makalah penegakan hukum

34
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan limpahan rahmatNya lah maka kami dapat menyelesaikan makalah Psikologi Sosial II dengan tepat waktu. Berikut ini kami persembahkan sebuah makalah dengan judul “Psikologi Sosial dan Penegakan Hukum” yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari materi ini. Melalui kata pengantar ini kami lebih dahulu meminta maaf dan memohon pemakluman bilamana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat. Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terimakasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat. Bukittinggi, Penulis 1

Upload: temiska-amatmu

Post on 15-Nov-2015

45 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

Makalah Penegakan Hukum

TRANSCRIPT

KATA PENGANTARSegala puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan limpahan rahmatNya lah maka kami dapat menyelesaikan makalah Psikologi Sosial II dengan tepat waktu.Berikut ini kami persembahkan sebuah makalah dengan judul Psikologi Sosial dan Penegakan Hukum yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari materi ini. Melalui kata pengantar ini kami lebih dahulu meminta maaf dan memohon pemakluman bilamana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat.Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terimakasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

Bukittinggi,

Penulis

DAFTAR ISIKATA PENGANTAR .............................................................................................................1DAFTAR ISI ............................................................................................................................2BAB I. PENDAHULUANA. Latar Belakang ..............................................................................................................3B. Rumusan Masalah .........................................................................................................3C. Tujuan ...........................................................................................................................3BAB II. PEMBAHASANA. Kriminalitas ..................................................................................................................4B. Penyelidikan : Efek dari prosedur kepolisian ........................................................... .11C. Efek media ..................................................................................................................14D. Kesaksian Saksi Mata ................................................................................................ 15E. Pemeran Utama dalam Persidangan .......................................................................... 18BAB III. PENUTUPA. Kesimpulan ................................................................................................................ 21DAFTAR PUSTAKA

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangSebagai individu sosial, kita berinteraksi dengan orang lain dan berpikir mengenai orang lain dalam berbagai situasi nyata yang kita hadapi. Namun hubungan individu dengan individu lain tidak selalu berjalan mulus dan lancar, terkadang dalam berinteraksi dengan orang lain terdapat kejahatan dan kriminalitas yang membuat individu dihadapi berbagai permasalahan yang bahkan tidak bisa diselesaikan antara individu yang bermasalah itu saja, sehingga harus diselesaikan di ruang sidang. Maka dari itu, kajian Psikologi Sosial kali ini akan membahas mengenai kejahatan dan kriminalitas, penyelidikan, dan sistem penegakan hukum yang membahas pemeran dalam persidangan seperti kesaksian saksi mata, pengacara, hakim, juri, dan terdakwa.

B. Rumusan Masalah1. Apa yang dimaksud dengan Kriminalitas ?2. Apa efek dari prosedur kepolisian?3. Apa yang dimaksud dengan liputan dan efek media?4. Apa yang dimaksud dengan kesaksian saksi mata ?5. Siapa saja pemeran utama dalam persidangan ?

C. Tujuan1. Mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan Kriminalitas2. Mengetahui dan memahami efek dari prosedur kepolisian3. Mengetahui dan memahami mengenai liputan dan efek media4. Mengetahui dan memahami mengenai kesaksian saksi mata5. Mengetahui siapa saja pemeran utama dalam persidangan6. Memenuhi tugas kelompok kerja

BAB IIPEMBAHASAN

A. Kriminalitas1. Definisi KriminalitasKriminalitas atau kejahatan (crime) secara umum adalah tingkah laku yang melanggar hukum atau melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya (Kartono, 2007:140).a. Secara yuridis formal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, sifatnya asosial dan melanggar hukum serta undang-undang pidana (Kartono, 2007:143).b. Secara sosiologis kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan, dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan sosial-psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat (Kartono, 2007:144).Beberapa kejahatan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk Indonesia adalah sebagi berikut :a. Kejahatan melanggar ketertiban umum, antara lain : secara terbuka dan dimuka umum menghasut serta menyatakan rasa permusuhan, kebencian dan hinaan kepada pemerintahan, dengan kekerasan mengancam dan berusaha merobohkan serta melanggar pemerintahan yang sah, tidak melakukan tugas dan kewajiban jabatannya, menjadi anggota organisasi terlarang menurut hukum, melakukan keonaran, huru-hara dan mengganggu ketentraman umum, dan lain-lain (KUHP 153-181).b. Kejahatan membahayakan keamanan umum orang dan barang, antara lain : mengakibatkan kebakaran, peletusan dan banjir, merusak bangunan-bangunan listrik untuk umum, mendatangkan bahaya maut kepada orang, merusak bangunan dan jalan-jalan umum, dengan sengaja mendatangkan bahaya bagi lalu lintas umum dan pelayaran, meracuni sumur dan sumber mata air minum untuk keperluan umum, dan lain-lain (KUHP 187 sampai dengan 206) (Kartono, 2007:146).Selanjutnya KUHP Indonesia juga menyebutkan sederet tingkah laku yang dikategorikan dalam pelanggaran, yaitu :a. Pelanggaran tentang keselamatan umum orang dan barang dan kesehatan umum (KUHP 489 sampai dengan 502).b. Pelanggaran tentang ketertiban(KUHP 503 sampai dengan 520).c. Pelanggaran tentang kekuasaan umum (KUHP 521 sampai dengan 528)d. Pelanggaran tentang duduk perdata (KUHP 529 sampai dengan 530).e. Pelanggaran tentang orang yang perlu ditolong (KUHP 531).f. Pelanggaran tentang kesusilaan (KUHP 532 sampai dengan 547).g. Pelanggaran tentang polisi luar (KUHP 548 sampai dengan 551).h. Pelanggaran jabatan (KUHP 552 sampai dengan 559).i. Pelanggaran pelayaran ((KUHP 560 sampai dengan 569).j. Pelanggaran tentang keamanan negara (KUHP 570) (Kartono, 2007:148-149).Selanjutnya penjelmaan atau bentuk dan jenis kejahatan terbagi dalam beberapa kelompok, yaitu :a. Rampok dan gangsterisme, yang sering melakukan operasi-operasinya bersama-sama dengan organisasi-organisasi legal.b.Penipuan-penipuan : permainan-permainan penipuan dalam bentuk judi dan perantara-perantara kepercayaan. Pemerasan (blackmailing), ancaman untuk mempublikasikan skandal dan perbuatan manipulatif.c.Pencurian dan pelanggaran ; perbuatan kekerasan, pemerkosaan, pembegalan, penjambretan atau pencopetan, perampokan; pelanggaran lalu lintas, ekonomi, pajak, bea cukai, dan lain-lain.Menurut cara kejahatan dilakukan, bisa dikelompokan dalam :a. Menggunakan alat-alat bantu : senjata, senapan, bahan-bahankimia dan racun, instrumen kedokteran, alat pemukul, alat jerat, dan lain-lain.b. Tanpa menggunakan alat bantu, hanya dengan kekuatan fisik belaka, bujuk rayu dan tipu daya.c. Residivis, yaitu penjahat-penjahat yang berulang-ulang keluar masuk penjara. Selalu mengulangi perbuatan jahat, baik yang serupa ataupun yang berbeda kejahatnnya.d. Penjahat-penjahat berdarah dingin, yang melakukan tindak durjana dengan pertimbangan-pertimbangan dan persiapan yang matang.e. Penjahat kesempatan atau situasional, yang melakukan kejahatan dengan menggunakan kesempatan-kesempatan kebetulan.f. Penjahat karena dorongan impuls-impuls yang timbul seketika.g. Penjahat kebetulan, misalnya karena lupa diri, tidak disengaja, lalai, dan lain-lain (Kartono, 2007:149-150).Sarjana Capelli membagi tipe penjahat sebagai berikut :a. Penjahat yang melakukan kejahatan didorong oleh faktor psikopatologis, dengan pelaku-pelakunya :1) Orang sakit jiwa2) Berjiwa abnormal namun tidak sakit jiwab. Penjahat yang melakukan tindak pidana oleh cacat badani-rohani, dan kemunduran jiwa raganya.c. Penjahat karena faktor-faktor sosial, yaitu :1) Penjahat kebiasaan2) Penjahat kesempatan oleh kesulitan ekonomi atau kesulitan fisik.3) Penjahat kebetulan.4) Penjahat-penjahat berkelompok.Penjahat atas dasar struktur kepribadiannya menurut Seelig terbagi atas :a. Penjahat yang didorong oleh sentimen-sentimen yang sangat kuat dan pikiran yang naif-primitif.b. Penjahat yang melakukan tindak pidana idorong oleh satu ideologi an keyakinan kuat. Misalnya gerakan jihad, membunuh pemimpin dan kepala negara, membantai lawan-lawan politik.Adapun pembagian kejahatan menurut tipe penjahat menurut Cecaro Lombroso, yaitu:a. Penjahat sejak lahir dengan sifat-sifat herediter dengan kelainan-kelainan bentuk jasmani.b. Penjahat dengan kelainan jiwa.c. Penjahat didorong oleh rangsangan libido seksualis atau nafsu-nafsu seks.d. Penjahat karena kesempatan.e. Penjahat dengan organ-organ jasmani yang normal, namun memiliki pola kebiasaan yang buruk (Kartono, 2007:150-152).

Tipe penjahat menurut Aschaffenburg, yaitu :a. Penjahat profesional : kejahatan sebagai pekerjaan sehari-hari, karena sikap hidup yang keliru.b. Penjahat oleh kebiasaan, disebabkan oleh mental yang lemah, sikap yang pasif, pikirannya yang tumpul, dan apatisme.c. Penjahat tanpa/kurang memiliki disiplin kemasyarakatan.d. Penjahat-penjahat yang memiliki krisis jiwa.e. Penjahat yang melakukan kejahatan oleh dorongan-dorongan seks yang abnormal.f. Penjahat yang sangat agresif dan memiliki mental yang sangat labil, yang dilakukan penyerangan, penganiayaan, dan pembunuhan.g. Penjahat karena kelemahan batin dan dikejar-kejar oleh nafsu materil yang berlebih-lebihan.h. Penjahat dengan indolensi psikis dan segan bekerja keras.i. Penjahat campuran (kombinasi motif 1-8) (Kartono, 2007:153-158).Ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah teknis, sebagai alat untuk mengadakan pengejaran dan penyelidikan perkara kejahatan secara teknis, dengan menggunakan ilmu kimia, ilmu kedokteran forensik/kehakiman, ilmu sidik jari atau daktiloskopi dan ilmu mengenai racun-racun taksikologi disebut kriminalistik. Adapun ilmu pengetahuan yang ditunjang oleh pelbagai ilmu lainnya yang mempelajari kejahatan dan penjahat, penampilannya, sebab dan akibatnya, sebagai ilmu teoritis, sekaligus juga mengadakan usaha-usaha pencegahan serta penanggulangannya/ pemberantasannya disebut dengan kriminologi.Adapun ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang banyak menunjang kriminologi adalah:a. Statistik kriminal Statistik kriminal adalah pengumpulan, perhitungan, pengukuran dan penganalisisan angka-angka kejahatan.b. PoenologiPoenologi adalah ilmu pengetahuan mengenai timbul dan perkembangan hukuman, denda, pampasan dan pidana, beserta manfaat dan penggunaannya.c. Psikologi kriminalPsikologi kriminal adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan penjahat dipandang dari ilmu jiwa. Yaitu mengenai jiwa perorangan dan kelompok/massa (jiwa tersangka, saksi, pembela, penuntut atau pendakwa, hakim, kondisi psikologis, dan lain-lain).d. Psikopatologi dan neuropatologi kriminalPsikopatologi dan neuropatologi kriminal adalah ilmu pengetahuan penjahat-penjahat dengan abnormalitas sakit jiwa dan terganggu syaraf-syaraf.e. Sosial kriminalSosial kriminal adalah ilmu pengetahuan mengenai kejahatan dipandang sebagai bagian dari gejala masyarakat.f. Antropologi kriminalAntropologi kriminal adalah ilmu pengetahuan mengenai tipe-tipe dan kelompok-kelompok manusia jahat, dengan tanda-tanda jasmani yang khas (Kartono, 2007:143).2. Teori-teori mengenai Kejahatana. Teori teologisMenyatakan kriminalitas sebagai perbuatan dosa yang jahat yang disebabkan oleh dorongan roh-roh jahat dan godaan setan/iblis atau nafsu-nafsu durjana angkara, dan melanggar kehendak Tuhan. Siapa yang melanggar mendapat hukuman sebagai penebus dosa-dosanya.b. Teori filsafat tentang manusia (antropologi transendental)Menyebutkan adanya dialektika antara pribadi/personal jasmani dan pribadi rohani. Jiwa ini merupakan prinsip keselesaian dan kesempurnaan yang mendorong manusia pada perbuatan baik. Kemudian jiwa mencebur dalam dunia dengan masuk ke lingkungan jasmani. Jasmani manusia merupakan prinsip ketidakselesaian yang mengarahkan manusia padakerusakan, kemusnahan dan kejahatan.c. Teori kemauan bebas (free will)Menyatakan bahwa manusia itu bebas berbuat menurut kemauannya. Untuk menjamin setiap perbuatan itu cocok dengan masyarakat manusia harus diatur dan ditekan dengan hukum, norma-norma sosial dan pendidikan.d. Teori penyakit jiwaMenyebutkan adanya kelainan-kelainan yang bersifat psikis, sehingga individu yang berkelainan ini sering melakukan kejahatan-kejahatan.e. Teori faal tubuh (fisiologis)Teori ini meyebutkan sumber kejahatan adalah : ciri-ciri jasmani dan bentuk jasmaninya. Sebab musabab kejahatan itu terletak pada konstitusi jasmani yang mempengaruhi kehidupan jiwani, yang sudah ada sejak lahir.f. Teori yang menitikberatkan faktor sosial, dari sekolah sosiologi PrancisMazhab ini dengan menyatakan, bahwa pengaruh paling menentukan yang mengakibatkan kejahatan ialah faktor-faktor eksternal atau lingkungan sosial dan kekuatan-kekuatan sosial.g. Teori susunan ketatanegaraanStruktur ketatanegaraan an falsafah negara juga turut menentukan ada atau tidaknya kejahatan (Kartono, 2007:157-171).

3. Fungsi dan Disfungsi KejahatanEfek negatif dari kejahatan adalah :a. Kejahatan yang bertubu-tubi memberikan efek yang mendemoralisir/merusak terhadap orde sosial.b. Menimbulkan rasa tidak aman, kecemasan, ketakutan dan kepanikan ditengah masyarakat.c. Banyak materi dan energi terbuang dengan sia-sia oleh gangguan-gangguan kriminalitas.d. Menambah beban ekonomis semakin besar kepada sebagian masyarakatEfek positif dari kejahatan :a. Menumbuhkan rasa solidaritas dalam kelompok-kelompok yang tengah diteror oleh penjahat.b. Muncul kemudian tanda-tanda baru dengan norma susila yang lebih baik, yang diharapkan mampu mengatur masyarakat di masa mendatang.c. Orang berusaha memperbesar kekuatan hukum dan menambah kekuatan fisik lainnya untuk memberantas kejahatan.Beberapa faktor penting yang berperan dalam membentuk pola kriminal, yaitu :a. Jenis makananMemberikan pengaruh terhadap agresivitas manusia. Kelompok pemakan daging yang intensif pada umumnya lebih agresif dan lebih ganas daripada pemakan tumbuh-tumbuhan.b. Lingkungan alamLingkungan alam yang teduh damai di daerah pedesaan dan pegunungan yang subur memberikan pengaruh yang menenangkan, sebaliknya pada kota.c. Masyarakat primitif dan masyarakat desa lebih terkontrol sosialnya dibandingkan masyarakat urban yang kompleks (Kartono, 2007:175-179).

4. Paralelitas antara Teknik Kejahatan dengan Kemajuan Teknologi dan Ilmu PengetahuanAda relasi yang akrab sekali antara lingkungan (kemajuan budaya dan teknologi) dengan teknik kejahatan. Artinya bahwa peralatan dan teknik yang dipakai untuk melakukan kejahatan berkembang segaris dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologis (Kartono, 2007: 181).

B. Penyelidikan 1. Penerapan Psikologi Sosial pada Aspek Interpersonal dari Sistem HukumJika dunia nyata sesuai dengan dunia ideal kita, maka proses peradilan maka menyediakan seperangkat prosedur yang lengkap dan benar-benar adil yang menjamin keputusan yang objektif, tidak bias (berat sebelah), dan konsistensi mengenai pelanggaran undang-undang kriminal dan sipil.Kerana adanya keterkaitan antara psikologi dan hukum , para psikolog sering diminta bantuannya sebagai saksi ahli (Sleck, 1998) dan kolsultan di ruang sidang. Peran sebagai pakar atau kolsultan ini menimbulkan pertaanyaan mengenai bagaimana cara terbaik untuk memberikan pelatihan bagi mereka yang menjalankan funsi tersbut dan apakah mereka harus memiliki surat izin (Moran,2001 dalam Baron, 2005: 217).a. Sebelum Pengadilan Dimulai : Efek Dari Prosedur Kepolisisan Dan Liputan MediaJauh sebelum sebuah kasus kriminal mencapai ruang sidang, ada dua faktor utama yang berpenagruh terhadap kessaksian yang akan ditampilkan dan terhadap sikap para juri sebelum pengadilan dimulai. Kedua faktor tersebut adalah 1) bagaimana polisi berurusan dengan para saksi dan tersangka2) bagaimana informasi mengenai kasus tersebut ditampilkan oleh mediaPenelitian psikologi social menunjukkan bahwa orang akan mematuhi hokum dan menerima keputusan pengadilan selama mereka percaya hokum dan prosedurnya adil (fair and just). Namun, ketika orang-orang memiliki alasan untuk percaya bahwa system yang ada tidaaklah adil-minsalnya, polisi bersikap rasis (Wilson, 2000 dalam Baron, 2005: 218) maka perilaku taat hokum dan kepercayaan system hukum pun menurun.b. Efek Dari Prosedur Kepolisian.Apakah prosedur kepolisian mempengaruhi persepsi tentang keadilan?baik di Inggris dan Amerika serikat , kebanyakan orang setuju bahwa peran yang tepat bagi polisi menginvestigasi sebuah kejahatan adalah untuk mencari kebenaran sebagai seorang penyidik, dan bukan berupaya membuktikan seseorang bersalah sebagai seorang musuh.Upaya untuk membuktikan seseorang bersalah umumnya melibatkan cara bagaimana saksi mata atau tersangka di introgasi. Di Inggris, undang-undang mensyaratkan agar polisi di latih bukan untuk mendapatkan pengakuan tapi hanya untuk mengumpulkan fakta-fakta. Apakah pelatihan semacam itu cukup untuk membantu?Dalam menjawab pertsnyssn tersebut , Scotland Yard melakukan studi tentang bagaimana sebenarnya para detektif inggris melakukan introgasi (Wiliamson, 1993 dalam Baron, 2005:219). Observasi dilakukan terhadap interaksi aktul antara detektif dengan tersangka dan ternyata tampak bahwa para detektif memiliki tujuan dan gaya yang berbed satu sama lain. Namun 70 % dari mereka memilih untuk menerapka pendekatan kooperatif dibandingkan konfrontatif. Bagaimana pun juga pengamat yakin bahwa kebanyakan aparat hukum sebenarnya cendrung mencari pengakuan.Di luar tujuan dan gaya, kebanyakan introgasi berlangsung dalam atmosfer yang mengintimidasi bagi orang yang di ajukkan pertanyaan. Seseorang mendapati dirinya di interogasi oleh petugas di kantor polisi yang jelas-jelas memiliki kendali atas interaksi yang terjadi. Situasi seperti itu yang memungkinkan berlangsungnya proses pengaru sosial di rancang utnuk menghailkan respon menurut dan bahkan kepatuhan (Gudjohson dan clark, 1986;Schooler dan loftus , 1986 dalam Baron, 2005: 219).Saat kita mencoba mengingat setiap peristiwa atau pengalaman masa lalu, hasilnya merupakan campuran antara fakta dan fiksi (Roediger dan McDermott, 2000 dalam Baron, 2005: 219). System kognitif kita bukanlah sebagai alat rekam tetapi tidak lebih memaknai dunia. Kassin dan Kiechel, 1996 (dalam Baron, 2005: 220) berhasil mendapatkan pengakuan palsu dari para mahasiswa dalam suatu percobaan. Pada percobaan ini mereka diperingati untuk tidak menekan ALT karena bisa mengacaukan program dan menghilangkan data. Sebenarnya tidak ada yang menekan tombol tersebut, tapi saat eksperimen berlangsung, komputer mendadak berhenti berfungsi. Setiap partisipan ditanya, Apakah kamu telah memencet tombol ALT?. Para pelajar yang tidak bersalah itu dapat (1) patuh dengan cara menandatangani pengakuan palsu, (2) menginternalisasikan pengakuan palsu tersebut dengan member tahu mahasiswa lain secara personal bahwa ia benar-benar telah menekan tombol tersebut, atau (3) melakukan konfabulasi, yaitu mengingat detail palsu mengenai kejahatan yang ia rasa yakin telah melakukannya. Kassin menyimpulkan bahwa sistem peradilan kriminal tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi mereka yang tidak bersalah tapi menjadi tersangka. Ia juga berpendapat bahwa sebuah pengakuan yang melibatkan manipulasi seperti menyodorkan bukti palsu kepada tersangka, tidak layak dipergunakan dipersidangan.c. Interogasi (dan Terapi) sebagai Alat Memulihkan IngatanHumphreys (1998) (dalam Baron, 2005:220) menyatakan bahwa banyak dari ingatan yang pulih tersebut keliru. Ia menegaskan bahwa meskipun banyak tulisan yang terpercaya tentang pulihnya ingatan mengenai pemaksaan seksual yang dilakukan oleh kerabat dekat dan kejahatan lainnya, banyak pula ingatan pulih lain yang berpusat pada topik-topik yang tidak bisa dipercaya.Masalah utamanya adalah bahwa pada umumnya ketepatan dari sebagian besar ingatan sekelompok mahasiswa berkenaan dengan detail yang mereja dengar mengenai keputusan persidangan kasus pembunuhan O.J. Sinpson (Schmolck, Buffalo, & squire, 2000 dalam Baron, 2005: 221).Ingatan yang berhubungan dengan berita atas suatu peristiwa saja dapat memburuk sejalan dengan waktu, maka ingatan akan pelecehan seksual dan pengalaman personal lainnya bisa salah juga. Ingatan-ingatan yang keliru dapat dengan mudah tersusun melalui berbagai pengalaman seperti melihat foto, mendengar perkataan orang lain, dan bahkan dengan melamun (Henkel, Franklin, Johnson, 2000 dalam Baron, 2005:222).Hal yang menjadi perdebatan adalah tentang ingatan yang terpendam (repressed memory) ketika ingatan tentang sebuah kejadian traumatis benar-benar terlupakan. Ketika ingatan tersebut pulih melalui serangkaian terapi atau hypnosis, maka apakah ingatan itu dapat menjadi bukti valid yang relevan atau apakah ingatan itu merupakan ingatan yang keliru yang merupakan ancaman bagi tersangka yang sebenarnya tidak bersalah (Loftus, 1998 dalam Baron, 2005: 222).Penelitian menunjukan bahwa mereka yang mengaku memiliki ingatan yang pulih berbeada dalam hal tertentu yang mereka yang tidak. Keseluruhan masalah ini disorot dalam studi tentamg ingatan yang pulih sehubungan dengan kejadian di mana bukti independennya tersedia ( Arrigo & Pezdek, 1997 dalam Baron, 2005: 222). Kejadian-kejadian seperti kecelakaan mobil, bencana alam, peperangan, percobaan bunuh diri, dan kematian orang tua dapat dilupakan sebagai suatu mekanisme psikologis untuk mengurangi kecemasan dan ketakutan, dan ini disebut sebagai amnesia psikogenik (psychogenic amnesia). Ketika ingatan-ingatan semacam itu pulih secara bertahap, sebagian bisa benar-benar akurat sementara sebagian lagi keliru total. Keakuratan atau ketidakakuratan seperti itu bisa juga terjadi pada ingatan yang pulih akan masa kanak-kanak (Poole & Lindsay, 1998 ; Newcombe dkk, 2000 dalam Baron, 2005: 222). d. Efek MediaKriminalitas merupakan suatu yang tidak seorangpun dari kita ingin mengalaminya, tapi belief umum menyatakan bahwa keberadaan dan ancaman kejahatan kriminal lebih besar daripada jumlah kasus yang sebenarnya (Ostrow, 2005 dalam Baron, 2005:222).Liputan media mengenai kriminalitas benar-benar mempengaruhi persepsi umum, tapi masalah yang lebih serius sebenarnya adalah cara media memberitakan kejahatan tertentu yang menjadi tersangka sebuah tindak kejahatan. Karena publik tidak disodorkan bukti sebaliknya yang menunjukkan kemungkinan bahwa tersangka tidak bersalah, maka ada tendensi kuat untuk membentuk kesan negative berdasarkan primacy effect.Sejumlah faktor tambahan memperbesar pengaruh media, orang cendrung beranggapan tidak mungkin diberitakan ditelevisi kalau hat tersebut tidak benar (Gilbert, Tafarodi, & Malone, 1993 dalam Baron, 2005: 223).

C. Sistem Penegakan HukumSaat sidang dalam ruang pengadilan dibuka, juri mendengarkan kesaksian, membentuk kesan terhadap terdakwa, mendengarkan instruksi dari para hakim, dan membuat keputusan. (Myers, 2012: 347).1. Kesaksian Saksi MataDalam suatu tindak kriminal, setiap orang yang menyaksikan atau berkaitan dengan hal tersebut barangkali akan diminta untuk memberikan kesaksian dan informasi krusial dalam sebuah investigasi atau persidangan. Kesaksian para saksi mata memiliki berpengaruh yang sangat besar dalam keputusan-keputusan juri. Dengan begitu, tentu saja akurasi dari kesaksian tersebut sangatlah penting (Baron, 2005: 224).Mereka yang telah menyaksikan memang mempercayai apa yang mereka saksikan, bahkan ketika kesaksian mereka terbukti sia-sia. Mengabaikan kesaksian setidaknya dapat mengurangi jumlah suara yang menyatakan bersalah. Kecuali jika ada penyangkalan dari saksi mata yang lain, cerita yang jelas dari seorang saksi mata sulit untuk dihapuskan dari pikiran para juri. Hal ini membantu menjelaskan mengapa kasus kriminal yang kurang kesaksian saksi mata lebih besar terjadi penjatuhan hukuman (Myers, 2012: 347). Namun kesaksian dari saksi mata tidak selalu benar dan langsung dapat dipercaya karena banyak terdapat berbagai permasalahan dalam kesaksian.a. Saksi Mata yang KeliruDalam beberapa kasus dimana para saksi mata termasuk juga korban tindak kriminal itu sendiri melakukan kesalahan pengidentifikasian tersangka, yang kemudian dinyatakan bersalah dan dihukum dalam penjara. Bahkan para saksi mata yang paling jujur, cerdas, dan berniat baik sekalipun tidak luput dari kemungkinan melakukan kesalahan (Baron, 2005: 225). 1). Akurasi Saksi MataKetidakakuratan saksi mata merupakan satu-satunya faktor paling penting yang menyebabkan kekeliruan keputusan pengadilan terhadap terdakwa yang tidak bersalah. Loftus, 1992 (dalam Baron, 2005) telah menunjukkan bahwa kendala utama dalam akurasi adalah adanya rentang waktu antara ketika peristiwa tersebut disaksikan dan ketika kesaksian diambil. Sepanjang interval waktu tersebut, saksi mata hampir selalu dipaparkan pada berbagai informasi pasca peristiwa yang kerap kali menyesatkan, misalnya dari pertanyaan-pertanyaan polisi, tayangan berita, dan berbagai pernyataan yang dibuat oleh orang lain. Informasi-informasi seperti ini masuk ke dalam ingatan saksi mata. Informasi tersebut lalu melebur menjadi suatu kisah yang mencakup detail yang dikira saksi mata merupakan ingatannya. Selain rentang waktu, faktor lain yang mempengaruhi keakuratan saksi mata yaitu bias yang disebabkan oleh pengambilan foto kriminal (mug shot-induced bias), informasi setelah peristiwa terjadi, kadar alkohol yang tinggi, bias antar ras, keberadaan senjata, dan sugesti pada anak (Baron, 2005: 224-225).2). Persepsi dan Memori Saksi MataKekeliruan menyelinap masuk ke dalam persepsi dan memori individu karena pikiran individu bukanlah mesin perekam video. Individu menyusun memori sebagian berdasarkan dari apa persepsi saat itu dan sebagian lagi berdasarkan harapan, keyakinan dan pengetahuan saat ini. Emosi kuat yang menyertai orang yang menyaksikan kejahatan dan trauma secara lebih lanjut juga dapat mengubah memori saksi mata (Myers, 2012: 350). 3). Efek Kekeliruan InformasiKekeliruan informasi juga memberi efek dalam kesaksian. Saat mengintrogasi saksi mata, polisi dan pengacara pada umumnya mengajukan pertanyaan yang dibingkai oleh pemahaman mereka sendiri mengenai apa yang telah terjadi. Jadi, sangat menyulitkan untuk mengetahui betapa mudahnya saksi mata membentuk informasi keliru ke dalam memori mereka, khususnya jika mereka memercayai bahwa orang yang bertanya memiliki informasi yang baik dan ketika pertanyaan yang memberikan kesan tertentu berulang kali ditanyakan (Smith & Ellsworth, 1987; Zaragoza & Mitchell, 1996 dalam Myers, 2012: 352).4). Menceritakan KembaliMenceritakan kembali suatu peristiwa membuat seseorang melakukan pengingatan kembali, baik akurat maupun tidak. Menceritakan kembali dengan akurat nantinya akan membantu mereka dalam menangani sugesti yang menyesatkan. Di lain waktu, semakin sering kita menceritakan kembali suatu cerita, semakin kuat kita meyakinkan diri sendiri dengan suatu kekeliruan (Myers, 2012: 354).b. Meningkatkan Akurasi Saksi MataBanyak cara yang sudah dilakukan untuk meningkatkan akurasi. Hasilnya adalah adanya perubahan berskala nasional yang berkenaan dengan cara-cara polisi mengumpulkan kesaksian dari para saksi mata. Sebagai respons dari berbagai kasus, Jaksa Agung AS Janet Reno memerintahkan National Institute of Justice untuk mengembangkan petunjuk teknis berskala nasional yang bertujuan meningkatkan akurasi bukti yang diperoleh dari para saksi mata.Target utama dalam upaya perbaikan ini adalah prosedur lineup polisi dimana para saksi mata mengevaluasi beberapa individu (yang terdiri dari tersangka dan beberapa orang bukan tersangka) dan mencoba mengidentifikasi siapa diantara mereka yang bersalah. Wells & Luus, 1990 (dalam Baron, 2005) menyatakan bahwa lineup merupakan analog dari prosedur eksperimen psikologi sosial. Petugas yang berwenang dalam proses lineup adalah sang peneliti, para saksi mata adalah partisipan riset, tersangka adalah stimulus ptimer, identifikasi positif dari saksi mata merupakan data perilaku, dan keberadaan orang-orang bukan tersangka berikut susunan lineup merupakan desain risetnya, dan polisi yang bertindak sebagai invesgator seringkali sudah punya hipotesis tentang kesalahan tersangka. Terakhir, baik dalam temuan eksperimental maupun dalam kesaksian hukum, data harus dinyatakan dalam probabilitas, karena tidak ada satu prosedur pun yang dapat memberikan kepastian yang absolut.Akurasi dapat diperbaiki, misalnya dengan menggunakan prosedur blank-lineup control. Awalnya saksi mata hanya diperlihatkan pada beberapa individu yang tidak bersalah dan bukan tersangka. Jika saksi mata tidak dapat mengidentifikasi satupun di antara mereka sebagai tersangka, maka ada peningkatan kepercayaan terhadap akurasi kesaksiannya. Namun, jika seorang individu tidak bersalah ternyata diidentifikasi sebagai tersangka, maka saksi mata diberi tahu tentang kesalahannya dan diingatkan akan bahaya dari kesalahan identifikasi tersebut. Pengalaman seperti ini dapat meningkatkan akurasi saksi mata ketika lineup yang sesungguhnya dipresentasikan. Prosedur lain untuk meningkatkan akurasi diantaranya: mempresentasikan gambar atau adegan kriminal terkait berikut korbannya kepada para saksi mata sebelum proses identifikasi berlangsung (Baron, 2005: 226-227).2. Pemeran Utama dalam PersidanganHasil persidangan bukan semata-mata ditentukan oleh barang bukti dan logika. Memang betul elemen-elemen tersebut berpengaruh, akan tetapi dampak yang ditimbulkannya bercampur dengan berbagai aspek yang sepertinya tidak relevan, yaitu apa yang dipikirkan, dikatakan, dan dilakukan oleh pengacara, hakim, juri, dan terdakwa.a. PengacaraPengacara terdiri atas penuntut yaitu pengacara yang berada di pihak korban, dan pembela yaitu pengacara yang berada di pihak terdakwa. Namun saat ini banyak pengacara dari kedua belah pihak tidak bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama seperti kebenaran. Mereka justru saling berkompetisi dan berjuang untuk memenangkan kasus masing-masing. Penuntut berusaha sedapat mungkin untuk membuat terdakwa tampak jahat, sementara pembela berusaha agar terdakwa tampak baik. Kedua pengacara yang berlawanan posisi ini juga berusaha keras agar diri mereka disukai dan dipercaya oleh anggota-anggota juri.Selama persidangan, pengacara tidak diperbolehkan untuk mengajukan pertanyaan yang menjurus (leading questions), yaitu pertanyaan yang memang dirancang untuk mendapatkan jawaban tertentu, ketika bertanya kepada para saksi yang mereka tunjuk sendiri. Baik penuntut maupun pembela keduanya sama-sama mempunyai kesempatan terakhir untuk mempengaruhi suara juri melalui argumentasi penutup (Baron, 2005: 228-229).b. HakimIdealnya, seorang hakim haruslah sepenuhnya objektif dan adil, menegakkan aturan, dan meminimalkan bias. Namun mereka juga manusia yang tak luput dari kesalahan dan sikap bias. Para juri diinstruksikan untuk mendasari keputusan mereka semata-mata pada bukti faktual, namun kadang kala bukti pun dipertanyakan dan kamudian diperintahkan untuk dianulir oleh hakim. Para juri cenderung mengabaikan perintah hakim kecuali jika juri yakin bahwa hakim punya alasan yang bagus untuk meminta mereka mengabaikan bukti tersebut.Hakim maupun juri tidak seharusnya membuat keputusan final tentang bersalah atau tidak bersalah sampai pada akhir persidangan, namun hampir semua orang mengalami kesulitan atau bahkan merasa mustahil untuk menunda penilaian hingga akhir persidangan. Bahkan hakim pun dapat membentuk opini pribadinya dan seringkali berspekulasi dengan para koleganya tentang bagaimana kira-kira keputusan yang akan diambil oleh para juri (Baron, 2005: 229-230).c. JuriBanyak pengacara persidangan saat ini telah menggunakan seleksi juri secara ilmiah untuk mengidentifikasi pertanyaan yang dapat mereka gunakan untuk meniadakan prasangka yang dapat digunakan untuk melawan klien mereka, dan sebagian besar melaporkan kepuasan dengan hasilnya (Myers, 2012: 374). Sebuah fase penting dalam prosedur persidangan yang dijalani sesaat sebelum proses peradilan dimulai adalah penyeleksian juri melalui prosedur voir dire, dimana pengacara dari kedua belah pihak dapat melihat dan berbicara dengan para calon juri untuk menentukan siapa yang diterima dan siapa yang tidak. Tujuan resminya adalah untuk memilih warga yang paling kompeten serta mampu bersikap tidak memihak dalam menjalankan tugasnya nanti, namun pada kenyataannya kedua wakil hukum yang saling kontradiktif ini berupaya sedapat mungkin untuk memilih juri yang diyakini dapat membantu mereka memenangkan kasus dan atau membahayakan posisi lawan (Baron, 2005: 228).Para juri harus memahami instruksi hakim menyangkut kategori pemberian hukuman yang mungkin dilakukan. Selain itu juri juga harus dapat memahami informasi statistik. Untuk dapat meningkatkan pemahaman para juri, pertama kali yaitu dengan memahami bagaimana para juri keliru dalam menafsirkan informasi pengadilan dan informasi secara statistik. Selanjurnya dengan memberikan para juri catatan dibandingkan memaksa mereka mengandalkan memori dalam memproses informasi yang kompleks. Langkah selanjutnya yaitu memikirkan dan menguji dengan lebih jelas cara yang lebih efektif dalam menampilkan informasi (Myers, 2012: 373).d. TerdakwaTerdakwa adalah sosok asing yang baru pertama kali dilihat oleh para juri yang kemudian secara otomatis mengevaluasi diri orang asing tersebut. Determinan-determinan yang paling penting adalah komunikasi nonverbal, atribusi, pembentukan kesan dan manajemen kesan, prasangka, serta ketertarikan interpersonal. Hal-hal seperti kesan pertama, stereotip, dan ketertarikan seharusnya tentu saja tidak berperan dalam ruang sidang, namun pada kenyataannya hal-hal tersebut memang berpengaruh terhadap hasil keputusan yang diperoleh dalam situasi persidangan(Baron, 2005: 231).Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam ruang sidang mengenai kesan juri terhadap terdakwa yaitu sikap rasial dimana lintas rasial ini membentuk kesan tertentu dari juri terhadap terdakwa dan mempengaruhi keputusan juri nantinya. Ras terdakwa ini adalah faktor yang krusial dan sangat tidak adil dalam ruang sidang. Faktor selanjutnya yaitu siapa juri yang terlibat serta apa yang ia yakini. Dalam berbagai kasus pemerkosaan dan penyiksaan anak, perempuan daripada pria lebih cenderung untuk mengambil keputusan bersalah. Cara juri memproses informasi juga berbeda-beda, dan perbedaan ini dapat menghasilkan keputusan yang tidak kompeten. Juri yang pikirannya telah dibentuk oleh belief tertentu, akan membuat keputusan yang ekstrem, dan cenderung bersikeras sehingga seringkali membuat proses pengambilan keputusan berjalan alot karena mereka menolak mengubah keputusan mereka. Sebaliknya, juri yang kompeten akan memproses informasi yang didapat dalam persidangan dengan cara membangun. Berbagai keputusan yang dibuat oleh juri berhubungan dengan disposisi kepribadian tertentu serta sikap dan belief tertentu (Baron, 2005: 232).Secara keseluruhan, penelitian tentang sistem hukum telah memberikan bukti bahwa keadilan serta objektivitas dalam sistem peradilan seringkali hancur hanya karena karakteristik-karakteristik umum manusia. Kemajuan teknologi seperti kesaksian dengan rekaman video, animasi komputer, dan simulasi persidangan hanya akan menambah masalah yang berkaitan dengan objektivitas. Eliminasi total atas semua bias yang terdapat dalam ruang sidang adalah cita-cita yang mulia, namun kemungkinan besar hal itu tidak akan dapat tercapai (Baron, 2005: 233).

BAB IIIPENUTUP

Kesimpulan1. Kriminalitas atau kejahatan (crime) secara umum adalah tingkah laku yang melanggar hukum atau melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya, sedangkan kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, sifatnya asosial dan melanggar hukum serta undang-undang pidana. Beberapa teori mengenai kejahatan yaitu teori teologis, teori filsafat tentang manusia (antropologi transendental), teori kemauan bebas (free will), teori penyakit jiwa, teori faal tubuh (fisiologis), teori yang menitikberatkan faktor sosial, dari sekolah sosiologi Prancis, teori susunan ketatanegaraan. 2. Penyelidikan: efek dari prosedur kepolisian yaitu bagaimana polisi berurusan dengan para saksi dan tersangka dan liputan media yaitu bagaimana informasi mengenai kasus tersebut ditampilkan oleh media.3. Kesaksian saksi mata yaitu setiap orang yang menyaksikan tindak kriminal atau berkaitan dengan hal tersebut akan diminta untuk memberikan kesaksian dan informasi krusial dalam sebuah investigasi atau persidangan. Kesaksian para saksi mata memiliki berpengaruh yang sangat besar dalam keputusan-keputusan juri.4. Pemeran utama dalam persidangan seperti pengacara yang terdiri atas penuntut yaitu pengacara yang berada di pihak korban, dan pembela yaitu pengacara yang berada di pihak terdakwa, hakim yang memimpin, mengatur, dan memberi instruksi dalam persidangan, juri, dan terdakwa atau tersangka.

21