meningitis
DESCRIPTION
MENINGITISTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan
terjadinya gejala perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk,
fotofobia disertai peningkatan jumlah leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS).1
Penyebab paling umum peradangan pada meningens adalah akibat iritasi
oleh infeksi bakteri atau virus. Organisme biasanya masuk meningens melalui
aliran darah dari bagian lain dari tubuh ataupun dapat secara langsung
(perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan di dekat selaput otak.2
Meningitis bakterialis merupakan penyakit yang mengancam jiwa
disebabkan oleh infeksi lapisan meningen oleh bakteri. Insidensi meningitis
bakterialis di Amerika Serikat sudah menurun sejak diterapkannya penggunaan
rutin vaksin Haemophilus influenzae tipe B (HIB). Umumnya penderita berusia di
bawah 5 tahun dan pada 70% kasus terjadi pada anak-anak usia 2 tahun.1
Meningitis serosa terjadi apabila pada penderita terdapat gambaran klinis
meningitis, tetapi pada pemeriksaan cairan serebrospinal tidak sampai berwarna
keruh. Cairan tampak opalesen karena terdapat peninggian jumlah sel, dan
berwarna kuning karena adanya peninggian protein. Penyebabnya dapat
disebabkan oleh bakteri (meningitis tuberkulosa), virus (meningitis
virus/meningitis aseptik), jamur (meningitis jamur), maupun parasit (syphilitic
meningitis).2
Meningitis 1
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Meningitis Purulenta
a. Definisi
Meningitis adalah radang umum pada arakhnoid dan piamater, disebabkan
oleh bakteri, virus, riketsia atau protozoa, yang dapat terjadi secara akut dan
kronis. Meningitis bakterial akut selalu bersifat purulenta. Bakteri yang dapat
membangkitkan meningitis akut banyak sekali.1,2,3
Pada umumnya meningitis purulenta timbul sebagai komplikasi dari
septikemia. Pada meningitis meningokokus, prodromnya ialah infeksi nasofarings,
oleh karena invasi dan multiplikasi meningokokus terjadi di nasofaring. Baik
meningokokus, maupun hemofilus influenza dan pneumokokus dapat menjadi
kausa dari otitis media. Meningitis purulenta dapat menjadi komplikasi dari otitis
media akibat infeksi kuman-kuman tersebut.2
b. Etiologi
Kebanyakan kasus meningitis bakterial disebabkan oleh infeksi meningen
oleh satu dari tiga organisme berikut :4
- Neisseria meningitidis (meningokokus)
- Haemophilus influenza (tipe b) (jarang terjadi setelah vaksinisasi)
- Streptococcus pneumonia (pneumokokus).
Organisme lainnya, terutama Mycobacterium tuberculosis, dapat
ditemukan pada kelompok berisiko yang spesifik, misalnya pasien
immunocompromised. Penyebab lainnya adalah stafilokok, kapang cryptococcus
neoformans, yang dulu bernama Torula histolytica.4,5
Pada anak-anak di atas 4 tahun, penyebab tersering adalah Streptococcus
pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae tipe B (HIB). HIB
pernah menjadi etiologi tersering tetapi sudah tereradikasi pada negara-negara
yang telah menggunakan vaksin konjugasi secara rutin. Patogen ini berbentuk
Meningitis 2
seperti lancet, merupakan diplokokus gram positif dan penyebab utama
meningitis. Dari 84 serotipe, serotipe 1, 3, 6, 7, 14, 19, dan 23 adalah jenis yang
sering dihubungkan dengan dengan bakteremia dan meningitis. Anak pada
berbagai usia dapat terpapar tetapi insidensi dan tingkat keparahan penyakit paling
tinggi pada bayi dan lansia. Kurang lebih 50% penderita memiliki riwayat fokus
infeksi di parameningen atau pneumonia. Pada penderita meningitis rekuren perlu
dipikirkan ada tidaknya riwayat trauma kepala atau kelainan dural.1,6
S. pneumoniae sering menimbulkan meningitis pada penderita sickle cell
anemia, hemoglobinopathy, penderita asplenia anatomis atau fungsional. Patogen
ini membentuk kolonisasi pada saluran pernapasan individu sehat. Transmisi
terjadi antar manusia dengan kontak langsung. Masa inkubasi sekitar 1-7 hari dan
prevalensi terbanyak pada musim dingin. Gejala yang ditimbulkan di antaranya
kehilangan pendengaran sensorineural, hidrocephalus, dan sekuelae SSP lainnya.
Pengobatan antimikroba efektif mengeradikasi bakteri dari sekresi nasofaring
dalam 24 jam. Pneumococcus membentuk resistensi yang bervariasi terhadap
antimikroba. Resistensi terhadap penicillin berkisar antara 10-60%. Hal ini
disebabkan oleh perubahan dalam enzim yang berperan dalam pertumbuhan dan
perbaikan protein pengikat penicillin pada bakteri sehingga beta-laktamase
inhibitor menjadi tidak berguna. Pneumococcus yang resisten terhadap penicillin
juga menampakkan resistensi terhadap cotrimoxazole, tetrasiklin,
chloramphenicol, dan makrolide. Cephalosporin generasi 3 (cefotaxime,
ceftriaxone) saat ini merupakan pilihan karena mampu menghambat sejumlah
bakteri yang telah resisten. Beberapa golongan fluoroquinolon (levofloksasin,
trovafloksasin) walaupun merupakan kontraindikasi untuk anak-anak tetapi
memiliki daya kerja tinggi melawan kebanyakan pneumococcus dan memiliki
penetrasi adekuat ke SSP.1,6
Neisseria meningitides. Patogen ini merupakan bakteri gram negatif
berbentuk seperti ginjal dan sering ditemukan intraselular. Organisme ini
dikelompokkan secara serologis berdasarkan kapsul polisakarida. Serotipe B, C,
Y, dan W-135 merupakan serotipe yang menyebabkan 15-25% kasus meningitis
pada anak. Saluran pernapasan atas sering dikolonisasi oleh patogen ini dan
Meningitis 3
ditularkan antar manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi
saluran pernapasan, dan sering pula dari karier asimptomatik. Masa inkubasi
umumnya kurang dari 4 hari, dengan kisaran waktu 1-7 hari. Faktor resiko
meliputi defisiensi komponen komplemen terminal (C5-C9), infeksi virus, riwayat
tinggal di daerah overcrowded, penyakit kronis, penggunaan kortikosteroid,
perokok aktif dan pasif. Kasus umumnya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan dan
puncak insidensi tertinggi kedua adalah saat adolesen. Manifestasi purpura atau
petekiae sering dijumpai. LCS pada meningococcal meningitis biasanya memberi
gambaran normoseluler. Kematian umumnya terjadi 24 jam setelah hospitalisasi
pada penderita dengan prognosis buruk yang ditandai dengan gejala hipotensi,
shock, netropenia, petekiae dan purpura yang muncul kurang dari 12 jam, DIC,
asidosis, adanya bakteri dalam leukosit pada sediaan apus darah tepi.1,6
HIB merupakan batang gram negatif pleomorfik yang bentuknya
bervariasi dari kokobasiler sampai bentuk panjang melengkung. HIB meningitis
umumnya terjadi pada anak-anak yang belum diimunisasi dengan vaksin HIB. 80-
90% kasus terjadi pada anak-anak usia 1 bulan-3 tahun. Menjelang usia 3 tahun,
banyak anak-anak yang belum pernah diimunisasi HIB telah memperoleh antibodi
secara alamiah terhadap kapsul poliribofosfat HIB yang cukup memberi efek
protektif. Penularan dari manusia ke manusia melalui kontak langsung, droplet
infeksius dari sekresi saluran pernapasan. Masa inkubasi kurang dari 10 hari.
Mortalitas kurang dari 5% umumnya kematian terjadi pada beberapa hari awal
penyakit. Beberapa data menunjukkan 30-35% patogen ini sudah resisten terhadap
ampicillin karena produksi beta-laktamase oleh bakteri. Sebanyak 30% kasus
menyebabkan sekuelae jangka panjang. Pemberian dini dexamethasone dapat
menurunkan morbiditas dan sekuelae.1,6
Listeria monocytogenes. Bakteri ini menyebabkan meningitis pada
neonatus dan anak-anak immunocompromised. Patogen ini sering dihubungkan
dengan konsumsi makanan yang terkontaminasi (susu dan keju). Kebanyakan
kasus disebabkan oleh serotipe Ia, Ib, IVb. Gejala pada penderita dengan Listerial
meningitis cenderung tersamar dan diagnosis sering terlambat ditegakkan. Pada
Meningitis 4
pemeriksaan laboratorium, patogen ini sering disalahartikan sebagai
Streptococcus hemolyticus atau diphteroid.1,6
Etiologi lain-lain Staphylococcus epidermidis sering menimbulkan
meningitis dan infeksi saluran LCS pada penderita dengan hidrocephalus dan post
prosedur bedah. Anak-anak yang immunocompromised sering mendapatkan
meningitis oleh spesies Pseudomonas, Serratia, Proteus dan diphteroid.1,6
c. Epidemiologi
Di negara maju, insidensi meningitis bakterial adalah 5-10 per 100.000 per
tahun.4
Tiga organisme umum yang memiliki pola kejadian khusus :4
- Meningitis meningokokal yang dapat terjadi pada epidemi
- Haemophilus influenzae umumnya mengenai anak di bawah usia 5 tahun
- Infeksi pneumokokus lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut dan juga
berhubungan dengan alkoholisme dan splenektomi. Infeksi dapat menyebar
ke mengingen dari struktur yang berdekatan (telinga, nasofaring) atau dari
paru-paru melalui aliran darah.
Berdasarkan grafik dari Centers for Diseases Control and Prevention 2003,
kasus meningitis terbanyak pada usia 15-24 tahun (20,4%). Pada anak usia 1-4
tahun sebanyak 13,8%, usia kurang dari 1 tahun sebanyak 11,9%. Sebelum
penggunaan Vaksin HIB secara luas, insidensi sekitar 20.000-30.000 kasus/tahun.
Sedangkan Neisseria meningitidis meningitis kurang lebih 4 kasus/100.000 anak
usia 1-23 bulan. Rata-rata kasus Streptococcus pneumoniae meningitis adalah
6,5/100.000 anak usia 1-23 bulan. Insidensi meningitis pada neonatus adalah 0,25-
1 kasus/1000 kelahiran hidup. Pada kelahiran aterm, insidensinya adalah 0,15
kasus/1000 kelahiran aterm sedangkan pada kelahiran preterm adalah 2,5
kasus/1000 kelahiran preterm. Kurang lebih 30% kasus sepsis neonatorum
berhubungan dengan meningitis bakterial. 6
Sebelum ditemukannya antimikroba, mortalitas akibat meningitis bakterial
cukup tinggi. Dengan adanya terapi antimikroba, mortalitas menurun tapi masih
Meningitis 5
tetap dikhawatirkan tinggi. 19-26% mortalitas diakibatkan karena meningitis oleh
Sterptococcus pneumoniae, 3-6% oleh Haemophilus influenzae, 3-13% oleh
Neisseria meningitidis. Rata-rata mortalitas paling tinggi pada tahun pertama
kehidupan, menurun pada usia muda, dan kembali meninggi pada usia tua.1
Insidensi rata-rata lebih tinggi pada populasi Afro-Amerika dan Indian
dibandingkan pada populasi Kaukasia dan Hispanik. Bayi laki-laki memiliki
insidensi lebih tinggi terkena meningitis oleh gram negatif dibanding bayi
perempuan. Tetapi bayi perempuan lebih rentan terhadap meningitis oleh Listeria
monocytogenes. Sedangkan insidensi meningitis oleh Streptococcus pneumoniae
adalah sama untuk bayi perempuan maupun laki-laki.1,6
Kebanyakan penderita adalah anak dengan usia kurang dari 5 tahun. 70%
kasus terjadi pada anak dengan usia kurang dari 2 tahun.6
d. Patofisiologi
Pertama-tama bakteri berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal pada
inang. Kolonisasi dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan,
saluran pencernaan, atau saluran kemih dan genital. Dari tempat ini, bakteri akan
menginvasi submukosa dengan menghindari pertahanan inang (seperti barier fisik,
imunitas lokal, fagosit/makrofag) dan mempermudah akses menuju sistem syaraf
pusat (SSP) dengan beberapa mekanisme: Invasi ke dalam aliran darah
(bakteremia) dan menyebabkan penyebaran secara hematogen ke SSP, yang
merupakan pola umum dari penyebaran bakteri. Penyebaran melalui kontak
langsung, misalnya melalui sinusitis, otitis media, malformasi kongenital, trauma,
inokulasi langsung selama manipulasi intrakranial. Sesampainya di aliran darah,
bakteri akan berusaha menghindar dari pertahanan imun (misalnya: antibodi,
fagositosis neutrofil, sistem komplemen). Kemudian terjadi penyebaran
hematogen ke perifer dan organ yang letaknya jauh termasuk SSP. 1
Lapisan-lapisan selaput otak Mekanisme patofisiologi spesifik mengenai
penetrasi bakteri ke dalam SSP sampai sekarang belum begitu jelas. Setelah tiba
di SSP, bakteri dapat bertahan dari sistem imun inang karena terbatasnya jumlah
Meningitis 6
sistem imun pada SSP. Bakteri akan bereplikasi secara tidak terkendali dan
merangsang kaskade inflamasi meningen. Proses inflamasi ini melibatkan peran
dari sitokin yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin (IL)-1,
chemokin (IL-8), dan molekul proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis
dan kerusakan neuronal. Peningkatan konsentrasi TNF-α, IL-1, IL-6, dan IL-8
merupakan ciri khas meningitis bakterial. Paparan sel (endotel, leukosit,
mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk yang dihasilkan bakteri selama
replikasi dan kematian bakteri merangsang sintesis sitokin dan mediator
proinflamasi. Data-data terbaru memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai oleh
ligasi komponen bakteri (seperti peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali
reseptor (Toll-like receptor) TNF-α merupakan glikoprotein yang diderivasi dari
monosit-makrophag, limfosit, astrosit, dan sel mikroglia. IL-1 yang dikenal
sebagai pirogen endogen juga berperan dalam induksi demam saat infeksi bakteri.
Kedua mediator ini dapat terdeteksi setelah 30-45 menit inkulasi endotosin
intrasisternal. Mediator sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO),
prostaglandin (PGE2) dan platelet activation factor (PAF) diduga memperberat
proses inflamasi. IL-6 menginduksi reaktan fase akut sebagai respon dari infeksi
bakteri. IL-8 membantu reaksi chemotaktik neutrofil. NO merupakan molekul
radikal bebas yang menyebabkan sitotoksisitas saat diproduksi dalam jumlah
banyak. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas blood-brain barrier (BBB). PAF
dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor pembekuan di
intravaskular. Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi
peningkatan permeabelitas BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai komponen
darah ke dalam ruang subarachnoid. Hal ini menyebabkan terjadinya edema
vasogenik dan peningkatan protein LCS. Sebagai respon terhadap molekul sitokin
dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari aliran darah menuju ke BBB yang
rusak sehingga terjadi gambaran pleositosis neutrofil yang khas untuk meningitis
bakterial. Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen
plasma ke dalam ruang subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga
terjadi edema interstitial, produk-produk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas
selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik. Edema serebral tesebut sangat
Meningitis 7
bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra kranial dan pengurangan
aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). 1
Metabolisme anaerob terjadi dan mengakibatkan peningkatan konsentrasi
laktat dan hypoglycorrhachia. Hypoglycorrhachia merupakan hasil dari
menurunnya transpor glukosa ke LCS. Jika proses yang tidak terkendali ini tidak
ditangani dengan baik, dapat terjadi disfungsi neuronal sementara atau pun
permanen. Tekanan tinggi intra kranial (TTIK) merupakan salah satu komplikasi
penting dari meningitis di mana keadaan ini merupakan gabungan dari edema
interstitial (sekunder terhadap obstruksi aliran LCS), edema sitotoksik (akibat
pelepasan produk toksik bakteri dan neutrofil) serta edema vasogenik
(peningkatan permeabelitas BBB). Edema serebral dapat menyebabkan terjadinya
midline shift dengan adanya penekanan pada tentorial dan foramen magnum.
Pergeseran ini akan menimbulkan herniasi gyri parahippocampus dan cerebellum.
Secara klinis keadaan ini ditunjukkan oleh adanya penurunan kesadaran dan reflek
postural, palsy nervus kranial III dan VI. Jika tidak diobati maka terjadi
dekortikasi dan deserebrasi yang secara pesat berkembang menjadi henti napas
atau henti jantung.1
e. Gambaran Klinis
Gejala dan tanda penting adalah demam tinggi, nyeri kepala, kaku kuduk,
kesadaran menurun. Tanda-tanda patognomonik yang memberikan pengarahan
kepada jenis bakteri yang bersangkutan dapat ditemukan dalam bentuk :2,3
a. ptekie dan purpura adalah khas untuk infeksi meningokokus
b. eksantema adalah indikatif untuk pneumokokus dan H.influenza
c. artritis dan artralgia sering mengiringi infeksi meningokokus dan H. Influenza
d. otitis media yang hilang timbul dengan banyak mengeluarkan eksudat
menunjuk pada infeksi penumokokus
e. hemoragi pada kulit yang cepat timbul dan berkombinasi dengan keadaan
shock adalah indikatif untuk septikemia meningokokus.
Meningitis 8
Tanda lokalisatorik yang khas untuk meningitis purulenta ialah kaku
kuduk dan likuor yang memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut :2
a. pleiositosis polinuklearis yang berjumlah lebih dari 1000 per mm kubik
b. kadar glukosa yang rendah
c. protein dalam likour meninggi
d. preparat dan biakan likuor memperlihatkan bakteri.
f. Diagnosis
Anamnesis
Pada meningitis purulenta suhu badan meninggi, umumnya terdapat nyeri
kepala hebat disertai nyeri dan kekakuan pada leher dan punggung, muntah, serta
fotofobia. Kecepatan onset nyeri kepala cukup cepat (menit hingga jam),
walaupun umumnya tidak mendadak seperti perdarahan subarakhnoid. Pasien
dapat mengalami penurunan kesadaran dan kejang, mungkin nadi mula-mula
melambat kemudian menjadi cepat, seringkali tidak teratur. Kesadaran menurun
dapat hingga koma. Pada meningitis meningokk dapat timbul petekhie pada
kulit.4,5
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan neurologis, selain tanda-tanda perangsangan meninges
dapat dijumpai paralisis nervi kraniales, mungkin pula pada anggota badan.
Mungkin terjadi hemiplegi sehingga menjadi diagnosis diferensial gangguan
peredaran darah otak.5
Tanda-tanda neurologis meliputi :4
- Meningismus : bukti iritasi meningen – kaku kuduk saat leher difleksikan,
tangisan bayi yang bernada tinggi/’meningeal cry’, tanda Kernig.
- Penurunan tingkat kesadaran
- Peningkatan tekanan intrakranial – edema papil, fontanel (ubun-ubun)
menonjol pada bayi.
- Palsi nervus kranialis dan tanda-tanda neurologis fokal lainnya.
Meningitis 9
Bila selaput otak meradang maka hal ini dapat merangsang selaput otak,
dan terjadilah iritasi meningeal atau rangsang selaput otak. Rangsangan selaput
otak dapat memberikan beberapa gejala, diantaranya :7
- Kaku kuduk (nucheal (neck) rigidity)
Kaku kuduk merupakan gejala yang sering dijumpai pada kelainan
rangsang selaput otak. Jarang mendiagnosis meningitis tanpa adanya gejala
ini.
Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan hal berikut : tangan
pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring.
Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai
dada. Selama penekukan i8ni diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku
kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku
kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Pada kaku kuduk yang berat, kepala
tidak dapat ditekuk, malah sering kepala terkedik ke belakang. Pada keadaan
yang ringan, kaku kuduk dinilai dari tahanan yang dialami waktu
menekukkan kepala.
- Tanda Laseque
Untuk pemeriksaan ini dilakukan hal berikut : pasien yang sedang
berbaring diluruskan (ekstensi) kedua tungkainya. Kemudian satu tungkai
diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi) pada persendian panggulnya. Tungkai
yang satu lagi harus selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus). Pada
keadaan normal, kita dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa
sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum kita
mencapai 70 derajat, maka disebut tanda Laseque positif. Namun demikian,
pada pasien yang sudah lanjut usianya diambil patokan 60 derajat. Tanda
Laseque positif dijumpai pada kelainan berikut : rangsang selaput otak,
isialgia, dan iritasi pleksus lumbosakral (misalnya hernia nukleus pulposus
lumbalis).
- Tanda Kernig
Pada pemeriksaan ini, penderita yang sedang berbaring difleksikan
pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah
itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut. Biasanya kita dapat
Meningitis 10
melakukan ekstensi ini sampai sudut 135 derajat, antara tungkai bawah dan
tungkai atas. Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut ini,
maka dikatakan bahwa tanda kernig positif terjadi pada kelainan rangsang
selaput otak, dan iritasi akan lumbosakral atau pleksusnya (misalnya pada
HNP-lumbal). Pada meningitis tandanya biasanya positif bilateral, sedangkan
pada HNP-lumbal dapat unilateral.
- Tanda brudzinski I
Untuk memeriksa tanda ini dilakukan hal berikut : dengan tangan yang
ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita tekukkan
kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi
sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan.
Bila tanda brudzinski positif, maka tindakan ini mengakibatkan fleksi kedua
tungkai. Sebelumnya perlu diperhatikan apakah tungkainya tidak lumpuh.
Sebab jika lumpuh, tentulah tungkai tidak akan difleksikan.
- Tanda Brudzinski II
Pada pasien yang sedang berbaring, satu tungkai difleksikan pada
persendian panggul, sedang tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan
ekstensi (lurus). Bila tungkai yang satu ini ikut pula terfleksi, maka disebut
tanda brudzinski II positif. Sebagaimana halnya dalam memeriksa adanya
tanda brudzinski I, perlu diperhatikan terlebih dahulu apakah terdapat
kelumpuhan pada tungkai.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah :
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan hitung jenis
leukosit, laju endap darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit,
kultur. Peda meningitis purulenta didapatkan peningkatan leukosit dengan
pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Pemeriksaan koagulasi (koagulasi
intravaskular diseminata). Elektrolit (hiponatremia). Kultur darah (dapat
positif walaupun cairan serebrospinal steril).3,4
2. Cairan serebrospinalis
Meningitis 11
Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi bakteri dari LCS dengan
metode lumbal punksi. Pada meningitis purulenta, diperoleh hasil
pemeriksaan cairan serebrospinal yang keruh karena mengandung pus, nanah
yang merupakan campuran leukosit yang hidup dan mati, jaringan yang mati
dan bakteri. Jumlah sel dapat mencapai beribu-ribu per mm3. Sebagain besar
terdiri atas leukosit polimorfonuklear. Pada yang berat dijumpai nanah. Kadar
protein tinggi, hingga melebihi 500 mg%. Kadar glukose menurun (kurang
dari setengah konsentrasi glukosa dalam darah, tetapi seringkali tidak
terdeteksi). Peningkatan tekanan cairan serebrospinal. Jangan lupakan
pemeriksaan mikrobiologis untuk menentukan kausa meningitis. Pemeriksaan
lumbal punksi pada penderita dengan perjalanan penyakit yang fulminan dan
memiliki respon imun yang lemah kadang-kadang tidak menunjukkan
perubahan kimiawi dan sitologis LCS.1,3,4,5
Pada kasus penderita yang tidak diterapi terjadi peningkatan jumlah
leukosit yang didominasi oleh sel Polimorfonuklear (PMN) pada saat
dilakukan pemeriksaan lumbal punksi. Pewarnaan gram dari cytocentrifuged
LCS dapat memperlihatkan morfologi bakteri. Spesimen LCS harus langsung
dikultur pada media agar darah atau agar cokelat. Kultur darah juga perlu
dilakukan. Apusan dari lesi petekiae juga dapat menunjukkan patogen
penyebab dengan pewarnaan gram. Pemeriksaan apus buffy coat juga dapat
memperlihatkan gambaran mikroorganisme intraseluler. Beberapa test
didasari oleh prinsip aglutinasi untuk mendeteksi antigen bakteri pada cairan
tubuh juga telah tersedia. Deteksi antigen bakteri dapat diperoleh dari
spesimen LCS, darah atau urin. Test jenis ini bermanfaat pada penderita
meningitis dengan riwayat pengobatan belum lengkap (Partially treated
meningitis/PTM) di mana bakteri tidak dapat berkembang biak pada LCS
tetapi antigennya tetap tinggal pada cairan tubuh penderita. Deteksi antigen
dalam urin berguna pada beberapa kasus karena urin dapat dikonsentrasikan
beberapa kali lipat di laboratorium. Beberapa bakteri gram negatif dan S.
pneumoniae serotipe tertentu yang memiliki antigen kapsuler dapat
memberikan reaksi silang dengan poliribofosfat HIB sehingga pewarnaan
gram spesimen LCS lebih spesifik dibandingkan rapid diagnostic test.1
Meningitis 12
Kontraindikasi pungsi lumbal pada pasien dengan kecurigaan
meningitis adalah edema papil, penurunan tingkat kesadaran, dan tanda
neurologis fokal. Pada pasien dengan gejala tersebut, diperlukan CT scan
kranial sebelum pungsi untuk menyingkirkan adanya lesi masa, misalnya
massa pada fosa posterior, yang dapat menyerupai meningitis.4
3. Pemeriksaan radiologis
- Foto kepala : periksa mastoid, sinus paranasal, gigi geligi
- Foto dada. Radiografi dada dan kranium (sinus) untuk mengidentifikasi
sumber infeksi primer.3,4
g. Diagnosa Banding
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan: 1
- Abses otak
- Tumor otak
- Vaskulitis SSP
- Lead encephalopathy
- Meningitis fungal
- Meningitis tuberculosis
- Tuberculoma
- Stroke
- Encephalitis
h. Komplikasi
Komplikasi akut meningitis adalah kejang, pembentukan abses,
hidrosefalus, sekresi hormon antidiuretik yang tidak sesuai, dan syok septik.
Manifestasi berat syok septik dengan koagulasi intravaskular diseminata dan
perdarahan adrenal adalah komplikasi meningitis meningokokal (sindroma Wate-
House-Friderichsen). Komplikasi penyakit mengingokokal lainnya adalah artritis,
baik artritis septik atau diperantarai kompleks imun.4
Meningitis 13
Sekuelae jangka panjang didapat pada 30% penderita dan bervariasi
tergantung etiologi, usia penderita, gejala klinis dan terapi. Pemantauan ketat
berskala jangka panjang sangat penting untuk mendeteksi sekuelae. Sekuelae pada
SSP meliputi tuli, buta kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia otot, ataxia,
kejang kompleks, retardasi motorik, kesulitan belajar, hidrocephalus non-
komunikan, atropi serebral. Gangguan pendengaran terjadi pada 20-30% anak.
Pemberian dini dexamethasone dapat mengurangi komplikasi audiologis pada
HIB meningitis. Gangguan pendengaran berat dapat menganggu perkembangan
bicara sehingga evaluasi audiologis rutin dan pemantauan perkembangan
dilakukan tiap kali kunjungan ke petugas kesehatan. Jika ditemukan sekuelae
motorik maka perlu dilakukan terapi fisik, okupasional, rehabilitasi untuk
menghindari kerusakan di kemudian hari dan mengoptimalkan fungsi motorik.1
i. Penatalaksanaan
Meningitis bakterial dapat menjadi fatal dalam hitungan jam, sehingga
penting dilakukan diagnosis dini dan tata laksana dengan antibiotik intravena
dosis tinggi yang sesuai. Terapi bertujuan memberantas penyebab infeksi disertai
perawatan intensif suportif untuk membantu pasien melaui masa kritis. Sementara
menunggu hasil pemeriksaan terhadap kausa diberikan obat sebagai berikut :3,4
1. Benzilpenisilin adalah obat pilihan untuk infeksi meningokokus dan
pneumokokus (walaupun terjadi peningkatan jumlah strai meningokokus dan
pneumokokus yang resisten terhadap penisilin). Dosis awal 2,4 gram diikuti
1,2 gram setiap 2 jam. Dalam 48-72 jam, jika terdapat bukti perbaikan klinis,
maka regimen obat dapat diberikan tiap 4-6 jam, walau dosis total hariannya
tetap sama (14,4 gram). Terapi harus dilanjutkan selama 7 hari setelah pasien
bebas demam (14 hari untuk infeksi pneumokokus). Pemberian
kloramfenikol, sefotaksim, atau seftriakson dosis tinggi intravena efektif
terhadap Haemophillus influenzae.
2. Kombinasi ampisilin 12-18 gram, kloramfenikol 4 gram, intravena dalam
dosis terbagi 4 kali per hari.
3. Dapat ditambah campuran trimetropim 80 mg, sulfametoksazol 400 mg IV.
4. Dapat pula ditambahkan seftriakson 4-6 gram intravena.
Meningitis 14
Jika organisme penyebab masih belum diketahui, maka digunakan
kombinasi benzilpenisilin dan sefotaksim atau seftriakson. Dokter umum harus
memberikan injeksi intravena atau intramuskular benzilpenisilin pada pasien
dengan kecurigaan meningitis meningokokal sebelum pasien dirujuk ke rumah
sakit. Jika pungsi lumbal ditunda karena harus dilakukan CT scan sebelumnya,
maka terapi antibiotik harus segera dimulai sebelum scan, setelah sebelumnya
diambil kultur darah.4
Bila sebab diketahui :3
1. Meningitis yang disebabkan pneumokok, meningokok
Ampisilin 12-18 gram intravena dalam dosis terbagi per hari, selama minimal
10 hari atau hingga sembuh.
2. Meningitis yang disebabkan Haemophylus influenza
Kombinasi ampisilin dan kloramfenikol seperti di atas, kloramfenikol
disuntikkan intravena 30 menit setelah ampisilin. Lama pengobatan minimal
10 hari. Bila pasien alergis terhadap penisilin, berikan kloramfenikol saja.
3. Meningitis yang disebabkan enterobacteriaceae
Sefotaksim 1-2 gram intravena tiap 8 jam. Bila resisten terhadap sefotaksim,
berikan : campuran trimetropin 80 mg dan sulfametoksazol 400 mg per infus
2 kali 1 ampul per hari, selama minimal 10 hari.
4. Meningitis yang disebabkan Staphylococcus aureus yang resisten terhadap
penisilin.
Berikan sefotaksim atau seftriakson 6-12 gram intravena. Bila pasien alergi
terhadap penisilin: Vankomisin 2 gram intravena per hari dalam dosis terbagi.
5. Bila etiologi tidak diketahui
Pada orang dewasa berikan ampisilin 12-18 gram intravena dalam dosis
terbagi dikombinasi dengan kloramfenikol 4 gram per hari intravena. Pada
anak ampisilin 400 mg/kgBB ditambah kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari
intravena. Pada neonatus ampisilin 100-200 mg/kgBB disertai gentamisin 5
mg/kgBB perhari.
Meningitis 15
Terapi umum lainnya meliputi : tirah baring, analgesik, antipiretik,
antikonvulsan untuk kejang, dan terapi suportif untuk koma, syok, peningkatan
tekanan intrakranial, gangguan elektrolit dan gangguan perdarahan. Semakin
banyak bukti menunjukkan bahwa terapi awal kortikosteroid intravena dosis
tinggi dengan antibiotik akan memperbaiki morbiditas dan mortalitas pada
meningitis bakterial.4
Lama pengobatan rata-ratanya sepuluh hari. Selama perawatam sepuluh
hari ini, dosis obat dapat dikurangi sesuai dengan keadaan. Setelah sepuluh hari
ini mobilisasi dapat dimulai secara berangsur. Bila ketika mobilisasi telah dimulai
suhu badan naik lagi, pengobatan dilanjutkan hingga keadaan membaik lagi.
Mobilisasi ditunda kurang lebih seminggu.5
Bila kesadaran menurun, perawatan yang diterapkan ialah perawatan
dalam keadaan koma. Tak jarang meningitis purulenta terjadi sebagai komplikasi
radang telinga tengah. Dalam hal ini perawatan infeksi telinga perlu dilakukan.
Nanah harus bisa keluar dari liang telinga hingga tidak tertimbun di dalam. Liang
telinga luar harus tetap terbuka dan tidak tersumbat.5
j. Pencegahan
Pencegahan dibagi 2 cara yaitu dengan kemoprofilaksis dan imunisasi.
- Kemoprofilaksis untuk N.meningitidis meningitis Semua individu yang
tinggal serumah dan petugas kesehatan yang kontak dengan penderita perlu
diberi kemoprofilaksis. Karena peningkatan resistensi terhadap sulfonamid
maka obat pilihannya adalah rifampin, ceftriaxone, ciprofloxacin. Sulfonamid
digunakan sebagai profilaksis pada keadaan tertentu di mana patogen tersebut
masih sensitif. Bahkan setelah kemoprofilaksis adekuat, kasus sekunder dapat
terjadi sehingga orang yang kontak dengan penderita harus segera mencari
pertolongan medik saat timbul gejala pertama kali. Dosis rifampin 600 mg
peroral tiap 12 jam selama 2 hari. * Kemoprofilaksis untuk HIB meningitis
Rifampin dengan dosis 20 mg/kg/hari untuk 4 hari dianjurkan kepada
individu yang kontak dengan penderita HIB meningitis. Jika anak usia 4
tahun atau lebih muda kontak dengan penderita maka anak tersebut harus
diberi profilaksis tanpa memedulikan status imunisasinya. Yang dimaksud
Meningitis 16
dengan ‘kontak’ adalah seseorang yang tinggal pada rumah yang sama
dengan penderita atau seseorang yang telah menghabiskan 4 jam atau lebih
waktunya per hari dengan penderita tersebut selama 5-7 hari sebelum
diagnosis ditegakkan. Jika 2 atau lebih kasus HIB meningitis terjadi pada
anak yang mendatangi tempat pelayanan kesehatan maka petugas kesehatan
dan anak-anak lain perlu diberi profilaksis.1,4
- Imunisasi untuk pencegahan infeksi Haemophillus influenza (menggunakan
vaksin Haemopholus influenza tipe b) direkomendasikan untuk diberikan
secara rutin pada anak berusia 2,3 dan 4 bulan, dan telah mengurangi
insidensi meningitis yang disebabkan oleh organisme ini. Imunisasi massal di
seluruh dunia terhadap infeksi HIB telah memberikan penurunan dramatis
terhadap insidensi meningitis. FDA (Food and Drug Administration) telah
meluncurkan vaksin konjugasi pneumococcal yang pertama (Prevnar) pada
April 2000. Semua bayi dianjurkan untuk menerima imunisasi yang
mengandung antigen dari 7 subtipe pneumococcal. Vaksin quadrivalent yang
mengandung antigen subgrup A, C, Y, W-135 dianjurkan untuk kelompok
resiko tinggi termasuk penderita dengan imunodefisiensi, penderita dengan
asplenia anatomik atau fungsional, defisiensi komponen terminal komplemen.
Vaksin ini terdiri dari 50 mcg polisakarida bakteri yang telah dimurnikan.
The Advisory Committee on Imunization Practices (ACIP) menganjurkan
penggunaan vaksin ini untuk siswa sekolah yang tinggal di asrama-asrama.1,4
k. Prognosis
Mortalitas meningitis bakterial akut kira-kira 10% dari keseluruhan – lebih
tinggi pada infeksi Streptococcus pneumoniae. Penyakit pneumokokus juga lebih
sering menyebabkan gejala sisa jangka panjang (kurang dari 30% kasus) seperti
hidrosefalus, palsi nervus kranialis, defisit visual dan motorik, serta epilepsi. Anak
dengan meningitis bakterial akut dapat mengalami gangguan perilaku, kesulitan
belajar, hilangnya pendengaran, dan epilepsi.4
Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi
mendapatkan sekuelae atau resiko kematian. Adanya kejang dalan suatu episode
meningitis merupakan faktor resiko adanya sekuelae neurologis atau mortalitas.
Meningitis 17
Meningitis yang disebabkan oleh S. pneumoniae, L. monocytogenes dan basil
gram negatif memiliki case fatality rate lebih tinggi daripada meningitis oleh
bakteri lain. Prognosis meningitis yang disebabkan oleh patogen oportunistik juga
bergantung pada daya tahan tubuh inang.1
2.2 Meningitis Serosa
Meningitis serosa terjadi apabila pada penderita terdapat gambaran klinis
meningitis, tetapi pada pemeriksaan cairan serebrospinal tidak sampai berwarna
keruh. Cairan tampak opalesen karena terdapat peninggian jumlah sel, dan
berwarna kuning karena adanya peninggian protein. Penyebabnya dapat
disebabkan oleh bakteri (meningitis tuberkulosa), virus (meningitis
virus/meningitis aseptik), jamur (meningitis jamur), maupun parasit (syphilitic
meningitis).
2.2.1 Meningitis Tuberkulosa
a. Definisi
Meningitis tuberkulosa adalah radang selaput otak akibat komplikasi
tuberkulosis primer. Secara histologik meningitis tuberkulosa merupaan meningo-
ensefalitis (tuberkulosa) di mana terjadi invasi ke selaput dan jaringan susunan
saraf pusat.8
b. Penyebab
Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosa jenis
hominis, jarang oleh jenis bovinum atau aves.8
c. Faktor resiko
Penyakit ini kebanyakan terdapat pada penduduk dengan keadaan sosio
ekonomi rendah, penghasilan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, perumahan
tidak memnuhi syarat kesehatan minimal hidup dan tinggal atau tidur berdesakan,
kekurangan gizi, higiene yang buruk, faktor suku atau ras, kurang atau tidak
mendapat fasilitas imunisasi dsb.8
Meningitis tuberkulosa dapat terjadi pada setiap umur terutama pada anak
antara 6 bulan sampai 5 tahun, jarang terdapat di bawah umum 6 bulan kecuali
Meningitis 18
apabila angka kejadian tuberkulosis sangat tinggi. Paling sering terjadi di bawah
umur 2 tahun, yaitu antara 9 sampai 15 bulan.8
d. Patofisiologi
Meningitis tuberulosa selalu terjadi sekunder dari proses tuberkulosis
primer di luar otak. Fokus primer biasanya di paru-paru, tetapi bisa juga pada
kelenjar getah bening, tulang, sinus naseales, traktus gastro-intestinalis, ginjal,
dsb. Dengan demikian meningitis tuberkulosa terjadi sebagai omplikasi
penyebaran tuberkulosis paru-paru.8
Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung pada selaput
otak oleh penyebaran hematogen, tetapi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel
kecil (beberapa milimeter sampai 1 sentimeter), berwarna putih. Terdapat pada
permukaan otak, selaput otak, sumsum tulang belaang, tulang. Tuberkel tadi
kemudian melunak, pecah dan masuk ke dalam ruang subarakhnoid dan
ventrikulus sehingga terjadi peradangan yang difus. Secara miroskopik tuberkel-
tuberkel ini tidak dapat dibedakan dengan tuberkel-tuberkel di bagian lain dari
kulit dimana terdapat pengijuan sentral dan dikelilingi oleh sel-sel raksasa,
limfosit, sel-sel plasma dan dibungkus oleh jaringan ikat sebagai penutup atau
kapsul.2,5,8
Penyebaran dapat pula terjadi secara perkontinuitatum dari peradangan
organ atau jaringan didekat selaput otak seperti proses di nasofaring, pneumonia,
bronkopneumonia, endokarditis, otitis media, mastoiditis, trombosis sinus
kavernosus atau spondilitis. Penyebaran kuman dalam ruang subarakhnoid
menyebabkan reaksi radang pada pia dan arahknoid, css, ruang subarakhnoid dan
ventrikulus.5,
Akibat reaksi radang ini adalah terbentuknya eksudat ental, serofibrinosa
dan gelatinosa oleh kuman-kuman dan toksin yang mengandung sel-sel
mononuklear, limfosit sel plasma, makrofag, sel raksasa dan fibroblas. Eksudat ini
tidak terbatas di dalam ruang subarakhnoid saja, tetapi terutama terkumpul didasar
tengkorak. Eksudat juga menyebar melalui pembuluh-pembuluh darah pia dan
menyerang jaringan otak dibawahnya, sehingga proses sebenarnya adalah
meningo-ensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat duktus sylvii, foramen
Meningitis 19
magendi, foramen luschka dengan aibat terjadinya hidrosefalus, edema papil dan
peningkatan tekanan intraranial. Kelainan juga terjadi pada pembuluh-pembuluh
darah yang berjalan dalam ruang subarakhnoid berupa kongesti, peradangan dan
penyumbatan, sehingga selain ateritis dan flebitis juga mengakibatkan infark otak
terutama pada bagian korteks, medula oblongata dan ganglia basalis yang
emudian mengakibatkan perlunaka otak dengan segala akibatnya.5,8
e. Gambaran Klinis
Stadium I
Stadium prodromal berlangsung lebih kurang 2 minggu sampai 3 bulan.
permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa panas atau hanya kenaikan suhu
yang ringan atau hanya dengan tanda-tanda infeksi umum, muntah-muntah, tak
ada nafsu maan, murung, berat badan turun, tak ada gairah, mudah tersinggung,
cengeng, tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis. Gejala-gejala
tadi lebih sering terlihat pada anak kecil. Anak yang lebih besar mengeluh nyeri
kepala, tak ada nafsu makan, obstipasi, muntah-muntah, pola tidur terganggu.
Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang-timbul, nyeri kepala, konstipasi,
tak ada nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, delusi dan sangat
gelisah.8
Stadium II
Gejala-gejala terlihat lebih berat, terdapat kejang umum atau fokal
terutama pada anak kecil dan bayi. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulain
nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku dan timbul opistotonus, terdapat tanda-
tanda peningkatan tekanan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih
hebat. Nyeri kepala yang bertambah berat dan progresif menyebabkan si ana
berteriak dan menangis dengan nada yang khas yaitu meningeal cry. Kesadaran
makin menurun. Terdapat gangguan nyeri kraniales. Dalam stadium ini dapat
terjadi defisit neurologik fokal seperti hemiparesis, hemiplegia karena infarota dan
rigiditas deserebrasi. Pada funduskopi dapat ditemukan atrofi N.II dan khoroid
tuberkel yaitu elainan pada retina yang tampak seperti busa berwarna uning dan
ukurannya sekitar setengah diameter papil.8
Meningitis 20
Stadium III
Dalam stadium ini suhu tidak teratur dan semakin tinggi yang disebaban
oleh tergangguanya regulasi pada diensefalon. Pernafasan dan nadi juga tak
teratur dan terdapat gangguan pernafasan dalam bentuk Cheyne-stokes atau
kusmaul. Gangguan miksi berupa retensi atau inkontinensia urin. Didapatkan pula
adanya gangguan kesadaran main menurun sampai koma yang dalam. Pada
stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu 3 minggu bila tidak
memperoleh pengobatan sebagaimana mestinya.8
f. Diagnosis
Anamnesa diarahkan pada riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis,
keadaan sosio-ekonomi, imunisasi, dsb. Sementara itu gejala-gejala yang khas
untuk meningitis tuberulosa ditandai oleh tekanan intrakranial yang meninggi,
muntah yang hebat, nyeri kepala yang progresif, dan pada bayi tampak fontanela
yang menonjol.8
Pungsi lumbal memperlihatkan CSS yang jernih, kadang-kadang sedikit
keruh atau ground glass appereance. Bila CSS didiamkan maka akan terjadi
pengendapan fibrin yang halus seperti sarang laba-laba. Jumlah sel antara 10-
500/ml dan kebanyaan limfosit. Kadang-kadang oleh reaksi tuberkulin yang hebat
terdapat peningkatan jumlah sel, lebih dari 1000/ml. Kadar glukosa rendah, antara
20-40 mg%, kadara klorida dibawah 600mg%. CSS dan endapan sarng laba-laba
dapat diperiksa untuk pembiakan atau kultur menurut pengecatan Ziehl-Nielsen
atau Tan Thiam Hok.5,8,9
Tes tuberkulin terutama dilakukan pada bayi dan anak kecil. Hasilnya
sering kali negatif karena anergi, terutama pada stadium terminal.8
Pemeriksaan lainnya meliputi foto dada dan kolumna vertebralis, rekaman
EEG, dan CT scan. Semuanya disesuaikan dengan temuan klinik yang ada, atau
didasarkan atas tujuan tertentu yang jelas arahnya.8
g. Diagnosis banding
Meningitis 21
Pada stadium prodromal sukar dibedakan dengan penyait infeksi sistemik
yang disertai kenaikan suhu. Jenis-jenis meningitis bakterial lainnya perlu
diperitmbangan secara seksama. Hal ini berkaitan erat dengan program terapi.8
h. Penatalaksanaan
Perawatan umum
Penderita meningitis tuberkulosa harus di rawat di rumah sakit, dibagian
perawatan intensif. Dengan menentukan diagnosis secepat dan setepat mungkin,
pengobatan dapat segera dimulai.
Perawatan penderita meliputi berbagai aspe yang harus diperhatikan
dengan sungguh-sungguh, antara lain kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan
gizi pada umumnya, posisi penderita, perawatan kandung kemih dan defekasi,
serta perawatan umum lainnya sesuai dengan kondisi penderita.8
Pengobatan
Saat ini telah tersedia berbagai macam tuberkulostatika. Tiap jenis
tuberkulostatika mempunyai spesifikasi farmakologik tersendiri. Berikut ini
adalah beberapa contoh tuberulostatika yang dapat diperoleh di Indonesia.4,8,9
1. Isoniazida atau INH, diberikan dengan dosis 10-20 mg/kg BB/hari (pada
anak) dan pada dewasa dengan dosis 400 mg/hari
2. Streptomisisn, diberikan intramuskular selama lebih kurang 3 bulan, tidak
boleh terlalu lama. Dosisnya adalah 30-50 mg/kgBB/hari. Oleh karena
bersifat autotoksik maka harus diberikan dengan hati-hati; bila perlu
dilakukan pemeriksaan audiogram. Bila perlu pemberian streptomisin dapat
diteruskan 2 kali seminggu selama 2-3 bulan sampai CSS menjadi normal.
sementara itu obat jenis lain dapat diteruskan sampai lebih kurang 2 tahun.
3. Rifampisin, diberikan dengan dosis 10-20 mg/kg BB/hari. Pada orang dewasa
dapat diberikan dengan dosis 600 mg/hari, dengan dosis tunggal. Pada anak-
anak di bawah 5 tahun harus bersiap hati-hati karena dapat menyebabkan
neuritis optik.
Meningitis 22
4. PAS atau para-amino-salysilic acid, diberikan dengan dosis 200 mg/kg
bb/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dapat diberikan sampai 12 gram/hari. PAS
sering menyebabkan gangguan nafsu makan.
5. Etambutol, diberikan dengan dosis 25 mg/kg bb/hari sampai 1500 mg/hari,
selama lebih kurang 2 bulan. obat ini dapat menyebabkan neuritis optika.
Pada umumnya tuberkulostatika diberikan dalam bentuk kombinasi, dikenal
sebagai triple drug, ialah kombinasi antara INH dengan dua jenis
tuberkulostatika lainnya. Dalam keadaan demikian ini kita harus selalu kritis
untuk menilai efetivitas masing-masing obat, terutama dala hal timbulnya
resistensi.
6. Kortikosteroid, biasanya dipergunakan prednison dengan dosis 2-3 m/kg bb/
hari (dosis normal 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 2-4 minggu
kemudian diteruskan dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1-2 minggu.
Pemberian kortiosteroid seluruhnya adalah lebih kurang 3 bulan.
7. Pemberian tuberkulin intratekal, ditujukan untuk mengaktivasi ensm
lisosomal yang menghancurkan eksudat di bagian dasar otak.
8. Pemberian enzim proteolitik seperti streptokinasi secara intratekal
mempunyai tujuan untuk menghalangi adesi. Bila pengobatan diberikan cepat
dan tepat, biasanya berhasil setelah 7-10 hari. Secara klinis biasanya ditandai
dengan hilangnya nyeri kepala dan gangguan mental.
i. Prognosis
Bila meningitis tuberkulosa tidak diobati, prognosisnya jelek sekali.
Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Prognosis ditentukan oleh
kapan pengobatan dimulai dan pada stadium berapa umur penderita juga
mempengaruhi prognosis. Anak dibawah 3 tahun dan dewasa di atas 40 tahun
mempunyai prognosis yang jelek.8
Meningitis 23
2.2.2 Meningitis viral
a. Definisi
Meningitis viral merupakan inflamasi dari leptomeningen sebagai
manifestasi dari infeksi SSP. Istilah viral digunakan karena merupakan agen
penyebab, dan penggunaan meningitis saja mengimplikasikan tidak terlibatnya
parenkim otak dan medula spinalis. Namun, patogen virus dapat menyebabkan
kombinasi dari infeksi yaitu meningoencephalitis atau meningomielitis.10,12
Pada meningitis viral, perjalanan klinis biasanya terbatas, dengan
pemulihan komplit pada 7-10 hari. Lebih dari 85% kasus disebabkan oleh
enterovirus non polio; maka, karakteristik penyakit, manifestasi klinis, dan
epidemiologi menunjukkan infeksi enteroviral. Campak, polio, dan limfositik
choriomeningitis virus (LCMV) saat ini merupakan ancaman untuk negara
berkembang. Polio tetap merupakan penyebab utama dari mielitis pada beberapa
daerah di dunia.10,12
b. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, lebih dari 10,000 kasus dilaporkan setiap tahunnya,
tetapi insiden sesungguhnya dapat mencapai hingga 75,000. Kurangnya pelaporan
dikarenakan tidak ada hasil klinis kebanyakan kasus dan ketidakmampuan dari
beberapa agen viral untuk tumbuh dalam kultur. Menurut laporan CDC,
perawatan pasien dalam rumah sakit dari meningitis virus bervariasi dari 25,000-
50,0000 setiap tahun. Dalam beberapa laporan insiden diperkirakan 11 per
100,000 populasi pertahun.10
Persebaran insiden dari klinis meningitis viral di dunia bervariasi.
Penyebab meningitis viral di dunia termasuk enterovirus, virus campak, VZV, dan
HIV. Gejala meningitis dapat timbul sedikit pada 1 dari 3000 kasus infeksi oleh
agen ini. Studi dari Finlandia memperkirakan insiden 19 per 100,000 populasi
pada anak usia 1-4 tahun. Hal ini merupakan contrast signifikan hingga 219 kasus
per 100,000 yang diperkirakan untuk anak lebih muda dari 1 tahun.10
c. Etiologi12
Meningitis 24
Enteroviruses menyebabkan lebih dari 85% semua kasus meningitis virus.
Mereka merupakan keluarga dari Picornaviridae (“pico” untuk kecil, “rna”
untuk asam ribonukleat), dan termasuk echovirus, coxsackie virus A dan B,
poliovirus, dan sejumlah enterovirus. Nonpolio enterovirus merupakan virus
yang sering, sama dekat ya dengan prevalensi rhinoviruses.
Cacar: sejumlah keluarga dari Paramyxovirus, virus cacar merupakan agen
pertama dari meningitis dan meningoensefalitis.
Virus keluarga herpes: HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, dan herpes virus
manusia 6 secara kolektif menyebabkan sekitar 4% kasus meningitis viral,
dengan HSV-2 menjadi penyerang terbanyak.
Lymphocytic choriomeningitis virus: LCMV masuk k edalam keluarga
arenaviruses. Saat ini adalah jarang penyebab meningitis, virus
ditransmisikan ke manusia melalui kontak dengan tikus atau ekskeresi
mereka. Mereka berada pada resiko tinggi pada pekerja laboratorium, pemilik
binatang peliharaan, atau orang yang hidup dia area non higienis.
Adenovirus: Adenovirus merupakan penyebab jarang dari meningitis pada
individu immunocompeten tetapi merupakan penyebab utama pada pasien
AIDS, Infeksi dapat timbul secara simultan dengan infeksi saluran nafas atas.
Campak: Morbili virus ini merupakan penyebab yang paling jarang saat ini.
Karakteristik ruam makulopapular membantu dalam diagnosis. Kebanyakan
kasus timbul pada orang usia muda di sekolah dan perkuliahan. Campak tetap
merupakan ancaman kesehatan dunia dengan angka penyerangan tertinggi
dari infeksi yang ada; eradikasi dari campak merupakan tujuan kesehatan
masyarakat yang penting dari WHO.
d. Patofisiologi
Patogen virus dapat mencapai akses SSP melalui 2 jalur utama: hematogen
atau neural. Hematogen merupakan jalur tersering dari viral patogen yang
diketahui. Penetrasi neural menunjukkan penyebaran disepanjang saraf dan
biasanya terbatas pada herpes viruses (HSV-1, HSV-2, dan varicella zoster virus
[VZV] B virus), dan kemungkinan beberapa enterovirus.2,10
Meningitis 25
Pertahanan tubuh multiple mencegah inokulum virus dari penyebab infeksi
signifikan secara klinis. Hal ini termasuk respon imun sistemik dan local, barier
mukosa dan kulit, dan blood-brain barrier (BBB). Virus bereplikasi pada system
organ awal (ie, respiratory atau gastrointestinal mucosa) dan mencapai akses ke
pembuluh darah. Viremia primer memperkenalkan virus ke organ
retikuloendotelial (hati, spleen dan nodus lymph) jika replikasinya timbul
disamping pertahanan imunologis, viremia sekunder dapat timbul, dimana
dipikirkan untuk bertanggung jawab dalam CNS. Replikasi viral cepat tampaknya
memainkan peranan dalam melawan pertahanan host.2,10
Mekanisme sebenarnya dari penetrasi viral kedalam CNS tidak
sepenuhnya dimengerti. Virus dapat melewati sawar darah otak (Blood-brain
barrier) secara langsung pada level endotel kapiler atau melalui defek natural
(area posttrauma dan tempat lain yang kurang BBB). Respon inflamasi terlihat
dalam bentuk pleocytosis; polymorphonuclear leukocytes (PMNs) menyebabkan
perbedaan jumlah sel pada 24-48 jam pertama, diikuti kemudian dengan
penambahan jumlah monosit dan limfosit. Limfosit CSF telah dikenali sebagai sel
T, meskipun imunitas sel B juga merupakan pertahanan dalam melawan beberapa
virus.2,10
Bukti menunjukkan bahwa beberapa virus dapat mencapai akses ke CNS
dengan transport retrograde sepanjang akar saraf. Sebagai contoh, jalur ensefalitis
HSV-1 adalah melalui akar saraf olfaktori atau trigeminal, dengan virus dibawa
oleh serat olfaktori ke basal frontal dan lobus temporal anterior.2,10
e. Diagnosa2,10,11,12,13
Anamnesa
Kebanyakan pasien melaporkan demam, sakit kepala, iritabilitasm nausea,
muntah, kaku leher, atau kelelahan dalam 18-36 jam sebelumnya.
Nyeri kepala hampir selalu ada dan seringkali dilaporkan dengan intensitas
yang berat. Bagaimanapun, deskripsi klasik dari ‘sakit kepala terburuk dari
hidup saya’, ditujukan kepada perdarahan sub arachnoid aneurisma, adalah
tidak biasa
Meningitis 26
Gejala konstitusional lain adalah muntah, diare, batuk dan mialgia yang
timbul pada lebih 50% pasien.
Riwayat kenaikan temperature timbul pada 76-100% pasien yang datang
untuk mendapatkan perhatian medis. Pola yang sering adalah demam dengan
derajat rendah pada tahap prodromal dan kenaikan temperature yang lebih
tinggi pada saat terdapat tanda neurologis.
Beberapa virus menyebabkan onset cepat dari gejala diatas, sementara
lainnya bermanifestasi sebagai prodromal viral nonspesifik, seperti mialgia,
gejala seperti flu, dan demam derajat rendah yang timbul selama gejala
neurologis sekitar 48 jam. Dengan onset kaku kuduk dan nyeri kepala,
demam biasanya kembali.
Pengambilan riwayat yang hati-hati dan harus termasuk evaluasi paparan
kontak kesakitan, gigitan nyamuk, debu, aktivitas outdoor pada daerah
endemis penyakit lyme, riwayat bepergian dengan kemungkinan terpapar
terhadap tuberculosis, sama halnya dengan penggunaan medikasi,
penggunaan obat intravena, dan resiko penyebaran penyakit menular seksual.
Bagian yang penting dari riwayat adalah penggunaan antibiotic sebelumnya,
dimana dapat mempengaruhi gambaran klinis meningitis bakterial.
Pemeriksaan Fisik
Penemuan fisik umum pada meningitis viral adalah sering untuk semua agen
penyebab, tetapi beberapa virus mempunyai manifestasi klinis unik yang
dapat membantu pendekatan diagnostic yang terfokus. Pembelajaran klasik
mengajarkan bahwa trias meningitis meliputi demam, rigiditas nuchal, dan
perubahan status mental, meskipun tidak semua pasien mempunyai gejala ini,
dan nyeri kepala hamper selalu timbul. Pemeriksaan menunjukkan tidak ada
deficit neurologis fokal pada kebanyakan kasus.
Demam lebih sering (80-100% cases) dan biasanya bervariasi antara 38ºC
and 40ºC.
Rigiditas nuchal atau tanda lain dari iritasi meningeal (tanda Brudzinski atau
Kernig) dapat terlihat lebih pada setengah pasien tetapi secara umum kurang
berat dibandingkan dengan meningitis bakterial.
Meningitis 27
Gambar 6 Tanda Kernig(11)Gambar 5 Tanda Brudzinski(10)
Iritabilitas, disorientasi, dan perubahan status mental dapat terlihat.
Nyeri kepala lebih sering dan berat.
Photophobia secara ralatif adalah sering namun dapat ringan, Fonofobia juga
dapat timbul.
Kejang timbul pada keadaaan biasanya dari demam, meskipun keterlibatan
dari parenkim otak (encephalitis) juga dipertimbangkan, Encephalopathy
global dan deficit neurologis fokal adalah jarang tetapi dapat timbul. Refleks
tendon dalam biasanya normal tetapi dapat berat.
Tanda lain dari infeksi viral spesifik dapat membantu dalam diagnosis. Hal
ini meliputi faringitis dan pleurodynia pada infeksi enteroviral, manifestasi
kulit seperti erupsi zoster pada VZV, ruam maculopapular dari campak dan
enterovirus, erupsi vesicular oleh herpes simpleks, dan herpangina pada
infeksi coxsackie virus. Infeksi Epstein Bar virus didukung oleh faringitis,
limfadenopati, cytomegalovirus, atau HLV sebagai agent penyebab. Parotitis
dan orchitis dapat timbul dengan campak, sementara kebanyakan infeksi
enteroviral dikaitkan dengan gastroenteritis dan ruam.
Pemeriksaan penunjang
Studi Laboratorium
Pemeriksaan hematologi dan kimia harus dilakukan
Pemeriksaan CSF merupakan pemeriksaan yang penting dalam
pemeriksaan penyebab meningitis. CT Scan harus dilakukan pada kasus
yang berkaitan dengan tanda neurologis abnormal untuk menyingkirkan
lesi intrakranial atau hidrosefalus obstruktif sebelum pungsi lumbal (LP).
Kultur CSF tetap kriteria standar pada pemeriksaan bakteri atau piogen
dari meningitis aseptic. Lagi-lagi, pasien yang tertangani sebagian dari
meningitis bakteri dapat timbul dengan pewarnaan gram negative dan
maka timbul aseptic. Hal berikut ini merupakan karakteristik CSF yang
digunakan untuk mendukung diagnosis meningitis viral:
o Sel: Pleocytosis dengan hitung WBC pada kisaran 50 hingga >1000
x 109/L darah telah dilaporkan pada meningitis virus, Sel
mononuclear predominan merupakan aturannya, tetapi PMN dapat
merupakan sel utama pada 12-24 jam pertama; hitung sel biasanya
Meningitis 28
kemudian didominasi oleh limfosit pada pole CSF klasik meningitis
viral. Hal ini menolong untuk membedakan meningitis bakterial dari
viral, dimana mempunyai lebih tinggi hitung sel dan predominan
PMN pada sel pada perbedaan sel; hal ini merupakan bukan
merupakan atran yang absolute bagaimanapun.
o Protein: Kadar protein CSF biasanya sedikit meningkat, tetapi dapat
bervariasi dari normal hingga setinggi 200 mg/dL.
Studi Pencitraan
o Pencitraan untuk kecurigaan meningitis viral dan ensefalitis dapat
termasuk CT Scan kepala dengan dan tanpa kontras, atau MRI otak
dengan gadolinium.
o CT scan dengan contrast menolong dalam menyingkirkan patologi
intrakranial. Scan contrast harus didapatkan untuk mengevaluasi
untuk penambahan sepanjang mening dan untuk menyingkirkan
cerebritis, abses intrakranial, empyema subdural, ataulesi lain.
Secara alternative, dan jika tersedia, MRI otak dengan gadolinium
dapat dilakukan.
o MRI dengan contrast merupakan standar kriteria pada
memvisualisasikan patologi intrakranial pada encephalitis viral.
HSV-1 lebih sering mempengaruhi basal frontal dan lobus temporal
dengan gambaran sering lesi bilateral yang difus.
Tes Lain
o Semua pasien yang kondisinya tidak membaik secara klinis dalam
24-48 jam harus dilakukan rencana kerja untuk mengetahui
penyebab meningitis.
o Dalam kasus ensefalitis yang dicurigai, MRI dengan penambahan
kontras dan visualisasi yang adekuat dari frontal basal dan area
temporal adalah diperlukan.
o EEG dapat dilakukan jika ensefalitis atau kejang subklinis dicurigai
pada pasien yang terganggu, Periodic lateralized epileptiform
discharges (PLEDs) seringkali terlihat pada ensefalitis herpetic.
f. Diagnosa banding2,12
Meningitis 29
Acute Disseminated Encephalomyelitis
Aseptic Meningitis
Brucellosis
Cytomegalovirus Encephalitis
Herpes Simplex Encephalitis
g. Penatalaksanaan10,11,12
Perawatan Medis
Terapi untuk meningitis viral kebanyakan suportif. Istirahat, hidrasi,
antipiretik, dan medikasi nyeri atau anti inflamasi dapat diberikan jika diperlukan,
Pasien dengan tanda dan gejala dari meningoensefalitis harus menerima asiklovir
lebih awal untuk mencegah encephalitis HSV. Terapi dapat dimodifikasi sebagai
hasil dari pewarnaan gram, kultur dan uji PCR ketika telah tersedia. Pasien dalam
kondisi yang tidak stabil membutuhkan perawatan di critical care unit untuk
menjaga saluran nafas, pemeriksaan neurologis, dan pencegahan dari komplikasi
sekunder.
Enterovirus dan HSV keduanya mampu menyebabkan septic shock viral
pada bayi baru lahir dan bayi. Pada pasien muda ini, broad spectrum antibiotic
dan asikloviar harus diberikan secepatnya ketika diagnosis dicurigai. Perhatian
khusus harus diberikan terhadap cairan dan keseimbangan elektrolit (terutama
natrum). Restriksi cairan, diuretic, dan secara jarang infuse salin dapat digunakan
untuk mengatasi hiponatremia. Pencegahan terhadap infeksi sekunder dari traktus
urinarius dan system pulmoner juga penting untuk dilaksanakan
Medikasi
Kontrol simptomatik dengan antipiretik, analgetik dan anti emetic
biasanya itu semua yang dibutuhkan dalam management dari meningitis viral
yang tidak komplikasi.
Keputusan untuk memulai terapi antibakterial untuk kemungkinan
meningitis bakteri adalah penting; terapi antebakterial empiris untuk kemungkinan
patogen harus dipertimbangkan dalam konteks keadaan klinis. Asiklovir harus
digunakan pada kasus dengan kecurigaan HSV (pasien dengan lesi herpetic), dan
Meningitis 30
biasanya digunakan secara empiris pada kasus yang lebih berat yang
komplikasinya encephalitis atau sepsis.
Agen Antiemetik: Agen ini digunakan dengan luas untuk mencegah mual dan
muntah.
- Ondansetron (Zofran) Antagonis selektif 5-HT3-receptor yang
menghentikan serotonin di perifer dan sentral, Mempunyai efikasi pada
pasien yang tidak berespon baikterhadap anti emetik lain. Dewasa: 4-8
mg IV q8h/q12h. Pediatrik: 0.1 mg/kg IV lambat maximum 4 mg/dosis;
dapat diulang q12h
- Droperidol (Inapsine): Agen neuroleptik yang mengurangi muntah
dengan menghentikan stimulasi dopamine dari zona pemicu
kemoreseptor. Juga mempunyai kandungan antipsikotik dan sedative.
Dewasa: 2.5-5 mg IV/IM q4-6 prn. Pediatrik: 6 bulan: 0.05-0.06
mg/kg/dose IV/IM q4-6 prn
Agen Antiviral: Terapi anti enteroviral masih dibawah investigasi untuk
meningitis viral dan dapat segera tersedia. Regimen anti HIV dan anti
tuberculosis tidak dibicarakan disini, tetapi sebaiknya digunakan jika infeksi
ini dengan kuat mendukung secara klinis atau telah dikonfirmasi dengan
pengujian. BN’Terapi empiris dapat dihentikan ketika penyebab meningitis
viral telah tegak dan meningitis bakterial telah disingkirkan
- Acyclovir (Zovirax): Untuk diberikan secepatnya ketika diagnosis
herpetic meningoencephalitis dicurigai. Menghambat aktivitas untuk
kedua HSV-1 and HSV-2. Dewasa: 30 mg/kg/d IV dibagi q8h for 10-14
hari. Pediatrik: 30 mg/kg/d IV dibagi q8h untuk 10 hari.
h. Prognosis
Prognosis untuk meningitis viral adalah bonam karena kebanyakan orang
bisa sembuh tanpa efek nyata, namun penelitian baru-baru ini telah menemukan
bahwa beberapa pasien dengan meningitis viral dapat mengembangkan jangka
pendek kehilangan memori dan defisit perhatian. Ada juga beberapa bukti bahwa
Meningitis 31
anak-anak yang memiliki meningitis viral di bawah usia 1 tahun, dapat
mengembangkan masalah neurologis halus di kemudian hari.10,11,12
Meningitis 32
BAB 3
KESIMPULAN
Meningitis adalah proses infeksi dan inflamasi yang terjadi pada selaput
otak. Infeksi ini disertai dengan frekuensi komplikasi akut dan resiko morbiditas
kronis yang tinggi. Klinis meningitis dan pola pengobatannya selama masa
neonatus (0 – 28 hari) biasanya berbeda dengan polanya pada bayi yang lebih tua
dan anak – anak. Meningitis dapat terjadi karena infeksi virus, bakteri, jamur
maupun parasit. Meskipun demikian, pola klinis meningitis pada masa neonatus
dan pasca – neonatus dapat tumpang tindih, terutama pada penderita usia 1 – 2
bulan dimana Streptococcus group B, H. influenzae tipe B, meningococcus, dan
pneumococcus semuanya dapat menimbulkan meningitis.
Tanpa memandang etiologi, kebanyakan penderita dengan infeksi sistem
saraf pusat mempunyai sindrom yang serupa. Gejala – gejala yang lazim adalah :
nyeri kepala, nausea, muntah, anoreksia, gelisah dan iritabilitas. Sayangnya,
kebanyakan dari gejala – gejala ini sangat tidak spesifik. Tanda – tanda infeksi
sistem saraf pusat yang lazim, disamping demam adalah : fotofobia, nyeri dan
kekakuan leher, kesadaran kurang, stupor, koma, kejang – kejang dan defisit
neurologis setempat. Keparahan dan tanda – tanda ditentukan oleh patogen
spesifik, hospes dan penyebaran infeksi secara anatomis
Penyakit ini menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang signifikan
di seluruh dunia. Keadaan ini harus ditangani sebagai keadaan emergensi.
Kecurigaan klinis meningitis sangat dibutuhkan untuk diagnosis. Bila tidak
terdeteksi dan tidak diobati, meningitis dapat mengakibatkan kematian.
Selama pengobatan meningitis, perlu dimonitor efek samping penggunaan
antiobiotik dosis tinggi; periksa darah perifer serial, uji fungsi hati dan uji fungis
ginjal. Perlu dilakukan pemantauan ketat terhadap tumbuh kembang pasien yang
sembuh dari meningitis.
Meningitis 33
DAFTAR PUSTAKA
1. Hasbun, Rodrigo. Meningitis. Medscape Reference. 2015. Di unduh dari :
http://www.emedicine.medscape.com
2. Mardjono, Mahar. Sidharta, Priguna. Infeksi Bakterial. Neurologi Klinis
Dasar. Dian Rakyat : Jakarta. 2013
3. Arif, Mansjoer. Radang Susunan Saraf. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi
Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius FKUI : Jakarta. 2000
4. Ginsberg, Lionel. Infeksi Neurologis. Lecture Notes : Neurologi. Jakarta :
Penerbit Erlangga. 2008.
5. Markam, Soemarmo. Saraf Sentral. Neurologi Praktis. Jakarta : Widya
Medika. 2002
6. Muller, Martha. Pediatric Bacterial Meningitis. Medscape Reference. 2014.
Di unduh dari : http://www.emedicine.medscape.com
7. Lumbantobing. Rangsang Selaput (Iritasi Meningeal). Neurologi Klinik.
Pemeriksaan Fisik dan Mental. FKUI : Jakarta.
8. Harsono. Meningitis Bakterial. Buku Ajar Neurologi Klinis. Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Gadjah Mada University Press : Jakarta.
1996
9. Dewanto George, et al. Infeksi Susunan Saraf Pusat dan Gangguan
Imunologis. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. EGC : Jakarta. 2009
10. Centers For Disease Control. Meningitis Viral. 2013. Available from: URL:
http://www.cdc.gov/meningitis/viral.html.
11. Departmen of Health New York. 2006. Available from: URL:
http://www.health.ny.gov/diseases/communicable/viral_meningitis/fact_sheet
.htm
12. Meningitis Research Foundation. Meningitis Viral. 2013. Available from:
URL: http://www.meningitis.org/disease-info/types-causes/viral-meningitis
13. Triant V.A. Meningitis Viral. 2013. Available from: URL:
http://www.bhchp.org/BHCHP%20Manual/pdf_files/Part1_PDF/ViralMenin
gitis.pdf
Meningitis 34