makalah perkotaan

8
Dampak Keberadaan Pedagang Kaki Lima Terhadap Kegiatan Perekonomian di Kawasan Perkotaan I. Pendahuluan Pertumbuhan kota-kota di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kehadiran sektor informal, yang secara integral telah merasuk dalam setiap kegiatan kehidupan perkotaan. Keberadaan sektor informal tidak dapat dilepaskan dari proses pembangunan, dimana ketidakseimbangan pembangunan desa dan kota, menarik arus urbanisasi ke kota. Hal ini meyebabkan pertumbuhan jumlah angkatan kerja yang tidak sejalan dengan ketersediaan lapangan kerja. Dalam situasi inilah para pencari kerja lari ke sektor informal dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu usaha sektor informal adalah pedagang kaki lima (PKL). Pedagang kaki lima menurut Soedjana (1981) adalah sekelompok orang yang menawarkan barang atau jasa di atas trotoar atau di pinggir jalan di sekitar pusat perbelanjaan atau pertokoan, pasar, pusat rekreasi atau hiburan, pusat perkantoran dan pendidikan, baik secara menetap maupun setengah menetap dan berstatus tidak resmi 1

Upload: mahammad-khadafi

Post on 16-Sep-2015

21 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

makalah tugas

TRANSCRIPT

Dampak Keberadaan Pedagang Kaki Lima Terhadap Kegiatan Perekonomian di Kawasan Perkotaan

I. PendahuluanPertumbuhan kota-kota di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kehadiran sektor informal, yang secara integral telah merasuk dalam setiap kegiatan kehidupan perkotaan. Keberadaan sektor informal tidak dapat dilepaskan dari proses pembangunan, dimana ketidakseimbangan pembangunan desa dan kota, menarik arus urbanisasi ke kota. Hal ini meyebabkan pertumbuhan jumlah angkatan kerja yang tidak sejalan dengan ketersediaan lapangan kerja. Dalam situasi inilah para pencari kerja lari ke sektor informal dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu usaha sektor informal adalah pedagang kaki lima (PKL). Pedagang kaki lima menurut Soedjana (1981) adalah sekelompok orang yang menawarkan barang atau jasa di atas trotoar atau di pinggir jalan di sekitar pusat perbelanjaan atau pertokoan, pasar, pusat rekreasi atau hiburan, pusat perkantoran dan pendidikan, baik secara menetap maupun setengah menetap dan berstatus tidak resmi atau setengah resmi serta dilakukan baik pagi, siang, sore maupun malam hari.Dalam perkembangannya PKL menghadapkan pemerintah pada kondisi yang dilematis, disatu sisi keberadaannya dapat menciptakan lapangan kerja, sedangkan dilain pihak keberadaan PKL yang tidak diperhitungkan dalam perencanaan tata ruang telah menjadi beban bagi kota. PKL beraktivitas pada ruang-ruang publik kota tanpa mengindahkan kepentingan umum, sehingga terjadinya distorsi fungsi dari ruang tersebut. Pada akhirnya kesesuaian tatanan fisik masa dan ruang kota dalam menciptakan keserasian lingkungan kota sering kali tidak sejalan dengan apa yang telah direncanakan. PKL telah memberikan dampak negatif terhadap tatanan kota, sedangkan terhadap masyarakat keberadaan PKL selain memberikan dampak negatif juga memberikan manfaat/dampak positif terhadap masyarakat.Keberadaan PKL mengundang dilematis. Disatu sisi, PKL dibutuhkan karena memiliki potensi ekonomi antara lain berupa : menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan ouput sektor riil, mengembangkan jiwa kewirausahaan dan sektor pariwisata. Bahkan jika PKL dikelola dengan baik dan bijak dapat menjadi sumber bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) daerah perkotaan. Menurut Alisjahbana, PKL juga memiliki manfaat antara lain meningkatkan kemandirian perekonomian rakyat, menyerap tenaga kerja dalam jumlah tidak terbatas, mendukung industri secara makro, serta meningkatkan PAD (Alisjahbana, 2005).

Sedangkan sisi yang lain, PKL merusak estetika kota dengan kesemrawutan dan kekumuhannya. PKL menghambat lalu lintas dan merampas hak pejalan kaki. Keberadaannya dinilai sudah mengganggu kenyamanan dan keindahan kota, meski disatu sisi eksistensinya tetap dibutuhkan sebagai roda penggerak perekonomian masyarakat kecil. Selama ini PKL identik dengan penyakit kota (biang kekumuhan dan kesemrawutan kota), menempati wilayah yang secara hukum dilarang; mengganggu kenyamanan pengguna jalan, dan terkesan tidak peduli dengan ketertiban lingkungan sekitar. Dalam menghadapi kondisi tersebut, terkesan keberpihakan pemerintah selama ini hanya memperhatikan, memprioritaskan dan mengutamakan sektor formal, ketimbang sektor informal (Budihardjo, 2003).

Perencanaan kota atau penentu kebijakan jarang menetapkan sejak awal rencana lokasi-lokasi kegiatan sektor informal dalam rencana kota yang dibuat. Akibatnya, para PKL, pedagang asongan, dorong-dorongan, lesehan, dan lain-lain menempati ruang-ruang kota yang tersisa (left-over urban space) yang menimbulkan rasa tidak aman dalam bekerja karena harus siap digusur sewaktu-waktu (Budihardjo, 2003). Permasalahan PKL juga muncul karena belum adanya ruang/tempat yang mewadahi secara layak para PKL di dekat pusat-pusat kegiatan yang juga membutuhkan keberadaan mereka (Sulistyarso, 2004).

Begitu pula penyelesaian yang bersifat represif seperti yang banyak terjadi saat ini, hanya merugikan satu pihak dengan tidak mempertimbangkan dampak selanjutnya. Kecenderungan penataan ruang kota di berbagai kota besar di Indonesia saat ini terkesan bersifat represif atau lazim disebut negative planning. Lebih banyak berwujud larangan dan aturan-aturan yang keras dan kaku, ketimbang pembinaan dan pewadahan yang luwes dan kenyal. Karena PKL tidak lepas dari perannya sebagai penunjang aktivitas kota, dan sifatnya yang mempengaruhi kualitas kota maka pendekatan untuk menyelesaikan PKL adalah dengan penataan yang mengakomodasi kebutuhan ruang PKL. Hal tersebut dirasa perlu mengingat salah satu kegagalan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan sektor informal adalah sektor penataan lokasi (Alisjahbana, 2004). Dalam hal penataan lokasi, baru sekitar 30% yang telah mendapatkan lokasi usaha permanen dan sisanya sebanyak 70% masih belum ditata, baik karena alasan keberatan dengan lokasi usaha yang ditunjuk ataupun karena biaya sewa kios/lokasi yang dianggap masih relatif mahal.II. Tinjauan PustakaBAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1.Sejarah Provinsi DKI Jakarta

Dengan nilai investasi yang akan digelontorkan Sarinah sebesar Rp1,2 triliun untuk menjadikan Sarinah Square tempat nongkrong dan berbelanja remaja. Dari anggaran tersebut Sarinah Square rencananya akan dibangun 40 lantai.BAB III

PEMBAHASAN3.1 Kesimpulan3.2Saran BAB IV

KESIMPULAN

4