya, Sadra menerangkan

tentang rantai besar ada berdasarkan ajaran ontologis serta eskatologisnya.

Teks ini membahas pembagian utama filsafat tradisional seperti metafisik

(al-ilahiyyat), filsafat alam (al-tab’iyyat), psikologi (‘ilm al-nafs), dan asal

mula semesta dengan sebuah diskusi mengenai profetologi (nubuwwah)

Islam di akhir. Karya ini dibagi menjadi dua bagian utama atau ‘ilmu’

(fann). Bagian pertama membahas watak Tuhan, yang Sadra sebut

‘rububiyyah’, dan bagian kedua filsafat alam. Bagian pertama dibagi

menjadi tiga sub-bagian (maqalah). Sub-bagian pertama membahas asal

usul ada (wujud) dan eksistensi (wujud) Tuhan; kedua, Nama dan Atribut

Tuhan; dan ketiga, tindakan Tuhan di alam semesta. Bagian kedua dibagi

menjadi empat sub-bagian. Sub-bagian pertama membahas penciptaan dan

pembentukan tatanan alam raya dari berbagai anasir; kedua, kebangkitan

kembali badani; ketiga, kebamgkitan kembali manusia berdasarkan prinsip

gnostik; dan keempat, profetologi Islam. Sub-bagian keempat di bagian

kedua disajikan sebagai rangkuman dari filsafat politik Sadra di mana ia

mengalamatkan perkara seperti peran dari nabi dalam agama, mukjizat,

perbedaan antara wahyu dan ilham, politik, dan tujuan dari Syari’ah.

Sabziwari telah menulis sebuah ulasan (hashiyah) atas al-Mabda’ wa ‘l-

Ma’ad. Dua terjemahan bahasa Parsi tersedia oleh Sayyid Ahmad Ardakani

dan Ahmad ibn Muhammad Husayni dengan sebuah komentar paralel

berbahasa Parsi. Sebuah ringkasan berbahasa Parsi dari karya ini telah

dipersiapkan oleh Nazar ‘Ali Ghilani di bawah judul Khulasah-i Mabda’ u

Ma’ad. Yang terbaru, ia telah disunting oleh Sayyid Jalal al-Din Ashtiyani

dengan pengantar Parsi dan Inggris oleh S. H. Nasr. Tujuh puluh sembilan

manuskrip dari teks ini telah didaftar.

20. Al-Masa’il al-Qudsiyyah wa ‘l-Qawa’id al-Malakutiyyah. Salah satu karya

Sadra yang ditulis setelah Asfar seperti yang ia rujuk dalam risalah sebagai

Page 78: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

64

‘buku besar kami’ (kitabuna ‘l-kabir). Ini kemungkinan besar merupakan

risalah yang sama dengan al-Masa’il al-Qudsiyyah fi ‘l-Hikmat al-

muta’aliyah yang disebut oleh Nasr. Risalah ini memusatkan diri pada tiga

persoalan utama yang telah dibahas oleh Sadra dalam karyanya yang lain,

y.i. kenyataan ada dianalisis dalam bab (maqalah) pertama, Tuhan sebagai

ada niscaya dibahas di bab kedua. Sadra menyatakan bahwa argumen yang

disebut dalam Masa’il tidaklah diturunkan dari spekulasi diskursif a la

filsafat formal (al-falsafah al-rasmiyyah), debat-debat teologis, imitasi buta

dari khalayak umum, atau argumen-argumen keliru dari para sofis. Akan

tetapi, teks ini telah diturunkan kepadanya sebagai ilham hatu (al-waridat

al-qalbiyyah). Teks ini telah dicetak dalam Sih Risalah Ashtiyani. Tujuh

manuskripnya telah didaftar.

21. Kitab al-Masha’ir. Salah satu karya akhir Sadra di mana Sadra memberikan

sebuah ringkasan bagi ontologinya dengan pembahasan yang singkat dan

padat atas beberapa perkara teologis. Risalah ini dibagi menjadi dua bagian

utama, bagian pertama terdiri dari delapan mash’ar, dan bagian kedua

terdiri dari tiga manhaj, dengan sebuah kesimpulan. Bagian pertama

membahas prinsip dari ontologi Sadra sebagai kesederhanaan mutlak dan

keutamaan ada, pertautannya dengan kuiditas, eksistensi (wujud) mental,

partikularisasi ada, dan kausalitas ontologis. Mash’ar terakhir dari bagian

pertama berisi sebuah pembahasan singkat tentang kausalitas dan instaurasi

(ja’l) sebagai sebuah transisi menuju bagian kedua. Sisa dari bagian

Masha’ir dikhususkan untuk membahas konsep Tuhan sebagai Wujud

Niscaya (wajib al-wujud), diciptakannya dunia kejamakan dari yang Satu,

Nama-nama dan Atribut-atribut Tuhan dilihat dari sudut pandang kategori

ontologis Sadra, Tindakan-Nya di alam semesta, dan penciptaan temporal

dunia. Masha’ir merupakan salah satu karya Sadra yang paling banyak

dipelajari baik dulu maupun sekarang, Para pengulas Masha’ir termasuk

Syaikh Ahmad Ahsa’i, yang telah menulis sebuah ilasan penting yang di

dalamnya ia menolak salah satu premis utama Sadra bahwa ‘suatu

kenyataan sederhana mengandung semua hal’, Mulla ‘Ali Nuri [w.

1246/1830], Mulla Muhammad Ja’far Langarudi Lahiji, Mulla Isma’il

Page 79: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

65

Isfahani, Mirza Ahmad Ardakani Shirazi, Mulla Zaya al-’Abidin ibn

Muhammad Jawad Nuri, dan Mirza Abu ‘l-Hasan Jilwah [w. 1314/1896].

Di masa modern, Masha’ir telah diterjemahkan ke bahasa Prancis oleh

Henry Corbin dengan judul Le Livre des penetrations metaphysiques dan

diterbitkan dengan pengantar, catatan, dan terjemahan Parsi oleh pangeran

Qajar, Badi’ al-Mulk Mirza ‘Imad al-Dawlah [meninggal di bagian pertama

abad 19]. Terjemahan Parsi lain oleh Ghulam Husayn Ahani muncul tahun

1961. Toshihiko Izutsu telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Jepang.

Terjemahan Inggris pertama oleh Parviz Morewedge telah diterbitkan

sebagai The Metaphysics of Mulla Sadra. Terjemahan terbaru Masha’ir ke

bahasa Inggris dilakukan oleh Seyyed Hossein Nasr dengan sebuah ulasan

paralel di dalam teks, yang saat ini sedang disunting dengan sebuah

pengantar dan catatan oleh I. Kalin. Seratus lima puluh satu manuskrip dari

teks ini telah didaftar.

22. Al-Mazahir al-Ilahiyyah fi Asrar al-’Ulum al-Kamal-iyyah. Salah satu

karya besar teologis Sadra yang mensintesiskan argumen-argumen filosofis

dengan kutipan-kutipan dari Qur’an. Karya ini dibagi menjadi dua bagian

utama atau ‘ilmu’ (fann) dengan sebuah pengantar dan kesimpulan. Fann

pertama dikhususkan bagi metafisika dan yang kedua bagi eskatologi,

masing-masingnya dibagi lagi menjadi delapan manifestasi (mazhar).

Mazhar pertama dari fann pertama membahas asas-asas serta tujuan dari

Kitab Suci, y.i. Qur’an; kedua, bukti-bukti bagi keberadaan Tuhan; ketiga,

tauhid Tuhan; keempat, Nama dan Sifat Tuhan; kelima, pengetahuan Tuhan

atas Diri-Nya dan hal-ihwal lain selain esensi (mahiyah)-Nya; keenam,

Keilahiyahan Tuhan; ketujuh, penciptaan temporal dunia (huduth al-’alam);

dan kedelapan, awal dan ahir dari hal-ihwal. Mazhar pertama dari fann

kedua membahas bukti-bukti terkait kebangkitan kembali badaniah; kedua

penciptaan manusia sebagai suatu ada utuh dengan kekuatan perseptual dan

intelektualnya; ketiga, kenyataan mati; keempat, kubur, siksa dan ganjaran

di dalamnya; kelima, penciptaan-ulang awal (al-ba’th) dari umat manusia;

keenam, kebangkitan kembali (al-hashr); ketujuh, jembatan sirat, dan

kedelapan, pembukaan dari buku catatan amal manusia di dunia ini.

Page 80: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

66

Kesimpulan (khatimah) teks ini berisi sebuah pembahasan yang jelas

mengenai bagaimana Hari Kiamat terjadi menurut gambaran yang diberikan

dalam Qur’an. Buku ini diakhiri dengan kehendak (wasiyyah) yang

dengannya ia mendesak para pembacanya untuk mengikuti jalan spiritual

yang mengarah kepada Tuhan. Mazahir ini telah disunting dua kali. Edisi

pertama oleh S.J. Ashtiyani dengan sebuah pengantar berbahasa Parsi dan

catatan-catatan pendek berbahasa Arab. Edisi kritis kedua oleh Sayyid

Muhammad Khamanei dengan sebuah pengantar panjang berbahasa Parsi

yang membahas sumber-sumber Yunani dan Neo-Platonis dari filsafat

Islam dan mazhab Mulla Sadra. Tujuh manuskrip dari teks ini telah didaftar.

23. Al-Mizaj (Risalah fi). Merupakan sebuah risalah filosofis dan psikologis

mengenai tempramen yang didasarkan atas kosmologi dan psikologi

tradisional. Ini merupakan sebuah ringkasan dari bagian-bagian yang

relevan dari Asfar dan dibagi menjadi enam bagian (fasl). Bagian pertama

membahas makna dari tempramen dari segi bentuk fisik dan inderawi;

kedua, relasi antara temperamen dan empat anasir; ketiga evaluasi atas

pandangan Ibn Sina dalam Shifa’; keempat, fakultas penglihatan dan

bagaimana anasir-anasir terpadu lalu membentuk temperamen berbeda;

kelima, kritik atas pandangan Ibn Sina mengenai potensialitas dan aktualitas

terkait dengan fakultas jiwa; dan keenam, pandangan Sadra sendiri

mengenai temperamen dan terpadunya anasir. Edisi kritis dari Mizaj telah

dicetak dalam Majmu’ah Isfahani.

24. Namaha-i Sadra. Sebuah kumpulan dari empat atau lima surat Sadra untuk

gurunya, Mir Damad. Surat ini ditulis dalam bahasa Arab dan Parsi dengan

gaya bahasa tinggi dan berisi sejumlah pertanyaan yang diajukan oleh Sadra

termasuk sebuah permintaan izin untuk berkelana ke Qom atau Kashan,

yang menegaskan kedekatan ikatan personal antara Sadra dan Mir Damad.

Salah satu surat berbahasa Arab telah diterbitkan oleh Ashtiyani. Salah satu

surat berbahasa Parsi telah diterbitkan, dengan beberapa yang dihapus,

dalam Muhammad Khawajawi.

25. Al-Qada wa ‘l-Qadar fi Af’al al-Bashar. Sebuah risalah tentang kehendak

bebas dan predestinasi. Bahkan meskipun mengalamatkan persoalan yang

Page 81: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

67

sama, ia ditulis dalam satu gaya yang lebih rinci dibanding Khalq al-A’mal.

Struktur dari risalah ini, dan hingga taraf tertentu, isinya dapat dibandingkan

dengan sebuah risalah oleh ‘Abd al-Razzaq Kashani dengan judul yang

sama. Risalah ini terbagi menjadi enam bagian utama (fasl). Bagian pertama

membahas makna dari Kemahakuasaan Tuhan (inayah) dan takdir; kedua,

lokus dari qada dan qadar; ketiga, kesempurnaan tertinggi dari dunia

aktualitas karena ia eksis, yang merupakan formulasi lain dari doktrin

terkenal mengenai yang terbaik dari dunia yang mungkin; keempat, teodisi

dan persoalan kejahatan dalam penciptaan dunia; kelima, tindakan bebas

manusia vis a vis takdir Tuhan; dan keenam, arti penting mematuhi perintah

Tuhan (ta’ah) dan pengaruh dari doa. Teks ini dicetak dalam Rasa’il dengan

judul Risalah Mas’alat al-Qadar fi ‘l-Af’al. Dua puluh tiga manuskrip telah

dicatat.

26. Sarayan Nur Wujud al-Haqq fi ‘l-Mawjudat. Sebuah penanganan filosofis

dan gnostik atas kenyataan Tuhan yang mencakup segalanya sebagaimana

ia hadir di semua benda. Sadra berupaya untuk menjawab persoalan pekik

tentang bagaimana Tuhan eksis dalam semua hal melalui ada dan

pengetahuan-Nya tanpa ketauhidan-Nya tergantikan. Meskipun ditulis dari

sudut pandang keutamaan kuiditas (asalat al-mahiyah) ketika Sadra masih

mengikuti ontologi ishraqi dari pembimbingnya, Mir Damad, karya ini

membahas sebuah persoalan yang telah menyibukkan Sadra dalam

karyanya yang lain. Ia dicetak dalam Rasa’il. Lima belas manuskrip dari

teks ini telah didaftar.

27. Sharh al-Hidayah al-Athiriyyah. Ulasan Sadra atas risalah logiko-filosofis

Athir al-Din Mufaddal ibn ‘Umar al-Abhari al-Samarqandi [663/1264].

Karya Abhari merupakan salah satu teks yang paling luas beredar mengenai

logika formal Islam (al-mantiq al-suri), filsafat alam dan metafisik, dan

banyak ulasan serta catatan yang telah ditulis tentangnya. Ulasan Sadra

merupakan salah satu karyanya yang paling awal, di mana ia tetap

berpegang teguh pada premis dari logika dan filsafat Peripatetik secara

umum dan menafikan perubahan dalam kategori substansi. Teks ini terdiri

dari sebuah pengantar mengenai definisi ‘filsafat’ (al-hikmah), dua bagian,

Page 82: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

68

dikhususkan untuk filsafat alam (al-tabi’iyyat) dan metafisik (al-ilahiyyat),

dan sebuah kesimpulan. Bagian pertama kemudian dibagi lagi menjadi tiga

sub-bagian atau ‘seni’ (fann). Sub-bagian pertama membahas atomisme dan

kritik atasnya; kedua, wilayah dan dunia celestial; dan ketiga, anasir-anasir

yang dengannya alam semesta dibuat, dan fakultas jiwa. Bagian kedua juga

dibagi menjadi tiga sub-bagian. Sub-bagian pertama membahas konsep

eksistensi (wujud), kausalitas, potensialitas dan aktualitas, dan sepuluh

kategori Aristotelian; kedua, bukti-bukti bagi eksistensi Wujud Niscaya; dan

ketiga, intelek-intelek terpisah (al-’uqul al-mujarradah) dan bagaimana

mereka ditafsirkan sebagai malaikat dalam bahasa kaum fuqaha dan sebagai

cahaya murni dalam Mazhab Iluminasi dan Sufisme. Bagian Kesimpulan

berisi sebuah pembahasan singkat mengenai akhirat dan kebangkitan

kembali badani. Banyak catatan oleh para filsuf Persia telah ditulis atas

ulasan Sadra, di antaranya, kita dapat menyebut Mulla Qutb al-Din al-

Sahalawi, Muhammad al-Husayni yang dikenal sebagai Ghulam Nur, Mulla

‘Ali Zunuzi, dan Mirza Abu ‘l-Hasan Jilwah. Sharh ini juga menjadi begitu

terkenal di sub-kontinen India seiring banyak manuskrip dari teks ini telah

ditemukan di perpustakaan-perpustakaan di India dan Pakistan. Seratus dua

puluh manuskrip telah didaftar.

28. Al-Shawahid al-Rububiyyah fi ‘l-Manahij al-Sulukiyyah. Merupakan

ringkasan Sadra atas pemikirannya sendiri dan mungkin karya terpenting

setelah Asfar. Teks ini dibagi menjadi lima ‘tempat kesaksian’ (mashhad)

dengan tiap mashhad dibagi lagi menjadi ‘kesaksian’ (shahid). Mashhad

pertama dikhususkan untuk metafisika umum di mana Sadra membahas,

dalam lima ‘kesaksian’, persoalan-persoalan mendasar dari ontologi.

Kesaksian pertama membahas konsep dan realitas eksistensi (wujud);

kedua, eksistensi (wujud) mental; ketiga, Wujud Niscaya dan Ketauhidan

Tuhan; keempat, konsep-konsep semacam anterioritas, posterioritas, unitas

dan multiplisitas yang dianalisis sebagai kategori ontologis; dan kelima,

kuiditas dan konsep-konsep universal lainnya. Mashhad kedua membahas

eksistensi (wujud) Tuhan dan ketauhidan, dan dibagi menjadi dua

‘kesaksian’. Kesaksian pertama membahas Nama dan Atribut Tuhan

Page 83: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

69

sebagai tahapan pertama penentuan-diri ontologis Tuhan; dan kedua, objek-

objek dari wilayah Ilahiah, y.i. intelek-intelek terpisah dan forma-forma

Platonik sebagai arketip. Mashhad ketiga dikhususkan untuk apa yang sadra

sebut ‘ilmu kembalinya segala sesuatu kepada Tuhan’ (‘ilm al-ma’ad). Ia

dibagi menjadi tiga kesaksian. Kesaksian pertama membahas penciptaan

alam semesta; kedua, antropologi psikologis dan filosofis dengan suuatu

analisis atas jiwa dan derajatnya; dan ketiga, makna dari intelek (al-’aql)

dan berbagai derajatnya seperti intelek potensial dan perolehan. Mashhad

keempat membahas eskatologi dan kebangkitan kembali badaniah, dan

dibagi menjadi tiga kesaksian. Kesaksian pertama membahas berbagai opini

mengenai kebangkitan kembali badaniah serta kritik atasnya; kedua, realitas

dan berbagai aspek dari akhirat; dan ketiga, perbedaan antara dunia ini dan

selanjutnya serta para penduduk dari hari akhir. Mashhad kelima membahas

profetologi Islam (nubuwwah) dan kewalian (al-wilayah), dan dibagi

menjadi dua kesaksian. Kesaksian pertama membahas kenabian, mukjizat,

daya-daya kenabian, dan perbedaan antara wahyu dan ilham; dan kedua,

filsafat politik, hukum Ilahiah, dan sifat-sifat penguasa. Karena menjadi

sebuah teks yang populer dan relatif mudah dipahami, banyak ulasan

atasnya telah ditulis oleh para tokoh semacam Mulla ‘Ali Nuri, Muhammad

Rida Qumsha’i, dan Sabziwari yang ulasan monumentalnya amatlah

penting. Tiga terjemahan Persia atas teks ini tersedia oleh Sayyid Ahmad

Husayni Ardakani, Syaikh Abu ‘l-Qasim ibn Ahmad Yazdi dan Jawad

Muslih. Sebuah edisi modern dari Shawahid dengan ulasan penting dari

Sabziwari telah diterbitkan oleh S.J. Ashtiyani dengan sebuah pengantar

oleh S. H. Nasr, edisi kedua. Sebuah terjemahan ke bahasa Inggris saat ini

sedang dikerjakan oleh Caner Dagli dari Universitas Princeton. Seratus dua

puluh satu manuskrip telah didaftar.

29. Sih Asl. Satu-satunya risalah Sadra yang ditulis dalam bahasa Persia. Ini

merupakan salah satu karya penting Sadra mengenai etika spiritual dan yang

berarti penting untuk menunjukkan sikap kritisnya atas para literalis Syi’i di

masanya. Dalam risalah ini, Sadra memberikan kritik atas ‘ulama’ eksoteris,

yang disebut ahl al-zahir, yang dipertentangkan dengan jalur pengetahuan

Page 84: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

70

dan spiritualitas (irfan) yang dibela oleh para Sufi dan Syi’i gnostik. Karya

ini berisi beberapa catatan autobiografis dan puisi Persia yang dimasukkan

di antara pembahasan Sadra. Sadra mengkritik, dalam empat belas bagian

atau ‘gerbang’ (bab), tiga kelemahan asasi watak manusia, yang ia analisis

terkait dengan sikap pretensius dari para sarjanawan eksoteris dari Syari’ah.

Asas pertama adalah pengabaian atas pengetahuan diri bersama

pengetahuan akan akhirat. Sadra mendalilkan pengetahuan diri dan

derajatnya sebagau suatu sine qua non bagi pencapaian kebahagiaan. Asas

kedua adalah cinta dunia dan kepemilikian duniawi. Di bagian setelahnya

dari karya ini, Sadra membahas berbagai aspek dari kehidupan spiritual dan

etis. Sejumlah ayat Qur’ani dan sabda Rasul dikutip sepanjang teks ini. Sih

Asl telah disunting secara kritis oleh S. H. Nasr dengan sebuah pengantar

berbahasa Persia dan kutipan-kutipan dari puisi diwan Parsi Sadra. Edisi

kedua dengan sebuah pengantar dari Muhammad Khawajawi juga telah

diterbitkan. Sebelas manuskrip telah diketahui tempatnya.

30. Ta’liqat ‘ala Ilahiyyat al-Shifa’. Sebuah ulasan filosofis namun tak

lengkap, mengenai metafisika Ibn Sina dalam Shifa hingga maqalah

keenam. Dalam glosses-nya ini, Sadra membahas sumber-sumber dari

gagasan Ibn Sina dan menjelaskan ungkapan-ungkapan serta poin-poin

yang sulit. Seperti dalam ulasannya atas risalah Abhari tentang filsafat,

Sadra tetap memegang teguh sudut pandang Peripatetik dan tidak

memperkenalkan satupun gagasannya. Dua puluh delapan manusktip telah

dicatat.

31. Al-Tasawwur wa ‘l-Tasdiq. Sebuah risalah tentang perso-alan logis dari

konsep atau gambaran dan penilaian. Sadra membahas makna-makna

berbeda dari konsep dan penilaian dan mengkritik pandangan-pandangan

dari para teolog. Dia terkadang mengutip Ibn Sina dan para filsuf Peripatetik

lainnya. Terdapat juga rujukan kepada Qutb al-Din Razi dan ulasannya atas

Shamsiyyah Qazwini, sebuah risalah penting mengenai logika formal klasik.

Teks ini telah diterjemahkan ke bahasa Persia dan diulas oleh Mahdi Ha’iri

Yazdi. Tujuh belas manuskrip telah didaftar.

Page 85: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

71

32. Al-Tashakhkhus (Risalah fi). Sebuah risalah filosofis mengenai

individuasi. Ia dibagi menjadi tiga bagian (fasl). Sadra membahas sebuah

persoalan penting dari filsafat tradisional, y.i. bagaimana hal-ihwal

dibedakan satu sama lain dan bagaimana mereka mendapat identitas

individual mereka. Sebagai tambahan bagi pembahasan berbagai pendapat

mengenai hal ini, ia mengkritisi pandangan bahwa individuasi tidak

memiliki realitas in concreto. Risalah ini penting bagi perkembangan

pemikiran Sadra selanjutnya mengenai persoalan determinasi eksistensial

dan individuasi yang ia bahas secara luas dalam Asfar. Teks ini dicetak

dalam Rasa’il. Dua belas manuskrip telah didaftar.

33. Al-Waridat al-Qalbiyyah fi Ma’rifat al-Rububiyyah. Sebuah risalah mistik

mengenai beberapa persoalan filosofis dengan suatu kritik kuat atas ‘ulama’

eksoteris dan dukungan mereka terhadap para penguasa yang tak adil.

Seperti dalam Shawahid, Sadra memulai karyanya dengan sebuah diskusi

mengenai metafisik dan lalu berpindah ke ontologi, pengetahuan atas Wujud

Niscaya, asal-usul baik dan jahat, dan ilmu jiwa serta penyuciannya. Teks

ini telah disunting dan diterjemahkan ke Persia oleh Ahmad Shafi’iha. Juga

duterbitkan dalam Rasa’il. Tiga puluh dua manuskrip telah didaftar.

34. Al-Wujud (Risalah). Sebuah risalah singkat yang merangkum konsep

wujud Sadra. Sadra menganalisis mazhab-mazhab utama ontologi di bawah

tiga judul utama. Pertama adalah pandangan dari mazhab iluminasi, yang

menganggap wujud sebagai seuatu abstraksi mental. Posisi kedua adalah

posisi para teolog, yang amat mirip dengan pandangan pertama. Dan

pandangan ketiga dari para Sufi yang menganggap wujud sebagai sumber

dan realitas hakiki dari semua hal. Sebagai pendukung dari posisi ketiga,

Sadra memberikan suatu analisis rinci atas pandangan-pandangan ontologis

dari para Sufi dan mengkhususkan beberapa halaman untuk pembahasan

mengenai kesatuan wujud (wahdat al-wujud). Risalah ini telah diterbitkan

dalam Majmu’ah Isfahani.

35. Yad-dashtha-yi Mulla sadra. Catatan-catatan singkat Sadra dan

perenungan mengenai berbagai perkara yang merentang dari sebuah diskusi

mengenai Imamah berdasarkan Sirr al-’Alamayn Ghazali dan definisi dari

Page 86: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

72

filsafat hingga berbagai puisi Persia. Judul dari buku ini bukanlah dari Sadra

sendiri. Catatan-catatan ini telah disunting dan diterbitkan oleh Muhammad

Barakat dengan sebuah daftar perpustakaan pribadi Sadra, berisi seratus

empat buku.

36. Zad al-Musafir, juga dikenal sebagai Zad al-Salik dan Ma’ad al-Jismani.

Sebuah risalah singkat yang merangkum pandangan-pandangan Sadra

tentang eskatologi. Dibagi menjadi dua belas bagian, ia membahas semua

perkara besar terkait Hari Kiamat, kebangkitan kembali badani, alam

barzakh, dan kembalinya dunia kejamakan ke yang Satu. Seperti dalam

karyanya yang lain mengenai eskatologi, Sadra menggunakan bukti-bukti

relijius, filosofis, dan gnostik sepanjang teks, dan membahas berbagai

argumen yang dipercanggih oleh para teolog, filsuf, dan kaum

Iluminasionis. Sayyid Jalal al-Din Ashtiyani telah menulis sebuah ulasan

penting dalam bahasa Persia mengenai Zad. Lima manuskrip telah didaftar.

Page 87: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

73

BAB III: GENEALOGI METAFISIKA EKSISTENSIAL

A. Prolog: Persoalan Terminologis

Genealogi dapat diartikan sebagai:

a) Suatu istilah yang secara khusus dikaitkan dengan Nietzsche, terdapat

dalam judul salah satu bukunya, Genealogi Moral. Genealogi sebagian

merupakan rekonstruksi historis mengenai mengapa konsep-konsep tertentu

memiliki bentuk yang mereka peroleh, dan sebagian merupakan

rekonstruksi rasional, atau kisah mengenai fungsi yang dimiliki konsep

tersebut.1

b) Sebuah pertanyaan mengenai asal-usul dan diturunkannya sesuatu hal.

Nietzsche mengartikan genealogi sebagai sebuah penyelidikan mengenai

asal-usul dari prasangka-prasangka moral dalam Genealogi Moral.2

c) Secara harfiah, genealogi berarti sejarah sesuatu hal, dengan penekanan

pada keberlanjutan atau ketakberlanjutan dari pewarisan hal tersebut,

pengaruh-pengaruh serta perbedaan-perbedaan yang ia bawa. Itulah

mengapa ia dulunya digunakan untuk menggambarkan ‘sebuah pohon

keluarga.3

d) Metode-metode penelitian yang dikembangkan oleh Nietzsche dengant

ujuan untuk memperlihatkan ‘asal-usul dari prasangka moral kita’ dalam

karyanya yang berpengaruh, Genealogi Moral.4

1 “A term particularly associated with Nietzsche, occuring in the title of his book The Genealogy of

Morals. Genealogy is part historical reconstruction of the way certain concepts have come to have

the shape they do, and part a rational reconstruction or story about the function they serve.” Dalam

Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005) h. 148. 2 “An inquiry into origin and descent. Nietzsche defined genealogy as the investigation of the origin

of moral prejudices in On the Genealogy of Morals.” Dalam Nicholas Bunnin & Jiyuan Yu, The

Blackwell Dictionary of Western Philosophy (Malden: Blackwell Pubslishing, 2004) h. 278. 3 “Literally, genealogy means the history of something, with an emphasis on the continuities or

discontinuities of descent, inward influences or divergences. That is why it is used to describe a

‘family tree’.” Dalam Douglas Burnham, The Nietzsche Dictionary (New York: Bloomsbury, 2015)

h. 147 4 “The methods of inquiry developed by Nietzsche for the purpose of disclosing ‘the origin of our

moral prejudices’ in his influential book, On the Genealogy of Morals (1887).” Dalam John Protevi

(ed.), The Edinburgh Dictionary of Continental Philosophy (Edinburgh: Edinburgh University

Press, 2005) h. 240

Page 88: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

74

Dari beberapa gambaran di atas, kita setidaknya mendapatkan ciri umum dari

sebuah penelitian genealogis. Setidaknya dalam penelitian ini, maksud dari

genealogi lebih cenderung kepada definisi pertama: penelitian ini hendak

mengupayakan suatu rekonstruksi historis mengenai bagaimana konsep eksistensi

(wujud) memperoleh bentuknya, dalam karya Mulla Sadra. Dalam empat definisi

di atas, terutama dalam definisi nomor tiga, genealogi bermakna sejarah dari

sesuatu, yang dalam artian Nietzsche, adalah sejarah moral, begitu pula, dalam

penelitian ini, yang dimaksud ialah sejarah mengenai gagasan eksistensi (wujud)

dalam filsafat Islam, yang pada akhirnya mencapai bentuknya dalam pemikiran

Mulla Sadra. Penggunaan istilah genealogi dalam penelitian filosofis sejenis ini

bukanlah hal yang baru, Sajjad H. Rizvi, dalam bukunya, Modulation of Being:

Metaphysics of Mulla Sadra 5 juga menggunakan istilah ini untuk menjelaskan

bagaimana konsep ‘tashkik-al-wujud’ Mulla Sadra memperoleh bentuknya dengan

melacak bagaimana konsep ini lahir.

Penggunaan istilah genealogi di sini bukannya tanpa maksud. Setidaknya,

sejauh pembacaan kami, terdapat suatu pendekatan umum yang diambil oleh

peneliti dalam melakukan penelitian filosofis semacam ini, terkhusus penelitian

mengenai filsafat Mulla Sadra. Yakni metode komparatif. Metode komparatif

berarti menempatkan gagasan Mulla Sadra, menyejajarkannya dengan filsuf lain

yang berasal dari dunia yang berbeda, secara umum, barat. Metode ini tentunya

memiliki kelebihan tertentu, semisal, dengan membandingkan pemikiran Mulla

Sadra yang lahir di abad 16 masehi dengan pemikiran filosofis Barat kontemporer

(atau setidaknya di abad 20), akan dihasilkan kesan bahwa pemikiran Mulla Sadra

masih relevan, atau, dianggap melampaui suara zamannya. Kami menemukan

beberapa karya ilmiah yang didasarkan pada metode ini, misalnya membandingkan

5 Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (New York: Routledge, 2009)

Page 89: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

75

pemikiran Mulla Sadra dengan Martin Heidegger6 dengan G.W.F. Hegel7 dengan

Jean-Paul Sartre8, dan lainnya.9

Meskipun penelitian dengan metode komparatif memiliki kelebihannya,

misalnya membuat pemikiran Mulla Sadra pada konteks ini, menjadi lebih relevan

karena dikaitkan dengan pemikir lain yang lebih kontemporer, namun kami kira

penelitian jenis ini kurang sesuai. Penyebabnya ialah, menurut kami penelitian

mendalam soal filsafat Mulla Sadra di tanah air masih begitu sedikit. Tanpa adanya

pembahasan yang rinci dan mendalam mengenai filsafat Mulla Sadra, penelitian

berjenis komparatif menjadi kurang relevan. Harapan kami dengan hadirnya

penelitian berjenis genealogis, kekurangan itu dapat dengan sedikit dibenahi. 10

Dengan melihat asal-usul gagasan mengenai eksistensi (wujud) dan projek filsafat

Sadra secara umum, kita akan melihat kejeniusan serta keaslian Sadra dalam

upayanya menjawab persoalan-persoalan yang menghantui spekulasi filsafat

Islam.11

Asal-usul istilah metafisika umumnya disandarkan kepada judul yang diberikan

untuk sebuah kumpulan tulisan Aristoteles. Metafisika berasal dari judul Ta meta

ta phusika yang secara harfiah bermakna ‘yang datang setelah fisika’, atau, dalam

konteks ini, yang dikumpulkan setelah pembahasan fisika. Meskipun penamaan ini

dalam artian tertentu nampak arbitrer, istilah ‘setelah fisika’ sebagai suatu

pembahasan yang berbeda dari fisika dapat dijustifikasi dengan melihat struktur dan

kandungan dari kumpulan teks tersebut. Singkatnya, kumpulan tulisan tersebut

memang benar-benar berbeda dari pembahasan Aristoteles yang lain, dan yang

6 Alparslan Açıkgenç, Being and Existence in Sadra and Heidegger: A Comparative Ontology

(Kuala Lumpur: ISTAC, 1993) 7 Kamal Abdulkarim Shlbei, “Sadra and Hegel on the Relationship between Essence/Existence and

Subject/Object”. (Disertasi, Department of Philosophy, Faculty of Graduate School of Liberal Arts,

Duquesne University, 2013 8 Dwi Pratomo, “Mulla Sadra dan Transendensi Diri”. Ilmu Ushuluddin 04, no. 01 (2017) h. 59-80. 9 Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (New York: Routledge, 2009)

h. 4-14. 10 Seyyed Hossein Nasr, “Conditions for Meaningful Comparative Philosophy”. Philosophy East

and West 22, no. 2 (1972): 53-61. 11 Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New York: SUNY Press, 1975)

Page 90: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

76

lebih penting lagi, ia mempelajari sesuatu yang lebih dahulu dan lebih tinggi

tingkatnya dibandingkan dengan objek-objek fisis.12

Terdapat sebuah kesatuan tematis dalam Metafisika Aristoteles, dan inilah

kenapa penamaan metafisika itu sendiri tidaklah arbitrer, Metafisika benar-benar

merupakan pembahasan ‘setelah fisika’. Karena fisika, dalam definisi Aristoteles,

berkenaan dengan eksisten-eksisten yang memiliki prinsip gerak dan diam dalam

dirinya, yakni eksisten material. Sementara pembahasan ‘setelah fisika’ adalah

pembahasan mengenai hal-hal yang tidak memiliki prinsip semacam itu, atau

karena hal tersebut sama sekali tidak bergerak, atau karena gerak mereka

sepenuhnya berasal dari luar. Dalam artian ini, metafisika berarti sebagai

penyelidikan atas hal-hal yang berada di luar ruang dan waktu.13

Dalam buku tersebut, pembahasan utama Aristoteles adalah ontologi, yaitu

kajian tentang eksistensi, tentang bagaimana sesuatu dapat dikatakan eksis, tentang

jenis-jenis hal yang eksis. 14 Aristoteles menyebut metafisika sebagai “filsafat

pertama,” “Kajian tentang eksistensi qua eksistensi”, atau “Teologi.”15 Singkatnya,

metafisika adalah penyelidikan filosofis atas watak dan struktur dari kenyataan.16

Fazlur Rahman, dalam Philosophy of Mulla Sadra menggunakan istilah

‘Metafisika eksistensi’ untuk merujuk kepada gagasan dari figur filosofis yang

menjadikan eksistensi (wujud) sebagai pembahasan utama dalam kerangka

metafisisnya. 17 Penelitian ini mengikuti istilah tersebut untuk memposisikan

pemikiran metafisis Mulla Sadra. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka kita

dapat mengartikan metafisika eksistensial sebagai penyelidikan filosofis atas watak

dan dasar dari kenyataan, yaitu – pace Sadra – eksistensi (wujud). Pengertian ini

12 Nicholas Bunnin & Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy (Malden:

Blackwell Pubslishing, 2004) h. 429. 13 John Protevi (ed.), The Edinburgh Dictionary of Continental Philosophy (Edinburgh: Edinburgh

University Press, 2005) h. 400. 14Michael Proudfoot & A.R. Lacey, The Routledge Dictionary of Philosophy (New York: Routledge,

2010) h. 248 15 Anthony Preus, Historical Dictionary of Ancient Greek Philosophy (Toronto: The Scarecrow

Press, 2007) h. 169. 16 Robert Audi (ed.), The Cambridge Dictionary of Philosophy (Cambridge: Cambridge University

Press, 1999) h. 563. 17 Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New York: SUNY Press, 1975)

Page 91: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

77

pada hakikatnya tidak berbeda jauh dari definisi dari metafisika sebagai kajian atas

eksistensi qua eksistensi.18

Maka, bab ini, sesuai dengan judulnya, bertujuan untuk menerangkan, dengan

metode genealogis, bagaimana metafisika eksistensial Sadra mencapai bentuk

finalnya dengan menilik asal-usul gagasan eksistensi (wujud) dari tiga mazhab yang

menjadi konteks filosofis metafisika Sadra. Bab ini akan menjelaskan asal-muasal

konsep eksistensi (wujud) yang merupakan warisan dari karya metafisika

Aristoteles, via Peripatetisme, khususnya al-Farabi dan Ibn Sina sehingga menjadi

persoalan yang ramai diperbincangkan dan bahkan diperdebatkan dalam horizon

intelektual filsafat Islam, yaitu perbedaan mengenai eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah). Hingga kemudian persoalan eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) ini

mencapai Suhrawardi yang mempersoalkan inkonsistensi logis dari pernyataan Ibn

Sina bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah), lalu,

melalui mazhab Akbariyyun dan peran al-Tusi, eksistensi (wujud) hadir sebagai

konsep metafisis penting dan di titik akhir mencapai perumusannya oleh filsuf kita,

Mulla Sadra.

B. Persoalan Eksistensi (Wujud)

1. Distingsi Aristotelian

Dalam Posterior Analytics, Aristoteles menulis:

“Lalu, bagaimana kau membuktikan apa itu sesuatu? Setiap orang yang

mengetahui apa itu manusia atau segala hal lainnya pastinya tahu bahwa hal

ini eksis. (Tentang apapun yang tidak eksis, tidak ada seorangpun yang tahu

hal tersebut. Kau mungkin tahu apa yang dimaksud dengan sesuatu ketika aku

menyebut “kambing-rusa”, tetapi tak mungkin kita mengetahui apa yang

dimaksud “kambing-rusa”). Tetapi jika kau hendak membuktikan apakah

sesuatu itu dan apakah ia eksis, bagaimana kau membuktikan keduanya dengan

argumen yang sama? Definisi membuat satu hal jelas, begitu pula demonstrasi:

tetapi mengetahui apa itu manusia dan apakah manusia eksis adalah dua hal

yang berbeda”19

18 Anthony Preus, Historical Dictionary of Ancient Greek Philosophy (Toronto: The Scarecrow

Press, 2007) h. 169. 19 “Again, how will you prove what something is? Anyone who knows what a man or anything else

is must also know that it exists. (Of that which does not exists, no one knows what it is. You may

know what the account or the name means when I say “goat-stag”, but it is impossible to know what

a goat-stag is). But if you are to prove what something is and also that it exists, how will you prove

them by the same argument? Definitions make a single thing plain, and so do demonstrations: but

what a man is and that men exists are different. (Aristoteles, Posterior Analytics, Book Beta, Chapter

Page 92: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

78

Apa yang dimaksud oleh Aristoteles ialah bahwa kita tidak mungkin

mengetahui sesuatu yang tidak eksis. Dan, meskipun kita mengetahui hal semacam

itu, yang kita ketahui hanyalah makna yang dikandung oleh gagasan tersebut.

Seseorang dapat mengetahui makna sebeneranya dari “manusia” jika dan hanya jika

“manusia” benar-benar eksis. Artinya, makna sebenarnya dari sesuatu hanya dapat

diketahui jika keberadaan, atau, eksistensi dari sesuatu tersebut telah terbukti.

Dengan definisi, kita mengetahui makna sesuatu, tetapi tidak eksistensi dari sesuatu

tersebut. Kesimpulannya, eksistensi dan esensi dari sesuatu merupakan dua hal

yang berbeda dan hanya bisa dibuktikan dengan dua cara yang berbeda.20

Dengan begitu, diskursus perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah) dapat dirujuk kepada pernyataan Aristoteles dalam kutipan di atas.

Namun, pada akhirnya, dalam tulisan Aristoteles, perbedaan ini tidak memiliki arti

yang penting. Dalam metafisika substansial Aristoteles, esensi yang sejati adalah

esensi yang sekaligus eksis, tidak ada esensi yang tidak eksis. Dalam sistem ini,

suatu esensi atau substansi yang nyata, sejauh ia nyata, sekaligus menyiratkan

eksistensinya. Sedari awal, eksistensi selalu berada dalam gagasan mengenai

esensi, karena apa yang dimaksud esensi yang nyata adalah bahwa esensi tersebut

eksis.21

2. Metafisika Penciptaan

Tepat di titik inilah, filsafat Islam membedakan dirinya dari warisan

Aristotelian. Metafisika Aristotelian tidak memberikan gagasan eksistensi dan

esensi peran sepenting yang diberikan oleh al-Farabi dan Ibn Sina. Benar bahwa

perbedaan ini berasal dari Aristoteles, namun Aristoteles tidak menarik perbedaan

ini lebih jauh dan meninggalkannya begitu saja. Hal ini disebabkan oleh logika

linguistik bahasa Yunani itu sendiri. Dalam bahasa Yunani, tidak ada kata khusus

yang bermakna ‘mengada’ atau ‘eksis’. Bahasa Yunani selalu menggunakan makna

‘eksis’ dalam konteks predikat. Misalnya, menjadi sebuah pohon, sebuah pensil,

7, 55).” Aristoteles, Aristotle Posterior Analytics, terjemahan Jonathan Barnes (Oxford: Oxford

University Press, 2002) h. 55. 20 Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and

Linguistic Studies, 1997) h. 89. 21 Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and

Linguistic Studies, 1997) h. 89.

Page 93: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

79

sebuah dinding. Contohnya, agar sebuah pohon itu ada atau eksis, atau agar sesuatu

menjadi sebuah pohon, maka ia harus menjadi sebuah pohon jati yang benar-benar

eksis. Agar putih itu eksis, adalah bahwa ia harus menjadi sebuah warna, dengan

kata lain, menjadi sebuah sifat yang dimiliki oleh suatu substansi tertentu. Maka,

eksistensi tidak menjadi suatu persoalan filosofis khusus dalam pemikiran Yunani

karena dalam logika linguistik mereka, eksistensi selalu dibicarakan melalui

peristiwa-peristiwa partikular.22

Dunia yang dijadikan Aristoteles sebagai titik keberangkatan filosofisnya ialah

sebuah dunia yang benar-benar eksis. Artinya, tidak ada kemungkinan bahwa dunia

ini tidak eksis. Sementara, bagi filsuf Muslim yang mengimani bahwa dunia itu

diciptakan, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an, tentu memiliki pandangan

berbeda mengenai dunia. Dalam dunia semacam itu, perbedaan antara esensi

(mahiyah) dan eksistensi (wujud) memiliki peranan penting. Tidak seperti dunia

yang diyakini Aristoteles, dunia bagi para filsuf Muslim adalah dunia yang bisa jadi

tidak eksis, dunia yang diciptakan, yang apabila tidak ada pencipta yang

menciptakannya, dunia tidak akan pernah eksis.23

Persoalan mengenai perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)

merupakan pokok bahasan yang begitu penting dalam filsafat Islam. Al-Farabi

membahas dengan jelas perbedaan antara eksistensi (huwiyah) dan esensi

(mahiyah) dalam Fusus al-hikmah, Ibn Sina yang terilhami dari al-Farabi

menjadikan perbedaan ini sebagai ujung tombak ontologisnya, ia membahasnya

dalam beberapa karya, terutama metafisika dalam al-Shifa, dan an-Najah, begitu

pula al-Isharat wa’l-tanbihat. Fakhr al-Din al-Razi, melanjutkan pembahasan ini

dan membangun suatu metafisika berdasarkan esensi (mahiyah). Begitu pula,

seratus tahun kemudian, Nasir al-Din al-Tusi dan muridnya, ‘Allamah al-Hilli

membahas perbedaan ini dengan panjang, ada pula Qutb al-Din Shirazi, Ghiyath al-

Din Mansur Dashtaki, Ibn Turkah dan Jalal al-Din Dawani. Hingga kemudian

22 Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect and

Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010) h. 92. 23 Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and

Linguistic Studies, 1997) h. 89

Page 94: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

80

persoalan ini diwarisi oleh Mazhab Isfahan, baik dalam bentuk metafisika esensial

Mir Damad maupun metafisika eksistensial Mulla Sadra.24

Lalu, sebenarnya, apa yang di sini dimaksud sebagai persoalan eksistensi

(wujud) dan esensi (mahiyah)? Seperti yang dinyatakan dalam kutipan Aristoteles

tadi, persoalan ini dapat dijelaskan seperti berikut. Ketika seseorang memikirkan

sesuatu, dalam kerangka pikirnya, ia dapat membedakan dua sisi dari sesuatu

tersebut: pertama adalah esensi (mahiyah)-nya, yakni segala hal yang termasuk

dalam jawaban bagi pertanyaan “apakah ini?” di satu sisi, dan eksistensi (wujud)-

nya, di sisi lain. Misalnya, ketika seseorang memikirkan seekor kuda, maka

esensinya mencakup bentuk, warna, berat, tinggi dan sebagainya, sementara

eksistensinya berarti keberadaan kuda tersebut dalam dunia luar. Dalam pikiran

kita, esensi (mahiyah) itu dapat berdiri sendiri tanpa eksistensi (wujud), dalam

artian, kita dapat memikirkan esensi (mahiyah) seekor kuda tertentu, tanpa harus

memastikan eksistensinya di luar pikiran.25

3. Kontribusi al-Farabi

Untuk memperjelas perbedaan ini dalam filsafat Islam, kita dapat menyatakan

bahwa perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) masing-masing

merupakan jawaban dari dua pertanyaan berbeda mengenai suatu hal: ada-kah ia

dan apa-kah ia. Pertanyaan pertama berkaitan dengan kenyataan dari sesuatu di

dunia luar dan menegaskan eksistensinya in concreto. Ketika kita memikirkan

sebuah gunung, pertanyaan pertama yang kita ajukan ialah apakah gunung tersebut

ada atau tidak. Pertanyaan kedua terkait dengan ke-apa-an dari sebuah gunung.

Setelah mengetahui bahwa sebuah gunung eksis, berikutnya kita menanyakan

mengenai sifatnya, ukuran, warna, lokasi dsb. Inilah yang dimaksud dengan esensi

(mahiyah) dari sesuatu.26

Esensi (mahiyah) dari sesuatu menyisihkan eksistensi (wujud) dari sesuatu

tersebut. Hal ini berarti bahwa eksistensi (wujud) tidak terdapat dalam definisi

24 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land

of Prophecy (New York: SUNY Press, 2006) h. 64-65 25 Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna-Suhrawardi-Ibn ‘Arabi (New York:

Caravan Book, 1997) h. 25-26 26 Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect and

Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010) h. 93.

Page 95: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

81

gunung sebagai suatu gundukan tanah dengan warna, tinggi, dan lokasi tertentu.

Pertanyaan mengenai apakah gunung itu eksis berbeda dengan pertanyaan

mengenai seperti apakah gunung tersebut. Dengan kata lain, anasir dari esensi

(mahiyah) sesuatu hal adalah apa saja yang menyusun definisinya, sementara anasir

dari eksistensi (wujud) sesuatu hal adalah sebab efisien dan final darinya. Agar

esensi (mahiyah) suatu hal itu eksis, maka eksistensi (wujud) harus ditambahkan

kepadanya “dari luar”.27

Al-Farabi lah yang pertama-tama memperkenalkan dikotomi antara eksistensi

(huwiyah) dan esensi (mahiyah) dalam bentuk yang jelas. Dalam halaman awal

Fusus al-hikmah, al-Farabi menulis:

“Segala hal yang kita temui di sekeliling kita memiliki sebuah “esensi

(mahiyah)” dan “eksistensi (huwiyah)”. Dan “esensi (mahiyah)” tidaklah sama

dengan “eksistensi (huwiyah)”; tidak pula “eksistensi (huwiyah)” terkandung

(sebagai unsur penyusunnya) dalam “esensi (mahiyah)”. Jika “esensi

(mahiyah)” manusia (contohnya) sama dengan “eksistensi (huwiyah)”-nya,

kapanpun kau membayangkan dalam pikiranmu “esensi (mahiyah)” manusia,

maka seketika kau membayangkan pula “eksistensi (huwiyah)”-nya. Yaitu,

kapan saja kau membayangkan “ke-apa-an” dari manusia, kau akan ipso facto

seketika membayangkan “ke-ada-an” manusia, y.i. kau akan seketika

mengetahui “eksistensi (huwiyah)”-nya”28

Dan kemudian dilanjutkan dengan:

“Dari sinilah kita menyimpulkan bahwa “eksistensi (huwiyah)” atau “ke-ada-

an” bukanlah suatu unsur penyusun dari hal yang eksis. Karenanya, ia pastilah

sesuatu yang “terjadi” (kepada “esensi (mahiyah)”) dari luar. Ini merupakan

salah satu sifat yang dilekatkan kepada “esensi (mahiyah)” setelah yang

terakhir ter-wujud.”29

27 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land

of Prophecy (New York: SUNY Press, 2006) h. 68 28 “Each of the things that we actually find around us has an “essence” (mahiyah) and “existence”

(huwiyah). And the “essence” is not the same as “existence”; nor is “existence” contained (as a

constituent element) in the “essence.” If the “essence” of man (for example) were the same as his

“existence”, whenever you represent in your mind the “essence” of man, you would be thereby

representing his “existence.” That is to say, whenever you represent the “what-ness” of man, you

would ipso facto be representing the “is-ness” of man, i.e. you would be thereby representing the

“is-ness” of man, i.e. you would immediately know his “existence.” Toshihiko Izutsu, The Concept

and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and Linguistic Studies, 1997) h. 92. 29 “From this, we conclude that “existence” or “is-ness” is not a constituent element of any existent

thing. So it must be something concomitant that “occurs” (to “essence”) from the outside. It is one

of those properties that attach to the “essence” after the latter has been actualized.” Toshihiko Izutsu,

The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and Linguistic Studies,

1997) h. 93.

Page 96: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

82

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, inti dari pernyataan al-Farabi

mengenai perbedaan antara eksistensi (huwiyah) dan esensi (mahiyah) adalah

bahwa dalam horizon filosofisnya, sesuatu selain Tuhan tidak memiliki

keniscayaan untuk eksis. Artinya, dunia bisa saja tidak eksis, dalam konteks

pemaknaan inilah eksistensi (wujud) merupakan sesuatu yang lain dari esensi

(mahiyah). Bahwa dalam sesuatu selain Tuhan, eksistensinya bukan sesuatu yang

hadir secara niscaya dalam kodratnya. Ini pula yang dimaksud dengan perbedaan

besar antara konsepsi eksistensi dalam filsafat Yunani dan filsafat Islam. Ini pula

yang dimaksud dengan “metafisika penciptaan”. Di mana dalam visi metafisis ini,

eksisten-eksisten, atau makhluk, atau segala sesuatu selain Sang Pencipta,

eksistensinya merupakan sesuatu yang dipinjami oleh Sang Pencipta. Dalam

metafisika ini, dunia dinyatakan sebagai sesuatu yang secara ontologis kontinjen

sebagai kebalikan dari Tuhan, yang secara ontologis niscaya. Hal ini berlaku dalam

semua sistem metafisika atau kosmogoni Islam secara keseluruhan, baik dalam

bentuk Peripatetiknya yaitu emanasi, dalam bentuk creatio ex nihilo yang diimani

oleh para teolog, atau penciptaan abadi dan teofani dari para Sufi; dalam horizon

metafisika ini, dunia tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang terberi, watak

esensial dari dunia ini adalah ketidaknisca-yaannya, kontinjensinya.30

4. Kontribusi Ibn Sina

Sekarang, mari kita lihat pernyataan Ibn Sina mengenai hubungan antara

eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah):

“Eksistensi (wujud) merupakan suatu sifat dari hal-hal yang memiliki esensi

(mahiyah) berbeda. Ia disifatkan pada mereka dari luar, dan tidak terlibat

dalam mempertahankan esensi (mahiyah) mereka. Contohnya, ke-putih-an dan

ke-hitam-an tidaklah berbeda berkaitan dengan subjek yang berbeda; justru,

mereka berbeda dari suatu sudut pandang tertentu jika mereka telah eksis.

Terlebih lagi, eksistensi (wujud) bukanlah suatu sifat yang secara kudrati

dimiliki esensi (mahiyah); justru, ia dipancarkan kepada esensi (mahiyah) dari

Prinsip Pertama. Karenanya, jika ke-putih-an dipadukan dengan sifat yaitu

eksistensi (wujud), ia menjadi suatu hal berwarna putih.”31

30 Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect and

Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010) h. 92. 31 “Existence is an attribute for things that have different essences. It is predicated of them from

outside, and it is not involved in maintaining their essence. For example, whiteness and blackness

are not different in terms of their different subjects; rather, they are different in terms of something

after they exist. Moreover, existence is not an attribute that essences essentially have; rather, it is

emanated upon them from the First Principle. Therefore, if whiteness conjoined with the attribute of

Page 97: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

83

Dengan membandingkan kutipan ini dengan kutipan dari al-Farabi di atas,

setidaknya kita dapat menyimpulkan bahwa, pertama, Ibn Sina mengikuti al-Farabi

dalam pernyataannya mengenai perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah), kedua, begitu pula mengenai pernyataan bahwa eksistensi (wujud)

merupakan sesuatu yang disifatkan kepada sesuatu “dari luar” dan tidak termasuk

ke dalam esensinya; dan ketiga, Ibn Sina, dengan menggunakan istilah ‘emanasi

dari Prinsip Pertama’ mengaitkan perbedaan antara esensi (mahiyah) dan

eksistensinya pada perbedaan antara Eksistensi Niscaya (wajib al-wujud) dan

eksistensi kontinjen (mumkin al-wujud).

Sebelum kita melanjutkan pembahasan mengenai bagaimana kaitan antara

gagasan Ibn Sina mengenai perbedaaan antara eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah) dengan perbedaan antara Eksistensi Niscaya dan eksistensi kontinjen,

terlebih dahulu kami akan menjelaskan bagaimana konsepsi al-Farabi soal ‘arid

menjadi hal yang diwariskan kepada Ibn Sina, dan persoalan ini nantinya berperan

besar sebagai dasar dari para kritikus Ibn Sina. Maka, dalam metafisika al-Farabi,

kita dapat menyatakan bahwa: pertama, kita dapat memikirkan mengenai suatu

“esensi” qua “esensi” tanpa harus memperhatikan “eksistensi (wujud)”-nya; kedua,

karena hal tersebut, maka “esensi (mahiyah)” secara hakikat berbeda dengan

“eksistensi (wujud)”, tidak pula bahwa “esensi (mahiyah)” suatu hal menyiratkan

“eksistensi (wujud)”-nya. Artinya, berbeda dengan pernyataan bahwa “memiliki-

badan” adalah “esensi (mahiyah)” dari “manusia”, “eksistensi (wujud)” bukanlah

watak kodrati yang merupakan anasir dari “esensi (mahiyah)”. ketiga, karenanya,

“eksistensi (wujud)” bagi al-Farabi adalah suatu ‘arid, sesuatu yang “terjadi”, atau

sesuatu yang “aksidental” pada “esensi (mahiyah)”. 32

Mengikuti Aristoteles, bagi al-Farabi, dunia adalah suatu blok ontologis tanpa

celah di mana kita tidak dapat membedakan perbedaan antara eksistensi (huwiyah)

dan esensi (mahiyah), dan karenanya, perbedaan, atau masuknya “eksistensi

(wujud)” ke dalam “esensi (mahiyah)” hanya terjadi dalam struktur konseptual dari

existence, it becomes a white existent.” Dalam Eiyad S. al-Kutubi, Mulla Sadra and Eschatology:

Evolution of Being (New York: Routledge, 2015) h. 22. 32 Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and

Linguistic Studies, 1997) h. 95.

Page 98: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

84

pikiran kita. Namun, dengan konsep ‘arid, di sini al-Farabi menyiratkan bahwa,

bukanlah sesuatu yang tidak mungkin jika kita menyatakan bahwa “eksistensi

(wujud)” merupakan sesuatu yang terjadi kepada “esensi (mahiyah)” dalam

kenyataan. Inilah yang sudah kami sebut sebagai “metafisika penciptaan”, al-Farabi

di sini menyiratkan keberadaan Pencipta yang meminjamkan eksistensi (wujud)-

Nya kepada ciptaan-Nya. Sang Pencipta dinyatakan sebagai sesuatu yang “esensi

(mahiyah)”nya adalah “eksistensi (wujud)” sementara ciptaan adalah sesuatu yang

“esensi (mahiyah)”nya tidak hanya berbeda dari “eksistensi (wujud)”-nya, namun

lebih jauh, sebagai sesuatu yang tak mampu menyebabkan “eksistensi (wujud)”

mereka sendiri. eksistensi (wujud) mereka merupakan sesuatu yang harus terjadi

kepada mereka dari sumber lain, yakni Sang Pencipta, Sang Pemberi “eksistensi

(wujud)”.33

Dari sini, kita dapat melanjutkan pembahasan mengenai bagaimana keterkaitan

antara prinsip eksistensi-esensi menurut Ibn Sina dan perbedaan Eksistensi Niscaya

dan eksistensi kontinjen. Dua prinsip ini merupakan hal yang terkait erat. Bisa

dikatakan pula bahwa perbedaan Ibn Sina antara eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah) dilandaskan pada perbedaan ontologis yang ia buat antara Eksistensi

Niscaya dan eksistensi kontinjen. Eksistensi Niscaya adalah Ia yang eksis dengan

sendirinya dan yang eksistensi (wujud)-Nya identik dengan esensinya. Ia adalah

Eksisten (mawjud) Sederhana yang tak mengizinkan adanya susunan. Di sisi lain,

eksistensi kontinjen adalah sesuatu yang tersusun dari eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah).34

5. Divisi Eksisten Ibn Sina

Bagi Ibn Sina, eksistensi (wujud) dapat dibagi menjadi tiga: Eksistensi Niscaya

(wajib al-wujud), eksistensi kontinjen (mumkin al-wujud), dan eksisten tak

mungkin (mumtani al-wujud). Jika seseorang memikirkan esensi (mahiyah) suatu

objek dan menyadari bahwa ia tidak dapat menerima eksistensi (wujud) dalam cara

apapun, maka ia termasuk ke dalam eksisten tak mungkin. Jika esensi (mahiyah)

33 Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and

Linguistic Studies, 1997) h. 95. 34 Eiyad S. al-Kutubi, Mulla Sadra and Eschatology: Evolution of Being (New York: Routledge,

2015) h. 22.

Page 99: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

85

suatu objek secara setara dapat disifati baik oleh eksistensi (wujud) maupun non-

eksistensi – yakni, ia bisa saja eksis atau tidak eksis tanpa harus menyebabkan

kontradiksi atau ketidakmungkinan – maka ia termasuk ke dalam eksistensi

kontinjen. Jika esensi (mahiyah) suatu hal tidak dapat dipisahkan dari

eksistensinya, dan jika non-eksistensinya menyebabkan kontradiksi, maka ia adalah

Eksistensi Niscaya. Contoh dari hal pertama adalah keberadaan dua tuhan, atau dua

hal yang sama-sama mutlak, contoh dari hal kedua adalah jagat raya, sementara

yang ketiga adalah Tuhan itu sendiri.35

Sampai di sini, kiranya sudah terdapat gambaran umum mengenai apa yang

dimaksud dengan persoalan eksistensi (wujud). Perlu ditegaskan lagi bahwa ini

merupakan suatu persoalan metafisis, dan karenanya, merupakan persoalan

mengenai dasar dari kenyataan. Persoalan eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah),

karenanya, merupakan persoalan mengenai prinsip paling mendasar dari kenyataan.

Dalam menjelaskan perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), kita

telah mengandaikan beberapa hal. Misalnya, perbedaan ini dapat diperagakan

dengan mengandaikan suatu hal semisal manusia, kuda, dan tentunya kenyataan itu

sendiri. Dan sebagaimana arti metafisika sebagai “Filsafat Pertama”, maka upaya

membedakan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) merupakan upaya

untuk menggambarkan dasar dari segala sesuatu, dasar dari kenyataan. Aristoteles

menggambarkan kenyataan, dalam hal ini, dunia dan segala isinya, sebagai suatu

blok ontologis tanpa celah, dalam metafisikanya, tidak ada esensi (mahiyah) yang

tidak eksis, karenanya, perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)

hanyalah perbedaan konseptual belaka. Bagi al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf islam

pada umumnya, dunia bukanlah sesuatu yang dapat eksis dengan sendirinya,

karenanya, eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) darinya merupakan dua hal

yang berbeda, sekali lagi, inilah yang membedakan Aristoteles dan para

pengikutnya di dunia Islam. Dalam hal ini, al-Farabi menggunakan konsep ‘arid

yang menyatakan bahwa eksistensi (wujud) dalam eksistensi kontinjen berasal dari

luar, yaitu dari Eksistensi Niscaya, hal yang diikuti oleh Ibn Sina. Maka,

kesimpulannya ialah bahwa bermula dari filsafat Islam-lah, perbedaan antara

35 Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna-Suhrawardi-Ibn ‘Arabi (New York:

Caravan Book, 1997) h. 27.

Page 100: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

86

eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) memiliki peran penting dalam metafisika.

Dan kemudian kita akan melanjutkan pembahasan mengenai bagaimana perbedaan

ini nantinya dipermasalahkan oleh para filsuf setelah Ibn Sina. Inilah yang nantinya

akan dinamai sebagai persoalan mengenai ‘aksidentalitas’ eksistensi (wujud).36

6. Warisan Persoalan Ibn Sina

Ibn Sina mengikuti perbedaan yang dinyatakan oleh al-Farabi terkait eksistensi

(wujud) dan esensi (mahiyah). Eksistensi (wujud) bukanlah sesuatu yang menjadi

anasir esensial dari suatu hal. Ia adalah sesuatu yang ditambahkan, disifatkan

kepada esensi (mahiyah) sesuatu sehingga sesuatu tersebut eksis. Yang nantinya

akan dipersoalkan ialah mengenai bagaimana “eksistensi (wujud)” ini disematkan

kepada “esensi (mahiyah)”. Menurut Izutsu, kesalahpahaman atas proses inilah

yang menjadi dasar bagi para kritikus Ibn Sina di kemudian hari. Dengan mengikuti

dan membawanya kepada konsekuensi logis dari konsep ‘arid yang diwarisi dari

al-Farabi, Ibn Sina menyatakan bahwa eksistensi (wujud) dari sesuatu (selain

Eksistensi Niscaya) berasal dari luar dirinya. Kesalahpahaman atas pernyataan Ibn

Sina terkait dengan makna dari pernyataan ini. Apakah “eksistensi (wujud)” dari

sesuatu benar-benar berasal dari luar? Andaikan bahwa suatu hal, misalnya buku,

memiliki eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). esensi (mahiyah) buku adalah

tersusun dari halaman, dari kata-kata, dan ditulis dalam suatu kerangka logika

tertentu, dan memiliki bahan dari kertas dan sebagainya. Eksistensi (wujud) dari

buku adalah keberadaannya di dunia eksternal yang dapat dibuktikan dalam

kejadian di mana kita dapat menunjuk sesuatu dan berkata “ini adalah sebuah

buku”. Lalu, jika eksistensi (wujud) dari buku merupakan sesuatu yang

ditambahkan kepada esensi (mahiyah) tersebut, maka bagaimana hal tersebut

terjadi? Inilah pokok permasalahannya. Apakah sebelum suatu buku eksis, terdapat

suatu hal yang disebut eksistensi (wujud) sebuah buku dan esensi (mahiyah) sebuah

buku yang terpisah, kemudian karena suatu sebab, keduanya tergabung dan menjadi

suatu buku yang eksis? Dan, setelah itu, apakah ini berarti bahwa eksistensi (wujud)

merupakan sesuatu yang tidak membentuk anasir esensial bagi buku tersebut?

Seperti yang beberapa kali dipaparkan di atas, kita dapat memikirkan esensi

36 Nader el-Bizri, “Avicenna and Essentialism”. The Review of Metaphysics 54, no. 4 (2001): 753-

778.

Page 101: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

87

(mahiyah) suatu hal, dalam hal ini buku, dengan menghiraukan apakah buku

tersebut eksis atau tidak.37

Sebelum beranjak kepada sub-bab berikutnya mengenai persoalan keutamaan

(primacy), mari kita membahas sekilas mengenai kesalahpahaman, atau

misinterpretasi atas makna dari ‘arid terkait perbedaan antara eksistensi (wujud)

dan esensi (mahiyah) dalam Ibn Sina. Atau, dengan kata lain, apakah Ibn Sina

benar-benar menyatakan bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi

(mahiyah)? Karenanya, beberapa poin di bawah ini harus diperhatikan:

Pertama. Bagi Ibn Sina, objek utama dari setiap pemikiran metafisik, adalah

eksisten (mawjud), hal konkret yang secara nyata eksis. Keseluruhan sistem

metafisikanya merupakan analisis intelektual dari struktur kenyataan. Ia tidak

memulai perenungan metafisisnya dari “esensi (mahiyah)” sebagai suatu fakta

utama dan terberi. 38 Bagi Ibn Sina, esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud)

bukanlah anasir yang terpisah untuk kemudian dipadukan menjadi suatu objek.

Sebaliknya, ia memulai perenungannya atas suatu objek konkret, menundukkannya

pada analisis konseptual dan menemukan dua anasir di dalamnya, yaitu “esensi

(mahiyah)” dan “eksistensi (wujud)”. Ini tidak serta merta bermakna bahwa objek

konkret secara faktual merupakan susunan dari dua anasir tersebut. Apa yang

dimaksud oleh Ibn Sina adalah bahwa ketika akal menganalisis suatu objek konkret,

ia dapat membedakan antara dua hal tersebut.39

Kedua. Ibn Sina menyatakan bahwa setiap hal memiliki esensi (mahiyah) yang

membedakannya dengan hal lainnya, serta eksistensi (wujud) yang sama-sama

dimiliki setiap hal. Watak kontinjen dari hal tersebut menegaskan bahwa suatu hal

(eksistensi kontinjen) tidak dapat disifati oleh eksistensi (wujud) secara permanen.

Artinya, jika sesuatu eksistensi kontinjen eksis, eksistensinya berasal dari sumber

luar, yang kodratnya berbeda dengan eksistensi kontinjen dan tidak dapat

dipisahkan antara esensi (mahiyah) dan eksistensinya. Karenanya, esensi (mahiyah)

37 Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and

Linguistic Studies, 1997) h. 97. 38 Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and

Linguistic Studies, 1997) h. 97. 39 Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and

Linguistic Studies, 1997) h. 98

Page 102: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

88

dari suatu hal bukanlah sebab dari eksistensinya. Eksistensi (wujud) dari suatu

eksistensi kontinjen hanyalah suatu gagasan esensi (mahiyah) sebelum ia bersatu

dengan eksistensi (wujud) yang diberikan oleh Tuhan.40

Ketiga. Apa yang dimaksud oleh Ibn Sina terkait eksistensi (wujud) sebagai

atribut, atau aksiden dari esensi (mahiyah) adalah upayanya untuk menyelesaikan

persoalan Aristotelian mengenai rumusan Aristoteles mengenai materi dan forma.

Menurut rumusan ini, kenyataan dari sesuatu terbit dari perpaduan antara materi

dan forma. Namun, hal ini menyisakan pertanyaan bagi Ibn Sina: bagaimana

sesuatu hal menjadi ada dari dua anasir yang non-eksisten? Karenanya, dibutuhkan

anasir ketiga yang menjadikan dua hal sebelumnya bersatu, yaitu Tuhan.41

Keempat. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, pernyataan bahwa

dalam eksistensi kontinjen, eksistensi (wujud) berasal dari luar esensi (mahiyah)

adalah upaya Ibn Sina untuk memisahkan Eksistensi Niscaya dan eksistensi

kontinjen. Dengan menyatakan bahwa yang pertama dapat dibedakan dengan fakta

bahwa eksistensinya tidak berasal dari luar esensinya, atau lebih jauh, esensi

(mahiyah) dan eksistensinya bukanlah hal yang berbeda. 42 Lebih jauh, ini

merupakan upaya Ibn Sina untuk menekankan kontinjensi dari eksistensi

kontinjen.43

C. Persoalan Primasi (Asalat)

Pada sub-bab sebelumnya, kita telah membahas bagaimana diskursus perbedaan

antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) telah menjadi pembahasan metafisis

penting dalam filsafat Islam. Kita juga telah menyinggung bagaimana Ibn Sina telah

menawarkan sebuah solusi terkait hubungan antara keduanya. Begitu pula,

bagaimana solusi yang ditawarkan oleh Ibn Sina ini nantinya akan menjadi bibit

dari persoalan filosofis yang baru: permasalahan primasi (primacy) atau

40 Yasin Ceylan, “A Critical Approach to the Avicennian Distinction of Essence and Existence”.

Islamic Studies 32, no. 3 (1993): 329-337. 41 Yasin Ceylan, “A Critical Approach to the Avicennian Distinction of Essence and Existence”.

Islamic Studies 32, no. 3 (1993): 330. 42 Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra’s Realist Ontology of the Intelligibles and Theory of Knowledge”.

Islam Arastimalari Dergisi 7 (2002): 85. 43 Fadlou Shehadi, Metaphysics in Islamic Philosophy (New York: Caravan Books, 1982) h.77

Page 103: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

89

permasalahan keutamaan. Lalu apakah yang dimaksud dengan persoalan primasi

atau keutamaan ini? Izutsu menulis:

“Dikotomi antara “eksistensi (wujud)” dan “esensi (mahiyah)” yang

diperkenalkan kepada filsafat Islam oleh Farabi dan Avicenna seperti yang telah

kita jelaskan dalam halaman sebelumnya, telah menjadi bagian penting dari

tradisi skolastisisme yang kokoh, baik di bagian Timur maupun Barat. Baik di

Timur maupun Barat, dikotomi ini telah menjadi sumber dari sejumlah

persoalan filosofis. Salah satu dari persoalan ini adalah keutamaan ontologis,

y.i. persoalan: manakah dari keduanya yang “secara mendasar nyata”? Ketika

dirumuskan dengan cara yang lebih tepat, persoalan ini dapat diajukan menjadi:

yang manakah dari keduanya yang memiliki rujukan dalam kenyataan dunia

ekstra-mental, “eksistensi (wujud)” atau “esensi (mahi-yah)”?”44

Rumusan Ibn Sina mengenai perbedaan eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah) membuka gerbang bagi dua penafsiran yang berlawanan. Artinya, ia bisa

ditafsirkan sebagai yang menyatakan bahwa eksistensi (wujud) adalah yang lebih

utama dalam realitas, atau sebaliknya, esensi (mahiyah) adalah yang utama dalam

realitas. 45 Ibn Sina berulang kali menyatakan bahwa esensi (mahiyah) adalah

prinsip yang menyusun kodrat dari sesuatu, sementara eksistensi (wujud) bukanlah

bagian dari prinsip tersebut. eksistensi (wujud) disebut sebagai sesuatu “yang terjadi

dari luar”. Ambiguitas Ibn Sina inilah yang akhirnya menjadi pengaruh bagi

perdebatan filosofis selanjutnya, baik bagi filsuf Muslim dan Kristiani di abad

pertengahan.46

Kita dapat menyebut beberapa tokoh yang terilhami dari rumusan Ibn Sina

mengenai eksistensi (wujud) ini, misalnya Thomas Aquinas dan William Auvergne

dari Barat, dan Ibn Rusyd serta Suhrawardi dari dalam tubuh Islam sendiri.47 Dalam

hal ini, Ibn Sina ditafsirkan oleh beberapa pihak menjadi pengusung prinsip

44 “The dichotomy of “existence” and “essence” which was introduced into Islamic philosophy by

Farabi and Avicenna in the way we have described in the preceding pages, has become part of the

well-established tradition of scholasticism, both Eastern and Western. In both the East and the West

this dichotomy has been the source of a number of philosophical problems. One of these is the

problem of principiality or ontological fundamentality (asalah), i.e. the question: which of these two

is “fundamentally real” (asil)? Formulated in a more precise way, the question may be stated: which

of the two has a corresponding reality in the extra-mental world, “existence” or “essence”?”

Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and

Linguistic Studies, 1997) h. 99. 45 Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect and

Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010) h. 97 46 Eiyad S. al-Kutubi, Mulla Sadra and Eschatology: Evolution of Being (New York: Routledge,

2015) h. 21-22. 47 Sajjad H. Rizvi, “An Islamic Subversion of the Existence-Essence Distinction? Suhrawardi’s

visionary hierarchy of lights”. Asian Philosophy 9, no. 3 (1999): 220.

Page 104: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

90

keutamaan esensi (asalah al-mahiyah), atau esensialisme48 di sisi lain, Nasir al-Din

al-Tusi menyerang argumen tersebut dan menyatakan bahwa Ibn Sina, ketika

pernyataannya mengenai aksidentalitas eksistensi (wujud) ditafsirkan dengan

benar, justru menyatakan bahwa adalah eksistensi (wujud) yang memiliki

keutamaan secara ontologis.49

1. Substansi dan Aksiden dalam Aristoteles

Sebelum kita memasuki pembahasan selanjutnya mengenai bagaimana

pernyataan bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah)

menjadi objek kritik dari beberapa filsuf – khususnya, dalam penelitian ini,

Suhrawardi – kita akan terlebih dahulu membahas secara sekilas apa yang dimaksud

dengan substansi dan aksiden, yaitu dalam pembahasan metafisika Aristoteles,

karena sebelumnya kita juga telah menyinggung bagaimana prinsip perbedaan

antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) sendiri berasal dari Aristoteles,

maka dapat dikatakan pula bahwa istilah ‘aksidentalitas’ eksistensi (wujud) juga

berasal dari upaya al-Farabi untuk menafsirkan Aristoteles (seperti yang telah

dibahas sebelumnya, dalam istilah ‘arid)50, dan karenanya, kita dapat berasumsi

bahwa persoalan aksidentalitas ini berakar dari metafisika substansial

Aristotelian.51

Substansi, dalam tulisan Aristoteles, merupakan terjemahan dari bahasa

Yunani, ousia. berasal dari ousa, merupakan bentuk feminin dari einai yang

bermakna menjadi.52Mari kita lihat bagaimana Aristoteles membedakan antara

substansi dan aksiden dalam tulisannya sendiri. Dalam Metaphysics, Book Gamma,

Aristoteles menulis:

“Dan dengan menyatakan substansi dari sesuatu, yang kami maksud adalah

bahwa kudrat dari sesuatu adalah hal tersebut dan bukan sesuatu yang lain; dan

jika karena substansi tersebut menjadi manusia secara kudrati sama saja

dengan menjadi bukan manusia secara kudrati, maka kudratnya adalah hal

48 Nader el-Bizri, “Avicenna and Essentialism”. The Review of Metaphysics 54, no. 4 (2001): 753. 49 Eiyad S. al-Kutubi, Mulla Sadra and Eschatology: Evolution of Being (New York: Routledge,

2015) h. 22-23. 50 Lihat sub-bab sebelumnya 51 Terkait upaya filsuf Islam, terutama Ibn Sina dan Mulla Sadra yang merupakan filsuf Islam yang

mencoba keluar dari metafisika substansial Aristotelian, lihat Nader el-Bizri, The Phenomenological

Quest: Between Avicenna and Heidegger (New York: SUNY Press, 2000) 52 Nicholas Bunnin & Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy (Malden:

Blackwell Pubslishing, 2004). h. 665.

Page 105: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

91

yang lain; maka mereka harus mengiyakan bahwa tidak ada sesuatu yang

disebut sebagai substansi, dan bahwa semua sifat adalah aksidental.

Karenanya, ini adalah perbedaan antara substansi dan aksiden: “Putih” adalah

sifat aksidental dari “manusia” karena manusia itu putih, tetapi tidak secara

kudrati.”53

Dalam Book Zeta, Aristoteles melanjutkan:

“Izinkan aku mengatakan dengan jelas apa yang aku maksud di sini dengan

substansi. Aku memaksudkan sesuatu yang dalam dirinya bukanlah sesuatu

dan bukan pula suatu kuantitas, tidak pula dikatakan sebagai sesuatu yang lain,

yang dengannya apapun yang ada didefinisikan.”54

Kemudian:

“Dengan apa yang telah dijelaskan, apapun-yang-menjadikan-sesuatu-

adalah-sesuatu pertama-tama akan diterapkan kepada substansi, dan kemudian

kepada kategori lainnya (begitu juga kepada apa yang ada) bukan sebagai apa-

artinya-menjadi-sesuatu tanpa syarat, tetapi sebagai apa-yang-menjadi-sifat-

tersebut atau -mengenai-sifat-tersebut.”55

Sampai di sini, kita dapat menyimpulkan satu hal, yakni, bahwa berbeda

dengan substansi yang merupakan hakikat, atau bagian esensial dari sesuatu,

aksiden adalah bagian dari sesuatu yang tidak menyusun ke-apa-an dari sesuatu

tersebut, dan bahwa ada atau tidaknya suatu aksiden tidak akan mengubah ke-apa-

an dari sesuatu yang dibicarakan. Dalam konteks ini, kita dapat menerapkannya

pada pernyataan bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi

(mahiyah). Artinya, eksistensi (wujud) adalah sesuatu yang ditambahkan kepada

sesuatu tanpa mengubah identitas sesuatu itu. Ada atau tidaknya eksistensi (wujud)

tidak mengubah fakta bahwa sesuatu adalah sesuatu. Baru kita dapat melanjutkan

53 “And by indicating the substance of something we mean that its essence is that and nothing else;

and if for that substance being essentially a man is the same either as essentially being not a man or

as essentially not being a man, the essence will be something else; thus they will have to admit that

there cannot be any account of the substance of anything, but that all attributes are accidental. For

this is the distinction between substance and accident: “White” is an accidental attribute of “man”

because man is white but not essentially so.” Dalam Aristoteles, Philosophy of Aristotle. Terjemahan

A.E. Wardman dan J.L. Creed (New York: New American Library, 1963) h. 61. 54 “Let me be quite clear about what I mean here by substance. I mean an item that is not in itself a

something and is also not a quantity nor said to be any of the other things by which that which is is

defined.” Aristoteles, Metaphysics. Terjemahan Hugh Lawson-Tancred (London: Penguin Books,

1998) h. 175. 55 “In just the way distinguished, the what-it-was-to-be-that-thing will apply primarily and without

qualification to substance and secondarily to the other categories (as also with the what-it-is) not as

what-it-was-to-be without qualification but as what-it-was-to-be-of-that-quality or -of-that-quality.”

Aristoteles, Metaphysics. Terjemahan Hugh Lawson-Tancred (London: Penguin Books, 1998) h.

180.

Page 106: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

92

pembahasan mengenai apa saja konsekuensi dari pernyataan bahwa eksistensi

(wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah).

Untuk mengawalinya, kita dapat menyebut bahwa setidaknya ada dua

konsekuensi yang berbeda, yang merupakan landasan dari dua pendirian yang

berbeda terkait persoalan primasi. Pertama, mereka yang menyatakan bahwa

eksistensi (wujud) benar-benar merupakan aksiden dalam artian Aristoteles, yang,

akibatnya, berujung kepada prinsip bahwa esensi (mahiyah) merupakan prinsip

utama dari realitas, ini disebut sebagai posisi keutamaan atau primasi esensi

(asalah al-mahiyah). Kedua, mereka yang menyatakan bahwa eksistensi (wujud)

bukanlah aksiden atau atribut dari esensi (mahiyah) dalam artian umum, dan lebih

jauh, justru sebaliknya, adalah esensi (mahiyah) yang merupakan atribut dari

eksistensi (wujud), dan berujung kepada prinsip bahwa eksistensi (wujud) adalah

yang utama dalam realitas, keutamaan atau primasi eksistensi.

2. Lahirnya Persoalan Primasi

Dari masa Mir Damad dan Mulla Sadra, yakni abad 11/17, para filsuf Islam

telah menjadikan persoalan keutamaan eksistensi (asalah al-wujud) dan keutamaan

esensi (asalah al-mahiyah), dan faktanya telah membawa perdebatan ini ke masa-

masa sebelumnya hingga mencakup keseluruhan sejarah filsafat Islam. Persoalan

utama dari perdebatan ini adalah: setelah perbedaan dasar antara eksistensi (wujud)

dan esensi (mahiyah) diterima, yang manakah dari keduanya yang memiliki

kenyataan dalam artian merujuk kepada objek konkret yang eksis dalam dunia

luar?56

Filsuf Muslim dari al-Kindi [w. 866] tertarik untuk memahami relasi antara

esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud). Baginya, Tuhan merupakan suatu Eksisten

(mawjud) sederhana dan murni tanpa esensi (mahiyah), mengikuti Plotinus dalam

Enneads, yang disandarkan oleh al-Kindi kepada Aristoteles, Tuhan adalah Kausa

Pertama. Menurut al-Kindi, gagasan mengenai kesederhanaan Tuhan ini juga

mengarah kepada penafian atas dikotomi antara esensi (mahiyah) dan eksistensi

(wujud). Karena Kausa Pertama itu sederhana, eksistensinya entah identik dengan

56 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land

of Prophecy (New York: SUNY Press, 2006) h. 78

Page 107: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

93

esensinya, atau murni dan tanpa esensi (mahiyah). Dalam artian ini, Al-Kindi

sepakat dengan Aristoteles bahwa Tuhan adalah yang ‘Satu’, yang eksistensinya

adalah aktualitas murni, eksistensi (wujud) murni. Mengikuti al-Kindi, al-Farabi

(870-950) dan Ibn Sina (979-1037) mengusung gagasan keutamaan ontologis dari

suatu eksisten (mawjud) yang sederhana dan murni. Mereka meyakini bahwa esensi

(mahiyah) dan perbedaannya dari eksistensi (wujud) mencirikan eksisten-eksisten

pada tingkat lebih rendah dalam hirarki eksistensi (wujud). Dengan pernyataan ini

pula, dibedakan antara dua jenis eksisten (mawjud), Eksistensi Niscaya dan

eksistensi kontinjen, yang pertama tidak terdapat perbedaan antara eksistensi

(wujud) dan esensi (mahiyah), yang kedua sebaliknya. eksistensi (wujud) dari

eksistensi kontinjen disebabkan oleh Eksistensi Niscaya, dan ditambahkan kepada

esensi (mahiyah) mereka. Persoalan ini nantinya diwarisi dan dilanjutkan oleh

Fakhr al-Din al-Razi (864-925) dan Ibn Rusyd (1126-1198) dan menganggap

bahwa bagi Ibn Sina, eksistensi (wujud) dari eksistensi kontinjen merupakan sebuah

aksiden.57 Pada umumnya, para filsuf Muslim, terlepas dari perbedaan pendapat

mereka, sepakat dengan pernyataan bahwa adalah eksistensi (wujud), bukan esensi

(mahiyah), yang merupakan dasar dan prinsip utama dari realitas. Dengan

demikian, Shahab al-Din Suhrawardi (1153-1191) dengan menyatakan bahwa

esensi (mahiyah) adalah dasar dan prinsip utama dari realitas melakukan suatu

pembalikan ontologis dalam sejarah metafisika Islam.58

Suhrawardi merupakan filsuf pertama yang meletakkan relasi antara eksistensi

(wujud) dan esensi (mahiyah) dalam kerangka fundamentalitas atau primasi. Hal ini

menjadikannya sebagai tokoh yang disepakati sebagai pengusung gagasan primasi

esensi (asalah al-mahiyah).59Untuk memahami lebih jelas posisi Suhrawardi ini,

kita harus melihatnya dalam konteks peripatetik terkait relasi antara esensi

(mahiyah) dan eksistensi (wujud). Sebelumnya, kita telah melihat bagaimana

argumen Aristoteles mengenai dua hal yang kita ketahui dari sesuatu, yaitu ke-apa-

57 Fadlou Shehadi, Metaphysics in Islamic Philosophy (New York: Caravan Books, 1982) 58 Muhammad Kamal, “Rethinking Being: From Suhrawardi to Mulla Sadra”. Journal of Shi’a

Islamic Studies 2, no. 4 (2009): 425. 59 Eiyad S. al-Kutubi, Mulla Sadra and Eschatology: Evolution of Being (New York: Routledge,

2015) h. 23 Lihat juga argumen Rizvi dalam Sajjad H. Rizvi, “An Islamic Subversion of the

Existence-Essence Distinction? Suhrawardi’s visionary hierarchy of lights”. Asian Philosophy 9, no.

3 (1999): 219-227.

Page 108: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

94

an dan ke-ada-an dari sesuatu. Untuk mengulang sekilas, ketika kita memikirkan

sesuatu, misalnya sebuah batu, kita mendapati dua sisi dari objek tersebut, pertama

bahwa ia memiliki ciri tertentu semisal warna, tekstur, ukuran dan setiap hal yang

membuatnya dinamai sebagai batu, ke-batu-an dari batu; kedua, bahwa batu

tersebut ada di dunia luar sehingga kita dapat mengatakan “batu ini ada”, ini adalah

sisi kedua dari batu, yaitu bahwa batu ini ada di dunia luar. Penjelasan ini

menunjukkan bahwa, dua sisi dari suatu objek, di dunia luar merujuk kepada satu

objek konkret.

3. Relasi Eksistensi (wujud) dan Esensi (mahiyah)

Konteks berikutnya adalah pernyataan Ibn Sina mengenai relasi eksistensi

(wujud) dan esensi (mahiyah). Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bagi Ibn

Sina, relasi antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) harus diletakkan dalam

kerangka teologis. Pernyataan Ibn Sina terkait perbedaan antara eksistensi (wujud)

dan esensi (mahiyah) merupakan sisi lain dari pernyataannya mengenai perbedaan

antara Pencipta dan ciptaan. Karena konteks Ibn Sina ini, yaitu mengaitkan

perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) dengan pembagian

tripartit antara Eksistensi Niscaya, eksistensi kontinjen dan eksisten tak mungkin,

pernyataan Ibn Sina dapat digunakan sebagai pendukung kedua posisi primasi,

yaitu eksistensi (wujud) atau esensi (mahiyah). Pun, Ibn sina tidak membahas

persoalan primasi esensi (asalah al-mahiyah) atau eksistensi (wujud) dalam cara

yang jelas.60

Seperti yang telah kita bahas pula, Ibn Sina menyatakan bahwa eksistensi

(wujud) dalam eksistensi kontinjen adalah aksiden dari esensi (mahiyah), sementara

dalam Eksistensi Niscaya, eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) tidak dibedakan,

atau mungkin dapat kita katakan bahwa eksistensi (wujud) adalah esensi (mahiyah)

dari Eksistensi Niscaya. Artinya, dalam Ibn Sina, terdapat dua jenis relasi antara

eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). Eksistensi (wujud) menjadi sesuatu yang

esensial bagi Eksistensi Niscaya, dan eksistensi (wujud) menjadi aksiden ketika kita

sedang berbicara mengenai eksistensi kontinjen.

60 Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra’s Realist Ontology of the Intelligibles and Theory of Knowledge”.

Islam Arastimalari Dergisi 7 (2002): h. 85.

Page 109: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

95

Dengan memahami konteks tersebut, posisi Suhrawardi yang disebut sebagai

primasi esensi (asalah al-mahiyah) akan terlihat lebih jelas. Maka, apa yang disebut

sebagai kritik Suhrawardi atas Peripatetisme adalah pernyataannya bahwa

eksistensi (wujud) dalam eksistensi kontinjen bukanlah sesuatu yang diperlukan

oleh suatu esensi (mahiyah) partikular di dunia nyata agar ia menjadi eksisten

(mawjud). 61 Perlu digarisbawahi pula bahwa, meskipun Ibn Sina menyatakan

bahwa eksistensi (wujud) dalam eksistensi kontinjen merupakan suatu aksiden,

bukan berarti bahwa ia merupakan aksiden bagi suatu eksisten (mawjud) partikular.

Artinya, agar suatu eksisten (mawjud), misalnya batu, eksis di dunia luar, harus

terdapat dua sisi darinya, yaitu sisi eksistensi (wujud) yang dilekatkan pada sisi

esensi (mahiyah) sehingga di dunia luar kita menjumpai eksisten (mawjud) batu

partikular. Sebagaimana Rahman menyatakan bahwa, menurut Ibn Sina, eksistensi

(wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah), tetapi bukan aksiden dari suatu

objek tersebut:

“Benar bahwa, jauh dari mengatakan bahwa eksistensi (wujud) merupakan

sekedar atribut, Ibn Sina menyatakan bahwa eksistensi (wujud) merupakan

satu-satunya kenyataan dari Tuhan, sementara dalam hal-hal kontinjen, ia

menganggap bahwa eksistensi (wujud) diturunkan atau “dipinjamkan” dari

Tuhan dan karenanya “menjadi tambahan bagi” esensi (mahiyah) mereka

tetapi bukanlah tambahan bagi hal-hal tertentu yang eksis.”62

Sebelum masuk ke dalam rincian argumen Suhrawardi tersebut, mari kita sekali

lagi melihat bagaimana persoalan primasi ini menjadi penting dalam horizon

metafisis baik dalam kerangka esensialis atau eksistensialis. Seperti yang telah

dibahas sebelumnya, persoalan primasi dapat dinyatakan dalam kalimat: dari kedua

aspek dari suatu objek, yaitu esensi (mahiyah) (ke-apa-an) dan eksistensi (wujud)

(ke-ada-an), yang manakah yang merujuk kepada kenyataan di luar pikiran?

Artinya, ketika kita mengetahui ke-apa-an dan ke-ada-an dari suatu objek, yang

mana dari keduanya yang dapat kita saksikan dalam kenyataan? Primasi (asalah)

berasal dari asil, yang bermakna utama, dan secara terminologis berarti merujuk

kepada kenyataan ekstra-mental, lawan dari i’tibari yang bermakna berada dalam

61 Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination (New York: Routledge, 2013) h.

33. 62 “Indeed, far from saying that existence is a mere attribute, Ibn Sina declared existence to be the

sole reality of God, while in contingent beings he regarded existence to be derived or “borrowed”

from God and hence “additional to” their essence but not additional to particular things that exist.”

Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New York: SUNY Press, 1975) h. 27.

Page 110: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

96

pikiran, atau merujuk kepada kenyataan konseptual. Kita pun telah mengetahui

bahwa dua sisi dari objek tersebut merujuk kepada satu objek yang sama dalam

kenyataan, maka problem primasi adalah menentukan yang mana dari keduanya

yang merujuk kepada objek konret tersebut dari kenyataan, apakah esensinya,

ataukah eksistensinya?63

4. Dua Makna Esensi

Terdapat dua makna dari esensi dalam filsafat Islam, makna khusus dan makna

umum. Esensi (mahiyah) dalam makna khusus diartikan sebagai jawaban atas

pertanyaan apa-kah ini? (cth. Apa-kah ini? Ini adalah batu), esensi (mahiyah),

dalam makna umum berarti apa yang membuat sesuatu menjadi sesuatu itu sendiri.

Dalam arti kedua ini, esensi (dzat) merujuk kepada kenyataan dari suatu hal, dan

tidak berlawanan dengan eksistensi (wujud) dari suatu hal tersebut. 64 Esensi

(mahiyah), dalam pendirian primasi esensi (asalah al-mahiyah) adalah esensi

(mahiyah) dalam artian pertama atau khusus.65 Setelah kita memahami apa yang

dimaksud eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) dalam kerangka primasi, maka

kita akan berhadapan dengan dua pilihan, antara menyematkan primasi kepada

eksistensi (wujud) atau esensi (mahiyah). Sebab, sebelumnya kita telah mengetahui

bahwa dua sisi dari satu objek konkret merujuk kepada satu objek dalam kenyataan,

maka terdapat dua opsi pendirian, yaitu pertama, kedua sisi dari objek tersebut

nyata atau merujuk kepada kenyataan;66 kedua, salah satu dari keduanya merujuk

kepada kenyataan, dan yang lainnya tidak. Primasi berarti mengikuti pilihan kedua,

63 Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and

Linguistic Studies, 1997) h. 100. 64 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land

of Prophecy (New York: SUNY Press, 2006) h. 66. 65 Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and

Linguistic Studies, 1997) h. 101. 66 Pernyataan bahwa kedua hal, yaitu eksistensi (wujud) dan Esensi (mahiyah) merujuk kepada dua

hal dalam kenyataan merupakan posisi yang paling sulit dipertahankan. Jika, misalnya, ketika kita

menyatakan bahwa eksistensi (wujud) dan Esensi (mahiyah) dari suatu objek, keduanya nyata, maka,

dalam kenyataan, yang akan kita temui bukanlah sebuah objek konkret bernama batu, tetapi batu

sebagai Esensi (mahiyah) dan batu sebagai eksistensi (wujud). Keduanya akan dapat dibedakan

ketika kita melihat sebuah batu, artinya, dalam satu batu, kita menyaksikan adanya dua batu, tentu

hal ini absurd, dan karena absurditas inilah, pilihan yang rasional adalah bahwa hanya salah satu di

antara keduanya yang merujuk kepada realitas, dus, antara primasi esensi (asalah al-mahiyah) atau

eksistensi (wujud). Adapun, faktanya, hampir semua filsuf muslim tidak mendukung pandangan ini

kecuali Syaikh Ahmad Ahsa’i. Lihat Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence

(Tokyo: Keio Insitute of Cultural and Linguistic Studies, 1997) h. 100-102.

Page 111: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

97

yaitu salah satu dari keduanya merupakan yang merujuk kepada kenyataan.

Suhrawardi menyatakan bahwa adalah esensi (mahiyah), bukan eksistensi (wujud)

yang merujuk kepada kenyataan. Itulah mengapa pendirian ontologisnya disebut

primasi esensi (asalah al-mahiyah).67

5. Argumen Primasi Esensi (Asalah al-Mahiyah)

Sekarang, mari kita mulai pembahasan mengenai apa yang dimaksud

Suhrawardi sebagai primasi esensi (asalah al-mahiyah). Menyatakan bahwa adalah

esensi (mahiyah) yang merujuk kepada kenyataan eksternal, berarti menyatakan

bahwa eksistensi (wujud) tidak merujuk kepada kenyataan tersebut, dan bahwa

eksistensi (wujud) hanya merujuk kepada kenyataan konseptual. Maka, setiap

argumen Suhrawardi untuk mengkritik pendirian peripatetisme adalah untuk

membuktikan pernyataan tersebut: bahwa dalam kenyataan eksternal, tidak ada

sesuatu yang dapat disebut sebagai eksistensi (wujud). Pertama-tama, Suhrawardi

menganggap bahwa Ibn Sina benar-benar menyatakan bahwa dalam eksistensi

kontinjen, eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah), dan setiap

argumennya berawal dari penafsiran Suhrawardi atas pernyataan Ibn Sina ini, ini

adalah poin penting yang harus diingat ketika membahas prinsip primasi esensi

(asalah al-mahiyah) Suhrawardi.

Dalam konteks ini, mari kita lihat pernyataan Suhrawardi:

“Tidaklah benar untuk menyatakan bahwa “eksistensi (wujud)” dalam dunia

eksternal merupakan sesuatu yang berbeda dari “esensi (mahiyah)” atas dasar

bahwa kita dapat memikirkan esensi (mahiyah) tanpa memikirkan “eksistensi

(wujud)”. (Hal ini tidak benar) karena dengan cara yang sama kita dapat

membentuk suatu gambaran mental mengenai “eksistensi (wujud)” -

contohnya, “eksistensi (wujud)” dari seekor burung luar biasa, ‘anqa’ - tanpa

mengetahui apakah ia (y.i. “eksistensi (wujud)” partikular tersebut) benar-

benar eksis (y.i. terwujud in concreto) atau tidak. Karenanya “eksistensi

(wujud)” akan memerlukan “eksistensi (wujud)” lainnya, dan seterusnya dan

selanjutnya hingga akhirnya kita harus mengakui kehadiran rangkaian

“eksistensi (wujud)” tak terhingga yang terwujud di waktu yang sama.”68

67 Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Vermont: Ashgate, 2006) h. 22. 68 “It is not admissible to argue that “existence” in the external world is something different from

“essence” on the ground that we can conceive of the latter quite independently of “existence”. (This

is inadmissible) because in quite the same way we can form a mental image of “existence” - for

instance, the “existence” of a fabulous bird, ‘anqa’ - without knowing whether it (i.e. that particular

“existence”) does exist (i.e. is actualized in concreto) or not. Thus “existence” would require another

“existence”, and so on and so forth until ultimately we would have to admit an infinite series of

“existences” being actualized at one and the same time.” Suhrawardi, Talwihat, sebagaimana dikutip

Page 112: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

98

Dalam kutipan di atas, Suhrawardi menyatakan bahwa perbedaan antara

eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) dalam kenyataan tidaklah nyata

sebagaimana dinyatakan oleh kelompok Peripatetis, baginya, perbedaan ini

hanyalah perbedaan logis dan konseptual, bukan ontologis dan ekstra-mental. Pada

titik ini, kita akan melihat bahwa argumen primasi mensyaratkan bahwa perbedaan

peripatetisme antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) adalah perbedaan

konseptual belaka69, yang membeda-kan adalah mana sisi yang dipilih sebagai

merujuk kepada kenyataan. Dalam primasi esensi (asalah al-mahiyah), adalah

esensi (mahiyah) yang merujuk kepada kenyataan, sementara dalam primasi

eksistensi, adalah eksistensi (wujud) yang merujuk kepada kenyataan.

Setelah menyatakan bahwa perbedaan yang ada antara eksistensi (wujud) dan

esensi (mahiyah) hanyalah perbedaan konseptual, Suhrawardi melanjutkan

argumennya untuk menentukan yang mana dari salah satunya yang merujuk kepada

kenyataan. Kita telah mengetahui bahwa Suhrawardi menyatakan bahwa esensi

(mahiyah)-lah yang merujuk kepada kenyataan ekstra-mental, maka sudah jelas

bahwa kali ini Suhrawardi akan menyatakan bahwa eksistensi (wujud) sama sekali

tidak merujuk kepada sesuatu dalam kenyataan, berikut argumen Suhrawardi:

“Penyifatan eksistensi (wujud) kepada ke-hitam-an, esensi (mahiyah),

manusia dan kuda dianggap sama, dan karenanya konsep eksistensi (wujud)

merupakan suatu konsep yang lebih universal dari masing-masing hal tersebut.

Begitu pula konsep esensi (mahiyah) dalam arti mutlaknya serta konsep

kebenaran dan kudrat dari sesuatu dalam artian mutlak mereka. Karenanya,

kami menyatakan bahwa kategori semacam itu (eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah) universal) adalah konsep-konsep mental murni.”70

dalam Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and

Linguistic Studies, 1997) h. 111. 69 Adapun, rumusan Ibn Sina yang kurang jelas terkait relasi antara eksistensi (wujud) dan Esensi

(mahiyah), sekali lagi merupakan problem yang menjadi konteks primasi ini. Di satu sisi, Ibn Sina

dapat ditafsirkan sebagai yang menyatakan bahwa perbedaan antara eksistensi (wujud) dan Esensi

(mahiyah) merupakan perbedaan konseptual belaka, di sisi lain, pernyataannya dapat ditafsirkan

sebagai perbedaan nyata dalam dunia ekstra mental, lihat Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality

of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and Linguistic Studies, 1997) h. 109. 70 “Attribution of existence to blackness, essence, man and horses are regarded to be the same, and

therefore the concept of existence is a concept that is more universal than each of them. The same

is true of the concept of essence in its absolute sense and the concept of truth and the nature of beings

in their absolute sense. Therefore, we claim that such categories (existence and universal essence)

are pure mental concepts.” Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination (New

York: Routledge, 2013) h. 33.

Page 113: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

99

Inti dari argumen di atas ialah bahwa eksistensi (wujud) par exellence,

sebagaimana esensi (mahiyah) hitam dan putih murni tidaklah eksis di dunia

eksternal. Yang ada dalam kenyataan adalah objek partikular konret: benda hitam,

benda putih, bukan putih murni atau hitam murni. Dan karena eksistensi (wujud)

lebih universal dibandingkan dengan putih murni atau hitam murni, itu artinya,

eksistensi (wujud) dibandingkan dengan putih dan hitam murni statusnya lebih jauh

dari kenyataan eksternal. Eksistensi (wujud) hanyalah universal yang memiliki

kenyataan konseptual, bukan ekstra-mental.

Setelah melihat bahwa Suhrawardi menolak perbedaan nyata antara eksistensi

(wujud) dan esensi (mahiyah), dan setelah melihat bagaimana Suhrawardi

menyatakan bahwa eksistensi (wujud) bukanlah sesuatu yang dapat kita temui

dalam kenyataan, mari kita lihat bagaimana Suhrawardi menolak gagasan

Peripatetik bahwa dalam eksistensi kontinjen, eksistensi (wujud) adalah bagian dari

esensi (mahiyah), bahwa eksistensi (wujud) adalah aksiden dari esensi (mahiyah).

“Jika kita berkata bahwa ketika sesuatu itu non-eksisten, eksistensinya

niscaya tidak terwujud, maka eksistensinya non-eksisten. Ini karena, dengan

anggapan bahwa eksistensinya non-eksisten, ketika kita memikirkan tentang

eksistensi (wujud) dan berkata bahwa ia eksis, menjadi niscaya bahwa konsep

eksistensi (wujud) berbeda dengan benda yang eksis.”71

Lalu, Suhrawardi melanjutkan,

“Karena itu, jika kita berkata bahwa apa yang sebelumnya kita anggap tidak

eksis menjadi eksis, dan eksistensi (wujud) dari sesuatu yang sebelumnya tidak

terwujud, lalu mewujud, kita menyadari bahwa mewujud itu berbeda dari

eksistensi (wujud). Maka menjadi niscaya bahwa eksistensi (wujud) harus

memiliki eksistensi (wujud) dan kita harus mendefinsikan eksistensi (wujud)

dengan eksistensi (wujud), dan hal ini berlanjut ad infinitum. [Dikatakan

bahwa] suksesi tak terhingga dari hal-hal itu tidaklah mungkin.”72

71 “If we say that whenever something is non-existent, its existence is necessarily not-actualized,

then its existence is non-existent. This is because with the assumption that its existence is non-

existent, whenever we conceive of existence and say that it does exist, it becomes necessary that the

concept of existence be different from the existent object.” Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and

the School of Illumination (New York: Routledge, 2013) h. 34. 72 “Therefore, if we say that what we assumed not to exist came into existence and the existence of

that which was not and then was created, we realize that coming into being is different from

existence. It becomes necessary that existence should have existence and we have to define existence

by existence, and this continues ad infinitum. [It was stated that] an infinite succession of beings is

impossible.” Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination (New York:

Routledge, 2013) h. 35.

Page 114: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

100

Dalam kedua argumen di atas, Suhrawardi pertama-tama mencirikan bahwa

eksistensi kontinjen adalah eksisten (mawjud) yang sebelumnya tidak eksis. Maka,

pada tahapan pertama, eksistensi (wujud) dari suatu eksistensi kontinjen tidak eksis,

kemudian ia eksis. Maka, terdapat dua tahapan dalam eksistensi kontinjen, yaitu

eksistensi (wujud) sebelum ia eksis dan eksistensi (wujud) setelah ia eksis. Hal ini

akan berlanjut ad infinitum karena eksistensi (wujud) disebut eksis sebelum ia eksis.

Argumen tersebut juga menyatakan bahwa eksistensi (wujud) berbeda dengan

eksisten (mawjud) partikular. Kini, kita dapat merangkum argumen Suhrawardi

untuk menyatakan primasi esensi (asalah al-mahiyah) sebagai berikut:

Pertama. Berlawanan dengan konsepsi Peripatetik, Suhrawardi menyatakan

bahwa dalam kenyataan, kita tidak menjumpai sesuatu yang disebut eksistensi

(wujud).73

Kedua. Jika esensi (mahiyah) benar-benar memiliki eksistensi (wujud), maka

ia harus memiliki suatu relasi dengannya, dan relasi antara esensi (mahiyah) dan

eksistensi (wujud) ini harus memiliki eksistensi (wujud), dan berlanjut ad

infinitum.74

Ketiga. Jika eksistensi (wujud) berada dalam suatu hal, dan bukan merupakan

suatu esensi (mahiyah), maka ia akan menjadi suatu keadaan dari hal tersebut.

Dalam hal ini, eksistensi (wujud) bergantung kepada hal tersebut. Karenanya, suatu

hal sebagai tempat bersemayamnya eksistensi (wujud) haruslah eksis. Namun, hal

tersebut tidak dapat eksis sebelum eksistensi (wujud), karena jika ia eksis sebelum

eksistensi (wujud) atau bersamaan dengan eksistensi (wujud), maka ia eksis

bersama eksistensi (wujud); jika hal tersebut eksis sebelum eksistensi (wujud),

maka ia eksis sebelum eksistensi (wujud) berada di dalamnya, semua konsekuensi

ini absurd.75

Demikianlah pembahasan mengenai persoalan primasi. Inti dari pembahasan ini

adalah bahwa nantinya, sebagai kritik atas prinsip primasi esensi (asalah al-

mahiyah) Suhrawardi, Mulla Sadra mengajukan prinsip primasi eksistensi, yang

73 Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Vermont: Ashgate, 2006) h. 21. 74 Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New York: SUNY Press, 1975) h. 33. 75 Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and

Linguistic Studies, 1997) h. 116.

Page 115: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

101

akan kami bahas pada bab selanjutnya, yaitu bab terakhir dari penelitian ini. Jika

dalam sub-bab ini, pembahasan primasi dikhususkan pada pendirian Suhrawardi,

yaitu primasi esensi (asalah al-mahiyah), pada bab terakhir kita akan melihat

bagaimana Sadra melancarkan serangannya pada konsepsi Suhrawardi yang sudah

dibahas sekilas dalam sub-bab ini. Sebelum memasuki bab terakhir, masih ada satu

sub-bab yang akan kami bahas, yaitu persoalan modulasi eksistensi. Adapun, untuk

mengawali, persoalan, atau tepatnya, prinsip modulasi adalah konsep yang

dirumuskan Sadra berdasarkan konsepsi modulasi Avicennian, konsep gradasi

cahaya Suhrawardi serta rumusan eksistensi (wujud) dari mazhab Akbariyyun, atau

para pengikut Ibn Arabi.

D. Persoalan Modulasi (Tasykik)

1. Prolog: Tinjauan Singkat atas Persoalan Sebelumnya

Sebelum kita memasuki pembahasan terakhir dari sub-bab ini, tinjauan atas dua

persoalan sebelumnya, yakni persoalan eksistensi (wujud), atau tepatnya, persoalan

distingsi antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), dan persoalan primasi,

atau keutamaan dari eksistensi (wujud) atau esensi (mahiyah), perlu dibahas sekilas.

Hal ini penting, sebab watak dari persoalan terakhir yang akan kami bahas

mewajibkan bahwa dua persoalan sebelumnya dijadikan sebagai pra-andaian dari

persoalan ini. Pentingnya gagasan modulasi, sebagai terjemah bagi istilah tasykik

yang digunakan Mulla Sadra, ditekankan setidaknya oleh dua peneliti Sadra, yakni

Fazlur Rahman dan Sajjad H. Rizvi.76

a. Eksistensi, Esensi dan Modulasi

Dalam pembahasan mengenai persoalan eksistensi (wujud), telah digambarkan

bagaimana dalam filsafat Islam, perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah) menjadi suatu perdebatan panjang, dimulai dari teks Aristoteles ke al-

Farabi, hingga oleh Ibn Sina dibahas kembali dengan penafsiran baru. Penafsiran

Ibn Sina ini, khususnya pendapat bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari

esensi (mahiyah), pada gilirannya mendapat kritik dari berbagai pihak; setidaknya

kita dapat menyebut al-Ghazali, Ibn Rusyd, dan dalam pembahasan kami, terdapat

76 Lihat Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New York: SUNY Press, 1975) dan Sajjad

H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (New York: Routledge, 2009).

Page 116: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

102

Suhrawardi dan Mulla Sadra.77 Meskipun benar atau tidaknya pernafsiran bahwa

Ibn Sina benar-benar menyatakan bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari

esensi (mahiyah) telah dikaji oleh banyak peneliti, dan menyiratkan bahwa hal

tersebut adalah kesalahtafsiran atas teks Ibn Sina sendiri, poin ini kami kira tidak

terlalu signifikan dalam konteks filosofis Mulla Sadra. Artinya, yang paling penting

adalah bahwa Suhrawardi menafsirkannya dengan demikian, dan tafsiran

Suhrawardi inilah yang merupakan konteks kritik Mulla Sadra.

Untuk mengaitkan persoalan eksistensi (wujud) ini dalam pembahasan kali ini,

pertanyaan awal yang dapat dijadikan petunjuk adalah sebagai berikut: jika dalam

pemahaman atas sesuatu, terdapat dua aspek yang dapat dibedakan – yakni esensi

(mahiyah) dan eksistensi (wujud) – lalu bagaimana watak dari perbedaan itu? Lalu,

jika Mulla Sadra menolak perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah), apakah ini berarti bahwa Mulla Sadra menganut sejenis monisme

ontologis yang menyatakan bahwa dalam suatu eksisten (mawjud), tidak ada dua

hal yang berbeda yang dapat dipahami. Pertanyaan ini penting sebagai pengingat

awal karena konteks dari gagasan terakhir, yakni modulasi eksistensi, merupakan

upaya untuk mengoreksi prinsip perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah) ini dalam sudut pandang yang baru. Sebagai awal, konsep ini digunakan

Sadra untuk menyatakan bahwa perbedaan yang terjadi ketika kita memikirkan

suatu eksisten (mawjud) itu bukan perbedaan antara esensi (mahiyah) dan eksistensi

(wujud) sesuatu, namun dua mode eksistensi (wujud) yang berbeda. Prinsip

modulasi eksistensi adalah prinsip yang digunakan untuk menggambarkan

bagaimana kita meletakkan perbedaan ini dan memperbaiki kekeliruan logis dalam

perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah).

b. Primasi Eksistensi dan Modulasi

Persoalan kedua yakni persoalan primasi. Sebelumnya telah dibahas bahwa

persoalan primasi atau keutamaan ini berawal dari bagaimana Suhrawardi

menafsirkan pernyataan Ibn Sina bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari

esensi (mahiyah). Suhrawardi melihat bahwa konsep aksidentalitas eksistensi

(wujud) ini membawa konsekuensi logis yang absurd, yakni persoalan mengenai

77 Fadlou Shehadi, Metaphysics in Islamic Philosophy (New York: Caravan Books, 1982).

Page 117: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

103

pre-eksistensi dari esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud) sebelum keduanya

bergabung, yakni ketika eksistensi (wujud) masuk ke dalam esensi (mahiyah).

Solusi Suhrawardi atas hal ini adalah dengan mengganti lokus distingsi, atau justru,

menghilangkan lokus tersebut dan menggantinya dengan matriks gradasional

cahaya. Bagi Suhrawardi, kenyataan tidaklah tersusun dari dua hal komplementer,

yakni eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), namun adalah kontinuum cahaya

yang menghubungkan Cahaya Tertinggi, yang merupakan Eksistensi Niscaya bagi

kaum Peripatetik, dengan cahaya-cahaya lainnya di alam semesta, dan hal ini

mencakup keberadaan manusia.78 Kaitan antara persoalan primasi dengan konsep

modulasi yang diusung Sadra tepatnya berada dalam kritiknya atas penafian

Suhrawardian atas realitas eksistensi (wujud). Suhrawardi memindahkan peta

realitas dari konstelasi Avicennian dan Peripatetisme secara umum dari persoalan

distingsi eksistensi (wujud) kepada persoalan gradasi cahaya, 79 dan bagi

Suhrawardi, eksistensi (wujud) merupakan konsep yang tidak memiliki realitas in

concreto. Tepat di sinilah Sadra menjalankan dua strategi: kritisisme sekaligus

apropriasi atas konsep Suhrawardi. Mulla Sadra sekali lagi memberikan tempat bagi

eksistensi (wujud) dalam ontologi dengan mengkritik gagasan Suhrawardi bahwa

eksistensi (wujud) tidak merujuk kepada realitas; di sisi lain, Mulla Sadra

mengambil konsep gradasi cahaya Suhrawardi dan menyamakannya dengan

eksistensi (wujud). Maka, eksistensi (wujud), menurut Mulla Sadra, adalah cahaya,

dan karenanya, kenyataan merupakan modulasi eksistensi.80

Maka, sekali lagi, prinsip modulasi Mulla Sadra mengharuskan bahwa:

pertama, dalam persoalan eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), adalah

eksistensi (wujud) yang memiliki prioritas ontologis atas esensi (mahiyah), bukan

sebaliknya; kedua, dalam persoalan primasi, sebagai konsekuensinya, adalah

eksistensi (wujud) yang merujuk kepada realitas in concreto; ketiga, relasi antara

eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), dan faktanya relasi antara segala sesuatu

78 Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination (New York: Routledge, 2013). 79 Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (New York: Routledge,

2009). 80 Lihat Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (New York: Routledge,

2009), Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the

Land of Prophecy (New York: SUNY Press, 2006), Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School

of Illumination (New York: Routledge, 2013).

Page 118: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

104

adalah relasi antara eksistensi (wujud) dengan mode eksistensinya; dan relasi ini

memiliki kerangka modulasi.

c. Sebelum Pembahasan Modulasi

Sebelum memasuki pembahasan modulasi, ada beberapa hal yang perlu

dijelaskan. Pertama, persoalan transliterasi, yakni bagaimana tasykik al-wujud

diterjemahkan menjadi modulasi; dan kedua, tentang struktur pembahasan yang

akan kami gunakan untuk melacak bagaimana konsep modulasi ini, berawal dari

Aristoteles, menjadi sesuatu yang digunakan oleh Mulla Sadra dalam

metafisikanya.

Sejauh pembacaan kami, konsep tasykik Mulla Sadra diterjemahkan menjadi

beberapa istilah.

Pertama, Fazlur Rahman menggunakan istilah ‘ambiguitas sistematis’

(systematic ambiguity). Dalam bukunya mengenai Mulla Sadra, istilah ini

digunakan Rahman untuk memperjelas bahwa konsep tasykik Mulla Sadra dapat

dilacak kepada pembedaan Aristotelian antara beberapa makna dalam kalimat, dan

terdapat satu jenis kata yang menurut Aristoteles termasuk ke dalam kelas kata

bermakna ambigu, salah satunya adalah kata eksistensi (wujud).81

Kedua, Toshihiko Izutsu, dalam bukunya mengenai metafisika Sabzawari,

menggunakan istilah ‘gradasi analogis’ (analogical gradation) untuk

menerjemahkan konsep tasykik. Dengan istilah ini, Izutsu melacak bahwa konsep

tasykik Mulla Sadra dapat diletakkan pada konteks emanasionis secara umum, dan

faktanya, Izutsu dengan panjang lebar membahas metafisika sufisme dari Ibn Arabi

sebelum pembahasan mengenai Sabziwari sekaligus Mulla Sadra.82

Ketiga, Nasr menggunakan istilah ‘gradasi wujud’ (gradation of being). Jelas

bahwa model transliterasi Nasr dan Izutsu memiliki semangat yang sama dalam

81 Lihat Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New York: SUNY Press, 1975) 82 Toshihiko Izutsu. The Concept and Reality of Existence. (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and

Linguistic Studies. 1997)

Page 119: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

105

melihat konsep tasykik Mulla Sadra, yaitu melandaskannya pada konteks sufistik,

baik emanasionisme maupun konteks gradasi cahaya Suhrawardi.83

Keempat, Sajjad H. Rizvi dan Alexander Treiger menggunakan istilah

modulasi. Lebih tepatnya, Treiger terilhami penggunaan transliterasi ini dari Rizvi,

dan Rizvi, pada gilirannya terilhami dari Yahya Bonaud. Transliterasi tasykik

menjadi modulasi, menurut Rizvi, lebih tepat, karena ia sekaligus mencakup istilah-

istilah yang digunakan oleh peneliti lain. Sama seperti ‘ambiguitas sistematis’,

istilah modulasi melacak genealogi konsep tasykik kepada teks Aristotelian, namun,

lebih baik dari ambiguitas karena modulasi mencakup perbedaan makna namun

tidak menyebabkan makna tersebut ‘ambigu’. Modulasi mencakup istilah gradasi,

karena, sebagaimana gradasi, ia mencakup perbedaan serta tingkatan dari realitas,

dan lebih baik dari gradasi karena ia mencakup dua makna lain yang penting dari

konsep tasykik, yakni intensitas dan dinamisme.84

Untuk itulah, dalam penelitian ini kami menggunakan transliterasi keempat,

yakni modulasi.

Selanjutnya, pembahasan ini merupakan pembahasan yang disusun paling lama

di antara pembahasan lainnya karena beberapa hal.

Pertama, bagaimana menempatkan konsep modulasi Sadra dalam konteks

problematik filosofis yang ia hadapi? Persoalan ini setidaknya diasumsikan dijawab

dengan membahas persoalan ini dengan membaginya menjadi tiga sub-bab, yakni

via Ibn Sina, via Suhrawardi, dan via Ibn Arabi. Dengan kata lain, bagaimana dari

masing-masing mazhab tersebut, Mulla Sadra menyusun konsep modulasi

eksistensi.

Kedua, bagaimana melacak asal-usul istilah dari modulasi ini dalam konteks

filosofis yang lebih luas atau lebih panjang? Hal ini amat kentara karena para

83 Seyyed Hossein Nasr. Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land

of Prophecy. (New York: SUNY Press. 2006) 84 Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (New York: Routledge,

2009), Alexander Treiger, “Avicenna’s Notion of Transcendental Modulation of Existence and Its

Greek and Arabic Sources”. Dalam Islamic Philosophy, Theology and Science: Text and Studies.

Hans Daiber, et. al. (Boston: Brill, 2012) h. 328-363.

Page 120: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

106

peneliti hampir selalu mengatakan bahwa konsep ini dipelopori oleh Aristoteles.85

Maka, dalam terang pertanyaan ini, diasumsikan bahwa pembahasan ini memiliki

sub-bab setidaknya seperti berikut: konteks Aristotelian, konteks Peripatetisme

Islam, dan konteks Mistisisme Akbariyyun.

Maka, kami mengupayakan untuk mencakup dua kerangka tersebut dalam

pembahasan ini. Yakni, bagaimana istilah ini berawal dari Aristoteles hingga

berakhir di Sadra, sekaligus bagaimana istilah ini ditafsirkan oleh para pendahulu

yang dijadikan ilham oleh Sadra untuk menyusun gagasan modulasi ini. Sinopsis

singkat dari pembahasan ini adalah sebagai berikut. Dalam teks Metaphysics

Aristoteles, kita dapat menjumpai bagaimana eksistensi (wujud) memiliki lebih dari

satu makna, dan bahwa relasinya hampir seperti quasi-genus bagi divisi substansi-

aksiden dalam Categories. Para penafsir Aristoteles selanjutnya menentukan

bagaimana sebenarnya Aristoteles menempatkan istilah eksistensi (wujud), apakah

ia merupakan suatu istilah yang memiliki makna sinonim atau homonim? Univokal

atau equivokal? Kemudian, apakah eksistensi (wujud) dan perbedaan maknanya

hanyalah perkara logis atau ontologis? Dan kemudian, bagaimana mengaitkan

antara Tuhan dan makhluk dalam kerangka ini?

Kami tidak akan membahas setiap poin atau menjawab setiap pertanyaan

tersebut. Yang akan kami lakukan adalah menggambarkan aspek-aspek signifikan

terkait filsafat Mulla Sadra, terutama konsep modulasinya dalam kerangka tersebut.

Maka bab ini akan dibagi menjadi tiga sub-bab, yakni tahap pertama yang

membahas bagaimana konsep Aristoteles menjadi permasalahan bagi para

penafsirnya lalu sampai kepada kelompok Neoplatonisme, tahap kedua yang

membahas bagaimana para filsuf Islam menerima konsep tadi, dan tahap ketiga,

yang membahas bagaimana mistisisme, yang dalam hal ini diwakili oleh kelompok

pengikut Ibn Arabi dan Suhrawardi menjadi konteks bagi perumusan modulasi

eksistensi Mulla Sadra.

85 Lihat Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New York: SUNY Press, 1975), Toshihiko

Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and Linguistic

Studies, 1997), Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (New York:

Routledge, 2009).

Page 121: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

107

2. Tahap Pertama: Dari Aristotelianisme ke Neoplatonisme

Dalam Metaphysics: Book Gamma, Aristoteles menulis:

““Eksistensi” dikatakan dalam banyak cara, tetapi kesemuanya dengan

rujukan kepada suatu hal dan suatu ciri tertentu, dan bukan secara equivokal.

Tetapi sebagaimana “sehat” selalu merujuk kepada kesehatan (entah sebagai

sesuatu yang menjaga atau menghasilkannya atau menandakannya atau

menerimanya), dan “pengobatan” kepada obat (entah sebagai sesuatu yang

memiliki atau yang secara alami sesuai dengannya atau yang memiliki

kegunaan mengobati) [...] begitupun “eksistensi” dikatakan dalam banyak cara

tetapi selalu terkait dengan suatu prinsip. Karena sesuatu disebut “eksisten”

karena mereka adalah substansi, sesuatu lainnya sebagai pengaruh dari

substansi, sesuatu yang lain karena mereka terkait dengan substansi, atau

kerusakan, kekurangan, sifat, atau [hal] yang menghasilkan atau melahirkan

substansi atau mengenai [hal] yang terkait dengan substansi, atau penafian atas

hal-hal ini atau substansi tertentu. Karenanya kita bahkan berkata bahwa non-

eksisten itu eksis sebagai non-eksisten.

Dan begitupun, sebagaimana terdapat satu ilmu mengenai segala hal yang

terkait kesehatan, yang lain pun benar begitu. Karena tidak hanya terkait

dengan [hal] yang dikatakan dengan satu cara (y.i. secara univokal) bahwa

penyelidikan atasnya termasuk ke dalam suatu ilmu, tetapi juga dengan [hal]

yang berhubungan dengan suatu watak tertentu; karena yang terakhir inipun,

dalam artian tertentu, dikatakan dalam satu cara. Karenanya jelas, kajian atas

eksistensi qua eksistensi juga termasuk ke dalam satu ilmu. Kini, dalam segala

hal, suatu ilmu secara prinsip memusatkan diri dengan apa yang utama, dan

kepada sesuatu yang atasnya segala sesuatu tergantung, dan yang darinya

mereka mendapatkan namanya. Jika, kemudian, substansi adalah [hal utama]

ini. Adalah tentang substansi-lah para filsuf harus memahami prinsip-prinsip

dan sebab-sebabnya.”86

86 ““Existence” (to on) is said in many ways (legetai pollachos), but they are all with reference to

one and to some one nature (pros hen kai mian tina physin), and not equivocally (ouch homonymos).

But just as “healthy” always relates to health (either as preserving it or as producing it or as

indicating it or as receptive of it), and “medical” does to medicine (either as possessing it or as

naturally adapted for it or as being a function of medicine) [...] likewise “existence” too is said in

many ways but always with relation to one principle (pros mian archen). For some things are called

“existents” (onta) because they are substances, some because they are affections of substance, some

because they are a way to substance, or corruptions, privations, qualities, or [things] productive or

generative of substance or of [things] relating to substance (tos pros ten ousioan legomenon), or

negations of certain of these [things] or of substance. Hence we even say that non-existent (to me

on) is non-existent.

And so, just as there is one science of all healthy things, so it is true of everything else. For

it is not only in the case of [things] said in one way (i.e. univocally, ton kath hen legomenon) that

their investigation belongs to one science, but also in the case of [things] which relate to one

particular nature (ton pros mian legomenon physin); for the latter too, in a sense, are said in one way

(legetai kath’ hen). Clearly then the study of existence qua existence (ta onta...hei onta) also belongs

to one [science]. Now, in every case science is principally concerned with that which is primary,

and that upon which all other things depend, and from which they get their names (di’ ho legontai).

If, the, substance is this [primary thing]. It is of substances that the philosopher must grasp the

principles and the causes.”

Page 122: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

108

Kutipan panjang ini penting karena ia akan memperjelas konsep modulasi

Mulla Sadra dalam setidaknya tiga poin penting. Pertama, bahwa eksistensi

memiliki banyak makna; Kedua, bahwa kejamakan makna tersebut merujuk kepada

satu prinsip; dan Ketiga, bahwa eksistensi disematkan pada segala sesuatu dalam

tingkatan intensitas.

Treiger melacak bagaimana istilah modulasi ini berkembang dalam dua tahap,

yakni dari level predikamental ke level transendental. Level predikamental berarti

bahwa dalam teks Aristotelian, pernyataan bahwa eksistensi merupakan suatu kata

dengan makna yang banyak itu merujuk kepada kenyataan logis dalam skema

kategori substansi-aksiden Aristoteles. Level transendental berarti bahwa nantinya

tempat eksistensi ini berkembang dari tahap logis ke tahap ontologis, atau

pembagian transendental, antara Eksistensi Niscaya dan eksistensi kontinjen yang

kita temui rumusan rincinya dalam metafisika Ibn Sina.87

Aristoteles membagi predikasi menjadi dua, yakni sinonim – memiliki kata

dan makna yang sama – ketika suatu istilah dipredikatkan kepada beberapa subjek

memiliki makna yang sama. Dan homonim – memiliki kata yang sama dengan

makna berbeda – ketika suatu istilah dipredikatkan kepada beberapa subjek dengan

makna yang berbeda. Yang pertama sering disebut sebagai univokal, yang kedua,

equivokal. Lalu bagaimana dengan istilah eksistensi (wujud) yang dipredikatkan

kepada banyak hal dengan makna yang berbeda, tetapi merujuk kepada sesuatu

yang sama? Hal ini seperti sebuah kontradiksi karena ia mencakup sinonim dan

homonim sekaligus. Karena hal inilah, para penafsir Aristoteles berupaya

Kutipan ini disadur dari artikel Treiger mengenai konsep modulasi transendetal Ibn Sina. Kutipan

ini dipilih karena pertama, ia menggarisbawahi peran konseptual eksistensi (wujud), hal yang tidak

kami temui dalam setidaknya dua terjemah atas Metafisika Aristoteles lainnya. Kedua, karena artikel

ini merupakan ilham utama dari penulisan bab ini, meskipun Treiger membahas Ibn Sina secara

khusus, secara implisit, ini adalah jalur genealogis konsep ini dari Aristoteles ke Filsafat Islam, dan

pada akhirnya kepada Mulla Sadra, yang faktanya adalah filsuf Islam post-Avicennan. Alexander

Treiger, “Avicenna’s Notion of Transcendental Modulation of Existence and Its Greek and Arabic

Sources”. Dalam Islamic Philosophy, Theology and Science: Text and Studies. Hans Daiber, et. al.

(Boston: Brill, 2012) h. 328-363. 87 Alexander Treiger, “Avicenna’s Notion of Transcendental Modulation of Existence and Its Greek

and Arabic Sources”. Dalam Islamic Philosophy, Theology and Science: Text and Studies. Hans

Daiber, et. al. (Boston: Brill, 2012) h. 328-363.

Page 123: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

109

memecahkan persoalan bagaimana menempatkan eksisten (mawjud) dalam

kerangka predikasi ini.88

Maka, Alexander dari Aphrodisias menyatakan bahwa eksistensi

dipredikatkan dengan watak antara sinonim dan homonim. Alexander menyatakan

bahwa eksisten berada di antara univokal dan equivokal. Yakni, antara equivokal

(atau homonim) murni, di mana eksistensi dipredikatkan kepada banyak hal dengan

makna yang sama sekali berbeda satu sama lain, dan univokal (atau sinonim) murni,

di mana eksistensi dipredikatkan kepada banyak hal dengan makna yang mutlak

sama. Alexander menggunakan istilah “dari yang satu dan dengan rujukan kepada

yang satu” untuk posisi baru dari eksistensi ini. Apa yang dimaksud dengan

merujuk kepada yang satu adalah substansi. Contoh dari hal ini adalah sebagai

berikut. Sebuah substansi, misalkan “kertas putih” Dalam hal ini, terdapat dua hal,

yaitu “kertas” dan “putih.” Dua-duanya sama-sama eksis, baik kertas maupun putih,

tetapi eksistensi dari keduanya berbeda dalam hal substansi dan aksiden. Kertas

sebagai subjek dari predikasi, dan putih sebagai aksiden dari kertas. eksistensi

putih, karenanya bergantung kepada kertas, dan tidak sebaliknya; meskipun

keduanya sama-sama eksis, masing-masing memiliki kedudukan yang berbeda, dan

kertas, sebagai substansi, memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan putih. Posisi inilah yang disebut oleh Rizvi sebagai tertium quid, atau posisi

tengah antara equivokal dan univokal.89

Porphyry memiliki posisi yang sama dengan Alexander dalam hal ini,

meskipun ia menyatakan hal yang secara luar berbeda. Yakni bahwa tidak ada

posisi tengah antara equivokal atau univokal. Bagi Porphyry, eksistensi masuk ke

dalam satu tipe equivokal khusus.

““Eksistensi” bukanlah suatu genus tunggal yang sama bagi segala hal; tidak

pula segala sesuatu sama-sama dicakup oleh suatu genus tunggal yang paling

tinggi, sebagaimana dikatakan Aristoteles. Justru harus didalilkan bahwa,

sesuai dengan Categories, sepuluh genera pertama adalah sepulut prinsip

pertama. Jika seseorang menyebut semuanya sebagai “eksistensi”, ia boleh

saja melakukannya, menurut [Aristoteles], secara equivokal, bukan univokal.

Yakni, jika “eksistensi” merupakan suatu genus tunggal bagi segala sesuatu,

maka segala sesuatu akan [dibenarkan] disebut sebagai “eksisten” secara

univokal. Tetapi karena [dalam kenyataan] [prinsip, y.i. kategori] pertama ada

88 Lihat Treiger, Rizvi, Rahman, Izutsu. 89 Lihat Rizvi, Treiger

Page 124: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

110

sepuluh, mereka hanya sepadan dalam nama, tetapi tidak dalam makna yang

disiratkan oleh nama tersebut.”90

Meskipun Porphyry seolah-olah bertentangan dengan Alexander, namun dari

kutipan di atas, kita dapat mengetahui bahwa ia sama-sama setuju dengan posisi

Alexander. Dalam artian, bagi Alexander, eksistensi, yang ia katakan menempati

posisi antara equivokal dan univokal, bukanlah genus. Posisi tertium quid

menyatakan bahwa eksistensi dipredikatkan kepada banyak hal tidak dengan makna

yang sama (sebagaimana genus), tetapi dengan makna yang berbeda tergantung

posisinya dalam kategori Aristotelian.

Sampai di sini, kita telah melihat bagaimana teks Aristotelian mengenai

eksistensi ditafsirkan oleh setidaknya Alexander dan Porphyry. eksistensi adalah

sesuatu yang disifatkan kepada berbagai hal dengan makna yang berbeda, tetapi

tidak sepenuhnya berbeda; ia memiliki rujukan kepada suatu prinsip yang sama.

Kami kira, konteks Aristotelian dari persoalan ini cukup jelas, dan karena

keterbatasan tempat, kami tidak akan membahas persoalan ini lebih rinci. Tujuan

dari pemaparan sekilas ini adalah untuk melihat formulasi awal dari predikasi

eksistensi.

3. Tahap Kedua: Dari Neoplatonisme ke Peripatetisme Islam

Setelah melihat bagaimana predikasi eksistensi di periode Hellenisme, kami

akan membahas bagaimana Peripatetisme Islam membahasnya. Kami akan

membahas sekilas bagaimana al-Farabi, Ibn Sina dan al-Tusi melihat persoalan ini.

Berbeda dengan Alexander dan Porphyry, yang di satu sisi menyatakan bahwa

eksistensi berada pada posisi tertium quid, dan di sisi lain menyatakan bahwa

eksistensi termasuk ke dalam kelas khusus predikasi equivokal, al-Farabi

memberikan satu nama khusus bagi posisi eksistensi. Seperti yang dapat ditebak,

pada akhirnya, ketiganya menyatakan hal yang serupa, yakni menempatkan

90 ““Existence” is not a single common genus of all; nor does everything concur in belonging to a

single highest genus, as Aristotle says. Rather there must be posited, following the Categories, ten

first genera as ten first principles. Should one call all of them “existence,” one will so call them,

according to [Aristotle], equivocally, not univocally. That is to say, if “existence” were a single

common genus of all, everything would [admittedly] be called “existence” univocally. But since [in

reality] the first [principles, i.e. the categories] are ten, they are associated in name only, but not in

the account implied by the name.” Alexander Treiger, “Avicenna’s Notion of Transcendental

Modulation of Existence and Its Greek and Arabic Sources”. Dalam Islamic Philosophy, Theology

and Science: Text and Studies. Hans Daiber, et. al. (Boston: Brill, 2012) h. 328-363.

Page 125: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

111

eksistensi (wujud) pada posisi ketiga, namun, al-Farabi memberinya nama baru:

“modulasi” (al-musakkika asma’uha). Farabi menyatakan bahwa eksistensi (wujud)

disifatkan kepada banyak hal, pertama kepada substansi, kedua kepada kategori.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, sebagaimana Alexander, Farabi

menyatakan bahwa penyifatan eksistensi (wujud) kepada substansi berbeda dengan

kepada aksiden dalam hal prioritasnya. Modulasi dalam artian Farabi bermakna

bahwa eksistensi (wujud) disifatkan berdasarkan tatanan dan proporsi tertentu

secara logis. Jika ia dilekatkan kepada substansi maka ia berada pada posisi lebih

tinggi jika dibandingkan dengan jika ia dilekatkan kepada aksiden. Ia menyatakan,

“[“Eksistensi (wujud)”] dikaitkan dengan substansi di tempat pertama, dan

kedua kepada masing-masing kategori lainnnya. Karena, seperti yang telah

dikatakan, substansi, agar ia eksis, tidak memerlukan aksiden; karena aksiden-

aksidennya dapat berubah, tetapi keberadaannya tidak musnah ketika salah

satu dari aksiden tersebut berhenti bertempat di dalamnya. eksistensi (wujud)

dari setiap aksiden [kebalikannya], bergantung kepada substansi, dan ketika

substansi tersebut musnah, aksiden yang keberadaannya bergantung

kepadanya, juga ikut musnah.

Kemudian, dengan hal-hal terkait kategori yang tersisa, semakin sedikit

mereka menggantungkan keberadaan mereka dalam suatu substansi, terkait

perantaraan atas aksiden lainnya, dan semakin sedikit mereka menuruti

kategori lainnya dengan eksistensi (wujud) yang mendahuluinya dalam

substansi, semakin mereka pantas disebut [“eksistensi (wujud)”]. Lalu, apapun

yang ada dalam suatu substansi, melalui perantaraan hal-hal yang lebih sedikit,

lebih pantas disebut [“eksistensi (wujud)”] dibandingkan dengan hal-hal yang

berada dalam substansi melalui perantara hal-hal yang lebih banyak.”91

Kini kita akan mempersoalkan kembali apa yang telah dinyatakan

sebelumnya. Bahwa modulasi sebagaimana dirumuskan oleh Mulla Sadra, bukan

hanya berkaitan dengan kerangka logis dari kategori Aristotelian, atau dalam

bahasa Treiger, bukan hanya pada level predikamental, tetapi pada level

91 “[“Existence”] is applied to substance in the first place, and secondarily to each of the other

categories. For, as has been said, substance does not, in order to exist, require accidents; for its

accidents can change, but its being is not diminished when one of them ceases to inhere in it. The

Existence of each accident [by contrast] depends onn the substance, and when the substance

vanishes, the accident whise subsistence depends on it, vanishes as well.

Next, as regards things of the remaining categories, the less they depend, for their existence

in a substance, on the mediation of another accident, and the less they follow in the wake of another

category of anterior existence in the substance, the more they are entitled to be called [“existence”].

Next, whatever is in a substance, through the mediation of fewer things is more entitled to be called

[“existence”] than things that are in the substance through the mediation of more things.” Alexander

Treiger, “Avicenna’s Notion of Transcendental Modulation of Existence and Its Greek and Arabic

Sources”. Dalam Islamic Philosophy, Theology and Science: Text and Studies. Hans Daiber, et. al.

(Boston: Brill, 2012) h. 328-363.

Page 126: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

112

transendental. Dengan kata lain, tahap dari Farabi ke Sadra harus dilengkapi dengan

tahap perpindahan atau pencakupan level transendental dari posisi eksistensi

(wujud). Pada Farabi, kita tidak menemui perpindahan level ini, baru pada Ibn Sina

kita melihat bagaimana eksistensi (wujud) yang secara logis berwatak modulasi ini

dibawa kepada ranah transendental, yakni, Ibn Sina membawa persoalan ini kepada

persoalan bagaimana ia membedakan antara Tuhan sebagai Eksistensi Niscaya, dan

segala sesuatu selain Tuhan yang merupakan eksistensi kontinjen. Pada bab

sebelumnya kita telah membahas hal ini, yakni pembagian Ibn Sina atas kenyataan

menjadi tiga, Niscaya, mungkin, dan tidak mungkin. Kini kita akan melihat

bagaimana konsepsi divisi eksisten (mawjud) ini terkait dengan konsep modulasi

eksistensi dalam Ibn Sina yang pada gilirannya akan dirumuskan kembali dengan

watak baru oleh Mulla Sadra.

Kami menemukan bahwa rumusan Ibn Sina atas modulasi eksistensi setidaknya

dapat dilihat dari dua konteks. Secara umum, keduanya sama-sama mempersoalkan

bagaimana Ibn Sina menjadikan eksistensi (wujud) sebagai semacam supra-genus

yang mencakup baik Eksistensi Niscaya dan eksistensi kontinjen, dan menuduh

bahwa Ibn Sina mengingkari konsep tauhid yang menyatakan bahwa Tuhan mutlak

berbeda dengan segala sesuatu selain-Nya. Konteks pertama adalah pembelaan al-

Tusi atas kritik al-Razi, kedua adalah atas kritik al-Shahrastani. Sebelum memasuki

pembahasan ini, ada baiknya kita mengenal masing-masing pemikir ini.

a. Kritik al-Tusi atas al-Razi

i. Biografi Singkat al-Tusi dan al-Razi

Abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan Nasir al-Din Tusi

merupakan seorang filsuf dan ilmuwan Syi’i ternama. Keluarganya berasal dari

Kasham, tetapi dia lahir di Rayy di tahun 597/1201 dan wafat tahun 672/1274 di

Kazimayn, dekat Baghdad. Meskipun Tusi dikenal utamanya sebagai seorang

filsuf, ia menyumbang karya di berbagai bidang seperti kalam, matematika,

astronomi, etika dan Sufisme. Guru pertama Tusi adalah ayahnya, seorang ahli fiqih

ternama dari mazhab Syi’i Itsna Asyariyah, dengan ayahnya ia telah belajar logika,

hukum dan filsafat alam, Tusi mengkaji metafisika dengan pamannya, serta

berbagai cabang matematika di Rayy. Setelah menguasai ilmu-ilmu yang tersedia

Page 127: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

113

di kotanya, ia pergi ke Nishapur yang waktu itu merupakan pusat kajian besar di

mana warisan para filsuf dan matematikawan seperti Omar Khayyam masih

tersedia. Di Nishapur, Tusi mengkaji metafisika dan filsafat Peripatetik bersama

Farid al-Din Damad, yang merupakan seorang murid dari Ibn Sina, ia belajar

pengobatan dengan Qutb al-Din Misri, yang merupakan seorang murid dari Fakhr

al-Din Razi, dan terakhir, mengkaji matematika dengan Kamal al-Din Yunus.

Terkait karya-karyanya, sekitar 150 karya tercatat dan masih tersedia, dua puluh

limanya berbahasa Persia dan sisanya berbahasa Arab, dan sebagian berbahasa

Turki. Dari karya filosofisnya, beberapa karya pentingnya misalnya Asas al-iqtibas

yang merupakan karya logika, komentar atas Kitab al-Isharat Ibn Sina, dimana ia

membalas kritik al-Razi atas Ibn Sina dan yang sebentar lagi akan kami bahas. Tusi

menulis karya etika, diilhami oleh Ibn Miskawayh, dalam bahasa Persia, Akhlaq-i

nasiri. Ia adalah salah satu dari sedikit filsuf Peripatetik yang bersimpati kepada

Sufisme, hal yang akan kami bahas pula di sub-bab berikutnya. Sebagai seorang

tokoh Persia yang keahliannya mencakup berbagai bidang dari filsafat, ilmu alam,

ilmu eksak, teologi dan lainnya, ia berpengaruh besar pula bagi perumusan

metafisika eksistensial Sadra.

Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Husayn, yang lebih dikenal

sebagai Fakhr al-Din al-Razi, lahir di Rayy, iran pada tahun 543/1149 dan

meninggal pada tahun 606/1209. Pendidikan awalnya diselesaikan bersama

ayahnya yang merupakan orang terdidik dan memasukkan anaknya ke dalam tradisi

fiqih Syafi’i dan kalam Asy’ariah. Setelah kematian ayahnya, Razi melanjutkan

pendidikannya bersama Kamal al-Din Simnani di Simnan, di mana ia mengkaji

hukum lalu teologi dan filsafat dengan Majd al-Din al-Jilli, lalu mengikutinya ke

Rayy dan Maragha. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia berkelana

mengelilingi bagian timur dari dunia Islam, mengajar dan berdebat di manapun ia

sempat. Razi benar-benar seorang yang amat bergairah dalam perdebatan dan

menikmatinya, entah mereka dari kelompok Mu’tazilah, Karamit, Hanbali, atau

Ismailiyya.

Karya Razi mencakup topik yang luas dari tatabahasa, teologi, filsafat, dan

tafsir al-Qur’an. Ia menjadi seorang teolog ternama di masanya, dan terilhami

Page 128: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

114

terutama oleh al-Ghazzali dan karya-karyanya. Bersama al-Ghazzali, ia memiliki

kecurigaan kepada filsafat. Namun, Razi merupakan salah satu dari pemikir Islam

yang selalu mengkritisi filsafat sembari menggunakannya dalam karyanya.

Kritiknya atas Ibn Sina dan pemikirannya, serta tentang logika dan metafisika

merupakan karya-karya filosofis yang menyerang serangkaian argumen filosofis

yang dipaparkan oleh Ibn Sina. Bahkan karya-karya teologisnya sangat diwarnai

oleh filsafat. Adalah penggunaannya atas filsafat yang menjadikan karya

teologisnya begitu mengesankan dan meyakinkan. Dalam konteks penelitian ini,

Razi mengkritik penalaran Ibn Sina mengenai modulasi eksistensi dan divisi

transendentalnya atas eksistensi (wujud) menjadi Eksistensi Niscaya dan kontinjen.

ii. Tanggapan al-Tusi atas Kritik al-Razi

Dalam pembelaannya atas Ibn Sina, al-Tusi menulis:

“Sang komentator terhormat [Fakhr al-Din Razi] sungguh-sungguh keliru

dalam hal ini. Dan ia menganggap bahwa pikiran-pikiran dan nalar para filsuf

juga keliru olehnya. Ia menyimpulkan bahwa eksistensi (wujud) diterapkan

pada segala eksisten (mawjud) dengan padanan kata, lalu menyediakan banyak

bukti untuk mendukungnya. Setelah itu, ia menilai bahwa eksistensi (wujud)

merupakan suatu hal tunggal dalam segala hal secara sama sehingga ia

menegaskan bahwa eksistensi (wujud) dari Yang Niscaya [dipahami] dalam

artian yang sama sebagaimana eksisten (mawjud) dari yang mungkin –

Astaghfirullah!

Kemudian, karena ia menganggap bahwa eksistensi (wujud) dari hal-hal

kontinjen adalah sesuatu yang aksidental bagi esensi (mahiyah) mereka, dan

karena ia juga telah menilai bahwa eksistensi (wujud) dari Yang Niscaya

dianggap dalam artian yang sama sebagaimana eksistensi (wujud) dari hal

yang mungkin, ia menilai bahwa eksistensi (wujud) dari Yang Niscaya juga

aksidental bagi esensi (mahiyah)-Nya. Maka, esensinya bukanlah eksistensi

(wujud)-Nya – Tuhan benar-benar terlepas dari [omong kosong macam itu] –

dan ia menduga bahwa jika ia tidak menyatakan bahwa eksistensi (wujud) dari

Yang Niscaya itu aksidental bagi esensi (mahiyah)-Nya, hal ini akan

menyebabkan: eksistensi (wujud)-Nya setara dengan eksisten-eksisten ciptaan,

atau bahwa eksistensi (wujud) diterapkan kepada eksistensi (wujud) Yang

Niscaya dan eksistensi (wujud) dari sesuatu selain-Nya dengan padanan kata.

Sumber dari kesesatan ini adalah keabaian atas makna dari predikasi dengan

tasykik. Suatu istilah yang diterapkan kepada banyak hal berbeda melalui

tasykik tidak diterapkan dengan kesamaan kata, tetapi justru, dalam satu artian

segala sesuatu mirip, tetapi tidak sepadan, seperti penerapan kata ‘manusia’

kepada individu-individu tertentu, tetapi dibedakan dengan: prioritas dan

Page 129: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

115

posterioritas, atau dengan presedensi dan privasi, atau dengan intensitas dan

debiliasi.”92

Dari kutipan di atas, kita dapat melihat bagaimana al-Tusi mempertegas

posisi Ibn Sina bahwa eksistensi (wujud) tidak disifatkan kepada hal-hal berbeda

dengan makna yang sama. Sebelum membahas hal ini lebih lanjut dan masuk

kepada konteks al-Shahrastani, mari kita lihat bagaimana Ibn Sina meletakkan

eksistensi (wujud) dalam konteks ini,

“[Pertanyaan] [§688] Dikatakan dalam Metafisik [dari al-Shifa]: “Substansi,

kuantitas, kualitas, dan genera lainnya sama-sama merupakan spesies dari

eksisten (mawjud).” Aku tidak mengetahui bagaimana [eksistensi (wujud)]

dibagi menjadi spesies tersebut [...] [§690] Setelah itu dikatakan bahwa:

“Eksistensi Niscaya Pertama adalah sedemikian rupa sehingga seseorang tidak

memaksudkan, terkait eksistensi (wujud)-Nya, eksistensi (wujud) berwatak

[kontinjen] ini; justru, [eksistensi (wujud)] dalam dua hal tersebut termasuk ke

dalam kata equivokal.” Jika demikian, pertimbangan mengenai Prinsip

Pertama tidak termasuk ke dalam cakupan ilmu metafisika.

[Jawaban] Ini disebabkan karena eksisten (mawjud) mencakup sepuluh

[kategori] dalam nama dan definisinya, bahkan meskipun ia tidak mencakup

mereka sebagaimana genus mencakup [spesies]. Karenanya, mereka “serupa

dengan spesiesnya,” dan [dengan ketat] bukanlah spesiesnya. [...] [§692]

Terkait penerapan eksistensi (wujud) kepada [Prinsip] Pertama dan kepada apa

yang ada setelahnya, ini tidak termasuk kata equivokal, tetapi kata modulasi,

dan rujukan dari suatu nama modulasi dapat dipadukan dalam satu ilmu.”93

92 “The respected commentator [Fakhr al-Din Razi] really did confuse himself on this point. And he

assumed that the minds and intellects of philosophers were also confused by it. He inferred that

existence is applied to all existents by commonality of the term (bi-l-ishtirak al-lafzi), adducing

many proofs to yield this. After that, he judged that existence was a singular thing in everything

equally such that he asserted that the existence of the Necessary was [understood] in the same sense

as the existence of the contingents - God forefend.

Then because he considered the existence of contingents to be something accidental to

their essence, and since he had already judged that the existence of the Necessary is taken in the

same sense as the existence of the contingents, he judged that the existence of the Necessary was

also accidental to his essence. So his essence is not his existence - God greatly transcends [such

nonsense] - and he conjectured that if he did not make the existence of the Necessary accidental to

his essence, it would entail that: His existence was equivalent to caused existents, Or that existence

is applied to the existence of the Necessary and the existence of other-than-him by the commonality

of the term.

The source if this fallacy is ignorance of the meaning of predication by tasykik. A term that

applies to many different things by tasykik does not apply through the commonality of the term, but

rather, in one sense in everything but not equally such as the application of ‘human’ to individuals.

but differentiated either: by priority and posteriority, or by precedence and its privation, or by

intensity and debiliation.” Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being

(New York: Routledge, 2009) h. 43. 93 “[Question] [§688] It is said in the Metaphysics [of the Shifa]: “Substance, quantity, quality, and

the rest of the genera are tantamount to species of existent.” I do not know how [existence] is divided

into these species. [. . .] [§690] After that it is said: “The First Necessary Existent is such that one

does not mean by [Its] existence this [i.e. contingent kind of] existence; rather, [existence] in the two

Page 130: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

116

Apa yang dapat kita simpulkan sampai di sini adalah bahwa Ibn Sina

menyatakan bahwa eksistensi (wujud) disifatkan kepada hal-hal yang berbeda

dengan cara modulasi, dan hal itu mencakup pembedaan transendental; yakni

bagaimana menempatkan Tuhan dan ciptaan dalam konteks eksistensi (wujud).

Modulasi, singkatnya, seperti yang telah kita singgung dan diperjelas oleh kutipan

di atas, terutama dari al-Tusi, berarti bahwa ada perbedaan sekaligus kesamaan

dalam predikasi eksistensi (wujud). Modulasi dalam hal prioritas misalnya ketika

kita membedakan antara sebab dan akibat, sebab hadir lebih dahulu (prior) daripada

akibat (posterior). Modulasi dalam presedensi dan privasi misalnya contoh di atas

mengenai substansi dan aksiden; substansi tidak tergantung kepada aksiden, tetapi

sebaliknya, aksiden bergantung kepada substansi. Modulasi dalam hal intensitas

misalnya ketika kita membandingkan antara warna putih pada es dan pada gading

gajah, gading gajah “lebih putih” ketimbang es, atau, kita dapat membandingkan

pula warna hitam pada sepatu kulit yang sudah dan belum disemir. Modulasi ini

meniscayakan bahwa segala sesuatu dinilai dari mana yang “lebih” dan mana yang

“kurang”, dalam tiga aspek tersebut. Dan Tusi menyimpulkan bahwa, dalam

kaitannya dengan Tuhan, Ia “lebih” dalam tiga makna tersebut dibanding dengan

makhluknya, faktanya, Tuhan adalah yang “paling eksis” dibandingkan dengan

segala sesuatu selain-Nya, ini pula yang dimaksud dengan gagasan bahwa Tuhan

adalah “Eksistensi (wujud) Murni” dan “Eksistensi Niscaya.”94

b. Kritik al-Shahrastani

i. Biografi Singkat al-Shahrastani

Abu al-Fath Muhammad ibn ‘Abd al-Karim ibn Ahmad lahir di Shahrastan,

sebuah kota di bagian utara Khurasan, di sekitar tahun 479/1087 dan wafat di kota

yang sama pada 548/1153. Ia merupakan seorang teolog Asy’ariah penting, serta

cases is among the equivocal terms.” If this is so, consideration of the First Principle is not part of

the scope of the metaphysical science.

[Answer] This is because existent includes the ten [categories] in its name and definition,

even though it does not include them the way genus includes [species]. Therefore, they are

“tantamount to its species,” and are not [strictly speaking] its species. [. . .] [§692] As for the

application of existence to the First [Principle] and to what is posterior to it, this is not an equivocal

term, but a modulated term, and the referents of a modulated name can be incorporated in one

science.” Alexander Treiger, “Avicenna’s Notion of Transcendental Modulation of Existence and

Its Greek and Arabic Sources”. Dalam Islamic Philosophy, Theology and Science: Text and Studies.

Hans Daiber, et. al. (Boston: Brill, 2012) h. 328-363. 94 Lihat Rahman, Rizvi, Izutsu

Page 131: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

117

seorang sejarawan agama dan filsafat. Terdapat sedikit informasi mengenai

kehidupannya. Ia nampaknya mendapatkan pendidikan pertama-nya di tanah

kelahirannya di mana ia belajar bahasa Arab, logika dan aritmatika. Lalu ia pergi

ke Nishapur di mana ia belajar fiqih bersama Abu al-Muzaffar al-Khawafi, ilmu

kalam dan filsafat di bawah bimbingan Abu al-Qasim Salman ibn Nasir al-Ansari,

hadits di bawah bimbingan ‘Ali ibn Ahmad al-Maydani, dan fiqh serta kalam dari

Abu Nasr ‘Abd al-Rahim al-Qusyairi. Dari Nishapur ia pergi ke Khawarizmi di

mana ia melanjutkan kajiannya ats ilmu relijius dan juga filsafat. Di tahun 510/1117

ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan haji dan sekembalinya dari sana ia menetap

di Baghdad, di mana ia mengajar di madrasah Nizamiya, berdakwah di masjid dan

menghadiri diskusi selama tiga tahun. Ia kemudian kembali ke Khurasan, lalu

melayani Abu al-Qasim Muhammad ibn a;-Muzaffar, wazir dari sultan Saljuk,

Sanjar. Di tahun 526/1131, ia pergi ke Tabriz dan menetap di sana sementaea waktu

lalu kembali ke Shahrastan hingga akhir hidupnya. [Leaman]

Karyanya yang paling masyhur adalah Kitab al-milal wa’l nihal. Di dalamnya

ia mengelom-pokkan bangsa-bangsa di dunia menurut pandangan relijius dan

filosofis mereka. Pertama ia menggambarkan pandangan sekte dalam Islam dengan

rinci, kemudian pandangan ahli kitab, yakni umat Kristiani dan Yahudi, kaum

Mazdean dan Manichean. Berbeda dengan sejarawan agama umum pada masanya,

pandangan Shahrastani jauh lebih objektif. Ia juga menulis keyakinan kaum Sabyan

dan pada filsuf terdahulu. Setelah itu ia menjelaskan pandangan-pandangan filsum

Muslim dengan lebih rinci, dalam bab tersebut, Shahrastani terutama

mencerminkan pandangan filosofis Ibn Sina. Karya ini ditutup dengan pembahasan

pandangan dan budaya kaum Arab dan India.

Karya yang kami kutip di sini adalah Musara’at al-falasifa, ini adalah karya

yang ditulis Shahrastani dalam upayanya untuk mengajukan suatu kritik yang rinci

atas metafisika Ibn Sina, karya ini bukanlah karya polemis laiknya Tahafut al-

falasifah, di sini Shahrastani berhadapan dengan Ibn Sina, sang filsuf, dengan

pendekatan spekulatif seorang filsuf pula. [Leaman]

ii. Kritik al-Shahrastani atas Ibn Sina

Dalam Kitab al-Musara’at, Shahrastani menulis:

Page 132: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

118

“Baiklah, anggap saja kita menerima [pendapat] bahwa eksistensi (wujud)

ialah [predikat] berwatak modulasi dan bahwa [Avicenna tidak merumuskan]

divisi [predikasi] macam itu. Bukankah masih sama bahwa eksistensi (wujud)

akan mencakup keduanya [Eksistensi Niscaya dan eksistensi kontinjen]

dengan sejenis keumuman, sementara keniscayaan akan mengkhususkan

[Eksistensi Niscaya] dengan sejenis kekhususan, dan yang dengannya

[Eksistensi Niscaya] di-umum-kan akan berbeda dengan sesuatu yang

membuatnya di-khusus-kan?

Karenanya, akan ada bersama-Nya, suatu susunan dari dua aspek, yang

ditandai dengan dua istilah, masing-masingnya merujuk kepada suatu

[gagasan] selain dari [gagasan] yang kepadanya yang lain merujuk. Ini

bertentangan dengan ketauhidan murni.”95

Konteks dari kritik al-Shahrastani adalah bahwa menurutnya, Ibn Sina

menyamakan eksistensi (wujud) Tuhan dengan eksistensi (wujud) ciptaan dengan

menyatakan bahwa eksistensi (wujud) disifatkan kepada keduanya secara modulasi.

Dan bahwa, konsep modulasi tetap menyiratkan bahwa terdapat satu genus yang

menaungi Tuhan dan ciptaan, dengan perbedaan tertentu bahwa, eksistensi (wujud)

disifatkan kepada Tuhan secara niscaya sedangkan kepada makhluk secara

mungkin. Bagi al-Shahrastani, konsep modulasi masih belum cukup untuk

memisahkan Tuhan dan ciptaan, dan bahwa konsep modulasi, sekalipun ia memiliki

prinsip perbedaan, tetap menjadikan Tuhan dan ciptaan tetap disebut memiliki sifat

yang secara mendasar sama, yaitu eksis. Yang tersirat di sini adalah bahwa Ibn Sina,

untuk membedakan antara Tuhan dan ciptaan, ia menjadikan prinsip distingsi

eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) pada Tuhan dan ciptaan sebagai konsep

yang melindungi ketauhidan.96 Tepat di sinilah Sadra mengkritik Ibn Sina, bahwa

untuk menjaga ketauhidan, konsep modulasi saja tidaklah cukup, konsep modulasi,

sekali lagi harus didasarkan pada konsep primasi eksistensi atas esensi (mahiyah).

Dan pada pembahasan di sub-bab berikutnya, kita akan melihat bagaimana konsep

95 “Let us even grant that existence is a modulated [predicate] and that [Avicenna did not invent]

such a division [of predication]. Is it still not the case that existence would encompass both [the

Necessarily Existent and the contingent existents] with some sort of generality, while necessity

would particularize [the Necessarily Existent] with some sort of particularity, and that by which [the

Necessarily Existent] is generalized would be different from that by which It is particularized?

Therefore, there would be within It a composition of two aspects, signified by two terms,

each of which refers to a [notion] other than [the notion] to which the other refers. This is at odds

with pure unity.” Alexander Treiger, “Avicenna’s Notion of Transcendental Modulation of

Existence and Its Greek and Arabic Sources”. Dalam Islamic Philosophy, Theology and Science:

Text and Studies. Hans Daiber, et. al. (Boston: Brill, 2012) h. 361. 96 Muhammad Syahrastani, Wilfred Madilung & Toby Mayer, Kitab al Musara’a: Struggling With

the Philosopher: A Refutation of Avicenna’s Metaphysics (London: The Institute of Ismaili Studies,

2001).

Page 133: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

119

modulasi ini dirumuskan dalam kerangka primasi dalam perkembangan konsep ini

pada mazhab Akbariyyun, atau pengikut Ibn Arabi, dan secara sekilas melihat

bagaimana prinsip gradasi cahaya Suhrawardi juga menjadi konsep selanjutnya

yang dikritisi sekaligus dikoreksi dan dimodifikasi oleh Mulla Sadra, sehingga

menjadi apa yang disebut sebagai modulasi eksistensi.

4. Tahap Ketiga: Dari Peripatetisme ke Mistisisme

Dalam dua sub-bab sebelumnya, kita telah melihat sekilas bagaimana konsep

modulasi eksistensi berkembang dari versi Aristotelian ke versi Avicennian. Kita

juga telah melihat bagaimana Ibn Sina masih belum bisa menjawab persoalan yang

diajukan oleh al-Shahrastani. Dan kita dalam bab lainnya telah melihat pula bahwa

adalah Suhraw.ardi yang menjadi konteks kritik Mulla Sadra secara umum. Di sini

kita akan melihat bagaimana Sadra mempersiapkan amunisi konseptual terakhir

untuk mengkritisi Suhrawardi. Sebelumnya kita telah mengetahui bahwa dalam

persoalan modulasi, Suhrawardi tidak bertentangan secara keseluruhan dengan

Mulla Sadra; sebaliknya, adalah Sadra yang menyatakan bahwa konsep gradasi

cahaya Suhrawardi merupakan deskripsi yang benar atas kenyataan. Yang menjadi

persoalan adalah bahwa Suhrawardi menyatakan bahwa eksistensi (wujud)

hanyalah konsep belaka tanpa merujuk kepada realitas in concreto. Untuk

mengatasi kritik Suhrawardi, mazhab terakhir yang dijadikan rujukan oleh Mulla

Sadra tidak lain adalah mazhab yang terkenal dengan nama wahdat al-wujud.

Sebagai permulaan, mari kita lihat bagaimana Suhrawardi dikritisi oleh salah satu

pengikut Ibn Arabi yang paling filosofis, Dawud al-Qaysari:

“Eksistensi (wujud) bukanlah suatu konsep tanpa kenyataan ekstra-mental

sebagaimana yang ditegaskan oleh mereka yang lalai, karena eksistensi

(wujud) secara kudrati adalah suatu (hal) aktual ... Bahwa kenyataan, dari sisi

keumumannya adalah sesuatu yang dihasilkan oleh pikiran, tidak berarti

bahwa ia, sebagai kenyataan yang tak-dikondisikan, juga merupakan sesuatu

yang dihasilkan oleh pikiran. Karenanya, [dalam hal ini], eksistensi (wujud)

bukanlah suatu atribut mental eksistensial seperti keniscayaan dan

kontinjensi.”97

97 “Existence is not a concept without extra-mental reality (i’tibari) as the wrongdoers (al-zalimun)

have asserted, because existence is essentially an actual (thing) ... That reality in respect of

commonality is something mentally considered, does not mean that it, as unconditioned reality (la

bi shart shay’), is also something mentally considered. Therefore, [in this respect], existence is not

a mental existential attribute such as necessity and contingency.” Eiyad S. al-Kutubi, Mulla Sadra

and Eschatology: Evolution of Being (New York: Routledge, 2015) h. 25-26.

Page 134: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

120

Izutsu menyatakan bahwa, adalah hal yang amat berat bagi Mulla Sadra untuk

melawan posisi Suhrawardi terkait eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) karena

Suhrawardi, dan mazhab iluminasionis secara umum, merumuskan konsep filosofis

mereka bukan berdasarkan nalar belaka, melainkan berdasarkan intuisi ilahi. 98

Tentu saja, strategi Sadra untuk melawan Suhrawardi dengan merujuk kepada

otoritas gnostik dari mazhab Ibn Arabi merupakan pilihan terbaik, dan, mungkin

faktanya merupakan satu-satunya pilihan bagi Mulla Sadra untuk keluar dari

kekeliruan esensialisme Suhrawardi.

Pada sub-bab ini, kita akan membahas sekilas bagaimana mazhab Akbariyyun

merumuskan konsep modulasi, dengan membatasi diri kepada dua rumusan, yakni

rumusan modulasi Qunawi dan Qaysari; tepatnya, untuk yang pertama, adalah

pembahasan mengenai korespondensi antara al-Tusi dan Qunawi dalam persoalan

modulasi.

Dalam sebuah disertasi yang brilian berjudul From Mysticism to Philosophy

(and back): An Ontological History of the School of Oneness of Being, Canier K.

Dagli melacak bagaimana, dalam kurun waktu sekian abad, terjadi sebuah upaya

besar untuk memadukan filsafat dan mistisisme Islam dalam kerangka ontologis

dan epistemologis. Yang lebih penting dan terkait dengan penelitian ini adalah

bahwa Dagli meninjau bagaimana dalam masa itu, terdapat keterkaitan intens antara

pihak Peripatetik, diwakili secara khusus oleh al-Tusi, mazhab Akbarian, diwakili

oleh al-Qunawi, dan beberapa figur terakhir yang ditutup dengan Qaysari,

menjembatani upaya sintesis besar yang nantinya dirumuskan oleh Sadra dalam

filsafatnya.

Dalam konteks kali ini, adalah bagaimana, seperti yang telah disinggung

sebelumnya, konsep primasi eksistensi dan konsep modulasi telah dirumuskan

hingga mencapai tingkat abstraksi yang mendekati Mulla Sadra. Ini menjadi begitu

penting karena, seperti kutipan di atas, Pertama dalam mazhab Akbariyyun, Sadra

mendapatkan rumusan terkuat untuk mengukuhkan metafisika eksistensialnya. Dan

terlebih lagi, Kedua, berbeda dengan Suhrawardi yang dari pandangan ortodoks,

98 Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and

Linguistic Studies, 1997) h. 116.

Page 135: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

121

mendapatkan ilham spekulatifnya dari sumber selain Islam, mazhab Akbariyyun

lahir dari rahim ortodoks sendiri: dari penafsiran atas al-Qur’an dan tradisi sufistik

Islam. Kemudian, yang terakhir, Ketiga, pada Qaysari, kita telah menemukan,

sebelum Sadra, sintesis yang kuat antara mistisisme, yakni sufisme Akbariyyan

dengan prinsip wahdat-al-wujud, yang merupakan dasar dari prinsip primasi

eksistensi Mulla Sadra, dengan modulasi eksistensi, dan semua ini diungkapkan

dalam bahasa Peripatetik.

a. Tusi dan Qunawi

i. Biografi Singkat Qunawi

Nama lengkap Qunawi adalah Sadr al-Din Muhammad ibn Ishaq ibn Yusuf al-

Qunawi al-Rumi [w. 673/1274], ia merupakan salah satu murid Ibn ‘Arabi yang

paling masyhur, yang paling ahli dalam penjelasan metafisis. Ibn ‘Arabi berteman

dengan ayah Qunaqi, Majd al-Din Ishaq dan keduanya berkelana ke Anatolia di

tahun 601/1024-5. Qunawi lahir di tahun 1210, dikabarkan bahwa Ibn ‘Arabi

menikahi ibu Qunawi setelah ditinggalkan oleh ayahnya. Setelah kematian Ibn

‘Arabi, Qunawi menggantikan Ibn ‘Arabi dalam melatih para murid tersebut,

termasuk Afif al-Din al-Tilimsani [w. 1291].

Lima tahun setelah kematian Ibn ‘Arabi, Qunawi berkelana ke Mesir dimana ia

memberikan ulasan oral atas puisi Nazm al-Suluk dari Ibn al-Farid. Ia melanjutkan

mengajar ulasan ini hingga ke Konya, dan muridnya, Sa’id al-Farghani

mengumpulkan catatan-catatan ats ulasan ini dalam bentuk buku berjudul Mashariq

al-darari yang nantinya terbit dengan bahasa Arab dengan judul Muntaha al-

Madarik. Qunawi mengajar hadits di Konya, dan salah satu muridnya adalah Qutb

al-Din Shirazi [w. 1311]. salah satu murid Tusi yang paling cerdas. Selain menjadi

kawan, anak angkat dan murid Ibn ‘Arabi, ia juga berteman dengan tokoh besar

lain, Jalal al-Din Rumi, yang sama-sama dari Konya dan hidup semasa dengannya.

Selain menjadi seorang praktisi Sufi, ia juga akrab dengan gagasan-gagasan para

filsuf. Secara umum dia dianggap sebagaii tokoh paling penting yang menentukan

masa depan warisan karya-karya Ibn ‘Arabi. Kali ini, ia bertemu dengan al-Tusi

dalam korespondensi filosofis terkait modulasi eksistensi.

Page 136: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

122

ii. Korespondensi Qunawi-Tusi

Qunawi dan Tusi merupakan dua tokoh yang hidup pada masa yang sama, dan

berasal dari dua tradisi intelektual yang berbeda. Qunawi merupakan seorang yang

memiliki peran penting dalam menyebarkan ajaran Ibn ‘Arabi, al-Tusi merupakan

seorang tokoh yang berperan penting dalam revivalisasi Avicennian dalam filsafat

Islam. Kedua tokoh penting ini saling berkirim surat pada masa itu dan membahas

beberapa persoalan penting, termasuk persoalan modulasi eksistensi.

Korespondensi ini terdiri dari sebuah surat yang ditulis oleh Qunawi kepada Tusi,

ia menanyakan sejumlah persoalan filosofis, kemudian Tusi membalas surat ini,

dan akhirnya Qunawi membalas balasan dari Tusi. Keduanya saling menghormati

satu sama lain, Qunawi mengakui Tusi sebagai filsuf paling masyhur di masa itu,

begitu pula, Tusi menghormati Qunawi sebagai sosok spiritual agung.

Korespondensi ini terjadi karena Qunawi menyatakan bahwa ia ingin menemui Tusi

secara langsung namun tidak memiliki kesempatan.

Dalam surat pertamanya kepada Tusi, Qunawi menulis beberapa hal, yang

digarisbawahi kali ini adalah bagaimana ia menjelaskan ontologi Akbariyyun,

yakni perihal hubungan antara Yang Satu dengan yang jamak, antara Pencipta dan

ciptaan, dan dalam istilah peripatetik, antara Eksisten (mawjud) dan eksisten

(mawjud). Berikut ini apa yang ditulis oleh Qunawi:

“Segala sesuatu yang kepadanya pencerapan intelektual, mental, imajinal

dan sensorial lekatkan – secara bersamaan atau satuan – tidak lain dari

kenyataan terpisah yang tergabung dengan suatu eksistensi (wujud) tunggal tak

terbagi. Karenanya mereka mewujud dalam dan pada diri mereka. Akan tetapi,

dalam perwujudan, penentuan, cakupan dan pelekatan, beberapa tergantung

kepada yang lainnya. Apa saja yang dibutuhkan yang lain karena prioritas yang

telah disebut di atas, disebut kenyataan, sebab, dan perantara bagi Yang Nyata

dan apa yang bergantung kepadanya ... Yang bergantung disebut karakteristik,

akibat, atribut, kualitas, keadaan, entitas terkondisi dan sejenisnya.

Ketika realitas ini diandaikan terpisah dari eksistensi (wujud) dan dari

hubungan dengan satu sama lain, dengan ketiadaan kaitan dengan yang lain

sama sekali, mereka menjadi kosong dari nama, kualitas, atribut, bentuk dan

penentuan. Mereka, dalam kenyataan, kosong [dari mereka], bukan hanya

dalam kemungkinan. Untuk menegaskan suatu nama, atribut, atau suatu

kualitas – melalui pengumpulan atau sebagai satuan, dalam manifestasi atau

ketersembunyian, dalam pemahaman dan yang dipahami, dalam universal dan

partikular, dalam kebergantungan dan objek yang dipergantungkan, dan

sejenisnya – kepada realitas terpisah hanya dapat dijadikan suatu fakta dan

muncul pertama-tama melalui penerapan dan penentuan eksistensi (wujud)

atas mereka; tetapi hal ini [terjadi], setelahnya, terkait dengan suatu

Page 137: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

123

identifikasi eksistensi (wujud) [yang terjadi] melalui manifestasi dan menurut

beberapa tingkat ... melalui hubungan penentuan satu dengan yang lain, dan

melalui mewujudnya akibat dari satu dengan yang lain melalui eksistensi

(wujud).”99

Kutipan ini selain agak panjang juga menggunakan bahasa yang cukup rumit,

tetapi dengan menekankan beberapa poin, ia akan terlihat jelas. Qunawi sedang

membicarakan apa yang dalam bahasa Peripatetik adalah bagaimana suatu eksisten

(mawjud) hadir di dunia melalui perpaduan antara esensi (mahiyah) (uncoupled

realities) dan sebuah eksistensi (wujud) tunggal. Bahwa agar suatu eksisten

(mawjud) hadir, ia harus memiliki eksistensi (wujud), dan bahwa eksisten (mawjud)

yang dapat dipahami atau dialami manusia hanyalah salah satu mode eksistensi

(wujud). Kita pun dapat menempatkannya lebih jelas dengan mengingat doktrin

emanasi pada umumnya, emanasi adalah proses di mana segala sesuatu, yakni

ciptaan, terjadi dari hasil kontemplasi Tuhan atas diri-Nya dan seterusnya, di sini,

eksistensi (wujud), tentunya merujuk kepada Tuhan sebagai kenyataan tertinggi,

sebagaimana pada umumnya kita memahami ajaran wahdat al-wujud. Dan terlebih

lagi, Qunawi menekankan bahwa tanpa eksistensi (wujud), tidak akan ada sesuatu,

dalam bahasa peripatetik, ini berarti bahwa esensi (mahiyah) jika ia dilihat dari

dirinya sendiri tanpa melibatkan eksistensi (wujud), ia tidak akan eksis.

99 “Everything to which the intellectual, mental, imaginational, and sensorial perceptions attach -

collectively or individually - is nothing more than uncoupled realities (haqa’iq mujarradah)

combined (ta’allafa) with a single indivisible existence. Thus they manifest in/to themselves.

However, in manifestation. determination, scope and attachment, some are dependent upon others.

Those upon whom others are dependent (matbu’) because of the aforementioned priority (taqaddum)

are called realities, causes, and intermediaries between the Real and what depends upon them...The

dependent are called characteristics (khawass), entailments (lawazim), attributes (‘awarid), qualities

(sifat), states (ahwal), conditioned entities (mashrutat) and the like.

When these realities are considered bereft (mujarrad) of existence and of the connection of

each with the other, with none being related to the other at all, they become empty of name, quality,

attribute, form and determination. They are empty [of them] actually, not potentially. To affirm a

name, attribute, or a quality - through compounding or as a simplex, in manifestation or in

hiddenness, in perception and being perceived, in universal and particular, in dependent and the

object of dependence, and the like - to uncoupled realities can only be made a fact (sahha) and

appear in the first place through the application of the determination of existence to them; but this

[occurs], in the second place, with respect to an identification of existence [which takes place] by

means of a manifestation in and in accordance with some level ... through the connection of the

determinations of each to the other, and through the manifesting of the effect of one with the other

through the existence.” Caner K. Dagli, “From Mysticism to Philosophy (And Back): An Ontological

History of the School of the Oneness of Being”. (Disertasi, Faculty of Philosopy, Department of Near

Islamic Studies, 2006) h. 58-59.

Page 138: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

124

Dengan membandingkan kutipan di atas dengan pernyataan Tusi, kita akan

melihat maksudnya dengan lebih jelas. Tusi membalas Qunawi,

“Istilah-istilah yang memiliki satu makna dan yang dikatakan terkait banyak

hal terbagi menjadi dua jenis. Pertama adalah ketika konsep tersebut serupa

dalam setiap individu dalam kelompok tersebut, seperti “manusia” dalam

Zayd dan Amr ... dan istilah-istilah ini disebut univokal, dan penentuannya,

terkait dengan apa yang disiratkan oleh konsep tersebut, adalah sama ... Jenis

kedua adalah ketika suatu konsep tidaklah sama dalam beberapa kejadian.

Justru, dalam beberapa hal ia lebih dahulu atau akhir, lebih kuat, atau lebih,

seperti “putih” pada salju dan gading, atau “eksistensi (wujud)” pada substansi

dan aksiden. Pada jenis ini, ia tidak meniscayakan bahwa makna yang tersirat

itu sama; benar bahwa mereka dapat berbeda. Contohnya, nama “cahaya”

dapat diberikan kepada cahaya matahari, cahaya bulan dan cahaya api. Cahaya

matahari meniscayakan berakhirnya malam, tidak seperti yang lain. Eksistensi

(wujud) berciri seperti jenis terakhir ini. Pada yang niscaya, ia menghidupi-

dirinya tanpa ia menjadi aksiden dari suatu kuiditas, dan pada kontingen ia

dibuat menjadi aksiden dari suatu kuiditas.

Eksistensi (wujud), yang mana konsep ini diterapkan kepada yang niscaya

dan yang kontinjen melalui tasykik, merupakan suatu entitas intelektual,

karena eksistensi (wujud), secara konkret tidak dapat terjadi pada hal-hal yang

berada di dalamnya. Entitas ini dikatakan terkait Eksistensi Niscaya yang

menghidupi-diri dalam esensinya dan yang tidak menjadi aksiden dari suatu

kuiditas, dan juga dikatakan terkait eksisten (mawjud) lainnya. Ketika

eksistensi (wujud) mereka dipikirkan oleh akal, ia kontinjen dan tidak niscaya.

Nama ‘eksistensi (wujud)’ diberikan kepada mereka dan kepada Yang

Niscaya sebagaimana “Zayd” diberikan dalam eksistensi (wujud) konkretnya,

begitupun namanya, eksistensi (wujud) tersebut merupakan suatu entitas

intelektual. Eksistensi Niscaya tidaklah diketahui inti dan kenyataannya.

Eksistensi (wujud) intelektual ini dipahami dari-Nya dalam suatu cara

berwatak negatif.

[Tuhan] yang menjadi asal-muasal segala sesuatu selain-Nya, berwatak

demikian karena eksistensi (wujud)-Nya yang konkret dan niscaya, bukan

karena eksistensi (wujud) yang dikatakan mengenainya dan mengenai apa

yang selain-Nya melalui tasykik, yang dijelaskan oleh para pemikir rasional

dengan negatif.”100

100 “Terms which have one meaning and are said of many things are of two sorts: The first is when

that concept is the same in the individuals of that group, such as “human being” in Zayd and Amr ...

and these terms are called univocal, and its determination, with respect to what is implied by the

concepts, is the same ... The second sort is when the concept is not the same in the several instances.

Rather, in some it is prior, posterior, stronger, or more. such as “white” for snow and ivory, or

“existence” for substance and accident. In sthis sort it does not have to be that necessary implications

will be the same; indeed they may differ. For example the name “light” applies to sunlight,

moonlight, and firelight. Sunlight necessarily brings about the disappearance of night, unlike the

others. Existence is of this latter sort. In the necessary it is self-subsisting without its being made the

accident of a quiddity, and in the contingent it is made to be the accident of a quiddity.

Existence, the concept of which applies to the necessary and the contingent through tasykik,

is an intellectual entity, for wujud cannot, concretely, occur in things that share in it. This entity is

said of the necessary existence which is self-subsisting in its essence and which is not made an

accident of a quiddity, and also said of other existents. When their existence is considered in the

Page 139: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

125

Balasan dari Tusi ini sudah kita kenal, ya, ini adalah konsepsi Tusi mengenai

modulasi eksistensi seperti yang telah kita temui pada sub-bab sebelumnya. Setelah

menjelaskan bagaimana secara linguistik dan logis satu istilah memiliki banyak

makna dan membaginya menjadi dua jenis, yakni sinonim, dalam relasi antara

“kemanusiaan” dan Zayd dan Amir, ia menjelaskan ada jenis istilah yang memiliki

banyak makna tetapi berbeda dengan hukum sinonim atau padanan kata. Seperti

yang telah kita lihat sebelumnya, Tusi sedang menjelaskan modulasi, dengan ciri

bahwa modulasi mensyaratkan perbedaan makna dalam tatanan prioritas,

posterioritas, intensitas dan sebagainya. Menjawab pemaparan Qunawi mengenai

bagaimana kenyataan tunggal eksistensi (wujud) terkait dengan banyak entitas, atau

esensi (mahiyah), Tusi melanjutkan dengan memperjelas lebih lanjut bagaimana

istilah eksistensi (wujud) diterapkan pada perbedaan antara Tuhan dan ciptaan,

kemudian menjelaskan bahwa eksistensi (wujud) tunggal yang mendasari

kenyataan dan manifestasi-Nya tidak dapat diketahui melalui akal kecuali dalam

cara negatif.

Dengan melihat bagaimana korespondensi filosofis berlangsung antara Tusi dan

Qunawi ini, kita dapat mengetahui bagaimana, terlepas dari perbedaan istilah yang

dipakai, Qunawi sebagai perwakilan dari sufisme Akbariyyun memiliki konsepsi

mengenai eksistensi (wujud) yang bisa dikatakan identik, perbedaan yang ada

terletak lebih kepada pemilihan istilah yang dipakai, dan bahasa Qunawi yang

cenderung lebih rumit. Terkait dengan penelitian ini, sekali lagi kita dapat

mempertegas asumsi bahwa Mulla Sadra, untuk merumuskan metafisika

eksistensial-nya, mengambil ilham konseptual dan mungkin spiritual dari tradisi

Ibn Arabi, dari Qunawi hingga Qaysari. Di sini kita melihat bagaimana modulasi

eksistensi dan primasi eksistensi sudah mulai memperoleh bentuknya, yang

kemudian akan semakin konsisten ketika kita meninjau bagaimana Qaysari

mind, it is contingent and not necessary. The name wujud applies to them and to the necessary as

“Zayd” applies in his concrete existence as well as his name. That existence is an intellectual entity.

Necessary existence is unknown in its core and reality. This intellectual existence is understood from

it/Him in a qualified negative way.

[God’s] being the origin of what is other than Him is due to his concrete, necessary

existence, not due to the existence said of Him and of what is other than Him through tasykik, which

rational thinkers specify negatively” Caner K. Dagli, “From Mysticism to Philosophy (And Back):

An Ontological History of the School of the Oneness of Being”. (Disertasi, Faculty of Philosopy,

Department of Near Islamic Studies, 2006) h. 60-61.

Page 140: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

126

menuliskan pemikirannya mengenai hal ini, yang menjadi pembahasan sub-bab

berikutnya.

b. Qaysari dan Sadra

i. Biografi Singkat Qaysari

Dawud al-Qaysari bernama lengkap Dawud ibn Mahmud ibn Muhammad al-

Rumi al-Qaysari, ia lahir kira-kira di tahun 1260 di pusat kota Anatolia, Kayseri,

dari situlah namanya berasal. Keterangan mengenai masa awal kehidupannya amat

sedikit diketahui. Ia memulai pendidikannya di Kayseri, pernah menjalani masa

belajar di Mesir meskipun di masa ini tidak didapati keterangan lebih lanjut. Ia

belajar di Tokat Niksar Nizamiyyah di bawah bimbingan Muhammad ibn Sartak al-

Maraghi, yang dulunya merupakan murid di observatorium Nasir al-Din al-Tusi di

Maraghah ketika masih dipimpin oleh putra dari Tusi. Maraghah bukan sekedar

observatorium, ia juga merupakan pusat kajian di mana matematika dan filsafat

diajarkan. Di masa bimbingannya dengan Ibn Sartak inilah Qaysari mengenal dekat

karya-karya filosofis dari Yunani serta dari filsuf Islam seperti Ibn Sina, Tusi, dan

Abu’l Barakat al-Baghdadi, ditambah dengan ilmu matematika dan lainnya.

Qaysari menulis dalam salah satu karyanya bahwa adalah Kashani yang merupakan

gurunya dalam jalan Sufisme.

Di tahun 1336, Sultan Orkhan Ghazi menunjuk Qaysari untuk menjadi rektor

pertama sistem pendidikan Ottoman, ia mengabdi di sana hingga kematiannya di

tahun 1350. Mata kuliah yang ia ampu merentang dari ilmu-ilmu Islam tradisional,

fiqih, tafsir, hingga logika dan filsafat. Di masa inilah ia menulis banyak karya

sufistik yang mewakili pandangan Mazhab Ibn Arabi. Karya terpenting Qaysari

adalah pengantar dan ulasan atas Fusus al-Hikam Ibn ‘Arabi, Matla’ khusus al-

kalim fi ma’ani Fusus al-Hikam. pengaruh dari pemikiran Qaysari merentang dari

Ottoman ke Persia, hingga kepada tokoh-tokoh Persia dari Haydar Amuli hingga

Mulla Sadra. Faktanya, Sadra sering mengutip karya-karya Qaysari terutama dalam

karyanya yang lebih berorientasi irfani seperti al-Shawahid al-rubibiyah.

Pada dua sub-bab sebelumnya kita telah melihat bagaimana konsep filosofis

mereka mengenai modulasi mendahului perumusan Mulla Sadra. Berbeda dengan

para filsuf sebelumnya, gagasan Qaysari akan digambarkan dengan lebih rinci

Page 141: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

127

sesuai dengan perbedaan filosofis dari rumusan Qaysari sendiri. Berbeda dengan

Qunawi, khususnya, Qaysari, dalam pengantar sekaligus ulasannya atas Fusus al-

Hikam Ibn ‘Arabi, tidak hanya merumuskan sesuatu yang mendahului modulasi

Mulla Sadra, tetapi juga dalam hal penyetaraan antara eksistensi (wujud) dengan

cahaya, dalam hal primasi eksistensi dan dalam hal relasi antara esensi (mahiyah)

dan eksistensi (wujud), kami akan mengutip dengan lebih panjang dan banyak

pernyataan-pernyataan Qaysari sendiri terkait dengan poin-poin filosofis tersebut

untuk menjelaskan fakta bahwa, dalam rumusan Qaysari, kita telah melihat

bagaimana metafisika eksistensial telah memperoleh bentuknya yang jelas sebelum

lebih lanjut dirumuskan oleh Mulla Sadra dengan lebih koheren, sistematis dan

konsisten.

ii. Realitas Eksistensi

Sebelumnya, kita telah mengutip pernyataan Qaysari, kritiknya atas mereka

yang menyatakan bahwa eksistensi (wujud) tidak memiliki kenyataan dalam realitas

eksternal dan hanya berada dalam ranah konseptual belaka, ini adalah kutipan lebih

panjang dari pernyataan tadi yang kita dapati pada bagian pertama, yaitu bagian

Muqaddimah dari karyanya, Matla’ khusus al-kalim fi ma’ani Fusus al-Hikam:

“Eksistensi (wujud) bukanlah suatu substansi, karena [substansi ialah] apa

yang eksis secara eksternal dan dalam suatu subjek atau suatu kuiditas yang,

ketika ia eksis, ia mandiri dari suatu subjek. eksistensi (wujud) tidaklah seperti

itu, karena kemudian ia akan menjadi seperti semua substansi yang dikenal,

yang memerlukan suatu eksistensi (wujud) untuk ditambahkan kepada dirinya,

dan yang memerlukan keterlibatan dari eksistensi (wujud) tadi.

Tidak pula eksistensi (wujud) merupakan suatu aksiden, karena [aksiden]

ialah apa yang merujuk kepada sesuatu yang eksis dalam suatu subjek, atau

suatu kuiditas yang, jika ia eksis, didapati dalam suatu subjek.

Kini, eksistensi (wujud) tidaklah eksis dalam arti bahwa ia memiliki

eksistensi (wujud) yang ditambahkan kepadanya, dan tentu saja bukan dalam

arti bahwa ia eksis di dalam suatu subjek. Justru, eksistensialitas-nya

didasarkan pada dirinya dan esensinya, bukan pada sesuatu yang lain yang

berbeda darinya secara intelektual atau eksternal. Terlebih, jika ia merupakan

suatu aksiden, ia akan bertahan dalam suatu subjek yang [subjek ini sendiri]

telah merupakan suatu eksisten (mawjud). Ini akan menyebabkan

[pemahaman] bahwa suatu hal mendahului dirinya, dan terlebih lagi,

eksistensi (wujud) dari kedua hal ini akan ditambahkan kepada mereka.

eksistensi (wujud) tak dapat ditambahkan kepada dirinya. Yang disebabkan

oleh fakta bahwa ia lebih umum dibandingkan dua hal ini, eksistensi (wujud)

merupakan bagian dari definisi mereka, dan karenanya berbeda dari mereka.

Page 142: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

128

Tidak pula eksistensi (wujud) semata merupakan suatu objek tanpa

kenyataan ekstra-mental, seperti yang diyakini oleh orang-orang yang lalai,

karena eksistensi (wujud) terwujud dalam dirinya, terlepas dari mereka yang

memikirkannya, tak perlu dikatakan lagi bahwa, ia terlepas dari tindakan

mereka dalam memikirkannya. Hal ini sama saja dari sisi intelektual atau

tidak. Ingatlah ketika Rasulullah bersabda, “Tuhan ada, dan tiada hal apapun

yang ada bersama-Nya.” ... eksistensi (wujud) bukanlah suatu kualitas dalam

akal yang melibatkan eksistensi (wujud) ... seperti hubungan antara

keniscayaan dengan suatu hal yang niscaya, bukan pula hubungan antara

kontinjensi dan suatu hal kontinjen.

Tiada yang lebih terbukti ketimbang eksistensi (wujud), tidak dalam wujud

dan perwujudannya, sehingga yang bisa kita katakan hanyalah ia terbukti

dengan sendirinya. Namun, ia juga merupakan sesuatu yang paling

tersembunyi di antara hal-hal, baik dalam hal kuiditas maupun kenyataannya.

Rasulullah, yang lebih tahu dibandingkan makhluk lainnya, berbicara dengan

benar ketika ia berkata dalam doanya, “Mereka tak mengenal-Mu

sebagaimana Engkau seharusnya dikenal.”101

Mari kita bahas beberapa pernyataan di atas. Pertama, Qaysari menyatakan

bahwa eksistensi (wujud) bukanlah substansi, dan bukan pula aksiden. Apa yang

dimaksud dengan pernyataan ini? Sebelumnya kita telah melihat bagaimana

konsepsi substansi dan aksiden Aristoteles berkaitan dengan pendirian filosofis

mengenai kaitan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). Dan sebelumnya,

kita hanya menjelaskan bagaimana eksistensi (wujud) bukanlah aksiden dari esensi

101 “Existence is not a substance, because that is what exists externally and in a subject or a quiddity

which, when it exists, is independent of a subject. Existence is not like that, because it would then

be like all other identified substances, in need of an existence added to itself, and in need of the

entailments of that existence.

Nor is existence an accident, because that refers to what exists in a subject, or a quiddity

which, when it exists, is found in a subject.

Now, existence does not exists in the sense that it has existence added to it, and certainly not in the

sense that it exists in a subject. Rather, its existentiality is based on its entity and essence, not

something else which differs from it intellectually or externally. Furthermore, if it were an accident,

it would subsist in a subject that was itself already existent. This would entail that a thing precede

itself, and moreover the existence of these two things would be added to them. Existence cannot be

added to itself. Owing to the fact that it is more general than these two things, existence is part of

their definition, and is therefore other than them.

Nor is existence simply an object without extra mental reality, as is believed by the

wrongdoers, since existence is actualized in itself, independently of those who consider it and,

needless to say, independently of their act of considering it. The case is the same intellectually or

otherwise. Recall that the Prophet said, “God was, and no thing was with Him.” ... Existence is not

a quality in the intellect involving existence...like the relationship of necessity to a necesary thing

nor of contingency to a contingent thing.

Nothing is more evident than existence, neither in being nor in realization, so much so that

we say that it is self-evidently known. Yet, it is also the most hidden of things, both in its quiddity

and its reality. The Prophet, who knew more than any creature, spoke truthfully when he said in his

supplication. “They do not know Thee as Thou shouldst be known.”” Caner K. Dagli, “From

Mysticism to Philosophy (And Back): An Ontological History of the School of the Oneness of Being”.

(Disertasi, Faculty of Philosopy, Department of Near Islamic Studies, 2006) h. 89-90.

Page 143: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

129

(mahiyah). Eksistensi (wujud) bukanlah aksiden dari esensi (mahiyah) karena

dalam pengertian ini, yaitu dalam relasi antara substansi dan aksiden, aksiden agar

ia eksis ia harus berada dalam subjek, yakni substansi, semisal kita contohkan

sebuah substansi, “manusia yang berpuasa”, manusia di sini adalah substansi,

sementara berpuasa adalah aksiden. Dalam relasi ini, substansi, yaitu manusia,

dapat tetap eksis meskipun ia tidak memiliki aksiden, yakni berpuasa; singkatnya,

entah manusia berpuasa atau tidak berpuasa, itu tidak ada hubungannya dengan

apakah dia eksis atau tidak, manusia yang berpuasa dapat sama-sama eksis

sebagaimana manusia yang tidak berpuasa. Tetapi tidak sebaliknya, “berpuasa”

sebagai aksiden tidak dapat eksis tanpa adanya manusia. Tentu adalah absurd untuk

menyatakan bahwa ada sesuatu bernama “berpuasa” yang hadir tanpa ada substansi,

misalnya manusia yang berpuasa. “Berpuasa” agar ia ada, eksis, terwujud,

meniscayakan adanya substansi di mana ia terwujud dan hadir. Ini adalah relasi

antara substansi dan aksiden. Aksiden selalu memerlukan substansi, tetapi tidak

sebaliknya.

Lalu, apa yang dimaksud dengan pernyataan bahwa eksistensi (wujud)

bukanlah substansi?

Berbeda dengan aksiden, yang mode eksistensinya parasitik, yakni

memerlukan keberadaan substani agar ia eksis, substansi, pada hakikatnya tidak

memerlukan kehadiran aksiden. Tetapi, eksistensi (wujud) bukanlah substansi,

mengapa demikian? Substansi, meskipun ia tidak memerlukan kehadiran aksiden,

namun agar ia dapat eksis, ia harus eksis. Artinya, substansi tidak dapat diketahui

apakah ia eksis atau tidak, jika ia terwujud dalam suatu subjek. Misalkan, kita

memikirkan suatu hal, katakanlah Alien. Mari kita membuat contoh kalimat sebagai

berikut, “Alien menyerang bumi” dalam kalimat ini, alien adalah subjek dari

kalimat dan substansi, sementara menyerang bumi adalah aksiden dari substansi ini.

Kita dapat mengetahui, dalam relasi substansi-aksiden ini, Alien bisa menyerang

bumi atau tidak, tergantung kepada, misalnya, kehendaknya. Kita mengetahui

bahwa menyerang bumi adalah aksiden dari substansi bernama alien, dan kita

mengetahui bahwa alien, tanpa harus menyerang bumi, tetaplah alien. Tetapi,

meskipun kita tahu hal ini dalam relasi substansi-aksiden, jika kita ditanya apakah

Page 144: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

130

alien eksis atau tidak, kita tidak dapat menjawabnya dengan pasti, hingga suatu hari

kita dapat memastikan bahwa alien itu eksis. Inilah yang dimaksud bahwa,

meskipun secara logis, substansi tidak memerlukan aksiden agar ia tetap menjadi

substansi, ia belum tentu eksis. Inilah apa yang dimaksud pula oleh Ibn Sina, dan

filsuf lainnya yang menyatakan bahwa Tuhan bukanlah substansi. 102 Bahwa

berbeda dengan substansi, Tuhan niscaya eksis, karena eksistensi (wujud) dan

esensi (mahiyah) Tuhan tidaklah berbeda. Kembali lagi ke contoh alien, kita secara

garis besar tahu apa itu yang dimaksud alien, yaitu esensinya, sesuatu yang

membuat alien itu alien, tetapi kita tidak mengetahui apakah alien itu eksis. Ini

berarti, esensi (mahiyah) alien berbeda dengan eksistensinya. Begitu pula dengan

substansi. Substansi tetap menjadi substansi tanpa adanya aksiden, tetapi substansi

agar eksis, ia memerlukan sesuatu yang lain, yakni eksistensi (wujud).103

Terkait pernyataan berikutnya bahwa “eksistensi (wujud) tidak eksis dalam

artian eksistensi (wujud) ditambahkan kepadanya, dan pastinya tidak dalam arti

bahwa ia eksis di dalam subjek.” Ini merupakan penegasan dari pembahasan

sebelumnya, bahwa eksistensi (wujud), tidak seperti substansi, tidak memerlukan

subjek tertentu selain eksistensi (wujud), agar ia eksis. Sekali lagi, substansi agar ia

eksis memerlukan subjek selain dirinya, ia memerlukan eksistensi (wujud), tetapi

eksistensi (wujud) tidak memerlukan eksistensi (wujud) agar ia eksis, karena

pernyataan ini sendiri absurd. Pernyataan ini, bersama pernyataan berikutnya

bahwa “eksistensi (wujud) bukanlah objek tanpa kenyataan ekstra-mental”

merupakan sanggahan langsung atas kelompok yang menyatakan bahwa eksistensi

(wujud) hanyalah konsep belaka yang kita dapati dalam akal kita tetapi tidak di luar

akal, yakni dalam realitas eksternal. Nantinya, argumen ini akan digunakan Mulla

Sadra untuk mengkritik posisi Suhrawardi yang menyatakan bahwa eksistensi

(wujud) tidak memiliki kenyataan ekstra-mental atau di luar akal manusia.

Mengenai pernyataan bahwa tidak ada yang lebih terbukti ketimbang eksistensi

(wujud), akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan selanjutnya. Cukup dikatakan

di sini bahwa eksistensi (wujud) adalah sesuatu yang amat jelas hingga ia tidak perlu

102 Nader el-Bizri, The Phenomenological Quest: Between Avicenna and Heidegger (New York:

SUNY Press, 2000) 103 Fadlou Shehadi, Metaphysics in Islamic Philosophy (New York: Caravan Books, 1982).

Page 145: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

131

didefinisikan. Kita, tanpa perlu membaca Being and Time, atau bahkan tanpa

mengikuti langkah-langkah Descartes dalam Meditations, sudah tahu dengan jelas

makna dari kalimat “Aku Ada.”

iii. Primasi Eksistensi

“Entah ia ada dalam intelek atau di luarnya, tiada yang dapat terwujud

kecuali melalui eksistensi (wujud). Dalam dirinya, ia mencakup segala

sesuatu, dan segala sesuatu tetap ada karenanya. Jika bukan karena ekskstensi,

tiada yang akan ada, tidak di dalam akal maupun di luar akal.

Eksistensi (wujud) memberikan kepada setiap hal, keberadaan mereka;

eksistensi (wujud) memang benar-benar hal tersebut. Ia menampakkan dirinya

melalui berbagai tingkatannya, dan karenanya ia adalah [yang menjadikan]

bentuk dan realitas dari hal-hal nampak dalam pengetahuan dan secara

konkret.”104

Kutipan di atas dengan jelas menyatakan bahwa eksistensi (wujud) adalah hal

paling fundamental dalam realitas. Dalam pembahasan kita yang lalu, terutama

dalam persoalan primasi, kita telah mengetahui bahwa terdapat dua kecenderungan

dalam filsafat post-Avicennan terkait posisi eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah) dalam kenyataan, apakah eksistensi (wujud) ataukah esensi (mahiyah)

yang merujuk kepada realitas eksternal? Yang mana dari salah satunya yang

i’tibari, atau hanya memiliki kenyataan konseptual? Qaysari memberikan afirmasi

pada eksistensi (wujud). Baginya, entah dalam intelek, atau mental, ataupun dalam

realitas eksternal, “tidak akan ada sesuatu yang mewujud kecuali melalui eksistensi

(wujud).” Ini adalah posisi yang diambil oleh Mulla Sadra dalam persoalan

mengenai primasi, seperti yang telah sering kita singgung, ini juga adalah posisi

yang berlawanan dengan posisi iluminasionis Suhrawardi terkait relasi dan posisi

eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). Namun, seperti yang telah kita singgung

pula, Suhrawardi mengganti posisi eksistensi (wujud) dalam peta realitas, dengan

cahaya, baginya, ontologi harusnya berangkat bukan dari konsep mengenai

eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), melainkan dari cahaya. Nah, tepat pada

104 “Whether it be in the intellect or externally, nothing can be realized except through existence. In

itself it encompasses all things, and all things subsist by it. Were it not for existence, nothing that is

would be, neither in the intellect nor externally.

Existence grants things their subsistence; indeed, existence is those very things. It discloses

itself by its various levels. and thus it is that the forms and realities of things are manifest in

knowledge and concretely.” Caner K. Dagli, “From Mysticism to Philosophy (And Back): An

Ontological History of the School of the Oneness of Being”. (Disertasi, Faculty of Philosopy,

Department of Near Islamic Studies, 2006) h. 93-94.

Page 146: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

132

poin inilah, kita melihat Qaysari, dan nantinya Sadra, menyatakan bahwa eksistensi

(wujud) dan cahaya sama-sama merujuk kepada kenyataan yang satu. Qaysari

menyatakan:

“Eksistensi (wujud) ialah Cahaya murni. Ia mewujud dalam dirinya, dan

merupakan suatu tempat perwujudan bagi apa yang selain dirinya, karena

melalui eksistensi (wujud)-lah segala hal dipahami. Ia menerangi langit dan

apapun yang tersembu-nyi, dan ruh-ruh, sebagaimana ia menerangi bumi dan

benda-benda, karena melalui eksistensi (wujud)-lah mereka eksis dan menjadi

nyata. Ini merupakan sumber dari segala cahaya spiritual dan badani, dan

kenyataannya tidaklah diketahui oleh segala sesuatu selainnya.”105

Pernyataan bahwa kenyataan adalah cahaya, dan bahwa cahaya digunakan

untuk menggambarkan kenyataan sendiri, dalam tradisi intelektual Islam bukanlah

hal yang baru, kita telah menjumpai, misalnya al-Ghazzali dalam Misykat al-

Anwar, dan nantinya Suhrawardi dalam Hikmat al-Isyraq telah menggunakannya,

adalah Qaysari yang pertama menyatakan bahwa, bukan hanya Tuhan adalah

cahaya, tetapi bahwa eksistensi (wujud) adalah cahaya. Poin ini penting, sekali lagi,

karena nantinya, dengan rumusan ini, Mulla Sadra, di satu sisi mengkritik

Suhrawardi yang menolak realitas eksistensi (wujud), juga mengambil konsepsi

cahaya sebagai sesuatu yang mengukuhkan pernyataannya bahwa, eksistensi

(wujud) adalah cahaya, dan karenanya, eksistensi (wujud), tidak seperti dinyatakan

Suhrawardi, adalah sesuatu yang nyata, dan faktanya, eksistensi (wujud) adalah

yang membentuk kenyataan, bahwa eksistensi (wujud) adalah kenyataan itu sendiri.

iv. Modulasi Eksistensi

Terkait modulasi eksistensi, Qaysari menyatakan:

“Para penentang kami memikirkan banyak hal mengenai hasil dari

pikirannya, kecuali hal tersebut, ia akan menggunakan istilah “eksistensi

(wujud)” bagi pikiran tersebut dan bagi eksistensi (wujud) sebenarnya secara

homonim, yang jelas-jelas keliru. Janganlah berkata bahwa eksistensi (wujud)

tidak terjadi dalam masing-masing hal secara sama, karena ia terjadi dalam

eksistensi (wujud) “sebab” dan “akibat” melalui prioritas dan posterioritas,

dalam eksistensi (wujud) “substansi” dan “aksiden” melalui primasi atau

105 “Existence is pure Light. It is manifest in itself, and is a locus of manifestation for what is other

than itself, since it is by existence that all things are perceived. It illuminates the heavens of the

unseen and spirits, as well as the earth of bodies, because it is through existence that they exist and

are real. It is the wellspring of all spiritual and bodily lights, and its reality is not known to what is

other than itself...” Caner K. Dagli, “From Mysticism to Philosophy (And Back): An Ontological

History of the School of the Oneness of Being”. (Disertasi, Faculty of Philosopy, Department of Near

Islamic Studies, 2006) h. 96.

Page 147: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

133

privasi, dan dalam eksistensi (wujud) hal yang “statis” dan “non-statis”

melalui intensitas dan kelemahan. Karenanya ia dikaitkan dengan mereka

secara equivokal (tasykik).”106

Kita mendapati, dalam rumusan Qaysari, pernyataan yang serupa dengan al-

Tusi ketika ia menyatakan bahwa eksistensi (wujud) eksis dengan cara modulasi,

yakni dengan prioritas, primasi, dan intensitas. Ia pun menggunakan modulasi

(tasykik) sebagai watak yang menggambarkan realitas eksistensi (wujud). Qaysari

mengkritik mereka yang menyatakan bahwa watak realitas eksistensi (wujud)

adalah homonim, tidak pula bahwa eksistensi (wujud) berwatak sinonim, watak

sebenarnya dari eksistensi (wujud) adalah equivokal dalam artian tasykik, atau

mewujud melalui modulasi. Pernyataan ini telah kita temui pada gagasan tertium

quid dari Alexander pada sub-bab sebelumnya, bedanya, kini dalam rumusan

Qaysari, posisi tertium quid ini bukan terkait eksistensi (wujud) dalam pengertian

logis, atau level predikamental semata, melainkan ada pada level transendental dan

eksistensial atau metafisis, karena yang dimaksud dengan eksistensi (wujud) di sini

adalah perwujudan dari Tuhan dalam realitas, seperti yang kemudian dilanjutkan

oleh Qaysari:

“Ini benar-benar merupakan hal yang dikatakan oleh Para Kekasih Tuhan,

karena mereka berkata bahwa eksistensi (wujud), terkait turunnya ia melalui

tingkatan-tingkatan eksistensi (wujud), melalui perwujudannya dalam pikiran

mereka akan hal-hal kontinjen, dan melalui penjamakan perantara-

perantaranya, menjadi semakin tersembunyi, perwujudan dan

kesempurnaannya melemah.

Kami telah mengatakan bahwa segala kesempurnaan itu dikaitkan dengan

hal-hal melalui perantaraan eksistensi (wujud). eksistensi (wujud) ialah

eksisten (mawjud) dalam kudratnya. Ia adalah Yang Hidup, Yang

Mengetahui, Yang Berkehendak, dan Yang Maha Kuat dalam esensi

(mahiyah)-Nya, bukan melalui suatu kualitas yang diletakkan pada esensi

(mahiyah)-Nya.”107

106 “Our opponents thinks much of the products of his intelligence, except that he will use the term

“existence” for both them and existence as such homonymously, which is clearly incorrect. Let it

not be said that existence does not occur in its individual equally, for it occurs in the existence of

“cause” and “caused” through priority and posteriority, in the existence of “substance” and

“accident” through primacy or privation, and in the existence of the “static” and “non-static” through

intensity and weakness. It is thus said of them equivocally (tasykik).” Caner K. Dagli, “From

Mysticism to Philosophy (And Back): An Ontological History of the School of the Oneness of Being”.

(Disertasi, Faculty of Philosopy, Department of Near Islamic Studies, 2006) h. 99-100. 107 “This is the very thing said by the Folk of God, for they say that existence, with respect to its

descent through the levels of existences, its manifestation in the thought of contingent things, and

the multiplication of intermediaries, becomes increasingly hidden, its manifestations and perfections

weakening [...]

Page 148: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

134

Terkait rumusan modulasi Qaysari dalam kitab lainnya, ia menyatakan:

“Eksistensi (wujud) dikatakan terkait banyak makna secara homonim,

beberapa darinya ialah aksiden dan beberapa lainnya bukanlah substansi

maupun aksiden. Ia dikatakan mengenai pencapaian, penampakkan dan

perwujudan. Ingatlah seseorang yang berkata mengenai suatu hal, “ini eksis”

atau “ini terwujud” ketika ia eksis atau terwujud. Ia nampak dalam dunia yang

terlihat setelah dicapai dalam dunia tak terlihat – dunia dari realitas terpisah,

dunia ruh-ruh yang merupakan dunia imaji, karena segala ruh memberikan

bentuk di dalamnya.

Menurut makna ini, “eksistensi (wujud)” dikatakan secara sinonim terkait

semua eksisten (mawjud) dengan equivokal. Ia [juga] dikatakan mengenai

kenyataan yang dengannya eksistensi (wujud) mental, eksternal dan lainnya

terbentuk. Bahwa eksistensi (wujud) ialah eksistensi (wujud) sejati yang

membentuk dirinya, dan menjadikan ada apapun selain dirinya. Tak diragukan

bahwa “pencapaian”, “perwujudan,” dan “penampakkan” merupakan kategori

aksiden, dan bahwa kenyataan yang ada dengan dirinya dan menjadikan ada

segala sesuatu selain dirinya – substani, aksiden dan pengetahuan atas mereka

– dan eksistensi (wujud)-eksistensi (wujud) konret – bukanlah substansi

maupun aksiden.”108

Di sini Qaysari mempertegas primasi eksistensi, misalnya dalam kalimat

“Bahwa eksistensi (wujud) adalah eksistensi (wujud) sejati yang membentuk

dirinya, dan membuat segala sesuatu selain dirinya eksis”. Kemudian ia juga

mempertegas bahwa penyifatan eksistensi (wujud) kepada segala sesuatu, entah itu

substansi atau aksiden, selalu dalam cara modulasi, yakni tidak sepenuhnya sinonim

dan homonim. Qaysari, seperti yang telah kami sebutkan, mewarnai deskripsi watak

modulasi dan primasi eksistensi ini dengan istilah-istilah gnostik untuk

We have already said that all perfection is associated with things by the intermediation of

existence. Existence is existent in its essence. He is the Living, the Knowing, the Willing, and the

Powerful in His Essence, not through some quality superimposed upon this Essence.” Caner K.

Dagli, “From Mysticism to Philosophy (And Back): An Ontological History of the School of the

Oneness of Being”. (Disertasi, Faculty of Philosopy, Department of Near Islamic Studies, 2006) h.

100. 108 “Existence is said of various meanings homonymously, some of them accidents and some of them

neither substance nor accident. It is said of attainment, manifestation, and realization. Recall that

one says of a thing, “it exists” or “it is realized” when it exists or is realized. It is manifest in the

visible world after having been attained in the invisible world - the world of uncoupled realities, the

world of spirits that is the world of images, since all spirits gave forms therein.

According to this meaning, “existence” is said synonymously of all existents equivocally.

It is [also] said of the reality by which mental, external, and other kinds of existence are constituted.

That existence is the true existence which constitutes itself, and gives subsistence to what is other

[than itself]. There is no doubt that “attainment,” “realization,” and “manifestation,” are [of the

category of] accident, and that the reality which subsists by itself and lends subsistence to everything

other than itself - substances and accidents and their knowledge - and concrete existences - is neither

substance nor accidents.” Caner K. Dagli, “From Mysticism to Philosophy (And Back): An

Ontological History of the School of the Oneness of Being”. (Disertasi, Faculty of Philosopy,

Department of Near Islamic Studies, 2006) h. 102.

Page 149: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

135

mempertegas bahwa ia tidak hanya sedang menjelaskan eksistensi (wujud) pada

level predikamental, namun juga pada level transendental. Sampai di sini, kami kira

tujuan dari sub-bab ini sudah terpenuhi, yakni menunjukkan bagaimana rumusan

Mulla Sadra mengenai primasi, realitas, dan modulasi eksistensi, serta penyetaraan

antara eksistensi (wujud) dengan cahaya mendapati pendahulunya pada para

pemikir dari mazhab Akbariyyun. Sebelum sub-bab ini selesai, bab mengenai

genealogi metafisika eksistensial ini akan ditutup dengan sub-bab terakhir yang

bertujuan menjelaskan bagaimana Mulla Sadra dengan amunisi konseptual-

filosofis-metafisis yang ia dapatkan dari pendahulunya, merumuskannya menjadi

metafisika eksistensialnya yang unik. Sub-bab ini bisa dikatakan sebagai survey

singkat menyeluruh atas sub-bab sebelumnya dari awal hingga akhir, dan dengan

menekankan aspek positif dari metafisika eksistensial Mulla Sadra. Artinya, jika

pada sub-bab sebelumnya, posisi filosofis Mulla Sadra diandaikan semata dalam

penjelasan, kini, posisi yang tadinya disiratkan akan dibuat lebih tersurat dalam bab

terakhir penelitian ini.

Page 150: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

136

BAB IV: PRINSIP METAFISIKA EKSISTENSIAL

A. Konsep dan Realitas Eksistensi

1. Problematisasi

Kita telah melihat bagaimana persoalan eksistensi (wujud) menjadi suatu pokok

bahasan penting dalam perkembangan diskursus metafisika dalam filsafat Islam.

Mulai dari bagaimana pemaparan Aristoteles baik dalam logika dan metafisika

membuka gerbang bagi persoalan ini, dari pembedaannya atas apa yang nantinya

disebut sebagai eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) (atau kuiditas). Persoalan

eksistensi (wujud) yang telah kita bahas mencakup tiga hal: pertama, persoalan

relasi antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) yang dimulai dari tulisan

Aristoteles kemudian dikembangkan oleh Farabi, kemudian Ibn Sina. Aristoteles

menyatakan bahwa ketika kita memikirkan sesuatu, kita dapat membagi sesuatu

tersebut menjadi eksistensi, atau keberadaan sesuatu tersebut, dan esensi, atau apa

yang mencirikan sesuatu tersebut selain eksistensinya, yakni, ke-apa-an dari sesuatu

itu. Hal ini kemudian diambil oleh Farabi dan dijadikan suatu persoalan penting

dalam bangunan filsafatnya. Kita dapat membagi pengetahuan akan sesuatu

menjadi dua aspek, yakni aspek eksistensi (huwiyah) dan aspek esensi (mahiyah).

Sebagaimana Aristoteles, bagi Farabi, pembedaan antara eksistensi (huwiyah) dan

esensi (mahiyah) merupakan pembedaan konseptual yang tidak merujuk kepada

kenyataan ekstra-mental. Namun, Farabi memasukkan suatu konsep baru dalam

persoalan ini, yakni konsep ‘arid atau aksidentalitas. Jika, secara konseptual,

sesuatu dapat dilihat dari dua aspek, yakni eksistensi (huwiyah) dan esensinya,

maka bagaimana relasi antara keduanya? Konsep aksidentalitas Farabi, karenanya,

menyatakan bahwa eksistensi (huwiyah) – sekali lagi, secara konseptual – dapat

dibedakan dari esensi (mahiyah) sesuatu, dan eksistensi (huwiyah) merupakan

aksiden dari sesuatu karena, Farabi mencontohkan, kita dapat memikirkan esensi

(mahiyah) atau gagasan mengenai sesuatu tanpa perlu mengetahui atau memastikan

apakah ia eksis atau ada dalam kenyataan.

Ibn Sina sepakat dengan konseptualisasi Farabi atas persoalan eksistensi

(wujud). Sebagaimana Farabi, Ibn Sina menerima bahwa kita dapat membagi

Page 151: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

137

sesuatu menjadi dua aspek, yakni aspek eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah).

Ibn Sina pun mengambil konsep ‘arid Farabi, menyatakan pula bahwa eksistensi

(wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah). Namun, Ibn Sina beranjak lebih

jauh. Jika dalam Farabi, kita setidaknya dapat meyakini bahwa perbedaan antara

eksistensi (huwiyah) dan esensi (mahiyah) ia masukkan dalam kategori logika;

yakni bahwa eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) dari sesuatu dapat dibedakan

melalui gerak konseptual akal, Ibn Sina menarik konsekuensi ini lebih jauh. Ia

menyempurnakan konsep ‘arid Farabi, menariknya ke level transendental. Level

transendental di sini artinya adalah, Ibn Sina memasukkan konsep teologis dalam

persoalan relasi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah); divisi eksisten (mawjud)

Ibn Sina, yang membagi eksistensi (wujud) menjadi tiga, yakni Eksistensi Niscaya,

eksistensi kontinjen, dan eksisten mustahil, membawa konsekuensi arid lebih jauh.

Jika persoalan eksistensi (wujud) ini pada awalnya dirumuskan sebagai, pertama,

perbedaan antara dua aspek dari sesuatu oleh Aristoteles, kedua, relasi antara

eksistensi (huwiyah) dan esensi (mahiyah) sesuatu adalah relasi antara aksiden dan

subjek oleh Farabi – dan, keduanya diletakkan dalam level konseptual atau mental

– maka, ketiga, persoalan eksistensi (wujud) ini dibawa ke level transendental

dengan menyatakan bahwa: terdapat dua aspek dari sesuatu, yakni eksistensi

(wujud) dan esensi (mahiyah); keduanya dapat dibedakan; dan, eksistensi (wujud)

adalah aksiden dari esensi (mahiyah), dalam suatu eksisten yang disebut eksisten

mungkin atau kontinjen (mumkin al-wujud); eksistensi (wujud) bukanlah aksiden

dari esensi (mahiyah), eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) tidak dapat

dibedakan pada Eksistensi Niscaya, Eksistensi Niscaya berarti bahwa padanya,

eksistensi (wujud)-nya adalah esensi (mahiyah)-nya. Kita dapat merangkum

perkembangan konsep ini dalam tabel berikut.

Tabel A.1 Perbedaan antara eksistensi dan esensi

Filsuf Perbedaan antara eksistensi dan esensi

Fenomenal Konseptual Transendental

Aristoteles - -

Farabi - -

Ibn Sina -

Page 152: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

138

Dalam tabel di atas, kita dapat melihat bahwa pada dasarnya, posisi Farabi

tidak berbeda dari Aristoteles terkait pernyataan mereka bahwa eksistensi dan

esensi dari sesuatu dapat dibedakan pada level konseptual, yakni ketika akal kita

melihat sesuatu. Namun begitu, jika diteliti lebih jauh, pada poin lainnya, Farabi

berbeda dari Aristoteles. Seperti yang telah kami bahas, bagi Farabi, meskipun

eksistensi (huwiyah) dan esensi (mahiyah) dari sesuatu hanya dapat dibedakan

dalam pikiran, hal ini tidak berarti bahwa segala sesuatu yang dapat dipikirkan itu

eksis. Dengan kata lain, ketika Aristoteles menyatakan bahwa eksistensi dan esensi

dari sesuatu hanya dapat dibedakan secara konseptual, ia menyiratkan bahwa tidak

ada sesuatu yang tidak eksis; yakni, esensi, jika ia benar-benar suatu esensi,

haruslah eksis. Farabi tidak berpikir seperti itu, baginya, bisa jadi esensi (mahiyah)

tidak eksis. Farabi memberi ruang bagi teologi dalam rumusan ini, agar suatu esensi

(mahiyah) eksis, ia harus diciptakan. Misalnya, kita memang dapat memikirkan

tentang manusia, atau kuda, tetapi bisa jadi kedua hal ini tidak eksis, agar salah satu

atau kedua-duanya eksis, harus ada sesuatu yang menciptakan eksistensi (wujud)

mereka; karenanya, eksistensi (wujud) kedua hal ini, menurut Farabi, tidak

menyusun esensi (mahiyah) mereka. Yakni, kita dapat memikirkan manusia atau

kuda hingga pemahaman terdalam, tetapi meskipun demikian, gagasan tersebut

belum tentu ada dalam kenyataan. Agar manusia eksis, agar kuda eksis, ia

membutuhkan sesuatu di luarnya, yang berfungsi sebagai penciptanya. Karenanya,

dalam hal ini, eksistensi (wujud) manusia dan kuda bukan berasal dari esensi

(mahiyah) mereka, karena mereka bisa jadi tidak eksis namun esensi (mahiyah)

mereka dapat kita pikirkan; eksistensi (wujud) bagi kedua hal ini harus datang dari

luar; eksistensi (wujud), karenanya merupakan aksiden, yakni sesuatu yang tidak

mesti ada dalam suatu hal, dari esensi (mahiyah) kuda dan manusia. eksistensi

(wujud) merupakan ‘arid dalam kasus manusia, kuda, dan banyak hal lainnya.

Inilah yang telah kami sebut sebagai metafisika penciptaan.

Ibn Sina mengambil konsep metafisika penciptaan ini. Sebagaimana Farabi,

ia pun menganggap bahwa perbedaan antara esensi (mahiyah) dan eksistensi

(wujud) berada pada level konseptual. Sebagaimana Farabi, ia pun menganggap

Page 153: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

139

bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah). Dan,

karenanya, ia mengembangkan konsep ‘arid lebih jauh. Bagi Ibn Sina, bukan hanya

merupakan suatu kemungkinan bahwa eksistensi (wujud) dari sesuatu merupakan

aksiden yang datang kepadanya dari luar. Bagi Ibn Sina, begitulah kenyataannya.

Ia membagi eksisten (mawjud) menjadi dua (konsepsi ketiga, yakni eksistensi

mustahil (mumtani al-wujud), tidak diperinci oleh Ibn Sina karena pembicaraan

mengenai suatu hal yang mustahil tidak akan menghasilkan apa-apa) yakni

Eksistensi Niscaya, yang eksistensinya datang dari esensinya, dan eksisten

(mawjud) mungkin atau kontinjen, yang eksistensinya datang dari luar dirinya, atau

persisnya, datang dari Eksistensi Niscaya. Agar suatu eksistensi kontinjen ada,

Eksistensi Niscaya harus menciptakannya, atau memberikan eksistensi (wujud)

kepadanya. Mari kita lihat tabel berikutnya.

Tabel B. Perumusan Konsep Eksistensi

Filsuf

Perumusan Konsep

P. eksistensi &

esensi

Metafisika

Penciptaan Divisi Eksistensi

Aristoteles - -

Farabi -

Ibn Sina

Setelah melihat bagaimana posisi dari ketiga filsuf, yakni Aristoteles, Farabi

dan Ibn Sina terkait persoalan eksistensi (wujud), kini kita dapat mulai masuk ke

dalam pembahasan mengenai bagaimana Sadra mengambil posisinya. Yakni,

bagaimana ia menempatkan projek filosofisnya dalam persoalan eksistensi (wujud).

Persisnya, ini merupakan tujuan penulisan dari bab terakhir ini. Yakni, menjelaskan

posisi metafisika eksistensial Mulla Sadra. Jika pada bab sebelumnya, kita telah

melihat dengan agak rinci bagaimana persoalan eksistensi (wujud) berkembang,

dirumuskan, dikritisi, diperinci, oleh para filsuf sebelum Mulla Sadra, pada bab ini

kita akan melihat bagaimana Sadra merumuskan filsafatnya di hadapan persoalan

eksistensi (wujud) ini. Yakni, bagaimana posisi Mulla Sadra terkait tiga persoalan

utama yang dibahas dalam bab ini: relasi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah),

Page 154: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

140

primasi eksistensi (asalah al-wujud) atau esensi (asalah al-mahiyah), dan modulasi

eksistensi (tasykik al-wujud).

2. Oposisi

Lalu, apa persisnya persoalan yang harus dihadapi oleh Mulla Sadra, dan yang

akan ia coba selesaikan dengan merumuskan metafisika eksistensialnya? Hal ini

akan menjadi jelas jika kita memasukkan Suhrawardi dalam persoalan eksistensi

(wujud) ini. Apa yang dinyatakan oleh Suhrawardi? Suhrawardi menyatakan bahwa

perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) merupakan perbedaan

konseptual belaka; dari poin ini, Suhrawardi menarik kesimpulan bahwa eksistensi

(wujud) merupakan gagasan kosong yang tidak merujuk kepada realitas. Pada poin

pertama, kita tidak melihat bahwa Suhrawardi memiliki posisi yang berbeda dengan

ketiga filsuf sebelumnya, pada posisi kedualah ia membedakan diri. Bagi

Suhrawardi, karena perbedaan eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) hanyalah

perbedaan konseptual belaka, pembicaraan mengenai perbedaan ini hanya

mengarah kepada omong-kosong dalam filsafat. Dan kali ini, Suhrawardi sedang

ada dalam posisi mengkritisi Ibn Sina yang menyatakan gagasan mengenai

perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), dan bahwa eksistensi

(wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah). Mari kita lihat tabel berikutnya.

Tabel A.2. Perbedaan antara Eksistensi dan Esensi

Filsuf Perbedaan antara eksistensi dan esensi

Fenomenal Konseptual Transendental

Aristoteles - -

Farabi - -

Ibn Sina -

Ibn Sina II

Suhrawardi - -

Dalam tabel ini, kita dapat melihat bagaimana Suhrawardi mengambil

posisinya, dan bagaimana ia menafsirkan posisi Ibn Sina (yakni Ibn Sina II, atau

Ibn Sina dalam tafsiran Suhrawardi). Menurut Suhrawardi, Ibn Sina berpendapat

Page 155: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

141

bahwa perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) merupakan

perbedaan yang ada dalam level fenomenal, bukan hanya konseptual belaka. Jika

demikian, maka pembedaan ini akan menjadi sesuatu yang absurd; jika dalam level

fenomenal, kita dapat membedakan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)

dari sesuatu, hal ini akan berujung kepada banyak kontradiksi logis. Bagaimana

eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) tergabung dalam suatu relasi? Lalu,

bagaimana keadaan keduanya sebelum keduanya tergabung menjadi sesuatu yang

merupakan perpaduan dari keduanya? Jika demikian, maka baik eksistensi (wujud)

dan esensi (mahiyah), sebelum bergabung menjadi sesuatu, sudah eksis terlebih

dahulu, eksistensi (wujud) sudah eksis sebelum bergabung dengan esensi

(mahiyah), begitu pula esensi (mahiyah) sudah eksis sebelum bergabung dengan

eksistensi (wujud), dan selanjutnya. Dengan alur logika seperti ini, Suhrawardi

menolak konsep eksistensi (wujud) dalam bangunan filosofisnya. Ia tidak lagi

merumuskan metafisikanya berdasarkan perbedaan antara eksistensi (wujud) dan

esensi (mahiyah), melainkan dengan rumusan gradasi cahaya. Bersamaan dengan

hal ini, Suhrawardi menolak gagasan bahwa eksistensi (wujud) merupakan sesuatu

yang merujuk kepada realitas, eksistensi (wujud), sama seperti universal lainnya,

hanya ada dalam ranah konseptual, i’tibari. Dengan ini, maka Suhrawardi menolak

dua gagasan Ibn Sina, yakni perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah), dan aksidentalitas eksistensi (wujud). Bagi Suhrawardi, dua gagasan ini,

jika diikuti secara logis, mengarah kepada kontradiksi, karenanya, ia mengkritisi

keduanya dengan menekankan bahwa pada dasarnya, eksistensi (wujud) merupakan

konsep belaka yang tidak merujuk kepada realitas.

Kini, kita dapat melihat lebih jelas persoalan apa saja yang harus ditangani oleh

Mulla Sadra.

Pertama, bagaimana Sadra merumuskan ulang gagasan mengenai

perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)? Kemudian,

apakah eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah)?

Kedua, apakah eksistensi (wujud) benar-benar merupakan konsep belaka

yang tidak merujuk kepada kenyataan?

Page 156: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

142

Dua persoalan ini disebut sebagai persoalan distingsi, yaitu perbedaan antara

eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), dan persoalan primasi, yaitu manakah dari

salah satunya yang merujuk kepada kenyataan.

3. Posisi

Seperti yang dikatakan oleh Fazlur Rahman, adalah Suhrawardi dan persoalan

yang ia bawa yang merupakan posisi filosofis yang dikritik oleh Mulla Sadra secara

langsung. Dengan kata lain, posisi filosofis Mulla Sadra adalah posisi yang ada

sebagai kritik atas posisi Suhrawardi. Kedua persoalan yang dibawa oleh

Suhrawardi tadi, menurut Sadra, lahir dari kekeliruan tafsir Suhrawardi atas posisi

Ibn Sina. Dalam hal ini, posisi Sadra adalah reinterpretasi atas posisi filosofis Ibn

Sina. Bagi Mulla Sadra, Suhrawardi keliru ketika melihat bahwa perbedaan

eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) dalam Ibn Sina adalah perbedaan pada

level fenomenal, dan keliru pula ketika menganggap bahwa aksidentalitas

eksistensi (wujud) merupakan aksidentalitas dalam artian umum. Karena dua

kekeliruan ini, Suhrawardi masuk kepada kekeliruan ketiga, yakni menganggap

bahwa eksistensi (wujud) tidak merujuk kepada realitas dan hanya merupakan

konsep filosofis kosong dan abstrak. Ketiga kekeliruan filosofis Suhrawardi inilah

yang akan dikritisi dan dikoreksi oleh Mulla Sadra. Lalu, bagaimana Mulla Sadra

menemukan kekeliruan ini, yakni, apa yang menyebabkan kekeliruan filosofis

Suhrawar-di? Maka kini kita masuk kepada pembahasan mengenai rumusan Mulla

Sadra mengenai konsep dan realitas eksistensi (wujud).

Sebelum pembahasan mengenai rumusan ini, mari kita perbarui tabel di atas

untuk memasukkan posisi Mulla Sadra.

Tabel A.3. Distingsi dan Primasi eksistensi/esensi

Filsuf

Perbedaan antara eksistensi

(wujud) dan esensi (mahiyah) Primasi

Feno-

menal

Konsep-

tual

Transen-

dental

Eksis-

tensi

esensi

(mahi

yah)

Aristoteles - - - -

Farabi - - - -

Page 157: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

143

Ibn Sina - ? -

Ibn Sina II ? -

Suhrawardi - - -

Mulla Sadra - - -

Tabel di atas merupakan pembaruan atas tabel perbedaan antara eksistensi

(wujud) dan esensi (mahiyah) dengan memasukkan kolom baru, yaitu kolom

primasi, dan juga memasukkan posisi Mulla Sadra. Seperti yang telah dibahas pada

sub-bab sebelumnya, persoalan primasi ini merupakan persoalan yang hadir karena

kritik Suhrawardi atas Aristotelian dan pengikutnya dari tubuh filsafat Islam,

terutama Ibn Sina. Meskipun begitu, kita pun dapat melihat ulang posisi Ibn Sina

dan Farabi dalam konteks primasi ini. Ibn Sina memang tidak merumuskan konsep

primasi, baik eksistensi (wujud) maupun esensi (mahiyah), tapi kita dapat menarik

posisinya dari gagasan yang telah ia rumuskan, terutama gagasan mengenai divisi

eksistensi (wujud). Seperti yang telah kita bahas, Ibn Sina membagi eksisten

(mawjud) menjadi tiga dan menempatkan Eksistensi Niscaya dalam tingkatan

tertinggi, yang didefinisikan sebagai suatu eksisten (mawjud) yang eksistensinya

berasal dari esensinya sendiri, atau yang merupakan eksistensi (wujud) murni, atau

yang eksistensinya adalah esensinya. Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa,

ketika kita menempatkan Ibn Sina dalam konteks primasi, ia akan masuk ke dalam

pengusung gagasan primasi eksistensi, karena dalam lanskap filosofisnya,

eksistensi (wujud) merupakan hal yang tertinggi dalam realitas.

Namun, penempatan ini bukannya tanpa masalah. Jika dilihat lebih teliti,

pembedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), dan kemudian

pembedaan antara Eksistensi Niscaya dan eksistensi kontinjen dalam Ibn Sina,

didasarkan pada gagasan bahwa pembedaan tersebut adalah hal yang nyata, yaitu,

baik eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) merupakan dua hal yang ada dalam

kenyataan. Ini akan menjadi bermasalah, karena, sebagaimana yang telah

dinyatakan Suhrawardi, menyatakan bahwa eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah) merupakan dua hal yang nyata dalam kenyataan hanya akan berujung

kepada kontradiksi logis tanpa akhir. Inilah kenapa, seperti yang dapat dilihat pada

Page 158: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

144

tabel di atas, berbeda dengan Ibn Sina, dan sama dengan Suhrawardi, Mulla Sadra

menyatakan bahwa pada level transendental, tidak ada perbedaan antara eksistensi

(wujud) dan esensi (mahiyah). Dan, berbeda dari Suhrawardi, kenyataan tertinggi

adalah eksistensi (wujud), bukan esensi (mahiyah). Lalu, apa yang disebut dengan

ketiga level ini, yakni fenomenal, konseptual, dan transendental? Persisnya,

pembedaan level inilah yang dimaksud dengan rumusan Mulla Sadra, yakni konsep

dan realitas eksistensi (wujud). Dengan pembagian level ini, Mulla Sadra mampu

melihat letak kekeliruan Suhrawardi dan mampu merumuskan metafisika

eksistensialnya yang tersusun dari kritik atas para filsuf sebelumnya, apropriasi atas

konsep-konsep filosofis sebelumnya, dan reinterpretasi atas persoalan-persoalan

filosofis yang ada. Maka, mari kita mulai membahas apa yang dimaksud dengan

masing-masing level tersebut, yakni fenomenal, konseptual, dan transendental.

a. Konsep dan Realitas Eksistensi (Formulasi Izutsu)

Dalam bukunya, The Concept and Reality of Existence, Izutsu membagi

eksistensi (wujud) menjadi dua ranah, yaitu ranah konseptual dan ranah realitas,

yang kemudian masing-masingnya dibagi lagi menjadi dua. Berikut adalah

pembagian level eksistensi (wujud) menurut Izutsu:

Bagan A. Konsep dan Realitas eksistensi (wujud) menurut Toshihiko Izutsu

Izutsu membagi ranah eksistensi (wujud) menjadi dua, yakni ranah

pemahaman, atau ranah konseptual; dan ranah realitas, atau ranah eksternal.

Masing-masing ranah tersebut dibagi lagi menjadi dua, pemahaman atas eksistensi

(wujud) dibagi menjadi pemahaman atas eksistensi (wujud) mutlak dan porsi

eksistensi (wujud); sementara realitas eksistensi (wujud) dibagi menjadi dua unit,

I). Pemahaman atas Eksistensi

a). Eksistensi Mutlak

b). Porsi Eksistensi

II). Realitas Eksistensia). Unit General

b). Unit Partikular

Page 159: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

145

yakni unit umum (general) dan unit khusus (partikular). Lalu apa persisnya maksud

dari pembagian ini? Pertama-tama, perlu dicatat bahwa buku Izutsu tersebut

merupakan sebuah antologi dari tulisan-tulisan filosofisnya mengenai metafisika

Sabzawari, salah satu pengikut Mulla Sadra yang terpenting. Karenanya, dalam

buku tersebut, Izutsu tidak sedang membicarakan rumusan metafisika Mulla Sadra

secara khusus, ia nyatanya sedang menjelaskan Mulla Sadra secara tidak langsung

melalui posisi filosofis Sabzawari. Namun begitu, gagasan mengenai konsep dan

realitas eksistensi (wujud) memang benar-benar gagasan yang dirumuskan oleh

Mulla Sadra sendiri. Hal ini akan jelas terlihat ketika kita membaca karya-karyanya,

terutama Kitab al-Masha’ir yang merupakan teks pokok yang dikaji dalam

penelitian ini.

Fakta bahwa antologi tulisan Izutsu tersebut diberi judul Konsep dan

Realitas Eksistensi, menurut kami bukanlah suatu kebetulan belaka. Izutsu

merupakan salah satu peneliti Mulla Sadra, dan faktanya telah menerjemahkan

Kitab al-Masha’ir ke dalam bahasa Jepang. Fakta ini memperkuat preferensi dari

penelitian ini yang menjadikan al-Masha’ir sebagai teks utama yang dikaji. Kedua,

ketika kita meneliti teks ini, kita akan terkejut mendapati bahwa Mulla Sadra

berulangkali menegaskan bahwa kekeliruan filosofis yang dibuat oleh para filsuf

sebelumnya – terutama Suhrawardi – dalam dua hal penting, yakni misinterpretasi

atas posisi filosofis Ibn Sina, dan konsekuensinya bahwa eksistensi (wujud)

merupakan suatu konsep yang tidak merujuk kepada realitas, berangkat dari

keabaian atas prinsip ini, yakni prinsip membedakan eksistensi (wujud) menjadi

beberapa level. Izutsu tentu saja menyadari bahwa prinsip ini merupakan prinsip

yang penting untuk memahami gagasan metafisis Mulla Sadra ketika ia

menerjemahkan Kitab al-Masha’ir.

Terdapat beberapa konsep filosofis yang telah kita bahas sebelumnya, dan

yang juga dianggap merupakan titik tumpu dari bangunan metafisika Sadra secara

keseluruhan. Yakni, gagasan mengenai keutamaan eksistensi (asalah al-wujud) dan

gagasan mengenai modulasi eksistensi (taskykik al-wujud), serta gagasan mengenai

gerak substansial yang tidak kami bahas di sini karena ia berada di luar pembahasan

kami. Dua gagasan sebelumnya, yakni keutamaan eksistensi (asalah al-wujud) dan

Page 160: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

146

modulasi eksistensi telah kami bahas pada sub-sub bab sebelumnya. Lalu di mana

posisi penting gagasan konsep dan realitas eksistensi (wujud)? Kami berpendapat

bahwa prinsip konsep dan realitas eksistensi (wujud) berfungsi menjadi semacam

meta-konsep, yakni konsep yang akan mampu memperjelas posisi Sadra terutama

terkait dengan upaya sintesisnya atas gagasan-gagasan filosofis sebelumnya.

Sebagaimana yang telah sering diungkapkan oleh para peneliti Mulla Sadra,

filsafatnya merupakan sintesis besar dari filsafat-filsafat sebelumnya, dan juga

intuisi sufistik serta teologis. Dan, seperti yang telah kami bahas pada sub-sub-bab

sebelumnya, gagasan-gagasan metafisis yang nantinya dibuat sistematikanya oleh

Mulla Sadra bukanlah gagasan yang benar-benar baru, yakni jika dilihat secara

parsial. Kontribusi dan orisinalitas Mulla Sadra adalah melihat semua gagasan yang

terdahulu, yang, jika dilihat secara parsial tidak memiliki kesinambungan internal,

dirumuskan secara sistematik dan berhubungan satu sama lain secara internal dan

kuat. Adalah prinsip konsep dan realitas eksistensi (wujud), yang kami pikir

merupakan meta-konsep yang berfungsi menjadi fondasi dari upaya sintesis Mulla

Sadra tersebut.

Singkatnya, dengan prinsip ini, Mulla Sadra berhasil menafsirkan ulang

posisi metafisis Ibn Sina, berhasil melihat mengapa Suhrawardi salah menafsirkan

Ibn Sina, dan berhasil memadukan prinsip kesatuan eksistensi (wahdat al-wujud)

dari mazhab pengikut Ibn ‘Arabi dengan gagasan filosofis baik dari Ibn Sina dan

Suhrawardi. Dengan prinsip ini pula, Mulla Sadra berhasil menyatukan ketiga

mazhab besar tersebut: Peripatetisme Ibn Sina, Iluminasionisme Suhrawardi, dan

Mistisisme Ibn ‘Arabi. Hal ini akan dibahas lebih rinci pada bab terakhir, yakni bab

4 dari penelitian ini. Untuk saat ini, mari kita kembali ke pembagian Izutsu dan

melihat sejauh mana ia bisa menjelaskan posisi filosofis Mulla Sadra.

Pada bagan di atas, Izutsu membagi pemahaman atas eksistensi (wujud)

menjadi dua level, yakni level nosional dan level konseptual. Level nosional

memahami aspek eksistensi (wujud) mutlak, sementara level konseptual memahami

aspek eksistensi (wujud) porsional. Lalu apa maksud dari kedua istilah ini? Dalam

hal ini, Izutsu mengutip pernyataan Sabzawari sebagai berikut:

“Gagasan mengenainya merupakan hal yang paling diketahui

Page 161: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

147

Tetapi kenyataannya berada dalam kesembunyian yang sangat.”1

Di sini, Sabzawari membagi eksistensi (wujud) menjadi dua, yakni pada level

nosional dan level realitas. Gagasan mengenai eksistensi (wujud) merupakan hal

yang paling diketahui, sementara kenyataannya merupakan hal yang paling sulit

diketahui. Apa maksud dari pernyataan Sabzawari ini? Gagasan mengenai

eksistensi (wujud) merupakan gagasan yang paling diketahui, untuk membuktikan

hal ini, kita dapat memberi contoh pengalaman kita sehari-hari. Ketika seseorang

berkata bahwa “Ada orang di dalam rumah” kita mengetahui apa maksud dari kata

“ada” tersebut tanpa perlu berpikir keras, begitu pula kalimat-kalimat lain seperti,

“Ada hal yang aneh di sini,” “Apakah buku yang kemarin kamu pinjam ada di

perpustakaan ini?” dan lain-lain. Kita semua paham makna dari kata “ada” di sini,

dan kita secara pasti paham perbedaan antara “ada” dan “tidak ada” dalam kalimat-

kalimat ini; kita langsung memahami kalimat “Hari ini aku tidak ada uang dan juga

harapan,” dan juga “hari ini tidak ada ide yang terlintas di pikiranku”. Bahkan

seorang bayi yang baru lahir mengetahui intuisi akan “ada” ini, ketika seorang bayi

menangis kelaparan, seketika di hadapannya “ada” makanan, maka ia langsung

berhenti menangis. Ini adalah intuisi, atau pemahaman akan makna “ada” yang kita

miliki, sebuah intuisi yang paling jelas. Namun kemudian, jika ada seseorang yang

bertanya kepada kita, “Lalu, yang dimaksud ada (atau eksistensi (wujud)) itu apa?”

kita tiba-tiba terkejut akan betapa sulitnya menjawab pertanyaan ini. Kita tahu

bahwa pikiran itu “ada”, manusia itu “ada”, Tuhan itu “ada”, kursi itu “ada”; tetapi

ketika kita ditanya apa makna dari ada atau eksistensi (wujud), kita tidak dapat

menjawab apa-apa. Inilah yang dimaksud dengan pemahaman konseptual akan ada.

Dalam bagan di atas, Izutsu memasukkan level pertama, atau nosional

mengenai eksistensi (wujud) atau ada, pada apa yang ia sebut sebagai eksistensi

(wujud) mutlak, dan level kedua, atau konseptual, pada eksistensi (wujud)

porsional. Bagi kami, hal ini cukup membingungkan. Izutsu sendiri tidak

membahas lebih jauh mengenai apa yang ia maksud dengan arti mutlak dan

1 “Its notion is one of the best-known things

But its reality is in the extremity of hiddenness”

Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and

Linguistic Studies, 1997) h. 75-76.

Page 162: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

148

porsional di sini. Ia seolah-olah hanya menyatakan bahwa level pertama merujuk

kepada pemahaman atas eksistensi (wujud) mutlak, dan level kedua pada eksistensi

(wujud) porsional. Adapun, dalam level kedua, yakni level realitas eksistensi

(wujud), Izutsu membagi eksistensi (wujud) menjadi dua, yakni unit umum dan unit

khusus. Berbeda dengan level sebelumnya, yaitu level pemahaman, level realitas

eksistensi (wujud) ini dikaitkan secara langsung oleh Izutsu kepada dua konsep

lainnya. Level Umum merujuk kepada apa yang disebut sebagai Nafs al-Rahman,

di mana eksistensi (wujud) atau keberadaan segala sesuatu berada pada ranah

potensial sebelum menjadi suatu ciptaan, Level Khusus, kemudian merujuk kepada

keberadaan segala sesuatu setelah terwujud. Hal ini akan dibahas lebih lanjut nanti,

untuk saat ini, kita dapat memberi contoh sebagai berikut. Level Umum realitas

eksistensi (wujud) merupakan level yang, pada skema emanasi filsafat Islam,

disebut sebagai level Nafs al-Rahman, di mana segala sesuatu belum tercipta namun

siap tercipta, sementara level khusus merujuk kepada keadaan setelah hal-hal

tercipta. Level kedua ini lebih mudah dicontohkan. Kita dapat melihat alam semesta

dan menyatakan bahwa alam seemsta ada, dan bahwa segala sesuatu di dalam alam

semesta ada secara khusus: ada gunung, ada laut, ada batu, ada hewan, ada manusia,

ada tumbuhan, dan lain-lain. Ini adalah realitas eksistensi (wujud) pada skala

khusus, atau fenomenal, kita dapat menyatakan eksistensi (wujud) atau keberadaan

mereka secara khusus. Ini batu, itu tumbuhan, itu bukan batu. Pada level umum,

kita tidak bisa membedakan keduanya.

Permasalahan kedua dari bagan Izutsu di atas adalah bagaimana ia dapat

mengaitkan antara dua level di atas, yakni level pemahaman dan level realitas

eksistensi (wujud)? Bagaimana pula ia akan mengaitkan empat bagan di atas dengan

tiga level eksistensi (wujud) yang nantinya ia jelaskan sebagai: pertama, eksistensi

(wujud) yang ditentukan secara negatif; kedua, eksistensi (wujud) yang tak

ditentukan; ketiga, eksistensi (wujud) yang ditentukan oleh sesuatu. Terlepas dari

persoalan-persoalan ini, penjelasan Izutsu atas konsep dan realitas eksistensi

(wujud) amatlah kuat dan bagus. Untuk itulah, kami kira bagan Izutsu di atas perlu

diperbaiki, hal ini bukan hanya bermanfaat agar kita dapat memahami konsep Mulla

Sadra, tetapi juga agar penjelasan Izutsu dalam buku tersebut menjadi penjelasan

yang tidak kontradiktif, yakni, agar persoalan-persoalan yang disebut tadi dapat

Page 163: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

149

diatasi. Dengan begitu, kami akan mengganti bagan Izutsu di atas menjadi sebagai

berikut:

Bagan B. Revisi atas Bagan Toshihiko Izutsu

Mengenai arti dari masing-masing level tersebut serta bagan revisi di atas, hal

ini akan dibahas pada sub-bab berikut ini.

b. Pemahaman Fenomenal, Konseptual dan Transendental atas Realitas

Eksistensi

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Izutsu membagi ranah pemahaman

atas eksistensi (wujud) menjadi dua level, yakni level nosional dan level konseptual.

Level nosional adalah level di mana realitas eksistensi (wujud) diketahui oleh

seseorang secara langsung tanpa diperantarai oleh konsep-konsep. Pemahaman kita

akan makna “ada” atau “eksis” ketika kita mendengar atau membaca kalimat “Buku

itu ada” masuk ke dalam level ini, yakni level nosional. Pemahaman atas realitas

eksistensi (wujud) pada level konseptual adalah ketika kita memikirkan pertanyaan

“apa itu eksistensi (wujud)?” “apa itu ada?”. Di sini kita tidak sedang memikirkan

mengenai keberadaan khusus dari sesuatu seperti buku, meja, laut, gunung, atau

manusia, melainkan mengenai eksistensi (wujud) itu sendiri, mengenai “ada” itu

sendiri. Inilah level konseptual pemahaman atas realitas eksistensi (wujud). Jika

pada level nosional, makna “ada” adalah sesuatu yang begitu jelas tanpa

memerlukan demonstrasi logis, pada level konseptual, makna eksistensi (wujud)

menjadi sesuatu yang butuh penjelasan filosofis. Maka pada level inilah, kritik

Suhrawardi diarahkan, yakni bahwa eksistensi (wujud) tidak merujuk kepada

Level Transendental

Level Konseptual

Level Fenomenal

Realitas eksistensi

(wujud) (wujud)

Pemahaman atas eksistensi

(wujud) (wujud)

Page 164: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

150

realitas, ketika ia berkata bahwa konsep mengenai eksistensi (wujud), sama seperti

universal lainnya, adalah konsep abstrak yang tidak kita temui dalam realitas.

Dengan memahami dua level ini, yakni level nosional dan level konseptual, kita

dapat melihat dengan jelas bagaimana Sadra mendapati kesalahpahaman

Suhrawardi atas posisi Ibn Sina; Suhrawardi tidak membedakan antara pemahaman

atas eksistensi (wujud) pada level nosional dan level konseptual. Di sini, kami akan

mengganti istilah nosional menjadi fenomenal, dan tetap menggunakan istilah

konseptual pada level kedua. Maka, dalam bagan kami, pemahaman atas realitas

eksistensi (wujud) dibagi menjadi dua level pertama, yakni level fenomenal di mana

makna eksistensi (wujud) langsung dipahami, dan level konseptual di mana makna

eksistensi (wujud) menjadi lebih sulit dipahami. Terkait dua level inilah, Sadra

menulis dalam al-Masha’ir, kalimat yang kami kira dirujuk oleh Sabzawari dalam

kutipan sebelumnya.

“Kenyataan dari eksistensi (wujud) merupakan kenyataan yang paling

nampak dari segala sesuatu melalui kehadiran dan penyingkapan, dan

esensinya merupakan yang paling tersembunyi di antara hal-hal secara

konseptual. Dari segala sesuatu, konsep mengenainya merupakan sesuatu yang

paling tidak perlu didefinisikan karena kenampakan dan kejelasannya, dan

karena ia menjadi yang paling umum di antara semua konsep dalam

kemencakupannya. Identitasnya ialah yang paling partikular dari semua hal

partikular, baik dalam ketertentuan dan kekonkretannya, karena melaluinya

segala sesuatu menjadi konkret, segala sesuatu yang wujud terwujud, dan

segala sesuatu yang jelas menjadi jelas dan partikular [...]”

“Mengenai fakta bahwa eksistensi (wujud) tidak dapat didefinisikan,

alasannya ialah bahwa suatu definisi dicapai melalui definisi logis atau

deskripsi. Eksistensi (wujud) tidak dapat diketahui melalui definisi karena ia

tidak memiliki genus dan pembedaan spesifik. Maka, ia tidak memiliki definisi

[logis]. Ia tidak pula dapat dideskripsikan, karena ia tidak dapat dipahami

melalui sesuatu yang lebih nampak dan lebih diketahui darinya, tidak pula

melalui suatu bentuk yang setara dengannya.”2

2 “The reality of existence is the most manifest of all things through presence and univeiling, and its

quiddity is the most hidden among things conceptually and in its inner reality. Of all things, its

concept is the least in need of definition because of its manifestness and clarity and its being the

most general among all concepts in its comprehensiveness. [...]

As for the fact that it cannot be defined, the reason is that a definition is by means of either

logical definition or description. It [Existence] cannot be made known through definition because it

has no genus and no specific difference. Thus, it has no [logical] definition.” Masha’ir ¶ 5-6, Mulla

Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha'ir: A Parallel English-Arabic text

translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 6-7.

Page 165: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

151

Mulla Sadra, sebagaimana Sabzawari, menyatakan bahwa pemahaman akan

makna eksistensi (wujud) merupakan pemahaman yang paling jelas, yakni, dalam

level fenomenal, namun, pada level konseptual, kita akan kesulitan untuk

mendefinisikannya. Kemudian, mari kita lihat kutipan selanjutnya.

“Kenyataan eksistensi (wujud) dalam cara apapun tidak mungkin terwujud,

secara kudrati, dalam suatu pikiran, karena eksistensi (wujud) bukanlah suatu

konsep universal, dan eksistensi (wujud) dari setiap eksisten (mawjud) adalah

eksisten (mawjud) itu sendiri in concreto, dan apa yang eksis in concreto tidak

mungkin merupakan suatu konsep mental. Apa yang tercermin dari eksistensi

(wujud) sebagai suatu konsep mental general adalah eksistensi (wujud) dari

apa yang disebut sebagai eksistensi (wujud) yang disifatkan, yang sesuai bagi

penilaian logis. Terkait pengetahuan mengenai kenyataan eksistensi (wujud),

hal ini tidak dapat dicapai kecuali dengan kehadiran iluminatif dan penyaksian

nyata. Karenanya, tiada keraguan yang tersisa terkait identitasnya.”3

Dalam kutipan di atas, Mulla Sadra sedang menjelaskan mengenai dua level

pemahaman eksistensi (wujud). Pertama, adalah pemahaman logis atas eksistensi

(wujud), yakni konsep mental atas realitas eksistensi (wujud), kedua adalah

pemahaman yang ia sebut dapat dicapai lewat “kehadiran iluminatif” dan

“kesaksian nyata.” Ini adalah apa yang kami sebut sebagai level transendental dari

pemahaman atas realitas eksistensi (wujud). Jika pemahaman pada level konseptual

tidak dapat mencapai realitas eksistensi (wujud), maka pemahaman pada level

transendental inilah yang dapat mencapainya. Kini, mari kita bahas dengan lebih

rinci masing-masing dari ketiga level pemahaman atas realitas eksistensi (wujud)

ini.

i. Level Fenomenal

Pemahaman atas realitas eksistensi (wujud) pada level fenomenal adalah

pemahaman langsung kita sehari-hari atas kenyataan dan dunia kita. Karenanya,

level ini mencakup level di mana di hadapan kita, kita mendapati beragam hal-hal

3 “The reality of existence is not in any way actualized in its essence in any of the minds, because

existence is not a universal concept, and the existence of every existent is this existent itself in

concreto, and that which is in concreto cannot be a mental concept. What is represented of existence

as a general mental concept is the existence that one calls predicated existence, which is proper to

logical judgments.

As for the knowledge of the reality of existence, that cannot be other than illuminative

presence and real witnessing. Consequently, no doubt remains concerning its identity.” Masha’ir, ¶

54, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha'ir: A Parallel English-

Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.

24.

Page 166: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

152

dan benda-benda yang jamak. Air, api, udara, batu, rumah, manusia, bunga, dan

segala sesuatu yang dapat kita indera, yakni level sensorial, masuk ke dalam level

ini. Bahkan seorang bayi dapat memahami eksistensi (wujud) pada level fenomenal

ini. Pada level ini pula, gagasan atau makna eksistensi (wujud) terbukti dengan

sendirinya, tanpa perlu diperantarai oleh konsep abstrak. Kita tak perlu mencari

kamus atau buku petunjuk untuk memahami makna dari pernyataan seseorang

bahwa “hari ini ada ujian.” Level ini pula yang dikatakan oleh Mulla Sadra dan

Sabzawari sebagai level di mana makna eksistensi (wujud) begitu jelas hingga tak

memerlukan definisi. Dalam level ini, pemahaman kita atas eksistensi (wujud)

dapat digambarkan dengan struktur berikut: “keberadaan dari x”. Contohnya,

“keberadaan dari gunung”, “keberadaan dari laut”, “keberadaan dari buku” dan

sebagainya. Maka, pada level ini, kita mengetahui makna eksistensi (wujud), makna

“ada” jika dikaitkan dengan banyak hal yang kita temui.

ii. Level Konseptual

Pada level konseptual, kita tidak lagi berhadapan dengan makna eksistensi

(wujud) seperti pada level sebelumnya. Ini adalah level di mana kita dapat

membedakan dua aspek dari sesuatu, yakni aspek eksistensi (wujud) atau

keberadaan sesuatu, dan esensi (mahiyah) atau makna dari sesuatu. Pada level ini,

makna eksistensi (wujud) berbeda dari apa yang kita dapati pada level fenomenal

dengan struktur “keberadaan + sesuatu”, kini, makna eksistensi (wujud) adalah

“keberadaan” itu sendiri. Apa yang dimaksud dengan ada dalam kalimat-kalimat

yang dicontohkan pada level fenomenal tadi? Pada level konseptual, struktur yang

tadinya adalah “keberadaan dari x” kini menjadi “keberadaan” itu sendiri, atau dari

“eksistensi (wujud) dari x” menjadi “eksistensi (wujud)” itu sendiri. Apa itu makna

eksistensi (wujud) ketika ia dipisahkan dari hal-hal yang kita temui pada level

fenomenal? Tepat di sinilah Farabi menyatakan bahwa eksistensi (wujud) di sini

tidak memberikan makna baru pada subjek kalimat, ketika kita menyatakan bahwa

“Buku ini ada”, “Pena ini ada,” “Laptop ini ada”. Eksistensi (wujud), atau ada, pada

level ini, tidak memberikan pengetahuan baru kepada subjek-subjeknya. Ketika kita

mengatakan bahwa “Buku ini ada”, tidak ada hal baru yang kita ketahui

dibandingkan ketika kita menyatakan bahwa “Buku adalah buku”. Eksistensi

(wujud), atau “ada” dalam kalimat tersebut hanya menyatakan fakta bahwa kita

Page 167: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

153

mendapati sesuatu yang dapat disebut sebagai buku; ia tidak menjelaskan mengenai

apa itu buku, misalnya bahwa buku adalah sesuatu yang merupakan kumpulan

kertas-kertas yang dijilid dengan bentuk tertentu yang berfungsi untuk mencatat

sesuatu; ini adalah definisi dari buku, atau esensi (mahiyah) dari buku, bukan

eksistensinya. Menyatakan bahwa buku itu eksis hanya bermakna bahwa kita

mendapati adanya buku dalam pengalaman kehidupan kita.

Pada level konseptual, kita mendapati bahwa beragam hal yang kita temui

disifati oleh eksistensi (wujud), atau ada. Buku ini ada, pulpen ini ada, gunung itu

ada, air itu ada. Semua hal yang jamak ini diberi satu sifat tunggal, mereka eksis,

mereka ada, mereka dapat kita temukan dalam kenyataan. Karena itulah, pada level

ini, eksistensi (wujud) tidak merujuk kepada banyak hal, sebaliknya, banyak hal

merujuk kepada satu kenyataan yang disebut eksistensi (wujud). Di sinilah,

eksistensi (wujud) mecakup segala sesuatu. Pada level konseptual, di antara semua

konsep, eksistensi (wujud) adalah konsep yang mencakup segala sesuatu yang dapat

disebut, ditemukan, dipikirkan, bahkan termasuk non-eksistensi, atau ketiadaan itu

sendiri. Karena sifat dari kemahamencakupan ini, secara logis, penambahan kata

eksistensi (wujud) atau ada pada hal apapun tidak menambah suatu pengetahuan

yang baru mengenai sesuatu tersebut. Karena itu pulalah, konsep eksistensi (wujud)

pada level ini adalah konsep yang paling kosong secara logis. Dan di sinilah Farabi,

Suhrawardi, dan nantinya, Immanuel Kant berkata bahwa eksistensi (wujud), secara

logis, tidak memiliki makna apapun selain bahwa sesuatu itu dapat seseorang temui.

Membedakan dua level ini, yakni level fenomenal dan konseptual sangatlah

penting untuk memahami bagaimana Mulla Sadra mendapati kekeliruan tafsir atas

posisi Ibn Sina. Memahami hal ini juga penting untuk mengetahui inti dari kritik

Sadra atas Suhrawardi, baik dalam pernyataannya mengenai primasi esensi (asalah

al-mahiyah), dan bahwa eksistensi (wujud) tidak merujuk kepada realitas.

iii. Level Transendental

Level tertinggi dari pemahaman atas realitas eksistensi (wujud) adalah level

transendental. Sebagaimana dikatakan oleh Mulla Sadra, level ini hanya dapat

dicapai lewat kehadiran langsung atau kesaksian sejati. Level ini tentu saja

merupakan level pemahaman yang amat sulit dicapai, dan jarang ditemui dalam

Page 168: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

154

pengalaman sehari-hari. Ia memerlukan sebentuk kesiapan metafisis dan spiritual

tertentu. Berbeda dengan level fenomenal, level ini tidak memahami eksistensi

(wujud) dengan perantaraan eksisten-eksisten atau hal-hal jamak yang kita temui

dalam kenyataan, ini merupakan pemahaman atas sumber dari eksistensi (wujud),

Eksisten (mawjud) Murni, Eksistensi Niscaya, yang secara teologis disebut sebagai

Tuhan. Seperti pada level konseptual, level transendental memahami bahwa

terdapat suatu rujukan tunggal dari semua eksisten (mawjud) atau hal-hal yang ada;

bahwa eksistensi (wujud) dari banyak hal sejatinya berasal dari satu sumber;

namun, berbeda dari level konseptual, level transendental pemahaman ini tidak

diperantarai oleh konsep-konsep abstrak, namun merupakan suatu intuisi langsung

atas eksistensi (wujud). Karenanya, tentu saja, pemahaman transendental akan

eksistensi (wujud) tidak dapat diterangkan melalui tulisan atau karya filosofis

apapun, termasuk penelitian ini. Di sini kita hanya menjelaskan bahwa Mulla Sadra

menjelaskan bahwa eksistensi (wujud) pada keberadaannya yang sejati hanya dapat

dicapai melalui keadaan khusus, yang ia sebut sebagai pemahaman metafisis, yang

faktanya dijadikan sebagai judul dari bukunya yang kami jadikan teks pokok dari

penelitian ini. Adapun, perlu dicatat bahwa level transendental ini bukanlah suatu

karangan dari Sadra sendiri, kita dapat mendapati pernyataan-pernyataan mengenai

pemahaman pada level ini pada karya-karya sufistik dari mazhab Ibn ‘Arabi.

Dengan demikian, kita dapat memperbarui bagan revisi kita atas Izutsu dengan

menambah keterangan level realitas eksistensi (wujud) ini sebagai berikut.

Bagan B.2 Konsep dan Realitas eksistensi (wujud)

Level Transendental

Level Konseptual

Level Fenomenal

Realitas eksistensi

(wujud) (wujud)

Pemahaman

atas eksistensi

(wujud)

Eksistensi yang

ditentukan oleh

sesuatu

Eksistensi yang

tidak ditentukan

Eksistensi yang

ditentukan secara

negatif

Page 169: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

155

Kini, mari kita perjelas tiga level realitas eksistensi (wujud) ini. Ini adalah

level realitas eksistensi (wujud) sebagaimana diimani oleh para filsuf Pahlawi, baik

Mulla Sadra dan Sabziwari. Eksistensi (wujud) dinyatakan sebagai memiliki tiga

level, level tertinggi adalah level ditentukan secara negatif. Ini adalah eksistensi

(wujud) pada level termurni, ia disucikan, dimurnikan dari segala penentuan atau

pembatasan apapun, ini adalah Eksisten Murni dan eksistensi (wujud) pada level

transendensi mutlak. Level kedua adalah eksistensi (wujud) yang tidak ditentukan;

Ini adalah eksistensi (wujud) dalam keadaan yang belum ditentukan dan siap

mewujud menjadi apapun, segala eksisten (mawjud) yang mungkin ada tercakup

dalam level ini. Ketiga, level terendah adalah eksistensi (wujud) yang ditentukan

oleh sesuatu. Ini adalah eksistensi (wujud) pada level eksisten-eksisten atau hal-hal

yang sudah terwujud. Definisi ini memang cukup abstrak, namun mari kita mulai

dengan mengaitkannya pada level pemahaman kita akan realitas eksistensi (wujud),

dimulai dari level fenomenal.

Seperti yang telah disinggung, pemahaman kita pada level fenomenal atas

realitas eksistensi (wujud) adalah pemahaman atas makna eksistensi (wujud), atau

makna “ada” pada banyak hal yang kita temui dalam kenyataan. Struktur dari

pemahaman fenomenal adalah “eksistensi (wujud) dari x”, inilah yang dimaksud

level realitas eksistensi (wujud) pada level terendah, yakni ditentukan oleh sesuatu.

Pemahaman kita atas makna eksistensi (wujud) dihasilkan oleh sesuatu yang

menyiratkan eksistensi (wujud). Sebagai contoh, “eksistensi (wujud) dari x”, kita

menyadari, dari kalimat “keberadaan dari buku” bahwa buku itu eksis, buku itu

“ada”, pemahaman mengenai buku merupakan pemahaman tersurat, dan

pemahaman akan eksistensi (wujud), di sini, tersirat; karenanya, makna eksistensi

(wujud) di sini ditentukan oleh keberadaan dari sesuatu, dalam contoh ini, buku.

Maka, yang dimaksud sebagai eksistensi (wujud) yang ditentukan oleh sesuatu

adalah bahwa makna eksistensi (wujud) yang kita dapati pada level fenomenal hadir

karena keberadaan sesuatu.

Pada level kedua, yakni eksistensi (wujud) yang tidak ditentukan, ini

memiliki dua rujukan, pertama rujukan logis, kedua rujukan metafisis. Pada level

logis, ini termasuk kepada level pemahaman konseptual. Ketika kita melakukan

Page 170: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

156

abstraksi dari datum-datum yang kita peroleh melalui pemahaman pada level

fenomenal, yakni “eksistensi (wujud) dari x”, dan kita menyisihkan “sesuatu” dari

pemahaman ini, maka kita memperoleh makna “eksistensi (wujud)” itu sendiri

ketika ia terpisah dari sesuatu yang konkret. Misalnya, pada level fenomenal kita

memahami apa itu makna “eksistensi (wujud) dari buku”, “eksistensi (wujud) dari

laptop”, “eksistensi (wujud) dari meja”, dan sebagainya, pada level konseptual,

ketika kita menghilangkan hal-hal tersebut dari makna eksistensi (wujud), maka kita

akan mendapati makna eksistensi (wujud) yang mencakup segala hal tersebut; ini

adalah rujukan logis dari apa yang disebut sebagai eksistensi (wujud) yang

ditentukan. Pada level ini, “eksistensi (wujud)” dapat dikaitkan dengan segala

sesuatu, apapun itu, kita tinggal menambahkan kalimat “eksistensi (wujud) dari x”

dengan menyebut atau mendaftar segala sesuatu. Pada level metafisis, ini merujuk

kepada apa yang disebut sebagai Nafs al-Rahman. Ini adalah level di mana segala

sesuatu di alam semesta berada pada level siap tercipta; dalam skema emanasi, ini

adalah tahap di mana Nafs al-Rahman siap memberi forma atau bentuk kepada

materia prima.

Level tertinggi dari eksistensi (wujud), atau level transendental, adalah di mana

eksistensi (wujud) sama sekali disucikan atau dimurnikan dari kemungkinan

ditentukan oleh segala sesuatu. Tidak seperti level kedua di mana eksistensi (wujud)

terkait dengan hal-hal fenomenal di alam semesta, pada level ini, eksistensi (wujud)

tidak dapat dikaitkan dengan apapun. Ini adalah level tertinggi, level terdalam dari

realitas yang tidak dapat dicapai baik oleh pemahaman pada level fenomenal

ataupun konseptual. Ini adalah level eksistensi (wujud) yang tidak dapat dijelaskan

dengan cara apapun, karenanya, mustahil di sini level ini diberi contoh, karena akal

manusia tidaklah sampai, ini adalah level transendensi mutlak dari Tuhan. Cukup

dikatakan bahwa bagi kita, ini adalah level Kegelapan murni, level Ketiadaan

murni.

4. Rekapitulasi

Setelah membahas mengenai gagasan konsep dan realitas eksistensi (wujud),

kini kita dapat menutup bab ini dengan merekapitulasi semua pembahasan yang ada

dalam bab ini, dengan melihat bagaimana Sadra membaca ulang persoalan-

Page 171: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

157

persoalan filosofis yang ada di hadapannya dengan prinsip konsep dan realitas

eksistensi (wujud). Tiga persoalan yang akan dibahas di sini ialah: distingsi antara

eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), primasi eksistensi atau esensi, dan

modulasi eksistensi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, di sini kita akan

melihat bagaimana Mulla Sadra, dengan prinsip konsep dan realitas eksistensi

(wujud), melihat persoalan-persoalan filosofis sebelumnya yang sebagian besar

diwariskan oleh Ibn Sina dalam kerangka baru, yakni kerangka metafisika

eksistensial; bagaimana ia melihat kekeliruan-kekeliruan filosofis, terutama yang

dilakukan oleh Suhrawardi dan akhirnya ia melakukan sintesis filosofis atas semua

mazhab filosofis penting dalam masanya.

a. Distingsi eksistensi-esensi

Persoalan ini dimulai ketika Aristoteles menyiratkan keberadaan dua makna

atau pemahaman atas sesuatu: pengetahuan kita akan x tidak menjamin bahwa x itu

ada; mengetahui x dan membuktikan bahwa x eksis adalah hal yang berbeda,

begitulah persoalan panjang ini dimulai. Persoalan ini kemudian diwarisi oleh para

filsuf Islam, dan dalam penelitian ini, kami memusatkan pada dua tokoh peripatetik

Islam paling terkenal: Farabi dan Ibn Sina. Masing-masing keduanya mewarisi

persoalan ini dan mengembangkannya lebih jauh. Perbedaan antara eksistensi

(wujud) dan esensi (mahiyah) ini dirumuskan lebih canggih ketika Farabi memberi

nama kepada dua pemahaman ini: pemahaman akan eksistensi (wujud) dan

pemahaman akan esensi (mahiyah). Lebih lanjut, Farabi menambahkan cara

pandang baru terhadap distingsi ini, sesuatu yang tidak dilakukan oleh Aristioteles:

Farabi menyatakan bahwa relasi antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)

adalah relasi antara aksiden (‘arid) yang datang dari luar dan kemudian masuk ke

dalam suatu subjek. Ini adalah dua sumbangan Farabi bagi persoalan distingsi

eksistensi-esensi: pemberian istilah teknis dan penambahan konsep ‘arid. Ibn Sina

hadir dalam persoalan ini, ia mengambil rumusan Farabi mengenai eksistensi

(wujud) dan esensi (mahiyah), serta gagasan bahwa relasi antara keduanya ialah

relasi antara eksistensi (wujud) sebagai aksiden yang datang dari luar dan akhirnya

masuk ke dalam suatu subjek, yakni suatu esensi (mahiyah) tertentu.

Page 172: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

158

Lagi-lagi, Ibn Sina tidak hanya menerima persoalan ini tanpa

mengembangkannya. Dan di sinilah persisnya perdebatan kontro-versial dalam

persoalan eksistensi-esensi dimulai. Berbeda dari kedua filsuf sebelumnya, Ibn Sina

membawa konsep ‘arid lebih jauh; ia menariknya dari level konseptual ke level

transendental. Bagaimana ia melakukannya? Tidak seperti Farabi yang hanya

menyiratkan aspek teologis dalam relasi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah),

Ibn Sina secara terang-terangan menempatkan relasi antara eksistensi (wujud) dan

esensi (mahiyah) dengan suatu relasi transendental: antara Pencipta dan Ciptaan.

Divisi Eksisten yang ia rumuskan merupakan upaya menarik konsekuensi

transendental dari perbedaan yang awalnya hanya berwatak konseptual antara

eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). Ibn Sina mendefinisikan Eksistensi

Niscaya sebagai eksisten (mawjud) yang eksistensinya berasal dari esensinya, yang

eksistensinya termasuk ke dalam esensinya, yang eksistensi (wujud) dan esensinya

sama. Eksistensi Niscaya adalah eksisten (mawjud) yang tidak mungkin tidak eksis,

karena eksistensi (wujud) masuk ke dalam esensinya. Sementara eksistensi

kontinjen adalah suatu eksisten (mawjud) yang eksistensinya datang dari luar,

bukan dari dalam esensinya sendiri, yang keberadaan atau ketiadaannya tidak

bertentangan dengan esensinya; ia bisa saja eksis, bisa saja tidak. Dan jika ia eksis,

karenanya, ia eksis karena eksistensi (wujud) diberikan kepadanya dari luar, yang

tidak lain dari Eksistensi Niscaya.

Selain menambahkan divisi eksisten (mawjud) ke dalam persoalan ini, Ibn Sina

juga menarik konsekuensi lebih jauh dari ‘arid, yang sekali lagi juga dipadukan

dengan divisi eksisten (mawjud) tersebut. Eksistensi kontinjen, karenanya, adalah

eksisten (mawjud) di mana eksistensi (wujud) merupakan suatu aksiden bagi

esensinya. Dengan kata lain, eksistensi (wujud) tidaklah menyusun esensinya.

Esensi (mahiyah) manusia adalah “binatang rasional”, bukan “binatang rasional

yang eksis”, karena bisa jadi manusia eksis dan tidak, tanpa harus menghasilkan

suatu kontradiksi, sementara jika ia kehilangan rasionalitasnya, akalnya, maka ia

bukan lagi manusia, dan ia kehilangan aspek yang menjadikannya manusia; berbeda

halnya dengan ketika ia tidak eksis. Katakanlah, seseorang yang meninggal dunia,

ia akan tetap dikenang sebagai manusia, selama dalam hidupnya ia mengguna-kan

akalnya. Karena itu, ada atau tiadanya dirinya tidak menjadi-kan dia kehilangan

Page 173: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

159

kemanusiaannya, tetapi berakal atau tidak berakalnya dirinya akan berpengaruh

terhadap kemanusiaannya. Lalu di mana letak permasalahan dari persoalan ini?

Mengapa Ibn Sina menjadi seseorang yang posisinya banyak disalahtafsirkan oleh

para filsuf setelahnya? Ini disebabkan dari bagaimana seseorang menilai posisi Ibn

Sina dalam persoalan ini, apakah ia menyatakan bahwa distingsi eksistensi (wujud)

dan esensi (mahiyah) ada pada ranah fenomenal, konseptual, atau transendental?

Tidak seperti Aristoteles dan Farabi yang bebas dari kritik atas konsepsi mereka

mengenai distingsi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), Ibn Sina merupakan

tokoh yang dikaitkan erat dengan konsep distingsi ini, dan yang dikenal sebagai

seseorang yang menyatakan bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari

esensi (mahiyah) pada semua ranah kenyataan; yakni pada level fenomenal,

konseptual, dan transendental. Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa ini

merupakan suatu penafsiran yang salah atas posisi filosofis Ibn Sina; namun

bagaimanapun, Suhrawardi termasuk ke dalam salah seorang filsuf yang

menafsirkan Ibn Sina dengan cara itu. Melihat bahwa distingsi antara eksistensi

(wujud) dan esensi (mahiyah) ini tidak bisa dipertahankan secara logis, Suhrawardi

menolaknya. Lebih jauh, ia menuduh Ibn Sina menyatakan bahwa eksistensi

(wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah) dalam semua level realitas; atau

tepatnya, Suhrawardi tidak membedakan pada level mana Ibn Sina merujuk ketika

ia sedang berbicara mengenai distingsi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)

serta aksidentalitas eksistensi (wujud). Bagaimana Mulla Sadra melihat persoalan

ini, yakni bagaimana ia melihat posisi filosofis Ibn Sina dan kekeliruan Suhrawardi

memahaminya? Mari kita melihat persoalan ini, bersama Mulla Sadra, dengan

memasukkannya dalam kerangka prinsip konsep dan realitas eksistensi (wujud).

Pada level fenomenal, kita mendapati banyak hal di sekitar kita: buku, lampu,

dinding, radio, kabel, lantai, laptop dan sebagainya. Mari kita ambil contoh buku di

hadapan kita. Ketika kita mengamati sebuah buku, apakah kita dapat membedakan

mana eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) dari buku tersebut? “Wah, eksistensi

(wujud) buku ada di sebelah sini, katakanlah, sebelah kanan, sementara esensi

(mahiyah) berada di sebelah kiri”, tentu ini merupakan pernyataan yang absurd.

Buku, di hadapan kita, adalah suatu objek utuh, tidak ada dua aspek, yakni

Page 174: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

160

eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) yang dapat dipisahkan darinya, tidak ada

celah yang membatasi keduanya, buku, karenanya, merupakan suatu objek

ontologis tanpa celah; yang ada bukanlah aspek eksistensi (wujud) atau esensi

(mahiyah), yang kita lihat dari sebuah buku di hadapan kita adalah sampul, kertas,

dan mungkin lem yang melekatkan kertas-kertas tadi, lipatan-lipatan buku, bahkan

mungkin aroma dari kertas yang ada dalam buku tersebut. Kita melihat buku

sebagai suatu kesatuan antara esensinya – katakanlah bahwa esensi (mahiyah) dari

buku adalah kumpulan kertas yang dijilid sedemikian rupa dan berfungsi untuk

dituliskan kata-kata di dalamnya – dan eksistensinya, bahwa buku ini ada di sini, di

hadapan kita. Pada level ini, kita tidak dapat memisahkan antara eksistensi (wujud)

dan esensi (mahiyah) buku.

Kini kita beralih kepada level konseptual. Buku ini memiliki sampul berwarna

hijau, kertasnya berwarna putih, berukuran a4, dan merupakan buku tulis yang saya

isi dengan rencana-rencana tentang masa depan. Kita kemudian dapat memisahkan

mana bagian esensial dari buku dan bagian aksidental darinya. Jika buku ini tidak

berwarna hijau, apakah ia tetap disebut buku? Tentu saja, sampul dari buku bisa

berwarna apa saja, entah itu merah, hitam, kuning atau apapun. Ia tetaplah buku

selama ia merupakan kumpulan dari kertas yang dijilid sedemikian rupa. Kita dapat

membayangkan sebuah buku yang berwarna merah-hitam, tanpa membuat

pemikiran ini menjadi kontradiktif, merah hitam atau merah kuning, atau merah

putih, buku ini tetaplah buku. Warna dari buku bukanlah aspek yang menyusun ke-

buku-an. Kita telah dapat memisahkan aspek aksidental dan aspek esensial dari

buku dengan pemikiran sederhana semacam itu. Kini kita dapat menarik abstraksi

ini lebih jauh. Buku ini ada, kertas ini ada, warna ini ada, lem ini ada, jilid ini ada.

Mari kita bayangkan suatu hal, misalnya, buku manga Samurai Champloo musim

kedua. Dalam kenyataan, yakni dalam level fenomenal, buku ini tidak ada karena

pengarangnya, yakni Shinichiro Watanabe, tidak pernah menulis musim kedua dari

manga ini. Tetapi, kita masih bisa membayangkan bahwa jika, seandainya musim

kedua dari manga ini terbit, plot ceritanya akan menjadi demikian dan demikian,

dan jika ia diterbitkan nantinya, ia akan diterbitkan oleh penerbit demikian dan

demikian. Kita dapat membayangkan gagasan mengenai buku ini, tanpa

meniscayakan keberadaannya; bahkan, meskipun kita tahu pasti bahwa buku ini

Page 175: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

161

tidak akan pernah terbit sampai kapanpun, kita masih dapat membuat citra mental

dalam pikiran kita mengenainya. Kini, kita dapat membedakan esensi (mahiyah),

atau gagasan dari buku tersebut, dari eksistensinya. Maka, pada level konseptual,

kita dapat membedakan eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) dari buku. Dan hal

ini berlaku bagi hal-hal lain yang dapat kita bicarakan.

Sampai di sini, kita dapat menyatakan bahwa pada level fenomenal, kita tidak

mendapati adanya distingsi antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), baru

pada level konseptuallah kita dapat membedakannya. Kita tidak akan membahas

mengenai contoh dari level transendental, dan faktanya, baik Mulla Sadra,

Sabzawari, Suhrawardi dan para peneliti mereka, tidak pernah memberikan contoh

dari level transendental, karena, seperti yang telah disinggung, ini adalah level yang

tidak terjangkau oleh bahasa. Kami kira, hal ini pulalah yang membuat Izutsu hanya

membagi level pemahaman menjadi dua, tanpa memasukkan level transendental,

sedangkan di sisi lain ia menyatakan bahwa realitas eksistensi (wujud) terbagi

menjadi tiga level. Bahwa pada umumnya, baik Mulla Sadra maupun Suhrawardi

sering memberi contoh pada dua level, dan membedakan eksistensi (wujud)

menjadi eksistensi (wujud) in concreto dan in intellectu bukan berarti mereka tidak

memasukkan level transendental dari pemahaman. Yang dapat kita simpulkan,

sekali lagi, ialah bahwa contoh pada level transendental hanya dapat diketahui lewat

kehadiran langsung dan kesaksian sejati, bukan melalui bahasa, tulisan, apalagi,

misalnya penelitian ini. Akan tetapi, bukan berarti kita tidak dapat menerapkan

konsep ini pada persoalan filosofis; karena, sebagaimana yang akan kita lihat, Mulla

Sadra menyadari bahwa Suhrawardi tidak membedakan antara dua level rujukan ini

dalam kritiknya atas Ibn Sina, baik pada persoalan distingsi eksistensi (wujud) dan

esensi (mahiyah), dan aksidentalitas eksistensi (wujud). Pada sub-bab sebelumnya,

kita telah mengutip dua pernyataan Suhrawardi terkait dengan posisi ini, mari kita

lihat kutipan ini dalam kerangka baru, yakni kerangka konsep dan realitas eksistensi

(wujud).

“Tidaklah benar untuk menyatakan bahwa “eksistensi (wujud)” dalam dunia

eksternal merupakan sesuatu yang berbeda dari “esensi (mahiyah)” atas dasar

bahwa kita dapat memikirkan esensi (mahiyah) tanpa memikirkan “eksistensi

(wujud)”. (Hal ini tidak benar) karena dengan cara yang sama kita dapat

membentuk suatu gambaran mental mengenai “eksistensi (wujud)” -

Page 176: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

162

contohnya, “eksistensi (wujud)” dari seekor burung luar biasa, ‘anqa’ - tanpa

mengetahui apakah ia (y.i. “eksistensi (wujud)” partikular tersebut) benar-

benar eksis (y.i. terwujud in concreto) atau tidak. Karenanya “eksistensi

(wujud)” akan memerlukan “eksistensi (wujud)” lainnya, dan seterusnya dan

selanjutnya hingga akhirnya kita harus mengakui kehadiran rangkaian

“eksistensi (wujud)” tak terhingga yang terwujud di waktu yang sama.”4

Mari kita mengurai argumen Suhrawardi ini menjadi beberapa proposisi:

P1: Tidaklah benar untuk menyatakan bahwa “eksistensi (wujud)” dalam dunia

eksternal merupakan sesuatu yang berbeda dari “esensi (mahiyah)” atas dasar

bahwa kita dapat memikirkan esensi (mahiyah) tanpa memikirkan “eksistensi

(wujud)”.

P2: Karena dengan cara yang sama kita dapat membentuk suatu gambaran mental

mengenai “eksistensi (wujud)” - contohnya, “eksistensi (wujud)” dari seekor

burung luar biasa, ‘anqa’ - tanpa mengetahui apakah ia benar-benar eksis atau tidak.

Dari dua premis ini, Suhrawardi menarik kesimpulan berikut:

K: Karenanya “eksistensi (wujud)” akan memerlukan “eksistensi (wujud)” lainnya,

dan seterusnya dan selanjutnya hingga akhirnya kita harus mengakui kehadiran

rangkaian “eksistensi (wujud)” tak terhingga yang terwujud di waktu yang sama.

Dalam proposisi pertama, Suhrawardi menyatakan bahwa kita tidak dapat

membedakan eksistensi (wujud) dari esensi (mahiyah) atas dasar bahwa kita dapat

memikirkan esensi (mahiyah) x tanpa mengetahui apakah x eksis atau tidak dalam

dunia eksternal, yakni dunia fenomenal. Ini merupakan kritik bagi pendapat, mulai

dari Aristoteles hingga Ibn Sina, bahwa kita dapat memikirkan gagasan x tanpa

mengetahui bahwa x eksis atau tidak di dunia fenomenal. Apa yang salah dari

premis Suhrawardi ini? Ya, Suhrawardi dalam premis ini menyiratkan bahwa

pembedaan yang dibuat oleh para filsuf, terutama Ibn Sina, antara eksistensi

(wujud) dan esensi (mahiyah) adalah pembedaan yang terjadi pada level fenomenal.

Sebagaimana telah sering disinggung sebelumnya, ini merupakan pembacaan yang

salah atas posisi Ibn Sina. Ibn Sina membedakan eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah) bukan pada level fenomenal, tetapi pada level konseptual. Ini adalah

kekeliruan filosofis dan logis dari Suhrawardi yang ditemukan oleh Sadra, dan

4 Dalam Izutsu, lihat kutipan jauh di atas.

Page 177: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

163

nantinya akan menjadi akar dari kekeliruan-kekeliruan lainnya yang mengikutinya.

Suhrawardi salah menafsirkan pernyataan Ibn Sina karena ia gagal melihat level

mana yang dirujuk oleh Ibn Sina ketika ia membedakan antara eksistensi (wujud)

dan esensi (mahiyah); Suhrawardi gagal melihat mana pernyataan yang merujuk

kepada level fenomenal, mana yang merujuk kepada level konseptual. Kegagalan

ini diikuti oleh kegagalan-kegagalan filosofis lainnya.

Dalam proposisi kedua, Suhrawardi berupaya memperkuat argumennya,

bahwa, bahkan kita dapat membuat gambaran mental atas eksistensi (wujud) tanpa

perlu membuktikan eksistensinya di dunia eksternal. Ketika kita melihat pernyataan

ini dari kerangka konsep dan realitas eksistensi (wujud), argumen penguat ini akan

menjadi sia-sia. Sedari awal, pembedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah) bukanlah merujuk kepada level fenomenal, dan karenanya argumen ini

gugur seketika. Ibn Sina tidak pernah, dengan memberi contoh bahwa segitiga dapat

dipikirkan esensinya tanpa mengetahui segitiga eksis atau tidak, berniat untuk

membuktikan bahwa eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) segitiga terpisah

dalam level fenomenal. Dan dengan seketika, kesimpulan Suhrawardi bahwa

eksistensi (wujud) memerlukan eksistensi (wujud) agar ia eksis pun gugur seketika

bersama kegagalannya menafsirkan posisi Ibn Sina. Kegagalan filosofis berikutnya

dari Suhrawardi adalah penafsirannya akan konsep aksidentalitas eksistensi (wujud)

yang akan berdampak langsung pada konsepsinya mengenai primasi esensi (asalah

al-mahiyah). Ini akan menjadi pembahasan berikutnya.

b. Primasi Eksistensi/Esensi

Berbeda dengan persoalan distingsi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)

yang diinisiasi oleh Aristoteles hingga mencapai bentuknya pada bangunan filosofis

Ibn Sina, persoalan primasi, baik dalam bentuk primasi eksistensi (asalah al-wujud)

atau primasi esensi (asalah al-mahiyah) merupakan persoalan yang khas dalam

filsafat Islam; ia lahir dari tubuh filsafat Islam sendiri tanpa didahului oleh rumusan

filosofis lain sebelum periode ini. Seperti yang telah disinggung, pada dasarnya

persoalan primasi merupakan suatu bentuk tanggapan bagi rumusan Ibn Sina

mengenai distingsi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) serta aksidentalitas

eksistensi (wujud). Kita setidaknya dapat menyatakan bahwa setelah ibn Sina,

Page 178: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

164

terdapat dua gerakan filosofis yang lahir disebabkan oleh dua rumusan ini. Di satu

sisi, terdapat Ibn Rusyd di bagian barat dunia Islam, aliran filosofis ini mengkritik

rumusan Ibn Sina mengenai aksidentalitas eksistensi (wujud), kerangka pemikiran

filosofis ini akhirnya diwarisi oleh umat Kristiani via Aquinas dan lain-lain. Di sisi

lain, terdapat filsuf dari bagian timur Islam yang menanggapi persoalan ini dengan

corak yang berbeda. Di sana kita mendapati Tusi yang mencoba menafsirkan ulang

posisi Ibn Sina terkait dua rumusan filosofis ini, dan terdapat pula filsuf seperti

Suhrawardi yang membawa persoalan ini dalam kerangka yang benar-benar baru.

Pada dasarnya, baik Ibn Rusyd, Tusi dan Aquinas menanggapi rumusan Ibn Sina

untuk kemudian menyatakan bahwa eksistensi (wujud) bukanlah aksiden dalam

artian Aristoteliannya. Baru pada Suhrawardi-lah, tanggapan yang berbeda hadir.

Alih-alih menyatakan bahwa eksistensi (wujud) merupakan suatu aspek utama dari

sesuatu, Suhrawardi menyatakan bahwa eksistensi (wujud) bukanlah sesuatu yang

merujuk kepada realitas. Maka, singkatnya, jika penafsiran atas Ibn Sina di barat

melahirkan rumusan primasi eksistensi (asalah al-wujud) tanpa diiringi oleh lawan

diametrisnya, yakni primasi esensi (asalah al-mahiyah); di timur yang terjadi

adalah lahirnya suatu pemikiran filosofis yang mengkritik rumusan aksidentalitas

ekistensi dan diikuti dengan pernyataan bahwa eksistensi (wujud) tidak memiliki

tempat dalam realitas.

Persis pada pembahasan sebelumnya, kita telah melihat bagaimana dengan

kerangka konsep dan realitas eksistensi (wujud), Mulla Sadra mendapati kekeliruan

Suhrawardi dalam menafsirkan posisi filosofis Ibn Sina. Di sini pun kita akan

menggunakan strategi yang sama dalam melihat bagaimana Suhrawardi mengusung

gagasannya bahwa eksistensi (wujud) tidak memiliki tempat dalam realitas. Pada

bab sebelumnya, kita telah melihat persoalan primasi dengan cukup rinci, mulai

dari pembahasan mengenai substansi dan aksiden dalam korpus Aristotelian, alasan

mengapa persoalan primasi lahir, yang tidak lain dari suatu bentuk penafsiran atas

relasi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) yang baru yang berbeda dari rumusan

Ibn Sina, hingga argumen-argumen yang diajukan oleh pengusung prinsip primasi

esensi (asalah al-mahiyah), khususnya Suhrawardi. Maka, kita dapat menyatakan

dengan singkat bahwa persoalan primasi ini lahir dari sebentuk penafsiran tertentu

atas persoalan distingsi eksistensi-eseni dan aksidentalitas eksistensi. Karena itu,

Page 179: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

165

strategi Mulla Sadra untuk mengkritik Suhrawardi persisnya merupakan strategi

untuk mengatasi jenis penafsiran tertentu ini; di satu sisi, Suhrawardi membawa

penafsiran tertentu yang baru atas dua problem ini; di sisi lain, Sadra pun membawa

penafsiran tertentu yang baru untuk mengatasi penafsiran tersebut. Dan penafsiran

ini adalah penafsiran berdasarkan kerangka primasi; dan dalam kasus Sadra, kita

dapat menambahkan bahwa, berbarengan dengan kerangka primasi, untuk

membuktikan kekeliruan penafsiran Suhrawardi, Sadra memasukkan satu kerangka

baru, yakni kerangka konsep dan realitas eksistensi (wujud). Kini, mari kita melihat

bagaimana kita menafsirkan argumen primasi esensi (asalah al-mahiyah) dari

Suhrawardi dengan dua kerangka Sadra yang baru ini.

Argumen pertama:

“Jika kita berkata bahwa ketika sesuatu itu non-eksisten, eksistensinya

niscaya tidak terwujud, maka eksistensinya non-eksisten. Ini karena, dengan

anggapan bahwa eksistensinya non-eksisten, ketika kita memikirkan tentang

eksistensi (wujud) dan berkata bahwa ia eksis, menjadi niscaya bahwa konsep

eksistensi (wujud) berbeda dengan benda yang eksis.”5

Argumen kedua:

“Karena itu, jika kita berkata bahwa apa yang sebelumnya kita anggap tidak

eksis menjadi eksis, dan eksistensi (wujud) dari sesuatu yang sebelumnya tidak

terwujud, lalu mewujud, kita menyadari bahwa mewujud itu berbeda dari

eksistensi (wujud). Maka menjadi niscaya bahwa eksistensi (wujud) harus

memiliki eksistensi (wujud) dan kita harus mendefinsikan eksistensi (wujud)

dengan eksistensi (wujud), dan hal ini berlanjut ad infinitum. [Dikatakan

bahwa] suksesi tak terhingga dari hal-hal itu tidaklah mungkin.”6

Mari kita lihat struktur logika Suhrawardi dalam argumen pertama sebagai

berikut:

P1: Jika x tidak eksis, maka eksistensi (wujud) x non-eksisten. Maka, eksistensi

(wujud) x berbeda dengan x.

Dan struktur logika Suhrawardi dalam argumen kedua sebagai berikut:

5 Mehdi Amin Razavi. Suhrawardi and the School of Illumination. (New York: Routledge. 2013)

lihat kutipan pada sub-bab sebelumnya. 6 Mehdi Amin Razavi. Suhrawardi and the School of Illumination. (New York: Routledge. 2013)

lihat kutipan pada sub-bab sebelumnya.

Page 180: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

166

P2: x pada titik A tidak eksis, x pada titik B eksis. X berbeda dengan eksistensi

(wujud) x. eksistensi (wujud), untuk eksis memerlukan eksistensi (wujud).

Bagaimana Suhrawardi sampai pada logika tersebut? Pada argumen

pertama, Suhrawardi menyatakan bahwa yang kita temukan dalam realitas ketika

kita berkata bahwa “x eksis” bukanlah x dan eksistensinya; yang ada hanya x.

Karena itu, sebagaimana x memerlukan eksistensi (wujud) agar ia eksis, maka

eksistensi (wujud) juga memerlukan eksistensi (wujud) agar ia eksis. Kita tidak

dapat mengetahui makna dari pernyataan Suhrawardi ini tanpa melihatnya dalam

kerangka filosofis Ibn Sina mengenai distingsi eksistensi-esensi. Sebagaimana telah

dinyatakan sebelumnya, bagi Suhrawardi, Ibn Sina menyatakan bahwa distingsi

antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) ada pada level fenomenal. Jika

posisi Ibn Sina seperti itu, maka pernyataan Suhrawardi adalah suatu tafsiran yang

menarik konsekuensi lebih jauh dari posisi Ibn Sina. Ketika pada level fenomenal

kita mendapati bahwa x eksis, dan bahwa distingsi antara eksistensi (wujud) x dan

x benar-benar ada, maka, pada level ini kita seharusnya juga mendapati bahwa

bukan hanya x yang eksis, tetapi eksistensi (wujud) x juga harus eksis. Artinya, jika,

agar x eksis, ia harus menjadi suatu eksisten (mawjud), begitu pula agar eksistensi

(wujud) eksis pada level fenomenal, ia haruslah menjadi suatu eksisten (mawjud).

Di sinilah strategi logika Suhrawardi dibangun, jika eksistensi (wujud) agar ia eksis

harus menjadi eksisten (mawjud), maka eksistensia memerlukan eksistensib dan

seterusnya ad infinitum. Pada bab selanjutnya, kita akan membahas argumen Sadra

persis dalam konteks kritik atas argumen Suhrawardi ini. Di sini cukup dikatakan

secara singkat asal-usul kekeliruan Suhrawardi. Sekali lagi, Suhrawardi tidak dapat

membedakan pada level mana Ibn Sina merujuk ketika ia berbicara mengenai

distingsi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). Argumen Suhrawardi dibangun

atas landasan logis bahwa Ibn Sina benar-benar menyatakan bahwa pada level

fenomenal, terdapat distingsi antara eksistensi (wujud) x dan x. Jika argumen ini

benar, maka seharusnya pada level fenomenal kita harus dapat membedakan mana

eksistensi (wujud) x dan x.

Begitu pula pada argumen kedua, posisi logis Suhrawardi dibangun atas

dasar penafsiran bahwa Ibn Sina menyatakan keberadaan distingsi eksistensi

Page 181: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

167

(wujud) dan esensi (mahiyah) pada level fenomenal. Bahwa, dalam penafsiran

macam ini, jika x memerlukan eksistensi (wujud) agar ia eksis, maka begitupun,

agar eksistensi (wujud) eksis, ia memerlukan eksistensi (wujud). Jika x agar eksis

ia harus menjadi eksisten (mawjud), maka eksistensi (wujud), pada level fenomenal,

jika ia eksis, ia harus menjadi eksisten (mawjud). Semua argumen ini akan gugur

dengan sendirinya jika kita melihat posisi Ibn Sina sebagaimana ditafsirkan oleh

Sadra. Jika, dari awal, distingsi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) terjadi

bukan pada level fenomenal, namun konseptual, maka argumen Suhrawardi tidak

berlaku di sini. Argumen Suhrawardi hanya bisa bekerja jika kita menafsirkan

bahwa Ibn Sina benar-benar menyatakan bahwa distingsi antara eksistensi (wujud)

dan esensi (mahiyah) terjadi pada level fenomenal.

Dari argumen inilah kemudian Suhrawardi membangun argumen primasi

esensi (asalah al-mahiyah). Dalam dunia eksternal, yakni pada level fenomenal,

yang kita dapati adalah x, y, z, yaitu eksisten-eksisten. Kita mendapati meja, kursi,

buku, gunung, dan sebagainya, bukan eksistensi (wujud). Jika sesuatu agar eksis

membutuhkan eksistensi (wujud), maka eksistensi (wujud) pun harus membutuhkan

eksistensi (wujud) agar ia eksis. Namun kenyataannya, kita hanya mendapati

eksisten-eksisten. Bagi Suhrawardi, esensi (mahiyah) tidak lain dari eksisten-

eksisten tersebut, yakni meja, kursi, buku dan lain-lain. esensi-esensi partikular

inilah yang eksis dalam level fenomenal. Syarat agar sesuatu eksis, menurut

Suhrawardi, adalah harus menjadi esensi-esensi partikular, yakni esensi (mahiyah)

meja yang eksis menjadi eksisten (mawjud) meja, esensi (mahiyah) buku yang eksis

menjadi eksisten (mawjud) buku. esensi-esensi tersebut eksis di level fenomenal,

dan Suhrawardi melanjutkan, karenanya, esensi (mahiyah) tidak membutuhkan

eksistensi (wujud) agar ia eksis. Sebaliknya, jika eksistensi (wujud) eksis pada level

fenomenal, ia haruslah menjadi suatu eksisten (mawjud), tetapi ia tidak pernah eksis

sebagai eksisten (mawjud), karena apa yang mencirikan eksisten (mawjud) adalah

partikularitas, sementara eksistensi (wujud) merupakan suatu universal. eksistensi

(wujud), sebagai universal, karenanya, tidak lain daripada konsep yang diciptakan

oleh akal kita semata. Suhrawardi berpendapat sebagai berikut:

“Penyifatan eksistensi (wujud) kepada ke-hitam-an, esensi (mahiyah),

manusia dan kuda dianggap sama, dan karenanya konsep eksistensi (wujud)

Page 182: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

168

merupakan suatu konsep yang lebih universal dari masing-masing hal tersebut.

Begitu pula konsep esensi (mahiyah) dalam arti mutlaknya serta konsep

kebenaran dan kudrat dari sesuatu dalam artian mutlak mereka. Karenanya,

kami menyatakan bahwa kategori semacam itu (eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah) universal) adalah konsep-konsep mental murni.”7

Dalam argumen ini, Suhrawardi menyatakan bahwa eksistensi (wujud)

disifatkan kepada segala sesuatu dengan setara, penyifatan seperti ini menyiratkan

bahwa eksistensi (wujud) merupakan suatu hal yang universal. Sementara, menurut

Suhrawardi, syarat agar sesuatu dapat eksis di level fenomenal adalah bahwa ia

haruslah partikular; karena eksistensi (wujud) merupakan hal yang universal, maka

ia tidak dapat eksis pada level fenomenal. Inilah argumen Suhrawardi untuk

menafikan eksistensi (wujud) dan menyatakannya sebagai konsep mental semata.

Sekali lagi, kekeliruan Suhrawardi ini lahir dari penafsirannya atas posisi Ibn Sina

mengenai distingsi eksistensi-esensi. Jika eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)

memang dapat ditemui dalam level fenomenal, maka masing-masingnya harus kita

temui sebagai eksisten (mawjud) partikular, tetapi nyatanya tidak: yang kita temui

hanyalah esensi-esensi yang mewujud menjadi eksisten-eksisten partikular, bukan

eksistensi (wujud) yang mewujud menjadi suatu eksisten (mawjud) partikular. Yang

perlu digarisbawahi di sini adalah, Suhrawardi menyatakan bahwa esensi

(mahiyah), dalam kenyataan, setara dengan eksisten (mawjud) partikular.

Kesimpulan yang dapat kita ambil dari pembahasan ini adalah bahwa, bagi

Suhrawardi, syarat agar sesuatu bisa eksis pada dunia eksternal, atau level

fenomenal, adalah partikularitas, karenanya, sesuatu yang universal seperti

eksistensi (wujud) tidaklah dapat eksis di sini. Pada bab berikutnya, kita akan

melihat bagaimana Sadra mengkritik pernyataan ini dan menyatakan bahwa,

sebaliknya, eksistensi (wujud) merupakan hal yang paling partikular. Pada

pembahasan selanjutnya, Sadra akan melihat bagaimana konsepsi primasi

eksistensi (asalah al-wujud) lebih unggul dibanding primasi esensi (asalah al-

mahiyah) terkait dengan prinsip modulasi. Sebelum pembahasan tersebut, mari kita

lihat bagaimana Mulla Sadra membaca posisi primasi esensi (asalah al-mahiyah)

7 Mehdi Amin Razavi. Suhrawardi and the School of Illumination. (New York: Routledge. 2013)

lihat kutipan pada sub-bab sebelumnya.

Page 183: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

169

Suhrawardi dan bagaimana ia mengajukan prinsip primasi eksistensinya sebagai

tandingan atas posisi Suhrawardi.

Kita telah membahas bagaimana Suhrawardi menempatkan eksistensi

(wujud) pada dua level, yakni level fenomenal dan level konseptual. Mari kita lihat

tabel berikut:

Tabel C.1 Posisi eksistensi (wujud) menurut Suhrawardi

Level Realitas Watak eksistensi (wujud)

Fenomenal

Eksistensi (wujud) tidak eksis karena pada level ini,

agar sesuatu eksis ia harus menjadi eksisten (mawjud)

partikular, sementara ia berwatak uni-versal

Konseptual

Watak universal eksistensi (wujud) menjadikannya

sebagai suatu konsep abstrak yang semata-mata

merupakan ciptaan mental

Transendental Eksistensi (wujud) dihilangkan dalam level ini dan

digantikan dengan gradasi Cahaya

Suhrawardi menyatakan bahwa pada setiap level, eksistensi (wujud) tidak memiliki

tempat dalam realitas. Penafsiran ini sekali lagi merupakan penafsiran yang

dihasilkan dari penarikan konsekuensi logis atas posisi Ibn Sina menurut

Suhrawardi. Sekarang mari kita lihat bagaimana posisi Suhrawardi ini didahului

oleh penafsirannya atas aksidentalitas eksistensi (wujud) menurut Ibn Sina. Jika,

menurut Ibn Sina, eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah) pada

level fenomenal, maka, agar eksistensi (wujud) dapat eksis, ia harus melekatkan diri

pada suatu eksisten (mawjud). Sebagaimana pengertian aksiden dalam korpus

Aristotelian, aksiden adalah sesuatu yang ada karena ia menetap pada suatu subjek,

yang pada gilirannya, subjek tersebut tidak memerlukan eksistensi (wujud) aksiden

agar ia dapat eksis. Tepatnya, inilah yang diandaikan oleh Suhrawardi ketika

menyatakan bahwa pada level fenomenal, agar eksistensi (wujud) dapat eksis, ia

membutuhkan eksistensi (wujud) dari eksisten (mawjud) partikular.

Page 184: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

170

Untuk menandingi posisi Suhrawardi ini, Mulla Sadra harus membuktikan

bahwa pada tiga level realitas, eksistensi (wujud) adalah hal yang utama,

berlawanan dengan posisi Suhrawardi yang menyatakan bahwa pada semua level

tersebut, eksistensi (wujud) tidak memiliki tempat. Mulla Sadra merumuskan posisi

primasi eksistensi dengan menyatakan bahwa dalam tiga level tersebut eksistensi

(wujud) memiliki tempat utama. Mari kita lihat tabel berikutnya.

Tabel C.2. Posisi Eksistensi (wujud) menurut Mulla Sadra

Level Realitas Watak eksistensi (wujud)

Fenomenal Eksistensi (wujud) merupakan hal yang paling

terbukti dalam level fenomenal.

Konseptual

Eksistensi (wujud) mencakup segala sesuatu secara

konseptual.

Eksistensi (wujud) termasuk ke dalam intelijibel

sekunder filosofis, bukan sekedar kategori abstrak,

yakni intelijibel sekunder per se.

Eksistensi (wujud) memungkinkan penilaian logis

menghasilkan kesimpu-lan yang bermakna; tanpa

watak dari konsep eksistensi (wujud), penilaian logis

tidak akan dapat dibangun

Transendental Tuhan adalah Eksistensi Murni

Pada level fenomenal, Mulla Sadra menyatakan bahwa eksistensi (wujud)

merupakan suatu hal yang paling jelas dan paling terbukti, siapapun dapat

memahami makna eksistensi (wujud) pada level fenomenal atau pre-konseptual,

karenanya, pada level ini, eksistensi (wujud) memiliki tempat utama. Berbeda

dengan esensi (mahiyah) yang memerlukan tindakan akal agar ia dipahami. Sebagai

contoh, seorang anak kecil yang tidak mengetahui apa-apa soal Hegel, ketika ia

dihadiahi buku Hegel saat ulang tahunnya, tidak langsung mengetahui apa itu

Hegel, seperti apa filsafatnya, atau apa itu esensi (mahiyah) baik dari Hegel dan

Page 185: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

171

filsafatnya tanpa mempelajarinya; tetapi, ia langsung tahu dengan seketika bahwa

buku Hegel tersebut eksis. Ini merupakan bukti bahwa pada level fenomenal,

eksistensi (wujud) lebih utama dalam artian lebih jelas dan terbukti dibandingkan

esensi (mahiyah) dari sesuatu.

Begitu pula pada level konseptual. Eksistensi (wujud) pada level ini

memang merupakan suatu istilah dan kategori abstrak, dari sisi ini, ia memiliki

kemencakupan yang sama seperti universal universal lain. Tetapi kemencakupan

ini berbeda dengan universal lain karena eksistensi (wujud) mencakup segala

sesuatu, termasuk segala macam universal, dan bahkan termasuk konsep ketiadaan

atau non-eksistensi. Dari sisi abstrak ini, eksistensi (wujud) merupakan suatu

konsep yang paling unggul dalam kemencakupannya. Kemudian, dalam disiplin

logika, terdapat beberapa macam intelijibel, yakni intelijibel primer, sekunder, dan

sekunder filosofis. Intelijibel primer adalah suatu pemahaman yang dicapai di mana

penyifatan dan kejadian dari sesuatu terjadi di level fenomenal. Sebagai contoh,

“kabel di depan saya berwarna hitam” penyifatan hitam kepada kabel, dan

terjadinya penyifatan ini terjadi pada level fenomenal, bukan pada level konseptual.

Kedua, intelijibel sekunder. Pada contoh ini, penyifatan dan kejadian penyifatan

tersebut berada pada level konseptual. “Manusia adalah universal”, “manusia” yang

dimaksud di sini merupakan konsep mengenai kemanusiaan, dan universal tentu

merupakan suatu konsep; penyifatan ‘universal’ kepada ‘manusia’ ini merupakan

penyifatan yang terjadi pada level konseptual dan melibatkan dua hal yang sama-

sama berwatak konseptual, bukan fenomenal. Intelijibel sekunder filosofis adalah

pemahaman yang dicapai ketika penyifatan terjadi pada ranah konseptual tetapi

kejadian yang ada berada pada level fenomenal. Misalnya “Seulgi adalah istri

saya”, relasi ‘ke-istri-an’ atau sifat ini tidak kita temui pada level fenomenal dalam

artian yang sama dengan ketika kita berbicara ‘kabel ini berwarna hitam’ di mana

dua hal ini, yakni ‘kabel’ dan ‘hitam’ berada pada level fenomenal. Relasi ‘ke-istri-

an’ merupakan watak yang disifatkan secara konseptual, tetapi merujuk kepada

kenyataan fenomenal, dalam kasus ini, ‘saya’ dan ‘seulgi’; berbeda dari intelijibel

sekunder di mana sifat, penyifatan dan subjek dan objek yang disifati semuanya

merujuk kepada ranah konseptual, intelijibel sekunder filosofis merujuk kepada

level fenomenal, atau dunia eksternal. Ini adalah bukti bahwa pada level konseptual,

Page 186: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

172

eksistensi (wujud) juga memiliki posisi utama dan lebih tinggi dibandingkan esensi

(mahiyah).

Seperti yang telah kita katakan sebelumnya, bahwa pada level transendental kita

tidak dapat memberi contoh apa-apa, kita hanya bisa terdiam di sini. Tetapi tidak

bagi Sadra, untuk membuktikan bahwa eksistensi (wujud) pada level transendental

menempati posisi utama, ia dengan cerdik mengambil amunisi intuitif-mistik dari

mazhab Akbariyyun. Singkatnya, pernyataan para filsuf Akbariyyan yang

menyetarakan Allah dengan Eksistensi Murni merupakan argumen yang digunakan

Sadra untuk menyatakan bahwa eksistensi (wujud), pada level transendental

merupakan sesuatu yang utama (hal ini juga akan dibahas pada sub-bab setelah ini,

yakni modulasi eksistensi). Dengan demikian, Sadra telah mengajukan argumen

bagi posisi tandingan atas posisi primasi esensi (asalah al-mahiyah) Suhrawardi.

Kita masih harus membahas bagaimana Sadra menafsirkan ulang gagasan

aksidentalitas eksistensi (wujud) Ibn Sina, tetapi hal ini akan kita bahas pada bab

selanjutnya. Karena, dengan argumen ini semata, posisi Sadra kami yakin telah

mengungguli posisi primasi esensi (asalah al-mahiyah) Suhrawardi.

c. Modulasi Eksistensi

i. Tinjauan Pertama

Kita telah membahas persoalan modulasi eksistensi pada bab sebelumnya

dengan cukup panjang. Sebagaimana persoalan distingsi eksistensi-esensi,

persoalan modulasi ini juga lahir dari teks Aristotelian, khususnya dalam

Metaphysics ketika ia menyatakan bahwa eksistensi (to on) disifatkan kepada

banyak hal berbeda, dikatakan dengan banyak cara, tetapi merujuk kepada suatu

prinsip. Pernyataan Aristoteles ini ada dalam konteks di mana ia sedang

merumuskan suatu sains untuk mempelajari eksistensi qua eksistensi, yakni

metafisika. Suatu sains mensyaratkan sebuah prinsip tertentu yang mencakup

pokok bahasannya, dan karenanya, Metafisika, sebagai suatu sains, harus

menemukan suatu prinsip yang dengannya ia dapat membahas segala sesuatu,

yakni, kenyataan itu sendiri.

Bagi Aristoteles, eksistensi (wujud), atau segala sesuatu yang ada harus dikaji

lewat prinsip tersebut, dan menurutnya, kajian atas substansi sebagai hal yang

Page 187: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

173

paling utama dalam kenyataan, adalah jalan yang harus diambil untuk merumuskan

sains tersebut. Terlepas dari perdebatan apakah substansi benar merupakan aspek

terpenting dari kenyataan, yang menurut kami penting dalam konteks penelitian ini

adalah bagaimana, setelah Aristoteles, persoalan mengenai cara di mana eksistensi

(wujud) disifatkan kepada banyak hal, dibahas. Alexander dari Aphrodisias serta

Porphyry melihat penyifatan ini dalam kerangka linguistik-konseptual, mereka

berupaya menentukan di mana letak eksistensi dalam aturan logis dan tatabahasa,

apakah ia masuk kepada sinonim atau homonim. Dan kemudian keduanya

menetapkan bahwa posisi eksistensi adalah posisi tertium quid antara sinonim dan

homonim.

Permasalahan posisi eksistensi dalam logika ini lalu diwarisi oleh filsuf Islam,

khususnya Farabi dan Ibn Sina. Mereka mengembangkan persoalan ini lebih jauh.

Farabi, faktanya, tidak hanya menyatakan bahwa posisi eksistensi (wujud) dalam

skema lingustik ini berada pada tertium quid; ia memberi istilah linguistik baru:

“musyakkak.” Farabi melihat bahwa eksistensi (wujud), sebagaimana Aristoteles,

disifatkan kepada banyak hal dengan cara yang berbeda; dan penyifatan ini berbeda

karena beberapa faktor atau skala; penyifatan eksistensi (wujud) kepada substansi

lebih pantas dibandingkan dengan penyifatannya kepada aksiden. Pada Ibn Sina,

sebagaimana dinyatakan oleh Tusi, skala tersebut diperjelas: penyifatan eksistensi

(wujud) dengan skala prioritas-posterioritas, presedensi-privasi, intensitas-

debiliasi.

Perkembangan konsep modulasi eksistensi, atau persisnya, penyifatan

eksistensi (wujud) atas banyak hal ini pertama-tama berada pada dimensi logis,

yakni menentukan posisi kata eksistensi (wujud) dalam lanskap pemaknaan

linguistik. Namun, Ibn Sina, sekali lagi, membawa persoalan logis atau konseptual

ini menuju persoalan ontologis atau transendental. Tusi membela Ibn Sina dari

kritik Razi, yang menyatakan bahwa Ibn Sina menyamakan eksistensi (wujud)

Pencipta dan ciptaan. Sama seperti kritik Shahrastani, menurut Razi, Ibn Sina,

dengan membagi eksistensi (wujud) menjadi Eksistensi Niscaya dan eksistensi

kontinjen, menyatakan bahwa Tuhan atau Pencipta dan ciptaan merupakan dua

spesies dari satu genus bernama eksistensi (wujud). Tusi menyatakan bahwa

Page 188: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

174

kekeliruan Razi disebabkan karena ia tidak memahami bagaimana penyifatan

eksistensi (wujud) dilakukan dengan cara modulasi. Penyifatan dengan modulasi

berarti bahwa eksistensi (wujud) disifatkan kepada banyak hal yang berbeda dengan

cara yang berbeda, yakni dengan skala intensitas yang berbeda.

Peralihan persoalan penyifatan istilah eksistensi (wujud) ke banyak hal dari

level predikamental atau konseptual ke transendental yang sudah diantisipasi oleh

konsep modulasi eksistensi Ibn Sina mencapai puncaknya pada mazhab

Akbariyyun. Dimulai dari korespondensi Tusi, seorang Avicennian, dan Qunawi,

seorang Akbarian, hingga perumusan Qaysari, konsep modulasi eksistensi akhirnya

tidak lagi merupakan persoalan konseptual belaka. Mereka membuat konsep

modulasi eksistensi ini menjadi pembahasan utama dalam konteks transendental,

yakni dengan mengaitkannya dengan pembicaraan mengenai realitas, dari level

fenomenal ke level Ketuhanan. Kita telah melihat bagaimana para mistikus

Akbariyyun, terutama Qaysari, merumuskan suatu konsepsi metafisis yang amat

mendekati rumusan metafisika eksistensial Mulla Sadra sendiri. Pernyataan bahwa

eksistensi (wujud) merupakan hal yang utama dalam kenyataan, bahwa eksistensi

(wujud) disifatkan dengan cara modulasi, dan bahwa Tuhan adalah eksistensi

murni.

ii. Tinjauan Kedua

Sejauh ini kita telah melihat bahwa persoalan modulasi eksistensi ini lahir

dalam konteks predikamental yang dapat ditilik kembali kepada teks Aristotelian,

terutama Metafisika. Pemaparan Aristoteles mengenai bagaimana kata eksistensi

(wujud) dikatakan dengan banyak cara ini berada pada teks di mana Aristoteles

sedang berupaya merumuskan sebuah sains yang dapat mengkaji segala sesuatu;

yakni metafisika sebagai sains yang mengkaji eksistensi qua eksistensi, atau

kenyataan itu sendiri. Dari satu sisi, ini terkait dengan persoalan gramatika dan

logika, yakni bagaimana kata eksistensi (to on), dalam bahasa, dapat disifatkan

kepada banyak hal, yang dalam tulisan Aristoteles, adalah sepuluh kategori, yang

ia bagi menjadi dua divisi besar: mengenai apa yang dapat dikatakan dalam sesuatu,

dan apa yang dapat dikatakan mengenai sesuatu. Kita telah membahas pula bahwa

hal ini dilihat oleh Alexander dari Aphrodisias dan Porphyry sebagai suatu

Page 189: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

175

persoalan predikmental: menempatkan kata eksistensi pada posisi tertium quid

antara sinonim dan homonim, atau univokal dan equivokal.

Oleh para filsuf Peripatetik Islam, dari Farabi hingga Ibn Sina, persoalan ini tak

lagi sebatas mencakup level predikamental semata; kita melihat contoh ini dalam

kritik Razi dan Syahrastani terhadap pernyataan Ibn Sina. Apa yang tadinya dilihat

sebagai persoalan predikamental, ditarik oleh Ibn Sina ke dalam persoalan

transendental: bagaimana menyatakan bahwa baik Pencipta maupun ciptaan

“eksis”; Tuhan “ada”, manusia “ada”, segala ciptaan “ada”; apakah kata ‘ada’ di

sini disifatkan dengan sama kepada Tuhan dan ciptaan? Tusi menjawab bahwa Ibn

Sina, dengan rumusan modulasi eksistensi menyatakan bahwa kata ‘ada’, atau

eksistensi (wujud), disifatkan kepada Tuhan dan ciptaan, dan faktanya, kepada

segala sesuatu, tidak secara homonim maupun sinonim: ia disifatkan dengan prinsip

modulasi. Inilah sekilas perkembangan konsep modulasi yang tadinya berada pada

level predikamental dan yang akhirnya dimasukkan dalam konteks transendental.

Meskipun begitu, ketika kita tilik lebih lanjut, batasan antara dua level ini

menjadi lebih kabur, bahkan dalam konteks Aristotelian sendiri. Seperti yang telah

disinggung sebelumnya, persoalan ini kita dapati dalam teks Metafisika yang

merupakan rumusan Aristotelian untuk membangun sebuah sains atas segala

sesuatu. Dari sini, konteks transendental sudah dimaksudkan sedari awal. Modulasi

eksistensi bukan hanya berada pada level predikamental, atau perkara tatabahasa

dan logika semata. Aristoteles tidak sedang merumuskan sebuah sains yang hanya

akan mengkaji istilah-istilah tatabahasa, tetapi kenyataan itu sendiri; dengan kata

lain, mengkaji apa-apa yang ada di luar bahasa, atau apa yang dirujuk oleh kata-

kata yang kita dapati dalam bahasa kita. Poin-poin yang telah kami sebutkan

memang cukup abstrak, karenanya, untuk melihat bagaimana konsep modulasi

eksistensi ini lebih jelas, mari kita berupaya mengambil contoh dari level fenomenal

dan keseharian kita. Dengan membawa persoalan ini pada level fenomenal dan

eksistensial, makna modulasi eksistensi akan lebih jelas. Perlu dicatat pula bahwa

prinsip konsep dan realitas eksistensi (wujud) itu sendiri sedari awal sudah

mengandaikan prinsip modulasi eksistensi. Mari kita melihat, apakah pernyataan

ini dapat dibenarkan.

Page 190: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

176

iii. Pembuktian Fenomenologis

Saya sedang duduk di samping rumah. Di depan saya, ada beberapa pohon

pisang yang berjajar tak begitu rapi. Tujuh pohon pisang ini memiliki tinggi yang

berbeda-beda dan ciri yang berbeda pula. Tiga di antaranya memiliki tinggi sekitar

2, 5 meter, dua di antaranya hanya setinggi satu meter lebih sedikit, dua lainnya

merupakan pohon pisang yang hampir layu dengan tinggi kira-kira satu meter. Kira-

kira sepuluh meter di sebelah kiri saya terdapat sungai, di pinggir sungai ada banyak

pohon bambu yang berjejer dari utara ke selatan, hampir sepanjang sungai. Lima

meter di sebelah kanan saya, di sana ada satu pohon alpukat yang tak lagi tumbuh,

dan dua pohon pepaya yang telah ditebang, ketiganya berada di samping kolam

yang ikannya tidak begitu banyak. Dari sudut penglihatan saya, di belakang jajaran

pohon pisang yang ada sekitar satu meter di depan saya, terdapat kandang merpati,

ini merupakan burung-burung yang dipelihara paman saya. Mari kita melakukan

abstraksi dari pengamatan ini.

a) Tahap Pertama

Terdapat tujuh pohon pisang di depan saya, mari kita namai pohon itu dengan

Ppn dengan n mewakili urutan pohon pisang itu dari kiri ke kanan, maka kita dapati

Pp1 hingga Pp7. Tiga pohon pisang yang memiliki tinggi sekitar 2,5 meter kita sebut

sebagai Pp1, Pp2 dan Pp3; dua yang memiliki tinggi satu meter lebih, kita sebut Pp4

dan Pp5, dua pohon pisang yang hampir layu kita sbeut Pp6 dan Pp7. Kita dapat

membagi tujuh pohon pisang ini menjadi tiga kelompok berdasarkan tinggi.

Kelompok tertinggi, dengan tinggi rerata 2,5 meter, kelompok tengah, yakni satu

meter lebih, dan kelompok terendah, yakni satu meter. Kita dapat membagi pohon

tersebut menjadi dua kelompok lain, yakni pohon pisang yang layu dan masih

hidup, pohon pisang yang hampir layu adalah Pp6 dan Pp7, sedangkan sisanya,

yakni Pp1 hingga Pp5 masih tumbuh. Kita dapat pula membagi menjadi mana pohon

pisang yang berbuah dan yang tidak atau belum berbuah; dalam hal ini, hanya satu

pohon, yakni Pp3, yang lainnya entah hampir layu ataupun masih terlalu muda. Dan

kita dapat terus melakukan strategi pembedaan ini seterusnya, dengan mencatat,

misalnya, jumlah daun, diameter pohon dan faktor-faktor lainnya.

Page 191: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

177

Apa yang dapat kita temukan dalam abstraksi ini? Prinsip modulasi eksistensi

adalah prinsip perbedaan dan prinsip persamaan. Di depan saya terdapat tujuh

pohon pisang, saya dapat membedakan ketujuhnya dengan mendaftar ciri masing-

masing pohon, melihat tingginya atau dari watak lainnya. Di sisi lain, ketujuhnya

memiliki nama yang sama, yakni pohon pisang. Ini adalah prinsip modulasi

pertama: persamaan, sekaligus perbedaan. Persamaan di antara ketujuhnya adalah

bahwa semuanya merupakan pohon pisang; perbedaan di antaranya disebabkan

oleh ciri dari masing-masing pohon yang ada. Faktor Pp merupakan faktor

persamaan antara ketujuhnya, sementara faktor n merupakan faktor pembeda di

antara ketujuhnya. Bagaimana akal saya dapat menyatakan bahwa ketujuhnya

sama-sama merupakan pohon pisang, sembari di sisi lain menyatakan bahwa

ketujuhnya berbeda satu sama lain?

Dengan menggunakan istilah yang kita gunakan dalam penelitian ini, kita dapat

menyatakan bahwa, esensi (mahiyah) ketujuh pohon tersebut sama, yakni Pp; yang

membedakan ketujuhnya adalah keberadaan dari mereka dan ciri-ciri partikular

yang ada, yang kita sebut n. Terdapat suatu esensi (mahiyah) kepohonpisangan,

atau gagasan mengenai ‘pohon pisang’ yang memampukan kita untuk melihat

bahwa sesuatu merupakan pohon pisang atau bukan; saya tidak melihat pohon

pisang di depan saya, misalnya sebagai pohon rambutan. Saya telah mengetahui

definisi pohon pisang, misalnya, “pohon pisang adalah pohon yang membuahkan

pisang, bukan lainnya” dan saya juga telah menambahkan definisi tersebut setiap

kali melihat pohon pisang dalam realitas dan keseharian saya, misalnya, pohon

pisang memiliki kulit dengan tekstur demikian dan demikian.

Inilah yang disebut sebagai forma, atau universal pohon pisang, Pp. Akal kita

memahami universal ini, dan ketika kita mengindera suatu hal partikular, misalnya

saya, saya dapat mengenali bahwa “ini adalah pohon pisang, ini bukan red velvet”.

Dalam pelajaran bahasa, bahkan dari sekolah dasar, kita sudah memahami apa yang

disebut dengan kata umum dan kata khusus. Pelajaran bahasa Indonesia yang

sederhana ini nyatanya merupakan suatu deskripsi Platonis atas realitas. Ketika saya

masih berada di bangku sekolah dasar, ini merupakan salah satu soal yang masih

saya ingat, “Sebutkan kata khusus dari bunga!” Jawaban bagi pertanyaan ini

Page 192: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

178

misalnya adalah: bunga mawar, bunga melati, bunga sepatu. Kata umum adalah sisi

universal, kata khusus adalah sisi partikular. Kita dapat menamai ini pula sebagai

perbedaan antara genus dan spesies, hal ini kita temui dalam pelajaran ilmu

pengetahuan alam, yang hakikatnya sama dengan pelajaran bahasa indonesia.

Genus mencakup spesies sebagaimana universal mencakup partikular atau kata

umum mencakup kata khusus. “Bunga” adalah genus dari spesies “bunga mawar”,

“bunga melati” dan “bunga sepatu.” Maka, kita dapat mengambil kesimpulan

sementara bahwa faktor persamaan di sini diwakili oleh: genus, universal, dan kata

umum, sementara faktor perbedaan di sini diwakili oleh: spesies, partikular, dan

kata khusus. Mari kita lanjutkan abstraksi kita pada tahap berikutnya.

b) Tahap Kedua

Mari kita kembali kepada pengalaman saya duduk di samping rumah. Kita telah

mengamati pohon pisang yang ada di hadapan saya, kini mari kita melihat pohon

lainnya. Terdapat jajaran pohon bambu di sepanjang sungai, di desa saya, sungai

ini diberi nama sungai Jurig, konon terdapat banyak makhluk gaib yang terkadang

menampakkan diri, saya sendiri belum pernah melihat salah satunya. Di sebelah

kolam, terdapat pula beberapa pohon, yakni pohon alpukat dan pohon pepaya. Nah,

kita telah mengamati bahwa terdapat banyak pohon di sini: pohon pisang, pohon

alpukat, pohon pepaya, dan pohon bambu. Maka, mari kita ulangi lagi strategi kita

untuk mencari prinsip persamaan dan perbedaan.

Pohon pisang telah kita namai sebagai Pp, mari kita namai pohon yang lain.

Pohon bambu kita namai Pb, pohon pepaya kita namai Ppy, pohon alpukat kita

namai Pa. Faktor yang menjadikan pohon-pohon tersebut berbeda adalah faktor

partikular dari masing-masing pohon, dan yang menjadikan pohon-pohon tersebut

sama ialah gagasan mengenai ke-pohon-an; mari kita sebut P sebagai gagasan

kepohonan. Maka, empat pohon tersebut dapat kita lihat dari faktor persamaan dan

perbedaan ini menjadi: P+p, P+b, P+py dan P+a. P adalah universal kepohonan

yang dibedakan dengan partikular masing-masing pohon. Kita dapat mengulang

contoh soal bahasa indonesia tadi menjadi “Sebutkan kata khusus dari pohon” dan

menjawabnya menjadi pohon pisang (P+p), pohon pepaya (P+py), pohon bambu

(P+b) dan pohon alpukat (P+a). Apa yang membedakan abstraksi tahap kedua ini

Page 193: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

179

dengan tahap pertama? Ya, kita mendapati universal yang lebih abstrak. Jika

seseorang menyebut ‘pohon pisang’ kita dapat membayangkan, dalam pikiran kita,

satu contoh dari universal ini, dengan ciri-ciri fisik tertentu; ia memiliki batang,

mungkin jantung sekaligus pisangnya. Tetapi jika seseorang menyebut ‘pohon’

saja, kita tidak dapat menggambarkannya dengan cara itu. Inilah yang disebut oleh

Ibn Sina dengan perbedaan antara universal natural dan universal per se. Pada

contoh universal natural, kita dapat membayangkan satu pohon pisang, tetapi pada

universal, kita tidak dapat membayangkan ciri partikular. Kita telah bergerak dari

sesuatu yang lebih konkret ke sesuatu yang lebih abstrak, dari universal natural ke

universal per se, ketika bergerak dari universal Pp ke universal P. Mari kita masuk

ke tahap berikutnya dari abstraksi ini.

c) Tahap Ketiga

Dari samping rumah saya, saya tidak hanya melihat pohon. Saya juga melihat

kandang burung, kolam, ikan, kerikil, rumah paman saya, dan ketika melihat ke

atas, langit pagi yang agak cerah namun menyimpan tanda-tanda mendung, karena

beberapa hari ini hujan deras selalu ada. Semua hal tersebut ada di hadapan saya:

rumah, kandang, pohon, kerikil, ikan. Saya yakin, saya dapat menjamin bahwa

semua itu ada, seyakin saya dapat menjamin bahwa di depan saya tidak ada Irene,

Wendy, Seulgi, Yeri dan Joy dari Red Velvet, mereka tidak ada di sini, mereka ada

di korea selatan sana. Saya juga tahu pasti bahwa UIN Jakarta tidak ada di sini,

tetapi ada di Ciputat sana. Ini adalah pemahaman fenomenal saya akan sesuatu yang

ada dan tidak ada, pemahaman saya akan ada dan tidak ada. Segala sesuatu yang

telah saya sebut tadi adalah segala sesuatu yang ada, bahkan meskipun tidak ada di

sini, saya yakin ia ada di suatu tempat sana, atau bahkan mungkin ada di pikiran

saya atau imajinasi saya. Dalam abstraksi ini, kita dapat memahami bahwa faktor

yang membuat segala hal tersebut sama adalah bahwa semuanya ada; dan faktor

yang membuat mereka berbeda adalah ciri masing-masing atau watak masing-

masing dari hal tersebut. Ada, atau eksistensi (wujud), karenanya merupakan faktor

yang membuat segala sesuatu itu sama, di sisi lain, esensi (mahiyah) mereka adalah

hal yang membuat mereka berbeda.

Page 194: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

180

d) Penjelasan Filosofis

Kita telah melihat dalam pembuktian di atas, prinsip perbedaan dan persamaan.

Pada tahap pertama, kita mendapati bahwa prinsip persamaan yang ada ialah esensi

(mahiyah), atau universal Pp, dan prinsip persamaan yang ada ialah keberadaan

partikular n. Pada tahap kedua, kita mendapati prinsip persamaan yang ada ialah

esensi (mahiyah), atau universal P, dan prinsip perbedaan yang ada ialah py, a, b

dan p: P+py, P+a, P+b, dan P+p. Pada tahap ketiga, kita mendapati prinsip

persamaan yang ada ialah eksistensi (wujud), atau keberadaan, mari kita sebut Ek,

sementara yang menjadi prinsip perbedaan adalah watak partikular dari hal-hal

yang disebut. Gagasan konseptual atas Ek inilah yang disebut sebagai eksistensi

(wujud) pada level konseptual. Kita tahu pasti bahwa semua hal di atas ada, pada

level fenomenal, tetapi ketika kita ditanya, lalu apa yang membuat mereka semua

sama? Lalu, apa itu maksud dari pernyataan bahwa semuanya eksis, semuanya ada?

Ini adalah pertanyaan yang amat sulit dijawab. Kita hanya tahu pasti bahwa

semuanya ada, tetapi apa sebenarnya yang sama di antara mereka? Ketika kita

menyebut bahwa pohon itu ada, burung itu ada, saya itu ada, red velvet itu ada, apa

maksud dari ada di sini? Bagaimana dua hal yang begitu berbeda, seperti batu dan

red velvet, sama-sama dikatakan ada, sama-sama eksis? Batu ini eksis, saya eksis;

di satu sisi, kedua hal ini sama-sama eksis, tetapi di sisi lain, saya juga tidak dapat

berkata bahwa saya dan batu adalah dua hal yang sama, atau bahwa manusia dan

seekor sapi adalah hal yang sama meskipun keduanya eksis. Di satu sisi, sama, di

sisi lain berbeda. Ini adalah prinsip modulasi yang paling penting: eksistensi

(wujud) merupakan prinsip pembedaan sekaligus prinsip persamaan dalam segala

sesuatu. Dengan contoh di atas, setidaknya kita telah melihat gambaran umum dari

prinsip ini. Mari kita merangkum penjelasan mengenai prinsip persamaan dan

prinsip perbedaan dengan tabel berikut.

Tabel D. Prinsip Persamaan & Perbedaan

Tahap Abstraksi Prinsip Persamaan Prinsip Perbedaan

Tahap Pertama Pp n

Tahap Kedua P b/a/py/p

Tahap Ketiga Ek Es

Page 195: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

181

Dengan melihat tabel ini, kita dapat menyimpulkan bahwa prinsip

persamaan selalu lebih umum dibandingkan dengan prinsip perbedaan. Gagasan Pp

lebih umum dibandingkan dengan Pp+n; gagasan P lebih umum dibandingkan

dengan P+b/a/py/p, gagasan eksistensi (wujud) lebih umum dibandingkan dengan

esensi (mahiyah). Prinsip persamaan memiliki watak universal atau mencakup,

sementara prinsip perbedaan memiliki watak partikular atau tercakup. Ini yang

dimaksud dengan definisi: memadukan antara prinsip yang lebih umum dengan

prinsip yang lebih khusus untuk mencapai makna dari sesuatu. Pada tahap pertama,

kita mendapati Pp sebagai suatu universal natural yang mencakup n sebagai suatu

kasus partikular, pada tahap kedua, kita mendapati univesal P yang mencakup

esensi (mahiyah) b/p/py/p, masing-masingnya merupakan universal natural; pada

tahap ketiga, kita mendapati eksistensi (wujud) mencakup esensi (mahiyah); dengan

penalaran ini, eksistensi (wujud) nampak memiliki kemencakupan universal,

sedangkan esensi (mahiyah) memiliki watak ketercakupan partikular. Persisnya,

poin terakhir inilah yang justru bertentangan dengan prinsip modulasi eksistensi.

Pada bab 4 kita akan membahas hal ini lebih rinci. Di sini, kita dapat mengatakan

bahwa, sebaliknya, eksistensi (wujud), yakni realitas eksistensi (wujud), tidaklah

berwatak mencakup sebagaimana universal mencakup yang partikular. Dan bahwa

prinsip perbedaan itu tidak diwakili oleh esensi (mahiyah), melainkan eksistensi

(wujud) sendiri. Prinsip modulasi eksistensi adalah prinsip di mana eksistensi

(wujud) menjadi prinsip perbedaan sekaligus prinsip perbedaan. Apa yang

dimaksud dengan hal ini? Sebelum menjawabnya, mari kita kembali pada

pembuktian fenomenologis kita untuk membuktikan bahwa rumusan prinsip

perbedaan dan persamaan pada tahap ketiga merupakan kekeliruan.

Ketiga tahapan ini, perlu dicatat, merupakan tahapan abstraksi, yakni berada

pada level konseptual pemahaman kita. Pada tahapan pertama, kita membedakan

dua aspek, yakni aspek persamaan dan perbedaan, dari pengalaman kita mengamati

pohon pisang. Pengalaman mengamati pohon pisang itu sendiri berada pada level

fenomenal, sebagaimana kita dalam keseharian kita mengamati segala sesuatu yang

bisa diamati; level konseptual pemahaman kita dimulai ketika kita mencari aspek

Page 196: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

182

persamaan dan perbedaan ini. Pada percakapan sehari-hari, kita umumnya tidak

menanyakan hal-hal yang terkesan absurd seperti ini: “Mengapa ini disebut pohon

pisang? Dan mengapa pohon pisang yang ini bukan pohon pisang yang itu?” lalu

dilanjutkan dengan “Apa sebenarnya yang menyebabkan suatu pohon pisang

disebut pohon pisang?” Dalam keseharian kita, kita telah menerima dengan begitu

saja gagasan-gagasan ini. Atau, persisnya, kita mengenali pohon pisang secara

empiris, bahkan mungkin sebelum kita mengetahui bahwa suatu pohon disebut

pohon pisang. Andaikan bahwa pelajaran mengenai nama-nama tumbuhan baru kita

peroleh pada kelas 2 SD, sebelum pelajaran tersebut, kita telah mengetahui, kita

telah mengindera suatu pohon yang suatu saat kita ketahui bernama pohon pisang.

Karena itulah, esensi (mahiyah), atau gagasan kepohonpisangan, Pp, diketahui

belakangan; kita tidak disyaratkan untuk mengetahui esensi (mahiyah) ini untuk

mengalami keberadaan pohon pisang. Pengamatan ini memberikan suatu bukti

filosofis bagi pernyataan bahwa agar sesuatu eksis, ia tidak memerlukan esensi

(mahiyah) terlebih dahulu.

Pada ketiga tahapan tersebut, kita telah mengetahui prinsip atau faktor yang

menjadikan beberapa hal sama, dan bahwa prinsip perbedaan ini mengharuskan

watak kemencakupan. Universal natural mencakup kasus partikular, universal

mencakup universal natural, dan terakhir, eksistensi (wujud) mencakup esensi

(mahiyah). Terdapat relasi mencakup dan tercakup di dalamnya. Prinsip persamaan

adalah prinsip mencakup, prinsip perbedaan adalah prinsip tercakup. Namun,

eksistensi (wujud) tidak mencakup segala sesuatu sebagaimana universal mencakup

partikular, atau genus mencakup spesies. Bagaimana kita membuktikannya?

Pada tahapan ketiga, kita mendapati bahwa apa yang membuat segala hal

sama adalah aspek keberadaan, atau eksistensinya: hal hal tersebut semuanya ada.

Ini adalah prinsip persamaan. Lalu, apa yang membuat masing-masing halnya

berbeda? Misalnya, apa yang membuat eksistensi (wujud) manusia dan sapi

berbeda? Jika pertanyaan ini diajukan, maka jawabannya adalah: eksistensi (wujud)

berfungsi menjadi prinsip persamaan, sedangkan esensi (mahiyah) menjadi prinsip

pembedaan. Namun apakah benar begitu? Pertanyaan yang kita ajukan adalah

pertanyaan abstrak, ia bertanya mengenai dua universal, yakni kemanusiaan dan

Page 197: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

183

kesapian. Jika pertanyaan kita dibuat menjadi lebih spesifik, hal ini tidak akan

terjadi. Misalnya, “Saya dan sapi sama-sama eksis, apa yang membedakan

eksistensi (wujud) saya, sebagai saya, dan sapi ini, yakni, bukan sapi yang lain?”

atau, kita membuatnya menjadi lebih spesifik, “Saya dan anda sama-sama manusia,

lalu apa yang membuat kita berbeda, meskipun kita sama-sama manusia?” jawaban

ini nampaknya sulit dijawab dengan penjelasan konseptual, karenanya, terdapat

beberapa metafor yang digunakan untuk menjawab pertanyaan ini. Metafor paling

terkenal adalah metafor mengenai cahaya.

Kita mengetahui bahwa terdapat banyak cahaya, ada cahaya matahari, cahaya

lampu, cahaya lilin, cahaya kunang-kunang. Semuanya sama-sama cahaya, lalu apa

yang membedakan cahaya-cahaya tersebut? Yang membedakannya adalah

intensitas, yakni keterangan dan keredupan. Jadi, apa yang membuat semua cahaya

itu sama-sama disebut cahaya adalah karena mereka adalah cahaya, dan juga, apa

yang membuat cahaya mereka berbeda satu sama lain adalah juga karena cahaya.

Dalam hal ini, cahaya sekaligus menjadi prinsip persamaan dan perbedaan. Prinsip

modulasi eksistensi memiliki watak serupa. Apa yang membuat saya dan sapi sama-

sama eksis adalah eksistensi (wujud), dan apa yang membuat eksistensi (wujud)

saya dan sapi berbeda adalah eksistensi (wujud) juga. Apa yang membuat segala

sesuatu eksis, adalah eksistensi (wujud), apa yang membuat eksistensi (wujud)

masing-masing sesuatu berbeda adalah eksistensi (wujud) juga. Ini adalah prinsip

modulasi eksistensi. Mari kita menutup bab ini dengan kutipan dari Mulla Sadra

sendiri mengenai modulasi eksistensi ini:

“Hakikat eksistensi (wujud) yang mencakup segala hal yang eksis tidaklah

sama seperti suatu konsep universal mencakup partikular-partikular.

Sebagaimana telah kami beritahu, hakikat eksistensi (wujud) bukanlah sebagai

genus, spesies, bukan pula aksiden, karena ia bukanlah universal natural.

Justru, kemencakupannya memiliki watak lain, yang tidak dapat diketahui

kecuali oleh para ‘arif, mereka yang “kuat pengetahuannya.”8

8 “The reality of wujud being comprised of existing things is not like a universal concept being

comprised of particulars and its holding valid for them. As we have already informed you, the reality

of wujud is not a genus, nor a species, nor an accident, since it is not a natural universal (kulli tabi’i).

Rather, its comprising is of another kind, which is not known except by gnostics, those who are

“firm in knowledge”.” Masha’ir, ¶ 12, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab

al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham

Young University Press, 2014) h. 9.

Page 198: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

184

B. Struktur al-Masha’ir

Setelah pada bab II kita membahas bagaimana konteks intelektual dan

historis di mana Mulla Sadra sebagai seorang sosok historis hadir dan terbentuk,

termasuk pembahasan mengenai tahap-tahap intelektual, sosok-sosok yang

mengiringi Sadra dalam proses intelektual-filosofis ini, serta sosok-sosok yang

pada akhirnya meneruskan tradisi filosofis Sadra, ditutup dengan keterangan

mengenai karya-karya Mulla Sadra; dan pada bab III kita telah membahas pula

bagaimana gagasan yang paling utama dalam keseluruhan bangunan filosofis-

metafisis Sadra, yakni gagasan mengenai eksistensi (wujud), berupaya melacaknya

dari tradisi filsafat yang paling awal, yakni Aristoteles sendiri, hingga pewarisannya

kepada generasi peripatetik Islam, terutama Farabi dan Ibn Sina, lalu

diproblematisir oleh Suhrawardi, yang menjadi konteks formatif paling langsung

bagi horizon metafisis Sadra, dan keberlanjutan yang bisa disebut tidak langsung

pada mazhab Akabriyyun dari tradisi peripatetik yang akhirnya dipadukan oleh

Mulla Sadra sebagai sintesis besar filsafat pada masanya, kita akhirnya sampai

kepada pembahasan terakhir dalam penelitian ini. Seperti yang telah disinggung

pada bab-bab sebelumnya, terutama bab II, teks pokok yang diambil oleh penelitian

ini adalah Kitab al-Masha’ir, yang merupakan salah satu karya filosofis-metafisis

Sadra paling dewasa, dan yang bisa disebut sebagai ringkasan dari metafisika

eksistensial Sadra yang dibahas lebih rinci pada magnum opus-nya, Asfar.

Bab ini tidak berpretensi untuk mengkaji Kitab al-Masha’ir hingga titik

paling rinci. Tidak pula dimaksudkan sebagai suatu terjemah indonesia bagi kitab

ini. Dua hal ini tidak dapat kami laksanakan karena keterbatasan waktu dan tempat,

serta kemampuan dari penulis sendiri. Tujuan dari penelitian ini tercapai jika ia

dapat menjadi suatu pengantar umum bagi pembaca, sehingga pembaca memiliki

ketertarikan lebih jauh untuk mengkaji salah satu teks metafisis yang canggih dan

tak pernah lekang dimakan zaman ini. Strategi kami dalam mengkaji teks ini, dalam

bab ini, ialah dengan memilah, dari Kitab al-Masha’ir, poin-poin (yang dalam

konteks ini adalah paragraf, ¶) yang ada dalam kitab ini, yang sebagian besarnya

telah diterangkan pada bab III. Karenanya, posisi dari bab IV ini adalah posisi

verifikatif atas apa yang telah diterangkan pada bab III. Atau, persisnya, setelah kita

meninjau, dalam bab III, persoalan mengenai eksistensi (wujud) dengan

Page 199: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

185

mengandaikan pemikiran filosofis Sadra, pada bab ini kita akan melihat bagaimana

Mulla Sadra menanggapi persoalan-persoalan tersebut, memasukkannya dalam

kerangka persoalan yang baru, memberikan pemecahan-pemecahan filosofisnya,

dengan kata-katanya sendiri.

Dengan pertimbangan itu, apa yang akan kami lakukan pada bab IV ini adalah

menerjemahkan sebagian paragraf dari Kitab al-Masha’ir, menempatkannya dalam

konteks persoalan yang telah dibahas pada bab III, dan menganalisis argumen-

argumen yang ditawarkan Sadra. Karenanya, bab ini dibagi menjadi tiga sub-bab:

Konsep dan Realitas Eksistensi, di mana apa-apa yang dibahas dalam bab tiga

ditinjau ulang, utamanya terkait dengan posisi filosofis dari beberapa filsuf;

Struktur al-Masha’ir, yang bertujuan untuk menjelaskan bagaimana susunan

argumen Mulla Sadra dalam kitab ini; Prinsip Metafisika Eksistensial, di dalamnya

kami hadirkan argumen-argumen Sadra yang telah kami pilih dan sesuaikan dengan

persoalan eksistensi (wujud) sebagaimana telah dibahas pada bab III dan

pertimbangan lain, seperti kelengkapan argumen Sadra sendiri, dan signifikansinya

dalam teks ini dan keseluruhan metafisika eksistensial Mulla Sadra sendiri.

Berikut adalah struktur dari Kitab al-Masha’ir:

Tabel Isi Bab Masha’ir

BAB/SUB-BAB PARAGRAF (¶)

Pengantar ¶ 1-4

Penembusan Pertama ¶ 5-11

Penembusan Kedua ¶ 12-14

Penembusan Ketiga ¶ 15-37

I. Kesaksian Pertama ¶ 16-21

II. Kesaksian Kedua ¶ 22

III. Kesaksian Ketiga ¶ 23

IV. Kesaksian Keempat ¶ 24-26

V. Kesaksian Kelima ¶ 27-30

VI. Kesaksian Keenam ¶ 31-33

VII. Kesaksian Ketujuh ¶ 34-35

Page 200: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

186

VIII. Kesaksian Kedelapan ¶ 36-37

Penembusan Keempat ¶ 38-68

I. T&J Pertama ¶ 39-40

II. T&J Kedua ¶ 41-42

III. T&J Ketiga ¶ 43-50

IV. T&J Keempat ¶ 51-52

V. T&J Kelima ¶ 53-55

VI. T&J Keenam ¶ 56-58

VII. T&J Ketujuh ¶ 59-66

VIII. T&J Kedelapan ¶ 67-68

Penembusan Kelima ¶ 69-80

Penembusan Keenam ¶ 81-88

Penembusan Ketujuh ¶ 89-101

I. Kesaksian Pertama ¶ 89-92

II. Kesaksian Kedua ¶ 93

III. Kesaksian Ketiga ¶ 94

IV. Kesaksian Keempat ¶ 95

V. Kesaksian Kelima ¶ 96-97

VI. Kesaksian Keenam ¶ 98-99

VII. Kesaksian Ketujuh ¶ 100

VIII. Kesaksian Kedelapan ¶ 101

Penembusan Kedelapan ¶ 102-141

Penutup ¶ 142-150

Kitab al-Masha’ir, yang kami gunakan sebagai teks pokok dalam penelitian

ini adalah Kitab yang telah diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr ke dalam

bahasa inggris. Nasr menerjemahkan judul kitab ini menjadi Metaphysical

Penetrations. Berdasarkan beberapa pertimbangan maknawi, kami menerjemahkan

judul ini ke bahasa indonesia menjadi Penembusan-Penembusan Metafisik. Nasr

menerjemahkannya menjadi Metaphysical Penetrations berdasarkan pertimbangan

dari Mulla Sadra sendiri dalam kitab ini, persisnya dalam ¶ 4:

Page 201: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

187

“Saya telah menyusun risalah ini atas dasar sebuah pengantar dan dua

pemberhentian, masing-masingnya terdiri dari penembusan-penembusan

metafisis. Saya menamainya demikian karena hubungan antara yang tampak dan

yang terwujud, yang terbuka dan yang rahasia.”9

Kami menerjemahkan masha’ir sebagai penembusan, meng-ikuti terjemahan

dari Nasr dan Corbin, dan dengan anjuran dari Sadra sendiri dalam pernyataan di

atas, penembusan bermakna hubungan antara yang nampak dan yang terwujud,

yang terbuka dan yang rahasia. Artinya, karya ini dimaksudkan oleh Mulla Sadra

sebagai sesuatu yang dapat membantu pembaca untuk menembus apa-apa yang ada

di balik sesuatu, yakni yang tampak dan terbuka, menuju apa yang wujud dan

rahasia.10

Kitab al-Masha’ir tersusun dari 150 paragraf, yang dihitung dari pengantar

hingga penutup. Ia dibagi menjadi delapan bab besar berjudul penembusan. Pada

beberapa penembusan, ia dibagi lagi menjadi beberapa sub-bab. Penembusan

Ketiga dibagi menjadi delapan sub-bab yang diberi judul kesaksian, begitu pula

Penembusan Ketujuh. Penembusan Keempat memiliki struktur paling berbeda, ia

merupakan kumpulan tanya jawab imajiner antara Mulla Sadra dan pihak yang

berseberangan dengannya; Penembusan Keempat mencakup delapan pertanyaan

dan jawaban Sadra atasnya. Berikut adalah sinopsis singkat dari masing-masing

bab:

Pengantar. Mulla Sadra memulai karya ini dengan mengucap syukur kepada

Allah, dan memuji Rasulullah, sebagaimana tradisi tulisan filsafat dalam Islam.

Kemudian merendahkan dirinya, sebagai seorang yang paling banyak melakukan

dosa. Kemudian dilanjutkan dengan ajakan Sadra kepada para pembaca untuk

bersama-sama melakukan perenungan atas apa yang ia tulis. Bahwa karya ini ditulis

untuk mereka yang memiliki watak yang sesuai dengannya. Dan ditutup dengan

9 “I have composed this treatise on the basis of an introduction and two stations, each one of which

consists of metaphysical penetrations (masha’ir). I have called them such because of the relationship

between the apparent and the manifested, the open and the secret. I say this, asking God’s aid and

support from the people of His dominion.” Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations,

Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah:

Brigham Young University Press, 2014) h. 3. 10 Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha'ir: A Parallel English-

Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.

xxxvii.

Page 202: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

188

pernyataan mengenai betapa pentingnya persoalan eksistensi (wujud), yang ia bahas

di dalamnya.

Penembusan Pertama. Dalam bab ini, Mulla Sadra menyatakan bahwa

eksistensi (wujud) merupakan sesuatu yang tak dapat didefinisikan karena

terangnya maksud dari eksistensi (wujud) sendiri. Meskipun begitu, esensi

(mahiyah) dari eksistensi (wujud) merupakan yang paling tersembunyi. Ia

menerangkan alasan mengapa eksistensi (wujud) tak dapat didefinisikan.

Penembusan Kedua. Di sini, Mulla Sadra menjelaskan bagaimana watak dari

kemencakupan eksistensi (wujud), di mana watak kemencakupan ini berbeda dari

watak kemencakupan genus atau universal.

Penembusan Ketiga. Mulla Sadra dalam bab ini menjelaskan prinsip-prinsip

mengapa eksistensi (wujud) merupakan hal yang utama dalam kenyataan, bukan

esensi (mahiyah). Terdapat delapan sub-bab, atau kesaksian, yang tersusun dari

argumen-argumen Sadra untuk membuktikan hal ini.

Penembusan Keempat. Dalam bab ini, terdapat delapan persoalan mengenai

eksistensi (wujud) yang diajukan oleh mereka yang meragukan primasi dan realitas

eksistensi (wujud) dan jawaban Sadra atas keragu-raguan mereka.

Penembusan Kelima. Pada bab ini, Mulla Sadra menyatakan bahwa

persoalan-persoalan mengenai eksistensi (wujud), relasinya dengan eksistensi

(wujud), muncul karena para filsuf tidak dapat membedakan konsep dan realitas

eksistensi (wujud).

Penembusan Keenam. Mulla Sadra membahas apa yang dimaksud dengan

pernyataan aksidentalitas eksistensi (wujud).

Penembusan Ketujuh. Di sini, Mulla Sadra memperkuat poin-poin yang

telah ia buat pada penembusan-penembusan sebelumnya dan menjelaskan secara

singkat modulasi eksistensi.

Penembusan Kedelapan. Dalam bab terakhir ini, Mulla Sadra menerapkan

prinsip eksistensi (wujud) dalam level teologis.

Page 203: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

189

Penutup. Mulla Sadra menutup karya ini dengan mengaitkan konsep

eksistensi (wujud) dengan emanasi.

Dari delapan penembusan tersebut, kami akan berupaya menggambarkan

prinsip metafisika eksistensial Mulla Sadra. Seperti yang telah disebut, ini

merupakan afirmasi atau penegasan dan penjelasan atas posisi Mulla Sadra dalam

konteks persoalan eksistensi (wujud) sebagaimana telah dibahas pada bab

sebelumnya. Maka, kami akan memasukkan delapan penembusan di atas dan

merangkumnya dalam tiga sub-bab Prinsip Metafisika Eksistensial, yakni.

Primasi eksistensi. Pertama, kita akan membahas pernyataan Mulla Sadra

mengenai pentingnya persoalan eksistensi (wujud) yang ia sebut dalam pengantar,

ditambah dengan pembahasan dalam penembusan pertama dan kedua mengenai

bagaimana eksistensi (wujud) tidak perlu didefinisikan dan bagaimana watak

kemencakupan eksistensi (wujud). Kemudian, berdasarkan apa yang telah kita

bahas pada bab sebelumnya, kita akan melihat bagaimana Mulla Sadra, dalam

penembusan ketiga dan keempat mengambil posisi dalam persoalan primasi ini.

Relasi eksistensi-esensi. Di sini, akan dibahas bagaimana, dalam

penembusan kelima, konsep dan realitas eksistensi (wujud) dijadikan prinsip oleh

Mulla Sadra dalam menjelaskan persoalan eksistensi (wujud) dan khususnya

relasinya dengan esensi (mahiyah). Dan dalam penembusan keenam dimana Mulla

Sadra menyatakan pendapatnya mengenai aksidentalitas eksistensi (wujud).

Modulasi eksistensi. Berbeda dari dua pembahasan sebelumnya, prinsip

modulasi eksistensi dalam Masha’ir tidak memiliki satu bab atau sub-bab khusus,

karenanya, di sini kita akan melihat bagaimana prinsip ini dijelaskan oleh Mulla

Sadra di sepanjang Masha’ir.

Dalam penembusan kedelapan, Mulla Sadra menerapkan prinsip-prinsip

metafisika eksistensial pada persoalan teologis seperti pemaknaan atas Eksistensi

Niscaya, pembahasan mengenai watak al-Qur’an, teori mengenai tindakan Tuhan,

mengenai jiwa, sifat dan nama Tuhan dan juga emanasi. Beberapa poin tersebut

berada di luar cakupan penelitian ini yang memusatkan diri pada pembahasan

Page 204: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

190

metafisika eksistensial, yakni pembahasan ontologis dari filsafat Mulla Sadra.

Namun, beberapa poin terkait modulasi akan dibahas.

C. Prinsip Metafisika Eksistensial

1. Primasi Eksistensi

a. Pengantar, Penembusan Pertama & Penembusan Kedua

Sadra mengawali pembahasan primasi eksistensi mulai dari pengantar, yakni di

¶ 4, berikut pernyataannya:

“Karena persoalan mengenai eksistensi (wujud) merupakan dasar dari

prinsip-prinsip filosofis, landasan dari persoalan-persoalan metafisis, dan

kutub yang disekitarnya berputar ilmu mengenai tauhid, ilmu eskatologi, ilmu

mengenai kebangkitan jiwa dan badan, dan hal-hal lainnya yang baru kamilah

yang dapat menjelaskannya dan satu-satunya pihak yang menerangkan makna

mereka, siapapun yang abai akan pengetahuan mengenai eksistensi (wujud),

keabaiannya berada pada pembahasan yang paling penting dari segala

pembahasan dan yang paling agung di antaranya; dan ia akan melalaikannya

dan mengenai rahasaia-rahasaia pengetahuan Ilahi [...]”11

Dalam sub-bab sebelumnya, kita telah melihat bagaimana primasi eksistensi

dibuktikan pada tiga level, yakni level fenomenal atau pra-konseptual, level

konseptual dan level transendental; ini merupakan pernyataan Sadra yang

menetapkan bahwa bahkan pada level filosofis, yakni diskursus filsafat dan

metafisika, eksistensi (wujud), yakni persoalan eksistensi (wujud) menempati posisi

paling tinggi. Bahwa eksistensi (wujud) merupakan persoalan utama yang dibahas

dalam filsafat Sadra merupakan suatu hal yang disepakati oleh semua peneliti, hal

ini dapat pula kita buktikan dalam penelitian ini. Sebagaimana dinyatakan Sadra

dalam kutipan di atas, persoalan mengenai eksistensi (wujud) merupakan dasar dari

segala persoalan filosofis, dari metafisika, psikologi, eskatologi hingga teologi dan

kosmologi. Dalam Masha’ir, tidak semua hal ini dibahas, dan beberapa di antaranya

hanya dibahas sekilas oleh Sadra, jika seseorang ingin melihat argumentasi Mulla

Sadra yang lengkap, maka ia harus membaca Asfar.

Salah satu alasan mengapa penelitian ini diberi judul Metafisika Eksistensial

ialah karena metafisika Mulla Sadra berkisar dalam persoalan mengenai eksistensi

11 Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha'ir: A Parallel English-

Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 3-

4.

Page 205: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

191

(wujud). Persoalan eksistensi-esensi, primasi, modulasi, kesemuanya merupakan

dasar dari argumen-argumen Mulla Sadra dalam menjawab permasalahan filosofis

lainnya, hal ini akan kita coba buktikan secara bertahap. Kini mari kita melihat

bagaimana Sadra menyatakan posisinya terkait primasi eksistensi pada level-level

lainnya.

Penembusan pertama hingga penembusan keempat merupakan bab dalam

Masha’ir yang secara rinci membahas persoalan primasi eksistensi, dimulai dari ¶

5 dalam penembusan pertama:

“Kenyataan dari eksistensi (wujud) merupakan kenyataan yang paling

nampak dari segala sesuatu melalui kehadiran dan penyingkapan, dan

esensinya merupakan yang paling tersembunyi di antara hal-hal secara

konseptual. Dari segala sesuatu, konsep mengenainya merupakan sesuatu yang

paling tidak perlu didefinisikan karena kenampakan dan kejelasannya, dan

karena ia menjadi yang paling umum di antara semua konsep dalam

kemencakupannya. Identitasnya ialah yang paling partikular dari semua hal

partikular, baik dalam ketentuan dan kekonkretannya, karena melaluinya

segala sesuatu menjadi konkret, segala sesuatu yang wujud terwujud, dan

segala sesuatu yang jelas menjadi jelas dan partikular [...]”12

Ada beberapa poin yang disampaikan Sadra dalam kutipan di atas. Pertama,

bahwa kenyataan eksistensi (wujud) merupakan kenyataan yang paling nampak dari

segala sesuatu melalui kehadiran dan penyingkapan. Yang dimaksud sebagai

kehadiran dan penyingkapan ini adalah kehadiran eksistensi (wujud) dalam level

fenomenal.13 Eksistensi (wujud) nampak pada level fenomenal, yakni pada level

pre-konseptual ketika kita berada dalam pengalaman sehari-hari. Kita telah

membuktikan hal ini pada bab sebelumnya. Ketika di hadapan kita ada sesuatu,

misalnya, pohon pisang, kita langsung mengetahui makna ‘ada’ dan ‘tiada’ darinya,

kita tahu pasti perbedaan dari makna ‘keberadaan pohon pisang’ dan ‘ketiadaan

12 “The reality of wujud is the most manifest of all things through ptesence and unveiling, and its

quiddity is the most hidden among things conceptually and in its inner reality. Of all things, its

concept is the least in need of definition because of its manifestness and clarity and its being the

most general among all concepts in its comprehensiveness. Its identity is the most particular of all

particular things, in both its determination and concretedness, because through it is made concrete

all that is concrete, is realized all that is realized, and is determined all that is determined and

particularized.” Masha’ir, ¶ 5, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-

Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young

University Press, 2014) h. 6-7. 13 Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha'ir: A Parallel English-

Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.

78.

Page 206: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

192

pohon pisang’; inilah yang disebut sebagai jelasnya kenyataan eksistensi (wujud)

pada level fenomenal.

Poin kedua adalah bahwa eksistensi (wujud) merupakan sesuatu yang tidak

perlu didefinisikan sebagaimana hal-hal lain selainnya. Mengapa ia tidak dapat

didefinisikan, dan apa maksud dari pernyataan ini? Sadra menjawabnya pada ¶ 6-

9, berikut Sadra mengawali penjelasan ini pada ¶ 6:

“Mengenai fakta bahwa eksistensi (wujud) tidak dapat didefinisikan,

alasannya ialah bahwa suatu definisi dicapai melalui definisi logis atau

deskripsi. eksistensi (wujud) tidak dapat diketahui melalui definisi karena ia

tidak memiliki genus dan pembedaan spesifik. Maka, ia tidak memiliki definisi

[logis]. Ia tidak pula dapat dideskripsikan, karena ia tidak dapat dipahami

melalui sesuatu yang lebih nampak dan lebih diketahui darinya, tidak pula

melalui suatu bentuk yang setara dengannya.”14

Maksud dari pernyataan ini dapat kita rujuk pada contoh berikut ini. Ketika

kita mendefinisikan sesuatu, kita memadukan dua gagasan, yakni genus atau kata

umum, dan spesies atau kata khusus, misalnya, ketika kita menjelaskan pohon

pisang, kita memadukan genus ‘pohon’ dan spesies ‘pisang’.

Pohon Pisang: Sebuah pohon yang membuahkan pisang

Genus + Spesies

Di bagian kiri, kita mendapati gagasan yang lebih umum, yakni ‘pohon’ dan

di bagian kanan, kita mendapati gagasan yang lebih khusus, yakni suatu ‘pohon’

yang dapat ‘membuahkan pisang’. Jika seseorang bertanya apakah buah dari suatu

‘pohon’? kita tidak dapat memberikan jawaban yang jelas, berbeda dengan

pertanyaan ‘Apa buah dari pohon pisang?’ dengan ini, kita mencapai suatu

universal natural, yakni ‘pohon pisang’. Ini disebut dengan strategi menjelaskan

sesuatu melalui definisi. Dan eksistensi (wujud) tidak dapat dijelaskan dengan cara

ini, karena definisi memerlukan dua bagian, yakni bagian yang lebih umum

dipadukan dengan bagian yang lebih khusus, sementara, Sadra melanjutkan

14 “As for the fact that it cannot be defined, the reason is that a definition is by means of either logical

definition or description. It [wujud] cannot be made known through definition because it has no

genus and no specific difference. Thus, it has no [logical] definition. It cannot be described either,

because it cannot be conceived through anything that is more manifest or better known than it, nor

through a form that is equal to it.” Masha’ir ¶ 6, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical

Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr

(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 7.

Page 207: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

193

argumennya bahwa “ia menjadi yang paling umum di antara semua konsep dalam

kemencakupannya”.

Bahwa eksistensi (wujud) merupakan suatu konsep yang tidak dapat

didefinisikan merupakan fakta yang diterima oleh hampir semua filsuf, kita dapat

membandingkan pernyataan Sadra dengan pernyataan dari salah satu filsuf

eksistensialis kontempo-rer. Martin Heidegger, dalam Being and Time, menulis:

“Konsep “Ada” tidak dapat didefinisikan. Kesimpulan ini ditarik dari

universalitasnya yang tertinggi. Dan hal ini benar - jika definitio fit per genus

proximum et differentiam specifical [jika ‘definisi dicapai melalui genus yang

umum dan pembedaan yang khusus”]. Benar, “ada” tidak dapat dipahami

sebagai suatu eksisten. Enti non additur aliqua natura: “Ada” tidak dapat

didefinisikan dengan menyifatkan adaan kepadanya. Ada tidak dapat

diturunkan dari konsep-konsep yang lebih tinggi melalui definisi dan tidak

dapat diwakilkan oleh konsep-konsep yang lebih rendah [...]”15

Heidegger melanjutkan pernyataan di atas dengan pertanyaan, “Jika Ada

tidak dapat didefinisikan, apakah ini berarti Ada tidak dapat dijadikan suatu

persoalan filosofis?” dan menjawab bahwa fakta bahwa Ada tidak dapat

didefinisikan tidak menjadi sebab bagi ketidakmungkinan persoalan filosofis

mengenai Ada. Sama seperti Mulla Sadra, setelah dalam ¶ 4 ia menyatakan bahwa

persoalan eksistensi (wujud) merupakan persoalan paling penting dalam filsafat, di

¶ 5 menyatakan bahwa ia tidak dapat didefinisikan; akan tetapi, Mulla Sadra,

sebagaimana Heidegger, melanjutkan persoalan filosofis mengenai Ada, mengenai

eksistensi (wujud).

Dengan ini, kita telah melihat bagaimana pada level filosofis, persoalan

eksistensi (wujud) merupakan persoalan utama; ini adalah argumen primasi

eksistensi pada level filosofis. Pada level fenomenal, makna dari kenyataan

eksistensi (wujud) dapat dialami oleh siapa saja, ini adalah primasi pada level

fenomenal. Dan pada level konseptual, eksistensi (wujud) merupakan konsep yang

15 “The concept of “being” is indefinable. This conclusion was drawn from its highest universality.

And correctly so - if definitio fit per genus proximum et differentiam specificam [if “definition is

achieved through the proximate genus and the specific difference”]. Indeed, “being” cannot be

understood as a being. Enti non additur aliqua natura: “Being” cannot be defined by attributing

beings to it. Being cannot be derived from higher concepts by way of definition and cannot be

represented by lower ones.” Martin Heidegger, Being and Time: A Translation of Sein und Zeit terj.

Joan Stambaugh (New York: SUNY PRESS, 1996) h. 3.

Page 208: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

194

paling mencakup dibandingkan dengan segala konsep lainnya. Mengenai hal ini,

Sadra menyatakan:

“Kenyataan mengenai eksistensi (wujud) yang mencakup hal-hal yang eksis

tidaklah sama seperti suatu konsep universal yang mencakup partikular-

partikular dan bagaimana ia membenarkannya. Seperti yang telah kami

beritahukan, kenyataan mengenai eksistensi (wujud) bukanlah suatu genus,

bukan pula suatu spesies, aksiden, karena ia bukanlah suatu universal natural.

Justru, kemencakupannya merupakan suatu jenis lain, yang tidak diketahui

kecuali oleh para ‘arif, mereka yang “kuat dalam pengetahuan”.”16

Mengenai bagaimana eksistensi (wujud) mencakup segala sesuatu telah kami

bahas pada bab sebelumnya. Kini mari kita lanjutkan membahas bagaimana Sadra

melanjutkan argumen primasi eksistensi ini. Setelah pada bagian akhir dari

pengantar ia membahas mengenai primasi eksistensi pada level filosofis, kemudian

pada penembusan pertama, ia menjelaskan bahwa pada level fenomenal, primasi

eksistensi ditunjukkan dengan jelasnya makna eksistensi (wujud), dan dilanjut

dengan penjelasan mengenai eksistensi (wujud) yang pada level konseptual

mencakup segala sesuatu sampai penembusan kedua. Dari bagian pengantar hingga

penembusan kedua, Sadra telah menunjukkan primasi eksistensi pada level-level

tersebut. Pada penembusan ketiga dan keempat, Sadra memperinci prinsip primasi

eksistensi ini. Penembusan ketiga dibagi menjadi delapan kesaksian mengenai

prinsip primasi eksistensi, sementara penembusan keempat dibagi menjadi delapan

pertanyaan untuk mempertegas posisi primasi yang sudah dibahas pada

penembusan ketiga. Mari kita lihat bagaimana Sadra menjelaskan primasi ini pada

dua penembusan ini.

b. Penembusan Ketiga

Di penembusan ketiga, Sadra memberikan delapan kesaksian, yang berisi

argumen untuk menegaskan prinsip primasi eksistensi. Berikut tabel rincian

argumen dalam penembusan ketiga:

16 “The reality of wujud being comprised of existing things is not like a universal concept being

comprised of particulars and its holding valid for them. As we have already informed you, the reality

of wujud is not a genus, nor a species, nor an accident, since it is not a natural universal (kulli tabi’i).

Rather, its comprising is of another kind, which is not known except by gnostics, those who are

“firm in knowledge”.” Masha’ir, ¶ 12, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab

al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham

Young University Press, 2014) h. 9.

Page 209: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

195

Tabel Rincian Argumen pada Penembusan Ketiga

PARAGRAF ARGUMEN

Kesaksian Pertama

¶ 15 - 16 Eksistensi (wujud) adalah yang nyata

¶ 17 Makna eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)

¶ 18 Eksistensi (wujud) tidak disifatkan melalui Predikasi

Umum

¶ 19

Eksistensi (wujud) adalah eksistensi (wujud) dari eksisten

esensi (mahiyah)/verifikasi fenomenal dari eksistensi

(wujud)

¶ 20

Eksistensi (wujud) in concreto berada pada level

fenomenal; eksistensi (wujud) per se berada pada level

transendental; in concreto = kontinjen

¶ 21 Penyebab munculnya konsep umum eksistensi (wujud)

Kesaksian Kedua

¶ 22 Makna in concreto

Kesaksian Ketiga

¶ 23 Primasi eksistensi via Predikasi

Kesaksian Keempat

¶ 24 Jika eksistensi (wujud) tidak eksis, tiada yang eksis:

penjelasan via esensi (mahiyah)

¶ 25 Reformulasi makna Eksistensi Niscaya, dilanjut ke ¶ 28-

30 via realitas relasi

Kesaksian Kelima

¶ 27

Eksistensi (wujud) memiliki prinsip partikular dan

individuasi, sementara esensi (mahiyah) memiliki prinsip

universal

Kesaksian Keenam

¶ 31-33 Makna aksidentalitas, penyifatan eksistensi (wujud) atas

esensi (mahiyah)

Kesaksian Ketujuh

Page 210: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

196

¶ 34-35 Kelanjutan makna aksidentalitas (makna aksiden,

substratum)

Kesaksian

Kedelapan

¶ 36 Argumen primasi via modulasi dan sanggahan atasnya

¶ 37 Penegasan bahwa eksistensi (wujud) itu tunggal, sebagai

antitesis ¶ 36

Sebagaimana dapat dilihat pada tabel di atas, pada Penembusan Ketiga,

Kesaksian Pertama, apa yang ingin dinyatakan Sadra adalah bahwa eksistensi

(wujud) merupakan yang paling nyata dan yang paling pantas disebut sebagai yang

eksis. Setelah menjelaskan mengenai hal ini, lalu bagaimana watak esensi

(mahiyah) jika dilihat dari kerangka ini. Lalu, dengan memasukkan eksistensi

(wujud) dan esensi (mahiyah) dalam penjelasan ini, Sadra menjelaskan relasi

keduanya, menjelaskan bahwa eksistensi (wujud) tidak lain dari eksistensi (wujud)

suatu eksisten (mawjud) esensial. Dan menutup kesaksian pertama dengan

menjelaskan mengapa gagasan mengenai eksistensi (wujud) secara konseptual

dibuat menjadi sesuatu yang universal atau disifati dengan predikasi umum. Mari

kita lihat argumen ini dengan lebih rinci.

Eksistensi (wujud) adalah yang nyata

“Kenyataan dari segala sesuatu adalah eksistensi (wujud)-nya, melaluinya

akibat-akibat dan keadaan-keadaan eksistensial-nya dihasilkan. Eksistensi

(wujud), karenanya merupakan yang paling sesuai dari segala hal untuk

memiliki kenyataan karena segala sesuatu menjadi pemilik kenyataan

melaluinya; eksistensi (wujud) merupakan kenyataan dari segala sesuatu yang

memiliki kenyataan, dan ia tidak memerlukan, dalam kepemilikannya atas

kenyataan, kenyataan lainnya. Ia ada melalui dirinya dalam dunia eksternal,

dan segala sesuatu - saya memaksudkannya sebagai esensi-esensi - eksis di

dunia eksternal melaluinya, bukan melalui diri mereka.”17

17 “The reality of everything is its wujud, through which its effects on it and its [existential]

conditions result. Wujud is, therefore, the most appropriate of all things to posses reality because

everything else becomes the possessor of reality through it; it is the reality of all that possesses

reality, and it does not need, in its possessing reality, another reality. It is by itself in the external

world, and other things - by which I mean the quiddities - exist in the external world through it, not

by themselves.” Masha’ir, ¶ 16, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-

Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young

University Press, 2014) h. 11.

Page 211: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

197

Kutipan ini harus dipahami dalam kerangka perdebatan antara primasi

eksistensi dan primasi eksistensi. Dalam bab sebelumnya, kita telah melihat

bagaimana masing-masing argumen diajukan untuk mendukung salah satu posisi.

Di sini Sadra mewakili posisi primasi eksistensi di mana eksistensi (wujud)

dikatakan sebagai yang paling nyata, dan yang paling pantas disebut kenyataan.

Sementara eksistensi (wujud) agar eksis tidak memerlukan hal lain, esensi

(mahiyah) untuk eksis harus memerlukan eksistensi (wujud). Ini adalah poin Sadra

yang disampaikan oleh Sadra dalam kutipan di atas. Segala sesuatu eksis karena

eksistensi (wujud), namun eksistensi (wujud) tidak memerlukan eksistensi (wujud)

agar ia eksis, karena eksistensi (wujud) adalah kenyataan itu sendiri.

Pada ¶ 17 – 21, Sadra melanjutkan penalaran dari posisi ini. Pertama, ia

memasukkan esensi (mahiyah) dalam kerangka ini sebagai berikut:

“Apa yang kita maksudkan dengan hal ini ialah bahwa, untuk semua konsep

- seperti, misalnya, manusia - ketika kita berkata bahwa ia memiliki suatu

kenyataan atau eksistensi (wujud), hal ini berarti bahwa di dunia eksternal ada

sesuatu yang mengenainya kita dapat berkata bahwa ini adalah seorang

manusia. Hal yang sama berlaku pada kuda, langit, air, api, dan nama-nama

lainnya. Konsep-konsep yang memiliki individu-individu eksternal adalah

nama-nama yang menerangkan mereka. [...]”18

Di sini, Sadra membedakan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah).

Di mana esensi (mahiyah) disamakan dengan ‘nama’, ‘konsep’ yang ditegaskan

keberadaannya di dunia eksternal karena ‘eksistensi (wujud).’ Nama, atau konsep

di sini bisa merupakan universal natural atau universal per se, sementara hal yang

menegaskan keberadaannya di dunia eksternal adalah eksistensi (wujud) itu sendiri.

Nama, atau konsep ‘manusia’ misalnya, hanya dapat eksis jika di dunia eksternal,

ada sesuatu yang menegaskan keberadaannya, sesuatu inilah yang disebut sebagai

eksistensi (wujud). Sadra melanjutkan bahwa, karenanya, eksistensi (wujud) tidak

disifati melalui predikasi umum, sebagai berikut:

“Saya tidak berkata bahwa konsep mengenai kenyataan atau eksistensi

(wujud), yang merupakan suatu konsep yang terbukti-sendiri, dapat dikatakan

18 “What we mean by it is that, for all concepts - as, for example, human - when we say that it

possesses a reality or wujud, it means thatthere exists in the external world something about which

we say and verify that it is a human being. The same holds true for horse, sky,w ater, fire, and other

titles. The concepts that possess external individuals are titles verifying them.” Masha’ir, ¶ 17, Mulla

Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text

translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 11.

Page 212: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

198

memiliki kenyataan atau eksistensi (wujud) melalui predikasi umum. Justru, ia

memiliki kenyataan melalui predikasi utama, yang berbeda dari predikasi

umum.”19

Kita telah membahas mengenai tiga jenis intelijibel, yakni umum, utama, dan

filosofis pada bab sebelumnya. Predikasi utama adalah apa yang kami maksud

sebelumnya dengan intelijibel primer. Setelah menyatakan bahwa penyifatan

kepada eksistensi (wujud) merupakan penyifatan utama, atau primer, Sadra

menutup kesaksian pertama dengan menjelaskan apa yang dimaksud ketika

seseorang menyatakan bahwa eksistensi (wujud) itu eksis. Ini terdapat di akhir ¶ 19:

“[...] Dalam cara yang sama, fakta bahwa eksistensi (wujud) ini eksis dalam

kenyataan bermakna bahwa eksistensi (wujud) tersebut eksis dengan

sendirinya dan bahwa segala hal eksis melaluinya, bukan bahwa terdapat suatu

eksistensi (wujud) lain bagi eksistensi (wujud) yang eksternal darinya dan

merupakan suatu aksiden baginya, melalui sejenis aksidentalitas - meskipun

secara hipotesis, seperti dalam kasus aksiden-aksiden analitik [yakni genus dan

differentia] berlawanan dengan suatu esensi (mahiyah) [nyata], seperti

manusia. Karenanya, makna dari [seorang manusia] eksis adalah bahwa

sesuatu in concreto adalah manusia, bukan bahwa sesuatu in concreto adalah

eksistensi (wujud). Makna bahwa eksistensi (wujud) eksis adalah bahwa

sesuatu in concreto eksis, dan ini adalah kenyataan.”20

Kita dapat membaca kutipan di atas dengan membandingkan dua jenis

kenyataan, yakni kenyataan eksistensi (wujud) dan kenyataan esensi (mahiyah).

Esensi (mahiyah) sesuatu disebut nyata jika, misalnya, esensi (mahiyah) atau nama

atau konsep ‘manusia’ dapat ditemui di dunia luar (in concreto), karenanya,

gagasan semata mengenai manusia tidaklah cukup agar ia dapat eksis; ini artinya,

agar suatu esensi (mahiyah) eksis, harus ada sesuatu yang menegaskannya di dunia

eksternal, dan sesuatu ini adalah eksistensi (wujud). Sementara, eksistensi (wujud)

19 “I do not say that the concept of reality or wujud, which is a self-evident concept, can be said to

have reality or wujud through common predication, because the corroboration of every title by itself

does not require that it be throigh common predication. Rather, it is through primary predication,

which is different from common [predication].” Masha’ir, ¶ 18, Mulla Sadra, The Book of

Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed

Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 12. 20 “In the same way, the fact that this wujud exists in reality means that wujud exists by itself and

that other things exist through it, not that there is for wujud another wujud that is external to it and

an accident for it, through some kind of accidentality - even hypothetically, as in the case of

analytical accidents [meaning genus and differrentia] in contrast to [a real] quiddity, such as human

being. Hence, the meaning of [human being] existing is that something in concreto is human, not

that something in concreto is wujud. The meaning of wujud existing is that something in concreto

is wujud, and it is real[ity] (haqiqah).” Masha’ir, ¶ 19, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical

Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr

(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 12.

Page 213: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

199

tidaklah demikian. Mengatakan bahwa eksistensi (wujud) eksis di dunia eksternal

berarti bahwa sesuatu, di dunia luar eksis, bukan bahwa suatu konsep mental

bernama ‘eksistensi (wujud)’ dapat kita temui dalam dunia eksternal. Lalu apa yang

dimaksud dengan dunia eksternal dan in concreto, Sadra menjelaskan dalam ¶ 20

dan 22:

“Terbukti dan jelas bahwa ketika kita berkata “in concreto” dan “dalam

pikiran” dalam pernyataan kita “Hal ini eksis in concreto” dan “Hal itu eksis

dalam pikiran,” kita tidak memaksudkan kategori penerimaan, tempat, atau

substrata. Justru, makna dari sesuatu ada in concreto adalah bahwa ia memiliki

eksistensi (wujud), yang darinya lahir akibat-akibat dan keadaan-keadaan

[eksistensial]; dan [makna dari] ia berada dalam pikiran adalah kebalikan

darinya. [...]”21

Kemudian,

“Ketahuilah bahwa segala eksisten (mawjud) in concreto itu lain dari

eksistensi (wujud) [murni]; dan di dalamnya terdapat tanda-tanda penyusunan,

meskipun hanya secara rasional, berlawanan dengan eksistensi (wujud) murni.

Dan karena hal ini, para filsuf telah berkata: Segala eksistensi kontinjen -

yakni, segala hal yang memiliki esensi (mahiyah) - merupakan suatu pasangan

tersusun, dan tidak ada di antara esensi (mahiyah) yang merupakan suatu

kenyataan sederhana. [...]22

Di sini menjadi jelas bahwa apa yang dimaksud oleh Sadra sebagai in

concreto adalah kenyataan pada level fenomenal, dan pada level ini, kita mendapati

keberadaan eksistensi-eksistensi kontinjen. Ditambah bahwa pada level ini,

eksistensi (wujud) selalu memiliki esensi (mahiyah) atau nama baginya dalam

pikiran kita. Dan bahwa perbedaan antara in concreto dan dalam pikiran bukanlah

perbedaan antara dua tempat, melainkan perbedaan antara yang eksis di dunia

eksternal, di mana segala eksisten (mawjud) memiliki akibat dan dampak

eksistensial, dan antara yang eksis dalam pikiran di mana suatu esensi (mahiyah)

21 “It is evident and clear that when we say “in concreto” and “in the mind” in our statements “This

exists in concreto” and “That exists in the mind,” we do not mean the categories of receptacles,

places, or substrata. Rather, the meaning of something being in concreto is that it possesses wujud,

from which issue effects and [existential] conditions; and [the meaning of] its being in the mind is

the reverse of this.” Masha’ir, ¶ 22, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-

Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young

University Press, 2014) h. 13. 22 “Know that every existent in concreto is other than wujud; and there is in it a blemish of

composition, even if it be only rationally, in contrast to pure wujud. And because of this, the

philosophers have said: All contingent beings - that is, all things that possess quiddity - are a

compound pair, and there is nothing among the quiddities that is a simple reality.” Masha’ir ¶ 20,

Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic

text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 12.

Page 214: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

200

tidak memiliki akibat dan dampak eksistensial. Mari kita contohkan pernyataan ini

dengan keberadaan api. Api, di dunia eksternal memiliki sifat panas dan dapat

membakar, sementara dalam pikiran, yakni esensi (mahiyah) atau konsep atau

gagasan mengenai api tidak memiliki daya membakar seperti yang ia miliki pada

dunia eksternal.

Demikian adalah runtutan argumen Mulla Sadra yang menegaskan prinsip

bahwa eksistensi (wujud) adalah yang nyata. Kemudian, mari kita lihat argumen

berikutnya, yakni argumen primasi eksistensi via predikasi. Inti dari argumen ini

ialah bahwa, agar suatu predikasi, atau penyifatan itu memiliki konsistensi logis,

berlawanan dengan kontradiksi logis, ia harus mengandaikan bahwa eksistensi

(wujud) itu nyata di dunia eksternal. Hal ini disampaikan Sadra pada ¶ 23:

“Jika keberadaan dari hal-hal tergantung kepada esensi (mahiyah) mereka

dan bukan pada sesuatu yang lain [yakni, eksistensi (wujud)], maka tidak

mungkin kita dapat menyifatkan beberapa di antara mereka ke beberapa

lainnya, dan untuk menyifatkan sesuatu ke sesuatu lainnya, seperti ketika kita

berkata, “Zayd merupakan suatu makhluk hidup” dan “Manusia adalah suatu

makhluk yang berjalan,” karena makna dari predikasi dan penegasan atasnya

merupakan penyatuan antara dua konsep berbeda dalam eksistensi (wujud).

Dalam cara yang sama, penilaian atas sesuatu [terkait] dengan hal lainnya

[yakni, menyatakan penilaian mengenai sesuatu yang dibenarkan mengenai

sesuatu lainnya] terdiri dari penyatuan mereka dalam eksistensi (wujud) dan

perbedaan dalam konsep dan esensi (mahiyah). Lebih jauh, apa yang membuat

perbedaan di antara mereka berbeda dari apa yang menyebabkan penyatuan;

dan kepada hal ini, dirujuklah perkataan bahwa predikasi meniscayakan

penyatuan in concreto dan perbedaan dalam pikiran. Jika eksistensi (wujud)

tidak berbeda dari esensi (mahiyah), aspek penyatuan tidak akan berbeda dari

aspek perbedaan. [...]”23

23 “If the existentiality of things were dependent upon their quiddities and not upon something else,

then it would be impossible to attribute some of them to others and to attribute something to

something else, such as when we say, “Zayd is a living being” and “Man is a being who walks,”

because of the meaning of predication and its verification is the unification of two different concepts

in existence.

In the same way, the judgment of something [pertaining] to something else [that is, to

pronounce judgment for something holding true for something else] consists of their unification in

existence and difference in concept and quiddity. Furthermore, what causes difference among them

is different from what brings about unification; and to this refers the saying that predication

necessitates unification in concreto and difference in the mind. If wujud were not different from the

quiddity, the aspect of unification would not be different from the aspect of difference.” Masha’ir,

¶ 23, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-

Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.

14.

Page 215: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

201

Setelah kita mengetahui perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah), dan antara in concreto dan dalam pikiran, kita dapat mengerti maksud

dari kutipan di atas dengan jelas. Sadra mencontohkan kalimat “Zayd merupakan

suatu makhluk hidup.” Dari kalimat ini, terdapat dua esensi (mahiyah), nama, atau

konsep, yakni “Zayd” dan “makhluk hidup.” Aturan logis dari penyifatan sesuatu

atas sesuatu harus mengandaikan prinsip perbedaan sekaligus persamaan; hal ini

telah kita bahas pada bab sebelumnya. Untuk menyifati “Zayd” dengan konsep

“makhluk hidup” harus terdapat perbedaan antara makna keduanya, jika tidak,

maka kalimat di atas menjadi bermakna “Zayd adalah Zayd” atau “makhluk hidup

adalah makhluk hidup”, suatu tautologi. Maka, agar suatu kalimat penyifatan

memiliki makna, ia harus mengandung setidaknya dua konsep yang berbeda. Kita

paham bahwa makna “Zayd” dan “makhluk hidup” secara rasional berbeda.

Namun, penilaian atau penyifatan logis tidak hanya memerlukan prinsip perbedaan,

ia memerlukan prinsip persamaan. Apa yang kita nilai sebagai “Zayd” dan

“makhluk hidup”, dalam realitas in concreto, haruslah merujuk kepada satu objek,

yakni Zayd, eksisten (mawjud) Zayd, atau keberadaan Zayd di dunia eksternal. Jika

keduanya tidak bersatu di dunia eksternal, maka penilaian atau penyifatan logis

tidak berlaku.

Mari kita gunakan contoh lainnya. “Irene adalah seorang wanita yang cantik”.

Dalam kalimat ini, terdapat tiga nama, konsep, atau esensi (mahiyah), yakni

“Irene”, “wanita”, dan “cantik”. Ketiga nama ini berbeda secara konseptual, atau

dalam pikiran. Dan, jika kita benar-benar ingin melakukan suatu penilaian atau

penyifatan logis, maka ketiga nama, konsep, dan makna yang berbeda tersebut

haruslah merujuk kepada satu objek: yakni Irene di dunia eksternal, yang

merupakan seorang wanita, dan juga seorang yang cantik. Inilah maksud dari

hukum penyifatan yang mensyaratkan perbedaan di dalam pikiran dan persatuan di

dunia eksternal. Dengan ini, sekali lagi Sadra menegaskan bahwa eksistensi (wujud)

harus eksis di dunia eksternal, dan tanpa ia eksis di dunia eksternal, penyifatan atau

penilaian logis hanya akan berujung kepada kontradiksi logis dan kehilangan

makna. Sadra kemudian melanjutkan penegasan ini dengan menyatakan bahwa, jika

eksistensi (wujud) tidak eksis di dunia eksternal, maka tidak ada yang dapat eksis.

Page 216: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

202

“Jika eksistensi (wujud) tidak eksis, tidak ada yang akan eksis. Kesesatan

dari akibat logis ini meniscayakan kesesatan dari sebab logis. Penjelasan dari

akibat logis ini adalah sebagai berikut: Jika esensi (mahiyah) dilihat pada

dirinya, terbebas dari eksistensi (wujud), maka ia non-eksisten. Begitu pula,

jika ia dilihat pada dirinya, terbebas dari keadaan eksisten (mawjud) atau non-

eksistensi, melalui pertimbangan ini, ia tidaklah eksisten (mawjud) ataupun

non-eksisten.

Dan jika eksistensi (wujud) tidak eksis dalam dirinya, tidak ada yang dapat

dikukuhkan bagi sesuatu yang lain, karena menegaskan sesuatu bagi sesuatu

yang lain - atau pelekatannya dengan sesuatu yang lain, atau pertimbangan

dengannya - itu sekunder bagi eksistensi (wujud) dari apa yang berdiri secara

kukuh atau yang mensyaratkan eksistensinya. Jika, kemudian, eksistensi

(wujud) tidak eksis pada dirinya, dan juga [jika] esensi (mahiyah) tidak eksis

pada dirinya, maka bagaimana sesuatu dapat eksis? esensi (mahiyah) tidak

dapat eksis [pada dirinya]. [...]”24

Sekali lagi, kita dapat memahami makna dari kutipan di atas dengan jelas

setelah mengetahui watak baik dari esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud) dan

makna dari in concreto dan “dalam pikiran.” esensi (mahiyah), nama, atau konsep,

merupakan sesuatu yang memiliki watak mental, ia ada di dalam pikiran. Agar suatu

esensi (mahiyah) eksis, harus ada sesuatu yang menegaskan keberadaannya di dunia

eksternal, sesuatu ini adalah eksistensi (wujud), yakni eksistensi (wujud) dari esensi

(mahiyah) tersebut sebagai suatu eksisten (mawjud) di dunia eksternal. Agar esensi

(mahiyah) ‘manusia’ yang berwatak mental atau rasional eksis, harus ada sesuatu

di dunia eksternal yang menegaskan keberadaannya, yakni manusia ini, Zayd ini,

Irene ini, Yeri ini, Rose ini, dan semua individu manusia yang dapat kita tunjuk di

dunia eksternal. esensi (mahiyah) memerlukan sesuatu agar ia dapat eksis di dunia

eksternal, yakni eksistensi (wujud). Tanpa eksistensi (wujud), tanpa sesuatu yang

menegaskan keberadaannya di dunia eksternal, esensi (mahiyah) hanyalah esensi

(mahiyah) belaka. Karenanya Sadra berkata, “jika ia dilihat pada dirinya, terbebas

24 “If wujud were not existent, nothing would exist. The falsity of the consequent necessitates the

falsity of the antecedent. The explanation of the consequent is as follows: If the quiddity is

considered by itself, independent of wujud, then it is nonexistent. Likewise, if it is considered by

itself, irrespective of existence and nonexistence, through this consideration it would be neither

existent nor nonexistent.

And if wujud were not to exist in itself, nothing would be established for something else,

because affirming something for something else - or its attachment to another thing, or its

consideration with it - is secondary to the existence of that which is firmly established or requires

its existence. If, then, wujud were not to exist in itself, and also [if] quiddity were not to exist in

itself, and also [if] quiddity were not to exist in itself, then how could anything ever be existent?

Quiddity does not exist [by itself].” Masha’ir, ¶ 24, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical

Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr

(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 15.

Page 217: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

203

dari keadaan eksisten (mawjud) atau non-eksistensi.” esensi (mahiyah), yang pada

dirinya rasional, konseptual, mental, dalam pikiran, adalah esensi (mahiyah) belaka,

tanpa keterkaitannya dengan sesuatu yang menegaskan keberadaannya di dunia

eksternal, ia tidak dapat dikatakan eksis ataupun tidak eksis.

Setelah memahami bahwa yang dimaksud dengan eksistensi (wujud) eksis di

dunia eksternal adalah adanya sesuatu yang menegaskan esensi (mahiyah) dari

sesuatu, maka kita dapat melanjutkan penafsiran atas kutipan di atas. Eksistensi

(wujud) berarti keberadaan dari suatu esensi (mahiyah) di dunia eksternal. Atau,

eksistensi (wujud) merupakan status positif dari suatu esensi (mahiyah) atau

gagasan di dunia eksternal. Karenanya, eksistensi (wujud) harus eksis, artinya,

harus ada penegasan atas sesuatu esensi (mahiyah) di dunia eksternal. Tanpa

sesuatu yang menegaskan esensi (mahiyah) di dunia eksternal ini, tidak ada sesuatu

yang dapat eksis. Jika yang ada hanya esensi (mahiyah) ‘manusia’, ‘cantik’,

‘wanita’, ‘Zayd’, ‘Irene’, tanpa sesuatu yang menegaskan keberadaannya di dunia

eksternal, maka dalam artian ini tidak ada sesuatupun dalam kenyataan yang eksis.

Karenanya, eksistensi (wujud) haruslah eksis, dan tanpa keberadaan eksistensi

(wujud), tidak ada sesuatupun yang eksis dalam artian ini. Ini adalah penjelasan

sekaligus penegasan Sadra atas primasi eksistensi dan kenyataan bahwa tidak

mungkin kenyataan itu sendiri eksis tanpa eksistensi (wujud).

Setelah ini, Sadra menjawab suatu pertanyaan, yang dapat kita temui

bentuknya dalam konsepsi Suhrawardi, yakni penjelasan mengenai makna dari

Eksistensi Niscaya. Namun, hal ini akan dibahas pada penembusan keempat. Kini

kita akan melanjutkan pembahasan mengenai penegasan primasi eksistensi pada

kesaksian kelima dari penembusan ketiga, yakni mengenai pernyataan bahwa

eksistensi (wujud) berwatak partikular, sementara esensi (mahiyah) berwatak

universal.

“Sungguh, jika eksistensi (wujud) tidak memiliki suatu bentuk dalam dunia

objektif, tidak akan pernah terwujud, bagi suatu spesies, suatu partikular aktual

yang akan menjadi suatu individu dari spesies tersebut. Ini karena hakikat dari

esensi (mahiyah) tidak lepas dari keterbagiannya pada hal-hal jamak dan

hadirnya universalitas kepadanya terkait dengan pikiran, bahkan jika ia dibuat

partikular oleh ribuan partikularisasi sebagai suatu hasil dari banyak konsep

yang ditambahkan kepadanya.

Page 218: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

204

Karenanya, niscaya bahwa di sana terdapat, bagi suatu hal partikular in

concreto, sesuatu yang mengatasi dan melampaui watak umum dan bahwa hal

lain inilah yang dipartikularisasi. Lebih jauh, tak masuk akal bahwa ia terjadi

dalam kejamakan. Dan kita tidak mengartikan eksisensi sebagai sesuatu selain

dari hal ini. Jika sesuatu ini tidak memiliki suatu realitas dalam anggota-

anggota dari suatu spesies, maka tidak ada anggota dari spesies tersebut yang

akan eksis in concreto. Dan ini adalah kontradiksi.”25

Dalam kutipan di atas, Sadra menjelaskan beberapa hal. Suatu spesies, agar

eksis, harus diwakili oleh setidaknya satu individu, yakni partikular aktual, dalam

dunia eksternal. Misalkan, spesies ‘manusia’ agar ia eksis harus diwakili oleh

individu-individu partikular, yang aktual, yakni terwujud dalam dunie eksternal

seperti, ‘Zayd’, ‘Irene’, ‘Seulgi’, ‘Yeri’, maka, syarat agar suatu spesies eksis, harus

ada perwakilannya di dunie eksternal, yakni kasus partikular dari spesies tersebut.

Di dunia eksternal kita menjumpai seseorang bernama ‘Irene’, dan setidaknya, ada

kita. Maka, masing-masing, yakni ‘saya’ dan ‘Irene’, keberadaan dari ‘Saya’ dan

‘Irene’ dalam dunia eksternal atau fenomenal adalah penegasan bahwa spesies

bernama ‘manusia’ eksis. Agar suatu spesies eksis, yang dibutuhkan adalah

“sesuatu yang mengatasi dan melampaui watak umum dan bahwa hal lain inilah

yang dipartikularisasi.” Maka, kembali lagi, esensi (mahiyah), konsep, nama, atau

gagasan ‘spesies’ adalah sesuatu yang berwatak mental, agar ia eksis, maka harus

ada sesuatu yang menegaskan keberadaannya di dunia eksternal atau in concreto.

Dan sesuatu ini haruslah berwatak partikular, yakni, bukan universal seperti

‘manusia’, atau ‘binatang’, tetapi ‘Zayd’ ini, yang menjadi tetangga saya di depan

rumah, dan ‘Irene’ itu, yang menjadi istri saya, yang dapat saya amati di dunia

eksternal, dan yang dapat saya katakan sebagai eksis.

Meskipun di dunia ini tidak ada seorangpun selain Irene yang eksis, saya tetap

dapat menyatakan bahwa spesies ‘manusia’ atau ‘wanita’ eksis. Maka, agar suatu

25 “Verily, if wujud were not to have a form in the objective world, there would never be realized in

the species an actual particular that would be an individual of the species. This is because the very

essence of the quiddity does not refrain from being shared by multiple things and by the occurence

of universality to it with regard to the mind, even if it is particularized by a thousand

particularizations as a result of multiple concepts added to it.

Therefore, it is necessary that there be, for a particular thing in concreto, something above

and beyond common nature and that this extra thing itself be particularized. Firthermore, it is

inconceivable that it would occur in multiplicity. And we do not mean by wujud anything other than

this. If this something were not to have a reality in the members of the species, no member of the

species would exist in concreto. And this is a contradiction.” Masha’ir, ¶ 27, Mulla Sadra, The Book

of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by

Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 16.

Page 219: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

205

spesies disebut eksis, harus ada setidaknya satu individu partikular yang

menegaskan keberadaannya di dunia eksternal; dan sesuatu ini melampaui

universalitas dari spesies. Sebaliknya, tanpa adanya sesuatu yang menegaskan

keberadaan partikular suatu individu dalam spesies, tidak pernah ada spesies yang

dapat dikatakan eksis “ bahkan jika ia dibuat partikular oleh ribuan partikularisasi

sebagai suatu hasil dari banyak konsep yang ditambahkan kepadanya.” Agar Irene

eksis di dunia eksternal, harus ada sesuatu yang menegaskan keberadaannya, yakni

eksistensi (wujud). Dan esensi (mahiyah) tidak dapat melakukan hal ini, bahkan jika

kita menambahkan ribuan konsep partikular atasnya. Misalnya, spesies ‘manusia’

dipartikularisasi menjadi:

Manusia + wanita + berasal dari Korea + seorang anggota Kpop + ad infinitum

Penambahan aspek atau konsep partikular tersebut, bahkan meskipun

mencapai ribuan, tidak akan dapat membuat Irene dapat eksis di dunia eksternal

tanpa keberadaan sesuatu yang menegaskan keberadaannya di dunia eksternal yang

berwatak partikular, yakni eksistensi (wujud) dari Irene itu sendiri. Ini maksud dari

pernyataan Sadra di atas. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan bahwa watak

dari eksistensi (wujud) adalah partikular: ia membuat suatu spesies ditegaskan

melalui individu partikular di dunia eksternal. Dan ini berlawanan dengan segala

esensi (mahiyah). esensi (mahiyah) memiliki watak universal. esensi (mahiyah)

‘manusia’, ‘wanita’, ‘penyanyi’, ‘buku’ sebagai sesuatu yang dihasilkan dalam

pikiran, memiliki watak universal, ia berwatak umum. Kita telah membahas hal ini

pada bab sebelumnya. Meskipun pada hakikatnya, universal natural dapat dikatakan

eksis jika satu individu partikular menegaskan keberadaannya di dunia, namun

universal natural ini masihlah berwatak universal karena ia dapat dilekatkan kepada

hal-hal lainnya lebih dari satu individu partikular. Inilah watak universalitas

eksistensi (wujud), meskipun di dunia ini hanya terdapat seorang wanita, yakni

Irene, kita tetap dapat memikirkan gagasan kewanitaan ini pada sesuatu yang lain,

setidaknya dalam pikiran kita. Inilah watak esensi (mahiyah), ia “tidak lepas dari

keterbagiannya pada hal-hal jamak dan hadirnya universalitas kepadanya terkait

dengan pikiran.”

Aksidentalitas eksistensi dan esensi

Page 220: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

206

¶ 31:

“Ketahuilah bahwa terdapat dua jenis hal yang aksidental: apa yang

aksidental terhadap eksistensi (wujud) dan apa yang aksidental terhadap esensi

(mahiyah). Yang pertama misalnya ialah aksidentalitas dari keputihan pada

suatu badan, atau ke-atas-an pada langit in concreto, dan misalnya

aksidentalitas dari universalitas dan spesies bagi manusia dan genus bagi

binatang. Yang kedua adalah aksidentalitas dari pembedaan spesifik bagi

genus dan partikularisasi bagi spesies.”26

¶ 32:

“Menurut bahasa dari [filsuf] yang benar di antara orang-orang yang bijak,

penyifatan eksistensi (wujud) atas esensi (mahiyah) dan kehadiran eksistensi

(wujud) pada esensi (mahiyah) bukanlah suatu penyifatan eksternal ataupun

suatu aksidentalitas melalui inkarnasi di mana yang disifati [yakni, esensi

(mahiyah)] telah memiliki suatu derajat realitas [sebelum eksistensi (wujud)]

[...] Sungguh, penyifatan eksistensi (wujud) atas esensi (mahiyah) merupakan

suatu penyifatan intelektif dan suatu aksidentalitas berdasarkan analisis

mental. Dalam jenis aksidentalitas ini, tidaklah mungkin bagi substratum yang

menerima aksiden telah memiliki suatu derajat eksistensi (wujud) dan suatu

realitas ontologis, baik in concreto ataupun dalam pikiran [...]

Ketika pembedaan spesifik, contohnya, dikatakan terjadi pada suatu genus

sebagai suatu aksiden, ini tidak berarti bahwa genus tersebut memiliki realitas

eksistensial in concreto, entah eksternal ataupun mental, tanpa pembedaan

spesifik tersebut. Justru, maksud dari hal ini ialah bahwa konsep dari

pembedaan spesifik tersebut berada di luar konsep genus [tetapi] terkait

dengannya dalam makna, bahkan jika ia bersatu dengannya secara eksistensial.

Dan aksidentalitas termasuk ke dalam esensi (mahiyah) dari sudut pandang

analisis sementara bersatu dengannya [in concreto]. Hal yang sama benar bagi

esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud) ketika dikatakan bahwa eksistensi

(wujud) merupakan salah satu aksiden dari esensi (mahiyah).”27

26 “Know that there are two kinds of things that are accidental: that which is accidental upon wujud

and that which is accidental upon mahiyah. The first is like the accidentality of whiteness for a body,

or aboveness for the sky in concreto, and like the accidentality of universality and species for man

and genus for animal. The second is like the accidentality of specific difference for genus and

particularization for species.” Masha’ir, ¶ 31, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations,

Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah:

Brigham Young University Press, 2014) h. 17. 27 “According to the languaga of the accomplished [philosophers] from among the people of

wisdom, the qualification of quiddity by wujud and wujud’s occurence to quiddity is neither an

external qualification nor an accidentality by incarnation in such a way that the qualified [that is, the

quiddity] would already have a degree of reality [before [wujud]. [...] Verily, the qualification of

quiddity by wujud is an intellective qualification and an accidentality based on mental analysis. In

this kind of accidentality, it is not possible for the substratum that receives the accident to have any

degree of existence and any ontological reality, either in concreto or in the mind. [...]

When specific difference, for example, is said to occur to a genus as an accident, that does

not mean that the genus has in concreto existential reality, whether it be external or mental, without

the specific difference. Rather, it means that the concept of specific difference is outside the concept

of genus [but] related to it in meaning, even if united with it existentially. And accidentality belongs

to the quiddity from the point of view of analysis while united with it [in concreto]. The same holds

true for quiddity and wujud when it is said that wujud is one of the accidents of quiddity.” Masha’ir,

Page 221: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

207

Dua paragraf di atas merupakan penjelasan Mulla Sadra mengenai makna

aksidentalitas dalam relasi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) yang terdapat

pada penembusan ketiga. Hal ini akan dilanjutkan olehnya dalam penembusan

keenam ¶ 82-84. Dalam dua paragraf tersebut, Sadra menerangkan beberapa hal.

Pertama adalah dua jenis aksidentalitas, yakni aksidentalitas pada eksistensi

(wujud) dan aksidentalitas pada esensi (mahiyah). Kedua adalah watak dari

aksidentalitas eksistensi (wujud), atau bagaimana eksistensi (wujud) dapat

dikatakan sebagai aksiden dari esensi (mahiyah) dan bagaimana struktur dari

penyifatan eksistensi (wujud) atas esensi (mahiyah).

Aksidentalitas pada eksistensi (wujud) berarti aksidentalitas sejauh ia

berkaitan dengan eksistensi (wujud). Maksud dari konsepsi ini ialah bahwa

aksidentalitas ini berada pada level fenomenal, level dunia eksternal atau in

concreto. Sadra mencontohkan dua hal: penyifatan warna putih, ke-putih-an pada

badan, dan penyifatan arah, yakni ke-atas-an pada langit in concreto. Dua hal ini,

yakni badan dan langit adalah hal yang kita temui pada level fenomenal, dunia

eksternal. Ketika kita melihat sesuatu berwarna putih di dunia eksternal, warna

putih tersebut merupakan aksiden dari suatu badan tertentu di dunia eksternal.

Misalnya, kita mendapati suatu dinding, atau kertas, atau gading, atau apapun yang

berwarna putih di dunia ini; dalam hal ini, putih, ke-putih-an, merupakan aksiden

dari apa-apa yang mendasarinya: pada kertas, warna putih ini menjadi aksiden bagi

kertas tersebut, pada gading, warna putih menjadi aksiden dari gading tersebut,

pada dinding, warna putih menjadi aksiden di atas dinding tersebut. Kriteria dari

aksidentalitas ini ialah bahwa proses atau relasi antara aksiden dan apa yang

disifatinya terdapat pada level fenomenal: langit yang kita lihat, kertas yang kita

sentuh dan lihat, gading yang kita lihat, dan banyak hal.

Aksidentalitas pada esensi (mahiyah) berarti aksidentalitas sejauh ia berkaitan

dengan esensi (mahiyah). Hal ini berarti bahwa aksidentalitas ini berada pada level

konseptual, yakni dalam pikiran. Sadra mencontohkan dua hal: pembedaan spesifik

pada genus, dan partikularitas pada spesies. Apa arti dari hal ini ialah bahwa

¶ 32, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-

Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.

17.

Page 222: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

208

aksiden, pada kali ini terjadi dalam relasi antara dua konsep. Relasi antara

pembedaan spesifik dan genus, relasi antara partikularitas pada spesies. Mari kita

contohkan, pada contoh pertama spesies “binatang rasional” pada “binatang”. Pada

level ini, kita tidak sedang berbicara mengenai binatang, ataupun binatang rasional

pada level fenomenal, atau, persisnya, pembicaraan mengenai pembedaan spesifik

selalu merupakan pembicaraan pada level konseptual. Di hadapan kita, misalnya,

terdapat Zayd atau Irene sebagai dua manusia yang kita kenal. Zayd dan Irene

merupakan pembedaan spesifik dari genus manusia: dua-duanya sama-sama

menausia jika dilihat dari aspek genus. Tetapi keduanya berbeda dilihat dari

pembedaan spesifiknya. Lebih lanjut, jika kita membedakan antara “binatang

rasional” dan “binatang non-rasional”, dan membuat dua hal ini menjadi

pembedaan spesifik bagi suatu genus, yakni “binatang”, kita sedang menyatakan

bahwa dua hal ini merupakan aksiden bagi suatu genus, suatu esensi (mahiyah)

bernama “binatang.”

Pada aksidentalitas kedua ini, semua relasi terjadi pada ranah konseptual

belaka: bahwa “binatang rasional” dan “binatang non-rasional” merupakan

pembedaan spesifik dari genus “binatang”, dan bahwa “binatang”, sebagai genus,

disifati oleh banyak aksiden, misalnya “binatang rasional” dan “binatang non-

rasional.” Inilah apa yang dimaksud dengan aksidentalitas pada esensi (mahiyah):

ia terjadi pada level konseptual, dan ia terjadi pada dua hal yang sama-sama

universal: pada genus, pada spesies, pada partikulari-tas, pada pembedaan spesifik.

Bukan pada hal-hal yang terjadi di luar pikiran, tetapi pada hal-hal di dunia

fenomenal, eksternal, in concreto.

Setelah menjelaskan dua jenis aksidentalitas ini, Sadra berlanjut, pada ¶ 32,

untuk menjelaskan bagaimana eksistensi (wujud) menjadi aksiden dari esensi

(mahiyah). Perlu dicatat bahwa pertama-tama, perbedaan ini terletak pada level

konseptual: yakni pada aksidentalitas esensi (mahiyah), yakni, pembedaan jenis

kedua dari apa yang telah dijelaskan oleh Mulla Sadra pada ¶ 31. “Penyifatan

eksistensi (wujud) atas esensi (mahiyah) dan kehadiran eksistensi (wujud) pada

esensi (mahiyah) bukanlah suatu penyifatan eksternal ataupun suatu aksidentalitas

melalui inkarnasi di mana yang disifati telah memiliki suatu derajat realitas.” Ini

Page 223: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

209

adalah poin pertama yang ditegaskan oleh Mulla Sadra. Karenanya, dari awal Sadra

sudah menjelaskan bahwa hal ini tidak terjadi pada level fenomenal yakni dunia

eksternal in concreto. Karena ia bukan penyifatan pada level eksternal, maka

“penyifatan eksistensi (wujud) atas esensi (mahiyah) merupakan suatu penyifatan

intelektif dan suatu aksidentalitas berdasarkan analisis mental.” Maka, mari kita

lihat bagaimana penyifatan eksistensi (wujud) atas esensi (mahiyah) ini dijelaskan

oleh Sadra melalui contoh dari aksidentalitas pada esensi (mahiyah) di atas.

Mari kita perjelas hal ini dengan mengambil suatu contoh. Andaikan terdapat

suatu genus yakni “bunga”, B, dan pembedaan spesifik dari genus ini adalah “bunga

mawar”, Bmw, dan “bunga melati”, Bml. Dalam contoh ini, mw dan ml merupakan

aksiden dari B. Sebagaimana yang telah dijelaskan mengenai makna aksiden,

penyifatan mw dan ml pada B tidak menjadikan B berubah dari B. Terdapat banyak

bunga: bunga sepatu (Bs), bunga kantil (Bk), dan lainnya, baik mawar (mw), melati

(ml), kantil (k), sepatu (s) dan lainnya dapat disifatkan kepada genus bunga (B) dan

tak mengubah esensi (mahiyah) ke-bunga-an; inilah watak dari aksiden. Kita dapat

menyifati bunga (B) dengan x, yakni pembedaan spesifik atas genus tersebut dalam

banyak cara, tanpa mengubah fakta bahwa genus B adalah bunga. Di sini, x, yang

bisa menjadi jenis bunga apapun, misalnya mw, ml, k, s, merupakan aksiden dari

genus B.

Bagaimana watak dari penyifatan ini, yakni watak dari penyifatan atas

aksiden x kepada B? Sadra telah menjelaskan bahwa penyifatan x atas B merupakan

penyifatan yang terjadi pada level konseptual. Poin kedua yang disampaikan oleh

Sadra adalah bahwa “konsep dari pembedaan spesifik tersebut berada di luar konsep

genus [tetapi] terkait dengannya dalam makna, bahkan jika ia bersatu dengannya

secara eksistensial.” Maksud dari kalimat ini ialah bahwa x, yang bisa merupakan

mawar, melati, kantil, sepatu dan pembedaan spesifik lain bagi genus bunga,

berbeda secara maknawi tetapi bersatu secara eksistensial. Mari kita lihat poin ini

lebih jelas dengan contoh berikut.

Di hadapan kita terdapat setangkai bunga mawar. Ini adalah datum yang kita

dapati pada level fenomenal. Ketika kemudian kita memikirkan datum ini, kita

dapat berkata: bunga mawar ini merupakan suatu bunga. Kita mengatakan begitu

Page 224: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

210

karena bunga mawar ini berbeda dengan bunga lainnya, misalnya bunga melati.

Maka kita kemudian dapat berkata: ini bunga mawar, itu bunga melati, keduanya

sama-sama bunga. Maka kita telah menyatakan relasi antara genus bunga (B)

dengan dua pembedaan spesifik, yakni mawar (mw) dan melati (ml). Jika kemudian

kita ditanya bagaimana spesies mawar menyifati genus bunga pada setangkai bunga

di depan kita, apa jawaban kita? Apakah kita akan menjawab bahwa setangkai

bunga mawar ini adalah suatu aksiden, suatu pembedaan spesifik mawar dan

digabungkan dengan genus bunga, lalu menjadi setangkai bunga mawar tersebut?

Tentu tidak. Genus tadi kita dapati pada level konseptual, begitu pula bagaimana

genus B dibedakan dengan x, semuanya terjadi pada level konseptual. Yang ada di

hadapan kita adalah setangkai bunga mawar yang tumbuh dari benih pohon mawar

yang dirawat, atau mungkin saja setangkai bunga mawar yang diberikan oleh Irene

kepada Saya hari kemarin, tetapi ini bukanlah perpaduan dari suatu genus B dengan

mw. “Bunga” dan “mawar” memang berbeda pada taraf maknawi, tetapi di hadapan

kita, pada level fenomenal, yang ada ialah setangkai bunga mawar, bukan

perpaduan antara dua konsep, yakni genus B dan mw dan, zimzalabiiim, jadilah

setangkai bunga mawar.

Pada level eksistensial, tidak ada genus, spesies, pembedaan spesifik antara B

dengan mw, ml, k, s, dan sebagainya. Yang ada di hadapan kita adalah sesuatu

sesederhana ini: setangkai bunga mawar. Kita dapat saja berpikir mengenai

termasuk genus apakah setangkai bunga mawar ini, termasuk spesies apakah ia, dan

sebagainya, lalu mendapati bahwa ia adalah spesies dari genus B. Tetapi semua ini

terjadi hanya ketika kita bergerak dari level fenomenal ke level konseptual. maka,

penyifatan mawar sebagai aksiden bagi genus bunga tidaklah terjadi pada level

fenomenal. Dan karenanya, genus bunga tidaklah eksis lebih dahulu dibandingkan

dengan spesies mawar. Dalam level konseptual kita mengetahui bahwa mawar

merupakan aksiden dari bunga, tetapi ini tidak berarti bahwa pada level fenomenal,

mawar menyifati bunga, karena yang kita dapati adalah: setangkai bunga mawar.

Titik. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan bahwa pada level eksistensial,

genus dan spesies bersatu: di sini hanya ada setangkai bunga mawar. Dalam level

konseptual, mw merupakan aksiden dari B. Dalam level fenomenal, tidak ada

spesies mw dan genus B. Karena itu, penyifatan mw atas B tidak meniscayakan

Page 225: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

211

bahwa B sudah memiliki realitas ketika ia disifati oleh mw. Faktanya, yang ada di

hadapan kita adalah setangkai bunga mawar, tidak ada genus dan kategori

konseptual lainnya. Hal inilah yang dimaksudkan oleh Sadra ketika ia berkata

“Dalam jenis aksidentalitas ini, tidaklah mungkin bagi substratum yang menerima

aksiden telah memiliki suatu derajat eksistensi (wujud) dan suatu realitas ontologis,

baik in concreto ataupun dalam pikiran ... Ketika pembedaan spesifik, contohnya,

dikatakan terjadi pada suatu genus sebagai suatu aksiden, ini tidak berarti bahwa

genus tersebut memiliki realitas eksistensial in concreto, entah eksternal ataupun

mental, tanpa pembedaan spesifik tersebut.” Dan “hal yang sama benar bagi esensi

(mahiyah) dan eksistensi (wujud) ketika dikatakan bahwa eksistensi (wujud)

merupakan salah satu aksiden dari esensi (mahiyah).”

c. Penembusan Keempat

Dalam penembusan keempat, Sadra menjawab delapan pertanyaan yang

mungkin diajukan oleh mereka yang meragukan prinsip eksistensinya, sebagaimana

yang ia sampaikan jelas dalam subjudul dari penembusan ini, yakni, “Menanggapi

keragu-raguan yang diajukan mengenai objektifitas eksistensi (wujud).” Berikut

adalah delapan pertanyaan yang dijawab oleh Mulla Sadra dalam penembusan

keempat ini:

Pertanyaan Pertama

“Jika eksistensi (wujud) terwujud in concreto, ia akan menjadi suatu eksisten

(mawjud). Ia kemudian akan memiliki suatu eksistensi (wujud). Dan

kemudian, untuk sesuatu yang eksis tersebut, harus ada suatu eksistensi

(wujud) lainnya, dan begitu, ad infinitum.”28

Pertanyaan Kedua

“Tetapi, kemudian, masing-masing eksistensi (wujud) merupakan suatu

Eksistensi Niscaya secara esensi (mahiyah), karena tidak ada makna lain dari

‘Eksistensi Niscaya’ kecuali bahwa eksistensinya niscaya. Dan penegasan atas

sesuatu untuk dirinya itu niscaya.”29

28 “If wujud were to be actualized in concreto, it would be an existent. It would then have an

existence. And then, for that existing thing, there would have to be another wujud, and so on, ad

infinitum.” Masha’ir, ¶ 39, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir:

A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University

Press, 2014) h. 20. 29 “But, then, each wujud is a necessary wujud by its essence, since there is no meaning to ‘necessary

being’ except that its existence be necessary. And the affirmation of something for itself is

necessary.” Masha’ir, ¶ 41, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-

Page 226: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

212

Pertanyaan Ketiga

“Jika dipahami bahwa agar suatu eksistensi (wujud) itu eksis menandakan

eksistensi (wujud) sendiri, sementara agar sesuatu lainnya eksis menandakan

bahwa ini merupakan sesuatu hal yang memiliki eksistensi (wujud), maka

kemudian eksistensi (wujud) tidaklah disifatkan kepada segala sesuatu dengan

makna yang sama. Dan tetapi terbukti bahwa penggunaan istilah eksistensi

(wujud) bagi semua eksisten (mawjud) itu berdasarkan suatu makna yang

sama.

Maka seseorang haruslah melihat proposisi bahwa eksistensi (wujud) adalah

eksisten (mawjud) memiliki makna yang sama sebagaimana apa [yang ia

miliki] dalam segala eksisten (mawjud) lainnya - yakni, suatu hal yang

memiliki eksistensi (wujud). Akan tetapi, eksistensi (wujud) bukanlah eksisten

(mawjud) karena keniscayaan rantai ad infinitum, karena seseorang harus

mulai sekali lagi dengan eksistensid ari suatu eksistensi (wujud), dan

seterusnya.”30

Pertanyaan Keempat

“Jika eksistensi (wujud), in concreto, merupakan suatu penyifatan yang ada

bagi suatu esensi (mahiyah) yang merupakan suatu penerima darinya, dan

karena eksistensi (wujud) dari penerima itu anterior dari eksistensi (wujud) dari

apa yang ia terima, maka eksistensi (wujud) haruslah anterior dari eksistensi

(wujud) [itu sendiri].”31

Pertanyaan Kelima

“Jika eksistensi (wujud) merupakan eksisten (mawjud), maka entah ia

anterior dari esensi (mahiyah) atau posterior dari esensi (mahiyah), atau

keduanya terjadi bersamaan. Konsekuensi dari pilihan pertama adalah

perwujudan eksistensi (wujud) yang mandiri dari esensi (mahiyah). Akibatnya,

penyifatan tersebut anterior dari hal yang disifati dan terwujud mandiri

darinya. Pilihan kedua menyiratkan bahwa esensi (mahiyah) ada sebelum

eksistensi (wujud), hal ini berakibat regressio ad infinitum. Pilihan ketiga

menyiratkan bahwa esensi (mahiyah) itu eksisten (mawjud) [pada waktu yang

sama] sebagaimana eksistensi (wujud) tetapi tidak melaluinya.

Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young

University Press, 2014) h. 21. 30 “If it is understood that for wujud to be existent signifies existence itself, while for something else

to be existent signifies that it is a thing that possesses wujud, then wujud is not predicated of

everything with the same meaning. And yet it was proven that the employment of wujud for all

existents is according to a common meaning.

One must therefore take the proposition that wujud is existent as having the same meaning

as what [it possesses] in other things among existents - that is to say, a thing possessing wujud.

However, existence is not existent because of the necessity of a chain ad infinitum, because one

would have to begin once again with the wujud of the wujud, and so forth.”Masha’ir, ¶ 43 31 “If wujud were in concreto a qualification existing for a quiddity that is a receptacle for it, and

since the wujud of the receptacle is anterior to the wujud of that which it receives, then wujud would

have to be anterior to wujud [itself].” Masha’ir, ¶ 51, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical

Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr

(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 23.

Page 227: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

213

Karenanya, ia harus mendapatkan eksistensinya dari tempat lainnya dan akan

memiliki akibat yang sama dengan kasus sebelumnya. Konsekuensi-

konsekuensi ini pada hakikatnya salah, maka Sebab-sebabnya [juga] pasti

salah.”32

Pertanyaan Keenam

“Kita dapat memikirkan eksistensi (wujud) sementara meragukan apakah ia

eksis atau tidak. Karenanya, ia memerlukan suatu eksistensi (wujud) tambahan

baginya agar ia eksis. Dan penalaran yang sama dapat diulangi apropos

eksistensi (wujud) dari eksistensi (wujud), dan akan terjadi suatu regressio ad

infinitum. Tidak ada jalan keluar darinya kecuali mengatakan bahwa eksistensi

(wujud) tidak lain daripada suatu pertimbangan mental.”33

Pertanyaan Ketujuh

“Jika eksistensi (wujud) berada di dunia eksternal dan bukan merupakan

suatu substansi, maka ia akan menjadi suatu kualitas, karena definisi ‘kualitas’

dapat diterapkan kepadanya. Dari situ, maka akibatnya, pertama-tama,

absurditas dari apa yang telah disebutkan sebelumnya - yakni, bahwa suatu

subjek akan eksis sebelum eksistensinya sendiri, menyiratkan suatu lingkaran

setan dan pemunduran tak terhingga. eksistensi (wujud) dari kualitas adalah

yang paling umum dari segala hal, sementara eksistensi (wujud) dari substansi

sebagai suatu kualitas adalah melalui dirinya. Hal yang sama berlaku bagi

kuantitas dan [predikat] lainnya.”34

Pertanyaan Kedelapan

32 “If wujud were to be existent, then either it would be anterior to quiddity or posterior to quiddity,

or the two would be simultaneous. The consequence of the first alternative is the actualization of

wujud independent of quiddity. It follows that qualification is anterior to the thing qualified and is

realized independent of it. The second alternative implies that quiddity exists before wujud, from

which would follow regressio ad infinitum. The third alternative implies that quiddity is existent [at

the same time] as wujud but not by it.

It therefore must derive its wujud from elsewhere and would have the same consequence

as the preceding case. The consequences being essentially false, the antecedent must [also] be false.”

Masha’ir, ¶ 53, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel

English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press,

2014) h. 24. 33 “We can conceive wujud while doubting whether it exists. Therefore, it needs an added wujud for

it to exist. And the same reasoning could be repeated apropos of the wujud of the wujud, and there

would be a regressio ad infinitum. There is no refuge except to say that wujud is nothing but a mental

consideration.” Masha’ir, ¶ 56, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-

Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young

University Press, 2014) h. 25. 34 “If wujud were in the external world and not a substance, then it would be a quality, for the

definition of ‘quality’ is applicable to it. From that would follow, first of all, the absurdity that was

mentioned before - that is, that the subject would exist before its own existence, implying a vicious

circle and infinite regression. The existence of a quality is the most general of all things, while the

existence of substance as a quality is through itself. The same holds true for quantity and other

[predicates].” Masha’ir, ¶ 59, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-

Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young

University Press, 2014) h. 26.

Page 228: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

214

“Jika eksistensi (wujud) eksis bagi esensi (mahiyah), maka ia memiliki suatu

relasi dengannya; dan juga akan terdapat suatu eksistensi (wujud) bagi relasi

ini. Lebih jauh, eksistensi (wujud) dari relasi ini akan menjadi suatu relasi

dengan relasi. Argumen yang sama dapat diterapkan pada eksistensi (wujud),

arti relasi dari relasi tersebut, yang mengarah pada suatu regressio ad

infinitum.”35

Pada hakikatnya, delapan pertanyaan di atas sudah dijawab oleh Mulla Sadra

pada penembusan ketiga, di penembusan keempat, Sadra menyajikannya dalam

bentuk tanya-jawab. Pertanyaan-pertanyaan ini berkisar di beberapa persoalan

utama yang dengannya kita dapat meringkas delapan pertanyaan ini menjadi

beberapa persoalan. Pertama adalah persoalan mengenai pre-eksistensi dalam relasi

eksistensi-esensi, yang mencakup pertanyaan keempat dan kelima dan kedelapan.

Kedua adalah persoalan mengenai konsep dan realitas eksistensi (wujud), yang

mencakup pertanyaan pertama, ketiga, keenam dan ketujuh. Sementara pertanyaan

ketiga terkait dengan persoalan teologis yang disiratkan oleh konsepsi Ibn Sina

mengenai Eksistensi Niscaya. Mari kita mulai dengan persoalan kedua, yakni

konsep dan realitas eksistensi (wujud), yang terdapat dalam pertanyaan pertama,

ketiga, keenam dan ketujuh.

Pada pembahasan primasi eksistensi dalam penembusan ketiga, Mulla Sadra

telah merumuskan makna dari eksistensi (wujud) sebagai berikut: Makna bahwa

eksistensi (wujud) eksis adalah bahwa sesuatu in concreto eksis, dan ini adalah

kenyataan. Pada dasarnya, ini adalah jawaban Sadra bagi pertanyaan pertama,

ketiga, keenam dan ketujuh dalam penembusan keempat. Untuk pertanyaan

pertama, inilah jawaban Sadra:

“Jika seseorang memaknai eksisten (mawjud) sebagai sesuatu yang

dengannya eksistensi (wujud) ada, maka hal ini tidak mungkin karena tidak

ada sesuatupun di dunia ini yang eksis berdasarkan makna ini - tidak esensi

(mahiyah) ataupun eksistensi (wujud). Terkait dengan esensi (mahiyah), kita

telah menunjukkan bahwa tidaklah mungkin bagi eksistensi (wujud) untuk ada

melaluinya.”36

35 “If wujud exists for quiddity, then it has a relationship to it; and there is also a wujud for this

relationship. Furthermore, the existence of this relationship would have a relation to relation. The

same argument can be made concerning the wujud of that relationship of the relationship, leading to

a regressio ad infinitum.” Masha’ir, ¶ 67, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations,

Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah:

Brigham Young University Press, 2014) h. 27. 36 “If one means by existent that by which wujud subsists, that is impossible because there is nothing

in the world that is existent according to this meaning - neither quiddity nor wujud. As for the

Page 229: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

215

Kami telah menjelaskan hal ini dengan cukup rinci pada pembahasan

penembusan ketiga. Pada hakikatnya, pertanyaan pertama hadir karena seseorang

tidak mengetahui makna dari eksistensi (wujud). Dalam artian tersebut, eksistensi

(wujud) dianggap sebagai suatu konsep belaka, yakni pemahaman yang berada pada

level konseptual, bukan pada level fenomenal ataupun transendental. Eksistensi

(wujud) sebagai suatu gagasan universal, begitu pula esensi (mahiyah) sebagai

suatu gagasan universal tidak akan pernah dapat kita temui di dunia eksternal. Ini

adalah inti dari jawaban Sadra bagi pertanyaan pertama. Untuk mengingat kembali,

bahkan Suhrawardi sendiri menolak eksistensi (wujud) dari esensi (mahiyah)

universal di alam eksternal; esensi (mahiyah), sejauh Suhrawardi memaksudkannya

dalam gagasan mengenai primasi esensi (asalah al-mahiyah), ialah esensi

(mahiyah) sejauh ia eksis sebagai eksisten (mawjud) partikular dalam dunia

eksternal. Kini mari kita masuk ke pertanyaan ketiga.

Jawaban Sadra bagi pertanyaan ketiga adalah:

“Perbedaan antara keberadaan sesuatu dan keberadaan eksistensi (wujud)

tidak meniscayakan suatu perbedaan dalam penggunaan konsep eksistensi

(wujud) sebagai sesuatu yang diderivasi dan yang sama di antara segala

sesuatu, karena entah [eksisten (mawjud)] dilihat dalam makna sederhananya,

seperti yang telah kami tunjukkan sebelumnya, atau ia dilihat dalam makna

yang paling umum, sebagai sesuatu yang menanda-kan sesuatu yang

eksistensinya ditegaskan oleh seseorang. [...] Karenanya, konsep ke-putih-an

adalah apa yang memiliki keputihan, entah [keputihan] adalah hal ini atau

sesuatu yang lain.”37

Mari kita lihat lebih jelas pertanyaan ketiga:

“Jika dipahami bahwa agar suatu eksistensi (wujud) itu eksis menandakan

eksistensi (wujud) sendiri, sementara agar sesuatu lainnya eksis menandakan

bahwa ini merupakan sesuatu hal yang memiliki eksistensi (wujud), maka

quiddity, we have indicated that it is not possible for wujud to subsist by it.” Masha’ir, ¶ 40, Mulla

Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text

translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 20. 37 “This difference between the existentiality of things and the existentiality of wujud does not

necessitate a difference in employing the concept of wujud as one that is derived and common among

all things, because either [the existent] is taken in its simple meaning, as we have indicated before,

or it is taken in its simple meaning, as we have indicated before, or it is taken in the most general

sense as signifying something whose wujud one affirms...Therefore, the concept of whiteness os

what possesses whiteness, ehether [whiteness] be this thing itself or somethig else.” Masha’ir, ¶ 44,

Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic

text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 22.

Page 230: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

216

kemudian eksistensi (wujud) tidaklah disifatkan kepada segala sesuatu dengan

makna yang sama.”38

Pertanyaan ini merumuskan bagaimana eksistensi (wujud) disifatkan kepada

dua hal: segala sesuatu selain eksistensi, dan eksistensi (wujud) itu sendiri. Kita

dapat merumuskannya sebagai berikut. Maksud dari x eksis adalah bahwa x

memiliki eksistensi (wujud).

X eksis = X memiliki eksistensi (wujud)

Dengan rumusan ini, kita dapat menyatakan bahwa, makna dari Irene eksis

adalah bahwa Irene memiliki eksistensi (wujud), bahwa bunga mawar eksis,

bermakna bahwa bunga mawar memiliki eksistensi (wujud), lalu apa makna dari

eksistensi (wujud) eksis? Maka jika kita mengganti x sebagai eksistensi (wujud),

kita mendapati rumusan berikut:

X eksis = X memiliki eksistensi (wujud)

Jika X (eksistensi), maka eksistensi (wujud) eksis = eksistensi (wujud) memiliki

eksistensi (wujud)

Dengan begitu, kita kembali lagi kepada pertanyaan pertama dan jawaban

pertama. Makna dari eksistensi (wujud) eksis adalah bahwa pada level fenomenal;

ada sesuatu, X yang dapat kita tegaskan eksistensinya. Eksistensi (wujud) eksis

berarti bahwa ada sesuatu di dunia eksternal yang dapat kita tegaskan eksistensinya.

Titik. Ini adalah penjelasan Sadra mengenai apa makna eksistensi (wujud) yang

telah dijawab pula pada jawaban pertama. Hal kedua yang dimaksudkan oleh

pertanyaan ini adalah persoalan modulasi. Kita telah membahas panjang lebar

mengenai modulasi eksistensi pada bab sebelumnya. Mari kita lihat jawaban Sadra

bagi pertanyaan ini lebih lanjut.

“Mengizinkan penggunaan sebagian dari makna suatu istilah tidak

mengeluarkannya dari kebenaran. Bahwa putih mencakup sesuatu yang

ditambahkan kepada keputihan dihasilkan dari partikularitas dari beberapa

individu dan bukan dari konsep putih. Sama halnya dengan pernyataan bahwa

eksisten (mawjud) mencakup sesuatu yang ditambahkan kepada eksistensi

38 “If it is understood that for wujud to be existent signifies existence itself, while for something else

to be existent that it is a thing that possesses wujud, then wujud is not predicated of everything with

the same meaning.” Masha’ir, ¶ 43, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-

Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young

University Press, 2014) h. 22.

Page 231: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

217

(wujud) - contohnya, esensi (mahiyah) - dihasilkan dari partikularitas dari

individu kontinjen dan bukan dari suatu konsep yang sama di antara mereka.”39

Jawaban ini sekilas agak membingungkan. Tetapi, di sini Sadra menekankan

kembali pada apa yang telah kami sebut dengan konsep dan realitas eksistensi

(wujud). Sadra di sini mencontohkan bahwa, putih “dihasilkan dari partikularitas

dari beberapa individu dan bukan dari konsep putih”; maksud dari kalimat ini jelas.

Ketika kita mengatakan bahwa kita melihat sesuatu yang putih di dunia eksternal,

yang kita maksud dengan pernyataan tersebut adalah “ada sesuatu yang putih yang

saya lihat, saya alami, dan saya indera” bukan bahwa “ada konsep putih yang saya

temui di alam eksternal.” Seperti contoh mengenai bunga mawar, dalam kasus ini

pun, bukanlah genus, konsep, esensi (mahiyah), atau gagasan putih yang kita temui

di dunia, yang kita temui adalah: sesuatu yang putih ini, di sini. Sadra menegaskan

kembali hal ini ketika ia mengutip Ibn Sina untuk menjawab pertanyaan ini:

“Dan ia [Ibn Sina] juga telah berkata dalam Ta’liqat: “Jika ditanyakan:

‘Apakah eksistensi (wujud) eksis?’ Jawaban bagi pertanyaan ini adalah bahwa

ia eksis dalam arti bahwa adalah kenyataan dari eksistensi (wujud) bahwa ia

eksis, karena eksistensi (wujud) berarti eksis.””40

Demikian jawaban Sadra bagi pertanyaan ketiga. Mari kita lihat bagaimana

Sadra menjawab pertanyaan keenam dan ketujuh. Pertanyaan keenam sejatinya

merupakan pembalikan argumen Aristotelian bahwa kita dapat memikirkan esensi

(mahiyah) sesuatu tanpa mengetahui apakah ia eksis. Dalam pertanyaan ini, sesuatu

itu diganti dengan eksistensi (wujud). Sebagaimana kita dapat memikirkan gagasan

mengenai sesuatu, misalnya suatu planet bumi kedua, kita tidak dapat memastikan

bahwa ia eksis, kita dapat pula memikirkan mengenai esensi (mahiyah), atau

gagasan mengenai eksistensi (wujud), tanpa mengetahui apakah gagasan ini eksis.

39 “To permit the use of a part of the meaning of a term does not exclude its use in terms of [its]

truth. That white encompasses something added to whiteness results from the particularity of some

of the individuals and not from the concept of white. [This is] in the same way that existent

encompassing something that is added to wujud - fro example, the quiddity - results from the

particularities of contingent individuals and not from the concept that is common among them.”

Masha’ir, ¶ 45, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel

English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press,

2014) h. 22. 40 “And he [Ibn Sina] has also said in the Ta’liqat: “If it is asked: ‘Does wujud exist?’ the answer is

that it exists in the sense that it is the very reality of wujud to exist, for wujud is existing.” Masha’ir,

¶ 47, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-

Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.

23.

Page 232: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

218

Tetapi apakah hal ini benar? Kembali lagi, Sadra menjawab persoalan ini dengan

memberikan definisi bagi eksistensi (wujud) dan menegaskan prinsip konsep dan

realitas eksistensi (wujud). Jika kita memahami eksistensi (wujud) dalam level

fenomenal, atau pre-konseptual, kita mengetahui bahwa eksistensi (wujud) eksis

sejauh sesuatu dalam dunia eksternal dapat kita tegaskan eksistensinya; jika kita

masuk, dari level fenomenal atau level pre-konseptual menuju level konseptual, kita

mendapati bahwa gagasan eksistensi (wujud), sebagai suatu universal, adalah

gagasan yang tidak dapat kita temui perwujudannya pada level fenomenal. Ini

adalah gagasan eksistensi (wujud) sebagai suatu konsep, suatu universal, yang pada

dirinya tidak memiliki makna selain bahwa sesuatu itu eksis di dunia eksternal.

Tetapi suatu gagasan, suatu universal, tidaklah eksis di dunia eksternal dan dunia

fenomenal, karena yang eksis di dunia fenomenal adalah sesuatu yang partikular.

Beginilah jawaban Sadra bagi pertanyaan keenam:

“Kenyataan dari eksistensi (wujud) tidak mungkin terwujud, hakikatnya,

dalam pikiran, karena eksistensi (wujud) bukanlah suatu konsep universal, dan

eksistensi (wujud) dari setiap eksisten (mawjud) adalah eksisten (mawjud) ini

sendiri in concreto, dan bahwa apa yang eksis in concreto tidak mungkin

merupakan suatu konsep mental. Apa yang dicerminkan oleh eksistensi

(wujud) sebagai suatu konsep mental umum adalah eksistensi (wujud) yang

disebut seseorang sebagai eksistensi (wujud)-terkait, yang sesuai bagi suatu

penilaian logis.”41

Sekali lagi, jawaban yang sama diberikan oleh Mulla Sadra bagi pertanyaan

ketujuh yang menyatakan bahwa eksistensi (wujud) merupakan suatu kualitas. Apa

yang dimaksud sebagai kualitas dapat kita kaitkan dengan penyebutan bahwa

eksistensi (wujud) merupakan suatu aksiden dari sesuatu. Ketika kita menyatakan,

misalnya, “bunga mawar eksis”, dalam artian ini eksistensi (wujud) merupakan

suatu kualitas yang menyifati bunga mawar. Namun, Sadra menjawab, eksistensi

(wujud) bukan hanya merupakan kualitas dari sesuatu, karena kualitas berarti

bahwa sesuatu menyifati sesuatu dalam level logika. Dalam artian ini, pernyataan

bahwa eksistensi (wujud) merupakan kualitas bagi bunga mawar adalah penyifatan

41 “The reality of wujud is not in any way actualized in its essence in any of the minds, because

wujud is not a universal concept, and the wujud of every existent is this existent itself in concreto,

and that which is in concreto cannot be a mental concept. What is represented of wujud as a general

mental concept is the wujud that one calls related wujud, which is proper to logical judgments.”

Masha’ir, ¶ 57, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel

English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press,

2014) h. 25.

Page 233: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

219

sekunder, yakni bahwa eksistensi (wujud) disifatkan kepada bunga mawar dalam

level konseptual, bukan pada level fenomenal. Pernyataan ini terkait dengan apa

yang sudah dijelaskan terkait perbedaan antara intelijibel primer, sekunder, dan

filosofis. Dan dalam artian ini, penyifatan eksistensi (wujud) atas sesuatu

didasarkan pada penyifatan sekunder dan termasuk ke dalam intelijibel sekunder.

Hal ini tentu saja salah, Sadra menyatakan:

“Substansi, kualitas, dan [predikat] lainnya yang serupa dengan

[kategori logis] termasuk ke dalam kategori esensi (mahiyah), dan mereka

adalah konsep universal seperti genus, spesies, esensialitas dan

aksidentalitas. Tetapi kenyataan-kenyataan eksistensial adalah sesuatu yang

konkret dan partikular, yang tidak masuk ke dalam suatu universal esensial

atau aksidental.

Substansi, contohnya, merupakan suatu esensi (mahiyah) universal

yang kenyataannya dalam eksistensi (wujud) konret adalah bahwa ia tidak

berada dalam suatu substratum. Kualitas merupakan suatu esensi (mahiyah)

universal yang kenyataannya dalam eksistensi (wujud) konkret adalah bahwa

ia tidak menerima baik keterbagian atau keterhubungan. Hal yang sama

berlaku bagi kategori-kategori lainnya.”42

Mari kini kita melihat bagaimana Sadra menjawab pertanyaan keempat,

kelima dan kedelapan, yang termasuk ke dalam persoalan mengenai relasi

eksistensi-esensi, atau persisnya, persoalan pre-eksistensi dalam relasi eksistensi-

esensi. Singkatnya, kita dapat mengingat kembali bahwa persoalan ini pertama-

tama muncul dari konsepsi bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi

(mahiyah), yakni ‘arid. Persoalan ini melahirkan persoalan-persoalan lain, yang

paling penting adalah, siapa yang eksis terlebih dahulu, eksistensi (wujud) atau

esensi (mahiyah)? Atau, jika eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi

(mahiyah), bagaimana watak aksidentalitas ini? Apakah sebelum eksistensi (wujud)

dan esensi (mahiyah) bersatu, masing-masingnya eksis? Dan seterusnya. Ini adalah

jawaban dari Sadra kepada pertanyaan keempat dan kelima.

42 “Substance, quality, and other [predicates] that are the same as [the logical categories] belong to

the category of quiddity, and they are the universal concepts of genus, species, essentiality, and

accidentality. But existential realities are concrete ipseities and particular entities, not contained

under an essential or accidental universal.

Substance, for example, is a universal quiddity whose reality in concrete existence is that

it is not in a substratum. Quality is a universal quiddity whose reality in concrete existence is not to

accept either divisibility or relationality. The same holds true for the other categories.” Masha’ir, ¶

60, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-

Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.

26.

Page 234: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

220

¶ 52:

“Bahwa eksistensi (wujud) terwujud in concreto dalam apa yang memiliki

suatu esensi (mahiyah) tidak menyiratkan bahwa esensi (mahiyah) memainkan

suatu peran sebagai wadah baginya, karena relasi antara keduanya adalah relasi

pernyatuan dan bukan keterhubungan. Penyifatan eksistensi (wujud) atas

esensi (mahiyah) merupakan suatu analisis mental, karena eksistensi (wujud)

adalah salah satu dari aksiden analitik dari esensi (mahiyah), seperti yang telah

kami jelaskan dan sebagaimana yang akan kami jelaskan lebih jauh.”43

¶ 54:

“Telah dikatakan sebelumnya bahwa penyifatan eksistensi (wujud) atas

esensi (mahiyah) merupakan suatu abstraksi mental dan bukan seperti

penyifatan aksiden eksternal atas sesuatu - seperti putih atas badan - yang

mengharuskan bahwa masing-masing dari keduanya memiliki suatu kenyataan

positif terpisah dari lainnya, sehingga seseorang dapat membayangkan di

antara mereka pilihan antara anteriorites, posterioritas, dan simultanitas.

Akibatnya, tidak ada anterioritas atau posterioritas bagi keduanya, dan tidak

ada pula simultanitas, karena sesuatu tidaklah anterior bagi dirinya, tak pula

posterior bagi dirinya, dan tak pula simultan bagi dirinya.”44

Dalam jawaban bagi pertanyaan keempat, Sadra menyatakan bahwa relasi

antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) merupakan relasi kebersatuan, dan

bukan keterhubungan. Maksud dari hal ini dapat dicontohkan sebagai berikut.

Andaikan seseorang membuat segelas kopi. Untuk membuat segelas kopi,

setidaknya kita memerlukan gula, kopi, dan air panas. Segelas kopi, karenanya

terdiri dari tiga hal ini yang dengan sedemikian cara dipadukan sehingga menjadi

sesuatu. Artinya, dari tiga hal yang berbeda, kita memperoleh sesuatu yang disebut

dengan segelas kopi. Dalam perpaduan ini, masing-masing dari ketiga hal

sebelumnya sudah eksis terlebih dahulu sebelum segelas kopi eksis. Mereka yang

43 “That wujud is realized in concreto in that which possesses a quiddity does not imply that the

quiddity plays the role of a receptacle for it, because the relation between the two is one of unification

and not connectedness. The qualification of quiddity by wujud is through mental analysis, since

wujud is one of the analytical accidents of the quiddity, as we have already explained and as we shall

explain further later.” Masha’ir ¶ 52, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab

al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham

Young University Press, 2014) h. 24. 44 “It has been said befire that the qualification of quiddity by wujud is a mental abstraction and is

not like the qualification of a thing by external accidents - such as a body by whiteness - which

would require that each of the two have a positive reality apart from the other, so that one could

imagine between them these three alternatives of anteriority, posteriority, and simultaneity.

Consequently, there is no anteriority and also there is no simultaneity, because a thing is

not anterior to itself, is not posterior to itself, and also is not simultaneous with itself.” Masha’ir ¶

54, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-

Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.

24.

Page 235: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

221

menyatakan bahwa eksistensi (wujud) merupakan sesuatu yang menjadi aksiden

dan masuk ke dalam esensi (mahiyah) memaksudkan hal semacam itu ketika

mempersoalkan hal ini. Jika sesuatu merupakan perpaduan dari eksistensi (wujud)

dan esensi (mahiyah), maka seharusnya baik eksistensi (wujud) maupun eksistensi

(wujud), sebelum berpadu menjadi sesuatu, sudah eksis masing-masingnya. Tetapi

eksistensi (wujud) bukanlah segelas kopi pahit. Dan hubungan antara eksistensi

(wujud) dan esensi (mahiyah) ketika ia menjadi suatu eksisten (mawjud) di dunia

eksternal bukanlah seperti kopi, gula, dan air panas yang menjadi segelas kopi pahit

di dunia eksternal. Ini adalah poin Mulla Sadra. Hubungan antara keduanya adalah

hubungan penyatuan, bukan hubungan penyusunan. Mengapa seseorang mengira

bahwa esensi (mahiyah) ‘tergabung’ dengan eksistensi (wujud) menjadi suatu

eksisten (mawjud) sebagaimana gula, kopi, dan air panas menjadi segelas kopi

adalah karena mereka melihat eksistensi (wujud) sebagai suatu konsep mental

belaka. Yakni, ada suatu konsep mental bernama eksistensi (wujud), yang, jika

dipadukan dengan esensi (mahiyah) akan berubah menjadi sesuatu di dunia

eksternal. Dalam kasus segelas kopi, masing-masing anasirnya telah ada sebelum

keberadaan segelas kopi tadi; tetapi dalam kasus eksisten (mawjud) di dunia

eksternal, tidak ada kejadian penggabungan macam itu, karena esensi (mahiyah)

maupun eksistensi (wujud) dalam artian konsep analitik mental, tidak pernah eksis

di dunia eksternal sebagaimana kopi, gula, dan air panas. Karenanya pertanyaan

ataupun pernyataan mengenai eksistensi (wujud) dari esensi (mahiyah) dan

eksistensi (wujud) sebelum mereka tergabung menjadi eksisten (mawjud) di dunia

eksternal merupakan pertanyaan yang dirumuskan dengan salah.

Hal ini ditegaskan kembali oleh Sadra pada jawabannya untuk pertanyaan

kelima. eksistensi (wujud) tidaklah anterior bagi esensi (mahiyah), tidak pula

posterior atau simultan. Karena esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud) sebagai

konsep mental merupakan suatu universal yang hanya ada dalam pikiran, dan bukan

pada dunia eksternal, relasi macam ini tidak terjadi pada dunia eksternal. Pada kasus

segelas kopi, kita dapat menyatakan bahwa eksistensi (wujud) kopi, gula, dan air

panas mendahului eksistensi (wujud) dari segelas kopi tersebut; atau setidaknya, di

sana harus ada wadah di mana ketiga hal ini dipadukan, katakanlah, gelas. Tetapi

esensi (mahiyah) bukanlah gelas, eksistensi (wujud) bukanlah kopi. Kita tidak dapat

Page 236: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

222

menyatakan bahwa eksistensi (wujud) ada lebih dahulu dari esensi (mahiyah), atau

lebih akhir dari esensi (mahiyah), atau bersamaan dengan esensi (mahiyah). Dalam

kenyataan, segelas kopi tidaklah dibuat dari perpaduan antara eksistensi (wujud)

dan esensi (mahiyah) kopi, begitu pula, dalam kenyataan, sesuatu hal tidaklah ada

karena perpaduan dari eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). Yang ada ialah

eksistensi (wujud), eksistensi (wujud) kopi, gula, air panas, dan sebagainya. Esensi

(mahiyah) hanya dapat ada karena kita melihat sesuatu dengan pikiran kita, esensi

(mahiyah) adalah produk analitik dari pikiran kita, sebagaimana juga eksistensi

(wujud) dalam artian universal konseptual. Pada mulanya adalah eksistensi (wujud),

setelah kita memikirkan sesuatu, barulah kita melihat adanya perbedaan antara

eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). Sadra menutup jawaban dari pertanyaan

kelima ini sebagai berikut:

“Aksidentalitas eksistensi (wujud) bagi esensi (mahiyah) ada karena intelek

mampu melihat esensi (mahiyah) sebagai esensi (mahiyah) dan terpisah dari

eksistensi (wujud). Karenanya [intelek] mendapati bahwa eksistensi (wujud)

ada di luar esensi (mahiyah). Jika seseorang kembali pada pertanyaan terkait

relasi antara keduanya, ketika mereka dipisahkan oleh pikiran, maka dapat

dikatakan bahwa kedua hal ini [eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)],

sejauh mereka dilihat melalui analisis mental, eksis secara simultan. [...] ketika

seseorang berbicara mengenai simultanitas antara esensi (mahiyah) dan esensi

(mahiyah) dalam kenyataan, hal ini bermakna bahwa eksistensi (wujud) eksis

dengan sendirinya, dan esensi (mahiyah) bersatu dengannya dan menjadi

eksisten (mawjud) melaluinya [eksistensi (wujud)] dan bukan melalui sesuatu

yang lain.”45

Pertanyaan kedelapan adalah pertanyaan yang masih terkait dengan pertanyaan

keempat dan kelima, yakni mengenai persoalan relasi eksistensi-esensi ini.

Karenanya, kita akan membahas pertanyaan ini dalam sub-bab berikutnya.

45 “The accidentality of wujud for quiddity is that the intellect is able to consider the quiddity as it is

and separate from wujud. Thus, [the intellect] finds wujud to be external to the quiddity. If one comes

back to the question concerning the relation between the two, when they are disengaged by the mind,

it will be said that these two [mahiyah and wujud], inasmuch as they are considered through mental

analysis, exist simultaneously [...] when one speaks of the simultaneity of quiddity and wujud in

reality, it means that wujud is existent by itself, and quiddity is united with it and is existent through

it [wujud] and noy through something else.” Masha’ir, ¶ 55, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical

Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr

(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 25.

Page 237: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

223

2. Relasi Eksistensi-Esensi

a. Penembusan Kelima

Mulla Sadra memberi subjudul bagi Penembusan Kelima dengan kalimat

“Perihal bagaimana eksistensi (wujud) disifatkan kepada esensi (mahiyah).” Pada

hakikatnya, ini merupakan persoalan yang sudah sering dibahas dalam penelitian

ini. Persoalan yang dimulai dari teks Aristotelian yang menyatakan bahwa kita

dapat memahami dua hal dari sesuatu, yakni eksistensi dan esensinya. Persoalan

yang kemudian menjadi salah satu persoalan sentral dalam diskursus filsafat Islam

yang ditandai dengan istilah ‘arid, aksidentalitas, yang dikembangkan oleh Farabi

dan kemudian diperinci oleh Ibn Sina. Bagaimana eksistensi (wujud) disifatkan

kepada esensi (mahiyah)? Kita juga telah melihat bagaimana gagasan mengenai

aksidentalitas ini menjadi titik tolak kritik Suhrawardi atas Ibn Sina, hal yang juga

telah kita bahas sebelumnya, persoalan mengenai primasi. Dalam pembahasan soal

primasi eksistensi, kita telah melihat bagaimana Sadra menjawab persoalan

“manakah di antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) yang merujuk kepada

realitas in concreto?” Mulla Sadra menjawab persoalan ini dengan menegaskan

primasi eksistensi. Primasi eksistensi berarti bahwa eksistensi (wujud) adalah yang

paling utama dalam realitas, bukannya esensi (mahiyah). Maksud dari pernyataan

ini pun sudah kita bahas. Pertanyaan yang hadir kemudian adalah, “Jika dalam

persoalan primasi, eksistensi (wujud) adalah hal yang merujuk kepada realitas, lalu

bagaimana dengan esensi (mahiyah)?” Apakah esensi (mahiyah) tidak merujuk

kepada realitas, dan yang lebih penting lagi, apakah esensi (mahiyah) sendiri eksis?

Jika ia eksis, bagaimana ia eksis? Bagaimana esensi (mahiyah) dapat disebut eksis?

Ini adalah pertanyaan yang diajukan dalam persoalan relasi eksistensi-esensi.

Bagaimana esensi (mahiyah) disebut eksis memiliki makna yang sama dengan

“bagaimana eksistensi (wujud) disifatkan kepada esensi (mahiyah).”

Sebelumnya kita telah membahas pertanyaan-pertanyaan seputar eksistensi

(wujud) yang dijawab oleh Sadra dalam penembusan keempat, dan menyisakan satu

pertanyaan, yakni pertanyaan kedelapan. Mari kita tinjau kembali pertanyaan ini.

Ini adalah pertanyaan kedelapan dalam penembusan keempat:

“Jika eksistensi (wujud) eksis bagi esensi (mahiyah), maka ia memiliki suatu

relasi dengannya; dan juga akan terdapat suatu eksistensi (wujud) bagi relasi

Page 238: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

224

ini. Lebih jauh, eksistensi (wujud) dari relasi ini akan menjadi suatu relasi

dengan relasi. Argumen yang sama dapat diterapkan pada eksistensi (wujud),

arti relasi dari relasi tersebut, yang mengarah pada suatu regressio ad

infinitum.”46

Dan berikut adalah jawaban Sadra bagi pertanyaan ini:

“Penjelasan-penjelasan sebelumnya cukup untuk menyingkirkan sanggahan

ini karena eksistensi (wujud) adalah esensi (mahiyah) itu sendiri in concreto

dan berbeda dari esensi (mahiyah) secara konseptual. Karenanya, tidak

terdapat relasi antara keduanya, kecuali jika dilihat dalam pikiran.

Dengan pertimbangan ini, relasi ini memang memiliki suatu eksistensi

(wujud) tertentu, yang pada hakikatnya adalah relasi ini sendiri dan yang

berbeda sejauh terkait dengan eksistensi (wujud) eksternalnya. Regresi tak

terhingga ini akan hancur segera setelah pertimbangan rasional ditanggalkan.

Kau akan mengetahui bagaimana keduanya [eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah)] terhubung sesuai dengan keadaan mereka berdasarkan analisis

konseptual.”47

Demikian adalah rumusan awal Sadra mengenai relasi eksistensi (wujud) dan

esensi (mahiyah); penjelasan yang ia janjikan di akhir kalimat tersebut adalah

penembusan kelima dengan subjudul yang telah kami sebut di atas. Karena itulah,

sub-bab ini menjadikan penembusan kelima menjadi rujukan utama, ditambah

dengan penembusan keenam terkait aksidentalitas eksistensi (wujud) yang

merupakan perpanjangan argumen dari penembusan kelima, serta fragmen-fragmen

jawaban Sadra yang terurai di banyak tempat di teks Masha’ir.

Empat paragraf awal dari penembusan kelima teks Masha’ir (¶ 69-72) cukup

sulit dipahami dan memerlukan pengetahuan dasar dalam disiplin logika. Sadra

memulai penembusan kelima dengan menambah satu pertanyaan hipotesis

46 “If wujud exists for quiddity, then it has a relationship to it; and there is also a wujud for this

relationship. Furthermore, the existence of this relationship would have a relation to relation. The

same argument can be made concerning the wujud of that relationship of the relationship, leading to

a regressio ad infinitum.” Masha’ir, ¶ 67, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations,

Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah:

Brigham Young University Press, 2014) h. 27. 47 “The preceding explanations suffice to remove this objection because wujud is quiddity itself in

concreto and is different from quiddity only conceptually. There is, therefore, no relation between

the two, except as considered in thought.

Under this consideration, the relationship does possess a certain existence, which is

essentially this relationship itself and which is different in so far as its external existence is

concerned. This kind of infinite regression is broken as soon as rational consideration is removed.

You will come to know later how the two [wujud and mahiyah] are connected according to their

condition under conceptual analysis.” Masha’ir, ¶ 68, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical

Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr

(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 27.

Page 239: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

225

mengenai eksistensi (wujud) dan relasinya dengan esensi (mahiyah). Ini adalah

pertanyaan yang diandaikan oleh Sadra:

“Mungkin kau akan kembali bertanya: “Jika bagi eksistensi (wujud) terdapat

individuasi dalam esensi (mahiyah), maka penegasan dari semua individuasi

eksistensi (wujud) bagi esensi (mahiyah) akan mengandaikan realitas positif

dari esensi (mahiyah), menurut suatu prinsip yang terkenal. Akibatnya, esensi

(mahiyah) sudah selalu memiliki suatu realitas positif sebelum realitas

positifnya sendiri, sebagaimana telah disebutkan.””48

Individuasi adalah apa yang membuat sesuatu itu berbeda dengan yang lain.

Andaikan terdapat dua buku di hadapan kita, individuasi buku A menjadikannya

berbeda dengan buku B. Ini poin pertama yang harus dipahami. Kemudian, ‘prinsip

yang terkenal’ yang dimaksudkan oleh Sadra adalah prinsip derivasi. Maksud dari

prinsip ini adalah, ketika kita menyifati ‘putih’ pada sesuatu, semisal buku,

penyifatan ini mengharuskan bahwa apa yang disifati itu eksis: agar kita dapat

menyebut suatu ‘buku’ sebagai ‘buku putih’, maka pertama-tama ‘buku’ haruslah

eksis; ini adalah prinsip derivasi. Dari sini, kita dapat memahami apa yang

dimaksud Sadra dalam pertanyaan hipotetis di atas. Jika bagi eksistensi (wujud)

terdapat individuasi dalam esensi (mahiyah), maka penegasan tersebut

mengandaikan realitas positif dari esensi (mahiyah). Kita dapat memperjelas

kalimat ini dengan contoh: andaikan terdapat dua warna, atau kualitas, yakni ‘putih’

dan ‘hitam’ yang akan membedakan antara ‘buku putih’ dan ‘buku hitam’; maka

penyifatan ‘hitam’ dan ‘putih’ pada buku ini – yang sekaligus merupakan

individuasi – mengandaikan ‘buku’ tersebut eksis terlebih dahulu.

Kini, mari kita masukkan faktor eksistensi (wujud) dalam penyifatan tersebut.

Terdapat dua sifat, warna, atau kualitas, yakni putih (p), dan hitam (h). Terdapat

satu esensi (mahiyah), yakni buku (B). Penambahan p atau h kepada B menjadi Bp

atau Bh menjadikan Bp dan Bh berbeda, artinya, penambahan salah satunya

mewujudkan individuasi bagi B. Berdasarkan prinsip derivasi, B harus terlebih

dahulu eksis sebelum ia dapat disifati dengan p atau h. Maka kini terdapat tiga hal

48 “Perhaps you will return and say: “If there were to be for wujud individuations in quiddities other

than portions, then the affirmation of all individuation of wujud for quiddity would presuppose the

positive reality of the quiddity, according to the well-known principle. Consequently, quiddity

would already have to possess a certain positive reality before its own positive reality, as was

mentioned.” Masha’ir, ¶ 69, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-

Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young

University Press, 2014) h. 28.

Page 240: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

226

berbeda, yakni eksistensi (wujud) B, eksistensi (wujud) p, dan eksistensi (wujud) h.

Inti dari pertanyaan hipotetis Sadra di atas ialah bahwa eksistensi (wujud) B, sebagai

subjek yang disifati, harus ada terlebih dahulu sebelum eksistensi (wujud) p dan h,

sebagai sesuatu yang menyifati subjek tersebut. Mari kita lihat jawaban Sadra bagi

pertanyaan hipotetis ini.

“Ketahuilah bahwa pengajuan sanggahan ini tidak terkait dengan realitas

konkret dari eksistensi (wujud). Justru, ketika ia terkait dengan persoalan

eksistensi (wujud) sebagai suatu konsep abstrak, maka kesulitan-kesulitan

muncul, karena eksistensi (wujud) itu sama dengan esensi (mahiyah) di titik

realitas konkret. Tepatnya, tidak terdapat penyifatan di antara keduanya; dan

pandangan yang sama dapat diterapkan dalam kasus lainnya.

[eksistensi (wujud)] kemudian menjadi suatu sifat bagi [esensi (mahiyah)].

Adalah modalitas dari penyifatan ini yang menyebabkan kesulitan, karena jika

seseorang berbicara mengenai penyifatan eksistensi (wujud) atas esensi

(mahiyah), hal ini bergantung kepada apa yang dimaksud seseorang dengan

kata ‘ada’, maka subjek yang menerima sifat tersebut adalah perwujudan dari

esensi (mahiyah).”49

Poin pertama yang disampaikan oleh Sadra dalam kalimat di atas ialah bahwa

pertanyaan hipotetis di atas muncul karena eksistensi (wujud) yang dimaksud

adalah eksistensi (wujud) sebagai konsep mental abstrak. Hal ini, yakni

menganggap bahwa eksistensi (wujud), atau kata ‘eksis’ dalam kalimat, misalkan

‘buku eksis’, merupakan konsep mental belaka, akan menimbulkan kesulitan-

kesulitan. Kesulitan yang dimaksud Sadra dalam kalimat di atas adalah kesulitan

tersebut. Mari kembali kepada contoh di atas, yakni buku, hitam, dan putih.

Terdapat tiga hal, B, p dan h, di mana B adalah subjek yang disifati, dan p dan h

merupakan kualitas yang disifatkan kepada B. Kesulitan yang disebutkan Sadra di

atas adalah kesulitan yang lahir dari pertanyaan semisal ‘jika B, p dan h sama-sama

eksis, maka berdasarkan prinsip derivasi, eksistensi (wujud) B harus mendahului

eksistensi (wujud) p dan h’. Di depan saya terdapat dua buku, yakni buku hitam dan

49 “Know that the allegation of this objection does not concern the concrete reality of wujud. Rather,

when it pertains to the problem of wujud as an abstract concept, then difficulties arise, because wujud

is the same as quiddity in point of concrete reality. Properly speaking, there is no real qualification

between the two; and the same view applies to other cases.

[Wujud] thus become a qualification for [quiddity]. It is the modality of this qualification

that causes difficulty because if one speaks of the qualification of quiddity by wujud, depending on

what one means by infinitive existence, then the subject that receives the predicate is the

actualization of the quiddity.” Masha’ir, ¶ 70, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations,

Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah:

Brigham Young University Press, 2014) h. 28.

Page 241: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

227

buku putih, berdasarkan kalimat tersebut, ‘buku’ harus mendahului ‘putih’ dan

‘hitam’; eksistensi (wujud) ‘buku’ harus mendahului ‘hitam’ dan ‘putih.’ Mari kita

ganti kualitas p dan h menjadi eksistensi (wujud), e. Dan membandingkan kedua

contoh tersebut.

B adalah ‘buku’ sebagai subjek yang disifati; h, p, dan e adalah kualitas, yang

mewakili ‘hitam’, ‘putih’ dan ‘eksis’. Maka, berdasarkan prinsip derivasi, kita

dapat menyatakan bahwa: Agar B dapat disifati dengan h atau p atau e, B harus

eksis terlebih dahulu. Hal ini tidak terlalu masalah dengan kualitas h atau p, tetapi

jika B disifati dengan e, maka konsekuensinya adalah: agar e sebagai kualitas dapat

disifatkan kepada subjek B, maka B harus eksis terlebih dahulu. Kita kembali

kepada persoalan mengenai sesuatu yang eksis sebelum eksistensi (wujud) eksis.

Inilah kesulitan yang disebutkan oleh Sadra, dan karenanya, Sadra berulangkali

menyatakan bahwa segala kesulitan semacam ini lahir dari pikiran bahwa yang

dimaksud eksistensi (wujud) hanyalah eksistensi (wujud) sebagai konsep mental

abstrak belaka. Maka Sadra menulis:

“Keadaan ini akan berbeda jika eksistensi (wujud) adalah suatu hal yang

nyata in concreto, sementara esensi (mahiyah) memiliki suatu perwujudan

konseptual di luar eksistensinya.”50

Maka ini merupakan rumusan Sadra yang singkat, padat dan jelas mengenai

relasi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah): eksistensi (wujud) berada pada level

fenomenal, sementara esensi (mahiyah) berada pada level konseptual. Akan tetapi,

rumusan ini masih belum jelas karena, meskipun kita telah mengetahui bahwa

eksistensi (wujud) berada pada level fenomenal, in concreto, dan bahwa esensi

(mahiyah) berada pada level konseptual, kita masih belum mengetahui bagaimana

persisnya keduanya terkait. Maka, Sadra melanjutkan:

“Eksistensi (wujud) dari semua eksistensi kontinjen adalah persisnya esensi

(mahiyah) mereka in concreto dan terpadu dengannya dalam sejenis

penyatuan. Hal ini berdasarkan apa yang telah dibuktikan dan dikukuhkan

terkait penjelasan kami bahwa eksistensi (wujud) nyata adalah sesuatu yang

terwujud in concreto. Ini adalah prinsip mengenai akibat-akibat [pada hal-

ihwal] dan sumber dari keadaan-keadaan [eksistensial]; dan melaluinya, esensi

50 “The situation is different if it is wujud that is the real thing in concreto, while quiddity possesses

a conceptual actuality outside its wujud.” Masha’ir, ¶ 70, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical

Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr

(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 28.

Page 242: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

228

(mahiyah) menjadi eksisten (mawjud) dan non-eksistensi disisihkan darinya.

Dan jika eksistensi (wujud) dari masing-masing esensi (mahiyah) bukanlah

eksistensi (wujud) yang terjadi in concreto dan tidak terpadu dengannya,

[dilema] berikut akan lahir: entah eksistensi (wujud) merupakan suatu bagian

dari esensi (mahiyah), atau ia ditambahkan kepadanya sebagai suatu

aksiden.”51

Inilah rumusan pertama mengenai relasi antara eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah). eksistensi (wujud) adalah esensi (mahiyah) yang eksis sebagai eksisten

(mawjud) di dunia eksternal. Artinya, seperti yang telah dijelaskan oleh Sadra, pada

level eksternal, tidak ada perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)

pada level eksternal, fenomenal, atau pre-konseptual. Melalui eksistensi (wujud)

dari eksisten (mawjud) in concreto, atau melalui keberadaan dari sesuatu di level

fenomenal, atau dunia eksternal, esensi (mahiyah) terlahir. esensi (mahiyah) dan

eksisteni terkait dan bersatu di level fenomenal, baru pada level konseptual,

keduanya terpisah. Kemudian, Sadra menjelaskan lebih lanjut:

“Setelah ditegaskan bahwa eksistensi (wujud) dari setiap eksistensi kontinjen

adalah persisnya esensinya in concreto, maka [salah satu dari dua pilihan]

dihasilkan: entah bahwa di sana terdapat perbedaan antara esensi (mahiyah)

dan eksistensi (wujud) dalam makna dan konsep, atau tidak terdapat perbedaan

di antara keduanya. Hipotesis kedua salah.

Jika tidak, maka manusia dan eksistensi (wujud), contohnya, akan menjadi

dua kata yang sinonim, dan karenanya kalimat ‘Manusia itu eksisten

(mawjud)’ menjadi tidak berarti. Sama halnya, berkata bahwa “Manusia itu

eksisten (mawjud)” dan berkata bahwa “Manusia itu manusia” akan memiliki

makna yang sama. [...] Karenanya, kini tersisa pilihan pertama - bahwa esensi

(mahiyah) dan eksistensi (wujud) berbeda satu sama lain dalam makna ketika

mereka dianalisis oleh pikiran, sementara mereka membentuk satu

ketunggalan secara hakikat in concreto.”52

51 “The wujud of all contingent existents is their very quiddity in concreto and is united with it in

some kind of unification. This is so based on what was confirmed and established concerning our

explanation that the real wujud is something actual in concreto. It is the principle of effects [on

things] and the source of [existential] states; and through it, quiddity becomes existent and

nonexistence is removed from it. And if the wujud of each quiddity were not in concreto and were

not unified with it, the following [dilemma] would ensue: either wujud is a part of quiddity, or it is

added to it as an accident.” Masha’ir, ¶ 73, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations,

Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah:

Brigham Young University Press, 2014) h. 30. 52 “Once it is established that the wujud of every contingent being is its very quiddity in concreto,

then [one of the two alternatives] follows: either there exists between quiddity and wujud a difference

in meaning and in concept, or there is no difference. The second hypothesis is false.

Otherwise man and wujud, for example, would be two synonymous terms, and there would

be no benefit in saying, “Man is existent.” In the same way, to say that “Man is existent” and to say

that “Man is man” would amount to saying the same thing. But in reality, we can conceive one of

them while disregarding the other. [These false assumptions] would lead to other absurd

consequences mentioned in common books. Furthermore, the absurdity of each of these

Page 243: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

229

Kalimat di atas cukup jelas. Ini adalah penegasan dari paragraf sebelumnya

bahwa eksistensi (wujud) adalah eksistensi (wujud) dari esensi (mahiyah) yang

eksisten (mawjud) di level fenomenal. Kemudian, Sadra memasukkan perkara

linguistik dalam perumusan gagasan ini. Setelah kita mengetahui bahwa pada level

fenomenal eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) berpadu, dan bahwa pada level

konseptual keduanya terpisah, maka pertanyaannya, bagaimana relasi keduanya

dilihat dari segi linguistik? Jawaban Sadra tentunya jelas, karena makna, bahasa

dan universal berada pada level konseptual, tentu saja keduanya dapat dipisahkan,

dengan kata lain, eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) terpisah dan berbeda

secara linguistik, secara maknawi. Setelah memberikan rumusan tersebut, Sadra

kemudian mengajukan persoalan berikutnya.

“Kini, tersisa [bagi kita] suatu argumen untuk menjelaskan cara yang

dengannya eksistensi (wujud) disifatkan kepada esensi (mahiyah) dengan

mempertimbangkan perbedaan dalam penyifatan terkait analisis mental, yang

pada dirinya juga merupakan sejenis cara eksistensi (wujud) dari suatu hal itu

sendiri tanpa [sesuatu yang lain] yang membuat atau melahirkan [nya].

Kesulitan ini terkait dengan fakta bahwa tiap subjek yang disifati oleh suatu

penyifatan, atau tiap subjek di mana terdapat suatu aksiden, niscaya harus

memiliki suatu derajat eksistensi (wujud) tertentu yang dengannya, sebelum

penyifatan atau aksiden ini, bukanlah suatu subjek yang disifati oleh

penyifatan ini bukan pula suatu subjek di mana aksiden ini bertempat.

Akibatnya, entah eksistensi (wujud) terjadi pada suatu esensi (mahiyah) yang

eksis, atau ia terjadi kepada suatu esensi (mahiyah) yang tidak eksis, atau ia

terjadi kepada suatu esensi (mahiyah) yang tidak eksis tidak pula tidak eksis.

Hipotesis pertama mengarah kepada petitio principi dan regressio ad

infinitum. Hipotesis kedua mengarah kepada kontradiksi; dan hipotesis ketiga,

pembatalan dari dua kontradiksi tersebut.”53

consequences postulates the absurdity of the antecedent. Therefore, there remains the first alternative

- that is, that quiddity and wujud are different from each other in their meaning when they are

analyzed by the mind, while they form one single unity essentially and in their ipseity in concreto.”

Masha’ir, ¶ 74, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel

English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press,

2014) h. 31. 53 “There remains [for us] an argument to explain the manner in which quiddity is qualified by wujud

considering the difference in qualification with regard to mental analysis, which itself is also a

certain mode of wujud of the thing itself without [something else] making or generating [it]. This

difficulty pertains to the fact that each subject qualified by a qualification, or each subject to which

there inheres an accident, must of necessity have a certain degree of existence in function of which

before this qualification of this accident, it is neither a subject qualified by this qualification nor a

subject in which this accident inheres.

Consequently, either wujud happens to a quiddity that exists, or it happens to a quiddity

that does not exist. The first hypothesis involves petitio principi and regressio ad infinitum. The

second hypothesis implies contradiction; and the third hypothesis, the cancelling of two

contradictions.” Masha’ir, ¶ 75, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-

Page 244: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

230

Ini adalah kesulitan yang telah kita temui dalam contoh persoalan buku hitam

dan putih di atas. Jika buku (B) adalah suatu subjek yang disifati dengan putih (p)

atau hitam (h), dan dengan prinsip derivasi yang mengharuskan bahwa subjek B

harus eksis terlebih dahulu agar penyifatan p atau h kepadanya absah secara logis.

Kita telah memahami bahwa eksistensi (wujud) berada pada dunia eksternal, in

concreto, level fenomenal; dan bahwa esensi (mahiyah) berada pada level

konseptual atau dalam pikiran; dan bahwa makna dari esensi (mahiyah) dan

eksistensi (wujud) berbeda. Tetapi kesulitan masih ada, jika dilihat dari prinsip

derivasi. Bagaimana kesulitan ini dilampaui? Persoalan ada di dua sisi; pertama,

bahwa subjek kali ini, adalah esensi (mahiyah) B yang berada pada level konseptual,

dan juga sifat p dan h berada pula pada level konseptual, yang ada di level

fenomenal adalah dua buku, buku hitam dan buku putih, tetapi bagaimana kita tetap

dapat menyatakan bahwa p dan h dapat disifatkan kepada B tanpa kontradiksi logis?

Persoalan ini dan persoalan lainnya merupakan persoalan yang lahir, sekali lagi,

dari keabaian seseorang untuk memperhatikan dan mempertimbangkan level

realitas. Berikut ini adalah penjelasan Mulla Sadra mengenai hal ini dengan cukup

panjang namun jelas.

“Pengujian atas keadaan ini mengarahkan kita, berdasarkan apa yang telah

kami tunjukkan, untuk mengatakan bahwa aksiden dari esensi (mahiyah)

terdiri dari sesuatu yakni esensi (mahiyah) itu sendiri dalam eksistensi (wujud)

dan bahwa hal itu berbeda dalam analisis rasional: adalah kudrat dari intelek

untuk membagi suatu eksisten (mawjud) menjadi suatu esensi (mahiyah) dan

eksistensi (wujud). Dalam analisis ini, pikiran memisahkan keduanya satu

sama lain dan menyimpulkan anterioritas dari satu atas yang lain dan

penyifatan dari satu atas yang lain.

Terkait apa yang ada in concreto, prinsip dan eksisten (mawjud) yang benar

adalah eksistensi (wujud) karena ini merupakan apa yang pada hakikatnya lahir

dari pencipta. esensi (mahiyah) berpadu dengan eksistensi (wujud) dan disifati

olehnya, tetapi tidak dengan cara di mana aksiden dilekatkan kepada sesuatu.

Justru, penyifatan [eksistensi (wujud)] atas esensi (mahiyah) dan

perpaduannya bergantung kepada dirinya sendiri. Terkait tatanan dalam

pikiran, apa yang anterior adalah esensi (mahiyah), karena ini merupakan suatu

konsep universal dalam pikiran yang dicapai bersama kudratnya dalam

pikiran. Apa yang dicapai dari eksistensi (wujud) [oleh pikiran, -red] adalah

konsep umum mengenainya.

Karenanya, esensi (mahiyah) merupakan prinsip dalam penilaian mental dan

bukan dalam penilaian yang terkait dengan dunia eksternal. Anterioritas ini

Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young

University Press, 2014) h. 31.

Page 245: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

231

adalah anterioritas berdasarkan makna dan esensi (mahiyah) dan bukan

berdasarkan eksistensi (wujud).”54

Dari kutipan panjang di atas, kini kita dapat menyatakan rumusan relasi

eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) menurut Mulla Sadra. Pertama, aksiden

dari esensi (mahiyah) adalah esensi (mahiyah) itu sendiri dalam eksistensi (wujud).

Mari kita kembali ke contoh buku hitam dan putih. Andaikan ada suatu esensi

(mahiyah) buku, B, dan disifati oleh aksiden p dan h. Aksiden p dan h adalah esensi

(mahiyah) tersebut dalam eksistensi (wujud), yakni, jika di hadapan kita terdapat

dua buku, yakni buku putih dan buku hitam; dan bahwa buku putih adalah esensi

(mahiyah) buku yang disifati oleh putih dan buku hitam adalah esensi (mahiyah)

buku yang disifati oleh hitam. Pada level fenomenal, kita mendapati dua buku,

yakni buku hitam dan buku putih. Pada level ini, kita mendapati dua buku berbeda,

pada level konseptual, kita mengandaikan bahwa dua buku ini dibedakan oleh sifat

p dan h, tetapi apakah itu betul? Jika di hadapan kita ada dua buku dengan warna

yang sama dan dengan ciri yang sama persis, apakah kita dapat membedakan

keduanya berdasarkan aksiden p dan h? Tentu saja tidak, tetapi perbedaan ini tidak

dapat kita temui pada level fenomenal, atau persisnya, kita mengetahui bahwa

keduanya berbeda, bahwa eksistensi (wujud) dari buku satu dan buku dua berbeda,

pikiran kita kemudian mengandaikan perbedaan di antara keduanya. Ini adalah

rumusan kedua mengenai relasi eksistensi-esensi: adalah kudrat pikiran untuk

membagi eksisten (mawjud) menjadi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah).

54 “The verification of this station leads us, based on what we have indicated, to say that the accident

of the quiddity consists of something that is the quiddity itself in wujud and that is different in

rational analysis: it is in the nature of the intellect to analyze the existent into a quiddity and wujud.

In this analysis, the mind disengages each of these two from the other and concludes the anteriority

of one over the other and its qualification by the other.

As for that which is in concreto, the principle and the existent is wujud because it is

essentially what proceeds from the instaurer. Quiddity is united with wujud and is predicated of it,

but not in the manner in which the attached accident are. Rather, [quiddity’s] predication of [wujud]

and its unification with it is in regard to its own ipseity and essence. As for the order in the mind,

what is anterior is the quiddity, because it is a universal concept in the mind that is obtained with its

very essence in the mind. What is obtained from wujud is its general concept.

Therefore, quiddity is the principle in mental judgments and not in the judgments related

to the external world. This anteriority is anteriority by meaning and quiddity and not by wujud.”

Masha’ir, ¶ 77, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel

English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press,

2014) h. 32.

Page 246: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

232

Kita telah mengetahui bahwa buku satu dan buku dua berbeda, tetapi pikiran

kita membedakannya lebih jauh, eksisten (mawjud), yakni buku, dipisahkan dari

aksiden-aksidennya, dari aksiden p dan h, dan lebih lanjut, eksisten (mawjud) buku

dibedakan menjadi eksistensi (wujud) buku dan esensi (mahiyah) buku: meskipun

buku, B disifati oleh suatu aksiden selain p dan h, ia tetaplah buku, ini adalah esensi

(mahiyah) buku. Kemudian, esensi (mahiyah) B ini dapat dipisahkan dari

eksistensinya: karena kita dapat memikitkan esensi (mahiyah) B yang dilekatkan

dengan esensi (mahiyah), misalnya ungu (u), tanpa mengetahui apakah esensi

(mahiyah) ini eksis di dunia eksternal ataupun tidak. Maka eksistensi (wujud) dan

esensi (mahiyah) dari suatu eksisten (mawjud), yakni buku, dibedakan oleh pikiran

kita. Karena mekanisme pemisahan ini, kita kemudian dapat memikirkan persoalan

anterioritas. Setelah diketahui bahwa kita dapat memikirkan esensi (mahiyah) B

yang disifati oleh aksiden u, dan bahwa hal ini belum tentu ada dalam dunia

eksternal, maka kita dapat menanyakan: penyifatan u atas B, berdasarkan prinsip

derivasi mengharuskan agar B eksis terlebih dahulu sebelum u. Namun kita telah

mengetahui bahwa B di sini adalah esensi (mahiyah). Maka, pertanyaan berikutnya:

bagaimana B sebagai esensi (mahiyah) harus eksis terlebih dahulu sebelum eksisten

(mawjud) buku ungu, Bu? Ini adalah persoalan bahwa esensi (mahiyah) harus eksis

terlebih dahulu sebelum ia bisa disifati. Untuk mengatasi persoalan ini, Sadra

menyatakan rumusan berikutnya: Anterioritas ini adalah anterioritas berdasarkan

makna dan esensi (mahiyah) dan bukan berdasarkan eksistensi (wujud). Persoalan

anterioritas ini, karenanya, adalah persoalan relasi eksistensi-esensi yang

disimpulkan oleh pikiran, berdasarkan esensi (mahiyah). Ini adalah persoalan

konseptual dan maknawi, dalam kenyataan, yakni dunia eksternal in concreto,

persoalan ini tidak ada, ia hanya lahir karena pikiran kita memiliki kudrat untuk

membedakan eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), lalu menyimpulkan relasi

hipotesis antara keduanya sebagai anterioritas, posterioritas atau simultanitas. Dan

dari kudrat pikiran ini pula, kita dapat mencapai suatu konsep umum mengenai

eksistensi (wujud). Dan, keabaian bahwa eksistensi (wujud) yang dicapai dengan

cara ini berbeda dengan eksistensi (wujud) yang ada pada dunia eksternal in

concreto, menyebabkan semua kekeliruan yang telah disebutkan terlahir.

Sadra menutup penembusan kelima dengan catatan berikut:

Page 247: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

233

“[...] kami telah menetapkan bahwa eksistensi (wujud) adalah esensi

(mahiyah) itu sendiri in concreto dan bahwa, terlebih lagi, eksistensi (wujud)

adalah penegasan atas sesuatu itu sendiri darn bukan penegasan untuknya;

karenanya, prinsip derivasi tidak diterapkan di sini.

Menerapkan penyifatan kepada relasi yang ada di antara esensi (mahiyah)

dan eksistensi (wujud) adalah menyatakan sesuatu dalam suatu makna umum

dan pengibaratan, karena relasi antara keduanya [esensi (mahiyah) dan

eksistensi (wujud)] termasuk ke dalam relasi penyatuan. Ia tidak seperti relasi

antara sebuah subjek dan aksidennya, atau antara subjek yang disifati dengan

aksiden yang menyifatinya. Justru, penyifatan ini adalah seperti penyifatan

atas genus oleh pembedaan spesifik dalam perkara suatu spesies

sederhana…”55

Dalam catatan tersebut, Sadra merangkum perumusannya atas relasi eksistensi

(wujud) dan esensi (mahiyah). bahwa eksistensi (wujud) adalah esensi (mahiyah)

itu sendiri di dunia eksternal, eksistensi (wujud) tidak lain dari esensi (mahiyah)

yang eksis sebagai suatu eksisten (mawjud) di level fenomenal. Prinsip derivasi

yang telah disebutkan tidak berlaku di level fenomenal. Bahwa ketika kita menyifati

suatu esensi (mahiyah) sebagai eksis, misalnya, esensi (mahiyah) buku eksis di

dunia eksternal, hal ini tidak berarti bahwa esensi (mahiyah) buku anterior dari

eksistensi (wujud) buku di dunia eksternal. Pemisahan antara eksistensi (wujud) dan

esensi (mahiyah) buku hanya dapat dilakukan pada level konseptual, karenanya,

relasi aksidentalitas antara keduanya adalah relasi mental belaka. Dan karenanya,

hal ini tidak melanggat prinsip kontradiksi sejauh eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah) dari buku hanya dapat dipisahkan dalam level konseptual. Relasi antara

eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) buku bukan seperti relasi antara suatu

subjek dengan aksiden di mana, semisal kita menyatakan bahwa suatu subjek, yakni

buku, disifati dengan aksiden ‘mahal’, buku ini harus eksis terlebih dahulu sebelum

sifat ‘mahal’ dilekatkan kepadanya. Relasi antara eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah) adalah relasi antara genus dan pembedaan spesifik. Dalam contoh

55 “...we have established that wujud is quiddity itself in concreto and that, moreover, wujud is the

affirmation of the thing itself and not the affirmation for it; therefore, the principle of derivation does

not apply here.

To apply qualification to the relationship that exists between quiddity and wujud is to speak

in a general and figurative sense, because the relation between the two [quiddity and wujud] is of

unitive order. It is not like the relation between a subject and its accident, or between the subject

qualified and the attribute that qualifies it. Rather, it is more like the qualification of a genus by its

specific difference in the case of a simple species, when this is carried out by the mind with regard

to them being a genus and specific difference and not with regard to them being intelligible matter

and form.” Masha’ir, ¶ 80, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir:

A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University

Press, 2014) h. 34.

Page 248: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

234

setangkai bunga mawar di atas, kita telah mencontohkan bahwa setangkai bunga

mawar di hadapan kita tidak terjadi karena ada subjek, yakni genus atau esensi

(mahiyah) ‘bunga’ eksis kemudian disifati dengan ‘mawar’ baru mereka dapat kita

amati dan indera dalam level fenomenal. Datum yang kita peroleh dari level

fenomenal sederhana: di depan saya ada setangkai bunga mawar. Baru ketika kita

memisahkan antara esensi (mahiyah) ke-bunga-an dan ke-mawar-an, dan

memisahkan esensi (mahiyah) tersebut dari eksistensi (wujud) partikular bunga di

depan saya ini, kita dapat memikirkan mengenai persoalan anterioritas,

posterioritas, atau simultanitas dari eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) bunga

mawar.

b. Penembusan Keenam

Penembusan Keenam adalah salah satu bab dalam Masha’ir yang paling

singkat, ia terdiri dari delapan paragraf saja (¶ 81-88). Di sini, Sadra memberi

subjudul “Mengenai partikularisasi dari eksistensi (wujud) individual – dalam suatu

ringkasan.” Persoalan individuasi ini hakikatnya bukan suatu persoalan yang

dibahas oleh Sadra secara rinci dalam Masha’ir, namun ia terurai di banyak

penembusan dan kesaksian dalam Masha’ir. Berdasarkan apa yang telah kita bahas,

penembusan keenam ini menjelaskan beberapa persoalan yang telah kita singgung,

yakni persoalan aksidentalitas (¶ 82-84), yang merupakan kelanjutan argumen

Sadra dalam penembusan ketiga (¶ 31-35); penjelasan singkat mengenai makna

eksisten (mawjud) sederhana (¶ 81); pengakuan konversi Sadra dari esensialisme

ke eksistensialisme (¶ 85); pembahasan singkat mengenai modulasi eksistensi (¶

86-87); dan pembahasan singkat mengenai partikularisasi (¶ 88). Dari sini kita

dapat melihat bahwa Sadra tidak memberikan pembahasan yang ingin ia janjikan

melalui subjudul tersebut, faktanya, ia hanya memberikan satu paragraf, yakni ¶ 88

untuk membahas hal tersebut. Maka, di sini kami akan menghadirkan pembahasan

lanjutan aksidentalitas pada ¶ 82-84 yang tidak lain dari pengutipan Sadra atas Ibn

Sina terkait persoalan ini, sementara pembahasan modulasi eksistensi, yakni ¶ 86-

87 akan dibahas pada sub-bab terakhir dalam bab ini.

Pada sub-bab Primasi eksistensi, penembusan ketiga, kita telah melihat

bagaimana Sadra menjelaskan persoalan aksidentalitas yang dicakup dalam

Page 249: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

235

pembahasan primasi eksistensi. Pertama, Sadra membagi dua jenis aksidentalitas,

yakni aksidentalitas terkait dengan eksistensi (wujud) dan aksidentalitas terkait

dengan esensi (mahiyah). Aksidentalitas terkait eksistensi (wujud) artinya adalah

bahwa penyifatan aksiden atas suatu subjek terjadi pada level fenomenal, in

concreto, dan karenanya disifatkan secara primer; contohnya, ketika di hadapan kita

terdapat suatu buku berwarna hitam, penyifatan kualitas hitam pada buku tersebut

adalah peristiwa di dunia eksternal, yakni buku ini.

Aksidentalitas terkait eksistensi (wujud) artinya pennyifatan suatu aksiden atas

suatu subjek terjadi pada level konseptual, yakni, merupakan relasi yang terjadi

antara dua konsep universal. Andaikan ada dua universal, yakni ‘wanita’ dan

‘cantik’, maka penyifatan cantik kepada wanita, dan relasinya sebagai dua

universal, terjadi pada level konseptual. Terdapat suatu universal ‘wanita cantik’

yang dapat disifatkan kepada lebih dari seorang wanita di dunia eksternal in

concreto. Contoh lainnya adalah jika terdapat suatu universal ‘bunga’, sebagai

suatu esensi (mahiyah) atau subjek yang disifati oleh suatu aksiden, maka

pembagian menjadi bunga mawar, bunga melati, dan bunga bakung, misalnya,

adalah bagaimana penyifatan ini terjadi. Artinya, terdapat dua gagasan, dua esensi

(mahiyah), yang satu menyifati yang lainnya; terdapat esensi (mahiyah) bunga,

sebagai genus, yang disifati dengan esensi (mahiyah) mawar, sebagai spesies. Maka

penyifatan mawar kepada bunga adalah contoh penyifatan sekunder yang terjadi

pada level konseptual. Ini adalah yang dimaksud oleh Sadra sebagai relasi antara

pembedaan spesifik dan genus. Berikut adalah penutup dari kutipan dari Sadra pada

penembusan ketiga mengenai hal ini:

“[...] Dan aksidentalitas termasuk ke dalam esensi (mahiyah) dari sudut

pandang analisis sementara bersatu dengannya [in concreto]. Hal yang sama

benar bagi esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud) ketika dikatakan bahwa

eksistensi (wujud) merupakan salah satu aksiden dari esensi (mahiyah).”56

Pembahasan mengenai aksidentalitas eksistensi (wujud) pada penembusan

keenam merupakan perpanjangan argumentasi Sadra tersebut. Sadra membuka

56 “And accidentality belongs to the quiddity from the point of view of analysis while united with it

[in concreto]. The same holds true for quiddity and wujud when it is said that wujud is one of the

accidents of quiddity.” Masha’ir, ¶ 32, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab

al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham

Young University Press, 2014) h. 17.

Page 250: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

236

penembusan keenam dengan pembagian tiga jenis partikularisasi. Intinya, ini

adalah suatu reformulasi bagi divisi eksisten (mawjud) Ibn Sina dengan sedikit

perubahan. Jika Ibn Sina membagi eksisten (mawjud) menjadi tiga, yakni Eksistensi

Niscaya, Eksisten (mawjud) Mungkin atau kontinjen, dan eksisten (mawjud) tak

mungkin, Sadra pun membagi partikularisasi eksistensi (wujud) menjadi tiga

berdasarkan kriteria tersebut. eksistensi (wujud) yang terwujud karena kudrat

eksistensi (wujud) itu sendiri, yakni Eksistensi Niscaya; eksistensi (wujud) yang

terwujud karena eksistensi (wujud) lainnya, yang dibagi menjadi dua: eksistensi

(wujud) ciptaan dan eksistensi (wujud) hal-hal lainnya. eksistensi (wujud) ciptaan

adalah yang eksistensinya disebabkan oleh hal lain dan dicirikan dengan

anterioritas, posterioritas, kesempurnaan dan kekurangan; eksistensi (wujud) hal-

hal lain mencakup apa-apa yang terwujud karena eksistensi (wujud) di luarnya;

kemungkinan besar, Sadra memaksudkan bahwa contoh dari eksistensi (wujud)

terakhir ini adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia melalui susunan-

susunan atau penggabungan anasir-anasir, misalnya pembuatan segelas kopi pahit

yang dilakukan dengan mencampurkan gula, kopi, dan air panas dengan sedemikian

rupa.57

Setelah penjelasan tersebut, Sadra mulai melanjutkan pembahasan mengenai

aksidentalitas eksistensi (wujud). Terkait dengan bagaimana eksistensi (wujud)

terwujud, atau terpartikularisasi dalam dunia eksternal, berikut penjelasan dari

Sadra:

“[...] Membuat analogi antara relasi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)

di satu sisi dan aksiden dan substratum di sisi lain adalah sesuatu yang salah.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, esensi (mahiyah) tidak dapat terwujud

jika dipisahkan dari eksistensi (wujud), dan eksistensi (wujud) tidak lain dari

eksistensi (wujud) dari sesuatu itu sendiri dan bukan eksistensi (wujud) dari

sesuatu yang lain untuk sesuatu tersebut.

eksistensi (wujud) dari suatu aksiden dalam dirinya, sementara ia merupakan

eksistensinya bagi substratumnya, bukanlah dengan sendirinya eksistensi

(wujud) dari substratumnya, berlawanan dengan eksistensi (wujud) yang

menjadi eksistensi (wujud) itu sendiri dari esensi (mahiyah) ini, sejauh ia

memiliki suatu esensi (mahiyah) [...] Terdapat suatu perbedaan antara

eksistensi (wujud) dari aksiden dalam substratum dan eksistensi (wujud) dari

substratum sendiri, karena eksistensi (wujud) dalam kasus pertama [yakni dari

57 Masha’ir, ¶ 81

Page 251: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

237

aksiden tersebut] berbeda dari eksistensi (wujud) dari substratum tersebut,

sementara dalam kasus kedua, adalah [eksistensi (wujud)] itu sendiri.”58

Ini merupakan salah satu pemaparan mengenai persoalan aksidentalitas

eksistensi (wujud) yang kami kira amatlah jelas dari Mulla Sadra. Untuk memahami

pernyataan di atas, kita harus mengandaikan beberapa hal, yakni, apa yang

dimaksud dengan aksiden, substratum, prinsip derivasi, serta predikasi primer dan

predikasi sekunder, atau predikasi teknis umum dan predikasi esensial primer; kita

telah membahas hal-hal tersebut secara terpisah.

Pada pembahasan mengenai aksiden dan substansi di bab sebelumnya, kita

telah mengetahui apa yang dimaksud dengan kedua istilah ini. Aksiden adalah apa-

apa yang dikatakan mengenai sesuatu, yakni substansi. Aksiden merupakan sifat

tetap dari sesuatu yang tak terpisah darinya, tetapi tidak menyusun bagian dari

esensinya. Substansi adalah apa yang dapat eksis dengan sendirinya. Maka kini kita

dapat mencontohkan relasi antara substansi dan aksiden. Andaikan suatu ‘manusia’

eksis, maka kita dapat mengatakan bahwa substansi dari ‘manusia’ adalah

‘rasionalitas’, sementara aksiden dari ‘manusia’ adalah ‘dapat berpuasa tiga hari

tiga malam’. Jika ‘manusia’ kehilangan rasionalitas, maka ia juga kehilangan

kemanusiaannya, tetapi jika ia tidak dapat berpuasa tiga hari tiga malam, ia tidak

serta merta kehilangan kemanusiaannya. Kini, relasi aksiden dan substratum

merupakan relasi semacam itu. Substratum adalah apa-apa yang mendasari sesuatu,

khususnya ketika kita berbicara mengenai predikasi atau penyifatan. Jika suatu

‘dinding’ disifati dengan ‘putih’, maka dalam kasus ini, ‘dinding’ adalah

substratum, dan ‘putih’ adalah ‘aksiden’ yang dilekatkan atau disifatkan kepada

substratum tersebut. Sesuai dengan prinsip derivasi, agar aksiden putih dapat

disifatkan kepada substratum dinding, maka dinding sebagai substratum harus eksis

58 “...It is false to establish an analogy between the relation of wujud to quiddity on the one hand and

accident to the substratum on the other. As was discussed before, quiddity does not subsist separately

from wujud, and wujud is nothing other than the existence of a thing itself and is not the existence

of something else for that thing, in the manner of an accident for a substratum or form for its matter.

The wujud of an accident in itself, while it is its wujud for its substratum, is not, however,

itself the wujud of its substratum, contrary to the wujud that is the very wujud of this quiddity, insofar

as it has a quiddity...There is a difference between the wujud of the accident in the substratum and

the wujud of the substratum itself, because the wujud in the first case [that of the accident] is other

than the wujud of the substratum, whereas in the second case, it is [this wujud] itself.” Masha’ir, ¶

82, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-

Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.

36.

Page 252: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

238

terlebih dahulu. Dan dengan membedakan antara dua jenis predikasi, predikasi

putih atas dinding adalah predikasi primer sejauh ini merupakan sesuatu yang

terjadi di dunia eksternal in concreto.

Jika ini merupakan suatu predikasi primer, yakni terjadi di dunia eksternal,

maka kita dapat mengandaikan bahwa suatu dinding tertentu memiliki warna dasar

tertentu, dan ia tidak harus berwarna putih. Di dunia eksternal, kita mungkin dapat

mengatakan bahwa warna putih berasal dari cat yang dengannya dinding tadi diberi

warna. Dalam kasus ini, putih adalah aksiden bagi subtratum dinding karena ia

dapat dipisahkan darinya. Tidaklah sulit bagi kita untuk membayangkan atau

bahkan membuktikan bahwa di dunia eksternal terdapat dinding yang tidak

berwarna putih, bisa biru ataupun merah. Maka ini adalah relasi antara substratum

dan aksiden di dunia eksternal. Syarat bagi relasi ini adalah bahwa substratum dapat

dipisahkan dari aksidennya.

Kini mari kita melangkah kepada apa yang disebut oleh Sadra sebagai

kesalahan analogi antara relasi aksiden-substratum dengan esensi (mahiyah)-

eksistensi (wujud). Kita telah mengetahui bahwa di dunia eksternal in concreto,

tidak ada perbedaan antara esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud). Sekali lagi,

esensi (mahiyah) adalah eksistensi (wujud) dari suatu eksisten (mawjud) di dunia

eksternal. Perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) hanya dapat

dilakukan ketika daya analitik pikiran kita digunakan. Maka, pada level fenomenal,

kita tentu tidak dapat membedakan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah),

sebagaimana kita dapat membedakan antara dinding dengan warna dinding

tersebut. Adapun, pembedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) hanya

terjadi pada level konseptual, dan pada level inilah substratum, yakni esensi

(mahiyah), dan aksidennya, yakni eksistensi (wujud), dipisahkan. Karenanya, jika

kita menerapkan prinsip derivasi, hal ini tidak dapat kita lakukan di level fenomenal

di mana eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) tidak terpisah; baru pada level

konseptual, kita dapat mempersoalkan hal tersebut, seperti anterioritas, posterioritas

dan simultanitas.

Maka, kini kita dapat mencontohkan relasi substratum-aksiden dengan dua

jenis predikasi. Andaikan suatu dinding merupakan suatu subtratum bagi aksiden-

Page 253: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

239

aksiden seperti warna dan lainnya. Kini, kita dapat menyatakan bahwa warna,

sebagai aksiden dari substratum dinding, dapat dipisahkan dari dinding sebagai

substratum. Dan, andaikan sekali lagi, dengan menggunakan eksistensi (wujud)

sebagai aksiden dari substatum dinding. Jika eksistensi (wujud) merupakan aksiden

dari substratum dinding, maka eksistensi (wujud) dapat dipisahkan dengan dinding

sejauh keduanya berada dalam relasi aksiden-substratum. Berdasarkan prinsip

derivasi, substratum harus eksis terlebih dahulu sebelum aksiden disifatkan

kepadanya. Kini, menurut prinsip derivasi, jika eksistensi (wujud) merupakan

aksiden bagi substratum dinding, maka dinding harus eksis sebelum disifati

eksistensi (wujud). Hal ini merupakan hal yang kontradiktif, karena tidak mungkin

sesuatu eksis jika ia tidak eksis, atau tidak memiliki eksistensi (wujud). Karenanya,

sejauh terkait dengan prinsip derivasi, predikasi dalam relasi aksiden-subtratum

bagi contoh eksistensi (wujud) hanya dapat dilakukan dengan predikasi sekunder,

yakni predikasi sejauh terkait dengan relasi konseptual. Dengan contoh ini, kita

telah membuktikan bahwa relasi antara aksiden-substratum tidak dapat digunakan

sebagai analogi bagi relasi eksistensi-esensi karena hal ini akan membawa kita

kepada kontradiksi logis, yakni eksistensi (wujud) suatu substratum sebelum ia

memiliki eksistensi (wujud). Maka, Sadra menyatakan bahwa eksistensi (wujud)

bagi substratum adalah eksistensi (wujud) substratum itu sendiri, sementara

eksistensi (wujud) aksiden bagi substratum adalah eksistensi (wujud) aksiden

tersebut yang dilekatkan kepada suatu substratum yang sudah memiliki eksistensi

(wujud) tertentu, berdasarkan prinsip derivasi.

Sadra menyimpulkan pembahasan relasi aksiden-substratum ini dalam penembusan

keenam dengan mengutip pernyataan Ibn Sina:

“Syaikh al-Ra’is Ibn Sina telah mengatakan dalam Ta’liqat sebagai berikut:

“eksistensi (wujud) dari aksiden-aksiden dalam dirinya merupakan eksistensi

(wujud) mereka bagi masing-masing substratumnya, kecuali suatu aksiden

[yakni] eksistensi (wujud). Yang terakhir ini berbeda dari aksiden-aksiden

lainnya sebagai suatu akibat dari fakta bahwa mereka memerlukan substratum

agar dapat eksis, sementara eksistensi (wujud) tidak memerlukan eksistensi

(wujud) agar ia eksis.

Karenanya, tidaklah benar untuk berkata bahwa eksistensi (wujud) dalam

substratumnya adalah eksistensi (wujud) dalam dirinya, jika seseorang

mengartikannya bahwa eksistensi (wujud) memiliki suatu eksistensi (wujud)

yang lain dari dirinya, sebagaimana keputihan memiliki suatu eksistensi

Page 254: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

240

(wujud). Justru, seseorang dapat berkata bahwa eksistensinya dalam

substratumnya adalah persisnya eksistensi (wujud) dari substratumnya

tersebut, sementara dalam kasus aksiden-aksiden lainnya, eksistensinya dalam

substratumnya semata-mata merupakan eksistensi (wujud) dari [hal] yang lain

ini.””59

3. Modulasi Eksistensi

Sejauh kita membicarakan persoalan modulasi eksistensi di Masha’ir, Sadra

tidak membahas persoalan ini dalam satu bab ataupun sub-bab khusus, yakni

penembusan atau kesaksian. Alih-alih, Sadra menggunakan prinsip modulasi untuk

menjelaskan poin-poin tertentu dalam persoalan-persoalan lainnya. Jika kita dapat

mengatakan bahwa penembusan pertama hingga keempat merupakan pembahasan

mengenai primasi eksistensi, dan penembusan kelima dan keenam membahas relasi

eksistensi-esensi, tidak ada penembusan khusus yang membahas modulasi

eksistensi. Adapun, penembusan ketujuh dan kedelapan dari Masha’ir khususnya

merupakan pembahasan teologis, yakni pembicaraan teologi sejauh ia dilihat dari

kerangka metafisika eksistensial Mulla Sadra dalam al-Masha’ir. Karena itu, untuk

melihat bagaimana Mulla Sadra merumuskan atau membahas persoalan modulasi

eksistensi dalam Masha’ir, kita akan melihat bagaimana prinsip modulasi eksistensi

digunakan oleh Sadra dalam beberapa konteks diskursus yang menyusun metafisika

eksistensialnya.

Berikut adalah daftar paragraf di mana kita dapat menemukan pembicaraan

mengenai modulasi eksistensi baik secara eksplisit maupun implisit.

Tabel Pembahasan Modulasi eksistensi dalam al-Masha’ir

JUDUL BAB PARAGRAF

Pengantar ¶ 4

Penembusan Kedua ¶ 14

59 “Shaykh al-Ra’is Ibn Sina has said in his Ta’liqat as follows: “The wujud of accidents in

themselves is their wujud for their respective substrata, except for the accident [that is] wujud. This

latter differs from other accidents as a result of the fact that they have need of their substratum in

order to exist, whereas wujud does not need wujud in order to exist.

It is therefore not correct to say that wujud in its substratum is wujud in itself, if one means

by that that wujud has a wujud other than itself, as whiteness has a wujud. Rather, one can say that

its wujud in its substratum is the very wujud of its substratum, whereas in the case of all other

accidents, its wujud in its substratum is simply the wujud of this other [thing].” Masha’ir, ¶ 83, Mulla

Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text

translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 36.

Page 255: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

241

Penembusan Ketiga ¶ 23 & ¶ 36-37

Penembusan Keempat ¶ 42

Penembusan Keenam ¶ 81 & ¶ 88

Penembusan Ketujuh ¶ 97

Penembusan Kedelapan ¶ 108

a. Pengantar

Sadra menulis hal ini di pengantar Masha’ir:

“[Maka kami akan membahas] persoalan bahwa semua eksistensi (wujud) –

terlepas dari perbedaan dari spesies dan esensi (mahiyah) individual yang

dimilkinya, perbedaan dari genus serta perbedaan spesifiknya – pada

hakikatnya merupakan suatu substansi tunggal yang memiliki suatu identitas

tunggal, sementara memiliki keadaan-keadaan serta derajat tinggi dan

rendah.”60

Ini adalah pernyataan paling awal Sadra dalam Masha’ir yang menyinggung

persoalan modulasi eksistensi, agaknya secara implisit. Dalam pembahasan

modulasi eksistensi pada bab sebelumnya, kita telah mengetahui bahwa modulasi

eksistensi mensyaratkan dua sisi dari sesuatu, yakni perbedaan dan persamaan.

Dalam kalimat di atas, Sadra menyatakan bahwa semua eksistensi (wujud) pada

hakikatnya merupakan suatu eksistensi (wujud) tunggal. Ini adalah pernyataan yang

sesuai dengan kriteria modulasi eksistensi. Bahwa semua eksistensi (wujud) yang

berbeda pada hakikatnya dapat dilihat sebagai sesuatu yang sama secara bersamaan.

Jika kita memaknai pernyataan prinsip ini dari level realitas, maka perbedaan antara

eksistensi (wujud) berada pada level fenomenal di mana kita mendapati banyak

eksisten-eksisten di dunia eksternal yang berbeda satu sama lain. Pada level

konseptual, kita dapat memisahkan perbedaan-perbedaan yang terletak dari sisi

esensial eksisten-eksisten yang jamak tersebut, dari eksistensi (wujud); kita

menemukan bahwa apa yang membuat eksisten-eksisten tersebut sama di samping

perbedaan-perbedaan mereka, adalah bahwa kesemuanya eksis, yakni, secara

60 “[Then we shall address] the problem that all of wujud - despite the differences of the species and

the individual quiddities belonging to it, the differences of its genera, and its specific differences in

their logical definitions - is in truth a single substance having a single identity, while possessing

stations and high and low degrees.” Masha’ir, ¶ 4, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical

Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr

(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 5.

Page 256: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

242

konseptual, mereka memiliki eksistensi (wujud), sama-sama memiliki eksistensi

(wujud). Jika kita melihat pernyataan tersebut pada level transendental, kita dapat

menyatakan bahwa segala sesuatu pada hakikatnya berasal dari sumber yang

tunggal, yakni Tuhan sebagai Eksistensi Niscaya.

b. Penembusan Kedua

Penembusan Kedua merupakan bab paling singkat dalam Masha’ir. Ia hanya

terdiri dari tiga paragraf, yakni ¶ 12, 13 dan 14. Bahkan ia lebih pendek dari

pengantar yang memiliki empat paragraf. Subjudul dari penembusan kedua ialah

‘mengenai bagaimana cara eksistensi (wujud) mencakup hal-hal’. Seperti yang

telah kita bahs pada sub-bab Primasi eksistensi, penembusan kedua, bab ini

membahas mengenai bagaimana eksistensi (wujud) mencakup semua eksisten

(mawjud) dengan cara yang berbeda dari bagaimana genus mencakup spesies

partikular. Dalam ¶ 14, Sadra menulis:

“Akan nampak juga bagimu bagaimana kebenaran dari perkataan bahwa

kenyataan eksistensi (wujud), sementara ia diindividualisasi oleh dirinya,

dibedakan menurut pembedaan dari esensi-esensi kontinjen, masing-

masingnya bersatu dengan salah satu dari derajat dan tahapannya. Satu-

satunya perbedaan ialah eksistensi (wujud) nyata pertama, yang tidak memiliki

esensi (mahiyah) karena ia adalah eksistensi (wujud) murni, yang terkait

dengannya tidak ada sesuatu yang lebih lengkap, lebih dalam atau lebih

sempurna.

Tidak ada generalitas atau partikularitas yang bercampur dengannya

[eksistensi (wujud)]; tidak ada definisi yang dapat mendefinisikannya, tidak

pula nama atau gambaran dapat menjelaskannya dengan persis; dan tidak ada

pengetahuan yang dapat memahaminya. “Dan semua wajah akan tunduk di

hadapan Yang Maha Hidup” [“Taha,” Q. 20:111].”61

Sama seperti kutipan sebelumnya, di sini Sadra sedang membicarakan

mengenai kenyataan bahwa eksistensi (wujud) itu tunggal sekaligus jamak, dan

bahwa yang membedakan antara satu eksisten (mawjud) dan eksisten (mawjud)

61 “It will become apparent to you also in what way it is true to say that the reality of wujud, while

being individualized by itself, is differentiated according to the differentiation of contingent

quiddities, each of which is united with one of its degrees and one of its stages. The only exception

is the first real Wujud, which has no quiddity because it is pure wujud, of which there is none more

complete, more intense, or more perfect.

Neither generality nor particularity is mixed with it [wujud]; no definition defines it, nor

does any name or description render it precise; and no knowledge comprehends it. “And all faces

will be humbled before the Ever-Living, the Self-Subsistent” [“Taha,” Q.S. 20:111]” Masha’ir, ¶

14, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-

Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.

10.

Page 257: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

243

lainnya adalah esensi-esensi yang dimiliki oleh eksistensi kontinjen; dan bahwa

perbedaan-perbedaan tersebut terkait dengan derajat dan tahapan eksistensi (wujud)

yang dimiliki oleh masing-masing eksisten (mawjud) terkait dengan “eksistensi

(wujud) nyata pertama” yang merupakan sumber dari segala eksisten (mawjud),

yakni Tuhan. Di sini Sadra juga mencirikan bahwa Tuhan sebagai Eksisten

(mawjud) nyata pertama adalah yang paling lengkap, dalam dan sempurna, yang

tidak dapat dijangkau oleh pemahaman konseptual dan segala cara pemahaman

apapun. Maka, ini adalah melihat kenyataan eksistensi (wujud) pada level

transendental, hal ini ditegaskan oleh Sadra ketika ia mengutip ayat dari Qur’an,

surat Taha di mana ‘wajah’ yang disini digambarkan tunduk di hadapan Yang Maha

Hidup tidak lain dari eksistensi-eksistensi kontinjen yakni segala ciptaan Tuhan.

Dan Yang Maha Hidup tidak lain dari Eksistensi nyata pertama, yang paling murni

tanpa generalitas atau partikularitas yang bercampur dengannya.

c. Penembusan Ketiga

Subjudul dari penembusan ketiga dari Masha’ir adalah “Mengenai pembuktian

eksistensi (wujud) secara objektif”. Sebagaimana telah dijelaskan pada subjudul

sebelumnya – yakni Primasi eksistensi, penembusan ketiga – inti dari penembusan

ini dan juga penembusan keempat adalah bahwa Sadra menegaskan prinsip primasi

eksistensi. Terdapat delapan kesaksian dalam penembusan ketiga yang diberikan

Sadra untuk menegaskan prinsip primasi eksistensi. Pada kesaksian ketiga, Sadra

menegaskan prinsip primasi eksistensi via prinsip predikasi. Karenanya, ini adalah

pembuktian primasi eksistensi dalam kerangka penilaian logis, yakni predikasi, atau

penyifatan, atau penilaian logis atas sesuatu. Hal ini ditulis Sadra dalam ¶ 23,

kesaksian ketiga dalam penembusan ketiga:

“Jika eksistensialitas dari hal-ihwal bergantung kepada esensi (mahiyah)

mereka dan bukan pada sesuatu yang lain, maka akan menjadi tidak mungkin

untuk menyifatkan beberapa di antaranya ke beberapa lainnya dan untuk

menyifatkan beberapa hal ke beberapa hal lain, seperti ketika kita berkata,

“Zayd merupakan suatu makhluk hidup” dan “Manusia adalah suatu makhluk

yang berjalan,” karena makna dari predikasi dan verifikasinya merupakan

penyatuan dari dua konsep yang berbeda dalam eksistensi (wujud) [...]

predikasi meniscayakan penyatuan in concreto dan perbedaan dalam pikiran

[...] kebenaran dari verifikasi bergantung kepada sejenis penyatuan dan sejenis

perbedaan; karena, jika hanya terdapat kesatuan murni, sedari awal tidak akan

pernah ada predikasi. Jika [hanya] terdapat kejamakan, tidak pula akan terjadi

predikasi [...] Jika ini adalah sesuatu yang benar, maka tidak mungkin terdapat

Page 258: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

244

suatu predikasi umum di antara hal-ihwal kecuali predikasi esensial primer,

dan [semua] predikasi akan dibatasi kepada predikasi esensial, yang

bergantung kepada penyatuan terkait dengan makna.”62

Inti dari paragraf yang cukup panjang ini adalah bahwa “predikasi

meniscayakan penyatuan in concreto dan perbedaan dalam pikiran” apa maksud

dari pernyataan ini? Sadra memberikan dua contoh predikasi: ‘Zayd adalah suatu

makhluk hidup’ dan ‘Manusia adalah suatu makhluk yang berjalan’. Kalimat

pertama merupakan predikasi esensial primer karena ini adalah penyifatan sesuatu

yang esensial kepada subjek, sementara kalimat kedua termasuk ke dalam predikasi

umum teknis, yakni penyifatan atas sesuatu yang aksidental atau non-esensial

kepada sesuatu yang lain. Kedua predikasi ini juga dapat disebut sebagai predikasi

esensial vis a vis predikasi aksidental. Prinsip modulasi, seperti yang telah dibahas,

bertumpu pada dua hal, yakni perbedaan sekaligus persamaan.

Ketika kita mengatakan, misalnya “Manusia adalah suatu makhluk yang

berjalan”, kita sedang mengaitkan dua hal, yakni ‘manusia’ sebagai subjek kalimat,

dan ‘makhluk yang berjalan’ sebagai predikat. Adapun, dari sisi lain, kedua hal

tersebut ada pada level konseptual: ‘manusia’ adalah suatu gagasan tertentu

mengenai sesuatu, sebagaimana ‘makhluk yang berjalan’ pun merupakan suatu

gagasan tertentu mengenai keadaan sesuatu. Dengan kata lain, keduanya adalah

konsep, dan kalimat tersebut merupakan pembuatan relasi antara konsep ‘manusia’

dan konsep ‘makhluk yang berjalan’. Predikasi mensyaratkan kesatuan dalam

eksistensi (wujud) dan perbedaan dalam esensi (mahiyah) atau makna. Karenanya,

kebenaran, atau verifikasi atas kalimat ‘manusia adalah makhluk yang berjalan’

dapat dilakukan jika kalimat ini merujuk kepada setidaknya suatu hal yang eksis di

dunia eksternal. Tanpa adanya sesuatu yang eksis di dunia eksternal di mana kita

62 “If the existentiality of things were dependent upon their quiddities and not upon something else,

then it would be impossible to attribute some of them to others and to attribute something to

something else, such as when we say, “Zayd is a living being” and “Man is a being who walks,”

because the meaning of predication and its verification is the unification of two different concepts

in existence ... predication necessitates unification in concreto and difference in the mind ... the

soundness of verification depends upon some kind of unification and some kind of difference

because, if there were [only] pure multiplicity, there would also be no predication ... If this were the

case, it would never be possible to have a common predication between things except for the primary

essential predication, and [all] predication would be limited to essential predication, which depends

upon unification with regard to meaning.” Masha’ir, ¶ 23, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical

Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr

(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 14.

Page 259: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

245

dapat membuktikan kebenaran kalimat tersebut, maka ia tidak akan memiliki

makna, atau, ia tidak benar. Untuk memverifikasi kebenaran dari kalimat ‘manusia

adalah makhluk yang berjalan’, maka kita harus membuktikan eksistensi (wujud)

sesuatu – dalam hal ini manusia – di dunia eksternal yang dapat berjalan.

Sadra menyatakan bahwa kebenaran dari verifikasi bergantung kepada sejenis

penyatuan dan sejenis perbedaan; jika hanya terdapat kesatuan murni, sedari awal

tidak akan pernah ada predikasi, Jika hanya terdapat perbedaan murni, tidak pula

akan terjadi predikasi. Agar kalimat ‘Zayd adalah suatu makhluk hidup’ memiliki

makna, maka ‘Zayd’ dan ‘makhluk hidup’ haruslah berbeda, yakni secara makna,

pada level konseptual. Jika tidak demikian, maka kalimat ‘Zayd adalah makhluk

hidup’ sama artinya dengan ‘Zayd adalah Zayd’ atau ‘makhluk hidup adalah

makhluk hidup’. Ini adalah prinsip perbedaan dari predikasi, yakni perbedaan

maknawi pada level konseptual. Begitu pula, agar kalimat ‘Zayd adalah makhluk

hidup’ dapat bermakna, harus ada persamaan antara keduanya. Yakni, kedua kata,

yakni ‘Zayd’ dan ‘makhluk hidup’ harus merujuk kepada suatu hal tunggal di dunia

eksternal, in concreto. Yang ditunjuk oleh kata ‘Zayd’ adalah Zayd ini di dunia

eksternal, begitu pula, ‘makhluk hidup’ adalah suatu gagasan yang merujuk kepada

Zayd ini di dunia eksternal. Ini adalah prinsip kedua dari predikasi, yakni prinsip

persatuan di level fenomenal, dunia eksternal in concreto.

Akan tetapi, prinsip predikasi ini tidaklah sepenuhnya sama dengan prinsip

modulasi eksistensi. Prinsip predikasi utamanya terkait dengan suatu pernyataan

dalam kerangka logis, sementara prinsip modulasi eksistensi mencakup level yang

melampaui kerangka logis, yakni kerangka ontologis. Seperti yang telah dikatakan,

penembusan ketiga merupakan kumpulan dari argumentasi Sadra untuk

membuktikan prinsip primasi eksistensi. Ini dari pemaparan mengenai kaitan antara

kebenaran penilaian logis dan primasi eksistensi adalah bahwa tanpa adanya

kesatuan dalam realitas fenomenal, takkan ada sesuatu yang disebut predikasi. Kita

tidak dapat menyatakan bahwa ‘manusia adalah makhluk yang berjalan’ karena

keduanya berbeda secara konseptual, jika pada level fenomenal tidak terdapat

sesuatu yang mencakup dua kalimat tersebut dalam definisi dan deskripsinya. Agar

kalimat tersebut dapat diverifikasi, atau dibenarkan secara logis, maka dalam

Page 260: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

246

realitas, kita harus dapat membuktikan eksistensi (wujud) dari setidaknya sesuatu

hal yang dapat disifati dengan deskripsi tersebut, misalnya keberadaan dari Zayd di

sini yang merupakan seorang makhluk yang juga manusia, dan dapat berjalan.

Maka, ini adalah suatu penjelasan yang mengaitkan secara tidak langsung antara

modulasi eksistensi, primasi eksistensi, dan predikasi logis.

Sadra membahas persoalan modulasi eksistensi secara lebih eksplisit dalam ¶

36 penembusan ketiga, kesaksian kedelapan:

“Apa yang tersingkap terkait perkara ini dan apa yang menerangi jalur

penalaran ini ialah [fakta] bahwa derajat intensitas dan kelemahan dalam hal-

ihwal yang memiliki suatu skala intensitas dan kelemahan menyusun, menurut

[para filsuf], perbedaan-perbedaan spesifik yang dibedakan dengan diferensi-

diferensi logis.

Dan dalam intensifikasi kualitatif, seperti dalam warna hitam, intensifikasi

yang merupakan suatu gerakan kualitatif akan disyaratkan oleh [para filsuf].

Jika eksistensi (wujud) semata-mata merupakan suatu pertimbangan

intelektual, maka spesies berbeda tanpa batas akan dibatasi dalam dua batas,

[yang tidak logis].”63

Di sini, Sadra sedang menjelaskan apa yang disebut modulasi eksistensi

dalam kerangka gerak substansial – yang tidak dapat dijelaskan di sini secara rinci.

Masih terkait dengan prinsip predikasi pada ¶ 23, di sini Sadra menegaskan kembali

bahwa primasi eksistensi menjadi syarat agar suatu penyifatan atau predikasi

menjadi logis. Contoh bagi apa yang disebut sebagai ‘intensifikasi kualitatif’ adalah

sebagai berikut. Andaikan suatu hal yang berwarna hitam, dalam dua titik waktu

yang ditentukan, memiliki peningkatan dalam kehitaman tersebut. Andaikan suatu

batang besi dibakar dan ia bertambah hitam dalam dua titik waktu yang ditentukan.

Maka kita dapat memikirkan mengenai intensifikasi warna hitam ini, yang terjadi

dalam dua waktu tersebut. ‘Besi ini menjadi lebih hitam dibanding tadi’; kalimat

ini bermakna bahwa seseorang membandingkan kualitas hitam dari suatu batang

besi pada dua titik waktu, yakni ‘sekarang’ dan ‘tadi’. Pertanyaannya adalah,

63 “What is unveiled concerning this matter and what illuminates the path is [the fact] that the degrees

of intensity and weakness in things that possesses a scale of intensity and weakness constitute,

according to [the philosophers], specific differences differentiated by logical differentiae.

And in qualitative intensifica-tion, such as in the color black, intensification that is a

qualitative movement would be required by [the philosophers]. If wujud were only a certain way of

intellectual consideration, then different species without constraint would be limited within two

limits, [which is illogical].” Masha’ir, ¶ 36, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations,

Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah:

Brigham Young University Press, 2014) h. 19.

Page 261: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

247

seberapa banyak atau jauh perkembangan atau gerak kualitatif warna hitam besi

tadi pada dua waktu tersebut?

Jika kita membagi dua titik waktu itu menjadi jam, misalnya, maka besi

tersebut bertambah hitam, dalam sekian jam, dengan derajat tertentu. Maka jika

waktu ‘sekarang’ dan ‘tadi’ dipisahkan dalam satu jam, kita dapat menyatakan

bahwa dalam satu jam, perubahan kualitas hitam ini sekian derajat. Kemudian, jika

kita mengukur selisih waktu tadi dalam hitungan menit, artinya terdapat enam puluh

kali atau pembagian dari peningkatan kualitas kehitaman, terdapat enam puluh

tahapan di mana kehitaman dari suatu batang besi bergerak sebanyak sekian derajat.

Pengandaian ini dapat diteruskan hingga hitungan milidetik, sehingga gerak

kualitatif ini menjadi sesuatu yang dapat dibagi tanpa batas. Maka, dalam ¶ 37,

Sadra melanjutkan:

“Pastinya, jika bagi keseluruhan hal terdapat suatu eksistensi (wujud) tunggal

dan suatu bentuk tunggal yang berkelanjutan, dan definisi-definisi [semata-

mata] merupa-kan sesuatu yang potensial, maka tidak akan terjadi kekeliruan

logis, karena eksistensi (wujud) dari spesies-spesies yang bersesuaian dengan

definisi-definisi serta divisi-divisi yang ada akan menjadi suatu eksistensi

(wujud) tunggal yang potensial dan bukan aktual. Karena seluruh hal eksis

melalui suatu eksistensi (wujud) yang unik dan berkelanjutan, maka

kesatuannya aktual, sementara perbedaan dan kejamakannya potensial. Dan

jika eksistensi (wujud) tidak memiliki suatu bentuk objektif, maka

konsekuensinya menjadi tak terelakkan dan kesulitan-kesulitan yang ada akan

tetap utuh.”64

Sadra menyatakan, dalam kalimat ini bahwa kesulitan-kesulitan, yang baru saja

dicontohkan mengenai perkembangan atau gerak kualitatif tanpa batas dari warna

hitam pada suatu batang besi yang dibakar dalam dua titik waktu, akan hilang jika

kita menyadari bahwa gerak kualitatif tanpa batas itu hanya ada pada level

konseptual. Kejamakan, perbedaan dan divisi yang dimaksud dalam kalimat di atas

adalah keterangan mengenai derajat gerak kualitatif dari warna hitam tersebut.

64 “Certainly, if for the whole there be a single wujud and a single form that is continuous - as is true

in the case of continuous quantities, whether they be fixed or mobile - the definitions being then

[only] potential, there would not result from that any harm, since the wujud of these species that

correspond to the definitions and the divisions would be a wujud that is potential and not actual.

Since the whole exists through a unique and continuous wujud, its unity is actual, while its

multiplicity is potential. And if wujud were not to have an objective form, the consequence would

be inevitable and the difficulties would persist.” Masha’ir, ¶ 37, Mulla Sadra, The Book of

Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed

Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 19.

Page 262: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

248

Andaikan dalam dua titik waktu, yakni w1 dan w2 terdapat gerak kualitatif dari k1

ke k2; dan ini adalah dua titik waktu yang dihitung dalam jam, maka dalam hitungan

menit, terdapat enam puluh titik waktu, yakni w1 hingga w60, di mana perubahan

kualitatif dari k1 ke k2 terjadi. Dengan demikian, perubahan dari k1 ke k2 dapat

dibagi menjadi enam puluh tahapan dalam titik waktu, menjadi k1 ke k60, dan

seterusnya jika kita mengubah hitungan tersebut menjadi lebih kecil. Kesulitan ini

dapat diatasi jika kita menyadari bahwa pembagian, divisi gerak atau tahapan

tersebut adalah suatu kategori dan tahapan mental-konseptual, sementara dalam

level fenomenal, yang kita dapati adalah suatu besi tunggal yang memiliki warna

demikian dan demikian. Terlepas dari potensi bahwa perubahan kualitatif warna

hitam dalam besi tersebut dapat dibagi hingga tahapan tak terbatas, perubahan

tersebut dapat diverifikasi karena objek penilaian logis dari gerak kualitatif tersebut

adalah sesuatu yang tunggal di mana semua potensi divisi tersebut tergabung,

bersatu, dan berkelanjutan. Maka ini adalah salah satu prinsip modulasi di mana

eksistensi (wujud) menjadi titik persatuan dari banyak esensi (mahiyah) yang

merupakan pemahaman konseptual atas suatu eksistensi (wujud) tunggal yang ada

di dunia eksternal in concreto. Sekali lagi, ini adalah prinsip modulasi: perbedaan

di satu sisi, persatuan di sisi lain.

d. Penembusan Keempat

Pembahasan persoalan modulasi eksistensi pada penembusan keempat

memiliki beberapa konteks yang saling terkait. Ia terkait dengan rumusan divisi

transendental eksistensi (wujud) dari Ibn Sina, yang dijelaskan oleh Sadra dalam ¶

25 penembusan ketiga meskipun konteks Ibn Sina ini tidak dijelaskan secara

eksplisit olehnya. Konteks kedua berasal dari paragraf dalam penembusan ketiga

tersebut, yakni perihal prinsip primasi eksistensi, dan konteks ketiga adalah

kerangka tanya-jawab yang terdapat dalam penembusan keempat dimana kita

menemukan ¶ 42 ini. Sadra menulis:

“Seseorang dapat memecahkan persoalan ini melalui tiga pertimbangan:

anterioritas dan posterioritas, kesempurnaan dan kekurangan, kekayaan dan

kemiskinan. Sanggahan ini tidak membedakan antara keniscayaan esensial dan

pre-eternal. Kini, Eksistensi Niscaya anterior terhadap segala sesuatu dan tidak

disebabkan oleh segala sesuatu. Ia sempurna; tidak ada yang lebih tinggi dari-

Nya, sejauh potensi eksistensi (wujud) dipertimbangkan; dan tidak ada

ketidaksempurnaan di dalam-Nya dengan cara apapun.

Page 263: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

249

Lebih jauh, Ia cukup bagi dirinya dan tidak terkait dengan eksisten (mawjud)

apapun, karena eksistensi (wujud)-Nya niscaya melalui keniscayaan pre-

eternal dan tidak dibatasi oleh durasi esensi (mahiyah)-Nya tidak pula

ditentukan oleh durasi dari kualifikasi apapun. eksistensi (wujud)-eksistensi

(wujud) kontinjen adalah esensi-esensi yang tidak cukup bagi dirinya untuk

eksis, menjadi hal-hal yang bergantung ketika dilihat terpisah dari penciptanya

[...] Makna dari “eksisten (mawjud) menjadi niscaya” ialah bahwa esensi

(mahiyah)-nya eksisten (mawjud) dengan sendirinya tanpa memerlukan suatu

pencipta yang akan memberikan eksistensi (wujud) kepadanya, tidak pula

suatu wadah yang akan menerimanya. Dan makna dari “eksistensi (wujud)

menjadi eksisten (mawjud)” ialah bahwa ketika ia terwujud, entah karena

dirinya atau karena suatu agen, ia tidak memerlukan, agar terwujud, eksistensi

(wujud) lainnya yang akan membuatnya terwujud, berkebalikan dengan non-

eksistensi...”65

Sadra membedakan dua jenis keniscayaan, pertama adalah keniscayaan

esensial, kedua adalah keniscayaan pre-eternal. Keniscayaan pre-eternal

mencirikan Eksistensi Niscaya, sementara keniscayaan esensial mencirikan

eksisten (mawjud) pada umumnya. Konteks dari penjelasan Sadra ini terkait dengan

pihak yang menuduh bahwa kelompok yang mengusung modulasi eksistensi, yang

menyatakan bahwa eksistensi (wujud) mencakup baik Eksistensi Niscaya dan

eksistensi kontinjen menyamakan dua divisi eksistensi (wujud) tersebut. Kita dapat

memahami konteks persoalan ini lebih baik dengan melihat apa yang pada bab

sebelumnya telah kita bahas dalam kritik Shahrastani dan Razi atas divisi

transendental eksistensi (wujud) yang dirumuskan Ibn Sina. Bagi Shahrastani dan

Razi, rumusan modulasi dari Ibn Sina, dengan divisi transendental eksistensinya,

mengarahkan seseorang untuk menyamakan status Eksistensi Niscaya dan

eksistensi kontinjen karena secara logis, keduanya tercakup dalam makna eksistensi

65 “One can solve this through three considerations: anteriority and posteriority, perfection and

deficiency, richness and indigence. This objection does not distinguish between essential necessity

and pre-eternal necessity. Now, the Necessary Being is anterior to everything and is not caused by

anything. It is perfect; there is nothing more intense than It, as far as the potency of wujud is

concerned; and there is no imperfection in It in any way whatsoever.

Furthermore, It is sufficient unto itself and not related to any existents, because Its wujud

is necessary through pre-eternal necessity and is not limited by the duration of Its essence nor

conditioned by the duration of any qualification. Contingent existences are essences that are not

sufficient unto themselves to exist, being dependent ipseities when considered independent of their

instaurer ... The meaning of “wujud being necessary” is that its essence is existent by itself without

having need of any instaurer that would bestow existence upon it, nor of a receptacle that would

receive it. And the meaning of “wujud being existent” is that when it is actualized, either by itself or

by an agent, it has no need, in order to be realized, of another existence that would make it realized,

in contrast to non-wujud...” Masha’ir, ¶ 42, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations,

Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah:

Brigham Young University Press, 2014) h. 22.

Page 264: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

250

(wujud). Jawaban Tusi atas Razi ialah bahwa Razi tidak memahami bagaimana

prinsip modulasi eksistensi bekerja dalam divisi transendental eksistensi (wujud).

Kita juga dapat melihat bahwa persoalan ini diajukan oleh Suhrawardi, ia

mempersoalkan divisi transendental ini dengan menyerang secara logis definisi

Eksistensi Niscaya. Singkatnya, dalam divisi ini, menurut Suhrawardi, pada

akhirnya tidak ada eksisten (mawjud) yang tidak niscaya. Dalam paragraf di atas,

Sadra merujuk kekeliruan pemahaman mereka yang mengkritik divisi transendental

eksistensi (wujud) pada keabaian mereka mengenai pembedaan antara keniscayaan

pre-eternal dan keniscayaan esensial. Keniscayaan pre-eternal adalah keniscayaan

dalam arti mutlak di mana suatu Eksistensi Niscaya dengan sendirinya, tanpa sebab,

sempurna, tanpa terpengaruh oleh esensi-esensi, karena Eksistensi Niscaya adalah

juga Eksistensi Murni. Keniscayaan esensial adalah keniscayaan bahwa eksistensi

(wujud) tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk eksis. Keniscayaan ini tidak

hanya dimiliki oleh Eksistensi Niscaya, ia juga dimiliki oleh eksistensi kontinjen,

sejauh level fenomenal dipertimbangkan. Dengan kata lain, perbedaan antara

keniscayaan pre-eternal dan keniscayaan esensial dapat dikaitkan dengan dua level

realitas, yakni transendental dan fenomenal.

Eksistensi (wujud), baik Eksistensi Niscaya maupun eksistensi kontinjen,

merupakan sesuatu yang agar eksis tidak memerlukan eksistensi (wujud) lainnya.

Hal ini sudah ditegaskan dan dipastikan dalam prinsip primasi eksistensi, karena

sifat eksistensi (wujud) adalah eksis, maka agar ia eksis, ia tidak memerlukan

eksistensi (wujud) lain di luar dirinya. Andaikan kita bicara mengenai eksistensi

(wujud) ‘Irene’, agar Irene eksis, ia tidak memerlukan eksistensi (wujud) lain di luar

dirinya, yang ditambahkan pada suatu esensi (mahiyah) Irene. Ini adalah kebenaran

pada level fenomenal: agar sesuatu eksis, eksistensinya sendiri sudah cukup. Dalam

level ini, kita tidak sedang membicarakan mengenai asal-muasal mendasar dari

segala sesuatu. Keniscayaan esensial bisa dicontohkan dengan kalimat ‘manusia

adalah manusia’, yakni, agar manusia menjadi manusia ia tidak memerlukan

eksistensi (wujud) lain di luar manusia yang menjadikannya manusia. Dan bahwa

eksistensi (wujud) segala sesuatu juga seperti itu. Namun, dalam level

transendental, segala eksistensi (wujud) bersumber dari Eksistensi Niscaya.

Page 265: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

251

Artinya, terdapat suatu ketergantungan pre-eternal atas eksistensi (wujud) Murni,

Eksistensi Niscaya, agar semua eksisten (mawjud) eksis.

Dengan demikian, kita kini melihat bahwa divisi transendental Mulla Sadra

berbeda dari divisi Ibn Sina. Bagi Ibn Sina, keniscayaan hanya dimiliki oleh

Eksistensi Niscaya, yang didefinisikan sebagai suatu eksisten (mawjud) yang tidak

memerlukan eksistensi (wujud) lain agar ia eksis. Ibn Sina menyatakan bahwa

eksistensi kontinjen adalah eksisten (mawjud) yang agar eksis memerlukan

eksistensi (wujud) lain, dan bahwa relasi antara eksistensi-esensi merupakan relasi

nyata dalam level fenomenal. Artinya, jika relasi ini tidak eksis pada Eksistensi

Niscaya karena Eksistensi Niscaya adalah eksistensi (wujud) murni tanpa esensi

(mahiyah), pada eksistensi kontinjen relasi ini eksis. Pada eksistensi (wujud)

kontinjen, eksistensi (wujud) ditambahkan dari luar, yakni dari Eksistensi Niscaya

kepada esensi-esensi yang kemudian mewujud menjadi suatu eksistensi kontinjen.

Sementara, menurut Sadra, relasi eksistensi-esensi ini hanya nyata pada level

konseptual dan bukan fenomenal; Ibn Sina menyatakan bahwa relasi ini adalah

relasi yang juga terjadi pada level fenomenal. Dari sini kita dapat mengatakan

bahwa, melalui penjelasan antara keniscayaan pre-eternal dan esensial, yang juga

menyiratkan perumusan modulasi eksistensi, Sadra sedang merumuskan ulang

divisi transendental eksistensi (wujud) Ibn Sina.

“Seseorang dapat memecahkan persoalan ini melalui tiga pertimbangan:

anterioritas dan posterioritas, kesempurnaan dan kekurangan, kekayaan dan

kemiskinan” Ini adalah rumusan modulasi eksistensi, bahwa eksistensi (wujud)

menyusun suatu kontinuum tunggal hierarkis di mana eksistensi (wujud) terbagi

menjadi moda-moda eksistensi (wujud) dengan level yang berbeda sesuai dengan

kriteria-kriteria tersebut. Dari sini, dapat diperjelas juga mengenai pembedaan

keniscayaan esensial dan keniscayaan pre-eternal. Pada keniscayaan esensial di

mana eksistensi (wujud) sesuatu tidak memerlukan eksistensi (wujud) lain dari luar

sesuatu tersebut, kita mendapati sebentuk keniscayaan tertentu, yang jika dilihat

pada level transendental, sejatinya tidak begitu niscaya dalam relasi sebab-akibat:

yakni, pada hakikatnya, meskipun jika dilihat dalam dirinya, suatu eksistensi

(wujud) tidak memerlukan eksistensi (wujud) lain agar ia eksis, dari relasi sebab-

Page 266: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

252

akibat, ia tidak akan eksis jika tidak ada Pencipta yang menciptakan eksistensi

(wujud) tersebut. Pada level transendental, keniscayaan yang ada ialah keniscayaan

pre-eternal, di mana ini adalah suatu keniscayaan mutlak di mana Eksistensi

Niscaya agar eksis sama sekali tidak memerlukan eksistensi (wujud) di luar dirinya,

dan tanpa memerlukan sebab apapun itu; ini adalah keniscayaan sempurna. Maka,

setidaknya terdapat dua level keniscayaan di sini, keniscayaan pre-eternal yang

sempurna, dan keniscayaan esensial yang relatif, atau kurang sempurna.

e. Penembusan Keenam

Subjudul dari penembusan keenam ialah “Mengenai partikularisasi dari

eksisten-eksisten individual dan ke-diri-an mereka – dalam ringkasan.” Dengan

kata lain, apa yang dibahas dalam penembusan ini ialah mengenai bagaimana suatu

eksisten (mawjud) di dunia eksternal terwujud dan menjadi suatu eksisten

(mawjud). Kita telah mencatat sebelumnya bahwa eksisten-eksisten di dunia

eksternal memiliki ciri partikularitas, berbeda dari pembicaraan sesuatu pada level

konseptual di mana kita membicarakan generalitas dan universalitas. ‘Manusia’

adalah suatu konsep general dan universal yang kita dapati pada level konseptual;

partikularisasi atasnya di dunia eksternal in concreto adalah perwujudan seseorang,

misalnya ‘Irene’ di dunia eksternal. Partikularisasi berarti bahwa universal

‘manusia’ yang general pada level konseptual, menjadi suatu eksisten (mawjud)

partikular yang memiliki suatu ke-diri-an, yakni apa yang membuat Irene menjadi

Irene, dan lagi, menjadi Irene yang ini dan bukan yang itu, karena Irene sebagai

nama juga bisa menjadi universal karena ia dapat mewakili lebih dari satu orang.

Manusia terwujud menjadi partikular pada level fenomenal, yakni dunia eksternal

in concreto ketika ia menjadi Irene yang ini, yang hidup, menari, dan menyanyi di

hadapan saya, bukan yang lain. Ini adalah apa yang disebut sebagai partikularisasi

dan individuasi. Sadra mengawali penembusan keenam dengan paragraf ini:

“Ketahuilah hal ini: Kau telah menjadi tahu bahwa eksistensi (wujud)

merupakan suatu realitas konkret, tunggal dan bukan merupakan suatu

universal natural yang berada dalam pikiran, yang akan menerima salah satu

dari lima universal dari logika, kecuali dari sudut pandang esensi (mahiyah)

yang dengannya ia bersatu ketika esensi (mahiyah) ini dilihat sedemikian rupa.

Karenanya, kami mengatakan: Partikularisasi bagi masing-masing eksistensi

(wujud) individual terdiri dari [tiga cara] berikut: [1] dengan kenyataannya

sendiri, sebagaimana dalam Eksistensi Niscaya yang sempurna; atau [2]

Page 267: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

253

melalui suatu derajat anterioritas dan posterioritas, dan kesempurna-an dan

kekurangan, sebagaimana dalam makhluk-makhlluk yang diciptakan; atau

lagi, [3] melalui anasir-anasir yang ditambahkan, sebagaimana dalam anggota-

anggota dari dunia ciptaan.”66

Seperti yang telah kita lihat pada pembahasan modulasi di penembusan

keempat, di sini Sadra juga menggunakan prinsip modulasi eksistensi dan

memadukannya dengan divisi transendental eksistensi (wujud). Dalam paragraf ini,

Sadra membagi eksistensi (wujud) menjadi tiga berdasarkan bagaimana ia

terpartikularisasi, bagaimana masing-masing eksisten (mawjud) tersebut menjadi

dirinya. Eksistensi Niscaya adalah eksisten (mawjud) yang terpartikularisasi, atau

terwujud menjadi suatu eksisten (mawjud) partikular karena kenyataannya sendiri;

dalam kerangka teologis, kita dapat mengatakan bahwa Tuhan menjadi Tuhan

karena Ia adalah Tuhan, dalam kerangka metafisis, Eksistensi Niscaya menjadi

Eksistensi Niscaya karena ia adalah Eksistensi Niscaya. Eksistensi Niscaya tidak

memerlukan apapun agar ia menjadi diri-Nya. Kedua, adalah eksisten (mawjud)

yang termasuk dalam “makhluk-makhluk yang diciptakan”, ini mencakup segala

ciptaan Tuhan yang ada di level fenomenal: tumbuhan, manusia, binatang, dan

lainnya. Dengan menerapkan tiga level realitas, kita dapat melihat divisi

transendental eksistensi (wujud) di atas menjadi: Eksistensi Niscaya pada level

transendental, yakni level tertinggi dari kenyataan eksistensi (wujud); eksistensi

kontinjen, “makhluk yang diciptakan” yang mencakup level fenomenal dan

konseptual dalam kenyataan eksistensi (wujud), dan “anggota-anggota dari dunia

ciptaan” adalah apa yang termasuk ke dalam eksistensi kontinjen.

Dalam paragraf di atas, Sadra secara implisit menyatakan bahwa prinsip

modulasi eksistensi merupakan prinsip individuasi pada level kedua, yakni pada

eksistensi kontinjen, di mana di sini mencakup level konseptual dan fenomenal.

66 “Know this: You have already come to know that wujud is a concrete, simple reality and that it is

not a natural universal that, in the mind, would receive one of the five universals of logic, except

from the pont of view of the quiddity with which it is united when this quiddity is considered as

such.

Therefore, we say: The particularization of each individual wujud consists of the following

[three means]: [1] by Its own reality, as in the case of the perfect Necessary Being - exalted be His

Glory; or [2] by means of a degree of anteriority and posteriority, and of perfection and deficiency,

as in the case of generated beings; or yet again, [3] by certain added elements, as in the case of the

members of the world of creation.” Masha’ir, ¶ 81, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical

Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr

(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 35.

Page 268: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

254

Modulasi tidak diterapkan kepada Eksistensi Niscaya karena satu alasan: Sadra

berulangkali menyatakan bahwa kenyataan transendental mengenai Eksistensi

Niscaya adalah kenyataan yang tidak dapat dicapai dengan pemahaman apapun.

Adapun makna dari penerapan modulasi pada prinsip individuasi eksistensi (wujud)

pada level eksistensi kontinjen adalah sebagai berikut. Dalam kenyataan yang kita,

manusia, dapat pahami, segala sesuatu melibatkan dua level pemahaman:

fenomenal dan konseptual. Sebagaimana telah dibahas lebih rinci pada bab

sebelumnya, level fenomenal adalah level di mana kita dapat memahami kenyataan

eksistensi (wujud) pada tahap pre-konseptual, ini adalah tempat di mana eksistensi

(wujud) dipastikan hadir sebagai suatu intuisi langsung bagi pemahaman.

Sementara, level konseptual adalah level di mana kita mendapati esensi (mahiyah),

atau pemahaman atas eksisten-eksisten di level fenomenal dalam kerangka

universal.

Ini adalah datum dari pengalaman kita sehari-hari: kita mendapati dunia

eksternal di mana kita hidup dan sadar merupakan suatu dunia di mana kita bisa

melihat banyak hal, banyak esensi (mahiyah). Ketika seseorang berkata ‘manusia

itu eksis’, apa yang kita pikirkan dan pahami? Kita menjumpai banyak ‘manusia’

dalam keseharian kita, ayah kita, ibu kita, saudara dan saudari kita, Budi, tetangga

kita, Agus, teman sekelas kita, Irene, bias kita, dan lain-lain. Dari individu-individu

partikular tersebut, kita dapat mengatakan bahwa ‘manusia itu eksis’. Dari

pengalaman-pengalaman partikular kita menemui individu-individu tersebut, kita

dapat berbicara mengenai ‘manusia’ pada umumnya. Kita tidak perlu mengenal

seluruh manusia yang pernah ada di dunia ini, di seluruh tempat, bahkan mungkin

di luar bumi atau galaksi bima sakti, untuk mengatakan bahwa ‘manusia itu eksis’.

Kita tidak perlu pula mengetahui setiap orang yang telah ada, hidup, kemudian

meninggal di bumi dari awal penciptaan hingga akhir dunia, untuk mengetahui

bahwa ‘manusia itu eksis’. Artinya, ini adalah pemahaman kita mengenai suatu

universal, yakni ‘manusia’.

Kita mengetahui bahwa gagasan, esensi (mahiyah) ‘manusia’ merupakan

suatu gagasan umum, suatu universal, yang terwujud dalam banyak kasus, yakni

individu-individu partikular, yang kita kenal dengan cara apapun. Inilah apa yang

Page 269: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

255

dimaksud dengan kenyataan pada level eksistensi kontinjen. Suatu eksistensi

kontinjen terwujud, terpartikularisasi dengan cara tersebut: kita memadukan

pengetahuan universal kita dan pengalaman partikular kita untuk memahami

perwujudan dari universal tersebut. Pada level eksistensi kontinjen ini, kita

memahami suatu esensi (mahiyah), seperti ‘manusia’ terwujud “melalui suatu

derajat anterioritas dan posterioritas, dan kesempurnaan dan kekurangan”. Ini

adalah prinsip modulasi eksistensi. Bagaimana manusia sebagai suatu universal

terpartikularisasi menjadi individu-individu partikular? Bagaimana Irene menjadi

manusia, dan lebih persisnya, bagaimana Irene menjadi manusia yang berbeda dari

Seulgi yang juga manusia? Bagaimana keduanya berbeda dari sudut pandang ke-

diri-an mereka – apa yang membuat Irene menjadi Irene dan Seulgi menjadi Seulgi

sementara keduanya sama-sama manusia? – ini adalah persoalan yang dimaksud

Sadra dalam paragraf di atas.

Dengan menerapkan prinsip modulasi, kita dapat menyatakan bahwa

universal ‘manusia’ terwujud dalam kasus partikular ‘Irene’ dan ‘Seulgi’

berdasarkan derajat anterioritas atau posterioritas: Irene lahir terlebih dahulu

dibandingkan Seulgi, sementara keduanya sama-sama tercakup dalam esensi

(mahiyah) ‘manusia’. Berdasarkan kesempurnaan dan kekurangan: ‘Irene’ lebih

sempurna dari Seulgi dari segi keindahan wajah, Seulgi lebih sempurna dari Irene

dari segi keindahan suara, sementara keduanya sama-sama tercakup dalam esensi

(mahiyah) ‘manusia’. Dan kita dapat membuat contoh-contoh lain bagaimana suatu

esensi (mahiyah) ‘manusia’, ‘binatang’, ‘tumbuhan’, dan hal-hal lainnya dengan

menerapkan prinsip tersebut. Modulasi, sekali lagi, memiliki dua sisi, yakni sisi

persamaan dan perbedaan. Dalam kasus ini, perbedaan di level fenomenal,

partikular (Irene, Seulgi) dan persamaan di level konseptual, universal (manusia).

Beginilah cara suatu eksistensi kontinjen terwujud, yang berada dalam kerangka

perpaduan antara level fenomenal dan konseptual.

Sadra menutup penembusan keenam dengan menggambar-kan prinsip

modulasi eksistensi sebagai prinsip partikularisasi dan individuasi dengan contoh

angka Pythagorean:

“[...] Apa yang dimaksud dengan pembedaan eksistensi-eksistensi dari segi

spesies adalah apa yang terkenal menurut kaum Peripatetik terkait dengan

Page 270: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

256

makna ini. Dari satu sudut pandang, ini seperti pembedaan pada derajat angka;

dan dari sudut pandang lain, seperti keserupaan dari segi spesies. Dalam

kenyataan, adalah benar untuk mengatakan bahwa derajat angka-angka

menyusun suatu realitas yang menyatu, karena bagi setiap derajat angka, tidak

ada sesuatu yang lain dari suatu kumpulan dari unit-unit yang serupa satu sama

lain. Sama benarnya untuk mengatakan bahwa angka-angka dibedakan [dari

satu sama lain] sejauh makna esensial masing-masingnya dipertimbangkan,

karena dari setiap derajat [angka-angka], intelek dapat mengabstraksi kualitas-

kualitas dan properti-properti esensial yang tidak terbukti dalam angka-angka

lain.

Dan mereka memiliki efek-efek dan ciri-ciri yang dibedakan yang dihasilkan

dari derajat ini terkait keadaannya sendiri, yang diabstraksi intelek dari

masing-masing derajat esensialnya, berlawanan dengan apa yang ia abstraksi

dari masing-masing derajat lainnya berdasarkan esensi (mahiyah) masing-

masingnya. Karenanya, mereka, seperti eksisten-eksisten partikular dalam

artian bahwa suatu subjek di mana struktur-struktur esensial dan kualitas-

kualitas universal disifatkan pada hakikatnya adalah esensi-esensi masing-

masing dari angka-angka ini.”67

Sama seperti bagaimana ‘manusia’ terwujud dalam partikularitas, misalnya

‘Irene’ dan ‘Seulgi’, angka-angka juga memiliki kesamaan partikularisasi macam

itu. Mari kita contohkan beberapa angka: 1, 2, 3, 4, 5. Sadra menyatakan bahwa

“bagi setiap derajat angka, tidak ada sesuatu yang lain dari suatu kumpulan dari

unit-unit yang serupa satu sama lain”, maksud dari kalimat ini ialah, dalam lima

derajat angka tersebut, yakni 1, 2, 3, 4 , 5, pada hakikatnya setiap angka tersusun

dari unit yang sama: 1, 1+1, 1+1+1, 1+1+1+1, 1+1+1+1+1. Pada hakikatnya, setiap

derajat angka adalah kumpulan dari angka 1 dengan derajat tertentu. Di sisi lain,

“intelek dapat mengabstraksi kualitas-kualitas dan properti-properti esensial yang

tidak terbukti dalam angka-angka lain”; kita mengetahui bahwa di satu sisi, setiap

derajat angka tersusun dari angka esensial, yakni 1, di sisi lain, kita mengetahui

67 “[...] what is meant by the differentiation of existences in terms of species is what became famous

according to the Peripatetics concerning this meaning. From this point of view, this is like the

differentiation of the degrees of numbers; and from another point of view, it is their convergence in

terms of species. In reality, it is correct to say that the degrees of numbers constitute a unified reality,

since for each degree of numbers, there is nothing but an assemblage of units that are similar to one

another. It is equally correct to say that they are differentiated [from one another] as far as their

respective essential meanings are concerned, since from each degree [of numbers], the intellect can

abstract qualities and essential properties that are not proven for others.

And they have effects and differentiated characteristics that result from this degree with

regard to its own conditions, which the intellect abstracts from each of the other degrees by virtue

of their respective essences. They are, therefore, like particular existences in the sense that subject

to which these essential structures and universal qualities are attributed is essentially the respective

essences of each of these numbers. Think deeply upon all this because all of this comes from noble

sciences.” Masha’ir, ¶ 88, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir:

A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University

Press, 2014) h. 39.

Page 271: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

257

bahwa makna 1 berbeda dengan 2, begitu pula keduanya berbeda dengan 3,

ketiganya berbeda dengan 4, dan seterusnya. Prinsip modulasi, sekali lagi, didirikan

dengan dua sisi, perbedaan dan persamaan. Setiap derajat angka memiliki sisi

persamaan yakni tersusun dari kumpulan unit angka 1, dan memiliki perbedaan

ketika masing-masing derajat tersebut dipahami oleh intelek: bahwa setiap derajat

angka merupakan perubahan atau moda tertentu dari angka 1.

Sama seperti universal ‘manusia’ yang dipartikularisasi menjadi ‘Irene’ dan

‘Seulgi’, terdapat kesamaan dalam setiap derajat angka, di sini, ‘manusia’ dapat

dianalogikan dengan angka 1 yang menyusun derajat setiap angka pada analogi

angka, yang pada contoh eksistensi kontinjen merupakan suatu universal yang

menyusun masing-masing diri manusia. Sama seperti ‘Irene’ dan ‘Seulgi’ yang

terpartikularisasi dari universal ‘manusia’, setiap derajat angka memiliki makna

esensial yang membedakannya dari angka lainnya, sebagaimana ‘Seulgi’

membedakan diri dari ‘Irene’ sementara mereka sama-sama tercakup dalam

universal ‘manusia’, setiap derajat angka membedakan diri satu sama lain meskipun

sama-sama tercakup dalam kriteria ‘tersusun dari unit-unit angka yang sama, yakni

angka 1’. Intelek mengabstraksi makna ke-diri-an, partikular, dari masing-masing

derajat angka dan dari ‘Irene’ dan ‘Seulgi’, yang berbeda dari eksisten (mawjud)

dan derajat angka lain, di sisi lain, intelek mengetahui bahwa mereka tercakup

dalam universalitas, yakni ‘angka’ dan ‘manusia’.

f. Penembusan Ketujuh

Subjudul dari penembusan ketujuh dalam Masha’ir adalah “Mengenai

pembahasan bahwa apa yang hakikatnya menjadi objek penciptaan dan apa yang

diemanasi dari sebab ialah eksistensi (wujud) tanpa esensi (mahiyah).” Dari

subjudul tersebut, kita mengetahui bahwa bab ketujuh dari Masha’ir ini ialah bab

yang menjelaskan prinsip emanasi. Dan tentu saja, prinsip emanasi dalam skema

metafisika eksistensial Mulla Sadra adalah suatu teori emanasi yang dilihat dalam

kerangka eksistensi (wujud). Penembusan ketujuh terdiri dari delapan sub-bab

kesaksian, dengan jumlah 13 paragraf (¶ 89-101). Teori emanasi Mulla Sadra pada

dasarnya tidak berbeda jauh dari teori emanasi dalam filsafat Islam pada umumnya.

Mengenai hal ini, kita tidak dapat membahas bagaimana kekhususan dari teori

Page 272: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

258

tersebut karena ini berada di luar cakupan dari penelitian ini. Adapun, apa yang

akan dijelaskan di sini ialah bagaimana teori emanasi tersebut dilihat sejauh ia dapat

bermanfaat untuk menjelaskan prinsip modulasi eksistensi Mulla Sadra. Berikut

adalah paragraf yang secara eksplisit memadukan teori emanasi dengan prinsip

modulasi eksistensi Mulla Sadra:

“Eksistensi (wujud) memiliki tiga derajat: (1) eksistensi (wujud) yang tidak

terkait dengan segala sesuatu selain dirinya dan tidak dibatasi oleh suatu batas

partikular ([jenis eksistensi (wujud) ini] pantas menjadi prinsip dari segala

sesuatu); (2) eksistensi (wujud) yang terkait dengan sesuatu yang lain, seperti

akal-akal, jiwa-jiwa langit, kudrat-kudrat alamiah [panas, dingin, kekeringan,

dan kelembaban], benda-benda langit, dan substansi-substansi material; dan

(3) eksistensi (wujud) meluas, yang pencakupan dan perluasannya mencakup

kuil-kuil hal-hal individual konkret dan esensi-esensi dalam suatu cara yang

berbeda dari universal-universal natural dan esensi-esensi intelijibel, tetapi,

justru, dalam suatu cata yang dipahami oleh para ‘arif dan apa yang mereka

sebut sebagai “Nafs al-Rahman,” sebuah nama yang diambil dari firman-Nya,

Ia yang Maha Suci: “Dan Kasih-Ku mencakup segala sesuatu” (Q.S. al-A’raaf,

7: 156). eksistensi (wujud) ini dalam kenyataan merupakan sesuatu yang

pertama ter-emanasi di antara eksistensi-eksistensi kontinjen dari Kausa

Pertama dan disebut “Kebenaran yang darinya ciptaan diciptakan.” Dan

eksistensi (wujud) ini merupakan prinsip dari semua eksistensi (wujud) di jagat

raya, kehidupan dan cahayanya, dan merasuk ke dalam apa saja yang ada di

langit dan di bumi [...]

Relasinya dengan Eksistensi Niscaya dapat diibaratkan dengan relasi dari

cahaya yang terindera, dan cahaya-cahaya yang memancar pada benda-benda

di langit dan di bumi, kepada matahari. Dan ia berbeda dari eksistensi (wujud)

afirmatif dan relasional yang serupa dengan konsep-konsep universal dan

rasional yang tidak dilekatkan entah kepada penciptaan dari Sang Pencipta

atau kepada suatu akibat. Hal-hal terakhir ini memang memiliki sejenis

eksistensi (wujud) tertentu seperti intelijibel-intelijibel primer; tetapi eksistensi

(wujud) mereka adalah persisnya terwujudnya mereka di dalam pikiran

sebagaimana seseorang melihat sifat nir-bendawi, nir-kemungkinan, dan nir-

ciptaan dalam konsep nir-eksistensi (wujud). Tetapi dalam pandangan kami,

tidak terdapat perbedaan di antara konsep-konsep ini dan lainnya dalam arti

bahwa mereka semata-mata merupakan narasi dan nama-nama dari hal-hal

tertentu, kecuali bahwa beberapa di antaranya merupakan nama bagi realitas-

realitas eksisten (mawjud), sementara lainnya adalah nama-nama dari sesuatu

yang hakikatnya keliru.”68

68 “Wujud has three degrees: (1) wujud that is not related to anything other than itself and that is not

limited by any particular limit ([this type of wujud] deserves to be the principle of all things); (2)

wujud that is related to something else, such as intelligences, the souls of the heavens, the basic

natures [heat, cold, dryness, and humidity], celestial bodies, and material substances; and (3)

extended wujud, whose comprehension and extension englobes the temples of individual concrete

things and quiddities in a manner that is not like that of universal natures and intelligible quiddities,

but, rather, in a mannter that is understood by the gnostics and that they call the “Compassionate

Breath,” a name derived from His saying, transcendent is He: “And My Mercy embraces all things”

(“A’raf.” Q.S. 7: 156). This wujud is in reality the first emanated among contingent beings from the

Page 273: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

259

Ini adalah kutipan dari ¶ 97, penembusan ketujuh, kesaksian kelima dalam

Masha’ir. Paragraf ini dibagi menjadi dua selain karena ia agaknya terlalu panjang,

dan kedua, untuk memperjelas kekhususan dari metode Sadra melihat teori emanasi

dari sudut pandang metafisika eksistensial. Tidak seperti teori emanasi secara

umum yang membagi hierarki eksistensi (wujud) dari Tuhan, disusul akal pertama

hingga akal kesepuluh dan diiringi dengan langit yang lahir karena refleksi

berkesinambungan, Sadra membagi hierarki emanasi menjadi tiga level. Dan

kesemuanya dilihat dari sudut pandang eksistensi (wujud). Kita dapat melihat

bahwa divisi emanasi ini bersesuaian dengan divisi transendental eksistensi (wujud)

dan juga level realitas eksistensi (wujud) yang telah kita bahas. Proses emanasi tidak

lain dari proses emanasi eksistensi (wujud) dari Eksistensi Niscaya ke eksistensi

kontinjen. Pada tingkat teratas terdapat Eksistensi Niscaya yang merupakan kausa

pertama dan merupakan eksisten (mawjud) yang tanpa sebab dan tanpa kaitan

dengan eksisten (mawjud) lainnya. Kemudian, terpancar eksisten (mawjud) di level

kedua, yakni akal-akal, jiwa-jiwa langit dan kudrat alamiah; kita dapat melihat

eksisten (mawjud) di level kedua ini sebagai apa yang biasa disebut sebagai “hukum

alam”, yakni sistem yang mengatur segala sesuatu yang terjadi di alam semesta:

perputaran benda langit, gravitasi, dan sebagainya, dan apa-apa yang menjadi

kudrat alami yang dimiliki hal-hal di alam semesta: panas, dingin, dan sebagainya.

Pada level ketiga, terdapat apa yang disebut sebagai eksisten (mawjud) meluas,

yang mencakup hal-hal material dan intelektual yang ada di dunia eksternal,

fenomenal. Sadra menegaskan bahwa eksistensi (wujud) pada level ketiga ini

mencakup segala sesuatu di dunia fenomenal “dalam suatu cara yang berbeda dari

First Cause and is called “the Truth by which creation is created.” And this wujud is the principle of

the existence of the universe, its life and its light, and penetrates into all that there is in the heavens

and the earths.

Its relation to the Divine Being - exalted be He - is analogous to the relation of sensible

light, and the rays shining upon bodies in the heavens and earth, to the sun. And it is different from

the affirmative, relational wujud that is similar to other universal and rational concepts that are not

attached to either the instauration of the Instaurer or to an effect. These latter ones do have a certain

kind of wujud in the manner of the principal intelligibles; but their wujud is their very actuality in

the mind in the same way that one sees non-thingness, non-possibility, and non-instauration in the

concept of nonexistence. But in our view, there is no difference between these concepts and the

others in the sense that they are only narratives and titles of certain things, except that some of them

are titles for existent realities, whereas others are titles for something essentially false.” Masha’ir, ¶

97, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-

Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.

44-45.

Page 274: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

260

universal-universal natural dan esensi-esensi intelijibel, tetapi, justru, dalam suatu

cata yang dipahami oleh para ‘arif dan apa yang mereka sebut sebagai “Nafs al-

Rahman”. Ini adalah rujukan langsung kepada apa yang telah kita bahas sebagai

eksistensi (wujud) yang mencakup segala sesuatu dengan kemencakupan yang

berbeda dari genus. Perbedaan keduanya adalah bahwa yang terakhir mencakup

segala sesuatu secara konseptual, dan kemencakupan ini, karenanya adalah

kemencakupan konseptual yang dapat dipikirkan; sementara yang pertama

mencakup segala sesuatu dalam realitas eksistensinya in concreto. Yang terakhir

ini, disebut sebagai Nafs al-Rahman, asal-muasal dari segala sesuatu yang dapat

dialami di level fenomenal.

Eksistensi (wujud) pada level ketiga ini, diibaratkan oleh Sadra sebagai cahaya

yang dipancarkan, yang terindera yang lahir dan terpancara dari matahari, sebagai

Eksistensi Niscaya. Sadra pun menegaskan kembali di sini bahwa eksistensi

(wujud) ini, “berbeda dari eksistensi (wujud) afirmatif dan relasional yang serupa

dengan konsep-konsep universal dan rasional”. Apa yang dimaksud dengan

eksistensi (wujud) afirmatif dan relasional adalah eksistensi (wujud) sejauh ia

dilihat dalam kerangka linguistik dan logis yang menjadi suatu hal atau perangkat

konseptual, misalnya dalam kalimat “Manusia itu ada”, “manusia itu eksis”, ‘ada’

dan ‘eksis’ di sini merupakan sesuatu yang berfungsi pada kalimat untuk

menegaskan dan merujuk kepada sesuatu di luar bahasa. Namun, di sisi lain, jika ia

hanya dilihat dari fungsi bahasanya, baik ‘eksistensi (wujud)’ maupun ‘ada’ tidak

memiliki makna apapun yang dapat ditambahkan kepada makna yang telah dimiliki

oleh suatu subjek kalimat; ia hanya memiliki fungsi afirmatif dan relasional, tanpa

fungsi informatif. Inilah yang disebut oleh Sadra sebagai sesuatu yang berbeda dari

eksistensi (wujud) pada level ketiga hierarki emanasi. eksistensi (wujud) sejauh ia

dilihat sebagai suatu kata dalam bahasa atau logika, memang mencakup segala

sesuatu, tetapi ini adalah pencakupan konseptual-universal laiknya suatu supra-

genus yang mencakup segala sesuatu. Sementara eksistensi (wujud), Nafs al-

Rahman, mencakup segala sesuatu bukan hanya secara konseptual, ini adalah

pencakupan di dunia eksternal in concreto. Dan eksistensi (wujud) ini mewujud

dalam partikular-partikular dengan prinsip modulasi sebagaimana telah dibahas

pada sub-bab sebelum ini, yakni penembusan keenam ¶ 81.

Page 275: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

261

i. Penembusan Kedelapan

Subjudul dari Penembusan Kedelapan adalah “Mengenai modalitas penciptaan

dan pemancaran, dan bukti atas Pencipta Pertama, dan [realitas] bahwa Pencipta

yang Memancarkan itu Esa, dan tidak ada kejamakan di dalam-Nya dan tidak ada

sekutu bagi-Nya”. Sebagaimana penembusan ketujuh, penembusan kedelapan juga

membahas prinsip emanasi, namun dalam cara yang lebih rinci. Penembusan

kedelapan merupakan bab paling panjang dengan paragraf terbanyak dalam

Masha’ir, yakni terdiri dari 49 paragraf (¶ 102-150). Penembusan Kedelapan dibagi

menjadi dua sub-bab yang juga diberi judul penembusan. Maka, kita mendapati:

Penembusan Kedelapan - Penembusan Pertama dan Kedua. Penembusan Kedua

kemudian dibagi lagi menjadi tiga sub-bab yang diberi judul Jalan, maka kita

mendapati Penembusan Kedelapan - Penembusan Kedua - Jalan Pertama, Kedua

dan Ketiga. Jalan Pertama dari sub-bab penembusan kedua dibagi menjadi delapan

penembusan; Jalan Kedua dari penembusan Kedua dibagi menjadi Empat

Penembusan; dan Jalan Ketiga dari Penembusan Kedua dibagi menjadi tiga

penembusan. Masing-masing sub-bab jalan dan penembusan tersebut juga diberi

subjudul, tidak seperti penembusan lainnya, dalam penembusan kedelapan Sadra

memberikan subjudul yang amat rinci di tiap sub-babnya. Seperti yang telah kami

sebutkan, apa yang akan dibahas dalam penelitian ini terkait penembusan kedelapan

adalah paragraf yang memiliki keterkaitan dengan prinsip modulasi eksistensi;

karenanya, pembahasan mengenai prinsip emanasi, eskatologi dan teologi dari

Masha’ir tidak dapat kami bahas di sini. Adapun, paragraf dalam bab ini yang

memiliki relevansi dengan prinsip modulasi eksistensi kami ambil dari ¶ 108, dalam

sub-bab Penembusan Kedua, Jalan Pertama, Penembusan Keempat. Di sini, Sadra

menulis:

“Prinsip-prinsip yang sudah dijelaskan hingga kini telah menunjukkan dan

mengukuhkan dengan kuat [fakta] bahwa Eksistensi Niscaya itu satu dalam

dirinya, tanpa kejamakan, dan bahwa ia sempurna dan di atas segala

kesempurnaan tanpa batas. Kini kita berkata bahwa ia memancar kepada

segala sesuatu selain dirinya, tanpa emanasi ini menghasilkan suatu sekutu

[baginya]; karena apa yang ada selainnya, pada hakikatnya, ialah esensi-esensi

kontinjen dan esensi-esensi yang penuh kekurangan – eksistensi (wujud)-

eksistensi (wujud) yang bergantung kepada sesuatu selain dirinya. Kini, segala

eksistensi (wujud) yang eksistensinya bergantung kepada yang lain

memerlukan sesuatu yang lain tersebut dan mendapati kesempurnaan

dengannya, dan yang lain ini ialah awal dan akhir darinya.

Page 276: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

262

Karenanya, semua eksistensi kontinjen, dengan pembedaan dan derajat

mereka dalam kesempurnaan dan kekurangan, pada hakikatnya,

memerlukannya [Eksistensi Niscaya] dan mendapati kecukupan eksistensi

(wujud) darinya. Dilihat dalam dirinya, mereka adalah eksistensi-eksistensi

kontinjen yang dibuat niscaya oleh Eksisten (mawjud) Pertama dan Niscaya -

Maha Suci Ia. Memang, pada dirinya, mereka itu ialah khayalan dan dapat

sirna, dan dibuat nyata oleh Yang Nyata, Yang Esa: “Segala sesuatu akan sirna

kecuali Wajah-Nya” (Q.S. al-Qasas, 28:88). Relasi antaranya dan apa yang

selainnya dapat diibaratkan dengan relasi antara cahaya-cahaya dari matahari

– dengan mengandaikan bahwa ia ada karena dirinya – dengan benda-benda

yang diteranginya dan yang pada dirinya gelap.

Ketika kau menyaksikan terbitnya matahari di suatu tempat dan penerangan

tempat itu oleh cahaya, maka cahaya lainnya dihasilkan oleh cahaya ini, kau

akan menilai bahwa cahaya kedua ini juga berasal dari matahari dan akan

melacak asal-muasalnya kepada matahari; begitu pula bagi cahaya ketiga dan

keempat, hingga seorang melihat cahaya yang paling lemah yang dapat

diindera. Begitu pula, eksistensi (wujud) dari eksistensi-eksistensi kontinjen di

mana terdapat kedekatan dan jarak dari Yang Satu, Yang Nyata; karena segala

sesuatu berasal dari Tuhan.”69

Di bagian pertama paragraf di atas, Sadra sekali lagi menegaskan bahwa yang

mencirikan Eksistensi Niscaya, atau Tuhan adalah bahwa ia merupakan sesuatu

yang eksis dengan dirinya sendiri secara mutlak. Dan bahwa segala eksistensi

(wujud) berasal dari-Nya. Kemudian, Sadra juga melihat emanasi dalam pencirian

tersebut: Eksistensi Niscaya sebagai suatu eksistensi (wujud) yang eksis dengan

sendirinya merupakan sumber dari segala eksistensi (wujud); yakni eksistensi

69 “The principles expounded until now have shown and firmly established [the fact] that the

Necessary Being is one by itself, with no pluralization, and that it is perfect and above plenary

perfection. Now we say that it emanates upon all that is other than itself, without this emanation

producing an association [with it]; for what is other than it is, in reality, contingent quiddities and

deficient essences - existences that depend upon something other than themselves. Now, all that

whose wujud depends upon another is in need of that other and finds its full completion with it, and

this other is its origin and its end.

So, all contingent beings, with their differentiations and grades in perfection and deficiency

are, in their essences, in need of it [the Necessary being] and derive their sufficiency in being from

it. Considered in themselves, they are contingent beings made necessary by the First, the Necessary

Being - transcendent is He. Indeed, they are, in themselves, illusory and perishing and are made real

by the Real, the One, the Unique: “All things are perishing save His Face” (“al-Qasas,” Q.S.: 28:88).

The relation between it and that which is other than it is analogous to the relation between the rays

of the sun - supposing that it subsisted by itself - with the bodies that are illuminated by it and are

dark in themselves.

When you witness the rising of the sun in a place and the illumination of that place by its

light, then another light resulting from this light, you will judge that this second light is also from

the sun and will trace its origin back to the sun; likewise for the third light and the fourth light, until

one ends with the weakest light perceptible to the senses. The same is true for the wujud of contingent

beings in which there is differentiation in their proximity and distance from the one, the Real; for

everything proceeds from God.” Masha’ir, ¶ 108, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical

Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr

(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 53.

Page 277: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

263

(wujud) kontinjen yang merupakan eksisten (mawjud) selain-Nya, dan Eksistensi

Niscaya menciptakan segala eksistensi (wujud) tersebut dalam cara emanasi.

Di bagian kedua, Sadra menjelaskan bahwa: pertama, eksistensi kontinjen

adalah eksistensi (wujud) yang agar eksis, ia memerlukan eksistensi (wujud)

lainnya, yakni Eksistensi Niscaya. Kedua, namun, hal ini bukan berarti bahwa

eksistensi (wujud) merupakan sesuatu yang memerlukan eksistensi (wujud) lain

agar ia eksis. Jika eksistensi kontinjen dilihat dari aspeknya sendiri, yakni, jika tidak

dikaitkan dengan Eksistensi Niscaya pada level transendental; maka eksistensinya

tidak berasal dari eksistensi (wujud) lain yang dimasukkan pada dirinya dari luar,

dalam artian ini, eksistensi kontinjen dapat dilihat sebagai suatu eksistensi niscaya;

yakni, yang keniscayaannya disebabkan oleh Eksistensi Niscaya itu sendiri. Alegori

cahaya merupakan alegori yang sering digunakan untuk melihat proses emanasi,

atau proses bagaimana Eksistensi Niscaya memancar menjadi segala eksistensi

(wujud). Dan ketiga, prinsip modulasi eksistensi berlaku pada eksistensi kontinjen

dalam kerangka kesempurnaan, kekurangan, anterioritas, posterioritas dan lainnya

sebagaimana telah kami jelaskan di sini. Dengan demikian, bab ini, sekaligus

penelitian ini telah selesai.

Page 278: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

264

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan

Berikut ini adalah poin-poin yang kami simpulkan dari penulisan skripsi ini,

kami membaginya menjadi tiga poin: biografis, yang merupakan kesimpulan, atau

persisnya, catatan atas apa yang telah ditulis pada bab II, eksistensi (wujud) Mulla

Sadra; genealogis, yang merupakan catatan-catatan mengenai bab III, Genealogi

Metafisika Eksistensial; metafisis, yang merupakan poin utama yang disampaikan

pada bab IV, Prinsip Metafisika Eksistensial.

1. Poin-Poin Biografis

Dalam Bab II, kami telah membahas bagaimana persoalan biografis Mulla

Sadra bukanlah suatu bidang yang lepas dari permasalahan. Terdapat amat sedikit

catatan biografis yang dicatat khusus mengenai kehidupan Mulla Sadra sebagai

seorang sosok historis. Namun begitu, terdapat beberapa hal yang agaknya dapat

dipastikan mengenai hal ini. Dan hal ini didasarkan pada catatan autobiografis

Mulla Sadra sendiri di kitabnya, Asfar.

Mulla Sadra merupakan seorang anak semata wayang dari sebuah keluarga

ningrat. ia lahir di sekitar tahun 979-980/1571-1572. Dua poin biografis ini

setidaknya dapat dikatakan mendekati kebenaran, berdasarkan data-data yang

disimpulkan dari penerbitan karya-karya yang dinyatakan oleh para pengikut

mazhab filsafat Mulla Sadra. Kemudian, Mulla Sadra adalah seornag yang dekat

dengan wilayah kerajaan. Baik dari garis keluarga maupun dari jaringan

intelektualnya. Guru Sadra yang dapat dikonfirmasi adalah Mir Damad dan Syaikh

Baha'i. Hal ini telah ditunjukkan di bab 2. Mengenai pengaruh filosofis langsung

dari Mir Damad, yang dapat kita simpulkan adalah bahwa secara khusus, Mir

Damad adalah akses langsung Mulla Sadra atas pemikiran Suhrawardi. Mir Damad

ialah filsuf dari mazhab Isfahan yang mendukung esensialisme metafisis, hal yang

sebelumnya juga diyakini Sadra sebelum ia merangkul eksistensialisme. Ada satu

spekulasi bahwa konsepsi gerak substansial Mulla Sadra juga terpengaruh oleh

konsepsi waktu dari Mir Damad. Namun hal ini tidak dapat kami pastikan dalam

penelitian ini. Apa yang paling jelas adalah bahwa dari Mir Damad, Sadra

mempelajari Suhrawardi dan esensialisme, dan darinya pula ia mewarisi

Page 279: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

265

kecenderungan sintesis, terutama sintesis antara Peripatetisme dan

Iluminasionisme. Pengaruh Syaikh Baha'i ke Mulla sadra tidak terlalu jelas, kecuali

bahwa darinya, Sadra telah mempelajari aspek-aspek tradisional dari Islam, baik

teologi, ilmu hadis, maupun fiqih.

Dan terakhir, tanggal wafat Sadra juga merupakan sesuatu yang hampir tidak

diperdebatkan, dan bahwa ia meninggal dunia setelah melakukan perjalanan umrah

yang ketujuh. Dan di fase akhir hidupnya, Sadra pulang ke kampung halaman untuk

menjadi profesor di madrasah yang dipersiapkan baginya oleh Imamquli Khan, dan

dalam fase ini, Sadra telah menyelesaikan Asfar dan tentunya sudah menjadi

seorang eksistensialis. Tanggal paling mungkin dari wafatnya Mulla Sadra adalah

yang disebutkan oleh cucunya, yaitu 1045/1635-6. Meskipun masih saja makamnya

belum diketahui oleh penduduk Najaf.

2. Poin-Poin Genealogis

Pada bab 3, kita telah melihat bagaimana bangunan metafisika eksistensial

Mulla Sadra dapat dikatakan sebagai terbentuk dari beberapa jalur filosofis. Kita

dapat melihat bagaimana ia terbentuk dari persoalan Aristotelian, terutama

mengenai dua sisi dari segala sesuatu, yakni eksistensi (wujud) dan esensi

(mahiyah). Rumusan ini kemudian diwarisi oleh Peripatetisme Islam, khususnya

Farabi dan Ibn Sina hingga mencapai perumusan yang jauh lebih canggih

dibandingkan dengan rumusan Aristoteles, apa yang telah sering disebut sebagai

‘metafisika penciptaan.’ Ini adalah persoalan eksistensi (wujud). Kemudian,

persoalan primasi merupakan persoalan yang mula-mula diajukan oleh Suhrawardi

terkait dengan persoalan eksistensi (wujud) tadi. Kritisismenya atas

Aristotelianisme secara umum, dan Aristoteliansme Islam, yakni Peripatetisme

Islam secara khusus, membuahkan apa yang nantinya disebut sebagai persoalan

primasi, yakni persoalan mana yang lebih utama dalam realitas antara eksistensi

(wujud) dan esensi (mahiyah). Mulla Sadra dulunya meyakini kebenaran dari

pernyataan ini, dan membelokkan diri menuju rumusan eksistensialis, yang

merupakan kritik dan konfrontasi langsung atas esensialisme Suhrawardi. Dan

nantinya, Sadra mendapatkan verifikasi dan justifikasi baik logis maupun metafisis

dari kelompok Akbariyyun.

Page 280: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

266

3. Poin-Poin Metafisis

Di bab terakhir, setelah kita melihat Masha'ir kita dapat menyimpulkan bahwa

Mulla Sadra menjadikan pembahasan mengenai primasi eksistensi menjadi yang

paling penting. Ini dapat dilihat dari bagaimana ia membahas persoalan ini dari

penembusan pertama hingga keempat. Sementara, persoalan relasi eksistensi-esensi

merupakan persoalan yang dibahas Sadra setelah memastikan prinsip primasi

eksistensi. Hal ini juga dibahas secara panjang lebar dalam Masha'ir. Kemudian,

persoalan modulasi merupakan persoalan yang dibahas tidak dalam satu bab

khusus, namun terurai di banyak tempat dalam Masha'ir. Poin lanjutan yang dapat

disimpulkan adalah bahwa ketiga persoalan ini tidak dapat dipisahkan satu sama

lain, satu konsepsi meniscayakan dan diniscayakan oleh konsepsi lainnya, dan

menurut kami, beginilah hakikat dari metafisika eksistensial Mulla Sadra. Primasi

eksistensi meniscayakan suatu relasi tertentu dari eksistensi-esensi, dan sebaliknya,

primasi eksistensi diniscayakan oleh bentuk relasi tersebut. Dan modulasi eksistensi

meniscayakan juga primasi eksistensi dan relasi eksistensi-esensi, sebagaimana

keduanya juga meniscayakan dan diniscayakan oleh modulasi eksistensi.

B. Tinjauan

Apakah Mulla Sadra berhasil, melalui metafisika eksistensialnya, untuk

mengurai permasalahan-permasalahan yang ia hadapi? Kami menyatakan bahwa ia

telah berhasil melakukan hal tersebut. Mulla Sadra telah berhasil melakukan

beberapa hal, yang paling penting ialah bahwa ia telah menunjukkan bahwa posisi

metafisisnya lebih dapat dibuktikan secara logis dibandingkan posisi metafisis

Suhrawardi mengenai esensi (mahiyah). Terlebih lagi, Mulla Sadra tidak sekedar

memberikan suatu jawaban berdasarkan asas-asas rasional atau aksioma-aksioma

filosofis semata; apropriasinya atas wahdat al-wujud dari kelompok Akbariyyun

telah memberinya justifikasi metafisis atas pernyataan-pernyataan filosofisnya.

Mulla Sadra pun telah berhasil menunjukkan bahwa tidak seperti apa yang

dikatakan Suhrawardi mengenai Ibn Sina, Ibn Sina sendiri tidak melihat eksistensi

(wujud) sebagai aksiden semata dari esensi (mahiyah). Dan kemudian, adalah Sadra

yang mengoreksi bagaimana kontradiksi logis yang disebabkan oleh konsepsi

eksistensi-esensi Ibn Sina adalah pernyataan bahwa relasi antara keduanya, dan

distingsi antara keduanya adalah distingsi riil di level fenomenal. Mulla Sadra pun

Page 281: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

267

telah berhasil mengapropriasi prinsip gradasi cahaya Suhrawardi dalam prinsip

modulasi eksistensinya. Dan dengan demikian ia dapat menghindari kekeliruan

Suhrawardi ketika ia menolak realitas eksistensi (wujud), sementara menyatakan

bahwa Tuhan adalah eksistensi (wujud) Murni. Mulla Sadra telah berhasil

meneruskan tradisi Akbariyyun, memadukannya dengan ilham-ilham Suhrawardi

dan akhirnya dengan Peripatetisme Islam Ibn Sina secara umum.

Apa yang belum berhasil dilakukan Mulla Sadra? Ini adalah mengenai seberapa

bisa ia menjustifikasi bahwa metafisika eksistensialnya benar pada tataran

transcendental. Mulla Sadra berulangkali menyatakan bahwa pada level konseptual,

kita tidak akan dapat memahami realitas eksistensi (wujud), meskipun di level

fenomenal, eksternal, in concreto, kita dapat memastikan realitasnya. Tetapi, watak

dari diskursus filosofis adalah konseptual: ia dijabarkan dengan memadukan

konsep-konsep, mengaitkan satu konsep dengan konsep lainnya dan seterusnya.

Lalu apa yang ia maksud dengan pengetahuan yang hanya dapat dicapai oleh

mereka yang pemikirannya kuat, yaitu para gnostic? Apakah ini merupakan suatu

pernyataan tersirat bahwa metafisika eksistensialnya hanya dapat dipahami

sepenuhnya jika seseorang menjalani ritual mistisisme? Sadra tidak pernah

memberi penjelasan bagi hal ini, setidaknya dalam Masha’ir. Apakah akses akan

realitas eksistensi (wujud) adalah sesuatu yang tidak adil, yakni, ia hanya dapat

diakses oleh kelas-kelas tertentu, kelas elit, dalam masyarakat spiritual? Fazlur

Rahman menolak hal ini, ia berpendapat bahwa untuk memahami filsafat Mulla

Sadra, yang perlu kita lakukan adalah ketulusan, dalam arti kesungguhan dalam

mendalami metafisika eksistensial Sadra. Ini adalah suatu pertanyaan, yang bisa

jadi disebut sebagai suatu kritik, namun, pastinya kita tidak akan pernah dapat

menanyakannya langsung kepada Mulla Sadra, yang bisa kita lakukan adalah

melihat bagaimana teks-teks Sadra menyatakan hal ini secara tersirat ataupun

tersurat. Dengan kata lain, terus mengkaji teks-teks yang telah ia tulis.

C. Saran

Dalam penelitian ini, kami telah berupaya menjelaskan apa yang dimaksud

dengan ‘Metafisika Eksistensial’; namun begitu, ini bukanlah suatu penelitian yang

lengkap atau menyeluruh hingga poin-poin paling rinci dalam pemikiran Mulla

Page 282: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

268

Sadra. Sebagaimana dinyatakan oleh Fazlur Rahman, penelitian mengenai Mulla

Sadra dan filsuf-filsuf lain yang berasal dari bagian timur Islam, yakni Persia, masih

merupakan suatu lading baru yang belum dijelajah dengan cukup. Dalam penelitian

ini, kami hanya melihat metafisika eksistensial Mulla Sadra dalam kaitannya

dengan tiga persoalan utama, yakni persoalan primasi eksistensi, persoalan relasi

eksistensi-esensi, dan persoalan modulasi eksistensi.

Saran untuk penelitian selanjutnya mengenai Mulla Sadra misalnya adalah

penelusuran atas beberapa konsep yang belum sempat kami bahas dalam penelitian

ini: bagaimana prinsip emanasi terkait dengan prinsip metafisika eksistensial

Sadra? Dan bagaimana gagasan mengenai gerak substansial diniscayakan oleh

metafisika eksistensial Sadra? Terlebih lagi, kami hanya memusatkan diri pada satu

teks Mulla Sadra, yakni Masha’ir. Penelitian lebih lengkap tentu saja harus

melibatkan teks Asfar, dan melihat sejauh mana argumen-argumen Mulla Sadra

berkembang dari Asfar ke Masha’ir. Hal yang menarik juga untuk dibahas adalah

gagasan logika Mulla Sadra, yang sejauh pembacaan kami, belum ada satu teks atau

penelitian khusus yang membahasnya. Adapun, untuk jenis penelitian komparatif,

membandingkan Mulla Sadra dan Jean-Paul Sartre kami kira merupakan suatu tema

penelitian yang amat menarik. Sejauh ini, Mulla Sadra telah dibandingkan dengan

Heidegger, dengan Hegel, dan Parmenides, Bergson dan lainnya. Izutsu telah

membandingkan misalnya pernyataan Jean-Paul Sartre dalam Nausea dengan poin-

poin metafisis Sadra, tetapi belum dengan teks Being and Nothingness, yang

merupakan teks Sartre yang paling ‘metafisis’.

Adapun, penelitian mengenai relasi antara gerak substansial Mulla Sadra dan

dialektika Hegel kami kira merupakan suatu penelusuran menarik, hal ini telah

diupayakan oleh beberapa peneliti seperti yang telah kami sebut. Begitu pula,

penelitian mengenai sejauh mana konsepsi waktu Mir Damad memiliki keterkaitan

dengan konsepsi Sadra mengenai eksistensi (wujud) dan Waktu.

Untuk menutup penelitian ini, kami ingin menyatakan bahwa ini bukanlah suatu

penelitian yang sudah selesai, banyak poin-poin yang masih perlu diterangkan,

diperjelas dan diberi landasan baik logis maupun filosofis. Kami berharap bahwa

setidaknya penelitian ini dapat memberi suatu dorongan bagi kawan-kawan

Page 283: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

269

pengkaji filsafat, baik filsafat Islam maupun barat, untuk melihat sejauh mana

spekulasi filsafat Islam setelah ia dicap mati berbentuk. Terlebih, kala distingsi

antara analitik vs kontinental, dan barat vs Islam sedang diupayakan untuk

dilampaui, penelitian mengenai Mulla Sadra kami kira dapat memberikan

sumbangsih tertentu bagi upaya pelampauan semacam itu.

Page 284: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

270

DAFTAR PUSTAKA

Açıkgenç, Alparslan. Being and Existence in Sadra and Heidegger: A Comparative

Ontology. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.

Adamson, Peter (ed.). Interpreting Avicenna: Critical Essays. Cambridge:

Cambridge University Press, 2013.

Adamson, Peter dan Richard C. Taylor Cambridge (ed.). The Cambridge

Companion to Arabic Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press,

2005.

Adamson, Peter. “Before Essence and Existence: al-Kindi’s Conception of Being”.

Journal of the History of Philosophy 40, no. 3 (2002): 297-312.

Afnan, Soheil M. Avicenna: His Life and Works. London: George Allen & Unwin

LTD, 1958.

Ahmed, Ejaz. “Mulla Sadra’s Notion of Existence: A Comparative Review.” Al-

Hikmat: A Journal of Philosophy. 38 (tanpa tahun): 11-27.

Akbarian, Reza & Amelie Neuve-Eglise. “Henry Corbin: From Heidegger to Mulla

Sadra, Hermeneutics and the Unique Quest of Being.” Hekmat va Falsafeh 4,

no. 2 (2008): 5-30.

al-Kutubi, Eiyad S. Mulla Sadra and Eschatology: Evolution of Being. New York:

Routlede, 2015.

Aristoteles. Aristotle Posterior Analytics. Terj. Jonathan Barnes. Oxford: Oxford

University Press, 2002.

_______. Metaphysics. Terj. Hugh Lawson-Tancred. London: Penguin Books,

1998.

_______. Philosophy of Aristotle. Terj. A.E. Wardman dan J.L. Creed. New York:

New American Library, 1963.

Audi, Robert. The Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge: Cambridge

University Press, 1999.

Page 285: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

271

Blackburn, Simon. Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford: Oxford University

Press, 2005.

Bunnin, Nicholas & Jiyuan Yu. The Blackwell Dictionary of Western Philosophy.

Malden: Blackwell Pubslishing, 2004.

Burnham Douglas. The Nietsche Dictionary. New York: Bloomsbury, 2015.

Burrel, David B. “Mulla Sadra’s Ontology Revisited.” Journal of Islamic

Philosophy 6 (2010): 45-66.

Ceylan, Yasin. “A Critical Approach to the Avicennian Distinction of Essence and

Existence.” Islamic Studies 32, no. 3 (1993): 329-337.

Dagli, Caner K. From Mysticism to Philosophy (And Back): An Ontological History

of the School of the Oneness of Being. Disertasi. Faculty of Philosopy.

Department of Near Islamic Studies, 2006.

Daiber, Hans et. al. Islamic Philosophy, Theology and Science: Text and Studies.

Boston: Brill, 2012.

De haan, Daniel D. “The Doctrine of the Analogy of Being in Avicenna’s

Metaphysics of the Healing.” The Review of Metaphysics 69, no. 2 (2015):

261-286.

Debashi, Mehdi. Mulla Sadra’s Theory of Transubstantial Motion: A Translation

and Critical Exposition. Disertasi. Department of Philosophy. Faculty of

Graduate School of Arts and Sciences. Fordham University, 1981.

el-Bizri, Nader. “Avicenna and Essentialism.” The Review of Metaphysics 54, no.

4 (2001): 753-778.

_______. The Phenomenological Quest: Between Avicenna and Heidegger. New

York: SUNY Press, 2000.

Faiz. “Eksistensialisme Mulla Sadra.” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran

Islam 3, no. 2 (2013): 437-461.

Fakhry, Majid. A History of Islamic Philosophy. Third Edition. New York:

Columbia University Press, 2004.

Page 286: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

272

Faruque, Muhammad U. “Heidegger and Mulla Sadra on the Meaning of

Metaphysics”. Philosophy East & West 67, no. 3 (2017): 629-650.

Haq, Muhammad ‘Abdul. “An Aspect of the Metaphysics of Mulla Sadra.” Islamic

Studies 9, no. 4 (1970): 331-353.

_______. “Metaphysics of Mulla Sadra: II.” Islamic Studies 10, no. 4 (1971): 291-

317.

_______. “Mulla Sadra’s Concept of Man.” Islamic Studies 11, no. 4 (1972): 281-

296.

_______. “Mulla Sadra’s Concept of Substantial Motion.” Islamic Studies 11, no.

2 (1972): 79-91.

_______. “The Psychology of Mulla Sadra.” Islamic Studies 9, no. 2 (1970): 173-

181.

_______. “Mulla Sadra’s Concept of Being.” Islamic Studies 6, no. 3 (1967): 267-

276.

Hegel, Georg W. F. Phenomenology of Spirit. Trans by A.V. Miller. Oxford:

Oxford University Press, 1977.

Heidegger, Martin. Being and Time: A Translation of Sein und Zeit. Trans by Joan

Stambaugh. New York: SUNY Press, 1996.

Iqbal, Muhammad. The Development of Metaphysics in Persia: A Contribution to

the History of Muslim Philosophy. Lahore: Bazm-i-Iqbal, Tanpa tahun.

Izutsu, Toshihiko. The Concept and Reality of Existence. Tokyo: Keio Insitute of

Cultural and Linguistic Studies, 1971.

Kalin, Ibrahim. “An Annotated Bibliography of the Works of Mulla Sadra with a

Brief Account of His Life.” Islamic Studies 42, no. 1 (2003): 21-62.

_______. “Mulla Sadra’s Realist Ontology of the Intelligibles and Theory of

Knowledge.” Islam Arastimalari Dergisi 7 (2002): 1-29.

Page 287: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

273

_______. Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence,

Intellect and Intuition. Oxford: Oxford University Press, 2010.

Kamal, Muhamamad. “Existence and Essence in Mulla Sadra’s Ontology.”

Philosophy Study 9, no. 7 (2019): 399-407.

_______. “Avicenna’s Necessary Being”. Open Journal of Philosophy 6, (Tanpa

Tahun): 194-200. http://dx.doi.org/10.4236/ojpp.2016.62018

_______. “Existence and Non-existence in Sabzawari’s Ontology.” Sophia 51

(2015): 395-406.

_______. “Rethinking Being: From Suhrawardi to Mulla Sadra.” Journal of Shi’a

Islamic Studies II, No. 4 (2009): 423-436.

_______. Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy. Vermont: Ashgate, 2006.

Kuspinar, Bilal. “Mulla Sadra’s Criticism of Ibn Sina and al-Suhrawardi on the

Problem of God’s Knowledge.” Journal of Islamic Research 5, no. 1 (1991):

45-55.

Leaman, Oliver (ed.). The Biographical Encyclopedia of Islamic Philosophy oleh

Oliver Leaman (ed.). New York: Bloomsbury Publising, 2015.

Lizzini, Olga. “Wujud-Mawjud/Existence-Existent in Avicenna: A key ontological

notion of Arabic philosophy.” Quaestio 3 (2003): 111-138.

Marcotte, Roxanne D. “Al-Masa’il al-Qudsiyya and Mulla Sadra’s Proof for Mental

Existence.” Journal of Islamic Studies 22, no. 2 (2011): 153-182.

McGinnis, Jon & David C. Reisman. Classical Arabic Philosophy: An Anthology

of Sources. Indianapolis: Hackett Publishing Company Inc., 2007.

Moosavi, S. M. Kazem Mesbah. Substantive Motion According to Mulla Sadra

Shirazi. Tesis. Faculty of Graduate Studies and Research. McGill University.

Montreal, 1994.

Morewedge, Parviz. “Philosophical Analysis and Ibn Sina’s ‘Essence-Existence’

Distinction.” Journal of the American Oriental Society 92, no. 3 (1972): 425-

435.

Page 288: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

274

Nasr, Seyyed Hossein. “Al-Hikmat Al-Ilahiyyah and Kalam.” Studia Islamica 34

(1971): 139-149.

_______. “Conditions for Meaningful Comparative Philosophy.” Philosophy East

and West 22, no. 1 (1972): 53-61.

_______. “Mulla Sadra as A Source for The History of Muslim Philosophy.”

Islamic Studies 3, no. 3 (1964): 309-314.

_______. Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land

of Prophecy. New York: SUNY Press, 2006.

_______. Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life

and Works. Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978.

_______. Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi-Ibn ‘Arabi. New York:

Caravan Books, 1997.

Neuve-Eglise, Amelia. “Hermeneutics and the Unique Quest of Being: Henry

Corbin’s Intellectual Journey.” Journal of Shi’a Islamic Studies 2, no. 1

(2009): 3-26.

Nur, Syaifan. Filsafat Hikmah Mulla Sadra. Yogyakarta: Rausyanfikr Institute,

2012.

Pratomo, Dwi. “Mulla Sadra dan Transendensi Diri.” Ilmu Ushuluddin 04, no. 01

(2017): 59-80.

Preus, Anthony. Historical Dictionary of Ancient Greek Philosophy. Toronto: The

Scarecrow Press, 2007.

Protevi, John (ed.). The Edinburgh Dictionary of Continental Philosophy.

Edinburgh: Edinburgh University Press, 2005.

Proudfoot, Michael & A.R. Lacey. The Routledge Dictionary of Philosophy. New

York: Routledge, 2010.

Rahman, Fazlur. The Philosophy of Mulla Sadra. New York: SUNY Press, 1975.

Page 289: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

275

Razavi, Mehdi Amin. Suhrawardi and the School of Illumination. New York:

Routledge, 2013.

Reisman, David C. & Ahmed H. al-Rahim (ed.). Before and After Avicenna:

Proceedings on the First Conference of the Avicenna Study Group. Boston:

Brill, 2003.

Rizvi, Sajjad H. “An Islamic Subversion of the Existence-Essence Distinction?

Suhrawardi’s visionary hierarchy of lights. Asian Philosophy 9, no. 3 (1999):

219-227.

_______. “Reconsidering the Life of Mulla Sadra Shirazi: Notes towards an

Intellectual Biography.” Iran 40 (2002): 181-201.

_______. Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being. New York:

Routledge, 2009.

_______. Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Safavid

Philosophy. Oxford: Oxford University Press, 2007.

Sadra, Mulla & James Winston Morris. Wisdom of the Throne: An Introduction to

the Philosophy of Mulla Sadra. New Jersey: Princeton University Press,

1981.

Sadra, Mulla. On The Hermeneutics of the Light Verse of the Qur’an (Tafsir Ayat

al-Nur), Transleted, Introduced and annotated by Latimah-Parvin Peerwani.

London: ICAS Press, 2004.

_______. The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel

English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr. Utah: Brigham

Young University Press, 2014.

Safavi, Seyed G. “Mulla Sadra’s Life and Philosophy.” Transcendent Philosophy:

An International Journal for Comparative Philosophy and Mysticism 13

(2012): 21-96.

Sartre, Jean-Paul. Existentialism is a Humanism. London: Yale University Press,

2007.

Page 290: METAFISIKA EKSISTENSIAL TELAAH ATAS KITAB AL MASHA IR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52227... · 2020. 9. 10. · METAFISIKA EKSISTENSIAL: TELAAH ATAS KITAB

276

Shehadi, Fadlou. Metaphysics in Islamic Philosophy. New York: Caravan Books,

1982.

Shigeru, Kamada. “The Place of Mulla Sadra’s Kitab al-Masha’ir in Izutsu’s

Philosophy.” Intellectual Discourse 17, no. 2 (Tanpa Tahun): 159-172.

Shlbei, Kamal Abdulkarim. Sadra and Hegel on the Relationship between

Essence/Existence and Subject/Object. Disertasi. Department of Philosophy.

Faculty of Graduate School of Liberal Arts. Duquesne University, 2013.

Suhrawardi. The Shape of Light, Terjemah dan Ulasan dari Hayakil al-Nur, oleh

Syaikh Tosun Bayrak al-Jerrahi al-Halveti. Louisville: Vons Vitae, 1998.

Syahrastani, Muhammad, Wilfred Madilung & Toby Mayer. Kitab al Musara’a:

Struggling With the Philosopher: A Refutation of Avicenna’s Metaphysics.

London: The Institute of Ismaili Studies, 2001.

Wisnovsky, Robert. Avicenna’s Metaphysics in Context. New York: Cornell

University Press, 2003.

Zarkasyi, Hamid Fahmy. “The Philosophy of Mulla Sadra.” Jurnal Tsaqafah 5, no.

2 (1430 H): 325-351.