mengembangkan tata kelola blu

117
Mengembangkan Tata Kelola BLU Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Lampung April 2017 versi 2.0

Upload: others

Post on 06-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mengembangkan Tata Kelola BLU

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Kantor Wilayah Direktorat Jenderal PerbendaharaanProvinsi Lampung

April 2017

versi 2.0

Page 2: Mengembangkan Tata Kelola BLU

ii

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Mengembangkan Tata Kelola BLU

versi 2.0

Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Lampung

PenyusunAlfiker Siringoringo

Disclaimer:Tulisan ini merupakan gagasan/buah pikir yang didasarkan pada riset literatur dan kondisi imple-mentatif di lapangan. Substansi pembahasan di dalamnya tidak menggambarkan kebijakan institusi

April 2017

Page 3: Mengembangkan Tata Kelola BLU

iii

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Diop (2014) dari World Bank, dalam 'Indonesia: Avoiding the Trap', menyebutkan terda-pat setidaknya 2 (dua) fenomena yang terjadi di Indonesia yaitu gelombang lonjakan kelas menengah dan bonus demografi. Kedua fenomena tersebut merupakan kesempatan sekali-gus risiko yang besar bagi struktur perekonomian. Optimalisasi fenomena tersebut dapat dila-kukan melalui penyediaan barang dan jasa yang berkualitas sehingga menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat.

Pada kondisi ini, Pemerintah menjadi pihak yang paling bertanggungjawab terhadap ke-suksesan optimalisasi tersebut. Di dalam sistem keuangan negara, telah terdapat skema tata kelola Badan Layanan Umum (BLU) yang dapat menjadi tangan Pemerintah untuk menyedi-akan layanan penyediaan barang dan jasa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan op-timalisasi fenomena kelas menengah dan bonus demografi. Perlu dipahami, kondisi layanan tersebut belum memadai untuk memenuhi kebutuhan pemerintah tersebut. Pangkal perma-salahannya adalah tata kelola.

Paper ini menawarkan solusi bagaimana mengembangkan tata kelola BLU untuk men-ciptakan institusi-institusi yang menjadi katalisator bagi pengembangan daya saing bangsa dengan peningkatan Total Factor Productivity (TFP). TFP merupakan faktor residual dalam perhitungan-perhitungan ekonomi, namun merupakan faktor utama yang memberikan nilai pengganda pada input. Peningkatan TFP inilah yang kami sasar sebagai tujuan utama pe-ngembangan tata kelola BLU.

Di dalam paper ini, beberapa mekanisme eksisting yang telah mapan dibangun ulang dan diperkuat kembali. Ruang lingkup pola keuangan BLU dijabarkan kembali untuk membe-rikan ruang bagi BLU dalam pengembangan TFP yang menjadi tujuan akhir. Pola hubungan BLU dengan principal yang selama ini cenderung bersifat ambigu juga dirumuskan ulang agar menjadi lebih jelas, tegas dan transparan. Hal-hal seperti pengelolaan keuangan, pengukuran kinerja, pengembangan konsep juga dibahas sebagai solusi yang aplikatif dan komprehensif atas kebutuhan pengembangan struktur perekonomian di Indonesia.

ABSTRAK

Alfiker Siringoringo

Page 4: Mengembangkan Tata Kelola BLU

iv

Mengembangkan Tata Kelola BLU

DAFTAR ISI

ABSTRAK iiiDAFTAR ISI ivDAFTAR GAMBAR viiDAFTAR TABEL viii

BAB 1 PENDAHULUAN 1A. Latar Belakang 1B. Tujuan Mengembangkan Tata Kelola 2C. Batasan Pembahasan 3D. Sistematika Pembahasan 4

BAB 2 DEFINISI, RUANG LINGKUP DAN KONDISI EKSISTING 7A. Definisi Badan Layanan Umum 8

1. Objek Pengaturan BLU 82. Tujuan Pembentukan Institusi 83. Penerima Layanan 104. Pelayanan yang Diberikan 125. Tidak Mengutamakan Keuntungan 136. Prinsip Pelaksanaan Kegiatan 13

B. Pengelolaan Keuangan BLU merupakan Bagian dari Kewenangan Bendahara Umum Nega-ra (BUN) 16

C. Ruang Lingkup Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU 18D. Kondisi Eksisting Pengelolaan Keuangan BLU 20

1. Pembentukan BLU 202. Tata Kelola 203. Pengelolaan Keuangan 204. Pengukuran Kinerja 225. Sistem Informasi 22

BAB 3 PRINSIP-PRINSIP TATA KELOLA 25A. Konsep Mewirausahakan Pemerintah 251. Konsep Mewirausahakan Pemerintah 252. Prinsip-prinsip Pemerintah yang Wirausaha (Enterpreneual Government) 25

Alfiker Siringoringo

Page 5: Mengembangkan Tata Kelola BLU

v

Mengembangkan Tata Kelola BLU

B. Konsep Tata Kelola yang Baik (Good Governance) 301. Mendefinisikan Terminologi Tata Kelola 312. Memformulasikan Prinsip-prinsip Tata Kelola yang Baik 31

C. Konsep Agensifikasi 341. Ide Dasar 342. Agensifikasi sebagai Bagian dari New Public Management (NPM) 353. Praktik di Negara Lain 36

BAB 4 IMPLEMENTASI AGENSIFIKASI PADA BLU 39A. Permasalahan Agensifikasi dalam Tata Kelola BLU 39

1. Permasalahan Hubungan Principal Agen 392. Permasalahan Keseimbangan Fleksibilitas dan Pengendalian 43

B. Mengembangkan Hubungan Principal Agensi 441. Pendefinisian secara Tegas Fungsi Regulator, Principal dan Supervisor BLU 452. Penataan Organ BLU 473. Siklus Manajerial dalam Tata Kelola BLU 504. Sistem Visi 55

BAB 5 PENGELOLAAN KEUANGAN DAN PENGUKURAN KINERJA 63A. Permasalahan Pengelolaan Keuangan dan Pengukuran Kinerja 63

1. Permasalahan Alur Logika pada Pengelolaan Keuangan BLU 632. Permasalahan Pengukuran Kinerja 64

B. Pendekatan Logis Pengelolaan Keuangan BLU 641. Memaksimalkan Output (Output-Maximization), bukan Memaksimalkan Profit (Profit-

-Maximization) 642. Break Event-Point 653. Pendapatan BLU 664. Perhitungan Biaya 685. Surplus/Defisit 716. Investasi/Ekspansi dengan Menggunakan Dana BLU 71

C. Pengukuran Kinerja 721. Kewenangan Pengukuran Kinerja 722. Pengukuran Kinerja Keuangan 743. Pengukuran Kinerja Layanan 76

BAB 6 PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN 79A. Klustering Posisi Instansi Berdasarkan Kondisi BEP 80B. Alternatif Pemanfaatan Tata Kelola BLU untuk Pengembangan Tata Kelola Pemerintahan di

Indonesia 801. Pemanfaatan Tata Kelola BLU untuk Pembentukan BUMN yang Sehat 812. Pengelolaan Earmarked-Tax oleh BLU 823. Joint Principal Pusat dan Daerah 844. Penerapan Tata Kelola BLU terhadap Unit Spesifik pada Suatu Instansi. 86

Alfiker Siringoringo

Page 6: Mengembangkan Tata Kelola BLU

vi

Mengembangkan Tata Kelola BLU

BAB 7 SISTEM INFORMASI TATA KELOLA 89A. Permasalahan Sistem Informasi dalam Tata Kelola BLU 89

1. Biaya Agensi sebagai akibat dari Informasi Asimetris 892. Informasi Manajerial BLU memiliki Variasi yang Tinggi untuk Diintegrasikan 90

B. Desain Umum Sistem Informasi 91C. Pembagian Kewenangan dalam Sistem Informasi Tata Kelola 93

BAB 8 PENUTUP 95A. Kesimpulan 95B. Rekomendasi 95

SUPLEMEN Total Factor Productivity 97 1. Definisi TFP 98 2. TFP Digerakkan oleh Inovasi 99 3. Pergerakan TFP Dunia 100 4. Kondisi TFP Indonesia 100 5. Pembangunan Tata Kelola BLU, Sebuah Peluang Perbaikan Level TFP 102 6. Referensi 103

REFERENSI 106

Alfiker Siringoringo

Page 7: Mengembangkan Tata Kelola BLU

vii

Mengembangkan Tata Kelola BLU

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tujuan Mengembangkan Tata Kelola BLU 2Gambar 2. Leveling BLU Berdasarkan Karakteristik Channel kepada End-User 11Gambar 3. Ruang Lingkup Pelayanan Instansi Pemerintah dan BLU 12Gambar 4. Efisiensi Operasional BLU 14Gambar 5. Konsep Produktivitas BLU 15Gambar 6. Pendelegasian Kekuasan Keuangan Negara Menurut UU No 17 Tahun 2003 16Gambar 7. Wilayah Kepentingan Kementerian Keuangan dan Kementerian/Lembaga Teknis terha-

dap BLU 17Gambar 8. Ruang Lingkup Kepentingan Kementerian Keuangan dalam Pengelolaan Keuangan

BLU 18Gambar 9. Struktur Pengukuran Kinerja BLU Saat Ini 22Gambar 10. Pemisahan Fungsi Regulator, Principal dan Supervisor BLU 45Gambar 11. Hubungan antar Organ dalam Tata Kelola BLU 48Gambar 12. Siklus Manajerial dalam Tata Kelola BLU 50Gambar 13. Proses Persiapan dan Penetapan Status BLU dengan Mengadopsi Mekanisme Sistem

Manajemen Mutu 52Gambar 14. Sistem Visi 55Gambar 15. Akar Permasalahan Rendahnya Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi dengan Growth

Diagnostic 56Gambar 16. Opsi Pendahuluan 57Gambar 17. Klarifikasi Hubungan Principal Agen 59Gambar 18. Kerangka Kerja 61Gambar 19. Break-Event Point 65Gambar 20. Pembagian jenis pendapatan BLU 66Gambar 21. Pemisahan Sumber Dana Belanja Berdasarkan Jenis Biaya

69Gambar 22. Investasi/Ekspansi dengan Menggunakan Dana BLU 71Gambar 23. Mekanisme Pengukuran Kinerja BLU 73Gambar 24. Rating Layanan BLU 76Gambar 25. Kluster Posisi Institusi Penyedia Layanan Berdasarkan BEP 80Gambar 26. Unit Bisnis Pemerintah (BLU-BUMN) Life Cycle 81Gambar 27. Gambaran Umum Pengelolaan Earmarked Taxes 83Gambar 28. Joint-Principal Pusat Daerah 85Gambar 29. Penerapan Tata Kelola BLU secara Spesifik pada Unit-unit tertentu 87Gambar 30. Desain Interaksi antar Entitas 91Gambar 31. Bisnis Proses Penggunaan Sistem Informasi 92Gambar 32. Klasifikasi Inovasi menurut Lopez-rodriguez dan Martinez 99Gambar 33. Pergerakan Level TFP Negara Maju 1985-2015

Alfiker Siringoringo

Page 8: Mengembangkan Tata Kelola BLU

DAFTAR TABEL

Tabel 1. 12 Prinsip Pemerintahan yang Berorientasi Hasil 29Tabel 2. Adaptasi Prinsip GCG OECD pada Good BLU Governance 31Tabel 3. Penerapan Reformasi Birokrasi yang Berbeda-beda pada Setiap Rezim Pemerintahan di

Korea Selatan 38Tabel 4. Inventarisasi kelemahan hubungan organ BLU 40Tabel 5. Alternatif Pemisahan Fungsi Regulator dan Principal 46Tabel 6. Penerapan Organ Perusahaan Privat pada BLU (Kondisi Eksisting) 47Tabel 7. Pendampingan Persiapan Penerapan Tata Kelola BLU 53Tabel 8. Rasio-rasio Keuangan pada Korporasi (Non Keuangan) 74Tabel 9. Rasio Keuangan Spesifik pada BLU 76Tabel 10. Pembagian Kewenangan antara Regulator, Principal, Supervisor dan BLU dalam Infor-

masi Tata Kelola BLU 94Tabel 11. Penelitian terkait Pengukuran Pertumbuhan dan Kontribusi Total Factor Productivity

(TFP) Indonesia 101

Alfiker Siringoringo

Page 9: Mengembangkan Tata Kelola BLU

1

Mengembangkan Tata Kelola BLU

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar BelakangDiop (2014) dari World Bank, dalam 'Indonesia: Avoiding the Trap', menyebutkan terda-

pat setidaknya 2 (dua) fenomena yang terjadi di Indonesia yaitu gelombang lonjakan kelas menengah dan bonus demografi yang menguntungkan perekonomian Indonesia. Bauran dari fenomena tersebut memberikan suatu optimisme lompatan inovasi yang diharapkan dapat menjadi katalis perekonomian. Namun potensi besar itu juga diikuti adanya risiko yang besar. Kualitas generasi yang rendah serta kesenjangan sosial menjadi ancaman stabilitas bang-sa apabila fenomena tersebut salah diantisipasi. Berdasarkan riset Asian Development Bank (2010) berjudul 'The Rise of Asia's Middle Class', Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami fenomena kelas menengah dimana fenomena tersebut memiliki implikasi positif dan negatif. Pada sisi positif, fenomena tersebut memiliki implikasi: (1) perluasan pasar de-ngan barang-barang konsumsi; (2) tumbuhnya inovasi-inovasi yang mengefisienkan biaya; (3) meningkatnya akuntabilitas sektor publik; dan (4) pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pada sisi negatif, implikasi yang timbul yaitu: (1) tekanan terhadap lingkungan; dan (2) meningkat-nya penyakit akibat konsumsi. Peran Pemerintah kiranya sangat dibutuhkan untuk mengop-timalkan implikasi positif dan meminimalkan implikasi negatif dari kedua fenomena tersebut.

Sebagaimana diketahui, Pemerintah memiliki fungsi dalam alokasi, distribusi dan stabili-sasi. Salah satu pengejawantahan fungsi alokasi dan distribusi adalah penyediaan pelayanan publik berkualitas yang ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa sesuai cita-cita konstitusi. Namun demikian, perlu dipahami bahwa peran Pemerintah tersebut dibatasi oleh suatu konstrain keterbatasan anggaran dimana jumlah yang dialoka-sikan untuk peningkatan kualitas pelayanan publik tidak sebanding dengan jumlah yang di-butuhkan untuk peningkatan kualitas. Hal tersebut diperparah dengan lambatnya akselerasi peningkatan penerimaan yang belum mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan belanja.

David Osborne (1993), dalam artikelnya berjudul 'Reinventing Government', mencoba menuliskan resep untuk menjawab permasalahan seperti Indonesia. Resep tersebut sering disebut dengan mewirausahakan pemerintah (enterprising government). Menurut Osborne, resep tersebut dibutuhkan agar Pemerintah dapat meningkatkan layanan dan produktifitas melalui kondisi dana yang terbatas. Osborne mencoba merumuskan beberapa prinsip Peme-rintah yang memiliki sifat enterpreneur yaitu: (1) katalistik (catalytic); (2) dimiliki komunitas

Alfiker Siringoringo

Page 10: Mengembangkan Tata Kelola BLU

2

Mengembangkan Tata Kelola BLU

(community-owned); (3) kompetitif (competitive); (4) diarahkan oleh misi (mission-driven); (5) berorientasi hasil (result-oriented); (6) diarahkan oleh pelanggan (customer-driven); (7) terde-sentralisasi (decentralized); (8) digerakkan oleh pasar (market-driven).

Di Indonesia, teori 'enterpreneur government' milik Osborne diadopsi dalam reformasi keuangan negara melalui pemberian suatu fleksibilitas tata kelola keuangan pada Badan La-yanan Umum (BLU). Fleksibilitas tersebut dimaksudkan agar institusi-institusi penyedia dapat memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat meskipun terdapat keterbatasan dana yang dialokasikan Pemerintah.

Pemberian fleksibilitas keuangan pada BLU dituangkan dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Saat ini pemikiran tentang tata kelola BLU telah tumbuh dan diimplementasikan secara masif pada instansi penyedia layanan Pemerintah. Dari tahun ke tahun jumlah BLU semakin banyak dan diikuti dengan pendapatan yang semakin meningkat. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulya-ni, sebagaimana dikutip oleh situs berita liputan6.com (22/11/2016) berjudul 'Menkeu Usul Pegawai Badan Layanan Umum Mendapat Remunerasi', jumlah Badan Layanan Umum (BLU) telah naik signifikan dari 13 pada 2005 menjadi 182 hingga 2015. BLU pun bertambah lagi 16 pada 2016. Dari sisi pendapatan, pendapatan BLU naik secara signifikan untuk periode 2008-2015. Pada tahun 2008 pendapatan BLU tercatat sebesar Rp 3,7 triliun dan tumbuh hingga mencapai lebih dari 11 kali lipat yaitu Rp 35,3 triliun atau meningkat rata-rata 20 persen per tahunnya. Peningkatan kualitas maupun kuantitas tersebut menggambarkan secara singkat potensi yang sangat besar pengelolaan keuangan BLU.

B. Tujuan Mengembangkan Tata KelolaBLU memiliki peran strategis dalam menyediakan layanan penyediaan barang dan jasa

kepada masyarakat. Pengembangan tata kelola BLU yang baik bertujuan akhir untuk mening-katkan daya saing bangsa. Gambar berikut mengilustrasikan kondisi tersebut:Gambar 1. Tujuan Mengembangkan Tata Kelola BLU

PengembanganTata Kelola BLU

Anggaran Terbatas

KONSTRAIN

- Pendanaan mandiri;- Kualitas Pelayanan

Premium & terstandar;

- Tarif Terjangkau;

OUTPUT

- Kepuasan pelanggan(end-user);

- Terfasilitasinyakebutuhan masyarakat;

- Keterlibatan masyarakat(sektor privat) dlmpembangunan;

- Peningkatan kualitashidup masyarakat;

OUTCOME

Peningkatan Total Factor Productivity

IMPACT

- Layanan penyediaanbarang & jasaberkualitas;

- Tarif terjangkau;

KEBUTUHAN

- Kenaikan KelasMenengah ;

- Bonus Demografi;

OPPORTUNITIES

Peningkatan DayaSaing Bangsa

Pada gambar di atas mengilustrasikan alur pikir tujuan pengembangan tata kelola BLU. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Indonesia menghadapi suatu kesempatan untuk mela-kukan lompatan karena adanya fenomena kenaikan kelas menengah dan bonus demografi.

Alfiker Siringoringo

Page 11: Mengembangkan Tata Kelola BLU

3

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Kedua fenomena tersebut menuntut adanya respon Pemerintah dalam memberikan layanan penyediaan barang dan jasa yang berkualitas dengan tarif yang terjangkau. Namun demikian, Pemerintah dihadapkan pada permasalahan keterbatasan anggaran. Kebutuhan masyarakat terhadap layanan serta keterbatasan pendanaan menyebabkan pengejawantahan prinsip--prinsip enterpreunal government ke dalam manajemen keuangan publik melalui skema yang disebut Badan Layanan Umum (BLU).

Pengembangan skema BLU seyogyanya juga mengedepankan bagaimana prinsip-prinsip tata kelola yang baik dapat terimplementasikan. Pengembangan tata kelola tersebut dilandasi oleh sistem tata kelola BLU sebagaimana telah dituangkan dalam peraturan-peraturan terkait, seperti UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1 Tahun 2004 tentang Per-bendaharaan Negara serta PP No 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU. Pola pengelolaan keuangan tersebut selanjutnya dikawinkan dengan kaedah-kaedah tata kelola sektor privat yang telah jamak dipraktekkan sehingga prinsip-prinsip kewirausahaan (enterp-reneur) yang dimiliki sektor privat benar-benar dapat diadopsi oleh sektor publik.

Pada saat prinsip-prinsip kewirausahaan telah terimplementasi di sektor publik, maka BLU akan mampu menyediakan layanan dengan kualitas premium dan terstandar yang dapat bersaing dengan sektor privat baik di dalam maupun luar negeri. Penyediaan kualitas tersebut tentunya tetap memperhatikan keterjangkauan tarif bagi seluruh masyarakat atau kelompok masyarakat. Penerapan prinsip kewirausahaan tersebut juga diharapkan dapat meningkatkan kemandirian sehingga mampu mengatasi permasalahan keterbatasan pendanaan Pemerintah.

Selanjutnya, penyediaan layanan yang berkualitas akan mendorong terciptanya kepu-asan pelanggan (end-user) serta terfasilitasinya kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Selain itu, penyediaan layanan BLU tertentu juga memungkinkan terfasilitasinya sektor privat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan masyarakat melalui skema-skema yang ditawarkan. Arah pengembangan BLU tersebut selanjutnya akan menggerakkan potensi-potensi ekonomi di masyarakat secara masif yang kemudian akan memberi dampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Dampak akhir yang diharapkan dalam skenario ini adalah peningkatan efisiensi biaya dalam memproduksi barang dan jasa di masyarakat atau sering disebut sebagai Total Factor Productivity (TFP). TFP merupakan faktor-faktor yang seringkali tidak bisa dijelaskan pada su-atu desain pengukuran input output dalam pertumbuhan ekonomi yang mencakup tingkat penguasaan teknologi, organisasi, skill manajerial, skill tenaga kerja dll. Peningkatan TFP ter-sebut menjadi salah satu pendorong naiknya daya saing bangsa Indonesia di tengah bangsa--bangsa di dunia.

C. Batasan PembahasanPembahasan dalam dokumen ini hanya terkait dengan Badan Layanan Umum di lingkup

Pemerintah Pusat.

Alfiker Siringoringo

Page 12: Mengembangkan Tata Kelola BLU

4

Mengembangkan Tata Kelola BLU

D. Sistematika Pembahasan

Adapun sistematika pembahasan dalam paper ini dibagi ke dalam bab-bab sebagai ber-ikut:

BAB I PENDAHULUANMenguraikan Latar Belakang, Tujuan dan Outline

BAB II DEFINISI, RUANG LINGKUP DAN KONDISI EKSISTINGMembahas Definisi Badan Layanan Umum, Pembahasan Pengelolaan Keuangan BLU sebagai Bagian dari Kewenangan Bendahara Umum Negara, Ruang Lingkup Pembina-an Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum serta kondisi eksisting. Acuan pembahasan seperti definisi dan ruang lingkup merupakan penajaman dari ru-musan definisi BLU dan pola pengelolaan keuangan BLU yang telah tertuang dalam PP No 23 Tahun 2005. Beberapa uraian pada bab ini disusun sebagai alternatif penguatan dan penjelasan klausul-klausul yang ada di PP 23 yang selama ini belum terdefinisikan. Sebagai contoh, kewenangan pengaturan BLU oleh Bendahara Umum Negara (BUN) selama ini belum terdefinisikan dengan jelas.

BAB III PRINSIP-PRINSIP TATA KELOLAMembahas 3 (tiga) teori fundamental yang digunakan dalam perumusan tata kelola BLU. Ketiga teori tersebut adalah pemerintah yang wirausaha (enterpreneual govern-ment), tata kelola yang baik (good governance) dan teori agensifikasi.

BAB III IMPLEMENTASI AGENSIFIKASI PADA BLUMembahas permasalahan agensifikasi pada tata kelola BLU yang terdiri dari permasa-lahan hubungan antara organ BLU serta permasalahan keseimbangan fleksibilitas dan pengendalian.Terkait permasalahan tersebut, ditawarkan beberapa solusi berupa pemisahan fungsi regulator dari principal, penataan hubungan principal agen, penataan aktifitas tata kelola dalam suatu siklus manajerial, serta implementasi sistem visi.

BAB IV PENGELOLAAN KEUANGAN DAN PENGUKURAN KINERJAMembahas Pendekatan Logis Pengelolaan Keuangan BLU, Pengukuran Kinerja Keu-angan serta Pengukuran Kinerja Layanan. Pembahasan pengelolaan keuangan meng-gunakan pendekatan logika dasar matematika ekonomi sehingga menawarkan suatu alternatif pemahaman mendasar terkait biaya, tarif serta investasi. Logika dasar terse-but tentunya diharapkan menjadi pondasi pembangunan pola keuangan BLU.Pengukuran kinerja keuangan merupakan pengembangan dari kondisi yang telah dila-kukan selama ini. Rasio-rasio yang ditawarkan menggunakan teori-teori implementatif pada manajemen keuangan korporasi. Asumsi yang digunakan adalah mekanisme pe-ngelolaan BLU dibangun secara logis sesuai dengan uraian pada bagian sebelumnya. Pada pengukuran kinerja layanan, ditawarkan sebuah konsep rating sebagai standar umum kinerja dan kualitas layanan yang dapat diketahui oleh publik. Konsep tersebut merupakan konsep baru yang mengacu pada sistem akreditasi dan rating yang sering-kali digunakan untuk memberikan jaminan kualitas pada organisasi-organisasi yang memiliki core-bussiness untuk memberikan layanan.

Alfiker Siringoringo

Page 13: Mengembangkan Tata Kelola BLU

5

Mengembangkan Tata Kelola BLU

BAB V PENGEMBANGAN KELEMBAGAANMembahas Klustering Posisi Instansi Berdasarkan Kondisi BEP serta alternatif peman-faatan tata kelola BLU untuk pengembangan tata kelola pemerintahan di Indonesia. Alternatif yang ditawarkan terdiri dari: (a) pemanfaatan tata kelola BLU untuk mengini-siasi BUMN; (b) pengelolaan earmarked-tax oleh BLU; (c) kerjasama principal pusat dan daerah; serta (d) penerapan tata kelola BLU terhadap unit spesifik pada suatu instansi.

BAB VI SISTEM INFORMASI TATA KELOLAMembahas tentang risiko adanya biaya agensi (agensi cost) yang merupakan latar be-lakang perlu adanya Sistem Informasi yang terintegrasi. Selain itu, dibahas juga Desain Umum Sistem Informasi serta Pembagian Kewenangan dalam pengembangan sistem informasi.Pembahasan dalam bab ini merupakan alternatif desain sistem informasi yang kira-nya dapat menjadi arah pengembangan aplikasi BIOS (BLU Integrated Online System). Desain sistem yang ditawarkan pada bab tersebut merupakan desain sistem yang ja-mak dikembangkan pada industri teknologi informasi untuk menghubungkan layanan massif dari berbagai korporasi dan menyajikan kepada customer dengan satu jendela (seperti toko online).

BAB VII PENUTUPMembahas kesimpulan dan saran.

Alfiker Siringoringo

Page 14: Mengembangkan Tata Kelola BLU

6

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Page 15: Mengembangkan Tata Kelola BLU

7

Mengembangkan Tata Kelola BLU

BAB 2 DEFINISI, RUANG LINGKUP DAN KONDISI EK-SISTING

Badan Layanan Umum (BLU) merupakan pengejawantahan dari pemikiran mewirausa-hakan pemerintah (enterprising government) yang pertama kali digagas oleh David Osborne dan Ted Gaebler melalui bukunya yang cukup populer berjudul 'Reinventing Government'. Di Indonesia, terminologi BLU ini diperkenalkan sebagai bagian dari manajemen keuangan publik melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan diuraikan lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Kedua peraturan tersebut menjadi titik tolak pembahasan terkait pengembangan tata kelola BLU sebagaimana dipresentasikan dalam paper ini.

Pada titik awal, kiranya akan disajikan pemahaman mendasar terkait definisi BLU, landas-an yang mendasari pengaturan tata kelola BLU oleh Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN), ruang lingkup pembinaan pengelolaan keuangan BLU oleh BUN serta kondisi regulasi terkait BLU yang ada saat ini. Sebagian dari pembahasan tersebut merupakan hal-hal yang telah diatur. Untuk memberikan penjelasan yang lengkap dan dapat diperguna-kan dalam analisis pengembangan tata kelola BLU, maka hal-hal yang telah diatur tersebut

Alfiker Siringoringo

Page 16: Mengembangkan Tata Kelola BLU

8

Mengembangkan Tata Kelola BLU

didefinisikan lebih lanjut sesuai dengan kondisi ideal dan konsep-konsep akademis dengan pendekatan keuangan negara sebagai bagian dari usaha-usaha Pemerintah dalam mempe-ngaruhi perekonomian.

A. Definisi Badan Layanan UmumTerminologi BLU telah dideskripsikan secara jelas pada Pasal 1 ayat 23 UU No 1 Tahun

2004 dimana BLU adalah instansi pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutama-kan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan efisiensi dan produk-tifitas. Definisi yang sama juga ditemukan pada peraturan-peraturan yang lebih teknis, seperti PP 23 Tahun 2005. Berdasarkan definisi itu, pokok pembahasan terkait definisi BLU dapat di-bagi menjadi 5 (lima) hal yaitu: (1) objek yang menjadi BLU; (2) tujuan pembentukan institusi,; (3) pelayanan yang diberikan; (4) keuntungan yang diperoleh; serta (5) prinsip pelaksanaan kegiatan.

1. Objek Pengaturan BLUObjek yang diatur dalam definisi BLU adalah instansi Pemerintah yang memberikan

pelayanan. Deskripsi lebih lanjut dapat ditemukan pada Penjelasan PP 23 Tahun 2005 yang memberikan arahan bahwa pola BLU diberikan kepada satuan-satuan kerja Pemerintah yang melaksanakan tugas operasional pelayanan publik (seperti layanan kesehatan, pendidikan, pengelolaan kawasan dan lisensi) untuk membedakan dari fungsi pemerintah sebagai regula-tor dan penentu kebijakan.

Instansi yang dijelaskan sebagai objek BLU memiliki keterkaitan dengan Kementerian/Lembaga yang merupakan instansi induk. Instansi tersebut berperan sebagai agen dari men-teri/pimpinan lembaga induknya. Sebaliknya, Kementerian/Lembaga induk berperan sebagai principal atau pihak utama yang bertanggung jawab terhadap layanan yang didelegasikan ke-pada instansi BLU. Kedua pihak menandatangani kontrak kinerja (a contractual performance agreement), di mana menteri/pimpinan lembaga induk bertanggung jawab atas kebijakan layanan yang hendak dihasilkan, dan BLU bertanggung jawab untuk menyajikan layanan yang diminta. Adanya hubungan kontraktual antara instansi yang berperan sebagai principal dan instansi yang berperan sebagai agen menyebabkan kebutuhan tata kelola atau aturan main untuk mempertemukan kepentingan principal dan agen.

Pada dasarnya, pembatasan BLU pada instansi yang memberi layanan menyebabkan be-berapa permasalahan dalam pengembangan kemanfaatan BLU itu sendiri terhadap kondisi perekonomian Indonesia. Padahal pemikiran agensifikasi, sebagaimana diimplementasikan pada tata kelola BLU, memiliki potensi untuk memberi kontribusi besar pada tata kelola eko-nomi Indonesia apabila ruang lingkup BLU tidak dibatasi pada pelayanan saja.

2. Tujuan Pembentukan InstitusiBerdasarkan definisinya, BLU dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Istilah 'layanan' menjadi hal yang utama dalam pembentukan skema BLU sehingga menjadi salah satu kata yang digunakan dalam terminologi Badan Layanan Umum. Pelayanan yang dimaksudkan di sini adalah pelayanan kepada publik. Dengan demikian, BLU merupakan in-stansi yang bergerak di sektor publik. Hal tersebut diperkuat oleh Penjelasan PP 23 2005 yang menyatakan bahwa BLU merupakan instansi yang bergerak di bidang operasional pelayanan publik.

Definisi pelayanan publik dapat ditemukan pada UU Nomor 25 Tahun 2009 yang meng-

Alfiker Siringoringo

Page 17: Mengembangkan Tata Kelola BLU

9

Mengembangkan Tata Kelola BLU

atur secara khusus tentang pelayanan publik. Menurut UU tersebut, pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai de-ngan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atau barang, jasa dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dengan demikian, pengertian pelayanan publik sebagaimana dijelaskan pada peraturan ter-kait BLU merupakan bagian dari pelayanan publik yang diatur dalam UU No 25 Tahun 2009.

Penyediaan layanan publik dapat disimpulkan sebagai tujuan utama pembentukan BLU. Perumusan tujuan tersebut kiranya cenderung melihat fungsi BLU secara langsung terkait de-ngan masyarakat yang menjadi customer BLU. Pandangan semacam itu tentu saja cukup me-madai pada untuk dijabarkan pada implementasi di lapangan. Namun, demikian diperlukan rumusan tujuan BLU dengan menggunakan sudut pandang yang lebih makro. Hal tersebut untuk melihat bagaimana pengaturan BLU dapat memberikan kontribusi bagi perekonomi-an secara keseluruhan. Tentu saja, pandangan ini belum dapat dijadikan dasar dibangunnya suatu rencana besar (road map) pengaturan tata kelola BLU yang dapat memberi pengaruh signifikan bagi perekonomian nasional.

Untuk merumuskan tujuan yang bersifat makro, maka perlu diperhatikan kebutuhan (need) yang diperlukan untuk mengelola kondisi negeri ini baik yang bersifat jangka panjang-maupun jangka menengah dengan mengaitkannya pada tujuan langsung BLU dalam mem-berikan pelayanan publik. Diop (2013) dari World Bank, dalam 'Indonesia: Avoiding the Trap', menyebutkan terdapat setidaknya 2 (dua) fenomena yang terjadi di Indonesia yaitu gelom-bang lonjakan kelas menengah dan bonus demografi yang menguntungkan perekonomian Indonesia.

Kedua fenomena sebagaimana disebutkan oleh Diop merupakan kata kunci pengem-bangan tujuan makro BLU. Afif (2014), dalam tesisnya berjudul 'The Rising of Middle Class in Indonesia: Opportunity and Challenge', memberikan pendapatnya terkait peran Pemerintah yang harus dilakukan untuk mengoptimalkan fenomena tersebut yaitu: (1) meningkatkan la-pangan kerja melalui investasi; (2) perhatian kepada pekerjaan-pekerjaan yang berorientasi tenaga kerja (seperti pertanian dan UMKM); (3) membangun skill angkatan kerja melalui pen-didikan; (4) membangun industri keuangan yang kuat untuk mendukung aktifitas ekonomi; (5) meningkatkan kesetaraan gender dalam mengakses keuangan dan pasar; (6) mengambil ke-bijakan perbankan sehingga dapat mendukung sektor-sektor yang berorientasi tenaga kerja; (7) meningkatkan tabungan nasional. Peran Pemerintah sebagaimana dijelaskan Afif tersebut kiranya dapat dipenuhi oleh institusi-institusi dengan layanan premium dan terkendali.

Kami mencoba merumuskan secara singkat tujuan makro BLU yaitu pengembangan daya saing bangsa melalui peningkatan faktor produktifitas total (Total Factor Productivity/ TFP). Sebagaimana dipahami, TFP merupakan variabel dari output yang tidak dapat dijelaskan oleh berapa jumlah input yang digunakan untuk produksi. Konsep TFP terkait erat dengan pro-duktifitas unit-unit produksi seperti tingkat penguasaan teknologi, organisasi, budaya, skill manajerial, skill tenaga kerja serta faktor-faktor lainya.

Fokus pada tujuan pengembangan TFP menjadi sangat penting mengingat TFP meru-pakan faktor yang lebih dominan dalam mempengaruhi suatu pertumbuhan ekonomi diban-dingkan dengan input definitif yang sering dihitung dengan modal (capital) dan tenaga kerja (labor). Hal tersebut dibenarkan oleh Easterly dan Levine (2001), dalam papernya berjudul 'It's Not Factor Accumulation: Stylized Facts and Growth Models', yang mengajukan 5 (lima) fakta pertumbuhan ekonomi dimana salah satunya adalah kenyataan bahwa TFP lebih menentukan dalam pembentukan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi yang diperbandingkan antar negara. Pada paper tersebut, Easterly dan Levine bahkan menyatakan bahwa TFP memberikan

Alfiker Siringoringo

Page 18: Mengembangkan Tata Kelola BLU

10

Mengembangkan Tata Kelola BLU

kontribusi hingga 60% dalam suatu pertumbuhan ekonomi.Perumusan pengembangan daya saing bangsa melalui peningkatan TFP tersebut me-

miliki beberapa tujuan yaitu: (a) memberikan suatu justifikasi pembangunan suatu BLU yang tidak terkait langsung dengan penyediaan layanan kepada masyarakat, misalnya: Badan Peng-atur Jalan Tol (BPJT) yang melakukan pengaturan infrastruktur jalan tol dimana customernya adalah unit-unit operasional pengelola jalan tol; (b) memberikan peluang adanya BLU-BLU baru yang diperlukan sebagai katalisator pengembangan TFP, misalnya: perlunya ada BLU yang menjamin hak-hak pekerja untuk memperoleh pengetahuan sepanjang hidup (lifelong learning); (c) memberi arah yang jelas pengembangan arah jalan (road-map) pengembangan tata kelola BLU yaitu untuk memfasilitasi pengembangan daya saing bangsa untuk memben-tuk struktur sosial ekonomi Indonesia yang mampu bersaing dengan bangsa-bangsa di dunia; (d) TFP dibentuk oleh kebijakan-kebijakan Pemerintah yang bersifat jangka panjang. Dengan demikian, tata kelola BLU diharapkan dapat menjadi tangan pemerintah untuk membenahi kondisi TFP dalam jangka panjang.

3. Penerima LayananBLU menyediakan layanan yang ditujukan untuk masyarakat. Dengan demikian, masya-

rakat merupakan pihak yang menerima layanan BLU. Penetapan masyarakat sebagai peneri-ma layanan BLU menyebabkan masyarakat menjadi suatu prasayarat eksistensi institusi yang diberi status BLU. Perlu dipahami bahwa terminologi masyarakat sebagai pihak penerima la-yanan merupakan terminologi yang dapat diperdebatkan terutama terkait apakah institusi pemerintah dan lembaga swasta merupakan masyarakat atau bukan. Perumusan terminologi tersebut pada dasarnya menjadi hal yang substantif terkait apakah suatu institusi pemerintah dapat diajukan sebagai BLU atau tidak.

Menurut beberapa ahli, institusi pemerintah tidaklah dikategorikan sebagai masyarakat. Sosiolog Marion Levy (1960), dalam 'Modernization and the Structures of Societies', misalnya menguraikan 4 (empat) kriteria agar suatu kelompok dapat disebut sebagai masyarakat yaitu: (1) Kemampuan bertahan yang melebihi masa hidup seorang anggotanya; (2) Perekrutan se-luruh atau sebagian anggotanya melalui reproduksi atau kelahiran; (3) Adanya sistem tindak-an utama yang bersifat swasembada; (4) Kesetiaan terhadap suatu sistem tindakan utama se-cara bersama-sama. Ahli lain juga memandang masyarakat sebagai kelompok manusia yang berkarakter informal sebagaimana didefinisikan oleh Levy. Tentu saja kelompok manusia yang berada dalam suatu institusi pemerintah yang mewakili lembaganya dan tidak dapat disebut sebagai masyarakat.

Berbeda dengan pendapat para ahli sosiologi, PP 23 tahun 2005 melihat masyarakat sebagai penerima layanan dalam sudut pandang yang lebih luas. Masyarakat dianggap seba-gai end-user tidak harus menerima layanan secara langsung dari BLU tersebut namun dapat melalui saluran-saluran tertentu. Layanan yang diterima oleh masyarakat juga dapat berupa dampak yang dihasilkan akibat pemberian layanan kepada stakeholder BLU tersebut. Hal ter-sebut terlihat dari persyaratan substantif agar suatu instansi dapat mengajukan status BLU sebagaimana dituangkan dalam pasal 4 (2) yaitu: (a) Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum; (b) Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau (c) Pengelolaan dana khusus dalam rangka me-ningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat. Sebagaimana dipahami bersa-ma, poin b dan c tersebut bertolak belakang dengan definisi masyarakat sebagai penerima layanan BLU.

Masyarakat sebagai penerima layanan dalam arti sempit tentu saja dapat dikaitkan de-

Alfiker Siringoringo

Page 19: Mengembangkan Tata Kelola BLU

11

Mengembangkan Tata Kelola BLU

ngan definisi masyarakat dari beberapa ahli. Dengan memperhatikan perumusan tujuan mak-ro BLU sebagaimana diuraikan sebelumnya, masyarakat sebagai penerima layanan perlu di-definisikan dalam pemahaman yang lebih luas sebagaimana tersirat dalam pengaturan PP 23 Tahun 2005.

Pemahaman masyarakat dalam arti luas sebagaimana PP 23 Tahun 2005 tentunya perlu untuk dihubungkan dengan pemahaman masyarakat dalam arti sempit. Hal tersebut mem-pertimbangkan bahwa masyarakat sebagaimana arti sempit merupakan penerima manfaat akhir (end-user) dari penyediaan layanan publik oleh BLU. Gambar 2. Leveling BLU Berdasarkan Karakteristik Channel kepada End-User

MasyarakatBLU

BLU Channel 1 Masyarakat

BLU MasyarakatChannel 1 Channel 2

Level 0

Level 1

Level 2

Gambar di atas mengilustrasikan karakteristik channel layanan BLU untuk mencapai ma-syarakat sebagai end-user. Pemetaan leveling ini menjadi penting mengingat secara definisi BLU didirikan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga acuan kinerja BLU seharusnya adalah kepuasan masyarakat sebagai end-user. Pada gambar tersebut, BLU bera-da pada sisi kiri sebagai penyedia layanan. Sedangkan masyarakat berada pada sisi kanan se-bagai end-user layanan. Adapun pihak yang berada di antara kedua pihak merupakan saluran atau perantara layanan BLU dapat dinikmati oleh masyarakat.

Contoh pemetaan level pada gambar di atas menggunakan 3 jenis level channeling ya-itu level 0, level 1 dan level 2. Angka pada level tersebut menunjukkan berapa tingkat suatu produk BLU sampai ke masyarakat. Sehingga level channel BLU dapat lebih dari level 2. Pada level 0, BLU memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat. Contoh dari BLU di level ini adalah rumah sakit. Masyarakat dapat menikmati langsung pelayanan rumah sakit yang berstatus BLU.

Pada level 1, kondisi lebih kompleks dimana BLU memberikan pelayanan kepada stake-holder (baik institusi maupun swasta) yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada BLU ini, kompleksitasnya adalah pengukuran kemanfaatan layanan BLU tersebut pada masya-rakat. Contoh dari BLU di level ini adalah Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). BLU ini memberi-kan dana kepada stakeholder untuk membangun infrastruktur yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Efektifitas infrastruktur tersebut pada dasarnya tidak hanya dipengaruhi oleh BLU tersebut namun juga dipengaruhi oleh stakeholder yang menjadi channel BLU.

Kondisi yang lebih kompleks terjadi pada level 2 dimana layanan yang diberikan BLU ha-rus melewati 2 channel untuk mencapai masyarakat sebagai end-user. Pengukuran kepuasan masyarakat end user tidak hanya dipengaruhi oleh layanan BLU tersebut namun juga layanan stakeholder pada channel 1 dan channel 2. Contoh dari BLU level ini adalah Pusat Investasi

Alfiker Siringoringo

Page 20: Mengembangkan Tata Kelola BLU

12

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Pemerintah (PIP) yang menyalurkan dananya kepada BPJT. Keberhasilan PIP dalam memberi-kan manfaat kepada masyarakat dipengaruhi oleh BPJT dan provider penyedia infrastruktur jalan tol.

4. Pelayanan yang Diberikan Kategori pelayanan yang diberikan oleh BLU tersebut menyebabkan tidak semua instansi

Pemerintah yang memberikan pelayanan dapat dikategorikan sebagai BLU. Sebagaimana di-atur dalam UU 25 2009, terdapat 3 (tiga) ruang lingkup pelayanan publik yaitu (1) pengadaan barang; (2) pengadaan jasa; serta (3) pelayanan administrasi. Sesuai dengan definisi dari BLU, instansi yang dikategorikan sebagai BLU adalah institusi yang memberikan layanan pengada-an barang dan pengadaan jasa. Adapun pelayanan administrasi tidak termasuk dalam kate-gori layanan yang diselenggarakan dengan mekanisme BLU. Dengan demikian, ruang lingkup pelayanan BLU dapat diilustrasikan pada gambar di bawah ini:Gambar 3. Ruang Lingkup Pelayanan Instansi Pemerintah dan BLU

PenyediaanBarang

PenyediaanJasa

LayananAdministrasi

BLU InstansiPemerintah

Gambar di atas mengilustrasikan 3 (tiga) jenis pelayanan yang diberikan instansi Peme-rintah kepada masyarakat yaitu penyediaan barang, penyediaan jasa serta layanan adminis-trasi. Hanya 2 (dua) layanan Pemerintah yang dapat diberikan oleh instansi yang berbentuk BLU yaitu penyediaan barang dan penyediaan jasa. Sedangkan pelayanan administrasi tidak termasuk dalam kategori pelayanan yang diberikan oleh BLU.

Pelayanan merupakan salah satu dari fungsi Pemerintah sebagaimana diatur dalam UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah. Administrasi Pemerintah sendiri meru-pakan tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintah. Dengan demikian, pelayanan administrasi pada ruang lingkup adminis-trasi pemerintah dapat didefinisikan sebagai pelayanan yang diberikan kepada stakeholder (masyarakat atau badan/lembaga pemerintah lain) oleh badan dan/atau tindakan sebagai ba-gian dari kewenangannya melakukan administrasi pemerintahan. Sebagai contoh, pelayanan pajak, perizinan, pencairan dana. Jenis-jenis pelayanan yang terkait dengan penetapan atau

Alfiker Siringoringo

Page 21: Mengembangkan Tata Kelola BLU

13

Mengembangkan Tata Kelola BLU

tindakan pemerintah tersebut tidak dapat dilakukan oleh BLU.

5. Tidak Mengutamakan KeuntunganDalam definisi BLU, barang dan/atau jasa yang disediakan untuk masyarakat dilakukan

tanpa mengutamakan keuntungan. Kondisi tersebut membedakan BLU dengan BUMN di-mana salah satu tujuan BUMN adalah mengejar keuntungan (profit oriented). Meskipun tidak terdapat definisi lebih lanjut, terminologi keuntungan pada definisi di atas kiranya dapat di-asosiasikan dengan keuntungan yang bersifat ekonomi, bukan keuntungan sosial atau keun-tungan politik. Hal tersebut tentunya untuk membedakan BLU dengan BUMN dimana pada dasarnya kedua institusi tersebut merupakan agen pemerintah.

Konsep keuntungan serupa juga dipergunakan pada tujuan pendirian BUMN. Dalam UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN dijelaskan bahwa salah satu maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah mengejar keuntungan (Pasal 2 ayat 1). Definisi tersebut diuraikan lebih lanjut pada maksud dan tujuan pendirian Perseroan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 12 huruf b yaitu 'mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan'. Keuntungan yang me-ningkatkan nilai perusahaan adalah keuntungan ekonomi yang dihitung secara moneter.

Penjelasan terkait 'tidak mengutamakan keuntungan' bukan berarti bahwa BLU 'tidak boleh mendapatkan keuntungan'. Keuntungan yang didapatkan oleh BLU pada dasarnya di-perlukan untuk menutupi biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pengadaan layanan. Oleh karenanya, prinsip tidak mengutamakan keuntungan dapat disandingkan dengan kon-sep Break Event Point (BEP). Dalam sudut pandang ekonomi dan bisnis (khususnya akuntansi biaya). Penjelasan lebih lanjut penerapan BEP dalam pengelolaan keuangan BLU dijelaskan pada Bab lain dalam dokumen ini.

6. Prinsip Pelaksanaan KegiatanTerdapat 2 (dua) prinsip pelaksanaan kegiatan dalam definisi Badan Layanan Umum yaitu

efisiensi dan produktifitas. PP 23 Tahun 2005 tidak menguraikan lebih lanjut prinsip efisiensi dan produktifitas tersebut. Dengan memperhatikan pentingnya pendefinisian kedua prinsip tersebut dalam tata kelola BLU, kiranya kedua prinsip tersebut dapat diuraikan dengan meru-juk pada pembahasan akademis yang bersifat praktikal.

a) EfisiensiDalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), efisiensi didefinisikan sebagai (1) ketepatan

cara (usaha, kerja) dalam menjalankan sesuatu (dengan tidak membuang waktu, tenaga, bia-ya); kedayagunaan; ketepatgunaan; kesangkilan; (2) kemampuan menjalankan tugas dengan baik dan tepat (dengan tidak membuang waktu, tenaga, biaya). Dalam definisi KBBI tersebut, pembahasan efisiensi terkait dengan input dan proses, serta tanpa memperhatikan output yang dihasilkan. Direktorat Pembinaan Pengelolaan BLU (Dit PPK BLU) (2016), dalam kajian berjudul 'Mengukur Efisiensi BLU', mencoba merumuskan mekanisme pengukuran efisiensi dengan menggunakan analisis DEA yang melibatkan unit input dalam menghasilkan unit out-put. Kajian tersebut menambahkan komponen output dalam pembahasan efisiensi. Dengan demikian, terminologi efisiensi pada BLU terkait dengan input, proses dan output.

Keterkaitan input, proses dan output dalam pengukuran efisiensi pada dasarnya meru-pakan pemahaman efisiensi dari sisi operasional atau efisiensi operasional. Coelly et al (2005), dalam buku berjudul 'An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis', mendefinisikan efisiensi operasional sebagai rasio antara input yang digunakan untuk menjalankan operasi

Alfiker Siringoringo

Page 22: Mengembangkan Tata Kelola BLU

14

Mengembangkan Tata Kelola BLU

bisnis dan output yang diperoleh. Konsep efisiensi BLU tersebut diusulkan untuk dikembang-kan dalam pengaturan dan pengukuran efisiensi operasional BLU.Gambar 4. Efisiensi Operasional BLU

Input:- Uang (biaya);- Orang- Waktu

Operasional

Output:- Uang

(pendapatan, keuntungan, kas);

- Pelanggan baru- Loyalitas

pelanggan- Differensiasi

pasar- Produk- Inovasi,- Kualitas- Kecepatan dan

agilitas- kesempatan

Gambar di atas merupakan konsep dasar efisiensi operasi. Kotak pada sisi kiri meng-gambarkan input. Sedangkan kotak pada sisi kanan menggambarkan output. Input biasanya dihitung dari uang (biaya), orang dan waktu/usaha. Sedangkan hal yang diperhitungkan se-bagai output yaitu uang (pendapatan, keuntungan, kas), pelanggan baru, loyalitas pelanggan, diferensiasi pasar, produksi, inovasi, kualitas, kecepatan dan agilitas, kompleksitas dan kesem-patan. Suatu organisasi dikatakan melakukan efisiensi manakala : (a) menghasilkan output yang sama dengan penurunan input; (b) menghasilkan output yang lebih tinggi dengan input yang sama.

Sebagaimana diilustrasikan, teori efisiensi operasi memberikan arti yang sangat luas pada terminologi output. Output bukan saja dikaitkan dengan kuantitas dari barang/jasa yang dihasilkan dalam suatu proses operasional. Lebih dari itu, output juga dikaitkan dengan ku-alitas layanan serta pengelolaan pelanggan yang menyebabkan adanya loyalitas pelanggan dan bahkan mendatangkan pelanggan baru. Output juga dikaitkan dengan inovasi, kecepatan dan kesempatan yang dihasilkan institusi. Pendekatan output pada efisiensi tersebut kiranya sesuai dengan tujuan BLU baik dilihat dari sudut pandang mikro maupun makro.

b) ProduktifitasSelain efisiensi, salah satu prinsip usaha BLU adalah produktifitas. Produktivitas dapat

didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan sesuatu; daya produksi; keprodukti-

Alfiker Siringoringo

Page 23: Mengembangkan Tata Kelola BLU

15

Mengembangkan Tata Kelola BLU

fan. Prinsip produktivitas tentunya menuntut pengembangannya dapat dikelola dengan baik. Coelly et al menguraikan 4 (empat) hal terkait produktifitas yang selanjutnya diadaptasi dalam prinsip produktivitas BLU sebagai berikut:Gambar 5. Konsep Produktivitas BLU

Utilisasi Ilmupengetahuan

baru

Skala ekonomi

Kondisi tenagakerja lebih baik

Penggunaansumber daya

optimal

KualitasManajemen

Layanan Manfaat

Gambar di atas merupakan usulan konsep produktivitas BLU. Terdapat beberapa kompo-nen dari produktivitas yang dapat dinilai dari BLU yaitu: (1) seberapa baik BLU tersebut mengutilisasi pengetahuan baru.

Konsep produktivitas BLU semestinya mendorong BLU dapat mengutilisasi konsep-kon-sep atau ilmu pengetahuan baru ke dalam layanannya sehingga dapat memberi manfaat kepada pengguna layanan. Sebagaimana dimaklumi, institusi-institusi pemerintahan di Indonesia relatif tertinggal dalam memanfaatkan inovasi ilmu pengetahuan.

(2) level skala ekonomi (economy-of-scale)Layanan BLU semestinya dapat mengoptimalkan skala ekonomi sehingga dapat membe-rikan pelayanan premium dengan harga terjangkau.

(3) peningkatan kondisi tenaga kerja. sistem manajerial BLU semestinya memasukkan usaha-usaha peningkatan kondisi tena-ga kerja termasuk di antaranya tingkat motivasi dan loyalitas untuk bekerja, bagaimana tingkat turn-over pekerja;

(3) alokasi sumber daya (manusia dan modal). Konsep produktivitas BLU semestinya juga melihat bagaimana alokasi sumber daya un-tuk mengoptimalkan pencapaian hasil;

(4) kualitas manajemen. Kualitas manajemen dapat dilihat dari efektifitas alokasi sumber daya, pencapaian kepu-asan pelanggan, tingginya kepuasan kerja pegawai

Konsep produktifitas sebagaimana diajukan oleh Coelly et al tentunya sesuai dengan tu-

Alfiker Siringoringo

Page 24: Mengembangkan Tata Kelola BLU

16

Mengembangkan Tata Kelola BLU

juan makro pengembangan tata kelola BLU yaitu mengembangkan faktor residual atau Total Factor Productivity (TPF) untuk meningkatkan daya saing bangsa. Keempat faktor produktifi-tas tersebut juga merupakan faktor-faktor yang diperhitungkan dalam TFP.

B. Pengelolaan Keuangan BLU merupakan Bagian dari Kewenangan Bendahara Umum Negara (BUN)

Pengelolaan keuangan BLU sebagai bagian dari kewenangan BUN sebenarnya tidak di-uraikan secara deskriptif dalam peraturan perundang-undangan terkait keuangan negara. Namun hal tersebut dapat dilihat dari esensi penempatan Menteri Keuangan (BUN) dalam berbagai penetapan-penetapan terkait pengelolaan keuangan BLU. PP 23 Tahun 2005, misal-nya, menempatkan posisi Menteri Keuangan pada posisi strategis yang berwenang untuk me-netapkan/mencabut status BLU pada suatu instansi, menetapkan tarif, mengkaji standar biaya dan anggaran BLU, menyetujui belanja yang melampaui ambang batas fleksibilitas, menye-tujui investasi jangka panjang, persetujuan penggunaan surplus anggaran, serta melakukan pembinaan keuangan BLU. PP tersebut merupakan pengejawantahan dari Pasal 2 huruf k UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dimana pengelolaan Badan Layanan Umum merupakan salah satu dari lingkup pengaturan perbendaharaan negara.

Dasar pemikiran pengelolaan keuangan BLU sebagai bagian dari kewenangan Menteri Keuangan/BUN dapat ditelusuri dari fleksibilitas pengelolaan keuangan yang pada dasarnya merupakan kewenangan mutlak Menteri Keuangan atau BUN. Sebagai contoh, pengelolaan kas negara merupakan kewenangan mutlak Menteri Keuangan yang dikuasakan oleh Presiden sebagai Penguasa Keuangan Negara. Pengaturan terkait pengecualian pembelanjaan penda-patan operasional secara langsung (tanpa melalui Kas Umum Negara) oleh BLU pada dasarnya merupakan bentuk pendelegasian kewenangan yang dimiliki oleh BUN kepada instansi BLU.Gambar 6. Pendelegasian Kekuasan Keuangan Negara Menurut UU No 17 Tahun 2003

Presiden

Penguasa KeuanganNegara

Menteri Keuangan

Pengelolaan fiskal/ kekayaan negara ygdipisahkan

Menteri/PimpinanLembaga

Pengguna anggaran/ Pengguna barang

Kepala PemerintahDaerah

Pengelola keuangandaerah/ mewakili Pemdadlm kepemilikan barangyg dipisahkan

dise

rahk

an

diku

asak

an

Gambar di atas mengilustrasikan distribusi kewenangan keuangan negara dari Presiden sebagai Penguasa Keuangan Negara berdasarkan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Alfiker Siringoringo

Page 25: Mengembangkan Tata Kelola BLU

17

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Negaran. Kewenangan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan sebagai pengelola fis-kal serta Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai pengguna anggaran. Gambar dapat digunakan sebagai dasar analisis garis pendelegasian kewenangan dalam diskursus manajemen keuang-an publik.

Sebagaimaan diilustrasikan, salah satu hal yang dikuasakan kepada Menteri Keuangan adalah pengelolaan fiskal, termasuk di dalamnya kewenangan Bendahara Umum Negara. Pada kondisi umum, setiap pengeluaran dan penerimaan negara harus melalui kas negara. Hal tersebut dikecualikan pada instansi BLU. Instansi BLU dapat menyimpan kas, melakukan pengeluaran dan penerimaan tanpa harus melalui kas negara. Kondisi tersebut merupakan fleksibilitas keuangan negara yang diberikan atau didelegasikan kepada institusi BLU oleh penerima kekuasaan pengelolaan kas (Menteri Keuangan).

Mekanisme pendelegasian sebagian kewenangan BUN tersebut kepada institusi yang berstatus BLU dilakukan melalui penetapan statu BLU oleh Menteri Keuangan. Mekanisme pendelegasian tersebut pada dasarnya menempatkan Menteri Keuangan sebagai principal BLU terkait kewenangan-kewenangan yang didelegasikan. Sebaliknya, BLU dapat dianggap sebagai agen yang melakukan tugas fungsi Menteri Keuangan.

Dengan memahami filosofi dari pengaturan pengelolaan keuangan BLU oleh Menteri Keuangan, maka perlu dirumuskan ruang lingkup yang termasuk dalam pengaturan tersebut, termasuk di dalamnya irisan kepentingan antara Menteri Keuangan dengan Menteri/Pimpin-an Lembaga. Gambar 7. Wilayah Kepentingan Kementerian Keuangan dan Kementerian/Lembaga Teknis terhadap BLU

Pengelolaankas

Belanja

Penerimaan

Tata Kelola Output Layanan

Outcome Program

Wilayah kepentingan Kementerian KeuanganWilayah kepentingan Kementerian/Lembaga

Irisan kepentingan

Gambar di atas mengilustrasikan kondisi ideal pembagian wilayah pengaturan antara Kementerian Keuangan dan Kementerian/Lembaga teknis. Kementerian Keuangan berke-pentingan untuk memastikan bahwa pendelegasian kewenangan BUN untuk mengelola kas, belanja dan penerimaan dapat berjalan efektif. Untuk itu, dilakukan pengaturan tata kelola serta pengukuran kualitas output layanan berdasarkan sudut pandang masyarakat sebagai end user. Pengukuran output tersebut sangat terkait dengan perhitungan BEP yang akan dije-laskan lebih lanjut pada bagian lain dokumen ini.

Kementerian/Lembaga teknis memiliki kepentingan terkait dengan pendelegasian ope-rasional suatu program dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh BLU tersebut. Keberhasilan

Alfiker Siringoringo

Page 26: Mengembangkan Tata Kelola BLU

18

Mengembangkan Tata Kelola BLU

outcome program K/L tergantung pada keberhasilan output satker BLU tersebut. Selain itu, tata kelola BLU merupakan bagian dari tata kelola organisasi yang diselenggarakan oleh K/L.

Berdasarkan gambar di atas, perlu diperhatikan terdapat wilayah yang menjadi irisan kepentingan antara Menteri Keuangan dengan Menteri/Pimpinan Lembaga Teknis. Irisan ter-sebut pada dasarnya memiliki risiko konflik kepentingan. Untuk meminimalkan risiko konflik tersebut, diperlukan batasan yang jelas terkait area yang menjadi daerah kewenangan.

C. Ruang Lingkup Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLURuang lingkup pembinaan pengelolaan keuangan BLU sebenarnya tidak diuraikan secara

terperinci pada peraturan perundangan baik terkait keuangan negara maupun terkait penge-lolaan keuangan BLU. Meskipun tidak diatur secara mendetail, ruang lingkup pembinaan pe-ngelolaan keuangan BLU yang dilakukan Kementerian Keuangan kiranya dapat diformulasikan berdasarkan pendefinisian pola pengelolaan keuangan BLU. PP 23 Tahun 2005 mendefinisi-kan Pola Pengelolaan Keuangan BLU sebagai pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, sebagai pengecualian dan ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya. Gambar 8. Ruang Lingkup Kepentingan Kementerian Keuangan dalam Pengelolaan Keuangan BLU

Layanan Bermutu dan Berkesinam-

bungan

PenerapanKaidah

Manajemenyang Sehat

PengelolaanKeuangan yang

memberikanFleksibilitas

Memajukankesejahteraan

umum danmencerdaskan

kehidupan bangsa

Pengaturan

Pembinaan danPenetapan tarif,

renumerasi, standar biaya

dan hal-halterkait

manajerial

Kerangka Kerja, Kontrak, RAB

MonevIndikator

KesehatanManajemenOrganisasi

MonevKepuasanPelanggan

Pengukuran TFP

Regulator, Lingkungan

Ekonomi

Instansi BLU, Principal, Dewan

PengawasInstansi BLU,

Customer

RuangLingkupEksisting

PihakTerkait

Output/Kegiatan

Layanan Bermutudan Berkesinam-

bungan

Penerapan KaidahManajemen yang

Sehat

PengelolaanKeuangan yang

memberikanFleksibilitas Meningkatkan Daya

Saing melaluiPeningkatan Total Factor Productivity

(TFP)

UsulanRuangLingkupBaru

Pengendalianterhadap kinerja

keuangan danlayanan

X

Regulator

Monev Efisiensi& Produktifitas

PembinaanPenerapan

manajemenmutu

Alfiker Siringoringo

Page 27: Mengembangkan Tata Kelola BLU

19

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Gambar di atas mengilustrasikan ruang lingkup pembinaan pengelolaan keuangan BLU yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Area biru merupakan ruang lingkup yang dija-barkan dari definisi pola keuangan BLU berdasarkan PP 23 Tahun 2005, sedangkan area merah merupakan ruang lingkup yang diusulkan sebagai penyempurnaan ruang lingkup berdasar-kan definisi PP 23.

Sisi kiri menggambarkan derajat ruang lingkup yang paling sempit dan, sebaliknya, sisi kanan menggambarkan ruang lingkup yang paling luas. Sisi paling kiri menggambarkan ruang lingkup dengan sudut pandang yang paling sempit, dan sebaliknya, sisi paling kanan meng-gambarkan ruang lingkup dengan sudut pandang yang paling luas. Ruang lingkup pertama atau ruang lingkup yang paling sempit dalam versi lama adalah pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas. Terkait ruang lingkup tersebut, kami mengusulkan adanya tambahan ruang lingkup berupa pengendalian terhadap kinerja layanan.

Perlu dipahami fleksibilitas dan pengendalian merupakan dua inti New Public Manage-ment (NPM) yang tidak dapat dipisahkan. Fleksibilitas adalah pengejawantahan dari para-digma 'lets the managers manage'. Sedangkan pengendalian adalah pengejawantahan dari paradigma 'make the managers manage'. Pada ruang lingkup yang paling sempit tersebut, Menteri Keuangan berperan sebagai Regulator untuk mengatur tata kelola yang memberikan fleksibilitas dan fungsi pengendalian yang efektif. Regulasi tersebut diharapkan dapat mencip-takan pondasi bagi penerapan ruang lingkup kedua yang bersifat lebih luas.

Ruang lingkup kedua adalah penerapan kaidah manajemen yang sehat. Pada titik ini, tidak terdapat perbedaan antara pendefinisian ruang lingkup eksisting dengan usulan ruang lingkup baru. Keberhasilan penerapan kaidah manajemen yang sehat bergantung interaksi dan pelaksanaan regulasi yang dilakukan oleh Instansi BLU, Principal dan Dewan Pengawas. Kaidah manajemen yang sehat sebagaimana telah diatur dalam regulasi diimplementasikan melalui dokumen-dokumen yang mengikat Instansi BLU dalam kerangka kerja. Dokumen tersebut dapat berupa Kerangka Kerja, Kontrak dan RAB.

Pada ruang lingkup kedua ini, Menteri Keuangan, melalui pejabat atau unit kerja di ba-wahnya, lebih berperan sebagai Principal Keuangan yang berwenang dalam menetapkan tarif, remunerasi, standar biaya serta hal-hal lain yang bersifat manajerial. Sebagai Principal, Menteri Keuangan berkepentingan terhadap keberhasilan penerapan kaidah manajemen yang sehat. Oleh karenanya, dilakukan pembinaan tata kelola BLU untuk memastikan bahwa kaidah-kai-dah tersebut telah terimplementasi. Sebagai feedback terhadap hasil pembinaan tersebut, di-lakukan pengumpulan data indikator kesehatan manajerial organisasi melalui suatu kegiatan monitoring dan evaluasi.

Ruang lingkup ketiga adalah layanan bermutu dan berkesinambungan. Ruang lingkup ini membahas terkait input, proses dan output untuk menghasilkan layanan bermutu dan berkesinambungan. Dua prinsip utama BLU yaitu efisiensi dan produktifitas dimonitor dibahas dalam ruang lingkup ini. Menteri Keuangan, melalui pejabat di bawahnya, berkepentingan terhadap kualitas dan kontinuitas layanan. Terkait hal tersebut, beberapa aktifitas dilakukan oleh Menteri Keuangan yaitu: (1) pembinaan penerapan manajemen mutu; (2) monitoring dan evaluasi efisiensi dan produktifitas; serta (3) monitoring dan evaluasi tingkat kepuasan pelanggan.

Ruang lingkup terakhir adalah ruang lingkup yang paling luas dan menjadi payung bagi ruang lingkup sebelumnya. Pada versi eksisting, ruang lingkup tersebut didefinisikan seba-gai 'memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa'. Pada versi baru, uraian tersebut diusulkan diganti menjadi 'meningkatkan daya saing melalui peningkatan Total Factor Productivity (TFP). Penggunaan TFP dalam ruang lingkup ini memberikan pene-

Alfiker Siringoringo

Page 28: Mengembangkan Tata Kelola BLU

20

Mengembangkan Tata Kelola BLU

gasan bahwa area pengembangan BLU bukan hanya kontribusi belanja Pemerintah terhadap perekonomian berupa belanja dari PNBP, lebih dari itu, area pengembangan BLU adalah ba-gaimana peran Pemerintah dapat optimal dalam peningkatan TFP. Pada ruang lingkup terakhir ini, Menteri Keuangan lebih berperan sebagai regulator yang mengevaluasi dampak mak-ro layanan BLU melalui perhitungan TFP. Hasil perhitungan tersebut menjadi masukan bagi pengambilan keputusan.

D. Kondisi Eksisting Pengelolaan Keuangan BLUSaat ini, pengelolaan keuangan BLU diatur dalam Peraturan Pemerintah No 23 Tahun

2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum beserta aturan turunannya. Pera-turan-peraturan tersebut mengatur hal-hal terkait pembentukan BLU, tata kelola, pengelolaan keuangan serta pengukuran kinerja. Selain pengaturan tersebut, saat ini Dit PPK BLU juga sedang mengembangkan suatu sistem yang digunakan untuk mengelola informasi BLU dan mendistribusikan pada pihak-pihak yang berkepentingan.

1. Pembentukan BLU

Suatu satuan kerja Pemerintah diizinkan mengelola keuangan dengan skema pengelola-an keuangan BLU apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis dan administrasi. Persyarat-an substantif menyangkut jenis core-bussiness yang dapat diakomodir dalam pola keuangan BLU. Persyaratan teknis menyangkut kelayakan tugas fungsi untuk dikelola sebagai BLU serta performa keuangan satuan kerja tersebut. Sementara persyaratan administratif menyangkut dokumen-dokumen yang harus disajikan dalam rangka pengajuan.

Pengajuan dilakukan oleh Menteri teknis yang menjadi pengguna anggaran satuan kerja tersebut kepada Menteri Keuangan. Terhadap satuan kerja, Menteri Keuangan dapat mene-tapkan status BLU penuh atau bertahap. Status penuh diberikan kepada satuan kerja yang me-menuhi persyaratan secara memuaskan. Sementara status bertahap diberikan kepada satuan kerja yang hanya memenuhi persyaratan substansif dan teknis. Status bertahap ini diberikan paling lama 3 (tiga) tahun.

2. Tata Kelolaa) Standar Pelayanan Minimum

Instansi BLU menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan kewenangannya. Standar pelayanan minimum tersebut disusun dengan mem-pertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan mendapatkan layanan.

b) Hubungan antar Organ BLUDalam penjelasan PP 23, Menteri/Pimpinan Lembaga berperan yang menjadi atasan BLU

berperan sebagai principal yang mendelegasikan tugas fungsi layanan kepada BLU melalui sebuah kontrak kinerja. Menteri tersebut selanjutnya berperan sebagai pembina teknis BLU tersebut. Adapun Menteri Keuangan berperan sebagai pembina keuangan BLU. Untuk kepen-tingan pengawasan, dibentuklah Dewan Pengawas (Dewas) yang beranggotakan wakil dari K/L, Kemenkeu serta pihak independen. Dewas tersebut hanya wajib didirikan untuk BLU yang memiliki omzet tahunan di atas Rp15milyar.

3. Pengelolaan Keuangana) Tarif dan Biaya

BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa yang Alfiker Siringoringo

Page 29: Mengembangkan Tata Kelola BLU

21

Mengembangkan Tata Kelola BLU

diberikan. Imbalan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhi-tungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Tarif tersebut diusulkan kepada Menteri sesuai kewenangannya dan ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Tarif yang diusulkan mempertimbangkan: (1) kontinuitas dan pengembangan layanan; (2) daya beli masyarakat; (3) asas keadilan dan kepatutan; (4) kompetisi yang sehat.

BLU menyusun RBA berdasarkan rencana strategi bisnis lima tahunan yang mengacu ke-pada Renstra K/L. RBA tersebut disusun berdasarkan basis kinerja dan perhitungan akuntansi biaya menurut jenis layanannya. RBA tersebut disertai dengan standar pelayanan minimum serta biaya dari keluaran yang akan dihasilkan.

Setelah RBA selesai, BLU mengajukan RBA tersebut kepada Menteri atasannya untuk dibahas sebagai bagian dari RKA K/L. Menteri Keuangan, sesuai kewenangannya, mengkaji kembali standar biaya dan anggaran BLU dalam rangka pemrosesan RKA.

b) PendapatanPendapatan BLU dapat berasal dari APBN dan PNBP. Pendapatan yang bersumber dari

APBN diberlakukan sebagai pendapatan BLU. Adapun pendapatan BLU dari PNBP berasal dari: (i) pendapatan operasional yang diperoleh dari jasa layanan dan hibah tidak terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lainnya; (ii) pendapatan dari hasil kerjasama dengan pi-hak lain dan/atau usaha lainnya. Seluruh pendapatan tersebut dikelola langsung untuk mem-biayai BLU dengan mengacu pada RBA.

c) BelanjaBelanja BLU terdiri dari unsur biaya yang sesuai dengan struktur biaya yang dituangkan

dalam RBA definitif.. Pengelolaan belanja tersebut diselenggarakan dengan cara fleksibel ber-dasarkan kesetaraan antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah pengeluaran mengi-kut praktek bisnis yang sehat. Untuk memberikan fleksibilitas pengelolaan belanja, ditetapkan suatu ambang batas yang tertuang dalam RBA. Belanja yang melampaui ambang batas harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan atas usulan Pimpinan K/L.

Apabila terjadi kekurangan, BLU dapat mengajukan usulan tambahan anggaran dari APBN/APBD kepada Menteri Keuangan sesuai kewenangannya. Setiap belanja BLU dilaporkan sebagai belanja barang/jasa pada K/L terkait.

d) Pengelolaan KasDalam rangka pengelolaan kas, BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai berikut: (i) me-

rencanakan penerimaan dan pengeluran kas; (ii) melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan; (iii) menyimpan kas dan mengelola rekening bank; (iv) melakukan pembayaran; (v) mendapatkan dana untuk menutup defisit jangka pendek; (vi) memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan. Pemanfaatan surplus kas tersebut dilakukan melalui investasi jangka pendek pada instrumen keuangan berisiko rendah.

e) Pegawai dan RemunerasiPejabat pengelola BLU dan pegawai BLU terdiri dari pegawai negeri sipil dan/atau tena-

ga profesional non-pegawai negeri sipil sesuai dengan kebutuhan BLU. Pejabat dan pegawai yang berasal dari PNS tetap dibayar dengan menggunakan Rupiah Murni (APBN) dengan tambahan remunerasi apabila tersedia. Sedangkan pendapatan bagi pegawai non-PNS bera-sal dari PNBP.

Alfiker Siringoringo

Page 30: Mengembangkan Tata Kelola BLU

22

Mengembangkan Tata Kelola BLU

4. Pengukuran KinerjaMekanisme pengukuran kinerja ditetapkan melalui Peraturan Direktur Jenderal Perben-

daharaan yang terkait dengan sektor suatu BLU. Penilaian kinerja BLU meliputi: (a) penilaian aspek keuangan; dan (b) penilaian aspek layanan. Penilaian aspek keuangan dilakukan berda-sarkan data laporan keuangan dan kepatuhan terhadap peraturan-undangan. Gambar 9. Struktur Pengukuran Kinerja BLU Saat Ini

Gambar di atas mengilustrasikan faktor-faktor penyusun penilaian BLU saat ini. Pada ki-nerja pelayanan, komponen penilaiannya disesuaikan dengan sektoral BLU. Sebagai contoh pada PTN, komponen kualitas layanan terdiri dari: (a) akreditasi dari BAN PT; dan (b) prestasi yang diukur dari simpangan rasio ketersediaan tenaga pendidikan yang memadai, persentase mahasiswa baru yang mendaftar ulang dibandingkan mahasiswa baru yang diterima, persen-tase jumlah mahasiswa berprestasi unggul dalam bidang akademik dan/atau minat bakat, serta persentase hibah bersaing. Adapun komponen mutu dan manfaat kepada masyarakat diukur berdasarkan kepuasan pelanggan.

Penilaian kinerja dilakukan oleh Direktorat Pengelolaan Keuangan BLU Ditjen Perbenda-haran. Sedangkan hasil penilaiannya ditetapkan melalui Keputusan Direktur Pembinaan dan Pengelolaan Keuangan BLU Ditjen Perbendaharan. Terdapat 3 (tiga) kategori penilaian yaitu: (a) BAIK(range AAA, AA dan A); (b) SEDANG (range BBB, BB, B); (c) BURUK (range CCC, CC, C)

5. Sistem InformasiSaat ini, terdapat sistem informasi BLU dibangun melalui suatu sistem informasi yang

bernama BIOS (BLU Integrated Online System). BIOS merupakan sistem informasi berbasis web yang sedang dikembangkan oleh Direktorat PPK BLU bekerja sama dengan Direktorat Sistem Perbendaharaan. BIOS diharapkan dapat menyajikan informasi mengenai BLU yang handal dan terintegrasi untuk bisa dimanfaatkan oleh para stakeholders BLU: kementerian teknis, Kementerian Keuangan terutama Direktorat PPK BLU dan Kantor Wilayah Ditjen Per-bendaharaan, dan pihak internal BLU sendiri seperti jajaran pemimpin BLU sebagai alat peng-

Alfiker Siringoringo

Page 31: Mengembangkan Tata Kelola BLU

23

Mengembangkan Tata Kelola BLU

ambilan keputusan dan dewan pengawas sebagai alat untuk melakukan monitoring kinerja. Ke depan, masyarakat akan bisa mengakses data-data umum BLU, sebagai contoh ragam layanan di BLU, data tarif pelayanan di BLU rumah sakit, dan tarif biaya pendidikan di BLU perguruan tinggi.

Aplikasi ini terdiri dari modul profil, modul tarif, modul remunerasi, dan modul penilaian kinerja dan monitoring transaksi keuangan. Pada tahap awal ini, baru modul profil yang sudah selesai dikembangkan. Modul profil sendiri berisi informasi umum, informasi khusus, data pe-gawai, data keuangan, data layanan, monitoring pembinaan dan monitoring pencapaian KPI.

Alfiker Siringoringo

Page 32: Mengembangkan Tata Kelola BLU

24

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Page 33: Mengembangkan Tata Kelola BLU

25

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Pembahasan tata kelola BLU sangat berkaitan dengan ide dasar mewirausahakan peme-rintah atau sering disebut enterprenual government. Ide tersebut diterjemahkan melalui pe-nerapan agensifikasi dengan pemberian fleksibilitas dan pengendalian yang memadai. Imple-mentasinya dilakukan melalui pemberian mandat dari instansi induk yang bertindak sebagai principal kepada BLU yang bertindak sebagai agen. Mandat tersebut dituangkan dalam suatu kontrak kinerja yang berkonsekuensi adanya aturan main atau tata kelola yang memungkin-kan tercapainya hal-hal yang tertuang dalam kontrak tersebut.

A. Konsep Mewirausahakan Pemerintah

1. Konsep Mewirausahakan PemerintahKonsep mewirausahakan pemerintah pertama kali digagas oleh David Osborne dan Ted

Gaebler (1992), dalam buku yang berjudul 'Reinventing Government: How the Enterpreneual Spirit is Transforming the Public Sector', sebagai sebuah solusi komprehensif atas kebutuhan penyediaan layanan Pemerintah di tengah keterbatasan anggaran. Osborne dan Gaebler me-nemukan bahwa pemerintahan memiliki kecenderungan tinggi (tall), lamban (sluggish), terlalu sentralistik (over-centralized), dan dilengkapi dengan aturan dan regulasi yang tidak bekerja dengan baik (preoccupied with rules and regulation don't work well).

Osborne dan Gaebler selanjutnya melihat perlunya suatu konsep pemerintahan yang baru yang lebih ramping, cepat, terdesentralisasi serta digerakkan oleh misi. Konsep pemerin-tahan tersebut dihimpun dari pengalaman Osborne dan Gaebler melihat praktik-praktik ter-baik pemerintahan di seluruh Amerika Serikat. Mereka menemukan bahwa praktik terbaik dari pemerintahan biasanya mendekati praktik-praktik yang ditemukan dalam sektor privat. Oleh karenanya konsep pemerintahan yang dijukan oleh mereka diberi nama Pemerintah yang Wi-rausaha atau enterpreneual government.

2. Prinsip-prinsip Pemerintah yang Wirausaha (Enterpreneual Government)Osborne dan Gaebler merumuskan 10 (sepuluh) prinsip-prinsip Pemerintah wirausaha

(enterpreneur government) yang terdiri dari 6 (enam) prinsip yang diperoleh dari hasil in-vestigasi serta 4 (empat) prinsip yang merupakan prinsip-prinsip Pemerintahan yang berlaku umum. Enam prinsip yang ia temukan yaitu katalistik (catalytic), kompetitif (competitive), dige-rakkan oleh misi (mission driven), berorientasi hasil (result-oriented), diarahkan oleh pelang-gan (customer driven), dan kewirausahaan (enterprising). Sedangkan 4 (empat) prinsip umum

BAB 3 PRINSIP-PRINSIP TATA KELOLA

Alfiker Siringoringo

Page 34: Mengembangkan Tata Kelola BLU

26

Mengembangkan Tata Kelola BLU

pada Pemerintahan yaitu desentralisasi (decentralization), kepemilikan komunitas (commu-nity-owned), pemerintahan yang mengantisipasi (anticipatory government) serta pemerintah yang menggerakkan pasar (market-driven government).

a) KatalistikPrinsip katalistik merupakan prinsip dasar dari kewirausahaan Pemerintah. Ide dasarnya

adalah organisasi Pemerintah diibaratkan sebagai sebuah kapal. Pada organisasi tersebut seharusnya dilakukan pemisahan antara pihak yang menyetir (steering) dengan pihak yang mendayung (rowing) untuk mencapai suatu fleksibilitas sehingga prinsip ini sering disebut sebagai paradigma "steering rather than rowing". Urusan mendayung semestinya diserahkan kepada organisasi privat dan organisasi masyarakat sipil sehingga peran pemerintah untuk menyetir tidak tereduksi. Prinsip ini mengkritisi model birokrasi lama yang memecahkan ma-salah dengan serangkaian langkah yang mahal yaitu dengan perekrutan PNS baru kemudian menyediakan layanan.

Tentu saja mekanise penanganan pemerintah tersebut sangat tidak efisien apabila diban-dingkan dengan sektor privat dalam menanganimasalah dan urusan-urusan tertentu. Pada sektor privat, apabila terdapat masalah atau urusan-urusan di luar core business-nya maka korporasi akan menyewa pihak ketiga untuk menyelesaikan urusan tersebut sesuai dengan standar yang diinginkan korporasi tersebut. Contoh sederhana adalah pengadaan even pada korporasi diserahkan pada pihak profesional yang bertindak sebagai event organizer. Meka-nisme penanganan seperti itu tentu saja sangat efektif dan efisien.

Beberapa ahli tidak sependapat dengan paradigma yang dibangun oleh Osborne. Salah satu kritisi tersebut disampaikan oleh Denhart dan Denhart (2003), melalui karyanya berju-dul 'The New Public Service: Serving Not Steering'. Menurut Denhart dan Denhart, paradig-ma 'steering rather than rowing' melupakan siapa sebenarnya pemilik kapal (who owned the boat). Denhart dan Denhart selanjutnya mengajukan mengajukan suatu konsep yang disebut New Public Service yang meletakkan fokus Pemerintah pada melayani dan memberdayakan warga negara karena merekalah pemilik kapal.

Ide pemisahan peran versi Osborne tidak sepenuhnya salah. Pemisahan peran tersebut diperlukan untuk efektifitas pengaturan dan operasional serta meminimalkan konflik kepen-tingan pada tataran implementasi. Paradigma 'steering rather than rowing' ala Osborne men-jadi justifikasi gerakan pengagenan (agencification) pada reformasi tata kelola pemerintah di sebagian besar negara di dunia. Pada konsepsi agensifikasi tersebut terdapat pemisahan institusi yang berperan sebagai regulator dan institusi yang berperan sebagai operator.

b) KompetitifPrinsip kompetitif pada suatu organisasi dipandang sebagai faktor yang dapat mendo-

rong produktifitas. Dasar pemikiran premis tersebut adalah organisasi dalam kondisi persa-ingan yang kompetitif tidak memiliki pilihan kecuali meningkatkan produktifitas sehingga memungkinkan mereka dapat bersaing. Prinsip ini mencoba mengeliminasi kondisi pelayanan Pemerintah tradisional yang tidak efisien karena kecenderungan sifat monopoli. Meskipun kondisi kompetitif merupakan hal yang ideal dalam meningkatkan produktifitas, pengimple-mentasian yang tidak hati-hati justru menjadi penghambat bagi peningkatan produktifitas itu sendiri.

Osborne dan Gaebler setuju bahwa pada tataran implementatif, terdapat kompleksitas penerapan prinsip kompetitif. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah ketika prinsip ini diterapkan pada pembuat kebijakan maka hasil yang didapatkan adalah perang kartu turf

Page 35: Mengembangkan Tata Kelola BLU

27

Mengembangkan Tata Kelola BLU

(turf war) dan inefisiensi. Para pembuat kebijakan tersebut membuat regulasi. Semakin banyak regulasi maka semakin besar juga risiko terjadinya kondisi over-regulated yang mengarah pada konflik kepentingan antar pembuat kebijakan. Oleh karenanya, Penerapan prinsip kom-petitif sebaiknya hanya ditujukan pada level operator penyedia jasa. Pada saat prinsip tersebut diterapkan pada penyedia jasa maka dapat menekan biaya dan menghasilkan efisiensi yang lebih baik.

Salah satu kompleksitas penerapan prinsip kompetitif adalah risiko hilangnya perasaan aman dalam bekerja (job security) pada pegawai. Osborne dan Gaebler mengingatkan ketika kompetisi dilakukan antara individu atau pegawai pada suatu organisasi seringkali didapatkan bahwa semangat kerja para pegawai akan cenderung menurun. Salah contoh yang diberikan adalah sistem pembayaran jasa (merit pay) guru yang menyebabkan terdapat ketidakkom-pakan di antara sesama kolega. Akan tetapi kondisi yang berbeda terjadi apabila kompetisi diterapkan antar tim atau lembaga (fakultas, sekolah) maka hal tersebut akan meningkatkan semangat kerja. Salah satu alasan penerapan kompetitif yang selektif adalah pentingnya rasa aman dalam bekerja (job security) bagi pegawai.

Penerapan prinsip kompetitif juga seringkali tidak memiliki hubungan dengan kepuasan pelanggan. Steve Lockwood, dalam reviu buku Reinventing Government, memberi sebuah contoh nyata di bidang pendidikan. Pada tahun 1992 majalah American Educator melaporkan sebuah korelasi negatif antara hasil suatu kompetisi dengan kepuasan terutama di bidang pendidikan. Kesimpulan tersebut didasarkan atas perbandingan hasil sebuah tes berstandar internasional yang dilakukan terhadap anak-anak pada level sekolah dasar (elementary) dan SMP (secondary level) yang diujikan di beberapa negara. Hasil tes tersebut menunjukkan nilai anak sekolah di Amerika Serikat lebih rendah dibandingkan nilai rekannya di negara-negara Eropa dan Asia. Namun, orang tua para pelajar di Amerika Serikat cenderung puas dengan hasil akademis anak-anaknya. Hal tersebut berbeda dengan para orang tua di Asia yang cen-derung merasa tidak puas dengan hasil akademis anak mereka. Sebagai catatan, sistem bel-ajar mengajar di Asia memang lebih kompleks dan memaksa anak-anak untuk berkompetisi meraih prestasi.

Lebih lanjut, dalam penerapan prinsip kompetitif diperlukan adanya regulator yang me-negaskan aturan main. Hal tersebut untuk mencegah pengambilan jalan pintas pihak-pihak yang berkompetisi untuk memenangkan kompetisi dimana secara agregat hal tersebut akan bersifat kontraproduktif. Steve Lockwood memberikan sebuah contoh mahasiswa yang ber-fokus pada perolehan Index Prestasi (IP) akan memiliki kecenderungan untuk memilih mata kuliah yang mudah dan dapat memberikan mereka nilai yang tinggi. Mereka mengabaikan peningkatan kompetensi jangka panjangnya di dunia kerja. Pada kondisi tersebut, regulator berperan untuk memberi aturan main mata kuliah yang wajib diambil dengan pertimbangan kompetensi jangka panjang mahasiswa. Kondisi yang sama juga dimungkinkan terjadi pada penerapan prinsip kompetitif pada BLU yang menuntut adanya pihak yang berperan sebagai regulator.

c) Digerakkan oleh MisiOrganisasi publik dipengaruhi oleh 2 (dua) hal utama yaitu aturan (rules) dan anggaran

dan oleh karenanya sering disebut dengan organisasi yang digerakkan aturan (rule-driven organisation). Osborne dan Gaebler menemukan bahwa organisasi enterpreneual cenderung meminimalkan aturan dan berfokus pada misi mereka. Pada saat terdapat misi dan tujuan yang jelas, manajer dipersilahkan untuk mengelola. Organisasi yang demikian disebut dengan organisasi yang digerakkan misi (mission-driven organisation).

Page 36: Mengembangkan Tata Kelola BLU

28

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Terdapat kritik terhadap kinerja organisasi pemerintah baik dari sisi manajerial maupun dari sisi keuangan. Dari sisi manajerial, terdapat beberapa permasalahan yang menjangkit organisasi Pemerintah dan menyebabkan operasional yang boros dan tidak efektif. Permasa-lahan tersebut yaitu: (i) organisasi Pemerintah tidak dapat dengan mudah mengambil tenaga kerja dari luar; (ii) PNS dibayar berdasarkan lama kerja dan bukan kinerja; (iii) sistem promosi yang ada berdasarkan career-track dengan penilaian melalui asesmen; (iv) PNS sulit untuk dipecat kecuali adanya kasus luar biasa dan catatan kinerja yang sangat buruk selama suatu jangka waktu. Proses pemecatan itu sendiri juga memakan waktu yang tidak sebentar.

Dari sisi keuangan, penyebab utama permasalahan rendahnya efektifitas dalam orga-nisasi Pemerintah adalah kekakuan dalam merealisasikan anggaran. Sebagaimana dipahami bersama, terdapat kelemahan-kelemahan yang ditemukan dalam kekakuan sistem pelaksa-naan anggaran tradisional yaitu: (i) sulitnya mengalokasikan anggaran lintas item; (ii) uang yang tidak dibelanjakan pada suatu tahun anggaran akan hangus dan tidak dapat dialokasi-kan pada tahun anggaran berikutnya; (iii) kecenderungan manajer untuk menghabiskan uang pada tahun anggaran terkait. Organisasi yang digerakkan misi dianggap lebih efisien, efektif, inovatif, fleksibel dan memiliki semangat kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan orga-nisasi yang digerakkan aturan.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Osborne dan Gaebler menawarkan solusi yang mereka sebut dengan penganggaran yang diarahkan misi (mission-driven budgeting). Sistem penganggaran tersebut memiliki karakteristik yaitu: (i) setiap agensi dapat mengalokasikan antar item dalam anggaran; (ii) agensi dapat menyimpan uang lebih pada suatu tahun ang-garan untuk dialokasikan pada tahun anggaran berikutnya. Terdapat beberapa keunggulan yang diklaim dari implementasi penganggaran yang diarahkan misi yaitu: (i) memberikan insentif kepada setiap pekerja; (ii) menyediakan sumber daya untuk mencoba ide-ide baru; (iii) memberikan otonomi yang dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi; (iv) menciptakan lingkungan yang dapat diprediksikan; (v) mensimplifikasikan kerumitan pada proses penganggaran; (vi) menghemat dana untuk auditor dan pejabat penyusun anggaran; (vii) membebaskan dari pengawasan legislasi sehingga dapat berfokus pada isu-isu yang lebih penting.

d) Berorientasi HasilPrinsip orientasi hasil (result-oriented) menekankan pada mekanisme pengukuran akun-

tabilitas yang dilakukan Pemerintah. Sebagaimana dimaklumi, secara tradisional Pemerintah-an melakukan pengukuran akuntabilitas melalui input atau jumlah anggaran yang digunakan. Osborne berpendapat mekanisme pengukuran semacam ini semestinya beralih kepada peng-ukuran dengan pendekatan outcome dan hasil (result).

Kelemahan orientasi Pemerintah tersebut juga menjadi sasaran pembahasan para ahli lainnya. Charless Goodsell (1993) sebagaimana dikutip dalam 'Democracy and the New Public Management', menyatakan permasalahan pada Pemerintah bukan pada apa yang Pemerintah sebaiknya lakukan (what government should do) melainkan bagaimana suatu hal sebaiknya dilakukan (how it should do). Terkait dengan pelaksanaan program/kegiatan yang bertujuan untuk memproduksi barang dan jasa yang berkualitas untuk masyarakat (customer), Good-sell menyarankan dorongan melakukan sesuatu didasarkan pada persuasi (persuasion) dan bukan perintah (command). Selain itu Pemerintah dituntut untuk memiliki respon terhadap customer (be responsive to customers), memberdayakan klien (empower client) dan bersifat entreprenual (be entreprenual). Hal serupa juga ditemukan oleh OECD (2002). Dalam laporan berjudul 'Budget Reform in OECD Member Countries: Common Trends', OECD menyatakan

Page 37: Mengembangkan Tata Kelola BLU

29

Mengembangkan Tata Kelola BLU

bahwa akuntabilitas di sektor publik secara tradisional berbasiskan pada kepatuhan (compli-ance) pada aturan, regulasi dan prosedur.

Dalam praktiknya, penerapan orientasi hasil bukanlah hal yang mudah. OECD (2002), , US Department of Health and Human Services (DHHS) (1997), dalam laporan penelitian ber-judul 'Results-Based System for Public Health Program', menemukan beberapa permasalahan dalam implementasi akuntabilitas yang berorientasi hasil yaitu: (i) kesulitan menetapkan ukur-an yang terkait dengan misi program; (ii) kesulitan dalam mendapatkan data penting terkait dengan pengukuran; (iii) kesulitan memilih standar yang digunakan dalam pengukuran; (iv) keterbatasan kapasitas untuk mengalisa dan menginterpretasi informasi. DHHS melakukan pengujian terhadap penerapan akuntabilitas berorientasi hasil pada sistem kesehatan di 11 (sebelas) negara bagian. Hal-hal yang diujikan terdiri dari 2 (dua) hal yaitu: (i) usaha-usaha eksekutif terkait perencanaan strategis dan setting prioritas; serta (ii) sistem fokus terhadap populasi target dan intervensi program-program spesifik. Terdapat kesamaan pada negara--negara yang menerapkan mekanisme akuntabilitas tersebut yaitu: (i) tekanan publik terha-dap perbaikan sistem pemerintahan; (ii) adanya komitmen penerapan dari level tertinggi; (iii) keterlibatan stakeholder secara intensif.

Reformasi sektor publik dari sistem tradisional menuju sistem berorientasi hasil memiliki suatu kompleksitas. Hasan Ouda (2015) , dalam 'Results-Based Systems are the Path Towards Results-Oriented', merangkum 12 (dua belas) prinsip dari penerapan pemerintahan yang ber-orientasi hasil yaitu: Tabel 1. 12 Prinsip Pemerintahan yang Berorientasi Hasil

No Pemerintah Berorientasi Hasil Pemerintahan Tradisional

1 Fokus pengelolaan untuk hasil Fokus pengelolaan pada input, proses dan kepa-tuhan

2 penciptaan nilai dari sumber daya yang tersedia membelanjakan sumber daya yang tersedia

3 anggaran untuk hasil (output/outcomes) anggaran merupakan input

4 akuntabilitas berorientasi outcomes atau hasil (result)

akuntabilitas penggunaan/input

5 mengelola sumber daya ekonomi secara total mengelola aliran kas dan keseimbangan kas

6 pengukuran kinerja operasional pada tingkat ekonomi, efisiensi dan efektifitas

pengukuran kinerja pada kepatuhan terhadap aturan, regulasi dan prosedur

7 audit dilakukan pada kinerja pemerintahan audit pada legalitas dan kesesuaian terhadap aturan penarikan dana

8 laporan disusun terkait sumber daya ekonomi total dan kinerja pemerintah

laporan disusun terkait dengan posisi keuangan

9 terdapat sistem kuat yang menghubungkan antara perencanaan, kebijakan, penganggaran, manajemen keuangan, sistem manajemen kinerja

tidak terdapat hubungan yang kuat

10 sentralisasi tujuan (objectives) dan mendesentrali-sasikan pengelolaan

11 mendorong kolaborasi antara dan di internal bagian Pemerintah

12 adanya hubungan antara sumber daya dengan hasil untuk pengembangan keputusan pengang-garan

e) Diarahkan oleh PelangganPrinsip Pemerintah yang diarahkan pelanggan (customer-driven Government) merupa-

kan salah satu prinsip dalam penerapan Pemerintahan yang wirausaha (enterpreneur govern-ment). Sebagaimana dipahami, secara tradisional pemerintahan belum optimal menggunakan

Page 38: Mengembangkan Tata Kelola BLU

30

Mengembangkan Tata Kelola BLU

pendapat pelanggan atau pengguna layanan sebagai umpan untuk perbaikan layanan. Pada-hal pengguna layanan merupakan bagian dari masyarakat. Manajer pemerintahan cenderung menganggap bahwa mereka tidak mendapat dana secara langsung dari pengguna layanan. Selain itu pengguna layanan hanya memiliki sedikit alternatif terhadap pelayanan yang dise-lenggarakan pemerintah. Dengan kata lain, pengguna layanan pemerintah seringkali bersifat terpaksa.

Osborne dan Gaebler berpendapat bahwa mendengarkan pendapat pelanggan atau pengguna layanan merupakan hal yang penting bagi instansi pemerintah. Hal tersebut di-dasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar pelanggan memahami hal-hal yang mereka harapkan dari instansi Pemerintah. Terdapat beberapa keuntungan dari mendengarkan pen-dapat pengguna layanan yaitu: (1) mendorong penyediaan jasa menjadi akuntabel dari su-dut pandang pengguna layanan; (2) depolitisasi pengambilan keputusan penyedia jasa; (3) menstimulasi inovasi-inovasi baru; (4) memberi masyarakat pilihan jasa-jasa yang berbeda; (5) mengurangi hal-hal yang bersifat mubazir, karena segenap usaha digunakan untuk memenuhi permintaan (demand); (6) menciptakan kesempatan yang lebih besar bagi ekuitas.

Pada tataran implementatif, kepuasan pelanggan terhadap pemerintah seringkali lebih rendah dibandingkan kepuasan terhadap swasta. Jane Winesman (2015), dalam artikel berju-dul 'Customer Driven Government: How Listen, Learn and Leverage Data for Service Delivery Important', menyatakan kepuasan pelanggan publik terhadap swasta cenderung lebih tinggi dibandingkan kepada pemerintah. Hal tersebut didasarkan pada survey terhadap 43 industri dalam American Customer Satisfaction Index. Beberapa hal yang menarik lainnya juga diung-kapkan oleh Winesman yaitu: (i) terdapat ketertarikan publik untuk memberikan umpan balik kepada pemerintah; (ii) salah satu metode menghimpun pendapat pelanggan adalah melalui survey; (iii) beberapa pemerintah menggunakan sosial media untuk berinteraksi dengan ma-syarakat; (iv) data yang berasal dari 311 (call center keluhan warga kota) dapat menjadi umpan balik pelanggan.

f) Mewirausahakan Pemerintah (enterprising government)Ide dari prinsip mewirausahakan pemerintah ini adalah meletakkan fokus pada jumlah

yang diterima daripada jumlah yang dibelanjakan. Menurut Osborne dan Gaebler, Pemerintah harus memiliki metode yang inovatif untuk menghasilkan uang daripada hanya membelanja-kan uang. Prinsip ini menuntut institusi pemerintah belajar mengelola asetnya untuk meng-hasilkan uang. Terdapat 4 (empat) cara mewirausahakan pemerintah yaitu: (1) menggunakan motif keuntungan; (2) menarik biaya penggunaan; (3) melakukan investasi berdasarkan hasil yang diharapkan (expected return); (4) mengubah manajer menjadi pengusaha.

B. Konsep Tata Kelola yang Baik (Good Governance)

Sebagai penerapan dari pemikiran pemerintah yang wirausaha (enterpreneual govern-ment), suatu BLU semestinya digerakkan oleh tata kelola dan bukan oleh aturan. Suatu tata kelola yang baik akan menjadi suatu mekanisme atau mesin bagi organisasi dimana setiap ba-gian dari mesin dapat berjalan sesuai dengan fungsinya, dapat memberikan sinyal ketika terja-di kesalahan kerja dan bahkan dapat melakukan perbaikan secara mandiri terhadap kerusakan yang terjadi. Mesin tersebut juga dapat dikendalikan serta menggunakan sumber daya yang terukur dengan performa yang terukur pula. Mekanisme kerja mesin itu adalah tata kelola.

Setiap BLU memiliki tujuan yang berbeda-beda dan oleh karenanya tidak dapat dibuat seragam untuk semua BLU. Tata kelola BLU semestinya dibuat unik sesuai dengan karakteristik

Page 39: Mengembangkan Tata Kelola BLU

31

Mengembangkan Tata Kelola BLU

BLU tersebut. Oleh karenanya diperlukan prinsip-prinsip tata kelola BLU. Prinsip-prinsp terse-but merupakan hal yang berlaku umum dan diterjemahkan dalam suatu kerangka kerja BLU sesuai dengan karakteristiknya.

1. Mendefinisikan Terminologi Tata KelolaTata kelola secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai aturan main sebagai akibat

dari hubungan kontrak antara 2 (dua) pihak atau lebih. The Backwell Encyclopedia of Ma-nagement (diedit oleh Carry dan Argyris tahun 1998), menjelaskan bahwa pembahasan tata kelola perusahaan terkait dengan aturan, prosedur, dan administrasi pada kontrak perusahaan dengan pemilik saham, kreditur, pegawai, suplier, pelanggan dan pemerintahan terkait.

Luigi Zingales (1997), dalam essay-nya berjudul 'Corporate Governance', mendefinisikan sistem tata kelola sebagai suatu kumpulan pembatasan yang merupakan perwujudan tawar menawar setelah terpenuhinya suatu kondisi (ex-post) terhadap sewa-menyewa selain tanah (the quasi-rent) yang dihasilkan pada suatu hubungan (a governance system is a complex set of constraints that shape the ex-post bargaining over the quasi-rent generated in the course of relationship). Dalam tataran korporasi, konsep tata kelola membahas hal-hal terkait dengan alokasi kepemilikan, struktur pemodalan, skema insentif manajerial, peralihan kepemilikan, dewan direktur, tekanan dari investor institusi, kompetisi pasar produk, kompetisi pasar te-naga kerja, struktur organisasi dan hal lainnya menyangkut sewa menyewa selain tanah (the quasi-rent).

2. Memformulasikan Prinsip-prinsip Tata Kelola yang BaikOECD (2015), dalam suatu standar berjudul 'G20/OECD Principles of Corporate Gover-

nance', mencoba memformulasikan tata kelola korporasi yang baik. Pada tataran BLU, impli-kasi dari adanya tata kelola yang baik adalah memastikan pemangku kepentingan (stakehol-der) dan pemilik program (shareholder) memiliki hak-hak yang dilindungi dan memungkinkan BLU untuk menurunkan biaya dan memfasilitasi BLU untuk mengakses sumber daya untuk meningkatkan layanan.

Beberapa prinsip-prinsip tata kelola perusahaan versi OECD cukup dapat diaplikasikan pada tata kelola BLU. Kami mencoba merumuskan prinsip-prinsip tersebut pada pengaplika-sian di BLU sebagai berikut:Tabel 2. Adaptasi Prinsip GCG OECD pada Good BLU Governance

No Prinsip Good Corporate Go-vernance versi OECD

Usulan Adaptasi dalam Good BLU Governance

Keterangan

1 Memastikan dasar bagi suatu efektifitas kerangka kerja tata kelola perusahaan(Ensuring the basis for an effective corporate governance framework)

Memastikan dasar bagi suatu efektifitas kerangka kerja tata kelola BLU

2 Hak dan perlakuan yang adil antara pemilik saham dan fung-si kunci kepemilikan(the right and equitable treat-ment of shareholder and key ownership function)

- tidak dimasukkan - tidak terdapat konsep pemilik saham dalam BLU

3 Investor institusional, pasar saham dan intermediari lainnya(Institutional investor, stock markets, and other intermedi-aries)

- tidak dimasukkan - Pada dasarnya BLU tidak dapat melakukan pinjaman jangka pan-jang dan investasi jangka panjang kecuali atas persetujuan Menteri Keuangan

Page 40: Mengembangkan Tata Kelola BLU

32

Mengembangkan Tata Kelola BLU

No Prinsip Good Corporate Go-vernance versi OECD

Usulan Adaptasi dalam Good BLU Governance

Keterangan

4 Peran stakeholder dalam tata kelola perusahaan(The role of stakeholder ini corporate governance)

Peran stakeholder dalam tata kelola BLU

5 Pernyataan dan tranparansi(Disclosure and tranparency)

Pernyataan dan tranparansi

6 Tanggung jawab dewan(The responsibility of Board)

Tanggung jawab dewan

a) Memastikan basis kerangka kerja yang efektif pada tata kelola BLUKerangka tata kelola BLU semestinya mengutamakan transparansi dan keadilan pasar,

serta alokasi sumber daya yang efisien. Kerangka tersebut juga konsisten dengan hukum dan mendukung efektifitas supervisi dan pelaksanaan.

Pengembangan BLU kiranya didasarkan bagaimana Pemerintah memberikan suatu dam-pak terhadap perekonomian. BLU memberikan suatu ruang bagi Pemerintah untuk dapat ber-gerak secara fleksibel yang diharapkan dapat memberi pengaruh pada perekonomian. Oleh karenanya, Pemerintah semestinya memiliki suatu grand design bagaimana BLU-BLU tersebut diposisikan dan bagaimana tujuan akhir dapat digerakkan oleh BLU.

Sebagai suatu unit layanan, BLU bergerak di pasar dan, oleh karenanya, bersaing dengan unit-unit layanan lainnya baik BLU lainnya, instansi pemerintah non BLU maupun sektor privat. Oleh karenanya, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan oleh BLU. Pertama, BLU dalam bero-perasi semestinya memperhatikan integrasi pasar. BLU semestinya, tidak menciptakan halang-an yang menyebabkan sektor privat keluar dari pasar. Misalnya, suatu rumah sakit BLU kiranya tidak menetapkan harga yang terlalu murah sehingga menyebabkan rumah sakit lainnya tidak dapat bersaing. Sebaliknya, rumah sakit BLU semestinya menjadi rujukan utama bagi rumah sakit swasta. Kerangka kerja yang memperhatikan integrasi pasar merupakan suatu konstrain terhadap prinsip kompetitif yang diajukan oleh Osborne.

Kedua, pendirian BLU sebaiknya memberikan insentif kepada masyarakat untuk berparti-sipasi. BLU kiranya dapat menjadi agen Pemerintah untuk mengajak masyarakat terlibat pada peningkatan layanan. Keterlibatan tersebut berupa pengembangan layanan yang memudah-kan akses kepada masyarakat, instrumen-instrumen pendanaan (untuk BLU pendanaan) yang memungkinkan masyarakat terlibat pada pengembangan ekonomi, pelaporan yang transpa-ran yang memungkinkan masyarakat dapat ikut mengawasi pengelolaan BLU, edukasi produk layanan kepada masyarakat terutama terkait dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat serta hal-hal lain yang menjadi insentif bagi masyarakat untuk berpartisipasi.

Ketiga, mempromosikan transparansi. BLU semestinya memberi contoh penerapan trans-paransi dalam baik pada hubungan stakeholder, pelaksanaan kinerja maupun manajemen keuangan. Transparansi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi sektor privat untuk meningkatkan transparansinya.

Kerangka kerja yang dibangun pada BLU semestinya juga memegang suatu konsistensi terhadap peraturan, transparan dan dapat dilaksanakan. Termasuk di dalamnya pembagian yang jelas hubungan BLU dengan Supervisor, Regulator dan Principal. Ketiga unit tersebut semestinya diseleksi secara ketat terkait integritas dan kompetensinya.

Hal yang harus diperhatikan dalam pembangunan tata kerja BLU adalah kepastian bahwa tata kerja tersebut dapat dilaksanakan. Sebagaimana dipahami, BLU memiliki suatu fleksibi-litas dan posisi strategis untuk meningkatkan kualitas bangsa dan negara. Melalui pendirian BLU, Pemerintah menitipkan kepentingannya untuk membangun dan meningkatkan daya sa-

Page 41: Mengembangkan Tata Kelola BLU

33

Mengembangkan Tata Kelola BLU

ing bangsa. Oleh karenanya setiap hal yang disusun dalam kerangka kerja merupakan suatu komitmen Dewan Direksi untuk berkontribusi dalam pembangunan.

b) Peran stakeholder dalam tata kelolaKerangka tata kelola sebaiknya mempertimbangkan hak dari stakeholder yang telah di-

bangun oleh peraturan atau melalui kerjasama yang saling menguntungkan dan mendorong kerja sama aktif antara BLU dan stakeholder dalam menciptakan kemakmuran, peluang kerja dan kemampuan keuangan yang berkelanjutan

Salah satu stakeholder yang sering dilupakan adalah bagaimana menempatan hak dan kewajiban pegawai BLU dalam berpartisipasi dan memberikan kontribusi kepada unit organi-sasinya. Pada tata kelola BLU kiranya perlu dirumuskan hak-hak dan kewajiban pegawai BLU untuk berpartisipasi dalam pengelolaan organisasi. Termasuk di dalam hak dan kewajiban tersebut adalah hak, kewajiban serta saluran informasi apabila terdapat pelanggaran serius terhadap kode etik organisasi.

Untuk mengoptimalkan partisipasi stakeholder, kiranya diperlukan sistem informasi yang relevan, memadai dan reliabel sesuai waktu dan aturan yang ditetapkan oleh regulator. Data yang disajikan dalam sistem informasi tersebut merupakan data-data yang bersifat statis dan memenuhi harapan dan kepentingan para stakeholder.

c) Pernyataan dan transparansi

Sebagai suatu unit organisasi yang mempromosikan transparansi dan tata kelola yang baik, maka setiap BLU semestinya juga memiliki kerangka kerja yang baik dan transparan. Ringkasan kerangka kerja tersebut termuat dalam Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) yang disetujui oleh Principal dalam Rapat BLU Tahunan (RBT).

RBA juga berfungsi sebagai pernyataan (disclosure) kinerja BLU kepada stakeholder. Per-nyataan yang terdapat dalam RBA sedikitnya memuat hal-hal seperti: (i) kinerja keuangan dan operasional; (ii) tujuan BLU dan informasi non-finansial; (iii) informasi terkait Dewan Penga-was, Dewan Direksi, termasuk kualifikasinya, proses seleksi; (iv) transaksi terkait pihak-pihak yang memiliki keterkaitan; (v) faktor-faktor risiko; (vi) isu-isu terkait pegawai dan stakeholder; (vii) struktur dan kebijakan terkait tata kelola, termasuk proses untuk mengimplementasikan

Untuk menjamin terpenuhinya kondisi transparansi maka diperlukan audit yang dilaksa-nakan dalam 2 (dua) tingkat yaitu internal dan eksternal. Audit internal dilakukan pada perio-de tertentu oleh unit-unit internal BLU yang bertanggung jawab kepada manajemen puncak. Sedangkan audit eksternal atau audit tahunan dilaksanakan oleh auditor yang independen, kompeten dan berkualifikasi

d) Tanggung jawab dari Dewan DireksiKerangka kerja tata kelola BLU dapat memastikan petunjuk strategis, monitoring yang

efektif pada manajemen, akuntabilitas Dewan Direksi kepada Principal. Untuk itu diperlukan deskripsi yang dapat mendefinisikan secara jelas peran dan tanggung jawab Direksi.

Sebagai suatu institusi yang digerakkan oleh misi (mission-drive organization), setiap langkah yang diambil oleh Direksi BLU sebaiknya dibatasi oleh prinsip, bukan oleh aturan. Prinsip-prinsip tersebut selanjutnya dikembangkan dalam kerangka kerja tata kelola BLU yang disetujui oleh Rapat BLU Tahunan. Kerangka prinsipyang diusulkan untuk dikembangkan ada-lah sebagai berikut: (i) Direksi melakukan sesuatu berbasiskan informasi, mempertimbangkan

Page 42: Mengembangkan Tata Kelola BLU

34

Mengembangkan Tata Kelola BLU

due diligence; (ii) Direksi mempraktikan standar etika yang berkualitas tinggi; (iii) Direksi me-menuhi fungsi-fungsi kunci termasuk mereviu dan mengarahkan strategi BLU, rencana-ren-cana tindakan yang utama, kebijakan dan prosedur manajemen risiko, anggaran tahunan dan rencana bisnis.

Adapun tanggung jawab dari Dewan Direksi diusulkan sebagai berikut: (i) mengatur tu-juan kinerja, memonitor implementasi dan kinerja BLU, mengawasi belanja modal utama, me-monitor efektifitas praktik tata kelola BLU dan melakukan perubahan apabila diperlukan; (ii) memilih, mengkompensasi, memonitor, dan jika dibutuhkan mengganti eksekutif kunci dan mengawasi rencana suksesi; (iii) memperhitungkan remunerasi yang sesuai dengan aturan perundangan sehingga dapat meningkatkan produktifitas pegawai sesuai dengan kemampu-an keuangan BLU; (iv) memastikan nominasi Direksi secara formal dan transparan; (v) memo-nitor dan mengelola potensi konflik kepentingan; (vi) mengawasi setiap proses dalam organi-sasi untuk mencapai tujuan.

C. Konsep AgensifikasiDalam Penjelasan PP 23 Tahun 2005, diuraikan bahwa BLU merupakan penerapan dari

konsep pengagenan atau agensifikasi (agencification) yang telah banyak dipraktikkan di man-ca negara. Oleh karenanya, perlu juga dipahami bagaimana ide dasar dan penerapan konsep agensifikasi.

1. Ide Dasar

Ide dasar agensifikasi adalah pemisahan tanggung jawab pihak yang bertindak sebagai regulator (steering) dan pihak yang berperan sebagai operasional atau pendayung (rowing). Pemisahan tanggung jawab tersebut membuat pihak regulator dapat berfokus pada pemba-ngunan regulasi yang berkualitas tanpa harus dirumitkan dengan permasalahan-permasalah-an layanan operasional. Dari sisi yang lain, pihak yang melaksanakan fungsi operasional dapat berfokus pada pelaksanaan fungsinya tanpa dirumitkan dengan perencanaan dan pembahas-an dengan pihak legislatif.

Berbagai uraian dari beberapa ahli dan organisasi internasional juga mengerucut pada ide dasar agensi yaitu pemisahan tanggung jawab antara regulator dan operator dengan memberikan otonomi kepada operator tersebut untuk mengolah sumber daya yang dimiliki. Beblavy (2002), dalam 'Understanding the Waves of Agencification and the ̀ Governance Prob-lems They Have Raised in Central and Eastern European Countries', merumuskan agensifika-si sebagai suatu proses delegasi dan devolusi kepada lembaga-lembaga publik yang diberi suatu otonomi, terutama terkait dengan pengelolaan SDM dan keuangan, dimana lembaga tersebut merupakan bagian dari negara dan dapat melakukan tindakan hukum untuk mereka sendiri.

Menurut Jacobsson dan Sundtrom (2007), dalam papernya berjudul 'Governing Sta-te Agencies : Transformations in the Swedish Administration Model', ide dasar agensifikasi adalah pemisahan antara pembuat kebijakan (policy formation) dengan pengimplementasi kebijakan (policy implementation). Pembuat kebijakan merupakan eksekutif inti, sedangkan pengimplementasi kebijakan terdiri dari agensi eksekutif profesional yang dikelola secara in-dependen dan harus melaporkan kepada eksekutif inti tersebut hasil kinerjanya. Agensi me-rupakan institusi yang bertindak sebagai implementator kebijakan tersebut.

OECD (2005) dalam 'Modernizing Government. The Way Forward', menguraikan bebera-pa tujuan praktik agensifikasi: (a) meningkatkan efisiensi; (b) menguatkan dan mengklarifikasi

Page 43: Mengembangkan Tata Kelola BLU

35

Mengembangkan Tata Kelola BLU

tanggung jawab dan akuntabilitas; (c) mendorong administrasi yang profesional; (d) lebih banyak administrasi yang berorientasi layanan yang ditempatkan di dekat warga.

2. Agensifikasi sebagai Bagian dari New Public Management (NPM)Karakter mewirausahakan pemerintah (enterprising the government) merupakan karak-

ter utama dari institusi Pemerintah berbentuk Badan Layanan Umum (BLU). Tujuannya pem-bangunan karakter ini adalah membangun institusi yang memberikan pelayanan optimal de-ngan tetap memperhatikan efektifitas dan efisiensi dalam mengalokasikan sumber daya. Ide tersebut merupakan pengejawantahan dari teori agensi yang telah diadaptasi pada sistem pemerintah di negara lain.

Teori agensifikasi sendiri merupakan inti dari pemikiran New Public Management yang berfokus pada pemecahan permasalahan lemahnya efektifitas dan efisiensi pemerintah dalam memberikan pelayanan publik melalui adopsi konsep-konsep yang telah sukses diterapkan di sektor privat. Menurut Charless Goodsell (1993) sebagaimana dikutip dalam 'Democracy and the New Public Management', menyatakan permasalahan pada Pemerintah bukan pada apa yang Pemerintah sebaiknya lakukan (what government should do) melainkan bagaimana suatu hal sebaiknya dilakukan (how it should do). Terkait dengan pelaksanaan program/kegi-atan yang bertujuan untuk memproduksi barang dan jasa yang berkualitas untuk masyarakat (customer), Goodsell menyarankan dorongan melakukan sesuatu didasarkan pada persuasi (persuasion) dan bukan perintah (command). Selain itu Pemerintah dituntut untuk memiliki respon terhadap customer (be responsive to customers), memberdayakan klien (empower client) dan bersifat entreprenual (be entreprenual).

Teori agensifikasi mendistribusikan tata kelola pemerintah pada pihak-pihak yang ter-pisah. Donald Moynihan, dalam 'Ambiguity in Policy Lessons: The Agencification Experien-ce', menguraikan karakteristik dari teori agensi yaitu: (a) pemilahan secara struktur dan/atau penciptaan organisasi yang memiliki tugas spesifik; (b) kontrak kinerja - suatu format peng-aturan, pengawasan dan pelaporan pencapaian target kinerja; (c) deregulasi (atau regulasi ulang) pengendalian terhadap personel, keuangan dan hal-hal terkait manajerial. Penerapan ide agensifikasi diinterpretasikan dalam konteks yang berbeda-beda di tiap negara.

Allen Shick (2002), dalam 'Agencies in Search Principles', menjelaskan terdapat 2 (dua) inti dari penerapan NPM. Pertama, prinsip 'let the managers manage' dimana deregulasi dila-kukan terhadap penggunaan sumber daya dalam operasional. Inti NPM ini juga diadopsi da-lam paradigma keuangan negara di Indonesia. Salah satunya adalah pelimpahan kewenangan administrasi (ordonnateur) keuangan negara yang sebelumnya dipegang oleh Menteri Keu-angan menjadi dikelola oleh Menteri Teknis. Tata kelola BLU juga merupakan penerapan prin-sip ini. Inti dari prinsip ini adalah memberikan ruang yang memadai bagi manajer di instansi--instansi pemerintahan untuk merencanakan, menggunakan dan mengelola sumber daya.

Prinsip kedua adalah 'make manager manage'. Ketika prinsip pertama diterapkan secara luas pada pengelolaan manajemen keuangan negara di Indonesia, prinsip kedua belum men-dapatkan ruang pada pengaturan-pengaturan terkait keuangan negara. Pada dasarnya. prin-sip ini diterapkan melalui adanya kontrak kinerja antara pihak yang memberikan delegasi dan agensi yang menerima delegasi. Kontrak tersebut menspesifikasikan ekspektasi pihak-pihak yang memberikan delegasi serta bagaimana mengukur kinerja pihak-pihak yang menerima

Page 44: Mengembangkan Tata Kelola BLU

36

Mengembangkan Tata Kelola BLU

delegasi. Karena terdapat hubungan kontrak antara kedua pihak tersebut maka hubungan tersebut dapat disamakan dengan hubungan Principal Agent pada sektor privat. Wakil dari institusi Pemerintah yang mendelegasikan kewenangannya merupakan Principal, disamakan dengan pemegang saham pada sektor privat. Sedangkan pimpinan institusi Pemerintah yang mendapat pendelegasian kewenangan merupakan agent, disamakan dengan Dewan Direksi pada sektor privat.

Kedua prinsip dalam NPM tersebut saling mendukung satu sama lain dan tidak dapat di-pisahkan. Prinsip pertama memberikan diskresi yang luas kepada manajer untuk dapat bekerja dengan fleksibilitas terhadap akuntabilitas. Namun, pemberian hak diskresi tersebut tentunya harus dipertanggungjawabkan dengan adanya keterbukaan dalam pemberian informasi yang digunakan untuk mengukur kinerja dari agensi.

3. Praktik di Negara LainSebagaimana dipahami, setiap negara memiliki latar belakang yang berbeda-beda ter-

kait tradisi administrasi politik, budaya dan sistem legal menyebabkan praktik yang berbeda--beda terhadap penerapan konsep agensi. Dolowitz dan Marsh (1996), dalam 'Who Learns What from Whom: A Review of the Policy Transfer', menyatakan bahwa pengembangan agensi berbeda-beda di tiap negara. Warisan historis, seperti okupasi kolonial, tradisi institusional, krisis seperti perang dan krisis keuangan, serta berbagai transisi seperti demokratisasi dan integrasi Eropa memberi dampak pada proses penciptaan agensi. Perbedaan-perbedaan yang terjadi pada negara-negara tersebut menyebabkan perlu adanya pertimbangan-pertimbang-an apabila kita hendak mengadopsi suatu sistem dari negara lain.

a) InggrisInggris tercatat sebagai negara yang paling berhasil menerapkan konsep agensifikasi.

Agensifikasi secara masif dilakukan oleh Margaret Thatcher di sekitar tahun 1980an sebagai cara untuk memotong belanja publik secara besar-besaran serta meningkatkan tabungan. Menurut Panchamina dan Thomas, dalam buku berjudul 'The Next Steps Inisiative', dari tahun 1988 hingga 1997 Pemerintah Inggris berhasil memindahkan sekitar 75%-95% PNS dari in-stitusi birokrasi dengan inisiatif Britain's Next Step yang mendorong penghematan anggaran yang cukup signifikan. Reformasi birokrasi tersebut juga mengubah pejabat-pejabat senior lebih berfokus kepada regulasi karena tidak lagi dipusingkan oleh rumitnya operasional. Ka-rena kesuksesan tersebut, Inisiatif Next Steps seringkali dianggap sebagai reformasi birokrasi paling revolusioner sepanjang sejarah pemerintahan.

Allen Shick (2002) mencatat implementasi agensifikasi di Inggris. Pijakan utama yang digunakan dalam implementasi tersebut adalah inisiatif Britain's Next Step yang merupakan rencana ambisius Parlemen pada tahun 1988. Ide inti dari inisiatif tersebut adalah agensi se-baiknya didirikan untuk membawa fungsi eksekutif pemerintah dengan kerangka kebijakan dan sumberdaya diatur oleh Kementerian (agencies should be established to carry out the executive function of government within a policy and resource framework set by a depart-ment). Pengembangan agensi sebagai lengan Pemerintah tersebut merupakan jawaban ter-kait 3 (tiga) kebutuhan mendasar dalam pemerintahan yaitu: (i) kebutuhan fokus terhadap pekerjaan untuk diselesaikan (the job to be done); (ii) dengan menggunakan orang yang tepat (the right people); (iii) dan dengan menjaga tekanan terhadap kinerja (maintaining a pressure for a movement).

Dalam Inisiatif Next Step, terdapat suatu siklus (life cycle) agensi yang terdiri dari delapan

Page 45: Mengembangkan Tata Kelola BLU

37

Mengembangkan Tata Kelola BLU

langkah yaitu: (i) status kandidat diberikan kepada entitas atau aktifitas yang didesain sebagai calon dari agensi; (ii) opsi pendahuluan (prior options) yaitu reviu formal untuk mempertim-bangkan misi entitas dan langkah-langkah alternatif untuk membuatnya menjadi agensi; (iii) Hubungan Kementerian-agensi diklarifikasi, termasuk hal-hal dimana agensi diberikan oto-ritas untuk mengelola secara mandiri; (iv) dokumen kerangka kerja termasuk di dalamnya tujuan agensi, kondisi operasi, tanggung jawab pimpinan eksekutif, hubungan dengan Ke-menterian induk, dan bermacam pengaturan keuangan dan pegawai; (v) rekrutmen pimpinan agensi secara terbuka dan bekerja di bawah kontrak yang menspesifikasikan kondisi kerja dan ekspektasi kinerja; (vi) target kinerja dipublikasikan setiap tahun; (vii) laporan tahunan digunakan untuk membandingkan antara target kinerja dan kinerja aktual, termasuk di dalam-nya laporan keuangan; (viii) reviu periodik dilakukan setidaknya sekali tiap lima tahun untuk mengevaluasi bagaimana kinerja agensi dan mempertimbangkan kesepakatan operasional.

Kate Jenkins (2010), dalam buku yang berjudul 'Politicians and Public Service : Implemen-ting Change in A Class of Cultures' menyatakan bahwa Next Step telah membawa perubahan besar pada agensi eksekutif. Jenkins beranggapan perubahan tersebut sangat efektif, revo-lusioner dan aktual. Namun demikian, penerapan inisiatif tersebut masih memiliki pekerjaan rumah yang belum terselesaikan terkait hubungan antara agensi dan departemen, hubungan antar pihak-pihak yang menggunakan layanan agensi, serta peran sentral yang mengarahkan agensi bekerja.

b) Selandia BaruSelandia Baru merupakan salah satu negara yang menerapkan agensifikasi secara luas

pada pemerintahannya. Richard Norman (2001), dalam papernya berjudul 'Letting and ma-king managers manage: the effect of control systems on management action in New Zealand’s central government', mencatat perubahan birokrasi New Zealand yang dimulai pada akhir 1980an. Birokrasi tradisional dan sentralistik diganti oleh suatu sistem yang memungkinkan manajer sektor publik menyediakan output sebagaimana ditetapkan oleh Menteri yang du-duk di Kabinet. Akuntansi akrual dari sektor privat diadaptasi untuk memastikan biaya output beserta depresiasi aset pada sektor publik dapat diperbandingkan dengan hal yang sama pada sektor swasta. Manajer diberi ruang yang memadai untuk mengelola sumber daya yang dibutuhkan untuk menghasilkan output.

Pada tataran implementatif, penerapan agensi di New Zealand juga mengalami berbagai permasalahan. Allen Shick (2002) menguraikan evaluasi yang dilakukan Kementerian Perben-daharaan (The Treasury) dan Komisi Layanan Negara (State Service Commission) yang meng-hasilkan poin-poin sebagai berikut: (i) monitoring yang tidak berkelanjutan dan tidak me-madai dari Kementerian serta tidak adanya perhatian dari Menteri-menteri yang semestinya bertanggung jawab; (ii) tidak memadainya respon dan ketidakpedulian agen (Crown Entities )terhadap kebijakan Pemerintah; (iii) persyaratan akuntabilitas yang tidak lengkap dan tidak konsisten; (iv) tidak memadainya pengaturan tata kelola sebagai akibat status yang membi-ngungkan dari Crown Entities.

c) Korea SelatanKorea Selatan merupakan negara yang cukup menarik untuk diperhatikan karena setiap

rezim pemerintahnya menawarkan konsep reformasi yang berbeda. Menurut OECD dan Korea Policy Center (2008), dalam 'Transforming Korean Public Governance: Cases and Lessons', Ko-rea Selatan merupakan negara yang gemar melakukan perubahan struktur organisasi dengan alasan pemotongan biaya.

Page 46: Mengembangkan Tata Kelola BLU

38

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Tabel 3. Penerapan Reformasi Birokrasi yang Berbeda-beda pada Setiap Rezim Pemerintahan di Korea Selatan

Kim Yong-sam(1993-1997)

Kim Dae-Jung (1998-2002)

Roo Moo-hyun(2003-2007)

Faktor Domestik • Demokratisasi• Peralihan rezim

militer menuju rezim sipil

Krisis finansial masyarakat yang terpolarisasi, konflik sosial

Tujuan • Menyembuhkan permasalahan orang Korea,

• menciptakan the New Korea

Mengejar ekonomi demokrasi dan pasar

partisipasi dalam pemerintahan

Arahan • Pemerintahan lebih bersih, lebih kecil dan lebih kuat

• administrasi yang lebih demokratis dan efisien

• Reformasi custo-mer-oriented

• Pemerintahan yang kecil, merestrukturisasi dan mengecilkan

• operasi pemerintahan yang efisien

• pemerintahan yang bero-rientasi pada layanan

• Tata kelola yang baik dan menciptakan negara inovatif pada abad 21

• Kerjasama usaha inovasi antar Pemerintah, bisnis dan masya-rakat

• menciptakan sistem inovasi autonomous

Sumber: OECD dan Korea Policy Center (2008)

Konsep agensifikasi sebenarnya juga diterapkan secara luas di birokrasi Korea Selatan. Namun demikian, hasil dari agensifikasi tidak begitu menggembirakan. Konsep agensifikasi tersebut diperkenalkan melalui the Executive Agency Act pada tahun 1999. Prinsip agensifi-kasi juga meniru model-model yang ada di dunia. Agen-agen pemerintah diberi fleksibilitas dan otonomi untuk mengelola sumber daya manusia, anggaran operasional dan mengubah struktur organisasi.

Menurut OECD dan Korea Policy Center (2008), agensifikasi di Korea Selatan tidak per-nah berjalan sukses. Beberapa kelemahan yang menghantui penerapan agensifikasi di Korea Selatan yaitu: (a) lemahnya pengendalian legislatif akibat pemberian otonomi dan kebebasan dari pengaturan legal; (b) produk yang dihasilkan seringkali merusak kepercayaan publik; (c) sulitnya koordinasi antara kementerian dan agen; (d) tingginya risiko terkait akuntabilitas dan korupsi.

Hasil penelitian OECD dan Korea Policy Center tersebut juga disetujui oleh para ahli dari Korea Selatan. Nanyoung Kim dan Wonhyuk Chok (2015), dalam 'Agencification and Perfor-mance: The Impact of Autonomy and Result-Control on the Performance of Executive Agen-cies in Korea', menemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kinerja dengan otonomi dalam pengelolaan keuangan dan SDM yang diteliti pada agen-agen pe-merintah. Namun demikian, terdapat korelasi yang erat antara kinerja dengan evaluasi kinerja dan penghargaan (reward). Temuan senada juga diungkapkan oleh Keunsei Kim (2008), dalam 'Agencification in Korea: Governance and Performance', yang menyimpulkan bahwa agensi-fikasi tidak menghasilkan keuntungan ekonomi dan efisiensi. Setelah penerapan agensifikasi, evaluasi secara menyeluruh terhadap pekerja menunjukkan hasil netral. Namun demikian, ter-dapat peningkatan orientasi manajerial terhadap kinerja serta peningkatan terhadap kepuas-an layanan.

Page 47: Mengembangkan Tata Kelola BLU

39

Mengembangkan Tata Kelola BLU

A. Permasalahan Agensifikasi dalam Tata Kelola BLU

Di Indonesia, agensifikasi diadaptasi melalui tata kelola Badan Layanan Umum (BLU). Tata kelola tersebut memberikan suatu solusi bagaimana fungsi principal dan agent dipisahkan se-hingga terbentuk suatu institusi pelayanan berfokus pada pelayanan masyarakat. Persyaratan utama adalah pengembangan ruang gerak keuangan dan manajerial yang fleksibel dengan melonggarkan regulasi yang dianggap menjadi hambatan dan sumber ketidakefisienan pe-nyediaan layanan pemerintah.

1. Permasalahan Hubungan Principal Agen

Efektifitas bangunan tata kelola BLU dengan pendekatan enterprising the government dapat diperbandingkan dengan tata kelola sektor privat dimana Dewan Direksi bekerja me-ngelola perusahaannya sehingga dapat memaksimalkan keuntungan bagi pemilik perusa-haan. Dalam tata kelola antara pemilik usaha/pemegang saham dan pihak pengelola usaha pada sektor privat sebenarnya terdapat suatu permasalahan yang menjadi suatu pembahasan dalam diskursus corporate finance. Permasalahan tersebut seringkali dikenal dengan aksioma agency problem.

Aksioma agency problem menjelaskan bagaimana kepentingan antara pemilik saham (shareholder) dengan Dewan Direksi yang mengelola perusahaan dapat dipertemukan se-hingga dapat memaksimalkan keuntungan bagi pemilik dalam suatu tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Di Indonesia, konsep ini dituangkan dalam UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dimana terdapat 3 (tiga) organ utama dalam su-atu perusahaan yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris dan Direksi. RUPS merupakan forum yang berisi pemegang saham dimana organ ini merupakan peng-ambil keputusan tertinggi dalam perusahaan. Wewenang tersebut tidak diberikan kepada Di-reksi maupun Dewan Komisaris. Di sisi lain, terdapat Dewan Direksi yang bertanggungjawab secara penuh atas pengurusan perusahaan sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan serta mewakili perusahaan di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Sedangkan Dewan Komisaris merupakan organ perusahaan yang melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi-kan nasehat kepada direksi. Pada sektor privat tersebut, RUPS berperan sebagai principal dan

BAB 4 IMPLEMENTASI AGENSIFIKASI PADA BLU

Alfiker Siringoringo

Page 48: Mengembangkan Tata Kelola BLU

40

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Direksi berperan sebagai agent. Sedangkan Dewan Komisaris berperan sebagai pihak yang memfasilitasi kepentingan principal dalam mengawasi agent sesuai kesepakatan-kesepakatan RUPS yang tertuang dalam anggaran dasar.

Pada dasarnya konsep BLU mencoba mendekatkan konsep principal agent pada pe-ngembangan tata kelolanya. Peran principal diganti dengan instansi induk yang mendelegasi-kan kepentingannya melalui kontrak kinerja. Peran Dewan Direksi tetap mendapat nama yang sama. Sedangkan Dewan Komisaris direpresentasikan oleh Dewan Pengawas.

Dalam pengimplementasiannya, terdapat beberapa kelemahan terkait organ-organ pembentuk BLU yaitu:Tabel 4. Inventarisasi kelemahan hubungan organ BLU

Organ BLU Permasalahan

Instansi Induk • Semua organ ini disebut pembina. Tidak jelas pihak yang berperan sebagai Regulator, Principal dan Supervisor.

• Fungsi Regulator dan Principal Keuangan berada pada satu tangan• Tidak memadainya peran Dewan Pengawas dalam mengarahkan BLU

Kementerian Keuangan

Dewan Pengawas

Dewan Direksi Belum terdapat standar suksesi Dewan Direksi yang menjamin transparansi

a) ketidaktegasan konsep Principal pada tata hubungan BLUTata kelola BLU berbeda secara signifikan dengan tata kelola sektor privat. Pada sektor

privat RUPS yang merupakan kumpulan dari pemegang saham memiliki kekuasaan tertinggi. Setiap satu saham mewakili satu suara sehingga semakin besar sharing saham seorang share-holder maka semakin dominan pula suaranya dipertimbangkan dalam RUPS.

Dalam BLU, kewenangan tertinggi tidak dimiliki oleh RUPS namun K/L sebagai pemberi delegasi. Berdasarkan Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pe-ngelolaan Badan Layanan Umum, Kementerian Teknis berperan sebagai principal serta BLU bertindak sebagai agent. Kedua pihak menandatangani kontrak kinerja (a contractual perfor-mance agreement) dimana menteri/pimpinan lembaga induk bertanggung jawab atas kebi-jakan layanan yang hendak dihasilkan, dan BLU bertanggung jawab untuk menyajikan layanan yang diminta.

Sebagai konsekuensi adanya priviledge instansi BLU maka adanya seleksi dengan tata kelola khusus. Konsekuensi ini yang menyebabkan timbulnya konsep pembina dimana pem-bina teknis adalah Menteri/Pimpinan Lembaga dan pembina keuangan yaitu Menteri Keu-angan. Pembina merupakan subjek (noun) dari pelaku pembinaan. Terdapat 3 (tiga) definisi terminologi 'pembinaan' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu: (1) proses, cara, perbuatan membina (negara dan sebagainya); (2) pembaharuan; penyempurnaan; (3) usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Definisi nomor 3 terminologi 'pembinaan' tersebut selanjutnya diadaptasi dalam konsep pembinaan pengelolaan keuangan BLU sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-07/PB/2015. Dalam peraturan tersebut, pembinaan pengelolaan keuangan BLU didefinisikan sebagai:

'serangkaian usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan metode tertentu, dan berdasarkan prinsip efisiensi dan efektifitas, untuk menghasilkan tata kelola keuangan yang lebih baik dan penilaian kinerja pada Badan Layanan Umum'.

Peran pembina pada dasarnya tidak sepadan dengan peran pemilik kepentingan atau wakil pemilik kepentingan. Pembina tidak memiliki kepentingan secara khusus terhadap pi-hak yang dibina. Sebagai contoh, pembina UMKM berkepentingan terhadap keberhasilan UMKM secara umum, namun tidak berkepentingan terhadap keberhasilan UMKM secara khu-sus. Konsep pembina merupakan konsep pelaksanaan fungsi pemerintah untuk meregulasi,

Page 49: Mengembangkan Tata Kelola BLU

41

Mengembangkan Tata Kelola BLU

mengalokasi dan melakukan stabilisasi. Hal tersebut tentu saja berbeda dengan konsep principal atau pemilik kepentingan pada

sektor privat. Principal berkepentingan terhadap perkembangan modal yang ditanam dalam perusahaan. Setiap langkah yang diambil dari Dewan Direksi dilakukan atas dasar kontrak kinerja yang berkonsekuensi pada kenaikan atau penurunan nilai saham atau dividen yang diperoleh.

b) perlu adanya standar suksesi Dewan Direksi yang menjamin transparansiKualitas kepemimpinan pada BLU pada dasarnya menentukan seberapa baik kinerja BLU

tersebut. Dengan suatu fleksibilitas, BLU sebenarnya memiliki ruang yang cukup lega untuk meningkatkan kinerja melalui otonomi pada pengelolaan sumber daya manusia dan keuang-an. Namun demikian, regulasi terkait dengan BLU tidak banyak mengatur tentang mekanisme suksesi Dewan Direksi.

Sebagai institusi pemerintah, penunjukan pimpinan institusi BLU mengikuti sistem sukse-si yang berlaku pada Kementerian induk. Beberapa BLU memang telah menggunakan sistem suksesi kepemimpinan secara transparan. Namun sebagian besar BLU justru menunjukkan pe-nunjukan pimpinan dilakukan tidak dengan mekanisme fit and proper test secara transparan. Pimpinan BLU seringkali merupakan pejabat karir yang tidak melewati seleksi jabatan secara ketat. Demikian pula apabila kinerja BLU tersebut tidak sesuai target, tidak terdapat punish-ment yang berkonsekuensi pada jabatan pimpinan BLU.

Mekanisme suksesi melalui rotasi jabatan karir memang tidak sepenuhnya buruk. Pim-pinan BLU yang berasal dari Kementerian/Lembaga induk mungkin baik, memiliki hubungan politis yang harmonis dengan instansi induk, namun juga memiliki risiko kelemahan dalam skill manajerial. Sebaliknya, pimpinan yang dipilih di luar instansi induk, memilki risiko keti-dakharmonisan hubungan antara BLU tersebut dengan instansi induk. Hal tersebut juga di-catat oleh Van Thiel et al (2012), dalam 'Lesson and Recommendation for the Practice of Agencification'. Van Thiel et al menemukan bukti-bukti di beberapa negara yang ditelitinya bahwa pimpinan agensi yang berasal dari luar institusi cenderung menyebabkan saling ke-tidakpercayaan antara institusi induk dengan agensi, pengendalian yang sangat ketat serta kondisi mikro-manajemen oleh Principal.

Salah satu contoh permasalahan suksesi kepemimpinan terjadi pada BLU Perguruan Ting-gi Negeri. Berdasarkan Permendikbud Nomor 24 Tahun 2010, rektor dipilih berdasarkan suara terbanyak dimana 65% sharing suara dimiliki oleh Senat dan 35% dimiliki oleh Menristekdikti. Berdasarkan berita Tempo online (25/10/2016) berjudul 'KPK Curigai Pemilihan Rektor, Be-gini Permainan Staf Menteri', disebutkan bahwa KPK mencurigai adanya pihak politik yang mempengaruhi pemillihan rektor di salah satu PTN di Indonesia. Sementara BBC Indonesia (27/10/2016), dalam ' ICW: Dugaan suap di pemilihan rektor karena hak kewenangan dana yang besar di PTN', memberitakan bahwa sejumlah pengamat dan praktisi menyatakan bah-wa jumlah uang yang besar serta banyaknya pengadaan barang di perguruan tinggi menye-babkan jabatan pimpinan PTN menjadi posisi yang cukup diperebutkan. Dalam pengamatan penulis, pengambilan keputusan pada pimpinan PTN seringkali tersandera oleh kepentingan kubu-kubu pendukungnya dalam pemilihan rektor.

Fleksibilitas pemilihan atau penunjukan pimpinan BLU yang dikaitkan dengan kontrak kinerja pada instansi BLU kiranya masih memerlukan pengembangan lebih lanjut. Kondisi ini tentunya sangat berbeda dengan sektor privat dimana RUPS memiliki hak prerogatif dalam menetapkan atau mengganti Dewan Direksi dengan suatu pertimbangan track record atau kemampuan yang dimiliki seseorang. Direksi dinilai berdasarkan performanya sehingga posisi

Page 50: Mengembangkan Tata Kelola BLU

42

Mengembangkan Tata Kelola BLU

pimpinan dapat sewaktu-waktu diganti apabila Rapat BLU Tahunan (RBT) menilai kinerja direk-si underperform atau tidak sesuai dengan yang diharapkan pemegang saham.

Pergantian pimpinan BLU juga semestinya mempertimbangkan interval waktu yang me-mungkinkan pimpinan tersebut dapat membuktikan kemampuan manajerialnya. Van Thiel et al mengingatkan bahwa turnover pimpinan dapat menyebabkan kepemimpinan yang tidak berkelanjutan, biaya transaksional, serta adanya risiko-risiko politis yang bersifat implisit.

c) kurang efektifnya Dewan PengawasDewan Pengawas BLU pada dasarnya merupakan representasi Dewan Komisaris pada

sektor privat. Pada tataran implementatif, pembentukan Dewan Pengawas tidak sepenuhnya efektif. Banyaknya temuan BPK dalam audit LKPP membuktikan bahwa konsep pendelegasian kepentingan principal melalui Dewan Pengawas semestinya perlu direviu kembali.

Berdasarkan PP 23 Tahun 2005, Dewan Pengawas BLU dibentuk sebagai pelaksanaan pembinaan teknis yang dilakukan oleh K/L teknis dan pembinaan keuangan yang dilakukan Kementerian Keuangan. Definisi Dewan Pengawas sendiri ditemukan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.02/2006 tentang Pembentukan Dewan Pengawas Badan Layanan Umum. Dalam PMK tersebut, Dewan Pengawas didefinisikan sebagai organ BLU yang bertu-gas melakukan pengurusan BLU.

Tidak semua BLU memiliki Dewan Pengawas. PP 23 Tahun 2005 mensyaratkan pem-bentukan BLU tersebut hanya terhadap BLU yang memiliki syarat minimum realisasi omzet tahunan sebagaimana diatur Menteri Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 109/PMK.05/2007 mensyaratkan Dewan Pengawas untuk nilai omzet di atas Rp15milyar. Pemba-tasan syarat minimum tersebut pada dasarnya menimbulkan suatu pertanyaan terkait urgensi Dewan Pengawas dalam suatu tata kelola BLU.

Dewan Pengawas bertugas melakukan pengawasan terhadap pengurusan BLU yang dila-kukan oieh Pejabat Pengelola BLU mengenai pelaksanaan Rencana Bisnis dan Anggaran, Ren-cana Strategis Bisnis Jangka Panjang, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun kewajiban Dewan Pengawas adalah : a) memberikan pendapat dan saran kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan mengenai Rencana Bisnis dan Anggaran yang diusulkan oleh Pejabat Pengelola BLU; b) mengikuti perkembangan kegiatan BLU, memberikan pendapat dan saran kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keu-angan mengenai setiap masalah yang dianggap penting bagi pengurusan BLU; c) melaporkan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan apabila terjadi gejala menurunnya kinerja BLU; dan d) memberikan nasihat kepada Pejabat Pengelola BLU dalam melaksanakan pengurusan BLU.

Pada implementasinya, Dewan Pengawas tidak sepenuhnya berfungsi efektif. Berdasar-kan pengamatan di lapangan, beberapa permasalahan yang menyebabkan ketidakefektifan Dewan Pengawas yaitu: a) pejabat yang ditunjuk untuk duduk di Dewan Pengawas terkadang tidak memiliki pemahaman pengelolaan keuangan BLU yang memadai; b) pejabat yang di-tunjuk tidak didukung oleh tim yang mampu menganailisis kondisi BLU secara kritis; c) tidak terdapat kewajiban BLU untuk menyampaikan laporan kepada Dewan Pengawas; d) Pejabat yang kritis terhadap kinerja BLU seringkali tidak diundang dalam rapat; e) sumber informasi yang diterima Dewan Pengawas berasal dari instansi BLU tanpa ada sumber informasi pem-banding; f) minimnya forum yang memungkinkan Dewan Pengawas melaporkan kondisi riil kepada principal.

Salah satu bukti ketidakefektifan Dewan Pengawas adalah masih banyaknya permasa-lahan di instansi BLU yang diangkat dalam temuan BPK pada audit LKPP 2015. Permasalahan

Page 51: Mengembangkan Tata Kelola BLU

43

Mengembangkan Tata Kelola BLU

mendasar seperti ketiadaan SOP, regulasi yang tidak memadai, sampai kelemahan pada pe-ngendalian internal cukup mewarnai pada temuan BPK. Hal tersebut pada dasarnya mem-buktikan bahwa konsep Dewan Pengawas dalam BLU belum secara efektif berkontribusi pada kinerja keuangan BLU.

d) Risiko konflik kepentingan antara fungsi Regulator dan PrincipalSebagaimana diuraikan sebelumnya, secara prinsip pengembangan fleksibilitas pengelo-

laan sumber daya keuangan pada dasarnya merupakan bentuk pendelegasian sebagian kewe-nangan Bendahara Umum Negara (BUN). Bentuk pendelegasian tersebut berupa penetapan status BLU, tarif, dan remunerasi. Sebagai pihak yang mendelegasikan kewenangan, Menteri Keuangan berperan sebagai Principal BLU. Secara praktik, fungsi-fungsi tersebut dilaksanakan oleh Ditjen Perbendaharaan dhi Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (Dit PPK BLU).

Selain berperan sebagai Principal, Menteri Keuangan juga menerbitkan peraturan-pera-turan yang terkait dengan pengelolaan keuangan BLU. Misalnya peraturan tentang mekanis-me perhitungan tarif, perhitungan remunerasi serta penilaian kinerja. Fungsi-fungsi regulasi ini juga dilaksanakan oleh institusi yang sama dengan fungsi principal. Dengan demikian, garis regulasi dan principal didapat dari sumber yang sama.

Sebagai pemegang peran Principal, Direktur PPK BLU seyogyanya memiliki beban kinerja terkait pengelolaan BLU. Beban kerja tersebut yang selanjutnya didelegasikan kepada agensi (BLU). Permasalahan muncul manakala pihak yang dinilai kinerjanya juga berperan sebagai pihak yang melakukan pengaturan. Hal tersebut seperti anak sekolah yang membuat sendiri raportnya. Risiko konflik kepentingan akibat duplikasi fungsi tersebut sangat besar.

Peran Principal dan Agensi yang terletak dalam satu tangan, menyebabkan instansi pe-megang peran tersebut berfokus pada permasalahan BLU dari sudut pandang case per case. Sebagai pihak principal, memang penyelesaian masalah harus dilakukan secara case per case. Namun semestinya juga terdapat pihak yang melihat permasalahan secara umum berdasar-kan kondisi perekonomian negara. Sebagai contoh, sebagai principal tentunya Dit PPK BLU berkeinginan BLU-BLU yang berada dalam pembinaannya memiliki kinerja keuangan yang baik. Kepentingan tersebut menyebabkan terbitnya regulasi pemanfaatan aset yang tidak ter-ikat dalam core-bussiness. Dalam sudut pandang regulator, hal tersebut tidak dapat dibenar-kan karena pemanfaatan aset yang tidak sesuai core-bussiness dapat mengubah alokasi aset yang digunakan untuk pelayanan kepada masyarakat. Akibatnya, secara makro hal tersebut akan cenderung bersifat kontraproduktif.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut serta kondisi dimana peran BLU bagi penyedia-an layanan masyarakat semakin meningkat, kiranya diperlukan pengembangan pendefinisian stakeholder, termasuk di dalamnya peran-peran yang harus dilakukan oleh pihak yang berpe-ran sebagai regulator serta pihak yang berperan sebagai principal. Apabila diperlukan, kiranya dapat dilakukan pemisahan antara principal dan regulator.

2. Permasalahan Keseimbangan Fleksibilitas dan PengendalianPemikiran agensifikasi yang diadaptasi pada tata kelola BLU pada dasarnya merupakan

pengejawantahan dari konsep New Public Management (NPM). Konsep ini menjanjikan suatu pemerintahan yang berfokus pada kinerja. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, NPM me-miliki 2 (dua) inti. Inti pertama yaitu 'lets manager manage' berarti memberikan fleksibilitas kepada manajer untuk mengelola sumber daya. Sedangkan inti kedua yaitu 'make manager manage' atau mendefinisikan target-target kinerja serta melakukan pengendalian terhadap

Page 52: Mengembangkan Tata Kelola BLU

44

Mengembangkan Tata Kelola BLU

pencapaian target tersebut. Dalam tataran implementatif, fleksibilitas dan pengendalian harus dituangkan secara jelas

dalam suatu kontrak kinerja. Kontrak memiliki arti penting baik dari sudut pandang Principal maupun BLU sebagai agensi. Dari sisi Principal, penerapan konsep multi-principal akan mem-butuhkan penyatuan target atau misi BLU yang difasilitasi oleh suatu kontrak. Sedangkan dari sisi BLU, kontrak menjadi suatu dasar pengelolaan sumber daya dan pengembangan kinerja.

Pentingnya keseimbangan antara fleksibilitas dan pengendalian merujuk pada riset-riset yang berbasiskan kondisi empiris. Pada kondisi di lapangan, terdapat kecenderungan pengen-dalian memiliki korelasi yang lebih erat dibandingkan dengan fleksibilitas. Nanyoung Kim dan Wonhyuk Chok (2015), sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, menemukan bahwa fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan dan SDM tidak memiliki korelasi terhadap kinerja dimana korelasi positif justru didapatkan antara kinerja dan pengendalian. Temuan yang sama juga dikemukakan oleh Laegred dan Verhoest (2010) yang dituangkan dalam paper berjudul 'Organizing Public Sector Agencies: Reflection and Challenges'. Pada paper tersebut, disam-paikan bahwa tidak terdapat bukti yang cukup kuat bahwa otonomi pada agensi menghasil-kan kinerja.

Pada dasarnya sistem keuangan negara di Indonesia telah memberi ruang bagi pengem-bangan fleksibilitas BLU. Fleksibilitas tersebut meliputi: - penerapan anggaran fleksibel (flexible budget). BLU diberikan ruang untuk melakukan be-

lanja yang lebih besar dari anggaran sebagaimana tertuang dalam DIPA. Pola ini sering disebut sebagai ambang batas yang besarnya disepakati dalam RBA. Selain itu, BLU dapat langsung menggunakan pendapatan yang berasal dari jasa layanan untuk membiayai kegi-atan operasional. BLU cukup melaporkan melalui Surat Perintah Pengesahan dan Pertang-gungjawaban Belanja (SP3B) minimal setiap 3 (tiga) bulan.

- penerapan cash-carry over dimana surplus kas pada suatu tahun anggaran dapat digulirkan sebagai saldo awal dan dipergunakan pada tahun berikutnya. Saldo awal tersebut dapat dipergunakan sebagai uang muka kerja yang memungkinkan BLU tidak mengalami keku-rangan dana operasional pada awal tahun anggaran sebelum terealisasinya DIPA.

Patut disayangkan, fleksibilitas yang dikembangkan dalam pengelolaan keuangan BLU belum diimbangin dengan konsep pengendalian yang dapat memaksa Direksi BLU menyedia-kan pelayanan terbaik untuk masyarakat, mengembangkan kualitas layanannya serta memberi kontribusi lebih pada pembentukan ekonomi negara baik dari sisi output (belanja Pemerintah yang berasal dari PNBP) maupun pembentukan Total Factor Productivity. Tentu saja ketidak-seimbangan antara fleksibilitas dan pengendalian berisiko menyebabkan kontraproduktif de-ngan tujuan dikembangkannya pengelolaan keuangan BLU dalam diskursus keuangan negara di Indonesia.

B. Mengembangkan Hubungan Principal AgensiBerdasarkan kebutuhan pengembangan tata kelola sebagaimana diuraikan di atas, di-

usulkan adanya penataan implementasi prinsip agensi dengan merujuk pada aliran kepen-tingan principal. Dalam dokumen ini, konsep pengembangan ini kami sebut dengan termino-logi Good BLU Governance (tata kelola BLU yang baik). Pengembangan tata kelola tersebut seyogyanya dikembalikan pada prinsip-prinsip yang berlaku pada sektor privat berdasarkan tujuan utama pengembangan konsep BLU yaitu enterprising the government. Tentu saja, prinsip-prinsip tersebut harus dimodifikasi dengan konsep-konsep umum yang berlaku di Pemerintahan. Oleh karenanya, terdapat beberapa hal yang perlu ditinjau kembali yaitu: (1) pemisahan fungsi regulator dan operator dalam pembinaan pengelolaan keuangan BLU; (2)

Page 53: Mengembangkan Tata Kelola BLU

45

Mengembangkan Tata Kelola BLU

penataan hubungan principal-agent dalam tata kelola BLU; serta (3) adanya sistem visi yang dapat mengarahkan BLU pada posisi-posisi yang strategis dalam sudut pandang tata pereko-nomian secara makrro.

1. Pendefinisian secara Tegas Fungsi Regulator, Principal dan Supervisor BLUDalam skenario Good BLU Governance, Kementerian Keuangan berperan sebagai salah

satu principal yang memiliki kepentingan terhadap meningkatnya kinerja keuangan BLU. Pe-ran tersebut menyebabkan suatu kebutuhan pemisahan fungsi antara regulator dan supervi-sor (pembina) sebagaimana ide dasar dari teori agensi. Pemisahan fungsi tersebut diilustrasi-kan pada gambar di bawah ini:Gambar 10. Pemisahan Fungsi Regulator, Principal dan Supervisor BLU

Regulator

• Menyusunperaturan dankebijakan terkaitpengelolaankeuangan BLU

• Menyusun standard penilaian kinerjaBLU

• Mempublikasiindeks kinerja BLU

Principal Keuangan

• Mewakili Pemerintahdalam principal ataupemilik kepentingankinerja keuangan BLU;

• Memberikan layananpenetapan BLU, tarifdan renumerasi;

Badan LayananUmum

Principal Teknis

• pemilik kepentingankinerja layanan BLU;

• Mengintegrasikanprogram BLU ke dalamprogram K/L;

Supervisor

Gambar di atas mengilustrasikan pemisahan kewenangan antara fungsi Regulator, Prin-cipal dan Supervisor. Fungsi regulator berperan dalam: (1) menyusun peraturan dan kebijakan terkait pengelolaan keuangan BLU serta standar yang digunakan dalam mengukur kinerja BLU; (2) menyusun arsitektur sistem informasi; (3) melakukan mediasi kepentingan antara institusi yang terlibat dalam pembinaan BLU baik dari sisi teknis maupun keuangan; (4) mengusulkan penetapan rating kinerja layanan BLU setiap tahun. Pihak regulator tidak memiliki hubungan secara langsung dengan BLU, termasuk di dalamnya penilaian kinerja, penetapan status, tarif maupun remunerasi. Ketiadaan hubungan tersebut akan menyebabkan independensi dan ra-sionalitas dalam pengambilan kebijakan dan penyusunan peraturan terkait BLU.

Di sisi instansi regulator terdapat instansi yang berperan sebagai Principal Keuangan dan Principal teknis. Kedua fungsi ini berkepentingan terhadap kinerja BLU. Principal teknis

Page 54: Mengembangkan Tata Kelola BLU

46

Mengembangkan Tata Kelola BLU

merupakan pemilik program dan kinerja layanan BLU. Principal Teknis memiliki kewenang-an sebagai berikut: (1) menentukan struktur organisasi dan tata laksana BLU; (2) menyetu-jui pengusulan instansinya menjadi nominator BLU; (3) meminta pencabutan status BLU dan penurunan rating apabila terdapat pelanggaran kontrak kinerja; (4) menganggarkan belanja modal BLU yang pendanaannya melalui RM pada RKA K/L; (5) menyusun kontrak kinerja; (6) mengevaluasi kesesuaian RBA dengan rencana Kementerian/Lembaga.

Sementara itu, Principal keuangan BLU berkepentingan pada kinerja keuangan. Keterli-batan institusi tersebut dalam principal berguna sebagai perimbangan kewenangan K/L da-lam pengambilan keputusan. Principal Keuangan memiliki kewenangan untuk: (1) memproses usulan penetapan status BLU, tarif, remunerasi, investasi dan pinjaman jangka panjang yang diusulkan oleh BLU; (2) menyetujui target kinerja keuangan dan layanan; (3) mengorganisir dilakukannya audit eksternal terhadap kinerja keuangan dan kinerja layanan; (4) mewakilkan kepentingannya sebagai Principal kepada Supervisor; (5) mengorganisir diselenggarakannya Rapat BLU Tahunan (RBT).

Dalam melakukan pengawasan, Principal mewakilkan tugas pengawasan kepada Super-visor. Kanwil DJPB diusulkan untuk memegang posisi tersebut. Sebagai Supervisor, Kanwil DJPB bertugas: (1) mendampingi nominator BLU dalam persiapan untuk mendapatkan status BLU; (2) melakukan monitoring dan evaluasi kinerja layanan dan keuangan; (3) memberikan reviu terhadap usulan RBA, tarif, remunerasi serta usulan pendanaan investasi/ekspansi; (4) memastikan terimplementasikannya standar tata kelola BLU sesuai ketentuan; (5) memberi pendapat atas temuan audit internal, hasil Rapat Tinjauan Manajemen serta rencana perba-ikan dan pencegahan; (6) melakukan pengawasan kepatuhan lalu lintas data dalam sistem informasi; (7) mengusulkan penurunan rating kinerja layanan apabila ditemukan pelanggaran tata kelola; (8) memproses usulan subsidi layanan.

Melalui perimbangan tersebut, diharapkan terdapat pengambilan keputusan yang lebih objektif dan berfokus pada layanan dengan tetap berpedoman pada tata kelola BLU yang baik. Terdapat beberapa manfaat yang diharapkan pada pemisahan kewenangan tersebut, yaitu:- simplifikasi, efisiensi dan efektifitas pekerjaan pada unit-unit regulator, principal dan super-

visor karena fokus masing-masing unit tidak terpecah antara regulasi dan supervisi;- terdapat check and balance dalam perumusan regulasi maupun operasional penetapan

status, tarif maupun remunerasi; - adanya pihak yang bertanggung jawab dalam evaluasi, penetapan kriteria serta pengem-

bangan konsep tata kelola BLU serta operasional layanan pembinaan keuangan BLU;- menghindari adanya konflik kepentingan dan bias dalam pengambilan keputusan akibat

pemusatan kewenangan pada satu tangan;Terdapat beberapa alternatif pemisahan fungsi regulator dan principal sebagai berikut:

Tabel 5. Alternatif Pemisahan Fungsi Regulator dan Principal

Nama Alternatif Regulator Principal Penjelasan

Alternatif 1 Komite Regu-lasi BLU Lintas Kementerian/Lembaga

Dit PPK BLU Konsep pemisahan demikian telah sukses diterapkan pada pemisahan regulator dan operator pada akuntansi pemerintah pusat.

Page 55: Mengembangkan Tata Kelola BLU

47

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Nama Alternatif Regulator Principal Penjelasan

Alternatif 2 Dit PPK BLU Kanwil DJPB Alternatif ini menyebabkan analisis penetapan BLU, penetapan tarif, remunerasi BLU dan layanan lainnya terkait BLU berada di Kanwil DJPB. Konsep pemisahan tersebut memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut:• Kanwil DJPB tidak memiliki hubungan dengan

Kantor Pusat Kementerian/Lembaga yang memiliki kepentingan terhadap penetapan instansi vertikal sebagai BLU;

• Penetapan BLU, tarif dan remunerasi dengan menggunakan Keputusan Menteri Keuangan akan melibatkan instansi-instansi pusat seperti Biro Hu-kum Setjen sehingga komunikasi lintas daerah akan cukup menyulitkan;

Alternatif 3 Eselon 2 lain lingkup DJPB (ex: Dit SP)

Dit PPK BLU • Cukup ideal karena keduanya berada pada ling-kup DJPB sehingga menyebabkan koordinasi yang cukup mudah tanpa mengabaikan kebutuhan chek and balance;

• Belum mengakomodir kepentingan Principal Teknis;

Alternatif 4 Eselon 1 lain (ex: BKF)

Dit PPK BLU Alternatif ini kurang direkomendasikan karena pem-binaan Keuangan BLU merupakan salah satu core business dari DJPB yang bersifat unik dan memiliki konektivitas yang relatif rendah apabila dikaitkan de-ngan core business eselon I lainnya. Selain itu, layanan pembinaan keuangan BLU merupakan menajemen keu-angan publik yang lebih banyak berbicara pada lingkup mikro sehingga tidak dapat dilekatkan pada institusi yang memiliki core business terkait kebijakan makro.

Alternatif 5 Dit PPK BLU KPPN Khusus Alternatif ini memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut:• KPPN Khusus merupakan unit eselon 3 sehingga

seringkali tidak setara dengan instansi BLU yang seringkali merupakan eselon 2. Alternatif ini dapat berjalan optimal apabila KPPN Khusus tersebut memiliki level yang setara dengan eselon 2;

• Usulan ke Menteri Keuangan masih melewati Dit PPK BLU sehingga tujuan check and balance pada pemisahan regulator dan operator menjadi kurang efektif;

Alternatif 6 Instansi baru Dit PPK BLU

2. Penataan Organ BLUPenataan hubungan principal agent dilakukan dengan meletakkan setiap posisi institusi

sesuai pada pos-pos yang memungkinkan adanya check and balance dan memungkinkan terwujudnya tujuan konsepsi BLU untuk mewirausahakan pemerintah (enterprising the gover-nment). Sesuai konsep enterprise, terdapat 3 organ utama dalam suatu korporasi yaitu RUPS, Dewan Komisaris dan Dewan Direksi.

Tabel 6. Penerapan Organ Perusahaan Privat pada BLU (Kondisi Eksisting)

Sektor Privat BLU Keterangan

Rapat Umum Pemegang Saham Diusulkan diganti dengan Rapat BLU Tahunan

Pemegang saham Instansi Induk Diusulkan menerapkan multi principal de-ngan tetap menginduk pada instansi asal

Dewan Komisaris Dewan Pengawas Dewan Pengawas diusulkan didukung oleh Kanwil DJPB yang memberikan du-kungan informasi

Page 56: Mengembangkan Tata Kelola BLU

48

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Sektor Privat BLU Keterangan

Dewan Direksi Dewan Direksi

Organ RUPS dalam tata kelola korporasi menempati posisi puncak pengambilan kepu-tusan. Pada BLU, organ tersebut tidak didefinisikan. Sebagai gantinya, diusulkan adanya Rapat BLU Tahunan (RBT) yang menempati posisi puncak pengambilan keputusan. Pemegang saham dalam korporasi diterjemahkan sebagai instansi induk. Hal ini menyebabkan konsep multi--principal tidak dapat diterapkan pada tata kelola BLU. Menteri Keuangan sebagai BUN yang mendelegasikan kewenangan pengelolaan keuangan juga tidak terfasilitasi pada model organ BLU saat ini. Terkait hal tersebut, diusulkan penerapan sistem multi-principal dengan struktur tetap berada pada struktur organisasi instansi induk.

Selanjutnya, Dewan Komisaris merupakan organ yang memegang amanah untuk me-lakukan pengawasan jalannya tata kelola korporasi. Organ ini diterjemahkan sebagai Dewan Pengawas pada tata kelola BLU. Dengan memperhatikan efektifitas pengawasan, diusulkan organ ini didukung oleh Kanwil DJPB sebagai pengawas harian dan penyaji informasi kepada Dewan Pengawas.

Adapun hubungan antara organ pada tata kelola BLU diilustrasikan pada gambar di ba-wah ini:Gambar 11. Hubungan antar Organ dalam Tata Kelola BLU

Direksi

Kemenkeu K/L

DewanPengawas

Rapat BLU Tahunan (RBT)

RBAAnggaran Modal,Kontrak Kinerja

LaporanKinerjaBLU

Pendampingan& Monitoring

PihakLain

KanwilDJPB

SupportData & Analisis

Supervisor

Pendelegasian

Mewakili Principal Melakukan pengawasan

Pihak yang berada dalam kotak kuning pada gambar di atas merupakan pihak-pihak yang memiliki keanggotaan dalam organ Rapat BLU Tahunan (RBT). Organ tersebut memiliki kewenangan tertinggi dalam pengambilan keputusan BLU, termasuk pengesahan RBA yang diajukan oleh Dewan Direksi. Persetujuan terhadap RBA berkonsekuensi pada kewajiban K/L yang duduk dalam RBT tersebut untuk memasukkan usulan belanja yang tertuang dalam RBA ke dalam RKA K/L (apabila ada). Bagi Dewan Direksi, pengesahan RBA merupakan persetujuan penggunaan target dan anggaran pada tahun anggaran mendatang. Pengambilan keputusan secara kolektif yang dilakukan di dalam forum RBA dimaksudkan untuk menghindari indikasi motif pribadi.

Page 57: Mengembangkan Tata Kelola BLU

49

Mengembangkan Tata Kelola BLU

RBT sebagai suatu organ BLU memungkinkan penerapan multiprincipal pada tata kelola BLU. Sistem multiprincipal menyebabkan suatu BLU dapat mengakomodir beberapa kepen-tingan dari principalnya. Misalnya, Rumah Sakit Bhayangkara mengakomodir kepentingan Ke-polisian dan kepentingan Kemenkes. Pihak-pihak yang duduk dalam RBT terdiri dari pejabat Kemenkeu terkait (misalnya, Direktur PPK BLU) yang mewakili Bendahara Umum Negara, peja-bat K/L induk yang terkait, pejabat K/L lain yang memiliki kepentingan, serta pihak-pihak lain yang terkait dengan operasional BLU, misalnya BLU CPO memiliki instansi induk Kementerian Keuangan. Namun Kementerian/Lembaga lain seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian ESDM juga memiliki kepentingan terhadap kinerja BLU tersebut. Setiap pejabat yang duduk dalam RBT tersebut pada dasarnya memiliki suara yang mewakili instansinya.

Banyak hal yang dibahas dalam RBT termasuk di antaranya reviu terhadap Kontrak Kiner-ja, usulan kenaikan tarif, rencana pemanfaatan sumber daya ataupun remunerasi yang perhi-tungannya. Untuk menjamin validitas dan rasionalitas dalam pengambilan keputusan, setiap angka yang diajukan Dewan Direksi ke RBT merupakan angka yang telah diverifikasi oleh Kanwil DJPB dan disampaikan melalui Dewan Pengawas/Dewan Komisaris.

Sebagaimana praktik umum yang berlaku di sektor privat, Dewan Direksi bertanggung jawab kepada RBT. Termasuk dalam hal yang dipertanggungjawabkan yaitu strategi dan target kinerja yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu ( jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang). Dengan demikian, kontrak kinerja dilakukan antara RBT dengan Dewan Direksi dimana indikator kinerja merupakan target kinerja yang harus dipenuhi oleh Dewan Direksi dalam satu tahun mendatang.

Kemenkeu merupakan institusi yang harus selalu dilibatkan dalam RBT karena pada da-sarnya terdapat kepentingan terhadap kinerja keuangan BLU, kelangsungan pinjaman jangka panjang (apabila ada), ketertiban pengelolaan aset serta pengajuan PNBP dan penganggar-an. Hal tersebut sedikit berbeda dengan penjelasan PP 23 Tahun 2005 dimana peran principal hanya diberikan kepada K/L induk yang memiliki kepentingan dalam kinerja pelayanan.

Pihak yang berada di antara RBT dan Dewan Direksi adalah Dewan Pengawas yang meru-pakan wakil RBT dan berperan seperti Dewan Komisaris pada sektor privat. Dewan Pengawas terdiri dari pejabat-pejabat yang mewakili principal. Dewan Pengawas tersebut pada dasarnya mewakili Principal untuk mengawasi dan mendampingi pelaksanaan tugas BLU. Untuk men-jamin efektifitas kinerja Dewan Pengawas, Kanwil DJPB atau kantor lain yang ditunjuk me-lakukan aktifitas-aktifitas pengawasan harian dengan menggunakan akses sistem informasi serta menyajikan informasi dan analisis yang diperlukan kepada pejabat yang duduk dalam keanggotaan Dewan Pengawas. Pada posisi ini, Kanwil DJPB disebut juga supervisor dari BLU tersebut.

Page 58: Mengembangkan Tata Kelola BLU

50

Mengembangkan Tata Kelola BLU

3. Siklus Manajerial dalam Tata Kelola BLUSebagai instansi pemerintah, siklus manajerial atau siklus hidup BLU adalah 1 (satu) ta-

hun sebagaimana daur hidup anggaran. Siklus ini menggambarkan hubungan antara even perencanaan sampai dengan evaluasi. Gambar 12. Siklus Manajerial dalam Tata Kelola BLU

Pengajuan satkermenjadi BLU Fase Persiapan

Rapat BLU Tahunan

Penyusunan RBA

Pelaksanaan

Pelaporan & Pencatatan

Eksternal Audit

Penganggaran

Sistem Visi

Publikasi Target Kinerja

Suksesi Pimpinan

Pada gambar di atas terdapat area yang berwarna abu-abu dimana proses yang berada pada area tersebut hanya terjadi pada saat pengajuan institusi BLU baru. Selain fase pengaju-an, proses lainnya terangkai dalam suatu lingkaran yang merupakan siklus manajerial setelah tata kelola BLU berjalan pada suatu instansi.

a) Fase pengajuanFase pengajuan terdiri dari 3 (tiga) proses yaitu sistem visi, pengajuan satker menjadi BLU

dan fase persiapan. Sistem visi merupakan suatu kumpulan proses dimana kerangka kerja dia-rahkan sesuai visi pembangunan BLU. Sistem ini saat ini belum diatur dan diimplementasikan pada pengelolaan BLU saat ini. Output dari sistem ini adalah rumusan kerangka kerja yang merupakan pengganti Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) pada sektor privat maupun organisasi nonprofit. Sistem ini didesain agar penciptaan BLU merupakan desain be-sar pembangunan tata perekonomian secara makro serta memudahkan kandidat BLU dalam proses peningkatan status dari instansi biasa menjadi instansi BLU. Penjelasan lebih lanjut dari sistem visi diuraikan pada bagian lain bab ini.

Tahap pengajuan dilakukan oleh Direksi kandidat BLU ketika kerangka kerja telah diha-

Page 59: Mengembangkan Tata Kelola BLU

51

Mengembangkan Tata Kelola BLU

silkan melalui sistem visi. Pengajuan tersebut secara filosofis merupakan pernyataan kesang-gupan Direksi menerapkan tata kelola BLU pada instansinya. Dengan merujuk pada PP 23 Ta-hun 2005, pada saat pengajuan instansi bersangkutan menyajikan dokumen-dokumen yaitu: (a) pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat; (b) pola tata kelola; (c) rencana strategis bisnis; (d) laporan keuangan pokok; (e) standar pelayanan minimum; dan (f) laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen. Pola tata kelola sebagaimana diatur dalam PP 23 Tahun 2005 di-usulkan untuk diganti dengan dokumen Kerangka Kerja. Dokumen tersebut merupakan hasil rumusan yang melibatkan pihak-pihak yang akan menjadi principal dari BLU tersebut.

Tahap berikutnya adalah fase persiapan. Pada fase ini, Direksi BLU melengkapi persya-ratan-persyaratan tata kelola BLU. Apabila diperlukan, Direksi dapat melakukan reorganisasi, perampingan, penyesuaian prosedur maupun penyesuaian SDM. Acuan penyesuaian tersebut semestinya telah dipetakan dalam formulasi Kerangka Kerja. Direksi juga perlu mempersi-apkan mindset para pegawainya menjadi lebih enterpreneur. Selain itu, Direksi juga harus mempersiapkan mekanisme manajemen yang dapat memberikan jaminan kualitas kepada pengguna layanan.

Salah satu bentuk mekanisme untuk memberikan jaminan kualitas pelayanan BLU ada-lah penerapan Standar Manajemen Mutu (SMM). SMM pada dasarnya merupakan penerapan salah satu pola manajerial yang sering disebut dengan Total Quality Management (TQM). De-partmen of Defense US (1988) dalam ‘Total Quality Management Plan’, mendefinisikan TQM sebagai suatu strategi pengembangan kinerja pada setiap level dan semua wilayah tanggung jawab. TQM ini mengkombinasikan teknik-teknik manajemen, usaha pengembangan kondisi eksisting dan instrumen teknikal spesifik dalam suatu struktur yang berfokus pada pengem-bangan berkelanjutan pada seluruh proses. Pengembangan kinerja ditujukan pada kepuasan dengan tujuan luas pada kebutuhan dan keberlanjutan biaya, kualitas, jadwal dan misi. Pe-ningkatan kepuasan pengguna di atas tujuan. (a strategy for continuously improving perfor-mance at every level, and in all areas of responsibility. It combines fundamental management techniques, existing improvement efforts, and specialized technical tools under a disciplined structure focused on continuously improving all processes. Improved performance is directed at satisfying such broad goals as cost, quality, schedule, and mission need and suitability. In-creasing user satisfaction is the overriding objective).

Tujuan dari penerapan SMM pada BLU adalah: (a) memberikan quality assurance pada masyarakat pengguna layanan; (b) memberikan gambaran mengenai celah kesalahan yang ada pada sistem dan proses bisnis instansi tersebut; (c) mendorong peningkatan layanan in-stansi tersebut dengan efektif dan efisien; (d) meningkatkan citra profesionalisme pada in-stansi tersebut; (e) meningkatkan kepuasan pengguna layanan; (f) terdapat kemudahan apa-bila instansi tersebut akan mengupgrade status BLU menjadi ISO 9001; (g) terdapat standar audit manajemen mutu yang telah berlaku di seluruh dunia sehingga akan mempermudah pihak auditor.

Untuk memudahkan penerapan tata kelola BLU, Regulator BLU membuat suatu manual book yang berisi klausul-klausul yang berisi standar yang harus diterjemahkan dalam mana-jemen BLU. Misalnya: pada klausul manual book disebutkan pembayaran belanja BLU harus mengacu pada Standar Biaya Umum (SBU) atau Standar Biaya Masukan (SBM). Berdasarkan klausul tersebut, dinyatakan bahwa BLU menggunakan SBM dengan mengacu pada dokumen standar yang dimaksudkan. Maksud dari penggunaan manual book tersebut adalah sebagai alat bagi auditor untuk melakukan pengecekan dokumentasi penerapan tata kelola BLU pada

Page 60: Mengembangkan Tata Kelola BLU

52

Mengembangkan Tata Kelola BLU

kandidat.Adapun proses persiapan sampai penetapan instansi kandidat menjadi BLU dapat diilus-

trasikan pada gambar di bawah ini:Gambar 13. Proses Persiapan dan Penetapan Status BLU dengan Mengadopsi Mekanisme Sistem Mana-

jemen Mutu

Komitmen penerapanstandar BLU pada

instansi

Pengajuan BLU kepadaMenteri Keuangan

Penyusunan PedomanMutu

PenyusunanKelengkapan berupa:9 Peta Proses Bisnis9 Kebijakan Mutu ,9 Sasaran Mutu

(Standar PelayananMinimum),

9 Visi Misi,9 Rencana Komunikasi,9 SOP beserta

dokumen induk

Penataan StrukturOrganisasi

Pelaksanaan

Audit Internal Rapat TinjauanManajemen

Audit Eksternal Penetapan Status BLU

Proses persiapan dimulai dengan komitmen penerapan standar BLU yang ditandata-ngani oleh pimpinan instansi calon nominator BLU dan disetujui oleh pimpinan instansi calon nominator pembina teknis. Surat pengajuan tersebut diusulkan kepada Menteri Keuangan dhi pejabat teknis pembina keuangan BLU (saat ini Direktur PPK BLU). Pejabat pembina tersebut selanjutnya meneliti persyaratan substantif dan menetapkan instansi tersebut sebagai nomi-nator BLU.

Surat penetapan nominator tersebut menjadi dasar bagi instansi untuk melakukan pe-nataan struktur organisasi. Adapun struktur organisasi tersebut sekurang-kurangnya meliputi: (a) pimpinan; (b) manajer representatif (bagian umum); (c) pengelola keuangan; (d) pengelola teknis; (e) auditor internal. Selanjutnya organisasi tersebut melakukan penyusunan Pedoman Mutu yang didasarkan pada klausul-klausul pada manual book BLU. Pedoman Mutu terse-but selanjutnya dilengkapi dengan kelengkapan-kelengkapan dokumen yang menjadi acuan pada pelaksanaan kegiatan.

Pada setiap suatu periode, instansi tersebut melakukan audit internal untuk mengetahui celah kesalahan yang ada pada sistem maupun proses bisnis instansi. Berbeda dengan SMM, audit internal dalam rangka penetapan status BLU dilakukan tidak hanya terhadap pelaksanan manajemen mutu layanan namun juga terhadap pengelolaan keuangan BLU. Hasil dari audit internal tersebut diajukan dalam Rapat Tinjauan Manajemen untuk dilakukan langkah perba-ikan maupun pencegahan sebagaimana mestinya.

Setelah berakhirnya tahun anggaran, dilakukan audit eksternal terhadap keuangan BLU maupun manajemen mutu layanan. Apabila hasil audit tersebut menyatakan kondisi BLU se-cara teknis dan keuangan layak maka auditor menyatakan hal tersebut dalam ikhtisar hasil au-dit. Pernyataan auditor tersebut menjadi dasar penetapan status BLU bagi Menteri Keuangan.

Page 61: Mengembangkan Tata Kelola BLU

53

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Proses persiapan sebagaimana diuraikan di atas dilakukan dalam waktu sedikitnya 1 (satu) tahun. Selama kurun waktu tersebut Kanwil DJPB, atau institusi lain yang ditunjuk, berperan penting dalam melakukan asistensi tim persiapan BLU baik terkait manajemen mutu maupun manajemen keuangan. Dalam hal, Kanwil DJPB tidak memiliki sumber daya memadai, maka Kanwil DJPB dapat mendelegasikan instansi lain atau pihak ketiga (dengan dana dari instansi BLU) untuk melakukan pendampingan. Target dari pendampingan adalah kesiapan instansi untuk menerapkan tata kelola Badan Layanan Umum. Adapun target yang diusulkan sebagai berikut:Tabel 7. Pendampingan Persiapan Penerapan Tata Kelola BLU

No Pendampingan Kondisi Umum Instansi Birokrasi

Target

1 Penerapan aturan terkait fleksibilitas keuangan

Pada umumnya instansi menggunakan Standar Bia-ya Umum yang ditetapkan Kemenkeu, remunerasi K/L, perhitungan tarif berdasar-kan penetapan tanpa ada justifikasi logis

Tim manajemen dapat menerapkan mekanisme terkait fleksibilitas keuangan yaitu:- Standar Biaya Masukan;- Remunerasi;- Penetapan tarif;

2 Perencanaan Kontrak Kinerja

Pada umumnya kontrak kinerja instansi Pemerintah hanya untuk pemenuhan syarat administrasi

• Tim manajemen dapat menyusun indikator kinerja teknis maupun keuangan, termasuk mekanisme perencanaan, pengukuran, dan pertanggungjawaban;

• Tim manajemen memahami konsekuensi keti-daktercapaian kinerja;

• Adanya perencanaan kinerja dalam jangka me-nengah yang dituangkan dalam kontrak;

• Tim manajemen dapat membuat kontrak kinerja;

3 Tata Kelola Pada umumnya instansi Pemerintah belum memiliki acuan tata kelola yang baik

• Tim manajemen mampu menerapkan mana-jemen mutu layanan baik secara administrasi (pedoman mutu, peta proses bisnis, kebijakan mutu, Standar Pelayanan Minimum, visi-misi, rencana komunikasi, SOP) maupun aktivitas (au-dit internal, rapat tinjauan manajemen, penerap-an dokumen mutu, audit eksternal);

• Adanya jaminan mutu yang diberikan kepada customer;

• Telah berjalannya manajemen risiko sehingga terdapat mekanisme perbaikan dan pencegahan atas kualitas layanan yang catat;

• Tim manajemen mampu memetakan kelebihan dan kekurangan institusi, pasar yang menjadi sasaran, kompetitor serta supplier yang dapat mendukung

4 Sistem Informasi Instansi birokrasi tidak memiliki data yang terko-neksi dengan Kementerian Keuangan sebagai principal keuangan

Adanya sistem informasi independen, meng-cover 80% proses bisnis, serta terkoneksi dengan sistem pembinaan BLU yang dimiliki oleh Kementerian Keuangan

5 Keuangan Belum adanya penerapkan kaedah bisnis yang sehat

• Setiap biaya yang dibebankan ke konsumen dapat di-tracing sebagai biaya tetap atau biaya variabel;

• Perhitungan subsidi Pemerintah atas setiap layanan valid dan dapat dijustifikasi. Besar rata subsidi untuk setiap layanan diusulkan minimal 50%;

6 Kualitas Layanan Sebagian besar instansi belum memiliki pengukur-an layanan pelanggan

• Telah adanya mekanisme pengukuran kepuasan pelanggan

Page 62: Mengembangkan Tata Kelola BLU

54

Mengembangkan Tata Kelola BLU

No Pendampingan Kondisi Umum Instansi Birokrasi

Target

7 Pengukuran Out-come/Impact

Sebagian besar instansi Pemerintah belum mema-hami pengukuran out-come/impact

• Tim manajemen mampu merencanakan dan melakukan pengukuran outcome/impact;

• Tim manajemen mampu menerjemahkan hasil pengukuran outcome/impact menjadi suatu rencana tindak lanjut;

Setelah Kanwil DJPB sebagai pendamping menyatakan bahwa instansi tersebut telah siap menerapkan tata kelola BLU, akan diterbitkan rekomendasi kepada Menteri Keuangan untuk mengubah status instansi dari fase persiapan ke BLU penuh. Menteri Keuangan selanjutnya melakukan audit kesiapan penerapan tata kelola BLU. Materi yang diaudit adalah pemenuhan target pendampingan sebagaimana diuraikan di atas.

b) siklus manajerialSiklus manajerial dimulai dari Rapat BLU Tahunan (RBT) yang dihadiri oleh wakil-wakil

dari pembina teknis (K/L) dan pembina keuangan (Kemenkeu). Dalam RBT tersebut, Direksi BLU mempresentasikan RBA yang berisi rencana yang akan dilakukan dalam satu tahun yang akan datang. RBA yang dipresentasikan tersebut terlebih dahulu direviu oleh Kanwil DJPB untuk menjamin validitas angka-angka yang disajikan untuk digunakan dalam pengambilan keputusan. RBT memiliki kewenangan untuk menyetujui, menyetujui dengan catatan atau ti-dak menyetujui RBA yang diajukan. Kondisi menyetujui dengan catatan atau tidak menyetujui berkonsekuensi pada kebutuhan perubahan RBA.

Pada suksesi Dewan Direksi, Direksi BLU menyampaikan program-program yang akan dilakukan beserta pertimbangannya serta keterkaitan antara program-program tersebut de-ngan program sebelumnya. Selain itu, Direksi BLU juga harus mempresentasikan Analisis Be-ban Kerja dari instansi yang dipimpin. Hal tersebut untuk meminimalkan dampak pergantian dan penambahan pegawai non PNS yang seringkali mengikuti pergantian manajemen BLU.

Hasil dari RBT adalah persetujuan RBA untuk dianggarkan dalam RKA K/L. Termasuk hal--hal yang disetujui yaitu persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi apabila menggunakan saldo awal dan ambang batas. Dalam RBA tersebut juga ditetapkan target-target baik target teknis maupun target keuangan yang mengikat kepada Dewan Direksi BLU. Selain itu, per-setujuan juga terkait pemanfaatan aset-aset negara yang dikelola oleh BLU. Target tersebut menjadi dasar bagi Dewan Pengawas dan Kanwil DJPB untuk melakukan pengawasan.

Penerapan manajemen mutu layanan juga diterapkan dalam siklus normal. Setiap triwu-lanan, BLU memperhitungkan indikator-indikator kinerja pelayanan serta laporan keuangan triwulanan. Indikator-indikator kinerja serta laporan keuangan tersebut selanjutnya menja-di bahan untuk dilakukan audit internal. Hasil dari audit internal tersebut menjadi masukan pada Rapat Tinjauan Manajemen dalam melakukan perbaikan dan pencegahan. Selain mutu layanan, audit juga dilakukan terhadap laporan keuangan triwulanan. Hasil audit tersebut di-sampaikan kepada Kanwil DJPB yang berperan sebagai penyedia bahan pengambil keputusan pada Dewan Pengawas serta melakukan publikasi data kinerja dalam suatu indeksi yang dina-makan Indeks Kinerja BLU.

Sebagai bagian dari pengawas, Kanwil DJPB memiliki kepentingan terhadap penataan organisasi. Oleh karenanya, Kanwil DJPB merupakan stakeholder yang menggunakan Laporan Hasil Audit dari auditor eksternal. Auditor eksternal dapat berasal dari BPK atau auditor publik yang ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan. Apabila nilai omzet BLU tidak memungkin-kan pembayaran auditor publik, maka Kanwil DJPB akan meminta auditor internal pemerintah

Page 63: Mengembangkan Tata Kelola BLU

55

Mengembangkan Tata Kelola BLU

(BPKP atau Itjen) untuk melakukan audit dengan dana APBN.

4. Sistem VisiSistem visi merupakan suatu kumpulan proses dimana kerangka kerja diarahkan sesuai

visi pembangunan BLU. Tujuan dari implementasi sistem ini yaitu: (a) memetakan instansi--instansi Pemerintah yang dimungkinkan untuk dikelola dengan skema tata kelola BLU; (b) memastikan bahwa instansi yang akan menerapkan tata kelola BLU merupakan instansi yang tepat dari sudut pandang fungsinya; (c) pengembangan hubungan antara BLU tersebut de-ngan Principal; serta (d) mempertemukan berbagai kepentingan dalam suatu rumusan ke-rangka kerja BLU. Adapun gambaran dari sistem visi diilustrasikan pada gambar di bawah ini: Gambar 14. Sistem Visi

PemetaanKandidiat

OpsiPendahuluan

KlarifikasiHubungan dgn

Principal

PerumusanKerangka Kerja

Sebagaimana digambarkan di atas, sistem visi terdiri dari 4 sub sistem yang diawali dari pemetaan kandidat instansi dalam suatu Candidates Pool, pembahasan opsi-opsi pendahu-luan yang akan diterapkan dalam BLU tersebut, merumuskan suatu hubungan antara BLU (agensi) dengan instansi-insansi yang nantinya akan berperan sebagai Principal serta yang mempertemukan berbagai kepentingan dalam suatu rumusan kerangka kerja.

a) Pemetaan Kandidat BLUPada dasarnya sistem visi diusulkan sebagai solusi dari adanya suatu visi besar yang hen-

dak dicapai dalam pengembangan BLU. Sebelum sistem tersebut dibangun maka diperlukan adanya perumusan visi besar. Sebagaimana diusulkan dalam bab awal, visi yang ditawarkan dalam dokumen ini adalah penciptaan Total Factor Productivity (TFP) yang dapat menjadi mo-dal bagi bangsa Indonesia untuk bersaing di dunia internasional.

Secara garis besar TFP merupakan faktor residual selain faktor input dalam proses pem-bentukan output. Karena luasnya faktor-faktor tersebut maka diperlukan perumusan lebih spesifik ruang-ruang mana yang diperlukan pengembangan BLU. Terkait dengan hal tersebut, digunakan permasalahan rendahnya investasi dan pertumbuhan ekonomi dengan metode Growth Diagnostic yang diajukan oleh Hausmann, Rodirick dan Velasco (2005) dalam sebuah paper berjudul 'Growth Diagnostic' atau sering disebut model HRV .

Model HRV mencoba mencari akar permasalahan pertumbuhan ekonomi dan rendahnya investasi. Terdapat 3 (tiga) pertimbangan teori yang mendasari model ini yaitu: (i) konstrain yang seringkali dianggap sebagai masalah terbesar pada dasarnya memiliki keterkaitan de-ngan konstrain yang lain; (ii) mengintervensi suatu perekonomian merupakan suatu hal yang sangat kompleks dan tidak dapat dilakukan secara langsung karena dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan; (iii) suatu kebijakan dapat berdampak pada faktor-faktor konstrain secara bersamaan.

Dengan memperhatikan tinjauan pertimbangan tersebut serta posisi BLU sebagai imple-mentator kebijakan pemerintah, maka model HRV kiranya dapat digunakan dalam pemetaan kandidat BLU.

Page 64: Mengembangkan Tata Kelola BLU

56

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Gambar 15. Akar Permasalahan Rendahnya Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi dengan Growth Diag-

nostic

Penyebab Rendahnya Investasi(Pertumbuhan Ekonomi)

Ongkos dariPembiayaan yang

tinggi

Tk pengembalian draktivitas ekonomi

yg rendah

Ketidak cukupanpembiayaaninternasional

Tidakmemadainyapembiayaan

domestik

Tingkat Penggandaan yg

rendah

Tingkat Pengembalian

sosial yg rendahHuman Capital ygrendah

Infrastrukturkurang memadai

ManajemenSumber Daya

Alam yg Buruk

Geografis ygburuk

Ongkos dariPembiayaan yang

tinggiKegagalan Pasar

Tabungan Domestik yg

rendah

FungsiIntermediasi yg

Buruk

Risiko mikro : HakKepemilikan

Properti, Korupsi& Pajak Risiko Makro:

KetidakstabilanKeuangan,

Moneter danFiskal

EksternalitasInformasi

KebutuhanKoordinasi yg

Lebih Baik

Diagram diagnostik di atas memetakan kebutuhan-kebutuhan agensi yang ditempat-kan untuk menyelesaikan akar permasalahan dalam pertumbuhan ekonomi. Hausmann et al, (2009) dalam 'Doing Growth Diagnostics in Practice: A Mind Book', mencatatkan beberapa prinsip diferensial diagnostik di atas. Menurut Hausmann, apabila konstrain tersebut terjadi maka: (i) harga bayangan (constraint price) terkait konstrain itu akan tinggi; (ii) pergerakan di dalam konstrain akan menghasilkan pergerakan signifikan dalam fungsi objektif; (iii) agen ekonomi sebaiknya mencoba menyelesaikan konstrain tersebut; (iv) agen yang tidak intensif di dalam konstrain akan survive dan berkembang, demikian juga sebaliknya.

Instansi-instansi yang diekspektasikan untuk menyelesaikan konstrain-konstrain ekono-mi sebagaimana digambarkan pada diagram di atas selanjutnya dimasukkan dalam suatu Candidates Pool, yaitu suatu kumpulan instansi-instansi yang berperan untuk menyelesaikan konstrain pertumbuhan ekonomi. Instansi-instansi tersebut yang diharapkan dapat menerap-kan tata kelola BLU. Instansi yang didaftarkan dalam Candidate Pool dapat berupa instansi yang saat ini telah ada namun belum menerapkan tata kelola BLU maupun instansi-instansi yang belum ada namun sebenarnya diperlukan untuk menopang struktur perekonomian yang lebih baik.

Dengan adanya pemetaan demikian maka diharapkan terumuskannya suatu skenario be-sar pengembangan BLU. Sebagai contoh, kondisi human capital yang rendah yang ditunjuk-kan dengan tingkat Human Development Index (HDI)/ Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Page 65: Mengembangkan Tata Kelola BLU

57

Mengembangkan Tata Kelola BLU

yang rendah. Dengan demikian diperlukan BLU-BLU yang dapat meningkatkan human capital seperti rumah sakit, universitas maupun BLU pengelolaan dana yang hasilnya disasarkan pada pengembangan human capital. Demikian juga kelemahan intermediasi, maka diperlukan BLU yang menyalurkan pendanaan kepada masyarakat yang tidak bankable.

Peta kandidat BLU (Candidates Pool) tersebut kiranya dapat menjadi suatu strategi jang-ka panjang pemerintah yang dituangkan dalam Rencana Pemerintah Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pemerintah Jangka Menengah (RPJM). Tujuan dimasukkannya peta kandidat ini dalam RPJP dan RPJM adalah mengarahkan kebijakan pengambil keputusan di tingkat Ke-menterian/Lembaga untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut. Selain itu, peta tersebut memberikan ekspektasi positif bagi pelaku pasar terkait langkah-langkah pemerintah dalam menyelesaikan konstrain pertumbuhan ekonomi.

Instansi yang berwenang dalam menyusun Candidates Pool adalah Regulator BLU dan diusulkan untuk ditetapkan oleh Presiden bersamaan dengan penetapan RPJMN dan Uraian APBN. Hal ini mengingat pemetaan arah jalan pengembangan TFP melalui Candidates Pool melibatkan urusan berbagai Kementerian/Lembaga. Dalam tataran implementatif, konstrain--konstrain setiap daerah kiranya dapat dipetakan pada setiap wilayah dalam suatu Kajian Fis-kal Regional. Hal tersebut perlu diperhatikan mengingat terdapat perbedaan kondisi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.

b) Pengembangan Opsi PendahuluanOpsi pendahuluan merupakan reviu kritis terkait manfaat didirikannya suatu BLU. Me-

kanisme reviu ini mengadaptasi dari proses reviu penciptaan agensi dalam skema Next Step ala Inggris. Pada tataran implementatif, opsi pendahuluan dilaksanakan oleh Principal Teknis (institusi induk dan institusi regulator teknis) serta Principal Keuangan.Gambar 16. Opsi Pendahuluan

Apakah fungsi BLU dibutuhkan?

Apakah sektorpublik hrs

bertanggung jawabthd fungsi tsb?

Bagaimana ruanglingkup dari

pembangunan BLU tsb?

Bagaimana fungsiBLU tsb akan

dikelola?

Page 66: Mengembangkan Tata Kelola BLU

58

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Sebagaimana dijelaskan dalam gambar di atas, terdapat 4 pertanyaan utama yang diguna-kan dalam proses reviu. Pertanyaan pertama terkait dengan apakah fungsi BLU yang akan di-kembangkan memang benar-benar dibutuhkan. Hal-hal yang terkait dengan reviu pertama ini adalah siapa saja konsumen/pengguna layanan BLU, apakah mereka mau membayar, apa yang terjadi apabila layanan pada fungsi tersebut dihentikan oleh pemerintah serta teknologi-tekno-logi yang terkait dengan layanan fungsi tersebut.

Pertanyaan kedua adalah terkait tanggung jawab fungsi tersebut. Pertanyaan ini melekat pada kondisi bagaimana kebijakan diimplementasikan oleh BLU tersebut. Hal ini memperha-tikan bahwa pada dasarnya BLU merupakan tangan dari pemegang kebijakan untuk melayani masyarakat.

Pertanyaan ketiga digunakan untuk mereviu alternatif-alternatif yang diperlukan agar BLU benar-benar efektif dan tidak berduplikasi dengan BLU yang lain maupun mengambil pasar yang sebenarnya terdapat banyak sektor privat bermain di dalamnya. Berbagai alternatif perlu dikembangkan dalam reviu ketiga ini, misalnya sharing sumber daya dengan BLU sejenis atau reorganisasi yang diperlukan agar BLU tersebut dapat memadai dari sisi tata kelola.

Pertanyaan terakhir menyangkut pengelolaan BLU baik dari sisi bentuk organisasi mau-pun rencana efisiensi jangka panjang yang diperlukan oleh BLU. Termasuk dalam pembahasan ini yaitu struktur organisasi yang akan dibangun serta pengelolaan hubungan antara BLU ini dengan pengguna layanan. Hal lain yang perlu dipertajam dalam proses ini adalah mekanis-me penilaian kinerja BLU baik kinerja teknis maupun keuangan.

c) Klarifikasi Hubungan Principal AgenSalah satu proses yang dilakukan dalam sistem visi adalah melakukan klarifikasi hubung-

an instansi yang berperan sebagai principal, instansi yang berperan sebagai agen, serta pihak--pihak di antaranya (seperti Dewan Pengawas). Klarifikasi tersebut dilakukan oleh Regulator kepada kandidat BLU, kandidat principal dan Kanwil DJPB sebagai kandidat Supervisor. Hasil yang diharapkan dalam proses ini adalah kesiapan instansi yang akan menjadi BLU, instansi yang berperan sebagai principal dan supervisor. Klarifikasi juga digunakan untuk mengetahui ketersediaan hal-hal standar yang diperlukan sehingga menjamin tata kelola akan dapat ber-jalan ketika instansi tersebut telah disetujui untuk menjadi BLU.

Proses klarifikasi yang diusulkan dalam dokumen ini terdiri dari 6 langkah dimana seti-ap langkah terdapat pertanyaan-pertanyaan yang harus diklarifikasi baik oleh BLU, principal maupun supervisor. Hasil dari proses ini adalah ditemukannya lubang-lubang pada tata kelola yang harus diperbaiki sebelum BLU tersebut di-launching. Proses klarifikasi ini tidak hanya mencari kelemahan namun mencari solusi-solusi alternatif untuk memperbaiki lubang tata kelola yang ditemukan.

Permasalahan-permasalahan yang ditemukan pada proses klarifikasi tersebut berujung pada rekomendasi apakah proses penetapan status BLU tersebut dapat dilanjutkan atau me-nunggu perbaikan. Dalam hal masih ditemukan kelemahan, proses penetapan tersebut masih memungkinkan untuk dilanjutkan dimana pada surat penetapannya, disebutkan hal-hal yang masih dalam pengembangan. Hal-hal tersebut selanjutnya menjadi dasar pemeriksaan tingkat kepatuhan pihak-pihak terkait oleh auditor eksternal.

Page 67: Mengembangkan Tata Kelola BLU

59

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Gambar 17. Klarifikasi Hubungan Principal Agen

Apa Instansi IndukBLU tersebut?

Bagaimana posisi BLU tersebut dalam peta

Candidates Pool?

Apakah terdapat IKU BLU pada IKU instansi

induk?

Apakah terdapatinstansi lain yang

berkepentingan selaininstansi induk BLU?

Bagaimana wilayahtanggung jawab

dalam pembentukansalah satu komponen

TFP?

Program apa yang didelegasikan oleh

Instansi Induk kepadaBLU tersebut?

Apakah ada dukunganyang diperlukan bagi

BLU untukmeningkatkan salahsatu komponen TFP?

Siapa pejabat yang akan ditunjuk sebagai

Dewan Pengawas?

Bagaimana kuantitasdan kualitas Dewan

Pengawas yang dibutuhkan?

Bagaimana Aksesinformasi diberikan

dari BLU kepadaSupervisor dan

Principal

Bagaimana KesiapanBLU menerapkan tata

kelola BLU

Bagaimana kesiapandokumen, proses

bisnis danakuntabilitas pada

BLU?

1 2 3 4 5 6

Jika ya, bagaimanamenyatukan berbagaikepentingan instansidalam suatu kontrak

kerja

Apa yang menjadibatasan otonomi

pengambilankeputusan pada BLU?

BagaimanaMekanismePelaporan &

Pertanggungjawabandr BLU ke Principal?

BagaimanaMekanisme

Pembinaan dariInstansi Induk?

Apa yang tidak bolehdilakukan oleh BLU?

Bagaimana kesiapaninstansi induk

melakukanpembinaan?

Bagaimana opsireward &

punishment?

Zona mana yang menjadi target pengaruh BLU?

Bagaimana kesiapanKanwil DJPB untukmemberi dukungan

kepada Dewan Pengawas

Bagaimana kesiapanKanwil DJPB melakukan

pendampingan

Bagaimanapembagian

kewenangan antarprincipal dan solusi

apabila terjadikonflik?

Bagaimana system informasi yang ada

pada BLU

Bagaimana system dan kontrak kinerja

dapatmenghubungkan BLU

dengan Principal?

Bagaimana solusiapabila tidak terdapat

system informasi?

Klarifikasi tahap pertama dalam proses in adalah mengklarifikasi instansi induk kandidat BLU. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa instansi induk memiliki kesiapan sebagai principal BLU tersebut. Hal-hal yang diklarifikasi pada tahap tersebut yaitu: (i) apakah terdapat program yang didelegasikan oleh instansi induk kepada BLU; (ii) apakah terdapat Indeks Ki-nerja Utama (IKU) instansi induk yang melekat pada IKU BLU; (iii) hal-hal apa yang diputuskan pada tingkat BLU dan hal-hal apa yang harus mendapat persetujuan dari instansi induk; (iv) bagaimana mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban dari BLU kepada instansi induk; (v) bagaimana mekanisme pembinaan dari instansi induk kepada BLU; (vi) hal-hal apa yang tidak boleh dilakukan oleh BLU; (vii) bagaimana kesiapan instansi induk untuk melakukan pembinaan kepada BLU; (viii) opsi-opsi reward dan punishment yang mungkin diberikan dari instansi induk kepada pimpinan BLU terkait pencapaian kinerja.

Klarifikasi tahap dua adalah melihat bagaimana posisi BLU yang diajukan pada candi-dates pool. Proses klarifikasi ini digunakan untuk memastikan bahwa penerapan tata kelola BLU pada instansi tersebut bersifat urgen dan memiliki berkontribusi pada pembangunan tata kelola perekonomian secara keseluruhan. Hal-hal yang diklarifikasi meliputi: (i) area tanggung jawab BLU dalam pembentukan salah satu komponen TFP; (ii) zona pengaruh layanan BLU; (iii) hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung pengembangan komponen TFP terkait pada wilayah kerja BLU.

Klarifikasi tahap tiga adalah melihat kebutuhan pejabat yang ditunjuk sebagai Dewan

Page 68: Mengembangkan Tata Kelola BLU

60

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Pengawas beserta instansi yang memberi dukungan pengawasan. Proses klarifikasi ini digu-nakan untuk merumuskan persyaratan pejabat yang akan duduk dalam Dewan Pengawas dan dukungan pendampingan pada fase persiapan BLU. Hal-hal yang diklarifikasi meliputi: (i) ku-antitas dan kualitas Dewan Pengawas yang dibutuhkan; (ii) kesiapan Kanwil DJPB pada wilayah kerja BLU untuk pengawasan setelah ditetapkannya status BLU.

Klarifikasi tahap empat adalah melihat bagaimana kesiapan kandidat dalam menerapkan tata kelola BLU. Proses klarifikasi ini digunakan untuk memastikan bahwa kandidat memiliki kesiapan untuk melakukan penyesuaian terhadap tata kelola BLU baik dari sisi struktur, bisnis proses, dokumentasi maupun keuangan. Selain itu, proses ini juga digunakan untuk memasti-kan Kanwil DJPB pada wilayah kerja BLU memiliki kemampuan yang memadai untuk melaku-kan pendampingan. Apabila Kanwil terkait tidak memiliki kemampuan, maka perlu dirumus-kan kesiapan instansi kandidat untuk meng-hire konsultan yang memiliki kapasitas memadai.

Klarifikasi tahap lima adalah melihat instansi-instansi Pemerintah selain instansi induk yang memiliki kepentingan terhadap kinerja BLU. Apabila ada, maka Regulator akan menyu-sun konsep multi-principal dengan melibatkan instansi-instansi yang berkepentingan terse-but. Setiap instansi yang diklasifikasikan sebagai regulator akan dilakukan klarifikasi sebagai-mana klarifikasi yang pertama. Hal-hal yang diklarifikasi pada tahap lima adalah: (i) apakah ada instansi selain instansi induk yang berkepentingan terhadap kinerja BLU; (ii) jika ada, ba-gaimana kepentingan-kepentingan tersebut dapat disatukan melalui kontrak kinerja; (iii) kla-rifikasi kembali principal tambahan sebagaimana klarifikasi tahap pertama; (iv) bagaimana pembagian kewenangan antar principal serta solusi apabila terjadi konflik kepentingan.

Klarifikasi terakhir adalah melihat akses informasi yang diberikan BLU kepada principal dan supervisor. Klarifikasi ini digunakan untuk memastikan kondisi informasi asimetris dapat diminimalkan pada saat statu BLU ditetapkan. Hal-hal yang diklarifikasi meliputi: (i) bagaimana sistem informasi yang ada pada BLU; (ii) bagaimana data manajerial dan kontrak kinerja dapat diadaptasi menjadi suatu data kontrak yang mengintegrasikan sistem antara BLU dengan pi-hak-pihak yang berkepentingan; (iii) bagaimana solusi apabila sistem informasi tidak tersedia.

d) Perumusan Kerangka KerjaPerumusan Kerangka Kerja menjadi proses terakhir dalam sistem visi. Pada dokumen ini,

terminologi Kerangka Kerja digunakan untuk mendefinisikan dokumen yang menjadi landas-an operasional bagi BLU. Kerangka Kerja merupakan inti dari tata kelola BLU yang berdasar-kan paradigma 'lets manager manage' dan 'make manager manage' dalam teori New Public Management. Kerangka Kerja memungkinkan BLU tidak perlu lagi diatur oleh instansi induk dengan berbagai aturan yang bersifat kaku. Adanya dokumen ini memungkinkan pengaturan BLU tidak dilakukan dengan seragam yang sama namun dikustomisasi sesuai dengan keper-luan BLU tersebut. Kerangka Kerja juga merupakan alat pengendali bagi instansi-instansi yang menjadi principal agar BLU tetap berjalan sesuai dengan rel yang telah disepakati.

Terminologi Kerangka Kerja sebenarnya belum diatur dalam PP No 23 Tahun 2005 ten-tang Pengelolaan Keuangan BLU. Prinsip umum kerangka kerja sendiri merupakan pener-jemahan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) pada badan usaha. Di dalam kerangka kerja dijelaskan visi, misi, tujuan, tugas pokok, sampai bidang layanan dari BLU tersebut. Kerangka kerja dimaksudkan agar: (i) terdapat definisi yang jelas terkait posisi pihak--pihak yang terlibat dalam tata kelola BLU, termasuk di dalamnya hak dan kewajiban Principal, Dewan Pengawas, Kanwil DJPB sebagai pendukung Dewan Pengawas serta Dewan Direksi; (ii) penjabaran dari prinsip-prinsip tata kelola yang baik sebagaimana dijelaskan sebelumnya; (iii) landasan operasional bagi Dewan Direksi untuk mengelola BLU.

Page 69: Mengembangkan Tata Kelola BLU

61

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Gambar 18. Kerangka Kerja

KerangkaKerja

Arah StrategiBLU scr

Nasional

Program K/L Induk

KerangkaGood

Governance

Kerangka kerja merupakan perpaduan dari berbagai kepentingan. Sebagaimana digam-barkan di atas Kerangka Kerja menjabarkan arah strategi BLU secara nasional sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kerangka pengelolaan yang baik (good governance) serta program Kementerian/Lembaga induk. Bagi Presiden, Kerangka Kerja merupakan penuangan dari ren-cana pengembangan TPF yang telah ditetapkan. Bagi Kemenkeu c.q. Direktorat BLU, Kerangka Kerja merupakan penuangan dari kerangka good governance yang dapat memberi arahan agar kewenangan BUN yang didelegasikan dapat menghasilkan dampak yang besar bagi pengembangan TPF. Sedangkan pada instansi induk, Kerangka Kerja merupakan penuangan program-program K/L induk yang didelegasikan kepada BLU.

Kerangka Kerja merupakan manual bagi penyusunan kontrak kinerja dan Rencana Bisnis Anggaran (RBA). Setiap tahunnya BLU mengajukan Kontrak Kinerja dan RBA yang disusun dengan berdasarkan pada Kerangka Kerja. Dokumen ini juga menjadi bagian dari audit tata kelola yang dilakukan oleh auditor eksternal setiap tahunnya.

Kerangka Kerja dimungkinkan untuk dilakukan perbaikan setiap tahunnya. Pada dasar-nya perbaikan tersebut merupakan dampak dari perubahan arah starategi BLU secara nasi-onal dalam kaitannya dengan rencana pengembangan TPF secara nasional. Perbaikan juga dimungkinkan dengan inisiatif dari Dewan Direksi BLU dengan mempertimbangkan peluang dan risiko yang ada pada pasar. Revisi terhadap Kerangka Kerja semestinya harus disetujui oleh Principal dan Regulator.

Penggunaan Kerangka Kerja untuk menyatukan berbagai kepentingan tersebut menye-babkan BLU tidak perlu lagi menyusun Rencana Strategis (Renstra) sebagaimana dilakukan oleh instansi Pemerintah lainnya. Kerangka Kerja pada dasarnya merupakan dokumen peng-ganti Renstra.

Page 70: Mengembangkan Tata Kelola BLU

62

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Page 71: Mengembangkan Tata Kelola BLU

63

Mengembangkan Tata Kelola BLU

BAB 5 PENGELOLAAN KEUANGAN DAN PENGU-KURAN KINERJA

A. Permasalahan Pengelolaan Keuangan dan Pengukuran KinerjaPada dasarnya tata kelola BLU merupakan pengejawantahan dari teori New Public Ma-

nagement (NPM). Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, NPM dibangun di atas 2 inti (core) yaitu 'lets manager manage' dan 'make manager manage'. Inti pertama diimplementasikan melalui fleksibilitas pengelolaan keuangan BLU, sedangkan inti kedua adalah pengawasan kinerja manajer.

1. Permasalahan Alur Logika pada Pengelolaan Keuangan BLUSebagaimana dipahami bersama, BLU merupakan instansi Pemerintah yang tidak meng-

utamakan mendapat keuntungan. Konsep tersebut tentunya berbeda dengan tujuan instansi BUMN yang memang bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Alur pemikiran tidak meng-utamakan keuntungan semestinya menjadi dasar bagi penerapan standar biaya (costing).

Konsep tidak mengutamakan mendapat keuntungan pada BLU agak kontraproduktif dengan konsep kompetitif sebagaimana tujuan utama dalam mewirausahakan pemerintah. BLU yang kompetitif berarti mampu menyediakan layanan kepada masyarakat dengan harga pasar (market price) atau di bawahnya namun tetap memperhatikan kualitas layanan yang diberikan. Dalam penelitian kami, terdapat unsur keadilan (fairness) yang terabaikan dengan tidak memasukkan biaya bayangan (shadow cost) dalam mekanisme perhitungan biaya. Salah satu biaya yang tidak diperhitungkan tersebut adalah belanja pegawai untuk PNS dan belanja barang yang dialokasikan dari APBN. Tentu saja biaya-biaya tersebut menyebabkan sifat kom-petitif dari suatu BLU menjadi terabaikan.

Selain kedua permasalahan tersebut, masih belum terdapat kejelasan terkait pengguna-an sumber pendapatan RM dan PNBP pada pengelolaan keuangan BLU. RM dapat digunakan baik untuk belanja pegawai, barang maupun modal. Belanja yang sama juga dapat menggu-nakan uang yang bersumber dari PNBP. Kondisi ketidakjelasan tersebut menyebabkan risiko duplikasi penggunaan antara belanja yang bersumber RM dan PNBP.

Alfiker Siringoringo

Page 72: Mengembangkan Tata Kelola BLU

64

Mengembangkan Tata Kelola BLU

2. Permasalahan Pengukuran KinerjaSalah satu hal terpenting dalam pengawasan kinerja manajemen BLU adalah pengukur-

an kinerja. Melalui pengukuran kinerja, pihak-pihak terkait dapat melihat kesesuaian antara kinerja BLU dengan target kinerja sebagaimana tertuang dalam Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA). Mekanisme pengukuran kinerja memang saat ini telah diatur melalui suatu peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan. Namun demikian, kiranya diperlukan pengembangan me-kanisme pengukuran baik penetapan pengukurannya, mekanismenya sampai dengan peng-ambilan keputusan sebagai tidak lanjut dari hasil pengukuran sehingga saat ini memungkin-kan adanya dampak yang signifikan pada kualitas pelayanan BLU.

B. Pendekatan Logis Pengelolaan Keuangan BLUAlur pikir pengelolaan keuangan BLU berpijak dari beberapa hal baik yang diatur dalam

PP 23 Tahun 2005. Dalam PP 23 2005 terdapat pijakan alur pikir yaitu: (a) tidak mengutamakan keuntungan; (b) perhitungan tarif yang didasarkan atas biaya per unit layanan; dan (c) kom-petitif.

1. Memaksimalkan Output (Output-Maximization), bukan Memaksimalkan Profit (Profit--Maximization)

BLU merupakan institusi Pemerintah yang melaksanakan operasional layanan dengan tidak mengutamakan keuntungan. Hal tersebut diuraikan secara jelas pada definisi BLU se-bagaimana tertuang dalam UU No 1 Tahun 2004 dan PP No 23 Tahun 2005. Konsep tidak mengutamakan keuntungan tersebut menyebabkan pemodelan maksimalisasi profit (profit--maximization) dalam diskursus ekonomi mikro semestinya tidak relevan untuk dipergunakan sebagai dasar pemikiran pengelolaan keuangan BLU. Model maksimalisasi keuntungan me-mang mengasumsikan produsen selalu memaksimalkan keuntungan sehingga tidak sejalan dengan tujuan penyediaan layanan oleh BLU. Sebagai gantinya diusulkan penggunaan kon-sep yang disebut sebagai maksimalisasi output (output-maximization).

Teori maksimalisasi output pertama kali diperkenalkan oleh Joseph Newhouse (1969) melalui papernya yang berjudul 'Toward A Thoery of Non-Profit Institutions: An Economic Model of Hospital'. Dalam paper tersebut, Newhouse menekankan hubungan antara status nonprofit dengan efisiensi ekonomis. Model nonprofit ini diusulkan sebagai akibat dari model ekonomi konvensional yang hanya mengasumsikan produsen sebagai pihak yang memak-simalkan keuntungan. Akibatnya, model-model yang digambarkan tidak relevan lagi untuk dipergunakan dalam pengambilan keputusan bagi organisasi nonprofit. Elemen yang dite-kankan dalam hubungan maksimalisasi output adalah memaksimalkan kuantitas dan kualitas. Salah satu konsekuensi penggunaan model ini adalah pemberian reward kepada administra-tor tidak dikaitkan dengan kinerja keuangan, namun kinerja kuantitas dan kualitas. Newhouse menggunakan rumah sakit untuk memodelkan organisasi nonprofit, namun tidak menutup kemungkinan model tersebut dipergunakan pada organisasi nonprofit yang bergerak di bi-dang selain kesehatan.

Teori maksmialisasi output sebagaimana dibangun oleh Newhouse dibantah keras oleh beberapa ahli. Salah satu di antaranya adalah Burton Weisbord (1998) dalam 'The Nonprofit Economy'. Menurut Weisbord, lembaga-lembaga nonprofit seperti rumah sakit seringkali ber-dalih bahwa mereka bergerak di bidang sosial, namun lembaga-lembaga tersebut memprak-tikkan hal yang sama dengan lembaga dengan orientasi keuntungan.

Horwitz dan Nichols (2007) mencoba menjawab pihak-pihak yang apatis dengan non-profit melalui riset mereka yang dipublikasikan dengan judul 'What Do Nonprofit Maximize?

Page 73: Mengembangkan Tata Kelola BLU

65

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Nonprofit Hospital Service Provision and Market Ownership Mix'. Horwitz dan Nicholz menya-takan bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan margin yang signifikan antara rumah sakit yang nonprofit dengan rumah sakit yang bertujuan memaksimalkan keuntungan. Namun, rumah sakit nonprofit tersebut harus diarahkan dengan tujuan (goal-driven) dengan konstrain keuangan yang diperketat.

Seringkali dalam beroperasi, lembaga-lembaga nonprofit (termasuk BLU) mesti mengan-dalkan bantuan pemerintah untuk menjaga eksistensi operasionalnya. Hal tersebut wajar ter-jadi mengingat lembaga-lembaga tersebut juga menjalankan fungsi sektor publik. Frank dan Salkever (1994), dalam 'Nonprofit Organization in Health Sectors', memberikan argumentasi bahwa informasi asimetris adalah kunci untuk memahami peran penting organisasi nonprofit sebagai supplier pelayanan kesehatan. Subsidi pemerintah terhadap penyedia layanan terse-but dilakukan karena Pemerintah menyadari bahwa institusi-institusi tersebut pada dasarnya menyediakan layanan publik. Namun, subsidi yang diberikan oleh Pemerintah seringkali tidak dilakukan berdasarkan kriteria kinerja yang jelas karena sulitnya memonitor biaya dan kuanti-tas layanan yang diberikan oleh provider.

Bagaimanapun juga, kami berkecenderungan bahwa BLU dibangun bukan untuk me-maksimalkan profit melainkan untuk memaksimalkan output baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Asumsi bahwa BLU tidak memaksimalkan profit tersebut menjadi hal utama yang membedakan antara BLU dengan BUMN. Dengan memperhatikan hal tersebut, mekanisme pengelolaan keuangannya juga semestinya didasarkan pada asumsi dasar bahwa BLU bukan-lah lembaga profit.

2. Break Event-PointAsumsi dasar bahwa BLU tidak memaksimalkan profit kiranya dapat diejawantahkan me-

lalui sebuah teori mikroekonomi yang disebut Break Event Point (BEP) untuk pengambilan keputusan terkait pendapatan dan biaya. BEP merupakan suatu titik dimana total biaya sama dengan total pendapatan. Ilustrasi dari konsep BEP adalah sebagai berikut:Gambar 19. Break-Event Point

Total Biaya

Total Pendapatan

Keuntungan

Kerugian

Rupi

ah

Unit

BEP

Kondisi BEP terjadi manakala total pendapatan sama dengan total biaya. Kondisi ini yang semestinya diperhitungkan oleh BLU dalam perhitungan pendapatan (tarif dan renumerasi) serta perhitungan biaya.

Sebagaimana diketahui, secara umum suatu keuntungan diperhitungkan dari Penda-

Page 74: Mengembangkan Tata Kelola BLU

66

Mengembangkan Tata Kelola BLU

patan dikurangi Biaya. Dengan memperhatikan beragamnya pendapatan dan biaya, maka keuntungan merupakan selisih dari Total Pendapatan dan Total Biaya. Notasi matematis dari keuntungan adalah:Formulasi 1. Rumus Umum Keuntungan

Keuntungan = Total Pendapatan - Total Biaya

Jika Keuntungan dinotasikan dengan P, Total Pendapatan TR dan Total Biaya TC makaFormulasi 2. Rumus Keuntungan (dalam notasi matematis)

P = TR - TC

Dalam menyelenggarakan pelayanannya, BLU tidak mengutamakan keuntungan. Secara ma-tematis nilai keuntungan mendekati 0 atau dapat diasumsikan sebagai nol. Dengan keun-tungan yang dianggap nol (0) maka Total Pendapatan (TR) yang diperoleh sama dengan atau mendekati Total Biaya yang dikeluarkan (TC). Formulasinya sebagai berikut: Formulasi 3. Kondisi Break-Event

TC = TRP ≈ 0,

3. Pendapatan BLUPada BLU, terdapat 2 (dua) sumber pendanaan yaitu berasal dari Rupiah Murni (RM)

APBN serta dari PNBP yang diperoleh dari layanan. Jumlah dari kedua sumber pendanaan tersebut merupakan Total Pendapatan (TR) bagi BLU. Dengan memasukkan kondisi dimana keuntungan mendekati 0 (nol) sebagaimana formulasi 3 maka Total Biaya merupakan PNBP plus RM dengan notasi sebagai berikut:Formulasi 4. Sumber Pendanaan untuk Membiayai Total Biaya

TC = PNBP + RM

PNBP merupakan pendapatan murni yang diperoleh oleh BLU. Terdapat 2 (dua) jenis pendapatan BLU yaitu pendapatan operasional (Rop) dan pendapatan nonoperasional (Rnop). Kondisi tersebut diilustrasikan pada gambar berikut:Gambar 20. Pembagian jenis pendapatan BLU

PendapatanBLU

Operating Income

Non-operating

Income

Dikembalikan ke KasNegara

Sharing

Page 75: Mengembangkan Tata Kelola BLU

67

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Formulasi matematis dinotasikan pada persamaan di bawah ini:Formulasi 5. PNBP merupakan akumulasi pendapatan operasional maupun non operasional

PNBP = Rop + Rnop

Pendapatan operasional merupakan pendapatan yang diperoleh karena pelayanan atau kegiatan operasional BLU tersebut. Pendapatan ini pada dasarnya merupakan hak BLU se-hingga dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan BLU. Pendapatan operasio-nal seyogyanya diperhitungkan dalam penilaian kinerja BLU yang berujung pada perhitungan bonus dan remunerasi pejabat dan pegawai BLU.

Sementara itu, pendapatan non operasional diperoleh sebagai konsekuensi dari kegi-atan-kegiatan BLU di luar kegiatan operasional atau core businessnya. Sebagai contoh, pen-dapatan sewa gedung kuliah untuk acara pernikahan atau penempatan uang pada investasi jangka pendek. Fokus BLU untuk meningkatkan pendapatan non operasional akan mening-katkan risiko penurunan kualitas layanan karena BLU tersebut akan cenderung untuk menge-jar keuntungan dengan mengesampingkan kualitas layanan. Sebagai contoh, jadwal kuliah ditunda karena gedung disewakan atau uang yang semestinya dipergunakan untuk perawat-an namun diendapkan untuk menumpuk pendapatan yang diperoleh dari imbal hasil. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, kiranya pendapatan non operasional tidak diperhitungkan sebagai kinerja keuangan BLU serta tidak diperhitungkan dalam perhitungan bonus dan re-munerasi pejabat dan pegawai BLU.

Pada prinsipnya, pendapatan operasional diperbolehkan namun harus dibatasi agar ti-dak terjadi bias pada tujuan BLU dalam menyediakan pelayanan. Terkait hal tersebut, terdapat 2 (dua) alternatif perlakuan terhadap belanja non operasional. Alternatif pertama yaitu selu-ruh hasil dari pendapatan non operasional menjadi bagian dari penerimaan negara dan tidak diperhitungkan dalam PNBP yang dipergunakan BLU. Alternatif ini dapat dipertimbangkan untuk penempatan kas idel pada BLU non jasa keuangan. Alternatif kedua adalah pendapat-an tersebut hanya dapat dipergunakan sebagian saja atau berdasarkan persentase tertentu. Sedangkan sisanya disetorkan ke kas negara. Alternatif ini dapat diimplementasikan pada penggunaan aset negara di luar kegiatan operasional.

Kedua alternatif perlakuan terhadap pendapatan nonoperasional semestinya tidak mem-pengaruhi perhitungan BEP yang menjadi dasar perhitungan biaya dan tarif yang dibebankan ke masyarakat. Dalam perhitungan biaya dan tarif, pendapatan nonoperasional semestinya semestinya diabaikan. Dengan demikian, jumlah PNBP yang dipergunakan untuk memperhi-tungkan biaya mendekati atau sama dengan jumlah pendapatan operasional (Rop).Formulasi 6. Jumlah PNBP sama dengan Pendapatan Operasional

Rnop ≈ 0, PNBP = Rop

Sebagaimana dipahami, pendapatan operasional berasal dari jumlah yang dibayarkan oleh customer (tarif) dikalikan jumlah layanan. Formulasi 7. Rumus Pendapatan Operasional

PNBP = Rop = (Tarif x Q)

Dengan mengasumsikan bahwa PNBP tersebut merupakan pendapatan operasional maka di-peroleh rumus dasar total biaya sebagai berikut:

Page 76: Mengembangkan Tata Kelola BLU

68

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Formulasi 8. Hubungan Total Biaya terhadap Tarif

TC = (Tarif x Q) + RM

4. Perhitungan Biaya

Pada kondisi umum sebagaimana formulasi di atas, timbul permasalahan terkait hal-hal yang boleh dan tidak boleh dibiayai dengan sumber Rupiah Murni yang berasal dari APBN. Untuk merumuskan ketentuan tersebut, kiranya perlu dikembalikan kepada konsep dasar pembentukan BLU.

Sebagaimana dipahami bersama, BLU merupakan penerapan teori pengagenan (agenci-fication) pada institusi yang bergerak pada operasional layanan. Instansi BLU merupakan agen dari Kementerian/Lembaga yang menjalankan suatu layanan tertentu berdasarkan kontrak kinerja. Dengan demikian, tanggung jawab BLU terkait pada operasional layanan. Adapun kebijakan terkait ekspansi bisnis pada dasarnya berada pada kewenangan principal sehingga dana tersebut kiranya disediakan dalam bentuk Rupiah Murni atau dari APBN.

Dengan memperhatikan prinsip tersebut, maka diperlukan pembagian biaya berdasar-kan sifatnya yang melekat pada operasional BLU dimana biaya operasional/operational cost (OC) dibiayai oleh Rupiah Murni dan biaya investasi/investment cost (IC) dibiayai oleh APBN. Formulasi dari total biaya menjadi: Formulasi 9. Biaya merupakan Penjumlahan Biaya Operasional dan Biaya Investasi

TC = OC + IC

Biaya operasional BLU merupakan biaya yang terkait dengan produksi atau penyediaan layanan. Biaya operasional tersebut dapat dibagi menjadi biaya tetap atau fixed cost (FC) de-ngan biaya variabel atau variable cost. Formulasi dalam notasi adalah sebagai berikut:Formulasi 10. Komponen dasar Biaya Operasional

OC = FC + VC

Fixed cost merupakan biaya-biaya tetap yang tidak bertambah meskipun terdapat penambah-an aktifitas ataupun pelayanan BLU. Sedangkan variabel cost merupakan biaya yang mening-kat sejalan dengan peningkatan aktifitas ataupun pelayanan.

Dengan memasukkan rumus biaya operasional ke dalam rumus biaya total dalam formu-lasi 9 maka akan diperoleh rumus total biaya sebagai berikut:Formulasi 11. Total Biaya dan keterkaitan dengan Biaya Tetap, Biaya Variabel dan Biaya Investasi

TC = FC + VC + IC

Berdasarkan rumusan di atas, selanjutnya dapat dialokasikan sumber pembiayaannya seba-gaimana diilustrasikan pada gambar di bawah ini:

Page 77: Mengembangkan Tata Kelola BLU

69

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Gambar 21. Pemisahan Sumber Dana Belanja Berdasarkan Jenis Biaya

Variable Cost

Fixed Cost

Investasi/ Ekspansi

Sumber DanaBelanja

PNBP

RM

Gambar di atas menjelaskan pemisahan sumber dana belanja berdasarkan jenis biayanya. PNBP digunakan untuk kepentingan operasional. Sedangkan Rupiah Murni yang berasal dari APBN digunakan untuk investasi/ekspansi. Pengklasifikasian sumber dana berdasarkan jenis belanja bermanfaat untuk penilaian kinerja BLU tersebut yaitu kejelasan biaya rata-rata yang dibebankan pada setiap layanan atau Average Cost (AC) dengan formulasi sebagai berikut:Formulasi 12. Rata-rata Biaya yang Dibebankan untuk Setiap Layanan

AC = OC∑Q , AC = tarif

Rata-rata biaya yang dibebankan pada layanan tersebut pada dasarnya merupakan tarif yang ditetapkan kepada pengguna jasa. Perhitungan demikian berdasarkan PP 23 Tahun 2005 Pasal 9 mengatur bahwa BLU menetapkan tarif atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Dalam diskursus akuntansi biaya hal ini sering disebut dengan cost--based pricing dengan metode unit costing.

Proses perhitungan unit costing dilakukan dengan mengkalkulasi semua biaya layanan, kemudian dengan berdasarkan biaya tersebut, diperoleh tarif melalui penjumlahan antara unit costing dengan margin. Tentu saja hal ini merupakan metode rasional untuk melakukan pengambilan keputusan sebagaimana diperlukan oleh Pemerintah. Ambarriani (2012), dalam artikelnya berjudul ' Informasi Unit Cost Rumah Sakit, untuk Apa?', menjelaskan bahwa meto-de unit costing tersebut merupakan hal yang sangat bermanfaat bagi internal maupun ekster-nal dalam pengambilan keputusan taktis dan strategis. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa perhitungan unit costing menyebabkan penetapan tarif yang terlampau tinggi karena tarif didorong oleh perhitungan costing. Mekanisme penerapannya juga tidak mendukung pengendalian biaya dan efisiensi biaya.

Permasalahan yang sering terjadi pada penggunaan unit costing dalam perhitungan bi-aya adalah penggunaan harga yang tidak wajar. Ketidakwajaran tersebut dapat berupa inefi-siensi penggunaan persediaan (supplies) atau jalur perapan layanan yang berlebihan (misal, dokter meminta dilakukan pengujian lab, padahal sebenarnya tidak dibutuhkan). Tentu saja kondisi inefisiensi tersebut bertolak belakang dengan salah satu tujuan BLU yaitu mencipta-kan layanan yang efisien dan produktif. Meskipun memiliki beberapa kelemahan, informasi

Page 78: Mengembangkan Tata Kelola BLU

70

Mengembangkan Tata Kelola BLU

unit costing sangat diperlukan untuk pengambilan keputusan manajerial baik dari sisi penga-wasan maupun pengalokasian subsidi. Dari sisi pengawasan, sistem unit costing memberikan berbagai informasi berharga terkait analisis efisiensi biaya, evaluasi kinerja aktivitas, pengam-bilan keputusan strategis dan taktis.

Permasalahan lain yang mungkin timbul adalah kondisi PNBP BLU yang seringkali tidak memadai untuk meng-cover seluruh biaya operasional. Terdapat beberapa argumentasi terja-dinya kondisi tersebut: (i) adanya konstrain penetapan harga dari kompetitor yang mengham-bat harga ditetapkan di atas biaya; (ii) BLU menjalankan misi pemerintah yang tidak memung-kinkan untuk menetapkan harga pasar; (iii) belum terbentuknya pasar BLU.

Terhadap permasalahan cost coverage tersebut, diusulkan agar dilakukan subsidi oleh Pemerintah. Subsidi (S) tersebut diberikan dari rata-rata biaya (AC) terhadap tarif wajar ber-dasarkan kemampuan konsumen. Dengan demikian, formulasi subsidi adalah sebagai berikut:Formulasi 13. Rumus Perhitungan Subsidi per Layanan

S = AC - Tarif

Subsidi tersebut dibayarkan oleh Menteri Keuangan melalui mekanisme BA BUN. Dengan mekanisme subsidi yang demikian maka terdapat kejelasan pengalokasian subsidi untuk ma-sing-masing pelayanan.

Sebagaimana dipahami, pemerintah seringkali kesulitan untuk memonitor aktifitas BLU. Kesulitan tersebut menyebabkan adanya risiko ketidaktepatan sasaran subsidi. Apalagi seba-gian besar BLU masih belum mampu menyajikan informasi unit cost sebagaimana diamanat-kan PP 23 2005. Dapat dipahami bahwa sebagian BLU merupakan transformasi dari instansi pemerintahan biasa yang memiliki sistem anggaran konvensional. Terhadap permasalahan tersebut diusulkan solusi agar BLU yang belum menerapkan unit costing dapat menetapkan penggunaan rasio perbandingan atas total biaya yang dibebankan oleh pengguna layanan dengan total subsidi yang diberikan pemerintah. Rasio tersebut menjadi indikator kinerja BLU dimana semestinya biaya yang dibebankan kepada pengguna layanan meningkat dan subsidi yang diberikan pemerintah menurun.

Permasalahan lainnya dalam pemisahan pembiayaan berdasarkan sumber belanjanya adalah belanja pegawai PNS tidak diperhitungkan sebagai komponen biaya BLU. Hal ini tentu saja menyebabkan: (i) biaya yang diperhitungkan menjadi under-valued; (ii) BLU menjadi tidak kompetitif karena terdapat subsidi bayangan berupa belanja PNS; (iii) kompleksitas penerapan performance-based dan perhitungan remunerasi.

Pada dokumen ini diusulkan pengembangan prinsip kompetitif pada BLU, termasuk di antaranya memperlakukan belanja pegawai PNS sebagai salah satu komponen biaya. Seorang pegawai yang memiliki status PNS dapat memilih menggunakan penggajian berdasarkan standar dari Kementerian/Lembaga induk atau menggunakan standar renumerasi gaji instansi BLU. Apabila menggunakan standar dari K/L maka pegawai tersebut mengembalikan dana ke Kas Negara sebesar renumerasi gaji yang diterima dari BLU. Sebaliknya, apabila menggunakan standar renumerasi gaji instansi BLU maka pegawai tersebut mengembalikan ke Kas Negara sebesar jumlah yang semestinya diterima dari K/L.

Penggunaan satu standar payroll memiliki beberapa manfaat sebagai berikut: (i) biaya pelayanan dapat diperhitungkan dengan lebih fair karena memasukkan semua unsur Fixed Cost; (ii) karena perhitungan biaya lebih fair maka perhitungan subsidi lebih akurat dan tepat sasaran; (iii) profesionalitas instansi BLU karena pegawai dinilai berdasarkan kinerjanya tanpa dipisahkan antara status PNS maupun non PNS.

Page 79: Mengembangkan Tata Kelola BLU

71

Mengembangkan Tata Kelola BLU

5. Surplus/DefisitPada dasarnya BLU beroperasi tidak mengutamakan keuntungan. Namun demikian, ter-

dapat kemungkinan terjadinya surplus atau defisit yang berasal dari selisih antara total pen-dapatan (termasuk subsidi) dengan total biaya yang dikeluarkan.Formulasi 14. Surplus (Defisit)

Surplus (Defisit) = TR - TC

Penggunaan surplus tersebut diusulkan untuk diputuskan dalam RUPS yang diseleng-garan sedikitnya setahun sekali. Terdapat beberapa alternatif penggunaan surplus yaitu: (a) disetor ke Kas Negara; (b) dipergunakan untuk investasi/ekspansi dengan terlebih dahulu di-setorkan ke kas negara; (c) dicadangkan untuk operasional pada tahun anggaran berikutnya. Pada opsi c, pencadangan kas BLU kiranya tidak diperkenankan dilakukan secara berlebihan. Hal tersebut untuk meminimalkan moral hazard yang mungkin timbul terkait dengan imbal hasil penempatan uang yang dinikmati secara informal oleh pihak-pihak tertentu.

Pada kondisi defisit, pengambilan keputusan penyelesaian juga dilakukan dengan meka-nisme RUPS. Kondisi defisit mengharuskan adanya evaluasi ulang terhadap perhitungan tarif serta evaluasi kinerja manajemen secara menyeluruh.

6. Investasi/Ekspansi dengan Menggunakan Dana BLUSebagaimana dipahami bersama, keuangan Pemerintah seringkali berada pada kondisi

terbatas untuk melakukan investasi/ekspansi kepada BLU dalam rangka peningkatan layan-an. Di sisi lain, BLU memiliki ruang untuk memobilisasi pendanaan yang dapat dipergunakan untuk investasi/ekspansi. Dengan memahami kondisi tersebut, diperlukan pendekatan logis pengalokasikan hasil keuntungan BLU untuk investasi/ekspansi sebagai berikut:Gambar 22. Investasi/Ekspansi dengan Menggunakan Dana BLU

RBT

Usulan investasidlm RBA

KeputusanPendanaan oleh BLU

TC = (FC + IC) + VCInvestasi

Recovery BiayaInvestasi

TCQ ≤ Daya Beli Masy.

Gambar di atas mengilustrasikan investasi/ekspansi yang dilakukan dengan menggu-nakan dana BLU. Usulan investasi/ekspansi dituangkan di dalam RBA, termasuk di dalamnya penjelasan terkait investasi apa, efisiensi/peningkatan produktifitas yang diharapkan, target

Page 80: Mengembangkan Tata Kelola BLU

72

Mengembangkan Tata Kelola BLU

peningkatan kinerja keuangan dan layanan serta mekanisme pendanaan yang diusulkan. Usul-an investasi/ekspansi dalam RBA tersebut selanjutnya diputuskan dalam RBT. Apabila skema investasi tersebut merupakan kewenangan Menteri Keuangan, maka BLU mengajukan usulan kepada Menteri Keuangan yang dilampiri rekomendasi dari RBT.

Pendanaan dapat dilakukan dengan 4 (empat) alternatif yaitu: (1) dengan menggunakan laba ditahan BLU; (2) menggunakan RM APBN; (3) menggunakan dana lain di luar BLU terse-but maupun Pemerintah; (4) bauran atas alternatif 1 s.d. 3. Apabila RBT memutuskan terdapat pendanaan investasi di luar poin 1 dan 2 maka BLU wajib memperhitungkan pendanaan inves-tasi dari eksternal ke dalam komponen biaya investasi (Investment Cost/IC) dalam biaya tetap yang diperhitungkan pada total biaya layanan yang dibebankan kepada pengguna layanan. Jumlah yang dibebankan tersebut tidak boleh melebihi jumlah yang dapat ditanggung oleh masyarakat pengguna layanan.

Apabila sifat pendanaan tersebut dalam bentuk multi-years, maka komponen biaya in-vestasi telah memperhitungkan komponen biaya amortisasi. Komponen biaya investasi terse-but selanjutnya yang dipergunakan untuk merecover atau mengembalikan pendanaan.

C. Pengukuran Kinerja

Sebagaimana diterangkan dalam Penjelasan PP 23 Tahun 2005, konsep BLU merupakan salah satu bentuk penerapan basis kinerja (performance-based). Kamus Besar Bahasa Indone-sia memiliki 3 definisi terkait kata 'kinerja' yaitu: (1) sesuatu yang dicapai; (2) prestasi yang di-perlihatkan; (3) kemampuan kerja. Dengan demikian, pengukuran kinerja dimaksudkan untuk melihat pencapaian, prestasi dan kemampuan kerja BLU.

Melalui basis kinerja, dana pemerintah digunakan tidak sekedar untuk membiayai ma-sukan (input) namun juga diukur apa yang dihasilkan (output) dari pembiayaan tersebut. Oleh karenanya, pada penerapan basis kinerja, pengukuran kinerja merupakan hal yang mutlak un-tuk mengetahui tingkat efektifitas pembiayaan BLU yang mempergunakan dana pemerintah. Pada dasarnya terdapat 2 (dua) jenis pengukuran kinerja yaitu pengukuran kinerja keuangan dan pengukuran kinerja layanan. PP 23 tidak mendeskripsikan mekanisme kedua jenis peng-ukuran tersebut.

1. Kewenangan Pengukuran KinerjaPengukuran kinerja merupakan hal yang sangat penting dalam konsep BLU. Hasil kinerja

yang baik tidak hanya memberikan nilai tambah bagi Direksi BLU, namun juga bagian dari keberhasilan pembinaan yang dilakukan oleh supervisor dan principal. Usulan mekanisme pembagian kewenangan pengukuran kinerja diilustrasikan pada gambar di bawah ini:

Page 81: Mengembangkan Tata Kelola BLU

73

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Gambar 23. Mekanisme Pengukuran Kinerja BLU

Pengukurankinerja

periodik

BLUSupervisorPrincipalTeknis

PrincipalKeuangan

Regulator

Penetapan standar& Mekanismepengukuran kinerja

Monitoring kinerja

periodik

TinjauanManajemen

LaporanEvaluasiKinerja

Perbaikan & Pencegahan

Audit KinerjaLayanan

Audit KinerjaKeuangan

RBA

Rapat BLU Tahunan

Penetapan Rating BLU

EvaluasiKinerjaLayanan

EvaluasiKinerjaKeuangan

Gambar di atas mengilustrasikan mekanisme pengukuran kinerja. Terdapat 5 (lima) pi-hak yang terlibat yaitu Regulator, Principal Teknis, Principal Keuangan, Supervisor dan BLU itu sendiri.

Mekanisme di atas diawali dengan penetapan standar dan mekanisme pengukuran ki-nerja oleh Regulator. Standar tersebut menjadi dasar bagi BLU melaporkan hasil kinerja secara periodik. Kinerja BLU sendiri dimonitor secara langsung oleh Supervisor dengan mengguna-kan suatu sistem informasi secara periodik. Monitoring juga dilakukan oleh Principal Teknis dan Keuangan. Terdapat perbedaan fungsi penggunaan hasil monitoring antara Supervisor dan Principal. Supervisor berkepentingan menjaga BLU on-the-track sesuai kontrak kinerja dan RBA dimana hasil monitoring dan evaluasi tersebut dilaporkan kepada Principal. Sedang-kan monitoring yang dilakukan oleh Principal digunakan untuk melihat kinerja BLU secara keseluruhan serta ketercapaian program Principal secara keseluruhan.

Setelah berakhirnya tahun anggaran, Principal mengatur agar dilakukan audit eksternal baik terkait audit layanan maupun audit keuangan. Audit yang dilakukan BPK merupakan sa-lah satu bentuk audit eksternal. Apabila audit BPK tersebut berada di luar ruang lingkup peng-aturan kinerja, maka Principal dapat mengorganisir agar dilakukan audit oleh auditor lainnya.

Hasil dari audit yang dilakukan pihak eksternal menjadi bahan evaluasi Principal yang digunakan dalam pembahasan RBA di RBT. Hasil audit tersebut juga menjadi dasar penetapan rating BLU oleh pihak Regulator.

Page 82: Mengembangkan Tata Kelola BLU

74

Mengembangkan Tata Kelola BLU

2. Pengukuran Kinerja KeuanganPengukuran kinerja keuangan digunakan untuk mengevaluasi kondisi keuangan berda-

sarkan data finansial dari unit bisnis tersebut. Hal tersebut tidak hanya berlaku pada korporasi, namun juga Badan Layanan Umum. Hasil evaluasi tersebut merupakan bahan pengambil-an keputusan baik terkait dengan BLU tersebut maupun instansi-instansi BLU sejenis. Pada dokumen ini disusulkan mekanisme pengukuran kinerja keuangan BLU dengan mengadopsi pengukuran kinerja keuangan yang dilakukan pada korporasi secara umum. Penggunaan me-kanisme pengukuran korporasi menyebabkan BLU dapat diperbandingkan secara apple-to--apple baik dengan BLU sejenis maupun korporasi yang berada pada sektor serupa. Salah satu prasyarat pengukuran tersebut adalah memisahkan sumber belanja PNBP yang digunakan untuk kepentingan operasional serta RM untuk kepentingan investasi/ekspansi maka bebera-pa mekanisme pengukuran kinerja keuangan pada perusahaan dapat dipergunakan.

Salah satu alat yang dipergunakan dalam pengukuran kinerja keuangan adalah rasio keuangan. Rasio ini merupakan alat yang dipergunakan untuk menganalisis keuangan perusa-haan dan juga BLU. Rasio tersebut dapat digunakan untuk membandingkan kinerja keuangan BLU sejenis maupun antara BLU dengan swasta. Tabel di bawah ini menggambarkan rasio--rasio keuangan yang digunakan secara umum pada perusahaan. Rasio-rasio tersebut kiranya juga dapat dipergunakan untuk pengukuran kinerja keuangan suatu BLU.Tabel 8. Rasio-rasio Keuangan pada Korporasi (Non Keuangan)

No Nama Rasio Definisi

LIQUIDITY RATIO

1 Current Ratio Rasio aktiva lancar terhadap kewajiban lancar pada tanggal laporan

2 Quick Ratio Rasio aktiva lancar dikurangi dengan inventory relatif terhadap kewajiban lancar

ACTIVITY RATIO

3 Day Sales in AR Rasio yang menunjukkan berapa lama yang dibutuhkan untuk mengumpulkan piutang dari pelanggan

4 Inventory Tur-nover

Menunjukkan seberapa cepat menjual persediaan dengan membandingkan saldo persediaan dengan harag pokok penjualan

5 Days Inventory Rasio ini menunjukkan berapa banyak hari kerja yang digunakan untuk menjual suatu persediaan

6 Net Sales to Inventory

Menunjukkan ukuran jumlah penjualan bersih relatif terhadap persediaan pada suatu periode pelaporan

7 Days Purchases in AP

Menunjukkan ukuran hutang relatif terhadap harga pokok penjualan untuk perio-de laporan

8 Working Capital Dana yang tersedia untuk melakukan ekspansi

9 Net Sales to Wor-king Capital

Penjualan bersih relatif terhadap modal kerja

10 Total Assets to Net Sales

Menunjukkan berapa banyak rupiah aset yang diperlukan untuk menghasilkan PNBP

11 Net Sales to AR Menunjukkan penjualan bersih relatif terhadap piutang

12 Net Sales to Net FIxed Assets

Menunjukkan penjualan bersih relatif terhadap aktiva tetap bersih

13 Net Sales to Total Assets

Menunjukkan penjualan bersih relatif terhadap total aktiva

14 Net Sales to Net Worth

Menunjukkan ukuran penjualan bersih relatif terhadap kekayaan bersih

Page 83: Mengembangkan Tata Kelola BLU

75

Mengembangkan Tata Kelola BLU

No Nama Rasio Definisi

15 Amortization and Depreciation Expense to net sales

Menunjukkan berapa persen PNBP digunakan membayar biaya non tunai seperti biaya amortisasi aktiva tak berwujud, hak cipta dan paten dan biaya penyusutan aset tetap untuk periode tersebut

PROFITABLITY RATIO

16 Gross Profit Per-centage

Menunjukkan berapa persen dari PNBP yang tersisa setelah membayar biaya penjualan

17 Operating Expen-ses as % of Net Sales

Menunjukkan berapa persen dari PNBP digunakan untuk membayar beban usaha pada periode tersebut

18 Return on Total Assets

Menunjukkan ukuran laba bersih setelah pajak relatif terhadap total aset

19 Return on Net Worth

Menunjukkan berapa ukuran relatif laba bersih terhadap kekayaan bersih

20 Return on Net Sales

Menunjukkan berapa persen dari PNBP benar-benar menjadi laba periode berjalan

21 Income Before Tax to Net Worth

Menunjukkan ukuran laba bersih sebelum pajak relatif terhadap kekayaan bersih BLU

22 Income Befo-re Tax to Total Assets

Menunjukkan ukuran laba bersih sebelum pajak relatif terhadap total aset

23 Retained Earnings to Net Income

Menunjukkan ukuran laba ditahan terhadap laba bersih

COVERAGE RATIO

24 Times Interest Earned

Menunjukkan ukuran beban bunga perusahaan relatif terhadap laba operasi

25 Interest Expense to Net Sales

Menunjukkan berapa persen dari penjualan bersih (PNBP) yang digunakan untuk membayar beban bunga atas utang

26 Current Liablities to Net Worth

Menunjukkan ukuran kewajiban lancar perusahaan relatif terhadap kekayaan ber-sih perusahaan

27 Current Liabilities to Inventory

Menunjukkan ukuran kewajiban lancar perusahaan relatif terhadap persediaan

28 AP to Net Sales Menunjukkan hutang relatif terhadap pendapatan dan penjualan

29 Total Liabilities to Net Worth

Menunjukkan ukuran jumlah kewajiban dibandingkan dengan kekayaan bersih

30 Net Worth to Total Liabilities

Menunjukkan ukuran kekayaan bersih relatif terhadap total kewajiban

Tabel di atas menguraikan rasio-rasio keuangan yang dikelompokkan ke dalam rasio likuidi-tas (liquidity ratio), rasio profitabilitas (profitablity ratio) serta rasio coverage (coverage ratio). Rasio likuiditas merupakan rasio-rasio yang dipergunakan untuk melihat kemampuan BLU dalam membayar pinjaman jangka pendek. Rasio profitabilitas adalah rasio-rasio keuangan yang dipergunakan untuk melihat kemampuan BLU dalam menghasilkan pendapatan yang dikomparasikan dengan pengeluaran dan biaya-biaya yang relevan selama periode-perio-de tertentu. Sedangkan rasio coverage adalah rasio-rasio keuangan yang digunakan untuk mengukur kemampuan BLU memenuhi kewajiban keuangannya

Selain menggunakan rasio keuangan yang berlaku umum, terdapat rasio khusus yang hanya dapat diterapkan pada BLU yaitu:

Page 84: Mengembangkan Tata Kelola BLU

76

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Tabel 9. Rasio Keuangan Spesifik pada BLUNo Nama Rasio Definisi

1 Rasio Kemandi-rian

Menunjukkan jumlah PNBP relatif terhadap jumlah dari PNBP dan RM

2 Rasio Subsidi ter-hadap total biaya operasional

Menunjukkan jumlah RM yang diberikan Pemerintah untuk membantu BLU me-nyelenggarakan layanan

3. Pengukuran Kinerja LayananSelain kinerja keuangan, juga dilakukan pengukuran terhadap kinerja layanan. Hal terse-

but mengacu pada tujuan pengelolaan keuangan BLU untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin layanan BLU kepada masyarakat serta memotivasi BLU dalam meningkatkan layanan, kiranya diperlukan suatu mekanisme pemberian rating layanan kepa-da BLU. Usulan standar rating tersebut diilustrasikan pada gambar berikut:Gambar 24. Rating Layanan BLU

Terstandar sesuai tatakelola BLU

Akreditasi Baik/SangatBaik tingkat nasional

Akreditasi Baik/ SangatBaik tingkat internasional

Benchmark internasional

Benchmark nasional

Dalam proses standarisasitata kelola BLU

Bintang Satu

Bintang Dua

Bintang Tiga

Bintang Nol

Bintang Empat

Bintang Lima

SIMBOL NAMA RATING PENJELASAN

Gambar di atas mengilustrasikan derajat rating layanan BLU. Pengaturan rating tersebut dilakukan oleh pihak regulator. Demikian juga penetapan rating BLU. Rating tersebut ditam-bahkan pada logo BLU yang menyampaikan pesan kepada masyarakat terkait mutu layanan BLU tersebut. Desain dari pemberian rating ini adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa dengan tolak ukur peningkatan daya saing bangsa pada tataran inter-nasional. Rating layanan ini mengambil perspektif kualitas layanan dan kepuasan pelanggan serta mengeluarkan faktor administratif kepatuhan penyampaian dokumen. Faktor adminis-tratif sendiri berada pada kewenangan Supervisor dan Principal.

Rating paling dasar adalah Bintang Nol. Rating tersebut diberikan kepada BLU yang ber-ada dalam proses penataan governance. Rating berikutnya adalah Bintang Satu yang dibe-rikan kepada BLU yang telah memiliki standar tata kelola yang memadai sesuai dengan hasil audit dari auditor eksternal. Pada saat suatu BLU memperoleh rating ini, berarti BLU tersebut

Page 85: Mengembangkan Tata Kelola BLU

77

Mengembangkan Tata Kelola BLU

telah memiliki kepatuhan (comply) terhadap peraturan terkait.Derajat berikutnya adalah Bintang Dua. Rating ini diberikan kepada BLU yang telah terak-

reditasi Baik/Sangat Baik sesuai dengan lembaga terkait yang melakukan akreditasi. Misalnya, BLU Rumah Sakit diakreditasi oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS). Dalam hal tidak terdapat akreditasi resmi tingkat nasional, maka Regulator menyusun standar akreditasi ber-dasarkan benchmark institusi dengan pelayanan terbaik di Indonesia. Suatu BLU harus meme-nuhi persyaratan pada rating sebelumnya untuk naik ke rating yang lebih baik. Misalnya, suatu BLU Kesehatan memiliki akreditasi sangat baik dari KARS namun memiliki tata kelola di bawah standar tata kelola BLU, maka BLU tersebut hanya mendapatkan Bintang Nol.

Akreditasi setelah Bintang Dua adalah Bintang Tiga. Tingkat akreditasi ini diberikan untuk BLU yang telah memenuhi standar akrediatasi Bintang Dua serta menjadi rujukan tata kelola dan layanan tingkat nasional. Pada derajat ini, sisi keuangan BLU harus memiliki kemandirian penuh ditinjau dari pendanaan layanan. Pada tingkat Bintang Tiga, BLU sudah mulai memba-ngun layanan dengan taraf internasional.

Derajat berikutnya adalah Bintang Empat. Pada tingkat ini, suatu BLU telah terakreditasi pada tingkat internasional sesuai dengan lembaga akreditasi internasional yang ditetapkan sebagai acuan oleh Regulator. Dalam hal tidak terdapat standar akreditasi yang sesuai de-ngan BLU tersebut, Regulator menyusun sendiri standar akreditasi dengan mengacu pada lembanga-lembaga internasional terbaik yang sejenis baik swasta maupun pemerintahan.

Derajat tertinggi adalah Bintang Lima. BLU yang memperoleh derajat ini merupakan ben-chmark tata kelola institusi sejenis di dunia. BLU ini juga telah memenuhi persyaratan pada Derajat Bintang Empat.

Setidaknya setahun sekali, Regulator BLU menetapkan dan mengumumkan rating-rating BLU beserta indikator-indikator pendukungnya. Rating yang diberikan kepada BLU merupa-kan dasar bagi BLU untuk mengajukan renumerasi. Hal tersebut akan menjadi motivasi bagi seluruh pegawai BLU tersebut untuk mengelola layanan menjadi yang terbaik. Dalam hal ter-jadi penurunan kinerja, Supervisor serta Principal berhak mengajukan permintaan evaluasi terhadap rating BLU.

Page 86: Mengembangkan Tata Kelola BLU

78

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Page 87: Mengembangkan Tata Kelola BLU

79

Mengembangkan Tata Kelola BLU

BAB 6 PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN

Fleksibilitas yang terapkan pada tata kelola BLU menyebabkan bentuk ini dapat diguna-kan untuk pengembangan fungsi pemerintahan. Pada uraian sebelumnya, diusulkan adanya pemetaan instansi-instansi ke dalam suatu candidates-pool dimana pool tersebut berisi in-stansi-instansi yang kiranya dapat menjadi kunci dalam pengembangan perekonomian pada fungsi-fungsi tertentu baik bersifat jangka menengah maupun jangka panjang. Beberapa in-stansi pemerintah yang telah dipetakan dalam candidates pool dapat didorong secara alami-ah untuk menerapkan tata kelola BLU. Selanjutnya, fungsi kandidat tersebut dipetakan psoisi-nya berdasarkan kondisi klustering Break Event Point (BEP).

Fleksibilitas dalam tata kelola BLU tersebut kiranya juga dapat digunakan dalam pe-ngembangan fungsi-fungsi pemerintah dalam perekonomian. Pada bab ini akan diusulkan beberapa alternatif pengembangan institusi pemerintah dengan memanfaatkan fleksibilitas dan pengendalian dalam tata kelola BLU.

Alfiker Siringoringo

Page 88: Mengembangkan Tata Kelola BLU

80

Mengembangkan Tata Kelola BLU

A. Klustering Posisi Instansi Berdasarkan Kondisi BEPDengan menggunakan konsep BEP, dapat dipetakan apakah posisi suatu institusi penye-

dia layanan apakah dapat didorong untuk berstatus BLU atau dapat dinaikkan menjadi BUMN. Ilustrasi positioning instansi layanan tersebut diilustrasikan pada gambar di bawah ini:Gambar 25. Kluster Posisi Institusi Penyedia Layanan Berdasarkan BEP

Total Biaya

Total Pendapatan

Keuntungan

Kerugian

Rupi

ah

Unit

BEP

Kondisi II

Kondisi I

Kondisi III

Gambar di atas mengilustrasikan posisi suatu institusi layanan terhadap kondisi BEP. Ter-dapat 3 kondisi yang menjadi area positioning. Pada Kondisi I, instansi layanan masih meng-alami kerugian dimana total biaya lebih besar dari total pendapatan. Kondisi ini merupakan kondisi yang wajar terjadi pada institusi Pemerintah. Kondisi II merupakan kondisi ideal di-mana suatu institusi berada pada posisi BEP. Sedangkan Kondisi III merupakan kondisi dimana keuntungan lebih besar dari total biaya.

Sebagian besar institusi pelayanan pemerintah berada pada Kondisi I. Institusi yang mengajukan diri menjadi BLU juga dimungkinkan berada pada kondisi ini. Pada BLU yang demikian, dilakukan fase persiapan dimana dilakukan pembenahan tata kelola yang memung-kinkan mencapai Kondisi II.

Kondisi III merupakan kondisi dimana terdapat BLU memiliki keuntungan. Kondisi terse-but sebenarnya dihindari mengingat BLU merupakan institusi yang tidak mengutamakan ke-untungan. Pada kondisi yang demikian, maka status BLU diusulkan untuk naik menjadi BUMN atau PTN-BH.

B. Alternatif Pemanfaatan Tata Kelola BLU untuk Pengembangan Tata Kelola Pemerintahan di Indonesia

Sebagaimana dipahami, ketidakefektifan birokrasi masih menjadi pangkal dari banyak-nya permasalahan yang belum dapat diselesaikan. Pembenahan tata kelola BLU sebagaimana ditawarkan dalam dokumen ini memberikan suatu peluang bagi penataan kembali struktur birokrasi dengan memberikan fleksibilitas dan pengendalian yang memadai pada tata hu-

Page 89: Mengembangkan Tata Kelola BLU

81

Mengembangkan Tata Kelola BLU

bungan principal-agensi. Apabila tata kelola sebagaimana dirumuskan dalam dokumen ini menghasilkan dampak signifikan bagi efisiensi, produktifitas maupun kontribusi BLU pada perekonomian negara, kiranya dapat dikembangkan beberapa alternatif pemanfaatan tata kelola BLU untuk memberikan pengaruh pada tata kelola birokrasi secara lebih luas. Beberapa alternatif yang ditawarkan yaitu: (1) pemanfaatan tata kelola BLU untuk membentuk BUMN yang sehat; (2) pendelegasian fungsi pengelolaan earmarked-tax pada BLU; (3) penerapan joint-principal Pusat Daerah untuk sinergi pengembangan sektor-sektor strategis; serta (4) penerapan tata kelola BLU pada unit tertentu dari suatu instansi.

1. Pemanfaatan Tata Kelola BLU untuk Pembentukan BUMN yang SehatBLU dan BUMN merupakan alat pemerintah yang dapat menjadi lokomotif negeri untuk

menarik gerbong perekonomian. BLU dan BUMN memang memiliki perbedaan yang sangat signifikan dari sisi visi operasionalnya dimana visi BLU semestinya adalah layanan penyediaan barang dan jasa, sedangkan visi operasional BUMN adalah mencari keuntungan. Hal lain yang menjadi perbedaan utama adalah ruang gerak BLU dan BUMN dimana BLU bergerak pada bi-dang publik sedangkan BUMN bergerak pada sektor privat. Namun demikian, BLU dan BUMN juga memiliki kesamaan yaitu: (a) sama-sama agen Pemerintah yang diciptakan dan dikenda-likan sesuai dengan kepentingan Pemerintah; (b) sama-sama menerapkan kaidah bisnis yang sehat; (c) sama-sama memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pasar. Dengan memperha-tikan persamaan tersebut, kiranya BLU dapat menjadi salah satu alternatif pemerintah untuk menginisiasi BUMN baru.

BLU yang diciptakan untuk menjadi BUMN pada awalnya dibangun dan diperlakukan sebagaimana BLU pada umumnya. Pada fase BLU ini, Pemerintah membangun tata kelola yang sehat, menciptakan pasar serta mengembangkan kemandirian sumber daya yang kelak dapat menggerakkan BLU tersebut untuk mempraktikkan bisnis yang sehat serta dapat men-datangkan keuntungan apabila statusnya ditingkatkan menjadi BUMN. Pada alternatif ini, BLU berperan sebagai sebuah fase dalam siklus hidup BUMN sebagai unit usaha sebagaimana diilustrasikan pada BLU-BUMN Life Cycle di bawah. Siklus tersebut merupakan dasar analisis strategi unit bisnis pemerintah dalam mempengaruhi pasar. Gambar 26. Unit Bisnis Pemerintah (BLU-BUMN) Life Cycle

I. Development II. Introduction III. Growth IV. Maturity V. Decline

WAKTU

PEN

DAPA

TAN

/KE

UN

TUN

GAN

0

Pendapatan

Keuntungan

Badan Layanan UmumBUMN

Merger/Jual

Page 90: Mengembangkan Tata Kelola BLU

82

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Gambar di atas mengilustrasikan siklus hidup BLU menjadi BUMN yang diadaptasi dari konsep Product-Life Cycle (PLC). PLC sendiri sebenarnya merupakan grafik yang menggam-barkan daur hidup suatu produk dari produk tersebut dibangun sampai produk tersebut ditarik dari pasar. Dalam suatu siklus hidup BLU BUMN tersebut, suatu Unit Bisnis Pemerintah diskenariokan memiliki 5 (lima) tahapan sebagai berikut:(1) pembangunan (development). Pada tahap ini Unit Bisnis Pemerintah diinisiasi dan diper-

siapkan menjadi BLU. Tahap ini ditandai dengan pengembangan konsep tata kelola or-ganisasi, pengembangan produk dan layanan, riset pasar, penguatan core-bussiness, pe-nguatan kontrak kinerja, serta penyusunan road map. Pada tahap development, instansi ini belum memperoleh pendapatan. Sebaliknya, biaya yang dikeluarkan sangat tinggi sehingga menekan keuntungan (laba) hingga posisi minus. Kondisi tersebut mengharus-kan pembebanan biaya seluruhnya atau hampir seluruhnya kepada Pemerintah melalui APBN;

(2) pengenalan (introduction). Tahap ini merupakan awal pengenalan BLU beserta produk kepada pasar. Tahap ini ditandai dengan telah dirilisnya produk-produk BLU dan mulai dikenal pasar. Instansi BLU telah mendapatkan status BLU penuh dari Menteri Keuangan. Pada tahap pengenalan, pendapatan mulai merangkak naik namun belum dapat me-nunjukkan kemandirian karena Pemerintah masih melakukan subsidi terhadap layanan dimana biaya lebih tinggi dari tarif;

(3) pertumbuhan (growth). Permintaan produk/layanan yang tinggi menyebabkan lonjak-an permintaan produk/layanan BLU. Bentuk usaha sudah tidak efektif lagi menjadi BLU karena kebutuhan investasi dan ekspansi begitu tinggi serta orientasi yang sudah mulai mengarah pada optimalisasi keuntungan. Pada tahap ini, bentuk unit usaha berubah dari BLU menjadi BUMN;

(4) kematangan (maturity). Permintaan tidak dapat tumbuh lebih tinggi lagi. Produk atau layanan telah menguasai pasar dan tidak terdapat wilayah untuk melakukan ekspansi;

(5) penurunan (decline). Permintaan produk/layanan sudah menurun. Banyaknya kompetitor baru, teknologi baru serta SDM baru menyebabkan BUMN sudah tidak efisien dan kalah dalam kompetisi pasar. Pada tahap ini BUMN tersebut sebaiknya dimerger atau dijual.

Siklus hidup BLU-BUMN tersebut digunakan sebagai dasar analisis pada titik mana suatu BLU dikembangkan dan berubah status menjadi BUMN dengan memperhatikan pendapatan dan keuntungan. Transformasi tersebut dilakukan pada saat instansi berada pada tahap per-tumbuhan. Kegagalan perubahan status pada tahap tersebut akan menimbulkan suatu stag-nasi bagi unit organisasi. Siklus hidup ini juga menjadi suatu peringatan bagi instansi-instansi BUMN terkait kesehatan produk-produknya dalam mempengaruhi pasar. Pada fase maturity, BUMN diharapkan dapat mengambil langkah-langkah korektif yang mencegah datangnya fase penurunan.

2. Pengelolaan Earmarked-Tax oleh BLUSalah satu alternatif yang diusulkan terkait pengembangan BLU adalah pengelolaan ear-

marked-taxes. James M Buchanan, dalam paper berjudul 'The Economics of Earmarked Taxes', menyatakan bahwa pendekatan earmarked merupakan kebijakan untuk mendesain suatu pendapatan tertentu menjadi sumber pendanaan bagi kegiatan pelayanan umum yang juga tertentu.

Istilah earmarked taxes ini sebenarnya tidak dikenal dalam pengelolaan fiskal di Indo-nesia. Namun, secara praktik Pemerintah telah memungut earmarked taxes sebagaimana di-

Page 91: Mengembangkan Tata Kelola BLU

83

Mengembangkan Tata Kelola BLU

lakukan pada BLU CPO Fund atau BLU Sawit. Melalui BLU tersebut, Pemerintah memungut CPO Supporting Fund (CSF) kepada pengusaha yang mengekspor CPO dan produk turunan, industri berbahan baku sawit serta komoditas perkebunan sawit beserta produk turunannya. Selanjutnya, dana CSF tersebut digunakan untuk membiayai subsidi biodiesel, replanting (per-emajaan) tanaman sawit serta tujuan lain yang ditetapkan dalam undang-undang. Dengan adanya intervensi Pemerintah pada produksi dan pemasaran sawit dan turunannya diharap-kan harga sawit dapat terdongkrak sehingga mensejahterakan petani dan memberikan dam-pak ekonomi yang lebih luas. Pungutan CSF pada dasarnya merupakan salah satu jenis dari earmarked taxes karena dipungut atas produk/komoditas tertentu dimana hasil pungutannya dipergunakan untuk tujuan tertentu juga. Pengelolaan dilakukan oleh agen pemerintah (BLU Sawit) dimana agen tersebut menjalankan kepentingan Kementerian-Kementerian yang men-jadi principalnya.

Pada dasarnya, skema pengelolaan earmarked tax ini juga dapat dipergunakan pada kondisi-kondisi lain dimana institusi pengelolanya berstatus BLU. Secara umum proses bisnis BLU pengelola earmarked taxes diilustrasikan pada gambar di bawah ini:Gambar 27. Gambaran Umum Pengelolaan Earmarked Taxes

Earmarked Taxes

BLU InvestasiBelanja

Sektor Tertentu

Pemerintah, melalui BLU atau institusi yang ditunjuk, memungut earmarked taxes atas suatu aktivitas tertentu. Dana yang berhasil dikumpulkan tersebut digunakan untuk belanja yang terkait dengan pengembangan sektor yang memberikan earmarked taxes tersebut. Se-lain membelanjakan untuk kepentingan sektor tersebut, BLU juga melakukan investasi dimana hasil investasinya juga dipergunakan untuk pengembangan sektor tersebut.

Skema pengelolaan earmarked tax sebenarnya tidak hanya dipergunakan pada komo-ditas saja. Banyak sektor lain yang menggunakan skema tersebut. Misalnya, pembangunan BLU yang ditujukan untuk pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) pada masyarakat di sekitar pusat ekonomi (tambang, area industri). Tujuan pengembangan BLU tersebut adalah mengurangi ketimpangan ekonomi masyarakat sekitar dengan pendatang, mengurangi eks-ternalitas negatif akibat aktifitas ekonomi serta mengurangi dampak terjadinya dutch-disease syndrom (suatu kondisi dimana tenaga kerja tidak siap berpindah mata pencaharian ketika suatu pusat ekonomi berhenti beraktifitas).

Pengelolaan skema earmarked taxes oleh BLU kiranya memiliki beberapa kelebihan yaitu: (a) memungkinkan adanya multi-principal atau memiliki principal berasal dari lintas sektoral yang mensinergikan kepentingan berbagai institusi dalam satu rumah; (b) Keberhasilan Princi-pal ditentukan oleh keberhasilan BLU sehingga memungkinkan persepsi yang seragam antara

Page 92: Mengembangkan Tata Kelola BLU

84

Mengembangkan Tata Kelola BLU

institusi yang berkepentingan; (c) menghindari duplikasi fungsi antara Kementerian/Lembaga; (d) menghindari tekanan politik dari legislatif karena BLU tersebut bertanggungjawab kepada Kementerian/Lembaga Pemerintah yang bertindak sebagai principal. Perkiraan nilai tambah pengelolaan earmarked tax oleh BLU telah sesuai dengan temuan Dietes Bos (1999), dalam 'Earmarked Taxation: Welfare versus Political Support'. Menurut Bos, earmarked-taxes akan dikelola secara optimal apabila dilakukan dengan seting principal-agen dimana pungutan dan belanja dilakukan oleh 2 (dua) agen yang berbeda dengan monitoring dilakukan oleh par-lemen. Pendapat tersebut didasarkan pada asumsi bahwa parlemen memiliki kepentingan untuk memaksimalkan kesejahteraan untuk mendorong suara pemilihan.

Dalam praktiknya, earmarked tax memiliki kelebihan dan kekurangan. Kavale (2014), da-lam 'Earmarking of Taxes: Economy of Policy?', mencatat kelebihan dan kekurangan tersebut berdasarkan pengamatan terhadap implementasi earmarked tax di Latvia. Kelebihan earmar-ked-taxes tersebut yaitu: (a) meminimalkan strategi penghindaran pajak dan perilaku pelarian pajak; (b) memastikan sejumlah penerimaan digunakan untuk sejumlah aktivitas; (c) perenca-naan dan penganggaran yang terprediksi; (d) meningkatkan kepercayaan kepada Pemerintah; (e) meningkatkan keinginan Wajib Pajak untuk berkontribusi.

Ketika earmarked tax menjadi strategi yang kuat bagi peningkatan penerimaan nega-ra, strategi ini juga dapat memiliki banyak sekali kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut yaitu: (a) mengurangi fleksibilitas anggaran yang berpengaruh negatif terhadap kepuasan masyarakat terkait pemenuhan layanan umum; (b) pada kondisi perubahan pembangunan ekonomi, terlalu berisiko mengandalkan pembiayaan suatu belanja yang benar-benar penting hanya pada satu jenis pajak; (c) pada kondisi krisis, dimungkinkan terdapat permasalahan mengakumulasi pajak tersebut; (d) earmarking menyebabkan peningkatan biaya administratif dan biaya kepatuhan; (e) earmarking tidak mengalokasikan sejumlah dana yang spesifik untuk suatu aktifitas kareana sifat earmarking adalah fungibilitas (fungibility).

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, konsep pengelolaan earmarked-taxes oleh BLU nampaknya tidak dapat secara implementasikan. Pasalnya, terminologi earmarked-taxes belum terakomodirnya baik pada pengaturan terkait perbendaharaan maupun pengaturan terkait perpajakan. Sebagaimana dipahami, pendapatan pemerintah dibagi menjadi Penda-patan Pajak dan Non Pajak (PNBP). Earmarked taxes sendiri tidak dikenal dalam peraturan pajak di Indonesia. Menurut Kementerian Keuangan sebagaimana tertuang dalam 'Naskah Akademik PNBP', pemikiran terkait PNBP pada dasarnya mendekati konsep earmarked tax. Selain itu, di dalam PP 23 Tahun 2005 tentang PPK BLU, BLU hanya mengelola Rupiah Murni (RM) yang berasal dari APBN dan PNBP yang berasal dari operasional layanan. PP tersebut belum mengakomodir kebutuhan pengelolaan earmarked taxes.

Konsep pengelolaan earmarked taxes oleh BLU perlu dikembangkan lebih mendetail mengingat BLU diberikan fleksibilitas dalam pengelolaan sumber daya. Konsep ini sebenarnya telah digunakan namun tidak diformalkan dalam suatu tata perundangan. Ke depan, diharap-kan pengelolaan earmarked taxes dapat ditata secara formal dan profesional untuk menda-tangkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

3. Joint Principal Pusat dan DaerahJoint Principal antara Pusat dan Daerah merupakan bagian skema multi-principal dimana

institusi yang bertindak sebagai principal terdiri dari instansi Pemerintah Pusat dan Pemerin-tah Daerah. Skema ini belum dikenal dalam pengelolaan keuangan negara dan BLU. Namun demikian, skema ini pernah diterapkan pada Badan Pengusahaan B*t*m (BP B*t*m) dimana BLU ini merupakan instansi Pemerintah Pusat namun mendudukkan wakil Pemerintah Daerah

Page 93: Mengembangkan Tata Kelola BLU

85

Mengembangkan Tata Kelola BLU

dalam Dewan Pengawas. Skema joint-principal diharapkan dapat menjadi suatu alternatif un-tuk mensinergikan kepentingan pusat dan daerah.

Sebagaimana dipahami, pada lingkup daerah Pemerintah Pusat seringkali memiliki perbedaan kepentingan dan sudut pandang dengan Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat seringkali mengambil kebijakan dengan sudut pandang makro secara nasional sedangkan Pemerintah Daerah cenderung melihat dari sudut pandang kepentingan lokal. Hal tersebut menyebabkan perencanaan maupun implementasi kebijakan Pusat dan Daerah menjadi tidak sejalan.

Berbagai contoh perbedaan kepentingan pusat dan daerah seringkali menimbulkan ge-sekan. Salah satu contoh adalah BP B*t*m dimana Pemerintah Pusat berkepentingan untuk membangun batam menjadi salah satu pelabuhan transit dan kawasan industri di Indonesia. Namun demikian, pemerintah setempat menolak keberadaan BP B*t*m. Terdapat beberapa hal yang kiranya menjadi penyebab konflik kepentingan semacam itu yaitu: (a) Pemerintah Daerah tidak bisa berinvestasi dan mengalami kendala dalam pembangunan infrastruktur; (b) terdapat pungutan yang semestinya menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) namun menjadi pendapatan BP B*t*m; (c) ketimpangan kewenangan antara pusat dan daerah; (c) Pemerin-tah Daerah tidak peduli dengan manfaat keberhasilan Kawasan Ekonomi secara nasional; (d) Arogansi politik daerah; (e) Pemerintah Daerah tidak memperoleh informasi dan kewenangan memadai terkait pengembangan daerah; (f) Pemerintah Daerah tidak mau mengalokasikan sumber daya jika hal tersebut menguntungkan BP B*t*m.Gambar 28. Joint-Principal Pusat Daerah

Instansi Pusat Instansi Daerah

Kontrak Kinerja

BLU

Principal

Kerangka Kerja

Dewan Pengawas

Struktur joint principal Pusat Daerah diilustrasikan pada gambar di atas. Instansi Pusat dan Instansi Daerah sama-sama berperan sebagai Principal dari BLU tersebut. Seluruh ke-pentingan dari principal tersebut selanjutnya dirumuskan dalam suatu Kerangka Kerja yang menjadi sebuah buku pedoman operasional bagi BLU. Kerangka Kerja tersebut diturunkan

Page 94: Mengembangkan Tata Kelola BLU

86

Mengembangkan Tata Kelola BLU

menjadi Kontrak Kinerja yang berisi daftar target kinerja yang harus dicapai. Target kinerja tersebut ditandatangani oleh wakil dari Principal dan Direktur Utama BLU. Dalam pengawas-an sehari-hari, principal tersebut mendelegasikan kewenangannya kepada Dewan Pengawas. Pelaksanaan tugas Dewan Pengawas didukung oleh informasi-informasi yang disajikan oleh Kanwil DJPB.

Skema joint principal Pusat Daerah kiranya dapat diimplementasikan pada tata kelola BLU pusat yang memiliki kepentingan strategis bagi Pemerintah Daerah. Contoh paling nyata pentingnya penerapan skema ini adalah BLU pengembangan kawasan. Di dalam pengem-bangan kawasan, Pemerintah Daerah memiliki kepentingan besar baik terkait perizinan, per-olehan Pendapatan Asli Daerah (PAD), pengelolaan lahan, maupun kepentingan-kepentingan yang seringkali bersifat politis. Selain pengembangan kawasan, skema seperti ini juga dapat diterapkan pada pengembangan masyarakat seperti kredit untuk pengusaha ultra-mikro. De-ngan skema ini, diharapkan Pemerintah Daerah ikut bertanggung jawab terhadap kesuksesan pencapaian kinerja BLU ini. Selain itu, keterlibatan pejabat Daerah diharapkan akan menular-kan mindset tata kelola yang baik kepada Pemerintah Daerah.

Secara umum, struktur joint principal merupakan bentuk ideal untuk mensinergikan ke-pentingan pusat daerah, terutama pada bidang-bidang strategis. Namun demikian terdapat beberapa kelemahan yaitu: (a) ketidakjelasan instansi induk dari BLU. Salah satu alternatif pe-mecahan adalah menggunakan Kanwil DJPB (representasi Kementerian Keuangan) sebagai in-stansi induk BLU; (b) sebagaimana dipahami bersama, instansi daerah seringkali dipergunakan sebagai alat politik Kepala Daerah. BLU dengan joint principal Pusat Daerah harus dipastikan berada pada posisi netral.

Skema joint principal merupakan solusi untuk mengawinkan kepentingan pusat dan da-erah, terutama pada area dimana teradapat benturan kepentingan.

4. Penerapan Tata Kelola BLU terhadap Unit Spesifik pada Suatu Instansi.Pada dokumen ini diusulkan tata kelola yang cukup kompleks. Salah satunya adalah pe-

nerapan standar manajemen mutu. Perlu dipahami bahwa penerapan standar manajemen ter-sebut terhadap organisasi secara keseluruhan akan menyebabkan kesulitan instansi tersebut untuk meningkatkan statusnya dari instansi PNBP menjadi BLU. Hambatan tersebut kiranya dapat diatasi melalui penerapan tata kelola BLU terhadap unit-unit tertentu dalam instansi tersebut.

Penerapan tata kelola BLU secara spesifik merupakan solusi atas keengganan suatu in-stansi untuk mengikuti skema BLU. Penyebab dari keengganan tersebut yaitu: (a) beberapa unit dalam instansi tersebut seringkali tidak memberi kontribusi pendapatan; (b) pengem-bangan dokumen dan prosedur untuk menerapkan tata kelola sangat melelahkan dan mema-kan waktu yang cukup lama; (c) beberapa BLU seperti Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memiliki otonomi pada unit-unitnya. Contohnya adalah otonomi fakultas dimana dekan seringkali me-miliki kekuasaan mutlak mengatur fakultasnya. Hal tersebut seringkali menyebabkan konst-rain terhadap kebijakan PTN apabila tidak sejalan dengan kebijakan fakultas.

Dalam penerapan tata kelola BLU secara spesifik, hanya unit-unit tertentu saja yang di-perhitungkan sebagai BLU. Kondisi ini dituangkan secara jelas dalam kerangka kerja BLU.

Page 95: Mengembangkan Tata Kelola BLU

87

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Gambar 29. Penerapan Tata Kelola BLU secara Spesifik pada Unit-unit tertentu

DirekturUtama

Divisi C Divisi DDivisi BDivisi A Divisi E Divisi F

Menerapkan Tata Kelola BLU Tidak Menerapkan Tata Kelola BLU

Sebagaimana diilustrasikan pada gambar di atas, dalam suatu organisasi BLU terdapat bagian yang menerapkan tata kelola BLU dan terdapat juga yang belum menerapkan tata ke-lola BLU. Seluruh bagian-bagian tersebut berada pada satu instansi dan satu pimpinan.

Penerapan tata kelola secara tidak menyeluruh menyebabkan kerangka kerja, kontrak kinerja dan Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) hanya dirumuskan terhadap divisi-divisi yang menerapkan tata kelola BLU. Demikian juga mekanisme tata kelola seperti pengawasan, ma-najemen mutu, manajemen SDM, tarif, perhitungan biaya, remunerasi, dan hal-hal lainnya juga hanya diterapkan terhadap grup divisi yang menerapkan tata kelola BLU. Pada penerapan seperti ini, harus dipastikan bahwa terdapat pemisahan kewenangan antara pejabat yang me-ngelola divisi BLU dan divisi non BLU, terutama terkait keuangan, audit internal, manajemen aset, dan mekanisme pertanggungjawaban.

Permasalahan yang mungkin timbul melalui penerapan tata kelola sebagian adalah ada-nya demotivasi pada pegawai-pegawai pada divisi yang tidak menerapkan tata kelola BLU. Hal tersebut dimungkinkan terjadi mengingat remunerasi pegawai BLU seringkali lebih tinggi dibandingkan remunerasi Kementerian/Lembaga atau Standar Biaya Umum (SBU).

Page 96: Mengembangkan Tata Kelola BLU

88

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Page 97: Mengembangkan Tata Kelola BLU

89

Mengembangkan Tata Kelola BLU

BAB 7 SISTEM INFORMASI TATA KELOLA

A. Permasalahan Sistem Informasi dalam Tata Kelola BLUIde pengembangan sistem informasi dalam tata kelola BLU pada dasarnya telah lama

disadari oleh pihak regulator BLU, dalam hal ini Direktorat PPK BLU. Motivasi pengembangan tersebut adalah adanya biaya agensi sebagai akibat dari informasi yang asimetris. Namun demikian, perlu dipahami bahwa pengembangan sistem informasi lintas instansi bukanlah perkara yang mudah. Apalagi data pada sistem informasi tersebut merupakan data yang me-miliki variasi yang cukup tinggi.

1. Biaya Agensi sebagai akibat dari Informasi AsimetrisDalam hubungan principal-agent terdapat suatu permasalahan umum yang disebut bi-

aya agensi (agency cost). Lucian Bebchuk dan Jesse Fried (2004), dalam 'Pay Without Per-formance', menjelaskan bahwa biaya agensi terjadi akibat tidak simetrisnya informasi antara principal dan agent. Akar permasalahannya sebenarnya adalah perbedaan kepentingan antara principal dan agent. Principal berkepentingan memastikan Dewan Direksi dapat melakukan hal terbaik agar nilai ekuitasnya dapat meningkat atau kepentingannya dapat tercapai. Namun demikian, principal memiliki alat yang terbatas untuk memastikan bahwa agen melakukan pengambilan keputusan terbaik untuk kepentingannya. Pada sisi yang lain, agen berkepen-tingan terhadap remunerasi atau bonus. Agen sendiri diuntungkan denagan akses informasi yang sangat tidak terbatas.

Permasalahan biaya agensi akibat informasi yang asimetris jamak terjadi pada instansi Pemerintahan di Indonesia, termasuk di dalamnya BLU. Principal teknis dan keuangan me-miliki kepentingan untuk memonitor kinerja BLU guna mengolahnya sebagai informasi yang dapat dipergunakan dalam pengambilan keputusan. Dewan Pengawas yang merupakan ke-panjangan tangan dari Principal juga tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk meng-akses dan mengolah informasi. Sementara, Direksi berkepentingan terhadap remunerasi dan reputasi yang baik. Bahkan seringkali Direksi melakukan pengambilan keputusan yang berda-sarkan motif pribadi tanpa adanya proses check and balance. Direksi memang diuntungkan

Alfiker Siringoringo

Page 98: Mengembangkan Tata Kelola BLU

90

Mengembangkan Tata Kelola BLU

dengan penguasaan informasi yang mungkin hanya terbatas pada kalangan internal.Permasalahan ketidakseimbangan akses informasi menyebabkan Direksi berkesempatan

menyelipkan kepentingan pribadinya pada pengambilan keputusan instansi. Kami mengamati beberapa indikasi yang sering terjadi pada lingkup BLU yaitu: (1) penambahan atau pergan-tian pegawai BLU setiap adanya suksesi Dewan Direksi; (2) menyimpan kas dalam jumlah ba-nyak; (3) perhitungan honor tim dan kegiatan yang berlebihan; (4) pengadaan barang perse-diaan yang tidak efisien; (5) pengaturan pengadaan untuk mendapatkan nilai tertinggi bukan nilai terbaik; (6) pemanfaatan aset di luar peruntukkan; (7) penyelenggaraan layanan di luar core-business BLU. Sayangnya praktik menyimpang dari tata kelola yang baik tersebut tidak termasuk faktor-faktor yang dikendalikan oleh Principal dan Dewan Pengawas yang mewakili. Padahal pengambilan keputusan yang tidak objektif akan berpengaruh negatif pada motivasi, loyalitas dan keamanan kerja ( job security) para pegawai yang selanjutnya akan berdampak pada kinerja layanan.

Dalam tata kelola BLU dewasa ini, permasalahan informasi asimetris memang belum menjadi perhatian utama. Principal, Dewan Pengawas dan Direksi masih berkutat pada poin--poin yang menjadi penilaian kinerja dan mekanisme kepatuhan dalam pengelolaan keuang-an dan kinrja. Kami merumuskan beberapa penyebab informasi asimetris tersebut yaitu: (1) lemahnya pengawasan principal kepada agency; (2) konsep perhitungan biaya yang belum sepenuhnya dapat diklarifikasi; (3) ikatan hubungan hanya berupa kontrak kinerja bukan me-minimalkan biaya agensi; (4) principal tidak memiliki kepentingan terhadap peningkatan nilai ekuitas; (5) pembahasan BLU masih terkait dengan fleksibilitas tata kelola (penetapan status, tarif dan renumerasi) dan belum pada efisiensi dan produktivitas yang menjadi prinsip utama pelayanan BLU.

Dapat dimaklumi, tingginya risiko biaya agensi pada BLU menyebabkan kualitas layanan sulitnya peningkatan layanan BLU. Untuk meminimalkan biaya agensi, maka diusulkan ada-nya sistem informasi yang menghubungkan antara principal dan agent sehingga ruang serta dampak permasalahan dapat diminimalisir. Sistem informasi tersebut kiranya merupakan pe-ngembangan dari BLU Integrated Online Sistem (BIOS) yang saat ini telah digunakan.

2. Informasi Manajerial BLU memiliki Variasi yang Tinggi untuk DiintegrasikanBLU menyelenggarakan layanan umum pada lapangan usaha yang cukup variatif. PP 23

Tahun 2005 mendefinisikan jenis-jenis layanan yang dapat dikelola dengan tata kelola BLU yaitu: (a) Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum; (b) pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau (c) Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat. Tipe layanan tersebut masih diklasifikasikan pada sektor kesehatan, pen-didikan, pengelolaan dana, pengelolaan kawasan dan berbagai sektor lainnya yang bersifat spesifik. Tingginya variasi BLU menyebabkan ragam yang tinggi pula pada tipe informasi yang dihasilkan, cara pengolahan maupun cara penyajian.

Sebagaimana dipahami, ragam informasi yang sangat bervariasi menyebabkan sulitnya pengintegrasian satu sistem ke sistem lainnya. Contoh sederhananya adalah pengukuran out-put antara BLU yang mamiliki sektor berbeda. Pada layanan sektor kesehatan, output diu-kur dalam jumlah layanan terhadap pasien yang dideskripsikan lebih lanjut dengan keluhan, penanganan serta layanan-layanan yang terkait. Pada BLU regulator jalan tol, output diukur dalam jumlah kendaraan yang melintasi, panjang lintasan jalan tol, jumlah kontrak dsb. Perbe-daan pengukuran output tersebut merupakan salah satu dari variasi yang tinggi atas informasi manajerial yang dihasilkan.

Page 99: Mengembangkan Tata Kelola BLU

91

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Untuk menjembatani variasi tersebut, kiranya diperlukan suatu regulator yang berperan untuk menetapkan informasi-informasi BLU yang dapat di-sharing kepada Principal, Supervi-sor maupun Regulator itu sendiri. Keberadaan regulator sangat dibutuhkan untuk menjemba-tani perbedaan sistem informasi, konflik kepentingan sampai pemetaan komponen informasi yang harus disediakan oleh masing-masing partisipan dalam sistem informasi kolaborasi.

B. Desain Umum Sistem InformasiSistem informasi merupakan kebutuhan yang mendesak dalam penerapan konsep peng-

agenan untuk mengurangi biaya-biaya yang timbul seperti opportunity cost. Terdapat bebe-rapa konstrain yang menjadi titik berat pengembangan desain sistem informasi yaitu: (1) enti-tas-entitas yang terlibat dalam organ BLU berada pada lingkup instansi-instansi yang berbeda; (2) BLU memiliki varian bisnis proses yang cukup tinggi dan berbeda antara BLU satu dengan BLU yang lain; (3) kebutuhan data pada regulator, principal dan supervisor adalah data-data keuangan dan operasional yang bersifat statis (bukan dinamis); (4) kebutuhan independensi dari BLU untuk memberikan fleksibilitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Dengan memperhatikan kondisi tersebut maka diperlukan sistem informasi yang dibu-tuhkan memenuhi syarat sebagai berikut: (1) menghubungkan entitas satu dengan entitas yang lain melalui suatu komunikasi data dalam suatu sistem informasi yang terintegrasi secara loosing-couple; (2) BLU diberi kebebasan untuk mengembangkan sistem informasinya sendi-ri; (3) data yang dipergunakan dalam monitoring dan evaluasi merupakan data pada posisi periode-periode tertentu; (4) BLU diberi kesempatan untuk mengembangkan sendiri sistem informasinya dengan mengacu pada standar sistem informasi yang diterbitkan oleh regulator.

Dengan memperhatikan persyaratan yang harus dipenuhi dalam sistem informasi BLU, maka konsep yang dipergunakan diusulkan menggunakan konsep Service-Oriented Architec-ture (SOA). SOA merupakan gaya desain software yang menggunakan service untuk meng-hubungkan komponen satu dengan komponen yang lain. Arsitektur ini telah banyak digu-nakan di perusahaan. Contoh penggunaan desain ini yaitu sistem pada toko online (Lazada, tokopedia, Matahari Mall dll). Pada sistem belanja on-line, pelanggan berinteraksi dengan sistem toko. Setelah selesai melakukan transaksi, sistem toko akan mengirim pesan ke sistem provider untuk mengirimkan barang yang telah dibayar kepada pelanggan. Pembayaran akan diselesaikan antara sistem toko dan sistem provider.

Adapun desain interaksi antar entitas dapat diilustrasikan pada gambar di bawah ini:Gambar 30. Desain Interaksi antar Entitas

SistemKepegawai

an

SistemOperasional

SistemPersediaan

& Aset

SistemHubunganPelanggan

SistemAkuntansi &

Keuangan

Sistem Informasi pada BLU

SistemMonev

Regulator

Sistem MonevPrincipal

Keuangan

Sistem MonevPrincipal

Teknis

Prot

okol

Prot

okol

Prot

okol

Prot

okol

Page 100: Mengembangkan Tata Kelola BLU

92

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Gambar di atas mengilustrasikan desain interaksi antara BLU dengan principal (teknis dan keuangan) serta regulator. Sebagaimana ditunjukkan pada gambar tersebut, setiap instansi memiliki sistemnya sendiri dan terlepas antar satu sistem dengan sistem yang lain. Untuk mengintegrasikan sistem-sistem tersebut, dilakukan komunikasi data melalui suatu proto-kol data. Protokol merupakan suatu gateway yang bertanggungjawab terhadap keamanan komunikasi data. Protokol tersebut memfilter sistem-sistem tertentu yang dapat mengakses protokol serta data-data tertentu yang dapat diterima dan/atau dikirim. Protokol juga meng--enkripsi data-data yang akan dikirim serta men-dekripsi data-data yang diterima.

Adapun proses bisnis yang menghubungkan antara BLU, supervisor, regulator dan prin-cipal melalui penggunaan sistem informasi ditampilkan pada gambar berikut ini:Gambar 31. Bisnis Proses Penggunaan Sistem Informasi

OperasionalSehari-hari

Freezing Data Pengiriman data secara elektronik

Internal Audit

Badan Layanan Umum Supervisor Regulator dan Principal

Analisis

Rapat TinjauanManajemen

Analisis

EvaluasiPengambilan

Keputusan

Perbaikan/ Pencegahan Audit Eksternal

Gambar di atas mengilustrasikan proses komunikasi data antara Badan Layanan Umum de-ngan supervisor, regulator dan principal. Proses dimulai dengan aktivitas operasional sehari--hari dengan menggunakan sistem informasi, termasuk di dalamnya aktivitas yang berhu-bungan dengan operasional, kepegawaian, akuntansi dan keuangan, persediaan dan aset, serta hubungan pelanggan.

Pada setiap periode (misalnya sebulan) dilakukan freezing data. Proses ini seperti proses backup data untuk mengubah data dinamis menjadi statis. Terdapat beberapa tujuan dilaku-kannya aktifitas ini yaitu: (1) sebagai batas waktu bagi para pegawai untuk penyelesaian suatu transaksi atau kegiatan (seperti penyelesaian administrasi keuangan dan pelaporan) yang di-lakukan pada suatu periode. Hal tersebut menghindari adanya penumpukan pekerjaan pada

Page 101: Mengembangkan Tata Kelola BLU

93

Mengembangkan Tata Kelola BLU

akhir tahun; (2) menyediakan data-data yang diperlukan untuk keperluan verifikasi, analisis, evaluasi dan audit. Waktu freezing data biasanya memberikan fleksibilitas untuk dilakukan perbaikan. Misalnya freezing data per akhir bulan dilakukan pada tanggal 7 bulan berikutnya.

Data yang sudah dibekukan tersebut selanjutnya digunakan oleh pihak-pihak eksternal BLU. Untuk kebutuhan tersebut, pengiriman data dilakukan secara elektronik melalui suatu protokol sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Pada instansi supervisor, data tersebut diana-lisis untuk dijadikan evaluasi. Evaluasi yang dilakukan terkait kinerja keuangan dan kinerja layanan. Hasil dari evaluasi tersebut disampaikan kepada unit Principal dan BLU tersebut se-bagai bahan Rapat Tinjauan Manajemen yang dilakukan setidaknya satu kali dalam satu se-mester. Pada instansi principal dan regulator, data tersebut juga dianalisis dan dievaluasi untuk menjadi bahan pengambilan keputusan.

Selain digunakan untuk kepentingan eksternal, data tersebut merupakan bahan audit yang dilakukan oleh unit internal audit BLU yang dilakukan secara periodik (3 bulan atau 6 bulan sekali). Hasil audit tersebut dijadikan masukan pada Rapat Tinjauan Manajemen yang menghasilkan tindakan perbaikan dan/atau pencegahan. Keseluruhan proses melalui sistem informasi tersebut akan diaudit oleh audit eksternal setiap berakhirnya tahun anggaran.

C. Pembagian Kewenangan dalam Sistem Informasi Tata KelolaHal yang perlu diperhatikan dalam implementasi sistem informasi ini adalah adanya per-

bedaan kepentingan antara principal (termasuk supervisor) serta agent (BLU). Hal tersebut sesuai dengan teori biaya agensi dimana terdapat perbedaan antara principal dan agent yang menyebabkan timbulnya biaya-biaya. Dalam pengembangan sistem informasi, konflik kepen-tingan akan menyebabkan proses pembangunan sistem akan menjadi sulit.

Untuk menghindari adanya konflik kepentingan tersebut, maka diperlukan adanya suatu kaedah yang harus dipatuhi semua pihak yaitu: (1) Hak pengaturan arsitektur sistem yang melibatkan regulator, principal dan BLU semestinnya diatur oleh regulator; (2) kegiatan opera-sional sehari-hari BLU dilakukan dalam suatu sistem informasi, termasuk di dalamnya operasi perusahaan, keuangan dan akuntansi, kepegawaian, pencatatan persediaan dan aset serta manajemen hubungan pelanggan; (3) BLU, Principal diberi kebebasan untuk mendesain dan menyusun sistem informasi yang dibutuhkan sepanjang sesuai dengan arsitektur sistem yang ditetapkan oleh regulator; (4) Hubungan data antara BLU, Principal dan Regulator ditetapkan oleh regulator; (5) principal bertanggung jawab terhadap kepatuhan BLU dalam menyusun sistem informasi.

Dalam pengembangan sistem informasi tersebut, peran-peran Regulator, Principal, Su-pervisor dan BLU diuraikan pada tabel berikut:

Page 102: Mengembangkan Tata Kelola BLU

94

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Tabel 10. Pembagian Kewenangan antara Regulator, Principal, Supervisor dan BLU dalam Informasi Tata Kelola BLU

No Peran Kewenangan

1 Regulator > Menyusun dan menetapkan arsitektur sistem informasi untuk masing-masing jenis BLU. Hal-hal yang diatur meliputi:- Data Contract;- Mekanisme freezing-data;- media pengiriman (ex: XML);- kebutuhan hardware dan jaringan;- standar keamanan data;- protokol komunikasiArsitektur sistem yang disusun meliputi:- Sistem monev untuk regulator, Principal Teknis, Principal Keuangan dan Su-pervisor;- Pada BLU meliputi: sistem operasional, sistem akuntansi dan keuangan, sistem kepegawaian, sistem persediaan dan aset, sistem hubungan pelanggan.

> Menyusun sistem monev terkait kepentingannya;> Melakukan mediasi antara seluruh pihak yang berkepentingan dalam rangka

mengintegrasikan sistem;> Melakukan pengawasan kepatuhan serta melakukan audit sistem;

2 Principal Teknis > Menyusun dan menggunakan sistem monev terkait kepentingannya;> Memberikan pendampingan pengembangan sistem BLU (apabilla diperlukan);

3 Principal Keu-angan

> Menyusun dan menggunakan sistem monev terkait kepentingannya;> Memberikan pendampingan pengembangan sistem BLU (apabilla diperlukan);

4 Supervisor (Pem-bina)

> Melakukan pendampingan pada fase persiapan;> Menggunakan sistem yang dibangun oleh Principal;> Memberikan teguran apabila BLU tidak memberikan data;> Melakukan evaluasi efektifitas penggunaan sistem informasi terhadap pelayanan customer;

5 Badan Layanan Umum

> Menyusun sistem sebagaimana arsitektur sistem yang ditetapkan oleh Regulator> Mempersiapkan SDM dan proses bisnis dalam rangka implementasi sistem;> Menyusun sistem monev terkait kepentingannya;

Sebagaimana diuraikan dalam tabel, peran regulator sangatlah penting dalam penyusun-an arsitektur sistem informasi ini, termasuk memediasi pihak-pihak yang berkepentingan da-lam sistem informasi. Pada tataran regulator permasalahannya adalah perlunya pemahaman variasi proses bisnis yang ada di BLU untuk mendesain arsitektur sistem pada suatu sektor. Hal tersebut perlu diperhatikan mengingat BLU memiliki core-business yang bermacam-macam. Permasalahan lain adalah terdapat aplikasi yang harus diimplementasikan dimana aplikasi ter-sebut tidak dapat berkomunikasi dengan sistem yang lain. Salah satu contoh adalah aplikasi SAKTI. Pada kondisi ini, regulator berperan penting dalam menjaga kepentingan pengem-bangan sistem informasi pada BLU sehingga dapat difasilitasi oleh instansi-instansi terkait.

Peran penting lainnya dimainkan oleh BLU. Sebagaimana dipahami, sebagian besar in-stitusi di Indonesia belum sepenuhnya menggunakan sistem informasi. Pengenalan sistem informasi tentunya akan membutuhkan perubahan signifikan baik pada strategi, mekanisme pelayanan, maupun struktur SDM.

Permasalahan lain adalah ketiadaan dana yang memadai untuk membangun sistem. Pada kondisi tersebut Kementerian/Lembaga sebagai Principal Teknis bertanggungjawab un-tuk melakukan pengembangan. Solusi lain terhadap kondisi tersebut adalah membuat aplika-si siap pakai dimana aplikasi tersebut siap dipergunakan oleh BLU apabila BLU tersebut tidak memiliki dana untuk pengembangan sistem.

Page 103: Mengembangkan Tata Kelola BLU

95

Mengembangkan Tata Kelola BLU

BAB 8 PENUTUP

A. KesimpulanBerdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. BLU merupakan salah satu diskursus dalam keuangan publik terkait dengan tata kelola institusi yang bergerak di bidang pelayanan masyarakat. Konsep pengelolaan keuangan BLU didesain untuk memberikan fleksibilitas pengelolaan bisnis yang sehat;

2. Terdapat 3 (tiga) pemikiran dasar yang perlu dipahami terkait pembahasan tata kelola BLU yaitu mewirausahakan pemerintah (enterpreneual government), prinsip-prinsip tata kelola yang baik serta agensifikasi.

4. Agensifikasi merupakan bagian dari penerapan New Public Management (NPM). Terdapat 2 (dua) inti pembentuk konseptual NPM yaitu 'lets manager manage' (fleksibilitas pe-ngelolaan sumber daya) serta 'make manager manage' (pengendalian). Keduanya harus berjalan beriring untuk memperoleh pemanfaatan sumber daya yang optimal.

5. Pengembangan sistem informasi tata kelola sangat dibutuhkan mengingat risiko adanya biaya agen. Perumusan sistem informasi BLU juga bukan perkara yang mudah mengingat variasi data yang sangat beragam.

B. RekomendasiPada paper ini, banyak sekali diungkapkan rekomendasi-rekomendasi yang diperlukan

dalam pengembangan tata kelola BLU. Ringkasan rekomendasi tersebut secara singkat diu-raikan sebagai berikut:1. Diusulkan adanya rumusan tujuan BLU dari sudut pandang makro yaitu pengembangan

daya saing bangsa melalui peningkatan faktor produktifitas total (Total Factor Producti-vity/ TFP). Hal tersebut sebagai akibat pendefinisian BLU dalam peraturan perundangan menggunakan sudut pandang mikro.

2. Pengembangan konseptual dan implementatif dari 2 (dua) prinsip yang tertuang dalam definisi BLU yaitu prinsip efisiensi dan produktifitas BLU dalam pelayanan BLU. Kedua prinsip tersebut merupakan hal yang dimonitor oleh Supervisor.

Alfiker Siringoringo

Page 104: Mengembangkan Tata Kelola BLU

96

Mengembangkan Tata Kelola BLU

3. Pengelolaan keuangan BLU secara filosofis merupakan pendelegasian kewenangan Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN) untuk mengatur keuangan secara mandiri. Oleh karenanya, Menteri Keuangan semestinya merupakan salah satu Principal BLU yang berkepentingan pada tata kelola BLU untuk membelanjakan, meng-hasilkan pendapatan, menyimpan uang, mengelola aset dan melakukan pinjaman jangka pendek;

4. Pemisahan fungsi Regulator, Principal dan Supervisor BLU. Hal tersebut untuk meng-hindari konflik kepentingan dalam penyusunan peraturan serta pengambilan kebijakan operasional pada BLU;

5. Pengembangan konsep organ utama BLU yang mengacu pada organ pada perusahaan privat;

6. Pengaturan siklus manajerial BLU yang terdiri dari fase persiapan dan siklus normal. Da-lam fase persiapan, kiranya perlu adanya pendampingan dari Kanwil DJPB yang bertin-dak sebagai supervisor. Pendampingan dimaksud dilaksanakan sampai BLU mencapai suatu target yang ditetapkan;

7. Penggunaan teori mikroekonomi Break Event Point (BEP) untuk mengitung target pen-dapatan, alokasi biaya, pemanfaatan surplus/defisit serta mekanisme investasi/ekspansi dengan penggunaan dana BLU.

8. Penggunaan sistem visi untuk mengarahkan kerangka kerja BLU;9. Pengukuran kinerja keuangan BLU diusulkan untuk mengadopsi pengukuran kinerja ke-

uangan pada korporasi;10. Pengukuran kinerja layanan BLU diusulkan menggunakan rating dengan mengacu pada

standar minimal tata kelola BLU, standar akreditasi nasional dan internasional;12. Tata kelola BLU dapat dikembangkan fase transisi institusi yang diproyeksikan menjadi

BUMN, joint principal Pusat Daerah, serta penerapan BLU pada unit-unit spesifik;13. Konsep agensifikasi menimbulkan konsekuensi adanya biaya agen. Terkait hal tersebut,

diusulkan pembangunan sistem informasi yang terintegrasi dengan melibatkan pihak Regulator, Principal, Supervisor dan BLU.

Page 105: Mengembangkan Tata Kelola BLU

97

Mengembangkan Tata Kelola BLU

SUPLEMEN

Page 106: Mengembangkan Tata Kelola BLU

98

Mengembangkan Tata Kelola BLU

TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY

Tujuan utama pengembangan tata kelola BLU adalah peningkatan Total Factor Producti-vity (TFP) sehingga menciptakan daya saing bangsa. Tujuan tersebut diusulkan dengan mem-pertimbangkan masih belum optimalnya kontribusi faktor-faktor residual (selain faktor input) dalam membentuk output ekonomi. Berbagai penelitian dengan menggunakan data series menjelaskan bahwa Indonesia memiliki tingkat TFP yang relatif rendah. Dengan demikian, di-perlukan perbaikan TFP melalui mekanisme yang sistematis dan fundamental agar Indonesia dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

1. Definisi TFPTotal Factor Productivity (TFP) dapat didefinisikan sebagai porsi output yang tidak dapat

dijelaskan oleh jumlah input yang digunakan untuk produksi (Comin, 2010). Dalam pemode-lan ekonomi neoklasik, produksi suatu output seringkali dikaitkan dengan jumlah input yang digunakan dalam produksi. Dua input utama yang sering dikaitkan dalam pertumbuhan out-put atau ekonomi adalah tenaga kerja (labor) dan modal (capital).

Dalam kenyataannya, faktor-faktor input ternyata tidak cukup menjawab bagaimana su-atu negara memiliki output yang lebih sedikit dibandingkan negara lain ketika input yang dikonsumsi oleh kedua negara tersebut relatif sama. Model pertumbuhan neoklasik dan dua sektor tidak mampu menjelaskan perbedaan pertumbuhan antar negara yang seringkali di-pengaruhi oleh faktor residual (Limam and Miller, 2004). Sebagai contoh, Korea Selatan dan Indonesia merdeka di tahun yang sama dengan kondisi negara yang sama-sama miskin. 65 (enam puluh lima) tahun kemudian, Indonesia masih tertatih memasuki negara berpendapat-an menengah, sementara Korea Selatan sudah menjadi negara industri baru. Perbedaan kedua negara tersebut adalah bagaimana efisiensi faktor produksi dalam mengelola faktor input menjadi output. Indonesia bisa jadi memiliki sumber daya alam (modal/capital) dan sumber daya manusia (labor) melimpah, namun untuk memprosesnya menjadi output yang siap di-konsumsi mungkin Korea Selatan lebih bisa diandalkan. Faktor-faktor tersebut yang disebut sebagai Total Faktor Productivity (TFP).

Perbandingan antara Korea Selatan dan Indonesia tersebut kiranya dapat memberi gam-baran bagaimana dominannya faktor total produksi dalam membentuk output tanpa menge-sampingkan pentingnya input. Hal senada juga diungkapkan oleh Easterly dan Levine (2001) yang menggambarkan bahwa TFP merupakan faktor dominan dibandingkan faktor akumulasi modal untuk menjelaskan perbedaan pendapatan dan pertumbuhan antar negara. TFP ini pada dasarnya merupakan rahasia dari suatu pertumbuhan jangka panjang (Easterly and Le-vine, 2001).

TFP pada dasarnya dibentuk oleh berbagai komponen yang mempengaruhi efektifitas dan efisiensi produksi. Para ahli memiliki pendapat beragam terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi TFP tersebut. Easterly dan Levine (2001) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi TFP di antaranya: perubahan teknologi, pengaruh eksternalitas, perubah-an komposisi sektor produksi, dan adopsi terhadap metode produksi biaya rendah. Pricthet (1996) menemukan bahwa tidak ada keterkaitan antara pertumbuhan populasi dengan per-tumbuhan TFP.

Perkembangan Teknologi Informasi (TI) dewasa ini menyebabkan perubahan struktur in-put tenaga kerja terhadap produksi. Hal tersebut tentu saja membuat perubahan TFP yang merupakan faktor residual dari produktifitas. Pengaruh ini dibenarkan oleh Chou et al (2014) yang menyebutkan bahwa penggunaan Teknologi Informasi (TI) sangat signifikan dalam

Page 107: Mengembangkan Tata Kelola BLU

99

Mengembangkan Tata Kelola BLU

mempengaruhi pertumbuhan TFP dibandingkan dengan konsumsi dan akumulasi input. Has-kel et al (2009) yang memetakan penggunaan TI di Inggris menyebutkan bahwa produktifitas tenaga kerja sempat mengalami penurunan pada akhir 1990-an akibat perkembangan soft-ware. Di sisi lain, terjadi peningkatan belanja perusahan Inggris untuk aset intangibel dan aset pengetahuan yang terkait dengan inovasi.

2. TFP Digerakkan oleh InovasiBerbagai pendapat para ahli tersebut bertemu pada suatu titik dimana faktor-faktor ter-

sebut mempengaruhi inovasi. Selanjutnya inovasi inilah yang menggeser (shifting) garis pro-duksi. Sejalan dengan pendapat mayoritas, Comin (2010) mengatakan bahwa pertumbuhan TFP terkait dengan tingkat inovasi. Perlu dipahami bersama bahwa inovasi (innovation) ber-beda dengan penemuan (invention). Inovasi lebih menekankan bagaimana suatu hal yang relatif baru dapat diterima di pasar. Sedangkan penemuan berfokus pada menciptakan suatu hal yang baru.

Inovasi dapat berbasiskan R&D (Research and Development) maupun Non R&D. Lopez--rodriguez dan Martinez (2014) membagi inovasi tersebut sebagaimana direpresentasikan pada gambar berikut:Gambar 32. Klasifikasi Inovasi menurut Lopez-rodriguez dan Martinez

Inovasi

Inovasi R&D

Inovasi Non R&D

Perubahan minor denganpengetahuan eksisting

Imitasi dan adopsiinovasi yang

dikembangkan oleh user

Kombinasi pengetahuaneksisting dengan cara

baru

Inovasi yang berdasarkan R&D dapat berupa akuisisi teknologi baru seperti pembelian mesin canggih, perangkat keras dan lunak komputer, akuisisi paten dan lisensi, pelatihan ter-kait dengan permulaan produk atau proses baru, riset pasar, studi feabilitas, dan prosedur--prosedur seperti desain. Menurut Ulku dan Subranmanian (2004), inovasi berdasarkan R&D hanya memiliki pengaruh signifikan pada pasar-pasar yang besar.

Adapun inovasi yang berdasarkan Non R&D dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kate-gori. Pertama, modifikasi minor dan perubahan inkremental pada proses dan produksi dengan menggunakan pengetahuan eksisting. Kedua, imitasi dan adopsi inovasi yang dikembangkan oleh pengguna (user). Ketiga, kombinasi pengetahuan eksisting dengan cara-cara baru. De-ngan demikian, inovasi tidak selalu dikaitkan dengan pengetahuan baru namun memodifikasi dan mengembangkan cara-cara yang telah ada untuk meningkatkan efisiensi dan produkti-fitas.

Penerapan inovasi baik dengan R&D maupun non R&D tentu saja menimbulkan biaya bagi perusahaan. Biaya tersebut dikeluarkan dengan ekspektasi hasil yang lebih besar seperti meningkatkan produktifitas melalui pengurangan biaya produksi terhadap barang/jasa ek-sisting, memperluas pilihan produk sehingga dapat meningkatkan skala ekonomi produksi,

Page 108: Mengembangkan Tata Kelola BLU

100

Mengembangkan Tata Kelola BLU

menciptakan produk baru yang membutuhkan sedikit input dibandingkan produk lama yang lebih boros (Ulku dan Subranmanian, 2004). Belanja tersebut pada dasarnya merupakan inves-tasi bagi pelaku ekonomi.

Permasalahan mendasarnya adalah para pelaku enggan berinvestasi untuk inovasi mes-kipun secara kasat mata terdapat peluang pasar yang sangat besar. Dapat dipahami, keputus-an investasi tidak hanya didasarkan pada prediksi keuntungan semata, namun juga risiko dan biaya kesempatan (opportunity cost) dari aktivitas investasi tersebut. Atas dasar hal tersebut, Hausmann et al (2008) mengajukan suatu skema diagnosa yang disebut HRV Growth Diag-nostic untuk mengurai permasalahan-permasalahan yang menyebabkan keengganan pelaku ekonomi berinvestasi. Skema diagnosa tersebut digambarkan pada Gambar 15 di bagian lain dokumen ini.

3. Pergerakan TFP DuniaDi negara maju, tingkat TFP mengalami stagnasi pada kurun sejak tahun 2009. Level TFP

sebagaimana disampaikan oleh European Central Bank diilustrasikan pada gambar di bawah ini:Gambar 33. Pergerakan Level TFP Negara Maju 1985-2015

Sumber: European Central Bank

Sebagaimana ditunjukkan pada gambar di atas, level TFP pada negara-negara maju mengalami kenaikan yang sangat signifikan antara tahun 1985 sampai 2009. Kenaikan paling signifikan terjadi pada negara Korea Selatan dan Irlandia. Irlandia mengalami kematangan pada tahun 2003 dan setelahnya level TFP hanya sedikit mengalami kenaikan dengan bebe-rapa kali koreksi. Adapun Korea Selatan terus mengalami kenaikan level TFP pada tahun 2011.

Dari berbagai negara sebagaimana digambarkan pada grafik di atas, Amerika Serikat terlihat mengalami level TFP yang relatif datar. Sebagian besar ahli berpendapat bahwa pe-lemahan tersebut merupakan akibat penerapan teknologi informasi. Namun, Cardarelli dan Lusinyan (2015) memiliki pendapat yang berbeda dimana penurunan tersebut lebih disebab-kan oleh peningkatan inefisiensi dan lambatnya mengejar ketertinggalan akibat ketimpangan pendidikan antara wilayah serta penurunan belanja R&D.

4. Kondisi TFP di IndonesiaBerbagai penelitian menunjukkan bahwa TFP di Indonesia memiliki berbagai variasi baik

ukuran maupun kontribusinya terhadap perekonomian. Tabel di bawah menunjukkan variasi pengukuran tersebut:

Page 109: Mengembangkan Tata Kelola BLU

101

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Tabel 11. Penelitian terkait Pengukuran Pertumbuhan dan Kontribusi Total Factor Productivity (TFP) Indonesia

No Penelitian Periode Pertum-buhan TFP

Kontri-busi

Pengukuran Thd

1 Baier et al (2006) 1951-2000 -37% pertumbuhan produktifitas pekerja

2 UNIDO (Firdausy 2005) 1961-2000 -1,5% -27% pertumbuhan output

3 Drydale dan Huang (1997) 1962-1990 2,1% 31% pertumbuhan output

4 Bosworth (1996) 1960-1992 17% pertumbuhan produktifitas pekerja

5 Collins dan Bosworth (1996) 1960-1994 24% pertumbuhan produktifitas pekerja

6 Lindauer dan Roemer (1994) 1965-1990 2,7% 42% pertumbuhan output

7 Ikemoto (1986) 1970-1980 2,5% 32% pertumbuhan output

8 Young (1994) 1970-1985 24% pertumbuhan produktifitas pekerja

9 Kawai (1994) 1970-1990 1,5% 24% pertumbuhan output

10 Sarel (1997) 1978-1996 24% pertumbuhan produktifitas pekerja

11 World Bank (1993) 1985-1990 1,6% 29% pertumbuhan output

12 Osada (1994) 1985-1990 -2,7% -43% pertumbuhan output

13 Sigit (2004) 1980-2000 -0,8% -16% pertumbuhan output

14 Sutanto (2004) 1992-2002 -1,4% -37% pertumbuhan output

15 van der Eng (2013) 1971-2007 -0,2% -4% pertumbuhan outputSumber: van der Eng, 2013

Penelitian terbaru dilakukan oleh Van der Eng (2013) yang mengukur kontribusi TFP ter-hadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada interval 1970-2007. Basis pengukurannya di-dasarkan pada komponen cadangan modal, pekerja berpendidikan, dan sebaran pendapatan. Selama tahun pengukuran tersebut, rata-rata pertumbuhan TFP adalah sebesar -0,2% per tahun dan berkontribusi sebesar -4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun demi-kian, selama kurun waktu 2000-2007, TFP di Indonesia tumbuh sebesar 1,7% per tahun dan berkontribusi sebesar 33% dari pertumbuhan PDB. Inovasi yang dilakukan pasca reformasi ternyata mampu menggerakkan level TFP secara umum menjadi lebih baik.

M Ikhsan-Modjo (2006) yang melakukan pengukuran TFP pada sektor manufaktur me-nemukan bahwa TFP Indonesia hanya tumbuh rata-rata sebesar 1,55% per tahun antara 1988 dan 2000. Efek skala ekonomi berkontribusi sebesar -0,13%. Perkembangan teknikal tumbuh sebesar 1,89% dan efisiensi teknikal berkontribusi sebesar -0,21%. Menurut M-Ikhsan-Modjo, perkembangan teknikal yang rendah merupakan hal utama yang dapat menjelaskan kondisi pertumbuhan TFP sepanjang 1988 sampai 2000. Pembelajaran dari pengalaman (learning-by--doing) juga tidak dapat ditransfer menjadi peningkatan efisiensi output. Hal tersebut terlihat tingkat efisiensi teknikal yang tumbuh negatif.

Hasil penelitian berdasarkan data empiris sebagaimana dilakukan oleh Van der Eng mau-pun M Ikhsan-Modjo sepakat dengan penjelasan para ahli yang melakukan diagnosa pereko-nomian Indonesia secara kualitatif. Young (1994), yang melakukan penelitian negara-negara yang menjadi keajaiban ekonomi Asia (Asian economic miracle), menyatakan bahwa 'keajaib-an' yang terjadi lebih dihasilkan oleh mobilisasi faktor produksi (modal dan tenaga kerja) da-ripada pertumbuhan produktifitas. Hal tersebut dibenarkan juga oleh laurete nobel ekonomi, Krugman (1994) yang menyebutnya sebagai 'perspiration rather than inspiration'.

Namun demikian, berbagai penelitian sebagaimana dipresentasikan pada tabel di atas

Page 110: Mengembangkan Tata Kelola BLU

102

Mengembangkan Tata Kelola BLU

banyak menampilkan pertumbuhan dan kontribusi TFP pada angka yang positif. Menurut van der Eng (2008) hal tersebut terjadi akibat adanya permasalahan konsistensi dan signifikansi pada data perekonomian yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Hal tersebut dibenarkan oleh mantan Kepala BPS, Harnanto Sigit (2004) yang menyatakan bahwa terdapat permasalahan signifikan pada kesediaan, akurasi dan konsistensi pada data makro ekonomi. Lebih lanjut, Sigit menyatakan bahwa Indonesia mengalami pertumbuhan TFP yang negatif pada interval 1980-2000 dimana pada tahun-tahun tersebut pertumbuhan lebih didorong oleh akumulasi modal.

Rendahnya pertumbuhan TFP Indonesia dalam berkontribusi terhadap perekonomian dapat dijelaskan pula oleh analisis terhadap indikator pembangunan. Hamzah et al (2012) melakukan pengukuran terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM)/ Human Development Index (HDI) yang dibagi dalam 2 (dua) kelompok data yaitu sebelum otonomi daerah (1993-2000) dan setelah berlakunya otonomi daerah (2001-2009) pada 26 provinsi di Indonesia. Hamzah et al menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi tidak dapat menyediakan kesejahteraan kepada masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dengan HDI daerah yang relatif rendah dibandingkan HDI secara dunia. Rendahnya kualitas SDM ini tentu saja menjadi ancaman bagi pengembangan TFP di Indonesia.

Berbagai penelitian objektif di atas secara umum menjelaskan bahwa selama berpuluh tahun Indonesia cenderung menggunakan strategi mengakumulasi modal dibandingkan de-ngan meningkatkan kualitas faktor-faktor produksi. Bangsa ini sudah sangat lama mengabai-kan pembangunan TFP yang seharusnya menjadi modal bagi pembangunan ekonomi berke-lanjutan dalam jangka panjang.

5. Pembangunan Tata Kelola BLU, Sebuah Peluang Perbaikan Level TFPPemerintah memiliki peran utama dalam memperbaiki level TFP sehingga dapat menjadi

pondasi bagi pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Pada dokumen ini diusulkan pengembangan tata kelola Badan Layanan Umum (BLU) sehingga institusi-institusi ini dapat membangun TFP sektoral secara terencana. Bentuk BLU dipilih karena model organisasi ini merupakan model institusi pemerintahan yang sangat fleksibel namun tetap masih dapat di-gerakkan secara langsung oleh Pemerintah. Selain itu, aktivitas-aktivitas yang dilakukan BLU menyentuh langsung pada masyarakat yang memungkinkan dampak perbaikannya dapat langsung dirasakan pada level masyarakat.

Pembangunan TFP oleh BLU kiranya dilakukan dalam 2 (dua) fase. Fase pertama adalah memecahkan faktor-faktor penghambat yang seringkali menyebabkan keengganan masyara-kat dalam berinvestasi. HRV Growth Diagnostic sebagaimana dipresentasikan pada Gambar 15 dapat menjadi landasan pada titik-titik mana faktor penghambat tersebut harus dijinakkan. Pada titik-titik tersebut, instansi-instansi BLU menjadi aktor utama yang menjadi tangan Peme-rintah untuk mengurai simpul-simpul penghambat tersebut dan mendorong minat investasi para pelaku ekonomi. Sebagai contoh, untuk mengatasi rendahnya human capital Pemerintah dapat mengembangkan BLU yang bertanggung jawab menyediakan layanan lifelong educa-tion yang memberikan fasilitas bagi setiap warga negara untuk dapat terus belajar. Dengan jaminan belajar seumur hidup tersebut, setiap warga negara dapat meningkatkan skill dan kapasitasnya sesuai dengan ekspektasi terhadap kehidupannya.

Fase kedua terjadi ketika titik-titik hambatan telah berhasil diurai. Fase ini ditandai de-ngan hilangnya hambatan bagi pelaku ekonomi untuk berinvestasi di Indonesia. Pada kondisi tersebut, masih diperlukan campur tangan Pemerintah untuk mengarahkan pelaku ekonomi untuk berinvestasi dan penciptaan inovasi. Misalnya, perlu adanya instansi yang menjemba-

Page 111: Mengembangkan Tata Kelola BLU

103

Mengembangkan Tata Kelola BLU

tani penemuan (invention) dapat menjadi produk baru yang dijual di pasar (inovation). Tentu saja untuk menjembatani hal tersebut, diperlukan instansi seperti BLU yang dapat bekerja fleksibel untuk bergerak di pasar namun tetap dapat dikendalikan oleh Pemerintah.

6. Penutup Total Factor Productivity (TFP) menggambarkan faktor residual yang tidak dijelaskan oleh

input dalam suatu produksi yang menghasilkan output. TFP digerakkan oleh inovasi sebagai hasil dari investasi. Permasalahan utamanya adalah keengganan para pelaku ekonomi untuk melakukan investasi.

Berbagai penelitian menjelaskan bahwa Indonesia memiliki tingkat TFP yang cukup ren-dah. Hal tersebut juga digambarkan oleh angka IPM/HDI Indonesia yang relatif rendah apa-bila dibandingkan dengan indicator yang sama pada negara lain. Padahal Indonesia memiliki bonus demografi dan kelas menengah.

Dengan memperhatikan hal tersebut, kiranya diperlukan suatu strategi untuk mening-katkan level TFP di Indonesia. Dalam sistem keuangan negara telah terdapat konsep BLU yang dapat digunakan untuk meningkatkan TFP Indonesia agar dapat sejajar dengan negara lain di dunia.

7. Referensi

Cardarelli, R. and Lusinyan, L. (2015) ‘US Total Factor Productivity Slowdown: Evidence from the US States’, IMF Working Paper, (Wp/15/ 116).

Chou, Y. C., Chuang, H. H. C. and Shao, B. B. M. (2014) ‘The impacts of information technology on total factor productivity: A look at externalities and innovations’, International Journal of Production Economics, 158(June 2014), pp. 290–299. doi: 10.1016/j.ijpe.2014.08.003.

Comin, D. (2010) ‘Total Factor Productivity’, Economic Growth, (August), pp. 260–263. doi: 10.1057/9780230280823_32.

Den Butter, F. A. G., Möhlmann, J. L. and Wit, P. (2008) ‘Trade and product innovations as sources for productivity increases: An empirical analysis’, Journal of Productivity Analysis, 30(3), pp. 201–211. doi: 10.1007/s11123-008-0109-3.

Dutz, M. a and Connell, S. D. O. (2013) ‘Productivity , Innovation and Growth in Sri Lanka An Em-pirical Investigation’, The World Bank, (February), pp. 2–46.Easterly, W. and Levine, R. E. (2001) ‘It’s Not Factor Accumulation: Stylized Facts and Growth Models’, SSRN Electronic Journal, 15(2), pp. 177–219. doi: 10.2139/ssrn.269108.

Fassio, C., Kalantaryan, S. and Venturini, A. (2015) ‘Human Resources and Innovation: Total Fac-tor Productivity and Foreign Human Capital.’, Working Paper, (August). doi: 10.2139/ssrn.2631086.

Hamzah, M. Z., Risqiani, R. and Sofilda, E. (2012) ‘Human Development Quality and Its Problems in Indonesia’, International Journal of Sustainable Development, 5(7), pp. 29–36.Haskel, J. et al. (2009) ‘Innovation, Knowledge Spending and Productivity Growth in the UK’, (No-vember). Available at: http://www.nesta.org.uk/library/documents/growth-accounting.

Page 112: Mengembangkan Tata Kelola BLU

104

Mengembangkan Tata Kelola BLU

pdf.

Hausmann, Ricardo; Hwang, Jason; Rodrik, D. (2005) What You Export Matters. Cambridge,. Avai-lable at: http://www.nber.org/papers/w11905.

Hausmann, R., Klinger, B. and Wagner, R. (2008) ‘Doing Growth Diagnostics in Practice: A “Min-dbook”’, Center for International Development, (177). doi: 10.1111/j.1467-8411.1990.tb00032.x.

Ikhsan-Modjo, M. (2006) Total Factor Productivity in Indonesian Manufacturing: A Stochastic Frontier Approach. ABERU Discussion Paper 28 (2006).

Krugman, Paul (1994) ‘The Myth of Asia’s Miracle’, Foreign Affairs, 73(6): 62-78.

Leamer, E. E. (1984) ‘Sources of International Comparative Advantage. Theory and Evidence.’ Available at: http://www.anderson.ucla.edu/faculty/edward.leamer/books/leamer_sour-ces_chapters_feb03/sources.htm.

Levchenko, A. and Pandalai-Nayar, N. (2015) ‘TFP, News, and “Sentiments:’” The International Transmission of Business Cycles’, NBER Working Paper No. 21010, pp. 1–48. doi: 10.3386/w21010.Lewis, A. (1954) ‘Economic Development with Unlimited Supplies of Labor’, Manchester School of Economic and Social Studies, 22(2)(1), pp. 39–91.

Limam, Y. R. Y. and Miller, S. M. S. (2004) ‘Explaining economic growth: Factor accumulation, total factor productivity growth, and production efficiency improvement’, University of Con-necticut Department of Economics Working Paper Series, (March). Available at: http://digitalcommons.uconn.edu/econ_wpapers/200420/.

Lindh, T. (2000) ‘Productivity Slowdown Due to Scarcity of Capital to Scrap in A Putty-clay Model’, Economics Letters, 69(2), pp. 225–233. doi: 10.1016/S0165-1765(00)00266-4.

Lopez-rodriguez, J. and Martinez, D. (2014) ‘Beyond The R & D Effects On Innovation : The Con-tribution Of Non-R & D Activities To Tfp Growth In The EU’, pp. 1–27.Pritchett, L. (1996) ‘Population Growth , Factor Accumulation , and Productivity’, The World Bank Policy Re-search Working Paper, No. 1567(January), p. 44p.

Sigit, Hananto (2004) ‘Indonesia’ in Noriyoshi Oguchi (ed.) Total Factor Productivity Growth: Su-rvey Report. (Tokyo: Asian Productivity Organization) 98-133.

Ulku, H. and Subramanian, A. (2004) ‘R&D, Innovation, and Economic Growth: An Empirical Anal-ysis’, IMF Working Papers, 4, p. 1. doi: 10.5089/9781451859447.001.

Uppenberg, K. and Strauss, H. (2010) ‘Innovation and Productivity Growth in the EU Services Sector’, European Investment Bank, (July), p. 56. Available at: http://www.bei.org/attach-ments/efs/efs_innovation_and_productivity_en.pdf.

Page 113: Mengembangkan Tata Kelola BLU

105

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Van der Eng, Pierre (2008) ‘Capital Formation and Capital Stock in Indonesia, 1950- 2007.’ Wor-king Papers in Trade and Development No.2008/24. Canberra: Division of Economics, Research School of Pacific and Asian Studies, ANU, November 2008.

Van der Eng, P. (2013) ‘Total Factor Productivity and Economic Growth in Indonesia’, World Eco-nomic Performance: Past, Present and Future, pp. 193–226. Available at: http://ideas.repec.org/p/pas/papers/2009-01.html.

Vogel, J. (2012) ‘The Two Faces of R&D and Human Capital: Evidence from Western European Regions’, (599). Available at: http://www.economics.ox.ac.uk/materials/working_papers/paper599.pdf.‘Panel 1 - The future of economic growth with and without TFP growth - 13 Mar 2017’ (no date).

Young, Alwyn (1995) ‘The Tyranny of Numbers: Confronting the Statistical Realities of the East Asian Growth Experience’, Quarterly Journal of Economics, 110: 641-80.

Page 114: Mengembangkan Tata Kelola BLU

106

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Afif, S. 2014. The Rising of Middle Class in Indonesia : Opportunity and Challenge. Thesis. Califor-nia: University of Southern California

Ambarriani, Anastasia S. 2012. Informasi Unit Cost Rumah Sakit, untuk Apa? diakses dari mana-jemenrumahsakit.net.

Asian Development Bank. 2010. 'The Rise of Asia's Middle Class'. Key Indicators for Asia and the Pacific. Manila: Asia Development Bank

Beblavy, Miroslav. 2002. 'Understanding the Waves of Agencification and the `Governance Prob-lems They Have Raised in Central and Eastern European Countries' .OECD Publishing

Buchanan, James M. 1963. “The Economics of Earmarked Taxes”. The Journal of Political Economy. Vol. 71 Nomor 5 (Oct., 1963). The University of Chicago Press.

Bos, Dieter. 1999. 'Earmarked Taxation: Welfare versus Political Support, CESifo Working Paper, No. 207

Chang, Tom, Jacobson, Mireille. 2010. 'What do Nonprofit Hospital Maximize? Evidence from California's Seismic Retrofit Mandate'. diakses dari http://users.nber.org/~jacobson/Chang-Jacobson12.5.10.pdf pada tanggal 21 Maret 2017

Coelly, Tim, Rao, D, O'Donnell, Christopher, Battese, George. 1998. 'An Introduction of Efficiency and Productivity Analysis, 2th ed'. Springer Science, 2005.

Denhart, Janet, Denhart, Robert. 2007. 'The New Public Service: Serving Not Steering'. M.E Shar-pe Inc, 2007

Diop, Ndiame. 2014. 'Indonesia Avoiding The Trap'. Presentasi

Dolowitz, David, Marsh, David. 1996. 'Who Learns What from Whom : A Review of Politic Transfer Literature'. Political Studies (1996), XLIV, 343-357.

Easterly, William, Levine, Ross. 2001. 'It's Not Factor Accumulation: Stylized Facts and Growth Model'. The World Bank Economic Review, vol 15, No 2, pp 177-219

Frank, Richard, Salkever, David. 1994. 'Nonprofit Organizations in the Health Sector'. Journal of Economic Perspectives, vol 8, No 4, Fall 1994, pp 129-144.

Goodsell, Charless. 1993. Democracy and THe New Public Management

REFERENSI

Page 115: Mengembangkan Tata Kelola BLU

107

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Harrison, Teresa, Lybecker, Kristina. 2005. 'The Effect of The Nonprofit Motive on Hospital Compe-titive Behavior'. Journal in Economics Analysis & Policy, vol 4, issue 4, 2005 article 3.

Hausmann, Ricardo, Klinger, Bailey, Wagner, Rodrigo. 2008. 'Doing Diagnostics in Practice: A Mind Book'. Harvard University.

Hausmann, Ricardo, Rodrik, Dani, Velasco, Andres. 2005. 'Growth Diagnostics'. Inter-American Development Bank

Horwitz, Jill, Nichols, Austin. 2007. 'What Do Nonprofits Maximize? Nonprofit Hospital Service Provision and Market Ownership Mix'. NBER Working Paper No. 13246 (Juli 2007)

'ICW : Dugaan Suap di Pemilihan Rektor Karena Hak Kewenangan Dana yang Besar di PTN'. BBC Indonesia (27/10/2016)

Jenkins, Kate. 2010. 'Politicians and Public Services: Implementing Change in A Class of Cultures', Edward Elgar Publishing, 2010.

Jacobsson, Bengt, Sundtrom, Goran. 2007. ' Governing State Agencies : Transformations in the Swedish Administration Model'. Presentasi pada ECPR Conference di Pisa 6-8 September 2008

Kim, Nanyoung, Chok, Wonhyuk. 2015. 'Agencification and Performance: The Impact of Auto-nomy and Result-Control on the Performance of Executive Agencies in Korea'. Public Perfor-mance & Management Review 38(2):214-233. DOI: 10.1080/15309576.2015.983826

Kim, Keunsei. 2008. 'Agencification in Korea: Governance and Performance'.

'KPK Curiga Pemilihan Rektor, Begini Permainan Staf Menteri'. Tempo Online (25/10/2016)

Laegred, Per, K Verhoest. 2010. 'Organizing Public Sector Agencies: Reflection and Challenges'. Governance of Public Sector Organizations: Proliferation, Autonomy and Performance. Pal-grave-Macmillan.

Laegred, Per, Ronnes, Paul G, Rubecksen, Kristin. 2006. 'Performance Management in Practice: Norwegian Way'. Financial Accountability & Management 22(3), Agustus 2006.

Levy, Marion. 1969. Modernization and the Structure of Society: A Setting for International Affa-irs, vol 1. Princeton University Press, 1969.

Lockwood, Steve. Reinventing Government (Review). diakses di alamat: http://mtprof.msun.edu/Fall1993/Lock.html

'Menkeu Usul Pegawai Badan Layanan Umum Mendapat Remunerasi'. www.liputan6.com tang-gal 22 November 2016

Moynihan. Ambiguity in Policy Lesson: The Agencification Experience

Page 116: Mengembangkan Tata Kelola BLU

108

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Newhouse, Joseph. 1969. 'Toward A Theory of Non-Profit Institutions: An Economic Model of A Hospital'. The RAND Corporation.

Norman, Richard. 2001. 'Letting and Making Manager Manage: The Effect of Control System on Management Action in New Zealand's Central Government'. International Public Manage-ment Journal 4 (2001), pp 65-89

OECD. 2002. "Budget Reform in OECD Member Countries: Common Trends” Meeting of budget Directors from the G-7 Countries, Berlin, Germany, 5-6 September, 2002.

OECD. 2005. Modernizing Government. The Way Forward. OECD Publishing

OECD, Korea Policy Center. 2008. Transforming Korean Public Governance: Cases and Lessons. OECD/Korea Policy Center.

OECD. 2015. G20/OECD Principles of Corporate Governance. OECD Publishing

Osborne, David. 1993. 'Reinventing Government'. Public Productivity & Management Review, vol 16 No 4 (Summer 1993), pp 349-356.

Osborne, David, Gaebler, Ted. 1992. 'Reinventing Government: How the Enterpreneual Spirit is Transforming the Public Sector'

Panchamina, Nehal, Thomas, Peter. 2014. 'Next Step Inisiative'. Institute for Government

Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-07/PB/2015

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK/2006 tentang Pembentukan Dewan Pengawas Ba-dan Layanan Umum

Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 24 Tahun 2010

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

Siringoringo, Alfiker, Yazikri, LF. 2016. Membangun Indonesia dari Daerah dengan Pengelolaan Fiskal Regional. Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Sulawesi Selatan

Shick, Allen. 2002. 'Agencies in Search Principles'. OEECD Journal of Budgeting. OECD Publishing

Thompson, Fred, 'Mission-Driven, Results-Oriented Budgeting: Fiscal Administration and the New Public Management'. Public Budgeting & Finance, Vol. 14, No. 3, pp. 90-105, Fall 1994. Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=1123773

The Backwell Encyclopedia of Management

Page 117: Mengembangkan Tata Kelola BLU

109

Mengembangkan Tata Kelola BLU

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah

Van Thiel, Sandra, Verhoest, Ken, Bouckaert, Geert, Loegreid, Per. 2012. 'Lesson and Recommen-dation for the Practice of Agencification'. Government Agencies Practices and Lesson from 30 Countries. London: Palgrave Macmillan. 2012

Winesman, Jane. 2015. 'Customer Driven Government: How Listen, Learn and Leverage Data for Service Delivery Important'. tersedia di Data-Smart City Solutions: http://datasmart.ash.harvard.edu/news/article/customer-driven-government-721

Zingales, Luis. ' Corporate Governance'