analisis eksistensial ii
DESCRIPTION
msdmTRANSCRIPT
Munculnya gerakan analisis eksistensial berbeda dari munculnya gerakan-
gerakan atau aliran-aliran lain karena dua hal. pertama, gerakan analisis
eksistensial tidak didirikan oleh seorang tokoh atau pimpinan, melainkan
tumbuh secara spontan dan secara asli (indigenous) di berbagai tempat yang
berbeda. Kedua, gerakan ini tidak ditujukan untuk membangun sebuah
mazhab atau teknik terafi baru sebagai perlawanan terhadap mazhab-mazhab
atau teknik-teknik terafi lain. Gerakan ini hanya menganalisis struktur eksistensi
manusia, yakni sebuah usaha yang, kalau berhasil, akan menghasilkan
pemahaman mengenai kenyataan yang mendasari segenap situasi
manusia yang sedang berada dalam krisis (kemelut).
Jadi apa yang dilakukan oleh gerakan ini lebih dari sekedar menerangi sudut-
sudut gelap dalam diri manusia. Kalau Binswanger menulis. "...analisis eksistensial
dapat memperluas dan memperdalam konsep-konsep dasar dan pemahaman-
pemahaman tentang psikoanalisis," maka ia benar sekali, bukan hanya dalam
hubungannya dengan analisis, tetapi juga dengan bentukbentuk terafi.
Ada kritik atau perlawanan terhadap gerakan analisis eksistensial, dan
perlawanan itu berasal dari berbagai sumber. Sumber perlawanan pertama
adalah adanya prasangka, bahwa analisis eksistensial merupakan campur
tangan (intervensi) filsafat dalam psikiatri, dan tidak banyak manfaatnya untuk
ilmu. perlawanan ini sejalan dengan semangat para ilmuwan akhir Abad
ke-19 yang memproklamasikan bahwa ilmu harus lepas dari filsafat. mengenai
perlawanan ini saya akan memberikan beberapa komentar. Perlu diingat bahwa
gerakan eksistensial dalam psikiatri dan psikologi muncul dari suatu gairah
(passion) untuk menempatkan fenomena manusia secara lebih empiris.
Binswanger dan para tokoh yang lain percaya bahwa metodametoda ilmiah
tradisional bukan hanya memperlakukan data secara tidak adil, tetapi juga
menyembuyikan apa yang sebenarnya terjadi dalam pengalaman pasien.
Gerakan analisis eksistensial merupakan protes terhadap kecenclerungan untuk
melihat pasien dalam bentuk-bentuk atau kategori-kategori yang disesuaikan
dengan prakonsepsi-prakonsepsi kita, atau mendeskripsikan pasien berdasarkan
pada gambaran kita sendiri. Dalam konteks ini sesungguhnya analisis
eksistensial berada dalam tradisi ilmiah dalam artinya yang paling luas.
Namun, di lain pihak, ia memperluas pengetahuan tentang manusia melalui
perspektif historis dan pemikiran yang radikal, yakni dengan menerima
fakta bahwa manusia mampu mengungkapkan dirinya dalam seni,
literatur dan filsafat, dan dengan menerima wawasan tentang gerakan-gerakan
kultural, khususnya yang mengungkapkan kecemasan-kecemasan dan, konflik-
konflik manusia kontemporer. Pendeknya, analisis eksistensial menyajikan
sekaligus kesatuan ilmu pengetahuan dan humanisme.
perlu untuk disadari bahwa setiap metode ilmiah mendasarkan diri pada
asumsi-asumsi filsafati. Asumsi-asumsi itu menentukan bukan hanya
berapa banyak kenyataan yang dapat dijaring oleh pengamat dengan
metodanya itu, tetapi juga menentukan apakah kenyataan yang diobservasi itu
berhubungan dengan pesoalan-persoalan yang hendak dicari jawabnya atau
tidak, dan oleh sebab itu apakah pekerjaan ilmiah itu akan diteruskan atau
mencari lagi metode lain yang lebih cocok. Adalah suatu kekeliruan besar jika
orang beranggapan bahwa kita dapat menyelidiki fakta-fakta secara benar kalau
kita mampu menghindari asumsi-asumsi tersebut. Anggapan seperti itu tidak lain
adalah cermin dari ketidak kritisan yang disebabkan oleh kebudayaannya yang
sempit dan terbatas. Akibatnya adalah bahwa pada hari ini ilmu menjadi identik
dengan metode mengisolasikan faktor-faktor atau variabel-variabel dan
mengobservasi faktor-faktor atau variabeI-variabel tersebut secara terpisah dari
sumber asalnya, yakni manusia itu sendiri. Ini adalah metode yang khas dari
kebudayaan Barat Abad ke-17, yang berupaya memisahkan kenyataan subjek dari
objek. Akan tetapi, dibandingkan dengan keadaan pada waktu itu, kita dewasa ini
tidak kurang tunduknya pada "pengkultusan metoda" (methodolatry) itu. Kita
yang bergerak dalam usaha untuk masuk ke dalam suatu wilayah krusial seperti
studi psikologis tentang manusia, yang tujuan akhirnya adalah menuju kesehatan
emosional dan mental, sangat tidak diuntungkan, karna harus dibatasi oleh
ketidakritisan terhadap asumsi-asumsi yang membatasi itu. Oleh sebab itu,
sangatlah dibutuhkan suatu analisa atas asumsi-asumsi itu. Menurut hemat saya,
kita sebagai pskiater dan psikolog sangat berhutang budi pada gerakan analisis
eksistensial yang telah mengklarifikasikan dasar-dasar atau asumsi-sumsi mereka.
Ini dibutuhkan untuk mengamati subjek manusia secara jernih dan untuk
menerangi secara orisinal segi-segi dari pengalaman psikologisnya.
Sumber perlawanan kedua adalah tendensi dalam masyarakat ilmiah untuk
bergelut hanya dengan teknik dan tidak sabar dengan upaya mencari landasan yang,
mendasari teknik tersebut. Kecenderungan ini terutama tampak dari latar belakang
sosial Amerika Serikat, yang cenderung lebih pragmatis. Pragmatisme
kebudayaan Amerika rnempengaruhi corak dan warna psikologi negara ini, yang
lebih behavioristik, klinis, dan terapan. Menurut Gordon Allport, psikologi
Amerika dan Inggris memang bertradisikan filsafat Locke, yang pragmatis dan
sejalan dengan behaviorisme. Konsekwensinya, psikolog di kedua negara ini
menjadi psikolog "praktisi", psikolog "tukang". Sebaliknya, tradisi Kontinental
(terutama Jerman dan Perancis) adalah Leibnizian, bertradisikan filsafat Leihniz.
Oleh sebab itu, tidak heran kalau psikologi Amerika relatif kurang variatif,
dibandingkan dengan tradisi kontinental yang jauh lebih kaya dalam menghasilkan
temuan-temuan yang orisinal dan segar baik dalam ilmu pengetahuan maupun
dalam pemikiran-pemikiran filsafati. Munculnya gerakan analisis eksistensialdalam
tradisi kontinental adalah salah satu bukti dari kekayaan tradisi tersebut.
A. APAKAH EKSISTENSIALISME ITU?
Istilah "eksistensialisme" Sering diartikan macam-rnacam mulai dari paham
yang dianut oleh para anggota kesenian avant garde di Paris; aliran filsafat yang
membahas penderitaan hidup dan mendukung tindakan bunuh diri; sistem
pemikiran di Jerman yang bertendensi anti rasional; sampai pada aliran dalam seni
(tokoh-tokohnnya antara lain Van Gogh, "Cezanne, dan Picasco) dan kesusastraan
(tokoh-tokohnya misalnya Dostoevski, Kaffka, Baudelaire, dan Rilke). Namun
dalam tulisan ini saya akan membatasi pengertian eksistensialisme sebagai "sebuah
pendekatan yang menganalisa dan mengungkap eksistensi manusia (apakah itu
dalam seni, kesusteraan, filsafat, atau psikologi) dengan cara menghapus
dilema lama antara materialisme dan idealisme". Dengan perkataan lain,
eksistensialisme saya artikan sebagai usaha untuk memahami manusia dengan
mengatasi jurang pemisah antara subjek dan objek, yang telah berurat berakar
dalam tradisi ilmu pengetahuan dan pemikiran di Barat sejak jaman Reneisance.
Jurang pemisah ini, seperti dikatakan oleh Binswanger, juga merupakan "penyakit
kanker yang telah lama diidap oleh psikologi". Jurang pemisah yang dimaksud adalah
jurang pemisah antara subjek (idealisme) dan objek (materialisme). Cara
eksistensial dalam memahami manusia mempunyai beberapa pendahulunya yang
sangat terkenal dalam sejarah Barat seperti Sokrates dalam dialog-dialognya,
Agustinus dalam analisa-analisa psikologi dalamnya, Pascal dalam perjuangannya
untuk menemukan sebuah tempat bagi "alasan-alasan hati yang tidak diketahui oleh
rasio". Tetapi cara pemahaman eksistensial yang saya maksudkan muncul secara
kusus lebih dari seratus tahun yang lalu dalam protes-protes keras Kierkegaard
terhadap rasionalisme/idealisme Hegel yang sangat berpengaruh pada waktu itu.
Kierkegaard menyatakan bahwa pengertian Hegel tentang kebenaran yang
abstrak mengenai kenyataan merupakan suatu ilusi dan penuh tipu daya.
Kebenaran itu ada, demikian tulis Kierkegaard, hanya setelah individu membuat
kebenaran itu dalam tindakan. Para eksistensialis lainnya pun mengkritik para
rasionalis dan idealis yang melihat manusia melulu sebagai subyek yakni
yang memandang manusia hanya sebagai makhluk yang berpikir. Tetapi
merekapun mengecam keras materialisme yang mempunyai kecenderungan untuk
memperlakukan manusia hanya sebagai objek yang dapat dikalkulasi dan
dikontrol, seperti kecenderungan dunia Barat untuk menempatkan manusia
sebagai unit-unit anonim seperti robot dalam masyarakat industrial dan politic
seperti sekarang. Sambil menentang itu semua, para eksistensialis sepakat dengan
Feurbach, filsuf dari jerman itu, yang mengatakan, "jangan mau menjadi
seorang filsuf yang berbeda dari seorang manusia; jangan berpikir sebagai seorang
pemikir; berpikirlah sebagai seorang makhluk hidup yang nyata Dengan perkataan
lain, "Berpikirlah dalam Eksistensi!"
Istilah "eksistensi" berasa! dari akan kata ex-sistere, yang secara literal
berarti bergerak atau tumbuh ke luar. Dengan istilah ini hendak dikatakan oleh
para eksistensialis bahwa eksistensi manusia (apakah itu terdapat dalam seni,
filsafat, atau psikologi) seharusnya dipahami bukan sebagai kumpulan subtansi-
subtansi, mekanisme-mekanisme, atau pola-pola statis, m e l a i n k a n sebagai
"gerak" atau "menjadi", sebagai sesuatu yang "mengada". Dalam konteks ini,
pertanyaan yang krusial bukanlah, misalnya saja, apakah betel bahwa saya terbuat
dari bahan-bahan kimiawi tertentu dan bertingkah laku menurut mekanisme atau
pola-pola tertentu? pertanyaan yang muncul dalam konteks eksistensi haruslah
berdasarkan pada kenyataan bahwa saya mengada pada saat ini dalam ruang
dan waktu tertentu, selain, sehingga masalah yang saya hadapi adalah
bagaimana saya sadar akan keyataan itu dan apa yang akan saya lakukan
kemudian. Seperti yang akan kita lihat nanti, para psikolog dan psikiater
eksistensial sama sekali tidak mengesampingkan studi mengenai dinamika-
dinamika, dorongan-dorongan, dan pola-pola perilaku. Tetapi mereka percaya
bahwa itu semua tidak dapat dimengerti ketika diaplikasikan pada seorang
pribadi atau individu tertentu, karena ada fakta yang tak terbantahkan, bahwa
di sini ada seorang pribadi yang sedang mengada, yang sedang menjadi.
Seandainya kita merupakan konteks seperti itu, maka semua yang kita ketahui
tetang pribadi atau individu itu akan kehilangan maknanya, Itulah sebabnya
pendekatan mereka selalu dinamis. Menurut mereka, eksistensi menunjuk pada
kehadiran pribadi yang mengada atau menjadi. Usaha mereka adalah
memahami ke-mengadaan itu, bukan sebagai ekspresi sentimental, malaikan
sebagai struktur fundamental eksistensi manusia. Kalau istilah "mengada"
digunakan dalam uraian-uraiain berikutnya dalam tulisan ini, maka hal itu berarti
bahwa istilah itu bukan sebagai istilah statis melainkan dinamis. Istilah itu
merupakan satu bentuk kata kerja, partisipel dari kata kerja "ada".
Eksistensialisme pada prinsipnya memang merupakan ontologi, yakni ilmu
tentang yang ada.
Arti istilah "eksistensi" akan kita pahami secara lebih jelas lagi kalau kita
meninjau kembali pembedaan tradisional antara istilah "eksistensi" dan "esensi".
Esensi menunjuk pada, katakanlah, kecoklatan dari tongkat kayo ini, pada
kepadatannya, bobotnya, dan karakter-karakter lain yang membuat tongkat kayu
itu, sebagai substansi. Pemikiran Barat sejak Renaisance berkenaan dengan
esensi-esensi. Ilmu tradisional berusaha menemukan esensi-esensi atau
substansi-substansi. Mencari sesuatu yang esensial memang menghasilkan hukum-
hukum universal yang sangat signifikan dalam ilmu dan konseptualisasi-
konseptualisasi yang sangat abstrak dalam logika atau filsafat. Tetapi untuk
melakukan hal itu dibutuhkan abstraksi. Eksistensi dari hal -hal yang
individual, dengan demikian, di luar gambaran yang abstrak itu. Misalnya kita
dapat menunjukkan bahwa tiga apel ditambah tiga apel sama dengan enam.
Tetapi ini akan sama betulnya kalau apel diganti jeruk ,dan anggur; secara
matematis tidak ada perbedaan yang mendasar apakah apel atau jeruk dan
anggur itu ada atau tidak ada. Demikian bahwa sebuah proposisi dapat saja benar
tanpa ada masalah apakah yang ditunjuknya itu nyata (real) atau tidak. Ada
jurang pemisah antara kebenaran dan kenyataan (realitas). Pertanyaaan yang
melibatkan kita dalam psikologi dan aspekaspek lain dari ilmu-ilmu tentang
manusia adalah jurang pemisah antara antara yang secara abstrak benar dan apa
yang secara eksistensial nyata bagi pribadi-pribadi atau individu-individu tertentu.
Adanya jurang pemisah antara kebenaran dan kenyataan diakui juga
secara terus terang oleh sejumlah tokoh dalam psikologi behavioristik dan
conditioning. Kenneth W. Spence, salah seorang tokoh utama dari sayap
behaviorisme, menulis "pertanyaan mengenai apakah gejala perilaku 'tertetu
lebih dekat pada kehidupan nyata atau tidak, dan oleh sebab itu apakah ia
harus diberi prioritas dalam penyelidikan atau jangan, muncul dalam benak
para psikolog sebagai ilmuwan." Artinya, bukanlah persoalan besar apakah yang
akan diselidiki itu nyata atau tidak. Bidang gejala apa yang perlu mendapat
prioritas untuk segera diselidiki, tidak tergantung pada nyata atau tidak nyatanya
gejala itu. Spence sendiri memberi prioritas pada gejala perilaku yang mempunyai
"derajat untuk dapat dikontrol dan dianalisis, sehingga memungkinkan untuk
diformulasikan dalam bentuk hukum-hukum yang abstrak". Gejala perilaku
mendapat prioritas yang tinggi sejauh gejala itu tunduk pada hukum-hukum
yang abstrak; apakah yang kita selidiki itu nyata atau tidak, adalah pertanyaan
yang tidak relevan untuk tujuan ini. Harus diakui bahwa atas dasar
pendekatan seperti Itu, maka kini telah banyak dibangun sistem yang sangat
mengesankan dalam psikologi. Dengan abstraksi yang ditumpuk di atas abstraksi
lain, terbangunlah setruktur pembangunan sistematau strukutur pengetahuan yang
mengagumkan dan mengesankan. Namun, kesulitannya adalah bahwa landasan
dari bangunan sistem atau struktur itu lebih sering terpisah dari kenyataan
manusia. Sambil menolak pandangan tersebut, para pemikir dalam tradisi
eksistensial, dan para psikolog serta psikiater dalam gerakan analisis eksistensial,
mempunyai pandangan sendiri tentang bersatunya kebenaran dan kenyataan.
Mereka menegaskan bahwa adalah mungkin dan mutklak perlu untuk
memiliki ilma pengetahuan tetang manusia yang menyelidiki manusia dalam
kenyataan manusia itu sendiri.
Kierkegaard (1813-1855), Nietzsche (1844-1900), dan para filsuf
eksistensial lainnya melihat adanya jurang pemisah antara kebenaran dan
kenyataan itu dalam kebudayaan Barat, dan mereka mengingatkan manusia Barat
untuk kembali dari delusi yang menyatakan bahwa kenyataan dapat dipahami
dalam cara abstrak dan jauh. Namun kendati mereka mengecam keras
"intelektualisme" seperti itu, mereka sama sekali bukanlah para "aktivis"
yang naif. Mereka pun sama sekali bukan anti-rasionalisme. Antiintelektualisme
atau anti-rasionalisme, serta gerakan-gerakan lain yang sedang menjamur
pada jaman kita ini, yang mengharuskan pikiran tunduk pada aksi, sama sekali
jangan dikacaukan dengan eksistensialisme. Memilih salah sata dari dua hal,
yakni menjadikan manusia sebagai subjek atau objek, dipastikan karena tidak
mengatahui apa sesugguhnya manusia itu. Kierkegaard dan para pemikir
eksistensial justru menyerukan untuk kembali kepada realitas yang mendasari baik
subjektivitas maupun objektivitas. Kira jangan hanya menyelidiki pengalaman
seorang manusia saja. Yang seharusnya kita lakukan terutama adalah menyelidiki
manusia yang sedang mengalami. Seperti yang ditulis Tillich, "Kenyataan atau
Ada bukanlah objek pengalaman kognitif, melainkan ‘eksitensi’,yakni Kenyataan
yang dialami secara langsung, dengan titik begat pacia karakter personal dan
dalam pengalaman langsung manusia." Ini menjadikan dekatnya para eksistensialis
dengan psikologi dalam dewasa ini. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa
tokoh-tokoh, ekstensialis terbesar abad ke-19, Kierkegaard dan Nietszce,
"mendahului" para psikolog dalam. Jika kita membaca analisis Kierkegaard
sangat mendalam tentang perasan cemas (anxiety) dan putus asa (despair) atau
pemahaman Nietzsche yang luar biasa mengenai dinamika amarah, rasa bersalah,
dan permusuhan yang menyertai enerji-enerji emosional yang terepresi, kita
mungkin tidak akan percaya bahwa yang sedang kira Baca adalah karya-karya
yang ditulis tujuh puluh dan seratus tahun yang lalu, dan bukan analisis psikologi
kontemporer. Para eksistensialis berusaha keras untuk menemukan kembali
pribadi yang hidup di tengah-tengah pengkotakan dan dehumanisasi kebudayaan
modern, dan untuk melakukan itu mereka menggunakan "analisis psikologi
dalam". Perhatian mereka, bukan pada reaksi-reaksi psikologis yang terisolasi
dalam dirinya sendiri, melainkan pada keberadaan psikologis dari manusia hidup
yang sedang mengalami. Katakanlah, mereka menggunakan istilah istilah
psikologis dengan muatan makna-makna ontologis.
Kelak pemikiran mereka dilanjutkan dan diperdalam oleh para eksistensialis
kontermporer seperti Martin sering Heidegger. Filsuf Jerman ini sering
dianggap sebagai "sumber mata air" pemikiran eksistensial masa kini dan karya
besarnya, Ada dan Waktu (1927), sangat berpengaruh pada pemikiran Binswanger
dan para psikiater serta psikolog eksistensial lainnya. Selain Heidegger, terdapat
Hama-Hama besar seperti Jean Paul Sartre, Karl Jaspers, Nicolai Bardyaev,
Gabriel Marcel, Ortega y Gasser, dan Paul Tillich. Karya-karya mereka sangat
kaya dengan analisis eksistensial atas situasi-situasi fundamental manusia.
Novel-novel Kafka yang menggambarkan situasi tanpa harapan dan
tidak manusiawi (dehumanized) dalam kebudayaan modern pun,
menyuarakan apa yang disuarakan oleh para. Eksistensialis. Demikian juga karya-
karya Albert Camus seperti Orang Asing dan Sampar, yang bias yang bias
dijadikan sebagai contoh bagus dalam kesususteraan modern, dimana
eksistervialisme menggekspresikan dirinya dalam Bahasa sastera. Namun
potret eksistensialisme justru tampak paling kentara dalam seni modern.
Barangkali ini disebabkan sebagian oleh fakta bahwa seni modern
mengartikulasikan makna eksistensi secara simbolis, dan sebagian lagi oleh
karena seni mengungkapkan secara jelas tabiat emosional dan spiritual yang
mendasari kebudayaan. Karya-karya Van Gogh, Cezanne, dan Picasco
misalnya bisa diinterpretasikan sebagai (1) perlawanan terhadap
kemunafikan dari tradisi akademis abad ke-19 akhir, (2) usaha menyelam ke
dasar-dasar akal budi manusia untuk menemukan relasi-relasi baru dengan
alam, (3) usaha untuk mendapatkan kembali vitalitas dan pengalaman
estetis yang langsung dan jujur, dan (4) semangat untuk mengungkapkan
makna yang sesunggguhnya dari situasi manusia modern, meski hal ini berarti
mengungkapkan kehidupan yang tanpa harapan dan penuh dengan
kekosongan. Seperti yang diinterpretasikan Titlich terhadap lukisan Picasco,
"Guernica", bahwa lukisan itu bukan hanya merupakan potret dari kondisi
masyarakat Eropa yang terpecah-belah, tetapi juga "memperlihatkan apa yang
terjadi sekarang dalam roh-roh manusia Amerika yang sedang mengalami
kekacauan, keragu-raguan eksistensial, kekosongan, dan ketidak-bermaknaan."
Fakta bahwa pendekatan eksistensial muncul sebagai jawaban spontan dan
asli (indigenius) terhadap budaya modern, tampak bukan hanya dalam arti
bahwa ia muncul dalam seni dan kesususateraan, tetapi juga dalam arti bahwa
para filsuf dari berbagai belahan bumi Eropa mengembangkan gagasan-gagasan
eksistensial tersebut tanpa saling berhubungan satu sama lain. Meskipun
karya utama Heidegger, Ada dan Waktu, dipublikasikan tahun 1927 misalnya,
namun Ortega y Gasser pada tahun 1924 telah mempublikasikan karya-karya
dan ide-ide yang hampir mempunyai kesamaan dengan ide Heidegger,
padahal mereka tidak pernah sating kenal atau mengetahui satu sama lain.
Tentu saja betul bahwa eksistensialisme lahir pada saat kebudayaan kita
mengalami krisis, dan krisis itu sebetulnya masih dapat kita rasakan bahkan
hingga saat ini. Ketika saat kebudayaan terperangkap dalam gejolak- gejolak
besar yang disebabkan oleh masa transisi, maka individu-individu dalam
masyarakat dipastikan mengalami gangguan emosional dan spiritual. Demikian
juga, ketika cara-cara berpikir lama sudah tidak lagi memberikan jaminan
keamanan, maka individu-individu dalam masyarakat tersebut cenderung untuk
tenggelam dalam dogatisme dan konformisme, atau dipaksa untuk menjadi sadar
diri dan menemukan keyakinan baru dan dasar-dasar baru untuk menjamin
keberadaannya. Ini merupakan salah satu dari beberapa pertalian yang sangat
penting antara gerakan eksistensial dengan psikoterafi: kedua-duanya berkenaan
dengan individu-individu yang sedang megalami "krisis". Jauh dari maksud untuk
mengatakan bahwa periode krisis disebabkan oleh "kecemasan dan keputusasaan",
kita justru menyaksikan bahwa krisis itu sebetulnya dibutuhkan untuk
menyadarkan manusia dari dependensinya pada dogma-dogma yang berasal dari
luar dan memaksa mereka untuk menyingkirkan lapisan kepura-puraan itu dalam
kesadarannya. Eksistensialisine adalah suatu sikap yang menerima manusia
sebagai sesuatu yang selalu menjadi, yang berarti secara potensial ada dalam
"krisis". Namun tidak berarti bahwa manusia selalu dalam keadaan tanpa harapan.
Sokrates, yang pendekatan dialektis atau dialogisnya menjadi prototype dari
eksistensialisme, adalah orang yang sangat optimistik. Tetapi pendekatan ini
justru sangat pas dan berguna pada masa-masa transisi, yaitu ketika waktu yang
lama nyaris tenggelam, tetapi periode yang Baru belum juga lahir. Dalam
keadaan demikian, individu berada dalam keadaan cemas dan gelisah serta
lupa akan kesadaran dirinya.
Para eksistensialis sering mengutip Pascal, yang dengan gemilang berhasil
menggambarkan pengalaman seorang individu yang tengah mengalami
transisi dari Abad Pertegahan ke abad Renaisance, dari jaman religius ke jaman
duniawi. Pengalaman itu disebut oleh para eksistensialis, "pengalaman Dasein":
Pada saat aku merenungkan masa yang singkat dari hidupku, yang ditelan
oleh gelembung besar keabadiaan, maka ruang sempit yang aku isi, atau apa
pun yang kusaksikan, nyaris tenggelam dalam ketidak berhinggaan ruang tanpa
batas yang sama sekali tidak kukenal, dan yang sama sekali tidak mengenaliku
juga. Aku takut dan bertanya-tanya melihatku sendirian disini. Ternyata jauh
lebih mengerikan dari megherankan meIihatku di sini ketimbang, melihatku di
sana (dalam keabadian). Tidak ada alasan sama sekali mengapa aku harus
berada di sini dan bukan di sana ....
Pesan yang disampaikan dari kutipan di atas adalah: (1) bahwa terdapat
kontingensi dalam hidup manusia yang oleh para eksistensial disebut
"kererlemparan", (2) bahwa hidup manusia adalah hidup yang sudah “berada
di sana”, (3) bahwa Meskipun Pascal pada dasarnya adalah seorang Ilmuwan,
tetapi ia menyadari bahwa penjelasan tentang ruang dan waktu secara ilmiah tidak
untuk bisa memahami alam semesta yang penuh misteri ini, dan (4) bahwa
kecemasan yang mencekam muncul dari kesadaran akan eksistensi sendiri.
Perlu pula dicatat mengenai hubungan antara eksistensialisme dengan
pemikiran Timur seperti filsafat Laotzu dan Budisme Zen. Kesamaan-
kesamaan diantara dua tradisi filsafat tersebut cukup menarik. Kita bisa
melihat kesamaan-kesamaan tersebut misalnya dari kutipan-kutipan dalam The
Way of Life dari Laotzu: "membuat definisi tentang Eksistensi adalah di luar
kekuatan bahasa; istilah-istilah dalam bahasa barangkali dapat digunakan
untuk menjelaskan eksistensi tetapi itu tidak mudak." "Eksistensi, sama sekali
tidak diperanakan, melainkan memperanakan segala-galanya. Ia adalah ibu
alam semesta." "Eksistensi adalah tidak berhingga, jadi tidak bisa dibatasi;
meski eksistensi itu tampak, tetapi tidak seperti sepotong kayu ditangamu yang
bisa kamu pahat sesuka hatimu; ia tidak dipermainkan ataupun disalahgunskan."
"Jalan satu-satunya untuk berbuat adalah mengada terlebih dulu." "Ada baiknya
kamu tinggal di pusat keberadaanmu, karena semakin kamu menjauhinya,
semakin kurang yang bisa kamu pelajari".
Kemiripan antara filsafat Timur dan eksistensialisme, tentu saja, jauh lebih
mendalam daripada kesamaan dalam bentuk kata-kata. Kedua filsafat tersebut
sama-sama berkenaan dengan ontologi, dengan studi tentang ada. Kedua-
duanya mencari relasi dengan kenyataan dan caranya adalah dengan
memperpendek atau menghilangkan jurang pemisah antara subjek dan objek.
Kedua-duanya menegaskan bahwa pergulatan Barat dalam menaklukan
kekuatan alam telah menghasilkan bukan hanya keterasingan manusia dari alam,
tetapi juga secara tidak langsung keterasingan manusia dari dirinya sendiri.
Tentu saja kedua pendekatan tersebut (yakni, filsafat Timur dan
eksistensialisme) tidak identik sama sekali; kedua-duanya ada pada tarap yang
berbeda. eksistensialisme bukanlah filsafat atau the way of life yang
komprehensif, melainkan suatu cara dan upaya untuk menangkap
kenyataaan. Perbedaan pokok diantara kedua pendekatan tersebut adalah
bahwa eksistensialisme muncul secara langsung dari kecemasan-kecemasan,
keterasingan-keterasingan, dan konfilk-konflik manusia Barat dan asli berasal dari
kebudayaan Barat. Seperti psikoanalisis, eksisterisialisme tidak mencari jawaban
dari dan untuk kebudayaan lain, tetapi menggunakan konflik-konflik dalam
kepribadian kontemporer sebagai jalan menuju pemecahan atas masalah-masalah
yang kita hadapi dalam hubungannya dengan krisis-krisis historis dan budaya
yang melahirkannya. Dalam hal ini, nilai yang bisa diambil dari pemikiran Timur
bukanlah bahwa ia (pemikiran Timur) dapat ditransfer ke dalam pemikiran Barat,
melainkan bahwa ia bisa berfungsi sebagai koreksi untuk bias-bias kita dan
menyoroti asumsi-asumsi kita yang keliru, yang telah membawa manusia dan
kebudayaan Barat kepada persoalan-persoalan seperti yang kita lihat dan rasakan
dewasa ini.
Kita sekarang akan melihat paralelisme antara persoalan manusia
modern yang ditangani oleh eksistensialisme di satu pihak dan oleh
psikoanalisis di lain pihak. Dari perspektif dan taraf yang berbeda, kedua
jenis pendekatan tersebut berupaya keras menganalisa kecemasan,
keputusasaan, dan keterasingan manusia baik dari dirinya sendiri maupun dari
masyarakat. Freud mendeskripsikan kepribadian neurotik abad
kesembilanbelas sebagai kepribadian manusia yang menderita dari
fragmentasi, ragmentasi, yakni dari penindasan (represi) alas dorongan-dorongan
naluriah, terhambatnya kesadarain, hilangnya otonomi, lemah dan pasifnya
ego, dan berbagai simpton neurotik lainnya yang disebabkan oleh
fragmentasi itu. Kierkegaard, yang telah menulis sebuah buku terkenal
sebelum Freud, mengkonsentrasikan diri bukan hanya pada masalah
kecemasan, tetapi secara khusus juga pada masalah depresi dan keputusasaan
yang disebabkan oleh keterasingan diri individu (yakni, keterasingan yang
diklasifikasikan olehnya dalam bentuk-bentuk dan derajat-derajat kepelikan yang
berbeda). Nietzsce, yang telah menulis buku sepuluh tahun sebelum buku
pertama Freud ditulis, secara tegas mengatakan bahwa penyakit manusia modern
tidak lain adalah bahwa "rohnya telah berbau busuk," sehingga ia merasa mau
muntah," dan bahwa apapun yang, ada di sana "busuk ...dan berbau kegagalan…..
Penyamarataan dan, penyusutan manusia Eropa adalah, bahaya besar yang kita
hadapi hadapi saat ini.” Ia kemudian menggambarkan bagaimana menindas atau
menghalangi kekuatan-kekuatan naluriah justru membawa individu dalam
amarah, benci terhadap diri sendiri, permusuhan, dan agresi. Freud
memang tidak mengenal karya Kierkegaard, tetapi ia menilai Nietzsche sebagai
salah seorang manusia besar sepanjang waktu.
Bagaimana hubungan di antara ketiga tokoh raksasa abad kesembilan
belas itu dan bagaimana pula hubungan antara kedua pendekatan yang
mereka gunakan - yakni eksistensialisme dan psikoanalisis? Untuk
menjawab pertanyaan itu, kita harus menyelidiki terlebih dulu situasi budaya
Abad Pertengahan dan akhir abad kesembilan belas. Cara yang tepat untuk
memahami suatu pendekatan seperti eksistensialisme dan psikolanalisis tidak
pernah dapat dilihat secara abstrak (in abstracto), jauh dari realitasnya,
melainkan hanya dalam konteks situasi historis yang melahirkannya. Diskusi kita
dalam bab ini akan mengarah kesana, meski dibatasi pada pertanyaan tentang
bagaimana teknik khusus yang dikembangkan oleh Freud, untuk menyelidiki
fragmentasi individu pada periode Victorian, berhubungan dengan
pemahaman tentang manusia dan krisis-krisisnya yang disumbangkan oleh
Kierkegaard dan Nietzsche.
B. KERETAKAN DAN GANGGUAN BATIN PADA ABAD
KESEMBILAN BELAS
Karakteristik utama paruh pertama abad kesembilan belas adalah tercerai-
berainya atau retaknya (fragmentasi) kepribadian. Fragmentasi ini, seperti yang
akan kita lihat, tampak dari gejala-gejala emosional, psikologis, dan spiritual baik
yang terjadi pada tingkat kebudayaan maupun pada tingkat individu. Kita bisa
melihat adanya keretakan pada kepribadian itu, bukan hanya dari laporan-
laporan atau teori-teori psikologi dan ilmu-ilmu lain tentang manusia dari
periode itu, tapi juga dari hampir setiap aspek kebudayaan abad kesembilan belas
akhir. Kita sekarang masih dapat menyaksikan retaknya kepribadian, itu
misalnya dengan membaca karya Ibsen dalam Doll's House-nya). "Warga
negara yang baik,"demikian tulis Ibsen, "yang memperhatikan istri dan
keluarganya dalam ruang terpisah, serta menempatkan pekerjaan dan aktivitas-
aktivitas lainnya juga secara terpisah, pada dasarnya sedang membuat
rumahnya sebagai rumah boneka dan dengan demikian mempersiapkannya
menuju kehancuran." Kita pun dapat melihat keretakan itu misalnya dalani
pemisahan seni dari kenyataan hidup; penggunaan seni dalam bentuk-bentuk
yang dipercantik, yang roniantik, dan yang akademik pada dasarnya merupakan
usaha terselubung untuk melepaskan diri dari eksistensi dan alam. (Bentuk
kesenian, yang demikian adalah bentuk kesenian yang dikecam keras oleh
Cezane, Van Gogh, para impresionis, dan gerakan-gerakan seni modern). Kita pun
dapat melihat adanya fragmentasi dalam pemisahan agama dari hari kerja dan
pemisahan moral atau etika dari pekerjaan. Segmentasi itu pun sebetulnya
terlangsung, dalam filsafat dan psikologi - misalnya ketika Kierkegaard
mengecam tahta rasio yang kering dan abstrak, dan menganjurkan kita untuk
kembali kepada kenyataan, ia sama sekali tidak mengada-ada. Manusia Victorian
melihat dirinya terbagi ke dalam rasio, kehendak, dan emosi; dan dengan
pembagian ini mereka merasa telah menemukan diri mereka sebgai sebuah
gambar yang baik. Rasionya dianggap mampu mengatakan apa yang harus
dilakukan; kehendak bebasnya dianggap mampu memberi alat atau
kemampuan untuk melaksanakan apa yang harus dilakukan itu; dan
emosinya dianggap harus disalurkan dalam dorongan-dorongan pekerjaan yang
kompulsif dan terstruktur dalam adat istiadat. Emosi-emosi yang bisa,
menumbangkan segmentsi formal, seperti seks dan permusuhan, harus
dicegah atau direpresi atau dibiarkan terekspresi "hanya dalam pesta pora hari
Minggu, agar hari Senin paginya bisa bekerja lebih aktif. Manusia Victorian
sungguh-sungguh menekankan "rasionalitas". Istilah "irrasional" berarti
sesuatu yang tidak perlu dipikirkan atau dibicarakan. Schachtel menunjukkan
bagaimana warga negara pada jaman Victorian perlu mempertahankan
rasionalitasnya, dan menolak fakta bahwa ia pernah menjadi seorang anak atau
mempunyai irrasionatitas seorang anak yang bisa lepas kendali. Keretakan
antara orang dewasa dan anaklah yang kemudian menjadi isyarat untuk
penyelidikan-penyelidikanyang dilakukan oleh Freud.
Retaknya kepribadian ini sejalan dengan industrialisme yang sedang
berkembang baik sebagai sebab maupun sebagai akibat. Seorang manusia
yang dapat menjaga atau mempertahankan bagian-bagian yang berbeda dari
kehidupannya secara terpisah, yang selalu mempunyai program kerja yang sama
pada setiap hari dan setiap saat, yang tindakan-tindakannya selalu dapat diramaikan,
yang tidak pernah merasa terganggu atau tersentuh oleh dorongan-dorongan
irrasional atau visi-visi puitis, yang dapat memanipulasi dirinya dengan cara yang
sama seperti ia memanipulasi sebuah mesin, tentu saja orang semacam ini
merupakan pekerja yang sangat beruntung bukan hanya karena sudah terpola
seperti sebuah mesin, tetapi juga karena sudah mencapai taraf tinggi dari sebuah
produk. Namun, akibatnya adalah seperti yang dikatakan oleh Marx dan
Nietzsche, yakni "keberhasilan sistem industri dengan akumulasi uang, yang bisa
mengesahkan suatu kebajikan dan harga diri pribadi, dan yang Sepenuhnya
merupakan hasil tangan-tangan manusia, mempunyai akibat timbal balik
yang, mendepersonalisasikan clan mendehumanisasikan manusia dalam
hubungannya dengan orang lain dan dengan dirinya sendiri." Terhadap
kecenderungan-kecenderungan yarg, mendehumanisasikan inilah, yakni
kecenderungan yang menjadikan manusia sebagai mesin, dan yang
membuat manusia mempunyai citra sebagai komponen dari sebuah sistem
idustri besar, yang sesungguhnya dilawan oleh para eksistensialis. Dan
mereka sadar bahwa sumber dari segala ancaman yang sangat series pada
dasarnya berasal dari ,rasio yang dipadukan ke dalam mekanika, yang pada
akhirnya memperlemah vitalitas dan kekuatan individu. Rasio,
dibayangkan oleh para eksistensialis, ditundukkan pada sejenis teknik baru.
Para ilmuwan dewasa ini sering tidak menyadari bahwa keretakan itupun
sebenarnya merupakan karakteristik dari ilmu yang, kita warisi sekarang.
Abad kesembilan belas adalah era "ilmu yang otonom", meminjam
peristilahan dari Cassirer. Setiap ilmu dikembangkan menurut arahnya
sendiri; tidak ada prinsip yang menyatukan, khususnya dalam hubungannya
dengan manusia. Pandangan tentang manusia pada periode itu didukung
oteh fakta-fakta empiris yang ditumpuk oleh ilmu-ilmu yang sedang
berkembang, tetapi "setiap teori menjadi tempat tidur Procustean, yang di
atasnya tersebar fakta-fakta empiris yang cocok dengan pola-pola yang
telah diasumsikan sebelumnya.... Karena perkembangan ini maka teori-teori
modern tentang, manusia kehilangan pusat intelektualnya. Kita sekarang
menghadapi anarki berpikir… Para teolog ilmuwan, sosiolog, biolog,
psikoiog, etnolog, ekonom semua mendekati porsoalan dari titik pandang
mereka sendiri. Tidak heran kalau Max Sclieller pun memprihatinkan
keadaan itu ketika ia menulis: "Tidak ada periode lain dalam pengetahuan
manusiawi di mana manusia menjadi semakin problematic, seperti pada
periode kita ini. Kita mempunyai antropologi ilmiah, filssafati, dan teologis
yang tidak saling kenal satu sama lain. Kita tidak lagi memiliki gmbaran
yang jelas dan konsisten tentang manusia. Makin bertumbuh banyaknya limu-
limu khusus yang terjun mempelajari manusia tidak semakin
menjernihkan konsepsi kita tentang manusia; sebaliknya, malah semakin
membingungkan dan mengburkannya."
Di atas permukaan, periode Victorian tampaknya tenang, memuaskan, dan
diatur. Tetapi ketenangan ini dibeli dengan harga yang sangat mahal, yakni
dengan penindasan yang menyeluruh, mendalam dan lambat laun menjadi
rapuh. Seperti pada kasus neurotik individual, keretakan ini semakin
lama semakin kaku, sampai akhirnya mencapai satu titik, yakni tanggal 1
Agustus 1914 (Perang Dunia I), ketika ia hancur sama sekali.
Demikian bahwa keretakan budaya mempunyai kesamaan psikoto-
gisnya dengan penindasan (represi) radikal dalam kepribadian individu.
Freud pada waktu itu sedan mengembangkan teknik-teknik ilmiah untuk
memahami, dan juga merawat kepribadian-kepribadian retak yang dialami
oleh banyak individu. Namun, ia tidak menyadari bahvva penyakit neurotik
tersebut pada dasarnya hanyalah salah satu sisi dari kekuatan-kekuatan
penghancur yang mempengaruhi segenap masyarakat. justru Kierkegaard
yang, sebelum Freud, telah menyadari adanya kehidupan emosional dan
spiritual yang mampu menghancurkan tatanan masyarakat (dan kepribadian).
Kehidupan emosional dan spiritual itu adalah: kecemasan, kesendirian,
keterasingan seorang manusia dari manusia lain yang bersifat endemic, dan
akhirnya kondisi yang akan membawa manusia ke arah keputusasaan yang
mencekam, ke arah alienasi manusia dari dirinya sendiri. Nietzsche pun
melihat kenyataan yang sama ketika ia menulis: "Kita hidup dalam suatu
periode atom-atom, khaos atomic" dan berdasarkan pada khaos itu ia
meramalkan (mungkin menunjuk pada abad kedua puluh) bakal adanya
"haritu yang menyeramkan ... dan perburuan menuju kebahagiaan tidak
akan pernah 1ebih besar dari pada ketika perburuan antis hari ini dan
besok; sebab lusa semua kebahagiaan mungkin sudah bakal berakhir Freud
melihat fragmentasi kepribadian itu dalam tentang ilmu alam dan
berkenaan dengan perumusan aspek-aspek teknisnya. Kierkegaard dan
Nietzsche tidak mengabaikan pentingnya analisa psikologis khusus; tetapi
mereka lebih tertarik untuk memahami manusia sebagai "ada" yang
merepressi,,."ada" yang menaklukan kesadaran diri sebagai perlindungan
dalam melawan kenyataan dan kemudian menderita konsekwensi- -
konsekwensi neurotik. Pertanyaan yang sangat menarik adalah: apakah hal
itu berarti menyadari bahwa ia ada dan mampu mengetahui keberadaanya,
harus memilih atau dipaksa Memilih untuk menutupi kesadaran ini dan harus
menderita kecemasan, dorongan untuk menghancurkan diri sendiri, dan
keputusasaan? Kierkegaard dan Nietzsche sangat sadar bahwa" penyakit jiwa”
dialami oleh manusia Barat pada dasarnya adalah penyakit yang lebih dalam
dan lebih ekstensif dari pada yang, dapat dijelaskan oleh persoalan-persoalan
sosial dan individual yang, spesifik. Ada yang salah dalam hubungan antara
manusia dengan dirinya sendiri; manusia telah menjadi problematik bagi
dirinya sendiri. "Ini merupakan situasi yang teramat sulit untuk Eropa",
demikian tulis Nietzche; "bersama dengan ketakutan pada manusia, kita
telah kehilangan cinta dan kepercayaan pada manusia, bahkan kehilangan
kehendak untuk menjadi manusia’’’.
TERMINOLOGI DAN KONSEP KUNCI
Nada dasar eksistensialisme adalah eksistensi mendahului esensi, artinya apa yang dilakukan manusia lebih penting dari pada apakah manusia.
Asumsi kedua adalah manusia subjek sekaligus objek; artinya, mereka makhluk yang berpikir sekaligus bertindak.
Manusia terimotivasi untuk niencarijawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penting terkait makna hidup.
Manusia memiliki derajat kebebasan dan tanggung jawab yang setara
Kesatuan manusia dan dunia fenomenologis terekspresikan lewat istilah Dasein, atau mengada-dalam-dunia.
Tiga mode mengada-dalam-dunia adalah Umwelt atau hubungan manusia dengan dunia bends, Mitwelt atau hubungan manusia dengan dunia manu-sia, dan Eigenwelt atau hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Ketidak mengadaan atau ketiadaan, adalah kesadaran terhadap kemungkinan ketidakmengauaan seseorang, entah dalam bentuk kesadaran akan kematian atau kehilangan.
Manusia mengalami kecemasan ketika mereka sadar akan kemungkinan ketidakmengadaan sebanyak mereka sadar kalau mereka bebas untuk me-milih.
Kecemasan yang normal dialami setiap orang dan proporsional dengan besamya ancaman,
Kecemasan yang neurosis tidak proporsional dengan besarnya ancaman, melibatkan represi dan diatasi dengan cara-cara yang mempecundangi diri sendiri.
Manusia mengalami rasa bersalah sebagai akibat dari (1) perpisahan dari dunia alamiah, (2) ketidak mampuan menilai kebutuhan orang lain, dan (3) penyangkalan terhadap potensi mereka sendiri.
Intensionalitas adalah struktur dasar yang memberikan makna bagi pengalaman dan memampukan manusia membuat keputusan ke depan.
Cinta berarti merasakan kebahagiaan atas kehadiran seseorang dan mengiyakan kebernilaian pribadi tersebut sebesar dirinya.
Seks, bentuk dasar cinta, adalah fungsi biologis Yang mencari kepuasan lewat pelepasan tegangan seksual.
Eros, bentuk cinta yang lebih tinggi, mencari penyatuan kekal dengan orang yang dicintai.
Philia adalah bentuk cinta yang mencari persahabatan nonseksual dengan seseorang.
Agape, bentuk cinta tertinggi, adalah cinta yang altruistik dan tidak mensyaratkan atau mengharapkan sesuatu apa pan dari orang lain.
Kebebasan dicapai lewat konfrantasi dengan takdir dan pemahaman bahwa kematian atau ketidakmengadaan bisa terjadi setiap waktu.
Kebebasan eksistensial adalah kebebasan bertindak, kebebasan untuk bergerak, mengejar tujuan-tujuan yang diinginkan.
Kebebasan esensial adalah kebebasan untuk mengada, kebebasan untuk berfikir, merencanakan, berharap.
Mitos-mitos kultural adalah sistem kepecayaan, bekerja di alam sadar atau bawah sadar menyediakan penjelasan bagi masalah-masalah pribadi dan sosial.