manajemen sepsis edit

53
1 BAB 1 PENDAHULUAN Sepsis adalah penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan intensif. Sepsis diderita oleh 18 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya. Insidens sepsis diperkirakan sekitar 50-95 kasus diantara 100.000 populasi dengan peningkatan sebesar 9% tiap tahunnya. Syok sepsis merupakan penyebab kematian tersering di unit pelayanan intensif di Amerika Serikat (AS) dengan kecenderungan meningkat. 1,2 Kemajuan teknologi kedokteran, peningkatan pemakaian obat imunosupresif dan peningkatan populasi usia tua memberikan sumbangan besar terhadap peningkatan insidens sepsis secara eksponensial. Di AS terjadi 750 ribu kasus sepsis setiap tahun dan sekitar 225 ribu kasus berakhir dengan kematian. Insidens sepsis lebih tinggi pada laki- laki ras non Kaukasia. Perawatan lama di unit perawatan intensif juga sering dialami oleh pasien sepsis, berkisar antara 2-3 minggu. 3 Penelitian epidemiologi sepsis di AS menyatakan insidens sepsis sebesar 3 kasus diantara 1.000 populasi. Insidens meningkat lebih dari 100 kali lipat berdasarkan umur (0,2/1.000 pada anak-anak, sampai 26,2/1.000 pada kelompok umur > 85 tahun). Angka perawatan sepsis berkisar

Upload: yunita-manurung

Post on 31-Oct-2015

151 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ii

TRANSCRIPT

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Sepsis adalah penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan

intensif. Sepsis diderita oleh 18 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya.

Insidens sepsis diperkirakan sekitar 50-95 kasus diantara 100.000 populasi dengan

peningkatan sebesar 9% tiap tahunnya. Syok sepsis merupakan penyebab

kematian tersering di unit pelayanan intensif di Amerika Serikat (AS) dengan

kecenderungan meningkat.1,2

Kemajuan teknologi kedokteran, peningkatan pemakaian obat

imunosupresif dan peningkatan populasi usia tua memberikan sumbangan besar

terhadap peningkatan insidens sepsis secara eksponensial. Di AS terjadi 750 ribu

kasus sepsis setiap tahun dan sekitar 225 ribu kasus berakhir dengan kematian.

Insidens sepsis lebih tinggi pada laki-laki ras non Kaukasia. Perawatan lama di

unit perawatan intensif juga sering dialami oleh pasien sepsis, berkisar antara 2-3

minggu.3

Penelitian epidemiologi sepsis di AS menyatakan insidens sepsis sebesar 3

kasus diantara 1.000 populasi. Insidens meningkat lebih dari 100 kali lipat

berdasarkan umur (0,2/1.000 pada anak-anak, sampai 26,2/1.000 pada kelompok

umur > 85 tahun). Angka perawatan sepsis berkisar antara 2 sampai 11% dari total

kunjungan ICU. Angka kejadian sepsis di Inggris berkisar 16% dari total

kunjungan ICU. Insidens sepsis di Australia sekitar 11 tiap 1.000 populasi. Sepsis

berat terdapat pada 39 % diantara pasien sepsis.4

Angka kematian sepsis berkisar antara 25 - 80 % diseluruh dunia tergantung

beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, ras, penyakit penyerta, riwayat

trauma paru akut, sindrom gagal napas akut, gagal ginjal dan jenis infeksinya

yaitu nosokomial, polimikrobial atau jamur sebagai penyebabnya.3-6

Oleh karena itu, sangatlah penting untuk dapat memahami sepsis mulai dari

definisi, penyebab, penegakkan diagnosis hingga penatalaksanaannya.

2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi Sepsis

Sepsis adalah proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri dan jamur.

Definisi yang dihubungkan dengan sepsis yaitu sindrom sepsis, sepsis berat,

septikemia dan syok sepsis. Pada tahun 1991 organisasi The American College of

Chest Physicians / Society of Critical Care Medicine ( ACCP/SCCM)

mengembangkan definisi klinis sepsis dengan lebih akurat. Definisi dibuat dengan

mempertimbangkan sepsis dapat disebabkan oleh berbagai agen infeksi dan

produk mikroba yang mungkin saja tidak berhubungan dengan terdapatnya

mikroba dalam aliran darah.7

Systemic inflammatory response syndrome (SIRS) ditujukan untuk

menggambarkan respons sistemik terhadap berbagai etiologi penyakit. Systemic

inflammatory response syndrome ditandai oleh 2 atau 3 dari manifestasi klinis

yaitu suhu tubuh > 38°C atau < 36°C, denyut jantung > 90kali/menit, laju napas >

20kali/menit, perubahan pada hitung lekosit berupa lekositosis (>12,000 sel/mm3)

atau lekopenia (< 4,000 sel/mm3) dan netrofil batang (imatur) lebih dari 10%

pada apusan darah tepi.7,8

Infeksi jika dicurigai atau terbukti (dengan hasil kultur positif, sisa

jaringan, atau tes PCR), infeksi disebabkan oleh kuman patogen atau sindrom

klinik yang berhubungan dengan kemungkinan infeksi yang sangat tinggi. Bukti

infeksi termasuk didapatnya tanda positif pada pemeriksaan klinis, pencitraan atau

tes laboratorium (contoh : sel leukosit dalam cairan tubuh yang seharusnya steril,

perforasi visera, foto thorax dengan gambaran pneumonia, rash petekie atau

purpura, atau purpura fulminan)9

Bila tanda-tanda SIRS sudah nyata atau dicurigai akibat infeksi maka

respons sistemik ini disebut sepsis. Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis yang

disertai dengan setidaknya disfungsi salah satu organ atau terdapat hipoperfusi

3

jaringan atau hipotensi. Syok sepsis merupakan kelanjutan sepsis berat dan

didefinisikan sebagai hipotensi refrakter karena sepsis, terjadi setelah dilakukan

resusitasi cairan yang adekuat. Kondisi syok yang berkepanjangan akan membuat

berbagai organ mengalami hipoperfusi dan hipoksia dan berakhir dengan

kegagalan organ multipel dan terjadi gangguan homeostasis. Multiple-organ

dysfunction syndrome (MODS) adalah disfungsi lebih dari satu organ dan

memerlukan intervensi untuk mempertahankan homeostasis.10,11

2.2. Etiologi Sepsis

Sebelum ditemukannya antibiotik, bakteri gram positif merupakan penyebab

utama sepsis. Dewasa ini, bakteri gram negatif menjadi mikroorganisme yang

memilki patogenitas tinggi dalam menyebabkan sepsis berat dan syok sepsis.

Infeksi saluran napas dan infeksi saluran kemih menjadi penyebab tersering

sepsis, diikuti dengan infeksi saluran cerna dan infeksi jaringan lunak. Setiap

sistem organ cenderung diinfeksi oleh mikroorganisme tertentu.

Infeksi saluran napas bawah merupakan penyebab syok sepsis pada 25% pasien,

dan agen patogen yang sering menyebabkannya antara lain:12

1. Streptococcus pneumoniae

2. Klebsiella pneumoniae

3. Staphylococcus aureus

4. Escherichia coli

5. Legionella sp.

6. Haemophilus sp.

7. Bakteri anaerob

8. Bakteri gram negatif

9. Jamur

4

Infeksi saluran kemih menyebabkan syok sepsis pada 25% pasien,

penyebabnya antara lain:

1. E coli

2. Proteus sp.

3. Klebsiella sp.

4. Pseudomonas sp.

5. Enterobacter sp.

6. Serratia sp.

Infeksi jaringan lunak adalah penyebab syok sepsis pada 15% pasien, dan

kuman penyebab yang sering adalah:

1. Staphylococcus aureus

2. Staphylococcus epidermidis

3. Streptococcus sp.

4. Clostridia

5. Bakteri gram negatif

6. Bakteri anaerob

Infeksi saluran cerna merupakan penyebab syok sepsis pada 15% pasien,

penyebabnya adalah:

1. E coli

2. Streptococcus faecalis

3. Bacteroides fragilis

4. Acinetobacter sp.

5. Pseudomonas sp.

6. Enterobacter sp.

7. Salmonella sp.

Infeksi pada sistem reproduksi laki-laki dan perempuan menyebabkan syok

sepsis pada 10% pasien, penyebabnya antara lain:

1. Neisseria gonorrhoeae

2. Bakteri gram negatif

3. Streptococcus sp.

4. Bakteri anaerob

5

Benda asing (misalnya kateter urin) menyebabkan syok sepsis pada 5% pasien,

dan S aureus, S epidermidis, dan jamur (misalnya spesies Candida) adalah

penyebab tersering. Infeksi pada lokasi tubuh lainnya (misalnya meningitis)

menyebabkan syok sepsis ada 5% pasien, dan Neisseria meningitides adalah

penyebab tersering.13

Tabel 2.1 Mikroorganisme penyebab tersering sepsis berat2

Mikroorganisme Pada infeksi hematogen (%, n = 436)

Pada infeksi lokal (%, n = 430)

Total (%, n = 866)

Gram-negatif 35 44 40 Gram-positif 40 24 31 Jamur 7 5 6 Polimikroba 11 21 16 Patogen klasik <5 <5 < 5

2.3. Faktor Risiko Sepsis

Alasan semakin meningkatnya insidensi sepsis disebabkan semakin

bertambahnya populasi berusia lanjut, semakin majunya teknik diagnostik,

meningkatnya jumlah prosedur-prosedur invasif dan transplantasi organ,

menigkatnya penggunaan obat imunosupresan dan kemoterapi, meningkatnya

penggunaan alat-alat yang dipasang di tubuh, dan meningkatnya jumlah penyakit-

penyakit kronis, seperti gagal ginjal kronik dan HIV.4

Kebanyakan pasien sepsis dan syok sepsis memiliki keadaan mendasar yang

berhubungan erat dengan mekanisme pertahanan imun local maupun sistemik.

Sepsis terlihat paling sering pada pasien berusia lanjut dan pasien yang memiliki

penyakit penyerta (komorbid) yang memudahkan terjadinya infeksi, seperti

diabetes atau penyakit imunokompromis.

6

Penyakit yang paling sering mencetuskan sepsis adalah: keganasan, diabetes

mellitus, penyakit hati kronik, gagal ginjal kronis, dan penggunaan obat-obat

imunosupresif. Lebih lanjut, sepsis juga merupakan komplikasi yang sering terjadi

setelah terjadinya pembedahan, trauma, dan luka bakar luas. Pasien dengan kateter

atau perangkat medis terpasang juga memiliki risiko tinggi untuk megalami

sepsis.13

2.4. Patogenesis dan Patofisiologi Sepsis

Patogenesis sepsis sangat kompleks, meliputi interaksi antara faktor-

faktor mikrobial dan pejamu. Sesudah pajanan bakteri baik gram negatif ataupun

positif, makrofag meningkatkan ekspresi lebih dari 1.000 gen dan protein

sekaligus menekan ekspresi 300 gen lainnya dengan hasil akhir yang dipengaruhi

oleh interaksi faktor- faktor diatas.2 Meskipun memiliki gejala klinis yang sama,

proses molekular dan selular yang memicu respon sepsis berbeda tergantung dari

mikroorganisme penyebab, sedangkan tahapannya sama dan tidak bergantung

pada organisme penyebab.

Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan

lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida

merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan

memiliki peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat

protein spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB).

Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada

membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor

4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi

makrofag. Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua

mekanisme, yakni (1) dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai

superantigen dan (2) dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang

sel imun. Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan

sitokin proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang

7

tidak mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang

respon imun non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram

negatif.14

Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai

dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis (Gambar 1). Mediator inflamasi

primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini

akan mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen.9

Gambar 2.1. Patofisiologi kaskade sepsis9

Infeksi akan dilawan oleh tubuh, baik melalui sistem imunitas selular yang

meliputi monosit, makrofag dan netrofil serta melalui sistem imunitas humoral

dengan membentuk antibodi dan mengaktifkan jalur komplemen. Seperti telah

dijelaskan sebelumnya, pengenalan patogen oleh CD14 dan TLR-2 serta TLR-4 di

membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk

mengaktifkan sistem imunitas selular. Pengaktifan ini menyebabkan sel T akan

berdiferensiasi menjadi sel T helper-1 (Th1) dan sel T helper-2 (Th2). Sel Th1

mensekresikan sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF),

interferon γ (IFN-γ), interleukin 1-ß(IL-1ß), IL-2, IL-6 dan IL-12. Sel Th2

mensekresikan sitokin antiinflamasi seperti IL-4, -10, dan -13. Pembentukan

sitokin proinflamasi dan anti inflamasi diatur melalui mekanisme umpan balik

8

yang kompleks. Sitokin proinflamasi terutama berperan menghasilkan sistem

imun untuk melawan kuman penyebab. Namun demikian, pembentukan sitokin

proinflamasi yang berlebihan dapat membahayakan dan dapat menyebabkan syok,

kegagalan multi organ serta kematian. Sebaliknya, sitokin anti inflamasi berperan

penting untuk mengatasi proses inflamasi yang berlebihan dan mempertahankan

keseimbangan agar fungsi organ vital dapat berjalan dengan baik.8

Sitokin proinflamasi juga dapat mempengaruhi fungsi organ secara

langsung atau secara tidak langsung melalui mediator sekunder (nitric oxide,

tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF), prostaglandin dan

komplemen). Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan

selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi

sehingga menyebabkan kerusakan organ. Aktivasi endotel akan meningkatkan

jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada

tempat yang mengalami cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan

gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada

permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik. Selain itu,

inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot polos

pembuluh darah.10

Patogenesis hipovolemia pada sepsis berat

Hipovolemia yang terinduksi sepsis disebabkan oleh kehilangan cairan

eksternal dan internal. Kehilangan cairan eksternal seperti muntah, diare, serta

karena takipnu dan diaforesis. Kehilangan cairan internal dapat berupa edema,

peritonitis dan lainnya. Hipovolemia oleh kehilangan cairan eksternal dan internal

disebut juga hipovolemia absolut. Hipovolemia yang disebabkan maldistribusi

cairan intravaskular karena vasodilatasi sistemik dan ekstravasasi cairan ke ruang

interstisial akibat peningkatan permeabilitas kapiler disebut hipovolemia relatif.

Kedua jenis hipovolemia ini menyebabkan penurunan preload ventrikel, tekanan

diastolik ventrikel, isi sekuncup, curah jantung dan pengangkutan oksigen

sistemik.15,16

9

Respons kompensasi karena hipovolemia diperantarai oleh susunan saraf simpatis

yang meliputi:15,17

1. Redistribusi aliran darah pembuluh darah otot rangka dan organ viseral

(splanknik) ke organ vital yaitu jantung dan otak. Perpindahan cairan dari dan

menuju kompartemen pembuluh darah ditentukan oleh perbedaan tekanan

hidrostatik dan onkotik antara mikrovaskuler dan ruangan interstisial.

Vasokonstriksi prekapiler menurunkan tekanan mikrovaskuler sehingga cairan

dari ruangan interstisial berpindah ke kompartemen pembuluh darah. Jenis

cairan kristaloid atau koloid diberikan pada resusitasi awal berdasarkan

patofisiologi hipovolemia yang sedang berlangsung.

2. Penguatan kontraktilitas otot jantung akan meningkatkan isi sekuncup dan

curah jantung . Penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya akan

meniadakan respons dan mengaburkan gambaran klinis hipovolemia.

3. Terjadi vasokonstriksi arteri dan vena terutama di daerah splanknik untuk

meningkatkan darah balik vena . Penggunaan obat anti hipertensi dan diuretik

mengganggu respons ini.

4. Terjadi pelepasan hormon adrenomedulokortikoid seperti kortisol, aldosteron

dan katekolamin selama stres hipovolemik. Gagal jantung kongestif, gagal

ginjal, penyakit hati dan disfungsi adrenal memperburuk homeostasis garam

dan air sehingga terjadi perubahan kebutuhan dan eliminasi cairan tubuh.

5. Terjadi aktivasi aksis renin-angiotensin yang meningkatkan pelepasan

aldosteron dari korteks adrenal. Perubahan osmolaritas serum karena

pelepasan arginin-vasopresin (AVP) dari hipofisis posterior yang

menyebabkan retensi cairan.

6. Perubahan mikrosirkulasi menyebabkan asidosis, pireksia dan peningkatan 2,3-

difosfogliserat eritrosit (mempermudah pelepasan oksigen ke jaringan).

Beberapa faktor menyebabkan gangguan mikrovaskuler yaitu:

tekanan (hidrostatik dan onkotik),

perubahan reologi eritrosit dan viskositas (hematokrit lokal),

10

adesi leukosit dengan sel endotel,

disfungsi endotel,

edema interstisial

2.5. Diagnosis Sepsis

Kultur darah perlu dilakukan sebelum pemberian antibiotik namun

prosedur pemeriksaan tersebut jangan menghambat pemberian antibiotik.

Identifikasi mikroorganisma dalam darah sebaiknya dilakukan setidaknya dua

kultur darah sebelum pemberian antibiotik. Pengambilan contoh kultur dapat kita

ambil dari darah, cairan serebrospinal, luka, sekret saluran napas atau dari

cairan tubuh lain yang merupakan sumber infeksi. Pemeriksaan prokalsitonin

kadang diperlukan pada pasien dengan inflamasi akut yang disebabkan oleh

infeksi pasca bedah atau keadaan syok. Masa yang akan datang penggunaan

polymerase chain reaction (PCR) untuk identifikasi secara cepat bakteri

patogen dan resistensi kuman pada pasien-pasien yang diduga sepsis.

Sepsis berat adalah hipoperfusi jaringan atau disfungsi organ karena sepsis

(beberapa diantaranya diduga berhubungan dengan infeksi) seperti yang

dijelaskan tabel 2.2 Gejala klinis yang dapat ditemukan adalah hipotensi,

peningkatan laktat plasma , produksi urin <0.5ml/kg/jam selama lebih 12 jam

walau resusitasi sudah adekuat, acute lung injury (ALI) dengan rasio PaO2 < 250

tanpa terdapat pneumonia sebagai sumber infeksi, ALI dengan rasio PaO2/FIO2 <

200 dengan pneumonia sebagai sumber infeksi, kreatinin plasma > 2.0

mg/dl(176.8 µmol/L), bilirubin plasma > 2 mg/dl (34,2 µmol/L), hitung

trombosit <100,000/µL dan koagulopati (INR >1,5).17

Tabel 2.2 Kriteria diagnostik pada sepsis18

Kriteria Diagnostik Gejala

Variabel Umum Demam > 38.3oC, hipotermia,

frekuensi denyut jantung >

11

90x/menit, takipneu, penurunan

fungsi kesadaran, edema bermakna

atau balans cairan positif (>

20ml/kg dalam 24 jam),

hiperglikemia (glukosa plasma >

140 mg/dl attau 7.7 mmol/L) tanpa

riwayat diabetes.

Variabel Inflamasi Leukositosis ( >12.000/µL)

Leukopenia ( < 4000/ µL)

Hitung Leukosit normal

dengan jenis imatur >10%

C-reaktif protein plasma >2

SD diatas nilai normal

Procalcitonin plasma >2 SD

diatas nilai normal

Variabel Hemodinamik Hipotensi arterial tekanan darah

sistol <90 mmHg, tekanan arteri rata-

rata <70 mmHg atau penurunan

tekanan darah sistol >40 mmHg pada

dewasa

Variabel Disfungsi Organ Hiposemia arteri (PaO2/FIO2

<300)

Oligouria akut (produksi urin

< 0,5 cc/kg/jam selama lebih

dari 6 jam walaupun

resusitasi cairan sudah

adekuat)

Peningkatan kreatinin > 0,5

mg/dL atau 44,2 µmol/L

12

Koagulasi abnormal (INR

>1,5 atau aPTT > 60 detik)

Ileus

Trombositopenia

(<100.000/µL)

Hiperbilirubinemia (bilirubin

plasma total > 4mg/dL or 70

µmol/L)

Variabel Perfusi Jaringan Hiperlaktatemia

Penurunan waktu pengisian

kapiler

2.6. Pemeriksaan Penunjang Sepsis

2.6.1 Pemeriksaan Laboratorium19,20,21

2.6.1.1 Pemeriksaan Kuman

a. Kultur Darah

Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam

menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil

biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Hasil kultur perlu

dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan

dari jenis kuman yang biasa ditemukan di masing-masing klinik. Kultur darah

dapat dilakukan baik pada kasus sepsis dan sepsis berat.

b. Pewarnaan Gram

Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua dan sampai

saat ini masih sering dipakai di laboratorium dalam melakukan identifikasi

kuman. Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini dilakukan untuk membedakan

apakah bakteri penyebab termasuk golongan bakteri Gram positif atau Gram

13

negatif. Walaupun dilaporkan terdapat kesalahan pembacaan pada 0,7% kasus,

pemeriksaan untuk identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada rumah

sakit dengan fasilitas laboratorium terbatas dan bermanfaat dalam menentukan

penggunaan antibiotik pada awal pengobatan sebelum didapatkan hasil

pemeriksaan kultur bakteri.

Pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium yang lebih memadai, seperti

inkubator, pemeriksaan kultur darah harus dilakukan karena merupakan

pemeriksaan baku emas untuk diagnosis bakteremia. Automated blood culture

system yaitu kultur darah dengan medium cair dari sistem deteksi cepat dan

automated seperti Bactec™ dan BacT Alert™ dapat digunakan apabila tersedia

anggaran yang memadai. Dari penjelasan diatas terlihat bahwa masih banyak

ditemukan kekurangan pada pemeriksaan identifikasi kuman. Oleh karena itu,

berbagai upaya penegakan diagnosis dengan mempergunakan petanda sepsis

banyak dilakukan oleh para peneliti. Berbagai petanda sepsis banyak dilaporkan di

kepustakaan dengan spesifisitas dan sensitivitas yang berbeda-beda.

2.6.1.2 Procalcitonin (PCT)

PCT merupakan protein yang disusun oleh 116 asam amino, memiliki berat

13 kDa dan merupakan prohormon dari kalsitonin yang diproduksi oleh sel

parafolikuler kelenjar tiroid, yang dalam keadaan normal tidak akan terdeteksi

dalam darah. Secara fisiologis kadarnya meningkat pada neonatus. Pada hari

pertama bervariasi antara 0,1-21 ng/mL dengan median 2 ng/mL. Kemudian

kadarnya menurun dan setelah 48 jam nilainya normal yakni <2 ng/mL. PCT

bereaksi lebih cepat terhadap rangsangan inflamasi dari CRP, mempunyai

sensitivitas 92,6% dan spesifisitas 97,5% untuk sepsis awitan dini, serta

sensitivitas dan spesifisitas 100% untuk sepsis awitan lambat. Selain itu, dapat

membedakan infeksi bakterial dari viral. Pada infeksi bakterial, mean PCT 29,7

ng/mL sedangkan pada infeksi viral, mean PCT 0,28 (0–1,5) ng/mL. Pengukuran

kadarnya dapat dikerjakan secara imunologis dengan alat Vidas.

2.6.1.3 Pemeriksaaan Kemokin, Sitokin dan Molekul Adhesi

14

Modalitas pemeriksaan terkini dalam mengevaluasi sepsis adalah dengan

menggunakan petanda infeksi (infection markers) seperti CD11b, CD64,

Interleukin-6 (IL-6) yang dapat membantu sebagai petanda tambahan.

Pemeriksaan petanda-petanda infeksi tersebut secara serial dikombinasikan

dengan beberapa tes sehingga dapat memberikan hasil yang baik. Sayangnya,

pemeriksaan petanda infeksi tersebut tidak dianjurkan untuk dijadikan

pemeriksaan tunggal. Pada beberapa kasus, pemeriksaan ini dapat menunjukkan

kapan pemberian antibiotik dapat dihentikan. IL-6 adalah sitokin pleiotropik yang

terlibat dalam berbagai aspek sistem imunitas. IL-6 disintesis oleh berbagai

macam sel seperti monosit, sel endotel dan fibroblas, setelah ada rangsangan TNF

dan IL-1. Petanda ini menginduksi sintesis protein fase akut termasuk CRP dan

fibrinogen. Pada sebagian besar kasus sepsis, IL-6 meningkat cepat yang terjadi

dalam waktu beberapa jam sebelum peningkatan konsentrasi CRP dan akan

menurun sampai ke kadar yang tidak terdeteksi dalam waktu 24 jam. IL-6 ini

memiliki waktu paruh yang singkat serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas

yang baik sebagai petanda infeksi. Dari penelitian didapatkan kesimpulan bahwa

pemeriksaan IL-6 atau IL-8 dikombinasikan dengan pemeriksaan CRP dapat

dijadikan pegangan untuk menyingkirkan kemungkinan sepsis sehingga secara

keseluruhan menurunkan biaya dan risiko pemberian antibiotik.

2.6.1.4 Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)

Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan biomolekular berupa

Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan guna menentukan diagnosis dini

pasien sepsis. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan

mampu lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Di beberapa kota besar

Inggris, pemeriksaan cara ini telah dilakukan pada semua fasilitas laboratorium

guna mendeteksi dini kuman tertentu antara lain N.meningitidis dan

S.pneumoniae. Selain bermanfaat untuk deteksi dini, PCR juga dapat digunakan

untuk menentukan prognosis pasien sepsis. Pemeriksaan ini merupakan metode

pemeriksaan yang sensitivitas dan spesifisitasnya hampir mencapai 100% dalam

mendiagnosis sepsis yang disebabkan oleh bakteri dalam waktu singkat. Metode

15

ini merupakan diagnosis molekular yang menggunakan amplifikasi PCR dari 16S

rRNA pada bayi baru lahir dengan faktor risiko sepsis ataupun memiliki gejala

klinis sepsis.21 Walaupun diagnostik molekular pada bakteri menggunakan PCR

dengan daerah target 16S rRNA telah terbukti cepat dan akurat (sensitivitas 96%,

spesifisitas 99,4% nilai prediksi positif 88,9% dan nilai prediksi negatif 99,8%),

masih dibutuhkan penelitian klinis dengan lingkup yang besar untuk menentukan

apakah teknik PCR dapat menjadi adjunctive test untuk diagnostik cepat

bakteremia pada neonatus risiko tinggi dengan gejala sepsis. Diagnostik

molekular menggunakan 18S rRNA juga dapat digunakan untuk mendeteksi

jamur invasif di dalam darah neonatus dengan risiko tinggi infeksi jamur.

Dibandingkan dengan kultur, PCR mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas

98% dalam menentukan infeksi jamur invasif. Namun pemeriksaan ini masih

sangat terbatas di Indonesia, dan hanya bisa dilakukan di Pusat Pendidikan atau

Rumah Sakit Rujukan Propinsi.

2.6.1.5 AGDA, Elektrolit dan Glukosa

Pada pemeriksaan AGD pada kasus sepsis, nilai serum laktat dapat menjadi

indikator hipoperfusi jaringan. Peningkatan serum laktat menunjukkan adanya

hipoperfusi jaringan yang signifikan akibat perubahan metabolisme tubuh dari

aerob menjadi anaerob.

2.6.1.6 Tes Fungsi Hati dan Ginjal

Fungsi hati dinilai dengan mengukur kadar bilirubin, alkali fosfatase, SGOT

dan juga SGPT dalam darah. Fungsi ginjal dinilai dengan mengukur kadar

kretinin dan BUN dalam serum. Kedua-dua pemeriksaan in bertujuan untuk

deteksi dini kemungkinan kegagalan organ akibat dari sepsis yang dapat

menyebabkan komplikasi yang serius seperti MDOS.

2.6.1.7 Status Koagulasi

16

Tes PT dan PTT dilakukan pada kasus sepsis untuk mengukur ada tidaknya

DIC. DIC adalah salah satu komplikasi yang terjadi akibat dari sepsis yang

menggangu sistem koagulasi tubuh.

2.6.2 Pencitraan21

a. Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran,

misalnya:

Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola

retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS (Respiratory

Distress Syndrome).

Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.

Pneumonia. Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena

ditemukan pada sebagian besar kasus, meninggal akibat sepsis yang telah

terbukti dengan kultur.

b. Pemeriksaan CT Scan diperlukan pada kasus meningitis untuk melihat

hidrosefalus obstruktif, lokasi obstruksi dan melihat infark ataupun abses.

c. USG kepala pada kasus dengan meningitis dapat menunjukkan ventrikulitis,

kelainan ekogenesitas parenkim, cairan ekstraselular dan perubahan kronis. Secara

serial, USG kepala dapat menunjukkan progresivitas komplikasi.

2.7. Penatalaksanaan Pasien Sepsis Berat di ICU

17

Penatalaksanaan pasien sepsis berat di ICU pada saat ini menggunakan

Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe

Sepsis and Septic Shock: 2012 sebagai berikut.22

Tabel 2.3. Resusitasi Awal dan Masalah Infeksi

18

A. Resusitasi Awal

1. Kami merekomendasikan protokol resusitasi kuantitatif pasien dengan sepsis

yang menginduksi hipoperfusi jaringan (didefinisikan dalam dokumen ini sebagai

hipotensi yang bertahan setelah pemberian cairan awal atau konsentrasi laktat

darah ≥ 4 mmol / L). Protokol ini harus dimulai sesegera mungkin saat didapati

hipoperfusi dan tidak boleh ditunda untuk dimasukkan ke ICU. Selama 6 jam

pertama resusitasi, tujuan resusitasi awal pada sepsis yang menginduksi

hipoperfusi harus mencakup semua hal berikut sebagai bagian dari protokol

pengobatan (kelas 1C):

a) CVP 8-12 mm Hg

b) MAP ≥ 65 mm Hg

c) Urin output ≥ 0,5 mL/kg/jam). Saturasi oksigenas vena cava superior (Scvo2)

atau saturasi oksigen vena campuran (Svo2) masing-masing 70% atau 65%.

2. Kami sarankan menargetkan resusitasi untuk menormalkan laktat pada pasien

dengan kadar laktat tinggi sebagai penanda hipoperfusi jaringan (kelas 2C).

19

B. Skrining untuk Sepsis dan Peningkatan Kinerja

1. Kami merekomendasikan skrining rutin pada pasien dengan penyakit infeksi

serius yang berpotensi terinfeksi sepsis berat untuk meningkatkan identifikasi

awal sepsis dan memungkinkan pelaksanaan terapi sepsis dini (kelas 1C).

2. Upaya peningkatan kinerja pada sepsis berat harus digunakan untuk

meningkatkan outcome pasien (UG).

C. Diagnosis

1. Kami merekomendasikan untuk menetukan kultur yang sesuai sebelum terapi

antimikroba dimulai jika kultur tersebut tidak menyebabkan penundaan yang

signifikan (> 45 menit) pada pemakaian awal antimikroba (kelas 1C). Untuk

mengoptimalkan identifikasi organisme penyebab, kami sarankan mendapatkan

setidaknya dua set kultur darah (baik aerobik dan anaerobik) sebelum terapi

antimikroba, dengan setidaknya satu diambil secara perkutan dan satu diambil

melalui setiap perangkat akses vaskular, kecuali perangkat yang baru dimasukkan

(< 48 jam). Kultur darah ini dapat diambil pada saat yang sama jika mereka

diperoleh dari lokasi yang berbeda. Kultur dari tempat lain (sebaiknya kuantitatif

jika perlu), seperti urine, cairan serebrospinal, luka, sekret pernapasan, atau cairan

tubuh lain yang mungkin menjadi sumber infeksi, juga harus diperoleh sebelum

terapi antimikroba jika hal itu tidak menyebabkan penundaan yang signifikan

dalam pemasukan antibiotik (kelas 1C).

20

2. Kami menyarankan penggunaan assay 1,3 β-d-glucan (kelas 2B), mannan dan

tes antibodi anti-mannan (kelas 2C) ketika kandidiasis invasif adalah dalam

diagnosis diferensial infeksi.

3. Kami merekomendasikan bahwa studi pencitraan dilakukan segera dalam upaya

untuk mengkonfirmasi potensi sumber infeksi. Potensi sumber infeksi harus

berasal dari sampel seperti yang diidentifikasi dan dengan mempertimbangkan

risiko pasien untuk prosedur transportasi dan invasif (misalnya, koordinasi hati-

hati dan monitoring agresif jika keputusan dibuat untuk transportasi untuk aspirasi

jarum CT-dipandu). Studi seperti penggunaan USG, dapat menghindari

transportasi pasien (UG).

D. Terapi Antimikrobial

1. Pemberian antimikroba intravena yang efektif dalam satu jam pertama dari

awitan syok septik (kelas 1B) dan sepsis berat tanpa syok septik (kelas 1C harus

menjadi tujuan terapi)

2a. Kami merekomendasikan bahwa terapi awal infeksi empiris mencakup satu

atau lebih obat yang memiliki aktivitas terhadap semua patogen yang mungkin

(bakteri dan / atau jamur atau virus) dan yang menembus dalam konsentrasi yang

memadai ke dalam jaringan dianggap menjadi sumber sepsis (kelas 1B) .

2b. Regimen antimikroba harus dinilai ulang setiap hari untuk potensi de-eskalasi

untuk mencegah perkembangan resistensi sehingga dapat mengurangi toksisitas,

dan untuk mengurangi biaya (kelas 1B).

3. Kami menyarankan penggunaan procalcitonin tingkat rendah atau biomarker

yang sama untuk membantu dokter dalam penghentian antibiotik empiris pada

pasien yang muncul septik, tetapi tidak memiliki bukti infeksi berikutnya (kelas

2C).

4a. Terapi empirik harus berusaha untuk memberikan aktivitas antimikroba

terhadap kemungkinan besar patogen berdasarkan penyakit setiap pasien dan pola

lokal infeksi. Kami menyarankan kombinasi terapi empirik untuk pasien

neutropenia dengan sepsis berat (kelas 2B) dan untuk pasien yang sulit diobati,

resisten bakteri patogen seperti Acinetobacter dan Pseudomonas spp. (kelas 2B).

21

Untuk pasien yang dipilih dengan infeksi berat terkait dengan kegagalan

pernapasan dan syok septik, terapi kombinasi dengan spektrum panjang beta-

laktam dan baik aminoglikosida atau fluorokuinolon yang disarankan untuk P.

aeruginosa bakteremia (kelas 2B). Demikian pula, kombinasi beta-laktam yang

lebih kompleks dan makrolida yang disarankan untuk pasien dengan syok septik

dari bacteremic pneumoniae infeksi Streptococcus (kelas 2B).

4b. Kami menyarankan bahwa terapi kombinasi, bila digunakan secara empiris

pada pasien dengan sepsis berat, tidak boleh diberikan selama lebih dari 3 sampai

5 hari. De-eskalasi untuk terapi tunggal-agent yang paling tepat harus dilakukan

secepat profil yg rentan dikenal (kelas 2B). Pengecualian akan mencakup

monoterapi aminoglikosida, yang harus dihindari pada umumnya, khususnya

untuk sepsis P. aeruginosa, dan bentuk-bentuk tertentu dari endokarditis, di mana

pemakaian terapi kombinasi antibiotik yang berkepanjangan dijamin.

5. Kami menyarankan bahwa durasi terapi biasanya menjadi 7 sampai 10 hari jika

secara klinis diindikasikan; pemakaian lebih lama mungkin tepat pada pasien yang

memiliki respon klinis lambat, fokus infeksi undrainable , bakteremia dengan S.

aureus, beberapa infeksi jamur dan virus, atau defisiensi imun, termasuk

neutropenia (kelas 2C).

6. Kami menyarankan bahwa terapi antivirus akan dimulai sedini mungkin pada

pasien dengan sepsis berat atau syok septik yang disebabkan oleh virus (kelas

2C).

7. Kami merekomendasikan bahwa agen antimikroba tidak dapat digunakan pada

pasien dengan keadaan inflamasi parah yang ditetapkan sebagai penyebab non

infeksius (UG).

E. Kontrol Sumber

1. Kami merekomendasikan bahwa diagnosis anatomi infeksi yang spesifik

memerlukan pertimbangan untuk kontrol sumber yang muncul (misalnya,

necrotizing infeksi jaringan lunak, peritonitis, cholangitis, infark usus) dicari dan

didiagnosis atau dikecualikan secepat mungkin, dan intervensi dilakukan untuk

22

kontrol sumber dalam 12 jam pertama setelah diagnosis dibuat, jika mungkin

(kelas 1C).

2. Kami menyarankan bahwa ketika nekrosis peripankreatic terinfeksi

diidentifikasi sebagai sumber potensial infeksi, intervensi definitif ditunda sampai

batas yang memadai dari jaringan layak dan nonviable telah terjadi (kelas 2B).

3. Ketika kontrol sumber pada pasien septis parah diperlukan, intervensi yang

efektif terkait dengan insult fisiologis paling harus digunakan (misalnya, perkutan

lebih baik daripada drainase bedah pada abses) (UG).

4. Jika perangkat akses intravaskular adalah sumber kemungkinan sepsis berat

atau syok septik, mereka harus dihilangkan segera setelah akses vaskular lainnya

telah ditetapkan (UG).

F. Pencegahan Infeksi

1a. Kami menyarankan bahwa dekontaminasi oral selektif (SOD) dan

dekontaminasi pencernaan selektif (SDD) harus diperkenalkan dan diteliti sebagai

metode untuk mengurangi kejadian ventilator-associated pneumonia (VAP), ini

langkah pengendalian infeksi yang kemudian dapat dilembagakan dalam

pengaturan kesehatan dan daerah di mana metodologi ini ditemukan efektif (kelas

2B).

1b. Kami menyarankan chlorhexidine glukonat oral (CHG) digunakan sebagai

bentuk dekontaminasi orofaringeal untuk mengurangi risiko VAP pada pasien

ICU dengan sepsis berat (kelas 2B).

23

Tabel 2.4 Dukungan hemodinamik dan Terapi ajuvan

G. Terapi Cairan pada Sepsis Berat

1. Kami merekomendasikan kristaloid digunakan sebagai pilihan cairan awal

dalam resusitasi pada sepsis berat dan syok septik (kelas 1B).

2. Kami merekomendasikan menentang penggunaan pati hidroksietil (HES) untuk

resusitasi cairan sepsis berat dan syok septik (kelas 1B).

24

3. Kami menyarankan penggunaan albumin dalam resusitasi cairan dari sepsis

berat dan syok septik ketika pasien memerlukan sejumlah besar kristaloid (kelas

2C).

4. Kami merekomendasikan fluid challenge sebagai terapi cairan awal pada pasien

dengan sepsis-induced hipoperfusi jaringan dengan kecurigaan hipovolemia

mencapai minimal 30 mL / kg kristaloid (sebagian dari ini mungkin setara

albumin). Pemasukan yang lebih cepat dan jumlah yang lebih besar dari cairan

mungkin diperlukan pada beberapa pasien (lihat rekomendasi Resusitasi Awal)

(kelas 1C).

5. Kami merekomendasikan bahwa teknik fluid challenges diterapkan dimana

pemberian cairan dilanjutkan asalkan ada perbaikan hemodinamik baik

berdasarkan dinamis (misalnya, perubahan tekanan nadi, variasi stroke volume)

atau statis (misalnya, tekanan, denyut jantung arteri) variabel ( UG).

H. Vasopressors

1. Kami merekomendasikan bahwa target awal terapi vasopressor dengan MAP

65 mm Hg (kelas 1C).

2. Kami merekomendasikan norepinefrin sebagai vasopressor pilihan pertama

(kelas 1B).

3. Kami menyarankan epinefrin (ditambahkan dan berpotensi menggantikan

norepinefrin) saat agen tambahan diperlukan untuk mempertahankan tekanan

darah yang memadai (kelas 2B).

4. Vasopresin (hingga 0,03 U / min) dapat ditambahkan ke norepinefrin dengan

maksud meningkatkan MAP untuk target atau penurunan dosis norepinefrin (UG).

5. Dosis rendah vasopressin tidak dianjurkan sebagai vasopressor awal tunggal

untuk pengobatan sepsis-diinduksi hipotensi, dan vasopresin dosis lebih tinggi

dari 0,03-0,04 U / min harus disediakan untuk terapi penyelamatan (kegagalan

untuk mencapai MAP memadai dengan agen vasopressor lainnya) ( UG).

6. Kami menyarankan dopamin sebagai agen vasopressor alternatif untuk

norepinefrin hanya pada pasien yang sangat dipilih (misalnya, pasien dengan

risiko rendah tachyarrhythmias dan bradikardi absolut atau relatif) (kelas 2C).

25

7. Fenilefrin tidak dianjurkan dalam pengobatan syok septik kecuali dalam

keadaan berikut: (a) norepinefrin berhubungan dengan aritmia yang serius, (b)

curah jantung dikenal sebagai tekanan tinggi dan darah masih rendah, atau (c)

sebagai terapi penyelamatan saat dikombinasikan inotrope / vasopressor obat dan

dosis rendah vasopressin telah gagal untuk mencapai target MAP (kelas 1C).

8. Kami merekomendasikan bahwa dopamin dosis rendah tidak digunakan untuk

perlindungan ginjal (kelas 1A).

9. Kami merekomendasikan bahwa semua pasien yang memerlukan vasopressors

memiliki kateter arteri ditempatkan secepat praktis jika sumber daya memadai

(UG).

Tabel 2.5 Norepineprin kombinasi dengan Dopamin pada Sepsis Berat

26

I. Inotropik Terapi

1. Kami merekomendasikan bahwa uji coba infus dobutamin sampai dengan 20

mg / kg / menit diberikan atau ditambahkan ke vasopressor (jika digunakan) pada

keadaan : a) disfungsi miokard, seperti yang disarankan pada peningkatan cardiac

filling pressure dan cardiac output yang rendah, atau b) berlangsung tanda-tanda

hipoperfusi, meskipun mencapai volume intravaskuler yang memadai dan MAP

yang memadai (kelas 1C).

2. Kami merekomendasikan melawan penggunaan strategi untuk meningkatkan

cardiac indeks ke tingkat supranormal yang telah ditentukan (kelas 1B).

J. Kortikosteroid

1. Kami sarankan tidak menggunakan hidrokortison intravena sebagai pengobatan

pasien syok septik dewasa jika cairan resusitasi memadai dan terapi vasopressor

mampu mengembalikan stabilitas hemodinamik (lihat Resusitasi Awal). Jika ini

tidak dapat dicapai, kami sarankan hidrokortison intravena saja dengan dosis 200

mg per hari (kelas 2C).

2. Kami sarankan tidak menggunakan tes stimulasi ACTH untuk mengidentifikasi

subset dari orang dewasa dengan syok septik yang harus menerima hidrokortison

(kelas 2B).

3. Kami menyarankan bahwa klinisi membatasi terapi steroid pada pasien saat

vasopressors tidak lagi dibutuhkan (2D grade).

4. Kami merekomendasikan bahwa kortikosteroid tidak diberikan untuk

pengobatan sepsis tanpa adanya shock (kelas 1D)

5. Ketika dosis rendah hidrokortison diberikan, kami sarankan menggunakan infus

kontinu daripada suntikan bolus yang berulang (kelas 2D).

K. Transfusi Darah

1. Setelah hipoperfusi jaringan telah diselesaikan dan tidak adanya keadaan

khusus, seperti iskemia miokard, hipoksemia berat, perdarahan akut, atau penyakit

arteri koroner, kami merekomendasikan bahwa transfusi sel darah merah

dilakukan ketika konsentrasi hemoglobin menurun hingga <7,0 g / dL untuk

27

menargetkan konsentrasi hemoglobin sebesar 7,0 to 9.0 g / dL pada orang dewasa

(kelas 1B).

2. Kami sarankan tidak menggunakan erythropoietin sebagai pengobatan tertentu

anemia yang berhubungan dengan sepsis berat (kelas 1B).

3. Kami menyarankan bahwa fresh frozen plasma tidak dapat digunakan untuk

mengoreksi kelainan pembekuan darah yang ditemukan dari hasi laboratorium

tanpa adanya perdarahan atau prosedur invasif yang direncanakan (kelas 2D).

4. Kami merekomendasikan tidak menggunakan antithrombin untuk pengobatan

sepsis berat dan syok septik (1B grade).

5. Pada pasien dengan sepsis berat, kami menyarankan trombosit diberikan secara

profilaksis bila jumlahnya ≤ 10.000 / mm3 (10 × 109 / L) tanpa adanya

perdarahan yang jelas, juga ketika jumlahnya ≤ 20.000 / mm3 (20 × 109 / L) jika

pasien memiliki risiko pendarahan yang signifikan. Jumlah trombosit yang tinggi

(≥ 50.000 / mm3 [50 × 109 / L]) yang disarankan untuk perdarahan aktif, operasi,

atau prosedur invasif (grade 2D).

L. Imunoglobulin

1. Kami sarankan tidak menggunakan imunoglobulin intravena pada pasien

dewasa dengan sepsis berat atau syok septik (grade 2B).

M. Selenium

1. Kami sarankan tidak menggunakan selenium intravena untuk mengobati sepsis

berat (grade 2C).

N. Riwayat Rekomendasi Mengenai Penggunaan Recombinant Activated

Protein C

Rekombinan human activated protein C (rhAPC) telah disetujui untuk digunakan

pada pasien dewasa di sejumlah negara pada 2001, diikuti percobaan PROWESS

(Recombinant Human Activated Protein C Worldwide Evaluation in Severe

Sepsis), yang terdaftar 1.690 pasien sepsis berat dan menunjukkan penurunan

28

yang signifikan angka kematian (24,7%) dengan rhAPC dibandingkan dengan

plasebo (30,8%, p = 0,005) (228).

O. Ventilasi Mekanik Sepsis-induced Acute Respiratory Distress Syndrome

(ARDS)

1. Kami merekomendasikan dokter untuk menargetkan volume tidal sebesar 6 mL

/ kg berat badan yang diperkirakan pada pasien dengan sepsis-induced Acute

Respiratory Distress Syndrome (ARDS) (kelas 1A vs 12 mL / kg).

2. Kami merekomendasikan tekanan darah tinggi diukur pada pasien dengan

ARDS dan tujuan batas atas untuk tekanan dataran tinggi di paru-paru secara

pasif meningkat menjadi ≤ 30 cm H2O (1B grade).

3. Kami merekomendasikan positive end-expiratory pressure (PEEP) diterapkan

untuk menghindari collapse alveolar pada akhir ekspirasi (atelectotrauma) (1B

grade).

4. Kami menyarankan strategi yang didasarkan pada tingkat yang lebih tinggi

daripada yang lebih rendah dari PEEP untuk pasien dengan sepsis-induced sedang

sampai ARDS berat (kelas 2C).

5. Kami menyarankan manuver pengerahan pada pasien sepsis dengan hipoksemia

refraktori berat akibat ARDS (kelas 2C).

6. Kami menyarankan posisi pronasi pada pasien sepsis-induced ARDS dengan

rasio Pao 2/Fio 2 ≤ 100 mm Hg dengan fasilitas yang berpengalaman (2B grade).

7. Kami merekomendasikan pasien sepsis dengan ventilasi mekanik dipertahankan

dengan kepala ditinggikan antara 30 dan 45 derajat untuk menghindari resiko

aspirasi dan untuk mencegah berkembangnya ventilator-associated pneumonia

(VAP) (1B grade).

8. Kami menyarankan noninvasive mask ventilation (NIV) dapat digunakan pada

pasien minoritas sepsis-induced ARDS dimana manfaatnya telah diperhitungkan

dengan cermat dan diperkirakan lebih besar daripada risiko (2B grade).

9. Kami merekomendasikan protokol penyapihan di tempat dan bahwa pasien

ventilasi mekanik dengan sepsis berat menjalani uji pernapasan spontan teratur

untuk mengevaluasi kemampuan menghentikan ventilasi mekanik ketika mereka

29

memenuhi kriteria berikut: a) tidak dapat dibangunkan b) hemodinamik stabil

(tanpa agen vasopressor) c) tidak ada kondisi baru yang berpotensi serius, d)

ventilasi rendah dan kebutuhan end-expiratory pressure, dan e) kebutuhan FiO2

yang rendah dapat dengan aman melalui a face mask atau nasal kanul. Jika uji

pernapasan spontan berhasil, ekstubasi harus dipertimbangkan (1A grade).

10. Kami merekomendasikan tidak menggunakan kateter arteri pulmonal untuk

pasien dengan sepsis-induced ARDS (kelas 1A).

11. Kami merekomendasikan strategi cairan konservatif untuk pasien dengan

sepsis-induced ARDS yang tidak memiliki bukti hipoperfusi jaringan (1C grade).

12. Tanpa adanya indikasi spesifik seperti bronkospasme, kami menganjurkan

penggunaan β2-agonis untuk pengobatan pasien dengan sepsis-induced ARDS

(1B grade).

P. Sedasi, Analgesia, dan Blokade Neuromuskular pada Sepsis

1. Kami merekomendasikan sedasi yang berkelanjutan atau intermiten

diminimalkan pada pasien sepsis dengan ventilasi mekanik, target spesifik titik

akhir titrasi tertentu (1B grade).

2. Kami merekomendasikan Neuromuscular Blocking Agents (NMBAs) dihindari

jika mungkin pada pasien septik tanpa ARDS akibat risiko penghentian blokade

neuromuskuler yang berkepanjangan. Jika NMBAs harus dipertahankan, baik

bolus intermiten sebagai infus diperlukan atau kontinue dengan train-of-four

monitoring kedalaman blokade harus digunakan (1C grade).

3. Kami sarankan NMBA (≤ 48 jam) untuk pasien awal, sepsis-induced ARDS

dan Pao2/Fio2 <150 mm Hg (grace 2C).

Q. Kontrol Glukosa

1. Kami merekomendasikan pendekatan mengikuti protokol untuk manajemen

glukosa darah pada pasien ICU dengan sepsis berat, dimulai dosis insulin ketika

dua kadar glukosa darah berturut-turut > 180 mg / dL. Pendekatan ini harus

menargetkan batas atas glukosa darah ≤ 180 mg / dL daripada batas atas glukosa

darah ≤ 110 mg / dL (kelas 1A).

30

2. Kami merekomendasikan nilai glukosa darah dipantau setiap 1 sampai 2 jam

sampai nilai glukosa dan tingkat infus insulin yang stabil, setiap 4 jam sesudahnya

(1C grade).

3. Kami merekomendasikan kadar glukosa yang diperoleh dengan point-ofcare

testing pembuluh darah kapiler yang ditafsirkan dengan hati-hati, karena

pengukuran tersebut tidak dapat secara akurat memperkirakan darah arteri atau

nilai glukosa plasma.

R. Terapi Pengganti Ginjal

1. Kami menyarankan terapi pengganti ginjal terus menerus dan hemodialisis

intermiten yang setara pada pasien sepsis berat dan gagal ginjal akut karena

mereka mencapai tingkat ketahanan hidup jangka pendek (2B grade).

2. Kami menyarankan penggunaan terapi terus menerus untuk memfasilitasi

pengelolaan keseimbangan cairan pada pasien sepsis dengan hemodinamik tidak

stabil (kelas 2D)

S. Terapi Bikarbonat

1. Kami merekomendasikan tidak menggunakan terapi natrium bikarbonat untuk

tujuan memperbaiki hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopressor pada

pasien dengan hypoperfusion- induced lactic acidemia dengan pH ≥ 7.15 (2B

grade).

T. Profilaksis Deep Vein Thrombosis

1. Kami merekomendasikan pasien dengan sepsis berat mendapat

farmakoprofilaksis harian melalui venous thromboembolism (VTE) (1B grade).

Kami menganjurkan subcutaneous low-molecular weight heparin (LMWH) (kelas

1B dibandingkan unfractionated heparin (UFH) dua kali sehari dan kelas 2C vs

UFH diberikan tiga kali sehari). Jika creatinine clearance <30 mL / menit, kami

merekomendasikan penggunaan dalteparin (kelas 1A) atau bentuk lain dari

LMWH yang memiliki tingkat metabolisme ginjal yang rendah (kelas 2C) atau

UFH (kelas 1A).

31

2. Kami menyarankan pasien dengan sepsis berat diobati dengan kombinasi terapi

farmakologis dan perangkat kompresi intermiten pneumatik bila memungkinkan

(2C grade).

3. Kami merekomendasikan pasien sepsis yang memiliki kontraindikasi untuk

penggunaan heparin (misalnya, trombositopenia, koagulopati yang parah,

perdarahan aktif, perdarahan intraserebral) tidak menerima farmakoprofilaksis

(1B grade). Sebaliknya kami sarankan mereka menerima pengobatan profilaksis

mekanik, seperti compression stockings atau perangkat kompresi intermiten (kelas

2C), kecuali kontraindikasi. Ketika risiko berkurang, kami sarankan mulai

menggunakan farmakoprofilaksis (kelas 2C).

U. Profilaksis Stress Ulcer

1. Kami merekomendasikan profilaksis stress ulcer menggunakan H2 blocker atau

proton pump inhibitor diberikan kepada pasien dengan sepsis berat/syok septik

yang memiliki resiko perdarahan (1B grade).

2. Ketika profilaksis stress ulcer digunakan, kami menyarankan penggunaan

proton pump inhibitor daripada antagonis reseptor H2 (kelas 2C).

3. Kami menyarankan pasien tanpa risiko seharusnya tidak menerima profilaksis

(kelas 2B).

V. Nutrisi

1. Kami menyarankan pemberian melalui oral atau enteral (jika perlu), ditoleransi,

lebih baik puasa lengkap atau hanya glukosa intravena dalam 48 jam pertama

setelah didiagnosis sepsis berat / syok septik (kelas 2C).

2. Kami menyarankan hindari makanan kalori penuh dalam minggu pertama,

melainkan menyarankan makanan dosis rendah (misalnya, sampai dengan 500

kkal per hari), hanya sebagai toleransi (2B grade).

3. Kami sarankan untuk menggunakan glukosa intravena dan nutrisi enteral

daripada total parenteral nutrition (TPN) atau nutrisi parenteral dalam

hubungannya dengan makanan enteral dalam 7 hari pertama setelah diagnosis

sepsis berat / syok septik (2B grade).

32

4. Kami menyarankan menggunakan nutrisi tanpa suplemen imunomodulasi yang

spesifik pada pasien dengan sepsis berat (grade 2C).

W. Menetapkan Goals of Care

1. Kami merekomendasikan Goals of Care dan prognosis akan dibahas dengan

pasien dan keluarga (1B grade).

2. Kami merekomendasikan Goals of Care dimasukkan ke dalam pengobatan dan

perencanaan perawatan akhir kehidupan, memanfaatkan prinsip-prinsip perawatan

paliatif yang sesuai (1B grade).

3. Kami menyarankan bahwa tujuan perawatan ditangani sedini mungkin,

selambat-lambatnya dalam waktu 72 jam setelah masuk ICU (kelas 2C).

33

Tabel 2.6 Rekomendasi : Terapi Suportive lain pada Sepsis Berat

34

35

BAB 3

KESIMPULAN

Berdasarkan latar belakang dan pembahasan yang telah dijelaskan, maka

dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Sepsis adalah infeksi yang disertai dengan SIRS ditandai oleh 2 atau 3 dari

manifestasi klinis yaitu suhu tubuh > 38°C atau < 36°C, denyut jantung >

90kali/menit, laju napas > 20kali/menit, perubahan pada hitung lekosit berupa

lekositosis (>12,000 sel/mm3) atau lekopenia (< 4,000 sel/mm3) dan netrofil

batang (imatur) lebih dari 10% pada apusan darah tepi.

2. Sepsis berat adalah sepsis yang disertai dengan setidaknya disfungsi salah satu

organ atau terdapat hipoperfusi jaringan atau hipotensi.

3. Penyebab sepsis paling tersering adalah infeksi saluran napas dan infeksi saluran

kemih, diikuti dengan infeksi saluran cerna dan infeksi jaringan lunak.

4. Gejala klinis yang dapat ditemukan pada sepsis berat adalah hipotensi,

peningkatan laktat plasma, produksi urin <0.5ml/kg/jam selama lebih 12 jam

walau resusitasi sudah adekuat, acute lung injury (ALI) dengan rasio PaO2 < 250

tanpa terdapat pneumonia sebagai sumber infeksi, ALI dengan rasio PaO2/FIO2 <

200 dengan pneumonia sebagai sumber infeksi, kreatinin plasma > 2.0

mg/dl(176.8 µmol/L), bilirubin plasma > 2 mg/dl (34,2 µmol/L), hitung

trombosit <100,000/µL dan koagulopati (INR >1,5).

5. Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam

menentukan diagnosis sepsis.

6. Penatalaksanaan pasien sepsis berat di ICU pada saat ini menggunakan Surviving

Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis

and Septic Shock: 2012

36

DAFTAR PUSTAKA

1. Fitch SJ, Gossage JR. Optimal management of septic shock: rapid recognition and institution of therapy are crucial. Postgraduate Med. 2002;3:50-9.

2. Angus DC, Linde WT, Lidicker J. Epidemiology of severe sepsis in the United States.Crit Care Med. 2001;20:1303-31.

3. Reinhardt K, Bloos K, Brunkhorst FM. Pathophysiology of sepsis and multiple organ dysfunction. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, eds. Textbook of critical care. 15th ed. London: Elsevier Saunders Co; 2005. p.1249-57.

4. Marik VE, Varon J. The management of sepsis. In: Irwin RS, Rippe JM, eds. Irwin and rippe’s intensive care medicine. 6th ed. Philadelphia: Lippincot Williams&Wilkins; 2008. p.1856-69.

5. Edbroke DL, Hibbert CL, Kingsley JM. The patient related costs of care for sepsis patients in England adult general intensive care unit. Crit Care Med. 1999;27:1760-76

6. Hoyert DL, Anderson RN. Age-adjusted death rate. Natl Vital Stat Rep. 2001;49:1-6

7. American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine Consensus Conference. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. Crit Care Med. 1999;20:864-74

8. Popovich MJ, Trenoswjka E. Management sepsis in ICU. In: Popovich MJ eds. International anaesthesiology clinics. 2nd ed. London: Lippincot Williams&Wilkins; 2009. p.55-6

9. Brahm Goldstein,MD.et al.2005. International Pediatric Sepsis Consensus Conference : Definitions for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatrics Critical Care Med 2005 Vol.6 No.1

10. De Gaudio AR. Severe sepsis. In: Berstein AD, Soni N eds. Oh’s Intensive care manual. 6th ed. Philadelphia: Elsevier Limited; 2009. p.709-17

11. Munford RS. Severe sepsis and septic shock. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL eds. Harrison’s principles of internal medicine. 16th ed. New York: The McGraw-Hill Co; 2005 .p.1606-12

37

12. Brun- Buisson C, Doyon F, Carlet J, et al. Incidence, risk factors, and outcome of severe sepsis and septic shock in adults. A multicenter prospective study in intensive care units. French ICU Group for Severe Sepsis. JAMA. Sept 27 1995; 274(12): 968-74

13. Pinsky, MR, et al. 2010. Septic Shock. Medscape Reference: Drugs, Diseases & Procedures. Accessed from: http://emedicine.medscape.com/article/168402-overview [5th March 2013]

14. Hotchkiss RS, Karl IE. The pathophysiology and treatment of sepsis. N Engl J Med. 2003;348:1 38-50

15. Rivers EP, Jaehne AK,Wharry LE, Brown S, Amponsah D. Fluid therapy in septic shock. Curr Opin Crit Care. 2010;16:1-12

16. Boyd JH, Forbes J, Nakada TA,Walley KR. Fluid resuscitation in septic shock: a positive fluid balance and elevated central venous pressure associated with increased mortality. Crit Care Med. 2011;39:2:1-7

17. Schmidt GA, Durairaj L. Fluid therapy in resuscitated sepsis* Less is more. Chest. 2008;133:252-63

18. Russell JA. Management of sepsis. N Engl.J Med. 2006;355:1699-713

17. Dellinger P, Levy MM, Carlet JM, Bion J, Parker MM, Jaeschke R. Surviving sepsis campaign : International guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med. 2008;36:296-327

18. Sumarmo,Gama Herry, Hadinegoro Sri Rezeki. Sepsis dan syok septic. Buku ajar ilmu kesehatan anak . infeksi dan penyakit tropic. Ikatan dokter anak Indonesia, Jakarta 2002 : 391-398

19. Powell KR. Sepsis dan Syok. Dalam: Nelson, Behrman, Kliegman, Arvin (editor). Ilmu Kesehatan Anak. Vol 2.ed 15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000. Hal 869 – 870

20. Hassan, Rusepno, et al (ed). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Jakarta. 1985

21. Behrman, kliegman, Arvin. Sepsis dan Meningitis Neonatus Nelson textbook of Pediatrics. edisi,15. Penerbit EGC ; Jakarta 2000 : 653 – 655.

22. Dellinger Phillip, et all. 2012. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. CCM Journal 41:580-637