panduan transfusi
DESCRIPTION
trasTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Transfusi darah merupakan tindakan pengobatan pada pasien (anak,bayi dan dewasa)
yang diberikan atas indikasi. Kesesuaian golongan darah antara resipien dan donor
merupakan salah satu hal yang mutlak.
Transfusi darah adalah suatu rangkaian proses pemindahan darah donor ke dalam
sirkulasi darah resipien sebagai upaya pengobatan. Transfusi darah telah mulai dicoba
dilakukan sejak abad ke 15 dan hingga pertengahan abad ke 17, namun berakhir dengan
kegagalan, karena cara pemberiannya dan pada waktu itu dipakai sebagai sumber donornya
adalah darah hewan. Melalui berbagai percobaan dan pengamatan kemudian disimpulkan
bahwa manusia yang semestinya menjadi sumber darah. Namun demikian pada masa ini,
karena masih banyaknya kegagalan yang berakibat kematian, transfusi darah sempat dilarang
dilakukan. Pada masa ini, transfusi darah telah dikerjakan langsung dari arteri donor ke dalam
vena resipien.
Pemikiran dasar pada transfusi adalah cairan intravaskuler dapat diganti atau
disegarkan dengan cairan pengganti yang sesuai dari luar tubuh. Pada tahun 1901,
Landsteiner menemukan golongan darah sistem ABO dan kemudian system antigen Rh
(rhesus) ditemukan oleh Levine dan Stetson di tahun 1939. Kedua system ini menjadi dasar
penting bagi transfusi darah modern. Meskipun kemudian ditemukan berbagai system antigen
lain seperti Duffy, Kell dan lainlain, tetapi system- system tersebut kurang berpengaruh. Tata
cara transfusi darah semakin berkembang dengan digunakannya antikoagulan pada tahun
1914 oleh Hustin (Belgia), Agote (Argentina), dan Lewisohn (1915). Sekitar tahun 1937
dimulailah sistem pengorganisasian bank darah yang terus berkembang sampai kini.
Transfusi darah memang merupakan upaya untuk menyelamatkan kehidupan dalam
banyak hal, dalam bidang anestesi misalnya dalam proses pembedahan besar. Dalam
pembedahan, pasien dapat mengalami perdarahan dari yang paling ringan sampai perdarahan
massif. Pada pasien dewasa dengan Hb normal perdarahan sampai 20% volume darah total
atau penurunan Hb sampai 9-10 g% volume darah total atau penurunan Hb masih dapat
ditoleransi oleh tubuh.
Namun transfusi bukanlah tanpa risiko, meskipun telah dilakukan berbagai upaya
untuk memperlancar tindakan transfusi, namun efek samping, reaksi transfusi, atau infeksi
akibat transfusi tetap mungkin terjadi. Maka bila diingat dan dipahami mengenai
keamanannya, indikasinya perlu diperketat. Apabila memungkinkan, masih perlu dicari
alternatif lain untuk mengurangi penggunaan transfusi darah. Pemberian komponen
1
komponen darah yang diperlukan saja lebih dibenarkan dibandingkan dengan pemberian
darah lengkap (whole blood).1,3 Dengan alasan tersebut, maka dibuatlah refrat ini yang
diharapkan dapat memberi informasi mengenai fisiologi normal cairan dan elektrolit,
transfusi darah serta implikasi-implikasi anestesinya.
2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Definisi Transfusi Darah
Transfusi darah adalah proses pemindahan darah atau komponen darah dari donor ke
sistem sirkulasi penerima melalui pembuluh darah vena.1 Berdasarkan sumber darah atau
komponen darah, transfusi darah dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Homologous atau allogenic transfusion, yaitu transfusi menggunakan darah dari orang
lain;
2. Autologous transfusion, yaitu transfusi dengan menggunakan darah resipien itu
sendiri yang diambil sebelum transfusi dilakukan.
2.2 Darah sebagai Organ
Darah yang semula dikategorikan sebagai jaringan tubuh, saat ini telah dimasukkan
sebagai suatu organ tubuh terbesar yang beredar dalam system kardiovaskular, tersusun dari
(1)komponen korpuskuler atau seluler, (2)komponen cairan. Komponen korpuskuler yaitu
materi biologis yang hidup dan bersifat multiantigenik, terdiri dari sel darah merah, sel darah
putih dan keping trombosit, yang kesemuanya dihasilkan dari sel induk yang senantiasa hidup
dalam sumsum tulang. Ketiga jenis sel darah ini memiliki masa hidup terbatas dan akan mati
jika masa hidupnya berakhir. Agar fungsi organ darah tidak ikut mati, maka secara berkala
pada waktu- waktu tertentu, ketiga butiran darah tersebut akan diganti, diperbaharui dengan
sel sejenis yang baru. Komponen cair yang juga disebut plasma, menempati lebih dari 50
volume % organ darah, dengan bagian terbesar dari plasma (90%) adalah air, bagian kecilnya
terdiri dari protein plasma dan elektrolit. Protein plasma yang penting diantaranya adalah
albumin, berbagai fraksi globulin serta protein untuk factor pembekuan dan untuk fibrinolisis.
Peran penting darah adalah (1)sebagai organ transportasi, khususnya oksigen(O2),
yang dibawa dari paru- paru dan diedarkan ke seluruh tubuh dan kemudian mengangkut sisa
pembakaran (CO2) dari jaringan untuk dibuang keluar melalui paru- paru. Fungsi pertukaran
O2 dan CO2 ini dilakukan oleh hemoglobin, yang terkandung dalam sel darah merah. Protein
plasma ikut berfungsi sebagai sarana transportasi dengan mengikat berbagai materi yang
bebas dalam plasma, untuk metabolisme organ- organ tubuh.
Selain itu, darah juga berfungsi (2)sebagai organ pertahanan tubuh(imunologik),
khususnya dalam menahan invasi berbagai jenis mikroba patogen dan antigen asing.
Mekanisme pertahanan ini dilakukan oleh leukosit (granulosit dan limfosit) serta protein
plasma khusus (immunoglobulin).
3
Fungsi lain yang tidak kalah penting yaitu (3)peranan darah dalam menghentikan
perdarahan (mekanisme homeostasis) sebagai upaya untuk mempertahankan volume darah
apabila terjadi kerusakan pada pembuluh darah. Fungsi ini dilakukan oleh mekanisme
fibrinolisis, khususnya jika terjadi aktifitashomeostasis yang berlebihan.
Apabila terjadi pengurangan darah yang cukup bermakna dari komponen darah
korpuskuler maupun non korpuskuler akibat kelainan bawaan ataupun karena penyakit yang
didapat, yang tidak dapat diatasi oleh mekanisme homeostasis tubuh dalam waktu singkat
maka diperlukan penggantian dengan jalan transfusi darah, khususnya dari komponen yang
diperlukan.2,3
2.3 Golongan Darah
Membran sel darah merah berisi sedikitnya 300 faktor penentu antigenik berbeda.
Sedikitnya 20 antigen golongan darah terpisah dapat dikenal, tanda dari masing-masing
adalah di bawah kontrol genetik dari kromosom loci. Kebetulan, hanya ABO dan Rh Sistem
yang penting pada transfusi darah. Setiap orang biasanya menghasilkan antibody
(alloantibodies). Antibodi bertanggung jawab untuk reaksi-reaksi dari transfusi. Antibodi
dapat menjadi “alami” atau sebagai respon atas sensitisasi dari suatu kehamilan atau transfusi
sebelumnya.
2.3.1 Sistem ABO
Kromosomal untuk sistem ABO ini menghasilkan dua allel: A dan B. Masing-masing
merepresentasikan suatu enzim yang merupakan modifikasi dari suatu permukaan sel
glycoprotein, menghasilkan antigen yang berbeda. (Sebenarnya, ada berbagai varian A dan
B.) Hampir semua individu tidak mempunyai A atau B " natural" yang menghasilkan antibodi
(sebagian besar immunoglobulin M) melawan antigens di dalam tahun pertama kehidupan.
Antigen H adalah precursor dari system ABO tetapi diproduksi oleh suatu kromosom tempat
berbeda. Tidak adanya antigen H (hh genotype, juga disebut Bombay pheno-type) mencegah
munculny gen A atau B; individu dengan kondisi sangat jarang ini akan mempunyai anti-A,
anti-B, dan anti-H antibodi.4,8
Bila sel darah merah (SDM) yang ditransfusikan tidak kompatibel, antibodi dalam
plasma resipien akan mengikat reseptor khusus di dinding SDM donor. Hal ini akan
mengaktifkan jalur komplemen yang akan menyebabkan lisis dinding SDM (intravaskular
hemolisis). Jalur komplemen ini akan melepaskan anafilatoksin C3a dan C5a yang akan
membebaskan sitokin seperti TNF, IL1 Dan IL8, dan menstimulasi degranulasi sel mast
4
dengan mengsekresikan mediator vasoaktif. Semua substansi ini bisa menyebabkan
inflamasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan hipotensi yang akan mengarah ke shock
dan gagal ginjal. Mediator juga akan menyebabkan agregasi platelet, oedema paru
peribronchial, dan kontraksi otot kecil.
Tabel 1. Daftar Golongan Darah
Golongan Antigen di
RBC
Antibodi dalam
plasma
Golongan donor yang
kompatibel
A Antigen A Anti-B A, O
B Antigen B Anti-A B, O
AB Antigen A &
B
Tidak Ada A, B, AB, O
O Tidak ada Anti- A & B O
Sumber: Kepustakaan No.2
2.3.2 Sistem Rh
Sistem Rh ditandai oleh dua gen yang menempati chromosome 1. Ada sekitar 46 Rh-
berhubungan dengan antigen, tetapi secara klinis, ada lima antigen utama ( D, C, c, E, dan e)
dan menyesuaikan dengan antibodi.
Biasanya, ada atau tidak alel yang paling immunogenik dan umum, D antigen,
dipertimbangkan. Kira-Kira 80-85% tentang populasi orang kulit putih mempunyai antigen
D. Individu yang kekurangan alel ini disebut Rh-Negative dan biasanya antibodi akan
melawan antigen D hanya setelah terpapar oleh ( Rh-Positive) transfusi sebelumnya atau
kehamilan ( seorang Ibu Rh-Negative melahirkan bayi Rh-Positive).
2.3.3 Sistem Lain
Sistem lain ini meliputi antigen Lewis, P, li, MNS, Kidd, Kell, Duffy, Lutheran, Xg,
Sid, Cartright, YK, dan Chido Rodgers antigens. Kebetulan, dengan beberapa perkecualian
5
( Kell, Kidd, Duffy, Dan), alloantibodi melawan sistem ini jarang menyebabkan reaksi
hemolytic serius.
2.4 Tes Kompatibilitas
Tujuan tes ini adalah untuk memprediksi dan untuk mencegah reaksi antigen-antibody
sebagai hasil transfusi sel darah merah. Donor dan penerima donor darah harus di periksa
adanya antibody yang tidak baik.10
Tabel 2. Golongan darah ABO
* angka rata-rata pada orang di Eropa
2.4.1 Tes ABO-Rh
Reaksi Transfusi yang paling berat adalah yang berhubungan dengan inkompatibilitas
ABO. antibodi yang didapat secara alami dapat bereaksi melawan antigen dari transfusi
(asing), mengaktifkan komplemen, dan mengakibatkan hemolisis intravaskular. Sel darah
merah pasien diuji dengan serum yang dikenal mempunyai antibody melawan A dan B untuk
menentukan jenis darah. Oleh karena prevalensi secara umum antibodi ABO alami,
konfirmasi jenis darah kemudian dibuat dengan menguji serum pasien melawan sel darah
merah dengan antigen yang dikenal.4,8
Sel darah merah pasien juga diuji dengan antibody anti-D untuk menentukan Rh. Jika
hasilnya adalah Rh-Negative, adanya antibodi anti-D d dapat diuji dengan mencampur serum
pasien dengan sel darah merah Rh (+). Kemungkinan berkembangnya antibodi anti-D setelah
paparan pertama pada antigen Rh adalah 50-70%.
6
TIPE Adanya antibodi dalam serum
Insidensi*
A anti– B
45%
B anti – A
8%
AB -
4%
O anti A, anti–B
43%
2.4.2 Crossmatching
Suatu crossmatch transfusi: sel donor dicampur dengan serum penerima. Crossmatch
mempunyai tiga fungsi: ( 1) Konfirmasi jenis ABO dan Rh ( kurang dari 5 menit), ( 2)
mendeteksi antibodi pada golongan darah lain ,dan ( 3) mendeteksi antibody dengan titer
rendah atau tidak terjadi aglutinasi mudah. Yang dua terakhir memerlukan sedikitnya 45
menit.
2.4.3 Screening Antibodi
Tujuan tes ini adalah untuk mendeteksi dalam serum adanya antibodi yang biasanya
dihubungkan dengan reaksi hemolitik non-ABO. Test ini ( dikenal juga Coombs Tes tidak
langsung) memerlukan 45 menit dan dengan mencampur serum pasien dengan sel darah
merah dari antigen yang dikenal; jika ada antibodi spesifik, membran sel darah merah
dilapisi, dan penambahan dari suatu antibodi antiglobulin menghasilkan aglutinasi sel darah.
Screening ini rutin dilakukan pada seluruh donor darah dan dilakukan untuk penerima donor
sebagai ganti dari crossmatch.4
7
2.4.4 Pemeriksaan lain terhadap infeksi.
Tabel 3. Risiko transmisi agen-agen infeksi sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan rutin terhadap produk-produk darah 5,6,9
2.5 Komponen Darah
2.5.1 Whole blood
Darah lengkap segar digunakan pada perdarahan akut, syok hemovolemik, dan bedah
mayor dengan perdarahan >1500 mL. Darah lengkap segar hanya untuk 48 jam, baru untuk 6
hari, dan biasa untuk 35 hari. Sekarang produk ini sudah jarang digunakan, para klinisi lebih
senang menggunakanproduk komponen darah saja.
2.5.2 Sel darah merah
8
Biasa juga disebut PRC (packed red blood cells), mengandung konsentrat eritrosit dari
whole blood yang disentrifugasi atau dengan metodeapheresis. Kandungan yang terdapat
dalam PRC: hematokrit sekitar 50-80%, +50 mL plasma, 42,5-80 hemoglobin (128-240 mL
eritrosit murni), 147-dan 278 mg besi. Transfusi PRC mempunyai waktu paruh sekitar 30
hari.11
Dosis: pada dewasa tergantung kadar hemoglobin sekarang dan yang akan dicapai.
Satu kantong akan menaikkan kadar hemoglobin resipien sekitar 1 g/dL. Pada neonatus,
dosisnya 10-15 mL/kgBB akan meningkatkan kadar hemoglobin 3 g/dL. Kadar hemoglobin
akhir dapat diperkirakan dengan rumus = volume darah x hematokrit x 0,91.
Indikasi: hanya pada pasien dengan gejala klinis gangguan hemodinamik seperti
hipoksia, transfusi pengganti misal pada bayi dengan penyakit hemolitik, thalasemia.
Biasanya bila kadar hemoglobin kurang dari 6 g/dL dengan target akhir 10 g/dL.10
2.5.3 Platelet
Merupakan derivat dari whole blood dengan kandungan >5,5 x 1010 platelet per
kantong, dan 50 mL plasma.
Dosis: pada kasus trombositopenia cukup 1 kantong, atau sesuai target kadar platelet
biasanya 40.000-50.000/mm3. 1 kantong dapat meningkatkan platelet sekitar
50-100.000/mm3.
Indikasi: untuk mengatasi perdarahan karena kurangnya jumlah platelet, dan fungsi
platelet resipien yang tidak normal dengan kadar platelet kurang dari 40.000 pada dewasa,
dan kurang dari 100.000/mm3 pada neonatus.10
Kontraindikasi: autoimun trombositopenia, trombotik trombositopeniapurpura.
2.5.4 Frozen plasma
Biasa disebut fresh frozen plasma (FFP). 1 kantong berjumlah sekitar 250 mL yang
dibekukan pada suhu -180C dalam 6-8 jam. FFP dalam 24 jam mengandung Faktor V dan
Faktor VIII.10
Indikasi: perdarahan masif, setelah terapi warfarin dan kuagulopati pada penyakit hati,
trombotik trombositopenia purpura.
Dosis: 10-20 mL/kg.
2.5.5 Cryoprecipitated AHF
9
Biasa disebut cryoprecipitated antihemophilic factor. Didapatkan dengan mencairkan
FFP pada suhu 1-60C. Mengandung 150 mg fibrinogen, 80 IU faktor VIII:C, faktor
VIII:vWF (von Willebrand factor), faktor XIII, fibronectin, dan 5- 20 mL plasma.
Dosis: kebutuhan fibrinogen : 250 fibrinogen/kantong. Biasanya sekitar 1 kantong per
7-10 kgBB.
Indikasi: perdarahan karena defisiensi fibrinogen dan faktor XIII, pasien dengan
hemofili A atau von Willebrand’s disease.10
2.5.5 Granulosit
Transfusi Granulosit, yang dibuat dengan leukapheresis, diindikasikan pada pasien
neutropenia dengan infeksi bakteri yang tidak respon dengan antibiotik. Transfusi granulosit
mempunyai masa hidup dalam sirkulasi sangat pendek, sedemikian sehingga sehari-hari
transfusi 1010 granulosit pada umumnya diperlukan. Iradiasi dari granulosit menurunkan
insiden timbulnya reaksi graft-versus-host , kerusakan endothelial berhubungan dengan paru-
paru, dan lain permasalahan berhubungan dengan transfusi leukosit ( lihat di bawah), tetapi
mempengaruhi fungsi granulosit. Ketersediaan filgrastim (granulocyte colony-stimulating
faktor, atau G-CSF) dan sargramostim (granulocytemacrophage colony-stimulating faktor,
atau GM-CSF) telah sangat mengurangi penggunaan transfusi granulosit.4
2.6 Komplikasi Transfusi Darah
2.6.1 Reaksi Hemolisis
Reaksi Hemolisis pada umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel darah merah
yang ditransfusikan oleh antibodi resipien. Lebih sedikit biasanya, hemolisis sel darah merah
resipien terjadi sebagai hasil transfusi antibodi sel darah merah. Trombosit konsentrat yang
inkompatible, FFP, clotting factor, atau cryoprecipitate berisi sejumlah kecil plasma dengan
anti-A atau anti-B (atau kedua-duanya) alloantibodi. Transfusi dalam jumlah besar dapat
menyebabkan hemolisis intravaskular.4
Reaksi Hemolisis biasanya digolongkan akut ( intravascular) atau delayed
(extravascular).4
1. Reaksi hemolisis akut
Hemolisis Intravascular akut pada umumnya berhubungan dengan Inkompatibilitas
ABO dan frekwensi yang dilaporkan kira-kira 1:38,000 transfusi. Penyebab yang paling
umum adalah misidentifikasi suatu pasien, spesimen darah, atau unit transfusi. Reaksi ini
adalah yang terberat. Resiko suatu reaksi hemolytic fatal terjadi 1 dalam 100,000 transfusi.
Pada pasien yang sadar, gejala meliputi rasa dingin, demam, nausea, dan sakit dada. Pada
10
pasien yang dianestesi, manifestasi dari suatu reaksi hemolytic akut adalah suhu meningkat,
tachycardia tak dapat dijelaskan, hypotensi, hemoglobinuria, dan oozing yang difus dari
lapangan operasi. Disseminated Intravascular Coagulation, shock, dan penurunan fungsi
ginjal dapat berkembang dengan cepat. Beratnya suatu reaksi seringkali tergantung pada
berapa banyak darah yang inkompatibel yang sudah diberikan. Gejala yang berat dapat terjadi
setelah transfusi 10 – 15 ml darah yang ABO inkompatibel.
Manajemen reaksi hemolisis dapat simpulkan sebagai berikut;
Jika dicurigai suatu reaksi hemolisis, transfusi harus dihentikan dengan segera.
Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.
Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin.
Osmotic diuresis harus diaktifkan dengan mannitol dan cairan kedalam pembuluh
darah.
Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian platelets dan FFP
2. Reaksi hemolisis lambat
Suatu reaksi hemolisis lambat biasanya disebut hemolisis extravaskular biasanya
ringan dan disebabkan oleh antibodi non D antigen sistem Rh atau ke alel asing di sistem lain
seperti Kell, Duffy, atau Kidd antigen. Berikut suatu transfusi ABO dan Rh D-kompatibel,
pasien mempunyai 1-1.6% kesempatan membentuk antibody untuk melawan antigen asing.
Pada saat itu sejumlah antibody ini sudah terbentuk ( beberapa minggu sampai beberapa
bulan), tranfusi sel darah telah dibersihkan dari sirkulasi. Lebih dari itu, titer antibody
menurun dan mungkin tidak terdeteksi. Terpapar kembali dengan antigen asing yang sama
selama transfuse sel darah, dapat mencetuskan respon antibody melawan antigen asing.
Peristiwa ini dilihat jelas dengan Sistem Kidd antigen. Reaksi hemolisis pada tipe lambat
terjadi 2-21 hari setelah transfusi, dan gejala biasanya ringan, terdiri dari malaise, jaundice,
dan demam. Hematokrit pasien tidak meningkat setelah transfusi dan tidak adanya
perdarahan. Serum bilirubin unconjugated meningkat sebagai hasil pemecahan hemoglobin.4
Diagnosa antibodi-reaksi hemolisis lambat mungkin difasilitasi oleh antiglobulin
(Coombs) Test. Coombs test mendeteksi adanya antibodi di membran sel darah. Test ini tidak
bisa membedakan antara membran antibodi resipien pada sel darah merah dengan membran
antibodi donor pada sel darah merah. Jadi, ini memerlukan suatu pemeriksaan ulang yang
lebih terperinci pretransfusi pada kedua spesimen : pasien dan donor.4
Penanganan reaksi hemolisis lambat adalah suportif. Frekuensi reaksi transfusi
hemolisis lambat diperkirakan kira-kira 1:12.000 transfusi. Kehamilan ( terpapar sel darah
merah janin) dapat juga menyebabkan pembentukan alloantibodies pada seldarah merah.
11
Manajemen: perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin, blood film, LDH, direct
antiglobulin test, renal profile, serum bilirubin, haptoglobin, dan urinalysis. Fungsi ginjal
harus dimonitoring ketat. Terapi spesisfik sangat jarang dibutuhkan, hanya saja pada transfusi
selanjutnya perlu berhati-hati dengan melakukan screening golongan darah dan atibodi.
3. Reaksi imun nonhemolisis
Reaksi imun nonhemolisis adalah dalam kaitan dengan sensitisasi dari resipien ke
donor lekosit, platelet, atau protein plasma
2.6.2 Reaksi Febris
Sensitisasi leukosit atau platelet secara khas manifestasinya adalah reaksi febris.
Reaksi ini umumnya 1-3% tentang episode transfusi dan ditandai oleh suatu peningkatan
temperatur tanpa adanya hemolisis. Pasien dengan suatu riwayat febris berulang harus
menerima tranfusi lekosit saja. Transfusi darah merah dapat dibuat leukositnya kurang
dengan sentrifuge, filtrasi, atau teknik freeze-thaw.
2.6.3 Reaksi Urtikaria
Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh eritema, penyakit gatal bintik merah
dan bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam. Pada umumnya ( 1% tentang
transfusi) dan dipikirkan berkaitan dengan sensitisasi pasien terhadap transfusi protein
plasma. Reaksi urtikaria dapat diatasi dengan obat antihistamin ( H, dan mungkin H2
blockers) dan steroid.4
2.6.4 Reaksi Anafilaksis
Reaksi Anafilaksis jarang terjadi (kurang lebih 1 dari 150,000 transfusi). Reaksi ini
berat dan terjadi setelah hanya beberapa mililiter darah ditranfusi, secara khas pada IgA
pasien dengan defisiensi anti-IgA yang menerima tranfusi darah yang berisi IgA. Prevalensi
defisiensi IgA diperkirakan 1:600-800 pada populasi yang umum. Reaksi ini diatasi dengan
pemberian epinefrin, cairan, kortikosteroid, H1, dan H2 bloker. Pasien dengan defisiensi IgA
perlu menerima Washed Packed Red Cells, deglycerolized frozen red cells, atau IgA-Free
blood Unit .4
Tandanya meliputi hipotensi, bronkospasme, periorbital dan laryngeal edema, mual &
muntah, erythema, urtikaria, konjunctivitis, dyspnoea, nyeri dada, dan nyeri abdomen.
Manajemen: hentikan transfusi sampai gejala menghilang selama 30 menit. Untuk
menghilangkan gejala berikan antihistamin, misalnya chlorpheniramine 10 mg. Berikan
chlorpheniramine sebelum transfusi berikutnya dilakukan.4
12
2.6.5 Edema Pulmoner Nonkardiogenik
Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute Lung Injury [TRALI])
merupakan komplikasi yang jarang terjadi(<1:10,000). Ini berkaitan dengan transfusi
antileukositik atau anti-HLA antibodi yang saling berhubungan dan menyebabkan sel darah
putih pasien teragregasi di sirkulasi pulmoner. Tranfusi sel darah putih dapat berinteraksi
dengan leukoaglutinin. Perawatan Awal TRALI adalah sama dengan Acute Respiratory
distress syndrome (ARDS), tetapi dapat sembuh dalam 12-48 jam dengan terapi suportif.
Manajemen: atasi distres pernapasan dengan ventilator, dan berikan steroid.
2.6.6 Graft versus Host Disease
Reaksi jenis ini dapat dilihat pada pasien immune-compromised. Produk sel darah
berisi limfosit mampu mengaktifkan respon imun. Penggunaan filter leukosit khusus sendiri
tidak dapat dipercaya mencegah penyakit graft-versushost. Iradiasi (1500-3000 cGy) sel
darah merah, granulocyte, dan transfusi platelet secara efektif menginaktifasi limfosit tanpa
mengubah efikasi dari transfusi.4
2.6.7 Purpura Posttransfusi
Thrombositopenia jarang terjadi setelah transfusi darah dan ini berkaitan dengan
berkembangnya aloantibodi trombosit. Karena alasan yang tidak jelas, antibodi
menghancurkan trombosit. Hitung trombosit secara jelas menurun 1 minggu setelah tranfusi.
Plasmapheresis dalam hal ini dianjurkan.4
2.6.8 Imunosupresi
Transfusi leukosit merupakan produk darah dapat sebagai immunosuppressi. Ini
adalah terlihat jelas pada penerima cangkok ginjal, di mana transfusi darah preoperatif
nampak untuk meningkatkan survival dari graft. Beberapa studi menyatakan bahwa rekurensi
dari pertumbuhan malignan mungkin lebih mirip pada pasien yang menerima transfusi darah
selama pembedahan. Dari kejadian yang ada juga menyatakan bahwa tranfusi leukosit
allogenik dapat mengaktifkan virus laten pada resipien. Pada akhirnya, transfusi darah dapat
meningkatkan timbulnya infeksi yang serius setelah pembedahanatau trauma.4
2.7 Komplikasi Infeksi
2.7.1 Infeksi Virus Hepatitis
Sampai tes rutin untuk virus hepatitis telah diterapkan, insidensi timbulnya hepatitis
setelah transfusi darah 7-10%. Sedikitnya 90% tentang kasus ini adalah dalam kaitan dengan
13
hepatitis C virus. Timbulnya hepatitis posttransfusi antarab 1:63,000 dan 1:1,600,000, 75%
tentang kasus ini adalah anikterik, dan sedikitnya 50% berkembang menjadi penyakit hati
kronis. Lebih dari itu, tentang kelompok yang terakhir ini, sedikitnya 10-20% berkembang
menjadi cirrhosis.4
2.7.2 Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
Virus yang bertanggung jawab untuk penyakit ini, HIV-1, ditularkan melalui transfusi
darah. Semua darah dites untuk mengetahui adanya anti-HIV-1 dan - 2 antibodi. Dengan
adanya FDA yang menguji asam nukleat memperkecil waktu kurang dari satu minggu dan
menurunkan resiko dari penularan HIV melalui tranfusi 1:1.900.000 tranfusi.4
2.7.3 Infeksi Virus Lain
Cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus umumnya menyebabkan penyakit
sistemik ringan atau asimptomatik. Yang kurang menguntungkan, pada beberapa individu
menjadi pembawa infeksi asimptomatik; lekosit dalam darah dari donor dapat menularkan
virus. Pasien immunosupresif dan Immunocompromise (misalnya, bayi prematur dan
penerima transplantasi organ) peka terhadap infeksi CMV berat setelah tranfusi. Idealnya,
pasien - pasien menerima hanya CMV negatif.
Bagaimanapun, studi terbaru menunjukkan bahwa resiko transmisi CMV dari
transfusi dari darah yang leukositnya berkurang sama dengan tes darah yang CMV negatif.
Oleh karena itu, pemberian darah dengan leukosit yang dikurangi secara klinis cocok
diberikan pada pasien seperti itu. Human T sel virus lymphotropic I dan II ( HTLV-1 dan
HTLV-2) adalah leukemia dan lymphoma virus, kedua-duanya telah dilaporkan ditularkan
melalui transfusi darah; leukemia dihubungkan dengan myelopathy. Penularan Parvovirus
telah dilaporkan setelah transfusi faktor pembekuan. dan dapat mengakibatkan krisis transient
aplastic pada pasien immunocompromised. Penggunaan filter leukosit khusus nampaknya
mengurangi tetapi tidak mengeliminasi timbulnyakomplikasi di atas.4
2.7.4 Infeksi Parasit
Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi seperti
malaria,toxoplasmosis, dan Penyakit Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut jarang terjadi.4
2.7.5 Infeksi Bakteri
Kontaminasi bakteri adalah penyebab kedua kematian melalui transfusi. Prevalensi
kultur positif dari kantong darah berkisar dari 1/2000 trombosit sampai 1/7000 untuk RBC.
Prevalensi sepsis oleh karena transfusi darah berkisar dari 1/25,000 tromobosit sampai
14
1/250,000 untuk RBC. Angka-angka ini secara relatif besar dibandingkan ke resiko HIV atau
hepatitis, yang adalah di sekitar 1/1-2 juta. Baik bakteri gram-positif (Staphylococus) dan
bakteri gram-negatif (Yersinia dan Citrobacter) jarang mencemari transfusi darah dan
menularkan penyakit. Untuk mencegah kemungkinan kontaminasi dari bakteri, darah harus
berikan dalam waktu kurang dari 4 jam. Penyakit bakteri yang ditularkan melalui transfusi
darah dari donor meliputi sifilis, brucellosis, salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai macam
rickettsia.4
Manajemen: penanganan kasus ini adalah dengan memberikan antibiotik sesuai
bakteri penginfeksi. Bila jenis bakterinya tidak diketahui, kombinasi berikut dapat
dipertimbangkan:
Bakteri gram negatif: piperacillin 4,5 g tds iv; atau ceftriaxone 1 g 1x/hari;
atau meropenem 1 g tds iv.
Bakteri gram positif: teicoplain 400mg bd iv x2; atau vancomycin 1 g bd iv.10
2.7.6 Overload Cairan
Overload cairan terjadi bila transfusi dilakukan terlalu cepat. Gagal jantung ventrikel
kiri akut sering terjadi disertai dyspnoe, tachypnoea, batuk kering, peningkatan JVP, ronki
basal paru, hipertensi, dan takikardi.10
Manajemen: hentikan transfusi, dan berikan oksigen dan diuretik.
2.7.7 Iron Overload
Komplikasi ini sering terjadi pada resipien dengan kelainan yang hidupnya
bergantung pada transfusi darah seperti talasemia dan sickle cell. Komplikasi ini terjadi bila
transfusi sudah mencapai 10-50 kantong.10
Manajemen: dilakukan iron chelation therapy dengan desferoxamine 30- 50 mg subkutan
atau infus lambat saat malam, minimal 5x/minggu.10
2.8 Transfusi Darah Masif
Transfusi darah masif umumnya didefinisikan sebagai kebutuhan transfusi satu
sampai dua kali volume darah pasien. Pada kebanyakan pasien dewasa, equivalent dengan
10-20 unit.4
2.8.1 Koagulopati
15
Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif adalah dilutional
thrombocytopenia. Secara klinis dilusi dari faktor koagulasi tidak biasa terjadi pada pasien
normal. Pelajari koagulasi dan hitung trombosit, jika tersedia, idealnya menjadi acuan
transfusi trombosit dan FFP. Analisa viskoelastis dari pembekuan darah
(thromboelastography dan Sonoclot Analyze) juga bermanfaat.4
2.8.2 Keracunan Sitrat
Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat menjadi penting
setelah transfusi darah dalam jumlah besar. Secara klinis hipokalsemia penting, karena
menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada pasien normal kecuali jika transfusi melebihi
1 U tiap-tiap 5 menit. Sebab metabolisme sitrat terutama di hepar, pasien dengan penyakit
atau disfungsi hepar (dan kemungkinan pada pasien hipotermi) memerlukan infus kalsium
selama transfusi masif.4
2.8.3 Hipotermia
Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua produk darah
cairan intravena hangat ke temperatur badan normal. Aritmia Ventrikular dapat menjadi
fibrilasi, sering terjadi pada temperatur sekitar 30°C. Hypothermia dapat menghambat
resusitasi jantung. Penggunaan alat infus cepat dengan pemindahan panas yang efisien sangat
efisien telah sungguh mengurangi timbulnya insiden hipotermia yang terkait dengan
transfuse.4
2.8.4 Kelainan Asam Basa
Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat asam dalam kaitan dengan
antikoagulan asam sitrat dan akumulasi dari metabolit sel darah merah (karbondioksida dan
asam laktat), berkenaan dengan metabolisme asidosis metabolik yang berkaitan dengan
transfusi tidaklah umum. Yang terbanyak dari kelainan asam basa setelah tranfusi darah
masif adalah alkalosis metabolik postoperatif. Ketika perfusi normal diperbaiki, asidosis
metabolik berakhir dan alkalosis metabolik progresif terjadi, sitrat dan laktat yang ada dalam
tranfusi dan cairan resusitasi diubah menjadi bikarbonat oleh hepar.4
2.8.5 Perubahan Konsentrasi Kalium Serum
Konsentrasi kalium ekstraselular dalam darah yang disimpan meningkat dengan
waktu. Jumlah kalium ekstraselular yang transfusi pada unit masingmsaing kurang dari 4
mEq perunit. Hyperkalemia dapat berkembang dengan mengabaikan umur darah ketika
16
transfusi melebihi 100 mL/min. Hypokalemia biasanya ditemui sesudah operasi, terutama
sekali dihubungkan dengan alkalosis metabolik.4
2.9 Strategi Alternatif Penanganan Kehilangan Darah
2.9.1 Transfusi Autologus
Pasien yang mengalami prosedur pembedahan elektif dengan suatu kemungkinan
tinggi untuk transfusi dapat mendonorkan darah mereka sendiri untuk digunakan selama
operasi. Darah ini dapat dikumpulkan mulai 4-5 minggu sebelum operasi. Pasien
diperbolehkan untuk mendonorkan satu kantong darah sepanjang hematokrit kurang lebih
34% atau hemoglobin sekitar 11 g/dl. Kebutuhan pemakaian darah minimum 72 jam antara
mendonorkan darah dan membuat volume plasma kembali normal. Dengan suplementasi besi
dan terapi eritropoetin rekombinan ( 400 U perminggu), sedikitnya tiga atau empat unit pada
umumnya dikumpulkan sebelum operasi.4
Beberapa studi menyatakan bahwa transfusi darah autologous tidak mempunyai efek
tambahan yang mempengaruhi survival pada pasien yang mengalami operasi untuk kanker.
Walaupun transfusi autologous mungkin mengurangi resiko infeksi dan reaksi transfusi,
mereka tidaklah dengan sepenuhnya bebas dari resiko. Resiko meliputi reaksi immunologi
yang berhubungan dengan kesalahan pekerjaan karyawan dalam pengumpulan dan label,
pencemaran, dan gudang/penyimpanan yang tidak benar. Reaksi alergi dapat terjadi dalam
kaitan dengan alergen (misalnya, ethylen oksida), dapat masuk kedalam darah dari tempat
pengumpulan dan gudang penyimpanan. Pengumpulan darah preoperative autologous
dilakukan dengan frekuensi berkurang.4
2.9.2 Penyimpanan Darah dan Pemberian Cairan Melalui Infus Berulang
Teknik ini umumnya digunakan pada bedah jantung, vaskular dan bedah tulang.
Darah di aspirasi intraoperatif bersama-sama dengan suatu pencegah pembekuan darah
(heparin) ke dalam suatu reservoir. Setelah jumlah darah cukup dikumpulkan, sel darah yang
merah di konsentratkan dan dicuci untuk dimurnikan dari kotoran dan zat pembeku kemudian
di transfusikan kembali ke dalam pasien. Konsentrat darah tersebut umumnya mempunyai
hematokrit 50- 60%. Untuk digunakan secara efektif, teknik ini memerlukan kehilangan
darah lebih besar dari 1000-1500 mL. Kontrainidikasi meliputi pencemaran dari luka yang
busuk dan tumor malignan, meskipun demikian kekhawatiran tentang kemungkinan reinfusi
sel malignan via teknik ini tidak dibenarkan. Sistem lebih modern dan sederhana
memungkinkan reinfusion darah tanpa centrifuge.4
2.9.3 Normovolemik Hemodilusi
17
Hemodilution normovolemic akut bergantung pada pendapat bahwa jika konsentrasi
sel darah merah dikurangi, total kehilangan sel darah merah dapat dikurangi apabila darah
dalam jumlah besar ditumpahkan. Lebih dari itu, cardiac output tetap normal sebab volume
intravaskular terkontrol. Darah umumnya dikeluarkan sebelum operasi melalui kateter
intravena yang besar dan digantikan dengan cairan kristaloid dan koloid, supaya pasien tetap
normovolemic tetapi dengan hematocrit 21-25%. Darah yang dikeluarkan disimpan dalam
kantong CPD pada suhu sampai 6 jam untuk menjaga fungsi dari trombosit. Darah di
transfusikan kembali ke pasien setelah kehilangan darah atau lebih cepat jika diperlukan.4
2.9.4 Donor – Transfusi Langsung
Pasien dapat meminta donor darah dari anggota keluarga atau teman yang
mengandung ABO kompatibilitas. Kebanyakan bank darah tidak menyarankan hal ini dan
umumnya memerlukan donor kurang lebih 7 hari sebelum operasi untuk memproses darah
dan mengkonfirmasikan kompatibilitas. Studi yang membandingkan keamanan dari
pendonor-langsung dengan donor secara random tidak ada perbedaan, ataupun bank darah
lebih aman.4
BAB III
KESIMPULAN
Transfusi darah memang merupakan upaya untuk menyelamatkan kehidupan dalam
banyak hal, dalam bidang anestesi misalnya dalam proses pembedahan besar. Dalam
18
pembedahan, pasien dapat mengalami perdarahan dari yang paling ringan sampai perdarahan
massif.
Penggantian darah dapat optimal apabila pemilihan jenis darah yang digantikan tepat
dan sesuai kondisi pasien pada saat itu, dengan mempertimbangkan komplikasi yang dapat
terjadi dalam reaksi transfusi darah penggantian darah ataupun komponen-komponen darah
merupakan suatu tindakan yang sangat berarti bagi pasien sesuai dengan tujuan utama
transfusi yaitu memelihara dan mempertahankan kesehatan donor, memelihara keadaan
biologis darah atau komponen agar lebih bermanfaat, memelihara dan mempertahankan
volume darah yang normal pada peredaran darah (stabilitas peredaran darah). mengganti
kekurangan komponen seluler atau kimia darah, meningkatkan oksigenasi jaringan,
memperbaiki fungsi hemostatis.
DAFTAR PUSTAKA
19
1. Intravenous Fluids. Clinical Practice Guidelines. Royal Children’s Hospital
Melbourne. http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm
2. C Waitt, P Waitt, M Pirmohamed. Intravenous Therapy. Postgrad. Med. J. 2004; 80;
1-6.
3. Latief AS, dkk. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan. Edisi
Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI. 2002
4. Banks JB, Meadows S. Intravenous Fluids for Children with Gastroenteritis. Clinical
Inquiries, American Family Physician, January 1 2005. American Academy of Family
Physicians.
5. D Payne J, Elliot E. Gastroenteritis in Children. Clin Evid 2004; 12: 1-3. BMJ
Publishing Group Ltd 2004.
6. Eliason BC, Lewan RB. Gastroenteritis in Children: Principles of Diagnosis and
Treatment. American Family Physician Nov 15 1998. American Academy of Family
Physicians.
7. Morgan G.E, et al. Clinical Anesthesiology. Fourth edition. New York: Lange
Medical Books – McGraw Hill Companies. 2006: 662-689
8. Martin S. Intravenous Therapy. Nova Southeastern University PA Program.
9. Ellsbury DL, George CS. Dehydration. eMed J [serial online] 2006 Mar
URL:http://www.emedicine.c om/CHILD/topic925.htm .
10. 10.McClelland, DBL. Handbook of transfusion medicine ed. 4. 2007. United kingdom
blood service.
20