manajemen sepsis edit
DESCRIPTION
iiTRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Sepsis adalah penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan
intensif. Sepsis diderita oleh 18 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya.
Insidens sepsis diperkirakan sekitar 50-95 kasus diantara 100.000 populasi dengan
peningkatan sebesar 9% tiap tahunnya. Syok sepsis merupakan penyebab
kematian tersering di unit pelayanan intensif di Amerika Serikat (AS) dengan
kecenderungan meningkat.1,2
Kemajuan teknologi kedokteran, peningkatan pemakaian obat
imunosupresif dan peningkatan populasi usia tua memberikan sumbangan besar
terhadap peningkatan insidens sepsis secara eksponensial. Di AS terjadi 750 ribu
kasus sepsis setiap tahun dan sekitar 225 ribu kasus berakhir dengan kematian.
Insidens sepsis lebih tinggi pada laki-laki ras non Kaukasia. Perawatan lama di
unit perawatan intensif juga sering dialami oleh pasien sepsis, berkisar antara 2-3
minggu.3
Penelitian epidemiologi sepsis di AS menyatakan insidens sepsis sebesar 3
kasus diantara 1.000 populasi. Insidens meningkat lebih dari 100 kali lipat
berdasarkan umur (0,2/1.000 pada anak-anak, sampai 26,2/1.000 pada kelompok
umur > 85 tahun). Angka perawatan sepsis berkisar antara 2 sampai 11% dari total
kunjungan ICU. Angka kejadian sepsis di Inggris berkisar 16% dari total
kunjungan ICU. Insidens sepsis di Australia sekitar 11 tiap 1.000 populasi. Sepsis
berat terdapat pada 39 % diantara pasien sepsis.4
Angka kematian sepsis berkisar antara 25 - 80 % diseluruh dunia tergantung
beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, ras, penyakit penyerta, riwayat
trauma paru akut, sindrom gagal napas akut, gagal ginjal dan jenis infeksinya
yaitu nosokomial, polimikrobial atau jamur sebagai penyebabnya.3-6
Oleh karena itu, sangatlah penting untuk dapat memahami sepsis mulai dari
definisi, penyebab, penegakkan diagnosis hingga penatalaksanaannya.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Defenisi Sepsis
Sepsis adalah proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri dan jamur.
Definisi yang dihubungkan dengan sepsis yaitu sindrom sepsis, sepsis berat,
septikemia dan syok sepsis. Pada tahun 1991 organisasi The American College of
Chest Physicians / Society of Critical Care Medicine ( ACCP/SCCM)
mengembangkan definisi klinis sepsis dengan lebih akurat. Definisi dibuat dengan
mempertimbangkan sepsis dapat disebabkan oleh berbagai agen infeksi dan
produk mikroba yang mungkin saja tidak berhubungan dengan terdapatnya
mikroba dalam aliran darah.7
Systemic inflammatory response syndrome (SIRS) ditujukan untuk
menggambarkan respons sistemik terhadap berbagai etiologi penyakit. Systemic
inflammatory response syndrome ditandai oleh 2 atau 3 dari manifestasi klinis
yaitu suhu tubuh > 38°C atau < 36°C, denyut jantung > 90kali/menit, laju napas >
20kali/menit, perubahan pada hitung lekosit berupa lekositosis (>12,000 sel/mm3)
atau lekopenia (< 4,000 sel/mm3) dan netrofil batang (imatur) lebih dari 10%
pada apusan darah tepi.7,8
Infeksi jika dicurigai atau terbukti (dengan hasil kultur positif, sisa
jaringan, atau tes PCR), infeksi disebabkan oleh kuman patogen atau sindrom
klinik yang berhubungan dengan kemungkinan infeksi yang sangat tinggi. Bukti
infeksi termasuk didapatnya tanda positif pada pemeriksaan klinis, pencitraan atau
tes laboratorium (contoh : sel leukosit dalam cairan tubuh yang seharusnya steril,
perforasi visera, foto thorax dengan gambaran pneumonia, rash petekie atau
purpura, atau purpura fulminan)9
Bila tanda-tanda SIRS sudah nyata atau dicurigai akibat infeksi maka
respons sistemik ini disebut sepsis. Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis yang
disertai dengan setidaknya disfungsi salah satu organ atau terdapat hipoperfusi
3
jaringan atau hipotensi. Syok sepsis merupakan kelanjutan sepsis berat dan
didefinisikan sebagai hipotensi refrakter karena sepsis, terjadi setelah dilakukan
resusitasi cairan yang adekuat. Kondisi syok yang berkepanjangan akan membuat
berbagai organ mengalami hipoperfusi dan hipoksia dan berakhir dengan
kegagalan organ multipel dan terjadi gangguan homeostasis. Multiple-organ
dysfunction syndrome (MODS) adalah disfungsi lebih dari satu organ dan
memerlukan intervensi untuk mempertahankan homeostasis.10,11
2.2. Etiologi Sepsis
Sebelum ditemukannya antibiotik, bakteri gram positif merupakan penyebab
utama sepsis. Dewasa ini, bakteri gram negatif menjadi mikroorganisme yang
memilki patogenitas tinggi dalam menyebabkan sepsis berat dan syok sepsis.
Infeksi saluran napas dan infeksi saluran kemih menjadi penyebab tersering
sepsis, diikuti dengan infeksi saluran cerna dan infeksi jaringan lunak. Setiap
sistem organ cenderung diinfeksi oleh mikroorganisme tertentu.
Infeksi saluran napas bawah merupakan penyebab syok sepsis pada 25% pasien,
dan agen patogen yang sering menyebabkannya antara lain:12
1. Streptococcus pneumoniae
2. Klebsiella pneumoniae
3. Staphylococcus aureus
4. Escherichia coli
5. Legionella sp.
6. Haemophilus sp.
7. Bakteri anaerob
8. Bakteri gram negatif
9. Jamur
4
Infeksi saluran kemih menyebabkan syok sepsis pada 25% pasien,
penyebabnya antara lain:
1. E coli
2. Proteus sp.
3. Klebsiella sp.
4. Pseudomonas sp.
5. Enterobacter sp.
6. Serratia sp.
Infeksi jaringan lunak adalah penyebab syok sepsis pada 15% pasien, dan
kuman penyebab yang sering adalah:
1. Staphylococcus aureus
2. Staphylococcus epidermidis
3. Streptococcus sp.
4. Clostridia
5. Bakteri gram negatif
6. Bakteri anaerob
Infeksi saluran cerna merupakan penyebab syok sepsis pada 15% pasien,
penyebabnya adalah:
1. E coli
2. Streptococcus faecalis
3. Bacteroides fragilis
4. Acinetobacter sp.
5. Pseudomonas sp.
6. Enterobacter sp.
7. Salmonella sp.
Infeksi pada sistem reproduksi laki-laki dan perempuan menyebabkan syok
sepsis pada 10% pasien, penyebabnya antara lain:
1. Neisseria gonorrhoeae
2. Bakteri gram negatif
3. Streptococcus sp.
4. Bakteri anaerob
5
Benda asing (misalnya kateter urin) menyebabkan syok sepsis pada 5% pasien,
dan S aureus, S epidermidis, dan jamur (misalnya spesies Candida) adalah
penyebab tersering. Infeksi pada lokasi tubuh lainnya (misalnya meningitis)
menyebabkan syok sepsis ada 5% pasien, dan Neisseria meningitides adalah
penyebab tersering.13
Tabel 2.1 Mikroorganisme penyebab tersering sepsis berat2
Mikroorganisme Pada infeksi hematogen (%, n = 436)
Pada infeksi lokal (%, n = 430)
Total (%, n = 866)
Gram-negatif 35 44 40 Gram-positif 40 24 31 Jamur 7 5 6 Polimikroba 11 21 16 Patogen klasik <5 <5 < 5
2.3. Faktor Risiko Sepsis
Alasan semakin meningkatnya insidensi sepsis disebabkan semakin
bertambahnya populasi berusia lanjut, semakin majunya teknik diagnostik,
meningkatnya jumlah prosedur-prosedur invasif dan transplantasi organ,
menigkatnya penggunaan obat imunosupresan dan kemoterapi, meningkatnya
penggunaan alat-alat yang dipasang di tubuh, dan meningkatnya jumlah penyakit-
penyakit kronis, seperti gagal ginjal kronik dan HIV.4
Kebanyakan pasien sepsis dan syok sepsis memiliki keadaan mendasar yang
berhubungan erat dengan mekanisme pertahanan imun local maupun sistemik.
Sepsis terlihat paling sering pada pasien berusia lanjut dan pasien yang memiliki
penyakit penyerta (komorbid) yang memudahkan terjadinya infeksi, seperti
diabetes atau penyakit imunokompromis.
6
Penyakit yang paling sering mencetuskan sepsis adalah: keganasan, diabetes
mellitus, penyakit hati kronik, gagal ginjal kronis, dan penggunaan obat-obat
imunosupresif. Lebih lanjut, sepsis juga merupakan komplikasi yang sering terjadi
setelah terjadinya pembedahan, trauma, dan luka bakar luas. Pasien dengan kateter
atau perangkat medis terpasang juga memiliki risiko tinggi untuk megalami
sepsis.13
2.4. Patogenesis dan Patofisiologi Sepsis
Patogenesis sepsis sangat kompleks, meliputi interaksi antara faktor-
faktor mikrobial dan pejamu. Sesudah pajanan bakteri baik gram negatif ataupun
positif, makrofag meningkatkan ekspresi lebih dari 1.000 gen dan protein
sekaligus menekan ekspresi 300 gen lainnya dengan hasil akhir yang dipengaruhi
oleh interaksi faktor- faktor diatas.2 Meskipun memiliki gejala klinis yang sama,
proses molekular dan selular yang memicu respon sepsis berbeda tergantung dari
mikroorganisme penyebab, sedangkan tahapannya sama dan tidak bergantung
pada organisme penyebab.
Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan
lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida
merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan
memiliki peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat
protein spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB).
Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada
membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor
4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi
makrofag. Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua
mekanisme, yakni (1) dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai
superantigen dan (2) dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang
sel imun. Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan
sitokin proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang
7
tidak mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang
respon imun non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram
negatif.14
Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai
dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis (Gambar 1). Mediator inflamasi
primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini
akan mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen.9
Gambar 2.1. Patofisiologi kaskade sepsis9
Infeksi akan dilawan oleh tubuh, baik melalui sistem imunitas selular yang
meliputi monosit, makrofag dan netrofil serta melalui sistem imunitas humoral
dengan membentuk antibodi dan mengaktifkan jalur komplemen. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, pengenalan patogen oleh CD14 dan TLR-2 serta TLR-4 di
membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk
mengaktifkan sistem imunitas selular. Pengaktifan ini menyebabkan sel T akan
berdiferensiasi menjadi sel T helper-1 (Th1) dan sel T helper-2 (Th2). Sel Th1
mensekresikan sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF),
interferon γ (IFN-γ), interleukin 1-ß(IL-1ß), IL-2, IL-6 dan IL-12. Sel Th2
mensekresikan sitokin antiinflamasi seperti IL-4, -10, dan -13. Pembentukan
sitokin proinflamasi dan anti inflamasi diatur melalui mekanisme umpan balik
8
yang kompleks. Sitokin proinflamasi terutama berperan menghasilkan sistem
imun untuk melawan kuman penyebab. Namun demikian, pembentukan sitokin
proinflamasi yang berlebihan dapat membahayakan dan dapat menyebabkan syok,
kegagalan multi organ serta kematian. Sebaliknya, sitokin anti inflamasi berperan
penting untuk mengatasi proses inflamasi yang berlebihan dan mempertahankan
keseimbangan agar fungsi organ vital dapat berjalan dengan baik.8
Sitokin proinflamasi juga dapat mempengaruhi fungsi organ secara
langsung atau secara tidak langsung melalui mediator sekunder (nitric oxide,
tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF), prostaglandin dan
komplemen). Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan
selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi
sehingga menyebabkan kerusakan organ. Aktivasi endotel akan meningkatkan
jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada
tempat yang mengalami cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan
gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada
permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik. Selain itu,
inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot polos
pembuluh darah.10
Patogenesis hipovolemia pada sepsis berat
Hipovolemia yang terinduksi sepsis disebabkan oleh kehilangan cairan
eksternal dan internal. Kehilangan cairan eksternal seperti muntah, diare, serta
karena takipnu dan diaforesis. Kehilangan cairan internal dapat berupa edema,
peritonitis dan lainnya. Hipovolemia oleh kehilangan cairan eksternal dan internal
disebut juga hipovolemia absolut. Hipovolemia yang disebabkan maldistribusi
cairan intravaskular karena vasodilatasi sistemik dan ekstravasasi cairan ke ruang
interstisial akibat peningkatan permeabilitas kapiler disebut hipovolemia relatif.
Kedua jenis hipovolemia ini menyebabkan penurunan preload ventrikel, tekanan
diastolik ventrikel, isi sekuncup, curah jantung dan pengangkutan oksigen
sistemik.15,16
9
Respons kompensasi karena hipovolemia diperantarai oleh susunan saraf simpatis
yang meliputi:15,17
1. Redistribusi aliran darah pembuluh darah otot rangka dan organ viseral
(splanknik) ke organ vital yaitu jantung dan otak. Perpindahan cairan dari dan
menuju kompartemen pembuluh darah ditentukan oleh perbedaan tekanan
hidrostatik dan onkotik antara mikrovaskuler dan ruangan interstisial.
Vasokonstriksi prekapiler menurunkan tekanan mikrovaskuler sehingga cairan
dari ruangan interstisial berpindah ke kompartemen pembuluh darah. Jenis
cairan kristaloid atau koloid diberikan pada resusitasi awal berdasarkan
patofisiologi hipovolemia yang sedang berlangsung.
2. Penguatan kontraktilitas otot jantung akan meningkatkan isi sekuncup dan
curah jantung . Penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya akan
meniadakan respons dan mengaburkan gambaran klinis hipovolemia.
3. Terjadi vasokonstriksi arteri dan vena terutama di daerah splanknik untuk
meningkatkan darah balik vena . Penggunaan obat anti hipertensi dan diuretik
mengganggu respons ini.
4. Terjadi pelepasan hormon adrenomedulokortikoid seperti kortisol, aldosteron
dan katekolamin selama stres hipovolemik. Gagal jantung kongestif, gagal
ginjal, penyakit hati dan disfungsi adrenal memperburuk homeostasis garam
dan air sehingga terjadi perubahan kebutuhan dan eliminasi cairan tubuh.
5. Terjadi aktivasi aksis renin-angiotensin yang meningkatkan pelepasan
aldosteron dari korteks adrenal. Perubahan osmolaritas serum karena
pelepasan arginin-vasopresin (AVP) dari hipofisis posterior yang
menyebabkan retensi cairan.
6. Perubahan mikrosirkulasi menyebabkan asidosis, pireksia dan peningkatan 2,3-
difosfogliserat eritrosit (mempermudah pelepasan oksigen ke jaringan).
Beberapa faktor menyebabkan gangguan mikrovaskuler yaitu:
tekanan (hidrostatik dan onkotik),
perubahan reologi eritrosit dan viskositas (hematokrit lokal),
10
adesi leukosit dengan sel endotel,
disfungsi endotel,
edema interstisial
2.5. Diagnosis Sepsis
Kultur darah perlu dilakukan sebelum pemberian antibiotik namun
prosedur pemeriksaan tersebut jangan menghambat pemberian antibiotik.
Identifikasi mikroorganisma dalam darah sebaiknya dilakukan setidaknya dua
kultur darah sebelum pemberian antibiotik. Pengambilan contoh kultur dapat kita
ambil dari darah, cairan serebrospinal, luka, sekret saluran napas atau dari
cairan tubuh lain yang merupakan sumber infeksi. Pemeriksaan prokalsitonin
kadang diperlukan pada pasien dengan inflamasi akut yang disebabkan oleh
infeksi pasca bedah atau keadaan syok. Masa yang akan datang penggunaan
polymerase chain reaction (PCR) untuk identifikasi secara cepat bakteri
patogen dan resistensi kuman pada pasien-pasien yang diduga sepsis.
Sepsis berat adalah hipoperfusi jaringan atau disfungsi organ karena sepsis
(beberapa diantaranya diduga berhubungan dengan infeksi) seperti yang
dijelaskan tabel 2.2 Gejala klinis yang dapat ditemukan adalah hipotensi,
peningkatan laktat plasma , produksi urin <0.5ml/kg/jam selama lebih 12 jam
walau resusitasi sudah adekuat, acute lung injury (ALI) dengan rasio PaO2 < 250
tanpa terdapat pneumonia sebagai sumber infeksi, ALI dengan rasio PaO2/FIO2 <
200 dengan pneumonia sebagai sumber infeksi, kreatinin plasma > 2.0
mg/dl(176.8 µmol/L), bilirubin plasma > 2 mg/dl (34,2 µmol/L), hitung
trombosit <100,000/µL dan koagulopati (INR >1,5).17
Tabel 2.2 Kriteria diagnostik pada sepsis18
Kriteria Diagnostik Gejala
Variabel Umum Demam > 38.3oC, hipotermia,
frekuensi denyut jantung >
11
90x/menit, takipneu, penurunan
fungsi kesadaran, edema bermakna
atau balans cairan positif (>
20ml/kg dalam 24 jam),
hiperglikemia (glukosa plasma >
140 mg/dl attau 7.7 mmol/L) tanpa
riwayat diabetes.
Variabel Inflamasi Leukositosis ( >12.000/µL)
Leukopenia ( < 4000/ µL)
Hitung Leukosit normal
dengan jenis imatur >10%
C-reaktif protein plasma >2
SD diatas nilai normal
Procalcitonin plasma >2 SD
diatas nilai normal
Variabel Hemodinamik Hipotensi arterial tekanan darah
sistol <90 mmHg, tekanan arteri rata-
rata <70 mmHg atau penurunan
tekanan darah sistol >40 mmHg pada
dewasa
Variabel Disfungsi Organ Hiposemia arteri (PaO2/FIO2
<300)
Oligouria akut (produksi urin
< 0,5 cc/kg/jam selama lebih
dari 6 jam walaupun
resusitasi cairan sudah
adekuat)
Peningkatan kreatinin > 0,5
mg/dL atau 44,2 µmol/L
12
Koagulasi abnormal (INR
>1,5 atau aPTT > 60 detik)
Ileus
Trombositopenia
(<100.000/µL)
Hiperbilirubinemia (bilirubin
plasma total > 4mg/dL or 70
µmol/L)
Variabel Perfusi Jaringan Hiperlaktatemia
Penurunan waktu pengisian
kapiler
2.6. Pemeriksaan Penunjang Sepsis
2.6.1 Pemeriksaan Laboratorium19,20,21
2.6.1.1 Pemeriksaan Kuman
a. Kultur Darah
Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam
menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil
biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Hasil kultur perlu
dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan
dari jenis kuman yang biasa ditemukan di masing-masing klinik. Kultur darah
dapat dilakukan baik pada kasus sepsis dan sepsis berat.
b. Pewarnaan Gram
Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua dan sampai
saat ini masih sering dipakai di laboratorium dalam melakukan identifikasi
kuman. Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini dilakukan untuk membedakan
apakah bakteri penyebab termasuk golongan bakteri Gram positif atau Gram
13
negatif. Walaupun dilaporkan terdapat kesalahan pembacaan pada 0,7% kasus,
pemeriksaan untuk identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada rumah
sakit dengan fasilitas laboratorium terbatas dan bermanfaat dalam menentukan
penggunaan antibiotik pada awal pengobatan sebelum didapatkan hasil
pemeriksaan kultur bakteri.
Pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium yang lebih memadai, seperti
inkubator, pemeriksaan kultur darah harus dilakukan karena merupakan
pemeriksaan baku emas untuk diagnosis bakteremia. Automated blood culture
system yaitu kultur darah dengan medium cair dari sistem deteksi cepat dan
automated seperti Bactec™ dan BacT Alert™ dapat digunakan apabila tersedia
anggaran yang memadai. Dari penjelasan diatas terlihat bahwa masih banyak
ditemukan kekurangan pada pemeriksaan identifikasi kuman. Oleh karena itu,
berbagai upaya penegakan diagnosis dengan mempergunakan petanda sepsis
banyak dilakukan oleh para peneliti. Berbagai petanda sepsis banyak dilaporkan di
kepustakaan dengan spesifisitas dan sensitivitas yang berbeda-beda.
2.6.1.2 Procalcitonin (PCT)
PCT merupakan protein yang disusun oleh 116 asam amino, memiliki berat
13 kDa dan merupakan prohormon dari kalsitonin yang diproduksi oleh sel
parafolikuler kelenjar tiroid, yang dalam keadaan normal tidak akan terdeteksi
dalam darah. Secara fisiologis kadarnya meningkat pada neonatus. Pada hari
pertama bervariasi antara 0,1-21 ng/mL dengan median 2 ng/mL. Kemudian
kadarnya menurun dan setelah 48 jam nilainya normal yakni <2 ng/mL. PCT
bereaksi lebih cepat terhadap rangsangan inflamasi dari CRP, mempunyai
sensitivitas 92,6% dan spesifisitas 97,5% untuk sepsis awitan dini, serta
sensitivitas dan spesifisitas 100% untuk sepsis awitan lambat. Selain itu, dapat
membedakan infeksi bakterial dari viral. Pada infeksi bakterial, mean PCT 29,7
ng/mL sedangkan pada infeksi viral, mean PCT 0,28 (0–1,5) ng/mL. Pengukuran
kadarnya dapat dikerjakan secara imunologis dengan alat Vidas.
2.6.1.3 Pemeriksaaan Kemokin, Sitokin dan Molekul Adhesi
14
Modalitas pemeriksaan terkini dalam mengevaluasi sepsis adalah dengan
menggunakan petanda infeksi (infection markers) seperti CD11b, CD64,
Interleukin-6 (IL-6) yang dapat membantu sebagai petanda tambahan.
Pemeriksaan petanda-petanda infeksi tersebut secara serial dikombinasikan
dengan beberapa tes sehingga dapat memberikan hasil yang baik. Sayangnya,
pemeriksaan petanda infeksi tersebut tidak dianjurkan untuk dijadikan
pemeriksaan tunggal. Pada beberapa kasus, pemeriksaan ini dapat menunjukkan
kapan pemberian antibiotik dapat dihentikan. IL-6 adalah sitokin pleiotropik yang
terlibat dalam berbagai aspek sistem imunitas. IL-6 disintesis oleh berbagai
macam sel seperti monosit, sel endotel dan fibroblas, setelah ada rangsangan TNF
dan IL-1. Petanda ini menginduksi sintesis protein fase akut termasuk CRP dan
fibrinogen. Pada sebagian besar kasus sepsis, IL-6 meningkat cepat yang terjadi
dalam waktu beberapa jam sebelum peningkatan konsentrasi CRP dan akan
menurun sampai ke kadar yang tidak terdeteksi dalam waktu 24 jam. IL-6 ini
memiliki waktu paruh yang singkat serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang baik sebagai petanda infeksi. Dari penelitian didapatkan kesimpulan bahwa
pemeriksaan IL-6 atau IL-8 dikombinasikan dengan pemeriksaan CRP dapat
dijadikan pegangan untuk menyingkirkan kemungkinan sepsis sehingga secara
keseluruhan menurunkan biaya dan risiko pemberian antibiotik.
2.6.1.4 Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)
Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan biomolekular berupa
Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan guna menentukan diagnosis dini
pasien sepsis. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan
mampu lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Di beberapa kota besar
Inggris, pemeriksaan cara ini telah dilakukan pada semua fasilitas laboratorium
guna mendeteksi dini kuman tertentu antara lain N.meningitidis dan
S.pneumoniae. Selain bermanfaat untuk deteksi dini, PCR juga dapat digunakan
untuk menentukan prognosis pasien sepsis. Pemeriksaan ini merupakan metode
pemeriksaan yang sensitivitas dan spesifisitasnya hampir mencapai 100% dalam
mendiagnosis sepsis yang disebabkan oleh bakteri dalam waktu singkat. Metode
15
ini merupakan diagnosis molekular yang menggunakan amplifikasi PCR dari 16S
rRNA pada bayi baru lahir dengan faktor risiko sepsis ataupun memiliki gejala
klinis sepsis.21 Walaupun diagnostik molekular pada bakteri menggunakan PCR
dengan daerah target 16S rRNA telah terbukti cepat dan akurat (sensitivitas 96%,
spesifisitas 99,4% nilai prediksi positif 88,9% dan nilai prediksi negatif 99,8%),
masih dibutuhkan penelitian klinis dengan lingkup yang besar untuk menentukan
apakah teknik PCR dapat menjadi adjunctive test untuk diagnostik cepat
bakteremia pada neonatus risiko tinggi dengan gejala sepsis. Diagnostik
molekular menggunakan 18S rRNA juga dapat digunakan untuk mendeteksi
jamur invasif di dalam darah neonatus dengan risiko tinggi infeksi jamur.
Dibandingkan dengan kultur, PCR mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas
98% dalam menentukan infeksi jamur invasif. Namun pemeriksaan ini masih
sangat terbatas di Indonesia, dan hanya bisa dilakukan di Pusat Pendidikan atau
Rumah Sakit Rujukan Propinsi.
2.6.1.5 AGDA, Elektrolit dan Glukosa
Pada pemeriksaan AGD pada kasus sepsis, nilai serum laktat dapat menjadi
indikator hipoperfusi jaringan. Peningkatan serum laktat menunjukkan adanya
hipoperfusi jaringan yang signifikan akibat perubahan metabolisme tubuh dari
aerob menjadi anaerob.
2.6.1.6 Tes Fungsi Hati dan Ginjal
Fungsi hati dinilai dengan mengukur kadar bilirubin, alkali fosfatase, SGOT
dan juga SGPT dalam darah. Fungsi ginjal dinilai dengan mengukur kadar
kretinin dan BUN dalam serum. Kedua-dua pemeriksaan in bertujuan untuk
deteksi dini kemungkinan kegagalan organ akibat dari sepsis yang dapat
menyebabkan komplikasi yang serius seperti MDOS.
2.6.1.7 Status Koagulasi
16
Tes PT dan PTT dilakukan pada kasus sepsis untuk mengukur ada tidaknya
DIC. DIC adalah salah satu komplikasi yang terjadi akibat dari sepsis yang
menggangu sistem koagulasi tubuh.
2.6.2 Pencitraan21
a. Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran,
misalnya:
Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola
retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS (Respiratory
Distress Syndrome).
Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.
Pneumonia. Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena
ditemukan pada sebagian besar kasus, meninggal akibat sepsis yang telah
terbukti dengan kultur.
b. Pemeriksaan CT Scan diperlukan pada kasus meningitis untuk melihat
hidrosefalus obstruktif, lokasi obstruksi dan melihat infark ataupun abses.
c. USG kepala pada kasus dengan meningitis dapat menunjukkan ventrikulitis,
kelainan ekogenesitas parenkim, cairan ekstraselular dan perubahan kronis. Secara
serial, USG kepala dapat menunjukkan progresivitas komplikasi.
2.7. Penatalaksanaan Pasien Sepsis Berat di ICU
17
Penatalaksanaan pasien sepsis berat di ICU pada saat ini menggunakan
Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe
Sepsis and Septic Shock: 2012 sebagai berikut.22
Tabel 2.3. Resusitasi Awal dan Masalah Infeksi
18
A. Resusitasi Awal
1. Kami merekomendasikan protokol resusitasi kuantitatif pasien dengan sepsis
yang menginduksi hipoperfusi jaringan (didefinisikan dalam dokumen ini sebagai
hipotensi yang bertahan setelah pemberian cairan awal atau konsentrasi laktat
darah ≥ 4 mmol / L). Protokol ini harus dimulai sesegera mungkin saat didapati
hipoperfusi dan tidak boleh ditunda untuk dimasukkan ke ICU. Selama 6 jam
pertama resusitasi, tujuan resusitasi awal pada sepsis yang menginduksi
hipoperfusi harus mencakup semua hal berikut sebagai bagian dari protokol
pengobatan (kelas 1C):
a) CVP 8-12 mm Hg
b) MAP ≥ 65 mm Hg
c) Urin output ≥ 0,5 mL/kg/jam). Saturasi oksigenas vena cava superior (Scvo2)
atau saturasi oksigen vena campuran (Svo2) masing-masing 70% atau 65%.
2. Kami sarankan menargetkan resusitasi untuk menormalkan laktat pada pasien
dengan kadar laktat tinggi sebagai penanda hipoperfusi jaringan (kelas 2C).
19
B. Skrining untuk Sepsis dan Peningkatan Kinerja
1. Kami merekomendasikan skrining rutin pada pasien dengan penyakit infeksi
serius yang berpotensi terinfeksi sepsis berat untuk meningkatkan identifikasi
awal sepsis dan memungkinkan pelaksanaan terapi sepsis dini (kelas 1C).
2. Upaya peningkatan kinerja pada sepsis berat harus digunakan untuk
meningkatkan outcome pasien (UG).
C. Diagnosis
1. Kami merekomendasikan untuk menetukan kultur yang sesuai sebelum terapi
antimikroba dimulai jika kultur tersebut tidak menyebabkan penundaan yang
signifikan (> 45 menit) pada pemakaian awal antimikroba (kelas 1C). Untuk
mengoptimalkan identifikasi organisme penyebab, kami sarankan mendapatkan
setidaknya dua set kultur darah (baik aerobik dan anaerobik) sebelum terapi
antimikroba, dengan setidaknya satu diambil secara perkutan dan satu diambil
melalui setiap perangkat akses vaskular, kecuali perangkat yang baru dimasukkan
(< 48 jam). Kultur darah ini dapat diambil pada saat yang sama jika mereka
diperoleh dari lokasi yang berbeda. Kultur dari tempat lain (sebaiknya kuantitatif
jika perlu), seperti urine, cairan serebrospinal, luka, sekret pernapasan, atau cairan
tubuh lain yang mungkin menjadi sumber infeksi, juga harus diperoleh sebelum
terapi antimikroba jika hal itu tidak menyebabkan penundaan yang signifikan
dalam pemasukan antibiotik (kelas 1C).
20
2. Kami menyarankan penggunaan assay 1,3 β-d-glucan (kelas 2B), mannan dan
tes antibodi anti-mannan (kelas 2C) ketika kandidiasis invasif adalah dalam
diagnosis diferensial infeksi.
3. Kami merekomendasikan bahwa studi pencitraan dilakukan segera dalam upaya
untuk mengkonfirmasi potensi sumber infeksi. Potensi sumber infeksi harus
berasal dari sampel seperti yang diidentifikasi dan dengan mempertimbangkan
risiko pasien untuk prosedur transportasi dan invasif (misalnya, koordinasi hati-
hati dan monitoring agresif jika keputusan dibuat untuk transportasi untuk aspirasi
jarum CT-dipandu). Studi seperti penggunaan USG, dapat menghindari
transportasi pasien (UG).
D. Terapi Antimikrobial
1. Pemberian antimikroba intravena yang efektif dalam satu jam pertama dari
awitan syok septik (kelas 1B) dan sepsis berat tanpa syok septik (kelas 1C harus
menjadi tujuan terapi)
2a. Kami merekomendasikan bahwa terapi awal infeksi empiris mencakup satu
atau lebih obat yang memiliki aktivitas terhadap semua patogen yang mungkin
(bakteri dan / atau jamur atau virus) dan yang menembus dalam konsentrasi yang
memadai ke dalam jaringan dianggap menjadi sumber sepsis (kelas 1B) .
2b. Regimen antimikroba harus dinilai ulang setiap hari untuk potensi de-eskalasi
untuk mencegah perkembangan resistensi sehingga dapat mengurangi toksisitas,
dan untuk mengurangi biaya (kelas 1B).
3. Kami menyarankan penggunaan procalcitonin tingkat rendah atau biomarker
yang sama untuk membantu dokter dalam penghentian antibiotik empiris pada
pasien yang muncul septik, tetapi tidak memiliki bukti infeksi berikutnya (kelas
2C).
4a. Terapi empirik harus berusaha untuk memberikan aktivitas antimikroba
terhadap kemungkinan besar patogen berdasarkan penyakit setiap pasien dan pola
lokal infeksi. Kami menyarankan kombinasi terapi empirik untuk pasien
neutropenia dengan sepsis berat (kelas 2B) dan untuk pasien yang sulit diobati,
resisten bakteri patogen seperti Acinetobacter dan Pseudomonas spp. (kelas 2B).
21
Untuk pasien yang dipilih dengan infeksi berat terkait dengan kegagalan
pernapasan dan syok septik, terapi kombinasi dengan spektrum panjang beta-
laktam dan baik aminoglikosida atau fluorokuinolon yang disarankan untuk P.
aeruginosa bakteremia (kelas 2B). Demikian pula, kombinasi beta-laktam yang
lebih kompleks dan makrolida yang disarankan untuk pasien dengan syok septik
dari bacteremic pneumoniae infeksi Streptococcus (kelas 2B).
4b. Kami menyarankan bahwa terapi kombinasi, bila digunakan secara empiris
pada pasien dengan sepsis berat, tidak boleh diberikan selama lebih dari 3 sampai
5 hari. De-eskalasi untuk terapi tunggal-agent yang paling tepat harus dilakukan
secepat profil yg rentan dikenal (kelas 2B). Pengecualian akan mencakup
monoterapi aminoglikosida, yang harus dihindari pada umumnya, khususnya
untuk sepsis P. aeruginosa, dan bentuk-bentuk tertentu dari endokarditis, di mana
pemakaian terapi kombinasi antibiotik yang berkepanjangan dijamin.
5. Kami menyarankan bahwa durasi terapi biasanya menjadi 7 sampai 10 hari jika
secara klinis diindikasikan; pemakaian lebih lama mungkin tepat pada pasien yang
memiliki respon klinis lambat, fokus infeksi undrainable , bakteremia dengan S.
aureus, beberapa infeksi jamur dan virus, atau defisiensi imun, termasuk
neutropenia (kelas 2C).
6. Kami menyarankan bahwa terapi antivirus akan dimulai sedini mungkin pada
pasien dengan sepsis berat atau syok septik yang disebabkan oleh virus (kelas
2C).
7. Kami merekomendasikan bahwa agen antimikroba tidak dapat digunakan pada
pasien dengan keadaan inflamasi parah yang ditetapkan sebagai penyebab non
infeksius (UG).
E. Kontrol Sumber
1. Kami merekomendasikan bahwa diagnosis anatomi infeksi yang spesifik
memerlukan pertimbangan untuk kontrol sumber yang muncul (misalnya,
necrotizing infeksi jaringan lunak, peritonitis, cholangitis, infark usus) dicari dan
didiagnosis atau dikecualikan secepat mungkin, dan intervensi dilakukan untuk
22
kontrol sumber dalam 12 jam pertama setelah diagnosis dibuat, jika mungkin
(kelas 1C).
2. Kami menyarankan bahwa ketika nekrosis peripankreatic terinfeksi
diidentifikasi sebagai sumber potensial infeksi, intervensi definitif ditunda sampai
batas yang memadai dari jaringan layak dan nonviable telah terjadi (kelas 2B).
3. Ketika kontrol sumber pada pasien septis parah diperlukan, intervensi yang
efektif terkait dengan insult fisiologis paling harus digunakan (misalnya, perkutan
lebih baik daripada drainase bedah pada abses) (UG).
4. Jika perangkat akses intravaskular adalah sumber kemungkinan sepsis berat
atau syok septik, mereka harus dihilangkan segera setelah akses vaskular lainnya
telah ditetapkan (UG).
F. Pencegahan Infeksi
1a. Kami menyarankan bahwa dekontaminasi oral selektif (SOD) dan
dekontaminasi pencernaan selektif (SDD) harus diperkenalkan dan diteliti sebagai
metode untuk mengurangi kejadian ventilator-associated pneumonia (VAP), ini
langkah pengendalian infeksi yang kemudian dapat dilembagakan dalam
pengaturan kesehatan dan daerah di mana metodologi ini ditemukan efektif (kelas
2B).
1b. Kami menyarankan chlorhexidine glukonat oral (CHG) digunakan sebagai
bentuk dekontaminasi orofaringeal untuk mengurangi risiko VAP pada pasien
ICU dengan sepsis berat (kelas 2B).
23
Tabel 2.4 Dukungan hemodinamik dan Terapi ajuvan
G. Terapi Cairan pada Sepsis Berat
1. Kami merekomendasikan kristaloid digunakan sebagai pilihan cairan awal
dalam resusitasi pada sepsis berat dan syok septik (kelas 1B).
2. Kami merekomendasikan menentang penggunaan pati hidroksietil (HES) untuk
resusitasi cairan sepsis berat dan syok septik (kelas 1B).
24
3. Kami menyarankan penggunaan albumin dalam resusitasi cairan dari sepsis
berat dan syok septik ketika pasien memerlukan sejumlah besar kristaloid (kelas
2C).
4. Kami merekomendasikan fluid challenge sebagai terapi cairan awal pada pasien
dengan sepsis-induced hipoperfusi jaringan dengan kecurigaan hipovolemia
mencapai minimal 30 mL / kg kristaloid (sebagian dari ini mungkin setara
albumin). Pemasukan yang lebih cepat dan jumlah yang lebih besar dari cairan
mungkin diperlukan pada beberapa pasien (lihat rekomendasi Resusitasi Awal)
(kelas 1C).
5. Kami merekomendasikan bahwa teknik fluid challenges diterapkan dimana
pemberian cairan dilanjutkan asalkan ada perbaikan hemodinamik baik
berdasarkan dinamis (misalnya, perubahan tekanan nadi, variasi stroke volume)
atau statis (misalnya, tekanan, denyut jantung arteri) variabel ( UG).
H. Vasopressors
1. Kami merekomendasikan bahwa target awal terapi vasopressor dengan MAP
65 mm Hg (kelas 1C).
2. Kami merekomendasikan norepinefrin sebagai vasopressor pilihan pertama
(kelas 1B).
3. Kami menyarankan epinefrin (ditambahkan dan berpotensi menggantikan
norepinefrin) saat agen tambahan diperlukan untuk mempertahankan tekanan
darah yang memadai (kelas 2B).
4. Vasopresin (hingga 0,03 U / min) dapat ditambahkan ke norepinefrin dengan
maksud meningkatkan MAP untuk target atau penurunan dosis norepinefrin (UG).
5. Dosis rendah vasopressin tidak dianjurkan sebagai vasopressor awal tunggal
untuk pengobatan sepsis-diinduksi hipotensi, dan vasopresin dosis lebih tinggi
dari 0,03-0,04 U / min harus disediakan untuk terapi penyelamatan (kegagalan
untuk mencapai MAP memadai dengan agen vasopressor lainnya) ( UG).
6. Kami menyarankan dopamin sebagai agen vasopressor alternatif untuk
norepinefrin hanya pada pasien yang sangat dipilih (misalnya, pasien dengan
risiko rendah tachyarrhythmias dan bradikardi absolut atau relatif) (kelas 2C).
25
7. Fenilefrin tidak dianjurkan dalam pengobatan syok septik kecuali dalam
keadaan berikut: (a) norepinefrin berhubungan dengan aritmia yang serius, (b)
curah jantung dikenal sebagai tekanan tinggi dan darah masih rendah, atau (c)
sebagai terapi penyelamatan saat dikombinasikan inotrope / vasopressor obat dan
dosis rendah vasopressin telah gagal untuk mencapai target MAP (kelas 1C).
8. Kami merekomendasikan bahwa dopamin dosis rendah tidak digunakan untuk
perlindungan ginjal (kelas 1A).
9. Kami merekomendasikan bahwa semua pasien yang memerlukan vasopressors
memiliki kateter arteri ditempatkan secepat praktis jika sumber daya memadai
(UG).
Tabel 2.5 Norepineprin kombinasi dengan Dopamin pada Sepsis Berat
26
I. Inotropik Terapi
1. Kami merekomendasikan bahwa uji coba infus dobutamin sampai dengan 20
mg / kg / menit diberikan atau ditambahkan ke vasopressor (jika digunakan) pada
keadaan : a) disfungsi miokard, seperti yang disarankan pada peningkatan cardiac
filling pressure dan cardiac output yang rendah, atau b) berlangsung tanda-tanda
hipoperfusi, meskipun mencapai volume intravaskuler yang memadai dan MAP
yang memadai (kelas 1C).
2. Kami merekomendasikan melawan penggunaan strategi untuk meningkatkan
cardiac indeks ke tingkat supranormal yang telah ditentukan (kelas 1B).
J. Kortikosteroid
1. Kami sarankan tidak menggunakan hidrokortison intravena sebagai pengobatan
pasien syok septik dewasa jika cairan resusitasi memadai dan terapi vasopressor
mampu mengembalikan stabilitas hemodinamik (lihat Resusitasi Awal). Jika ini
tidak dapat dicapai, kami sarankan hidrokortison intravena saja dengan dosis 200
mg per hari (kelas 2C).
2. Kami sarankan tidak menggunakan tes stimulasi ACTH untuk mengidentifikasi
subset dari orang dewasa dengan syok septik yang harus menerima hidrokortison
(kelas 2B).
3. Kami menyarankan bahwa klinisi membatasi terapi steroid pada pasien saat
vasopressors tidak lagi dibutuhkan (2D grade).
4. Kami merekomendasikan bahwa kortikosteroid tidak diberikan untuk
pengobatan sepsis tanpa adanya shock (kelas 1D)
5. Ketika dosis rendah hidrokortison diberikan, kami sarankan menggunakan infus
kontinu daripada suntikan bolus yang berulang (kelas 2D).
K. Transfusi Darah
1. Setelah hipoperfusi jaringan telah diselesaikan dan tidak adanya keadaan
khusus, seperti iskemia miokard, hipoksemia berat, perdarahan akut, atau penyakit
arteri koroner, kami merekomendasikan bahwa transfusi sel darah merah
dilakukan ketika konsentrasi hemoglobin menurun hingga <7,0 g / dL untuk
27
menargetkan konsentrasi hemoglobin sebesar 7,0 to 9.0 g / dL pada orang dewasa
(kelas 1B).
2. Kami sarankan tidak menggunakan erythropoietin sebagai pengobatan tertentu
anemia yang berhubungan dengan sepsis berat (kelas 1B).
3. Kami menyarankan bahwa fresh frozen plasma tidak dapat digunakan untuk
mengoreksi kelainan pembekuan darah yang ditemukan dari hasi laboratorium
tanpa adanya perdarahan atau prosedur invasif yang direncanakan (kelas 2D).
4. Kami merekomendasikan tidak menggunakan antithrombin untuk pengobatan
sepsis berat dan syok septik (1B grade).
5. Pada pasien dengan sepsis berat, kami menyarankan trombosit diberikan secara
profilaksis bila jumlahnya ≤ 10.000 / mm3 (10 × 109 / L) tanpa adanya
perdarahan yang jelas, juga ketika jumlahnya ≤ 20.000 / mm3 (20 × 109 / L) jika
pasien memiliki risiko pendarahan yang signifikan. Jumlah trombosit yang tinggi
(≥ 50.000 / mm3 [50 × 109 / L]) yang disarankan untuk perdarahan aktif, operasi,
atau prosedur invasif (grade 2D).
L. Imunoglobulin
1. Kami sarankan tidak menggunakan imunoglobulin intravena pada pasien
dewasa dengan sepsis berat atau syok septik (grade 2B).
M. Selenium
1. Kami sarankan tidak menggunakan selenium intravena untuk mengobati sepsis
berat (grade 2C).
N. Riwayat Rekomendasi Mengenai Penggunaan Recombinant Activated
Protein C
Rekombinan human activated protein C (rhAPC) telah disetujui untuk digunakan
pada pasien dewasa di sejumlah negara pada 2001, diikuti percobaan PROWESS
(Recombinant Human Activated Protein C Worldwide Evaluation in Severe
Sepsis), yang terdaftar 1.690 pasien sepsis berat dan menunjukkan penurunan
28
yang signifikan angka kematian (24,7%) dengan rhAPC dibandingkan dengan
plasebo (30,8%, p = 0,005) (228).
O. Ventilasi Mekanik Sepsis-induced Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS)
1. Kami merekomendasikan dokter untuk menargetkan volume tidal sebesar 6 mL
/ kg berat badan yang diperkirakan pada pasien dengan sepsis-induced Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS) (kelas 1A vs 12 mL / kg).
2. Kami merekomendasikan tekanan darah tinggi diukur pada pasien dengan
ARDS dan tujuan batas atas untuk tekanan dataran tinggi di paru-paru secara
pasif meningkat menjadi ≤ 30 cm H2O (1B grade).
3. Kami merekomendasikan positive end-expiratory pressure (PEEP) diterapkan
untuk menghindari collapse alveolar pada akhir ekspirasi (atelectotrauma) (1B
grade).
4. Kami menyarankan strategi yang didasarkan pada tingkat yang lebih tinggi
daripada yang lebih rendah dari PEEP untuk pasien dengan sepsis-induced sedang
sampai ARDS berat (kelas 2C).
5. Kami menyarankan manuver pengerahan pada pasien sepsis dengan hipoksemia
refraktori berat akibat ARDS (kelas 2C).
6. Kami menyarankan posisi pronasi pada pasien sepsis-induced ARDS dengan
rasio Pao 2/Fio 2 ≤ 100 mm Hg dengan fasilitas yang berpengalaman (2B grade).
7. Kami merekomendasikan pasien sepsis dengan ventilasi mekanik dipertahankan
dengan kepala ditinggikan antara 30 dan 45 derajat untuk menghindari resiko
aspirasi dan untuk mencegah berkembangnya ventilator-associated pneumonia
(VAP) (1B grade).
8. Kami menyarankan noninvasive mask ventilation (NIV) dapat digunakan pada
pasien minoritas sepsis-induced ARDS dimana manfaatnya telah diperhitungkan
dengan cermat dan diperkirakan lebih besar daripada risiko (2B grade).
9. Kami merekomendasikan protokol penyapihan di tempat dan bahwa pasien
ventilasi mekanik dengan sepsis berat menjalani uji pernapasan spontan teratur
untuk mengevaluasi kemampuan menghentikan ventilasi mekanik ketika mereka
29
memenuhi kriteria berikut: a) tidak dapat dibangunkan b) hemodinamik stabil
(tanpa agen vasopressor) c) tidak ada kondisi baru yang berpotensi serius, d)
ventilasi rendah dan kebutuhan end-expiratory pressure, dan e) kebutuhan FiO2
yang rendah dapat dengan aman melalui a face mask atau nasal kanul. Jika uji
pernapasan spontan berhasil, ekstubasi harus dipertimbangkan (1A grade).
10. Kami merekomendasikan tidak menggunakan kateter arteri pulmonal untuk
pasien dengan sepsis-induced ARDS (kelas 1A).
11. Kami merekomendasikan strategi cairan konservatif untuk pasien dengan
sepsis-induced ARDS yang tidak memiliki bukti hipoperfusi jaringan (1C grade).
12. Tanpa adanya indikasi spesifik seperti bronkospasme, kami menganjurkan
penggunaan β2-agonis untuk pengobatan pasien dengan sepsis-induced ARDS
(1B grade).
P. Sedasi, Analgesia, dan Blokade Neuromuskular pada Sepsis
1. Kami merekomendasikan sedasi yang berkelanjutan atau intermiten
diminimalkan pada pasien sepsis dengan ventilasi mekanik, target spesifik titik
akhir titrasi tertentu (1B grade).
2. Kami merekomendasikan Neuromuscular Blocking Agents (NMBAs) dihindari
jika mungkin pada pasien septik tanpa ARDS akibat risiko penghentian blokade
neuromuskuler yang berkepanjangan. Jika NMBAs harus dipertahankan, baik
bolus intermiten sebagai infus diperlukan atau kontinue dengan train-of-four
monitoring kedalaman blokade harus digunakan (1C grade).
3. Kami sarankan NMBA (≤ 48 jam) untuk pasien awal, sepsis-induced ARDS
dan Pao2/Fio2 <150 mm Hg (grace 2C).
Q. Kontrol Glukosa
1. Kami merekomendasikan pendekatan mengikuti protokol untuk manajemen
glukosa darah pada pasien ICU dengan sepsis berat, dimulai dosis insulin ketika
dua kadar glukosa darah berturut-turut > 180 mg / dL. Pendekatan ini harus
menargetkan batas atas glukosa darah ≤ 180 mg / dL daripada batas atas glukosa
darah ≤ 110 mg / dL (kelas 1A).
30
2. Kami merekomendasikan nilai glukosa darah dipantau setiap 1 sampai 2 jam
sampai nilai glukosa dan tingkat infus insulin yang stabil, setiap 4 jam sesudahnya
(1C grade).
3. Kami merekomendasikan kadar glukosa yang diperoleh dengan point-ofcare
testing pembuluh darah kapiler yang ditafsirkan dengan hati-hati, karena
pengukuran tersebut tidak dapat secara akurat memperkirakan darah arteri atau
nilai glukosa plasma.
R. Terapi Pengganti Ginjal
1. Kami menyarankan terapi pengganti ginjal terus menerus dan hemodialisis
intermiten yang setara pada pasien sepsis berat dan gagal ginjal akut karena
mereka mencapai tingkat ketahanan hidup jangka pendek (2B grade).
2. Kami menyarankan penggunaan terapi terus menerus untuk memfasilitasi
pengelolaan keseimbangan cairan pada pasien sepsis dengan hemodinamik tidak
stabil (kelas 2D)
S. Terapi Bikarbonat
1. Kami merekomendasikan tidak menggunakan terapi natrium bikarbonat untuk
tujuan memperbaiki hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopressor pada
pasien dengan hypoperfusion- induced lactic acidemia dengan pH ≥ 7.15 (2B
grade).
T. Profilaksis Deep Vein Thrombosis
1. Kami merekomendasikan pasien dengan sepsis berat mendapat
farmakoprofilaksis harian melalui venous thromboembolism (VTE) (1B grade).
Kami menganjurkan subcutaneous low-molecular weight heparin (LMWH) (kelas
1B dibandingkan unfractionated heparin (UFH) dua kali sehari dan kelas 2C vs
UFH diberikan tiga kali sehari). Jika creatinine clearance <30 mL / menit, kami
merekomendasikan penggunaan dalteparin (kelas 1A) atau bentuk lain dari
LMWH yang memiliki tingkat metabolisme ginjal yang rendah (kelas 2C) atau
UFH (kelas 1A).
31
2. Kami menyarankan pasien dengan sepsis berat diobati dengan kombinasi terapi
farmakologis dan perangkat kompresi intermiten pneumatik bila memungkinkan
(2C grade).
3. Kami merekomendasikan pasien sepsis yang memiliki kontraindikasi untuk
penggunaan heparin (misalnya, trombositopenia, koagulopati yang parah,
perdarahan aktif, perdarahan intraserebral) tidak menerima farmakoprofilaksis
(1B grade). Sebaliknya kami sarankan mereka menerima pengobatan profilaksis
mekanik, seperti compression stockings atau perangkat kompresi intermiten (kelas
2C), kecuali kontraindikasi. Ketika risiko berkurang, kami sarankan mulai
menggunakan farmakoprofilaksis (kelas 2C).
U. Profilaksis Stress Ulcer
1. Kami merekomendasikan profilaksis stress ulcer menggunakan H2 blocker atau
proton pump inhibitor diberikan kepada pasien dengan sepsis berat/syok septik
yang memiliki resiko perdarahan (1B grade).
2. Ketika profilaksis stress ulcer digunakan, kami menyarankan penggunaan
proton pump inhibitor daripada antagonis reseptor H2 (kelas 2C).
3. Kami menyarankan pasien tanpa risiko seharusnya tidak menerima profilaksis
(kelas 2B).
V. Nutrisi
1. Kami menyarankan pemberian melalui oral atau enteral (jika perlu), ditoleransi,
lebih baik puasa lengkap atau hanya glukosa intravena dalam 48 jam pertama
setelah didiagnosis sepsis berat / syok septik (kelas 2C).
2. Kami menyarankan hindari makanan kalori penuh dalam minggu pertama,
melainkan menyarankan makanan dosis rendah (misalnya, sampai dengan 500
kkal per hari), hanya sebagai toleransi (2B grade).
3. Kami sarankan untuk menggunakan glukosa intravena dan nutrisi enteral
daripada total parenteral nutrition (TPN) atau nutrisi parenteral dalam
hubungannya dengan makanan enteral dalam 7 hari pertama setelah diagnosis
sepsis berat / syok septik (2B grade).
32
4. Kami menyarankan menggunakan nutrisi tanpa suplemen imunomodulasi yang
spesifik pada pasien dengan sepsis berat (grade 2C).
W. Menetapkan Goals of Care
1. Kami merekomendasikan Goals of Care dan prognosis akan dibahas dengan
pasien dan keluarga (1B grade).
2. Kami merekomendasikan Goals of Care dimasukkan ke dalam pengobatan dan
perencanaan perawatan akhir kehidupan, memanfaatkan prinsip-prinsip perawatan
paliatif yang sesuai (1B grade).
3. Kami menyarankan bahwa tujuan perawatan ditangani sedini mungkin,
selambat-lambatnya dalam waktu 72 jam setelah masuk ICU (kelas 2C).
35
BAB 3
KESIMPULAN
Berdasarkan latar belakang dan pembahasan yang telah dijelaskan, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Sepsis adalah infeksi yang disertai dengan SIRS ditandai oleh 2 atau 3 dari
manifestasi klinis yaitu suhu tubuh > 38°C atau < 36°C, denyut jantung >
90kali/menit, laju napas > 20kali/menit, perubahan pada hitung lekosit berupa
lekositosis (>12,000 sel/mm3) atau lekopenia (< 4,000 sel/mm3) dan netrofil
batang (imatur) lebih dari 10% pada apusan darah tepi.
2. Sepsis berat adalah sepsis yang disertai dengan setidaknya disfungsi salah satu
organ atau terdapat hipoperfusi jaringan atau hipotensi.
3. Penyebab sepsis paling tersering adalah infeksi saluran napas dan infeksi saluran
kemih, diikuti dengan infeksi saluran cerna dan infeksi jaringan lunak.
4. Gejala klinis yang dapat ditemukan pada sepsis berat adalah hipotensi,
peningkatan laktat plasma, produksi urin <0.5ml/kg/jam selama lebih 12 jam
walau resusitasi sudah adekuat, acute lung injury (ALI) dengan rasio PaO2 < 250
tanpa terdapat pneumonia sebagai sumber infeksi, ALI dengan rasio PaO2/FIO2 <
200 dengan pneumonia sebagai sumber infeksi, kreatinin plasma > 2.0
mg/dl(176.8 µmol/L), bilirubin plasma > 2 mg/dl (34,2 µmol/L), hitung
trombosit <100,000/µL dan koagulopati (INR >1,5).
5. Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam
menentukan diagnosis sepsis.
6. Penatalaksanaan pasien sepsis berat di ICU pada saat ini menggunakan Surviving
Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis
and Septic Shock: 2012
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Fitch SJ, Gossage JR. Optimal management of septic shock: rapid recognition and institution of therapy are crucial. Postgraduate Med. 2002;3:50-9.
2. Angus DC, Linde WT, Lidicker J. Epidemiology of severe sepsis in the United States.Crit Care Med. 2001;20:1303-31.
3. Reinhardt K, Bloos K, Brunkhorst FM. Pathophysiology of sepsis and multiple organ dysfunction. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, eds. Textbook of critical care. 15th ed. London: Elsevier Saunders Co; 2005. p.1249-57.
4. Marik VE, Varon J. The management of sepsis. In: Irwin RS, Rippe JM, eds. Irwin and rippe’s intensive care medicine. 6th ed. Philadelphia: Lippincot Williams&Wilkins; 2008. p.1856-69.
5. Edbroke DL, Hibbert CL, Kingsley JM. The patient related costs of care for sepsis patients in England adult general intensive care unit. Crit Care Med. 1999;27:1760-76
6. Hoyert DL, Anderson RN. Age-adjusted death rate. Natl Vital Stat Rep. 2001;49:1-6
7. American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine Consensus Conference. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. Crit Care Med. 1999;20:864-74
8. Popovich MJ, Trenoswjka E. Management sepsis in ICU. In: Popovich MJ eds. International anaesthesiology clinics. 2nd ed. London: Lippincot Williams&Wilkins; 2009. p.55-6
9. Brahm Goldstein,MD.et al.2005. International Pediatric Sepsis Consensus Conference : Definitions for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatrics Critical Care Med 2005 Vol.6 No.1
10. De Gaudio AR. Severe sepsis. In: Berstein AD, Soni N eds. Oh’s Intensive care manual. 6th ed. Philadelphia: Elsevier Limited; 2009. p.709-17
11. Munford RS. Severe sepsis and septic shock. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL eds. Harrison’s principles of internal medicine. 16th ed. New York: The McGraw-Hill Co; 2005 .p.1606-12
37
12. Brun- Buisson C, Doyon F, Carlet J, et al. Incidence, risk factors, and outcome of severe sepsis and septic shock in adults. A multicenter prospective study in intensive care units. French ICU Group for Severe Sepsis. JAMA. Sept 27 1995; 274(12): 968-74
13. Pinsky, MR, et al. 2010. Septic Shock. Medscape Reference: Drugs, Diseases & Procedures. Accessed from: http://emedicine.medscape.com/article/168402-overview [5th March 2013]
14. Hotchkiss RS, Karl IE. The pathophysiology and treatment of sepsis. N Engl J Med. 2003;348:1 38-50
15. Rivers EP, Jaehne AK,Wharry LE, Brown S, Amponsah D. Fluid therapy in septic shock. Curr Opin Crit Care. 2010;16:1-12
16. Boyd JH, Forbes J, Nakada TA,Walley KR. Fluid resuscitation in septic shock: a positive fluid balance and elevated central venous pressure associated with increased mortality. Crit Care Med. 2011;39:2:1-7
17. Schmidt GA, Durairaj L. Fluid therapy in resuscitated sepsis* Less is more. Chest. 2008;133:252-63
18. Russell JA. Management of sepsis. N Engl.J Med. 2006;355:1699-713
17. Dellinger P, Levy MM, Carlet JM, Bion J, Parker MM, Jaeschke R. Surviving sepsis campaign : International guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med. 2008;36:296-327
18. Sumarmo,Gama Herry, Hadinegoro Sri Rezeki. Sepsis dan syok septic. Buku ajar ilmu kesehatan anak . infeksi dan penyakit tropic. Ikatan dokter anak Indonesia, Jakarta 2002 : 391-398
19. Powell KR. Sepsis dan Syok. Dalam: Nelson, Behrman, Kliegman, Arvin (editor). Ilmu Kesehatan Anak. Vol 2.ed 15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000. Hal 869 – 870
20. Hassan, Rusepno, et al (ed). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Jakarta. 1985
21. Behrman, kliegman, Arvin. Sepsis dan Meningitis Neonatus Nelson textbook of Pediatrics. edisi,15. Penerbit EGC ; Jakarta 2000 : 653 – 655.
22. Dellinger Phillip, et all. 2012. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. CCM Journal 41:580-637