memahami understanding by design

15
Penilaian dan Evaluasi Belajar Ditinjau dari Sistem Belajar Student Centered Oleh Maksimus Adil Abstrak Penilaian dan evaluasi belajar merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari seluruh proses pembelajaran. Model penilaian dan evaluasi belajar sangat dipengaruhi oleh filosofi yang dianut oleh masing-masing lembaga pendidikan. Suatu sistem penilaian dan evaluasi belajar harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada tiap unsur yang terkait, seperti siswa, orang tua murid, dan bahkan masyarakat luas pada umumnya. Untuk itu penilaian terhadap hasil belajar siswa harus didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan valid. Banyak piranti yang dapat dipakai oleh guru untuk menilai hasil belajar siswa. Sebut saja diantaranya adalah test dan kuis, project, report, presentasi, informal checks for understanding, anecdotal notes, dan lain sebagainya. Piranti yang dipakai untuk menilai hasil pekerjaan siswa haruslah sudah direncanakan bahkan sebelum guru men-design proses belajar yang diinginkan. Tolok ukur yang dipakai guru untuk menilai adalah rubric, di mana di dalamnya berisi kriteria yang mesti ada dan atau dicapai siswa dari setiap bentuk evaluasi yang diadakan. Untuk mempermudah guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dengan sistem student centered dan kemudian dapat membuat evaluasi dan penilaian dengan baik, di sekolah High/Scope diterapkan suatu strategi yang disebut “Understanding by Design”. Salah satu aspeknya adalah konsep backward design, dimana kita sebagai guru mesti pertama-tama menentukan hasil yang diharapkan dari siswa dari suatu proses belajar sebelum menentukan proses belajarnya sendiri. Penilaian terhadap hasil belajar siswa mesti memperhiungkan keseluruhan proses yang mencakup tiga unsur, yakni produk, proses, dan progress. Pengantar Hampir setiap tahun seusai mengadakan UN atau tepatnya setelah pengumuman hasil UN, bangsa kita selalu dilanda ‘prahara’ karena banyaknya siswa yang tidak berhasil dalam UN. Polemik hampir pasti menghiasi media-media nasional, baik cetak maupun elektronik. Umumnya berita yang mendominasi di media masa adalah kekecewaan siswa dan orang tua dan bahkan para guru akibat kegagalan beberapa siswa. Apalagi kalau diantara yang tidak lulus ada siswa berprestasi dan dianggap pintar. Berbagai pandangan akan muncul ke permukaan, baik dari para pakar pendidikan maupun politisi. Fokus pembicaraan biasanya Penulis adalah pengajar pada sekolah High/Scope Indonesia TB Simatupang, mengajar pelajaran Character, Cultural, and Community Development dan Pelajaran Agama Katolik untuk Middle School, alumnus STF Driyarkara.

Upload: rochman-ariff

Post on 19-May-2015

1.192 views

Category:

Technology


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: memahami Understanding by Design

Penilaian dan Evaluasi BelajarDitinjau dari Sistem Belajar Student Centered

Oleh Maksimus Adil

 Abstrak

 Penilaian dan evaluasi belajar merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari seluruh proses pembelajaran. Model penilaian dan evaluasi belajar sangat dipengaruhi oleh filosofi yang dianut oleh masing-masing lembaga pendidikan. Suatu sistem penilaian dan evaluasi belajar harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada tiap unsur yang terkait, seperti siswa, orang tua murid, dan bahkan masyarakat luas pada umumnya. Untuk itu penilaian terhadap hasil belajar siswa harus didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan valid. Banyak piranti yang dapat dipakai oleh guru untuk menilai hasil belajar siswa. Sebut saja diantaranya adalah test dan kuis, project, report, presentasi, informal checks for understanding, anecdotal notes, dan lain sebagainya. Piranti yang dipakai untuk menilai hasil pekerjaan siswa haruslah sudah direncanakan bahkan sebelum guru men-design proses belajar yang diinginkan. Tolok ukur yang dipakai guru untuk menilai adalah rubric, di mana di dalamnya berisi kriteria yang mesti ada dan atau dicapai siswa dari setiap bentuk evaluasi yang diadakan. Untuk mempermudah guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dengan sistem student centered dan kemudian dapat membuat evaluasi dan penilaian dengan baik, di sekolah High/Scope diterapkan suatu strategi yang disebut “Understanding by Design”. Salah satu aspeknya adalah konsep backward design, dimana kita sebagai guru mesti pertama-tama menentukan hasil yang diharapkan dari siswa dari suatu proses belajar sebelum menentukan proses belajarnya sendiri. Penilaian terhadap hasil belajar siswa mesti memperhiungkan keseluruhan proses yang mencakup tiga unsur, yakni produk, proses, dan progress.  Pengantar 

Hampir setiap tahun seusai mengadakan UN atau tepatnya setelah pengumuman hasil

UN, bangsa kita selalu dilanda ‘prahara’ karena banyaknya siswa yang tidak berhasil dalam UN.

Polemik hampir pasti menghiasi media-media nasional, baik cetak maupun elektronik.

Umumnya berita yang mendominasi di media masa adalah kekecewaan siswa dan orang tua dan

bahkan para guru akibat kegagalan beberapa siswa. Apalagi kalau diantara yang tidak lulus ada

siswa berprestasi dan dianggap pintar.

Berbagai pandangan akan muncul ke permukaan, baik dari para pakar pendidikan

maupun politisi. Fokus pembicaraan biasanya tentang kelemahan UN sampai pada validitasnya

untuk menentukan seorang siswa dapat dinyatakan lulus atau tidak dari jenjang pendidikan yang

sudah digelutinya selama kurang-lebih 3 tahun. Di antaranya ada yang menuntut agar para guru

di sekolah adalah satu-satunya pihak yang paling sah dan meyakinkan untuk menentukan

kelulusan, karena merekalah yang mengenal anak didiknya.

Makalah ini tidak bermaksud menjawab pertanyaan validitas atau tidaknya UN untuk

menentukan kelulusan siswa. Makalah ini ditulis untuk menelaah lebih jauh bagaimana sistem

penilaian yang memadai agar semua unsur yang terlibat dalam pendidikan dapat terpuaskan.

Unsur-unsur yang terlibat dalam pendidikan tidak lain adalah siswa, guru, orang tua, masyarakat

dan pemerintah. Karena itu penilaian yang dilakukan di sekolah mesti fair dan dapat

Penulis adalah pengajar pada sekolah High/Scope Indonesia TB Simatupang, mengajar pelajaran Character, Cultural, and Community Development dan Pelajaran Agama Katolik untuk Middle School, alumnus STF Driyarkara.

Page 2: memahami Understanding by Design

dipertanggung-jawabkan kepada para pihak itu. Artinya semua pihak memahami makna, isi, dan

cakupan penilaian dari nilai yang diperoleh peserta didik yang dikuatkan dengan bukti-bukti

yang memadai.

Filosofi Pembelajaran

Penilaian dan evaluasi belajar hanyalah salah satu aspek dari sistem pembelajaran. Ia

tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian integral dari keseluruhan proses belajar dalam

ruangan kelas. Oleh karena itu penilaian dan evaluasi belajar sangat terkait dan dijiwai oleh

filosofi yang dianut lembaga pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan.

Untuk mayoritas sekolah yang menganut sistem teachers-centered (menjadikan

kurikulum sebagai pusat dari seluruh proses belajar), penuntasan materi yang diperintahkan oleh

kurikulum menjadi hal yang utama. Untuk sekolah model ini hasil akhir dalam arti target

pencapaian siswa menjadi satu-satunya yang penting. Di sini proses menjadi tidak terlalu

penting, melainkan hasil akhir, yakni berapa nilai yang didapat siswa dari evaluasi belajar yang

diadakan. Di pihak guru, yang penting target pengajaran (penuntasan materi) tercapai. Siswa

mengerti atau tidak soal lain. Sistem belajar macam ini (teachers-centered) melihat belajar

sebagai kompetisi dan bukan peziarahan, pergulatan atau pergumulan menuju penguasaan ilmu

pengetahuan.

Selain sekolah model teachers-centered, saat ini muncul sekolah-sekolah yang

memfokuskan proses belajarnya pada siswa (student-centered). Pada lembaga-lembaga

pendidikan yang membangun sistem pendidikannya atas filosofi student-centered, peserta belajar

(baca: siswa) menjadi pusat dari seluruh proses belajar, dan proses belajar itu sendiri sama

pentingnya dengan hasil akhir yang diharapkan dari para siswa. Sekolah seperti ini berpegang

pada semangat ‘learning is not a race but journey’. Siswa diajak untuk berziarah, berpetualang,

bergumul secara pribadi menuju penguasaan ilmu pengetahuan. Dengan demikian peserta didik

benar-benar dihargai sebagai pribadi, dibimbing sesuai kondisi dan kemampuannya yang khas,

tidak terpenjara dalam hierarki pengelompokkan pintar – bodoh yang pada akhirnya membunuh

rasa percaya diri, semangat belajar, dan pengabaian perjuangan khas masing-masing pribadi

dalam keseluruhan proses belajar.

 

Men-design Pemahaman Siswa

Agar siswa dapat belajar maksimal, artinya terlibat secara penuh dalam seluruh proses

pembelajaran, mengalami pergulatan (dalam arti sesungguhnya) untuk memahami pokok-pokok

yang dipelajari dan akhirnya dapat menguasai ilmu pengetahuan, pelajaran harus di-design

sedemikian rupa. Untuk dapat mencapai tujuan itu, sekolah High/Scope Indonesia (H/S)

mencoba menerapkan suatu strategi yang dikenal dengan sebutan “understanding by design

Page 3: memahami Understanding by Design

(UBD)”1[1] dalam seluruh proses belajar pada setiap subject yang diajarkan. Hal ini dilakukan

berdasarkan kesadaran bahwa tujuan dari proses belajar adalah mencapai pemahaman

(understanding). Siswa memahami atau tepatnya menguasai ilmu yang dipelajarinya. Lebih dari

itu agar siswa mendapatkan suatu penilaian yang otentik dan dapat dipertanggung-jawabkan

pada tiap akhir term.

Unsur utama dalam konsep ini adalah apa yang disebut sebagai backward design, yakni

suatu pendekatan dalam merancang kurikulum atau pelajaran yang dimulai dengan tujuan yang

ingin dicapai.2[2] Ada tiga tahap utama3[3] backward design:

Tahap pertama, Tentukan hasil yang diharapkan. Apa yang siswa harus ketahui, pahami, dan

dapat lakukan setelah menyelesaiakn pokok tertentu.

Tahap kedua, tentukan bukti-bukti yang dapat diterima. Pertanyaan pokok yang mesti dijawab

di sini adalah bagaimana kita dapat ketahui jika siswa telah mencapai hasil yang

diharapkan. Apa bukti-bukti yang kita harapkan untuk mendukung pemahaman

siswa?

Tahap ketiga, tentukan instruksi dan proses belajar yang ingin diterapkan. Setelah kita

memastikan hasil apa yang diharapkan dan bukti apa yang dapat menunjang

pencapaian hasil itu, lalu kita tentukan bagaimana proses belajar harus

dilaksanakan untuk mencapai sasaran itu.

 

Gambaran kerangka berpikir dalam menyusun rencana pelajaran dengan menggunakan

strategi UBD bagi guru4[4] dapat dilukiskan sebagai berikut:

 

Stage 1 – Hasil yang diharapkan

Tentukan tujuan pembelajaran: G

              apa tujuan yang ingin dicapai (misalnya pengetahuan yang ingin didapat (content), pencapaian yang lain-lainnya)

Pemahaman: U

Siswa dapat memahami bahwa…

              apa gagasan pokok

              pemahaman khusus apa yang

diharapkan

              masalah-masalah yang mungkin muncul.

Pertanyaan kunci: Q

           Pertanyaan pokok apa yang dapat diajukan untuk membantu penelitian lebih lanjut, pemahaman, dan transfer pengetahuan.

1[1] Untuk mendalami lebih jauh tentang konsep ini, lih. Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by Design, ASCD (Association for Supervision and Curriculum Development), Alexandria, Virginia USA, thn. 2005.2[2] Tentang hal ini Stephen R. Covey mengatakan, “To begin with the end in mind means to start with a clear understanding of your destination. It means to know to know where you’re going so that you better understand where you are now so that the steps you take are always in the right direction.” Lih. Stephen R. Covey, “The 7 Habits of Highly Effective People, 1998, p. 98. Baca juga Grant Wiggins and Jay McTighe, idem. hal. 338.3[3] lih. Tahap-tahap backward design, Grant Wiggans and Jay McTighe, idem. hlm 17-34.4[4] Lih. Grant Wiggins and Jay McTighee, ibid., hal. 22

Page 4: memahami Understanding by Design

Siswa akan mengetahui … K

              pengetahuan dan skill apa yang siswa dapatkan sebagai hasil dari pelajaran ini

              apa yang mesti siswa dapat lakukan sebagai hasil dari pengetahuan atau skill yang ada

Siswa dapat melakukan… S

Stage 2 – Bukti-bukti yang diharapkan

Performance Tasks: T

              Project apa yang siswa dapat lakukan untuk menunjukkan pemahaman dan skill yang mereka kuasai.

              Kriteria apa yang akan digunakan untuk mengukur pemahaman siswa

Bukti-bukti Lainnya: OE

Test

Presentasi

Anecdotal Notes, dll.

Stage 3 – Rencana Pelajaran

Aktivitas Pembelajaran: L

Bagaimana proses pembelajaran dan isntruksi yang digunakan yang memungkinkan siswa mencapai hasil yang diharapkan. Bagaimana aktivitas pembelajaran itu dirancang?              Kemana siswa akan dibawa dan apa yang diharapkan. Dari mana siswa akan berangkat

(prior knowledge dan interest).              Bagaimana menarik minat siswa?              Bagaimana membantu siswa mengalami (terlibat) dan mengembangkan lebih lanjut

materi yang diajarkan.              Merancang kesempatan bagi siswa untuk memikirkan kembali, memperbaiki pemahaman

atau pekerjaan mereka              Mendorong siswa untuk mengevaluasi pekerjaan mereka dan melihat implikasinya              Bagaimana mengakomodir perbedaan minat, kepentingan, dan kemampuan siswa              Bagaimana merancang proses belajar yang efektif agar siswa dapat terlibat secara

maksimal.

 

Kerangka berpikir seperti ini membantu guru dalam merencanakan proses belajar plus evaluasi

macam apa yang akan mereka lakukan.

 

Penilaian dan Evaluasi Belajar Sistem Student Center5[5]

Seperti yang telah disinggung di atas, penilaian dan evaluasi belajar tidak terpisahkan

dari seluruh proses belajar. Karena itu, model atau bentuk penilaian dan evaluasi belajar harus

sudah ditentukan sebelum merencanakan proses belajar di dalam kelas..

Sebelum membahas lebih jauh tentang penilaian dan evaluasi belajar, baiklah terlebih

dahulu dibicarakan apa saja model dan tujuan penilaian (assessment) dan evaluasi belajar.

Evaluasi belajar umumnya dibagi atas dua bagian yakni formative assessment dan summative

assessment. Formative assessment pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui bagaimana peserta

didik belajar, apa yang telah mereka pelajari dengan baik, apa masalah atau kesulitan yang

mereka alami dan apa bentuk perbaikan (corrective measures) yang diperlukan.6[6] Karena itu

5[5] Hampir seluruh bahan kajian pada bagian ini diambil dari materi Teachers Training High/Scope Indonesia, July 2006.6[6]Idem..

Page 5: memahami Understanding by Design

formative assessment dapat dilakukan tiap hari dalam bentuk pretest, posttest, PR, weekly

project, observation, anecdotal notes dan sebagainya.

Dengan sistem pembelajaran student center, formative assessment mempunyai peran

yang sangat strategis. Guru mendapatkan segala informasi yang diperlukan untuk dapat

mendapingi masing-masing peserta didik sesuai dengan kondisi real mereka secara pribadi

termasuk strategi perbaikan agar siswa dapat menguasi materi dengan baik. Persoalannya adalah

apa yang terjadi bila ternyata tingkat pencapaian siswa ternyata berbeda? Diagram berikut

diharapkan dapat memberikan gambaran. Perhatikan diagram berikut:

 

Diagram 1:

Pel. Bab IFormative Assessment AIntervention ActivitiesFormative Assessment BEnrichment ActivitiesPel. Bab II

Dari diagram 1 terlihat bahwa siswa dengan daya tangkap yang kurang diberi tambahan agar

dapat memenuhi target yang diharapkan, sementara yang sudah mencapai target diberi

enrichment activities untuk memperkaya pemahamannya atas pokok yang dipelajari.

Sementara summative assessment bertujuan untuk menentukan tingkat pencapaian siswa

selama periode tertentu (per term atau smester). Bentuknya bisa berupa test summative,

performance task atau kombinasi keduanya dari mana guru bisa melihat penguasaan siswa atas

materi yang telah dipelajari selama term atau smester itu. Meskipun demikian summative

assessment hanya berdaya guna jika didukung oleh formative assessment.

 

Diagram 2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12Formative assessment Intervention / Enrichment

Developing Report (Reporting)Summative assessment

Formative dan Summative Assessment Sequence

 

Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa assessment membantu para pendidik

mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam akan kemampuan belajar siswa dan kemudian

mempermudah mereka (para pendidik) dalam mengkomunikasikan bukti-bukti hasil belajar

siswa kepada para orang tua, rekan guru, peserta didik, dan masyarakat luas pada umumnya.

Adapun tentang penilaian dapat dikatakan bahwa penilaian akhir dilakukan dengan

menganalisa berbagai bukti yang ada (yang didapat baik dari formative assessment maupun

summative assessment) lalu memutuskan posisi akhir siswa dengan menggunakan parameter

yang ada, tentu sesuai dengan persentase yang ditetapkan guru atau sekolah.7[7] Summative

7[7] Gambaran konkret tentang penilian akan diuraikan pada bagaian akhir tulisan ini

Page 6: memahami Understanding by Design

Assessment tentu sangat berpengaruh untuk menentukan grade pencapaian siswa pada akhir term

atau smester.

Yang menjadi dasar dari penilaian yang baik adalah bukti yang baik dan memadai. Ada 3

kualitas untuk dapat menentukan memadai (baik) atau tidaknya bukti-bukti pendukung penilaian,

yakni validity, reliability, dan quantity.

Pertama, Validity. Mengacu pada kepatutan dan memadainya interpretasi yang dibuat

berdasarkan informasi atau data yang tersedia. Kedua, Reliability. Mengacu pada kekonsistenan

hasil assessment yang dilakukan. Konkretnya, siswa yang sama dapat memperoleh skor yang

sama pada dua kesempatan test pada waktu yang berbeda atau mendapat score yang sama ketika

dievaluasi oleh dua guru yang berbeda. Ketiga, Quantity. Menggunakan berbagai macam bukti

yang dapat dipercaya.

Lalu bagaimana bila terjadi ketidak-konsistenan bukti berkaitan dengan pencapaian

siswa? Bila hal ini terjadi, beberapa hal dapat menjadi pertimbangan:

1. Berikan prioritas pada data terbaru.

2. Berikan prioritas pada data yang lebih komprehensif.

3. Berikan prioritas pada bukti-bukti yang berkaitan dengan pencapaian standard atau tujuan

pembelajaran yang paling penting.

 

 

Piranti Penilaian dan Evaluasi Belajar

Sejak merencanakan pelajaran, guru harus sudah menentukan hasil akhir yang diharapkan

dari para siswa atas materi yang diajarkan dan apa saja piranti yang dipakai untuk penilaian8[8].

Ada beberapa piranti yang bisa digunakan untuk mengevaluasi perkembangan belajar para siswa.

Pertama, Informal checks for understanding. Mengecek pemahaman siswa secara

informal dapat dilakukan dengan cara tanya-jawab ketika pelajaran sedang berlangsung, bisa

juga dalam bentuk mengecek pemahaman siswa atas pekerjaannya sendiri lewat pertanyaan-

pertanyaan, dan lain-lain. Observasi guru dan dialog dengan siswa masuk dalam kategori ini.

Informal check for understanding merupakan bagian integral dari proses pembelajaran bila kita

menganut sistem ongoing assessment. Hasil observasi ini diharapkan dapat memberikan

informasi yang memadai untuk menentukan strategi pembelajaran yang tepat sesuai dengan

karakter siswa.

Kedua, Tes dan kuis. Test ini sifatnya bisa mingguan atau dua mingguan. Bentuknya

dapat berupa tes dengan jawaban singkat, benar-salah, jodohkan, atau pilihan ganda. Test bisa

juga panjang dan melibatkan analisa. Test yang kedua ini bentuknya berupa open-ended

question, yang mendorong siswa untuk berpikir kritis, tidak sekedar mengulang apa yang tertulis

8[8] Soal penentuan hasil akhir, akan dibahas lebih lanjut pada bagian terakhir tulisan ini.

Page 7: memahami Understanding by Design

dalam buku (hafalan). Pertanyaan yang sifatnya open-ended membutuhkan jawaban yang

sifatnya konstruktif, tidak hanya memiliki satu jawaban yang benar, menekankan pada strategi

pemecahan masalah, menggunakan kemampuan analisis, sintesis, lalu kemudian mengevaluasi

kembali hasil analisanya. Jadi pertanyaan yang sifatnya open-ended mesti menuntut jawaban

yang teruraikan secara sistematis dan melibatkan argumentasi yang memadai. Test dan kuis

mesti berfokus pada isi atau muatan pelajaran. Di sini yang kita assess adalah informasi factual,

konsep, skill yang diharapkan diperoleh siswa dari materi itu.

Ketiga, Project. Project sifatnya sifatnya bisa short-term maupun long-term (bulanan atau

satu smester). Project lebih merupakan pengaplikasian teori atau konsep yang didapat di sekolah

dalam kasus-kasus konkret, dengan tujuan, audiens dan situasi yang tertentu. Pada level ini,

siswa dimungkinkan untuk menggarap project yang sesuai dengan minatnya. Project yang

diberikan kepada siswa dapat terintegrasi dengan pelajaran lainnya. Project dapat membantu

guru untuk menilai sejauh mana siswa dapat mengaplikasikan pengetahuan yang telah

didapatnya, secara lintas ilmu. Misalnya antara penerapan pengetahuan berbahasa dan ilmu

sosial, dan seterusnya.

Selain ke-tiga piranti ini, kita juga masih memerlukan piranti-piranti lainnya. Di

antaranya adalah anecdotal notes. Guru membuat catatan harian tentang apa yang dicapai siswa

lebih khusus berkaitan dengan penguasaan materi pembelajaran atau aplikasi nilai-nilai dari

materi yang diajarkan atau dipelajari. Anecdotal notes sifatnya individual atau per siswa.

Pekerjaan rumah. Selain bermanfaat untuk melihat sejauh mana siswa dapat

menggunakan konsep yang telah dipelajari dalam mengerjakan PR-nya, PR juga membantu guru

untuk mengukur keseriusan dan tanggung jawab siswa dalam belajar. Ketepatan waktu,

kerapihan dan ketuntasan dalam mengerjakan PR dapat menjadi catatan guru. Agar maksimal,

tentu saja komunikasi guru – orang tua sangat diharapkan untuk mendukung proses belajar

siswa.

Report. Report bisa menjadi bagian dari satu project, bisa juga menjadi bagian yang

berdiri sendiri. Kelengkapan informasi, sistematika atau komposisi, dan lain-lain menjadi hal

yang diperhatikan dalam pengerjaan report. Sekali lagi report dapat terintegrasi dengan pelajaran

lain.

Presentasi. Siswa yang sungguh menguasai pokok pembelajaran dapat diketahui lewat

kemampuan presentasinya. Kendati demikian, harus juga diperhatikan karakter masing-masing

siswa. Misalkan ada siswa yang sungguh menguasai materi tetapi sulit mengkomunikasikannya

lewat presentasi. Karen itu guru harus mengenal karakter masing-masing siswanya.

Student self assessment. Hal ini jarang dilakukan di sekolah-sekolah yang semata-mata

mengejar penuntasan kurikulum dalam proses belajarnya. Student self assessment bermanfaat

Page 8: memahami Understanding by Design

untuk mendapat umpan balik dari para siswa. Siswa menilai dirinya sendiri sejauh mana dia telah

menguasai materi yang telah diajarkan atau dipelajari.

Piranti penilaian ini digunakan sesuai kebutuhan saja. Tidak perlu dipakai sekaligus

secara bersama dalam satu kesatuan waktu untuk satu pokok materi pelajaran. Guru menentukan

kira-kira piranti mana yang dapat digunakan.

Persoalannya adalah bagaimana cara mengukur yang memadai untuk menentukan

pencapaian siswa? Untuk test yang bisa langsung diberi skor seperti matematika atau test yang

sifatnya rutin harian, tidak terlalu sulit, karena guru bisa dengan mudah memberi skor yang

sesuai. Untuk test yang sifatnya kualitatif seperti project, presentasi, report, dan lain-lain, guru

perlu menyiapkan satu piranti lagi yang disebut rubrik. Rubrik adalah suatu piranti atau dokumen

yang perlu disiapkan guru. Rubrik berisi artikulasi atau gambaran atau batasan pencapaian siswa

yang diharapakan dari tugas atau test.9[9] Dalam rubrik ditampilkan kriteria-kriteria yang

diharapkan ada dalam pekerjaan siswa, atau pencapaian yang diharapkan dari satu test.

Berikut sebuah contoh rubrik:

 

Rubrik Grafik Data10[10]

Score Judul Label Akurasi Kerapian10% 20% 50% 20%

3

Judul menggambarkan dengan jelas tentang data apa yang ditampilkan

Semua bagian grafik (kolom, baris, atau ukuran) ditandai dengan jelas

Data dalam grafik ditampilkan secara akurat

Grafiknya rapi dan mudah untuk dimengerti

2Judul menggambarkan secara umum tentang data yang ditampilkan

Ada bagian grafik yang tidak ditandai dengan benar

Data yang ditampilkan mengandung kesalahan kecil

Umumnya rapi dan dapat dipahami

1Judul tidak menggambarkan isi data atau tidak ada judul

Hanya beberapa bagian grafik yang ditandai dengan benar

Data tidak akurat, banyak kesalahan, atau data tidak lengkap

Tidak rapih dan sulit dimengerti

 

Bagaimanapun, dari pengalaman, kita menyadari bahwa test-test yang biasa saja tidak

lagi memadai untuk membantu siswa siap menghadapi tantangan yang konkret dalam kehidupan.

Sekolah diharapka dapat membantu siswa untuk mengembangkan skill dan kompetensinya untuk

menghadapi kehidupan yang nyata, situasi yang “terberi” di hadapan mereka. Siswa yang bisa

memperlihatkan skill dan kompetensinya, tentu saja lewat piranti yang disebutkan di atas,

daripada ‘sekedar’ lulus ujian nasional, layak untuk lulus dari jenjang pendidikan yang sudah

digelutinya selama kurang lebih tiga tahun. Dan akhirnya kesuksesan suatu lembaga pendidikan

9[9] Bdk. Heidi Andarde, and Ying Du, Practical Assessment, Research, & Evaluation (PARE), Volume 10 Number 3, April 200510[10] Rubrik ini dielaborasi dari buku karangan Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by Design Profesional Development Workbook, hlm 183. Contoh grafik yang dipakai penulis terlampir di hard copy tulisan ini.

Page 9: memahami Understanding by Design

diukur dari sejauh mana siswa menguasai pengetahuan, skill, didukung oleh sikap dan tigkah

laku yang terpuji.

 

 

Penilaian Akhir

Setelah melihat uraian di atas, kita dapat tegaskan bahwa dalam sistem student center

beberapa hal harus diperhatikan dalam melakukan penilaian. Pertama, Produk. Fokus pada apa

yang siswa telah ketahui dan dapat lakukan. Yang termasuk dalam produk adalah hasil test akhir,

report, project, proyek laboratorium, presentasi. Alat ukur yang dipakai adalah rubric-akademik

dan / atau pekerjaan siswa.

Kedua, Proses. Fokus pada bagaimana siswa sampai pada pencapaian yang diharapkan.

Yang termasuk dalam proses adalah kuis (formative), sikap dan tingkah laku di kelas, journal,

PR (tingkat penyelesaian dan kualitasnya – dinilai berdasarkan rubric), keaktifan di kelas, usaha,

kerapian dalam menyelesaikan pekerjaan. Alat ukur yang dipakai untuk penilaian adalah rubric-

proses, checklist dan / atau anecdotal notes.

Ketiga, Progress. Fokus pada berapa banyak siswa telah peroleh dari proses belajar yang

dilakukan. Di sini kita membutuhkan portfolio yang menggambarkan perkembangan belajar

siswa sepanjang term, smester, dan bahkan tahun.

Penilaian atau tingkat pencapaian siswa ditentukan berdasarkan analisa keseluruhan

kriteria yang ada, dengan memberi porsi penentuan yang lebih besar pada hasil summative

assessment. Sebab dari hasil akhir itulah guru dapat mengetahui di mana posisi siswa setelah

melewati satu term atau smester. Dalam sistem High / Scope, grade pencapaian akademik

ditentukan berdasarkan krieria berikut:

 

Level Kode Tingkat Pencapaian

Introducing / need improvement ( I ) : <50 %

Progressing / shows improvement ( P ) : 50 – 79 %

Mastering / Satisfactory ( M ) : >= 80 %

 

Kesimpulan

Kita telah melihat bahwa penilaian dan evaluasi belajar terintegrasi secara total dengan

seluruh proses belajar. Penilaian dan evaluasi belajar bukan suatu hal yang berdiri sendiri.

Pada lembaga pendidikan yang menganut sistem student center, perkembangan masing-

masing siswa menjadi pokok perhatian, bukan semata-mata ketuntasan kurikulum, meskipun

ketuntasan tetap perlu diperhatikan.

Page 10: memahami Understanding by Design

Untuk dapat memberikan penilaian yang memadai, kita perlu mengumpulkan bukti yang

otentik dalam arti kita merancang sedemikian rupa hasil macam apa yang kita inginkan dan

bagaimana strategi untuk mendapatkan hasil seperti itu. Apa produk yang mesti dibuat siswa

agar kita dapat mengetahui bahwa mereka telah menguasai pokok yang telah dipelajari.

Dan yang terpenting adalah nilai yang diperoleh siswa harus dapat dipertanggung

jawabkan, dalam arti didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan memadai. Lebih dari itu siswa itu

sendiri diharapkan dapat mempertanggung-jawabkan pencapaiannya lewat pengatahuan, sikap,

tingkah laku dan skill yang dimilikinya dalam menghadapi hidup konkret beserta tantangannya

di tengah masyarakat.

 

 

Daftar Bacaan

 

              Module Teachers Training High/Scope Indonesia. July 2006

              Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by Design, ASCD, Virginia, USA, 2005

              Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by Design Profesional Development

Workbook, ASCD, Virginia, USA, 2005

              Stephen R. Covey, “The 7 Habits of Highly Effective People, 1998

              Heidi Andarde, and Ying Du, Practical Assessment, Research, & Evaluation (PARE),

Volume 10 Number 3, April 2005

              Sumber-sumber pendukung lain dari internet.

 

Sumber : http://maxbona.webs.com/pendidikan.htm