makalah psikologi pendidikan
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kecerdasan yang dimiliki manusia merupakan salah satu potensi yang
dianugerahkan oleh Allah SWT, yang menjadikannya sebagai salah satu
kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan
kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan
meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses
berpikir dan belajar secara terus menerus. Dalam hal ini, sudah sepantasnya
manusia bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun
berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini manusia ternyata masih
dapat mempertahankan kelangsungan peradaban hidupnya.
Salah satu pengertian kecerdasan yang paling banyak digunakan adalah
yang dikemukakan oleh Wechsler. Ia menganggap kecerdasan adalah konsep
generik yang melibatkan kemampuan individual untuk berbuat dengan tujuan
tertentu. Sementara itu menurut Chaplin (1975) memberikan pengertian
kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap
situasi baru secara cepat dan efektif. Kemudian Anita E. Woolfolk (1975)
mengemukakan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga
pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan
pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan
situasi baru atau lingkungan pada umumya (dalam Akhmad Sudrajat, 2009).
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa
ini, orang tidak hanya berbicara tentang Kecerdasan Umum, Kecerdasan
Intelektual (IQ) saja, melainkan juga Kecerdasan Emosi (EQ) dan Kecerdasan
Spiritual (SQ). Setiap kecerdasan ini memiliki wilayahnya sendiri-sendiri di
otak. Sesuai dengan fitrah, kecerdasan sudah ada sejak manusia dilahirkan,
tetapi yang mewarnai selanjutnya adalah keluarga dan lingkungannya.1
1 Iskandar, Psikologi Pendidikan (Sebuah Orientasi Baru), (Jakarta: Gaung Persada (GP) Press, 2009), hlm. 50-51.
1
Intelegensi merupakan salah satu konsep yang dipelajari dalam
psikologi. Pada hakekatnya, semua orang sudah merasa memahami makna
intelegensi. Sebagian orang berpendapat bahwa intelegensi merupakan hal
yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan.
Setiap manusia memiliki kecerdasan yang diartikan sebagai potensi
dasar seseorang untuk berpikir, menganalisis dan mengelola tingkah lakunya
di dalam lingkungan dan potensi itu dapat diukur. Kecerdasan terdiri dari IQ,
EQ dan SQ. IQ adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan.
EQ adalah kemampuan untuk menyikapi pengetahuan-pengetahuan
emosional dalam bentuk menerima, memeahami dan mengelola. SQ adalah
kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai.IQ,
EQ dan SQ adalah perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang
saling terkait (interconnected) di dalam diri kita, sehingga tak mungkin juga
kita pisah-pisahkan fungsinya. 2 Oleh karena itu, makalah ini akan membahas
tentang berbagai macam kecerdasan yang dimiliki manusia.
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan sebagaimana latar belakang permasalahan di atas maka
rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah
1. Macam-Macam Kecerdasan Manusia
2. Urgensi IQ, EQ, dan SQ dalam Proses Pendidikan
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
macam-macam kecerdasan manusia dan urgensi IS, EQ dan SQ dalam proses
pendidikan serta untuk menambah wawasan penulis pada khususnya tentang
macam-macam kecerdasan manusia dan urgensi IS, EQ dan SQ dalam proses
pendidikan dan para pembaca pada umumnya.
BAB II
2 Suharsono, melejikan IQ,IE & IS (Depok:2004)hlmn.114-115
2
PEMBAHASAN
A. Macam-Macam Kecerdasan Manusia
Kita telah mengenal berbagai kecerdasan manusia diantaranya IQ, EQ,
SQ, dan Multiple Intelligence.
1. Kecerdasan Intelektual [Intelligence Quotient (IQ)]
Kecerdasan Intelektual/Intelligence Quotient (IQ) merupakan
kecerdasan dasar yang berhubungan dengan proses kognitif, pembelajaran
(kecerdasan intelektual) cenderung menggunakan kemampuan matematis-
logis dan bahasa, pada umumnya hanya mengembangkan kemampuan
kognitif (menulis, membaca, menghafal, menghitung dan menjawab).
Kecerdasan ini dikenal dengan kecerdasan rasional karena menggunakan
potensi rasio dalam memecahkan masalah, penilaian kecerdasan dapat
dilakukan melalui tes atau ujian daya ingat, daya nalar, penguasaan kosa
kata, ketepatan menghitung, mudah menganalisis data. Dengan ujian
seperti dapat dilihat tingkat kecerdasan intelektual seseorang.
Kecerdasan intelektual muncul sejak dalam kehidupan keluarga
dan masyarakat, sejak anak di dalam kandungan (masa pranata) sampai
tumbuh menjadi dewasa. Kecerdasan intelektual (inteligensi) merupakan
aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas
seseorang dalam perolehan pembelajaran.
Kecerdasan intelektual (IQ) pada umumnya dapat diartikan sebagai
kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau diri dengan
lingkungan dengan cara yang tepat.3
Semenjak zaman pencerahan yang mengagungkan kemajuan ilmu
pengetahuan sebagai lambang kemajuan peradaban, intilegensi naik daun
dan dianggap sebagai prediktor utama kesuksesan, bahkan mungkin satu-
satunya. Sehingga salah kaprah terhadap konsep IQ dan terjadi
pemberhalaan IQ. Sering terjadi pertukaran konsep dikalangan awam
antara inteligensi (intelligence) dan IQ.
3 Ibid., hlm. 58.
3
Inteligensi adalah sebuah konsep, yang dioperasionalisasikan
dengan suatu alat ukur, dan keluaran dari alat ukur inilah yang berupa IQ.
Angka yang keluar adalah angka berdasarkan satuan tertentu. Semacam
“gram” untuk “berat”, dan “meter” untuk “jarak”. Konsep inilah yang
harus diluruskan agar tidak menimbulkan beragam penafsiran : IQ adalah
satuan ukur.
Untuk mengukur tingkat inteligensi anak, dapat digunakan tes IQ
(Intelligence Quotient) misalnya dari Binet Simon. Dari hasil tes Binet
Simon, dibuatlah penggolongan inteligensi sebagai berikut:
a. Genius > 140;
b. Gifted > 130;
c. Superior > 120;
d. Normal 90-110;
e. Debil 60-79;
f. Imbesil 40-55;
g. Idiot > 30.4
Inteligensi orang satu dengan yang lain cenderung berbeda-beda. Hal
ini karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain:
a. Faktor pembawaan, dimana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa
sejak lahir.
b. Faktor minat dan pembawaan yang khas, dimana minat mengarahkan
perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan
itu.
c. Faktor pembentukan, dimana pembentukan adalah segala keadaan
diluar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan inteligensi.
d. Faktor kematangan, dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami
pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik
maupun psikis, dapat dikatakan telah matang jika ia telah tumbuh atau
berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya
masing-masing.
4[3] Djaali, Psikologi Pendidikan, (Jakarta, PT Bumi Aksara, 2008), hlm. 72.
4
e. Faktor kebebasan, yang berarti manusia dapat memilih metode tertentu
dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping kebebasan
memilih metode juga bebas memilih masalah yang sesuai dengan
kebutuhannya.
f. Kelima faktor itu saling terkait satu dengan yang lain. Jadi, untuk
menentukan kecerdasan seseorang, tidak dapat hanya berpedoman
kepada salah satu faktor tersebut.5
2. Kecerdasan Emosi [Emotional Quotient (EQ)]
Sesuai dengan berjalannya zaman, manusia mulai menyadari bahwa
faktor emosi tidak kalah pentingnya dalam mendukung sebuah kesuksesan,
bahkan dipandang lebih penting dari pada inteligensi. Daniel Goleman
telah mempopulerkan pada pertengahan 1990-an. Seperti juga IQ, konsep
kecerdasan emosi ini dioperasionalisasikan menjadi alat ukur dan
keluarannya disebut EQ. 6
Konsep ini muncul dari beberapa pengalaman, bahwa kecerdasan
intelektual yang tinggi saja tidak cukup untuk mengantarkan orang menuju
sukses. Menurut Goleman (1995) pengembangan kecerdasan emosional,
orang-orang sukses selain memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi
tetapi juga memliki stabilitas, motivasi kerja yang tinggi, mampu
mengendalikan stres, tidak mudah putus asa, dan lain-lain. Pengalaman-
pengalaman demikian, memperkuat keyakinan bahwa disamping
kecerdasan intelektual juga ada kecerdasan emosional. Orang yang
memiliki kecerdasan emosional yang tinggi adalah mereka yang mampu
mengendalikan diri (mengendalikan gejolak emosi), mampu menerima
kenyataan, dapat merasakan kesenangan meskipun dalam kesulitan.7
5[4] Ibid., hlm. 74-75. 6[5] Emosi adalah luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat; keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan, keberanian yang bersifat subjektif). Anton M. Moeliono, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1990), hlm. 228.7[6] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 97.
5
Demikian pula penerapannya dalam kehidupan organisasi,
inteligensi tidak lagi dianggap satu-satunya faktor menentukan kinerja
seseorang. Dalam konsep kompetensi faktor-faktor seperti motivasi,
keterampilan interpersonal, dan kepemimpinan mendapat perhatian yang
cukup signifikan.8
Tokoh-tokoh seperti Sternberg, Baron dan Salovey, menyebutkan
adanya lima domain kecerdasan pribadi dalam bentuk kecerdasan
emosional, yaitu:
a. Kemampuan mengenali emosi diri
Kemampuan mengenali emosi diri merupakan kemampuan
seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri sewaktu perasaan atau
emosi itu muncul. Ini sering dikatakan sebagai dasar dari kecerdasan
emosional. Seseorang yang mampu mengenali emosinya sendiri adalah
bila ia memiliki kepekaan yang tajam atas perasaan mereka yang
sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusan-keputusan secara
mantap. Misalnya sikap yang diambil dalam menentukan berbagai
pilihan, seperti memilih sekolah, sahabat, pekerjaan sampai kepada
pemilihan pasangan hidup.
b. Kemampuan mengelola emosi
Kemampuan mengelola emosi merupakan kemampuan seseorang
untuk mengendalikan perasaannya sendiri sehingga tidak meledak dan
akhirnya dapat mempengaruhi perilakunya secara salah. Mungkin dapat
diibaratkan sebagai seorang pilot pesawat yang dapat membawa
pesawatnya ke suatu kota tujuan dan kemudian mendaratkannya secara
mulus. Misalnya seseorang yang sedang marah, maka kemarahan itu,
tetap dapat dikendalikan secara baik tanpa harus menimbulkan akibat
yang akhirnya disesalinya di kemudian hari.
c. Kemampuan memotivasi diri
Kemampuan memotivasi diri merupakan kemampuan untuk
memberikan semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu
8[7] Iskandar, op.cit., hlm. 59.
6
yang baik dan bermanfaat. Dalam hal ini terkandung adanya unsur
harapan optimisme yang tinggi, sehingga seseorang memiliki kekuatan
semangat untuk melakukan suatu aktivitas tertentu. Misalnya dalam hal
belajar, bekerja, menolong orang lain dan sebagainya. 9
d. Kemampuan mengenali emosi orang lain
Kemampuan mengenali emosi orang lain (empati) merupakan
kemampuan untuk mengerti perasaan dan kebutuhan orang lain,
sehingga orang lain akan merasa senang dan dimengerti perasaannya.
Anak-anak yang memiliki kemampuan ini, yaitu sering pula disebut
sebagai kemampuan berempati, mampu menangkap pesan non verbal
dari orang lain seperti nada bicara, gerak-gerik maupun ekspresi wajah
dari orang lain tersebut. Dengan demikian anak-anak ini akan
cenderung disukai orang.
e. Kemampuan membina hubungan sosial
Kemampuan membina hubungan sosial merupakan kemampuan
untuk mengelola emosi orang lain, sehingga tercipta keterampilan sosial
yang tinggi dan membuat pergaulan seseorang menjadi lebih luas.
Anak-anak dengan kemampuan ini cenderung mempunyai banyak
teman, pandai bergaul dan menjadi lebih populer.
Disini dapat kita simpulkan betapa pentingnya kecerdasan
emosional dikembangkan pada diri siswa (peserta didik). Karena betapa
banyak kita jumpai siswa (peserta didik), dimana mereka begitu cerdas
di sekolah, begitu cemerlang prestasi akademiknya, namun bila tidak
dapat mengelola emosinya, seperti mudah marah, mudah putus asa atau
angkuh dan sombong, maka prestasi tersebut tidak akan banyak
bermanfaat untuk dirinya. Ternyata kecerdasan emosional perlu lebih
dihargai dan dikembangkan pada peserta didik sedini mungkin dari
tingkat pendidikan usia dini sampai ke Perguruan Tinggi. Karena hal
inilah yang mendasari keterampilan seseorang di tengah masyararakat
9[8] Ibid., hlm. 60-61.
7
kelak, sehingga akan membuat seluruh potensinya dapat berkembang
secara lebih optimal.10
Selain itu kecerdasan emosi berkaitan dengan pemahaman diri
dan orang lain, beradaptasi dan menghadapi lingkungan sekitar, dan
penyesuaian secara cepat agar lebih berhasil dalam mengatasi tuntutan
lingkungan.
3. Kecerdasan Spiritual [Spiritual Quotient (SQ)]
Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kemampuan individu terhadap
mengelola nilai-nilai, norma-norma dan kualitas kehidupan dengan
memanfaatkan kekuatan-kekuatan pikiran bawah sadar atau lebih dikenal
dengan suara hati (God Spot).
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hajj ayat 46, sebagai
berikut:
ó ض يسيروا في م�أفل م�أ م� قل��ونٱ ��و ي م� فتكون له قل ب� م�مى ه���ا ال ت معون به فإن ءاذا ي م�به���ا أ ا م� ب� رم ص��� م�أ م� ٱ
مى م�قلوبم�ولكن ت تي ٱ ٤٦ ٱلصدور في ٱلArtinya : “Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”. (Q.S. Al-Haj : 46).11
Kecerdasan spiritual disini bermakna bahwa seseorang individu
yang memiliki rasa tanggung jawab kepada sang pencipta serta
kemampuan mengkhayati nilai-nilai agama. Keridlaan dapat diartikan
sebagai kemampuan seseorang untuk menerima dengan hati yang rela
dengan peraturan-peraturan yang telah digariskan oleh agama. Tanggung
jawab kepada sang pencipta dapat membantu seseorang untuk terus belajar
dan bekerja keras tanpa rasa jenuh. Allah membimbing siapa saja yang
ridla kepada-Nya melalui jalan-jalan keselamatan dan membawa mereka
10[9] Iskandar, loc.cit., hlm. 61.11[10] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Transliterasi Arab-Latin) Model Perbaris, (Semarang, CV Asy-Syifa’, 2001), hlm. 901.
8
dengan izin-Nya keluar dari kegelapan menuju cahaya. Sebagaimana
tujuan diciptakannya manusia, dalam surat al-Maidah ayat 16:
دي ه به م�ي بع من ٱلل ونهٱت سبل ۥم� ر لم رجهمٱلس�� م� ويور إلى ٱلظلمتمن نهٱلن ����إ رۦم� ب ديه إلى ص���� ط� وي م� م�
تقي ط�م ١٦م�Artinya : “Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridlaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Q.S. Al-Maidah :16) 12
Kecerdasan spiritual (SQ) yang memadukan antara kecerdasan
intelektual dan emosional menjadi syarat penting agar manusia dapat lebih
memaknai hidup dan menjalani hidup penuh berkah. Terutama pada masa
sekarang, dimana manusia modern terkadang melupakan mata hati dalam
melihat segala sesuatu.
Manusia modern adalah manusia yang mempunyai kualitas
intelektual yang memadai, karena telah menempuh pendidikan yang
memadai pula. Salah satu ciri yang kental dalam diri manusia modern
adalah suka membaca. Hal ini sejalan dengan syariat Islam, dimana syariat
pertamanya adalah membaca. Namun, terkadang kualitas intelektual
tersebut tidak dibarengi dengan kualitas iman atau emosional yang baik,
sehingga berkah yang diharapkan setiap manusia dalam hidupnya tidak
dapat diperoleh.
K.H. Ali Yafie menyatakan, ibadah yang dijalankan oleh umat
Islam seharusnya bukan hanya merupakan suatu kewajiban, sehingga
menjadi beban. Akan tetapi ibadah hendaknya menjadi kebutuhan hidup
yang mutlak. Dengan menjadikan ibadah sebagai kebutuhan mutlak, tiap
umat Islam akan selalu rindu untuk menjalankan ibadah. Dengan kata lain,
upaya mi’raj atau mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai salah satu
12[11] Ibid., hlm. 209.
9
wujud dari makna hidup manusia dapat diusahakan tanpa menjadikannya
suatu beban.
Sementara itu, Komaruddin Hidayat memaparkan beberapa ciri
manusia modern yang terjadi dalam dua kelompok besar, yaitu beragama
dan tidak beragama. Ciri-ciri tersebut adalah rasional, mengandalkan
kekuatan pribadi, selalu penuh dengan rencana dan kompetitif. Namun, ia
memberi penekanan bahwa manusia modern dalam Islam tidak boleh
melupakan mata hati dalam melihat segala sesuatu. Hal ini membutuhkan
kecerdasan spiritual, lanjutnya, sehingga hati dan nalar akan dapat bekerja
sama.13
Proses pembersihan diri dan upaya untuk menjernihkan hati,
dengan tujuan memunculkan kemampuan mendengar suara hati terdalam
yang merupakan sumber kebijaksanaan dan motivasi. Pengaktifan,
pembangkitan secara mental dan spiritual untuk memunculkan
kemampuan dan potensi yang tersembunyi, pengisian dengan sifat-sifat
Allah yang agung dan indah, memunculkan sifat-sifat yang baik,
membangun citra positif yang mempesonakan.
Pengembangan potensi diri adalah suatu metode untuk melepaskan,
mengarahkan, mengendalikan kekuatan pikiran bawah sadar (unconscious
mind), sehingga menjadi suatu langkah nyata dalam kehidupan sehari-hari,
sekaligus pola pengasahannya, melalui berbagai aplikasi dan keilmuan
canggih berdasar kekuatan do’a dan dzikir yang digali dari al-Qur’an dan
Hadits, menjadi modal dasar untuk pencapaian jalan keluar terbaik, untuk
mencapai kerukunan, untuk mencapai harkat kehidupan yang lebih tinggi
sepanjang perjalanan kehidupan. Bilamana setiap manusia bisa
mengendalikan emosinya, maka kehidupan akan menjadi lebih indah.
Untuk itu setiap manusia perlu mendapatkan suatu pelatihan dan
pemahaman tentang kecerdasan emosi (EQ) dengan semangat spiritual
(SQ), sehingga terjadi suatu perpaduan yang dahsyat untuk membangun
13[12] Iskandar, op.cit., hlm. 66.
10
karakter manusia yang sempurna, baik di dunia, di masyarakat maupun di
mata Tuhan SWT.
Mampu memberi makna luhur terhadap pekerjaan dan tugas sehari-
hari sehingga manusia akan merasakan makna kehidupan yang sangat
indah dan menyenangkan ketika sedang bertugas dan tetap tegar saat
menghadapi masalah yang berat sekalipun. Meningkatkan dan
membangkitkan berbagai kemampuan dan potensi untuk memunculkan
kekuatan spiritual terdalam (inner power) sehingga menjadi sumber
kecerdasan spiritual dengan kekuatan do’a dan dzikir agar manusia
terangkat ke permukaan, lebih tinggi dari sebelumnya.
Dalam al-Qur’an, selain mengajarkan tuntunan beribadah secara
sempurna terkandung juga suatu teknologi yang luar biasa untuk mencapai
suatu tujuan-tujuan tertentu dan berbagai keilmuan yang membutuhkan
pengkajian lebih dalam lagi untuk memahaminya dan menggunakannya
untuk kemajuan umat manusia.14
Berbagai penelitian mengenai tubuh manusia bahkan membuat kita
lebih terpesona lagi akan kebesaran Allah SWT dalam menciptakan
manusia. Bagaimana ciptaan yang sempurna ini bekerja, berpikir,
bergerak, menganalisa, mengambil keputusan, memunculkan berbagai
gagasan yang indah dan hebat, hingga manusia ini bisa berhasil menjadi
terkenal, berkemampuan logik maupun spiritual, mempunyai emosi (IQ,
EQ, SQ) yang bila dipergunakan secara positif-konstruktif akan memberi
suatu hikmah pencapaian yang luar biasa.
4. Multiple Intelligence (Kecerdasan Ganda)
Akhir-akhir ini banyak dibahas konsep kecerdasan ganda (Multiple
Intelligence). Konsep ini berawal dari karya Horward Gardner (dalam
buku Frames of Mind, 1983), yang didasarkan atas hasil penelitiannya
selama beberapa tahun tentang kapasitas kognitif manusia (human
cognitive capacities).
14[13] Ibid., hlm. 67-68.
11
Gardner menolak asumsi, bahwa kognisi manusia merupakan satu
kesatuan dan individu hanya mempunyai kecerdasan tunggal. Meskipun
sebagian besar individu menunjukkan penguasaan seluruh spektrum
kecerdasan, tiap individu memiliki tingkat penguasaan yang berbeda.
Individu memiliki beberapa kecerdasan, dan kecerdasan-kecerdasan itu
bergabung menjadi satu kesatuan membentuk kemampuan pribadi yang
cukup tinggi.15
Menurutnya, dalam diri manusia terdapat banyak potensi yang
belum dikembangkan dan bahkan kadang-kadang potensi tersebut telah
kita kubur gara-gara kesibukan kita sehari-hari, seperti pekerjaan,
mengurus rumah tangga atau sekolah. Dalam penemuannya, setidaknya
ada delapan kecerdasan yang patut di perhitungkan secara sungguh-
sungguh sebagai sebuah kecerdasan juga. Delapan kecerdasan itu
diantaranya sebagai berikut:
a. Kecerdasan matematis-logis (logical-mathematical intelligence)
Kecerdasan matematis-logis merupakan kecakapan untuk
menghitung, mengkuantitatif, merumuskan proposisi dan hipotesis,
serta memecahkan perhitungan-perhitungan matematis yang kompleks.
Para ilmuwan, ahli matematis, akuntan, insinyur, pemogram komputer
adalah orang-orang yang tinggi dalam kecerdasan logis matematisnya.
b. Kecerdasan bahasa (linguistic intelligence)
Kecerdasan bahasa merupakan kecakapan berfikir melalui kata-
kata, menggunakan bahasa untuk menyatakan dan memaknai arti yang
kompleks. Para penulis, ahli bahasa, sastrawan, jurnalis, adalah orang-
orang yang memiliki kecerdasan linguistik yang tinggi.
c. Kecerdasan visual (visual-spatial intelligence)
Kecerdasan visual merupakan kecakapan berpikir dalam ruang
tiga dimensi. Seorang yang memilik inteligensi visual-ruang yang tinggi
seperti pilot, nahkoda, astronot, pelukis, arsitek, perancang dan lain-
lain. Mampu menangkap bayangan ruang internal dan eksternal, untuk
15[14] Nana Syaodih Sukmadinata, op.cit., hlm. 95.
12
penentuan arah dirinya atau benda yang dikendalikan, atau mengubah,
mengkreasi dan menciptakan karya-karya tiga dimensi nyata.
d. Kecerdasan kinestik atau gerakan fisik (kinesthetic intelligence)
Kecerdasan kinestetik atau gerakan fisik merupakan kecakapan
melakukan gerakan dan keterampilan kecekatan fisik seperti dalam olah
raga, atletik, menari, kerajinan tangan, bedah, dan lain-lain. Orang-
orang yang memiliki kecerdasan kinestetik yang tinggi adalah para
olahragawan, penari, pencipta tari, pengrajin profesional, dokter bedah,
dan lain-lain.
e. Kecerdasan musik (musical intelligence)
Kecerdasan musik merupakan kecakapan untuk menghasilkan dan
menghargai musik, sensitivitas terhadap melodi, ritme, nada, tangga
nada, menghargai bentuk-bentuk ekspresi musik. Komponis, dirigen,
musisi, kritikus, musik, pembuat instrumen musik, penyanyi, pengamat
musik adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan musik yang tinggi.
f. Kecerdasan hubungan sosial (interpersonal intelligence)
Kecerdasan hubungan sosial merupakan kecakapan memahami
dan merespon serta berinteraksi dengan orang lain dengan tepat, watak,
temperamen, motivasi dan kecenderungan terhadap orang lain. Orang-
orang yang memiliki kecerdasan hubungan sosial di antaranya guru,
konselor, pekerja sosial, aktor, pimpinan masyarakat, politikus, dan
lain-lain. 16
g. Kecerdasan kerohaniahan (intrapersonal intelligence)
Kecerdasan kerohaniahan merupakan kecakapan memahami
kehidupan emosional, membedakan emosi orang-orang, pengetahuan
tentang kekuatan dan kelemahan diri. Kecakapan membentuk persepsi
yang tepat terhadap orang, menggunakannya dalam merencanakan dan
mengarahkan kehidupan yang lain. Agamawan, psikolog, psikiater,
filosof, adalah mereka yang memiliki kecerdasan pribadi yang tinggi.
h. Kecerdasan naturalistik
16[15] Ibid., hlm. 96-97.
13
Kecerdasan naturalistik merupakan kemampuan seorang siswa
(peserta didik), guru (pendidik) untuk peka terhadap lingkungan alam.
Misalnya senang berada di lingkungan yang terbuka seperti pantai,
gunung, cagar alam, hutan, dan sebagainya. Anak-anak dengan
kecerdasan seperti ini cenderung suka mengobservasi lingkungan alam
seperti aneka macam bebatuan, jenis-jenis lapisan tanah, aneka macam
flora dan fauna, benda-benda di angkasa, dan lain sebagainya.17
B. Urgensi IQ, EQ, dan SQ dalam Proses Pendidikan
Para ahli psikologi menyebutkan bahwa IQ hanya mempunyai peran
sekitar 20% dalam menentukan keberhasilan hidup, sedangkan 80% sisanya
ditentukan oleh faktor-faktor yang lain.18
Manusia memiliki tiga kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual (IQ),
kecerdasan emosi (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Ketiga-tiga kemampuan
sangat membantu seseorang dalam meningkatkan kualitas diri, mengabaikan
salah satu kemampuan tersebut mengakibatkan banyak individu dililit masalah
secara pribadi maupun sosial masyarakat. Selama ini masyarakat mempercayai
dan mengagung-agungkan secara dominan salah satu kecerdasan yaitu
kecerdasan intelektual (IQ).
IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan
meraih kesuksesan. Realitas menunjukkan bahwa banyak orang IQ-nya tinggi,
tetapi tidak selalu berhasil dalam hidupnya. Seperti hasil penelitian Gardner,
seorang profesor pendidikan Harvard melakukan riset kecerdasan manusia, ia
mematahkan mitos bahwa Intelligence Quotient (IQ) tetap, tidak berubah, jika
seseorang terlahir dengan kondisi IQ sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa
bertambah maupun berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir dengan
kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup, akan sulit mendapatkan IQ yang
superior (jenius), begitu pula sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient (EQ)
dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar. Kecerdasan emosi
17[16] Iskandar, op.cit., hlm. 56.18[17] Mustaqim, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Belajar, 2008), hlm. 152.
14
merupakan kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah dan
menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dalam
situasi yang nyata.
Menurut Iskandar Doktor Psikologi Pendidikan dari Universitas
Kebangsaan Malaysia menyatakan bahwa pembelajaran di lembaga
pendidikan sekolah dan perguruan tinggi kita selama ini cenderung
menggunakan kemampuan metamatis-logis dan bahasa, (kecerdasan
intelektual) akibatnya membunuh kemampuan lainnya.
Dengan munculnya teori kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual
(SQ), Dr. Iskandar berpendapat bahwa teori kecerdasan emosi (EQ) dan
kecerdasan spiritual (SQ) dapat diaplikasikan sebagai pendekatan pengajaran
dan pembelajaran yang lebih memahami kemampuan intrapersonal dan
interpersonal, pendidik dan peserta didik, kemampuan afektif peserta didik
yang berbeda tidak bisa didekati dengan metode pembelajaran yang sama.19
Sadar atau tidak sekolah-sekolah kita saat ini dari SD sampai Perguruan
Tinggi, pada umumnya hanya mengembangkan kemampuan kognitif siswa saja
(menulis, membaca, menghafal, menghitung dan menjawab) sesuai dengan
instruksi guru atau dosen (tenaga pendidik), tanpa pernah memberi kesempatan
siswa untuk berpikir, bekerja dan mengetahui pengalaman baru. Hal ini seolah-
olah masa depan anak-anak kita itu, sangat ditentukan oleh kemampuan
kognitif atau kemampuan intelektual (IQ), hipotesis ini menjadi benar karena
memang untuk masuk lembaga pendidikan yang bermutu, masa depannya
ditentukan dengan waktu diruangan lebih kurang 3 jam, yaitu pada ujian
masuk.
Bagaimana tenaga pendidik (guru dan dosen) serta peserta didik (siswa
dan mahasiswa) menyikapi fenomena pendidikan yang penuh dengan dikotomi
antara idealisme pendidikan dengan kondisi riil yang terjadi di masyarakat?
Menurut Iskandar, pendidik atau peserta didik hendaklah lebih kreatif dan
inovatif dalam menggunakan instink dan talenta pendidik dan peserta didik.
Bagaimana proses belajar mengajar yang mengantar masa depan anak-anak
19[18] Iskandar, op.cit., hlm. 68-70.
15
dalam konsep ujian-ujian itu tetap berjalan, tetapi proses pembelajaran dengan
memberikan pengalaman hidup yang berhubungan dengan materi pembelajaran
yang diajarkan tetap dikembangkan sehingga terintegrasi antara teori dan
prakteknya.
Melihat potensi intelektual dan kecerdasan emosi yang demikian besar,
muncul pertanyaan, bagaimana pendidik dan peserta didik dapat
mengembangkan pembelajaran berkualitas? Pertama, secara sederhana dapat
dinyatakan, bahwa untuk mengembangkan IQ pendidik dan peserta didik, perlu
mengadakan percepatan pembelajaran (accelerated learning). Dalam
percepatan belajar kita akan belajar bagaimana cara belajar (learn how to
learn). Termasuk dalam kategori ini adalah kemampuan matematis dan
linguistik (membaca cepat, menghafal cepat, mencatat efektif, berfikir kreatif,
berhitung cepat). Kedua, untuk mengembangkan EQ pendidik dan peserta
didik dalam pembelajaran perlu menyadari dan meyakini bahwa emosi itu
adalah benar-benar ada dan riil serta dapat mengelola emosi menjadi kekuatan
untuk mencapai prestasi (kemampuan intrapersonal dan interpersonal).
Mengamati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa
sekarang dan kedepan, maka dunia pendidikan kita harus mampu menerapkan
model pembelajaran yang berbasis kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi,
kecerdasan spiritual (IESQ). Kecerdasan yang memahami kebenaran dalam
setiap situasi, yaitu memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi,
kecerdasan emosi (EQ) yang dewasa, kecerdasan spiritual (SQ) yang mantap
untuk pencapaian yang cerdas dan praktis.20
Dalam implementasi proses pengajaran dan pembelajaran dituntut sikap
kritis, kreatif, dan inovatif, para pendidik dan peserta didik dalam upaya
mengubah model pengajaran dan pembelajaran mereka, bukan sesuai dengan
kecerdasan pendidik melainkan sesuai dengan kecerdasan peserta didik,
maknanya seorang pendidik hendaklah mampu mengkomunikasikan materi
pembelajaran sesuai dengan kemampuan peserta didik.
20[19] Ibid., 71-72.
16
Tidak kalah menariknya adalah perlunya konsep spiritual sebagai
penunjang kesuksesan. Konsep inteligensi spiritual ini tidak hanya mencakup
hubungan vertikal dengan Tuhan saja tetapi juga hubungan horisontal terhadap
sesama makhluk Tuhan, jika dinyatakan sebagai SQ, tentu ini harus
dioperasionalisasikan menjadi alat ukur. Tapi hasil pengukuran ini harus di
apresiasikan secara hati-hati, karena sifatnya sangatlah subyektif, dan agak
sulit diperbandingkan seperti layaknya satuan ukur yang lain.
Relevansinya dengan dunia pendidikan? Dunia pendidikan sedang
menggalakkan peningkatan profesionalisme guru, dosen (pendidik) untuk
meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Diharapkan dengan didudukkan para
guru-guru dan dosen (pendidik) dengan “inteligensi, emosi dan spiritual” yang
tinggi dan stabil, akan lebih “sukses” dalam mengelola kegiatan pembelajaran.
Organisasi pendidikan adalah sistem yang terbuka dalam arti sangat
dipengaruhi oleh lingkungan tempatnya berada. Ketika lingkungan makin
menyadari betapa faktor-faktor etika harus menjadi perhatian disamping
tujuannya sebagai mencetak SDM, maka organisasi pun harus beradaptasi.
Sementara sekolah dan perguruan tinggi merupakan tempat para siswa dan
mahasiswa (peserta didik) melaksanakan kegiatan proses pembelajaran, yang
dapat melahirkan dan menghasilkan SDM yang berkualitas.21
BAB III
PENUTUP
21Ibid., hlm. 73-75.
17
A. Kesimpulan
Macam-macam kecerdasan yang dimiliki manusia antara lain yaitu
kecerdasan Intelektual/Intelligence Quotient (IQ), kecerdasan
emosi/Emotional Quotient (EQ), kecerdasan spiritual /Spiritual Quotient (SQ).
IQ merupakan kecerdasan dasar yang berhubungan dengan proses kognitif,
pembelajaran (kecerdasan intelektual) cenderung menggunakan kemampuan
matematis-logis dan bahasa, pada umumnya hanya mengembangkan
kemampuan kognitif (menulis, membaca, menghafal, menghitung dan
menjawab). Sesuai dengan berjalannya zaman, manusia mulai menyadari
bahwa faktor emosi juga tidak kalah pentingnya dalam mendukung sebuah
kesuksesan, bahkan dipandang lebih penting dari pada inteligensi. Kecerdasan
ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman pada pertengahan 1990-an. Kecerdasan
spiritual (SQ) adalah sebagai pelengkap yang memadukan antara kecerdasan
intelektual dan emosional menjadi syarat penting agar manusia dapat lebih
memaknai hidup dan menjalani hidup penuh berkah.
Mengamati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa
sekarang dan kedepan, maka dunia pendidikan kita juga harus mampu
menerapkan model pembelajaran yang berbasis kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual (IESQ). Kecerdasan yang memahami
kebenaran dalam setiap situasi, yaitu memiliki kecerdasan intelektual (IQ)
yang tinggi, kecerdasan emosi (EQ) yang dewasa, kecerdasan spiritual (SQ)
yang mantap untuk pencapaian yang cerdas dan praktis.
B. Saran dan Penutup
Demikianlah makalah yang dapat Kami susun. Kami sadar makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat Kami harapkan demi perbaikan makalah selanjutnya.
Kami minta maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan dan isi makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
18
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Transliterasi Arab-Latin)
Model Perbaris, Semarang, CV Asy-Syifa’, 2001.
Djaali, Psikologi Pendidikan, Jakarta, PT Bumi Aksara, 2008.
Iskandar, Psikologi Pendidikan (Sebuah Orientasi Baru), Jakarta: Gaung Persada
(GP) Press, 2009.
M. Moeliono, Anton, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka, 1990.
Mustaqim, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Belajar, 2008.
Syaodih Sukmadinata, Nana, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung,
PT Remaja Rosdakarya, 2009.
19