mangrove

35
34 Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1. ANALISA 4.1.1. Kondisi Kawasan Mangrove di Pesisir Pantai Timur Kabupaten Serdang Bedagai Kawasan mangrove di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai tersebar di lima wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan, Pantai Cermin, Perbaungan, Teluk Mengkudu, Tanjung Beringin dan Bandar Khalipah. Dari keseluruhan kawasan mangrove seluas 3.691,6 hektar yang berada di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai, maka kondisi kawasan mangrove tersebut saat ini, seluas 919,89 hektar (24,8%) termasuk masih dalam kondisi baik. Sebagian lain dari kawasan mangrove tersebut telah mengalami kerusakan dengan tingkatan yang berbeda. Wilayah seluas 576,49 hektar (15,6%) termasuk dalam kategori rusak sedang dan seluas 2.204,22 (59,6%) berada dalam kondisi rusak berat. Dari hasil studi literatur dan cross check pengamatan di lapangan diidentifikasi 9 (Sembilan) jenis mangrove yang ada dikawasan mangrove Kabupaten Serdang Bedagai, yaitu jenis: nipah (Nypa fruticans), api-api (Avicennia marina, Avicennia lanata), perepat (Sonneratia alba), Tanjang (Bruguiera cylindrical), Bakau (Rhizophora apiculata), Waru (Hibiscus tiliaceus), Truntun (Lumnitzera littorea), Buta-buta (Excoecaria agallocha) dan Lenggade. Yang paling banyak dijumpai di lokasi kajian adalah mangrove jenis api-api (Avicennia marina, Avicennia lanata) dan jenis Bakau (Rhizophora apiculata).

Upload: natazsa-puri-gracia

Post on 21-Nov-2015

38 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

all about mangrove

TRANSCRIPT

  • 34

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    BAB IV

    ANALISA DAN PEMBAHASAN

    4.1. ANALISA

    4.1.1. Kondisi Kawasan Mangrove di Pesisir Pantai Timur Kabupaten

    Serdang Bedagai

    Kawasan mangrove di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai tersebar di

    lima wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan, Pantai Cermin, Perbaungan, Teluk

    Mengkudu, Tanjung Beringin dan Bandar Khalipah. Dari keseluruhan kawasan

    mangrove seluas 3.691,6 hektar yang berada di wilayah Kabupaten Serdang

    Bedagai, maka kondisi kawasan mangrove tersebut saat ini, seluas 919,89

    hektar (24,8%) termasuk masih dalam kondisi baik. Sebagian lain dari kawasan

    mangrove tersebut telah mengalami kerusakan dengan tingkatan yang berbeda.

    Wilayah seluas 576,49 hektar (15,6%) termasuk dalam kategori rusak sedang

    dan seluas 2.204,22 (59,6%) berada dalam kondisi rusak berat.

    Dari hasil studi literatur dan cross check pengamatan di lapangan

    diidentifikasi 9 (Sembilan) jenis mangrove yang ada dikawasan mangrove

    Kabupaten Serdang Bedagai, yaitu jenis: nipah (Nypa fruticans), api-api

    (Avicennia marina, Avicennia lanata), perepat (Sonneratia alba), Tanjang

    (Bruguiera cylindrical), Bakau (Rhizophora apiculata), Waru (Hibiscus tiliaceus),

    Truntun (Lumnitzera littorea), Buta-buta (Excoecaria agallocha) dan Lenggade.

    Yang paling banyak dijumpai di lokasi kajian adalah mangrove jenis api-api

    (Avicennia marina, Avicennia lanata) dan jenis Bakau (Rhizophora apiculata).

  • 35

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    Gambar 4.1. Kondisi Kawasan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    Sumber: Hasil Survey Lapangan

    Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar

    yang kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata

    tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat

    (Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih

    tenang hidup api-api hitam (Avicennia alba) di zona terluar atau zona pionir ini. Di

    bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui

    campuran bakau R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.) dan

    lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui

    nipah (Nypa fruticans) maupun pidada (Sonneratia caseolaris). Pada bagian

    yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan kayu buta-buta (Excoecaria

    agallocha) maupun truntun (Lumnitzera littorea).

  • 36

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    4.1.2. Kondisi Spatial Biofisik Mangrove

    Informasi utama tentang kondisi spasial biofisik wilayah diekstraksi dari

    data indera jarak jauh/citra satelit, di antaranya adalah jenis penutupan lahan

    (land cover), keberadaan dan posisi lokasi, luasan dan tingkat kerapatan

    vegetasi. Berdasarkan hasil olahan data dengan menggunakan Sistem Informasi

    Geografis, diketahui bahwa jenis peruntukan lahan di kawasan pesisir Kabupaten

    Serdang Bedagai terdistribusi ke berbagai jenis peruntukkan, baik ekosistem

    mangrove maupun non ekosistem mangrove. Selain untuk kegiatan pemukiman,

    berbagai kegiatan budidaya terdapat di kawasan ini, seperti budidaya pertanian

    lahan basah, budidaya perkebunan, budidaya perikanan, dan sebagian lahan

    yang tidak produktif.

    Jenis penutupan lahan berupa vegetasi non kayu, masih terlihat rapat di

    wilayah Kecamatan Perbaungan dan dan Pantai Cermin. Sedangkan untuk jenis

    penutupan lahan berupa lahan terbuka hijau seperti pertanian, perkebunan dan

    lainnya hampir merata di seluruh bagian wilayah yang menjadi lokasi penelitian

    ini.

    Gambar 4.2. Kondisi Spasial Kawasan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Hasil Citra Ikonos

  • 37

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    4.1.3. Kondisi Umum Masyarakat Pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai

    Pada umumnya masyarakat pesisir memiliki mata pencaharian yang

    saling bertumpang tindih. Umumnya tingkat pendidikan masyarakat pesisir ini

    masih rendah dengan taraf ekonomi yang juga tergolong rendah. Sebagian besar

    masyarakat sekitar mangrove di sepanjang pantai timur Kabupaten Serdang

    Bedagai menggantungkan kehidupannya sebagai nelayan. Pada umumnya

    masyarakat pesisir memanfaatkan sumberdaya alam yang ada disekitar mereka

    untuk membuat tempat-tempat mereka bermukim.

    Namun seringkali kondisi ini dieksploitasi oleh pihak-pihak lain untuk

    kepentingan pihak tertentu. Hal ini disebabkan tingkat pemahaman, sumber daya

    manusia maupun perekonomian yang tergolong rendah. Seperti dalam

    pembukaan tambak, dulunya (sekitar era tahun 1970 s/d 1980) kawasan tersebut

    merupakan kawasan vegetasi mangrove yang pada saat itu merupakan tegakan

    tumbuhan dalam bentuk pohon. Pada saat itu masyarakat memang sudah mulai

    melakukan perambahan hutang mangrove untuk dimanfaatkan kayunya sebagai

    kayu bakar, namun perambahan yang dilakukan tidak sampai merusak pohon,

    apalagi lahan hutan mangrove. Kemudian kondisi ini berubah sekitar tahun 1982,

    dimana pada saat itu komoditi udang jenis Tiger merupakan komoditi yang

    menjadi primadona pada saat itu. Kegiatan budidaya udang jenis Tiger

    tersebut tumbuh menjamur di sekitar kawasan tersebut ditandai dengan

    pembuatan tambak-tambak di sekitar kawasan.

    Pembuatan tambak-tambak tersebut pada awalnya dilakukan oleh

    beberapa kelompok masyarakat dalam skala yang kecil, yang terdiri dari usaha

    rumah tangga petani atau beberapa kelompok masyarakat. Keinginan

    masyarakat pada saat itu muncul adalah karena faktor keuntungan yang lumayan

    menggiurkan dengan harga pemasaran pada saat itu. Pada saat panen tiba,

    dalam satu hektar lahan tambak bisa menghasilkan 5 ton udang. Waktu

    dibutuhkan untuk memelihara udang jenis Tiger ini adalah selama empat bulan,

    sedangkan dalam waktu satu tahun masyarakat petani tambak bisa melakukan

    penanaman bibit sebanyak dua kali, jadi bisa dibayangkan keuntungan

    masyarakat petani di kawasan tersebut pada saat itu, wajar apabila keinginan

    masyarakat sangat besar untuk melakukan usaha budidaya udang.

  • 38

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    Ketidakwajarannya adalah mereka memanfaatkan lahan yang seharusnya tidak

    dibenarkan untuk usaha budidaya tersebut, karena memang kawasan tempat

    mereka melakukan usaha budidaya tersebut adalah kawasan lindung. Kondisi ini

    terjadi adalah karena ketidakpahaman masyarakat akan pentingnya keberadaan

    jalur hijau dalam hal ini hutan mangrove.

    Gambar 4.3 Gambaran Umum Kondisi Masyarakat di Kabupaten Serdang Bedagai

    Sumber: Hasil Survey Lapangan

  • 39

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    4.2. PEMBAHASAN

    4.2.1. Potensi Pemanfaatan Mangrove Saat Ini

    Masyarakat sekitar mangrove di sepanjang pantai timur Kabupaten

    Serdang Bedagai sejak lama telah memanfaatkan berbagai potensi mangrove

    yang ada di sekitar mereka. Pada umumnya mereka memanfaatkan mangrove

    untuk mendapatkan potensi ekonominya. Pemanfaatan tersebut umumnya

    berupa mencarai kayu bakar dari hutan mangrove, membuat atap rumah,

    mencari kepiting dan kepah serta membuka tambak ikan.

    Pemanfaatan mangrove dilakukan oleh masyarakat tersebut sebagai

    pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan. Pemanfaatannya dilakukan secara

    sederhana dan masih bersifat tradisional. Hal ini terkait dengan rata-rata tingkat

    pendidikan masyarakat yang masih rendah dan menjadi salah satu faktor yang

    menyebabkan kurang maksimalnya pemanfaatan mangrove dengan cara yang

    lebih baik lagi

    Pemanfaatan Kayu Bakar

    Pemanfaatan dari hutan mangrove yang paling dominan dilakukan

    masyarakat adalah mengumpulkan kayu bakar. Pemanfaatan kayu bakar ini

    banyak dilakukan masyarakat dengan cara pengerjaannya yang relatif mudah,

    yaitu menggunakan peralatan sederhan seperti parang maupun kapak.

    Umumnya kayu bakar yang diambil adalah jenis kayu yang sudah tua atau mati.

    Tujuannya adalah untuk menjaga keberlangsungan tanaman muda dan juga

    mempermudah pengerjaan. Yang paling sering dimanfaatkan untuk kayu bakar

    adalah mangrove yang berjenis Bakau (Rhizophora apiculata) karena mudah

    terbakar.

  • 40

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    Gambar 4.4 Pemanfaatan Kayu Bakar dari Hutan Mangrove

    Sumber: Hasil Survey Lapangan

    Pemanfaatan Nipah untuk atap rumah

    Pemanfaatan nipah yang dijadikan sebagai atap rumah merupakan

    bentuk pemanfaatan lain yang dilakukan masyarakat sekitar hutan mangrove.

    Daun nipah yang diambil dari hutan kemudian dipotong dengan ukuran yang

    disesuaikan. Selanjutnya daun nipah tersebut dijalin dan digabungkan dengan

    yang lainnya dan dengan menggunakan batang daun nipah tersebut sebagai

    penopang/penahan daun itu kemudian dirajut agar kuat. Atap daun nipah ini

    dapat bertahan sekitar 1 (satu) tahun. Pembuatan atap dari jenis nipah ini dapat

    dilihat seperti pada gambar 4.5..

    Gambar 4.5. Kerajinan daun Nipah

    Sumber: Hasil Survey Lapangan

  • 41

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    Tambak

    Tambak yang dikelola masyarakat berada disekitar mangrove.

    Pembuatan tambak-tambak tersebut pada awalnya dilakukan oleh beberapa

    kelompok masyarakat dalam skala kecil yang terdiri dari usaha rumah tangga

    petani atau beberapa kelompok masyarakat. Keinginan masyarakat itu muncul

    karena faktor keuntungan yang lumayan menggiurkan karena pemasaran jenis

    udang tiger yang cukup tinggi. Pemanfaatan tambak udang cukup menjanjikan,

    hanya saja memerlukan modal yang cukup besar dan ketelatenan dari

    pengusaha tambak. Namun dalam pengelolaannya perlu tetap memperhatikan

    lingkungan sehingga tidak sampai menyebabkan kerusakan mangrove, serta

    menjaga kelestarian dengan mengkombinasikan tanaman di dalam tambak

    (Sylvofishery).

    Gambar 4.6 Pola Empang Parit (Sylvofishery)

    Sumber: Hasil Survey Lapangan

    Kepiting dan Kepah

    Kepiting dan kepah merupakan salah satu hasil hutan non kayu dari

    sekitar mangrove yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Cara penangkapan

    kepiting yang dilakukan masyarakat masih sangat tradisional dengan

    menggunakan galah yang dipasangi kait untuk mengeluarkan kepiting dari

    lubangnya. Sedangkan untuk kepah, dilakukan dengan cara mengumpulkannya

    begitu saja. Namun belakangan masyarakat sekitar mangrove mulai kesulitan

    mencari kepiting dan kepah karena sulit di dapat. Hal ini disebabkan kondisi fisik

  • 42

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    mangrove yang rusak sehingga kepiting dan kepah tidak berkembang biak

    dengan baik lagi. (tempat pemijahan tidak ada lagi).

    Gambar 4.7 Kepiting dan Kepah

    Sumber: Hasil penelusuran internet

    Kerajinan makanan

    Sebagian masyarakat yang berada di sekitar mangrove memanfaatkan

    dan mengelola mangrove dalam bentuk berbagai kerajinan makanan. Beberapa

    jenis mangrove dapat dikembangkan dan dikelola menjadi bahan makanan yang

    dikonversi ke dalam aneka makanan ringan dengan rasa yang baik, diantaranya

    adalah:

    Kerupuk Jeruju. Bahan kerupuk jeruju ini berasal dari jenis

    mangrove jeruju. Dalam proses pembuatannya daun jeruju tersebut di

    blender bersama dengan campuran tepung, pengharum serta bahan-

    bahan lain pembuatan makanan. Selanjutnya hasil campuran tadi

    dicetak untuk di kelola/dimasak menjadi makanan kering serta

    dikemas dalam bentuk kemasan yang rapi dan menarik. Kerupuk

    jeruju sebagai salah bentuk kerajinan makanan yang dimanfaatkan

    dari mangrove dapat di lihat seperti pada gambar 4.8 berikut ini.

  • 43

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    Gambar 4.8. Kerupuk Jeruju

    Sumber: Hasil Survey Lapangan

    Dodol Api-api. Bahan dodol api-api ini berasal dari jenis mangrove

    api-api (Avicennia). Dalam proses pembuatannya dengan

    memanfaatkan buah dari Avicennia sebagai bahan utama. Hanya saja

    dodol api-api tersebut masih memiliki kelemahan, yakni tidak tahan

    lama dan cepat berjamur. Pembuatannya masih bergantung pada

    pesanan/permintaan.

    Selai Perepat dan Sirup. Bahan pembuatan selai prepat dan sirup ini

    berasal dari jenis mangrove perepat (Sonneratia alba). Proses

    pembuatannya dengan memanfaatkan buah dari Sonneratia alba

    untuk dikelola menjadi selai maupun sirup.

  • 44

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    Gambar 4.9. Selai Perepat

    Sumber: Hasil Survey Lapangan

    4.2.2. Strategi Pengelolaan Potensi Mangrove

    Aspek industri rumah tangga. Mangrove memiliki beberapa

    keterkaitan bagi kebutuhan manusia baik sebagai penyedia bahan

    pangan, sandang, kesehatan dan juga lingkungan maupun sebagai

    penghasil bahan baku industri dan sebagainya. Hal ini senada dengan

    (Nugroho dkk, 1991) bahwa secara ekonomis hutan mangrove

    merupakan penyedia bahan bakar dan bahan baku industi. Beberapa

    jenis mangrove dapat digunakan sebagai bahan baku industri rumah

    tangga seperti atap dari daun nipah serta berbagai aneka makanan.

    Tanaman Bruguiera bisa dibuat menjadi makanan padat. Sedangkan

    jenis Sonneratia bisa dibuat makanan cair atau minuman. Buah ini

    dapat diolah menjadi sirup, dodol, kerupuk, jenang dan klepon dan

    tumbuhan ini adalah satu-satunya jenis tanaman di dunia yang

    buahnya mengandung yodium.

    Potensi yang dimiliki mangrove itu perlu dikembangkan dengan

    menjaga kelestarian jenis tumbuhan mangrove yang dapat

  • 45

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    dimanfaatkan oleh masyarakat dalam bentuk industri kerajinan rumah

    tangga menjadi lebih bernilai ekonomi melalui kerjasama dengan

    pihak terkait/stakeholder (dinas perindustrian, kelompok pengrajin dan

    lain-lain) melalui pemberian pelatihan-pelatihan ketrampilan, bantuan

    modal serta informasi pemasaran.

    Aspek perikanan. Secara umum fauna hutan mangrove membentuk

    pencampuran antara dua kelompok, yaitu kelompok fauna

    daratan/terrestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon

    mangrove yang terdiri atas insekta, ular primate dan burung. Dan

    yang kedua adalah kelompok fauna perairan/akuatik, yaitu yang hidup

    di kolam air, terutama berbagai jenis ikan dan udang (menempati

    substrak keras/akar dan batang pohon mangrove) dan kepiting dan

    kerang (menempati substrak lunak/lumpur). Hasil penelitian yang

    pernah dilakukan dengan memanfaatkan tambak tidak produktif di

    Delta Mahakam menunjukkan perlakuan tambak dan kelas ukuran

    berpengaruh terhadap pertumbuhan morfometrik (panjang cangkang,

    tinggi cangkang, tebal cangkang) dan biometrik (berat total).

    Pertumbuhan morfometrik dan biometrik kerang lebih cepat dan lebih

    baik pada tambak Rhizophora sp dari tambak tanpa vegetasi.

    Kelangsungan hidup kerang pada Rhizophora sp 100 %, sedangkan

    tambak tanpa vegetasi 90,12 %. Parameter lingkungan seperti suhu,

    oksigen terlarut, salinitas dan pH masih mendukung bagi

    perkembangan kerang kepah.

  • 46

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    Gambar 4.10.

    Diagram ilustrasi penyebaran fauna di habitat ekosistem mangrove

    Sumber : Irwanto,Keanekaragaman Fauna dan Habitat Mangrove, 2006

    Keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi produktivitas

    perikanan pada perairan bebas. Dalam mengakomodasi kebutuhan

    lahan dan lapangan pekerjaan, hutan mangrove dapat dikelola

    dengan model silvofishery atau empang parit yang dikaitkan dengan

    program rehabilitasi pantai dan pesisir.

    Kegiatan silvofishery berupa empang parit pada kawasan hutan

    mangrove, semula, empang parit ini hanya berupa parit selebar 4 m

    yang disisihkan dari tepi areal kegiatan reboisasi hutan mangrove,

    sehingga keluasannya mencapai 10-15% dari total area garapan.

    Jarak tanam 3 m x 2 m, dengan harapan 4-5 tahun pada akhir

    kontrak, tajuk tanaman sudah saling menutup (Wirdarmodjo dan

    Hamzah, 1984; Perum Perhutani Jawa Barat, 1984). Sejak tahun

    1990 dibuat sistem pola terpisah (komplangan) dengan 20 % areal

    untuk budidaya ikan dan 80% areal untuk hutan dengan pasang surut

    bebas.

    Dari sistem silvofishery semacam ini dengan pemeliharaan bandeng

    dan udang liar dapat dihasilkan keuntungan sebesar Rp 5.122.000,-

    /ha/tahun untuk 2 kali panen setiap tahun (Perum Perhutani, 1995).

  • 47

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    Dalam membandingkan pola silvofishery di Kabupaten Sinjai,

    Sulawesi Selatan, pola komplangan menunjukkan perbandingan

    relatif lebih baik daripada pola empang parit, baik dalam hal

    produktivitas perairan maupun pertumbuhan mutlak, kelangsungan

    hidup maupun biomassa bandeng yang dipelihara pada masing-

    masing pola (Sumedi dan Mulyadhi, 1996). Selisih pertumbuhan

    mutlaknya hanya 9,6 g sedangkan biomassanya 7,1 kg/m3.

    Hasil ini berbeda dengan penelitian Poedjirahajoe (2000) yang

    mengemukakan bahwa justru pola empang parit menghasilkan

    bandeng pada usia 3 bulan dengan berat rata-rata 1 kg lebih berat

    dibandingkan dengan pola komplangan. Namun demikian, kedua

    sistem ini turut membantu dalam meningkatkan income petani

    petambak. Masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove

    dengan sistem ini cukup besar. Data dari KPH Purwakarta

    menunjukkan bahwa dari luas areal mangrove seluas 14.535 ha dapat

    melibatkan sebanyak 4.342 KK dalam kegiatan silvofoshery

    (Perhutani Purwakarta, 2005). Data dari Badan Litbang Pertanian

    (1986) dalam Anwar (2005) menggambarkan bahwa kontribusi dari

    usaha budidaya tambak dengan luas total 208.000 ha dapat

    menghasilkan 129.279 ton ikan dan udang yang apabila ditaksir,

    nilainya melebihi dari Rp 138 milyar. Kegiatan ini pun dilaporkan

    dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 117.034 KK yang sudah

    barang tentu dapat memberikan penghasilan yang lebih baik bagi

    petani kecil. Dalam hal ini perlu adanya transformasi pengetahuan

    kepada masyarakat sekitar kawasan mangrove Kabupaten Serdang

    Bedagai untuk dapat menerapkan pola silvofishery melalui dinas

    terkait dalam ini dinas perikanan dan kelautan untuk meningkatkan

    pendapatan masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian hutan

    mangrove.

  • 48

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    Aspek pariwisata dan pendidikan

    Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan

    obyek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di

    peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa

    hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan

    langsung dari alam. Pantai Timur Pesisir Kabupaten Serdang

    Bedagai dengan areal mangrove seluas 3.691,6 ha memiliki peluang

    untuk dijadikan areal wisata mangrove.

    Dari keseluruhan kawasan mangrove seluas 3.691,6 hektar yang

    berada di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai dengan kondisi

    kawasan mangrove seluas 919,89 hektar (24,8%) termasuk masih

    dalam kondisi baik, 576,49 hektar (15,6%) termasuk dalam kategori

    rusak sedang dan seluas 2.204,22 (59,6%) berada dalam kondisi

    rusak berat masih memiliki peluang untuk dijadikan areal wisata

    mangrove.

    Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung

    bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu

    menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan

    menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti

    membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi

    pemandu wisata.

    Dengan mengangkat konsep pariwisata mangrove serdang bedagai

    dalam bentuk EMT (Ekowisata dan Mangrove Track) diharapkan

    kawasan ini menjadi salah satu destinasi wisata mangrove di

    sumatera utara yang dapat memberikan pendapatan langsung bagi

    pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu

    menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan

    menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti

    membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi

    pemandu wisata. Juga memberikan nilai edukasi terhadap

    pengunjung tentang keberadaan dan arti penting dari mangrove dan

  • 49

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    habitat yang tersedia di kawasan mangrove itu. Serta menjadi pusat

    kajian/penelitian dan informasi tentang mangrove dan ekosistemnya.

    Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu adanya dukungan sarana dan

    prasarana yang memadai dari dinas terkait, seperti penyediaan

    sarana dan prasarana transportasi (jalan wisata) dan air bersih oleh

    dinas tata ruang dan permukiman serta manajemen pengelolaan dan

    promosi oleh dinas pariwisata kabupaten serdang bedagai.

    Aspek kehutanan/lingkungan. Gunawan dan Anwar (2005)

    menemukan bahwa tambak tanpa mangrove mengandung bahan

    pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari perairan

    hutan mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak yang masih

    bermangrove (silvofishery). Saat ini sedang diteliti, di mana

    kandungan merkuri diserap (pohon mangrove, biota dasar perairan,

    atau pun ikan). Rusminarto et al. (1984) dalam pengamatannya

    melaporkan bahwa nyamuk Anopheles sp., nyamuk jenis vektor

    penyakit malaria, ternyata makin meningkat populasinya seiring

    dengan makin terbukanya pertambakan dalam areal mangrove. Ini

    mengindikasikan kemungkinan meningkatnya penularan malaria

    dengan makin terbukanya areal-areal pertambakan perikanan. Hal

    tersebut di atas mengindikasikan peranan penting mangrove terhadap

    lingkungan. Chairil Anwar dan Hendra Gunawan, 2007

    mengungkapkan peranan ekologis mangrove diantaranya berkaitan

    dengan :

    A. Mangrove dan Tsunami

    Fungsi dan manfaat mangrove telah banyak diketahui, baik

    sebagai tempat pemijahan ikan di perairan, pelindung daratan

    dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin,

    penyaring intrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat

    yang berbahaya bagi kehidupan, tempat singgah migrasi burung,

    dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat langsung lainnya

    bagi manusia. Musibah gempa dan ombak besar tsunami yang

  • 50

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias akhir

    tahun 2004 yang lalu telah mengingatkan kembali betapa

    pentingnya mangrove dan hutan pantai bagi perlindungan pantai.

    Dilaporkan bahwa pada wilayah yang memiliki mangrove dan

    hutan pantai yang relatif baik, cenderung kurang terkena dampak

    dari gelombang tsunami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

    ketebalan mangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30

    pohon/100 m dengan diameter batang 15 cm dapat meredam

    sekitar 50% energi gelombang tsunami (Harada dan Fumihiko,

    2003 dalam Diposaptono, 2005). Gelombang laut setinggi 1,09 m

    di Teluk Grajagan, Banyuwangi dengan energi gelombang

    sebesar 1.493,33 Joule tereduksi gelombangnya oleh hutan

    mangrove menjadi 0,73 m (Pratikno et al., 2002).

    Hasil penelitian Istiyanto et al. (2003) yang merupakan pengujian

    model di laboratorium antara lain menyimpulkan bahwa rumpun

    bakau (Rhizophora spp.) memantulkan, meneruskan, dan

    menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam

    perubahan tinggi gelombang tsunami melalui rumpun tersebut.

    Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan mangrove di

    sepanjang pantai dapat memperkecil efek gelombang tsunami

    yang menerjang pantai. Mazda dan Wolanski (1997) serta Mazda

    dan Magi (1997) menambahkan bahwa vegetasi mangrove,

    terutama perakarannya dapat meredam energi gelombang dengan

    cara menurunkan tinggi gelombang saat melalui mangrove.

    B. Mangrove dan Sedimentasi

    Hutan mangrove mampu mengikat sedimen yang terlarut dari

    sungai dan memperkecil erosi atau abrasi pantai. Erosi di pantai

    Marunda, Jakarta yang tidak bermangrove selama dua bulan

    mencapai 2 m, sementara yang berbakau hanya 1 m (Sediadi,

    1991). Dalam kaitannya dengan kecepatan pengendapan tanah di

    hutan mangrove, Anwar (1998) dengan mengambil lokasi

  • 51

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    penelitian di Suwung Bali dan Gili Sulat Lombok,

    menginformasikan laju akumulasi tanah adalah 20,6 kg/m/th atau

    setara dengan 14,7 mm/th (dominasi Sonneratia alba); 9,0 kg/m/th

    atau 6,4 mm/th (dominasi Rhizophora apiculata); 6,0 kg/m /th atau

    4,3 mm/th (bekas tambak); dan 8,5 kg/m/th atau 6,0 mm/th

    (mangrove campuran). Dengan demikian, rata-rata akumulasi

    tanah pada mangrove Suwung 12,6 kg/m/th atau 9 mm/th, sedang

    mangrove Gili Sulat 8,5 kg/m/th atau 6,0 mm/th. Data lain

    menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya pengendapan

    tanah setebal antara 6 sampai 15 mm/ha/th atas kehadiran

    mangrove. Informasi semacam ini sangat diperlukan guna

    mengantisipasi permasalahan sosial atas lahan timbul di

    kemudian hari.

    C. Mangrove dan Siklus Hara

    Penelitian tentang gugur daun telah cukup banyak dilakukan. Dari

    banyak penelitian menunjukkan gugur daun mangrove

    memberikan sumbangan unsur hara bagi flora dan fauna yang

    hidup di derah tersebut maupun kaitannya dengan perputaran

    hara dalam ekosistem mangrove. Salah satunya Sukardjo (1995)

    menyatakan hasil pengamatan guguran serasahnya sebesar

    13,08 ton/ha/th, yang setara dengan penyumbangan 2 kg P/ha/th

    dan 148 kg N/ha/th.

    D. Mangrove dan Intrusi Air Laut

    Mangrove juga mampu dalam menekan laju intrusi air laut ke arah

    daratan. Hasil penelitian Sukresno dan Anwar (1999) terhadap air

    sumur pada berbagai jarak dari pantai menggambarkan bahwa

    kondisi air pada jarak 1 km untuk wilayah Pemalang dan Jepara

    dengan kondisi mangrove-nya yang relatif baik, masih tergolong

    baik, sementara pada wilayah Semarang dan Pekalongan, Jawa

    Tengah sudah terintrusi pada jarak 1 km.

  • 52

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    E. Mangrove dan Keanekaragaman Hayati

    Mangrove memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis

    satwa liar. Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup

    tinggi, secara garis besar dapat dibagi dua kelompok, yaitu fauna

    akuatik seperti ikan, udang, kerang, dan lainnya serta kelompok

    terestrial seperti insekta, reptilia, amphibia, mamalia, dan burung

    (Nirarita et al., 1996). Selain itu hutan mangrove berperan sebagai

    habitat beberapa jenis burung yang dilindungi seperti pecuk ular

    (Anhinga anhinga melanogaster), bintayung (Freagata andrew-si),

    kuntul perak kecil (Egretta garzetta), kowak merah (Nycticorax

    caledonicus), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), ibis hitam

    (Plegadis falcinellus), bangau hitam (Ciconia episcopus), burung

    duit (Vanellus indicus), trinil tutul (Tringa guitifer), blekek asia

    (Limnodromus semipalmatus), gegajahan besar (Numenius

    arquata), dan trulek lidi (Himantopus himantopus) (Sutedja dan

    Indrabrata, 1992). Jenis-jenis burung Egretta eulophotes, kuntul

    perak (E. intermedia), kuntul putih besar (E. alba), bluwok (Ibis

    cinereus), dan cangak laut (Ardea sumatrana) juga mencari

    makan di dekat hutan mangrove (Whitten et al., 1988).

    Menyimak peran penting ekologis mangrove, perlu upaya untuk

    menjaga kelestarian serta memperbaiki (replanting) mangrove yang

    telah rusak maupun yang beralih fungsi tanpa memiliki izin dari

    pemerintah. Dan mengembangkan jenis mangrove serta

    memanfaatkannya secara selektif dan sistem tebang pilih terhadap

    nilai ekonomis yang dimilikinya. Dalam hal ini dibutuhkan sinergitas

    dinas kehutanan dan perkebunan dengan dinas kelautan dan

    perikanan serta lembaga kemasyarakatan dalam Gerakan Menanam

    Sejuta Mangrove (Gematama) yaitu dengan mengajak partisipasi

    masyarakat untuk melakukan penanaman sejuta mangrove yang

    difasilitasi oleh para stakeholder di atas.

  • 53

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    Gambar 4.11. Penanaman Mangrove

    Sumber: Hasil penelusuran internet

    4.2.3. Pemanfaatan Mangrove

    Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan.

    Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan

    mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat

    (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan

    pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka

    biota perairan, tempat berlindung dan berkembang biak berbagai jenis burung,

    mamalia, reptil maupun serangga serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan

    fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar,

    arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), penghasil keperluan

    industry (bahan baku kertas/pulp, tekstil, penyamak kulit, pewarna), dan

    penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kepah serta sebagai pariwisata,

    penelitian dan pendidikan (Santoso dan H.W. Arifin, 1998).

    4.2.3.1. Perikanan

    Perikanan pada umumnya merupakan sumber daya ekonomi yang

    paling utama di kawasan mangrove. Secara umum terlihat bahwa tambak yang

    ada di kawasan mangrove Kabupaten Serdang Bedagai menggunakan tambak

    intensif. Dimana pada tambak intensif semua tumbuhan mangrove dibersihkan,

    tumbuhan mangrove hanya disisakan ditepian tambak khususnya yang

    berbatasan dengan sungai untuk mencegah abrasi. Sementara apabila

  • 54

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    menggunakan sistem empang parit, luasan tambak dan luasan vegetasi

    mangrove yang disisakan relatif sama (Hartina, 1996) sehingga tetap

    memungkinkan tumbuhnya vegetasi mangrove. Pengelolaan tambak dengan

    sistem empang parit merupakan salah satu bentuk pemanfaatan ekosistem

    mangrove yang ramah lingkungan. Teknik pengelolaan tambak empang parit

    dapat dijadikan sebagai alternatif pengelolaan tambak di kawasan mangrove.

    Ekosistem mangrove berperan penting dalam mendukung usaha pertambakan.

    Setyawan dan Kusmono (2006) menyebutkan vegetasi mangrove yang subur

    dapat mencegah erosi, menjaga area dari banjir, badai dan bencana alam lain

    sehingga tidak diperlukan biaya tinggi untuk membangun infrastruktur tambak.

    Selain itu, mangrove juga berfungsi sebagai sumber daya perikanan pantai, yakni

    sebagai tempat pemijahan ikan-ikan sehingga jumlahnya dapat berkembang biak

    secara alami dan dalam jumlah yang mencukupi.

    Gambar 4.12. Pola Empang Parit (Sylvofishery)

    Sumber: Hasil survey lapangan

    4.2.3.2. Bahan Pakan Ternak

    Pakan ternak dari tumbuhan mangrove umumnya mencakup daun atau

    raning Rhizophora, Soneratia, Avicennia serta jensi rumput-rumputan

    (Gramineae). Hal ini dilakukan di Pantai Utara maupun Pantai Selatan Pulau

    Jawa. Pemanfaatan tumbuhan mangrove untuk pakan ternak tidak ditemukan

    disepanjang kawasan mangrove Kabupaten Serdang Bedagai. Tampaknya

    orientasi masyarakat dalam pemanfaatan mangrove lebih kepada pemanfaatan

    kayu bakar dan pengolahan nipah. Dengan tetap menjaga kelestarian mangrove,

  • 55

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    maka pengolahan mangrove dalam pengembangan pakan ternak menjadi suatu

    peluang bagi masyarakat yang ada di sekitar kawasan mangrove.

    4.2.3.3. Obat-obatan

    Kandungan bioaktif yang dimiliki tumbuhan mangrove banyak digunakan

    untuk bahan obat-obatan yang meliputi anti-helmintik, anti mikrobia, antivirus,

    anti jamur, kanker, tumor, diare, pendarahan, analgestik, inflamasi, disinfektan,

    serta antioksidan dan astringen. Selain itu juga dapat digunakan sebagai racun

    yang meliputi moluskisida, insektisida, racun ikan dan spermisida

    (Bandaranayake, 1998 dalam Setyawan dan Kusmono, 2006).

    Pemanfaatan tumbuhan mangrove yang ada di kawasan mangrove

    Kabupaten Serdang Bedagai khususnya sebagai bahan obat-obatan masih

    belum terlihat sama sekali. Hanya terbatas pada hal-hal yang sifatnya spontan

    dan individual, terbatas pada orang-orang yang mengetahui manfaatnya saja.

    Padahal potensi yang dimiliki tumbuhan mangrove sebagai bahan obat-obatan

    cukup menjanjikan, dimana kandungan metabolit sekunder tumbuhan mangrove

    yang sudah mulai banyak terungkap. Tumbuhan ini kaya akan steroid, triterpen,

    saponin, flavonoid, alkaloid dan tannin yang banyak digunakan sebagai bahan

    obat-obatan (Bandaranvake, 1995 dalam Setyawan dan Kusmono, 2006).

    Apabila dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik, maka hal ini dapat

    menjadikan masyarakat di sekitar kawasan mangrove yang ada menjadi

    penyuplai bahan baku dengan tetap memperhatikan keberadaannya dan juga

    memberikan perlindungan mangrove untuk menjaga keberlangsungannya.

    Salah satu pemanfaatan mangrove yang sedang dilakukan di desa

    Nagalawan Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai adalah

    meracik dan membuat Teh Hijau Mangrove yang terbuat dari daun Jeruju (yang

    sedang dikembangkan oleh Yayasan Akar Rumput Laut - Yogyakarta) yang

    berfungsi sebagai anti radang dan peluruh dahak (ekspekrotan) dan pembesih

    darah, radang hati, obat gondok, sesak nafas, nyeri lambung dan kanker hati.

    Bijinya dapat digunakan untuk obat bisul dan obat cacing serta luka gigitan ular.

  • 56

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    Gambar 4.13. Teh Hijau Mangrove

    Sumber: Hasil survey lapangan

    4.2.3.4.Bahan baku industri

    Mangrove dengan berbagai jenis tumbuhan yang dimilikinya juga

    memiliki potensi sebagai bahan baku industri. Walsh, 1997 berpendapat bahwa

    pneumatofora Sonneratia alba dapat digunakan untuk sol sepatu. Sedangkan

    mangrove jenis Rhizophora dapat digunakan untuk pulp. Menurut Field (dalam

    Setyawan dan Kusmono, 2006) jenis tumbuhan mangrove lainnya memiliki

    potensi sebagai bahan baku industry, seperti pheumatofora Bruguiera sexangula

    yang dapat menghasilkan parfum dan rempah-rempah, ekstrak Excoecaria

    agallocha untuk afrodisiak, ekstrak Avcennia spp untuk sabun, ekstrak Bruguiera

    sexangula untuk lem. Tumbuhan mangrove juga dikenal sebagai sumber utama

    tannin untuk bahan pewarna dan penyamak dalam dunia industri.

    Pemanfaatan tumbuhan mangrove yang ada di kawasan mangrove

    Kabupaten Serdang Bedagai khususnya sebagai bahan baku industri masih

    belum terlihat sama sekali. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya informasi yang

    diperoleh masyarakat atau belum adanya industri pengolahan di daerah tersebut.

    Pemanfaatan jenis mangrove yang bisa diolah sebagai bahan baku industri

    menjadi suatu peluang yang diperoleh masyarakat sebagai penyuplai bahan

    baku industri. Pengembangan potensi ini diharapkan dapat menjadi salah satu

    bagian dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

  • 57

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    4.2.3.5.Pariwisata dan pendidikan

    Pemanfaatan kawasan mangrove sebagai lokasi wisata sejak lama telah

    dikembangkan. Dengan beragam jenis yang dimilikinya, hutan mangrove dapat

    dimanfaatkan sebagai pariwisata alam yang berwawasan lingkungan dan

    pendidikan. Pemanfaatan kawasan mangrove untuk pariwisata dikawasan

    mangrove yang ada di Kabupaten Serdang Bedagai belum terlihat. Hal ini bisa

    jadi disebabkan sarana maupun prasarana yang belum memadai. Namun

    pembangunan pariwisata juga tidak akan maksimal kalau hanya menunggu

    peran dari pemerintah saja. Semua pihak baik pemerintah, masyarakat maupun

    stakeholder lainnya dan pihak pengelola harus saling mengambil peran masing-

    masing agar pembangunan pariwisata dapat terwujud dengan baik. Sebab

    pariwisata juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

    Selain sebagai pariwisata terbuka yang bersifat alami, kawasan

    mangrove juga dapat menjadi lokasi pendidikan konservasi, baik dari pelajar,

    mahasiswa yang melakukan penelitian maupun masyarakat umum lainnya

    dengan memanfaatkan dan mengembangkan konsep EMT (Ekowisata dan

    Mangrove Track).

  • 58

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    F A U N A M A N G R O V E

    Rencana Pengembangan Konsep Ecowisata Mangrove Track (EMT) di Kawasan Mangrove Desa Nagawalan Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai

    Mangrove Track

    Anjungan

    Area Parkir

    Kantor & Pusat Kajian

    Aula

    Musholla Toilet

    Restaurant Pondok Wisata

    Pondok Wisata

    Outbond

    Gapura

    Ekowisata

    Gambar 4.14. Site Plant Skenario Pengembangan Ekowisata dan Mangrove Track

    Sumber: Rencana

  • 59

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    4.2.3.6. Lingkungan

    Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem

    mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar

    pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam

    pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu)

    maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang

    dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi

    dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang

    terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi

    (Santoso, 2000).

    Tumbuhan mangrove mampu beradaptasi terhadap kadar oksigen yang

    rendah, salinitas yang tinggi, tanah yang kurang stabil dan pasang surut. Adaptasi

    pohon mangrove terhadap kondisi lingkungan ini diwujudkan dalam bentuk

    perakaran istimewa yang berfungsi sebagai akar nafas (Pneumatofora) serta

    penunjang tegaknya pohon. Selain itu tumbuhan mangrove ini juga berfungsi

    sebagai pagar depan dalam mencegah abrasi dan intrusi air laut.

    Gambar 4.15. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Pantai

    Sumber: Hasil survey lapangan

  • 60

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    4.2.4. Pengembangan Potensi Tumbuhan Mangrove

    4.2.4.1. Nipah (Nypa Fruticans)

    Nipah secara umum dimanfaatkan oleh masyarakat dengan cara yang

    sangat sederhana,yakni dimanfaatkan dalam pembuatan atap rumah. Menurut

    Sihite,2005 bahwa penduduk asli di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

    (masyarakat suku Sough, Kuri dan Warnesa) memanfaatkan nipah mulai dari akar,

    daun hingga buahnya. Pemanfaatan vegetasi nipah di kawasan Cagar Alam Teluk

    Bintuni seperti pada tabel 4.1. berikut .

    Tabel 4.1. Pemanfaatan Nipah

    Pemanfaatan Nipah (Nypa fruticans)

    Bagian tanaman Tujuan Pemanfaatan Cara Pemanfaatan

    Buah Nipah Tangkai daun Malai Akar

    Bahan makanan Bahan makanan Bahan minuman Obat-obatan

    Buah dari Nipah yang masih muda dan segar dibelah. Air dan daging dimakan dan diminum dengan rasa seperti buah kelapa muda. Tangkai daun dipotong kecil, dikuliti, diasapi di atas tungku api, setelah kering di bakar. Abunya diambil dan disimpan dalam media bambu sebagai pengganti garam dapur Malai dipotong, kemudian disadap untuk menghasilkan nira (dalam bahasa lokal disebut bobo, sejenis minuman lokal/tradisional Akar dibakar dan arangnya diletakkan pada gigi yang sakit

  • 61

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    Anak daun dan tangkai daun Daun

    Sumber energi Perlengkapan perahu tradisional

    Anak daun maupun tangkai daun yang telah kering diambil selanjutnya dibakar Bahan baku pembuatan atap perahu yang dapat bertahan 3 s/d 5 tahun

    Sumber: Hasil Survei Tim TNC, 2005; Asmuruf, 2001; Leftungun, 2004 (Sihite, 2005)

    Garam Nipah. Pemanfaatan lain dari nipah dapat dilihat pada kelompok

    masyarakat Desa Batu Ampar, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten

    Pontianak Kalimantan Barat (Santoso, 2005). Selain manfaat yang

    sudah ada, masyarakat Batu Ampar mencari manfaat lain dari nipah

    sebagai potensi ekonomi sebagai tambahan sumber pendapatan.

    Bahan yang digunakan adalah pelepah nipah yang sudah tua, biasanya

    pelepah yang sudah diambil daunnya, dan jika dipotong daging

    pelepahnya berwarna kemerahan (semakin kemerahan kadar garamnya

    semakin tinggi). Pada prinsipnya proses pembuatan garam nipah ini

    adalah proses pencucian atau pemisahan kadar garam yang terkandung

    dalam pelepah nipah. Proses pembuatannya yaitu:

    Bahan baku berupa pelepah nipah yang sudah tua sesuai

    kebutuhan

    Pelepah tersebut kemudian dibakar sampai menjadi abu.

    Selanjutnya abu tersebut diayak untuk memisahkan antara abu

    nipah dan abu kayu bakar.

    Proses selanjutnya adalah proses pencucian. Setelah diperoleh

    abu nipah kemudian disiram oleh air sampai abu tersebut larut.

    Selanjutnya larutan tersebut disaring untuk diambil airnya saja.

    Proses pencucian dihentikan jika abu nipah sudah tidak asin lagi.

  • 62

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    Setelah air saringan diperoleh, selanjutnya air tersebut

    dipanaskan di atas perapian, sampai airnya menguap dan

    diperoleh kristal garam. (Santoso, 2005)

    Gula Nipah. Pengolahan gula nipah dilakukan oleh masyarakat di Desa

    Ujung Manik, Kecamatan Kawung Anten Kabupaten Cilacap. Pengolahan

    ini diawali dengan pemberian pelatihan yang dilakukan Dinas

    Perindustrian Kabupaten Cilacap (Santoso, 2005).

    Teknik pengolahan gula nipah yakni:

    Permbersihan, dilakukan untuk menghindari peretakan dari sinar

    matahari pada tandan siap deres. Memukul tandan yang siap

    untuk di deres guna memperlancar keluarnya air dati tandan.

    Penderesan, diawali dengan pembersihan dan penyiraman

    tandan, kemudian pemotongan tandan mulai dari bagian bawah.

    Selanjutnya air nipah ditampung dengan menggunakan wadah

    atau kantong plastik yang diikatkan.

    Pemasakan, setelah air nipah terkumpul kemudian di masak

    dalam kuali tanpa campuran apapun. Pemasakan dilakukan terus-

    menerus dan digodok dengan sendok hingga membentuk gula.

    Pendinginan, setelah dilakukan pemasakan maka proses

    selanjutnya adalah pencetakan pada cetakan bamboo,

    selanjutnya didinginkan selama 1 jam.

    Anyaman Nipah. Selain dibuat menjadi garam dan gula, nipah juga

    dapat dimanfaatkan untuk membuat berbagai anyaman (kerajinan

    tangan) seperti yang banyak ditemukan dipasaran. Berbagai bentuk

    kerajinan anyaman dapat dibuat dengan menggunakan nipah tersebut

    berdasarkan kreatifitas dan kemampuan yang dimiliki. Adapun bahan

    untuk pembuatan anyamana nipah adalah:

  • 63

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    Lidi (batang daun nipah) yang umumnya sudah cukup umur, tidak

    tua dan tidak terlalu muda. Batang daun nipah diambil sesuai

    dengan kebutuhan.

    Cara pembuatan dikerjakan seperti layaknya bahan dari rotan

    yang biasanya dibuat keranjang, alas periuk, tempat pena, sapu

    lidi, bakul kecil dan berbagai bentuk lainnya (Santoso, 2005).

    Manisan buah nipah. Pemanfaatan nipah untuk bahan makanan dibuat

    dari buah nipah yang masih muda (agak matang). Setelah buah nipah

    dipetik dan dikupas kulitnya lalu direndam selama 3 (tiga) hari dengan air

    masak ditambah kayu manis dan cengkeh untuk bahan pengawet dan

    aroma, kemudian dimasak dengan air gula. Selain jadi manisan, juga

    dapat dicampur dengan hidangan es sirup (Santoso, 2005).

    Es buah nipah. Di Malaysia (Negeri Perak, Taiping), buah nipah

    dimanfaatkan sebagai bahan baku minuman es buah nipah dan

    tergolong menu special. Prosesnya hamper sama dengan pembuatan

    manisan buah nipah yaitu buah niah muda dikupas dan daging buahnya

    dipergunakan sebagai bahan utama es buah nipah (Santoso, 2005).

    Kolak buah nipah. Di Pantai TImur Sumatera Utara, tepatnya daerah

    Langkat, pada bulan puasa masyarakat memanfaatkan buah nipah muda

    sebagai bahan baku makanan kolak. Proses pembuatannya cukup

    mudah, buah nipah muda dikupas dan diambil dagingnya saja.

    Selanjutnya siap untuk dimasak ke dalam adonan kolak seperti air, gula

    dan santan (Santoso, 2005).

  • 64

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    4.2.4.2. Api api (Avicennia marina, Avicennia lanata, Avicennia officinalis)

    Umumnya api-api sebagai salah satu jenis mangrove masih dimanfaatkan

    untuk keperluan kayu bakar saja. Jika ditilik lebih jauh lagi ternyata api-api

    mempunyai manfaat lain seperti halnya di daerah lain yang dimanfaatkan

    masyarakat sekitar.

    Pakan ternak. Di daerah Maluku dan Papua, ternak seperti halnya

    kambing diberi pakan dedaunan api-api muda. Caranya cukup mudah

    dengan mengumpulkan daun dari jenis api-api yang masih muda,

    kemudian dijadikan sebagai pakan ternak. Pakan berupa dedaunan api-

    api ini member keuntungan karena relative mudah didapati di sekitar

    arela mangrove (Kusmana dkk, 2008).

    Bahan makanan. Buah api-api juga dapat dijadikan bahan makanan,

    namun harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Sebab di dalam

    buah api-api ini mempunya kandungan toxic yang cukup berbahaya jika

    dikonsumsi. Jenis tanaman api-api yang telah diketahui dimanfaatkan

    sebagai sumber bahan makanan adalah Avicennia marina dan Avicennia

    officinalis. Hal ini dikaji pada saat Lomba Masak Makanan Berbahan

    Baku Mangrove di Muara Gembong, Bogor (Santoso, 2005).

    Setelah buah ini diolah baru dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk

    pembuatan makanan seperti: donat api-api, bubur sumsum api-api, tusuk

    sate birayo, dadar birayo, talam asin api-api, dawet api-api, wajit api-api,

    putri malu api-api, putri ayu api-api, kue bugis api-api, bola manis api-api,

    biji salak api-api, gemblong api-api, puding api-api, lumpia api-api, wijen

    api-api, bolu buah api-api, agar-agar buah api-api, onde-onde, keripik

    manis asin api-api dan lain sebainya.

    4.2.4.3. Perepat (Sonneratia alba)

    Jenis perepat ini buahnya dapat dimanfaatkan dan selanjutnya diolah

    sebagai bahan makanan. Pengolahan buah perepat ini ditunjukkan kelompok

    masyarakat pada saat Lomba Masak Makanan Berbahan Baku Mangrove di Muara

  • 65

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    Gembong, Bogor (Santoso, 2005). Sifat buah tidak beracun dan dapat langsung

    dimakan. Buah yang sudah tua merupakan bahan baku makanan dan tidak

    memerlukan perlakuan atau langsung dapat dimasak menjadi aneka makanan dan

    minuman. Buah perepat dapat diolah menjadi sirup pidada, jus, wajit, dodol maupun

    permen buah pidada.

    Gambar 4.16. Sirup Mangrove

    Sumber: Hasil penelusuran internet

    4.2.4.4. Tanjang (Bruguiera sexangula dan Bruguiera cylindrica)

    Bahan makanan. Tanaman tanjang telah lama dimanfaatkan oleh

    masyarakat sebagai bahan makanan. Pemanfaatan yang bisa dilakukan

    adalah pengupasan kulit buah tanjang, buah dipecah (agar cepat lunak

    bila dimasak), lalu dimasak dengan air sampai benar-benar masak. Air

    bekas masak dibuang ditempat aman karena mengandung toxic, lalu

    direndam 2-3 hari. Selanjutnya buah tanjang dapat langsung dimasak

    atau buah setelah direndam dapat dikeringkan apabila diperlukan dalam

    jangka waktu yang lama (Santoso, 2005).

    Obat-obatan. Penggunaan tanjang selain untuk bahan makanan juga

    bisa dijadikan sebagai bahan obat-obatan. Akar serta daun dari tanjang

    dapat dipergunakan untuk mengatasi kulit yang terbakar. Obat ini bisa

  • 66

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    dijadikan sebagai pertolongan bagi korban kebakaran. Buah dari tanjang

    juga diyakini bisa mengobati penyakit herpes (Noor, 2006).

    4.2.4.5. Bakau (Rhizopora apiculata)

    Bahan makanan. Masyarakat Kecamatan Kajang, Kabupaten

    Bulukumba Sulawesi Selatan sejak lama telah mengenal penggunaan

    buah tanaman bakau untuk kebutuhan pangan. Bahan yang

    dipergunakan sebagai bahan baku adalah buah yang telah masak/tua.

    Proses memasak buah dimulai dengan mengupas kulit bagian luar dan

    selanjutnya kulit bagian dalam dikupas untuk selanjutnya direndam 2-3

    hari. Kemudian kulit bagian dalam tersebut dipergunakan sebagai

    campuran makanan/sayur ikan (Santoso, 2005).

    Sumber energi dan tiang rumah. Masyarakat papua, khususnya

    penduduk asli di sekitar kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni

    memanfaatkan kayu dari Rhizophora untuk keperluan kayu bakar dan

    juga tiang rumah. Kayu dari jenis Rhizophora diyakini mempunyai tekstur

    yang kuat untuk menyangga rumah penduduk (Sihite, 2005).

    Obat-obatan. Air hasil rebusan kayu Rhizophora dapat dipergunakan

    sebagai obat pelangsing, anti mencret dan anti muntah. Cacahan

    kayunya bilamana ditempelkan pada luka yang baru dapat menghentikan

    pendarahan. Daun muda yang masih segar juga bisa dikunyah sebagai

    homeostatic dan anti septik (Dephut, 1997).

    4.2.4.6. Waru (Hibiscus tiliaceus) peralatan/perlengkapan, obat-obatan,

    Peralatan/perlengkapan. Penggunaan tradisional dari jenis waru

    (Hibiscus tiliaceus) di bagian Timur Indonesia (Maluku dan Papua) paling

    dominan adalah untuk keperluan peralatan. Batang kering digunakan

    sebagai pengapung pada jala ikan. Kemudian kulit batang yang agak

    berserat dapat dijadikan sebagai tali pengikat dan bahkan bisa dijadikan

    simpul dalam pembuatan perangkap (Kusmana dkk, 2008).

  • 67

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    Obat-obatan. Bagian tanaman waru yang dipergunakan untuk dijadikan

    obat adalah bunga. Bunga segar direbus dengan susu segar dan

    digunakan ketika dingin untuk membersihkan infeksi pada lubang telinga

    (Dephut, 1997).

    4.2.4.7. Truntun (Lumnitzera littorea)

    Peralatan/perlengkapan. Masyarakat Indonesia Timur, khususnya

    Maluku dan Papua memanfaatkan truntun sebagai bahan peralatan.

    Kayu yang dihasilkan oleh tanaman ini bisa dijadikan sebagai kayu bakar,

    tiang, pagar, balok penyangga, tiang untuk perangkap ikan dan kayu

    pembuatan sampan (Kusmana dkk, 2008).

    Bahan bangunan. Kulit dan kayu dari truntun dikenal kuat dan tahan

    terhadap air. Dengan penampilan yang menarik dan memiliki wangi

    seperti mawar, maka kayunya sangat cocok dijadikan sebagai bahan

    pembuatan lemari dan furnitur lainnya. Akan tetapi permasalahan yang

    sering dijumpai adalah kayu truntun berukuran besar jarang ditemui

    (Noor, 2006).

    4.2.4.8. Buta-buta (Excoecaria agallocha)

    Obat-obatan. Pada beberapa daerah akar dari buta-buta dapat

    dipergunakan untuk mengobati sakit gigi. Akarnya terlebih dahulu dibakar

    dan kemudian ditumbuk, selanjutnya dimasukkan ke dalam gigi yang

    berlubang. Getah dari buta-buta juga bisa dijadikan sebagai racun untuk

    membunuh ikan, akan tetapi juga berbahaya apabila mengenai mata

    Karena dapat menyebabkan kebutaan. Kayu tidak bisa dijadikan sebagai

    kayu bakar karena baunya tidak sedap untuk makanan (Noor, 2006).

    Untuk beberapa daerah tertentu, rebusan daun buta-buta juga bisa

    dipergunakan sebagai obat-obatan. Hasil rebusan diyakini bisa

    menyembuhkan sariawan pada bayi. Caranya, daun buta-buta yang tidak

  • 68

    Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

    terlalu tua dan tidak terlalu muda direndam beberapa saat, lalu diberikan

    pada bayi. (Kusmana dkk, 2008).

    4.2.4.9. Lenggade (Bruguiera parviflora)

    Bahan makanan. Kulit kayu dari lenggade dapat dipergunakan sebagai

    penyedap rasa ataupun bumum bagi ikan mentah. Penggunaannya

    relative mudah, kulit kayu lenggade dikupas dari batangnya kemudian

    dicampurkan pada ikan mentah. Kulit kayu lenggade yang tidak berbau

    dan dapat menjadi bumbu menjadikan kulit kayu ini bisa menambah cita

    rasa makanan (Kusmana dkk, 2008).

    Sumber energi. Pada beberapa daerah kayu lenggade dipergunakan

    sebagai kayu bakar. Hal ini pada dasarnya dikarenakan ukuran kayu

    yang relative kecil, sehingga jenis ini jarang dipergunakan untuk

    keperluan lain (Noor, 2006).