makalah seminar mandiri koasistensi reproduksi

33
MAKALAH SEMINAR MANDIRI KOASISTENSI REPRODUKSI PERIODE NOVEMBER—DESEMBER 2012 PENGARUH CROSS-BREED SAPI POTONG DI INDONESIA TERHADAP PERFORMANS REPRODUKSI Oleh: Filya Rizki Saputro, S.K.H 12/341926/KH/07631 Dosen Pembimbing: drh. Agung Budiyanto, MP., Ph.D BAGIAN REPRODUKSI DAN KEBIDANAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN 1

Upload: runde-p-putra

Post on 16-Nov-2015

270 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

MAKALAH SEMINAR MANDIRI KOASISTENSI REPRODUKSI

PERIODE NOVEMBERDESEMBER 2012

PENGARUH CROSS-BREED SAPI POTONG DI INDONESIA TERHADAP PERFORMANS REPRODUKSI

Oleh:

Filya Rizki Saputro, S.K.H

12/341926/KH/07631Dosen Pembimbing:

drh. Agung Budiyanto, MP., Ph.D

BAGIAN REPRODUKSI DAN KEBIDANAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA

2012PENDAHULUAN

Latar Belakang Sektor peternakan Indonesia mengalami peningkatan dan perkembangan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk 3,5 juta jiwa pertahun sehingga jumlahnya ditaksir mencapai 241 juta jiwa pada tahun 2011(Joewono, 2011). Fakta ini juga tercermin dengan meningkatnya permintaan akan konsumsi ternak atau produksi ternak oleh masyarakat. Menghadapi permintaan dari konsumen yang meningkat tersebut, untuk memenuhi kebutuhan pangan khususnya daging sapi maka segenap elemen seperti lembaga pemerintahan, instansi swasta dan peternak harus bekerja keras untuk mencukupinya (Aziz, 1993).Upaya untuk memenuhi kebutuhan daging sapi dapat dilakukan dengan cara meningkatkan populasi, produksi dan produktivitas sapi potong. Untuk itu, bibit sapi potong merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan dan strategis, sehingga diperlukan upaya pengembangan pembibitan sapi potong secara berkelanjutan. Sampai saat ini berdasarkan hasil perhitungan cepat (quick count) Sensus Ternak Badan Pusat Statistik 2011 pada awal Juli lalu, Indonesia memiliki populasi ternak sapi potong mencapai 14,43 juta ekor (Dewi, 2011). Teknologi inseminasi buatan (IB) di Indonesia diawali pada tahun 1982 dan lebih populer pada generasi kedua pada tahun 1990 dengan jenis bibit yang lebih disukai peternak yaitu jenis sapi Simmental dan Limousin (Putro, 2009), selain sapi-sapi potong impor tersebut di Indonesia juga dikenal sapi potong lokal yaitu sapi Onggole, sapi Madura dan sapi Bali (Anonimus, 1995). Jenis sapi lokal tersebut memiliki daya adaptasi yang lebih baik dari pada sapi impor terutama dalam hal pakan yang sebagian besar berasal dari limbah pertanian (Hardjosubroto, 1994).Tujuan dari pengembangan inseminasi buatan (IB) dengan bibit sapi potong impor serta pengoptimalan potensi sapi lokal adalah menghasilkan bibit sapi yang berkualitas sebagai sapi potong (Anonimus b, 2011). Melalui inseminasi buatan (IB) kini banyak muncul sapi hasil silangan seperti SimPO, LimPO, SimBrah, Brangus dan masih banyak lagi yang lainnya. Inseminasi buatan merupakan salah satu cara yang efektif untuk peningkatan populasi ternak sapi di Indonesia terlebih setelah dicanangkannya swasembada daging 2014. Sapi-sapi hasil IB memiliki kualitas daging yang cukup baik sehingga diharapkan dapat merealisasikan program tersebut.

Strategi untuk menghasilkan bibit sapi berkualitas sebagai sapi potong dapat dilakukan dengan cara meningkatkan laju kelahiran dan produktivitas yang dipengaruhi oleh sistem pemeliharaan ternak yang baik termasuk tata laksana reproduksi. Laju kelahiran dan produktivitas yang baik dapat dicapai bila ternak memiliki nilai efisiensi reproduksi yang tinggi serta rendahnya angka gangguan reproduksi sehingga produksi ternak dapat maksimal, dalam arti produksi bertambah jika ada perbaikan ataupun peningkatan efisiensi reproduksi. Performans reproduksi sapi potong dapat dilihat dari umur pubertas, umur pertama dikawinkan, service per conception (S/C), estrus post partus, days open dan calving interval. Menurut Hadi dan Ilham (2002) performans reproduksi sapi potong di Indonesia umumnya masih rendah, hal ini ditandai dengan tingginya umur saat kawin pertama, service per conception, estrus post partus, days open serta calving interval. TINJAUAN PUSTAKACrossbreeding

Crossbreeding merupakan persilangan antar ternak dari bangsa (breed) yang berbeda. Crossbreeding sapi potong mempunyai tujuan antara lain: a) membentuk bangsa teranak baru (composite breed), b) meningkatkan produksi ternak lokal, c) mendapatkan efek heterosis (sifat yang muncul dari persilangan yang berbeda dari induknya), d) mendapatkan komplementari bangsa (breed complementary).Dalam Crossbreeding terdapat 4 macam sistem, yakni :

1. Sistem Terminal (Terminal System)Sistem ini merupakan salah satu sistem dari crossbreeding, yang dimana dalam sistem ini menggunakan 2 breed/ bangsa yang berbeda. Dalam sistem terminal ini, semua anak sapi hasil persilangan dijual dan betina pengganti (female replacements) diambil dari betina di luar kelompok. Betina yang dipilih sebagai induk yakni betina yang telah melewati seleksi sehingga didapatkan betina yang baik, tingkat produksi susu serta mothering ability yang baik. Sedangkan untuk jantan, tingkat pertumbuhan serta karakteristik karkas yang baik adalah merupakan hal yang sangat penting (Anonim, 2009). Adapun keuntungan yang diperoleh dengan adanya sistem ini adalah memungkinkan untuk meningkatkan heterosis progeny sebesar 100% selain itu juga dapat meningkatkan breed complementary(Frahm, 2007). Selain itu, kekurangan yang didapat dari sistem ini yakni diperlukan ladang pengembalaan (pasture) yang memenuhi syarat baik kuantitas maupun kualitas, karena mengingat dalam sistem ini yang terlibat adalah 2 kelompok ternak sapi yang saling berbeda bangsa sehingga dimungkinkan juga berbeda dalam mengkonsumsi pakan/ hijauan (Frahm, 2007).2. Sistem Rotasi (Rotational System)Dalam sistem ini diperlukan 2 atau 3 bangsa ternak yang berbeda. Secara umum terdapat dua macam sistem rotasi, yakni sistem rotasi 2 bangsa (Two-Breed Rotational Breed) dan sistem rotasi 3 bangsa (Three-Breed Rotational Breed). Namun, sistem yang banyak digunakan adalah sistem rotasi dengan menggunakan 3 bangsa ternak yang berbeda. Sedikit pemaparan mengenai sistem rotasi 2 bangsa, yakni dari breed A disilangkan dengan breed B, dan breed B disilangkan dengan breed A. Dalam sistem ini, akan didapatkan peningkatan heterosis sebesar 66%. Pada keturunannya akan memiliki 2/3 gen dari bangsa induknya, sedangkan 1/3 gen berasal dari bangsa lain (Anonim, 2009). Sedangkan untuk sistem rotasi dengan 3 bangsa, dalam 1 peternakan terdiri dari 3 bangsa ternak, yang dimana breed A digunakan sebagai female replacements untuk kemudian disilangkan dengan breed B. Ternak hasil persilangan tadi digunakan sebagai female replacements yang kemudian disilangkan dengan breed C. Ternak hasil persilangan ini kemudian digunakan sebagai female replacements yang kemudian akan disilangkan dengan breed A (Frahm, 2007). Adapun keuntungan yang diperoleh dari sistem rotasi 3 bangsa ini adalah dapat meningkatkan heterosis atau hybrid vigor lebih tinggi 20% - 21% dibandingkan dengan sistem rotasi 2 bangsa, yakni sebesar 86% - 87%. Disamping itu kerugian yang diperoleh dalam sistem ini adalah kesulitan dalam pemeliharaan bila dibandingkan dengan sistem rotasi dengan 2 bangsa, mengingat bahwa dalam sistem ini menggunakan 3 bangsa ternak yang berbeda, sehingga juga dibutuhkan pasture yang dapat mencukupi maintenance (kebutuhan sehari-hari) dari ternak tersebut, serta pakan yang tersedia harus sesuai dengan A.I (animal unit) agar tidak terjadi overgrazing ( ternak > hijauan ) dan undergrazing ( ternak