analisis eksistensial ii

30
Munculnya gerakan analisis eksistensial berbeda dari munculnya gerakan-gerakan atau aliran-aliran lain karena dua hal. pertama, gerakan analisis eksistensial tidak didirikan oleh seorang tokoh atau pimpinan, melainkan tumbuh secara spontan dan secara asli (indigenous) di berbagai tempat yang berbeda. Kedua, gerakan ini tidak ditujukan untuk membangun sebuah mazhab atau teknik terafi baru sebagai perlawanan terhadap mazhab-mazhab atau teknik-teknik terafi lain. Gerakan ini hanya menganalisis struktur eksistensi manusia, yakni sebuah usaha yang, kalau berhasil, akan menghasilkan pemahaman mengenai kenyataan yang mendasari segenap situasi manusia yang sedang berada dalam krisis (kemelut). Jadi apa yang dilakukan oleh gerakan ini lebih dari sekedar menerangi sudut-sudut gelap dalam diri manusia. Kalau Binswanger menulis. "...analisis eksistensial dapat memperluas dan memperdalam konsep-konsep dasar dan pemahaman-pemahaman tentang psikoanalisis," maka ia benar sekali, bukan hanya dalam hubungannya dengan analisis, tetapi juga dengan bentukbentuk terafi. Ada kritik atau perlawanan terhadap gerakan analisis eksistensial, dan perlawanan itu berasal dari berbagai sumber. Sumber perlawanan pertama adalah adanya prasangka, bahwa analisis eksistensial merupakan campur tangan (intervensi) filsafat dalam

Upload: japrax-lailyas

Post on 01-Dec-2015

39 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

msdm

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Eksistensial II

Munculnya gerakan analisis eksistensial berbeda dari munculnya gerakan-

gerakan atau aliran-aliran lain karena dua hal. pertama, gerakan analisis

eksistensial tidak didirikan oleh seorang tokoh atau pimpinan, melainkan

tumbuh secara spontan dan secara asli (indigenous) di berbagai tempat yang

berbeda. Kedua, gerakan ini tidak ditujukan untuk membangun sebuah

mazhab atau teknik terafi baru sebagai perlawanan terhadap mazhab-mazhab

atau teknik-teknik terafi lain. Gerakan ini hanya menganalisis struktur eksistensi

manusia, yakni sebuah usaha yang, kalau berhasil, akan menghasilkan

pemahaman mengenai kenyataan yang mendasari segenap situasi

manusia yang sedang berada dalam krisis (kemelut).

Jadi apa yang dilakukan oleh gerakan ini lebih dari sekedar menerangi sudut-

sudut gelap dalam diri manusia. Kalau Binswanger menulis. "...analisis eksistensial

dapat memperluas dan memperdalam konsep-konsep dasar dan pemahaman-

pemahaman tentang psikoanalisis," maka ia benar sekali, bukan hanya dalam

hubungannya dengan analisis, tetapi juga dengan bentukbentuk terafi.

Ada kritik atau perlawanan terhadap gerakan analisis eksistensial, dan

perlawanan itu berasal dari berbagai sumber. Sumber perlawanan pertama

adalah adanya prasangka, bahwa analisis eksistensial merupakan campur

tangan (intervensi) filsafat dalam psikiatri, dan tidak banyak manfaatnya untuk

ilmu. perlawanan ini sejalan dengan semangat para ilmuwan akhir Abad

ke-19 yang memproklamasikan bahwa ilmu harus lepas dari filsafat. mengenai

perlawanan ini saya akan memberikan beberapa komentar. Perlu diingat bahwa

gerakan eksistensial dalam psikiatri dan psikologi muncul dari suatu gairah

(passion) untuk menempatkan fenomena manusia secara lebih empiris.

Binswanger dan para tokoh yang lain percaya bahwa metodametoda ilmiah

tradisional bukan hanya memperlakukan data secara tidak adil, tetapi juga

menyembuyikan apa yang sebenarnya terjadi dalam pengalaman pasien.

Gerakan analisis eksistensial merupakan protes terhadap kecenclerungan untuk

melihat pasien dalam bentuk-bentuk atau kategori-kategori yang disesuaikan

dengan prakonsepsi-prakonsepsi kita, atau mendeskripsikan pasien berdasarkan

pada gambaran kita sendiri. Dalam konteks ini sesungguhnya analisis

eksistensial berada dalam tradisi ilmiah dalam artinya yang paling luas.

Page 2: Analisis Eksistensial II

Namun, di lain pihak, ia memperluas pengetahuan tentang manusia melalui

perspektif historis dan pemikiran yang radikal, yakni dengan menerima

fakta bahwa manusia mampu mengungkapkan dirinya dalam seni,

literatur dan filsafat, dan dengan menerima wawasan tentang gerakan-gerakan

kultural, khususnya yang mengungkapkan kecemasan-kecemasan dan, konflik-

konflik manusia kontemporer. Pendeknya, analisis eksistensial menyajikan

sekaligus kesatuan ilmu pengetahuan dan humanisme.

perlu untuk disadari bahwa setiap metode ilmiah mendasarkan diri pada

asumsi-asumsi filsafati. Asumsi-asumsi itu menentukan bukan hanya

berapa banyak kenyataan yang dapat dijaring oleh pengamat dengan

metodanya itu, tetapi juga menentukan apakah kenyataan yang diobservasi itu

berhubungan dengan pesoalan-persoalan yang hendak dicari jawabnya atau

tidak, dan oleh sebab itu apakah pekerjaan ilmiah itu akan diteruskan atau

mencari lagi metode lain yang lebih cocok. Adalah suatu kekeliruan besar jika

orang beranggapan bahwa kita dapat menyelidiki fakta-fakta secara benar kalau

kita mampu menghindari asumsi-asumsi tersebut. Anggapan seperti itu tidak lain

adalah cermin dari ketidak kritisan yang disebabkan oleh kebudayaannya yang

sempit dan terbatas. Akibatnya adalah bahwa pada hari ini ilmu menjadi identik

dengan metode mengisolasikan faktor-faktor atau variabel-variabel dan

mengobservasi faktor-faktor atau variabeI-variabel tersebut secara terpisah dari

sumber asalnya, yakni manusia itu sendiri. Ini adalah metode yang khas dari

kebudayaan Barat Abad ke-17, yang berupaya memisahkan kenyataan subjek dari

objek. Akan tetapi, dibandingkan dengan keadaan pada waktu itu, kita dewasa ini

tidak kurang tunduknya pada "pengkultusan metoda" (methodolatry) itu. Kita

yang bergerak dalam usaha untuk masuk ke dalam suatu wilayah krusial seperti

studi psikologis tentang manusia, yang tujuan akhirnya adalah menuju kesehatan

emosional dan mental, sangat tidak diuntungkan, karna harus dibatasi oleh

ketidakritisan terhadap asumsi-asumsi yang membatasi itu. Oleh sebab itu,

sangatlah dibutuhkan suatu analisa atas asumsi-asumsi itu. Menurut hemat saya,

kita sebagai pskiater dan psikolog sangat berhutang budi pada gerakan analisis

eksistensial yang telah mengklarifikasikan dasar-dasar atau asumsi-sumsi mereka.

Ini dibutuhkan untuk mengamati subjek manusia secara jernih dan untuk

Page 3: Analisis Eksistensial II

menerangi secara orisinal segi-segi dari pengalaman psikologisnya.

Sumber perlawanan kedua adalah tendensi dalam masyarakat ilmiah untuk

bergelut hanya dengan teknik dan tidak sabar dengan upaya mencari landasan yang,

mendasari teknik tersebut. Kecenderungan ini terutama tampak dari latar belakang

sosial Amerika Serikat, yang cenderung lebih pragmatis. Pragmatisme

kebudayaan Amerika rnempengaruhi corak dan warna psikologi negara ini, yang

lebih behavioristik, klinis, dan terapan. Menurut Gordon Allport, psikologi

Amerika dan Inggris memang bertradisikan filsafat Locke, yang pragmatis dan

sejalan dengan behaviorisme. Konsekwensinya, psikolog di kedua negara ini

menjadi psikolog "praktisi", psikolog "tukang". Sebaliknya, tradisi Kontinental

(terutama Jerman dan Perancis) adalah Leibnizian, bertradisikan filsafat Leihniz.

Oleh sebab itu, tidak heran kalau psikologi Amerika relatif kurang variatif,

dibandingkan dengan tradisi kontinental yang jauh lebih kaya dalam menghasilkan

temuan-temuan yang orisinal dan segar baik dalam ilmu pengetahuan maupun

dalam pemikiran-pemikiran filsafati. Munculnya gerakan analisis eksistensialdalam

tradisi kontinental adalah salah satu bukti dari kekayaan tradisi tersebut.

A. APAKAH EKSISTENSIALISME ITU?

Istilah "eksistensialisme" Sering diartikan macam-rnacam mulai dari paham

yang dianut oleh para anggota kesenian avant garde di Paris; aliran filsafat yang

membahas penderitaan hidup dan mendukung tindakan bunuh diri; sistem

pemikiran di Jerman yang bertendensi anti rasional; sampai pada aliran dalam seni

(tokoh-tokohnnya antara lain Van Gogh, "Cezanne, dan Picasco) dan kesusastraan

(tokoh-tokohnya misalnya Dostoevski, Kaffka, Baudelaire, dan Rilke). Namun

dalam tulisan ini saya akan membatasi pengertian eksistensialisme sebagai "sebuah

pendekatan yang menganalisa dan mengungkap eksistensi manusia (apakah itu

dalam seni, kesusteraan, filsafat, atau psikologi) dengan cara menghapus

dilema lama antara materialisme dan idealisme". Dengan perkataan lain,

eksistensialisme saya artikan sebagai usaha untuk memahami manusia dengan

mengatasi jurang pemisah antara subjek dan objek, yang telah berurat berakar

dalam tradisi ilmu pengetahuan dan pemikiran di Barat sejak jaman Reneisance.

Jurang pemisah ini, seperti dikatakan oleh Binswanger, juga merupakan "penyakit

Page 4: Analisis Eksistensial II

kanker yang telah lama diidap oleh psikologi". Jurang pemisah yang dimaksud adalah

jurang pemisah antara subjek (idealisme) dan objek (materialisme). Cara

eksistensial dalam memahami manusia mempunyai beberapa pendahulunya yang

sangat terkenal dalam sejarah Barat seperti Sokrates dalam dialog-dialognya,

Agustinus dalam analisa-analisa psikologi dalamnya, Pascal dalam perjuangannya

untuk menemukan sebuah tempat bagi "alasan-alasan hati yang tidak diketahui oleh

rasio". Tetapi cara pemahaman eksistensial yang saya maksudkan muncul secara

kusus lebih dari seratus tahun yang lalu dalam protes-protes keras Kierkegaard

terhadap rasionalisme/idealisme Hegel yang sangat berpengaruh pada waktu itu.

Kierkegaard menyatakan bahwa pengertian Hegel tentang kebenaran yang

abstrak mengenai kenyataan merupakan suatu ilusi dan penuh tipu daya.

Kebenaran itu ada, demikian tulis Kierkegaard, hanya setelah individu membuat

kebenaran itu dalam tindakan. Para eksistensialis lainnya pun mengkritik para

rasionalis dan idealis yang melihat manusia melulu sebagai subyek yakni

yang memandang manusia hanya sebagai makhluk yang berpikir. Tetapi

merekapun mengecam keras materialisme yang mempunyai kecenderungan untuk

memperlakukan manusia hanya sebagai objek yang dapat dikalkulasi dan

dikontrol, seperti kecenderungan dunia Barat untuk menempatkan manusia

sebagai unit-unit anonim seperti robot dalam masyarakat industrial dan politic

seperti sekarang. Sambil menentang itu semua, para eksistensialis sepakat dengan

Feurbach, filsuf dari jerman itu, yang mengatakan, "jangan mau menjadi

seorang filsuf yang berbeda dari seorang manusia; jangan berpikir sebagai seorang

pemikir; berpikirlah sebagai seorang makhluk hidup yang nyata Dengan perkataan

lain, "Berpikirlah dalam Eksistensi!"

Istilah "eksistensi" berasa! dari akan kata ex-sistere, yang secara literal

berarti bergerak atau tumbuh ke luar. Dengan istilah ini hendak dikatakan oleh

para eksistensialis bahwa eksistensi manusia (apakah itu terdapat dalam seni,

filsafat, atau psikologi) seharusnya dipahami bukan sebagai kumpulan subtansi-

subtansi, mekanisme-mekanisme, atau pola-pola statis, m e l a i n k a n sebagai

"gerak" atau "menjadi", sebagai sesuatu yang "mengada". Dalam konteks ini,

pertanyaan yang krusial bukanlah, misalnya saja, apakah betel bahwa saya terbuat

dari bahan-bahan kimiawi tertentu dan bertingkah laku menurut mekanisme atau

Page 5: Analisis Eksistensial II

pola-pola tertentu? pertanyaan yang muncul dalam konteks eksistensi haruslah

berdasarkan pada kenyataan bahwa saya mengada pada saat ini dalam ruang

dan waktu tertentu, selain, sehingga masalah yang saya hadapi adalah

bagaimana saya sadar akan keyataan itu dan apa yang akan saya lakukan

kemudian. Seperti yang akan kita lihat nanti, para psikolog dan psikiater

eksistensial sama sekali tidak mengesampingkan studi mengenai dinamika-

dinamika, dorongan-dorongan, dan pola-pola perilaku. Tetapi mereka percaya

bahwa itu semua tidak dapat dimengerti ketika diaplikasikan pada seorang

pribadi atau individu tertentu, karena ada fakta yang tak terbantahkan, bahwa

di sini ada seorang pribadi yang sedang mengada, yang sedang menjadi.

Seandainya kita merupakan konteks seperti itu, maka semua yang kita ketahui

tetang pribadi atau individu itu akan kehilangan maknanya, Itulah sebabnya

pendekatan mereka selalu dinamis. Menurut mereka, eksistensi menunjuk pada

kehadiran pribadi yang mengada atau menjadi. Usaha mereka adalah

memahami ke-mengadaan itu, bukan sebagai ekspresi sentimental, malaikan

sebagai struktur fundamental eksistensi manusia. Kalau istilah "mengada"

digunakan dalam uraian-uraiain berikutnya dalam tulisan ini, maka hal itu berarti

bahwa istilah itu bukan sebagai istilah statis melainkan dinamis. Istilah itu

merupakan satu bentuk kata kerja, partisipel dari kata kerja "ada".

Eksistensialisme pada prinsipnya memang merupakan ontologi, yakni ilmu

tentang yang ada.

Arti istilah "eksistensi" akan kita pahami secara lebih jelas lagi kalau kita

meninjau kembali pembedaan tradisional antara istilah "eksistensi" dan "esensi".

Esensi menunjuk pada, katakanlah, kecoklatan dari tongkat kayo ini, pada

kepadatannya, bobotnya, dan karakter-karakter lain yang membuat tongkat kayu

itu, sebagai substansi. Pemikiran Barat sejak Renaisance berkenaan dengan

esensi-esensi. Ilmu tradisional berusaha menemukan esensi-esensi atau

substansi-substansi. Mencari sesuatu yang esensial memang menghasilkan hukum-

hukum universal yang sangat signifikan dalam ilmu dan konseptualisasi-

konseptualisasi yang sangat abstrak dalam logika atau filsafat. Tetapi untuk

melakukan hal itu dibutuhkan abstraksi. Eksistensi dari hal -hal yang

individual, dengan demikian, di luar gambaran yang abstrak itu. Misalnya kita

Page 6: Analisis Eksistensial II

dapat menunjukkan bahwa tiga apel ditambah tiga apel sama dengan enam.

Tetapi ini akan sama betulnya kalau apel diganti jeruk ,dan anggur; secara

matematis tidak ada perbedaan yang mendasar apakah apel atau jeruk dan

anggur itu ada atau tidak ada. Demikian bahwa sebuah proposisi dapat saja benar

tanpa ada masalah apakah yang ditunjuknya itu nyata (real) atau tidak. Ada

jurang pemisah antara kebenaran dan kenyataan (realitas). Pertanyaaan yang

melibatkan kita dalam psikologi dan aspekaspek lain dari ilmu-ilmu tentang

manusia adalah jurang pemisah antara antara yang secara abstrak benar dan apa

yang secara eksistensial nyata bagi pribadi-pribadi atau individu-individu tertentu.

Adanya jurang pemisah antara kebenaran dan kenyataan diakui juga

secara terus terang oleh sejumlah tokoh dalam psikologi behavioristik dan

conditioning. Kenneth W. Spence, salah seorang tokoh utama dari sayap

behaviorisme, menulis "pertanyaan mengenai apakah gejala perilaku 'tertetu

lebih dekat pada kehidupan nyata atau tidak, dan oleh sebab itu apakah ia

harus diberi prioritas dalam penyelidikan atau jangan, muncul dalam benak

para psikolog sebagai ilmuwan." Artinya, bukanlah persoalan besar apakah yang

akan diselidiki itu nyata atau tidak. Bidang gejala apa yang perlu mendapat

prioritas untuk segera diselidiki, tidak tergantung pada nyata atau tidak nyatanya

gejala itu. Spence sendiri memberi prioritas pada gejala perilaku yang mempunyai

"derajat untuk dapat dikontrol dan dianalisis, sehingga memungkinkan untuk

diformulasikan dalam bentuk hukum-hukum yang abstrak". Gejala perilaku

mendapat prioritas yang tinggi sejauh gejala itu tunduk pada hukum-hukum

yang abstrak; apakah yang kita selidiki itu nyata atau tidak, adalah pertanyaan

yang tidak relevan untuk tujuan ini. Harus diakui bahwa atas dasar

pendekatan seperti Itu, maka kini telah banyak dibangun sistem yang sangat

mengesankan dalam psikologi. Dengan abstraksi yang ditumpuk di atas abstraksi

lain, terbangunlah setruktur pembangunan sistematau strukutur pengetahuan yang

mengagumkan dan mengesankan. Namun, kesulitannya adalah bahwa landasan

dari bangunan sistem atau struktur itu lebih sering terpisah dari kenyataan

manusia. Sambil menolak pandangan tersebut, para pemikir dalam tradisi

eksistensial, dan para psikolog serta psikiater dalam gerakan analisis eksistensial,

mempunyai pandangan sendiri tentang bersatunya kebenaran dan kenyataan.

Page 7: Analisis Eksistensial II

Mereka menegaskan bahwa adalah mungkin dan mutklak perlu untuk

memiliki ilma pengetahuan tetang manusia yang menyelidiki manusia dalam

kenyataan manusia itu sendiri.

Kierkegaard (1813-1855), Nietzsche (1844-1900), dan para filsuf

eksistensial lainnya melihat adanya jurang pemisah antara kebenaran dan

kenyataan itu dalam kebudayaan Barat, dan mereka mengingatkan manusia Barat

untuk kembali dari delusi yang menyatakan bahwa kenyataan dapat dipahami

dalam cara abstrak dan jauh. Namun kendati mereka mengecam keras

"intelektualisme" seperti itu, mereka sama sekali bukanlah para "aktivis"

yang naif. Mereka pun sama sekali bukan anti-rasionalisme. Antiintelektualisme

atau anti-rasionalisme, serta gerakan-gerakan lain yang sedang menjamur

pada jaman kita ini, yang mengharuskan pikiran tunduk pada aksi, sama sekali

jangan dikacaukan dengan eksistensialisme. Memilih salah sata dari dua hal,

yakni menjadikan manusia sebagai subjek atau objek, dipastikan karena tidak

mengatahui apa sesugguhnya manusia itu. Kierkegaard dan para pemikir

eksistensial justru menyerukan untuk kembali kepada realitas yang mendasari baik

subjektivitas maupun objektivitas. Kira jangan hanya menyelidiki pengalaman

seorang manusia saja. Yang seharusnya kita lakukan terutama adalah menyelidiki

manusia yang sedang mengalami. Seperti yang ditulis Tillich, "Kenyataan atau

Ada bukanlah objek pengalaman kognitif, melainkan ‘eksitensi’,yakni Kenyataan

yang dialami secara langsung, dengan titik begat pacia karakter personal dan

dalam pengalaman langsung manusia." Ini menjadikan dekatnya para eksistensialis

dengan psikologi dalam dewasa ini. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa

tokoh-tokoh, ekstensialis terbesar abad ke-19, Kierkegaard dan Nietszce,

"mendahului" para psikolog dalam. Jika kita membaca analisis Kierkegaard

sangat mendalam tentang perasan cemas (anxiety) dan putus asa (despair) atau

pemahaman Nietzsche yang luar biasa mengenai dinamika amarah, rasa bersalah,

dan permusuhan yang menyertai enerji-enerji emosional yang terepresi, kita

mungkin tidak akan percaya bahwa yang sedang kira Baca adalah karya-karya

yang ditulis tujuh puluh dan seratus tahun yang lalu, dan bukan analisis psikologi

kontemporer. Para eksistensialis berusaha keras untuk menemukan kembali

pribadi yang hidup di tengah-tengah pengkotakan dan dehumanisasi kebudayaan

Page 8: Analisis Eksistensial II

modern, dan untuk melakukan itu mereka menggunakan "analisis psikologi

dalam". Perhatian mereka, bukan pada reaksi-reaksi psikologis yang terisolasi

dalam dirinya sendiri, melainkan pada keberadaan psikologis dari manusia hidup

yang sedang mengalami. Katakanlah, mereka menggunakan istilah istilah

psikologis dengan muatan makna-makna ontologis.

Kelak pemikiran mereka dilanjutkan dan diperdalam oleh para eksistensialis

kontermporer seperti Martin sering Heidegger. Filsuf Jerman ini sering

dianggap sebagai "sumber mata air" pemikiran eksistensial masa kini dan karya

besarnya, Ada dan Waktu (1927), sangat berpengaruh pada pemikiran Binswanger

dan para psikiater serta psikolog eksistensial lainnya. Selain Heidegger, terdapat

Hama-Hama besar seperti Jean Paul Sartre, Karl Jaspers, Nicolai Bardyaev,

Gabriel Marcel, Ortega y Gasser, dan Paul Tillich. Karya-karya mereka sangat

kaya dengan analisis eksistensial atas situasi-situasi fundamental manusia.

Novel-novel Kafka yang menggambarkan situasi tanpa harapan dan

tidak manusiawi (dehumanized) dalam kebudayaan modern pun,

menyuarakan apa yang disuarakan oleh para. Eksistensialis. Demikian juga karya-

karya Albert Camus seperti Orang Asing dan Sampar, yang bias yang bias

dijadikan sebagai contoh bagus dalam kesususteraan modern, dimana

eksistervialisme menggekspresikan dirinya dalam Bahasa sastera. Namun

potret eksistensialisme justru tampak paling kentara dalam seni modern.

Barangkali ini disebabkan sebagian oleh fakta bahwa seni modern

mengartikulasikan makna eksistensi secara simbolis, dan sebagian lagi oleh

karena seni mengungkapkan secara jelas tabiat emosional dan spiritual yang

mendasari kebudayaan. Karya-karya Van Gogh, Cezanne, dan Picasco

misalnya bisa diinterpretasikan sebagai (1) perlawanan terhadap

kemunafikan dari tradisi akademis abad ke-19 akhir, (2) usaha menyelam ke

dasar-dasar akal budi manusia untuk menemukan relasi-relasi baru dengan

alam, (3) usaha untuk mendapatkan kembali vitalitas dan pengalaman

estetis yang langsung dan jujur, dan (4) semangat untuk mengungkapkan

makna yang sesunggguhnya dari situasi manusia modern, meski hal ini berarti

mengungkapkan kehidupan yang tanpa harapan dan penuh dengan

kekosongan. Seperti yang diinterpretasikan Titlich terhadap lukisan Picasco,

Page 9: Analisis Eksistensial II

"Guernica", bahwa lukisan itu bukan hanya merupakan potret dari kondisi

masyarakat Eropa yang terpecah-belah, tetapi juga "memperlihatkan apa yang

terjadi sekarang dalam roh-roh manusia Amerika yang sedang mengalami

kekacauan, keragu-raguan eksistensial, kekosongan, dan ketidak-bermaknaan."

Fakta bahwa pendekatan eksistensial muncul sebagai jawaban spontan dan

asli (indigenius) terhadap budaya modern, tampak bukan hanya dalam arti

bahwa ia muncul dalam seni dan kesususateraan, tetapi juga dalam arti bahwa

para filsuf dari berbagai belahan bumi Eropa mengembangkan gagasan-gagasan

eksistensial tersebut tanpa saling berhubungan satu sama lain. Meskipun

karya utama Heidegger, Ada dan Waktu, dipublikasikan tahun 1927 misalnya,

namun Ortega y Gasser pada tahun 1924 telah mempublikasikan karya-karya

dan ide-ide yang hampir mempunyai kesamaan dengan ide Heidegger,

padahal mereka tidak pernah sating kenal atau mengetahui satu sama lain.

Tentu saja betul bahwa eksistensialisme lahir pada saat kebudayaan kita

mengalami krisis, dan krisis itu sebetulnya masih dapat kita rasakan bahkan

hingga saat ini. Ketika saat kebudayaan terperangkap dalam gejolak- gejolak

besar yang disebabkan oleh masa transisi, maka individu-individu dalam

masyarakat dipastikan mengalami gangguan emosional dan spiritual. Demikian

juga, ketika cara-cara berpikir lama sudah tidak lagi memberikan jaminan

keamanan, maka individu-individu dalam masyarakat tersebut cenderung untuk

tenggelam dalam dogatisme dan konformisme, atau dipaksa untuk menjadi sadar

diri dan menemukan keyakinan baru dan dasar-dasar baru untuk menjamin

keberadaannya. Ini merupakan salah satu dari beberapa pertalian yang sangat

penting antara gerakan eksistensial dengan psikoterafi: kedua-duanya berkenaan

dengan individu-individu yang sedang megalami "krisis". Jauh dari maksud untuk

mengatakan bahwa periode krisis disebabkan oleh "kecemasan dan keputusasaan",

kita justru menyaksikan bahwa krisis itu sebetulnya dibutuhkan untuk

menyadarkan manusia dari dependensinya pada dogma-dogma yang berasal dari

luar dan memaksa mereka untuk menyingkirkan lapisan kepura-puraan itu dalam

kesadarannya. Eksistensialisine adalah suatu sikap yang menerima manusia

sebagai sesuatu yang selalu menjadi, yang berarti secara potensial ada dalam

"krisis". Namun tidak berarti bahwa manusia selalu dalam keadaan tanpa harapan.

Page 10: Analisis Eksistensial II

Sokrates, yang pendekatan dialektis atau dialogisnya menjadi prototype dari

eksistensialisme, adalah orang yang sangat optimistik. Tetapi pendekatan ini

justru sangat pas dan berguna pada masa-masa transisi, yaitu ketika waktu yang

lama nyaris tenggelam, tetapi periode yang Baru belum juga lahir. Dalam

keadaan demikian, individu berada dalam keadaan cemas dan gelisah serta

lupa akan kesadaran dirinya.

Para eksistensialis sering mengutip Pascal, yang dengan gemilang berhasil

menggambarkan pengalaman seorang individu yang tengah mengalami

transisi dari Abad Pertegahan ke abad Renaisance, dari jaman religius ke jaman

duniawi. Pengalaman itu disebut oleh para eksistensialis, "pengalaman Dasein":

Pada saat aku merenungkan masa yang singkat dari hidupku, yang ditelan

oleh gelembung besar keabadiaan, maka ruang sempit yang aku isi, atau apa

pun yang kusaksikan, nyaris tenggelam dalam ketidak berhinggaan ruang tanpa

batas yang sama sekali tidak kukenal, dan yang sama sekali tidak mengenaliku

juga. Aku takut dan bertanya-tanya melihatku sendirian disini. Ternyata jauh

lebih mengerikan dari megherankan meIihatku di sini ketimbang, melihatku di

sana (dalam keabadian). Tidak ada alasan sama sekali mengapa aku harus

berada di sini dan bukan di sana ....

Pesan yang disampaikan dari kutipan di atas adalah: (1) bahwa terdapat

kontingensi dalam hidup manusia yang oleh para eksistensial disebut

"kererlemparan", (2) bahwa hidup manusia adalah hidup yang sudah “berada

di sana”, (3) bahwa Meskipun Pascal pada dasarnya adalah seorang Ilmuwan,

tetapi ia menyadari bahwa penjelasan tentang ruang dan waktu secara ilmiah tidak

untuk bisa memahami alam semesta yang penuh misteri ini, dan (4) bahwa

kecemasan yang mencekam muncul dari kesadaran akan eksistensi sendiri.

Perlu pula dicatat mengenai hubungan antara eksistensialisme dengan

pemikiran Timur seperti filsafat Laotzu dan Budisme Zen. Kesamaan-

kesamaan diantara dua tradisi filsafat tersebut cukup menarik. Kita bisa

melihat kesamaan-kesamaan tersebut misalnya dari kutipan-kutipan dalam The

Way of Life dari Laotzu: "membuat definisi tentang Eksistensi adalah di luar

kekuatan bahasa; istilah-istilah dalam bahasa barangkali dapat digunakan

untuk menjelaskan eksistensi tetapi itu tidak mudak." "Eksistensi, sama sekali

Page 11: Analisis Eksistensial II

tidak diperanakan, melainkan memperanakan segala-galanya. Ia adalah ibu

alam semesta." "Eksistensi adalah tidak berhingga, jadi tidak bisa dibatasi;

meski eksistensi itu tampak, tetapi tidak seperti sepotong kayu ditangamu yang

bisa kamu pahat sesuka hatimu; ia tidak dipermainkan ataupun disalahgunskan."

"Jalan satu-satunya untuk berbuat adalah mengada terlebih dulu." "Ada baiknya

kamu tinggal di pusat keberadaanmu, karena semakin kamu menjauhinya,

semakin kurang yang bisa kamu pelajari".

Kemiripan antara filsafat Timur dan eksistensialisme, tentu saja, jauh lebih

mendalam daripada kesamaan dalam bentuk kata-kata. Kedua filsafat tersebut

sama-sama berkenaan dengan ontologi, dengan studi tentang ada. Kedua-

duanya mencari relasi dengan kenyataan dan caranya adalah dengan

memperpendek atau menghilangkan jurang pemisah antara subjek dan objek.

Kedua-duanya menegaskan bahwa pergulatan Barat dalam menaklukan

kekuatan alam telah menghasilkan bukan hanya keterasingan manusia dari alam,

tetapi juga secara tidak langsung keterasingan manusia dari dirinya sendiri.

Tentu saja kedua pendekatan tersebut (yakni, filsafat Timur dan

eksistensialisme) tidak identik sama sekali; kedua-duanya ada pada tarap yang

berbeda. eksistensialisme bukanlah filsafat atau the way of life yang

komprehensif, melainkan suatu cara dan upaya untuk menangkap

kenyataaan. Perbedaan pokok diantara kedua pendekatan tersebut adalah

bahwa eksistensialisme muncul secara langsung dari kecemasan-kecemasan,

keterasingan-keterasingan, dan konfilk-konflik manusia Barat dan asli berasal dari

kebudayaan Barat. Seperti psikoanalisis, eksisterisialisme tidak mencari jawaban

dari dan untuk kebudayaan lain, tetapi menggunakan konflik-konflik dalam

kepribadian kontemporer sebagai jalan menuju pemecahan atas masalah-masalah

yang kita hadapi dalam hubungannya dengan krisis-krisis historis dan budaya

yang melahirkannya. Dalam hal ini, nilai yang bisa diambil dari pemikiran Timur

bukanlah bahwa ia (pemikiran Timur) dapat ditransfer ke dalam pemikiran Barat,

melainkan bahwa ia bisa berfungsi sebagai koreksi untuk bias-bias kita dan

menyoroti asumsi-asumsi kita yang keliru, yang telah membawa manusia dan

kebudayaan Barat kepada persoalan-persoalan seperti yang kita lihat dan rasakan

dewasa ini.

Page 12: Analisis Eksistensial II

Kita sekarang akan melihat paralelisme antara persoalan manusia

modern yang ditangani oleh eksistensialisme di satu pihak dan oleh

psikoanalisis di lain pihak. Dari perspektif dan taraf yang berbeda, kedua

jenis pendekatan tersebut berupaya keras menganalisa kecemasan,

keputusasaan, dan keterasingan manusia baik dari dirinya sendiri maupun dari

masyarakat. Freud mendeskripsikan kepribadian neurotik abad

kesembilanbelas sebagai kepribadian manusia yang menderita dari

fragmentasi, ragmentasi, yakni dari penindasan (represi) alas dorongan-dorongan

naluriah, terhambatnya kesadarain, hilangnya otonomi, lemah dan pasifnya

ego, dan berbagai simpton neurotik lainnya yang disebabkan oleh

fragmentasi itu. Kierkegaard, yang telah menulis sebuah buku terkenal

sebelum Freud, mengkonsentrasikan diri bukan hanya pada masalah

kecemasan, tetapi secara khusus juga pada masalah depresi dan keputusasaan

yang disebabkan oleh keterasingan diri individu (yakni, keterasingan yang

diklasifikasikan olehnya dalam bentuk-bentuk dan derajat-derajat kepelikan yang

berbeda). Nietzsce, yang telah menulis buku sepuluh tahun sebelum buku

pertama Freud ditulis, secara tegas mengatakan bahwa penyakit manusia modern

tidak lain adalah bahwa "rohnya telah berbau busuk," sehingga ia merasa mau

muntah," dan bahwa apapun yang, ada di sana "busuk ...dan berbau kegagalan…..

Penyamarataan dan, penyusutan manusia Eropa adalah, bahaya besar yang kita

hadapi hadapi saat ini.” Ia kemudian menggambarkan bagaimana menindas atau

menghalangi kekuatan-kekuatan naluriah justru membawa individu dalam

amarah, benci terhadap diri sendiri, permusuhan, dan agresi. Freud

memang tidak mengenal karya Kierkegaard, tetapi ia menilai Nietzsche sebagai

salah seorang manusia besar sepanjang waktu.

Bagaimana hubungan di antara ketiga tokoh raksasa abad kesembilan

belas itu dan bagaimana pula hubungan antara kedua pendekatan yang

mereka gunakan - yakni eksistensialisme dan psikoanalisis? Untuk

menjawab pertanyaan itu, kita harus menyelidiki terlebih dulu situasi budaya

Abad Pertengahan dan akhir abad kesembilan belas. Cara yang tepat untuk

memahami suatu pendekatan seperti eksistensialisme dan psikolanalisis tidak

pernah dapat dilihat secara abstrak (in abstracto), jauh dari realitasnya,

Page 13: Analisis Eksistensial II

melainkan hanya dalam konteks situasi historis yang melahirkannya. Diskusi kita

dalam bab ini akan mengarah kesana, meski dibatasi pada pertanyaan tentang

bagaimana teknik khusus yang dikembangkan oleh Freud, untuk menyelidiki

fragmentasi individu pada periode Victorian, berhubungan dengan

pemahaman tentang manusia dan krisis-krisisnya yang disumbangkan oleh

Kierkegaard dan Nietzsche.

B. KERETAKAN DAN GANGGUAN BATIN PADA ABAD

KESEMBILAN BELAS

Karakteristik utama paruh pertama abad kesembilan belas adalah tercerai-

berainya atau retaknya (fragmentasi) kepribadian. Fragmentasi ini, seperti yang

akan kita lihat, tampak dari gejala-gejala emosional, psikologis, dan spiritual baik

yang terjadi pada tingkat kebudayaan maupun pada tingkat individu. Kita bisa

melihat adanya keretakan pada kepribadian itu, bukan hanya dari laporan-

laporan atau teori-teori psikologi dan ilmu-ilmu lain tentang manusia dari

periode itu, tapi juga dari hampir setiap aspek kebudayaan abad kesembilan belas

akhir. Kita sekarang masih dapat menyaksikan retaknya kepribadian, itu

misalnya dengan membaca karya Ibsen dalam Doll's House-nya). "Warga

negara yang baik,"demikian tulis Ibsen, "yang memperhatikan istri dan

keluarganya dalam ruang terpisah, serta menempatkan pekerjaan dan aktivitas-

aktivitas lainnya juga secara terpisah, pada dasarnya sedang membuat

rumahnya sebagai rumah boneka dan dengan demikian mempersiapkannya

menuju kehancuran." Kita pun dapat melihat keretakan itu misalnya dalani

pemisahan seni dari kenyataan hidup; penggunaan seni dalam bentuk-bentuk

yang dipercantik, yang roniantik, dan yang akademik pada dasarnya merupakan

usaha terselubung untuk melepaskan diri dari eksistensi dan alam. (Bentuk

kesenian, yang demikian adalah bentuk kesenian yang dikecam keras oleh

Cezane, Van Gogh, para impresionis, dan gerakan-gerakan seni modern). Kita pun

dapat melihat adanya fragmentasi dalam pemisahan agama dari hari kerja dan

pemisahan moral atau etika dari pekerjaan. Segmentasi itu pun sebetulnya

terlangsung, dalam filsafat dan psikologi - misalnya ketika Kierkegaard

mengecam tahta rasio yang kering dan abstrak, dan menganjurkan kita untuk

Page 14: Analisis Eksistensial II

kembali kepada kenyataan, ia sama sekali tidak mengada-ada. Manusia Victorian

melihat dirinya terbagi ke dalam rasio, kehendak, dan emosi; dan dengan

pembagian ini mereka merasa telah menemukan diri mereka sebgai sebuah

gambar yang baik. Rasionya dianggap mampu mengatakan apa yang harus

dilakukan; kehendak bebasnya dianggap mampu memberi alat atau

kemampuan untuk melaksanakan apa yang harus dilakukan itu; dan

emosinya dianggap harus disalurkan dalam dorongan-dorongan pekerjaan yang

kompulsif dan terstruktur dalam adat istiadat. Emosi-emosi yang bisa,

menumbangkan segmentsi formal, seperti seks dan permusuhan, harus

dicegah atau direpresi atau dibiarkan terekspresi "hanya dalam pesta pora hari

Minggu, agar hari Senin paginya bisa bekerja lebih aktif. Manusia Victorian

sungguh-sungguh menekankan "rasionalitas". Istilah "irrasional" berarti

sesuatu yang tidak perlu dipikirkan atau dibicarakan. Schachtel menunjukkan

bagaimana warga negara pada jaman Victorian perlu mempertahankan

rasionalitasnya, dan menolak fakta bahwa ia pernah menjadi seorang anak atau

mempunyai irrasionatitas seorang anak yang bisa lepas kendali. Keretakan

antara orang dewasa dan anaklah yang kemudian menjadi isyarat untuk

penyelidikan-penyelidikanyang dilakukan oleh Freud.

Retaknya kepribadian ini sejalan dengan industrialisme yang sedang

berkembang baik sebagai sebab maupun sebagai akibat. Seorang manusia

yang dapat menjaga atau mempertahankan bagian-bagian yang berbeda dari

kehidupannya secara terpisah, yang selalu mempunyai program kerja yang sama

pada setiap hari dan setiap saat, yang tindakan-tindakannya selalu dapat diramaikan,

yang tidak pernah merasa terganggu atau tersentuh oleh dorongan-dorongan

irrasional atau visi-visi puitis, yang dapat memanipulasi dirinya dengan cara yang

sama seperti ia memanipulasi sebuah mesin, tentu saja orang semacam ini

merupakan pekerja yang sangat beruntung bukan hanya karena sudah terpola

seperti sebuah mesin, tetapi juga karena sudah mencapai taraf tinggi dari sebuah

produk. Namun, akibatnya adalah seperti yang dikatakan oleh Marx dan

Nietzsche, yakni "keberhasilan sistem industri dengan akumulasi uang, yang bisa

mengesahkan suatu kebajikan dan harga diri pribadi, dan yang Sepenuhnya

merupakan hasil tangan-tangan manusia, mempunyai akibat timbal balik

Page 15: Analisis Eksistensial II

yang, mendepersonalisasikan clan mendehumanisasikan manusia dalam

hubungannya dengan orang lain dan dengan dirinya sendiri." Terhadap

kecenderungan-kecenderungan yarg, mendehumanisasikan inilah, yakni

kecenderungan yang menjadikan manusia sebagai mesin, dan yang

membuat manusia mempunyai citra sebagai komponen dari sebuah sistem

idustri besar, yang sesungguhnya dilawan oleh para eksistensialis. Dan

mereka sadar bahwa sumber dari segala ancaman yang sangat series pada

dasarnya berasal dari ,rasio yang dipadukan ke dalam mekanika, yang pada

akhirnya memperlemah vitalitas dan kekuatan individu. Rasio,

dibayangkan oleh para eksistensialis, ditundukkan pada sejenis teknik baru.

Para ilmuwan dewasa ini sering tidak menyadari bahwa keretakan itupun

sebenarnya merupakan karakteristik dari ilmu yang, kita warisi sekarang.

Abad kesembilan belas adalah era "ilmu yang otonom", meminjam

peristilahan dari Cassirer. Setiap ilmu dikembangkan menurut arahnya

sendiri; tidak ada prinsip yang menyatukan, khususnya dalam hubungannya

dengan manusia. Pandangan tentang manusia pada periode itu didukung

oteh fakta-fakta empiris yang ditumpuk oleh ilmu-ilmu yang sedang

berkembang, tetapi "setiap teori menjadi tempat tidur Procustean, yang di

atasnya tersebar fakta-fakta empiris yang cocok dengan pola-pola yang

telah diasumsikan sebelumnya.... Karena perkembangan ini maka teori-teori

modern tentang, manusia kehilangan pusat intelektualnya. Kita sekarang

menghadapi anarki berpikir… Para teolog ilmuwan, sosiolog, biolog,

psikoiog, etnolog, ekonom semua mendekati porsoalan dari titik pandang

mereka sendiri. Tidak heran kalau Max Sclieller pun memprihatinkan

keadaan itu ketika ia menulis: "Tidak ada periode lain dalam pengetahuan

manusiawi di mana manusia menjadi semakin problematic, seperti pada

periode kita ini. Kita mempunyai antropologi ilmiah, filssafati, dan teologis

yang tidak saling kenal satu sama lain. Kita tidak lagi memiliki gmbaran

yang jelas dan konsisten tentang manusia. Makin bertumbuh banyaknya limu-

limu khusus yang terjun mempelajari manusia tidak semakin

menjernihkan konsepsi kita tentang manusia; sebaliknya, malah semakin

membingungkan dan mengburkannya."

Page 16: Analisis Eksistensial II

Di atas permukaan, periode Victorian tampaknya tenang, memuaskan, dan

diatur. Tetapi ketenangan ini dibeli dengan harga yang sangat mahal, yakni

dengan penindasan yang menyeluruh, mendalam dan lambat laun menjadi

rapuh. Seperti pada kasus neurotik individual, keretakan ini semakin

lama semakin kaku, sampai akhirnya mencapai satu titik, yakni tanggal 1

Agustus 1914 (Perang Dunia I), ketika ia hancur sama sekali.

Demikian bahwa keretakan budaya mempunyai kesamaan psikoto-

gisnya dengan penindasan (represi) radikal dalam kepribadian individu.

Freud pada waktu itu sedan mengembangkan teknik-teknik ilmiah untuk

memahami, dan juga merawat kepribadian-kepribadian retak yang dialami

oleh banyak individu. Namun, ia tidak menyadari bahvva penyakit neurotik

tersebut pada dasarnya hanyalah salah satu sisi dari kekuatan-kekuatan

penghancur yang mempengaruhi segenap masyarakat. justru Kierkegaard

yang, sebelum Freud, telah menyadari adanya kehidupan emosional dan

spiritual yang mampu menghancurkan tatanan masyarakat (dan kepribadian).

Kehidupan emosional dan spiritual itu adalah: kecemasan, kesendirian,

keterasingan seorang manusia dari manusia lain yang bersifat endemic, dan

akhirnya kondisi yang akan membawa manusia ke arah keputusasaan yang

mencekam, ke arah alienasi manusia dari dirinya sendiri. Nietzsche pun

melihat kenyataan yang sama ketika ia menulis: "Kita hidup dalam suatu

periode atom-atom, khaos atomic" dan berdasarkan pada khaos itu ia

meramalkan (mungkin menunjuk pada abad kedua puluh) bakal adanya

"haritu yang menyeramkan ... dan perburuan menuju kebahagiaan tidak

akan pernah 1ebih besar dari pada ketika perburuan antis hari ini dan

besok; sebab lusa semua kebahagiaan mungkin sudah bakal berakhir Freud

melihat fragmentasi kepribadian itu dalam tentang ilmu alam dan

berkenaan dengan perumusan aspek-aspek teknisnya. Kierkegaard dan

Nietzsche tidak mengabaikan pentingnya analisa psikologis khusus; tetapi

mereka lebih tertarik untuk memahami manusia sebagai "ada" yang

merepressi,,."ada" yang menaklukan kesadaran diri sebagai perlindungan

dalam melawan kenyataan dan kemudian menderita konsekwensi- -

konsekwensi neurotik. Pertanyaan yang sangat menarik adalah: apakah hal

Page 17: Analisis Eksistensial II

itu berarti menyadari bahwa ia ada dan mampu mengetahui keberadaanya,

harus memilih atau dipaksa Memilih untuk menutupi kesadaran ini dan harus

menderita kecemasan, dorongan untuk menghancurkan diri sendiri, dan

keputusasaan? Kierkegaard dan Nietzsche sangat sadar bahwa" penyakit jiwa”

dialami oleh manusia Barat pada dasarnya adalah penyakit yang lebih dalam

dan lebih ekstensif dari pada yang, dapat dijelaskan oleh persoalan-persoalan

sosial dan individual yang, spesifik. Ada yang salah dalam hubungan antara

manusia dengan dirinya sendiri; manusia telah menjadi problematik bagi

dirinya sendiri. "Ini merupakan situasi yang teramat sulit untuk Eropa",

demikian tulis Nietzche; "bersama dengan ketakutan pada manusia, kita

telah kehilangan cinta dan kepercayaan pada manusia, bahkan kehilangan

kehendak untuk menjadi manusia’’’.

TERMINOLOGI DAN KONSEP KUNCI

Nada dasar eksistensialisme adalah eksistensi mendahului esensi, artinya apa yang dilakukan manusia lebih penting dari pada apakah manusia.

Asumsi kedua adalah manusia subjek sekaligus objek; artinya, mereka makhluk yang berpikir sekaligus bertindak.

Manusia terimotivasi untuk niencarijawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penting terkait makna hidup.

Manusia memiliki derajat kebebasan dan tanggung jawab yang setara

Kesatuan manusia dan dunia fenomenologis terekspresikan lewat istilah Dasein, atau mengada-dalam-dunia.

Tiga mode mengada-dalam-dunia adalah Umwelt atau hubungan manusia dengan dunia bends, Mitwelt atau hubungan manusia dengan dunia manu-sia, dan Eigenwelt atau hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

Ketidak mengadaan atau ketiadaan, adalah kesadaran terhadap kemungkinan ketidakmengauaan seseorang, entah dalam bentuk kesadaran akan kematian atau kehilangan.

Manusia mengalami kecemasan ketika mereka sadar akan kemungkinan ketidakmengadaan sebanyak mereka sadar kalau mereka bebas untuk me-milih.

Kecemasan yang normal dialami setiap orang dan proporsional dengan besamya ancaman,

Page 18: Analisis Eksistensial II

Kecemasan yang neurosis tidak proporsional dengan besarnya ancaman, melibatkan represi dan diatasi dengan cara-cara yang mempecundangi diri sendiri.

Manusia mengalami rasa bersalah sebagai akibat dari (1) perpisahan dari dunia alamiah, (2) ketidak mampuan menilai kebutuhan orang lain, dan (3) penyangkalan terhadap potensi mereka sendiri.

Intensionalitas adalah struktur dasar yang memberikan makna bagi pengalaman dan memampukan manusia membuat keputusan ke depan.

Cinta berarti merasakan kebahagiaan atas kehadiran seseorang dan mengiyakan kebernilaian pribadi tersebut sebesar dirinya.

Seks, bentuk dasar cinta, adalah fungsi biologis Yang mencari kepuasan lewat pelepasan tegangan seksual.

Eros, bentuk cinta yang lebih tinggi, mencari penyatuan kekal dengan orang yang dicintai.

Philia adalah bentuk cinta yang mencari persahabatan nonseksual dengan seseorang.

Agape, bentuk cinta tertinggi, adalah cinta yang altruistik dan tidak mensyaratkan atau mengharapkan sesuatu apa pan dari orang lain.

Kebebasan dicapai lewat konfrantasi dengan takdir dan pemahaman bahwa kematian atau ketidakmengadaan bisa terjadi setiap waktu.

Kebebasan eksistensial adalah kebebasan bertindak, kebebasan untuk bergerak, mengejar tujuan-tujuan yang diinginkan.

Kebebasan esensial adalah kebebasan untuk mengada, kebebasan untuk berfikir, merencanakan, berharap.

Mitos-mitos kultural adalah sistem kepecayaan, bekerja di alam sadar atau bawah sadar menyediakan penjelasan bagi masalah-masalah pribadi dan sosial.