manajemen peradilan islam di era abbasiyah...v abstrak siti nuraviva, 1111043200027, “peradilan...

101
i MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH (Studi Komparatif Manajemen Peradilan Islam Masa Islam Klasik) Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh : SITI NURAVIVA NIM : 1111043200027 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436H/2015M

Upload: others

Post on 23-May-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

i

MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH

(Studi Komparatif Manajemen Peradilan Islam Masa Islam Klasik)

Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk

Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

SITI NURAVIVA

NIM : 1111043200027

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1436H/2015M

Page 2: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

ii

Page 3: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

iii

Page 4: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

iv

Page 5: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

v

ABSTRAK

Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA

ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M.

Skripsi ini bertujuan untuk membandingkan peradilan masa Rasulullah,

khulafa al-Rasyidin,bani umayah, dan dengan bani Abbasiyah. Untuk

mendeskripsikan praktik peradilan di masa Abbasiyah. Untuk menganalisis

manajemen hakim di masa Abbasiyah.

Dalam penyusunan penelitian, penulis melakukan pendekatan terhadap

permasalahan dengan “metode normatif”, yaitu penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka. Tentu referensi yang digunakan memiliki

keterkaitan dengan topik pembahasan yang akan penulis teliti, dengan menggunakan

sumber-sumber yang berkaitan dengan hukum Islam.

Kesimpulan penelitian ini adalah manajemen sistem peradilan Islam di masa

Abbasiyah ternyata jauh sudah lebih modern. Apabila diidentikan dengan Indonesia,

pada masa Abbasiyah sudah ada Mahkamah Agung Jaksa Agung serta peradilan-

peradilan ditingkat provinsidan kota/kabupaten. Artinya setiap wilayah sudah

memiliki peradilan.

Kata kunci : Manajemen; Peradilan Islam; Abbasiyah; Islam Klasik

Pembimbing 1 : Drs.H.A.Basiq Djalil, SH, MA

Pembimbing 2 : Dr. Supriyadi Ahmad, MA

Daftar Pustaka : Tahun 1984 s.d tahun 2015.

Page 6: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

vi

KATA PENGANTAR

حيمالر حمنبسم اهلل الر

Puji Syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan, kesehatan

serta telah melimpahkan Taufik serta Hidayah-Nya sehingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Peradilan Islam di Era Abbasiyah” sebagai

syarat guna memperoleh gelar sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi

Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) jurusan Perbandingan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan Salam, semoga senantiasa

terlimpahkan kepada manusia pilihan yaitu baginda Rosulullah SAW.

Dalam proses pembuatan skripsi ini, berbagai hambatan, pengorbanan, dan

kesulitan penulis hadapi. Namun tidak terlepas dari petunjuk dan pertolongan Allah

SWT. Serta berkat berbagai dorongan serta bimbingan dari semua pihak, sehingga

akhirnya penulisan ini skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh sebab itu, penulis

mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak:

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA. Yang

telah banyak membantu penulis dalam menjalankan perkuliahan. Semoga

dapat menjadi pemimpin yang memberikan teladan dan integritas yang lebih

baik.

2. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, ketua Program Studi Perbandingan

Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah memberikan pengarahan serta waktu kepada penulis di

sela-sela waktu kesibukan beliau.

3. Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc., MA sekertaris Program Studi Perbandingan

Mazhab dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak

membantu kepada penulis, baik dari sisi intelektual dan spiritual di dalam

segala kesibukan beliau.

Page 7: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

vii

4. Drs.H.A.Basiq Djalil, SH, MA, dosen pembimbing yang telah meluangkan

waktu untuk memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini.

5. Dr. Supriyadi Ahmad, MA, dosen pembimbing yang telah banyak

memberikan arahan, meluangkan waktu serta dukungan sehingga skripsi ini

dapat diselesaikan.

6. Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta, yang telah mengamalkan

ilmunya kepada penulis selama studi.

7. Staf dan Karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas syari’ah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga memberikan bantuan

berupa bahan-bahan yang menjadi referensi dalam penulisan skripsi ini.

8. Papa dan Mama tercinta bapak H. Yan Chandra dan ibu Hj. Elvira yang selalu

penulis hormati dan sayangi, dan yang selalu memberikan kasih sayangnya

kepada penulis, memberikan nasehat dan doa demi kesuksesan penulis.

9. Abang-abangku serta semua keluarga yang penulis cintai, atas dorongan yang

diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

10. Sahabat-sahabat sekelas penulis PH dan PMF angkatan 2011 yang tidak dapat

penulis sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan bantuan kepada penulis

dalam studi yang tak terlupakan.

11. Sahabat dan adik-adik Moot Court Community yang selalu menghibur dan

memberikan semangat dalam proses penyusunan skripsi ini

Akhirnya atas segala jasa dan bantuan dari semua pihak, penuliskan ucapkan

banyak terima kasih. Penulis berdoa semoga Allah SWT membalasnya dengan

imbalan pahala yang berlipat ganda.

Jakarta, 22 September 2015 M

09 Dhul-hijjah 1436 H

Penulis

Page 8: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................. ............................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ........................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iv

ABSTRAK ........................................................................................................ v

KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi

DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................ 8

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................... 8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 9

E. Review Studi Terdahulu ....................................................... 10

F. Kerangka Teori ..................................................................... 12

G. Metode Penelitian ................................................................. 14

H. Sistematika Penulisan .......................................................... 17

BAB II MANAJEMEN PERADILAN ISLAM .................................... 19

A. Pengertian Manajemen ......................................................... 19

B. Pengertian Peradilan ............................................................. 20

C. Sejarah Singkat Peradilan Islam ........................................... 23

D. Sejarah Singkat Munculnya Bani Abbasiyah ....................... 24

Page 9: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

ix

E. Perioderisasi Peradilan Islam ............................................... 28

BAB III PRAKTEK PERADILAN MASA ABBASIYAH .................. 39

A. Peradilan pada Masa Abbasiyah Pertama ............................ 39

B. Peradilan pada Masa Abbasiyah Kedua ............................... 42

C. Kebijakan-Kebijakan Peradilan Masa Khalifa Abbasiyah . . 43

D. Kasus Hukum Masa Abbasiyah ........................................... 57

E. Pembuatan Undang-undang ............................................... .. 59

BAB IV MANAJEMEN HAKIM DI MASA ABBASIYAH ............... 60

A. Pengangkatan Pengaturan Gaji Hakim ................................. 60

B. Sumber Hukum Hakim ................................................................. 65

C. Kewenangan Hakim ............................................................. 66

D. Pemecatan dan Penggantian Hakim ..................................... 70

E. Kemajuan dan Kemunduran Peradilan Era Abbasiyah.... 72

BAB V PENUTUP ................................................................................. 76

A. Kesimpulan .......................................................................... 76

B. Saran-saran ........................................................................... 77

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 78

LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 78

Lampiran I Tentang Silsilah Khalifah Abbasiyah ....................................... ...... 81

Lampiran II Tentang Peta Kekuasaan Abbasiyah Masa Harus al-Rasyid ... .... 82

Lampiran III Tentang Peta Kekuasaan Dinasti Abbasiyah ................................ 83

Lampiran IV Tentang Surat-surat Umar Bin Khattab ........................................ 84

Page 10: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peradaban hukum dan peradilan sejatinya sudah mulai dipraktikan sejak

ribuan tahun silam, seiring dengan peradaban kehidupan manusia, meskipun

masih dalam konteks yang sangat sederhana. secara praktis proses peradilan

pertama kali dipraktikan dalam sejarah umat manusia adalah proses peradilan

terhadap pertikaian antara Qabil dan Habil, di mana pada saat itu Nabi Adam as

sendiri yang menjadi hakim untuk memutuskan dan menyelesaikan pertikaian

diantara keduan putranya. Apa yang dilakukan Nabi Adam as terhadap kedua

putranya sejatinya sudah mencerminkan praktik peradilan dalam konteks yang

sangat sederhana. Sedangkan istilah „hakim‟ sendiri pertama kali disematkan

dalam sejarah manusia adalah kepada Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as. Kisah

tersebut terekam dalam Q.S. Shad ayat 17-26 dan Al-Anbiya ayat 78-79.1

Dalam sistem ketatanegaraan Islam, dikenal beberapa badan kekuasaan

negara, yaitu sulthah tanfiziyah (kekuasaan eksekutif), sulthah tasyri’iyyah

(kekuasaan legislatif) dan sulthah qadhaiyyah. Namun demikian, ketiganya belum

dipisahkan satu sama lainnya seperti halnya lembaga yang mandiri, dan bahkan

dalam praktiknya cenderung dipegang oleh satu tangan, yakni penguasa atau

pemerintah. Sulthah qadhaiyah sering disejajarkan dengan istilah kekuasaan

kehakiman dalam tradisi Islam. Istilah ini diartikan sebagai kekuasaan untuk

mengawasi dan menjamin jalannya proses perundang-undangan sejak

1 Samir Aliyah, alih bahasa Asmuni Solihan Zamakhsyari, Sistem Pemerintahan,

Peradilan dan Adat dalam Islam,(Jakarta : Khalifa, 2004), hlm. 285.

Page 11: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

2

penyusunannya sampai pelaksanaannya serta mengadili perkara perselisihan, baik

yang menyangkut perkara perdata maupun pidana Sementara Tahir Azhari

menyebutnya dengan istilah nomokrasi Islam, yakni suatu sistem pemerintahan

yang didasarkan pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum Islam dan merupakan

rule of Islamic law.2

Kehadiran lembaga yudikatif dalam sistem ketatanegaraan Islam

merupakan sebuah keniscayaan dan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi.

Hal tersebut mengingat bahwa pemerintahan Islam yang dibangun Nabi

Muhammad merupakan bentuk negara hukum, maka tegaknya keadilan

merupakan suatu kewajiban yang harus diwujudkan dalam kehidupan bernegara.

Melihat urgensi lembaga tersebut Muhammad Salam Madkur berpandangan

bahwa keberadaan lembaga yudikatif dipandang sebagai lembaga yang suci,

mengingat bahwa upaya menegakan peradilan juga dapat diartikan sebagai upaya

memerintahkan kebaikan dan mencegah bahaya kedzaliman, menyampaikan hak

kepada yang punya, mengusahakan islah diantara manusia, dan menyelamatkan

manusia dari kesewenang-wenangan.3

Melihat begitu pentingnya sulthah qadhaiyyah (lembaga yudikatif), maka

tidak heran jika sejak awal kehadiran negara dalam khazanah sejarah Islam,

lembaga ini telah ada dan berfungsi, meskipun dalam tataran praktisnya masih

tergolong sangat sederhana, di mana kapasitas Nabi pada saat itu disamping

menjalankan tugas-tugas kenabian, ia juga sekaligus memegang tiga poros badan

2 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia ,(Jakarta

: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 146-148.

3 Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam, terj. Imron AM, (Surabaya : PT.

Bina Ilmu, 1993), hlm. 31

Page 12: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

3

kekuasaan sebagaimana disebutkan. Nabi Muhammad bertugas menyelesaikan

perselisihan yang timbul di kalangan masyarakat Madinah dan menetapkan

hukuman terhadap pelanggar perjanjian, seperti Beliau pernah melakukannya

ketika Kaum Yahudi melakukan pelanggaran sebanyak tiga kali terhadap isi

Piagam Madinah, dua kali beliau bertindak sebagai hakam-nya, dan sekali beliau

wakilkan kepada sahabatnya.4

Pada awal Pemerintahan Madinah hanya Rasulullah SAW sendiri yang

menjadi Hakim. Ketika Islam sudah menyebar ke luar Kota Madinah (luar Jazirah

Saudi Arabia), barulah Rasulullah mendelegasikan tugas-tugas Peradilan kepada

beberapa sahabat beliau. Pendelegasian tugas yudikatif dilaksanakan dalam tiga

bentuk: pertama, Rasulullah SAW mengutus sahabatnya menjadi penguasa di

daerah tertentu sekaligus memberi wewenang untuk bertindak sebagai Hakim

untuk mengadili sengketa di antara warga masyarakat. Kedua, Rasulullah

menugaskan sahabat untuk bertindak sebagai Hakim guna menyelesaikan masalah

tertentu, biasanya penugasan ini hanya atas perkara tertentu saja. Ketiga

Rasulullah SAW terkadang menugaskan seorang sahabat dengan didampingi

sahabat lain untuk menyelesaikan kasus tertentu dalam suatu daerah. Kriterianya

Hakim yang diutus merupakan otoritas Rasulullah setelah diuji kelayakannya.

Seperti pada saat Rasul mengutus Mu‟adz bin Jabal untuk menjadi qadhi di

Yaman, dan lain-lain.5

4 Ibn Hisyam, Sirat an Nabawiyat, (Beirut: Mathba‟at Muhammad Abi Shabih, t.th),

Jilid XX, hlm 170.

5 Al Bukhairy al Ja‟fiy, Matan Bukhary, (Semarang: Thaha Putra,) Juz VII, hlm 107-109.

Page 13: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

4

Begitu pula pada masa kekhalifahan Abu bakar Ash Shidiq, kekuasaan

yudikatif masih dipegang oleh penguasa atau eksekutif dan belum ada pemisahan

yang tegas, kecuali perubahan ketika Abu Bakar mengangkat Umar bin Khattab

sebagai Hakim Agung untuk melaksanakan yudikatif.6

Hal tersebut ditunjukan dengan kenyataan bahwa, pada masa Abu Bakar,

wilayah kekuasaan Negara Madinah dibagi menjadi beberapa provinsi, dan setiap

provinsi ia menugaskan seorang amir atau wali (semacam gubernur). Para Amir

tersebut juga bertugas sebagai pemimpin Agama (seperti imam dalam shalat),

menetapkan hukum, dan melaksanakan undang-undang. Artinya seorang Amir di

samping sebagai pemimpin Agama dan sebagai Hakim, juga pelaksana

kepolisian.7

Pada masa Umar bin Khattab, kekuasaan yudikatif mulai dipisahkan dari

kekuasaan eksekutif. Dan mulai diatur tata laksana Peradilan, antara lain dengan

mengadakan penjara dan pengangkatan sejumlah Hakim untuk menyelesaikan

sengketa antara anggota masyarakat, bersendikan al-Qur‟an, Sunnah, Ijtihad dan

Qiyas.8

6 Wahhab al Najjar, al Khulafa al Rasyidun (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah,

1990), hlm 98.

7 Beberapa orang yang pernah diangkat menjadi amir oleh Khalifah Abu Bakar adalah :

1) Itab bin Asid, amir untuk Mekah; 2) Ustman bin Abi al Ash, amir untuk Thaif; 3) Al Muhajir

bin Abi Umayah, ami runtuk Sana‟a; 4) Ziad bin Labid, amir untuk Hadramaut; 5) Ya‟la bin

Umayah, ami runtuk Khaulan; 6) Abu Musa al Asy‟ari, amir untuk Zubaid; dan Rima; 7) Muaz bin

Jabal, amir untuk al Janad; 8) JArir bin Abdullah, amir untuk Najran; 9) Abdullah bin Tsur, amir

untuk Jarsyi; 10) Al Ula bin al Hadrami, amir untuk Bahrain. Lihat Abdul Wahhab al Najjar, al

Khulafa al Rasyidun, Wahhab al Najjar, al Khulafa al Rasyidin (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah,

1990), hlm 67.

8 Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI

Press, 1993), hlm 38.

Page 14: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

5

Namun demikian untuk beberapa provinsi, khalifah Umar telah

memisahkan jabatan Peradilan dengan jabatan eksekutif. Hakim diberi wewenang

sepenuhnya untuk melaksanakan Pengadilan yang bebas dari pengaruh dan

pengawasan gubernur, bahkan khalifah sekalipun. Tidak hanya itu, pada masa

Umar, dibentuk juga lembaga yang menangani urusan kriminal dan pidana selain

zina yang langsung di tangani oleh Hakim. Lembaga tersebut adalah ahdath,

dengan Qadamah bin Mazan dan Abu Hurairah sebagai pemimpinnya.9

Pada masa Utsman bin Affan dilakukan beberapa pembenahan terhadap

pelaksanaan kekuasaan kehakiman, dengan membangun sarana gedung yang

khusus, menyempurnakan administrasi Peradilan dengan mengangkat pejabat-

pejabat yang mengurusi administrasi Peradilan, memberi gaji kepada Hakim dan

stafnya, dan mengangkat naib kadi, atau semacam panitera.10

Pada masa Ali bin Abi Thalib tidak ada perubahan yang signifikan, hanya

pada pengangkatan Hakim yang semula merupakan kewenangan khalifah

dilimpahkan menjadi kewenangan gubernur. Pada masa khulafa al rasyidin, sudah

teradapat Mahkamah Agung sebagai lembaga Peradilan tertinggi yang bertempat

di ibu kota dengan Ketua Mahkamah Agung (qadhi al qudhat), dimana Zaid bin

Tsabit merupakan orang pertama yang menjabatnya pada masa khalifah Umar.11

9 Mahmud Saedon A-Othman, Kadi, Pelantikan, Perlucutan, dan Bidang

Kuasa (Malaysia Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Kementrian Pendidikan, 1990), hlm. 93.

10 Abdul Karim Zaidan, Nizhamul Qadha fi al-Syar’iyyatil Islamiyah, (Baghdad;

Mathba‟ah al Any, t.th), hlm 61.

11 Abdul Qadir Djaelani, Sekitar Pemikiran Politik Islam, (Jakarta; Media Dakwah,

t.th), hlm 141.

Page 15: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

6

Pada masa dinasti Umayyah, kekuasaan yudikatif semakin disempurnakan,

hanya saja tidak ada perubahan yang cukup signifikan terhadap pembaharuan

peradilan, sehingga tidak banyak informasi tentang peradilan yang didapatkan

pada masa itu. Pemerintahan Bani Umayyah lebih banyak disibukan dalam urusan

politik kenegaraan, sehingga hampir segenap kekuasaan difokuskan pada upaya

pembasmian terhadap para-para pemberontak dan penentang pemerintahan. Hasbi

Asshiddiqie mencatat bahwa salah satu perkembangan yang dicapai Bani

Umayyah dalam peradilan adalah sudah mulai dibukukannya putusan-putusan

hakim. Demikian juga sidang-sidang sudah dilaksanakan di gedung yang memang

diperuntukan untuk proses peradilan.12

Pengangkatan hakim pada masa ini juga dilakukan secara terpisah dengan

pengangkatan gubernur. Khalifah hanya mengangkat para hakim yang akan

diposisikan di ibu kota pemerintahan, sedangkan hakim-hakim yang ditugaskan di

daerah-daerah diserahkan pengangkatannya kepada kepala daerah.13

Pada masa Dinasti Abbasiyah umat Islam mengalami perkembangan

dalam berbagai bidang. Dinasti ini mengalami masa kejayaan intelektual, seperti

halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, tidak lama setelah dinasti itu berdiri.

Kekhalifahan Baghdad mencapai masa kejayaannya antara khalifah ketiga, al-

Mahdi (775-785 M), dan kesembilan, al-Wathiq (842-847 M), lebih khusus lagi

pada masa Harun al-Rasyid (786-809 M) dan al-Makmun (813-833 M), anaknya

12

T.M. Hasbi Asshiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang : Pustaka

Rizki Putra, 1997), hlm. 24.

13 Asadullah al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2009),

hlm. 47

Page 16: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

7

terutama, karena dua khalifah yang hebat itulah Dinasti Abbasiyah memiliki

kesan dalam ingatan publik, dan menjadi dinasti hebat dalam sejarah Islam dan

diidentikkan dengan istilah “the golden age of Islam”.14

Kemajuan lain yang tak kala penting adalah dalam bidang peradilan di

mana pada masa Abbasiyah sistem administrasi peradilan pada masa ini sudah

tersusun dengan rapi. Diferensiasi kemajuan institusi hukum dan sistem peradilan

itu terletak pada pemisahan kekuasaan, lembaga peradilan yang dikepalai qadha

al qadhi yang berkedudukan di ibukota, dengan kewenangan mengawasi para

qadhi yang berkedudukan di daerah kekuasaan Islam.

Pada era ini perkembangan di berbagai bidang sangatlah maju, dan banyak

permasalahan hukum yang sangat komplek sehingga penulis tertarik membahas

bagaimana sistem peradilan Islam pada masa ini yang sangat berkembang pesat

sekali. Pada masa Rasulullah adanya lembaga pengawasan terhadap peradilan.

Rasulullah melakukan pengawasan serta evaluasi terhadap para sahabat yang

ditunjuknya untuk menjalankan peradila. Jika putusan sahabat salah Nabi akan

mengoreksinya. Namun pada masa Abbasiyah awalnya khalifah berusaha

mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh peradilan untuk maksud-

maksud tertentu.

Munculnya kejumudan berfikir karena hilangnya semangat ijtihad. Ulama

mengalami frigiditas (dingin, tidak sensitif) akibat kelesuhan berfikir sehingga

14

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2000), hlm. 52.

Page 17: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

8

tidak mampu menghadapi perkembangan zaman dengan menggunakan akal

fikiran yang sehat dan merdeka sera bertanggung jawab.

Pada skripsi ini penulis membandingkan peradilan Islam dari masa

Rasulullah, khulafa al-Rasyidin, Umayyah, hingga Abbasiyah. Mendeskripsikan

praktik peradilan era Abbasiyah, serta menganalisis manajemen hakim era

Abbasiyah.

Berangkat dari permasalahan diatas maka penulis ingin melakukan

penelitian dengan judul “ MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA

ABBASIYAH (Studi Komparatif Manajemen Peradila Islam Masa Islam

Klasik)”.

B. Indentifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah penulis menguraikan dengan masalah

yang sedang penulis teliti yaitu Manajemen Peradilan Islam di Era Abbasiyah..

1. Bagaimana sejarah perioderisasi peradilan Islam?

2. Bagaimana pengangkatan hakim pada era Abbasiyah?

3. Bagaimana pengaturan gaji hakim?

4. Bagaimana kewenangan hakim di era Abbasiyah?

5. Bagaimana penggantian dan pemecatan hakim di era Abbasiyah?

6. Apa sumber hukum yang digunakan hakim dalam memutus perkara?

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah, karena pembahasan

pengelolaan peradilan Islam pada era Abbasiyah ini sangatlah luas maka penulis

Page 18: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

9

perlu membatasi pengelolaan sistem peradilan Islam di era Abbasiyah difokuskan

pada manajemen hakim di masa Abbasiyah pada periode pertama (132 H/750 M –

232 H/ 847 M), disebut Periode pengaruh Arab dan Persia Pertama.

2. Perumusan Masalah

Menurut Al-mawardi hakim harus mencapai derajat memiliki pandangan

dan dapat mentarjih (berbagai pendapat ulama) dan ia harus memiliki kemampuan

berijtihad, namun di masa Abbasiyah hakim tidak lagi mengambil hukum dari

sumber utama, yakni al-Qur‟an dan hadits, melainkan beralih ke pendapat imam

mazhab.

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat di munculkan

pertanyaan penelitian sebagai berikut diantaranya:

a. Bagaimana perbandingan manajemen peradilan di masa Rasulullah,

khulafa al-Rasyidin, bani Umayah, dan bani Abbasiyah?

b. Bagaimana praktik peradilan di masa Abbasiyah?

c. Bagaimana manajemen hakim di masa Abbasiyah

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas maka penulisan skripsi ini bertujuan:

a. Untuk membandingkan peradilan masa Rasulullah, khulafa al-

Rasyidin, bani Umayah, dan dengan bani Abbasiyah.

b. Untuk mendeskripsikan praktik peradilan di masa Abbasiyah

c. Untuk menganalisis manajemen hakim di masa Abbasiyah.

Page 19: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

10

2. Manfaat Penelitian

Setiap permasalahan membutuhkan kajian secara tuntas dan mendasar agar

dapat di peroleh manfaat dari penelitian tersebut, yaitu:

a. Secara Akademik

Penulisan ini diharapkan dapat menciptakan suasana yang menguntungkan

bagi pengembangan ilmu hukum Islam khususnya dalam bidang peradilan Islam

dan perkembangan hukum Islam.

Secara teoritis diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan

dibidang hukum terkait perkembangan pengelolaan peradilan Islam di masa

Rasulullah sampai masa Abbasiyah, dan dapat mengetahui bagaimana manajemen

peradilan Islam pada masa tersebut.

b. Secara Praktis

Untuk menyumbangkan hasil pemikiran tentang sejarah dan

perkembangan hukum Islam terutama dalam hal yang berkaitan dengan

pengelolaan peradilan Islam di era Abbasiyah.

E. Riview Terdahulu

Dari skripsi yang ditulis oleh A.Irfan Habibi Program Studi Jinayah

Siyasah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010 dengan judul “ Kedudukan Jaksa

Agung dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia dan Islam ”. Memuat

persoalan tentang fungsi kedudukan jaksa agung dalam konsep ketatanegaraan

Indonesia dan Islam. Bahwa secara historis sebenarnya kedudukan dan fungsi

lembaga kejaksaan agung memiliki basis legitimasinya yang kuat baik

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia maupun dalam ketatanegaraan Islam.

Page 20: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

11

Meski pun dalam arti yang spesifik dalam sistem ketatanegaraan Islam tidak

eksplisit ditegaskan keberadaan institusi kejagung. Namun tugas dan fungsinya,

sebenarnya melekat sebagaimana dalam konsep Wilayatul Mazhalim maupun

Wilayatul Hisbah.

Asep Ridwan dalam tulisannya di website Pengadilan Agama Kalianda

Lampung Selatan yang berjudul “Hakim dalam Khazanah Islam Klasik”

menjelaskan tentang kekuasaan kehakiman pada masa Islam Klasik dalam

tulisannya menjelaskan sejarah perioderisasi kekuasaan kehakiman dari zaman

Rasulullah, khulafa al-rasyidin, bani Umayah sampai terakhir di zaman bani

Abbasiyah.15

Dari Jurnal Al-Ulum yang ditulis oleh Lomba Sultan UIN Alauddin

Makassar 2013 yang berjudul “ Kekuasaan Kehakiman dalam Islam dan

aplikasinya di Indonesia “ menjelaskan tentang kekuasaan kehakiman dalam

Islam yang dapat diteradpkan pada kekuasaan kehakiman di Indonesia. Untuk

dapat memberikan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat tanpa ada tebang

pilih, maka perlu ada pemikiran untuk menambah atau menyempurnakan badan

pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia dengan memasukkan badan

pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Islam, yakni wilayah al-hisbah dan

wilayah al-mazhalim. Kedua wilayah ini bila dapat diterapkan di Indonesia

harus di tangani langsung oleh kepala Negara (presiden) untuk

mengendalikannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin

15

Di unggah pada hari kamis 22 Januari 2015

http://www.pakalianda.go.id/gallery/artikel/195-hakim-dalam-khazanah-islam-klasik.html.

Page 21: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

12

Abdul Azis pada masa Bani Umayyah. Tampaknya, pada masa inilah

penegakan kebenaran dan keadilan betul-betul dapat dirasakan oleh masyarakat

tanpa ada tebang pilih antara satu dengan lainnya. Hal itu juga tercipta, karena

sebelum menerapkan hukum kepada orang lain, maka terlebih dahulu

membersihkan hartanya dari sumber keraguan (syubhat) yang

kemungkinan perolehannya samar-samar, dan dia memilih gaya hidup seperti

orang yang sufi.16

Dari ketiga tinjauan kajian terdahulu sangatlah berbeda dengan skripsi

yang penulis tulis. Pembahasan yang penulis teliti adalah pengelolaan peradilan

Islam pada era Abbasiyah. Jika pada review pertama tentang kedudukan “Jaksa

Agung pada Sistem Ketatanegaraan Islam”, maka skripsi penulis tentang

kedudukan kekuasaan kehakiman di masa Abbasiyah. Jika pada review kedua

tentang “Hakim dalam Khazanah Islam Klasik”, maka skripsi penulis tentang

manajemen hakim di masa Abbasiyah. Dan jika pada review ketiga tentang “

Kekuasaan Kehakiman dalam Islam dan Aplikasinya di Indonesia“, maka skripsi

penulis tentang manajemen kekuasaan kehakiman khususnya di masa Abbasiyah.

Tidak hanya itu penulis juga meneliti bagaimana perbandingan peradilan Islam

dari masa Rasulullah hingga masa Abbasiyah, mendeskripsikan praktik peradilan

masa Abbasiyah, serta menganalisis manajemen hakim masa Abbasiyah.

F. Kerangka Teori dan Konseptual

Pada masa daulah „Abbasiyyah pertama, peradilan atau mahkamah makin

berkembang pesat. Kemajuan dan perkembangan ini di landasi oleh 5 hal yaitu:

16

Lomba Sultan, “ Kekuasaan Kehakiman dalam Islam dan Aplikasinya di Indonesia”,

Jurnal Al-Umm, 2 Desember 2013, hlm, 435-452.

Page 22: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

13

a) Jiwa ijtihad dalam berbagai hukum jatuh merosot, disebabkan

menonjolnya madzhab yang empat. Hakim menjatuhkan keputusan sesuai

dengan pendapat salah satu mazhab. Hakim di wilayah Irak menegakkan

hukum sesuai dengan mazhab Abu Hanifah. Hakim di Syam (Syiria) dan

Maghribi (Tunisia) menegakkan hukum sesuai dengan pendapat mazhab

Imam Maliki, hakim Mesir berpedoman kepada mazhab Syafi‟i.

b) Peradilan atau Mahkamah dipengaruhi oleh perkembangan politik karena

khalifah-khalifah Daulah Abbasiyah ingin melantik hakim-hakim yang

dapat menjalankan hukum syari‟at, sesuai dengan keinginan mereka.

Akhirnya banyak ahli hukum fiqih menolak dilantik menjadi hakim, sebab

mereka khawatir nanti khalifah akan menekan mereka supaya

menjatuhkan hukuman bertentangan dengan hukum Islam.

c) Tokoh-tokoh „Abbasiyah membentuk lembaga Qadhi al Qudhah, yang

berfungsi sama dengan Kementerian Kehakiman. Badan ini yang melantik

dan memberhentikan hakim-hakim baik yang berada di Pusat

Pemerintahan maupun di daerah-daerah.

d) Wewenang kekuasaan hakim makin luas, terutama sesudah data

menunjukkan jumlah persoalan yang masuk cukup banyak, dan meliputi

jinayah sosial. Hakim menyelesaikan sengketa, perkara wakaf dan wasiat.

Oleh sebab itu persoalan terlalu banyak, kadang-kadang diberi wewenang

kepadanya tugas yang menjadi tugas kepolisian, melaksanakan hukum

qisas, mengurus jabatan cukai dan Bait al-Mal (perbendaharaan Negara).

Page 23: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

14

e) Di tiap-tiap daerah terdapat seorang hakim. Semasa wilayah kekuasaan

Daulah „Abbasiyah bertambah luas, maka di setiap wilayah dilantik

beberapa orang hakim yang mencerminkan empat mazhab. Setiap hakim

mengadili orang yang bersengketa sesuai degan mazhab yang dianutnya.17

Maka jadilah Menteri Kehakiman atau Mahkamah Agung di era

Abbasiyah lebih luas wewenangnya dalam bidang hukum dari pada masa-masa

kini.

G. Metodologi Penelitian

Pada sub bab ini, diuraikan pendekatan penelitian, jenis penelitian, data

penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, dan metode analisis

data.

a. Pendekatan Penelitian

Pendekatan normatif adalah penelitian hukum kepustakaan, dimana dalam

penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam

penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut memiliki

ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku

harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh

Pemerintah.18

Pendekatan yang penulis gunakan adalah:

a) Pendekatan historis, yaitu menelusuri praktik penegak hukum dan

pengelolaan peradilan Islam di era Abbasiyah dalam sejarah peradilan

Islam dari masa Rasulullah hingga masa Abbasiyah.

17

H.A Fuad Said, Ketatanegaraan menurut syari;at Islam, (Selangor Malaysia: Dewan

Bahasa dan Pustaka, 2002), hlm. 256.

18

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian Hukum Normatif (Suatu tinjauan

singkat). Cet. IV, (Jakarta: Pt. Grafindo Persada, 1995), hlm. 23.

Page 24: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

15

b) Pendekatan syar‟i, yaitu melakukan pengkajian dengan melihat sumber-

sumber hukum Islam dalam penegakkan hukum dan peradilan Islam.

b. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah studi kepustakaan (library

Search) yaitu bahan primer sebagai bahan pokok dari penelitian, bahan sekunder

dan bahan tertier yang akan mendukung penulisan skripsi ini, yang kemudian

dibahas, dianalisis, dan dituangkan dalam bentuk karya ilmiah. Oleh karena itu,

penelitian ini penulis lakukan melalui pendekatan normatif.

c. Sumber Data Penelitian

Dalam pengumpulan data kualitatif, ada data yang berupa bahan hukum

yang terdiri atas:

a. Bahan hukum primer, adalah bahan-bahan hukum yang mengikat. Adapun

bahan hukum primer yang penulis gunakan yaitu: Al-qur‟an, hadits.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan tentang

bahan hukum primer seperti: hasil-hasil penelitian, hasil karya dari

kalangan hukum, buku-buku. Bahan hukum yang sekunder yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bahan hukum yang dapat

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu berupa

literatur-literatur.

c. Bahan hukum tersier, adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.19

Bahan hukum tersier adalah: artikel, jurnal, ensiklopedia dan internet.

19

Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, hlm. 13.

Page 25: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

16

d. Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal ini penulis menggunakan teknik studi pustaka atau bahan

tertulis dengan mengadakan kajian, menelaah dan menyelusuri literatur yang

berkenaan dengan masalah yaitu Al-quran, hadits, buku, artikel, dan lain-lain.

e. Teknik Pengolahan Data

Adapun langkah-langkah mengumpulkan data melalui teknik studi pustaka

tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, menelaah bahan-bahan pustaka, baik

yang primer, sekunder, tersier yang berkaitan dengan judul penelitian. Kedua,

menyusun intisari dari makna dan informasi-informasi dalam bahan pustaka

tersebut. Ketiga, merekontruksi intisari makna tersebut dalam format tulisan yang

sesuai dengan kerangka pembahasan.

f. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Analisis isi kualitatif, yaitu menguraikan data melalui kategorisasi-

kategorisasi serta pencarian sebab akibat dengan menggunakan teknik

analisis induktif (usaha penemuan jawaban dengan menganalisa berbagai

data untuk diambil sebuah kesimpulan).

b. Comparative Analysis, yaitu perbandingan dalam dua hal yang berbicara

pada substansi yang sama. Dalam penelitian ini terkait manajemen hakim

di masa Abbasiyah yang berpedoman pada buku-buku mazhab, bagaimana

perkembangan berbagai mazhab di masa Abbasiyah, serta perbandingan

peradilan Islam di masa Rasulullah hingga masa Abbasiyah.

Page 26: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

17

H. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan ini penelitian ini terdiri dari lima bab. Untuk lebih

mudahnya penulis menggunakan sistematika sebagai berikut:

Bab pertama tentang pendahuluan, pada bab ini berisikan latar belakang

masalah, batasan rumusan masalah, tujuan dan manfaat, kerangka konseptual

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua penulis akan menguraikan pengertian manajemen, pengertian

peradilan, sejarah singkat peradilan Islam, sejarah singkat munculnya bani

Abbasiyah, dan terakhir perioderisasi peradilan Islam.

Bab ketiga ini penulis mendeskripsikan praktik peradilan masa Abbasiyah

pertama dan kedua, kebijakan-kebijakan peradilan masa khalifah Abbasiyah,

kasus hukum yang terjadi pada waktu itu, dan pembuatan undang-undang masa

Abbasiyah.

Bab keempat penulis menganalisis manajemen hakim di masa Abbasiyah.

Pada bab ini berisikan pengangkatan hakim, pengaturan gaji hakim, sumber

hukum hakim, kewenangan hakim, pemecatan dan penggantian hakim, serta

kemajuan dan kemunduran peradilan masa Abbasiyah.

Bab Kelima Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran. Bab ini

merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik

beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis menengahkan

beberapa saran yang dianggap perlu.

Page 27: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

18

Demikian sistematika dan garis besar pembahasan yang akan penulis tulis

dalam penulisan skripsi dan memberikan kemudahan pemahaman terhadap

keseluruhan isi skripsi ini.

Page 28: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

19

BAB II

MANAJEMEN PERADILAN ISLAM

A. Pengertian Manajemen

Dalam beberapa literatur, dikemukakan bahwa istilah manajemen

mengandung makna yang sangat luas; yaitu manajemen sebagai suatu sistem

(management as a system), manajemen sebagai proses (management as a

process), manajemen sebagai fungsi (management as a function), manajemen

sebagai ilmu pengetahuan (management as a science), manajemen sebagai

kumpulan orang (management as a people), manajemen sebagai kegiatan yang

terpisah (management as a separate activity) dan manajemen sebagai suatu

profesi (management as a proffession).1

Dalam bukunya G.R Terry menyatakan bahwa manajemen merupakan

sebuah kegiatan; pelaksana disebut manajer dan proses pelaksanaannya disebut

manajemen. Manajemen mencakup kegiatan untuk mencapai tujuan, dilakukan

oleh individu-individu yang menyumbang upayanya yang terbaik melalui

tindakan-tindakan yang telah dilakukan sebelumnya. Hal tersebut meliputi

pengetahuan tentang apa yang harus mereka lakukan, menetapkan cara bagaimana

melakukannya, memahami bagaimana mereka harus melakukannya, memahami

bagaimana dan mengatur efektifitas dari usaha-usaha mereka.2

Dari beberapa definisi dan pendapat yang diberikan oleh pakar manajemen

di atas maka dapat diambil kesimpulan tentang manajemen sebagai berikut:

1 George R. Terry dan Leslie. Rue, Dasar-dasar Manajemen, (Jakarta: Bumi Aksara,

2008), lihat Hasanuddin, Manajemen Dakwah, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), hlm. 1.

2 George R. Terry dan Leslie. Rue, Dasar-dasar Manajemen, hlm. 3.

Page 29: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

20

a. Manajemen merupakan proses bekerja melalui orang lain untuk mencapai

tujuan organisasi.

b. Manajemen adalah aktivitas kelompok manusia yang bekerjasama serta

mempunyai tujuan dengan mempergunakan segala potensi yang ada.

c. Manajemen adalah alat untuk mencapai tujuan dengan efektif dan efisien.3

Menurut penulis uraian di atas menunjukkan bahwa manajemen mencakup

kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi dengan memperkuat segala potensi

yang ada untuk mencapai tujuan dengan efektif dan efisien.

B. Pengertian Peradilan

Kata peradilan berasal dari kata adil, dengan awal per dan akhiran an.

Kata peradilan sebagai terjemahan dari Qadha yang artinya memutuskan,

melaksanakan, menyelesaikan.4

Dalam bahasa Arab, peradilan disebut al-qadha yang secara etimologi

memiliki beberapa arti. Menurut Muhammad Salam Madkur arti qadha menurut

bahasa mempunyai beberapa arti:

1. al-qadha yang sepadan dengan kata al-faraaqh yang berarti putus atau

selesai seperti yang disebut dalam surat al-Ahzab ayat 37:

اد جناكيا نكي نا يكن عه انمؤمنين حسد في أش طسا ش فهما قض شيد منيا

كان طسا ا منين .Qs) االحصاب. (37 أمس انهو مفعنا أدعيائيم إذا قض

Artinya: “Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya

(menceraiannya), kami nikahkan dia (Zainab) kepada engkau agar tidak

3 Hasanuddin, Manajemen Dakwah, hlm. 3

4 Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir (Kamuas Arab Indonesia), (Jakarta: t. Pn, 1996),

Cet. Pertama, hlm. 1215.

Page 30: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

21

ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak

angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan

keperluan terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi ”.

2. Al-adaa’ yang bermakna menunaikan atau membayar, seperti Muhammad

telah membayar utangnya (qadha Muhammadun dainuhu) seperti frman

Allah QS. Al-Jumuah (62) ayat 10.

اذكسا انهو ابتغا من فضم انهو فئذا قضيت انصهاة فانتشسا في انأزض

.Qs)انجمعو. (10 كخيسا نعهكم تفهحن

Artinya: “Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di

bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu

beruntung.”

3. Al-hukmu yang mempunyai arti mencegah atau menghalang-halangi. Dari

kata inilah maka qadhi-qadhi disebut sebagai hakim, karena mencegah

terjadinya kezaliman orang yang mau berbuat zalim.

4. Arti lain dari kata qadha adalah memutuskan hukum atau membuat suatu

ketetapan.5

Kemudian secara terminologi, peradilan atau qadha memiliki beberapa

makna, antara lain:

1. Kekuasaan yang dikenal (kekuasaan yang mengadili dan memutuskan

perkara).

5 Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha fil Islam, Terjemahan: Imron AM dengan judul

Peradilan dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), hlm. 19-20.

Page 31: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

22

2. Menyelesaikan perkara pertengkaran untuk melenyapkan gugat menggugat

dan untuk memotong pertengkaran dengan hukum-hukum syara’ yang

dipetik dari Al-qur‟an dan sunnah.6

Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tugas peradilan

adalah menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan suatu

hukum karena hukum Islam (Syari’at) telah ada sebelum manusia ada. Dalam hal

ini hakim hanya menetapkan hukum yang sudah ada dalam kehidupan, bukan

menetapkan sesuatu yang belum ada. Di Samping itu, seperti yang diungkapkan

oleh Ibnu Abidin, ada pula ulama yang berpendapat bahwa peradilan berarti

menyelesaikan suatu sengketa dengan hukum Allah. 7

Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa peradilan adalah

lembaga yang mempunyai kekuasaan umum untuk mengadili dan memutuskan

perkara antara dua orang atau lebih untuk menegakkan hukum dan keadilan

dengan berlandaskan Al-qur‟an dan Hadits. Dalam peradilan selalu terkait unsur-

unsur seperti pertama, hukum syara’ yang digunakan sebagai dasar dalam

memutuskan perkara. Kedua, orang yang bertugas menjatuhkan hukum yakni

hakim. Ketiga, kompetensi dan yuridiksi lembaga peradilan yang menjadi

wewenang dalam menyelesaikan perkara. Keempat, ada pihak penggugat dan

tergugat. Kelima, ada kasus yang diperselisihkan. Keenam, putusan hakim itu

mengikat para pihak. Ketujuh, penegakkan hukum dan keadilan bagi umat

manusia.

6 Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) hlm. 10.

7 Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, hlm. 30.

Page 32: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

23

C. Sejarah Singkat Peradilan Islam

Peradilan sudah dikenal jauh sebelum Islam datang. Hal ini di dorong oleh

kebutuhan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, peradilan sudah dikenal sejak

masa-masa awal manusia berkumpul dan memperluas bentuk kesepakatan, lalu

dapat berdiri tanpa menegakkan peradilan karena tidak mungkin satu masyarakat

manusia dapat menghindari dari persengketaan seperti sebelumnya, peradilan di

pandang suci oleh semua bangsa-bangsa di masa lalu dalam tingkatan

kemajuannya. Rasionya adalah penegakkan peradilan berarti memerintahkan

kebaikan dan mencegah bahaya kezaliman.8

Peradilan bagi bangsa Arab pra Islam dapat dikatakan belum memiliki

bentuk maupun sistem peradilan yang mapan. Namun, mereka telah memiliki

qadhi untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Mereka pada umumnya

berpegang pada tradisi (kebiasaan) dan adat istiadat yang berlaku di masig-masing

kabilah (suku) untuk menjadi pedoman utama dan menyelesaikan berbagai

persoalan. Hukum balas dendam (al-akhdzu bi al-tsa’ri) yang biasa dilakukan

oleh suku-suku Arab pra Islam dan menjadi jalan ke luar dari kasus-kasus pidana,

terutama terkait dengan pidana kematian jiwa, pada kenyataanya justru sering kali

menyebabkan semakin runcingnya sebuah persoalan dan berkepanjangan suatu

kasus.9

Dari uraian diatas penulis simpulkan bahwa peradilan sudah ada sejak

adanya manusia di dunia ini, hanya saja bentuk peradilan pada masa itu belum

8 Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 8

9 Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 29

Page 33: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

24

dapat dikatakan peradilan-peradilan seperti sekarang karena belum memiliki

sIstem peradilan yang mapan.

D. Sejarah Singkat Munculnya Bani Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari Dinasti Bani Umayyah.

Dinamakan Abbasiyah karena pendiri Dinasti ini adalah keturunan dari al-

Abbas.10

Sebelum runtuhnya Daulah umawiyah muncul gerakan Ahlul Bait. Ahlul

bait itu gabungan gerakan Ahlu Syi‟ah dengan keturunan-keturunan Nabi. Dan

mereka masih bersekutu karena Bani Umayyah itu bukan dari keturunan Nabi.

Muawiyah dari Bait Umawi sementara Nabi dari Bait Hasyimi. Jadi ada dua

keluarga besar, sebenarnya mereka bersaudara tapi mereka menjadi bersaing

untuk memperebutkan kekuasaan di Mekkah. Bait Hasyimi keturunan-

keturunannya nasabnya menyambung ke Nabi Muhammad SAW sedangkan Bait

Umawi keturunan-keturunannya nasabnya bersambung ke Abu Sofyan kemudian

Muawiyah. Bait Hasyimi di sebut dengan Ahlul Bait, karena dari keluarga

merekalah muncul kenabian. Timbul pertanyaan mengapa Abu Sofyan tidak mau

masuk Islam padahal sahabat-sahabat yang lain masuk Islam dan mengapa

Muawiyah itu belum masuk Islam kecuali sampai Mekkah di taklukkan, karena

mereka merasa gengsi dan sakit hati karena kenabian munculnya di Bait Hasyimi

bukan dari Bait Umawi. Dan ketika Daulah Muawiyah ini mulai lemah akhirnya

orang-orang Bait Hasyimi keturunan paman-paman Nabi bersekongkol untuk

10

Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu al-Abbas bin Abdul Muthallib bin Hasyim. Para

pemimpinnya disebut khalifah, tetapi derajatnya lebih tinggi dari gelar Khalifah di zaman dinasti

Umayyah. Khalifah-khalifah Abbasiyah mempatkan diri mereka sebagai zhilullah fi al-ardh

(bayang-bayang Allah di bumi). Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajagrafindo

Persada, 2011) hlm. 91.

Page 34: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

25

merebut kekuasaan. Semula yang menjadi calon Khalifah adalah orang ‘alawi

orang-orang keturunan dari Ali bin Abi Thalib kemudian pindah kekuasaan dan

kepemimpinannya ke keturunan Abbas paman Nabi.11

Daulah Abbasiyah tadinya gerakan bawah tanah kemudian setiap

pemimpinnya yang wafat, ia menunjuk pengganti supaya menjadi penerusnya

merebut kekuasaan dari Daulah Umawiyyah. Sebelumnya yang memimpin adalah

orang-orang ‘alawi dari keturunannya Ali terus menerus, suatu ketika ia

menunjuk penggantinya itu dari keturunan Abbas bukan keturunan Ali. Pada saat

ia memimpin berkembanglah kekuasaannya. Kemudian Daulah umawi melemah

dan beliau berhasil menguasai pos-pos penting akhirnya menang.12

Kekuasaan Bani Abbasiyah ini berlangsung dalam rentang waktu yang

panjang dari tahun 132 H/ 750 M sampai 656 H/ 1258 M. Dinasti ini mampu

bertahan lebih dari lima abad hingga datangnya serangan pasukan Mongol pada

tahun 656/1258.13

Abu Musa al-Abbas al-Safah (750-775 M) adalah pendiri Dinasti Bani

Abbas. Akan tetapi karena kekuasaannya sangat singkat, Abu Ja‟far al-

Manshurlah (754-775 M) yang banyak berjasa dalam membangun pemerintahan

dinasti ini. Pada 762 M, Abu Ja‟far al-Manshur memindahkan ibu kota dari

Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian di pindahkan lagi ke Baghdad dekat dengan

Ctesiphon, bekas ibukota Persia. Oleh karena itu ibukota pemerintahan Dinasti

11

Muhammad Al-Khudriy, Daulah Abbasiyah, (Mesir: Darul Ma‟arif beirut, 1999), hlm

135.

12

Muhammad Al-Khudriy, Daulah Abbasiyah, hlm 136.

13 Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas‟adi. Cet. 2.

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm 1.

Page 35: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

26

Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Abu Ja‟far al-Manshur sebagai

pendiri Dinasti Abbasiyah setelah Abu Abbas al-Saffah, digambarkan sebagai

orang yang kuat dan tegas. Di tangannyalah Abbasiyah mempunyai pengaruh

yang kuat. Pada masa pemerintahannya Baghdad sangatlah disegani oleh

kekuasaan Byzantium.14

Dinasti Abbasiyah menjalankan pemerintahan dengan bantuan keluarga

Barmakiyyah, sebuah keluarga keturunan Persia yang berasal dari Balk. Sebelum

masuk Islam, beberapa generasi keluarga ini adalah orang yang cakap dalam

pemerintahan dengan jabatan wazir dan menteri, dan mereka mengembangkan

peradaban Arab Persia yang mencapai kemajuan pada masa pemerintahan Harun

al-Rasyid dan beberapa waktu sesudahnya. Namun pada masa akhir pemerintahan

Harun al-Rasyid ia menghukum keluarga Barmakiyyah dengan membunuh wazir

pertama yaitu Ja‟far ibn Yahya Barmak. Saudara dan ayahnya dijebloskan ke

penjara hingga meninggal. Sikap Harun yang aneh itu menandai perubahan

sejarah Abbasiyah, tidak lama kemudian kekuasaan Abbasiyah benar-benar

lenyap dari tangan mereka. Dua putra Harun al-Amin dan al-Makmun, secara

berturut-turut menggantikan kedudukan ayahnya untuk wilayah Barat dan Timur,

sedangkan al-Qasim putra Harun yang ketiga, sebagai gubernur untuk wilayah

Selatan. Persaingan antara keduanya menimbulkan peperangan berdarah yang

mengantarkan al-Makmun ke singgasana Abbasiyah. Masa pemerintahan al-

Makmun membuka masa lembaran baru sejarah Abbasiyah.15

14

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2000), hlm.

49-50.

15 Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas‟adi. hlm 2.

Page 36: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

27

Di Daulah Abbasiyah sering sekali timbulnya pemberontakan yang

dilakukan oleh orang keturunannya Ali bin Abi Thalib. Keturunan Ali ini

melakukan protes pada waktu Khalifah al-Ma‟mun bin Harun al-Rasid yang

berkuasa. Khalifah Makmun sebelumnya ia ingin menyerahkan Khilafah kepada

keturunannya Ali. Untuk menarik simpati kalangan Syiah, al-Makmun

mengangkat imam Syiah yang bernama „Ali al-Rida sebagai putra mahkota dan

sang khalifah berkenan menikahkan anak perempuannya kepada sang Imam.

Bendera hitam Abbasiyah digantikan dengan bendera keluarga Ali yang berwarna

hijau. Rakyat Iraq memberontak dan mengangkat Ibrahim sebagai khalifah.

Kemudian Imam „Ali al-Rida terbunuh lantaran terserang racun.16

Sebelum meninggal ia pernah berkata kepada Al-Ma‟mun bahwa dirinya

lebih berhak atas Khilafah karena Ali bin Abi Thalib sebagai menantu Rasul

suami dari anak Nabi yaitu Fatimah, dan Al-Ma‟mun juga mengatakan bahwa

nasabnya lebih dekat ke Rasul, karena kakeknya dari keturunan Abbas, dan Abbas

ini adalah Pamannya Rasul, sedangkan bapaknya Ali bin Abi Thalib paman Rasul

juga yaitu Abu Thalib, tetapi Abu Thalib ini tidak pernah masuk Islam sampai

wafatnya, sedangkan Abbas termasuk orang-orang pertama yang masuk Islam,

jadi Abbas itu lebih berhak menjadi Khalifah karena secara nasab saja dekat

dengan Nabi sama-sama Bait Hasyimi pamannya dan secara keislamannya semua

keturunannya jelas masuk Islam sebelum wafat.17

Bagi para pendukung Ali, khalifah-khalifah Abbasiyah adalah orang yang

merebut kekhalifahan, dan khalifah yang sah adalah para Imam berasal dari

16

Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas‟adi. Hlm 3.

17 Muhammad Al-Khudriy, Daulah Abbasiyah, hlm. 137.

Page 37: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

28

keturunan Ali dan fatimah. Para pendukung Ali selalu menjadi ganjalan dalam

perpolitikan Islam dan bersikeras mengklaim bahwa para Imam mereka adalah

pewaris kepemimpinan Nabi.18

Al-Mu‟tashim saudara dan penerus al-Makmun membina prajurit Turki

menjadi militer kerajaan. Merasa tidak aman di Baghdad, ia mendirikan ibu kota

ke Samarra. Ibu kota Samarra‟ ini berlangsung hingga khalifah al-Mu‟tamid

kembali ke Baghdad, ini mengawali kemunduran politik Abbasiyah karena

kalangan militer Turki mulai memegang kendali kekhalifahan semenjak masa

pemrintahan Al-wathiq, dan akhirnya menjadi penguasa yang sesungguhnya.19

Pada akhirnya pasukan Mongol ini dengan mudah menghancurkan

Abbasiyah, di tengah terjadi perselisihan kekhalifahan, kalangan Syi‟ah yang

menentang pemerintahan Abbasiyah membuat pasukan Mongol tidak menemukan

rintangan dalam menghancurkan Abbasiyah.20

E. Perioderisasi Peradilan Islam

1. Peradilan Pasa Masa Rasulullah

Allah telah memerintahkan Nabi-Nya untuk membimbing dan agar

memutuskan hukum dengan apa yang Ia turunkan kepadanya. Orang yang

pertama menjadi hakim dalam Islam adalah Rasulullah SAW. sendiri berdasarkan

perintah Allah SWT. Setiap permasalahan yang terjadi di antara penduduk

18

Philip K. Hitti, History of The Arabs, terjemahan R. Cecep Lukman dan Dedi Slamet

Riyadi, (Jakarta : Serambi 2006), hlm. 358.

19 Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas‟adi, hlm 3.

20 Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas‟adi, hlm. 4.

Page 38: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

29

Madinah beliau menjadi satu-satunya hakim mereka dalam setiap perselisihan dan

perkara.21

Namun Rasulullah SAW. sangat teliti dalam memilih atau mengangkat

sahabat dalam mengemban tugas sebagai hakim. Terbukti ketika Mu‟az bin Jabal

ingin diutus ke Yaman Rasululah saw. melakukan tes seperti yang termuat dalam

hadits berikut ini:

ن عن انحازث بن عمس بن أخ انمغيسة بن شعب ت عن أناض حدحنا حفص بن عمس عن شعبت عن أب ع

نما أزاد أن يبعج معاذا إن -صه اهلل عهيو سهم-ص من أصحاب معاذ بن جبم أن زسل انهو من أىم حم

«. اب انهو فئن نم تجد ف كت» قال أقض بكتاب انهو. قال «. كيف تقض إذا عسض نك قضاء » انيمن قال

صه اهلل عهيو -فئن نم تجد ف سنت زسل انهو » . قال -صه اهلل عهيو سهم-قال فبسنت زسل انهو

ال آن. فضسب زسل انهو «. ال ف كتاب انهو -سهم صدزه -مصه اهلل عهيو سه-قال أجتيد زأي

فق زسل زسل انهو نما يسض زسل انهو » قال «.انحمد نهو انر 22

“Telah menceritakan kepada kami Hafsah bin Umar dari Syu‟bah dari Abu “Aun

dari Harits bin “Amru sanak saudara Al-Mughirah bin Syu‟bah, dari beberapa

orang penduduk Himsh yang merupakan sebagian dari sahabat Mu‟adz bin Jabal.

Bahwa Rasulullah Shallallahu „Alaihi Wassalam ketika akan mengutus Mu‟adz

bin Jabal ke Yaman beliau bersabda: Bagaimana engkau memberikan keputusan

apabila ada sebuah persoalan hukum yang dihadapi kepadamu?” Mu‟adz

menjawab: saya akan memutuskan menggunakan kitab Allah.” Beliau bersabda:

“Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam kitab Allah?” Mua‟adz menjawab:

“Saya akan kembali kepada sunnah Rasulullah Shallallahu “Alaihi Wasallam.”

Beliau bersabda lagi: “ Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam sunnah

Rasulullah SAW., serta dalam kitab Allah?” Mu‟adz menjawab, “saya akan

berijtihad dengan menggunakan pendapat saya, dan saya tidak akan mengurangi.”

Kemudian Rasulullah SAW menepuk dadanya dan bersabda: “ segala puji bagi

Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah untuk

21

Samir Aliyah, alih bahasa Asmuni Solihan Zamakhsyari, Sistem Pemerintahan,

Peradilan dan Adat dalam Islam, (Jakarta: Khalifa, 2004), hlm 297.

22 Imam al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Penerjemah: Fadhli Bahri, (Jakarta:

Daarul Falah, 2000), hlm. 125-126.

Page 39: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

30

melakukan apa yang membuat senang Rasulullah.” Telah menceritakan kepada

kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yayna bin Syu‟bah telah

menceritakan kepada kami Abu “Aun dari Al-Harits bin „Amru dari beberapa

orang sahabat Mu‟adz dari Mu‟adz bin Jabal bahwa Rasulullah SAW., tatkala

mengutusnya ke yaman.... kemudian ia menyebut maknanya. ”

(HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, Ahmad dan Ad-Damiri).

Jika berhalangan, misalnya karena tugas keluar untuk memimpin perang,

Rasulullah SAW. selalu menunjuk sahabat untuk bertugas di Madinah.23

Meskipun pelaksanaan peradilan pada zaman Rasulullah terkesan tidak

formal, tetapi rukun-rukun al-qadha telah terpenuhi, yaitu hakim, hukum, al-

mahkum bih, al-mahkum ‘alaih, dan al-mahkumah (orang yang menggugat). Pada

Zaman Rasul, orang yang mempunyai masalah bisa datang bersama atau sendiri

kepada beliau untuk minta diadili atas sengketa yang mereka hadapi, kemudian

Rasulullah SAW. mengadili para pihak sebagaimana mestinya sesuai dengan

hukum yang berlaku. Pada umumnya putusan yang ditetapkan oleh Rasulullah

SAW. itu diterima dengan secara sukarela dan tidak memerlukan upaya

eksekusi.24

Ulama meriwayatkan banyak hukum yang dikeluarkan oleh Rasulullah

SAW., penulis mencantumkan beberapa contoh kasus dan penyelesaiannya di

antaranya adalah:

1. Rasulullah SAW., memutuskan perselisihan antara Abu Bakar dan Rabi‟ah

al-Aslami tentang tanah yang di dalamnya terdapat pohon kurma yang

23

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,

(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm.148

24 Fazlur Rahman, Islami Metodelogi in History, terjemahan Anas Mahudi (Bandung:

Pustaka 1984) hlm. 15.

Page 40: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

31

miring. Adapun batangnya di tanah Rabi‟ah, sedangkan rantingnya di

tanah Abu Bakar, dan masing-masing mengakui bahwa pohon tersebut

miliknya. Lalu keduanya pergi kepada Rasulullah SAW., maka beliau

memutuskan bahwa ranting menjadi milik orang yang memiliki batang

pohon.

2. Khansa‟ binti Khadam al-Anshariyah dinikahkan oleh bapaknya

sedangkan dia janda dan tidak menyetujuinya, lalu ia datang kepada

Rasulullah SAW., maka beliau membatalkan pernikahan tersebut, lalu ia

berkata kepada Rasulullah SAW., “Saya tidak menolak sesuatu apapun

yang diperbuat ayahku, tapi saya ingin mengajarkan kepada kaum

perempuan bahwa mereka memiliki keputusan terhadapdiri mereka”.25

Ringkasnya hukum Islam telah berlaku sejak zaman Nabi, utamanya pada

periode Madinah. Namun, hukum-hukum pada masa itu masih belum

mendapatkan bentuk tertentu sebagaimana yang telah kita kenal sekarang sebagai

Ilmu Fiqh. Hadits merupakan sesuatu yang lahir dari ucapan-ucapan, perbuatan,

ketetapan Nabi. Hanya Nabi yang mempunyai otoritas menetapkan sebuah

hukum, baik yang berupa wahyu maupun berupa hasil ijtihad atau musyawarah

dengan para sahabat.26

Beberapa contoh kasus hukum di atas menunjukkan bahwa Rasulullah

merupakan hakim pertama dan satu-satunya di Madinah yang amat bijaksana

dalam memutuskan suatu perkara hukum. Hanya Nabi yang mempunyai otoritas

25

Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, alih bahasa

Asmuni Solihan Zamakhsyari, hlm 299.

26 Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm 139.

Page 41: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

32

menetapkan sebuah hukum, baik yang berupa wahyu maupun berupa hasil ijtihad

atau hasil musyawarah dengan para sahabat. Namun hukum-hukum pada masa itu

masih belum mendapatkan bentuk tertentu seperti sekarang sebagai Ilmu Fiqih.

2. Peradilan Masa Khulafa Al-rasyidin

Pada masa khalifah Abu Bakar ash-Shiddieq tidak tampak adanya suatu

perubahan dalam bidang peradilan. Hal ini disebabkan karena kesibukkan beliau

memerangi orang murtad dan pembangkang menunaikan zakat, juga kesibukkan

beliau menyelesaikan urusan politik kekuasaan karena meluasnya wilayah

pemerintahan pada waktu itu. Dalam masalah peradilan, Abu Bakar mengikuti

jejak Nabi Muhammad SAW yakni ia sendirilah yang memutuskan hukum di

antara umat Islam di Madinah. Sedangkan para gubernurnya memutuskan hukum

diantara manusia di daerah masing-masing di luar Madinah. Pada masa khalifah

Abu Bakar ah-Shiddieq urusan al-Qadha diserahkan kepada Umar bin Khattab

selama dua tahun lamanya. Tetapi dua tahun itu tidak ada satupun yang masuk ke

Mahkamah Syari‟ah yang dipimpin oleh Umar bin Khattab ini, mungkin orang

segan berurusan dengan peradilan karena beliau terkenal dengan ketegasan yang

dimilikinya.27

Maka tercatatlah dalam sejarah orang yang pertama kali menjadi qadhi

dalam Islam pada awal masa Khalifah al-Rasyidin adalah Umar bin Khattab.28

27

Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT Pustaka

Rizki Putra, 1997), hlm. 16.

28

Athiyah Masyrafah, al-Qadha fi al-Islam, (Mesir: Syirkat al-Syarqi al-Ausath, 1996),

cet. II, hlm. 93

Page 42: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

33

Lembaga al-Qadha pada masa khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq belum

dipisah dengan lembaga pemerintahan. Pada tingkat pusat langsung dipegang

oleh khalifah sendiri, sedangkan pada tingkat daerah dipegang oleh pemangku

wilayah „ammah, belum diadakan pejabat yang khusus untuk mengurus urusan

peradilan secara tersendiri. Urusan-urusan peradilan masih bersatu dengan kepala

wilayah (gubernur), sehingga dalam pelaksanaannya masih tumpang tindih. Jadi,

kepala negara pada masa Abu Bakar bertindak sebagai orang yang memutus

perkara (kadi) dan sebagai orang yang melaksanakan putusan (munafidz) atau

melaksanakan eksekusi.29

Pada masa khalifah Umar bin Khattab, beliau sendiri yang mengangkat

seseorang untuk menjabat sebagai kadi guna di tempatkan di suatu daerah,

khalifah mengirim surat kepada gubernur supaya mengangkat seorang kadi untuk

bertugas di daerahnya. Kadi yang di angkat oleh gubernur itu adakalanya ditunjuk

oleh khalifah Umar sendiri, adakalanya dipilih oleh gubernur dan diangkat atas

nama khalifah. Demikian juga tentang pemberhentian seorang kadi, sepenuhnya

menjadi wewenang khalifah Umar bin Khattab.30

Pemerintahan Utsman bin Affan berlangsung dari 644-656 M. ketika

dipilih Utsman berusia 70 tahun. Di masa pemerintahannya perluasan daerah

Islam di teruskan ke Barat sampai ke Maroko, ke Timur menuju India, dan ke

Utara menuju ke Konstantinopel.31

29

T.M Hasbi ash Siddieq, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Bulan-bintang, 1970), hlm.

19

30 Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, hlm. 15.

31 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

Indonesia, hlm. 179.

Page 43: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

34

Usaha-usaha yang dilaksanakan oleh Utsman dalam bidang-bidang

peradilan antara lain; pertama: membangun gedung peradilan baik di kota

Madinah maupun di daerah gubernur, kedua: menyempurnakan administrasi

peradilan dan mengangkat pejabat-pejabat yang mengurusi administrasi peradilan,

ketiga: memberi gaji kepada kadi dan stafnya dengan dana yang diambil dari

baitul mal, keempat: mengangkat naib kadi, semacam panitera yang membantu

tugas-tugas kadi. 32

Peradilan di masa Ali bin Abi Thalib, Ali memerintah dari tahun 656-662

M. Pada periode Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak banyak perubahan yang

dilakukan dalam bidang peradilan. Kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah Ali

bin Abi Thalib hanya melanjutkan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh

Khalifah Utsman bin Affan dengan sedikit perubahan misalnya dalam bidang

pengangkatan kadi, sebelumnya menjadi wewenang penuh pemerintah pusat

(Khalifah), sekarang diserahkan kepada gubernur (pemerintah daerah) untuk

mengangkatnya.33

Melihat perkembangan peradilan pada masa khulafa al-Rasyidin dapat

diketahui bahwa lembaga peradilan masih pada taraf pembentukkan,

organisasinya belum sempurna. Kebanyakan para pencari keadilan mengadukan

perkaranya dalam bentuk meminta fatwa, apabila kadi menetapkan suatu hukum,

maka para pencari keadilan menyelesaikannya sendiri perkaranya dan pada

32

Abdul Karim Zaidan, Nizhomul Qadha fi Syar'iyatil Islamiyyah, (Baghdad: Mathb'ah

al-any, tt.), hlm. 61.

33 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu kajian dalam

Sistem Peradilan Islam. Hlm. 83.

Page 44: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

35

umumnya mereka sangat patuh terhadap putusan kadi tersebut. Jabatan kadi

dalam periode khulafa al-Rasyidin dianggap suatu jabatan yang amat terhormat

dan mempunyai pengaruh yang sangat besar kepada seluruh negara dan

masyarakat. Kadi dapat menyamaratakan antara rakyat biasa dengan pejabat

negara dan pemerintahan, antara orang yang mulai dan orang yang hina di

persidangan pengadilan. Kadi pada zaman khulafa al-Rasyidin semuanya orang-

orang yang memiliki keahlian dalam bidang ijtihad, bukan ahli taqlid kepada

seorang imam dalam menetapkan hukum. 34

Dari uraian diatas kesimpulan menurut penulis bahwa pada zaman khulafa

al-Rasyidin sudah mulai berkembangan ke arah yang lebih baik dari waktu

sebelumnya, diantaranya pengangkatan kadi langsung diangkat oleh Khalifah

kecuali pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, gedung-gedung sudah mulai di

bangun sejak khalifah Utsman bin Affan, hakim (kadi) di gaji oleh negara dengan

dana baitul mal pada masa khalifah Umar bin Khattab dan kekuasaan pemerintah

sudah mulai dipisahkan sejak khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.

3. Peradilan Masa Umayyah

Dinasti Umayyah berkuasa selama kurang lebih 91 tahun dari tahun

661H–750H. Pada dinasti Umayyah, al-qadha dikenal dengan al-Nizham al-

Qadhaaiy (organisasi kehakiman), dimana kekuasaan peradilan telah dipisahkan

dari kekuasaan politik. Ada dua ciri khas bentuk peradilan pada masa Umayyah,

yaitu:

34

Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu kajian dalam

Sistem Peradilan Islam. Hlm. 84.

Page 45: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

36

a. Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal-

hal yang tidak ada nash atau ijma’. Ketika itu mazhab belum lahir dan

belum menjadi pengikat bagi keputusan-keputusan hakim. Pada waktu itu

hakim hanya berpedoman kepada Al-Qur‟an dan Sunnah.

b. Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa.

Hakim memiliki hak otonom yang sempurna, tidak dipengaruhi oleh

keinginan-keinginan penguasa sendiri. Dalam hal itu, khalifah selalu

mengawasi gerak gerik hakim dan memecat hakim yang menyeleweng

dari garis yang ditentukan.35

Pada masa Umayyah, khalifah mengangkat qadhi-qadhi untuk bertugas di

ibukota pemerintahan. Sedangkan qadhi-qadhi yang bertugas di daerah

pengangkatannya diserahkan kepada penguasa-penguasa daerah. Namun,

kedudukan hakim ibukota dan hakim daerah sederajat. Pada masa ini belum ada

tingkatan-tingkatan lembaga peradilan atau belum ada qadhil qudhat. Maka

masing-masing hakim berdiri sendiri, namun secara hierarki mereka berada di

bawah kekuasaan khalifah dan wakil-wakilnya.36

Lembaga peradilan dipegang oleh orang Islam, sedangkan kalangan non

muslim mendapatkan otonomi hukum di bawah kebijakan masing-masing

pemimpin agama mereka. Hal inilah yang mendasari mengapa hakim hanya ada di

kota-kota besar.37

35

Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, alih bahasa Imron AM,

(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), cet. IV, hlm. 20.

36 Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 152.

37 Philip Kahitti, History of the Arabs, (Jakarta: Serambi, 2006), cet. Ke-2, hlm. 281

Page 46: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

37

Adapun instansi dan tugas kekuasaan kehakiman di masa Daulah Umayah

ini dapat di kategorikan menjadi tiga badan, yaitu:

Pertama, al-Qadha’ merupaan tugas qadhi dalam menyelesaikan perkara-

perkara yang berhubungan dengan agama. Di samping itu, badan ini juga

mengatur institusi wakaf, harta anak yatim, dan orang yang cacat mental.38

Kedua, merupakan tugas al-muhtasib (kepala hisbah). Dalam

menyelesaikan perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan

cepat. Menurut Al-Syaqathi dalam bukunya Fi Adaab al-Hisbah, seperti yang

dikutip oleh Philip K. Hitti bahwa tugas al-Muhtasib selain mengarahkan polisi

juga bertindak sebagai pengawas perdagangan pasar, memeriksa takaran dan

timbangan serta ikut mengurusi kasus-kasus perjudian, seks amoral, dan busana

yang tidak layak pakai di depan umum.39

Ketiga, al-Nadhar fi al-Mazhalim. Merupakan mahkamah tinggi atau

mahkamah banding dari mahkamah di bawahnya (al-qadha dan al-hisbah)

lembaga ini juga dapat mengadili para hakim dan pembesar negara yang berbuat

salah. Pengadilan ini langsung di bawah pimpinan Khalifah. Ketika itu Abdul

Malik bin Marwan atau orang yang ditunjuk olehnya, yang pada awalnya

diadakan di dalam masjid.40

Pada masa itu qadhi-qadhi dibatasi wewenangnya, yaitu hanya

memutuskan perkara dalam urusan-urusan khusus. Sedang yang berhak

38

Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 80

39 PhilipK. Hitty, History of the Arabs, hlm 670

40 Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 82

Page 47: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

38

menjalankan keputusan adalah khalifah sendiri atau wakilnya dengan intruksi dari

khalifah. Lembaga peradilan pada masa Umayyah bersifat independen. Para

penguasa tidak mencampuri urusan peradilan dan peradilan bebas memutuskan

dengan seadil-adilnya. Khalifah hanya mengawasi keputusan yang mereka

keluarkan, selain itu, ada ancaman pemecatan bagi siapa yang berani melakukan

penyelewengan.41

Wewenang seorang hakim hanyalah memutuskan hukum suatu perkara,

namun yang melaksanakan hasil putusan tersebut adalah khalifah atau gubernur

atau orang yang diberikan perintah untuk melaksanakannya. Contoh: hakim

memutuskan hukuman terdakwa adalah qishash, sementara yang menjalankan

hukum qishash tersebut adalah khalifah sendiri.42

41

Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 153

42 Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 83

Page 48: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

39

BAB III

PRAKTIK PERADILAN PADA MASA ABBASIYAH

A. Peradilan pada Masa Abbasiyah Pertama

Pada masa Daulah Abbasiyah para hakim tidak lagi berijtihad dalam

memutuskan perkara, tetapi mereka berpedoman pada kitab-kitab mazhab yang

empat atau mazhab yang lainnya. Dengan demikian, syarat hakim harus mujtahid

sudah ditiadakan. Kemudian, organisasi kehakiman juga mengalami perubahan,

antara lain telah diadakan jabata penuntut umum (kejaksaan) di samping telah di

bentuk instansi diwan qadhi al-qudhah, sebagai berikut:

a. Diwan Qadhi al-Qudhah (fungsi dan tugasnya mirip dengan Departemen

Kehakiman) yang dipimpin oleh qadhi al-qudhah (ketua Mahkamah

Agung). Semua badan-badan pengadilan dan badan-bada lain yang ada

hubungan dengan kehakiman berada di bawah diwan qadhi al-qudhah.

b. Qudhah al-Aqaali (hakim provinsi yang mengetuai Pengadilan Tinggi).

c. Qudhah al-Amsaar (Hakim Kota yang mengetuai Pengadilan negeri; al-

Qadha atau al-Hisbah).

d. Al-Suthah al-Qadhaiyah, yaitu jabatan kejaksaan di ibu kota negara di

pimpin oleh al-Mudda’il Ummy (Jaksa Agung), dan tiap-tiap kota oleh

Naib Ummy (Jaksa).1

1 A. Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), cet. Ke-5, hlm.

234-235.

Page 49: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

40

Apabila diidentikkan dengan Indonesia, pada zaman Abbasiyah sudah ada

Mahkamah Agung dan Jaksa Agung serta peradilan-peradilan di tingkat provinsi

dan kota/kabupaten. Artinya setiap wilayah sudah memiliki peradilan.2

Adapun badan-badan Peradilan pada zaman Abasiyah ada tiga macam3,

yaitu sebagai berikut:

a. Al-Qadha, hakimnya bergelar al-Qadhi. Bertugas mengurus perkara-

perkara yang berhubungan dengan agama pada umumnya. Al-Qadha

adalah lembaga yang berfungsi memberi penerangan dan pembinaan

hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan, dan masalah wakaf.

Pada masa Abbasiyah setiap perkara diselesaikan dengan berpedoman

pada mazhab masing-masing yang dianut oleh masyarakat.4

b. Al-Hisbah, hakim yang bergelar Muhtasib, bertugas menyelesaikan

perkara-perkara yang berhubungan dengan masalah-masalah umum dan

tindak pidana yang memerlukan pengurusan segera. Tugas pejabat al-

hisbah adalah amar ma’ruf nahi munkar,baik yang berkaitan dengan hak

Allah, hak hamba, atau hak keduanya. Yang berkaitan dengan hak Allah

misalnya, melarang mengkonsumsi minuman keras, melarang melakukan

hal-hal yang keji seperti berbuat zina dan yang lainnya. Sedangkan yang

berkaitan dengan hak hamba seperti melarang mengganggu kelancaran

lalu lintas. Yang berkaitan hak keduanya (hak Allah dan hamba) misalnya

melarang berbuat curang dalam muamalat seperti penipuan dalam takaran

2 Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 159.

3 A. Hasyim, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 231.

4 Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 130.

Page 50: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

41

dan timbangan. Jadi, seorang muhtasib harus mampu mengajak

masyarakat menjaga ketertiban umum.5

c. Wilayat al-Mazhalim, hakim yang bergelar Shahibul atau Qadhi al-

Mazhalim, yaitu kekuasaan pengadilan yang lebih tinggi dari kekuasaan

hakim dan muhtasib, yang bertugas memeriksa kasus-kasus yang tidak

masuk dalam wewenang hakim biasa, tetapi pada kasus-kasus yang

menyangkut penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyat

biasa. Seperti kezaliman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh para

kerabat khalifah, pegawai pemerintahan, dan hakim-hakim. Contohnya ada

seorang wanita yang mengadukan anak khalifah al-Abbas yang telah

menzaliminya dengan merampas tanah haknya.6

Pada masa ini kekuasaan peradilan sangat luas, meliputi kekuasaan

kepolisian, wilayat al-Mazhalim, wilayat al-hisbah, pengawasan mata uang, dan

bait al-mal. Di samping itu, ada juga lembaga tahkim (hukum) yang berwenang

menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi.7 Ada pula lembaga Tahkim (lembaga

fatwa) walaupun tidak dapat disamakan secara 100%.8

Dalam memeriksa perkara, hakim boleh berijtihad walaupun secara

administratif para hakim diperintahkan oleh khalifah untuk menyelesaikan perkara

dengan berpegang pada mazhab yang ada. Abu Yusuf, misalnya, walaupun

bermazhab Hanafi tetapi dia masih berijtihad dan dalam hal tertentu ia berbeda

5 Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 128.

6 Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 136.

7 Salam Madzkur, al-Qadhi fi al-Islam, hlm 50.

8 Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 160.

Page 51: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

42

pendapat dengan gurunya. Ini berarti bahwa terdapat campur tangan para khalifah.

Misalnya, qadhi di Irak menggunakan mazhab Hanafi, di Syam dan Maghribi

menganut mazhab Maliki, dan di Mesir menganut Mazhab Syafi‟i. Apabila yang

berperkara tidak satu mazhab dengan qadhi maka diangkatlah qadhi yang satu

mazhab dengan yang berperkara.9

B. Peradilan pada Masa Abbasiyah Kedua

Pada masa ini organisasi peradilan, khususnya qadhi al-qudhah, sudah

mengalami perubahan. Qadhi al-qudhah tidak hanya di pusat pemerintah

(Baghdad), tetapi juga di daerah-daerah. Hal ini terjadi karena banyaknya daerah

yang memisahkan diri dari pusat pemerintahan, Baghdad. Istilah qadhi al-qudhah

tidak sama di tiap negeri, seperti di Andalusia disebut Qadhi al-Jama’ah.10

Hakim-hakim pada masa ini memutus perkara menurut imam-imam

mazhab secara taklid (hakim muqallid), pada masa ini yang diangkat jadi hakim

dipilih ulama yang secara taklid dari mazhab yang dianut oleh raja yang

bersangkutan. Karenanya terdapat perbedaan hukum dengan mazhab hakim.

Dalam pengangkatan hakim, para hakim di haruskan membayar sejumlah uang

kepada pemerintah pada tiap tahunnya. Pengaruh eksekutif sangat tinggi pada

masa ini hingga wewenang peradilan dirahasiakan semakin menyempit dan

terbatas pada masalah kekeluargaan saja.11

Penulis memaparkan peradilan masa Abbasiyah kedua ini sebagai bahan

perbandingan bahwa terdapat perbedaan yang jelas dalam bidang peradilan masa

9 Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 161.

10 Salam Madzkur, al-Qadha fi al-Islam, hlm. 48.

11

Hasbi Ash-shiddiqi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: Pustaka Rizki

Putra, 1997), hlm. 27.

Page 52: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

43

Abbasiyah pertama dan kedua ini, guna untuk melihat persamaan dan perbedaan

diantara keduanya.

C. Kebijakan-Kebijakan Peradilan Masa Khalifah Abbasiyah

Pada masa ini ada beberapa kebijakan Khalifah Dinasti Abbasiyah dalam

bidang peradilan, antara lain adalah:

1. Lembaga Qadhi al-Qudhah (Mahkamah Agung)

Meskipun secara politis qadhi al-qudhah diangkat dan kedudukannya

berada di bawah sultan, akan tetapi sebenarnya ia adalah penyeimbang kekuasaan

sultan dan pelaksana kekuasaan lainnya, seperti diwan dan wizarat. Mengingat

sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, tidak mungkin melaksanakan

seluruh kekuasaan negara. Karena itu beberapa kekuasaan eksekutif kemudian

didelegasikan kepada pelaksana kekuasaan lainnya.12

Lembaga Qadhi al-Qudhah yang merupakan instansi tertinggi dalam

peradilan. Kalau untuk zaman sekarang bisa disebut Mahkamah Agung. Badan

hukum ini diputuskan pendiriannya sejak masa Harun al-Rasyid yang

berkedudukan di ibu kota negara dengan tugas sebagai pengangkat hakim-hakim

daerah. Apabila diidentikan dengan Indonesia, pada zaman Abbasiyah sudah ada

Mahkamah Agung dan Jaksa Agung serta peradian-peradilan di tingkat provinsi

dan kota/kabupaten. Artinya setiap wilayah sudah memiliki peradilan.13

12

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2008), hlm. 163.

13 Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 159.

Page 53: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

44

Abu Yusuf dikenal sebagai orang pertama yang dipanggil sebagai Qadhi

al-Qudhah (Hakim Agung). Jabatan hakim agung itu diembannya selama tiga

periode kekhalifahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, yaitu pada masa

Pemerintahan Khalifah Al-Hadi, Al-Mahdi, dan Harun Al-Rasyid. Pada masa

khalifah Harun Al-Rasyid, Abu Yusuf diberikan suatu kehormatan, bahwa semua

keputusan mahkamah baik di Barat maupun Timur harus bersandar kepadanya.

Jabatan hakim agung dijabat oleh Abu Yusuf hingga ia wafat pada 182 H. 14

Beberapa qadhi yang terkenal pada masa Abbasiyah adalah sebagai

berikut:

a. Abu Yusuf , Ya‟kuq bin Ibrahim (lahir tahun 131 H/ 731 M - wafat tahun

182 H/ 789 M) beliau adalah qadhi qudhah Harun al-Rasyid.

b. Yahya bin Aksam (lahir tahun 159 H/755 M - wafat tahun 242 H/857 M)

beliau adalah qadhi qudah al-Makmun.

c. Ahmad bin Abu Daud (lahir tahun 160 H/777 M - wafat tahun 240 H/ 854

M) beliau adalah qadhi al-Mu‟tashim.

d. Sahnun al-Maliki (lahir tahun 160 H/ 777 M - wafat tahun 240 H/ 854 M)

beliau adalah qadhi Maghrib.

e. Al-„Izz bin Abd. Al-Salam (lahir 578 H/ 1181 M – wafat tahun 660 H/

1262 M) beliau adalah qadhi Mesir.

f. Ibnu Khillikaan (lahir tahun 608 H/ 1211 M – wafat tahun 660 H/ 1282 M)

beliau adalah qadhi Damaskus.

14 http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/09/18/majncx-abu-yusuf-

hakim-agung-di-era-abbasiyah-2 di unggah pada tanggal 20 Mei 2015.

Page 54: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

45

g. Ibnu Daqiqi „Ied (lahir tahun 625 H/ 1228 M – wafat tahun 702 H/ 1302

M) beliau adalah qadhi Mesir dan Sha‟id.

Inilah sebagian qadhi qudhah dan qadhi yang banyak mendapatkan

perhatian umum terkenal dalam masyarakat fikih dan di pandang sebagai

pebimbing ilmu al-furu’ dalam periode kedua dari bani Abbasiyah.15

2. Wilayah Hisbah

a. Pengertian Wilayah Hisbah

Secara etimologi al-hisbah merupakan kata benda yang berasal dari kata

al-ihtisab artinya “menahan upah” kemudian maksud meluas menjadi

”pengawasan yang baik”. Sedangkan secara terminologi, al-Mawardi

mendefinisikan dengan “suatu perintah terhadap kebaikan (Ma’ruf) bila terjadi

penyelewengan terhadap kebenaran dan mencegah kemungkaran”. Kriteria

kebaikan yaitu segala perkataan, perbuatan, atau niat yang baik yang

diperintahkan oleh syariat. Sedangkan perbuatan mungkar yang dilarang oleh

syariat.16

Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksanaan kekuasaan kehakiman

dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman.

Pejabat badan hisbah disebut muhtasib. Tugasnya menangani kasus kriminal yang

penyelesaiannya perlu segera, mengawasi hukum, mengatur ketertiban umum

seperti mencegah penduduk yang mengakibatkan sempitnya jalan-jalan umum,

mengganggu kelancaran lalu lintas, dan melanggar hak-hak tetangga serta

15

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm 136.

16 Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 125

Page 55: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

46

menghukum orang yang mempermainkan hukum syara‟.17

Misalnya menghukum

orang yang melakukan hal-hal keji seperti berzina, mengkonsumsi minuman

keras, berbuat curang dalam muamalah melakukan jual beli yang di larang syariat,

penipuan dalam takaran dan timbangan dan lain sebagainya.

b. Satus Dan Wewenang Wilayah Hisbah

Pada masa Abbasiyah wilayah hisbah sudah terlaksana dengan baik,

lembaga ini berada di bawah lembaga peradilan dan berfungsi untuk memperkecil

perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh wilayah qadha. Hal ini dijelaskan

oleh Schacht bahwa pada saat yang sama ketika hakim-hakim peradilan

menghadapi perkara yang semakin banyak, ada keharusan untuk akomodasi dan

muhtasib. Artinya, keberadaan lembaga ini pada periode Abbasiyah sudah

melembaga seperti lembaga pemerintahan lainnya, yang secara struktural berada

di bawah lembaga peradilan (qadha). Pada masa ini kewenangan mengangkat

muhtasib sudah tidak lagi dalam kekuasaan khalifah, tetapi diserahkan kepada

qadhi al-qudhah, baik mengangkat maupun memberhentikannya.18

Tugas lembaga al-hisbah adalah memberi bantuan kepada orang-orang

yang tidak dapat mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugas-petugas al-

hisbah. Tugas hakim ialah memutus perkara terhadap perkara-perkara yang

disidangkan dan menghukum yang kalah serta mengembalikan hak orang yang

menang. Sedangkan tugas muhtasib adalah hanya mengawasi berlakunya undang-

17

Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 130

18 Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh al-Daulah al-Fathimiyah (Kairo: Al-Maktabah al-

Mukhashshah alMishriyah, 1993), hlm. 363.

Page 56: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

47

undang dan adab-adab kesusilaan yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Jadi

kedudukan peradilan lebih tinggi dari pada al-hisbah.19

Dalam beberapa kasus, seorang muhtasib juga bertugas seperti hakim,

yaitu pada kasus-kasus yang memerlukan putusan segera. Hal ini dilakukan

karena terkadang ada suatu masalah yang harus segera diselesaikan agar tidak

menimbulkan dampak yang lebih buruk, dan jika melakukan proses pengadilan

hakim akan memakan waktu yang sangat lama.20

Contohnya orang yang

mengganggu kepentingan umum misalnya mengganggu kelancaran lalu lintas.

Menegakkan hak asasi manusia seperti mencegah buruh membawa beban di luar

batas kemampuannya atau kendaraan-kendaraan yang mengangkut barang

melebihi kuota.21

Jadi, seorang muhtasib harus mampu mengajak masyarakat

menjaga ketertiban umum.

Sistem penerapan wilayah hisbah, muhtasib tidak berhak untuk

memutuskan hukum sebagaimana halnya pada wilayah qadha, muhtasib hanya

dapat bertindak dalam hal-hal skala kecil dan pelanggaran moral yang jika

dianggap perlu muhtasib dapat memberikan hukuman ta’zir terhadap pelanggaran

moral. Berdasarkan hal ini kewenangan muhtasib lebih mendekati kewenangan

polisi, tetapi bedanya, ruang gerak muhtasib hanyalah soal kesusilaan dan

keselamatan masyarakat umum, sedangkan untuk melaksanakan penangkapan,

penahanan, dan penyitaan tidak termasuk dalam kewenangannya. Di samping itu,

19

Hasbi Ash-Shiddieqi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, hlm. 99

20 Athiyah Musyrifah, al-Qadha fi al-Islam, hlm. 183.

21 Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 128.

Page 57: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

48

muhtasib juga berwenang melakukan pencegahan terhadap kejahatan perdagangan

dalam kedudukannya sebagai pengawas pasar, termasuk mencegah gangguan dan

hambatan, pelanggaran di jalan, memakmurkan masjid, dan mencegah

kemungkaran seperti minum-minuman keras, perjudian, dan lain-lain.22

c. Persamaan dan Perbedaan Al-Hisbah dan Peradilan

Lembaga peradilan dan al-hisbah dapat saling melengkapi satu sama lain

walaupun terdapat persamaan dan perbedaan dalam beberapa segi. Persamaan

tersebut adalah:

a) Baik hakim maupun muhtasib, keduanya menerima dan mendengarkan

pengaduan dari orang yang bersengketa.

b) Keduanya berupaya memberantas kezaliman dan menegakkan keadilan.

Adapun perbedaannya adalah:

a) Dari segi kewenangan: Muhtasib tidak berhak menerima dan memutuskan

perkara yang menjadi kewenangan hakim pengadilan.

b) Muhtasib hanya mengurus perkara-perkara yang kecil yang bukan

termasuk kewenangan hakim pengadilan misalnya, perkara penipuan

dalam takaran dan timbangan.

c) Kedudukan peradilan lebih tinggi dari pada al-hisbah.

22

Athiyah Musyrifah, al-Qadha fi al-Islam, hlm. 183.

Page 58: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

49

d) Hakim cenderung menunggu perkara yang masuk, sedangkan muhtasib

cenderung mencari kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan.23

Jadi, wilayah al-hisbah secara garis besarnya seperti jabatan penuntut

umum, sedangkan muhtasib disamakan dengan penuntut umum karena mereka

adalah orang-orang yang bertugas memelihara hak-hak umum dan tata tertib

masyarakat. Walaupun dalam beberapa segi terdapat perbedaan, namun secara

garis besar dapat dikatakan bahwa tugas al-hisbah di dalam hukum Islam

merupakan dasar bagi penuntut umum sekarang.24

3. Wilayah Al-Mazalim (penyelewengan dan penganiayaan)

a. Pengertian Wilayah Al-Mazalim

Kata wilayah al-Mazalim merupakan gabungan dua kata, yaitu wilayah

dan al-Mazalim. Kata wilayah secara literal berarti kekuasaan tertinggi, aturan,

dan pemerintahan. Sedangkan kata al-Mazalim adalah bentuk jamak dari

mazlimah yang secara literal berarti kejahatan, kesalahan, ketidaksamaan, dan

kekejaman.25

Sedangkan secara terminologi wilayah al-mazalim berarti “kekuasaan

pengadilan yang lebih tinggi dari kekuasaan hakim dan muhtasib, yang bertugas

23

Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 131.

24 Hasbi Ash-Shiddieqi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, hlm. 98.

25

Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 125.

Page 59: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

50

memeriksa kasus-kasus yang menyangkut penganiayaan yang dilakukan oleh

penguasa terhadap rakyat biasa.26

b. Wewenang Wilayatul Al-Mazalim

Lembaga ini dipisahkan dari wilayah peradilan. Awalnya, penanganan

masalah segala bentuk penyelewengan dan penganiayaan yang dilakukan oleh

lembaga pemerintah yang masuk perkara al-mazalim waktu itu ditangani langsung

oleh khalifah. Ketika dinasti Abbasiyah muncul, pada mulanya lembaga tersebut

dipegang langsung oleh khalifah. Tapi kemudian khalifah menunjuk seorang

wakil yang disebut Qadhi al-Mazalim atau Sahib al-Mazalim. Pada masa ini

wilayah al-mazalim mendapat perhatian besar. Diceritakan pada hari Ahad,

Khalifah al-Makmun sedang membuka kesempatan bagi rakyatnya untuk

mengadu kezaliman yang dilakukan oleh pejabat, datang seorang wanita dengan

pakaian jelek tampak dalam kesedihan. Wanita tersebut mengadukan bahwa anak

sang Khalifah, al-Abbas, menzaliminya dengan merampas tanah haknya.

Kemudian sang khalifah memerintahkan hakim, Yahya bin Aktsam, untuk

menyidang kasus tersebut di depan sang Khalifah. Di tengah perdebatan, tiba-tiba

wanita tersebut mengeluarkan suara lantang sampai mengalahkan suara al-Abbas

sehingga para pengawal istana mencelanya. Kemudian Al-Makmun berkata,

“Dakwaannya benar, kebenaran membuatnya berani berbicara dan kebatilan

26

Muhammad Salam Madzkur, al-Qadha fi al-Islam, terj. Imran A.M., hal. 171

Page 60: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

51

membuat anakku membisu.” Kemudian hakim mengembalikan hak si wanita dan

hukuman kepada sang anak khalifah.27

Kedudukan badan ini lebih tinggi dari pada al-qadha dan al-hisbat, karena

disini qadhi al-mazhalim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat

diputuskan oleh qadhi dan muhtasib, meninjau kembali beberapa putusan yang

dibuat oleh kedua hakim tersebut, atau menyelesaikan perkara banding. Dapat

dikatakan pula bahwa lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk

ke dalam wewenang hakim biasa. Yaitu, memeriksa perkara-perkara

penganiayaan yang dilakukan oleh para penguasa dan hakim ataupun anak-anak

dari orang yang berkuasa. Sebagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam

lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang

teraniaya.28

4. Al-Mahkamah Al-Askariyah

Pada masa pemerintahan Abbasiyah juga di bentuk mahkamah atau

peradilan militer (al-Mahkamah al-Askariyah) dengan hakimnya adalah qadhi al-

‘askar atau qadhi al-jund. Posisi ini sudah ada sejak zaman Sultan Shalahuddin

Yusuf bin Ayub. Tugasnya adalah menghadiri sidang-sidang di Dar al-Adl,

terutama ketika persidangan tersebut menyangkut anggota militer atau tentara.29

5. Badan Arbitrase

27

Athiyah Musyrifah, al-Qadha fi al-Islam, hlm. 174.

28 Teuku Muhammad Hasbi as-Shiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang:

PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm 64

29 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Indonesia, hlm. 166.

Page 61: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

52

Pada masa ini, di samping Lembaga Pengadilan, ada juga hakam-hakam

(badan arbitrase) yang memutuskan perkara antara orang-orang yang mau

menyerahkan perkara-perkara kepadanya atas dasar kerelaan kedua belah pihak.

Nazhab tahkim ini, dibenarkan oleh Islam. Undang-undang modern pun telah

banyak mengambilnya. Tahkim dalam pegertian bahasa arab berarti

“Menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu” dalam

pengertian istilah tahkim adalah “dua orang atau lebih yang mengtahkim kepada

seseorang diantara mereka untuk diselesaikan sengketa dan diterapkan hukum

syara‟ atas sengketa mereka itu‟. Maka kedudukan tahkim lebih rendah dari

kedudukan peradilan. Karena hakim berhak memeriksa saling gugat yang tak

dapat dilakukan oleh seorang muhakkam.30

6. Tempat Persidangan, waktu dan pakain untuk hakim

Persidangan-persidangan pengadilan pada masa Abbasiyah dilaksanakan

di suatu majelis yang luas, yang memenuhi syarat kesehatan dan dibangun di

tengah-tengah kota, dengan menentukan pula hari-hari yang dipergunakan untuk

persidangan memeriksa perkara. Para hakim tidak dibenarkan memutuskan

perkara di tempat-tempat yang lain. Dan dalam waktu yang sama diadakan

beberapa perbaikan, seperti menghimpun putusan-putusan secara teliti dan

sempurna. Bagi para qadhi atau ulama‟ memiliki pakaian khusus dalam

melaksanakan persidangan, hal ini mulai terjadi pada masa khalifah Harun al-

Rasyid, dengan maksud untuk membedakan mereka dengan rakyat umum. Dalam

pelaksanaannya para qadhi mempunyai beberapa orang pembantu atau pengawal

30

http://riau.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=10120.html. Diakses pada tanggal 3

Juli 2015.

Page 62: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

53

khusus yang mengatur waktu berkunjung dan waktu pengajuan perkara dan

meneliti dakwaan-dakwaan mereka.31

Persidangan dilakukan di gedung tengah kota dengan hari persidangan

yang sudah ditentukan. Pada hari raya atau hari-hari besar tidak ada persidangan.

Keputusan yang dijatuhkan pada hari selain hari-hari yang ditentukan dipandang

tidak sah.32

Saat mengadili para hakim memakai pakaian khusus (jubah dan surban

hitam sebagai lambang dari Daulah Abbasiyah), berwibawa dan memiliki

pengawal khusus yang mengatur pengajuan perkara serta meneliti dakwaan-

dakwaan mereka.33

Pada masa ini pengadilan sudah memiliki gedung khusus dan sudah mulai

memerhatikan administrasi peradilan, seperti adanya penetapan hari sidang dan

adanya semacam panitera menurut Ibnu Khaldun, pada masa itu telah diadakan

pembukuan putusan secara sempurna dan pencatatan wasiat dan utang.34

7. Muculnya Mazhab-Mazhab

Pada masa Abbasiyah tepatnya pada masa khlifah Al-Manshur dari

Khalifah Abbasiyah merintahkan para ulama untuk menyusun kitab tafsir dan

hadits. Kemudian lahirlah mazhab-mazhab dalam bidang fiqh pada pertengahan

abad kedua hijriyah yaitu Abu Hanifah (w. 150 H) yang dikenal dengan tokoh

Ahlul Ra’yi di Iraq. Kemudian Imam Malik bin Anas (w.179 H) di Hijaz sebagai

31

Teuku Muhammad Hasbi as-Shiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam, hlm. 62.

32 Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 160.

33 A. Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 236.

34 Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 160.

Page 63: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

54

ulama Madinah dari kalangan Muhadditsin dan fuqoha‟. Kemudian Imam

Muhammad bin Idris Al-Syafi‟i (w.204 H) dari Makkah dan Madinah hingga

markaz keilmuan di Bagdad Iraq kemudian ke Masjid Jami‟ Amru bin Ash di

Mesir untuk meletakkan dasar-dasar Ushul Fiqh Islam dan Qa‟idah-Qa‟idah

Ijtihad. Kemudian dari Madrasah Ahlul Muhadditsin dan halaqah Al-Syafi‟i lahir

pula Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) yang ahli dalam bidang fiqh dan hadits.

Khalifah Abu Ja‟far al-Mansur sangat menjunjung tinggi kebebasan berpikir,

sehingga terutama di Bagdad, pergerakan ilmu pengetahuan sangat berkembang

pesat. Pembukuan hadits sudah dimulai masa Umar bin Abdul Aziz, kemudian

pada masa itu khalifah selanjutnya menganjurkan kepada ulama untuk

membukukan berbagai ilmu pengetahuan. Masa ini lahirlah istilah-istilah fikih

dan lahir pula mazhab-mazhab fikih.35

Mengingat bahwa mazhab-mazhab sudah berkembang sangat pesat,

kemudian para hakim tidak lagi memiliki ruh ijtihad sementara telah berkembang

mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hanbali, maka para hakim diperintahkan

memutuskan perkara sesuai dengan mazhab-mazhab yang dianut para penguasa,

atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq umpanya para hakim memutuskan perkara

dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Magribi para hakim memutus perkara

dengan mazhab Maliki, dan di Mesir para hakim memutus perkara dengan

Mazhab Syafi‟i. Dan apabila yang berperkara tidak menganut mazhab sesuai

35

Hasan Mukhtar, Tanzhim al-Qadh, (Riyadh: Al-Mathba‟ah Al „Arabiyah Al-Su‟udiyah,

1983), hlm. 241.

Page 64: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

55

dengan mazhab hakim, maka hakim menyerahkan putusan atau pemeriksaan

perkara kepada hakim yang semazhab dengan yang berperkara itu.36

Dan terkadang pada daerah-daerah yang luas dan penduduknya heterogen

dari segi aliran-aliran mazhab, maka hakim yang diangkatpun ada yang berasal

dari mazhab Hanafi, ada yang berasal dari mazhab Syafi‟i, ada yang berasal dari

mazhab Maliki, dan ada yang berasal dari mazhab Hanbali dan bahkan ada yang

berasal dari mazhab Ismaili. Dan bahkan lebih daripada itu seperti mazhab Syi‟ah,

Auza‟i, Daud az-Zhahiri, Ath-Thobari, dan lain sebagainya. Sehingga yang terjadi

adalah apabila ada dua pihak yang berperkara yang bukan dari pengikut mazhab

yang termasyur di negeri itu, maka tunjuklah seorang qadhi yang akan

memutuskan perkara itu sesuai dengan mazhab yang diikuti oleh kedua belah

pihak yang berperkara. Sehingga pada pemerintahan Harun al-Rasyid di bentuk

suatu jabatan penting dalam pemerintahannya yang disebut dengan Qadhi al-

Qudhat’ (Hakim Agung).37

Berkembangnya mazhab-mazhab karena adanya dukungan penguasa.

Misalnya, mazhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu

Hanifah diangkat menjadi qadhi dalam tiga masa pemerintahan Abbasiyah, yaitu

al-Mahdi, al-Hadi, dan Harun ar-Rasyid. Mazhab Maliki berkembang atas

dukungan al-Mansur di khilafah Timur. Ketika Yahya bin Yahya diangkat

menjadi qadhi oleh penguasa Andalusi, di Afrika, Muiz Badis mewajibkan

36

T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: Pustaka

Riski Putra, 1997), hlm. 241.

37 Mahmud Salam Madkur, al-qadha’ fi al-Islam, (alih bahasa Imron AM), (Surabaya:

Bina Ilmu, 1990), hlm. 49.

Page 65: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

56

seluruh penduduk mengikuti mazhab Maliki. Sedangkan mazhab syafi‟i

membesar di Mesir setelah Shalahuddin al-Ayubi merebut negeri itu. Mazhab

Hanbali menjadi kuat setelah al-Mutawakkil diangkat menjadi khalifah. Ketika itu

Mutawakkil tidak akan mengangkat seseorang qadhi kecuali atas persetujuan

Ahmad bin Hanbal.38

Perkembangan selanjutnya adalah pada masa pemerintahan Sultan Al-

Zahir Baybars (665 H/ 127 M), di mana ia membentuk sistem peradilan yang

menggabungkan antara empat mazhab besar dan dikepalai oleh masing-masing

Hakim Agung. Untuk Hakim Agung mazhab Imam Syafi‟i, mempunyai keudukan

yang lebih tinggi dari yang lain. Karena selain menangani urusan yuridiksinya,

juga diserahi tanggung jawab mengawasi penyantunan anak yatim piatu,

perwakafan, dan menangani masalah baitul mal. Sedangkan Hakim Agung yang

lain mengurusi peradilan dan fatwa bagi rakyat dari masing-masing mazhabnya.

Dengan demikian pada masa ini Hakim Agung tidak hanya memiliki tugas

memutus perkara pada tingkat kasasi, akan tetapi memiliki tugas-tugas lain di luar

yuridiksinya,39

bahkan dapat memegang sampai tujuh jabatan sekaligus.40

Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa secara umum mazhab

yang empatlah yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai Dinasti Abbasiyah

sampai dengan sekarang ini. Dan oleh karena itu pulalah maka masa Abbasiyah

ini dikenal dalam sejarah sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada masa ini

38

Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 157.

39 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam bingkai Reformasi hukum di Indonesia,

(Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 153.

40 Jabatan tersebut adalah katib, al-sirr, nazir, nazir al-auqof, syaikh, syahid, mu’id,

mudarris, imam, khatib, dan muqri’.

Page 66: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

57

pulalah disusun ilmu Ushul Fiqh untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam

menggali hukum dari al-Qur‟an dan al-Sunnah. Perlu menjadi catatan bahwa para

hakim pada masa ini dalam memutuskan perkara berdasarkan atas mazhab-

mazhab yang dianut oleh hakim dan masyarakat, dan apabila ada masyarakat yang

berperkara tidak sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim tersebut

menyerahkannya kepada hakim yang lain yang semazhab dengan yang

berperkara.

D. Kasus Hukum Masa Abbasiyah

Dalam catatan sejarah, al-Mansur khalifah Abbasiyah yang mempunyai

nama Abu Ja‟far menyuruh pengawalnya membunuh Abu Muslim al-Khurasani

dan Sulaiman bin Katsir. Al-Manshur juga menangkap pemimpin-pemimpin

kelompok Rawandiyah dan memenjarakan 200 orang pengikut kelompok

tersebut.41

Masa pemerintahan Khalifah al-Mahdi memutar balik jarum jam, ia

memulai pemerintahannya dengan membebaskan semua tahanan kecuali yang

dipenjara menurut Undang-undang. Ia juga memerhatikan pengaduan dan

penganiayaan. Miswar bin Musawir menceritakan bahwa ia telah dianiaya oleh

seorang pegawai al-Mahdi yang merampas kebunnya. Ia mengadukan perkara

tersebut kepada al-Mahdi sehingga kebun tersebut dikembalikan kepadanya. Al-

Mahdi juga mengembalikan harta-harta yang dirampas oleh ayahnya, al-Mansur,

kepada pemiliknya masing-masing sesuai pesan ayahnya sendiri dan membatalkan

pemungutan pajak. Al-Mahdi telah mengadili pengaduan, menghentikan

pembunuhan, memberi jaminan kepada pihak yang bimbang dan takut, dan

41

A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, hlm. 73

Page 67: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

58

membela pihak yang teraniaya. Al-Mahdi mengadili dan menghukum Ya‟kub bin

Daud (menteri pengganti Abu Abdullah) yang akhirnya dipenjara sepanjang masa

pemerintahannya, menghukum Isa bin Musa.

Pada masa pemerintahan al-Ma‟mun (813-833 M), putra dari Khalifah

Harun al-Rasyid (766-809 M) pada tahun 827 M menjadi kan teologi Mu‟tazilah

sebagai mazhab yang resmi dianut negara. Karena menjadi aliran resmi dari

pemerintah, kaum Mu‟tazilah mulai bersikap menyiarkan ajaran-ajaran mereka

secara paksa, terutama paham mereka bahwa al-qur‟an bersifat makhluk dalam arti

diciptakan dan bukan bersifat qadim dalam arti kekal dan tidak diciptakan.42

Kaum Mu‟tazilah telah mendukung khalifah menentang ahl as-sunnah dan ulama-

ulama hadits dalam perkara ini. Masalah ini berlanjut sampai masa pemerintahan

al-Mutawakkil. Banyak korban karena masalah ini. Baik yang dibunuh maupun

yang dipenjara.

Raja Musa bin Jenghis Khan memenjarakan tiga orang yang masih

bersaudara dan membebaskannya karena kesaksian yang diberikan oleh seorang

wanita. Nama-nama hakim ketika itu adalah Abi laila, Yahya bin Aktsan at-

Tamimi, Ahmad bin Abu Daud al-Mu‟tazili, Abu Yusuf, Abu Walid.43

Dari uraian di atas beberapa kasus hukum yang terjadi pada masa

Abbasiyah tampak sekali khalifah pada masa ini juga menjadi qadhi

menyelesaikan permasalah yang ada pada masa kepemimpinannya menjadi

khalifah.

42

Harun Nasutio, Teologi Islam: aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, cet. 5,

(Jakarta: UI-Press, 1986), hlm 10.

43 Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 163.

Page 68: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

59

E. Pembuatan Undang-undang

Ide pembuatan Undang-undang pada masa Abbasiyah dicetuskan oleh

Ibnu Muqaffa (wafat 144 H), beliau mengirimkan surat kepada Abu Ja‟far al-

Mansur, memohon agar di buatkan satu undang-undang yang diambil dari

Alquran dan Sunnah untuk seluruh rakyat, dan bagi perkara yang tidak ada

ketentuan nashnya maka di ambil dari pendapat yang memenuhi tuntutan keadilan

dan kemashlahatan umat. Hal ini di tanggapi oleh Khalifah dan meminta agar

Imam Malik menolak dan berkata, “Sesungguhnya setiap umat memiliki ikutan

ulama-ulama salaf dan mazhab-mazhab.”44

Pada tahun 163 H, khalifah sekali lagi mengajukan kepada Imam malik.

Namun tetap ditolak. Begitu juga Harun ar-Rasyid mengajukan pikiran yang

serupa kepada Imam Malik, namun tetap ditolak. Imam Malik berkata,

“sesungguhnya sahabat Nabi SAW berbeda dalam furu’ dan berserakan di

berbagai negeri dan masing-masing dari mereka adalah benar.”45

Uraian di atas menunjukkan bahwa Ibnu Muqawwafa menginginkan ada

satu peraturan yang terkodifikasi yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, dan

perkara yang tidak ada ketentuan nashnya maka di ambil dari pendapat yang

memenuhi tuntutan keadilan dan kemashlahatan umat, namun ide pembuatan

undang-undang tersebut di tolak oleh iman Malik. Ini menunjukkan bahwa setiap

perkara yang ada harus merujuk pada Alquran dan sunnah dan perkara yang tidak

ada ketentuan nashnya maka di ambil dari ijtihad para ulama dari masing-masing

imam mazhab.

44

Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 164.

45 Muhammad Salam Madzkur, al-Qadha fi al- Isla, hlm. 1434.

Page 69: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

60

BAB IV

MANAJEMEN HAKIM DI MASA ABBASIYAH

A. Pengangkatan dan Pengaturah gaji Hakim

1. Pengangkatan Hakim

Sudah menjadi satu kepastian bila masyarakat memerlukan penguasa yang

menertibkan (pergaulan di antara mereka), mengatur, dan memelihara

kenyamanan hidup mereka. Pemerintah tidak mungkin mampu menangani

masyarakat sehingga diperlukan pembantu-pembantu yang melaksanakan beban-

beban pemerintah. Mereka melaksanakan sesuai dengan bidangnya masing-

masing, diantaranya lembaga peradilan. Untuk itu diperlukan pejabat yang

memangku lembaga tersebut sehingga mengangkat hakim hukumnya wajib.1

Abu Bakar bin Mas‟ud dalam Bada’i al-shanai’ sebagaimana dikutip T.M

Hasbi ash Siddieqy mengatakan: ” Mengangkat qadhi adalah suatu fardhu, karena

mengangkat qadhi itu adalah untuk menyelesaikan suatu urusan fardhu, yakni

kehakiman. Kehakiman itu adalah lembaga yang menyelesaikan perkara umat di

bidang hukum. Sementara itu, jumhur ulama berpendapat membentuk lembaga

peradilan dan mengangkat qadhi itu hukumnya fardhu kifayah.2

Pada masa Khilafah Bani Abbasiyah, khususnya pemerintahan Harun ar-

Rasyid, telah terbentuk satu jabatan peradilan baru yaitu Qadhi Qudhat (sekarang

Sama dengan Mahkamah Agung), hakim agung diangkat oleh kepala negara, dan

diberi hak mengangkat pejabat-pejabat peradilan bagi yang dipandang mampu,

baik dari pusat maupun daerah. Ada satu pendapat mengatakan bahwa Qadhi

1 Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 26.

2 Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 116

Page 70: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

61

Qudhat tidak boleh mengangkat ayahnya sendiri atau anaknya, ada juga yang

berpendapat boleh apabila ayah atau anak yang diangkat tersebut memenuhi

syarat karena wewenang mengangkat tidak ada pengecualian (berlaku umum), dan

qadhi qudhat juga diberikan wewenang memecat pejabat bawahannya. Dengan

demikian juga, setiap hakim diberikan hak mengundurkan diri dari jabatan yang

dipangkunya apabila hal itu dipandang membawa maslahat.3

Pada masa Abbasiyah pengangkatan qadhi dilakukan oleh khalifah,

misalnya Abi Laila adalah qadhi yang diangkat oleh Khalifah al-Mansur. Namun,

pada masa Harun al-Rasyid, khalifah hanya mengangkat seorang yang dianggap

cakap dan mampu sebagai qadhi sekaligus qadhi al-qudhah, yang selanjutnya

berwenang mengangkat qadhi pada peradilan provinsi dan kota. Orang yang

pertama mendapatkan kesempatan sebagai qadhi qudhah adalah Abu Yusuf 4,

muridnya Abu Hanifah.5 Ia seorang ahli fiqih pengikut mazhab Hanafi karenanya

ketika itu ia diangkat dengan ketentuan dan memutus kasus berdasarkan hukum

mazhab Hanafi. Berdasarkan fakta syariat, itulah di antara faktor yang

menyebabkan tersebarnya mazhab Hanafi.6 Ini menunjukkan bahwa sistem

pengangkatan qadhi dilakukan oleh Khalifah baik qadhi al-qudhah di pusat

maupun di daerah.

3 Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm 29.

4 Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya‟qub bin Ibrahim lahir pada 113 H/ 731 M, dan

meninggal pada 182 H/ 798 M. Selanjutnya baca Abu Bakar al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, Juz

II, (Beirut: Dar al-Fikr, th), hlm. 337.

5 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, terj. Mukhtar Yahya, (Jakarta: Pustaka al-

Husna Jakarta, 1998), cet. V, hlm. 24.

6 Basiq Dajali, Peradilan Islam, hlm. 30.

Page 71: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

62

Dan bagaimanapun keadaannya, yang qadhi harus diangkat oleh penguasa

pemerintah presiden atau wakilnya. Seorang qadhi tidak boleh mengangkat

dirinya sendiri dan tidak boleh juga mengangkat orang lain untuk menjadi hakim

karena hak mengangkat hakim hanya untuk penguasa (presiden/wakil).

Seandainya seluruh penduduk negeri berkumpul lalu memilih seseorang untuk

diangkat sebagai hakim tidaklah orang tersebut bisa menjadi seorang hakim.7

2. Pengaturan Gaji Hakim

Sebuah keharusan bagi seorang hakim untuk memberi pehatian penuh

pada tugas-tugasnya sebagai hakim dan dia juga harus menghindarkan dirinya

sendiri dari keraguan akan integritas dan tindakannya dalam menegakkan

keadilan. Seorang hakim juga harus membuat dirinya dan anggota keluarganya

untuk tidak mengkhawatirkan tentang kehidupan mereka. Seorang hakim yang

mendapatkan gaji yang cukup tentu akan sanggup menghindarkan diri dari

keterlibatan dalam aktivitas bisnis sehingga tidak akan ada kekacauan dalam

pekerjaannya yang dapat membahayakan keadilan yang harus ditegakkannya. Jika

gaji hakim yang tinggi tidak dapat dipenuhi oleh negara, maka menurut beberapa

ahli hukum, hanya orang-orang yang kaya saja yang boleh ditunjuk sebagai

hakim. pendapat ini ditulis dalam surat Umar bin Khattab r.a yang ditunjukkan

pada beberapa gubernurnya: “Tunjuklah seorang hakim dari golongan orang-

orang kaya dan terhormat. Orang kaya tidak akan mempunyai nafsu untuk

memiliki kekayaan orang lain. Sementara orang dari keluarga terhormat tidak

akan pernah takut akan akibat dari keputusannya”. 8

7 Basiq djalil, Peradilan Islam, hlm. 28.

8 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajin dalam

Sistem Peradilan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007) hlm. 63.

Page 72: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

63

Umar bin Khattab r.a selalu membayar hakim dengan gaji yang tinggi

sehingga mereka menjadi cukup kaya dan terhindar dari tindakan suap menyuap

atau menerima hadiah. Sebagai contoh, ketika Muawiyah bin Abi Sufyan ditunjuk

menjadi gubernur Syiria, beliau mendapat gaji 1000 Dirham tiap tahun. Sementara

itu, Uthman Ibnu Hanif, yang menjadi kepala keuangan di Irak, mendapat gaji

sebanyak 5000 dirham tiap tahun. Demikian juga dengan Abu Musa Al-Ash‟ari,

gubernur dan ketua pengadilan di Basrah di gaji sebanyak 6000 Dirham.9

Beberapa hakim dan gubernur mendapat gaji setiap bulan. Seperti Ammar

bin Yasir, Gubernur Kufah, digaji sebanyak 600 dirham tiap bulan. Salman bin

Rabi‟ah al-Bahli, hakim terkemuka dari Al-Qadhisiyah, digaji 100 Dirham tiap

bulan.10

Pada masa Abbasiyah, perkembang ekonomi umat Islam semakin baik

sehingga hakim yang pada masa Umayah menerima 10 dinar kini memperoleh 30

dinar. Puncaknya ada masa keemasan Abbasiyah saat Al-Makmun menjadi

Khalifah. Gaji Isa bin Munkadir sebagai hakim di Mesir mencapai 1000 Dinar

perbulan. Jika benar apa yang dikatakan oleh Muhaimin Iqbal dalam Dinar The

Real Money hlm 29, bahwa 1 dinar = 4,25 gr emas 22 Karat = Rp. 425.000;

(sesuai harga emas 22 karatper-satu gramnya) maka 4,25 gr emas 22 karat = Rp.

1. 806.250; jadi 1000 dinar jika di konversikan ke bentuk rupiah sebesar Rp.

1.806.250.000; (satu milyar delapan ratus enam juta dua ratus lima puluh ribu

rupiah). Suatu penghargaan bagi hakim dengan jumlah gaji yang cukup besar.

Tingginya gaji hakim masa Abbasiyah karena kedudukan peradilan saat itu bukan

9 Al-simnani, Ali Bin Mohammas Bin Ahmad, Rodhat al-Qudhat, (Baghdad: Matbaat

As‟ad, 1970), hlm. 86

10 Al-simnani, Ali Bin Mohammas Bin Ahmad, Rodhat al-Qudhat, hlm. 37.

Page 73: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

64

hanya menyelesaikan perkara-perkara sengketa, namun juga memelihara hak-hak

umum, memperhatikan anak-anak dibawah umur, orang yang tidak cakap

bertindak secara hukum seperti anak yatim, orang gila, orang pailit, dan

sebagainya. Mengurus harta-harta wasiat, wakaf, dan masih banyak lainnya.

Menurut Ibn Umus dalam Tarikh al-Qadha fil Islam, gaji tinggi yang diperoleh

hakim masa itu ternyata bukan saja beban kerja mereka yang cukup berat, namun

ternyata lantaran putusan hakim harus disesuaikan dengan keinginan pemerintah.

Atas dasar itulah para ulama banyak yang menolak menjadi hakim sebagai contoh

adalah Imam Abu Hanifah menolak jabatan hakim tersebut pada masa Abu Ja‟far

al-Manshur.11

Dalam catatan sejarah diketahui bahwa hakim mendapatkan kesejahteraan

yang harus membaik dari negara, seperti qadhi Suraih yang bertugas di Kufah

menerima gaji 100 dirham sebulan (pada masa Umar), kemudian di naikkan

menjadi 500 dirham pada masa Ali bin Abi Thalib, seterusnya naik menjadi 10

Dinar pada masa Umayyah. Bahkan gaji hakim naik 30-1000 Dinar pada masa

keemasan Dinasti Abbasiyah.12

Jadi kesimpulan menurut penulis untuk menjamin kebersihan hakim itu

pulalah sebabnya khalifah menganjurkan untuk mengangkat hakim dari kalangan

orang kaya dengan maksud supaya terbebas dari keinginan menguasai harta

rakyat.

11

Budi Julian, “Hakim: Antara Profesionalitas dan Kesejahteraan”, artikel diakses pada

10 Juni 2015 dari http://iailangsa.ac.id/berita-698-hakim-antara-profesionalisme-dan-

kesejahteraan.html

12

Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan ddan Adat dalam Islam , alih bahasa

Asmuni Solihan Zamakhsyari, (Jakarta: khalifah , cet, ke-1, 2004) , hlm. 355.

Page 74: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

65

B. Sumber Hukum Hakim

Menurut kitab fiqh, landasan yang harus digunakan sebagai putusan hakim

adalah nash-nash dan hukum yang pasti (qath’i tsubut wa ‘adalah) dari Alquran

dan sunnah, dan hukum-hukum yang telah di sepakati oleh ulama (mujma’

‘alaih), atau hukum yang telah dikenal dalam agama secara dharuri (pasti).

Apabila perkara yang diajukan ke hadapan hakim itu terdapat hukum dalam nash

(qath’i dalalah), atau terdapat ketentuan hukum yang disepakati oleh ulama, atau

ketentuan hukumnya telah diketahui secara dharuri oleh kaum muslimin,

kemudian hakim memutuskan dengan putusan yang menyalahi hal tersebut maka

putusan itu batal dan berhak dibatalkan.13

Di samping Al-qur‟an dan hadits, sumber hukum yang banyak digunakan

oleh hakim kala itu adalah yurisprudensi atau preseden hukum yang ditinggalkan

oleh hakim-hakim sebelum masa Dinasti Abbasiyah. Tidak di pungkiri hakim-

hakim masa Dinasti Umayah telah memutus berbagai persoalan baik yang ada

ketentuannya dalam nash maupun yang belum. Keputusan-keputusan itu bisa jadi

rujukan bagi hakim masa Abbasiyah. Hakim-hakim masa Dinasti Abbasiyah

semakin berkembangnya pemikiran hukum yang digagas oleh para imam Mazhab,

semakin memperkaya rujukan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara di

sidang-sidang pengadilan yang mereka jalani. Banyak sekali hasil pemikiran

mujtahid itu baik dalam bentuk Metodologi (Ushul Fiqh), maupun hasil (fiqh)

dapat dijadikan sebagai sumber hukum bagi peradilan. Perlu juga dicatat bahwa

hakim kala itu disampng memiliki keahlian dalam memeriksa dan memutus

13

Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 79.

Page 75: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

66

perkara, mereka juga fuqaha yang ahli baik dalam epistimologi hukum Islam

maupun ilmu-ilmu yang lainnya.14

Hakim memiliki kebebasan untuk melakukan interpretasi terhadap teks

yang masih ‘am, mutlaq, yang memerlukan penafsiran hukum. Khalifah tidak

berhak membatasi kebebasan pemikiran hakim tersebut dan tidak ada satu fuqaha

ataupun mujtahid yang bisa melarang seorang hakim berijtihad atau memberi

fatwa terhadap sesuatu perisiwa hukum yang diajukan kepadanya kebebasan itu

akhirnya memang berwujud pada kompleksitas teks hukum yang dijadikan

sebagai rujukan atau dasar putusan dalam lingkungan peradilan. Akibatnya tidak

ada kepastian hukum karena seorang yang mencari keadilan kadang harus

menghadapi sidang yang hakim dan rujukan sumber hukumnya tidak sama dengan

mazhab yang dianut oleh si pencari keadilan itu. Dalam rangka menghindari

pengulangan pemeriksaan perkara yang sama atau yang pernah diajukan dalam

rangka mencari kepastian hukum, keputusan-keputusan itu lantas diregistrasi oleh

pengadilan. Orang yang pertama kali melakukan pencatatan putusan pengadilan

itu adalah Salim bin Anas, hakim Mesir yang kala itu menemui perkara yang

sudah diputusnya namun diajukan lagi kepadanya. 15

C. Kewenangan Hakim

Perbedaan masa Abbasiyah dengan masa sebelumnya adalah ketika masa

Khulafa‟ al-Rashidin dan masa Ummayah mereka memegang kekuasaan

Yudikatif dan ekskutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam

14

Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2011), hlm. 125.

15 Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 126.

Page 76: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

67

urusan peradilan. Dalam artian khalifah tidak lagi mengurus dan memeriksa

perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam ke pengadilan. Setiap perkara

yang masuk ke pengadilan, maka para hakim yang ditunjuk oleh khalifah-lah yang

akan mengusut perkara tersebut. Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa pada

saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan persoalan politik,

baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga tidak memiliki kesempatan lagi

untuk membina peradilan secara langsung. Sehingga yang terjadi adalah khalifah

tidak lagi memiliki kemampuan ijtihad dan keahlian dalam hukum Islam

sebagaimana keahlian yang dimiliki oleh Khulafa‟ al-Rasyidin yang disamping

sebagai seorang khalifah juga seorang ahli hukum.16

Pada awalnya khalifah Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan

yang dijatuhkan oleh peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya karena

berbagai faktor campur tangan itu akhirnya ditinggalkan. Khalifah akhirnya hanya

membuat regulasi yang sifatnya umum dan formalitas belaka, seperti

pengangkatan hakim-hakim daerah yang setiap hakim itu pada akhirnya memiliki

otorita dan independenitas yang tinggi.17

Jika di masa-masa yang telah lalu, batas wewenang hakim begitu luasnya,

maka dalam masa ini bertambah lagi. Dalam masa ini, hakim-hakim itu di

samping memperhatikan urusan-urusan perdata, bahkan juga menyelesaikan

urusan wakaf, dan menunjukkan pengampu (kurator) untuk anak-anak di bawah

umur. Bahkan kadang-kadang para hakim ini diserahkan juga urusan-urusan

16

Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 123.

17 Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 121.

Page 77: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

68

kepolisian, penganiayaan (mazalim) yang dilakukan oleh penguasa, qishas,

hisbah, pemalsuan mata uang dan bait al-mal (kas negara). Salah seorang hakim

yang terkemuka pada saat itu adalah Yahya ibn Aktsam ash-Shafi yang diangkat

oleh al-Makmun.18

Perkembangan kekuasaan kehakiman pada masa dinasti Abbasiyah

mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid (170-193 H). Ia

mengangkat Ya‟qub bin Ibrahim al-Anshari yang dikenal Abu Yusuf sebagai

kepala qadhi al-qudhah (hakim agung) yang diberi tugas untuk menangani

perkara-perkara di peradilan umum dan diwan al-madzalim.19

Adapun wewenang qadhi al-qudhah ada delapan, yaitu sebagai berikut:

a. Mengangkat qadhi.

b. Memecat qadhi.

c. Menyelesaikan qadhi yang mengundurkan diri.

d. Mengurusi hal ihwal qadhi.

e. Meneliti putusan-putusan qadhi dan meninjau kembali putusan-putusan

tersebut.

f. Mengawasi tingkah laku qadhi di tengah-tengah masyarakat.

g. Mengawasi administrasi dan pengawasan terhadap fatwa.

h. Membatalkan suatu putusan hakim.20

18

Teuku Muhammad Hasbi as-Shiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam, hlm. 64.

19 Muhammad ibn Ahmad ibn Iyas, Badai az Zuhur fi Waqa’I ad Duhur, Muhhamad

Mustafa (ed), (Kairo: al Ha‟iah al Misriyyah al „Ammah li al Kitab, 1403/1983), Jilid I. Hlm. 825.

20

A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, hlm. 29.

Page 78: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

69

Hakim agung juga memiliki kewenangan untuk mengangkat hakim-hakim

yang ditetapkan di seluruh provinsi. Demikian juga pada masa pemerintahan

Sultan az-Zahir Bibars (665 H/1267 M), di mana ia membentuk sistem peradilan

yang menggabungkan empat mazhab besar yang dikepalai oleh masing-masing

hakim agung. Untuk hakim agung mazhab Syafi‟i mempunyai kedudukan yang

lebih tinggi dari yang lainnya. Karena selain menangani urusan yurisdiksinya,

juga diserahi tanggung jawab mengawasi penyantunan anak yatim piatu,

perwakafan, dan menangani masalah baitul mal. Sedangkan hakim agung yang

lain mengurusi peradilan dan fatwa bagi rakyat dari masing-masing mazhabnya.21

Jika dilihat dari kewenangannya, hakim agung pada masa itu tidak hanya

menangani persoalan-persoalan yuridis saja, kewenangan lain diluar yurisdiksinya

pun dimiliki. Bahkan menurut Carl F. Petry, hakim agung pada masa tersebut

memegang 3 sampai 7 jabatan sekaligus.22

Dengan demikian, pada masa ini hakim Agung tidak hanya memiliki tugas

memutus perkara pada tingkat kasasi, akan tetapi juga memiliki tugas-tugas lain di

luar yurudiksinya, bahkan sampai memegang tujuh jabatan sekaligus.

Jabatan hakim di tingkat yang lebih rendah, di mana di samping dapat

memegang seluruh jabatan administrasi juga di lingkungan militer. Meskipun

demikian, kedudukan dan kewenangannya kuat, ia berpegang teguh pada syariat

21

Amany Lubis, Sistem Pemerintahan Oligarki dalam Sejarah Islam, (Jakarta: UIN

Jakarta Press, 2005), hlm 138.

22

Carl F Petry The Civilian Elite of Cairo in The Latter Middle Ages, sebagaimana di

kutip Jaenal Arifin Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2008), hlm 159.

Page 79: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

70

tanpa dapat dipengaruhi oleh siapapun. Bahkan karena kuatnya kedudukan dan

besarnya kewenangan yang dimilikinya, hakim agung dapat memberhentikan

pejabat negara. Namun demikian karena kuatnya kedudukan dan besarnya

kewenangan yang dimiliki, independensi dan kemandirian kekuasaan kehakiman

terutama qadhi al-qudhah yang semula kuat kemudian dikebiri. Para amir atau

sulthan dinasti Mamluk merasa terancam kekuasaannya, mengingat para hakim

sering menentang kebijakan amir yang dianggap tidak adil atau tidak sesuai

dengan syariat Islam. Oleh karena itu, mereka melakukan apa saja yang sekiranya

dapat melemahkan kekuasaan hakim agung dan membatasi kewenangannya.23

Perubahan lain yang terjadi pada masa dinasti Abbasiyah adalah para

hakim tidak lagi berijtihad dalam memutuskan perkara, tetapi mereka sudah

berpedoman pada kitab-kitab mazhab. Dengan demikian menurut Alaiddin Kotto,

syarat hakim harus mujtahid harus ditiadakan.24

D. Pemecatan dan Penggantian Hakim

Pada masa Abbasiyah pemecatan dan penggantian hakim tiap mazhab

saling berbeda pendapat, menurut mazhab Syafi‟i, pemerintah mempunyai hak

memberhentikan hakim yang ia angkat apabila ada sebab yang

mengkehendakinya, dan tidak dibenarkan tindakan pemberhentian tanpa ada

sebab. Hal itu dikaitkan dengan kemaslahatan kaum muslim dan hak umat, tidak

dibenarkan tindakan pemecatan terhadap hakim yang tidak bersalah karena hal itu

23

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,

hlm. 154.

24 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 124.

Page 80: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

71

disamakan dengan wakalah (perwakilan) apabila berhubungan dengan hak orang

lain. 25

Ada pendapat bahwa pemerintah boleh memecat hakim tanpa ada

kesalahan, berdasarkan satu riwayat bahwa Ali bin Abi Thalib pernah mengangkat

Abu al-Aswad (sebagai hakim) kemudian dipecat. Lalu Abu al-Aswad bertanya,

“mengapa aku engkau pecat, padahal aku tidak berkhianat dan tidak melakukan

tindakan kesalahan?” Ali menjawab, sesungguhnya aku melihat ketinggian

ucapanmu pada pihak yang berperkara.” Karena penguasa berhak memecat

pejabat bawahannya, termasuk juga para hakim. Waktu berlakunya pemecatan

adalah sejak ia (hakim yang dipecat) mengetahui pemecatan dirinya. Abu Yusuf

berkata, “berlakunya pemecatan itu adalah sejak penggantinya diangkat.”

Sebagaimana hakim boleh mengundurkan diri, waktu berlakunya pengunduran

diri itu sejak ia meninggalkan tugasnya.26

Menurut pendapat Jumhur, hakim yang mengundurkan diri tidak langsung

lepas dari tugasnya sampai diangkat pejabat baru. Sebab, tidak seorang pun dapat

membatalkan suatu hak dan menurut satu pendapat dikatakan bahwa hakim yang

demikian itu belum lepas kewajibannya selama hal pengunduran dirinya belum

diketahui oleh pihak yang mengangkatnya. Hal ini bila qiyaskan dengan pendapat

Abu Yusuf. Selama surat pemcatan itu belum disampaikan, segala putusan yang

pernah ia putuskan tetap sah, dan dapat dilaksanakan selama pengunduran dirinya

itu belum diterima (secara resmi). Dan bila seorang hakim meninggal dunia atau

25

Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 28.

26 Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 28.

Page 81: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

72

dipecat oleh yang tidak berhak memecatnya, tidak diperlukan pengangkatan baru

sebab pada dasarnya ia melaksanakan kekuasaan umum dibidang peradilan dari

umat dan mengadili atas nama umat.27

E. Kemajuan dan Kemunduran Peradilan Era Abbasiyah

Apabila kita lihat dan bandingkan kemajuan-kemajuan khususnya

dibidang peradilan dari era Rasulullah sampai era Abbasiyah, maka akan kita

temukan hal-halseperti di bawah ini:

1. Intervensi Penguasa. Pada masa Abbasiyah sudah ada intervensi negera

pada peradilan dari pihak penguasa. Diantara intervensi itu adalah adanya

pemaksaan mazhab kalam: harus Mu‟tazilah, hingga ada pengadilan

mihnah, dimana orang yang tidak sepaham dengan penguasa bahwa al-

Qur‟an adalah hadits, tidak qadim. Bagi ulama yang bersebrangan, bahkan

menentang pendapat penguasa diberikan hukuman. Salah satu korbannya

adalah Imam Hambali, dimana beliau dipenjarakan dan di cambuk tiap

hari di depan orang.

2. Lahirnya Qadhi al-Qudhat, pada masa Abu Yusuf memerinth. Abu Yusuf

juga menjadikan lembaga peradilan menjadi corong sosialisasi dan

penyebaran Mazhab Hanafiyah. Ia mensyaratkan diangkatnya hakim

dengan menganut mazhab Hanafiyah.

3. Kriteria Hakim. Kalau kriteria hakim pada masa pemerinthan bani

Umayah adalah mujtahid mustaqil (mujtahid independen) maka kriteria

hakim pada masa Abbasiyah tidak lagi mujtahid mustaqil, melainkan

27

Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 29.

Page 82: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

73

cukup dengan kriteria mujtahid fil mazhab, karena susahnya mencari orang

yang memenuhi kriteria semacam itu.

4. Wewenang hakim diperluas bukan hanya masalah perdata tapijuga

masalah pidana.

5. Administrasi Peradilan. Penyempurnaan administrasi dan pembukuan hasil

keputusan hakim, adanya penjara, tahanan. Hakim memakai pakaian

khusus, ada petugas penjaga kelancaran sidang, juru panggil, dan ada

jadwal sidang.

6. Kodifikasi dan Unifikasi Hukum. Pada tahun 120 H ada gagasan

kodifikasi hukum dalam satu buku yang dilontarkan oleh Ibn Muqoffa.

Demikian juga, Harun al-Rasyid pernah “memaksa” imam Malik untuk

menjadikan “Muwattha”nya dijadikan referensi resmi, tetapi menolak.28

Kemunduran Peradilan era Abbasiyah disebabkan beberapa faktor, yakni:

1. Ulama tidak lagi mengambil hukum dari sumbernya yang utama, yakni al-

Qur‟an dan hadits, melainkan beralih ke pendapat-pendapat imam mazhab.

2. Munculnya kejumudan berfikir karena hilangnya semangat ijtihad. Ulama

mengalami frigiditas (dingin, tidak sensitif) akibat kelesuhan berfikir

sehingga tidak mampu menghadapi perkembangan zaman dengan

menggunakan akal fikiran yang sehat dan merdeka sera bertanggung

jawab.

3. Para ulama terdahulu (pendiri mazhab dan pengikutnya) sangat produktif

dan kreatif, hampir seluruh lapangan ijtihad dijajaki sehingga seolah-olah

28

Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Jakarta: Gramata

Publishing. 2010) hlm. 129.

Page 83: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

74

tidak memberikan sisa untuk melakukan ijtihad untuk ulama sesudah

mereka, bahkan ijtihad mereka sudah sampai kepada hal-hal yang belum

ada dan terjadi (fiqh iftiradhi).

4. Munculnya ulama-ulama yang tidak mumpuni (uncapable), yakni orang-

orang yang sebenernya tidak mempunyai kelayakan untuk berijtihad,

namun ia memaksakan diri untuk melakukan ijtihad dan mengeluarkan

produk hukum dan fatwa yang membingungkan masyarakat.

5. Adanya intervensi kekuasaan (Khalifah) yang menganjurkan agar

mengikuti mazhab yang dianutnya. Hal ini sangat besar pengaruhnya

terhadap taklid. Disamping itu, khalifah hanya akan mengangkat qadhi

dan mufti yang semazhab dengannya.

6. Adanya fatwa yang menyatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup, dan

cukuplah dipegang teguh pada ijtihad-ijtihad yang telah dilakukan oleh

ulama terdahulu.

7. Munculnya saling curiga antar pengikut mazhab, bahkan saling menghina

yang tujuannya untuk meninggikan mazhab yang dianutnya dna

merendahkan mazhab yang lainnya.29

29

Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam, hlm. 137.

Page 84: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

75

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang telah di paparkan dapat penulis kemukakan

beberapa kesimpulan, antara lain sebagai berikut:

1. Perbandingan Peradilan Islam dari masa Rasulullah hingga masa

Abbasiyah mengalami perkembang yang berbeda-beda tiap masanya. Pada

masa Rasulullah setiap permasalahan yang ditemui sahabat dalam masalah

hukum mereka langsung menemui Rasul. Masa khulafa al-Rasyidin qadhi

diangkat langsung oleh khalifah kecuali pada masa khalifah Ali diangkat

oleh gubernur, gedung peradilan sudah dibangun. Kekuasaan

pemerintahan dengan peradilan sudah dipisahkan, hakim digaji dengan

dana baitul mal. Masa Umayah belum ada tingkatan lembaga peradilan

atau qadhil qudhat, maka masing-masing hakim berdiri sendiri. Sedangkan

masa Abbasiyah sudah ada qadhil qudhat berwenang mengangkat qadhi

pada peradilan provinsi dan kota.

2. Praktik peradilan pada masa ini, kekuasaan peradilan sangat luas, meliputi

kekuasaan kepolisian, wilayat al-Mazhalim, wilayat al-hisbah,

pengawasan mata uang, dan bait al-mal. Pada masa Abbasiyah sudah ada

intervensi negera pada peradilan dari pihak penguasa dengan cara

pemaksaan mazhab kalam: harus Mu‟tazilah, hingga ada pengadilan

mihnah, dimana orang yang tidak sepaham dengan penguasa bahwa al-

Qur‟an adalah hadits, tidak qadim diberi hukuman.

Page 85: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

76

3. Manajemen hakim masa Dinasti Abbasiyah, sistem peradilan dan

manajemen hakim ternyata jauh sudah lebih modern. Apabila diidentikkan

dengan Indonesia, pada masa Abbasiyh sudah ada Mahkamah Agung dan

Jaksa Agung serta peradilan-peradilan ditingkat provinsi dan

kota/kabupaten. Artinya setiap wilayah sudah memiliki peradilan. Hakim

pada masa Abbasiyah sudah sejahtera dengan jumlah gaji hakim yang

fantastis mecapai 1000 dinar. Penyempurnaan administrasi dan

pembukuan hasil keputusan hakim, adanya penjara, tahanan. Hakim

memakai pakaian khusus, ada petugas penjaga kelancaran sidang, juru

panggil, dan ada jadwal sidang.

B. Saran-saran

Berdasarkan informasi dan data yang penulis dapatkan serta analisi penulis

skripsi ini, maka ada beberapa hal yang ingin disarankan penulis, diantaranya

adalah:

1. Untuk pemerintah atau menteri pendidikan Manajemen Peradilan Islam

Perlu di masukkan dalam kurikulum pembelajaran mulai Madrasah

Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.

2. Untuk masyarakat Peradilan Islam perlu disosialisasikan dalam khutbah

jum‟at, kuliah subuh maupun pengajian di masyarakat agar orang tau

mengenai peradilan Islam.

Page 86: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

77

DAFTAR PUSTAKA

Al-Faruq, Asadullah. Hukum Acara Peradilan Islam. Jakarta: Pustaka Yustisia,

2009.

Al-Khudriy, Muhammad. Daulah Abbasiyah. Mesir: Darul Ma‟arif beirut,1999.

Aliyah, Samir. Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam.

Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari. Jakarta : Khalifa, 2004.

Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum

Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Ali Bin Mohammas Bin Ahmad, Al-simnani. Rodhat al-Qudhat, Baghdad:

Matbaat As‟ad, 1970.

Al-Mawardi. Al-Ahkam al-Sulthaniyah. Penerjemah Fadhli Bahri. Jakarta: Daarul

Falah, 2000.

----------------. Al-Ahkamus Shulthaniyyah wal Wilayaatud-diniyah, Penerjemah

Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin dengan judul Hukum

Tata Negara dan Kepemimpinan dan Takaran Islam. Jakarta: Gema

Insani, 2000.

Al-simnani, Ali Bin Mohammas Bin Ahmad, Rodhat al-Qudhat. Baghdad:

Matbaat As‟ad, 1970.

Amin, Muhammad. Ijtihad Ibnu Taimiyah dalam Bidang Fiqh Islam. Jakarta:

INIS,1991.

Al Najjar, Wahhab. al Khulafa al Rasyidun. Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah,

1990.

A-Othman, Mahmud Saedon, Kadi, Pelantikan, Perlucutan, dan Bidang Kuasa.

Malaysia Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Kementrian Pendidikan, 1990.

Aripin, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia.

Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008.

Arnus, Mahmud bin Muhammad bin. Tarikh al-Qadha‟ Fi al-Islam. Kairo: Mesir,

t.th.

Ash shiddiqie, T.M. Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 1997.

--------------------. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: Bulan-bintang, 1970.

Page 87: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

78

Djaelani, Abdul Qadir. Sekitar Pemikiran Politik Islam. Jakarta; Media Dakwah,

t.th.

Djalil, H.A. Basiq. Peradilan Islam. Jakarta: Amzah, 2012.

Glasse, Cyril. Ensiklopedia Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas‟adi.

Cet. 2. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Hasanuddin, Manajemen Dakwah. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.

Hasyim, Ahmad, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.

Hisyam, Ibn. Sirat an Nabawiyat, Beirut: Mathba‟at Muhammad Abi Shabih, t.th,

Jilid XX.

Hitti, Philip K. History of The Arabs. Penerjemah R. Cecep Lukman dan Dedi

Slamet Riyadi. Jakarta : Serambi 2006.

Julian, Budi. “Hakim: Antara Profesionalitas dan Kesejahteraan”, artikel diakses

pada 10 Juni 2015 dari http://iailangsa.ac.id/berita-698-hakim-antara-

profesionalisme-dan-kesejahteraan.html.

Koto, Alaidin. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2011.

Madkur, Muhammad Salam, Peradilan Dalam Islam, Penerjemah Imron AM.

Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1993.

Manan, Abdul. Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan. Jakarta:

Kencana Prenada Group, 2007.

Masyrafah, Athiyah. Al-Qadha fi al-Islam. Mesir: Syirkat al-Syarqi al-Ausath,

1996.

Mubarok, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT Remaja

Rosda Karya, 2003.

Munawir, Ahmad Warson. Al-Munawir (Kamuas Arab Indonesia). Jakarta: t. Pn,

1996.

Nasutio, Harun. Teologi Islam: aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. cet.

5. Jakarta: UI-Press, 1986.

Rahman, Fazlur. Islami Metodelogi in History. Penerjemah Anas Mahudi.

Bandung: Pustaka 1984.

Page 88: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

79

Ridwan, Asep. “Hakim dalam Khaazah Islam Klasik”. Artikel diakses pada

tanggal 22 Januari 2015 dari

http://www.pakalianda.go.id/gallery/artikel/195-hakim-dalam-khazanah-

islam-klasik.html

Sadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.

Jakarta: UI Press, 1993.

Said, H.A Fuad. Ketatanegaraan menurut syari;at Islam. Selangor Malaysia:

Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.

Soekanto, Soerjono dan Sri, Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu

tinjauan singkat. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1995.

Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2.

Sopyan, Yayan. Tarikh Tasyri‟ Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Jakarta:

Gramata Publishing, 2010.

Terry, George R. dan Leslie. Rue, Dasar-dasar Manajemen. Jakarta: Bumi

Aksara, 2008.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2000.

Zaidan, Abdul Karim. Nizhamul Qadha fi al-Syar‟iyyatil Islamiyah. Baghdad;

Mathba‟ah al Any, t.th.

Page 89: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

80

Lampiran 1

Silsilah Khalifah Abbasiyah

Page 90: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

81

Lampiran II

Peta Kekuasaan Dinasti Abbasiyah Masa Harun Al-Rasyid

Page 91: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

82

Lampiran III

Peta Kekuasaan Dinasti Abbasiyah

Page 92: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

83

Lampiran IV

SURAT-SURAT UMAR BIN KHATTAN R.A

A. SURAT KEPADA ABU MUSA AL-ASH‟ARI R.A

1. Kode Etik dalam Menyusun Hukum-hukum Acara Peradilan Islam.

In the name of Allah the most beneficent, the most merciful

From the slave of Allah, Umar Amir al-Mauminin to the slave of Allah, Abu Musa

al-Ash‟ari peace be with you.

The administration of justice is a definite ordinance of Allah SWT. and is a

generally followed practice.

Understand the dispositions that are made before you fot it is useless to condider

a plea that cannot be executed.

Consider all people aqual before you in your court and in your attention so that

the high placed person would not expect your favour and the weak would not

despair of your fairness.

The burdon of proff is on that who alleges and the oath aon that who debies.

Compromise is permissible among muslims, except a compromise through which

something forbidden is permitted or something permitted is forbidden.

If you have given a judgement yesterday, and upon reconsideration come to the

correct opinion you should not hesitate to rectify your yesterday‟s judgement for

justice is primeval, and it is better to retract than to persist in worth less.

Contemplate upon the matters that tremble you and to which no rule of the Al-

Qur‟an and Sunnah applies. Study similiar and analogous cases and evaluate the

situatioon through analogy. Adopt the judgement which is most pleasant to Allah

SWT. and which is most in conformity with justice in your opinion.

Page 93: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

84

If a person brings a claim that he may or may not be able to prove, set a time limit

fot him. If he brings his proof within the time limit, allow his claim otherwise

decide againts him. For this is the better way to remove doubt, clarify obscurities,

and attains excuse.

All muslim are trustworthy witnesses agains each other except that who has

suffered strippes as hadd punishment. Or has been proved guilty to have given

false evidence. Or that who is suspected of partiality (in giving evidence) on the

basis of relationship whether of patronage of of blood.

Allah SWT. knows the secrets (of character) of people and has everted from them

the hadd punishment thet cannot be awarded except on the basis of proof or oath.

Avoid fatigue, weariness and annoyance at litigants for wich Allah SWT. will

grant you great rewards and preserve them for you in the hereafter. One, whose

intention in sincere in that which is between him and Allah SWT. though it is

againts his own interest, will be protected by Allah SWT. in that which is between

him and people. And one who simulates before the people wherwas Allah SWT.

knws the contrary to be true He will disgrace him

Waht do you think of the rewards from Allah SWT. regarding what he accords

here as nourishment and of trasures of His mercy in the hereafte. Peace be with

you.

Terjemahan:

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Dari Umar amirulmukminin kepada Abdullahibn Qais, mudah-mudahan Allah

melimpahkan kesejahteraan-Nya atas engkau dan berkat serta rahmat-Nya.

Menyelesaikan perkara, adalah suatu kewajiban dari Allah SWT., dan suatu

sunnah yang harus diikuti.

Page 94: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

85

Pahamilah maksud pengaduan apabila dikemukakan kepada engkau dan

putuskanlah apabila telah nyata mana yang benar, karena sesungguhnya tiada

bermanfaat sesuatu pembicaraan kebenaran yang tidak mendapat perhatian hakim.

Samakanlah para pihak di majlismu, dalam pandanganmu, dan dalam putusanmu,

supaya orang yang mulia tidak tamak kepada kejujuranmu dan supaya orang yang

lemah tidak menjadi putus asa karena keadilanmu.

Keterangan dimintakan kepada yang menggugat, dan sumpah dikenakan atas yang

menolak gugatan.

Perdamaian adalah boleh diantara Umat Islam, terkecuali perdamaian yang

menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan yang halal.

Barangsiapa menyatakan ada sesuatu hak yang tidak ada di tempatnya atau

sesuatu keterangan, maka berilah tempo kepadanya untuk dilaluinya. Kemudian

jika dia memberi keterangan hendaklah memberikan yang demikian, maka engkau

dapat memutuskan perkara ang merugikan haknya, karena yang demikian itu lebih

bermanfaat bagi keuzurannya (tidak ada jalan baginya untuk mengatakan ini dan

itu lagi), dan lebih menampakkan apa yang tersembunyi.

Janganlah engakau dihalangi oleh suatu putusan yang engkau telah putuskan pada

hari ini, kemudian engkau tinjau kembali putusan itu lalu engkau di tunjuki pada

kebenaran untuk kembali kepada kebenaran, karena kebenaran itu suatu hal kadim

yang tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu. Kembali kepada yang hak, lebih baik

dari pada terus bergelimang dalam kebatilan.

Pergunakanlah paham pada sesuatu yang dikemukakan kepadamu dari hukum

yang tidak ada dalam Al-Qur‟an dan tidak ada pula dalam sunnah. Kemudian

bandingkanlah urusan-urusan itu satu sama lain dan ketahuilah (kenalilah)

hukum-hukum yang serupa. Kemudian ambillah mana yang lebih mirip denga

kebenaran.

Orang-orang Islam adalah adil, sebagaimana kepada sebagian yang lain terkecuali

orang yang sudah pernah menjadi saksi palsu atau sudah pernah dijatuhi hukuman

Page 95: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

86

had atas orang diragui tentang asal-usulnya, karena sesungguhnya Allah yang

mengendalikan rahasia-rahasia hamba dan menutupi hukuman-hukuman atas

mereka dan menutupi hukuman-hukuman atas mereka terkecuali dengan ada

keterangan sumpah.

Juhilah dirimu dari marah, kacau pikiran, tidak senang perasaan, menyakiti orang

yang berperkara dan bersikap kasar di waktu bertengkar, karen aputusan-putusan

di tempat beperkara dan sikap kasar di waktu bertengkar, karena putusan-putusan

di tempat kebenaran (putusan yang benar) adalah daripada pekerjaan yang Allah

menetapkan pahala dan dengan dia pulalah bagus sebutan (percakapan orang).

Maka orang yang bersih niatnya terhadap kebenaran, walaupun atas dirinya

sendiri, niscaya Allah SWT. mencukupkan baginya apa yang di antaranya dengan

masyarakat. Dan barangsiapa berhias dengan apa yang tidak ada pada dirinya

(menampakkan keahlian padahal tidak ahli), niscaya Allah menampakkan

kejelekkannya; karena sebenarnya Allah SWT. tidak menerima daripada hamba

melainkan yang kalis untuknya.

Maka, bagaimana persangkaanmu terhadap pahala yang ada di sisi Allah SWT.,

baik yang segera diberikan maupun yang ada di dalam rahmat-Nya.

Wassalamu‟alaikum warahmatullah

2. Prinsip Hukum Acara Peradilan

“Stick to four attributes they will save your faith and will cause you benefit from

the best part of your fate.

Whenever the parties to a dispute come to you, decide on the basis of well-

grounded proofs and conclusive oaths only.

Allow the weak person to speak so that his tongue opens and his heart gains

courage.

Page 96: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

87

Support a stranger because if he is made to wait for a long time he will relinquish

his petition and will go home.

Make efforts for compromise between the parties until you arrive at a conclusive

decision”.

“There are still some eminent personsamong people, who convey the needs of

public to their rulers. If you find any of them, give him due regard and respect. It

is sufficient for doing fariness to a weak muslim if justice is done to him in

decision as well as distribution of wealth.‟

„Avoid quarrel and maltreating anybody. Do not sell and buy as long as you are a

judge.”

“Avoid selling or buying during the proceeding of dispute in court. Neither

conduct selling or buying of anybody‟s property nor take bribe nor decide

between two persons when you are angry.”

Terjemahan bebas:

Perhatikanlah empat hal yang akan menjaga keyakinanmu dalam memimpin dan

memutus perkara, dan akan memberikan keuntungan dari takdir mu yang terbaik

sepanjang hidupmu.

Setiap saat ada pihak yang berselisih datang padamu, putuskanlah perkaranya

dengan mendasarkan pada bukti yang kuat dan sumpah yang menyakinkan.

Izinkanlah orang yang lemah berpendapat sehingga lidahnya terbuka dan hatinya

menjadi berani untuk menyampaikan yang benar.

Dukunglah orang yang kuat karena jika dia disuruh menunggu untuk waktu yang

lama dia akan meleaskan petisinya dan kemudian pergi.

Lepaskanlah perdamaian antar pihak-pihak yang bertikai sampai kau mendapat

keputusan akhir”.

Page 97: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

88

“Masih ada beberapa orang yang pandai dan jujur diantara masyarakat, yang

menyampaikan kebutuhan publik pada pemimpin mereka. Jika kamu menemukan

salah satu di antara mereka, berikanlah mereka penghargaan dan penghormatan.

Berikanlah keadilan bagi orang muslim yang lemah jika keadilan itu diberlakukan

padanya karena semestinya is peroleh.”

Hindarilah pertengkaran dan memperlakukan siapapun dengan sewenang-wenang.

Jangan kamu mengadakan transaksi jual beli sesuatu selama proses penyelesaian

di pengadilan, baik melakukan transaksi penjualan ataupembelian barang milik

siapapun, jangan kamu lakukan suap menyuap dalam memutus suatu perkara dan

jangan sekali-kali memberi keputusan antara dua orang ketika kamu sedang

marah.”

B. SURAT KEPADA ABU „UBAYDAH BIN JARRAH R.A

“I have already sent you a letter in which I have mentioned all the matters of your

as well as my benefit. I advise you to adhere to five qualities. It will save you faith

and will cause you benefit from the best part of your fate.

Whenever the parties to a dispute come to you, decide on the basis of valid proofs

and decisive oaths only.

Let a weak person come nearer to you so that his heart gets strengthened and his

tongue opens to speak.

Support a stranger because if you do not support him he will leave (your court

without asking for) his need and will go home.

That who does not encourage a weak and a stranger person he would devastate

their rights.

Strive for compromise between the conflicting parties until you arrive at a final

decision.”

Terjemahan bebas:

Page 98: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

89

“Saya telah mengirimkan surat kepadamu di mana telah saya sebutkan semua hal

yang dapat memberimanfaat bagimu sebagaimana pada saya. Saya menyarankan

padamu agar kamu mempunyai lima kualitas. Hal ini akan menjaga keimananmu

dan akan memberikan manfaat bagimu.

Setiap saat ada pihak yang betikai datang padamu, buatlah keputusan hanya

berdasarkan bukti yang kuat bagi orang yang mengajukan gugatan dan sumpah

bagi orang yang menyangkal.

Izinkanah orang yang lemah datang padamu sehingga hattinya akan menjadi kuat

dan lidahnya dapat berbicara sehingga ia dapat mengemukakan segala sesuatu

yang kamu perlukan atas pengaduannya.

Berikanlah dukungan pada orang yang belum kamu kenal karena jika tidak,

mereka akan pergi (meninggalkan pengadilanmu).

Orang-orang yang tidak mendukung orang lemah dan orang yang belum kamu

kenal itu akan merusak hak-hak mereka (hak-hak orang lain dengan sewenang-

wenang).

Berusahalah membuat perdamaian antara pihak yang bertikai sampai kamu

membuat keputusan akhir.

C. SURAT KEPADA MU‟AWIYAH BIN ABU SUFYAN

“ I have already sent you a letter in which I have mentined all the matters of your

as well as my benefit. I advise you to adhere to five qualities. It will save you faith

and will cause you benefit from the best part of your fate.

Whenever the parties to a dispute come to you, decide on the basis of vaid proofs

and decives oaths only.

Let a weak person come nearer to you so that his heart gets strengthened and his

tongue opens to speak.

Page 99: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

90

Support a stranger because if you do not support him he will leave (your court

without asking for) his need and will go home.

That who does not encourage a weak and a stranger person he would devastate

their rights.

Strive for compromise between the conflicting parties until you arrive at a final

decisio.”

Terjemahan bebas:

“Saya telah mengirimkan surat kepadamu di mana telah saya sebutkan semua hal

yang dapat memberimanfaat bagimu sebagaimana pada saya. Saya menyarankan

padamu agar kamu mempunyai lima kualitas. Hal ini akan menjaga keimananmu

dan akan memberikan manfaat bagimu.

Setiap saat ada pihak yang betikai datang padamu, buatlah keputusan hanya

berdasarkan bukti yang kuat bagi orang yang mengajukan gugatan dan sumpah

bagi orang yang menyangkal.

Izinkanah orang yang lemah datang padamu sehingga hattinya akan menjadi kuat

dan lidahnya dapat berbicara sehingga ia dapat mengemukakan segala sesuatu

yang kamu perlukan atas pengaduannya.

Berikanlah dukungan pada orang yang belum kamu kenal karena jika tidak,

mereka akan pergi (meninggalkan pengadilanmu).

Orang-orang yang tidak mendukung orang lemah dan orang yang belum kamu

kenal itu akan merusak hak-hak mereka (hak-hak orang lain dengan sewenang-

wenang).

Berusahalah membuat perdamaian antara pihak yang bertikai sampai kamu

membuat keputusan akhir.

Page 100: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

91

D. SURAT KEPADA KADI SHURAYH BIN AL-HARITH AL-KINDI

“Neither quarrel, nor engage in unnecessary debates, nor sell or buy in the court

nor decide between two person when you are angry.”

“When you come across a matter which is there in the Allah‟s book then decide in

accordance with Allah‟s book and do not pay any attention to anybody‟s opinion.

And if it is not found in Allah‟s book but is there in the Sunnah of the Holy

Prophet (Sallallahu alayhi wassalam) then decide accordingly. But where it is not

found in Allah‟s book nor in the Holy Prophet‟s sunnah nor in the decisions of

righteous Imams, you are at option eitherto decide according to your own ijtehad

or to keep the matter in abeyance. And keeping the matter in abeyance is mor

suitable to me.”

Terjemahan bebas:

“Janganlah bertengkar, melakukan perdebatan yang tidak perlu, atau mengadakan

transaksi jual beli di pengadilan, atau memberi putusan saat kamu sedang marah.

“Jika kamu mendapat masalah yang ada dalam Al-Qur‟an maka, putuskanlah

sesuai dengan Al-Qur‟an dan jangan pedulikan pendapat siapapun. Dan jika tidak

ada dalam Al-Qur‟an tapi ada dalam sunnah Nabi Muhammad SAW, maka

putuskanlah berdasarkan sunnah tersebut. Tapi jika tidak ada pada keduanya, atau

dalam putusan imam-imam yang yang dipercaya, maka kamu harus memutuskan

berdasarkan ijtihadmu sendiri atau tangguhkanlah. Dan menangguhkan putusan

adalah lebih baik bagiku (bagi khalifah Umar r.a.).”

Page 101: MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH...v ABSTRAK Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

92

E. SURAT EDARAN UNTUK PARA HAKIM DAN GUBERNUR

1. “Treat people with equally wether they are your relatives or stranger. Do

not take bribe. Avoid deciding according to your own liking. Undertake

(administration of justice with) rightfulness even if for an hour in a day.”

2. “Do not accept gifts because giifts are a sort of bribery.”

3. “Be careful not to take bribe and no to decide on the basis of your own

whims.”

Terjemahan bebas:

1. “Perlakukanlah setiap orang dengan sama, tidak peduli apakah mereka

kerabatmu atau bukan. Jangan menerima uang suap. Hindarilah

memutuskan sesuai kesukaanmu. Jalankanlah (administrasi hukum

dengan) benar bahkan jika hanya satu jam dalam sehari.”

2. “Janganlah menerima pemberian karena pemberian adalah kata lain dari

penyuapan.”

3. “Berhati-hatilah, jangan menerima suap dan jangan memutuskan

berdasarkan keinginanmu.”