mana yang lebih berbahaya anemia atau transfusi

9
Medical Soul Society http://lebihgelapdarihitam.wordpress.com/ Mana yang lebih berbahaya: anemia atau transfusi? Oleh: Shander 1,2,3,4*, M. Javidroozi1, S. Ozawa 5 and G. M. T. Hare 6,7 Alih bahasa oleh: I (080 111 176) Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Universitas Sam Ratulangi Manado Halaman 9-11 Temuan ini dikonfirmasi dengan metode sistematis Cochrane , dimana dari 17 percobaan (termasuk percobaan TRICC ) dari total 3746 pasien , disimpulkan bahwa stratergi transfusi restriktif memiliki hubungan dengan berkurangnya tingkat transfusi dan volume , namun tidak mem per buruk keadaan pasien (termasuk sampai terjadinya kematian, serangan jantung, stroke, pneumonia, dan tromboemboli) dan terbukti juga mampu mengurangi angka kejadian infeksi. 132 Data dari TRICC menjadi lebih menarik bila dilihat dari sisi komplikasi nya : Dimana para pasien dalam kelompok liberal-transfusi yang semua nya menerima t ransfusi rata-rata 3 unit lebih transfusi RBC dibandingkan dengan kelompok transfusi restriktif yang memiliki tingkat transfusi 66% saja . Meskipun tingkat keparahan penyakit sama , pasien yang ditransfusi bebas memiiki angka kematian yang lebih tinggi di rumah sakit (23,3% vs 18,7%), serta angka 1

Upload: ib-amertha-putra-manuaba

Post on 10-Nov-2015

13 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

anemiatransfusi

TRANSCRIPT

PROPOSAL MULTIPLE VOLTAGE GENERATOR GENERASI II

Medical Soul Societyhttp://lebihgelapdarihitam.wordpress.com/

Mana yang lebih berbahaya: anemia atau transfusi?

Oleh:Shander1,2,3,4*, M. Javidroozi1, S. Ozawa5 and G. M. T. Hare6,7

Alih bahasa oleh:I (080 111 176)

Mahasiswa Program Pendidikan DokterUniversitas Sam Ratulangi Manado

Halaman 9-11Temuan ini dikonfirmasi dengan metode sistematis Cochrane, dimana dari 17 percobaan (termasuk percobaan TRICC) dari total 3746 pasien, disimpulkan bahwa stratergi transfusi restriktif memiliki hubungan dengan berkurangnya tingkat transfusi dan volume, namun tidak memperburuk keadaan pasien (termasuk sampai terjadinya kematian, serangan jantung, stroke, pneumonia, dan tromboemboli) dan terbukti juga mampu mengurangi angka kejadian infeksi.132 Data dari TRICC menjadi lebih menarik bila dilihat dari sisi komplikasinya: Dimana para pasien dalam kelompok liberal-transfusi yang semuanya menerima transfusi rata-rata 3 unit lebih transfusi RBC dibandingkan dengan kelompok transfusi restriktif yang memiliki tingkat transfusi 66% saja. Meskipun tingkat keparahan penyakit sama, pasien yang ditransfusi bebas memiiki angka kematian yang lebih tinggi di rumah sakit (23,3% vs 18,7%), serta angka disfungsi organ yang lebih tinggi skor (11,8 vs 10,7), dan kejadian komplikasi yang lebih banyak [komplikasi jantung gabungan (21,0% vs 13,2%), infark miokard (2,9% vs 0,7%), dan edema paru (10,7% vs 5,3%)] selama dirawat di unit perawatan intensif (ICU).131 Pengamatan bahwa transfusi darah alogenik berhubungan dengan memburuknya keadaan pasien (misalnya tingginya angka kematian dan morbiditas) sering ditemukan pada studi yang membandingkan secara kohort, antara pasien yang mendapat transfusi dengan pasien non-ditransfusikan (atau transfusi minimal) (Tabel 4),136-154 Hasil yang kurang baik terkait dengan transfusi darah alogenik dalam studi ini jelas jauh lebih tinggi dari yang diharapkan daripada transfusi tradisional (Tabel 3). Serupa dengan kasus anemia, studi telah dilakkukan pada populasi pasien yang beragam, dan telah dihubungkan antara transfusi RBC dengan banyaknya komplikasi negatif, termasuk peristiwa ginjal, jantung, dan saraf, infeksi, cedera paru-paru, peningkatan panjang tinggal, meningkatnya risiko terjadinya kanker, dan kematian. Transfusi darah alogenik biasanya dianggap sebagai faktor risiko independen setelah penyesuaian untuk potensi lainnya factors.136137140-153 Risiko transfusi darah alogenik harus dilihat dalam konteks pernyataan bahwa keberhasilan transfusi RBC dalam meningkatkan tingkat kesembuhan pasien sebagian besar tidak dapat di percaya. Karena hanya dengan menggunakan bukti dari literatur yang diterbitkan, dokter-dokter baru-baru ini menilai transfusi darah alogenik tidak mungkin atau tidak pasti untuk meningkatkan tingkat kesembuhan pasien, karena sebagian besar skenario klinis yang umum hipotetis di mana transfusi darah hal yang biasa atau wajar untuk dilakukan.130 Risiko kredibel dan kemanjuran yang diragukan menjadi hambatan besar dalam pemanfaatan transfusi darah alogenik dalam praktek kedokteran secara luas.Membedah Kausalitas (Sebab-Akibat)Anemia dan transfusi darah alogenik telah dikaitkan dengan hasil klinis yang buruk pada berbagai jenis penelitian dengan latar belakang penyakit pasien yang beragam. Sampai saat ini, masih menjadi tantangan untuk menyimpulkan dengan pasti apakah anemia merupakan faktor risiko independen dari hasil klinis yang buruk, atau transfusi darah alogenik, tau bahkan keduanya.

Sebagian besar penelitian mengkorelasi antara anemia dan hasil klinis yang buruk (Tabel 2), tetapi korelasi tidak selalu berarti sebab-akibat. Hukum kausalitas bisa sangat rumit dan sulit untuk menetapkan pada populasi tertentu, karena anemia adalah umum pada pasien yang menderita komplikasi berbagai macam penyakit kronis, yang secara tidak langsung dapat memperburuk keadaan. Anemia akibat penyakit kronis (atau anemia peradangan) adalah hasil dari aktivasi respon inflamasi akibat berbagai jenis penyakit yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi haematopoiesis, yaitu, hepcidin-menginduksi penyerapan zat besi dan hypoferremia.155-156 Contoh lain adalah penyakit tiga serangkai setan, yaitu cardio-renal- anemia syndrome, di mana disfungsi jantung kronis atau ginjal yang rusak akibat disfungsi organ lainnya, yang secara bersamaan menyebabkan terjadinya anemia, yang dapat memperburuk organ bahkan dapat menyebabkan gagal organ.157-158 Hal ini menyebabkan anemia sering muncul sebagai faktor risiko independen setelah penyesuaian untuk pembaur di analisis multivariat.8184-8789-9799- 101105106108-110114115.

Faktor lain yang menyebabkan anemia semakin memperburuk keadaan pasien adalah pengobatan yang digunakan untuk anemia itu sendiri. Misalnya, obat perangsang erythropoiesis (ESA) telah menjadi fokus perdebatan sengit, karena selain sangat efektif dalam meningkatkan kadar Hb pada berbagai uji coba. Namun, pengobatan dengan agen ini mendatangkan risiko tersendiri, seperti dikaitkannya dengan peningkatan risiko kematian dan kejadian kardiovaskular, terutama ketika dosis ESA ditingkatkan atau dilanjutkan dalam jangka cukup panjang untuk mencapai Hb target.159-160 Namun demikian, apakah hasil yang terlihat pada pasien anemia berhubungan dengan anemia itu sendiri atau akibat pengobatan dengan ESA.161 transfusi darah alogenik adalah pengobatan umum dalam penatalaksanaan pasien anemia, dengan resiko komplikasi tersendiri.

Mirip dengan kasus kuluaran klinis yang buruk pada pasien anemia, transfusi kohort sering memiliki beban penyakit yang lebih berat, dan merupakan tantangan tersendiri untuk menggambarkan dengan pasti apakah hasil klinis yang buruk adalah karena kondisi yang ada dan co-morbiditas pasien untuk menerima lebih banyak transfusi atau karena transfusi itu sendiri. Meskipun demikian, bahkan ketika pasien yang ditransfusi berada dalam kondisi buruk, mereka tetap di transfusi dengan harapan bahwa transfusi akan memperbaiki kondisi mereka. Seperti dapat dilihat dari hasil beberapa penelitian (Tabel 4), transfusi darah alogenik terbukti sedikit memperbaiki kondisi pasien.

Uji klinis di mana pasien diuji dengan berbagai strategi transfusi, memberikan kesempatan kepada pasien yang lebih sakit untuk mendapatkan transfusi, tetapi uji coba ini pada akhirnya difokuskan pada perbandingan berbagai strategi transfusi,162 dan tidak serta merta pada hasil transfusi. Mengingat kompleksitas etis dan metodologis, maka percobaan dengan pasien random sample untuk transfusi vs non-transfusi tidak mungkin dilakukan.

Studi observasi pada transfusi darah alogenik sangat mengejutkan, dimana menunjukkan terdokumentasinya dengan baik data dari seluruh penyedia jasa kesehatan dan institusi pendidikan. Maddux dan colleagues163 melaporkan bahwa tingkat transfusi RBC intraoperatif di operasi graft bypass arteri coronary terisolasi (CABG) berada di kisaran 0% sampai 85.7% di 144 lembaga di Amerika Serikat. Bennett-Guerrero dkk164 melakukan studi pada 82 446 operasi CABG on-pomp dari 408 situs di Amerika Serikat dan dilaporkan tingkat transfusi RBC berada pada kisaran 7,8% sampai 92,8%. Data dari 18 rumah sakit umum Austria menunjukkan transfusi darah intra-dan pasca operasi dilakukan pada 16-85% operasi penggantian panggul total, 12-87% operasi penggantian lutut total, dan 37-63% operasi CABG, jumlah unit RBC yang diberikan dalam transfusi pasien juga sangat bervariasi.165 Demikian pula, audit dari 223 rumah sakit di Inggris melaporkan bahwa tingkat transfusi perioperatif berkisar antara 0% sampai 100% pada pasien yang menjalani operasi penggantian pinggul elektif primer unilateral.166 Tingkat transfusi yang sangat bervariasi, padahal prosedur yang dilakukan sama dan populasi pasien di rumah sakit dengan standar tinggi, menimbulkan pertanyaan bahwa apa peran transfusi darah dalam perawatan pasien dan apa tujuan yang ingin dicapai. Sikap dokter terhadap transfusi ini menyebabkan paradigma bahwa transfusi sama pentingnya (atau bahkan lebih penting) daripada kondisi pasien dalam menentukan kelayakan menerima darah, sampai menuju arah terjadinya de facto quasi-randomized process. Kami percaya bahwa hal ini akan menambah kredibilitas data pengamatan pada hasil klinis mengenai transfusi.

Sering terlupakan bahwa beberapa penemuan yang paling berpengaruh dalam kedokteran berasal dari pengamatan pada manusia dimana apabila dilakukan secara ekperimental akan menjadi tidak etis (misalnya hubungan antara merokok dan kanker paru-paru).167 Data dari penelitian observasional dapat dilihat dalam sembilan kriteria the light of Bradford Hill's guna menemukan penyebab berdasarkan asosiasi: kekuatan asosiasi, konsistensi, spesifisitas, hubungan temporal, gradien biologi (dosis-ketergantungan), masuk akal, koherensi, analogi, dan ketersediaan bukti eksperimental.167 Meskipun Bradford Hill telah secara jelas mengatakan bahwa 'Tak satu pun dari sembilan sudut pandang saya dapat membawa bukti tak terbantahkan untuk atau terhadap hipotesis sebab-akibat dan tidak dapat diminta sine qua non'168 data dari studi tentang hubungan antara hasil klinis yang buruk dengan transfusi darah alogenik cocok untuk semua kriteria tersebut, dan karena itu, dapat menjadi kasus yang kuat untuk membuktikan adanya kausalitas.167

Sistematis transfusi darah alogenik sampai menghasilkan hasil klinis yang buruk tidak sepenuhnya dipahami dan beberapa fenomena telah di ajukan.167 Seperti analogi allograft: Dimana hampir mirip dengan cangkokan, transfusi darah alogenik dapat mengakibatkan reaksi imunologi dan reaksi inflamasi.169 Peristiwa seperti reaksi hemolitik adalah salah satu contohnya, tapi bisa juga memiliki faktor penyebab lain seperti immunomodulation.170 Telah dilaporkan hubungan antara transfusi darah alogenik dan cancer.170-171 tersangka lainnya adalah sel-sel darah putih yang ada dalam darah yang ditransfusikan.172 Beberapa studi observasi telah melaporkan hasil yang lebih buruk pada pasien yang menerima unit darah yang lebih tua (masih dalam standar baik, bank darah saat ini), dan uji acak tengah berlangsung untuk menyelidiki lebih lanjut hal ini.175

Tidak ada keraguan bahwa hasil klinis yang buruk pada pasien adalah hasil interaksi yang kompleks antara faktor pasien dan lingkungan (perawatan) faktor. Gambar 3 menggambarkan secara sederhana berbagai interaksi yang ada di antara anemia, transfusi darah, dan co-morbiditas pada loop kausal yang dapat berkontribusi pada hasil klinis yang buruk. Co-morbiditas (penyakit kronis yaitu pada Gambar 3.), anemia, dan transfusi secara independen dapat memperburuk hasil keluaran klinis itu sendiri. Dan penyakit kronis dan anemia dapat saling memperkuat seperti terlihat dalam anemia peradangan. Loop lain yang saling memperkuat adalah antara penyakit kronis dan transfusi darah alogenik: beberapa co-morbiditas (penyakit jantung iskemik terutama) dianggap mengurangi toleransi terhadap anemia sehingga dapat diberikan transfusi lebih, yang pada akhirnya dapat meningkatkan peradangan dan cedera organ. Anemia juga bisa memperkuat interaksi ini dengan meningkatkan risiko transfusi. Akhirnya, setelah hasil klinis yang buruk terjadi, akan terjadi peningkatan peradangan dan komplikasi penyakit kronis, memperburuk anemia, dan meningkatkan risiko perlunya transfusi (misalnya ketika seorang pasien anemia pulih dari operasi elektif, mengalami miokard infark dan mengakibatkan perawatan rumah sakit yang lebih panjang dan tinggal ICU, diikuti dengan kehilangan darah lebih diagnostik, dll).

1

6