makalah (lengkap)

41
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Selama ini pemerintah dianggap belum menjalankan fungsi pengawasan terhadap berbagai produk pangan di daerah. Bahkan, Ditjen Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) baru mengusulkan kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar mewajibkan pengawasan pangan. Jadi, secara tidak langsung, pemerintah telah lalai mengawasi produk pangan bagi konsumen di Indonesia. “Fungsi pengawasan oleh pemerintah bermasalah,” kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo, Rabu, 9 Februari. Menurut dia, indikasi lain yang menguatkan soal itu adalah rutinitas razia makanan yang biasanya baru dilakukan menjelang Lebaran. Hal itu terjadi karena selama ini tidak ada pengawasan secara rutin oleh pemerintah daerah. Di sisi lain, tidak semua daerah memiliki lembaga konsumen. Akibatnya, tidak banyak warga yang tahu akan mengadu ke mana terkait produk bermasalah yang mereka temukan. “Kalau ada, mencari telepon lembaga dan alamatnya juga susah setengah mati,” tutur Sudaryatmo.

Upload: zuanita-putricharia-susanti

Post on 25-Oct-2015

325 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

kwn

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Selama ini pemerintah dianggap belum menjalankan fungsi pengawasan

terhadap berbagai produk pangan di daerah. Bahkan, Ditjen Pangan Kementerian

Pertanian (Kementan) baru mengusulkan kepada Kementerian Dalam Negeri

(Kemendagri) agar mewajibkan pengawasan pangan.

Jadi, secara tidak langsung, pemerintah telah lalai mengawasi produk

pangan bagi konsumen di Indonesia. “Fungsi pengawasan oleh pemerintah

bermasalah,” kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen

Indonesia (YLKI) Sudaryatmo, Rabu, 9 Februari.

Menurut dia, indikasi lain yang menguatkan soal itu adalah rutinitas razia

makanan yang biasanya baru dilakukan menjelang Lebaran. Hal itu terjadi karena

selama ini tidak ada pengawasan secara rutin oleh pemerintah daerah.

Di sisi lain, tidak semua daerah memiliki lembaga konsumen. Akibatnya,

tidak banyak warga yang tahu akan mengadu ke mana terkait produk bermasalah

yang mereka temukan. “Kalau ada, mencari telepon lembaga dan alamatnya juga

susah setengah mati,” tutur Sudaryatmo.

Karena itu, YLKI menilai, kewajiban labelisasi halal untuk produk pangan

akan memicu masalah. Dia mempertanyakan kesanggupan pemerintah

menegakkan hukum terhadap perusahaan besar yang melanggar ketentuan

labelisasi halal tersebut. “Jika diwajibkan, itu malah menjadi persoalan. Lebih

baik sifatnya voluntary saja,” kata dia.

Labelisasi halal, ujar Sudaryatmo, akan otomatis dilakukan pelaku usaha

yang mendirikan perusahaan pangan di kawasan berpenduduk mayoritas muslim,

seperti Indonesia. Hal itu merupakan konsekuensi agar produk mereka laku.

“Tanpa diwajibkan pun, mereka sudah tahu itu,” tutur Sudaryatmo.

DPR berpendapat, labelisasi produk halal penting dilakukan untuk

memberikan perlindungan hukum konsumsi atas kepentingan kelompok tertentu.

Rencananya, DPR dan pemerintah merumuskan rancangan undang-undang (RUU)

jaminan produk halal.

Menurut Sudaryatmo, labelisasi membutuhkan biaya yang tinggi.

Misalnya, pengurusan di lembaga sertifikasi, akreditasi, pemeriksa, hingga komisi

fatwa. Dia meminta proses labelisasi halal diterapkan berbeda antara industri

pangan besar dan yang kecil. “Industri kecil kerap mengeluh harus menanggung

biaya tiket dan penginapan para auditor halal dari Jakarta,” ujar Sudaryatmo.

Secara terpisah, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

menyatakan bahwa ke depan semua produk pangan yang mengandung babi atau

dalam prosesnya bersinggungan dengan babi wajib mencantumkan kotak merah

bergambar babi. Menurut Kepala BPOM Kustantinah, gambar babi itu harus

dicantumkan dalam setiap kemasan produk yang diedarkan.

Langkah itu ditempuh untuk memberikan informasi kepada warga

Indonesia yang mayoritas muslim. “Itu mencegah peredaran produk makanan

yang tak layak dikonsumsi masyarakat,” terangnya.

Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Produk Obat dan Makanan Majelis

Ulama Indonesia (LP3OM MUI) Lukmanul Hakim menyatakan bahwa hingga

kini produk pangan yang telah melakukan sertifikasi halal baru sekira 36,7 persen.

Di antara jumlah itu, sekitar 31 persen berasal dari produk pangan impor. Lalu, 21

persen di antaranya dikuasai produk asal China.

“Sekarang kesadaran di kalangan produk impor untuk melakukan

sertifikasi terus meningkat,” tutur dia. Meski begitu, dia juga menyayangkan

masih banyak produk makanan yang beredar di masyarakat belum melakukan

registrasi sertifikat halal.

1.2. IDENTIFIKASI MASALAH

Mengapa penyalahgunaan bahan kimia berbahaya dalam makanan

termasuk ke dalam kasus pelanggaran rule of law?

Faktor apa yang menyebabkan produsen makanan masih

menggunakan bahan kimia berbahaya ?

Bagaimana landasan penerapan rule of law mengenai keamanan

pangan di Indonesia?

Bagaimana peredaran produk pangan yang tidak memenuhi syarat?

Apa salah satu kasus keracunan makanan yang terjadi di masyarakat?

Bagaimana tanggung jawab dan kesadaran produsen-distributor?

Bagaimana pengetahuan dan kepedulian konsumen terhadap

permasalahan keamanan pangan?

Apa dampak yang ditimbulkan akibat penyimpangan mutu dan

masalah keamanan pangan?

Apa tindakan pemerintah untuk mnanggulangi permasalahan ini?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Rule Of Law merupakan suatu doktrin hukum yang mulai muncul pada

abad ke XIX, bersamaan dengan kelahiran Negara berdasarkan hukum (konstitusi)

dan demokrasi. Kehadiran Rule Of Law boleh disebut sebagai reaksi dan koreksi

terhadap Negara absolut ( kekuasaan di tangan penguasa ) yang telah berkembang

sebelumnya.

Berdasarkan pengertian, friedman ( 1959 ) membedakan Rule Of Law

menjadi 2 yaitu pengertian secara formal ( in the formal sense ) dan pengertian

secara hakiki / materil ( ideological sense ). Secara formal , Rule Of Law diartikan

sebagai kekuasaan umum yang terorganisir ( organized public power ) . Hal ini

dapat diartikan bahwa setiap Negara mempunyai aparat penegak hukum yang

menyangkut ukuran yang baik dan buruk ( just anf unjust law ).

Rule Of Law pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap

“rasa keadilan“ bagi rakyat Indonesia dan juga “ keadilan sosial “ . Inti dari Rule

Of Law adalah adanya keadilan bagi masyarakat , teruatama keadilan sosial.

Pelaksanaan Rule Of Law mengandung keinginan untuk terciptanya

Negara hukum , yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat. Penegakan Rule Of

Lawharus diartikan secara hakiki ( materil ) yaitu dalam arti pelaksanaan dari just

law. Prinsip – prinsip Rule Of Law secara hakiki sangat erat kaitannya dengan

“the enofercement of the rules of law“ dalam penyelenggaraan pemerintahan

terutama dalam hal penegakan hukum dan implementasi prinsip – prinsip rule of

law.

Secara kuantatif, peraturan perundang – undangan yang terkait dengan

Rule of Law telah banyak dihasilkan di Negara kita, namun implementtasi /

penegakannya belum mencapai hasil yang optimal. Sehingga rasa keadilan

sebagai perwujudan pelaksanaan Rule of Law belum dirasakan sebagian

masyarakat. Contoh peraturan perundang-undangan yang telah dihasilkan di

Indonesia adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

tentang pangan.

Beberapa isi dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

tentang pangan yang berhubungan dengan rendahnya pengawasan hukum dalam

kasus peredaran bahan kimia berbahaya dalam makanan adalah sebagai berikut :

1. Pasal 6

Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan

atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran

pangan wajib:

a. memenuhi persyaratan sanitasi, keamanan, dan atau keselamatan

manusia;

b. menyelenggarakan program pemantauan sanitasi secara berkala; dan

c. menyelenggarakan pengawasan atas pemenuhan persyaratan sanitasi.

2. Pasal 10

(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang

menggunakan bahan apa pun sebagai bahan tambahan pangan yang

dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang

ditetapkan.

(2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau

dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau

proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

3. Pasal 11

Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan, tetapi belum

diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu

diperiksa keamanannya, dan penggunaannya dalam kegiatan atau proses

produksi pangan untuk diedarkan dilakukan setelah memperoleh

persetujuan Pemerintah.

4. Pasal 13

(1) Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan

baku, bahan tambahan pangan, dan atau bahan bantu lain dalam kegiatan

atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika

wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan

manusia sebelum diedarkan.

(2) Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip penelitian,

pengembangan, dan pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam

kegiatan atau proses produksi pangan, serta menetapkan persyaratan bagi

pengujian pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika.

5. Pasal 20

(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib

menyelenggarakan system jaminan mutu, sesuai dengan jenis pangan yang

diproduksi.

(2) Terhadap pangan tertentu yang diperdagangkan, Pemerintah dapat

menetapkan persyaratan agar pangan tersebut terlebih dahulu diuji secara

laboratoris sebelum peredarannya.

(3) Pengujian secara laboratoris, sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

dilakukan di laboratorium yang ditunjuk oleh dan atau telah memperoleh

akreditasi dari Pemerintah.

(4) Sistem jaminan mutu serta persyaratan pengujian secara laboratoris,

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dan

diterapkan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan dan

kebutuhan sistem pangan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

6. Pasal 21

Setiap orang dilarang mengedarkan:

a. pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat

merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia;

b. pangan yang mengandung cemaran yang melampaui ambang batas

maksimal yang ditetapkan;

c. pangan yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam

kegiatan atau proses produksi pangan;

d. pangan yang mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau

mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari

bangkai sehingga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi manusia;

e. pangan yang sudah kedaluwarsa.

BAB III

PEMBAHASAN

Salah satu sasaran pengembangan di bidang pangan adalah terjaminnya

pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang

berbahaya bagi kesehatan.

Hal ini secara jelas menunjukkan upaya untuk melindungi masyarakat dari

pangan yang tidak memenuhi standar dan persyaratan kesehatan. Sasaran program

keamanan pangan adalah:

(1) Menghindarkan masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan,

yang tercermin dari meningkatnya pengetahuan dan kesadaran produsen terhadap

mutu dan keamanan pangan;

(2) Memantapkan kelembagaan pangan, yang antara lain dicerminkan oleh adanya

peraturan perundang-undangan yang mengatur keamanan pangan; dan

(3) Meningkatkan jumlah industri pangan yang memenuhi ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Dengan diberlakukannya UU No. 7 tentang Pangan tahun 1996 sebuah

langkah maju telah dicapai pemerintah untuk memberi perlindungan kepada

konsumen dan produsen akan pangan yang sehat, aman dan halal. Dalam upaya

penjabaran UU tersebut, telah disusun Peraturan Pemerintah (PP) tentang

keamanan pangan serta label dan iklan pangan. Demikian juga PP tentang mutu

dan gizi pangan serta ketahanan pangan.

Gambaran keadaan keamanan pangan selama tiga tahun terakhir secara

umum adalah:

(1) Masih dtiemukan beredarnya produk pangan yang tidak memenuhi

persyaratan;

(2) Masih banyak dijumpai kasus keracunan makanan;

(3) Masih rendahnya tanggung jawab dan kesadaran produsen serta distributor

tentang keamanan pangan yang diproduksi/diperdagangkannya; dan

(4) Masih kurangnya kepedulian dan pengetahuan konsumen terhadap keamanan

pangan.

A. Produk Pangan yang Tidak Memenuhi Persyaratan

Dari jumlah produk pangan yang diperiksa ditemukan sekitar 9,08% -

10,23% pangan yang tidak memenuhi persyaratan. Produk pangan tersebut

umumnya dibuat menggunakan bahan tambahan pangan yang dilarang atau

melebihi batas penggunaan: merupakan pangan yang tercemar bahan kimia atau

mikroba; pangan yang sudah kadaluwarsa; pangan yang tidak memenuhi standar

mutu dan komposisi serta makanan impor yang tidak sesuai persyaratan. Dari

sejumlah produk pangan yang diperiksa tercatat yang tidak memenuhi persyaratan

bahan pangan adalah sekitar 7,82% - 8,75%. Penggunaan bahan tambahan

makanan pada makanan jajanan berada pada tingkat yang cukup menghawatirkan

karena jumlah yang diperiksa sekitar 80%-nya tidak memenuhi persyaratan.

Penggunaan bahan tambahan yang tidak sesuai diantaranya adalah: (1)

Pewarna berbahaya (rhodamin B. methanyl yellow dan amaranth) yang ditemukan

terutama pada produk sirop, limun, kerupuk, roti, agar/jeli, kue-kue basah,

makanan jajanan (pisang goreng, tahu, ayam goreng dan cendol). Dari sejumlah

contoh yang diperiksa ditemukan 19,02% menggunakan pewarna terlarang; (2)

Pemanis buatan khusus untuk diet (siklamat dan sakarin) yang digunakan untuk

makanan jajanan. Sebanyak 61,28% dari contoh makanan jajanan yang diperiksa

menggunakan pemanis buatan; (3) Formalin untuk mengawetkan tahu dan mie

basah; dan (4) Boraks untuk pembuatan kerupuk, bakso, empek-empek dan

lontong.

Pengujian pada minuman jajanan anak sekolah di 27 propinsi ditemukan

hanya sekitar 18,2% contoh yang memenuhi persyaratan penggunaan BTP,

terutama untuk zat pewarna, pengawet dan pemanis yang digunakan sebanyak

25,5% contoh minuman mengandung sakarin dan 70,6% mengandung siklamat.

Pestisida, logam berat, hormon, antibiotika dan obat-obatan lainnya yang

digunakan dalam kegiatan produksi pangan merupakan contoh cemaran kimia

yang masih banyak ditemukan pada produk pangan, terutama sayur, buah-buahan

dan beberapa produk pangan hewani. Sedangkan cemaran mikroba umumnya

banyak ditemukan pada makanan jajanan, makanan yang dijual di warung-warung

di pinggir jalan, makanan katering, bahan pangan hewani (daging, ayam dan ikan)

yang dijual di pasar serta makanan tradisional lainnya. Hasil pengujian di 8 Balai

Laboratorium Kesehatan Propinsi menemukan 23,6% contoh makanan positif

mengandung bakteri Escheresia coli, yaitu bakteri yang digunakan sebagai

indikator sanitasi.

Dalam hal pelabelan produk pangan, dari sejumlah contoh label yang

diperiksa sebanyak 27,30% - 26,76% tidak memenuhi persyaratan dalam hal

kelengkapan dan kebenaran informasi yang tercantum dalam label. Sedangkan

dari sejumlah contoh iklan yang diperiksa terutama karena memberikan informasi

yang menyesatkan (mengarah ke pengobatan) dan menyimpang dari peraturan

periklanan.

Produk pangan kadaluarsa terutama diedarkan untuk bingkisan atau parcel

Hari Raya/Tahun Baru. Dari sejumlah sarana penjual parcel yang diperiksa sekitar

33,22%-43,57% sarana menjual produk kadaluarsa.

Peredaran produk pangan yang tidak memenuhi standar mutu dan

komposisi masih banyak pula ditemukan. Dari sejumlah contoh garam beryodium

yang diperiksa sekitar sebanyak 63,30%-48,73% contoh tidak memenuhi

persyaratan kandungan KlO3.

Produk pangan impor yang tidak memenuhi persyaratan masih banyak

yang beredar di pasaran. Survei tahun 1998 menemukan sejumlah 69,2% tidak

mempunyai nomor ML (izin peredaran dari Departemen Kesehatan) dan 28,1%

tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa. Ditemukan pula sayuran dan buah-

buahan impor yang mengandung residu pestisida yang cukup tinggi serta mikroba

dalam jumlah dan jenis yang tidak memenuhi persyaratan pada produk pangan

hewani.

B. Kasus Keracunan Makanan

Sepanjang tahun 1994/1995 dilaporkan sejumlah 26 kasus keracunan

makanan yang menyebabkan 1.552 orang menderita dan 25 orang meninggal,

sedangkan tahun 1995/1996 dilaporkan sebanyak 30 kasus dengan 92 orang

menderita dan 13 orang meninggal. Dari kasus tersebut hanya 2 – 5 kasus yang

telah diidentifikasi dengan jelas penyebabnya. Diperkirakan jumlah kasus yang

dilaporkan ini masih sangat rendah dibandingkan keadaan sebenarnya yang

terjadi. WHO (1998) memperkirakan perbandingan antara kasus keracunan

makanan yang dilaporkan dan yang sebenarnya terjadi adalah 1: 10 untuk negara

maju dan 1 : 25 untuk negara yang sedang berkembang. Sebaran kasus keracunan

di 10 propinsi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kasus keracunan pangan di 10 Propinsi di Indonesia dalam tahun

1996-1997

PROPINSIJumlah

Kasus Jumlah Korban

Sumber/asal

TPM

Jumlah yang telah

Diidentifikasi

penyebabnya

Penderita Mening

gal

1. D. I. Aceh 1 3 0 Makjan -

2. Sumatera

Barat

1. Bengkulu

2. Jawa Barat

3. Jawa Tengah

4. Jawa Timur

5. Kalimantan

Barat

6. Kalimantan

Selatan

7. Sulawesi

Selatan

8. Bali

2

1

1

6

12

2

1

4

1

10

37

163

431

505

27

18

76

111

1

0

0

0

6

0

0

7

0

Rumah

Tangga

(RT)

Rumah

Tangga

Jasaboga

Jasaboga

Pasar

Jasaboga,

Industri RT,

Makjan pasar

Toko, RT

-

Pasar, RT

Lokal

-

Zat Kimia

-

-

1 (nitrit)

1 (amaranth)

1 (pestisida)

1 (salmonella)

8 (?)

-

-

1 (jamur)

1 (nitrit)

2 (?)

Shigella

S. aureus

Jumlah 31 1.381 14 16

(51,61%)

Sumber: Direktorat Penyehatan lingkungan Pemukiman, Ditjen PPMPLP,

Depkes (1998)

C. Tanggung Jawab dan Kesadaran Produsen dan Distributor

Masih kurangnya tanggung jawab dan kesadaran produsen dan distributor

terhadap keamanan pangan tampak dari penerapan Good Agricultural Practice

(GAP) dan teknologi produksi berwawasan lingkungan yang belum sepenuhnya

oleh produsen primer, penerapan Good Handling Pratice (GHP) dan Good

Manufacturing Pratice (GMP) serta Hazard Analysis Critical Control Point

(HACCP) yang masih jauh dari standar oleh produsen/pengolah makanan berskala

kecil dan rumah tangga.

Pemeriksaan terhadap sarana produksi makanan/minuman skala rumah

tangga menengah dan besar menemukan sekitar 33,15% - 42,18% sarana tidak

memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi. Sedangkan pengawasan di tempat

pengolahan makanan (TPM) yang mencakup jasa boga, restoran/rumah makan

dan TPM lainnya hanya sekitar 19,98% yang telah mempunyai izin penyehatan

makanan dan hanya sekitar 15,31% dari rumah makan/restoran yang diawasi yang

memenuhi syarat untuk diberi grade A, B dan C. Pelatihan penyuluhan yang

diberikan umumnya baru menjangkau skala besar.

Distributor pangan umumnya juga belum memahami Good Distribution

Practice (GDP). Pemeriksaan terhadap sarana distribusi produk pangan dalam hal

sanitasi, bangunan dan fasilitas yang digunakan, serta produk yang dijual

menemukan sekitar 41,60% - 44,29% sarana yang tidak memenuhi syarat sebagai

distributor makanan.

D. Pengetahuan dan Kepedulian Konsumen

Masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian konsumen tentang

keamanan pangan tercermin dari sedikitnya konsumen yang menuntut produsen

untuk menghasilkan produk pangan yang aman dan bermutu serta klaim

konsumen jika produk pangan yang dibeli tidak sesuai informasi yang tercantum

pada label maupun iklan. Pengetahuan dan kepedulian konsumen yang tinggi akan

sangat mendukung usaha peningkatan pendidikan keamanan pangan bagi para

produsen pangan.

Dalam menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut pemerintah telah

melakukan berbagai program dan pembinaan baik terhadap pedagang, pengusaha

dan pengolah/penjaja makanan maupun terhadap lokasi penjualan dan pengolahan

pangan. Pembinaan dilakukan tidak hanya oleh Departemen Kesehatan, namun

melibatkan pula instansi lain dan pemerintah daerah. Data tahun 1995/1996

menunjukkan pula instansi lain dan pemerintah daerah. Data tahun 1997/1998

menunjukkan bahwa telah lebih dari 60% kelompok makanan jajanan (lokasi dan

pedagang) pengrajin makanan (lokasi desa dan pengrajin) dibina, namun baru

sekitar 14,65% pengusaha dan 23,86 penjaja makanan yang telah dibina dalam hal

pengelolaan makanan secara aman.

III. Dampak Penyimpangan Mutu dan Masalah Keamanan Pangan

Ada empat masalah utama mutu dan keamanan pangan nasional yang

berpengaruh terhadap perdagangan pangan baik domestik maupun global

(Fardiaz, 1996), yaitu:

Pertama, produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu

keamanan pangan, yaitu:

(1) Penggunaan bahan tambahan pangan yang dilarang atau melebihi batas dalam

produk pangan;

(2) Ditemukan cemaran kimia berbahaya (pestisida, logam berat, obat-obat

pertanian) pada berbagai produk pangan;

(3) Cemaran mikroba yang tinggi dan cemaran microba patogen pada berbagai

produk pangan;

(4) Pelabelan dan periklanan produk pangan yang tidak memenuhi syarat; (5)

Masih beredarnya produk pangan kadaluwarsa, termasuk produk impor;

(6) Pemalsuan produk pangan;

(7) Cara peredaran dan distribusi produk pangan yang tidak memenuhi syarat; dan

(8) Mutu dan keamanan produk pangan belum dapat bersaing di pasar

Internasional.

Kedua, masih banyak terjadi kasus kercunan makanan yang sebagian besar

belum dilaporkan dan belum diidentifikasi penyebabnya. Ketiga, masih rendahnya

pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab produsen pangan (produsen

bahan baku, pengolah dan distributor) tentang mutu dan keamanan pangan, yang

ditandai dengan ditemukannya sarana produk dan distribusi pangan yang tidak

memenuhi persyaratan (GAP, GHP, GMP, GDP, dan GRP), terutama pada

industri kecil/rumah tangga. Dan keempat, rendahnya kepedulian konsumen

tentang mutu dan keamanan pangan yang disebabkan pengetahuan yang terbatas

dan kemampuan daya beli yang rendah, sehingga mereka masih membeli produk

pangan dengan tingkat mutu dan keamanan yang rendah.

Penyimpangan mutu dan keamanan pangan mempunyai dampak terhadap

pemerintah, industri dan konsumen seperti tercantum dalam Tabel 2. Oleh karena

itu diperlukan peran serta ketiga sektor tersebut untuk menjamin mutu dan

keamanan pangan.

IV. Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Dalam Sistem Mutu dan

Keamanan Pangan

Untuk implementasi sistem mutu dan keamanan pangan nasional telah

dilakukan analisis SWOT yang mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang

dan ancaman yang dihadapi. Dari hasil analisis tersebut ditetapkan kebijakan yang

harus ditempuh, serta disusun strategi, program, dan kegiatan yang perlu

dilakukan untuk menjamin dihasilkannya produk pangan yang memenuhi

persyaratan mutu dan keamanan untuk perdagangan domestik maupun global,

yaitu melalui pendekatan HACCP untuk menghasilkan produk yang aman, serta

mengacu pada ISO 9000 (QMS) untuk menghasilkan produk yang konsisten dan

ISO 14000 (EMS) untuk menjamin produk pangan yang berwawasan lingkungan

(Gambar 1). Gambar 2. Menyajikan pengembangan sistem mutu dan keamanan

pangan nasional, yang menekankan pada penerapan sistem jaminan mutu untuk

setiap mata rantai dalam pengolahan pangan yaitu GAP/GFP (Good

Agriculture/Farming Practices), GHP (Good Handling Practices), GMP (Good

Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution Practices), GRP (Good

Retailing Practices) dan GCP (Good Cathering Practices).

Tabel 2. Dampak penyimpangan mutu dan keamanan pangan terhadap

pemerintah, industri dan konsumen.

PENYIMPANGAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN

PEMERINTAH INDUSTRI KONSUMEN

Penyelidikan dan

penyedikan kasus

Biaya penyelidikan dan

analisis

Kehilangan

Produktivitas

Penurunan ekspor

Biaya sosial sekuriti

Penganguran

Penarikan produk

Penutupan pabrik

Kerugian

Penelusuran penyebab

Kehilangan pasar dan

pelanggan

Kehilangan kepercayaan

konsumen (domestik dan

internasional)

Administrasi asuransi

Biaya legalitas

Biaya dan waktu

rehabilitasi (pengambilan

kepercayaan konsumen)

Penuntutan konsumen

Biaya pengobatan dan

rehabilitasi

Kehilangan pendapatan dan

produktivitas

Sakit, penderitaan dan

mungkin kematian

Kehilangan waktu

Biaya penuntutan/pelaporan

Dalam bulan Juni 1995, Codex Alimentarius Commision (CAC) telah

mengadopsi dan merekomendasikan penerapan sistem HACCP (Hazard Analysis

Critical Control Point) dalam industri pangan. Negara-negara Masyarakat

Ekonomi Eropa (MEE) melalui EC Directive 91/493/EEC juga

merekomendasikan penerapan HACCP sebagai dasar pengembangan sistem

manajemen mutu kepada negara-negara yang akan mengekspor produk pangan ke

negara-negara MEE. HACCP juga direkomendasikan oleh US-FDA kepada

negara-negara yang mengekspor produk makanan ke USA. Konsep HACCP

terutama mengacu pada pengendalian keamanan pangan (food safety), meskipun

dapat pula diterapkan pada komponen mutu lainnya seperti keutuhan yang

menyangkut anfaat dan kesehatan (Wholesomeness), dan pencegahan tindakan-

tindakan kecurangan dalam perekonomian (economic fraund) (Tim Inter

Departemen Bappenas, 1996).

Konsep Implementasi Quality System dan Safety

SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN

KEKUATAN KELEMAHAN PELUANG ANCAMAN

Perkembangan

industri pangan

yang semakin

pesat

Tersedianya UU

Pangan dan

Peraturan

Tersedianya

sistem

manajemen mutu

dan keamanan

(GAP/GFP,

GHP, GMP,

GDP, GRP, ISO

9000, ISO 14000

,dll)

Produk pangan

didominasi oleh

industri

kecil/rumah

tangga

Kualitas SDM

belum memadai

Kelembagaan

koordinasi belum

terpadu

Penguasaan Iptek

yang masih

lemah

Keterbatasan dan

sumber dana

Kepedulian

produsen dan

konsumen masih

rendah

Keterbatasan

infrastruktur

(laboratorium,

peraturan,

pedoman,

Globalisasi

produk

agroindustri

Persaingan

internasional yang

semakin ketat

Peraturan dan

kesepakatan

internasional

(WTO/TBT, SPS,

dll)

standar)

KEBIJAKSANAAN, STRATEGI DAN PROGRAM

PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN

(Mengacu pada konsep HACCP, ISO 9000 dan ISO 14000)

IMPLEMENTASI PROGRAM DAN PENGAWASAN

Gambar 1. Analisa kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam

implementasi sistem mutu dan keamanan pangan.

JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN

HACCP, ISO 9000, ISO 140000

Produksi Bahan Baku/

Penolong

Penanganan

GAP/GEP GHP GMP GDP GRP GCP

Pengolahan Distribusi Pasar Konsumen

KEKUATAN KELEMAHAN

Gambar 2. Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional

V. Tanggung Jawab Bersama dalam Implementasi Sistem Mutu dan

Keamanan Pangan

Pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan merupakan tanggung

jawab bersama antara pemerintah, industri yang meliputi produsen bahan baku,

industri pangan dan distributor, serta konsumen (WHO, 1998). Keterlibatan ketiga

sektor tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sistem

mutu dan keamanan pangan. Gambar 3 menyajikan keterlibatan dan tanggung

jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen dalam pengembangan

sistem mutu dan keamanan pangan.

IMPLEMENTASI SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN

PEMERINTAH

INDUSTRI

(Industri bahan baku,

Pengolahan, Distributor,

Pengecer)

KONSUMEN

MASYARAKA

T

Penyusunan

kebijaksanaan strategi,

program dan peraturan

Pelakasanaan program

Pemasyarakatan UU

Pangan dan peraturan

Pengawasan dan low

enforcement

Pengumpulan informasi

Pengembangan Iptek dan

penelitian

Pengembangan SDM

(pengawas pangan,

penyuluh pangan,

industri)

Penyuluhan dan

penyebaran informasi

kepada konsumen

Penyelidikan dan

penyedikan kasus

penyimpangan mutu dan

keamanan pangan

Penerapan sistem jaminan

mutu dan keamanan

pangan (GAP/GFP, GHP,

GMP, GDP, GR, HACCP,

ISO 9000, ISO 14000 dll)

Pengawasan mutu dan

keamanan produk

Penerapan teknologi yang

tepat (aman, ramah

lingkungan, dll)

Pengembangan SDM

(manager, supervisor,

pekerja pengolah pangan)

Pengembanga

n SDM

(pelatihan,

penyuluhan

dan

penyebaran

informasi

kepada

konsumen)

tentang

keamanan

pangan

Praktek

penanganan

dan

pengolahan

pangan yang

baik (GCP)

Partisipasi

dan

kepedulian

masyarakat

tentang mutu

dan keamanan

pangan

TANGGUNG JAWAB BERSAMA

Gambar 3. Hubungan antara tanggung jawab pemerintah, industri dan konsumen

dalam implementasi sistem dan keamanan pangan

VI. Kebijakan Sistem Mutu dan Keamanan Pangan

Kebijakan Nasional tentang Mutu dan Keamanan Pangan telah disusun

secara lintas sektoral dengan melibatkan berbagai Departemen dan Lembaga

Pemerintah Non Departemen yang terlibat dalam pembinaan dan pengawasan

mutu dan keamanan pangan. Kebijakan Mutu dan keamanan Pangan nasional

tersebut adalah sebagai berikut (Kantor Menteri Negara Pangan: 1997):

1. Meningkatkan mutu dan keamanan pangan melalui penelitian dan

pengembangan, pengembangan peraturan perundang-undangan serta

kelembagaan.

2. Meningkatkan mutu gizi pangan dalam upaya meningkatkan status gizi

masyarakat.

JAMINAN MUTU DAN

3. Memberikan jaminan bahwa pangan sebagai bahan baku industri maupun

konsumsi, bebas dari kontaminasi bahan kimia, biologi dan toksin, serta tidak

bertentangan dengan keyakinan yang dianut oleh masyarakat.

4. Menerapkan secara terpadu sistem jaminan mutu dan keamanan pangan sejak

pra produksi, selama proses produksi sampai konsumen baik dalam

pembinaan maupun pengawasan melalui Program Sistem Mutu dan Keamanan

Pangan Nasional.

5. Meningkatkan pengawasan melekat/mandiri (self regulatory control) pada

produsen, konsumen, pengolah, pedagang, serta pembina dan pengawas mutu

dalam melaksanakan jaminan mutu dan keamanan pangan.

6. Melarang memperadagangkan (ekspor dan impor) pangan yang melanggar

ketentuan yang secara internasional telah disepakati bersama.

7. Melaksanakan sertifikasi dan menerebitkan sertifikat mutu produk pangan

yang memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produsen,

eksportir dan eksportir produsen yang telah mampu menerapkan sistem

manajemen mutu dan keamanan pangan.

8. Menjaga standar mutu yang tinggi dalam setiap aspek kinerja pembinaan dan

pengawasan mutu dan keamanan pangan secara terpadu.

9. Melaksanakan pemasyarakatan Program Mutu dan keamanan Pangan

Nasional.

10. Pengembangkan sumberdaya manusia pembinaan dan pengawasan mutu

pangan melalui pendidikan dan latihan.

VII. Implementasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan

Hasil diskusi dari berbagai instansi terkait tentang implementasi Sistem

Mutu dan Keamanan Pangan Nasional telah menyepakati berbagai kegiatan/sub

program yang perlu dilakukan untuk menjamin mutu dan keamanan pangan secara

nasional yang dibedakan atas program utama dan penunjang (Kantor Menteri

Negara Urusan Pangan, 1997), sebagai berikut:

Program utama: (1) Pengembangan sumberdaya manusia pembinaan dan

pengawasan mutu dan keamanan pangan; (2) Pengembangan sarana dan prasarana

pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (3) Pengembangan mutu

dan gizi pangan, standarisasi mutu dan keamanan pangan; (4) Pengembangan

sistem keamanan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (5)

Penyelenggaraan pelayanan pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan

pangan; (6) Pemasyarakatan sistem mutu dan keamanan pangan; (7) Penelitian

dan pengembangan mutu dan keamanan pangan; (8) Pengembangan harmonisasi

internasional sistem pembinaan dan sistem pengawasan mutu dan keamanan

pangan; (9) Pengembangan sistem analisis resiko; dan (10) Pengembangan sistem

jaringan informasi pembinaan mutu pangan.

Program Penunjang: (1) Kegiatan pengembangan pengendalian lingkungan; (2)

Pengembangan penyuluhan mutu dan keamanan pangan; (3) Pengembangan

peraturan perundang-undangan mutu dan keamanan pangan; dan (4)

Pengembangan kelembagaan dan kemitraan dalam bisnis pangan.

Pangan atau makanan adalah kebutuhan pokok manusia. Dewasa ini

kebuthan pangan tidak tebatas pada jumlah atau kuantitas, tetapi lebih

dipertimbangkan dari segi mutu atau kualitasnya. Masyarakat di berbagai negara

menuntut bahan pangan yang mempunyai kulaitas baik, bernilai gizi tinggi dan

aman. Bahkan organisasi perdagangan dunia WTO (world trade organization)

membuat persyaratan khusus tentang mutu dan kemananan produk pangan yang

diperdagangkan.

Di Indonesia, penyediaan produk olahan pangan yang berkualitas baik,

bergizi dan aman perlu mendapat perhatian secara seksama baik oleh pemerintah,

produsen maupun konsumen. Produk pangan yang berkualitas baik akan

mempunyai nila jual yang tinggi disamping akan mampu berkompetisi didalam

perdagangan secara luas. Produk pangan yang aman menunjukkan bahwa produk

tersebut benar-benar aman bila dikonsumsi. Produk pangan dikatakan tidak aman

bial produk tersebut tercemar dengan sesuatu yang dapat membahayakan

kesehatan manusia.

Sekarang ini banyak sekali bahan kimia dan berbagai campuran-campuran

lain dibuat dan diciptakan untuk membuat pekerjaan manusia dalam membuat

makanan lebih efektif dan efisien. Tetapi di samping untuk makanan dibuat juga

bahan kimia untuk pembuatan kebutuhan lain. Di mana bahan kimia tersebut tidak

boleh dipergunakan dalam pembuatan makanan dan dapat berakibat fatal.

Hal ini sangat penting dan juga memprihatinkan. Fenomena ini merupakan salah

satu masalah dan kebobrokan bangsa yang harus diperbaiki. Janganlah sampai

membiarkan hal ini terus berlarut dan akhirnya akibat menumpuk di masa depan.

Oleh karena itu, kami berusaha merangkum sedemikian rupa dan mencoba

membedah apa saja yang seharusnya dilakukan dan mengapa hal ini menjadi hal

yang sangat penting.

Berdasarkan UU RI No.7 tahung 1996 tentang Pangan telah dijelaskan

pada pasal 10 tentang bahan tambahan pangan dan pasal 21 dan 22 tentang pangan

tercemar bahwa semua bahan pangan dan cara pengolahannya harus dilakukan

sesuai dengan prsedur yang ada.

Keamanan pangan bisa dibedakan dalam dua hal besar; yaitu aman secara

rohani dan aman secara teknis. Keamanan pangan secara rohani ini berhubungan

dengan kepercayaan dan agama suatu masyarakat. Untuk sebagian besar

konsumen Indonesia yang beragaman Islam, maka faktor kehalalan menjadi suatu

prasayarat yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Adalah kewajiban produsen untuk

memberikan jenis pangan yang halal bagi masyarakat konsumen muslim. Hal ini

sesuai dengan definisi keamanan pangan dari UU No. 7; yang menyatakan bahwa

konsumen berhak untuk terbebas dari jenis pangan yang tidak sesuai dengan

keyakinan masyarakat. Referensi dan edoman produksi pangan halal ini

dikeluarkan oleh dan berkonsultasi dengan lembaga formal seperti LPPOM-MUI,

Keamanan pangan secara jasmani dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis

pangan yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Mengapa bahan kimia berbahaya mudah didapat oleh masyarakat ?

Sesuai dengan UU RI pasal 10 dan 11 tentang bahan tambahan pangan yang

isinya sebagai berikut :

Bahan Tambahan Pangan

Pasal 10

(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang

menggunakan bahan apa pun sebagai bahan tambahan pangan yang

dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang

ditetapkan.

(2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat

digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses

produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud

pada ayat (1).

Pasal 11

Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan, tetapi

belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih

dahulu diperiksa keamanannya, dan penggunaannya dalam kegiatan

atau proses produksi pangan untuk diedarkan dilakukan setelah

memperoleh persetujuan Pemerintah.

Tetapi dewasa ini masih terdapat bahan kimia berbahaya yang digunakan didalam

kehidupan sehari-hari yang digunakan oleh produsen nakal, masalah ini biasanya

dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendorong produsen nakal tersebut

menggunakan bahan ilegal diantaranya, pertama secara teknis pengusaha

menggunakan bahan itu karena lebih praktis dan efisien dibandingkan

menggunakan bahan penolong legal seperti es. Selain itu bahan ilegal seperti

formalin harganya lebih murah dibandng obat pengawet legal. Kedua, kurangnya

pengetahuan pelaku bisnis usaha tentang bahan kimia formalin khususnya skala

kecil menengah (SKM). Masalah ekonomi juga menjadi faktor penyebab pelaku

usaha. Praktik yang salah semacam ini dialkukan oleh produsen dan pengelolah

pangan yang tidak bertanggung jawab dan tidak memperhatikan faktor yang

ditimbulkan, atau dapat juga karena ketidaktahuan produsen pangan baik

mengenai sifat-sifat maupun keamanan bahan kimia tersebut (Briliantono, 2006).

Apa tindakan pemerintah untuk menanggulangi masalah tersebut ?

Dalam hal ini pemerintah sudah melakukan banyak cara dalam

menanggulangi masalah ini didalam UU RI No.7 Tahun 1996 juga sudah terlihat

jelas peran pemerintah dalam menanggulanginya salah satunya adalah

mengeluarkan UU tersebut selain itu BPOM sebagai Institusi pemerintah yang

bereperan dalam pengawasan pangan juga sudah mengadakan beberapa penelitian

dan sidak di berbagai pasar-pasar tradisonal dan supermarket untuk mengetahui

keberadaan pangan-pangan yang berbahaya tersebut. Walaupun penyebaran

boraks dan formalin di Indonesia sudah luas sekali dan sudah menjadi umum,

pemerintah masih tidak mengambil langkah yang tegas dalam menangani hal ini.

Buktinya bisa didapat, bahwa ternyata penggunaan formalin dan boraks sebagai

bahan pengawet makanan masih merajalela. Sebenarnya, pemerintah sudah

berusaha mengambil tindakan, yaitu dengan melalui Badan Pengawasan Obat dan

Makanan (BPOM). Beberapa langkah sudah diambil oleh BPOM, seperti :

melarang panganan permen merek white rabbit creamy, kiamboy, classic cream,