makalah kelompok 4

17
Fermentasi untuk Produksi Biomassa Jagung KELOMPOK 4 NOVIYANTI SOLEHA 140410120059 RINA SUSANTI CHEN 140410120063 AMALIA SOLICHAH 140410120089 PROGRAM STUDI SARJANA BIOLOGI

Upload: noviyanti-soleha

Post on 05-Jan-2016

240 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Bioteknologi

TRANSCRIPT

Fermentasi untuk Produksi Biomassa Jagung

KELOMPOK 4

NOVIYANTI SOLEHA 140410120059

RINA SUSANTI CHEN 140410120063

AMALIA SOLICHAH 140410120089

PROGRAM STUDI SARJANA BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2015

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan pertumbuhan penduduk, pengembangan wilayah, dan

pembangunan dari tahun ke tahun, kebutuhan akan pemenuhan energi listrik dan

juga bahan bakar secara nasional pun semakin besar. Selama ini kebutuhan energi

dunia dipenuhi oleh sumber daya tak terbarukan, seperti minyak bumi dan batu

bara. Energi tersebut tidak selamanya bisa mencukupi seluruh kebutuhan manusia

dalam jangka waktu yang panjang mengingat cadangan energi yang semakin lama

semakin menipis dan juga proses produksinya yang membutuhkan waktu jutaan

tahun. Oleh sebab itu, diperlukan energi alternatif untuk mencukupi kebutuhan

manusia dengan cara memfermentasi biomassa, senyawa organik maupun limbah

untuk dikonversi menjadi energi yang bersifat dapat diperbaharui (Arias dan

Astriana W, 2011 dalam Indriany dkk., 2013).

Indonesia memiliki sumber energi biomassa yang melimpah. Salah satu

sumber energi biomassa di Indonesia yang potensial adalah limbah pertanian,

seperti sekam padi, jerami, ampas tebu, batang dan tongkol jagung serta limbah-

limbah pertanian atau perkebunan lainnya. Salah satu limbah pertanian yang

cukup potensial untuk diolah menjadi bahan bakar alternatif adalah tongkol

jagung, karena ketersediaannya yang melimpah namun belum dimanfaatkan

secara maksimal. Umumnya jagung mengandung kurang lebih 30% tongkol

jagung, sehingga akan menambah jumlah limbah tidak bermanfaat yang

merugikan lingkungan jika tidak ditangani dengan benar. Menurut data

Kementerian Pertanian (2007) dalam Surono (2010), produksi jagung rata-rata

diperkirakan sebanyak 12.193.101 ton per tahun. Dari produksi jagung tersebut

diperkirakan akan menghasilkan limbah sebanyak 8.128.734 ton tongkol jagung

per tahun (Surono, 2010).

Limbah tongkol jagung dapat diubah menjadi bahan bakar alternatif dengan

diolah lebih dahulu. Komposisi tongkol jagung yang memiliki kandungan serat

kasar yang cukup tinggi, yakni 33%. Kandungan selulosa sekitar 44,9% dan

kandungan lignin 33,3% (Lestari dkk., 2010). Dilihat dari komposisi tongkol

jagung yang memiliki kandungan selulosa yang tinggi, maka limbah ini dapat

dijadikan menjadi bahan alternatif berupa etanol ataupun butanol sebagai

pengganti bahan bakar fosil. Selain pemanfaatan menjadi sumber energi, ada juga

yang memanfaatkan biomassa abu tongkol jagung menjadi bahan penggganti

semen untuk dijadikan beton.

Etanol yang merupakan salah satu produk penting dalam bidang kesehatan

dan energi juga dapat dibuat menggunakan metode fermentasi. Proses fermentasi

merupakan salah satu cara yang banyak dilakukan untuk mendapatkan etanol

dalam dunia industri dengan memanfaatkan kemampuan mikroorganisme.

Etanol atau Etil Alcohol (lebih dikenal dengan alkohol, dengan rumus kimia

C2H5OH) adalah cairan tak berwarna dengan karakteristik antara lain mudah

menguap, mudah terbakar, larut dalam air, tidak karsinogenik, dan jika terjadi

pencemaran tidak memberikan dampak lingkungan yang signifikan. Penggunaan

etanol sebagai bahan bakar bernilai oktan tinggi atau aditif peningkat bilangan

oktan pada bahan bakar sebenarnya sudah dilakukan sejak abad 19. Etanol untuk

konsumsi umumnya dihasilkan dengan proses fermentasi atau peragian bahan

makanan yang mengandung pati atau karbohidrat (Jannah, 2010).

Pada makalah ini, kami akan membahas tentang pemanfaatan fermentasi

biomassa tongkol jagung sebagai bahan bakar alternatif berupa etanol.

Pemanfaatan ini digunakan sebagai pengganti energi yang tak terbaharukan

menjadi yang terbaharukan sehingga cadangan energi dapat memenuhi kebutuhan

manusia.

1.2 Identifikasi Masalah

1. Apa saja yang mempengaruhi kadar gula dan alhohol yang dihasilakn dari

penggunaan biomassa berbahan dasar tepung tongkol jagung.

2. Cara apa saja yang dapat dilakukan untuk memproduksi bioetanol.

BAB II

ISI

2.1 Pengujian Rasio Asam Sulfat, Waktu Hidrolisis dan Kadar Alkohol pada

Penggunaan Berulang

Salah satu mikroorganisme yang digunakan untuk memproduksi etanol

dalam penelitian jurnal Indriany dkk (2013) adalah khamir Saccaromyces

cerevisiae. Efisiensi proses fermentasi dapat ditingkatkan dengan

mengamobilisasi sel mikroorganisme yang digunakan. Amobilisasi sel bertujuan

untuk membuat sel menjadi berkurang ruang geraknya, namun dengan tetap

mempertahankan aktivitas katalitiknya (Aria, 2011 dalam Indriany dkk., 2013).

Fermentasi menggunakan metode imobilisasi sangat efisien, karena produk

(etanol) dapat mudah dipisahkan dari sel amobil. Selain itu, sel amobilnya dapat

digunakan kembali untuk produksi bioetanol selanjutnya. Hal inilah yang

mendasari dilakukannya penelitian pada jurnal ini.

Pada jurnal Indriany dkk (2013) dilakukan beberapa macam uji, yaitu

melihat pengaruh rasio asam sulfat, waktu hidrolisis, serta penggunaan berulang

sel Saccaromyces cereviceae terhadap jumlah alkohol yang dihasilkan. Berikut

hasil penelitiannya:

Pengaruh Rasio Asam Sulfat 50% Terhadap Tepung Tongkol Jagung

Pada pengujian Indriany dkk (2013) diterapkan lima tingkatan rasio asam

sulfat 50% terhadap tepung tongkol jagung, yaitu masing–masing 1:1, 2:1, 3:1,

4:1, dan 5:1.

Hasil tersebut menunjukkan semakin tinggi penggunaan atau semakin

meningkat rasio asam sulfat 50% terhadap tepung tongkol jagung semakin tinggi

pula kadar gula yang dihasilkan. Fatmawati dkk. (2008) dalam Indriany dkk.

(2013), menemukan konsentrasi gula total dalam produk hidrolisis meningkat

dengan meningkatnya konsentrasi asam sulfat. Hal ini diduga disebabkan

semakin besar konsentrasi asam sulfat maka proses pelarutan tepung tongkol

jagung semakin cepat, sehingga fasa menjadi lebih homogen dan reaksipun

berlangsung lebih cepat.

Pengaruh Waktu Hidrolisis

Selain suhu dan konsentrasi asam sulfat, waktu reaksi juga berpengaruh

terhadap kadar gula dalam produk hidrolisis (Gusmawarni, dkk., 2010 dalam

Indriany, dkk., 2013). Untuk mengetahui pengaruh waktu hidrolisis tepung

tongkol jagung dengan asam sulfat 50% terhadap kadar gula yang dihasilkan,

diterapkan lima tingkatan waktu hidrolisis masing-masing yaitu: 0,5 jam, 1jam.

1,5 jam, 2 jam, dan 2,5 jam.

Gambar 2.1. Kurva hasil pengukuran kadar gula dalam produk hidrolisis

pada berbagai rasio asam sulfat 50% terhadap tepung tongkol jagung.

Hasil tersebut menunjukkan peningkatan kadar gula pada selang waktu

hidrolisis 0,5 jam sampai 1,5 jam dan cenderung konstan pada penggunaan waktu

hidrolisis di atas 1,5 jam. Hal ini diduga disebabkan karena pada waktu kurang

dari 0,5-1,5 jam glukosa yang semula belum banyak terbentuk mulai banyak

terbentuk hingga hasil maksimal pada waktu hidrolisis 1,5 jam. Pada waktu

hidrolisis > 1,5 jam, sebagian glukosa rusak karena reaksi lanjut. Menurut

Gusmawarni (2010) dalam Indriany dkk. (2013), faktor penyebab penurunan

kadar gula pada penggunaan waktu reaksi 90 menit diduga disebabkan karena

faktor ketelitian dalam analisis, menurutnya kadar gula harusnya tetap dalam arti

mencapai maksimum pada waktu reaksi tertentu.

Kadar Alkohol pada Penggunaan Berulang Sel Saccaromyces cereviceae

Amobil

Hasil yang diperoleh menunjukkan terdapat alkohol dalam produk

fermentasi sebesar 9,0%. Ketika digunakan ulang, hasil yang diperoleh untuk

pengulangan kedua dan ketiga masing-masing 7,0% dan 4,0% (Gambar 3),

sedangkan pada pengulangan keempat tidak terdeteksi adanya alkohol. Keadaan

tersebut memberikan petunjuk sel ragi amobil hanya dapat digunakan sebanyak

tiga kali untuk produk hidrolisis yang menggunakan asam sulfat 50% tanpa

pencucian dengan metanol.

Gambar 2.2. Kurva hasil pengukuran kadar gula dalam produk hidrolisis

pada berbagai waktu reaksi.

Elevri dan Putra (2006) dalam Indriany dkk (2013), melakukan fermentasi

alkohol menggunakan molase dan mikroba pemrosesannya adalah ragi roti

(Saccharomyces cereviceae), dan menemukan terjadi penurunan produksi etanol

sebesar 20,05% setelah lima kali penggunaan ulang. Proses fermentasi

berlangsung selama 36 jam. Temuan tersebut masih lebih baik dibandingkan

dengan temuan dalam penelitian jurnal ini, sebab berdasarkan hasil penelitian

hanya bisa digunakan sebanyak tiga kali pengulangan.

2.2 Produksi Bioetanol dengan Pretreatment, Sakarifikasi dan Fermentasi

Produksi bioetanol menurut Oktavia dkk (2013) melalui beberapa proses di

antaranya adalah pretreatment, sakarifikasi, dan fermentasi. Penelitian yang

dilakukan oleh H.D.Zakpaa dkk (2010) dalam Oktavia dkk (2013) telah berhasil

mendapatkan konsentrasi bioetanol tertinggi sebanyak 0,64 g/ L dari tongkol

jagung mengggunakan Aspergillus niger dan Saccharomyces cerevisae dengan

metoda simultan sakarifikasi dan fermentasi (SSF).

Selain itu, Zhuang Zuo dkk (2012) dalam Oktavia dkk (2013) memproduksi

bioetanol dari tongkol jagung dengan melakukan pretreatment terlebih dahulu

dengan campuran NaOH dan NH4OH. Produksi bioetanol menggunakan

Gambar 2.3. Kurva hasil pengukuran kadar alkohol produk fermentasi pada

pengulangan 1-4 kali.

Phichiastipitis dan proses sakarifikasi menggunakan enzim murni (Novozyme,

1988 dalam Oktavia dkk, 2013).

Ada beberapa cara pembuatan produksi bioetanol, di antaranya adalah

(Oktavia dkk, 2013):

1. Separate hidrolisis and fermentation (SHF)

Proses produksi bioetanol dimana hidrolisis selulosa dan fermentasi

dilakukan dalam unit yang berbeda. Keuntungan utama dari proses ini adalah

kemampuan untuk melakukan hidrolisis dan fermentasi dalam kondisi yang

optimal, misalnya hidrolisis enzimatik pada suhu 40-50°C, fermentasi pada suhu

30-40oC. Kerugiannya adalah gula yang telah terhidrolisis dalam jumlah banyak

dapat menghambat aktifitas enzim selulase.

2. Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF)

Hidrolisis dan fermentasi dilakukan dalam satu unit/ reaktor. Keuntungan

menggunakan metoda ini adalah enzim yang digunakan sedikit, waktu untuk

pembentukan etanol lebih cepat. Kelemahan dalam proses ini adalah suhu

optimum untuk selulase dan mikroorganisme berbeda.

3. Simultaneous saccharification and co-fermentation (SSCF)

Proses SSCF ini menggabungkan antara hidrolisis enzim dan fermentasi

yang dilakukan serentak di dalam satu reaktor. Dimana hidrolisis selulosa,

hemiselulosa dan fermentasi heksosa, pentosa terjadi bersamaan dalam satu

reaktor. Dalam proses ini, yang harus diperhatikan adalah kedua mikroorganisme

fermentasi harus sesuai dengan pH dan suhu.

4. Consolidated bioprocessing (CBP)

Metoda dengan menggabungkan produksi selulase, sakarifikasi, dan

fermentasi menjadi satu langkah. Di mana satu organisme yang melakukan

sakarifikasi dan fermentasi.

Proses sakarifikasi dilakukan memakai enzim selulase yang diproduksi dari

Aspergillus niger. Untuk memperoleh etanol digunakan metoda simultan

sakarifikasi dan fermentasi (SSF). Pada metoda ini sakarifikasi enzimatik dan

fermentasi terjadi secara bersamaan. Glukosa yang dihasilkan dari proses

sakarifikasi langsung diubah menjadi etanol sehingga waktu yang dibutuhkan

untuk mendapatkan etanol lebih cepat daripada hidrolisis dan fermentasi terpisah

(SHF). Pengaruh inhibitor oleh konsentrasi glukosa yang tinggi pada proses

sakarifikasi dapat diatasi (Oktavia dkk, 2013).

Pada percobaan Mitra Oktavia dkk (2013) dari hasil fermentasi didapatkan

konsentrasi glukosa optimum 185,6 ppm pada konsentrasi tongkol jagung 3% dan

lama sakarifikasi 90 menit. Dengan metoda SSF didapatkan konsentrasi etanol

maksimum 3,2% dengan destilasi selama 2 jam, hasil destilatnya sekitar 2 ml

dengan lama fermentasi 96 jam.

2.3 Produksi Bioetanol dengan Pemanasan Optimum secara Termokimia

Tongkol jagung mengandung selulosa yang cukup tinggi. Komponen

biomassa sebagian besar terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin di mana

komponen komponen tersebut memiliki potensi besar untuk menjadi pengganti

bahan bakar fosil. Banyak cara untuk memanfaatkan tongkol jagung salah satunya

dengan memberikan pemanasan optimum pada proses pencairan secara

termokimia dalam air panas bertekanan sehingga dari situ juga dapat diketahui

waktu pemanasan optimum limbah biomassa tongkol jagung agar menghasilkan

produk minyak paling banyak dan komposisi kimia yang terkandung dalam

biomassa tongkol jagung tersebut.

Mula-mula tongkol jagung kering dihancurkan dan diayak dengan ayakan

50 mesh dan hasil serbuk tongkol jagung yang diayak tersebut dikeringkan.

Kemudian 5 gram serbuk tongkol jagung dimasukkan dalam autoklaf berkapasitas

100 mL, diikuti penambahan 2 gram sodium karbonat dan 65 mL aquadest. Gas

nitrogen dihembuskan dalam autoklaf selama beberapa saat (untuk pengusir

oksigen yang ada dalam autoklaf sehingga memperkecil terjadinya reaksi

oksidasi), kemudian autoklaf ditutup. Autoklaf dipanaskan dalam tube furnace

sampai 280ºC dan dipertahankan dengan waktu variasi tertentu.

Hasil autoklaf didinginkan sampai suhu kamar dan dikeluarkan dari autoklaf

kemudian difiltrasi untuk pemisahan padatan yang tidak larut dan fase cairnya.

Dari percobaan tersebut kemudian didapatkan produk minyak maksimum. Minyak

tersebut berupa senyawa hidrokarbon golongan senyawa aromatik, alkana, dan

asam karboksilat dengan komponen terbesar dimethoxyphenol dan phenol

(Sembodo, dkk., 2009). Golongan fenol dapat dimanfaatkan sebagai salah satu

bahan pengawet alami yang bebas dari resiko keracunan (Haji, 2013).

\

BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian di atas diperoleh kesimpulan yaitu :

1. Semakin tinggi penggunaan atau semakin meningkat rasio asam sulfat 50%

terhadap tepung togkol jagung semakin tinggi pula kadar gula yang

dihasilkan. Waktu reaksi juga berpengaruh terhadap kadar gula dalam produk

hidrolisis.

2. Pembuatan produksi bioetanol dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara

lain Separate Hidrolisis and Fermentation (SHF), Simultaneous

Saccharification and Fermentation (SSF), Simultaneous Saccharification and

co-Fermentation (SSCF), Consolidated Bioprocessing (CBP).

DAFTAR PUSTAKA

Haji, Abdul Gani. 2013. Kompoen Kimia Asap Cair Hasil Pirolisis Limbah Padat

Kelapa Sawit. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, 9 (3) : 109-116.

Indriany, D., Mappiratu, dan Nurhaeni. 2013. Pemanfaatan Libah Tongkol Jagung

(Zea mays) untuk Produksi Bioetanol Menggunakan Sel Ragi Amobil

Secara Berulang. Online Jurnal of Natural Science, 2(3) : 54-65.

Jannah, A.M. 2010. Proses Fermentasi Hidrolisat Jerami Padi Untuk

Menghasilkan Bioetanol. Jurnal Teknik Kimia, No.1, Vol. 17, Januari

2010.

Lestari,L; Aripin; Yanti; Zainudin; Sukmawati dan Marliani. 2010. Analisis

Kualitas Briket Arang Tongkol Jagung yang Menggunakan Bahan Perekat

Sagu dan Kanji. Jurnal Aplikasi Fisika, 6(2).

Oktavia, Mitra; Mardiah, Elida; Chaidir, Zulkarnain. 2013. Produksi Bioetanol

dari Tongkol Jagung dengan Metoda Simultan Sakarifikasi dan

Fermentasi. Jurnal Kimia Unand, 2 (1): 107-111.

Sembodo, Bregas S. T. ; Siagia, Beinard Prasatya; Panduwinata, Cecet. 2009.

Dekomposisi Tongkol Jagung Secara Termokimia dalam Air Panas

Bertekanan. Jurnal Ekuilibrium 8 (2) : 1-5.

Surono, U.B. 2010. Peningkatan Kualitas Pembakaran Biomassa Limbah Tongkol

Jagung sebagai Bahan Bakar Alternatif dengan Proses Karbonisasi

dan Pembriketan. Jurnal Rekayasa Proses, 4(1).