manajemen rantai pasok (supply chains...

21
137 MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS MANAGEMENT) MELALUI STRATEGI KEMITRAAN PADA INDUSTRI BROILER Supply Chain Management Through Partnership In Broiler Industry Saptana 1 dan Arief Daryanto 2 1 Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 2 Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis-Institut Pertanian Bogor dan Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen-Institut Pertanian Bogor, Jl. Raya Dramaga Bogor ABSTRACT Broiler industry is a commercial poultry business prospective to boost inclusive economic growth. This paper aims to analyze: (1) trends of population, production, and trade; (2) broiler supply and demand; (3) supply chain management in broiler industry; and (4) supply chain management through business partnership. Broiler population at national level grows, but its production grows moderately indicating that the yield increases significantly due to good qualities of DOC and feed, and intensive poultry business. Balance trade during the period of 2005-2010 was deficit and it would be worse off if import ban due to AI outbreak was not implemented. Supply chain of broiler products produced by either self-reliance business or partnership are sold to wet markets and some products are marketed to modern markets, i.e. supermarkets and hypermarkets, and institutional consumers, e.g. hotels and restaurants. There are four benefits of partnership, namely: (i) broiler product quality could be maintained consistently; (2) reducing average cost of output through improvement of efficiency, yield, and economies of scale; (3) enhancing smallholders’ involvement in broiler industry; and (4) integrated products and integrated business actors to sustain the broiler industry. It is necessary to develop supply chain management through partnership which is strengthening, beneficial, and dependence each other. Information flow will be effective in partnership and it will give maximal satisfaction to the consumers. Key words: management, supply chain, partnership, broiler industry ABSTRAK Industri broiler merupakan usaha ternak komersial yang berpotensi memacu pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Tulisan ini ditujukan untuk menganalisis: (1) perkembangan populasi, produksi, dan perdagangan; (2) menganalisis pasokan dan permintaan broiler; (3) mengkaji kinerja manajemen rantai pasok (supply chain management/SCM) pada industri broiler; dan (4) mengkaji manajemen rantai pasok melalui strategi kemitraan usaha. Secara nasional jumlah populasi broiler tumbuh relatif lambat, sedangkan produksi tumbuh pada level moderat. Kondisi tersebut menunjukkan adanya peningkatan produktivitas yang cukup tinggi karena didukung oleh kualitas bibit (DOC), kualitas pakan, dan usaha ternak secara intensif. Posisi perdagangan selama periode (2005-2010) dalam posisi defisit, kalau tidak ada pelarangan impor terkait wabah flu burung (AI) maka defisit akan semakin membesar. Rantai pasok (supply chain) pada produk broiler baik pola mandiri maupun kemitraan usaha sebagian besar masih ditujukan untuk pasar becek (wet market) serta sebagian ditujukan untuk pasar modern ( supermarket, hypermarket) dan konsumen institusional (hotel dan restaurant/rumah makan). Dengan menerapkan manajemen rantai pasok melalui strategi kemitraan usaha terdapat empat manfaat, yaitu: (1) kualitas produk broiler yang dihasilkan akan mampu dipertahankan konsistensinya; (2) mengurangi biaya per unit output melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas dan economies of scale; (3) memperluas kesempatan peternak rakyat terlibat dalan industri broiler; dan (4) terbangun keterpaduan produk dan keterpaduan antar pelaku usaha industri broiler sehingga akan menjamin keberlanjutan usaha. Implikasi kebijakan penting dalam membangun manajemen rantai pasok secara terintegrasi adalah mengembangkan bentuk-bentuk kemitraan yang saling membutuhkan, memperkuat, dan saling menguntungkan sehingga terbangun keterpaduan produk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen rantai pasok melalui strategi kemitraan usaha alur informasi dapat bergerak secara efektif, pergerakan produk akan efisien dalam menghasilkan kepuasan maksimal bagi konsumen. Kata kunci : manajemen, rantai pasok, kemitraan, industri, broiler

Upload: ngokiet

Post on 08-Jul-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

137

MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS MANAGEMENT) MELALUI STRATEGI KEMITRAAN PADA INDUSTRI BROILER

Supply Chain Management Through Partnership In Broiler Industry

Saptana1 dan Arief Daryanto2

1 Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 2 Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis-Institut Pertanian Bogor dan Departemen Ilmu Ekonomi,

Fakultas Ekonomi dan Manajemen-Institut Pertanian Bogor, Jl. Raya Dramaga Bogor

ABSTRACT

Broiler industry is a commercial poultry business prospective to boost inclusive economic growth. This paper aims to analyze: (1) trends of population, production, and trade; (2) broiler supply and demand; (3) supply chain management in broiler industry; and (4) supply chain management through business partnership. Broiler population at national level grows, but its production grows moderately indicating that the yield increases significantly due to good qualities of DOC and feed, and intensive poultry business. Balance trade during the period of 2005-2010 was deficit and it would be worse off if import ban due to AI outbreak was not implemented. Supply chain of broiler products produced by either self-reliance business or partnership are sold to wet markets and some products are marketed to modern markets, i.e. supermarkets and hypermarkets, and institutional consumers, e.g. hotels and restaurants. There are four benefits of partnership, namely: (i) broiler product quality could be maintained consistently; (2) reducing average cost of output through improvement of efficiency, yield, and economies of scale; (3) enhancing smallholders’ involvement in broiler industry; and (4) integrated products and integrated business actors to sustain the broiler industry. It is necessary to develop supply chain management through partnership which is strengthening, beneficial, and dependence each other. Information flow will be effective in partnership and it will give maximal satisfaction to the consumers.

Key words: management, supply chain, partnership, broiler industry

ABSTRAK

Industri broiler merupakan usaha ternak komersial yang berpotensi memacu pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Tulisan ini ditujukan untuk menganalisis: (1) perkembangan populasi, produksi, dan perdagangan; (2) menganalisis pasokan dan permintaan broiler; (3) mengkaji kinerja manajemen rantai pasok (supply chain management/SCM) pada industri broiler; dan (4) mengkaji manajemen rantai pasok melalui strategi kemitraan usaha. Secara nasional jumlah populasi broiler tumbuh relatif lambat, sedangkan produksi tumbuh pada level moderat. Kondisi tersebut menunjukkan adanya peningkatan produktivitas yang cukup tinggi karena didukung oleh kualitas bibit (DOC), kualitas pakan, dan usaha ternak secara intensif. Posisi perdagangan selama periode (2005-2010) dalam posisi defisit, kalau tidak ada pelarangan impor terkait wabah flu burung (AI) maka defisit akan semakin membesar. Rantai pasok (supply chain) pada produk broiler baik pola mandiri maupun kemitraan usaha sebagian besar masih ditujukan untuk pasar becek (wet market) serta sebagian ditujukan untuk pasar modern (supermarket, hypermarket) dan konsumen institusional (hotel dan restaurant/rumah makan). Dengan menerapkan manajemen rantai pasok melalui strategi kemitraan usaha terdapat empat manfaat, yaitu: (1) kualitas produk broiler yang dihasilkan akan mampu dipertahankan konsistensinya; (2) mengurangi biaya per unit output melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas dan economies of scale; (3) memperluas kesempatan peternak rakyat terlibat dalan industri broiler; dan (4) terbangun keterpaduan produk dan keterpaduan antar pelaku usaha industri broiler sehingga akan menjamin keberlanjutan usaha. Implikasi kebijakan penting dalam membangun manajemen rantai pasok secara terintegrasi adalah mengembangkan bentuk-bentuk kemitraan yang saling membutuhkan, memperkuat, dan saling menguntungkan sehingga terbangun keterpaduan produk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen rantai pasok melalui strategi kemitraan usaha alur informasi dapat bergerak secara efektif, pergerakan produk akan efisien dalam menghasilkan kepuasan maksimal bagi konsumen.

Kata kunci : manajemen, rantai pasok, kemitraan, industri, broiler

Page 2: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

138

PENDAHULUAN

Industri perunggasan (broiler) merupakan basis ekonomi rakyat yang berpotensi tinggi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif (inclusive economy growth) apabila dilakukan dengan pendekatan secara terpadu. Sumber-sumber pertumbuhan industri broiler dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penawaran atau pasokan (supply side) dan permintaan atau konsumsi (demand side). Selain itu, juga dapat dikaji dari sisi distribusi

produk, dari titik produsen hingga ke konsumen akhir.

Sumber pertumbuhan dari sisi penawaran, pasokan broiler dipengaruhi oleh jumlah populasi dan tingkat produktivitas broiler. Jumlah produksi yang dihasilkan ditentukan oleh ketersediaan bahan baku pakan dan harga pakan, perubahan teknologi (genetika/pembibitan, pakan, panen dan pasca panen, pengolahan hasil), tingkat efisiensi usaha ternak broiler, skala pengusahaan, harga energi, kelancaran distribusi yang sangat ditentukan oleh moda transportasi, serta kebijakan pendukung (seperti kebijakan insentif, kebijakan tarif impor, kemudahan investasi, sanitary standards, serta kebijakan

ketenagakerjaaan dan lingkungan).

Sumber pertumbuhan dari sisi permintaan ditentukan oleh faktor jumlah penduduk dan pertumbuhannya, tingkat pendapatan, preferensi konsumen, fenomena segmentasi pasar dengan tumbuhnya pasar modern, serta perkembangan industri dan perkotaan yang mendorong urbanisasi. Produk daging ayam ras (broiler) tergolong produk bernilai ekonomi tinggi (high value products), maka semakin tinggi pendapatan per kapita, semakin tinggi pula permintaan terhadap produk broiler dan produk-produk turunannya. Begitu pula dengan semakin besar jumlah penduduk dan pertumbuhannya maka semakin besar pula permintaam akan produk broiler. Perubahan preferensi konsumen yang secara umum bergeser dari red meat ke white meat mendorong permintaan daging broiler meningkat lebih cepat dibanding red meat. Tumbuhnya supermarket dan hypermarket telah meningkatkan permintaan produk broiler berkualitas standar. Demikian juga halnya ledakan urbanisasi berpengaruh nyata terhadap jumlah permintaan produk broiler serta produk olahannya.

Kondisi industri broiler di Indonesia belum mencapai tahapan keunggulan kompetitif atau dalam kondisi competitive disadvantage (Daryanto, 2009 dan Daryanto, 2011). Indonesia termasuk negara yang tergolong net importer, di mana nilai impor masih lebih

besar dari pada nilai ekspornya. Statistik Peternakan (2010) memperlihatkan bahwa volume perdagangan daging di Indonesia mengalami defisit pada tahun 2009, di mana volume ekspor hanya sebesar 764,5 ton dengan total nilai ekspor US$ 1.187,87 ribu, sedangkan impor daging menacapi 114.917,70 ribu ton dengan nilai impor sebesar US$ 293.136,00 ribu atau mengalami defisit perdagangan sebesar US$ 291.948,13 ribu. Impor juga terjadi dalam bentuk sapi 0,1 ribu ekor, sapi bakalan 657,3 ribu ekor, daging unggas (broiler) relatif kecil 2.686,9 ekor.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia diramalkan akan terus meningkat pada masa lima tahun mendatang, dan pertumbuhan ini akan memacu peningkatan konsumsi produk-produk broiler yang bersifat elastis terhadap peningkatan pendapatan. Industri broiler harus melakukan antisipasi peningkatan konsumsi tersebut, terutama untuk membuka kesempatan kerja dan berusaha untuk memecahkan dua permasalahan bangsa yaitu pengangguran dan kemiskinan.

Beberapa permasalahan pokok dalam industri broiler adalah: (a) Masalah penyediaan bahan baku pakan ternak (broiler), di mana sebagian besar bahan baku pakan ternak penting harus diimpor, impor jagung mencapai (40-50 %) meskipun kondisi terakhir tinggal (15 %); bungkil kedelai (95 %); tepung ikan (90-92 %); serta tepung tulang dan vitamin/feed additive hampir (100 %) impor; (b) Adanya indikasi terjadinya ketimpangan struktur pasar baik pada pasar input maupun pasar output yang menempatkan peternak broiler dalam posisi lemah; (c) Kemitraan usaha (contract farming) broiler belum berjalan

Page 3: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

139

secara optimal, sehingga belum menjamin terjadinya koordinasi produk maupun koordinasi antar pelaku; dan (e) Industri broiler rentan terhadap gejolak eksternal, seperti krisis moneter-ekonomi, krisis finansial global, krisis pangan, serta wabah penyakit ternak terutama flu burung (Avian Influenza/AI), dan krisis finansial global dewasa ini.

Tulisan ini ditujukan untuk menganalisis: (1) Memberikan gambaran terhadap perkembangan populasi, produksi, perdagangan, dan pemain-pemain kunci dalam industri broiler; (2) Menganalisis pasokan dan permintaan broiler; (3) Mengkaji kinerja manajemen rantai pasok pada industri broiler; dan (4) Mengkaji manajemen rantai pasok melalui strategi kemitraan usaha.

PERKEMBANGAN POPULASI DAN PRODUKSI BROILER DI INDONESIA

Perkembangan Populasi Broiler

Usaha ternak ayam ras pedaging (broiler) merupakan industri biologi yang berpotensi tinggi untuk dikembangkan. Usaha ternak broiler telah dibudidayakan secara sangat meluas dan secara intensif, karena didukung oleh industri hulu (Breeding Farm, Feed Mill, Industri Farmasi) dan hilir (industri pengolahan, pengembangan produk, promosi produk, dan revolusi supermarket). Daerah dengan populasi padat ditemukan di daerah-daerah yang dekat dengan pusat pasar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), seperti Provinsi Jawa Barat dan Banten. Populasi dengan kepadatan tinggi, juga ditemukan di daerah-daerah yang merupakan daerah sentra produksi jagung, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.

Secara nasional jumlah populasi ayam ras pedaging (broiler) cenderung mengalami peningkatan meskipun relatif lambat, yaitu (1,79% pertahun) pada periode (2005-2009). Mulai melambatnya pertumbuhan populasi ayam ras pedaging di Indonesia sangat terkait dengan beberapa faktor eksternal, seperti serangan wabah flu burung (Avian Influenza/AI) tahun 2003-2005 dan dampak krisis kembar yaitu krisis pangan dan finansial global. Meskipun dampak wabah AI terhadap mortalitas broiler sangat kecil, namun dampak terhadap menurunnya permintaan broiler sangat besar. Jumlah total populasi pada tahun 2005 mencapai 811,20 juta ekor dan terus meningkat hingga mencapai 866.55 juta ekor pada tahun 2009 atau mengalami perkembangan sebesar (1,79%/tahun). Dari total populasi sebesar 866,55 juta ekor, terutama disumbang oleh 10 provinsi daerah sentra produksi, secara berturut-turut adalah Provinsi Jawa Barat menyumbang 384,24 juta ekor (44,34%), Jawa Timur 139,04 juta ekor (16,05%), Jawa Tengah 59,76 juta ekor (6,90%), Sumatera Utara 48,71 juta ekor (5,62%), Riau 27,80 juta ekor (3,21%), Kalimantan Timur 26,10 juta ekor (3,01%), Banten 24,52 juta ekor (2,83%), Kalimantan Selatan 20,53 juta ekor (2,37%), Lampung 17,93 juta ekor (2,07%), dan Kalimantan Barat 16,47 juta ekor (1,90%). Secara terperinci pertumbuhan ayam ras pedaging menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 1.

Dari 10 Provinsi daerah sentra produksi secara keseluruhan mengalami pertumbuhan positip, secara berturut-turut Provinsi Banten yang tumbuh sebesar (42,17%/tahun), Riau tumbuh (7,06%/tahun), Jawa Timur tumbuh (1,7%/tahun), Kalimantan Timur tumbuh sebesar (0,02%/tahun), dan Jawa Barat mengalami pertumbuhan yang stagnan (0%/tahun). Sementara itu, enam daerah sentra produksi lainnya mengalami pertumbuhan negatip, secara berturut-turut adalah Provinsi Lampung (-9,46%/tahun), Jawa Tengah (-3,04%/tahun), Sumatera Utara (-2,30 %/tahun), Kalimantan Selatan (-0,23 %/tahun), Kalimantan Barat (-0,19%/tahun).

Perkembangan Produksi Daging Broiler

Pertumbuhan produksi daging ayam ras pedaging (broiler) tumbuh sejalan dengan pertumbuhan populasinya. Jumlah total daging ayam ras pedaging (broiler) pada tahun

Page 4: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

140

2005 mencapai 779,108 ton dan terus meningkat dari tahun ke tahun hingga mencapai 1.016.876 ton pada tahun 2009 atau mengalami perkembangan sebesar 6,85 persen pertahun. Pertumbuhan tersebut tergolong tinggi dan jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan populasinya yang hanya tumbuh (1,79%/tahun). Hal tersebut merefleksikan adanya perbaikan tingkat produktivitas usaha ternak broiler terutama disebabkan oleh makin efisiennya feed convertion ratio (FCR) dan makin rendahnya tingkat mortalitas (3-5 %).

Dari total produksi daging ayam ras (broiler) yang mencapai 1.016.876 ton, terutama

disumbang oleh 10 provinsi daerah sentra produksi utama, yaitu Provinsi Jawa Barat menyumbang sebesar 348.557 ton (34,28 %), Provinsi Jawa Timur 119.801 ton (11,78 %), DI Jakarta 115.632 ton (11,37 %), Jawa Tengah 76.118 ton (7,49 %), Banten 72.107 ton (7,09 %), Sumatera Utara 36.664 ton (3,61 %), Kalimantan Barat ton 26.366 ton (2,59 %), Riau 24.260 ton (2,39 %), DI Yogyakarta ton 23.457 ton (2,31 %), dan Sumatera Selatan sebesar 23.072 ton (2,27 %) (Ditjennak, 2009). Secara terperinci dapat dilihat pada Lampiran 2.

Dari 10 provinsi daerah sentra produksi secara keseluruhan mengalami pertumbuhan produksi daging ayam ras (broiler) positip, secara berturut-turut Provinsi Banten sebesar (44,55 %/tahun), Sumatera Selatan (17,12 %/tahun), DKI Jakarta (13,55 %), DI Yogyakarta (7,98 %/tahun), Jawa Barat (7,89 %/tahun), Riau (6,75 %/tahun), dan Kalimantan Barat (6,27 %/tahun). Sementara itu, dua Provinsi yang mengalami pertumbuhan negatif adalah Provinsi Sumatera Utara (-3,73 %/tahun) dan Jawa Timur (-3,47 %/tahun).

POSISI PERDAGANGAN DAGING AYAM RAS (BROILER)

Ekspor Daging Broiler

Pada Tabel 1 dikemukakan perkembangan volume dan nilai ekspor broiler. Berdasarkan Tabel 1 tersebut memberikan beberapa gambaran pokok sebagai berikut : (1) Volume ekspor daging ayam ras (broiler) terus mengalami penurunan secara tajam, dari 100,90 ton (2004) menjadi terhenti sama sekali pada tahun 2008, atau mengalami pertumbuhan -68,19 persen pertahun; (2) Sejalan dengan penurunan volume ekspor, maka nilai ekspor juga mengalami penurunan tajam, dari US $161,20 ribu (2004) menjadi terhenti sama sekali pada tahun 2008, atau mengalami pertumbuhan -63,61 persen pertahun; (3) Jika dicermati penurunan volume ekspor lebih besar dibandingkan nilai ekspornya, hal ini mengandung makna bahwa sesungguhnya produk daging babi dihargai semakin baik oleh konsumen luar negeri. Adanya fenomena penurunan volume dan nilai ekspor produk daging ayam ras (broiler) yang tajam dan disertai dengan peningkatan volume dan nilai impor jelas dapat mengancam neraca perdagangan Indonesia. Dampak selanjutnya adalah terjadinya pengurasan devisa negara dan mengancam eksistensi usaha ternak ayam ras pedaging (broiler) terutama peternak rakyat yang sebagian besar adalah peternak yang melakukan kemitraan usaha.

Page 5: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

141

Tabel 1. Perkembangan Volume Ekspor dan Nilai Ekspor Daging Ayam Ras (Broiler), Tahun 2004-2008

Tahun Volume ekspor (ton) Nilai Ekspor (000 US$)

2004 100,90 161,20

2005 21,10 92,1

2006 25,00 43,2

2007 9,49 16,40

2008 0,00 0,00

2009 0,00 0,00

Rata-rata 31,30 62,58

Pertumbuhan (%/th) -68,19 -63,61

Sumber : Statistik Peternakan, 2009.

Impor Daging Broiler

Pada Tabel 2 memberikan informasi tentang perkembangan volume impor dan nilai impor. Berdasarkan Tabel 2 tersebut memberikan beberapa informasi pokok sebagai berikut: (1) Volume impor daging ayam ras (broiler) mengalami peningkatan dari 1.313,90 ton (2004) menjadi 7.495,20 ton (2008), terus meningkat menjadi 2.686,00 ton (2009) atau mengalami pertumbuhan sebesar 13,31 persen pertahun; (2) Sejalan dengan peningkatan volume impor, maka nilai impor daging ayam ras (broiler) juga mengalami peningkatan, dari US $ 1.032,60 ribu (2004) menjadi US $ 11.768,30 ribu (2008) terus meningkat menjadi US $ 1.189,45 ribu (2009) atau mengalami pertumbuhan sebesar 12,50 persen pertahun dalam periode tersebut; (3) Jika dicermati peningkatan nilai impor daging ayam ras (broiler) yang

lebih kecil dibandingkan volume impornya menunjukkan bahwa sesungguhnya produk daging ayam ras (broiler) dihargai semakin rendah oleh konsumen di Indonesia. Hal ini mengindikasikan adanya penurunan dayabeli konsumen Indonesia atau adanya pembatasan impor terkait serangan flu burung (AI). Tabel 2. Perkembangan Volume dan Nilai Impor Daging Ayam Ras (Broiler), Tahun 2004-2008

Tahun Volume impor (ton) Nilai impor ( 000 US $)

2004 1.313,90 1.032,60

2005 3.978,40 3.803,80

2006 3.468,40 4.661,70

2007 4.675,20 7.062,10

2008 7.495,20 11.768,30

2009 2.686,90 1.189,45

Rata-rata 3.936,33 9.919,66

Pertumbuhan (%/tahun) 13,71 12,50

Sumber : Statistik Peternakan, 2010.

PENAWARAN (PASOKAN) DAN PERMINTAAN BROILER

Pasokan Daging Ayam Ras (Broiler)

Total ketersediaan hasil ternak berupa daging unggas pada tahun 2008 sebesar 681,5 ribu ton meningkat pada tahun 2009 menjadi 704 ribu ton atau meningkat 3,30 persen pertahun (Statistik Peternakan, 2009). Dari ketersediaan daging unggas sebesar 704 ribu ton (2009) terdiri atas daging ayam bukan ras sebesar 141,6 ribu ton (20,11 %), daging

Page 6: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

142

ayam ras 545,0 ribu ton (77,41 %), dan daging itik 17,4 ribu ton (2,47 %). Secara berturut-turut ketersediaan daging unggas di Indonesia didominasi daging ayam ras (broiler), daging itik, dan daging ayam bukan ras. Tabel 3 menunjukkan neraca bahan makanan untuk daging ayam ras pedaging (broiler) tahun 2007, 2008 dan 2009.

Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan beberapa hal pokok : (a) ketersediaan telur ayam ras mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, dari 910 ribu ton (2007) menjadi 978,2 ribu ton (2008) dan sedikit menurun pada tahun 2009 menjadi 978,1 ribu ton; (b) Terdapat defisit terhadap penyediaan daging ayam ras (broiler) dalam negeri, sehingga kekurangannya harus diimpor (1,4-1,7 ribu ton pertahun) dan pada saat yang sama juga terjadi ekspor relatif kecil (0,10 ribu ton pertahun); (c) Kehilangan akibat tercecer masih sangat tinggi (19,4-20,8 %). Ke depan peningkatan produksi daging ayam ras (broiler) masih perlu terus ditingkatkan baik melalui peningkatan populasi (skala usaha), peningkatan efisiensi produksi, maupun menekan kehilangan hasil akibat tercecer dan rusak. Tabel 3. Neraca Bahan Makanan untuk Produk Daging Broiler (dalam 000 ton), Tahun 2007, 2008, dan 2009

Tahun Produksi telur ayam ras

Perubahan

Eks- por

Penye-diaan DN &

impor

Pemakaian Dalam Negeri

Masu-kan Kelua-ran Stok Impor Pakan ternak

Bibit Diolah untuk Ter-cecer Di makan Maka

-nan Indus

-tri

2007 910,0 527,8 - 0,0 0,0 536,8 - - - - 26,8 510,0

2008 978,2 567,3 - 6,5 0,1 573,8 - - - - 28,7 545,1

2009 1,051,7 610,0 - 2,7 0,0 612,6 - - - - 30,6 582,0

2010 1,132,0 656,5 - 2,7 0,0 612,6 - - - - 30,6 582,0

Sumber : Statistik Peternakan, 2010

Permintaan Daging Broiler

Konsumsi daging ayam ras (broiler) perkapita pertahun di Indonesia, mengalami peningkatan dalam waktu 3 (tiga) tahun terakhir, yaitu dari 2,26 Kg (2007) menjadi 2,39 Kg (2008), namun kemudian sedikit menurun menjadi 2,36 Kg (2009). Demikian juga halnya tingkat konsumsi perkapita gram perhari meningkat dari 6,19 gram/hari (2007) menjadi 6,53 gram/hari (2008) kemudian sedikit mengalami penurunan menjadi 6,45 gram/hari (2009). Tingkat konsumsi kalori perhari juga mengalami sedikit peningkatan meningkat dari 18,70 kalori/hari (2007) menjadi 19,73 kalori/hari (2008) kemudian sedikit menurun menjadi 19,49 kalori/hari. Tingkat konsumsi protein perhari juga mengalami peningkatan dari 1,13 protein perhari (2007) menjadi 1,19 protein perhari (2008) kemudian sedikit menurun pada tahun 2009 menjadi 1,17 protein/hari. Terakhir, tingkat konsumsi lemak perhari juga menunjukkan peningkatan dari 1,55 lemak/hari (2007) menjadi 1,63 lemak/hari (2008) kemudian terus meningkat menjadi 1,81 lemak/hari (2009). Secara ringkas konsumsi daging ayam ras (broiler) perkapita pertahun dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 4. Tingkat Konsumsi Daging Ayam Ras (Broiler) Perkapita, Tahun 2007, 2008 dan 2009

Tahun Konsumsi Perkapita

Kg/Tahun Gram/hari Kalori/hari Protein/hari Lemak/hari

20071) 2,26 6,19 18,70 1,13 1,55

20082) 2,39 6,53 19,73 1,19 1,63

20093) 2,36 6,45 19,49 1,17 1,81

Sumber : Staistik Peternakan, 2010

Berdasarkan Tabel 4 merefleksikan bahwa tingkat konsumsi daging broiler perkapita pertahun menglami peningkatan, namun bersifat tidak stabil. Demikian juga halnya tingkat konsumsi perkapita gram perhari, kalori perhari, protein perhari, dan lemak perhari juga

Page 7: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

143

menunjukkan mengalami peningkatan, meskipun juga bersifat tidak stabil. Hal ini sangat terkait dengan kemampuan daya beli masyarakat, dampak serangan AI pada tahun (2003-2005), serta krisis pangan dan finansial global.

PELAKU RANTAI PASOK PADA INDUSTRI BROILER

Manajemen rantai pasok (SCM) merujuk pada manajemen keseluruhan proses produksi, distribusi dan pemasaran dimana konsumen dihadapkan pada produk-produk yang sesuai dengan keinginannya dan produsen dapat memproduksi produk-produknya dengan jumlah, kualitas, waktu dan lokasi yang tepat (Daryanto, 2008). Dalam industri broiler terdapat tiga rangkaian produk yang satu sama lain berhubungan secara vertikal dari industri hulu hingga hilir, yakni bibit, pakan, dan produk daging ayam ras (broiler). Di samping itu, terdapat kegiatan penunjang yakni produksi obat-obatan, peralatan peternakan, pengolahan hasil dan kegiatan pemasaran.

Industri Pembibitan (Breeding Farm)

Salah satu pelaku kunci dalam industri broiler adalah industri pembibitan. Industri perbibitan broiler telah berkembang secara pesat. Struktur perbibitan ayam ras (broiler) terdiri atas Primary Line, Great Grand Parent Stock, Grand Parent Stock, Parent Stock, Final Stock (Hardjosworo dan Prasetyo, 2009). Karakteristik dasar bisnis broiler adalah sebagai industri biologi (the nature of poultry business) yang mempunyai implikasi pada tuntutan pengelolaannya (governance), yang akan berpengaruh terhadap struktur (structure), perilaku (conduct), dan kinerja (performance) industri peunggasan terutama ayam ras broiler (Saragih, 1998). Di antaranya yang penting adalah : Pertama, industri broiler didasarkan pada pendayagunaan pertumbuhan dan produksi broiler yang memiliki sifat dan pertumbuhan yang tergolong cepat dan mengikuti kurva pertumbuhan sigmoid.

Kedua, produk akhir (final product) broiler merupakan produk yang dihasilkan melalui tahapan-tahapan produksi yaitu dari PL(Pure Line)/GGPS (Grand-Grand Parent Stock) ke GPS (Grand Parent Stock) ke PS (Parent Stock) ke FS (Final Stock) dan produk akhir mulai dari sub sistem agribisnis hulu hingga hilir, di mana produk antara (intermediate product)

merupakan makhluk biologis bernilai ekonomi tinggi dan rentan terhadap keterlambatan waktu, sehingga menuntut pengelolaan yang prima. Anak ayam umur sehari (DOC) yang dihasilkan pada setiap tahapan produksi hanya dapat “disimpan” paling lama 36 jam sehingga harus sesegera mungkin dipelihara. Kemudian untuk, ayam ras pedaging mempunyai titik waktu optimal untuk dipanen (tuntutan pasar waktu panen optimal yaitu 35-36 hari lebih cepat dari potensi biologisnya 42-45 hari), di mana keterlambatan waktu pemanen akan meningkatkan biaya pemeliharaan secara cepat.

Ketiga, produktivitas broiler sangat tergantung pada kualitas pakan (feed). Implikasi

dari karakteristik dasar industri broiler adalah bahwa keberhasilan bisnis broiler ditentukan harmonisasi skala dan skedul produksi pada setiap tahapan produksi dari hulu ke hilir. Artinya segera setelah skala dan skedul produksi pada industri GPS ditetapkan, maka harus diikuti oleh skala dan skedul produksi sub sistem di bawahnya. Setiap satu ekor DOC GPS yang tidak terselamatkan mempunyai biaya imbangan (opportunity cost) paling sedikit 2.717 ekor ayam potong atau setara 12 juta rupiah. Sementara itu, waktu yang tersedia untuk menghindari risiko kerugian yang begitu besar maksimum 36 jam.

Beberapa pelaku kunci dalam industri pembibitan untuk pembibit Grant Parent Stock (GPS) broiler adalah : (1) PT. Bibit Indonesia di Kabupaten Subang; (2) PT. Central Avian Pertiwi di Kabupaten Subang; (3) PT. Cibadak Indah Sari Farm di Kabupaten Bogor; (4) PT. Cipendawa Farm Enterprise di Kabupaten Cianjur; (5) PT. Galur Palasari di Kabupaten Sukabumi; (6) PT. Hybro Indonesia di Kabupaten Cianjur; (7) CV. Missouri di Kabupaten

Page 8: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

144

Sumedang; (8) PT. Multi Breeder Adirama Indonesia di Kabupaten Purwakarta; (9) PT. Wonokoyo di Kabupaten Malang; dan (10) PT. Cheil Jedang Patriot Intan Abadi (CJ-PIA) di Kabupaten Sukabumi; dan (11) PT. Charoen Phokpand Indonesia di Kabupaten Lampung Tengah (Statistik Peternakan, 2010). Kapasitas dan realisasi pembibitan ayam ras pedaging (broiler) dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kapasitas dan Realisasi Pembibitan Ayam Ras di Indonesia, 1999-2007 (000 ekor)

Tahun

Pembibit Kapasitas Produksi

GPS

PS

PS FS FS

Broiler Layer Broiler Layer Broiler Layer

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

16 14 14 15 15

13 13 13 13 10

120 0 59 70 71

71 71 71 71 71

21.400 12.357 11.258 11.866 12.857 12.857 12.857 12.857 12.857

-

4.506 3.316 3.316 3.316 3.316 3.316 3.316 3.316 3.316

-

1.792.999 1.418.966 1.441.900 1.582.600 1.199.638 1.199.638 1.199.638 1.199.638 1.199.843

-

148.484 228.602 226.050 235.800 228.602 42.067 42.067 42.067 42.067

-

414.260 541.168 836.611 886.561 1.027.400

993.598 1.010.182 1.199.638 1.199.843 1.305.801

46.440 58.568 59.289 53.462 71.170 55.639 48.004 77.232 75.899 78.525

Sumber: Ditjenak 2004, 2005, 2008, 2009, dan 2010

Berdasarkan kajian di lapang beberapa pelaku kunci dalam industri pembibitan yang memiliki pangsa pasar yang tersebar untuk wilayah Jawa Barat (Bogor, Sukabumi, dan Cianjur) untuk bibit ayam ras pedaging (broiler) antara lain PT. Charoen Phokphand Indonesia, PT. Multi Breder Adirama Indonesia, PT. Cipendawa Farm Enterprise, PT. Wonokoyo, dan PT. Cibadak Indah Sari Farm. Sampai sejauh ini belum ada perusahaan pembibitan untuk menghasilkan Grant Parent Stock (GPS). Jumlah industri pembibitan GPS untuk menghasilkan Parent Stock (PS) untuk ayam ras pedaging (broiler) secara keseluruhan berjumlah (4 unit), yang semuanya berlokasi di Provinsi Jawa Barat. Nampak industri pembibitan GPS untuk menghasilkan PS broiler terkonsentrasi di Jawa Barat.

Industri pembibitan PS (Parent Stock) ditujukan untuk menghasilkan FS (Final Stock). Jumlah industri pembibitan Parent Stock (PS) untuk menghasilkan Final Stock (FS)

untuk broiler secara keseluruhan berjumlah (35 unit), yang berlokasi di Provinsi Jawa Barat (13 unit), Sumatera Utara (5 unit), Jawa Timur (5 unit), Banten (3 unit), Bali (2 unit), Kalimantan Selatan (2 unit), Jawa Tengah (1 unit), DI Yogyakarta (1 unit), dan Sulawesi Utara (1 unit); Nampak industri pembibitan PS untuk menghasilkan FS baik petelur maupun broiler juga terkonsentrasi di Jawa Barat, namun dengan sebaran yang lebih baik.

Pertumbuhan produksi Final Stock (FS) untuk ayam ras pedaging (broiler) selama lima tahun terakhir (2005-2009) cukup besar dengan rata-rata pertumbuhan sebesar (7,11 %/tahun). Dari rata-rata produksi final stock secara nasional sebesar 1.142.948 ribu ekor, maka disumbang oleh Provinsi Jawa Barat sebesar 434.040 ribu ekor (37,98 %), kemudian menyusul Jawa Timur sebesar 238.172 ribu ekor (20,84 %), Sumatera Utara sebesar 74.205 ribu ekor (6,49 %), Banten sebesar 55.496 ribu ekor (4,86 %), Jawa Tengah 52.146 sebesar ribu ekor (4,56 %), Riau sebesar 44.542 ribu ekor (3,90 %), Lampung sebesar 43.483 ribu ekor (3,80 %), Sumatera Selatan sebesar 38.303 ribu ekor (3,35 %), Kalimantan Timur sebesar 38.466 ribu ekor (3,37 %), dan Sulawesi Selatan sebesar 30.944 ribu ekor (2,71 %). Jumlah produksi DOC final stock oleh industri pembibitan sangat di suatu wilayah ditentukan kemampuan daya serap pasar produk DOC, infrastruktur fisik dan kesesuaian kondisi lingkungannya.

Struktur pasar DOC berada antara persaingan sempurna dan oligopoli, dan mengarah ke struktur pasar oligopoli. Hal ini di indikasikan oleh beberapa hal sebagai berikut : (1) Cukup banyaknya jumlah perusahaan pembibitan; (2) Cukup banyak perusahaan pembibitan skala kecil yang tidak terdaftar (perusahaan gelap); (4) terdapat

Page 9: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

145

cukup banyak perusahaan pembibitan (37) yang melakukan impor DOC, dengan volume impor mencapai 1,85 juta ekor (1995) hingga 6,85 juta ekor (1999); (3) adanya beberapa merk doc Final Stock yang diperdagangkan oleh PS-PS; dan (4) sering terjadinya fluktuasi harga doc yang tajam.

Industri Pakan Ternak (Feed Mill)

Pakan ternak merupakan input utama dalam peternakan ayam ras untuk menghasilkan produk daging ayam (broiler). Biaya pakan mencapai 60-70 persen dari biaya produksi total (Saptana, 1999). Secara empiris, industri pakan ternak di Indonesia berkembang di luar unit peternakan ayam sehingga struktur pasar industri pakan akan sangat menentukan harga pakan yang harus dibayar oleh peternakan.

Pertumbuhan jumlah industri pakan selama lima tahun terakhir (2005-2009) relatif kecil (1,86 %/tahun). Jumlah industri pakan terbanyak di Jawa Timur (16 unit), Banten (12 unit), NAD (9 unit), Jawa Barat (8 unit), Lampung (4 unit) dan Sulawesi Selatan (3 unit). Hal tersebut menunjukkan bahwa industri pakan sudah mulai menyebar, di mana awalnya sangat terkonsentrasi di Jawa. Pengembangan industri pakan mengikuti dua pola, yaitu dekat pasar konsumen produk broiler dan dekat daerah sentra produksi jagung.

Pertumbuhan kapasitas terpasang industri pakan selama lima tahun terakhir (2005-2009) relatif kecil (2,06 %/tahun). Rata-rata kapasitas terpasang terbesar di Jawa Timur 3.631.848 ton, Banten 2.767.600 ton, Sumatera Utara 817.178 ton, Jawa Barat 1.178.864 ton, Jawa Tengah 969.290 ton, Lampung 663.360 ton, DKI Jakarta 596.000 ton, Sulawesi Selatan 157.800 ton dan Kalimantan Selatan 40.000 ton.

Pertumbuhan produksi pakan pabrik pakan ternak selama lima tahun terakhir (2005-2009) cukup besar dengan rata-rata pertumbuhan sebesar (8,27 %/tahun). Rata-rata produksi pakan ternak terbesar di Provinsi Jawa Timur sebesar 2.389.295 ton, kemudian menyusul di Banten sebesar 1.839.859 ton, Jawa Barat sebesar 863.910 ton, Sumatera Utara sebesar 817.178 ton, Jawa Tengah sebesar 427.418 ton, Lampung sebesar 325.630 ton, DKI Jakarta sebesar 244.053 ton, Sulawesi Selatan sebesar 116.420 ton dan Kalimantan Selatan sebesar 7.200 ton. Hal tersebut menunjukkan bahwa kapasitas dan jumlah produksi pakan oleh pengusaha swasta sangat ditentukan kemampuan untuk mengadakan bahan baku pakan utama (jagung), volume pasar broiler, infrastruktur, dan kawasan untuk peruntukan industri.

Beberapa pemain kunci dalam industri pakan antara lain adalah (ICN, August 2009) : (a) PT. Charoen Phokphand Indonesia (PT. CPI) memiliki kapasitas produksi sebesar 2,6 juta ton pertahun (23 %); (b) PT. Japva Comfeed (PT. JC) memiliki kapasitas produksi pakan sebesar 1,73 juta ton pertahun (15,31%); (c) PT. Cheil Jedang Feed Indonesia memiliki kapasitas produksi 750 ribu ton pertahun (6,64 %); (d) PT. Super Unggas Jaya (PT. SUJ) melalui CJ Fedd memiliki kapasitas produksi 1 juta ton pertahun (8,85 %); (e) PT. Malindo Feed Mill (PT. MF) memiliki kapasitas produksi sebesar 360 ribu ton (3,20 %); (f)

PT. Sieread Produce Tbk. Memiliki kapasitas produksi sebesar 540 ribu ton (4,78 %) dari total kapasitas produksi pakan ternak nasional. Dari enam (6) pabrik pakan tersebut mampu merebut pangsa pasar sebesar 61,78 persen dari total pasar yang ada. Secara terperinci kapasitas produksi pakan dan produksi riil pakan ternak dapat dilihat pada Tabel 6.

Berbagai sumber informasi melaporkan bahwa beberapa perusahaan pabrik pakan skala besar telah melakukan integrasi secara vertikal dalam satu kesatuan manajemen pengambilan keputusan atau satu kesatuan finansial (Yusdja dan Saptana, 1995). Bahkan beberapa di antaranya melakukan integrasi secara penuh dari hulu hingga hilir. Penjualan pakan pada setiap tingkat manajemen yang terjadi di antara manajemen yang berada dalam satu induk finansial yang sama, tetap dengan harga pasar. Oleh karena itu, harga akhir tetap tidak berubah dengan keuntungan berusahaan induk finansial yang besar (excess profit).

Page 10: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

146

Tabel 7. Kapasitas produksi pabrik pakan ternak dan produksi riil di Indonesia, Tahun 2003-2007.

Tahun Kapasitas produksi (ton) Produksi Riil (ton) Pangsa produksi riil/kapasitas terpasang (%)

2003 10.026.331 5.743.093 57,28

2004 10.737.831 5.975.402 55,65

2005 11.278.231 6.226.882 55,21

2006 11.304.831 7.200.630 63,70

2007 11.024.348 7.700.033 69,70

2008 12.006.068 8.155.865 67,93

Sumber : Statistik Peternakan, 2009 dan 2010

Hasil kajian Yusdja dan Saptana (1995) mengemukakan bahwa tingkat keuntungan industri broiler, untuk pola mandiri menerima keuntungan hanya sebesar 1 persen, sedangkan pola terintegrasi dapat mencapai 23 persen. Dapat disimpulkan bahwa integrasi unit-unit kegiatan dalam industri broiler dapat meningkatkan efisiensi secara keseluruhan.

Ada kecenderungan pertumbuhan pabrik pakan ke arah bentuk struktur pasar oligopoli. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh : (1) proporsi produksi pakan dari pabrik pakan berskala besar yang berjumlah 8 buah (12%) memiliki pangsa pasar sebesar (65–83 %); dan (2) pada kenyataannya kedelapan pabrik pakan skala besar ini berada dalam satu organisasi GPMT (Gabungan Pengusaha Makanan Ternak) yang memungkinkan mereka melakukan kesepakatan-kesepakatan atau kartel diantara mereka.

MANAJEMEN RANTAI PASOK DAGING AYAM RAS (BROILER)

Rantai Utama Hasil Ternak Broiler/Daging Broiler

Konsep rantai pasok (supply chain) merupakan konsep baru dalam menerapkan sistem logistik yang terintegrasi. Rantai pasok adalah mata rantai penyediaan barang dari bahan baku sampai barang jadi (Indrajit dan Djokopranoto, 2002). Akhir-akhir ini, manajemen rantai pasok populer sebagai kerangka analisis dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan daya saing industri (Daryanto, 2007a).

Secara empris di lapang (Kasus di wilayah Bogor, Sukabumi, dan Cianjur) terdapat tiga pola usaha peternakan ayam ras, yaitu : (a) Pola usaha mandiri, di mana peternak sebagai tukang ternak sekaligus manajer sebagai pelaksana dan sekaligus pengambil keputusan dalam menjalankan usahanya serta menerima keuntungan yang diperoleh dan menanggung resiko yang mungkin timbul; (b) Pola Kemitraan Usaha, adalah kerjasama usaha antara peternak dengan pihak lain (perusahaan pakan ternak : PT. Charoen Phokpand Indonesia (PT. CPI), PT. Anwar Sierad Produce, PT. PKP; Poultry Shop; Peternak skala besar : TMF (Tunas Mekar Farm), PPC (Putra Perdana Chicken), dalam menjalankan usahanya ada pembagian hak dan kewajiban, serta adanya pembagian manfaat dan resiko yang timbul; dan (c) Pola kontrak kandang dan kuli (buruh), peternak menyebutnya maklun, di mana peternak menyewakan kandangnya dan sekaligus bekerja sebagai buruh dalam kandang yang dimilikinya.

Berdasarkan pola yang ada maka rantai pasok (supply chain) produk broiler dapat dibagi dua, yaitu : (1) Pola mandiri; dan (2) Pola kemitraan usaha. Pada pola mandiri, di mana peternak adalah sebagai tukang ternak (kultivator) dan sekaligus sebagai menajer akan menerima segenap keuntungan dan segala risiko yang timbul dari usaha ternak yang dijalankan.

Pada pola mandiri, peternak menyediakan seluruh modal, sarana produksi peternakan (sapronak), dan bebas memasarkan hasil. Pengambilan keputusan mencakup kapan memulai berternak, mengelola usaha ternak, kapan broiler dipanen (diangkat),

Page 11: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

147

kemana dipasarkan, serta seluruh keuntungan dan risiko sepenuhnya menjadi tanggung jawab peternak. Adapun ciri ciri peternak mandiri adalah mampu membuat keputusan sendiri tentang (Rusastra et al., 2006): (a) perencanaan usaha peternakan; (b) menentukan fasilitas perkandangan; (c) menentukan jenis dan jumlah sapronak yang akan digunakan; (d) menentukan saat memasukkan DOC ke dalam kandang; (e) menentukan manajemen produksi; (f) menentukan tempat dan harga penjualan hasil produksi; serta (g) tidak terikat dalam suatu kemitraan usaha, ikatan biasanya merupakan pola dagang umum (transaksional).

Pada saat ini (2009) di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Kabupaten Cianjur sulit ditemukan adanya peternak broiler mandiri. Andaikan ada peternak-peternak mandiri terbatas pada peternak skala besar, sedangkan peternak mandiri skala kecil banyak yang gulung tikar (colaps), karena beberapa gejolak eksternal, seperti krisis moneter (1997-1998), serangan wabah AI (2003-2005), dan krisis finansial global (2008).

Rantai pasok pada pola mandiri dapat dilihat pada Gambar 1 berikut. Berdasarkan Gambar 1 tersebut menunjukkan ada dua sumber hasil ternak broiler, yaitu peternak broiler rakyat (skala kecil) dan perusahaan peternakan (skala besar). Hasil broiler rakyat di jual kepada pedagang pengumpul, selanjutnya pedagang pengumpul menjual ke RPA atau pedagang besar (middle man), selanjutnya sebagian besar ditujukan untuk pedagang pasar dan pengecer di pasar-pasar tradisional. Sementara itu, hasil ternak broiler dari perusahaan besar dijual ke agen atau supplier, selanjutnya ke RPA (jasa pemotongan), kemudian dijual untuk tujuan pasar-pasar tradisional dan sebagian untuk tujuan pasar modern dan konsumen institusi (Hotel, Restoran, Rumah Sakit, dll).

Sumber : Rusastra et al., 2006.

Gambar 1. Rantai Pasok Produk Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada Pola Usaha Ternak

Mandiri.

Berdasarkan wawancara dengan para peternak dan informan kunci (key informant)

bahwa sudah cukup lama terjadi pergeseran dari dulunya dominan peternak mandiri, kemudian dominasi ke arah kemitraan usaha (contract farming), dan terakhir adalah

Pengolahan

Makanan

Konsumen Rumah

Tangga

- Hotel

- Restoran

- Rumah sakit

- dll

Pedagang Besar

di Pasar

Pedagang

Pengecer/Warung

Pedagang

Pengumpul

Pasar Modern

(Supermarket/hiper

market)

Agen Besar/

Supplier

Peternak Broiler Rakyat Perusahaan Peternakan

Broiler

Rumah Potong

Ayam/RPA

Page 12: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

148

dominani pola kontrak kandang dan kuli (maklun). Berdasarkan informasi dari Dinas Peternakan Kabupaten Bogor (2009-2010) kemitraan untuk ayam ras pedaging (broiler) memberikan informasi pokok : Kemitraan ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor dan berdasarkan studi eksplorasi juga mencakup Sukabumi dan Cianjur dilaksanakan oleh 10 perusahaan inti (PT. Charoen Phokpand, PT. Sierad Produce, PT. Surya Unggas Mandiri, PT. Multi Breeder, PT. Sinta Maju Abadi, PT. Wonokoyo, PT. Gymtech/Leong, PT Malindo, Tunas Mekar Farm/Muslikin, Bambang Ismono, PT. PPC (Putra Perdana Chicken) atau Tri Hardiyanto, dll). Di samping itu tercatat juga kemitraan yang dilaksanakan oleh poultry shop untuk kasus di Kabupaten Bogor terdapat sebanyak 7 (Sahabat PS, Prumpung PS, Sue Eng Farm, Cun Lih, Rudi PS, PT. Arena Jaya PS, Bogor Unggul Sejahtera PS) yang bertindak sebagai inti. Kasus serupa juga dijumpai di Kabupaten Sukabumi dan Cianjur.

Terdapat tiga pola kemitraan usaha antara Perusahaan Inti dengan peternak plasma, yaitu (Daryanto dan Saptana, 2009) : (1) Pola Perusahaan Inti Rakyat dengan kesepakatan melalui kontrak harga pada saat DOC masuk kandang; (2) Pola Perusahaan Inti Rakyat dengan kesepakatan harga mengikuti harga pasar; (3) Pola Bagi Hasil dan bagi risiko (profit risk sharing).

Beberapa alasan peternak broiler beralih dari pola mandiri ke pola kemitraan usaha, antara lain adalah : (a) kekurangan modal usaha, terutama setelah mengalami kerugian akibat gejolak eksternal; (b) mengurangi risiko baik risiko produksi maupun harga, melalui kemitraan usaha ada risk sharing; (c) untuk memperoleh jaminan pemasaran, di mana seluruh hasil perusahaan inti yang menampung dan memasarkan; (d) untuk memperoleh jaminan harga, melalui kontrak harga; (e) bagi perusahaan inti, untuk mendapatkan jaminan dalam pemasaran sapronak dan hasil ternak; dan (f) untuk memanfaatkan kandang yang sedang kosong.

Pola yang pertama dijumpai kemitraan usaha antara PT. Tunas Mekar Farm dengan peternak plasma serta antara PT. PKP dengan peternak plasma. Pada pola ini, perusahaan inti berkewajiban : (1) menyediakan sapronak : DOC, pakan, serta obat-obatan, vitamin, feed aditif, dan disinfektan; (2) menampung hasil dengan umur panen dan harga yang disepakati dalam kontrak (MoU) melalui tabel harga broiler hidup menurut berat (Tabel harga dapat disimak Tabel 8). Sementara itu, peternak berkewajiban : (1) memberikan uang jaminan, terutama bagi peternak plasma pemula sebesar Rp 6 juta/1000 ekor); (2) menyediakan kandang dan alat; (3) menyediakan tenaga kerja (anak kandang) bisa dengan tenaga keluarga atau upahan (anak kandang); (4) menyediakan biaya operasional; (5) memelihara broiler sebaik-baiknya agar mencapai FCR yang diharapkan dan mortalitas yang rendah. Karena harga input dan output sudah fix maka pencapaian keuntungan dapat dilakukan melalui pencapaian produktivitas yang tinggi, FCR yang standar, serta tingkat kematian yang rendah; dan (6) menjual seluruh hasil broiler kepada inti dengan harga yang telah disepakati. Secara terperinci harga kontrak menurut berat broiler antara peternak dengan Tunas Mekar Farm (TMF) dapat dilihat pada Tabel 8 berikut. Tabel 8. Harga Kontrak antara Peternak dengan TMF menurut Berat Broiler

No. Berat Broiler (hidup) Harga (Rp/Kg)

1. 1,0 13.230

2. 1,1 13.010

3. 1,2 12.870

4. 1,3 12.780

5. 1,4 12.710

6. 1,5 12.610

7. 1,6 12.500

8. 1,7 12.460

9. 1,8 12.420

10. 1,9 12.380

11. =>2 12.380

Sumber : TMF, 2009 dalam Daryanto dan Saptana.

Page 13: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

149

Biasanya harga yang terjadi di pasar adalah lebih tinggi dibandingkan harga kontrak (Rp 13 500-14.500/kg VS 12.380-13.230), namun pada periode Februari-Maret 2010 harga broiler yang terjadi di pasar lebih rendah dibandingkan harga kontrak (Rp 9.000-11.000 VS 12.380-13.230). Bagi peternak yang tergabung dalam kemitraan model ini, meskipun harga jatuh, peternak masih mendapatkan keuntungan yang cukup besar. Bagi perusahaan inti (TMF, PKP) yang melakukan kemitraan usaha dengan kontrak harga yang biasanya mendapatkan keuntungan, pada awal tahun 2010 mengalami kerugian, namun kerugian yang dialami sebagian tertutupi dari penjualan sarana produksi peternakan ke peternak plasma.

Pola yang ke dua dijumpai kemitraan usaha antara PT. PPC (Putra Perdana Chicken) dengan peternak plasma. Pada pola ini, perusahaan inti berkewajiban : (1) memberikan bimbingan teknis dan manajemen melalui technical services-nya; (2) menyediakan sapronak : DOC, pakan, serta obat-obatan, vitamin, feed additif, dan disinfektan; (3) menampung hasil dengan umur panen dan harga mengikuti harga pasar.

Peternak broiler berkewajiban : (1) memberikan uang jaminan, terutama bagi peternak plasma pemula sebesar Rp 10 juta/4000 ekor); (2) menyediakan kandang dan alat; (3) menyediakan tenaga kerja (anak kandang) bisa dengan tenaga keluarga atau upahan (anak kandang); (4) menyediakan biaya operasional; (5) memelihara broiler sebaik-baiknya agar mencapai FCR yang diharapkan dan mortalitas yang rendah; dan (6) menjual seluruh hasis broiler kepada inti dengan harga sesuai harga yang terjadi di pasar.

Bagi peternak yang tergabung dalam kemitraan model ini, biasanya mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan pola yang pertama, karena biasanya harga pasar yang terjadi lebih tinggi dibandingkan harga kontrak. Namun pada periode (februari-Maret 2009) mengalami kerugian karena harga jatuh (Rp 9000-11.000/kg broiler hidup). Pada harga terendah (Rp 9000-9800/Kg) peternak mengalami kerugian cukup besar, karena biaya pokok diperkirakan Rp 10.500/kg broiler. Bagi perusahaan inti (PPC) yang melakukan kemitraan usaha dengan mengikuti mekanisme harga pasar tetap mendapatkan keuntungan, meskipun keuntungannya relatif kecil.

Pergeseran ke pola kontrak kandang (maklun) disebabkan oleh beberapa faktor : (1) Kerugian yang dialami peternak pada saat terjadi goncangan eksternal (wabah AI, krismon 1997-1998, dan krisis finansial global 2008-2009); (2) Naiknya harga-harga sapronak terutama pakan ternak; (3) Makin terbatasnya margin keuntungan usaha ternak broiler pola mandiri; dan (4) Menyewakan kandang dan sebagai kuli adalah jalan terakhir yang dapat memberikan pendapatan tanpa sama sekali menanggung risiko.

Pola ketiga, yaitu pola bagi hasil dan bagi risiko (profit risk sharing). Pola yang ke tiga dijumpai kemitraan usaha antara PT. Charoen Phokpand Indonesia (PT. CPI) PT. Sierad Produce, dan PT. Malindo dengan peternak plasma secara individu. Pada pola ini, perusahaan inti berkewajiban : (1) memberikan bimbingan teknis dan manajemen melalui technical services-nya; (2) menyediakan sapronak : DOC, pakan, serta obat-obatan, vitamin, feed additif, dan disinfektan dengan harga mengikuti harga pasar; (3) menampung hasil dengan umur panen dan harga mengikuti harga pasar (perusahaan tidak membebankan biaya bunga bank); (4) Jika dalam kemitraan usaha memperoleh keuntungan atau kerugian maka keuntungan atau kerugian dibagi dua dengan proporsi sesuai yang disepakati dalam kontrak.

Sementara itu, peternak broiler berkewajiban : (1) memberikan uang jaminan, sebesar Rp 10 juta/4000 ekor) atau serifikat tanah; (2) menyediakan kandang sesuai petunjuk teknis dari perusahaan mitra; (3) menyediakan tenaga kerja (anak kandang); (4) menyediakan biaya operasional; (5) memelihara broiler sebaik-baiknya agar mencapai FCR yang diharapkan dan mortalitas yang rendah; dan (6) menjual seluruh hasil broiler kepada inti dengan harga sesuai harga yang terjadi di pasar.

Bagi peternak broiler yang tergabung dalam kemitraan model ke tiga ini, biasanya mendapatkan keuntungan yang lebih rendah dibandingkan pola yang kedua, karena adanya pembagian keuntungan antara perusahaan inti dan peternak plasma. Sebaliknya kalau

Page 14: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

150

mengalami kerugian, maka kerugian yang dialaminyapun lebih kecil, karena ada pembagian risiko dari kerugian yang timbul. Bagi perusahaan inti (PT. CPI, PT. Sierad Produce, dan PT. Malindo) yang melakukan kemitraan usaha dengan mengikuti mekanisme harga pasar dan pembagian keuntungan dan risiko kerugian, keduanya dapat mengalami keuntungan dan kerugian. Hanya saja keuntungan dan kerugian dibagi antara pihak-pihak yang bermitra.

Rantai pasok (supply chain) pada pola kemitraan usaha (contract farming) dengan mengambil kasus di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 menunjukkan bahwa ada dua sumber hasil ternak broiler, yaitu peternak broiler plasma (skala kecil) dan hasil produksi dari perusahaan inti (skala besar). Sesuai perjanjian seluruh hasil produksi broiler peternak plasma di tampung sepenuhnya oleh perusahaan inti. Selanjutnya perusahaan inti yang memasarkan hasil. Pola pemasaran hasil relatif sama dengan pola mandiri yaitu melalui pedagang pengumpul dan agen atau supplier, selanjutnya pedagang pengumpul menjual RPA atau pedagang besar (middle man), selanjutnya sebagian besar ditujukan untuk pedagang pasar dan pengecer di pasar-pasar tradisional dan sebagian dijual ke agen atau supplier, selanjutnya ke RPA (jasa pemotongan), kemudian dijual untuk tujuan pasar-pasar tradisional dan sebagian untuk tujuan pasar modern dan konsumen institusi (Hotel, Restoran, Rumah Sakit, dll).

Sumber : Rusastra et al., 2006.

Gambar 2. Rantai Pasok Produk Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada Pola Kemitraan

Usaha (Contract Farming)

MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAIN MANAGEMENT) BROILER MELALUI STRATEGI KEMITRAAN USAHA

Manajemen rantai pasok (Supply Chain Management/SCM) produk broiler mewakili

manajemen keseluruhan proses produksi dari pengadaan sapronak (bibit/DOC dan pakan), kegiatan budidaya, pengolahan, distribusi, pemasaran, hingga produk yang diinginkan

Pengolahan

Makanan

Konsumen Rumah

Tangga

- Hotel

- Restoran

- Rumah sakit

- dll

Pedagang Besar

di Pasar

Pedagang

Pengecer/Warung

Pedagang

Pengumpul

Pasar Modern

(Supermarket/hiper

market)

Agen Besar/

Supplier

Peternak Broiler Rakyat Perusahaan Inti/Mitra

Rumah Potong

Ayam/RPA

Page 15: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

151

sampai ke tangan konsumen. Pengembangan industri broiler dengan manajemen rantai pasok melalui strategi kemitraan usaha merupakan langkah strategis dalam memadukan sub sektor ini sebagai sumber pertumbuhan, pemerataan, dan keberlanjutan.

Manajemen Rantai Pasok Produk Broiler

Manajemen rantai pasok produk broiler berbeda dengan manajemen rantai pasok produk manufaktur, karena : (1) Industri broiler merupakan industri biologi bernilai ekonomi tinggi; (2) produk peternakan bersifat mudah rusak; (3) Proses pemasukan DOC, pemeliharaan, dan pemanenan tergantung pada kondisi iklim; (4) Hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi; dan (5) produk broiler bersifat kamba sehingga sulit ditangani.

Tujuan penerapan manajemen rantai pasok adalah untuk memastikan agar pelanggan mendapat produk dengan jumlah, kualitas, serta waktu yang tepat dengan biaya serendah mungkin. Secara holistik struktur rantai pasok broiler (hulu, on farm, hilir) dapat disimak pada gambar 3 berikut.

Sumber : Daryanto, 2010

Gambar 3. Struktur Usaha Broiler dari Daerah Pemasok ke Pasar DKI Jakarta

Sumber-Sumber Pertumbuhan Broiler

Sumber pertumbuhan produksi broiler berasal dari peningkatan populasi broiler dan peningkatan produktivitas. Peningkatan produksi broiler melalui peningkatan populasi

RPA/TPA

Bibit Grand Parent Stock

Bibit Parent Stock

Final Stock

DAGING AYAM MURAH ASUH

Produk olahan daging ayam

hulu

on farm

hilir

Pabrik pakan

( feedmill )

Pabrik/importir

Farmasi veteriner dan Sapronak

K o n s u m e n a k h i r

Unit pengolahan

Poultry shop Distributor

Asosiasi: GAPPI; GPPU; GOPAN; GPMT; ASOHI;NAMPA; YLKI

Instansi Pemerintah

eknis) Ditjennak, Ditjen P2HP,

Ditjen Sarana dan

Prasarana, Disnak

Provinsi, Disnak

Kota/Kabupaten

Page 16: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

152

semakin terbatas untuk di Pulau Jawa, namun masih terbuka secara luas untuk Luar Pulau Jawa terutama di daerah-daerah yang memiliki potensi pasar dan sentra produksi jagung. Sementara itu, sumber pertumbuhan produktivitas dapat dilakukan dengan peningkatan kualitas DOC dan pakan sehingga dihasilkan Feed Convertion Ratio (FCR). Pertumbuhan produktivitas juga dapat dilakukan dengan perbaikan teknis dan manajemen usaha ternak sehingga dicapai efisiensi teknis yang maksimal. Di samping itu, peningkatan produktivitas juga dapat dilakukan melalui skala usaha ternak yang optimal. Pertumbuhan produksi broiler dipicu oleh pengembangan industri pembibitan, industri pakan, dan industri farmasi di bidang perunggasan.

Kemitraan Usaha Pemacu Pertumbuhan dan Sekaligus Alat Pemerataan

Sumber pertumbuhan baru yang selama ini masih kurang tersentuh adalah sumber pertumbuhan baru melalui kemitraan usaha (contract farming). Teori kemitraan (Agency Theory) adalah teori yang menjelaskan hubungan-hubungan hierarkies atau pertukaran hak kepemilikan (property right) antar individu atau organisasi (perusahaan, kelompok tani, koperasi) (Eggertsson, 1990; Nugroho, 2006). Hughes (1992) dalam Kartasasmita (1996) mengemukakan kemitraan dapat menghasilkan sinergi yang dapat mendorong proses industrialisasi. Di Indonesia hal ini diwujudkan melalui kemitraan usaha antara perusahaan industri peternakan skala besar dengan peternak rakyat. Namun hingga kini kemitraan usaha pada broiler masih berorientasi pada pasar domestik dan belum mampu menembus pasar ekspor.

Dengan pendekatan manajemen rantai pasok melalui strategi kemitraan usaha diharapkan produk broiler peternak dapat memenuhi permintaan pasar baik pasar becek (wet market), pasar modern (supermarket, hypermarket), konsumen institusi (industri pengolahan, restaurant/rumah makan, hotel), maupun pasar ekspor. Sebagai pelajaran penting adalah keberhasilan peternak skala menengah-besar dalam memasok kebutuhan produk broiler untuk hotel-hotel berbintang terutama di Bali dan kota-kota besar lainnya. Juga keberhasilan perusahaan pengolahan hasil ternak dalam mengembangkan produk (product development) dalam memenuhi permintaan konsumen golongan menengah-atas.

Pendekatan rantai pasok melalui strategi kemitraan usaha pada industri broiler dapat memadukan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan jika dilakukan secara tepat. Dengan menggunakan SCM melalui kemitraan usaha akan meningkatkan efisiensi di seluruh lini rantai pasok, sehingga akan meningkatkan nilai tambah yang berarti memacu pertumbuhan. Melalui strategi kemitraan usaha antara perusahaan peternakan dan peternak rakyat dapat merangkul banyak pelaku usaha dalam satu-kesatuan rantai pasok, sehingga menciptakan kesempatan kerja dan berusaha. Dengan SCM melalui kemitraan usaha dapat dikembangkan sistem rantai dingin (cold chain) dan penanganan limbah secara baik sehingga kebersihan, higienitas, dan kelestarian lingkungan terjaga, sehingga berkelanjutan.

Rantai pasok melalui strategi kemitraan usaha berjalan secara harmonis, harus dilakukan dengan beberapa prinsip dasar, yaitu : adanya kesetaraan (equality), saling percaya-mempercayai (mutual trust), keterbukaan (transparancy), dan dapat dipertanggungjawabkan (accountability) sehingga terbangun kemitraan usaha yang saling

membutuhkan, memperkuat dan saling menguntungkan.

Dampak positif SCM melalui strategi kemitraan usaha broiler dapat dipilah terhadap para pelaku yang tercakup, yaitu perusahaan mitra dan petani mitra. Dampak terhadap perusahaan mitra adalah adanya jaminan pasokan yang memenuhi aspek jenis, jumlah, kualitas dan kontinuitas pasokan yang akan memacu dan menjaga stabilitas pertumbuhan. Sementara itu, bagi petani mitra adanya jaminan pasar dan harga, adanya bimbingan teknis budidaya dan manajerial, sumber kredit untuk sarana produksi yang dibutuhkan, serta adanya peningkatan kapasitas baik individu maupun kelompok, sehingga pada akhirnya

Page 17: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

153

dapat meningkatkan produktivitas, memperluas kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan petani mitra. Dengan demikian terbangun kelembagaan kemitraan usaha agribisnis broiler yang bersifat saling memerlukan.

Melalui SCM terdapat peluang membangun kemitraan usaha yang bersifat saling memperkuat dalam pengertian baik perusahaan peternakan maupun peternak harus memiliki komitmen, tanggung jawab moral dan etika bisnis, sehingga akan memperkuat kedudukan masing-masing dalam meningkatkan daya saing usahanya. Dengan demikian rantai pasok melalui kemitraan usaha akan menciptakan sinergi optimum melalui koordinasi baik melalui mekanisme transmisi harga dan koordinasi antar pelaku. Hal ini akan menjaga stabilitas pertumbuhan produksi broiler sekaligus menyediakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha secara luas.

Mampu membangun manajemen rantai pasok (SCM) melalui kemitraan usaha yang bersifat saling menguntungkan dalam pengertian bahwa ke dua belah pihak yang bermitra memperoleh peningkatan pendapatan dan terjamin kesinambungan usahanya melalui mekanisme peningkatan skala ekonomi, peningkatan efisiensi dan produktivitas, peningkatan koordinasi baik secara horisontal maupun vertikal, pada akhirnya meningkatkan nilai tambah.

Secara lebih terperinci manfaat SCM melalui kemitraan usaha broiler dapat dijadikan sebagai pemacu pertumbuhan, melalui upaya : (a) meningkatkan produktivitas yang berperan dalam pertumbuhan broiler; (b) meningkatkan efisiensi sehingga mengurangi pemborosan devisa; (c) jaminan kualitas, kuantitas, dan kontinyuitas pasokan bagi perusahaan mitra yang menjaga kesinambungan proses produksi secara berkelanjutan; dan (d) menciptakan nilai tambah bagi perusahaan dan terjadi akumulasi kapital sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Beberapa manfaat yang memiliki dimensi pemerataan, antara lain adalah : (a) adanya pembagian kerja secara organik, sehingga dapat menyerap tenaga kerja secara lebih luas dan sekaligus meningkatkan produktivitas kerja; (b) adanya pembagian resiko; (c) meningkatkan nilai tambah bagi petani mitra secara adil; (d) memberikan dampak sosial, terutama dalam mengurangi kesenjangan sosial ekonomi; (d) meningkatkan tingkat, stabilitas dan kontinyuitas pendapatan bagi petani mitra; serta (e) meningkatkan aksessibilitas terhadap pangan dan oleh karenanya meningkatkan ketahanan pangan masyarakat.

Secara lebih luas keberhasilan dalam pengembangan SCM melalui kemitraan usaha broiler akan berdampak tidak saja bagi pihak-pihak yang melakukan kemitraan usaha, tetapi keberhasilannya secara lebih luas terutama dalam memacu pertumbuhan dan stabilitasnya, memperluas kesempatan kerja dan peluang berusaha, serta dalam pembentukan tatanan dan pengembangan iklim usaha yang kuat, sehat, dan berdaya saing. Di samping itu, produk samping yang dihasilkan berupa kotoran ternak merupakan bahan organik yang sangat bermanfaat sebagai masukan untuk kegiatan usaha tani tanaman terutama komoditas komersial bernilai ekonomi tinggi.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Secara nasional jumlah populasi broiler tumbuh relatif lambat, sedangkan produksi tumbuh pada level moderat. Kondisi tersebut menunjukkan adanya peningkatan produktivitas yang cukup tinggi yang didukung oleh kualitas bibit (DOC), pakan sehingga FCR semakin efisien.

Daerah sentra produksi broiler berkembang pesat di daerah dekat pusat pasar dan daerah sentra produksi jagung. Secara berturut-turut sumbangan produksi terbesar adalah

Page 18: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

154

Provinsi Jawa Barat menyumbang, Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Riau, DIY, dan Sumatera Selatan.

Posisi perdagangan broiler Indonesia di pasar dunia pada periode (2005-2009) mengalami defisit yang makin lama makin membesar. Kondisi ini akan dapat mengganggu eksistensi dan keberlanjutan industri broiler domestik. Diperlukan kebijakan pendukung pengembangan industri broiler domestik terutama berkaitan pengembangan bahan baku pakan domestik, kemudahan dalam investasi, infrastruktur pendukung, serta perencanaan penataan kawasan industri peternakan yang jelas.

Rantai pasok (supply chain) pada produk broiler pada pola mandiri di jual ke pedagang pengumpul, selanjutnya pedagang pengumpul menjual ke pedagang besar pasar di pasar-pasar tradisional, selanjutnya dijual ke pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional. Sementara itu, pada pola kemitraan sesuai perjanjian seluruh hasil produksi broiler peternak plasma di tampung sepenuhnya oleh perusahaan inti atau poultry shop. Selanjutnya perusahaan inti yang memasarkan hasil.

Pola rantai pasok melalui kemitraan usaha relatif sama dengan pola mandiri yaitu melalui pedagang pengumpul dan agen atau supplier, selanjutnya pedagang pengumpul menjual ke RPA atau pedagang besar (middle man), selanjutnya sebagian besar ditujukan untuk pedagang pasar dan pengecer di pasar-pasar tradisional dan sebagian dijual ke agen atau supplier, selanjutnya ke RPA (jasa pemotongan), kemudian sebagian besar dijual untuk tujuan pasar becek (wet market) dan sebagian lainnya untuk tujuan pasar modern dan konsumen institusi (industri pengolahan, Hotel, Restoran/rumah makan, Rumah Sakit).

Pendekatan manajemen rantai pasok melalui strategi kemitraan usaha paling tidak terdapat empat manfaat, yaitu: (1) kualitas produk broiler yang dihasilkan akan mampu dipertahankan konsistensinya, hal ini dikarenakan melalui koordinasi vertikal mekanisme kontrol mudah dilakukan; (2) melalui koordinasi vertikal akan mampu mengurangi biaya per unit output dan tercapainya economies of scale dan dicapai efisiensi dan produktivitas sebagai sumber pertumbuhan; (3) koordinasi vertikal melalui kemitraan usaha akan memperluas kesempatan peternak rakyat terlibat dalan industri broiler, sehingga dapat memperluas kesempatan kerja dan berusaha; dan (4) koordinasi vertikal merupakan pendekatan yang terkoordinasi dan efisien sehingga akan terbangun keterpaduan produk dan keterpaduan antar pelaku usaha industri broiler sehingga akan menjamin keberlanjutan usaha.

Implikasi kebijakan penting dalam membangun manajemen rantai pasok secara terintegrasi adalah mengembangkan bentuk-bentuk kemitraan yang saling membutuhkan, memperkuat, dan saling menguntungkan sehingga terbangun keterpaduan produk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen rantai pasok melalui strategi kemitraan usaha alur informasi dapat bergerak secara efektif, pergerakan produk akan efisien dalam menghasilkan kepuasan maksimal bagi konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

Daryanto, A. 2007a. Restrukturisasi Industri Perunggasan melalui Supply Chain Management. Trobos, Mei 2007.

Daryanto, A. 2010. Poultry Industries Outlook. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional yang bertajuk “Strategi Usaha Perunggasan Dalam Menghadapi Krisis Global” yang diselenggarakan oleh Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI), 26 Oktober 2009, Ruang Mahoni MB-IPB.

Daryanto, A. 2009. Dinamika Dayasaing Industri Peternakan. IPB Press. Bogor.

Page 19: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

155

Daryanto, A. 2008. Tantangan dan Peluang Peternakan di Tengah Krisis Global. Trobos, Januari 2009.

Daryanto A. dan Saptana. 1999. Global Value Chain Governance (GVCG) pada Broiler di Indonesia : Memadukan Pertumbuhan, Pemerataan dan Keberlanjutan dalam Orange Book : Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan dalam Menghadapi Krisis Ekonomi Global. IPB Press. Bogor

Ditjen Peternakan. 2010. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta

Ditjen Peternakan. 2009. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Ditjen Peternakan. 2008. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan.Departemen Pertanian. Jakarta.

Ditjen Peternakan. 2005. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Ditjen Peternakan. 2004. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Eggertsson, T. 1990. Economic Behavior and Institution, Cambridge : Cambridge University Press.

ICN. August 2009. Market Intelligence Report on Livestock and Poultry Industry in Indonesia. PT. Data Consult. Business Survey and Report.

Indrajit, R. E. Dan R. Djokopranoto. 2002. Konsep Manajemen Supply Chain Cara Baru Memandang Mata Rantai Penyediaan Barang. Grasindo. Jakarta.

Hardjosworo, P. S. dan L. H. Prasetyo. 2009. Unggas dan Perunggasan di Indonesia. Disampaikan pada Seminar “Strategi Usaha Perunggasan dalam

Menghadapi Krisis Global”Fakultas Peternakan IPB dan Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI). Bogor, 26 Oktober 2009.

Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES. Jakarta.

Nugroho, B. 2006. Principal-Agent(s) Relationships (Hubungan Pemberi & Penerima Kepercayaan). Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rusastra, I W., W. K. Sejati, S. Wahyuni, dan Y. Supriyatna. 2006. Laporan Penelitian Analisis Kelembagaan Rantai Pasok Komoditas Peternakan. 2006. Pusat Analsis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Saptana. 1999. Dampak Krisis Moneter dan Kebijaksanaan Pemerintah Terhadap Profitabilitas dan Daya Saing Sistem Komoditi Ayam Ras di Jawa Barat. Tesis S2. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian. Bogor.

Saragih, B. 1998. Agribisnis Berbasis Peternakan. Pusat Studi Pembangunan, Lembaga, Penelitian Institut Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Yusdja, Y., dan Saptana. 1995. Disintegrasi Pola Kemitraan dan Inefisiensi dalam Industri Ayam Ras. Prosiding Simposium Nasional Kemitraan Usaha Ternak. Ikatan Sarjana Ilmu-Ilmu Peternakan Indonesia (ISPI) bekerjasama dengan Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor.

Page 20: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

156

Lampiran 1. Perkembangan Populasi Ayam Ras Pedaging Menurut Provinsi di Indonesia, 2005-2009 (ekor)

No Provinsi Tahun

Rata-rata Pertumbuhan

(%/tahun) 2005 2006 2007 2008 2009

1 NAD 1.057.443 1.538.306 1.692.137 1.346.308 1.480.940 1.423.027 5,60

2 Sumut 35.568.236 42.763.530 78.152.052 42.891.621 44.178.369 48.710.762 -2,30

3 Sumbar 11.357.781 12.748.991 13.308.143 14.202.592 15.622.851 13.448.072 7,42

4 Riau 27.440.958 20.965.808 27.491.937 30.679.920 32.397.338 27.795.192 7,06

5 Jambi 9.694.426 11.539.188 6.804.140 6.910.116 7.350.988 8.459.772 -2,49

6 Sumsel 14.920.000 15.842.000 15.914.000 13.747.390 14.191.400 14.922.958 -2,38

7 Bengkulu 1.591.304 1.833.002 1.904.548 5.423.379 5.068.690 3.164.185 33,32

8 Lampung 21.747.209 21.094.571 15.033.671 15.879.617 15.879.617 17.926.937 -9,46

9 DKI Jakarta 182.000 124.300 115.000 68.000 34.000 104.660 -33,66

10 Jabar 352.434.300 343.954.090 377.549.055 417.373.596 429.894.804 384.241.169 0,00

11 Jateng 62.043.412 61.258.115 64.552.829 54.643.212 56.282.509 59.756.015 -3,04

12 DI Yogyakarta 20.971.720 25.360.260 4.834.537 5.128.488 5.224.296 12.303.860 -42,04

13 Jatim 142.602.400 119.525.124 148.854.817 140.005.968 144.206.177 139.038.897 1,70

14 Bali 5.363.066 5.317.163 4.846.644 4.975.477 5.312.294 5.162.929 -0,86

15 NTB 8.848.482 9.804.858 1.727.773 1.339.495 1.440.479 4.632.217 -50,26

16 NTT 625.000 45.825 9.397 244.101 396.013 264.067 -9,83

17 Kalbar 15.139.364 14.889.746 13.939.332 18.917.875 19.475.770 16.472.417 -0,19

18 Kalteng 2.436.329 3.200.400 3.860.420 3.976.233 4.095.520 3.513.780 11,65

19 Kalsel 19.964. 639 20.624.128 21.534.508 19.860.813 20.115.034 20.533.621 -0,23

20 Kaltim 25.828.600 26.292.200 23.832.200 26.941.660 27.620.590 26.103.050 0,02

21 Sulut 1.459.443 1.406.880 1.550.396 1.623.420 1.647.771 1.537.582 3,86

22 Sulteng 2.238.366 2.358.000 6.132.829 4.213.929 3.543.029 3.697.231 12,08

23 Sulut 12.765.509 12.325.960 13.826.056 14.575.840 15.031.116 13.704.896 4,95

24 Sultra 820.100 896.048 924.457 957.715 1.037.260 927.116 5,35

25 Maluku 80.945 111.202 114.169 119.887 123.484 109.937 8,53

26 Papua 733.022 981.161 1.395.964 1.465.732 1.578.984 1.230.973 17,68

27 Babel 4.639.664 5.287.409 6.097.054 5.213.835 5.370.250 5.321.642 2,61

28 Banten 6.475.796 7.684.690 26.405.564 40.011.606 42.012.187 24.517.969 42,17

29 Gorontalo 379.497 384.219 1.930.641 1.347.640 1.482.404 1.104.880 28,68

30 Malut 84.325 269.920 147.400 129.352 135.819 153.363 -2,45

31 Kepri 469.592 6.284.676 6.206.862 6.878.886 7.085.253 5.385.054 25,67

32 Papua Barat 774.755 342.125 868.829 891.610 932.490 761.962 11,35

33 Sulbar 451.001 473.551 101.985 67.105 79.121 234.553 -49,04

Jumlah Total 811.188.684 797.527.446 891.659.345 902.052.418 930.317.847 866.549.148 1,79

Sumber : Statistik Peternakan, 2009

Page 21: MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAINS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/11-tematik-scm-broiler.pdfproduk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen

157

Lampiran 2. Produksi Daging Ayam Ras Pedaging Menurut Provinsi di Indonesia, Tahun 2005-2009 (ton)

No Provinsi Tahun

Rata-rata Pertumbuhan

(%/tahun) 2005 2006 2007 2008 2009

1 NAD 1.533 1.395 1.581 3.629 3.949 2.417 29,23

2 Sumut 41.778 39.055 35.098 35.283 36.664 37.576 -3,73

3 Sumbar 12.119 11.602 12.439 13.275 14.603 12.808 5,20

4 Riau 21.004 19.015 23.059 28.082 24.260 23.084 6,75

5 Jambi 9.909 9.290 14.536 12.459 13.705 11.980 8,98

6 Sumsel 11.708 13.532 21.176 22.185 23.072 18.335 17,12

7 Bengkulu 2.268 1.642 1.577 2.132 6.616 2.847 32,27

8 Lampung 19.170 19.724 12.937 10.542 10.737 14.622 -17,81

9 DKI Jakarta 67.054 83.768 128.480 128.480 115.632 104.683 13,55

10 Jabar 259.749 276.195 279.851 335.151 348.557 299.901 7,89

11 Jateng 61.683 81.203 65.026 73.191 76.118 71.444 -0,35

12 DIY 14.997 23.000 22.203 23.117 23.457 21.355 7,98

13 Jatim 128.342 143.643 148.855 115.193 119.801 131.167 -3,47

14 Bali 20.530 20.354 18.553 19.046 19.298 19.556 -1,93

15 NTB 236 15.303 20.037 2.001 2.081 7.932 -12,12

16 NTT 6 30 6 139 226 81 67,44

17 Kalbar 21.286 21.541 22.138 26.121 26.366 23.490 6,27

18 Kalteng 3.000 4.357 5.125 5.330 5.543 4.671 3,64

19 Kalsel 20.349 18.705 26.690 34.562 8.641 21.789 -3,47

20 Kaltim 19.294 20.945 18.337 20.620 21.139 20.067 1,68

21 Sulut 5.606 1.324 5.714 6.775 7.114 5.307 15,96

22 Sulteng 2.005 2.820 7.109 5.553 5.775 4.652 3,63

23 Sulut 10.215 10.538 5.445 9.768 14.037 10.001 30,33

24 Sultra 579 887 968 1.101 1.192 945 11,76

25 Maluku 67 73 107 102 106 91 11,76

26 Papua 416 765 1.375 1.370 1.476 1.080 25,22

27 Babel 5.052 4.795 6.007 5.292 5.504 5.330 1,00

28 Banten 16.542 6.970 29.751 69.333 72.107 38.941 44,55

29 Gorontalo 405 348 1.805 1.221 1.344 1.025 22,23

30 Malut 540 1.723 122 828 845 812 -3,51

31 Kepri 376 5.700 5.858 5.875 5.975 4.757 23,91

32 Papua Barat 614 310 758 809 846 667 -59,45

33 Sulbar 677 710 61 69 60 315 -59,45

Jumlah Total 779.108 861.263 942.786 1.018.734 1.016.876 923.753 6,85

Sumber : Statistik Peternakan, 2009