makalah kelar

Upload: candha-nurcahya

Post on 16-Oct-2015

138 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

makalah kelar

TRANSCRIPT

MAKALAH GANGGUAN SISTEM IMUN

KELOMPOK V

Angela Chandrinova 61112010 Anne fitri ismona 61112094 Ayu dwi lestari 61112074 Canda nurcahya61112012 Eddy lim61112039 Eka kurniati61112024 Intan alifatul61112062 Leo pratama agung61112033 Nova ayu sriwirawan61112105 Rahmad sahputra61112060 Syahrial61112093 Shinta marsela61112084 Tesa rahmadita61112050

DOSEN PEMBIMBING dr. Anjari wahyu

UNIVERSITAS BATAMFAKULTAS KESEHATAN ILMU KEDOKTERANTA 2013/2014KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT. yang maha pengasih dan maha penyayang. Dan segala rahmat dan kaunianyalah, sehingga makalah kami ini yang berjudul GANGGUAN SISTEM IMUN selesai dengan baik. Dan tak lupa pula kita haturkan sholawat serta salam kepada junjungan besar kita yaitu nabi muhaammad SAW. Karena beliaulah yang telah mengantarkan kita dari alam kegelapan, alam jahiliyah menuju ke alam yang mulia, alam yang terang benderang yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan pada saat ini.Kami menyadari bahwa makalah kami ini tak luput dari yang namanya kesalahan, serta kehilafan dalam penulisan, karena tidak ada satupun manusia yang sempurna di dalam dunia ini, sehingga kami dari penyusun dan penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya.Selanjutnya Krtitik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan dan butuhkan dengan tujuan untuk membangun serta perbaikan makalah kami yang selanjutnya.

Wassalam

Batam, 15 Desember 2013

Penyusun

DAFTAR ISIKata pengantar Daftar isiBAB I PENDAHULUANA. Latar belakang B. TujuanBAB II MATERI Scenario Seven jump Terminologi Analisa masalah Hipotesa sementara Skema Tujuan pembelajaran

Pembahasan Reaksi hipersensitivitas Autoimun Penyakit autoimun Alloimunitas BAB III PENUTUPA. penutupB. SaranC. Daftar pustaka

BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangPada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit. Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos dan perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare.Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal

Scenario 1Bercak kemerahan di kulitNy. Raisa seorang ibu rumah tangga berumur 20 tahun datang ke dokter praktek dengan keluahan bercak kemerahan berbatas tegas di pergelangan tangannya, muncul 4 hari yang lalu. Bercak tersebut agak hangat pada perabaan, terasa gatal dan tidak tersa nyeri pada penekanan. Kelainan ini sifatnya kambuhan terutama setelah mencuci. Lokasi kelainannya bias di sela-sela jari tangan atau di sela-sela kaki. Berdasarkan pemeriksaan fisik oleh dokter di dapatkan papul-papul eritema pada pergelangan tangan, sela-sela jari tangan dan di sela jari kaki. Dokter menduga Ny. Raisa mengalami suatu reaksi hipersensitivitas karena kontak dengan sesuatu zat yang mengakibatkan suatu proses alergi dan peradangan pada tangan Ny. Raisa. Ny. Raisa sempat kwatir dengan kondisi yang di alaminya karena takut menderita penyakit seperti saudaranya yang mengalami penyakit lupus. Dokter juga menduga akibat kontak dengan bahan dari sabun cuci selama ini. Dokter selanjutnya memberikan obat antiinflamasi dan anti pruritus berupa obat oral dan obat oles untuk Ny. Raisa. Dokter juga sempat menerangkan bahwa penyakit saudaranya Ny. Raisa berbeda dengan penyakit yang di alami oleh Ny. Raisa. Dokter menjekaskan bahwa penyakit lupus merupakan penyakit autoimun. Penyakit autoimun itu selain lupus ada penyakit rhematiod arthritis dan masih banyak lagi. Dokter menyarankan kepada Ny. Raisa untuk mengurangi kontak dengan air sabun cuci. Bagaimana anda menjelaskan tentang kondisi Ny. Raisa dan kondisi saudaranya Ny. Raisa?

Seven JumpsI. Terminologi1. PapulLesi menonjol yang kecil, berbatas tegas, dan padat pada kulit

2. EritemaKemerahan pada kulit yang di hasilkan oleh kongesti pembuluh darah

3. HipersensitivitasKeadaan berubahnya reaktivitas yang di tandai dengan reaksi tubuh berupa respon imun yang berlebihan terhadap sesuatu yang di anggap sebagai benda asing.

4. AlergiSuatu tipe reaksi antigen atau antibody yang di tandai dengan suatu respon fisiologis yang berlebihan terhadap suatu zat pada individu yang rentan

5. PeradanganSuatu reaksi jaringan yang di akibatkan iritasi oleh suatu bahan asing dan menyebabkan perpindahan leukosit dan meningkatkan aliran darah kre daerah yang bersangkutan, menimbulkan pembekakan, warna merah, panas, rasa nyeri dan pelunakan.

6. LupusTiap kelompok penyakit kulit yang mempunyai lesi khas berupa erosi

7. Anti-inflamasiMelawan atau menekan peradangan

8. Anti-pruritusMencegah atau meredakan gatal

9. AutoimunDi tujukan untuk melawan jaringan tubuh sendiri

10. Rheumatoid ArtritisKondisi auto imun yang di tandai dengan peradangan sendi yang mengenai jaringan ikat

11. NyeriSuatu sensasi ketidaknyamanan tingkat ringan, sedang, ataupun tinggi yang terjadi karena kemampuan system saraf mengubah impuls kimia, fisika dsb ke susuna saraf pusat dengan mediator prostaglandin

II. Menentukan Masalah1. Apa ddefinisi hipersensitivitas?2. Bagaimana etiologi penyakit hipersensitivitas?3. Bagaimana klasifikasi hipersensitivitas?4. Apa saja tanda dan gejala dari hipersensitivitas?5. Bagaimana cara pemeriksaan fisik penyakit hipersentivitas?6. Bagaimana pemeriksaan penunjang hipersensitivitas?7. Apa saja obat anti histamine, anti pruritus dan anti inflamasi?8. Apa saja gejala penyakit rhematiod arthritis dan lupus/9. Bagaimana mekanisme autoimun?10. Apa saja factor yang mempengaruhi autoimun?11. Apa saja bahan kimia yang terkandung dalam sabun yang menyebabkan alergi?12. Bagaimana penanganan dan terapi penyakit hipersensitivitas?13. Bagaimana prognosis dari penyakit hipersensitivitas?

III. Curahan pendapat1. DefinisiHipersensitivitas merupakan Keadaan berubahnya reaktivitas yang di tandai dengan reaksi tubuh berupa respon imun yang berlebihan terhadap sesuatu yang di anggap sebagai benda asing

2. EtiologiAda dua factor yang menyebabkan alergi, yaitu:Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu : Faktor Internala. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah. Fakor Eksternala. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga).b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi

3. Klasifikasi Menurut waktu Reaksi cepat Terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam.Manifestasi reaksi cepat : anafilaksis sistemik atau anafilaksis local

Reaksi intermedietTerjaadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam.Manifestasinya : reaksi transfuse darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun

Reaksi lambatTerjadi atau terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th

Menurut mekanisme Tipe I : anafilaksisAntigen masuk kedalam tubuh merangsang sel B membentuk sel IgE (dengan bantuan sel Th). Ige di ikat oleh sel mast atau basofilJuka terjadi pajanan kedua maka IgE akan mengikat antigen dan sel mast dan terjadi alergi

Tipe IITerjadi karena di bentuk antibody jenis IgE atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel penjamu.Antibody bereaksi determinan antigenic sel (unsure jaringan)Adanya komplemen (sel-sel berinti tunggal) menyebabkan kerusakan jaringan.

Tipe IIITerjadi bila kompleks antigen-antibodi di temukan dalam sirkulasi dinding pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen.Antigen yang berperabn penting biasanya jenis IgE dan IgM. Komplemen yang di aktifkan akan melepaskan anfilaksis dan memacu sel mast atau basofil untuk melepaskan histamine. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit dan melepaskan amin vasoaktif dan juga mengaktifkan makrofag melepaskan IL-1 dan produk. Bahan vasoaktif yang di bentuk sel mast dan trombosit menimbulkan vasodilatasi meningkatkan permeabilitas vascular dan inflamasi. Neutrofil di tarik dan mengeliminasi komplek. Proses ini akan mengakibatkan banyak kerusakan jaringan.

Tipe IVReaksi ini di control oleh sebagian besar oleh reaktivitas sel T terhadap antigenReaksi ini terjadi akibat paparan antigen asing khususnya pada jaringan tubuh yang di tangkap oleh sel fagosit yaitu makrofag yang kemudian di sajikan pada sel T dengan determinan antigenic.4. Tanda dan gejalaa. Tipe IGejalanya : Anafilaksis Urtikaria Angioedem Mengi Hipotensi Muntah Sakit abdomen Diareb. Tipe IIGejalanya : Agranulositosis Anemia hemolitik Trombositopeniac. Tipe IIIGejalanya : Panas Urtikaria Atralgia Limfadenopati serum sicknessd. Tipe IVGejalanya : Eritema Lepuh Pruritus Foto alergi Fixed drug eruption lesi Makulopapulae

5. Pemeriksaan fisika. Inspeksi Apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya urtikaria, angioedema, pruritus dan pembengkakan pada bibirb. PalpasiAdanya nyeri tekan pada pembengkakan

c. PerkusiMengetahui apakah di perut terdapat udara atau cairan

d. AuskultasiMendengarkan suara nafas, bunyi jantung, bunyi usus (karena pada orang yang menderita alergi bunyi ususnya cenderung lebih meningkat)

6. Pemeriksaan penunjanga. Uji kulitb. Darah tepic. IgE total dan spesifikd. Tes intradermale. Test hemoglobin dan antibody presipitat tidak sensitivef. Biopsy ususg. Pemeriksaan atau tes D Xyiose

7. Golongan obat a. Anti inflamasi Asam mefenamat Ibuprofen Ketoprofen Indometasin Aspirinb. Anti pruritus CTM

8. Gejala Rhematoid arthritis dan Lupusa. Rhematoid arthritis Nyeri sendi Pembengkakan sendi Nyeri sendi bila di sentuh atau di tekan Tangan kemerahan Lemas Kekuatan pada pagi hari yang bertahan sekitar 30 menit Demam Berat badan menurunb. Lupus Kulit dan rambutKulit pucat dengan ruam merah kupu-kupu di daerah hidumg dan pipi, rambut rontok

Mulut dan hidungSariawan tak nyeri dalam mulut dan kadang di hidung Pembuluh darahRadang pembuluh darah, menghambat peredaran darah GinjalRadang unit penyaring kecil (glomerulonefritis), menimbulkan gagal ginjal ParuRadang di membrane di sekitar paru paru (pleura), nyeri dada dan sesak napas JantungRadang di membrane di sekitar jantung (pericardium) dan nyeri dada System sarafSakit kepala, penglihatan kabur, kejang, stroke SendiNyeri, bengkak dan kaku, sering kali pada tangan, pergelangan dan kulit Ujung jariPembuluh darah kecil berkontraksi sehingga jari terasa nyeri dan baal saat terpapar suhu dingin OtotKelelahan dan nyeri otot

9. Mekanisme AutoimunDalam keadaan normal, kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan di angkut oleh eritrosit ke hati, limpa dan din sana di musnahkan oleh sel fagosit mononuclear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen.Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat du musnahkan oleh makrifag dalam hatu. Kompleks kecil dan larut sukar untuk di musnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi.Diduga bahwa gangguan fungsifagosit merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit di musnahkan. Meskipun komplek imun berada di dalam sirkulasi untuk jangka waktu yang lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila komplek imun tersebut mengendap ke jaringan.

10. Apasaja factor yang mempengaruhi autoimun Factor genetic Factor defisiensi komplemen Hormone Lingkingan

11. Zat kimia terkandung di dalam sabun Sodium lauryl sulfate (SLS) Parahydroxybenzoik Myroxylon Wewangian

12. Penanganan atau terapi hipersensitivitas1. Menghindari Alergen2. Terapi farmakologis Adrenergic Antihistamin Kromolin sodium KortikosteroidIV. SEKEMA

HIPERSENSITIVITAS

FISIOLOGIDEFINISI

BIOKIMIAETIOLOGI

PATOMEKANISMEPATOFISIOLOGI

P. klinis

KLASIFIKASI

MACAM-MACAM PENYAKIT

P. penunjang

V. TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang definisi hipersensitivitas2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang etiologi hipersensitivitas3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang patofisiologi hipersensitivitas4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang klasifikasi hipersensitivitas5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang gejala hipersensitivitas6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang pemeriksaan fisik hipersensitivitas7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang pemeriksaan penunjang hipersensitivitas8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang golongan obat antiinflamasi dan antipruritus9. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang gejala Rhematoid Artritis dan Lupud10. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang mekanisme autoimun11. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang factor yang mempengaruhi autoimun12. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang bahan kimia yang terkandung dalam sabun13. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang penangana atu terapi hipersensitivitas14. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang prognosis hipersensitivitas

PEMBAHASANImunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnnya terhadap mikroba disebut respon imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Baratawidjaja, 2009).Menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi atau kerusakan jaringan, tubuh manusia dibekali sistem pertahanan untuk melindungi dirinya. Sistem pertahanan tubuh yang dikenal sebagai mekanisme imunitas alamiah ini, merupakan tipe pertahanan yang mempunyai spektrum luas, yang artinya tidak hanya ditujukan kepada antigen yang spesifik. Selain itu, di dalam tubuh manusia juga ditemukan mekanisme imunitas yang didapat yang hanya diekspresikan dan dibangkitkan karena paparan antigen yang spesifik. Tipe yang terakhir ini, dapat, dapat dikelompokkan manjadi imunitas yang didapat secara aktif dan didapat secara pasif.Respon imun seseorang terhadap terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat pada permukaan unsur patogen dan kemampuan untuk melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Dalam pandangan ini, dalam respon imun diperlukan tiga hal, yaitu pertahanan, homeostatis dan pengawasan. Fungsi pertahanan ditujukan untuk perlawanan terhadap infeksi mikroorganisme, fungsi homeostasis berfungsi terhadap eliminasi komponen-komponen tubuh yang sudah tua dan fungsi pengawasan dibutuhkan untuk menghancurkan sel-sel yang bermutasi terutama yang dicurigai akan menjadi ganas. Dengan perkataan lain, respon imun dapat diartikan sebagai suatu sistem agar tubuh dapat mempertahankan keseimbangan antara lingkungan di luar dan di dalam tubuh.Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut hipersensitivitas atau dengan kata lain pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun seluler tergantung pada aktivitas sel B dan sel T. Aktivitas berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas (Arwin dkk, 2008)Reaksi HipersensitivitasHipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara (Baratawidjaja, 2009).Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktif, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). selain itu ada satu tipe lagi yaitu tipe V atau stimulatory hypersensitivity (Arwin dkk, 2008).

2.1 Hipersensitivitas Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat Atau Anafilataksis)

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang. Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan sel lain. Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil. Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti telah diuraikan di atas bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed mediator). Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder). Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF). 1. HistaminHistamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/L akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/L setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A) Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF) NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.Mediator yang terbentuk kemudian Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-3).1. Produk siklooksigenasePertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2).Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.

2. Produk lipoksigenaseLeukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi.Slow reacting substance of anaphylaxis Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.Serotonin Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna. Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGISelain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber beberapa sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen.Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan.Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2. Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNF, serta GM-CSF tetapi tidak memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag (APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan dapat langsung dari sel mast atau dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast. Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fc (FcRII) pada sel limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating factor). Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNF, tetapi dihambat oleh IFN, IFN, TGF, PGE2, dan IL-I0 Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel basofil manusia (lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES (regulated upon activation normal T expressed and presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen (lihat Gambar 12-7).Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan komplemen C5a, LTB4 dan PAF.Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor) serta SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin).2.2 Hipersensitivitas Tipe II reaksi sitotoksik atau sitolitikReaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori dan metabolisme sel dilibatkan. Istilah lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik (Baratawidjaja, 2009).Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :1. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc3. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemenReaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik yaituReaksi TransfusiMenurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB dan O. Selanjutnya diketahui bahwa golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah golongan B mengandung antibodi (anti A berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB tidak mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan golongan darh O mengandung antibodi (Ig M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B. Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin.Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang paling sederhana dari reaksi sitotoksik terlihat pada ketidakcocokan transfusi darah golongan ABO. Ada 3 jenis reaksi transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling berat, reaksi panas, dan reaksi alergi seperti urtikaria, syok, dan asma. Kerusakan ginjal dapat pula terjadi akibat membrane sel yang menimbun dan efek toksik dan kompleks haem yang lepas.Reaksi Antigen RhesusAda sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.Anemia Hemolitik autoimunAkibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi anemia yang progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin panas atau dingin, tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.Antibiotik tertentu seperti penicilin, sefalosporin dan streptomisin dapat diabsorbsi nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada beberapa antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif (Baratawidjaja, 2009).Reaksi ObatObat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat mengikat sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel darah merah.Sindrom GoodpasturePada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran basal glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang menunjukkan endapan linier yang terlihat pada imunoflouresen.Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru. Dalam penanggulangannya telah dicoba dengan pemberian steroid, imunosupresan, plasmaferisis, nefektomi yang disusul dengan transplantasi.2.3 Hipersensitivitas Tipe III atau kompleks imunHipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigencantibodi c (imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit polimorfonuklear.Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan virus, atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks imun patogen terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam (kompleks imun in situ).Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ , atau terlokalisasi pada organ tertentu (misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya jejas jarungan adalah sama; namun, urutan kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda. Pada keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati, limpa dan di sana dimusnahkanoleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa ganggua fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada dalam sirkulasi untuk jangka waktu yang lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap di jaringan (Baratawidjaja, 2009).Penyakit oleh kompleks imunPenyakitSpesifitas antibodiMekanismeManifestasi klinopatologi

Lupus eritematosusDNA, nukleoproteinInflamasi diperantarai komlplemen dan reseptor FcNefritis, vaskulitis, artritis

Poliarteritis nodosaAntigen permukaan virus hepatitis BInflamasi diperantarai komplemen dan reseptor FcVaskulitis

Glomreulonefritis post-streptokokusAntigen dinding sel streptokokusInflamasi diperantarai komplemen dan reseptor FcNefritis

2.4 Hipersensitivitas Tipe IV Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel target).Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis, schitosomiasis).Hipersensitivitas ini diinisiasi oleh antigen yang mengaktivasi limfosit T, termasuk sel T CD4+ dan CD8+. Sel T CD4+ yang memediasi hipersensitivitas ini dapat mengakibatkan inflamasi kronis. Banyak penyakit autoimun yang diketahui terjadi akibat inflamasi kronis yang dimediasi oleh sel T CD4+ ini. Dalam beberapa penyakit autoimun sel T CD8+ juga terlibat tetapi apabila terjadi juga infeksi virus maka yang lebih dominan adalah sel T CD8+ (Abbas, 2004)Reaksi inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ yang merupakan kategori hipersensitivitas reaksi lambat terhadap antigen eksogen. Reaksi imunologis yang sama juga terjadi akibat dari reaksi inflamasi kronis melawan jaringan sendiri. IL1 dan IL17 keduanya berkontribusi dalam terjadinya penyakit organ-spesifik yang dimana inflamasi merupakan aspek utama dalam patologisnya. Reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sel TH1 akan didominasi oleh makrofag sedangkan yang berhubungan dengan sel TH17 akan didominasi oleh neutrofil (Abbas, 2004)Reaksi yang terjadi di hipersensitivitas ini dapat dibagi menjadi beberapa 2 tahap: Proliferasi dan diferensiasi sel T CD4+sel T CD4+ mengenali susunan peptida yang ditunjukkan oleh sel dendritik dan mensekresikan IL2 yang berfungsi sebagai autocrine growth factor untuk menstimulasi proliferasi antigen-responsive sel T. Perbedaan antara antigen-stimulated sel T dengan TH1 atau Th17 adalah terrlihat pada produksi sitokin oleh APC saat aktivasi sel T. APC (sel dendritik dan makrofag) terkadang akan memproduksi IL12 yang menginduksi diferensiasi sel T menjadi TH1. IFN- akan diproduksi oleh sel TH1 dalam perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin seperti IL1, IL6, dan IL23; yang akan berkolaborasi dengan membentuk TGF- untuk menstimulasi diferensiasi sel T menjadi TH17. Beberapa dari diferensiasi sel ini akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di memory pool selama waktu yang lama (Abbas, 2004).Respon terhadap diferensiasi sel T efektorapabila terjadi pajanan antigen yang berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen yang dipresentasikan oleh APC. Sel TH1 akan mensekresikan sitokin (umumnya IFN-) yang bertanggung jawab dalam banyak manifestasi dari hipersensitivitas tipe ini. IFN- mengaktivasi makrofag yang akan memfagosit dan membunuh mikroorganisme yang telah ditandai sebelumnya. Mikroorganisme tersebut mengekspresikan molekul MHC II, yang memfasilitasi presentasi dari antigen tersebut. Makrofag juga mensekresikan TNF, IL1 dan kemokin yang akan menyebabkan inflamasi. Makrofag juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat respon dari TH1. Semua mekanisme tersebut akan mengaktivasi makrofag untuk mengeliminasi antigen. Jika aktivasi tersebut berlangsung secara terus menerus maka inflamasi kan berlanjut dan jaringan yang luka akan menjadi semakin luas. TH17 diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan bisa juga oleh self-antigen dalam penyakit autoimun. Sel TH17 akan mensekresikan IL17, IL22, kemokin, dan beberapa sitokin lain. Kemokin ini akan merekrut neutrofil dan monosit yang akan berlanjut menjadi proses inflamasi. TH17 juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat proses Th17 sendiri (Abbas, 2004).Reaksi sel T CD8+sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa antigen. Kerusakan jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang dimediasi oleh sel T, sepert diabetes tipe I. CTLs langsung melawan histocompatibilitas dari antigen tersebut yang merupakan masalah utama dalam penolakan pencakokan. Mekanisme dari CTLs juga berperan penting untuk melawan infeksi virus. Pada infeksi virus, peptida virus akan memperlihatkan molekul MHC I dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR dari sel T CD8+. Pembunuhan sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya infeksi tersebut dan juga akan berakibat pada kerusakan sel (Abbas, 2004).Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang terinfeksi yang dimediasi oleh sel T melibatkan perforins dan granzymes yang merupakan granula seperti lisosom dari CTLs. CTLs yang mengenali sel target akan mensekresikan kompleks yang berisikan perforin , granzymes, dan protein yang disebut serglycin yang dimana akan masuk ke sel target dengan endositosis. Di dalam sitoplasma sel target perforin memfasilitasi pengeluaran granzymes dari kompleks. Granzymes adalah enzim protease yang memecah dan mengaktivasi caspase, yang akan menginduksi apoptosis dari sel target. Pengaktivasian CTLs juga mengekspresikan Fas Ligand, molekul yang homolog denga TNF, yang dapat berikatan dengan Fas expressed pada sel target dan memicu apoptosis. Sel T CD8+ juga memproduksi sitokin (IFN-) yang terlibat dalam reaksi inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap infeksi virus dan terekspos oleh beberapa agen kontak (Abbas, 2004).

Lupus Eritematosus SistemikDefinisiLupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian. Karenanya LES harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding bila anak mengalami demam yang tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis, psikosis, dan fatigue. Penyebab terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan dalam disregulasi sistem imun. Pada anak perempuan,awitan LES banyak ditemukan pada umur 9-15 tahun

ETIOLOGIFaktor penyebab terserangnya seseorang terhadap penyakit Lupus hingga kini belum diketahui, tetapi pengaruh lingkungan dan faktor genetik, hormon diduga sebagai penyebabnya. Faktor Genetik : Tidak diketahui gen atau gen gen apa yang menjadi penyebab penyakit tersebut, 10% dalam keluarga Lupus mempunyai keluarga dekat orang tua atau kaka adik) yang juga menderita lupus, 5% bayi yang dilahirkan dari penderita lupus terkena lupus juga, bila kembar identik, kemungkinan yang terkena Lupus hanya salah satu dari kembar tersebut. Faktor lingkungan sangat berperan sebagai pemicu Lupus, misalnya : infeksi, stress, makanan, antibiotik (khususnya kelompok sulfa dan penisilin), cahaya ultra violet (matahari) dan penggunaan obat obat tertentu. Faktor hormon, dapat menjelaskan mengapa kaum perempuan lebih sering terkena penyakit lupus dibandingkan dengan laki-laki. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit Lupus sebelum periode menstruasi atau selama masa kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon, khususnya ekstrogen menjadi penyebab pencetus penyakit Lupus. Akan tetapi hingga kini belum diketahui jenis hormon apa yang menjadi penyebab besarnya prevalensi lupus pada perempuan pada periode tertentu yang menyebabkan meningkatnya gejala Lupus masih belum diketahui. Faktor sinar matahari adalah salah satu kondisi yang dapat memperburuk gejala Lupus. Diduga oleh para dokter bahwa sinar matahari memiliki banyak ekstrogen sehingga mempermudah terjadinya reaksi autoimmun. Tetapi bukan berarti bahwa penderita hanya bisa keluar pada malam hari. Pasien Lupus bisa saja keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00 WIB dan disarankan agar memakai krim pelindung dari sengatan matahari. Teriknya sinar matahari di negara tropis seperti Indonesia, merupakan faktor pencetus kekambuhan bagi para pasien yang peka terhadap sinar matahari dapat menimbulkan bercak-bercak kemerahan di bagian muka.kepekaan terhadap sinar matahari (photosensitivity) sebagai reaksi kulit yang tidak normal terhadap sinar matahari.

PATOFISIOLOGI Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakitSLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali. Uniknya, penyakit Lupus ini antibodi yang terbentuk dalam tubuh muncul berlebihan. Hasilnya, antibodi justru menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat. Kelainan ini disebut autoimunitas. Antibodi yang berlebihan ini, bisa masuk ke seluruh jaringan dengan dua cara yaitu : Pertama, antibodi aneh ini bisa langsung menyerang jaringan sel tubuh, seperti pada sel-sel darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur. Inilah yang mengakibatkan penderitanya kekurangan sel darah merah atau anemia. Kedua, antibodi bisa bergabung dengan antigen (zat perangsang pembentukan antibodi), membentuk ikatan yang disebut kompleks imun.Gabungan antibodi dan antigen mengalir bersama darah, sampai tersangkut di pembuluh darah kapiler akan menimbulkan peradangan. Dalam keadaan normal, kompleks ini akan dibatasi oleh sel-sel radang (fagosit). Tetapi, dalam keadaan abnormal, kompleks ini tidak dapat dibatasi dengan baik. Malah sel-sel radang tadi bertambah banyak sambil mengeluarkan enzim, yang menimbulkan peradangan di sekitar kompleks. Hasilnya, proses peradangan akan berkepanjangan dan akan merusak organ tubuh dan mengganggu fungsinya. Selanjutnya, hal ini akan terlihat sebagai gejala penyakit. Kalau hal ini terjadi, maka dalam jangka panjang fungsi organ tubuh akan terganggu.

GEJALA DAN TANDAGejala sistemik meliputi lemah, anoreksia, demam, lemah, dan menurunnya berat badan. Gejala di kulit termasuk ruam malar (butterfly rash), ulkus di kulit dan mukosa, purpura, alopesia (kebotakan),fenomena Raynaud, dan fotosensitifitas. Gejala sendi sering ditemukan. Bersifat simetris dan tidak menyebabkan kelainan sendi. Nefritis lupus umumnya belum bergejala pada masa awitan, tetapi sering berkembang menjadi progresif dan menyebabkan kematian. Gejalanya berupa edema, hipertensi, gangguan elektrolit, dan gagal ginjal akut. Biopsi ginjal diindikasikan pada pasien yang tidak responsif pada terapi kortikosteroid. Pengendalian hipertensi sangat penting untuk mempertahankan fungsi ginjal.Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa) mungkin terjadi tetapi termasuk manifestasi yang jarang. Keluhan yang banyak adalah nyeri perut akibat vaskulitis peradangan pembuluh darah).Keterlibatan susunan saraf pusat dapat berupa kejang, koma, hemiplegia (kelumpuhan pada satu sisi tubuh), neuropati (kelainan saraf) fokal, dan gangguan perilaku.

Diagnosis1. Kriteria diagnosis SLE menurut ARA (American Rheumatism Association): *2. Eritema malar (butterfly rash)3. Ruam diskoid4. Fotosensitivitas5. Ulserasi mukokutaneus oral atau nasal6. Artritis non erosif7. Nefritis **(proteinuria >0,5 g/ 24 jam dan sel silinder +)8. Ensefalopati **9. Pleuritis atau perikarditis10. Sitopenia11. Imunoserologi** (Antibodi antidouble stranded DNA, Antibodi antinuklear Sm)12. Antibodi antinuklear (ANA)* Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 96% spesifisitas;** Salah satu butir pernyataan cukupDiagnosis banding harus memikirkan kemungkinan infeksi, keganasan, paparan toksin dan penyakitmultisistem lainnya.

Pemeriksaan penunjangDarah tepi lengkap, LED, urinalisis, sel LE, ANA*, antibodi anti doublestranded-DNA*, antibodi antifosfolipid, antibodi lain (anti-Ro, anti-La, anti-RNP), faktor rheumatoid, titer komplemen C3, C4,dan CH50*, titer IgM ,IgG, dan IgA, uji Coombs, kreatinin, ureum darah*, protein urin >0.5 gram/24 jam (Nefritis)*, dan pencitraan (foto Rontgen toraks*, USG ginjal, MRI kepala)Dalam menegakkan diagnosis tidak semua pemeriksaan laboratorium ini harus ada, tetapi pemeriksaan awal (diberi tanda*) sebaiknya dilakukan.

PenatalaksanaanPenatalaksaan LES harus mencakup obat, diet, aktivitas yang melibatkan banyak ahli. Alat pemantau pengobatan pasien LES adalah evaluasi klinis dan laboratoris yang sering untuk menyesuaikan obat dan mengenali serta menangani aktivitas penyakit. Lupus adalah penyakit seumur hidup, karenanya pemantauan harus dilakukan selamanya.Tujuan pengobatan LES adalah mengontrol manifestasi penyakit, sehingga anak dapat memiliki kualitas hidup yang baik tanpa eksaserbasi berat, sekaligus mencegah kerusakan organ serius yang dapat menyebabkan kematian. Adapun obat-obatan yang dibutuhkan seperti:a. Antiinflamasi non-steroidUntuk pengobatan simptomatik artralgia nyeri sendi).b. AntimalariaDiberikan untuk lupus diskoid. Pemakaian jangka panjang memerlukan evaluasi retina setiap 6 bulan.c. KortikosteroidDosis rendah, untuk mengatasi gejala klinis seperti demam, dermatitis, efusi pleura. Diberikan selama 4 minggu minimal sebelum dilakukan penyapihan.Dosis tinggi, untuk mengatasi krisis lupus, gejala nefritis, SSP, dan anemi hemolitik.d. Obat imunosupresan/sitostatikaImunosupresan diberikan pada SLE dengan keterlibatan SSP, nefritis difus dan membranosa, anemia hemolitik akut, dan kasus yang resisten terhadap pemberian kortikosteroid.

e. Obat antihipertensiAtasi hipertensi pada nefritis lupus dengan agresiff. KalsiumSemua pasien LES yang mengalami artritis serta mendapat terapi prednison berisiko untuk mengalami osteopenia, karenanya memerlukan suplementasi kalsium.

RHEUMATOID ARTHRITISArtritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit yang tersebar luas serta melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainnya. Sebagian besar penderita menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi progresif yang menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini. Walaupun faktor genetik, hormon sex, infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola morbiditas penyakit ini,etiologi AR yang sebenarnya tetap belum dapat diketahui dengan pasti.

Rheumatoid arthritis (RA) atau (AR) adalah penyakit peradangan kronis yang ditandai dengan nyeri sendi bengkak, sendi dan kerusakan sendi sinovial, menyebabkan cacat yang parah dan kematian dini. Mengingat keberadaan autoantibodi, seperti faktor rheumatoid (RF) dan anti-citrullinated protein antibodi (ACPA) (diuji sebagai anti-cyclic peptida citrullinated), yang dapat mendahului manifestasi klinis RA oleh bertahun-tahun, maka RA dianggap sebagai penyakit autoimun. Autoimunitas dan peradangan sendi sistemik mendorong perkembangan destruktif dari penyakit. Namun, meskipun perubahan struktural, yang dapat divisualisasikan oleh radiografi konvensional atau teknik pencitraan lainnya, paling membedakan RA dari gangguan rematik lainnya, kerusakan sendi jarang terlihat dalam tahap sangat awal dari penyakit, melainkan terakumulasi secara konsisten dari waktu ke waktu.

Berbeda dengan osteoartritis, dimana kelainan utamanya dimulai dan proses degenerasi pada rawan sendi, maka pada artritis reumatoid dimulai dengan radang pada sinovia (sinovitis) disusul oleh proses kerusakan sendi yang disebabkan oleb 2 hal yaitu :1. Akibat proses inflamasi sinovia, akan dikeluarkan komponen destruktif kedalam cairan sinovia yang akan merusak rawan sendi.2. Kerusakan pada rawan sendi akibat proliferasi dan jaringan granulasi yang disebut pannus.Destruksi terjadi pada rawan sendi, ligamen tendon dan tulang. Artritis Reumatoid dapat menyerang semua usia secara tiba-tiba dan sering ditandai dengan nyeri sendi. Dapat disertai dengan gejala lain seperti, demam, nafsu makan menurun, berat badan menurun, lemah dan kurang darah. Artritis Reumatoid dapat mengakibatkan nyeri, kemerahan, bengkak dan panas di sekitar sendi. Dalam beberapa kasus penderita Artritis Reumatoid tidak menunujukkan gejala. Pada stadium lanjut dapat mengakibatkan penderita tidak mampu beraktivitas dengan baik.

PATOFISIOLOGI ATAU PROSES TERJADINYA ARTRITIS REMATOID (AR)

Rheumatoid arthritis atau artritis rematoid adalah suatu penyakit sistemik kronis dengan etiologi yang tidak diketahui. Karakteristik dari rheumatoid arthritis adalah adanya suatu peradangan sendi synovial, keterlibatan sendi yang simetris. Tanda khas dari penyakit ini adalah adanya peradangan sendi synovial yang menyebabkan kerusakan dari tulang rawan dan erosi tulang, dimana hal ini berakibat pada perubahan integritas sendi.

Proses inflamasi pada celah sendi synovial dan cairan persendian menyebabkan gejala nyeri pada sendi dan pembengkakan. Hal ini merupakan akibat dari pelepasan prostaglandin dan leukotrien dari sel polymorphonuclear. Penghancuran tulang rawan dan tulang disebabkan oleh adanya inflammatory proteinases dan prostanoids yang diaktifkan oleh limfosit dan monosit

Dipercayai bahwa sel T adalah pencetus dalam proses pathogenesis rheumatoid arthritis. Adanya interaksi antara sel T dan dendritic sel pada kelenjar limfe akan mengaktifasi lebih jauh sel T dan menyebabkan peningkatan populasi sel T dan kemudian akan mengaktifkan sel B. Sel T kemudian bermigrasi menuju jaringan synovial, lebih lanjut lagi peningkatan sel T dan aktifasi sel B akan menghasilkan antibody seperti rheumatoid factor dan anticyclic citrullinated peptide (CCP) antibody.

Keterlibatan sel T yang yang menstimulasi monosit, makrofag dan syinovial fibroblas untuk memproduksi interleukin-1, interleukin-6 dan TNF-. Juga sel T akan mengaktifkan sel B yang lebih lanjut lagi peningkatan sel T dan aktifasi sel B akan menghasilkan antibody seperti rheumatoid factor dan anticyclic citrullinated peptide (CCP) antibody.

Proses skema pembentukan interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor- (TNF-) oleh monosit, dimana IL-1 bertanggung jawab dalam menstimulasi pelepasan prostaglandin E2(PGE2), sedangkan TNF- merupakan kunci dalam proses pengaktifan matriks proteinase.

Aktifasi sel T menstimulasi monosit, makrofag dan syinovial fibroblas untuk memproduksi interleukin-1, interleukin-6 dan TNF-. Produksi interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor- (TNF-) oleh monositmerupakan proses sentral dalam peradangan. Dalam kenyataannya, IL-1 bertanggung jawan dalam menstimulasi pelepasan prostaglandin E 2(PGE2), sedangkan TNF- merupakan kunci dalam proses pengaktifan matriks proteinase. Jaringan synovial yang terprolifikasi setelah diaktifkan selanjutnya akan menginvasi struktur tulang rawan dan tulang dan kemudian bersifat sebagai tumor invasive local. Sitokin seperti IL-6,terinduksi oleh IL-1 dan TNF- , sedangkan IL -1 sendiri berperan dalam fitur-fitur sistemik antara lain demam, nyeri otot, dan penurunan berat badan.

Pada rheumatoid arthritis terjadi penumpukan dari IL-1 pada permukaan dinding sendi synovial. Karena potensinya sebagai mediator kerusakan sendi, IL-1 menjadi bagian dalam terjadinya rheumatoid arthritis. IL-1 adalah sitokin yang memiliki aktifitasi imunologis dan pro-inflamasi dan memiliki kemampuan untuk menginduksi dirinya secara otomatis.

Proses inflamasi akut dan kronis

Peranan Interleukin 1 pada RA

Didapatkan kenyataan bahwa tingkat aktifitas penyakit dalam rheumatoid arthritis dan kerusakan sendi yang progresif berhubungan dengan kadar IL-1 dalam plasma dan cairan snovial. IL-1 menstimulasi PGE2 dan nitiric oxide dan matrix metalloprotease dimana kemudian mengkibatkan degradasi sendi.

GEJALAKLINIS Artritis Reumatoid ditandai dengan adanya peradangan dari lapisan selaput sendi (sinovium) yang mana menyebabkan sakit, kekakuan, hangat, bengkak dan merah. Peradangan sinovium dapat menyerang dan merusak tulang dan kartilago. Sel penyebab radang melepaskan enzim yang dapat mencerna tulang dan kartilago. Sehingga dapat terjadi kehilangan bentuk dan kelurusan pada sendi, yang menghasilkan rasa sakit dan pengurangan kemampuan bergerak.Artritis adalah inflamasi dengan nyeri, panas, pembengkakan, kekakuan dan kemerahan pada sendi. Akibat artritis, timbul inflamasi umum yang dikenal sebagai artritis reumatoid yang merupakan penyakit autoimun.Manifestasi tersering penyakit ini adalah terserangnya sendi yang umumnya menetap dan progresif. Mula-mula yang terserang adalah sendi kecil tangan dan kaki. Seringkali keadaan ini mengakibatkan deformitas sendi dan gangguan fungsi disertai rasa nyeri.

Gejala pada sendi meliputi:1. Poliartritis yang nyata pada sendi tertentu yang akan mengalami pembengkakan, nyeri, panas dan kemerahan, serta gangguan fungsi.2. Simetris, sendi sisi kiri dan kanan terserang serentak atau berturut-turut.3. Sendi yang terserang ialah : tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, panggul, lutut, pergelangan kaki, kaki dan vertebra cervical, temporomandibular dan sendi cricoaritenoid. Sendi tangan yang terserang ialah sendi carpalis, sendi metakarpofalangeal (MCP) dan sendi proksimal interfalang (PIP), sedangkan yang tidak pernah terserang ialah sendi distal interfalang (DIP). Tidak terserangnya sendi DIP ini penting untuk membedakan dengan artritis lainnya (misalnya terhadap osteoartritis).4. Kaku pagi (morning stiffness) merupakan ciri khas dan penyakit ini, biasanya berlangsung panjang (lebih dari 1 jam). Makin berat penyakit makin bertambah panjang pula waktu kaku pagi. Setelah masa istirahat lama seperti tidur atau duduk lama selalu diikuti dengan kaku sendi.5. Deformitas sendi yang khas dapat ditemukan pada berbagai sendi.

AR pada Tangan Gejala awal yang khas dan AR pada tangan ialah pembengkakan sendi PIP yang membentuk gambaran fusiform atau spindle-shape. Keadaan ini kemudian diikuti dengan pembengkakan sendi metakarpofalangeal (MCP) yang simetrik. Proses peradangan yang lama akan menyebabkan kelemahan dari jaringan lunak disertai pula dengan subluksasi falang proksimal sehingga menyebabkan deviasi jari-jari tangan kearah ulnar (ulnar aeviation). Deviasi ulnar ini selalu disertai dengan deviasi radial dan sendi radiocarpalis, sehingga akan memberikan gambaran deformitas zig-zag . Pada kasus lanjut dapat terjadi deformitas leher angsa (swan-neck) , sebagai akibat kombinasi dan hiper ekstensi sendi PIP dan fleksi sendi DIP. Kombinasi dari fleksi sendi PIP dan ekstensi sendi DIP akan menyebabkan deformitas boutonniere. Akibat dan semua ini akan mengakibatkan tangan tidak dapat berfungsi dengan sempurna. AR pada Pergelangan tangan AR hampir selalu menyerang pengelangan tangan, pada awalnya berupa sinovitis yang dapat diraba, dan pada keadaan lanjut terjadi deformitas sehingga gerakan dorsofleksi pergelangan tangan terbatas (kurang dan 180 derajat). Proliferasi sinovia kearah palmar akan menyebabkan penekanan pada nervus medianus sehingga mengakibatkan terjadinya sindrom carpal-tunnel, berupa parestesi pada aspek palmar ibujari, jari kedua dan ketiga dan aspek radial jari keempat. AR pada Siku AR siku menyebabkan pembengkakan dan kontraktur fleksi. Keadaan ini sering dijumpai dan menyebabkan kerusanan melakukan aktivitas sehari-hari. AR pada Bahu AR bahu biasanya terjadi pada tahap lanjut penyakit ini, akibatnya terjadi keterbatasan gerak dan rasa nyeri pada prosesus coracoid bagian bawah dan lateral. AR pada Cervikal AR cervical menyebabkan nyeri dan kaku tengkuk. Biasanya sendi yang terserang ialah Cl dan C2. Pada keadaan lanjut dapat terjadi subluksasi atlanto-oksipital yang mengakibatkan penekanan pada syaraf spinal dan menyebabkan gangguan neurologik.

AR Panggul Gejala AR panggul yang dapat dilihat ialah gangguan jalan dan keterbatasan gerakan sendi, sedangkan pembengkakan dan nyeri sendi sulit diobservasi, penderita hanya merasa tidak enak di lipat paha yang menjalar ke pantat, pinggang bawah dan lutut. AR Lutut Gejala yang sering terlihat ialah hipertrofi sinovia dan efusi sendi. AR Pergelangan kaki dan kaki AR didaerah ini memberikan gambaran yang tidak berbeda dengan AR tangan. Subluksasi dari ibu jari kaki menyebabkan terjadinya deformitas hammer toe. Disertai dengan deformitas lainnya akan menyebabkan kesukaran dalam menggunakan sepatu normal, sehingga diperlukan sepatu khusus.Manifestasi ekstra artikuler:1. Kulit : nodul subkutan (merupakan tanda patognomonik yang khas ditemukan pada 25% dari penderita arthritisrheumatoid) , vaskulitis2. Jantung : fibrosis penikard, nodus reumatoid di miokand dan katup jantung.3. Paru : nodul reumatoid di pleura, efusi pleura, pneumonitis fibrosis interstitiel difusi4. Neurologik : mononeuritis, sindrom carpal-tunnel, kompresi medula spinalis.5. Mata : sindrom Sjogren.6. Sindrom Felty:splenomegali, limfadenopati,anemia,trombositopenia,dan neutropenia.Kriteria diagnosis arthritis rheumatoid menurut American Rheumatism Assciation (ARA) pada tahun 1958 adalah :

1.Kekakuan sendi jari-jari tangan pada pagi hari (morning stiffness)

2. Nyeri pada pergerakan sendi atau nyeri tekan sekurang-kurangnya pada satu sendi

3.Pembengkakan (oleh penebalan jaringan lunak atau oleh efusi cairan) pada salahsatu sendi secara terus-menerus sekurang-kurangnya selama 6 minggu.

4. Pembengkakan pada sekurang-kurangnya salah satu sendi

5.Pembengkakan sendi yang bersifat simetris

6.Nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang di daerah ekstensor

7.Gambaran foto rontgen yang khas pada arthritis rheumatoid

8.Uji aglutinasi faktor rheumatoid

9.Pengendapan cairan musin yang jelek

10.Perubahan karakteristik histologik lapisan synovial

11.Gambaran histologik yang khas pada nodul.

Berdasarkan kriteris tahun 1958 ini maka disebut: - Klasik, bila terdapat 7 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu - Definitif, bila terdapat 5 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu - Kemungkinan rheumatoid, bila terdapat 3 kriteria dan sudah berlangsungsekurang-kurangnya 4 minggu.

AUTOIMUN terjadi akibat adanya kegagalan sistem imun dalam memelihara self tolerance pada sel B, sel T, atau keduanya akibatnya terjadi kegagalan mengenali self antigen self antigen dianggap antigen asing faktor utama yang berperan dalam timbulnya autoimun: kerentanan genetiK faktor pemicu dari lingkungan, misalnya infeksi penyakit autoimun dapat diklasifikasikan menjadi: non-organ specific (systemic), seperti : Systemic lupus Erythematosus (SLE) rheumatoid arthritis sjogren syndrome scleroderma poliomyositis Dermatomyositis autoimmune hemolytic Anemia organ specific, seperti : Type I Diabetes Mellitus penyakit autoimun pada tiroid, seperti : Graves Disease Hashimoto hepatitis autoimun

Pada penyakit autoimun terdapat autoantibodI autoantibodI tersebut akan berikatan dengan self antigen membentuk kompleks imun kompleks imun ini dapat beredar dan dengan adanya kompleks imun ini terjadi aktivasi komplemen yang kronik sehingga kadar komplemen turun adanya reaksi imun dalam tubuh menyebabkan terjadinya inflamasi yang ditandai dengan banyaknya sitokin pro-inflamasi (IL1, IL6, TNF-alpha) serta acute phase reactan (APR) yang diproduksi pada penyakit autoimun sistemik terdapat suatu antigen yang beredar. Autoantibodi yang sistemik meliputi: anti nuclear ab (ANA) yang ditemukan pada SLE, RA, sindrom sjogren (SS) serta skleroderma anti neutrophil cytoplasmic ab (ANCA), ada yang sitoplasmik (C-ANCA) yang ditemukan pada penyakit granulomatosis Wegener, ada yang perinuklear (p-ANCA) ditemukan pada penyakit Chron dan colitis ulseratif anti phospolipid Ab (APA) ditemukan pada sindrom fosfolipid. APA misalnya Anti Cardiolipin Ab (ACA), Lupus Koagulan (LA), Anti 2 Glycoprotein1 (2GP-1 )

Spesifisitas Antinuclear Antibody (ANA) jenis antigen dan penyakit autoimunnya double strand DNA (ds-DNA) SLE Histon Lupus eritematosus terinduksi obat, SLE Smith (Sm) SLE Sjogren Syndrom A (SS-A) sindrom Sjogren, SLE Sjogren Syndrom B (SS-B) sindrom Sjogren Ribonukleoprotein (RNP) SLE Topoisomerase 1 (SCL 70) scleroderma Jo-1 poliomiositis Mi-2 dermatomiositis

Autoantibodi pada SLE : associated (tidak spesifik, bisa ditemukan pada penyakit autoimun lain ) ANA SS-A SS-B Histon RNP ACA 2-GP1 spesifik pada SLE ds-DNA Sm Anti Nucleosome (ANUA) Anti Ribosomal P Protein (ARPA)

Jadi, untuk kasus SLE, awali pemeriksaan dengan memeriksa kadar antibodi non-spesifik (yang sering diperiksan ANA), kalau dicurigai lupus lanjutkan dengan memeriksa autoantibodi spesifik ( yang sering digunakan ds-DNA)

Autoantibodi pada Rhematoid Arthritis (RA) associated ANA Rhematoid Factor (RF) specific Anti Keratin Ab (AKA) Anti Perinuclear Factor (APF) Anti Filaggrin (AFA) Anti Cyclic Citrulinated Peptide (CCP)

Jadi untuk kasus RA, pertama kali periksa rheumatoid factor (RP) kalau curiga RA, periksa autoantibodi spesifik (biasanya Anti CCP)

Autoantibodi pada penyakit autoimun yang organ spesifik pada tiroid ANTI TPO (Ag : tiroid peroksidase) TRAb (Ag : reseptor TSH pada Grave) Tab (Ag : tiroglobulin) pada hepar AMA (Ag = mitochondrial antibodies) ASMA (Ag = otot polos) ANTI LKM-1 (Ag = Liver Kidney Microsome1) ANTI SLA (Ag = Soluble Liver Antigen) ANTI LC-1 (Ag = Liver Cytosolic Antigen1) pada pankreas ANTI GAD (Ag = Glutamic Acid Decarboxylase) ANTI IA-2 (Ag= Tyrosin Phosfatase) ANTI ICA (Ag = sel islet) IAA (Ag = insulin) pada lambung ANTI PCA (Ag = sel parietal) ANTI IF (Ag = faktor intrinsik, karena faktor intrinsik berperan dalam penyerapan vit B12, maka penderitanya mengalami anemia pernisiosa) pada otot ANTI ACHR (Ag = reseptor asetilkolin, pada Myasthenia Gravis)

Kriteria laboratorium untuk SLE pada renal proteinuria (> 3+) >0,5 g/dL adanya silinder seluler (contohnya silinder leukosit, eritrosit) hematologi Hemolityc Anemia Direct Coombs Test (+) Leukopenia < 4000/Ul Lymphopenia < 1500/Ul imunologi Abnormal Titer Ana (titer > 160) Anti Ds Dna Anti Sm Antifosfolipid (apa) ACA (anti cardiolipin Antibodi) La (lupus antikoagulan), False (+) Vdrl

Pada inflamasi akan dihasilkan sitokin pro-inflamasi ((IL1, IL6, TNF-alpha) sitokin tersebut akan memicu hati untuk menghasilkan acute phase reactan (APR), seperti fibrinogen, serum amyloid A (SAA), C-reactive protein (CRP), C3, serta haptoglobin APR yang sering digunakan untuk indiKator inflamasi adalah CRP karena CRP itu kadarnya paling cepat naik kalau terjadi inflamasi dan paling cepat turun kalau inflamasi berakhir slide 27: IL-6 dan TNF-alpha (sitokin pro-inflamasi) naik segera setelah inflamasi, setelah sitokin terbentuk dalam jumlah cukup, hati akan mulai mensintesis APR, makanya grafik CRP baru naik signifikan setelah beberapa jaM.

ALLOIMUNITASA.TRANSFUSI DARAHMenurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB dan O. Selanjutnya diketahui bahwa golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah golongan B mengandung antibodi (anti A berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB tidak mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan golongan darh O mengandung antibodi (Ig M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B. Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin.Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang paling sederhana dari reaksi sitotoksik terlihat pada ketidakcocokan transfusi darah golongan ABO. Ada 3 jenis reaksi transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling berat, reaksi panas, dan reaksi alergi seperti urtikaria, syok, dan asma. Kerusakan ginjal dapat pula terjadi akibat membrane sel yang menimbun dan efek toksik dan kompleks haem yang lepas.Dalam proses transfusi darah, beberapa istilah yang berkaitan dengan proses transfusi darah sebagai berikut:1. Transfusi = proses pindah tuang darah2. Donor = orang yang memberikan sejumlah darah ke orang lain yang membutuhkan3. Resipien = orang yang menerima sejumlah darah dari orang lain4. Donor Universal = golongan darah yang bisa memberikan sejumlah darahnya ke orang lain. Golongan darah yang dimaksud adalah O5. Resipien Universal = Golongan darah yang dapat menerima sejumlah darah dari golongan darah lain. Golongan darah yang dimaksud adalah AB6. Serum = plasma tanpa fibrinogen7. antigen = aglutinogen merupakan protein asing yang akan digumpalkan oleh antibodi / aglutinin8. Antibodi = protein plasma yang dapat menggumpalkan antigen / aglutinin9. Aglutinasi = penggumpalan darah akibat ketidakcocokan antara jenis aglutinogen donor dengan aglutinin resipien

B. TRANSPLANTASI ORGANDefinsi Transplantasi organ adalah tindakan medis untuk memindahkan organ atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam pengobatan untuk mengganti jaringan atau organ tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. Donor organ atau lebih sering disebut transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu dari suatu tempat ke tempat lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain dengan persyaratan dan kondisi tertentu. Syarat tersebut melipui kecocokan organ dari donor dan resipen.Sedangkan resipien adalah orang yang akan menerima jaringan atau organ dari orang lain atau dari bagian lain dari tubuhnya sendiri. Organ tubuh yang ditansplantasikan biasa adalah organ vital seperti ginjal, jantung, dan mata. namun dalam perkembangannya organ-organ tubuh lainnya pun dapat ditransplantasikan untuk membantu ornag yang sangat memerlukannya.Jika dilihat dari fungsi dan manfaatnya transplantasi organ dapat dikategorikan sebagai life saving. Live saving maksudnya adalah dengan dilakukannya transplantasi diharapkan bisa memperpanjang jangka waktu seseorang untuk bertahan dari penyakit yang dideritanya. Macam-macam transplantasi organ:1. Transplantasi hati.2. Transplantasi paru3. Transplantasi Ginjal.4. Transplantasi Jantung5. Transplantasi kulit.6. Transplantasi Kornea7. Transplantasi tulang8. Transplantasi Pembuluh darah9. Transplantasi Pankreas.

B. KLASIFIKASI TRANSPLANTASI ORGANTrnsplantasi organ dapat dklasifikasikan:a. Transplantasi ditinjau dari sudut si penerima, dapat dibedakan menjadi:1) Autotransplantasi: pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh orang itu sendiri.2) Homotransplantasi: pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke tubuh orang lain.3) Pemindahan organ atau jaringan dari satu spesies ke spesies lain.4) Autograft : Transplantasi jaringan untuk orang yang sama. Kadang-kadang hal ini dilakukan dengan jaringan surplus, atau jaringan yang dapat memperbarui, atau jaringan lebih sangat dibutuhkan di tempat lain (contoh termasuk kulit grafts , ekstraksi vena untuk CABG , dll) Kadang-kadang autograft dilakukan untuk mengangkat jaringan dan kemudian mengobatinya atau orang, sebelum mengembalikannya (contoh termasuk batang autograft sel dan penyimpanan darah sebelum operasi).5) Allograft : adalah suatu transplantasi organ atau jaringan antara dua non-identik anggota genetis yang sama spesies . Sebagian besar jaringan manusia dan organ transplantasi yang allografts. Karena perbedaan genetik antara organ dan penerima, penerima sistem kekebalan tubuh akan mengidentifikasi organ sebagai benda asing dan berusaha untuk menghancurkannya, menyebabkan penolakan transplantasi.6) Isograft : sebuah subset dari allografts di mana organ atau jaringan yang ditransplantasikan dari donor ke Sipenerima yang identik secara genetis (seperti kembaridentik). Isografts dibedakan dari jenis lain transplantasi karena sementara mereka secara anatomi identik dengan allografts, mereka tidak memicu respon kekebalan.7) Xenograft dan xenotransplantation :Transplantasi organ atau jaringan dari satu spesies yang lain. Sebuah contoh adalah transplantasi katup jantung babi, yang cukup umum dan sukses. Contoh lain adalah mencoba-primata (ikan primata non manusia)-transplantasi Piscine dari pulau kecil (yaitu pankreas pulau jaringan atau) jaringan.8) Transplantasi Split : Kadang-kadang organ almarhum-donor, biasanya hati, dapat dibagi antara dua penerima, terutama orang dewasa dan seorang anak. Ini bukan biasanya sebuah pilihan yang diinginkan karena transplantasi organ secara keseluruhan lebih berhasil.9) Transplantasi Domino:Operasi ini biasanya dilakukan pada pasien dengan fibrosis kistik karena kedua paru-paru perlu diganti dan itu adalah operasi lebih mudah secara teknis untuk menggantikan jantung dan paru-paru pada waktu yang sama. Sebagai jantung asli penerima biasanya sehat, dapat dipindahkan ke orang lain yang membutuhkan transplantasi jantung. (parsudi,2007).Jika ditinjau dari sudut penyumbang atau donor alat dan atau jaringan tubuh, maka transplantasi dapat dibedakan menjadi:a. Transplantasi dengan donor hidupTransplantasi dengan donor hidup adalah pemindahan jaringan atau organ tubuh seseorang ke orang lain atau ke bagian lain dari tubuhnya sendiri tanpa mengancam kesehatan. Donor hidup ini dilakukan pada jaringan atau organ yang bersifat regeneratif, misalnya kulit, darah dan sumsum tulang, serta organ-organ yang berpasangan misalnya ginjal.b. Transplantasi dengan donor mati atau jenazahTransplantasi dengan donor mati atau jenazah adalah pemindahan organ atau jaringan dari tubuh jenazah ke tubuh orang lain yang masih hidup. Jenis organ yang biasanya didonorkan adalah organ yang tidak memiliki kemampuan untuk regenerasi misalnya jantung, kornea, ginjal dan pankreas.

C. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI TRANSPLANTASI ORGANSeseorang harus menerima transplantasi organ jika organ orang tersebut mengalami kerusakan atau tidak berfungsi lagi. Apabila hal tersebut terjadi, maka jalan terbaik adalah dengan mentransplantasikan organ ke dalam tubuh penderita agar penderita dapat tetap hidup.1. GINJALPenyebab terbanyak yang umum dikenal masyarakat adalah gagal ginjal yang disebabkan adanya batu dalam ginjal. Hal ini dawali oleh: Diet yang salah yang banyak mengandung zat-zat yang banyak menumpuk dan mengkristal didalam ginjal seperti asam urat,jengkol,maupun kalsium. Kebiasaan penderita yang malas minum banyak air putih.Keadaan tersebut lambat laun akan terjadi penumpukan zat didalam ginjal yang lama kelamaan akan menjadi kristal yang sering disebut dengan batu,bila diameter batu tersebut masih dibawah 2mm dapat keluar sendiri melalui saluran kemih,nmun bila timbul batu dengan diameter yang besar akan susah untuk mengalir keluar yang kemudian tentu akan terjadi penghambatan aliran darah dialam ginjal,proses ini akan menyebabkan timbul infeksi yang semakin mempercepat kerusakan ginjal. Penurunan cadangan ginjal; 1) Yang terjadi bila GFR (Glomerular Filtration Rate) turun 50% dari normal (penurunan fungsi ginjal), tetapi tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron yang sehat mengkompensasi nefron yang sudah rusak, dan penurunan kemampuan mengkonsentrasi urin, menyebabkan nocturia dan poliuri. Pemeriksaan CCT 24 jam diperlukan untuk mendeteksi penurunan fungsi. Insufisiensi ginjal;2) Terjadi apabila GFR turun menjadi 20 35% dari normal. Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena beratnya beban yang diterima. Mulai terjadi akumulai sisa metabolic dalam darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi mengkompensasi. Penurunan respon terhadap diuretic, menyebabkan oliguri, edema. Derajat insufisiensi dibagi menjadi ringan, sedang dan berat, tergantung dari GFR, sehingga perlu pengobatan medis.3) Gagal ginjal; yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal.Penyakit gagal ginjal stadium akhir; Terjadi bila GFR menjadi kurang dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan atrofi tubuluS. Akumulasi sisa metabolic dalam jumlah banyak seperti ureum dan kreatinin dalam darah. Ginjal sudah tidak mampu mempertahankan homeostatis dan pengobatannya dengan dialisa atau penggantian ginjal/transplantasi ginjal.

2. JANTUNGCHF( cronic heart failure) terjadi ketika jantung tidak lagi kuat untuk memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Fungsi sitolik jantung ditentukan oleh empat determinan utama, yaitu: kontraktilitas miokardium, preload ventrikel (volume akhir diastolik dan resultan panjang serabut ventrikel sebelum berkontraksi), afterload kearah ventrikel, dan frekuensi denyut jantunG.Penyebab yang sering adalah menurunnya kontraktilitas miokard akibat Penyakit Jantung Koroner, Kardiomiopati, beban kerja jantung yang meningkat seperti pada penyakit stenosis aorta atau hipertensi, kelainan katup seperti regurfitasi mitral.PenyebabFrekuensi relatif

Kardiomiopati dilated / tidak diketahui45%

Penyakit Jantung Iskemik40%

Kelainan katup9%

Hipertensi6%

Sumber: Cardiology and Respiratory Medicine 2001Selain itu ada pula faktor presipitasi lain yang dapat memicu terjadinya gagal jantung, yaitu : Kelebihan Na dalam makanan Kelebihan intake cairan Tidak patuh minum obat Iatrogenic volume overload Aritmia : flutter, aritmia ventrikel Obat-obatan: alkohol, antagonis kalsium, beta bloker Sepsis, hiper/hipotiroid, anemia, gagal ginjal, defisiensi vitamin B, emboli paru. 3. HATIPada umumnya penyakit yang sering menyerang hati disebut pula hepatitis. Peradangan pada hati karena toxin, seperti kimia/obat atau gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh suatu agen infeksi atau keracunan. Penyakit ini apabila kurang dari 6 bulan disebut hepatitis akut dan jika penyakit tersebut selama 6 bulan lebih disebut hepatitis kronis. Salah satu gejala terlihat pada penderita gangguan hepatitis adalah kulit dan selaput putih mata yang mungkin akan berubah warna menjadi kuning, sehingga sering disebut oleh masyarakat sebagai penyakit kuning. Warna kuning timbul disebabkan oleh cairan empedu yang berlebihan kadarnya dalam darah.Hepatitis biasanya terjadi terutama salah satu dari kelima virus hepatitis, yaitu A, B, C, D atau E. Hepatitis juga bisa terjadi karena infeksi virus lainnya, seperti mononukleosis infeksiosa, demam kuning dan infeksi sitomegalovirus. Penyebab hepatitis non virus yang utama adalah alkohol dan obat-obatan. Di Indonesia yang banyak ditemukan adalah virus hepatitis A, virus hepatitis B dan virus hepatitis C. Virus hepatitis dapat masuk ke dalam tubuh, terutama melalui makanan atau air yang dikotori oleh virus, tertular akibat tranfusi darah maupun melalui pemakaian alat-alat yang tidak steril di rumah sakit. Hepatitis merupakan penyakit yang lebih sering menjangkiti anak-anak muda. Tempat tinggal yang sesak, kebersihan yang tidak terjamin dan kurangnya makanan yang sehat sangat memegang peranan dalam.4. PARU-PARUMerokok adalah penyebab umum dari sebagian besar penyakit paru-paru, bahkan penyakit paru obstruktif kronis. Semua orang yang merokok mungkin tidak mendapatkan bronkitis kronis, tetapi sebagian besar pasien penyakit paru adalah perokok.Bahkan orang yang bukan perokok mendapatkan bronkitis kronis atau emfisema, jika individu memiliki kekurangan alfa-1 antitripsin protein.Pada beberapa individu penyebab bronkitis kronis PPOK atau tidak diketahui. Penyebab lain dari bronkitis kronis PPOK. Terlalu lama terhadap alergen atau gas di tempat kerja dapat menyebabkan penyakit paru-paru obstruktif kronis. Perokok pasif, orang-orang yang menghisap asap yang dipancarkan oleh perokok lebih rentan untuk mendapatkan penyakit kronis obstruktif paru. Menghirup gas alam dengan ventilasi yang buruk juga menyebabkan PPOK penyakit paru obstruktif kronis.

D. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis gagal ginjal:KardiovaskulerDermatologypulmonergastrointestinalmuskulokeletalNeurologi

Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditisEdema (kaki, tangan, sacrum)Pembesaran vena leher

Warna kulit abu-abu mengkilatKulit kering bersisikPruritusEkimosisKuku tipis dan rapuhRambut tipis dan kasar

KrekelsSputum kental dan liatNafas dangkalPernafasan kussmaul

Anoreksia, mual, muntah, cegukanNafas berbau ammoniaUlserasi dan perdarahan mulutKonstipasi dan diarePerdarahan saluran cerna

Kram ototKekuatan otot hilangKelemahan pada tungkaiFraktur tulang

Tidak mampu konsentrasiKelemahan dan keletihanKonfusi/ perubahan tingkat kesadaranDisorientasiKejangRasa panas pada telapak kakiPerubahan perilaku

Manifestasi transplanstasiHatiparujantung

Kegagalan Prekim hati Hipertensi portal Asites Ensefalophati hepatitis

. Demam, 2. Asma dengan perbaikan klinis yang lambat, 3. Batuk yang produktif, 4. Malaise

. sianosis biasanya setelah menangis,stress jari tubuh(clubing finger)biasanya muncul setelah 2-3bln . sesak nafas

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK TRANSPLANTASI ORGANDilakukan pemeriksaan laboratorium I. Pemeriksaan Laboratorium Laboratorium darah : BUN, Kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Phospat), Hematologi (Hb, trombosit, Ht, Leukosit), protein, antibody (kehilangan protein dan immunoglobulin) Pemeriksaan Urin Warna, PH, BJ, kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen, SDM, keton, SDP. II. Pemeriksaan EKGUntuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia) III. Pemeriksaan USGMenilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostate.

IV. Pemeriksaan RadiologiRenogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen

F. PENATALAKSANAANTransplantasi baru dapat diperoleh dari donor yang baru saja meninggal dunia, atau dari donor hidup. Donor hidup bisa keluarga, bisa juga bukan biasanya pasangan atau teman. Jika anda tidak memiliki donor hidup, anda akan dimasukkan ke dalam daftar tunggu untuk memperoleh ginjal dari donor meninggal. Masa tunggu tersebut dapat berlangsung bertahun-tahun.Petugas transplantasi akan mempertimbangkan tiga faktor untuk menentukan kesesuaian organ dengan penerima (resipien). Faktor tersebut akan menjadi tolak ukur untuk memperkirakan apakah sistim imun tubuh penerima akan menerima atau menolak organ baru tersebut.Misalnya melakukan pemeriksaan Golongan darah. Golongan darah penerima (A,B, AB, atau O) harus sesuai dengan golongan darah donor. Faktor golongan darah merupakan faktor penentu kesesuaian yang paling penting. Human leukocyte antigens (HLAs). Sel tubuh membawa 6 jenis HLAs utama, 3 dari ibu dan 3 dari ayah. Sesama anggota keluarga biasanya mempunyai HLAs yang sesuai. Resipien masih dapat menerima organ dari donor walaupun HLAs mereka tidak sepenuhnya sesuai, asal golongan darah mereka cocok, dan tes lain tidak menunjukkan adanya gangguan kesesuaian. Uji silang antigen. Tes terakhir sebelum dilakukan pencangkokan adalah uji silang organ. Sejumlah kecil darah resipien dicampur dengan sejumlah kecil darah donor. Jika tidak terjadi reaksi, maka hasil uji disebut uji silang negatif, dan transplantasi dapat dilakukan.

Prosedur Operasi TransplantasiSecara tekhnik bedah, transplantasi organ dapat dilakukan dengan cara :1. OrtopikBila organ yang dicangkokkan dipasang di tempat organ yang asli. Sebelumnya organ yang asli diambil terlebih dahulu.2. HeterotopikBila organ yang dicangkokkan dipasang pada tempat organ yang lain. Pada tekhnik ini organ yang rusak tidak dikeluarkan. Ketika donor organ tersedia, dokter akan melakukan tes dan pemeriksaan untuk memverifikasi kecocokan organ. Setelah kecocokan diverifikasi, pasien akan dibawa ke ruang operasi. Proses operasi transplantasi organ biasanya berlangsung antara 2 hingga 4 jam. Setelah operasi transplantasi organ dilakukan, pasien akan diberi obat imunosupresif untuk mencegah penolakan organ donor oleh tubuh. Petugas kesehatan akan mengawasi pasien untuk memastikan bahwa organ yang baru dapat berfungsi dengan baik. Terkadang pasien mungkin membutuhkan dialisis selama beberapa hari sambil menunggu organ baru sembuh dan cukup kuat untuk bekerja dengan baik. Setelah organberfungsi dan bekerja dengan baik dan kondisi pasien sehat, maka pasien diperbolehkan pulang. Beberapa pasien bisa pulang dalam waktu 5 hari setelah operasi.Perawatan Tindak Lanjut (Follow up Care)Seorang pasien yang menerima organ donor harus mengambil obat imunosupresif selama sisa hidupnya. Berbagai jenis obat bisa bertindak sebagai immunosupresan. Yang sering digunakan adalah kortikosteroid (misalnya prednison); pada awalnya diberikan melalui infus kemudian dalam bentukobatyangdiminum.Obat lainnya dalah:#Azatioprin, Takrolimus, Mikofenolatmofetil,Siklosporin, Siklofosfamid(terutama digunakan pada pencangkokkan sumsum tulang), Globulinanti-limfositdanglobulinanti-timosit, Antibodi monoklonal.Pasien juga harus mengunjungi dokter secara teratur untukmenjalani pemeriksaandan mendeteksi dini setiap masalah yang mungkin muncul.

G. KOMPLIKASIa) Penolakan pencangkokan:Yaitu sebuah serangan dari sistem kekebalan terhadap organ donor asing yang dikenal oleh tubuh sebagai jaringan asing. Reaksi tersebut dirangsang oleh antigen dari kesesuaian organ asing. Ada tiga jenis utama penolakan secara klinik, yaitu hiperakut, akut dan kronis.b) Peningkatan berat badan akibat penimbunan cairan.ini pada transplantasi organ,mungkin banyak cairan yang masuk pada saat pemindahan organ.c) demam karena reaksi imun.d) nyeri dan pembengkakan di daerah tempat yang dicangkokkan.e) Infeksi