makalah pribadi lengkap

30
BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Demam tifoid atau typhus abdominalis adalah suatu infeksi akut yang terjadi pada usus kecil yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Di Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak diperkirakan 800 /100.000 penduduk per tahun dan tersebar di mana- mana. Ditemukan hampir sepanjang tahun, tetapi terutama pada musim panas. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun dan laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 2-3 : 1. Penularan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang mulai dapat mengkonsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih. Biasanya baru dipikirkan suatu demam tifoid bila terdapat demam terus menerus lebih dari 1 minggu yang tidak dapat turun dengan obat demam dan diperkuat dengan kesan anak baring pasif, nampak pucat, sakit perut, tidak buang air besar atau diare beberapa hari. Makin cepat demam tifoid dapat didiagnosis makin baik. Pengobatan dalam taraf dini akan sangat menguntungkan mengingat mekanisme kerja daya tahan tubuh masih cukup baik dan kuman masih terlokalisasi hanya di beberapa tempat saja. 1

Upload: arwi-wijaya

Post on 03-Oct-2015

17 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

BAB IPendahuluan

1.1 Latar BelakangDemam tifoid atau typhus abdominalis adalah suatu infeksi akut yang terjadi pada usus kecil yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Di Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak diperkirakan 800 /100.000 penduduk per tahun dan tersebar di mana-mana. Ditemukan hampir sepanjang tahun, tetapi terutama pada musim panas. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun dan laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 2-3 : 1.Penularan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang mulai dapat mengkonsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih. Biasanya baru dipikirkan suatu demam tifoid bila terdapat demam terus menerus lebih dari 1 minggu yang tidak dapat turun dengan obat demam dan diperkuat dengan kesan anak baring pasif, nampak pucat, sakit perut, tidak buang air besar atau diare beberapa hari. Makin cepat demam tifoid dapat didiagnosis makin baik. Pengobatan dalam taraf dini akan sangat menguntungkan mengingat mekanisme kerja daya tahan tubuh masih cukup baik dan kuman masih terlokalisasi hanya di beberapa tempat saja.

1.2 TujuanMakalah ini dibuat untuk membahas sejumlah bahan maupun bagian yang perlu diperhatikan lebih dalam dari kasus yang diberikan, yaitu kasus demam tifoid.

1.3 ManfaatPenulis berharap, makalah ini bisa bermanfaat untuk menjadi referensi dalam persiapan pleno program Problem Based Learning yang akan datang.

BAB IIIsi

1 2 2.1 AnamnesisPada kasus skenario 3, hasil anamnesa adalah sebagai berikut: Keluhan utama : Keluhan demam sejak 6 hari yang lalu. Demam berlangsung sepanjang hari dan memburuk pada sore-malam hari. Keluhan tambahan : Demam disertai nyeri kepala, nyeri ulu ati, mual, dan muntah Belum BAB sejak 4 hari yang lalu Tidak ada riwayat pendarahan Tidak ada batuk dan pilek

2.2 Pemeriksaan fisikPada pemeriksaan fisik yang diilakukan pada kasus skenario tiga, didapati bahwa kesadaran pasien adalah compos mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dan dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya. Tingkat kesadaran lainnya adalah: Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.1,2 Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal. 1,2 Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal. 1,2 Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri. 1,2 Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya). 1,2Kemudian selain tingkat kesadaran, pemeriksaan fisik menunjukkan suhu tubuh 380 C, nadi 80x per menit, tingkat respirasi (respiratory rate) 20x per menit, tekanan darah 110/80 mmHg, dan pada pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan pada epigastrium.Apabila suatu penyakit merupakan demam typhoid, maka pada pemeriksaan fisik, yang tampak hanya suhu badan yang meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, gejala akan menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif, lidah yang berselaput, hematomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. 1

2.3 Pemeriksaan penunjangPemeriksaan penunjang yang dilakukan pada skenario 3 adalah pemeriksaan laboratorium dengan hasil Hb = 14 g/dl, Ht = 38%, leukosit = 4000/ul, dan trobosit = 200.000/ul. Pemeriksaan lainnya adalah Widal dengan titer S. typhi O = 1/320, S. typhi H = 1/320, S. paratyphi AO = 1/80, dan S. paratyphi AH = negatif (tidak ada).Pemeriksaan penunjang di atas menunjukan pemeriksaan yang dilakukan untuk diagnosis demam tifoid. Secara lengkapnya, pemeriksaan penunjang diagnosis demam tifoid diawali dengan pemeriksaan darah perifer lengkap dimana biasa ditemukan leukopenia, walaupun dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukosistosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia walaupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.1,3,4SGOT dan SGPT seringkali meningkat, dan akan kembali normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. 1,3,4Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji Widal dan kultur organisme. Selain itu masih ada uji TUBEX, Typhidot,dipstik, kultur darah, ELISA, dan kultur empedu sebagai gold standard. Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu aglutinin O (dari tubuh kuman), aglutinin H (flagela kuman) dan aglutinin Vi (simpai kuman). 1,3,4Dari ketiga aglutinin tersebut, hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya, semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. 1,3,4Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara tepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih ditemukan setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit. 1,3,4Titer aglutinin O akan naik lebih dulu dan lebih cepat hilang daripada aglutinin H atau Vi, karena pembentukannya T independent sehingga dapat merangsang limposit B untuk mengekskresikan antibodi tanpa melalui limposit T. Titer aglutinin O ini lebih bermanfaat dalam diagnosa dibandingkan titer aglutinin H. Bila bereaksi dengan antigen spesifik akan terbentuk endapan seperti pasir. Titer aglutinin O 1/160 dinyatakan positif demam typhoid dengan catatan 8 bulan terakhir tidak mendapat vaksinasi atau sembuh dari demam typhoid dan untuk yang tidak pernah terkena 1/80 merupakan positif. 1,3,4Titer aglutinin ini lebih lambat naik karena dalam pembentukan memerlukan rangsangan limfosit T. Titer aglutinin 1/80 keatas mempunyai nilai diagnostik yang baik dalam menentukan demam typhoid. Kenaikan titer aglutinin empat kali dalam jangka 5-7 hari berguna untuk menentukan demam typhoid. Bila bereaksi dengan antigen spesifik akan terbentuk endapan seperti kapas atau awan.Pemeriksaan serologik Widal (titer Aglutinin OD) sangat membantu dalam diagnosis walaupun 1/3 penderita memperlihatkan titer yang tidak bermakna atau tidak meningkat. Uji Widal bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan serial tiap minggu dengan kenaikan titer sebanyak 4 kali.Beberapa laporan yang ada tiap daerah mempunyai nilai standar Widal tersendiri, tergantung endemisitas daerah tersebut. Misalnya : Surabaya titer OD > 1/160, Yogyakarta titer OD > 1/160, Manado titer OD > 1/80, Jakarta titer OD > 1/80, Ujung Pandang titer OD 1/320. 1,3,4Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu pengobatan dini dengan antibiotik, gangguan pembentukan antibodi, pemberian kortikosteroid, waktu pengambilan darah, daerah endemik atau non endemik, riwayat vaksinasi, reaksi anamnestik (peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi deman tifoid masa lalu atau vaksinasi), dan faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium. 1,3,4Selanjutnya ada uji TUBEX. Uji TUBEX merupakan uji semikuantitatif kolometrik yang cepat dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti S. typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjungasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S. typhi yang terkonjungasi pada partikel magnetik latex. Hasil posistif uji TUBEX ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S. typhi. Infeksi oleh S. paratyphi akan memberikan hasil negatif. 1,3,4Secara imunologi antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis sel B tanpan bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap anti-gen O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji Tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau. 1,3,4Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen meliputi tabung berbentuk V yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas, reagen A yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi antigen S. typhi O9, reagen B yang diselubungi dengan antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O9. Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum dicampurkan ke dalam tabung dengan satu tetes reagen A. setelah itu dua tetes reagen B ditambahkan ke dalam tabung. Hal tersebut dilakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan diputar selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Intepretasi hasil dilakukan berdasarkan larutan campuran yang bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna tersebut ditentukan skor dimana kurang dari 2 maka intepretasinya adalah negatif. Jika skor sama dengan 3 maka intepretasinya adalah borderline dimana harus dilakukan pengujian lagi untuk memastikan hasilnya. Kemudian jika skor menunjukkan lebih dari 4 maka intepretasinya adalah positif, yang jika menunjukkan angka lebih dari 6, maka infeksi tifoid sudah sangat kuat. 1,3,4Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B bereaksi dengan reagen A. ketika diletakkan pada daerah mengandung medan magnet, komponen magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak dan memberikan warna biru pada larutan. Sebaliknya, bila serum mengandung antibodi terhadap O9, antbodi pasien akan berikatan dengan reagen A dan menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan warna biru pada larutan. 1,3,4Uji lain yang dapat dilakukan untuk mendeteksi infeksi tifoid pada pasien adalah uji typhidot. Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein membran luar Salmonella typhiI. Hasil posistif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa. 1,3,4Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivasi secara berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun hingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih sensitif dan lebih cepat. 1,3,4Uji lain adalah uji IgM dipstick. Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S. typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S. Typhoid dan anti IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-25 derajat Celcius di tempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama tiga jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip. Garis kontrol harus terwarna dengan baik. 1,3,4Tes lain yang dapat dilakukan adalah kultur darah. Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal seperti telah mendapat terapi antibiotik, volume darah yang kurang, pernah divaksinasi, dan jika pengambilan darah dilakukan setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat. 1,3,4Selanjutnya ada tes Elisa Salmonella typhi/ paratyphi lgG dan lgM. Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera di ketahui. Diagnosis Demam Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan bila lgM positif menandakan infeksi akut dan jika lgG positif menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah endemik. 1,3,4Dan jenis tes yang terakhir adalah kultur empedu. Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi. 1,3,4

2.4 Gambaran klinisGambaran klinis pada penderita demam tifoid yang dapat membantu diagnosis (WD) adalah sebagai berikut.Minggu Pertama (awal terinfeksi)Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39c hingga 40c, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak,sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Episteksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga.1,5,6 Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi. 1,5,6Minggu KeduaJika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. 1,5,6Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain. 1,5,6Minggu KetigaSuhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. 1,5,6 Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin,gelisah,sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga. 1,5,6Minggu keempatMerupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis. 1,5,6RelapsPada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut.Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps. 1,5,6

2.5 DiagnosisDiagnosis ditegakkan dengan cara menguji sampel najis atau darah untuk memastikan keberadaan bakteri Salmonella sp dalam darah penderita, dengan membiakkan darah pada hari 14 yang pertama dari penyakit. Selain itu tes widal (O dah H agglutinin) mulai posotif pada hari kesepuluh dan titer akan semakin meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2 hari menunjukkan peningkatan progresif dari titer agglutinin (diatas 1:200) menunjukkkan diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid.6 Biakan tinja yang dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin pada minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya Salmonella.Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat lekopeni polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam, maka arah demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis polimorfonuklear, maka berarti terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus. Peningkatan yang cepat dari lekositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita. 6

2.6 Diagnosis banding Demam Bedarah Dengue = sama sama mengalami nyeri kepala dan nyeri otot serta demam. Akan tetapi demam pada demam berdarah dengue bersifat bifasik yang naik turun tidak teratur, berbeda dengan demam tifoid yang demamnya sepanjang hari.1,2 Malaria = demam pada malaria adalah demam intermitten, dimana suhu badan turun ke tingkat normal selama beberapa jam dalam satu hari. Berbeda dengan demam tifoid yang tergolong demam kontinyu, demam sepanjang hari. 1,2 Demam kuning (yellow fever) = demam yang muncul bersifat bifasik, mirip dengan demam berdarar dengue. 1,2 Influenza = demam disertai pilek dan batuk. 1,2 Leptospirosis = seperti demam tifoid, sama-sama mengalami demam, tetapi pada leptospirosis terdapat nyeri tiba-tiba di kepala, terutama bagian frontal, nyeri otot yang hebat terutama pada paha, betis, dan pinggang disertai nyeri tekan. Selain itu pada leptospirosis ditemukan fotofobia. 1,2 Campak = pada campak tampak jelas adanya konjungtivitis, yang tidak dapat ditemukan pada demam tifoid. 1,2 Hepatitis karena virus = pada hepatitis karena tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin. 1,2Diagnosis banding demam tifoid sangat luas karena sebagian besar penyakit infeksi memiliki gejala demam, nyeri kepala, nyeri otot, mual, dan gangguan kesadaran. Diagnosis yang tepat dapat dicapai dengan pemeriksaan penunjang. 2.7 PatofisiologiMasuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propia kuman berkembang biak dan di fagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.1,6,7Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten kedalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. 1,6,7Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. typhi intramakrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. 1,6,7Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya. 1,6,7

2.8 TerapiSampai saat ini, masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang, dan pemberian antimikroba. Dua terapi pertama merupakan terapi non-medikamentosa sedangkan terapi dengan antimikroba termasuk dalam terapi medikamentosa. 1,6,7

2.8.1 MedikamentosaObat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah : Kloramfenikol : Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien demam tifoid.Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau intravena,sampai 7 hari bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol siuksinat intramuskuler tidak dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dengan kloramfenikol,demam pada demam tifoid dapat turun rata 5 hari. 1,6,7 Tiamfenikol : Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan kloramfenikol.Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada klloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada demam tiofoid dapat turun rata-rata 5-6 hari. 1,6,7 Ko-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol) : Efektivitas ko-trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol,Dosis untuk orang dewasa,2 kali 2 tablet sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol).dengan ko-trimoksazol demam rata-rata turun d setelah 5-6 hari. 1,6,7 Ampislin dan Amoksisilin : Dalam hal kemampuan menurunkan demam,efektivitas ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunannnya adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kgBB sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam. 1,6,7 Sefalosporin generasi ketiga : Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin generasi ketiga antara lain Sefoperazon,seftriakson, dan sefotaksim efektif untuk demam tifoid. Dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberika selama setengah jam per infuse sekali sehari, diberikan selama 3 sampai 5 hari. 1,6,7 Fluorokinolon : terdiri atas norfloksasin, siproflosaksin, oflosaksin, peflosaksin, dan fleroksasin. 1,6,7 Azitromisin : Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan azitromisin mengurangi kemungkinan kegagalan klinis, durasi rawat inap, dan mengurangi angka relaps. Azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun konsentrasi dalam darah cenderung rendah. Antibiotika akan terkonsentrasi dalam sel sehingga ideal untuk digunakan dalam pengobatan infeksi S. typhi yang merupakan kuman intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan oral maupun suntikan intravena. 1,6,7Selain memberikan antimikroba diatas, terapi medikamentosa juga dapat berupa pemberia kombinasi dari antimikroba tersebut. Kombinasi dua atau lebih antimikroba hanya pada keadaan tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Kemudian bisa juga terapi dengan pemberian kortikosteroid, khusus untuk toksik tifoid atau syok septik dengan dosis 3 x 5 mg. 1,6,7Pada wanita hamil, tidak dianjurkan pemberian kloramfenikol, terutama pada trimester pertama karena dikhawatirkan dapat terjadi partus prematus, kematian fetus intrauterine, dan grey syndrome pada neonates. Tiamfenikol juga tidak dianjurkan karena kemungkinan efek teratogenik yang belum dapat disingkirkan, terutama pada trimester pertama. Demikian juga obat golongan fluorokuinon dan kotrimoksazol tidak boleh diberikan pada wanita hamil. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksilin, dan seftriakson. 1,6,7

2.8.2 NonmedikamentosaTerapi nonmedikamentosa yang dilakukan adalah istirahat dan perawatan serta diet dan terapi penunjang. Istirahat (tirah baring) dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu dijaga. 1,6,7Terapi lain adalah diet serta terapi penunjang. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Diet yang dianjurkan berupa makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein, tidak mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas, dan makanan lunak diberikan selama istirahat. Untuk kembali ke makanan "normal", lakukan secara bertahap bersamaan dengan mobilisasi. Misalnya hari pertama dan kedua makanan lunak, hari ke-3 makanan biasa, dan seterusnya. 1,6,7

2.9 KomplikasiSebagai suatu penyakit sistemik, maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Komplikasi tifoid dapat berupa komplikasi intestinal dan komplikasi ekstra-intestinal.2.9.1 Komplikasi intestinalKomplikasi intestinal yang terjadi dapat berupa pendarahan intestinal dan perforasi usus. Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memangjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi pendarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, pendarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapaat mengalami pendarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Pendarahan hebat dapat terjadi sehingga penderita mengalami syok. Secara klinis pendarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat pendarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor hemostatis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, dapat meningkatkan kemungkinan mortalitas. Jika pendarahan terlalu hebat, maka bedah perlu dipertimbangkan. 1,6,7Kemudian ada perforasi usus. Terjadi pada 3% penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi, maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai tanda-tanda ileus. Bising usus melemah sampai 50% dan pekak hati biasanya tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen.Antibiotik yang digunakan dalam perforasi usus diberikan secara selektif, bukan hanya untuk mengobati kuman S. typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spetrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metronidazol. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat pendarahan intestinal. 1,6,7

2.9.2 Komplikasi ekstra-intestinalKomplikasi yang dapat terjadi adalah komplikasi hematologi. Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan prothrombin time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation products, sampai koagulasi intravaskular diseminata (KIP) dapat ditemukan pada kebanyak pasien demam tifoid. Kemudian komplikasi lain dapat berupa hepatitis tifosa. Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam tifoid, dapat terjadi pada pasien malnutrisi dan sistim imun kurang. Meskipun jarang, komplikasi hepatosenselopati dapat terjadi.1Komplikasi ektra-intestnal lain adalah pankreatitis tifosa. Komplikasi ini merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, caciing, maupun zat-zat farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi/CT-Scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat. Lalu ada miokarditis, terjadi pada 1-5% pasien demam tifoid. Perubahan elektrokardiografi yang terjadi akibat mikoarditis mempunyai prognosis yang buruk.1Dan yang terakhir adalah manifestasi neropsikiatrik/tifoid toksik. Manifestasinya dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma atau koma, parkinson, sindrom otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia sitotoksi, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, sindroma Guillain-Barre, dan psikosis. 1Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Diduga faktor-faktor sosial ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan, dan kepercayaan yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan kematian.1Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam tifoid berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 x 400 mg ditambah ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg. 1

2.10 PencegahanUntuk dapat mencegah penyakit ini harus tahu terlebih dahulu cara penularan dan faktor resikonya. Kuman S typhi menular melalui jalur oro-fekal, artinya kuman masuk melalui makanan atau minuman yang tercermar oleh feses yang mengandung S typhi. Di negara endemis seperti Indonesia, faktor resikonya antara lain makan makanan yang tidak disiapkan sendiri di rumah (karena tidak terjamin kebersihannya), minum air yang terkontaminasi, kontak dekat dengan penderita tifoid, sanitasi perumahan yang buruk, higiene perorangan yang tidak baik dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat.5-7Oleh karena itu, pencegahan yang paling sederhana adalah dengan mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air, menyiapkan makanan sendiri, tidak buang air besar sembarangan (di negara kita masih banyak keluarga yang tidak memiliki jamban sendiri), memasak makanan terlebih dahulu, bijak dalam menggunakan antibiotik.Selain hal-hal di atas, saat ini sudah tersedia vaksin untuk tifoid. Ada 2 macam vaksin, yaitu vaksin hidup yang diberikan secara oral (Ty21A) dan vaksin polisakarida Vi yang diberikan secara intramuskular/disuntikkan ke dalam otot. 5-7 Menurut FDA Amerika, efektivitas kedua vaksin ini bervariasi antara 50-80 %.Vaksin hidup Ty21A diberikan kepada orang dewasa dan anak yang berusia 6 tahun atau lebih. Vaksin ini berupa kapsul, diberikan dalam 4 dosis, selang 2 hari. Kapsul diminum dengan air dingin (suhunya tidak lebih dari 37 oC), 1 jam sebelum makan. Kapsul harus disimpan dalam kulkas (bukan di freezer). Vaksin ini tidak boleh diberikan kepada orang dengan penurunan sistem kekebalan tubuh (HIV, keganasan). Vaksin juga jangan diberikan pada orang yang sedang mengalami gangguan pencernaan.5-7Penggunaan antibiotik harus dihindari 24 jam sebelum dosis pertama dan 7 hari setelah dosis keempat. Sebaiknya tidak diberikan kepada wanita hamil. Vaksin ini harus diulang setiap 5 tahun. Efek samping yang mungkin timbul antara lain, mual, muntah, rasa tidak nyaman di perut, demam, sakit kepala dan urtikaria.Vaksin polisakarida Vi dapat diberikan pada orang dewasa dan anak yang berusia 2 tahun atau lebih. Cukup disuntikkan ke dalam otot 1 kali dengan dosis 0,5 mL. Vaksin ini dapat diberikan kepada orang yang mengalami penurunan sistem imun. 5-7 Satu-satunya kontra indikasi vaksin ini adalah riwayat timbulnya reaksi lokal yang berat di tempat penyuntikkan atau reaksi sistemik terhadap dosis vaksin sebelumnya. Vaksin ini harus diulang setiap 2 tahun. Efek samping yang mungkin timbul lebih ringan dari pada jika diberikan vaksin hidup. Dapat timbul reaksi lokal di daerah penyuntikkan. Tidak ada data yang cukup untuk direkomendasikan kepada wanita hamil. 5-7

Daftar Pustaka

1. Widodo D. Demam tifoid, dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.hal.2797-806.2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.hal.2767-993.3. Kresno SB. Imunologi: diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001.hal.405-36.4. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran 2. Edisi 22. Jakarta: Salemba Medika; 2005.hal.276-309.5. Demam tifoid. Pharos Indonesia. 15 Maret 2010. Diunduh dari http://www.pharosindonesia.com/news-a-media/beritakesehatan/448-demam-tifoid.html. 28 November 2010.6. Demam tifoid. 23 Febuari 2010. Diunduh dari http://medicastore.com/penyakit/10/Demam_Tifoid.html. 28 November 2010.7. Kumpulan artikel tentang demam typhoid atau tipus. Puskesmas simpang empat. 29 Juni 2009. Diunduh dari http://puskesmassimpangempat.wordpress.com/2009 /06/29/kumpulan-artikel-tentang-demam-typhoid-atau-tipus/. 28 November 2010.

4