mankas neonatus lahir dari ibu bermasalah

Download Mankas Neonatus Lahir Dari Ibu Bermasalah

If you can't read please download the document

Upload: ipuzz-aiie

Post on 06-Dec-2014

96 views

Category:

Documents


28 download

DESCRIPTION

manajemen kasus anak

TRANSCRIPT

MANAJEMEN KASUS Neonatus, Laki-laki, BBLC, CB, SMK; Lahir SCTP Emergency atas indikasi KPD 8 jam, hipertensi, diabetes mellitus, infertile 18 tahun; Asfiksia sedang Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia di RSUD Sragen

Disusun Oleh: Puspita Sari 06711162 Pembimbing: dr. Tunjung Respati, Sp.A M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RSUD SRAGEN 2012

1

LEMBAR PENGESAHAN Manajemen Kasus Neonatus, Laki-laki, BBLC, CB, SMK; Lahir SCTP Emergency atas indikasi KPD 8 jam, hipertensi, diabetes mellitus, infertile 18 tahun; Asfiksia sedang Dipresentasikan: Tanggal: Tempat: Ruang Anggrek

Oleh: Puspita Sari 06711162

Mengetahui,

KA. SMF Ilmu Kesehatan Anak

Dokter Pembimbing Klinik

dr. Pursito, Sp. A

dr. Tunjung Respati, Sp. A, M. Kes

2

BAB I STATUS PASIEN 1.1. Identitas

Pasien Nama Usia Alamat Agama No. RM : By. Ny. RS : 0 bulan : Celep RT 13 Gringging Sambungmacan Sragen : Islam : 356062

Orang Tua Nama Ibu Usia Pekerjaan Nama Ayah Usia Pekerjaan : Ny. RS : 38 tahun : Swasta : Tn. K : 42 tahun : Swasta

1.2.

Riwayat Penyakit

a.

Sebab Dirawat

3

Anak pertama, bayi lahir dengan tindakan Sectio Cesarea Transperitoneal Profunda (SCTP) Emergency atas indikasi Ketuban Pecah Dini (KPD) 8 jam, hipertensi, diabetes mellitus, infertile 18 tahun, umur kehamilan 40 minggu, air ketuban jernih, tali pusat segar, asfiksia sedang, anus (+), cacat (-).b.

Riwayat Penyakit Sekarang Bayi lahir dari seorang ibu GIIP0AI, jenis kelamin laki-laki, dengan

tindakan SCTP Emergency atas indikasi KPD 8 jam, hipertensi, diabetes mellitus, infertile 18 tahun, pada tanggal 22 November 2012 pukul 14:48 WIB, umur kehamilan 40 minggu, air ketuban jernih, tali pusat segar, asfiksia sedang. Nilai apgar pada menit pertama 6, menit kelima 9 dan menit kesepuluh 10. Berat bayi lahir 2900 gram, suhu 370C perectal, dan gula darah sewaktu (GDS) 77 mg/dl.c.

Riwayat Persalinan Ibu GIIP0AI dengan umur kehamilan 40 minggu, melahirkan anak pertama

dengan tindakan SCTP Emergency atas indikasi KPD 8 jam, hipertensi, diabetes mellitus, infertile 18 tahun; air ketuban jernih, tali pusat segar. Bayi lahir pada tanggal 22 November 2012 pukul 14;48 WIB, jenis kelamin laki-laki, berat badan 2900 gram, panjang badan 45 cm, lingkar kepala 32 cm, lingkar dada 30 cm.d. -

Riwayat Penyakit Keluarga Ibu riwayat hipertensi dan diabetes mellitus.

1.3.

Pemeriksaan Fisik

a.

Pemeriksaan Segera Setelah Lahir 0 Tidak ada 1 100 Menit 1 Menit 5 Menit 10 2 2 2

APGAR SCORE Denyut

4

Jantung Pernafasa n Tonus Otot Peka Rangsang Warna Kulit

Tidak ada Lunglai

kali/menit Tidak teratur Fleksi (lemas) Merintih Merah jambu ujung biru

kali/menit Baik

1

2 1

2 2

Fleksi kuat 1

ekstermitas gerak aktif Tidak ada Biru/Pucat Mengangis Merah seluruh 6 9 10 1 1 2 2 2 2

Jumlah b. Pemeriksaan Umum Keadaan Umum : Sadar Tanda Vital Laju Nadi Laju Nafas Suhu Warna Kulit Keaktifan Tangis Bayi : : 142 kali/menit, reguler : 44 kali/menit : 37,40C perectal : merah : aktif : kuat

c.

Pemeriksaan Kepala : bentuk mesochepal, chepal hematoma (-), caput (-), ubun-ubun datar.

Inspeksi

Rambut Mata

: tipis, halus, dan warna hitam. : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), discharge (-/-)

5

Hidung Mulut

: simetris, cuping hidung (-) : sianosis (-)

d.

Thoraks : dinding dada simetris, gerak nafas simetris, laju nafas 44 kali/menit, retraksi dining dada (-), pernafasan thorakoabdominal, iktus cordis tidak tampak.

Inspeksi

Palpasi

: ketinggalan gerak (-), iktus cordis kuat angkat.

Auskultasi : Cor: bunyi jantung I dan II regular, heart rate 142 kali/menit, bising jantung (-) Pulmo: bronkovesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)

e.

Abdomen

Inspeksi: simetris, dinding perut sejajar dengan dinding thoraks Auskultasi: peristaltic usus (+) Palpasi: Supel

f.

Anogenital

Inspeksi: Laki-laki, anus (+).

g.

Antropometri

Berat Badan: 2900 gram Panjang Badan: 45 cm

6

Lingkar Kepala: 32 cm Lingkar Dada: 30 cm

1.4.

Pemeriksaan Penunjang

a.

Pemeriksaan Darah Rutin

Jenis Pemeriksaan HEMATOLOGI Hemoglobin Eritrosit Hematokrit MCV MCH MCHC Lekosit Trombosit RDW-CV MPV Hitung Jenis Netrofil MDX Limfosit Masa Pembekuan/CT Masa

Hasil 16.3 4.50 48.6 108.1 36.2 33.5 12.0 350 16.2 8.8 26.5 9.4 64.1 2.00 3.00

Unit g/dL juta/L % fL Pg g/dL ribu/L ribu/L % fL % % % menit menit

Nilai Normal 12.7-18.7 4.1-5.3 42-62 84-128 26-38 26-34 6-17.5 150-450 11.5-14.5 7.2-11.1 40-74 4-18 19-48 1-3 1-6

Perdarahan/BT Golongan Darah O KIMIA KLINIK Gula Darah 77 Sewaktu1.5.

mg/dL

30-60

Diagnosis

7

Neonatus, Laki-laki, BBLC, CB, SMK; Lahir SCTP Emergency atas indikasi KPD 8 jam, hipertensi, diabetes mellitus, infertile 18 tahun; Asfiksia sedang1.6.

Terapi

-

ASI on demand Injeksi Ampisilin 125 mg/12 jam Injeksi Vitamin K1 mg 1 (i.m)

1.7.

Perjalanan Penyakit

Tanggal DPH II

Perjalanan Penyakit S: Minum: 7x (220 cc) Kebutuhan: 203 cc BAB: 6x (5x meconium) BAK: -

Terapi Tx: ASI on demand Injeksi Ampisilin 125mg/12 jam Mx:

O: KU: Sadar, tangis kuat, Termoregulasi gerak aktif Laju Nadi: 138x/menit Laju Nafas: 40x/menit DPH III Suhu: 36,70c perectal S: Minum: 11x (320 cc) Kebutuhan: 232 cc BAB: 2x BAK: 4x 1x kateter 5cc, post kompres Mx: air hangat dan air dingin 1 Termoregulasi jam Kebutuhan Cairan Edukasi: Motivasi ASI eksklusif (6 bulan) Tx: ASI on demand Injeksi Ampisilin 125mg/12 jam Kebutuhan Cairan

8

O: KU: Sadar, tangis kuat, Edukasi: gerak aktif Laju Nadi: 140x/menit Laju Nafas: 44x/menit Suhu: 36,50c perectal DPH IV GDS: 112 mg/dl S: Minum: 8x (250 cc) Kebutuhan: 261 cc BAB: 7x BAK: 6x Mx: O: KU: Sadar, tangis kuat, Termoregulasi gerak aktif Laju Nadi: 140x/menit Laju Nafas: 40x/menit Suhu: 36,30c perectal Edukasi: Motivasi ASI eksklusif (6 bulan) Kebutuhan Cairan Tx: ASI on demand Injeksi Ampisilin 125mg/12 jam Motivasi ASI eksklusif (6 bulan)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.2. Asfiksia 2.2.1. Definisi

9

Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Menurut American College of Obstetricans and Gynecologists (ACOG) dan American Academy of Pediatrics (AAP), seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut. (2) a. Nilai Apgar menit kelima 0-3. b. Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (ph < 7.0). c. Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma). d. Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal). e. Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang dan ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang mengalami episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan utama.(2)

2.2.2. Etiologi Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin akan terjadi asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir.(3) Penyebab kegagalan pernafasan pada bayi, yang terdiri dari: 1. Faktor Ibu a. Hipoksia ibu

10

Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anastesia dalam. b. Gangguan aliran darah uterus Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya oksigen ke plasenta dan demikian pula ke janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan:-

Gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni atau tetani uterus akibat penyakit atau obat.

-

Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan. Hipertensi pada penyakit eklampsia dan lain-lain.

2. Faktor Plasenta Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta, dan lain-lain. 3. Faktor Fetus Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah umbulikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada kelainan tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat janin dan jalan lahir, dan lain-lain. 4. Faktor Neonatus Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal, sebagai berikut: a. Pemakaian obat anastesia/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernapasan janin.

11

b. Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan intrakranial. c. Kelainan kongenital pada bayi misalnya hernia diafragmatika,

atresi/stenosis saluran pernapasan, hipoplasia paru, dan lain-lain.(1)

2.2.3. Klasifikasi

Klasifikasi asfiksia neonatorum dibagi berdasarkan tingkat keparahan asfiksia yang dinilai berdasarkan skor apgar. Nilai Apgar ditemukan pada tahun 1952 oleh seorang obstetrical anesthesiologist bernama dr. Virginia Apgar di Sloane Hospital for Women, New York.(3) Skor apgar ini biasanya dinilai 1 menit setelah bayi lahir lengkap, yaitu pada saat bayi telah diberi lingkungan yang baik serta telah dilakukan pengisapan lendir dengan sempurna. Skor apgar 1 menit ini menunjukkan beratnya asfiksia yang diderita dan baik sekali sebagai pedoman untuk menentukan cara resusitasi. Skor apgar perlu pula dinilai setelah 5 menit bayi lahir, karena hal ini mempunyai korelasi yang erat demgan morbiditas dan mortalitas neonatal.(2)

Skor Apgar (1) Tanda Warna kulit (Appearance) Frekuensi jantung (Pulse) Refleks (Grimace) Tonus otot Tidak ada Lumpuh Gerakan sedikit Ekstremitas Menangis Gerakan aktif Tidak ada Nilai 0 Biru/pucat Nilai 1 Tubuh kemerahan, ekstremitas biru 100x/menit

12

(Activity) Usaha bernafas (Respiration)

Tidak ada

fleksi sedikit Lambat

Menangis kuat

Asfiksia neonatorum dapat dibagi sebagai berikut: 1. Tidak asfiksia, yaitu skor Apgar menit pertama antara 8 - 10. 2. Asfiksia ringan, yaitu skor Apgar menit pertama antara 7. 3. Asfiksia sedang, yaitu skor Apgar menit pertama antara 4 - 6. 4. Asfiksia berat, yaitu skor Apgar menit pertama antara 0 - 3.

2.2.4. Patofisiologi Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta. Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama oksigen. Pada saat bayi mengambil napas pertama, udara memasuki alveoli paru dan cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru. Pada napas kedua dan berikutnya, udara yang masuk alveoli bertambah banyak dan cairan paru diabsorpsi sehingga kemudian seluruh alveoli berisi udara yang mengandung oksigen. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli. Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan

13

udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang. Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh. Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan.(2),(4)

Kesulitan yang dialami bayi selama masa transisi Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan atau setelah lahir. Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum atau selama persalinan, biasanya akan menimbulkan gangguan pada aliran darah di plasenta atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi frekuensi jantung janin. Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan dengan jalan napas dan paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan cairan atau benda asing seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk ke dalam paru mengakibatkan hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia akan menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik). Selain itu

14

kekurangan oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di paru-paru akan mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga terjadi penurunan aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan. Aliran darah paru meningkat secara dramatis. Hal ini disebabkan ekspansi paru yang membutuhkan tekanan puncak inspirasi dan tekanan akhir ekspirasi yang lebih tinggi. Ekspansi paru dan peningkatan tekanan oksigen alveoli, keduanya, menyebabkan penurunan resistensi vaskuler paru dan peningkatan aliran darah paru setelah lahir. Aliran intrakardial dan ekstrakardial mulai beralih arah yang kemudian diikuti penutupan duktus arteriosus. Kegagalan penurunan resistensi vaskuler paru menyebabkan hipertensi pulmonal persisten (Persisten Pulmonary Hypertension of the Neonate) pada bayi baru lahir, dengan aliran darah paru yang inadekuat dan hipoksemia relatif. Ekspansi paru yang inadekuat menyebabkan gagal napas.(5)

Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam paru-parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan insterstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah arteri sistemik tidak mendapat oksigen. Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organorgan vital. Walaupun demikian, jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung, penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan

15

organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen; bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan; takipnu (pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru; dan sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah. (4)

2.2.5. Penatalaksanaan (4), (6)

Tujuan

utama

mengatasi

asfiksia

ialah

untuk

mempertahankan

kelangsungan hidup bayi dan membatasi gejala sisa yang mungkin timbul di kemudian hari. Tindakan yang dikerjakan pada bayi lazim disebut resusitasi bayi baru lahir. Penilaian awal dilakukan pada setiap bayi baru lahir untuk menetukan apakah tindakan resusitasi harus segera dimulai. Segera setelah lahir dilakukan penilaian pada semua bayi dengan cara melihat: 1. Apakah bayi lahir cukup bulan? 2. Apakah air ketuban jernih dan tidak bercampur mekonium? 3. Apakah bayi bernapas adekuat atau menangis? 4. Apakah tonus otot baik? Apabila semua jawaban diatas Ya, berarti bayi baik dan tidak memerlukan tindakan resusitasi. Pada bayi ini segera dilakukan Asuhan Bayi16

Normal. Bila salah satu atau lebih jawaban tidak, bayi memerlukan tindakan resusitasi segera. 1). Langkah awal dalam stabilisasi a. Memberikan kehangatan Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh tubuh. b. Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi menghidu agar posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus yang akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup atau untuk pemasang an pipa endotrakeal. c. Membersihkan jalan napas sesuai keperluan Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia aspirasi. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi mekonium. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi tanpa mekoneum. d. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang benar Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan mengeringkan akan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan.

17

Bila setelah posisi yang benar, penghisapan sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat, maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok punggung, tubuh dan ekstremitas bayi. 2). Ventilasi tekanan positif Setelah dilakukan langkah awal resusitasi, ventilasi tekanan positif harus dimulai bila bayi tetap apnea setelah stimulasi atau pernapasan tidak adekuat, dan/atau frekuensi jantung memadai tetapi sianosis sentral, bayi diberi oksigen aliran bebas. Bila setelah ini bayi tetap sianosis, dapat dicoba melakukan ventilasi tekanan positif. 3). Pemberian Oksigen Bila bayi masih terlihat sianosis sentral, maka diberikan tambahan oksigen. Pemberian oksigen aliran bebas dapat dilakukan dengan menggunakan sungkup oksigen, sungkup dengan balon tidak mengembang sendiri, T-piece resuscitator dan selang/pipa oksigen. Pemberian oksigen 100% tidak dianjurkan pada bayi kurang bulan karena dapat merusak jaringan. Penghentian pemberian oksigen dilakukan secara bertahap bila tidak terdapat sianosis sentral lagi yaitu bayi tetap merah atau saturasi oksigen tetap baik walaupun konsentrasi oksigen sama dengan konsentrasi oksigen ruangan. Bila bayi kembali sianosis, maka pemeberian oksigen perlu dilanjutkan sampai sianosis sentral hilang. Kemudian secepatnya dilakukan pemeriksaan gas darah arteri dan oksimetri untuk menyesuaikan kadar oksigen mencapai normal. 4). Kompresi dada Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik. Kompresi dada dilakukan dengan menekan sternum menggunakan 1 jempol atau 2 jari tegak lurus di linea parasentralis kiri sedalam 1/3 diameter anteroposterior rongga dada

18

dengan 3 kali penekanan dan 1 kali ventilasi dalam 2 detik (45 kali kompresi dada dan 15 kali ventilasi selama 30 detik). 5). Terapi Medikamentosa a. Epinefrin 1:10.000 Dosis : 0,1-0,3 ml/kg berat badan atau 0,01-0,03 mg/kg berat badan diberikan secara cepat, dilarutkan dengan larutan NaCl 0,9% menjadi 1-2 ml bila secara endotrakea. b. Cairan penambah volume darah (plasma expander) Dosis awal 10 ml/kg dengan kecepatan 5-10 menit secara intravena. Bila bayi menunjukkan perbaikan yang minimal setelah pemberian dosis pertama, dapat dberikan dosis tambahan lagi 10 ml/kg. c. Nalokson Dosis : 0,1 mg/kg diberikan secara intravena atau intramuskular. d. Natrium Bikarbonat Dosis : 1-2 mEq/kg diberikan secara intravena setelah ventilasi dan perfusi adekuat dicapai, diberikan dalam kira-kira 2 menit yaitu 1 mEq/kg/menit.(5)

2.2. Bayi Lahir dengan Ibu Diabetes Mellitus Kehamilan dengan diabetes dihubungkan dengan peningkatan morbiditas pernatal. Bayi dari ibu diabetes mempunyai permasalahan yang unik dan membutuhkan penanganan khusus. (7), (8) 1. Makrosomia Batasan makrosomia adalah bayi yang dilahirkan dengan berat badan lebih dari 4000 gr. Dari berbagai penelitian didapatkan kesan bahwa hiperinsulinemia dan peningkatan penggunaan zat makanan bertanggung jawab pada peningkatan

19

ukuran badan janin, hipotesis perdersen menyebutkan bahwa hiperglikemia maternal merangsang hiperinsulinemia janin dan makrosomia. Komplikasi dari persalinan pervaginam pada bayi makrosomia bisa dihindari bila ukuran janin diketahui lebih dulu dengan pemeriksaan USG. Persalinan pervaginam harus dipertimbangkan baik-baik mengingat besarnya resiku terjadinya distosia bahu. Namun demikian bila dipertimbangkan tindakan SC dikerjakan untuk berat janin lebih dari 4000 gram maka angka SC akan mencapai 50% pada ibu diabetes yang tergantung insulin. 2. Kematian Janin dalam rahim Kadar glukosa maternal yang tidak stabil bisa menyebabkan terjadinya janin mati dalam rahim, yang merupakan kejadian khas pada ibu dengan diabetes. Janin yang terpapar hiperglikemia cendrung mengalami asfiksia dan sidosis walaupun mekanisme yang pasti belum jelas, tetapi diduga keto-asidosis mempunyai hubungan yang erat dengan matinya janin. Bila kadar glukosa darah meternal dalam batas normal, kematian janin dalam rahim jarang terjadi. Hiperinsulinemia yang terjadi pada janin akan meningkatkan kecepatan metabolisme dan keperluan oksigen untuk menghadapi keadaan-keadaan seperti hiperglikemia, keto-asidosis, pre-eklampsia dan penyakit vaskuler yang dapat menurunkan aliran darah utero-plasenter serta oksigenasi janin. Frekuensi janin mati dalam rahim atau bayi lahir mati berkisar antara 1520%. Usaha untuk menghindari kematian janin tiba-tiba dalam rahim yaitu dengan melakukan terminasi kehamilan beberapa minggu sebelum aterm. Tetapi tindakan ini sering menimbulkan mortalitas neonatal karena prematuritas iatrogenik. 3. Sindrom gawat napas Persalinan prematus umumnya dihubungkan dengan timbulnya sindroma gawat napas (SGN) yang sering akibat penyakit membran hialin. Penyakit membran hialin pada bayi dari ibu diabetes bukan karena prematuritas, tetapi juga karena maturasi paru yang terlambat akibat hiperinsulinemia janin yang menghampat produksi surfaktan. Hiperinsulinemia juga menggangu pengaruh pematang paru dari kortisol. Termasuk dalam usaha pencegahan terjadinya SGN adalah kontrol metabolisme glukosa dengan hati-hati, persalinan spontan saat aterm, persalinan

20

pervaginam dan monitor janin selama kehamilan lebih awal (misalnya karena retardasi pertumbuhan, gawat janin) memungkinkan dan paru-paru belum matang pada uji cairan amnion, maka pemberian kortikosteroid, TRH (Thyroid Releasing Hormone) atau tiroksin intraamnion dapat memerlukan pengawasan ketat terhadap glukosa meternal dan adanya hiperinsulinemia. 4. Malformasi kongenital Malformasi kongenital merupakan salah satu penyebab utama dari mortalitas pernatal pada kehamilan dengan diabetes, yaitu sekitar 30 sampai 40% dari semua mortalitas perinatal. Insidens malformasi kongenital sekitar 7,5 12,9% dari kehamilan dengan diabetes. Malformasi congenital tersebut adalah: Kardiovaskuler Skeleta Sindroma regresi kaudal Spina bifida Ginjal absen (sindroma potter) Ginjal polikistik Ureter ganda Fistula trakheoesofageal Atresia saluran cerna Transposisi pembuluh darah besar Defek septum ventrikel Defek septum atrium Ventrikel kiri hipoplastik Situs invesus Anomali aorta Anensefali Ensefalokel Meningomielokel Mikrosefali

Sistem syaraf pusat

Genitourinaria

Gastrointestinalis

21

Mekanisme yang pasti bagaimana malformasi tersebut bisa terjadi, belum jelas benar. Dari penelitian terhadap binatang dan ibu hamil diperoleh hubungan antara beberapa kondisi atau keadaan dengan terjadinya malformasi kongenital. 5. Abnormalitas metabolisme neonatus Hiperinsulinemia akan menekang glukoneogenesis dan glikogenolisis janin. Kadar glukosa normal pada bayi aterm diatas 30-35 mg% dan bayi preterm diatas 20-25 mg%. Glukosa menurun sampai kadar yang rendah 1 -1 jam setelah kelahiran. Bila didapatkan hipoglikemia pada bayi yang dilahirkan, pengobatannya ialah dengan penyuntikan glukosa 20% 4 ml/kg bb, kemudian disusul dengan pemberian infus glukosa 10%. Oleh karena bahaya hipoglikemia pada bayi baru lahir dari ibu diabetes, maka pengawasan glukosa neonatal sangat penting. Early feeding membantu mencegah terjadinya hipoglikemia. Hipokalsemia bisa terjadi pada hari ke 2-3 kehidupan, yang umumnya asimtomatik. Polisitemia biasanya bersamaan dengan hiperviskositas yang dihubungkan dengan hipoksia yang merangsang eritropoietin dan pada akhirnya merangsang eritropoesis. Sedang hiperbilirubinemia dihubungkan dengan polisitemia yang disertai peningkatan break down dan turn over sel darah merah.(7) Penatalaksanaan (7),(8) Masalah bayi baru lahir dengan ibu diabetes mellitus adalah terjadinya hipoglikemia di hari pertama. Hipoglikemia adalah bila kadar glukosa darah kurang dari 45 mg/dL (2,6 mmol/L) a. Glukose darah kurang 25 mg/dL (1,1 mmol/L) atau terdapat tanda Hipoglikemi.

22

b. Glukose darah 25 mg/dL (1,1 mmol/L) - 45 mg/dL (2,6 mmol/L) tanpa tandaHipoglikemia.

Pengelolaan Hipoglikemia a. Glukose darah kurang 25 mg/dL (1,1 mmol/L) atau terdapat tanda hipoglikemia Pasang jalur IV jika belum terpasang. Berikan glukose 10% 2 mL/kg secara IV bolus pelan dalam lima menit. Jika jalur IV tidak dapat dipasang dengan cepat, berikan larutan glukose melalui pipa lambung dengan dosis yang sama. Infus glukose 10% sesuai kebutuhan rumatan. Periksa kadar glukose darah satu jam setelah bolus glukose dan kemudian tiap tiga jam: Jika kadar glukose darah masih kurang 25 mg/dL (1,1 mmol/L), ulangi pemberian bolus glukose seperti tersebut di atas dan lanjutkan pemberian infus Jika kadar glukose darah 25-45 mg/dL (1,1-2,6 mmol/L), lanjutkan infus dan ulangi pemeriksaan kadar glukose setiap tiga jam sampai kadar glukose 45 mg/dL (2,6 mmol/L) atau lebih ; Anjurkan ibu menyusui. Bila bayi tidak dapat menyusui, berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum. Bila kemampuan minum bayi meningkat turunkan pemberian cairan infus setiap hari secara bertahap. Jangan menghentikan infus glukose dengan tiba-tiba. b. Glukose darah 25 mg/dL (1,1 mmol/L)-45 mg/dL (2,6 mmol/L) tanpa tanda Hipoglikemia Anjurkan ibu menyusui. Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum.

23

Pantau tanda hipoglikemia dan bila dijumpai tanda tersebut, tangani seperti tersebut di atas. Periksa kadar glukose darah dalam tiga jam atau sebelum pemberian minum berikutnya : Jika kadar glukose darah kurang 25 mg/dL (1,1 mmol/L), atau terdapat tanda hipoglikemia, tangani seperti tersebut di atas; Jika kadar glukose darah masih antara 25-45 mg/dL (1,1-2,6 mmol/L), naikkan frekuensi pemberian minum ASI atau naikkan volume pemberian minum dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum; Jika kadar glukose darah 45 mg/dL (2,6 mmol/L) atau lebih, lihat tentang frekuensi pemeriksaan kadar glukose darah di bawah ini. Bila bayi berumur kurang 3 hari, amati sampai umur 3 hari, periksa kadar glukose pada: saat bayi datang atau pada umur 3 jam; tiga jam setelah pemeriksaan pertama, kemudian tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai kadar glukose dalam batas normal dalam 2 kali pemeriksaan berturutturut. Bila bayi berumur 3 hari atau lebih dan tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit, bayi dapat dipulangkan. 2.3. Ibu dengan Kecurigaan Infeksi Intra Uterin Tanda-tanda ibu yang diduga mengalami infeksi dalam kandungan yang dapat berakibat infeksi atau bakteriemi pada bayinya adalah bila: (1)-

Ibu mengalami panas tubuh lebih atau sama dengan 380C selama proses persalinan sampai 3 hari pasca persalinan.

-

Cairan ketuban hijau keruh atau berbau busuk. Cairan ketuban pecah 18 sampai 24 jam sebelum bayi lahir. Ketuban pecah pada saat umur kehamilan baru menginjak 37 minggu.

24

Pada keadaan tersebut, BBL sangat rawan terhadap terjadinya infeksi yang dapat mengancam jiwanya, karena bayi tersebut dapat menderita sepsis. Perubahan neonatus ke arah kondisi yang buruk berlangsung sangat cepat. Apabila suatu sebab, keluarga meminta pulang sebelum waktunya, pengawasan yang perlu dilakukan oleh keluarga terhadap bayi adalah:-

Pernapasan bayi menjadi cepat Bayi lethargi Hipotermi atau panas Muntah setiap minum Kembung, merintih

Manajemen: (1)-

Bayi umur lebih dari 3 hari tanpa melihat umur kehamilan, tidak perlu antibiotika.

-

Nasehati ibu agar segera membawa bayinya kembali bila ada tanda sepsis Bayi berumur 3 hari atau kurang, dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk kultur/kultur kuman dan uji sensitivitas Obati sesuai umur kehamilan seperti di bawah ini:

Bayi 35 minggu / 2000 gram

Bayi < 35 minggu / < 2000 gram

25

Infeksi Ibu KPD / Berikan antibiotika Kultur Stop antibiotika Kultur teruskan antibiotika Kultur tidak dilakukan, Infeksi

KPD Kultur Infeksi Ibu antibiotika 5 hari Kultur Infeksi Ibu antibiotika 3 hari Kultur Infeksi bayi manajemen sepsis Kultur tidak dilakukan, Infeksi bayi antibiotika stop setelah 5 hari antibiotika

bayi antibiotika stop 5 hari, amati 24 jam KPD Infeksi Ibu Tidak perlu antibiotika Amati tiap 4 jam sampai 48 jam : Bila infeksi bayi pulang Bia infeksi bayi antibiotika Bila kultur tidak dilakukan, bayi baik, pulang setelah umur 3 hari

BAB III PEMBAHASAN Bayi lahir dari seorang ibu GIIP0AI, jenis kelamin laki-laki, dengan tindakan SCTP Emergency atas indikasi KPD 8 jam, hipertensi, diabetes mellitus, infertile 18 tahun, umur kehamilan 40 minggu, air ketuban jernih, tali pusat segar, asfiksia sedang. Nilai asfiksia sedang dari kasus ini adalah diambil dari nilai apgar pada menit 1 yaitu 6. Penilaian awal pada nilai apgar untuk menentukan dimulainya tindakan resusitasi. Bayi baru lahir dengan asfiksia memerlukan

26

tindakan resusitasi yaitu dengan langkah awal memberikan kehangatkan, memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepala, membersihkan jalan nafas dengan hisap lendir pada bagian mulut dan hidung, mengeringkan bayi, memberikan rangsangan taktil untuk merangsang pernafasan pada bayi. Penyebab asfiksia sedang pada kasus ini dapat disebabkan dari faktor ibu yaitu penyakit hipertensi yang diderita sebelum kehamilan. Hipertensi dapat menyebabkan gangguan aliran darah uterus, sehingga mengurangi aliran pula ke janin. Pada kasus ini diagnosis bayi baru lahir adalah neonatus, laki-laki, BBLC, CB, SMK; Lahir SCTP Emergency atas indikasi KPD 8 jam, hipertensi, diabetes mellitus, infertile 18 tahun; Asfiksia sedang. BBLC dilihat dari berat badan bayi lahir adalah 2900 gram, dimana berat badan normal bayi baru lahir adalah 2500 3500 gram. CB dilihat dari umur kehamilan ibu, pada kasus ini umur kehamilan ibu cukup bulan yaitu 40 minggu. SMK dilihat dari kurva yang menunjukkan umur kehamilan ibu dengan berat badan bayi lahir, pada umur kehamilan 40 minggu, berat bayi yang sesuai masa kehamilan adalah 2600 3750 gram, maka pada kasus ini sesuai masa kehamilan. Bayi lahir dari ibu KPD 8 jam, dengan air ketuban jernih. Pada kasus ini tidak terjadi infeksi intra uterin pada ibu. Tanda-tanda ibu yang diduga mengalami infeksi dalam kandungan yang dapat berakibat infeksi atau bakteriemi pada bayinya adalah apabila ibu mengalami panas tubuh lebih atau sama dengan 380C selama proses persalinan sampai 3 hari pasca persalinan, cairan ketuban hijau keruh atau berbau busuk, cairan ketuban pecah 18 sampai 24 jam sebelum bayi lahir, ketuban pecah pada saat umur kehamilan baru menginjak 37 minggu. Pada bayi juga tidak terjadi infeksi, hal ini dilihat dari pemeriksaan darah rutin, dengan jumlah lekosit bayi dalam batas normal yaitu 12.000/. Bayi lahir dari ibu yang menderita diabetes mellitus sangat berisiko terjadi hipoglikemia. Terjadinya hipoglikemia pada bayi dengan ibu DM karena terjadi transfer glukosa yang berlebihan pada janin sehingga respons insulin juga meningkat pada janin. Saat lahir dimana jalur plasenta terputus maka transfer glukosa berhenti sedangkan respon insulin masih tinggi (transient hiperinsulinism) darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya oksigen ke plasenta dan demikian

27

sehingga terjadi hipoglikemia. Pada kasus ini GDS bayi saat lahir adalah 77 mg/dl dan saat umur 3 hari adalah 112 mg/dl, tidak terjadi hipoglikemia pada pasien ini.

DAFTAR PUSTAKA1. Indarso, Fatimah, dr, Sp.A(K). 2009. Penatalaksanaan Bayi Baru Lahir dari

Ibu yang bermasalah. Bag. Ilmu Kesehatan Anak FK Unair, RSU Dr. Soetomo. Surabaya2. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses

Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC

28

3. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. 2004. Buku panduan

manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI: Jakarta.4. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan

pelayanan obstetri Neonatal Emergensi Dasar. Jakarta: Depkes RI5. Hegar, Badriul., Pudjiadi, Antonius., 2010. Pedoman Pelayanan Medis.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta6. Behrman, Richard E., Kliegman, Robert M., 2000. Ilmu Kesehatan Anak

Nelson, Edisi 15, Volume 3. EGC. Jakarta7. Syamhudi, Budi. Bayi dari Ibu dengan Diabetes Mellitus. Laboratorium Ilmu Kesehatan

Anak FK Universitas Sriwijaya Palembang. Diunduh pada tanggal 10 Januari 2012.8. Boedjang, Rahmat F. 2002. Bayi dari Ibu Diabetes Melitus dalam Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Anak Jilid I. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta9. Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk

Pendidikan Kebidanan. Salemba Medika. Jakarta.

29