makalah gizi pangan

Upload: yefta-harnanianto

Post on 12-Oct-2015

114 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

MAKALAH GIZI PANGAN

PENGARUH PENGGORENGAN TERHADAP MUTU CERNA PROTEIN IKAN MUJAIR (Tilapia mossambica)

OLEH :1. ADRIAN JONG(6103012024) / G2. YEFTA H M(6103012027) / G

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYASURABAYA2014

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar Belakang Sejak dahulu, manusia telah menyadari pentingnya makanan untuk kelangsungan hidupnya. Makanan dapat diartikan sebagai pemberi zat gizi bagi tubuh yang dibutuhkan untuk mempertahankan kelangsungan hidup (Almatsier 2001). Salah satu unsur zat gizi yang terdapat dalam makanan adalah protein. Protein merupakan suatu zat gizi yang sangat penting bagi tubuh, tersusun oleh asam-asam amino yang terdiri dari unsur karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), dan nitrogen (N). Di sebagian besar jaringan tubuh, protein merupakan komponen terbesar setelah air. Protein dalam tubuh berfungsi sebagai zat pembangun yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh; zat pengatur yang berperan sebagai hormon, enzim dan antibodi; serta bahan bakar karena mengandung karbon yang dapat berfungsi sebagai sumber energi apabila tubuh kekurangan karbohidrat dan lemak (Muchtadi, Astawan, dan Palupi, 2006). Protein dapat dibagi menjadi dua berdasarkan sumbernya yaitu protein hewani dan protein nabati. Protein hewani disebut sebagai protein yang lengkap dan bermutu tinggi karena mempunyai kandungan asam-asam amino esensial yang lengkap dan susunannya mendekati apa yang diperlukan oleh tubuh. Selain itu protein hewani juga mutu cernanya tinggi sehingga jumlah yang dapat diserap (tersedia atau dapat digunakan oleh tubuh) juga tinggi (Muchtadi, 1989b). Semua jenis ikan merupakan bahan pangan sumber protein hewani yang relatif murah dibandingkan dengan sumber protein hewani lainnya. Sebagai bahan makanan, ikan telah diidentifikasi sebagai pangan yang memiliki keunggulan tertentu. Di samping menyediakan protein hewani yang relatif tinggi jumlahnya, ikan juga memberikan asam-asam lemak tak jenuh, berbagai macam vitamin dan mineral yang sangat diperlukan oleh tubuh (Muchtadi, Astawan, dan Palupi, 2007). Berdasarkan tempat hidupnya dikenal jenis ikan air tawar dan ikan laut. Ikan air tawar adalah ikan yang hidup di kolam, danau, sungai, dan sebagainya. Salah satu contohnya adalah ikan mujair (Muchtadi, et al. 2007). Ikan mujair merupakan ikan budidaya sehingga dalam waktu yang singkat ikan ini dapat segera diproduksi. Ikan mujair juga mudah diperoleh dan banyak dipasaran. Ikan merupakan bahan pangan yang sangat mudah rusak, sehingga diperlukan penanganan khusus untuk mempertahankan mutunya. Salah satu caranya adalah pengolahan panas atau dikenal dengan pemasakan. Menurut Tarwotjo (1998), ada dua jenis masakan ikan yaitu masakan kering dan masakan basah. Masakan kering (dry heat) merupakan hidangan yang dimasak tanpa air, sebagai contoh adalah penggorengan dan pempanggangan. Masakan basah (moist heat) merupakan hidangan yang dimasak menggunakan air, contohnya adalah perebusan dan pengukusan. Protein yang terkandung dalam bahan pangan setelah dikonsumsi akan mengalami pencernaan (pemecahan oleh enzim protease) menjadi asam amino. Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam amino oleh enzim pencernaan (protease) dikenal dengan istilah mutu cerna. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu cerna protein yaitu pengolahan yang menggunakan pemanasan; aseli/native pada kacang-kacangan; faktor antigizi seperti antitripsin, antikimotripsin/hemaglutinin; adanya reaksi antara protein/ asam amino dengan komponen lain (gula pereduksi, polifenol, lemak dan produksi oksidasi) dan bahan kimia aditif (alkali, belerang oksida/ hidrogen peroksida) (Muchtadi, 1989a). Sedikitnya informasi yang diterima masyarakat mengenai kandungan zat gizi dan mutu cerna protein pada ikan yang telah diolah dengan berbagai macam teknik pengolahan seperti digoreng, dipanggang, dikukus, dan direbus menjadi latar belakang dilaksanakannya penelitian ini. Ikan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ikan mujair. 1.2. Tujuan 1. Mengetahui waktu yang tepat untuk deep fat frying pada ikan mujair.2. Mengetahui mutu cerna protein ikan mujair setelah penggorengan.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1.IkanIkan merupakan salah satu bahan pangan yang banyak mengandung protein. Sebagai protein hewani, ikan sangat diperlukan oleh manusia karena selain mudah dicerna juga mengandung asam amino esensial yang lebih lengkap dan susunannya lebih mendekati pada susunan protein tubuh manusia. Dengan demikian, ikan mempunyai nilai biologis (NB) yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, daging ikan mempunyai nilai biologis sebesar 90% (Afrianto dan Liviawaty 1989). Badan ikan pada umumnya mempunyai bentuk dan ukuran yang simetris dan dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu kepala, badan dan ekor. Tidak semua bagian tubuh ikan layak dikonsumsi manusia. Bagian yang dapat dimakan (BDD) dari ikan adalah 45% - 50% dari berat badan ikan. BDD ikan sangat bervariasi tergantung bentuk, umur, dan apakah ikan ditangkap sebelum atau sesudah bertelur (Muchtadi, et al. 2007). Komposisi daging ikan secara umum adalah 15% - 24% protein, 0.1% - 22% lemak, 1% - 3% karbohidrat, 0.8% - 2% senyawa anorganik, dan 66% - 84% air. Komposisi daging ikan ini sangat bervariasi tergantung faktor biologis dan faktor alam. Faktor biologis merupakan faktor yang berasal dari ikan itu sendiri yang meliputi jenis ikan, umur, dan jenis kelamin. Faktor alam merupakan semua faktor luar yang tidak berasal dari ikan meliputi habitat (daerah kehidupan ikan), musim, dan jenis makanan yang tersedia (Muchtadi, et al. 2007). Jenis ikan merupakan faktor yang besar sekali pengaruhnya dalam variabilitas komposisi daging ikan. Masing-masing jenis ikan bahkan masing-masing individu ikan meskipun termasuk dalam satu jenis, komposisi kimianya dapat berbeda. Peranan umur juga tampak nyata pada kandungan lemak daging ikan. Makin tua ikan, kandungan lemaknya cenderung makin banyak. Sedangkan jenis kelamin erat hubungannya dengan kematangan seksualnya (Muchtadi dan Sugiyono 1992). Protein daging ikan dibedakan menjadi 3 jenis yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril, dan protein stroma. Sarkoplasma mengandung berbagai macam protein larut air yang disebut miogen. Protein miofibrilar merupakan protein yang membentuk miofibril (serabut otot) yang tersusu dari aktin, miosin dan protein-protein pengatur. Stroma merupakan protein yang membentuk jaringan ikat (Muchtadi, et al. 2007).Kandungan lemak atau minyak ikan sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh jenis ikan, umur, musim, ketersediaan makanan dan kebiasaan makan. Kandungan lemak pada ikan dapat digolongkan menjadi ikan berlemak rendah (kadar lemak kurang dari 2%), ikan berlemak sedang/ medium (kadar lemak 2% - 5%), dan ikan berlemak tinggi (kadar lemak 6% - 22%) (Muchtadi, et al. 2007). 2.2.Ikan Mujair (Tilapia mossambica) Ikan mujair ini merupakan ikan peliharaan. Indonesia mengenal ikan mujair sebagai ikan (makanan) yang paling murah bagi rakyat jelata. Ikan mujair pertama kali ditemukan di sebuah muara kali Serang di pantai selatan oleh seorang kontak tani (penghubung) desa papungan (Blitar) yaitu Pak Mujair. Pada tahun 1947, ikan tersebut ditetapkan nama ilmiahnya yaitu Tilapia mossambica dan nama daerahnya yaitu mujair (Soeseno 1982). Ikan yang berordo Pecomorphi, famili ciclidae dan genus tilapia ini mempunyai ciri-ciri antara lain badan agak panjang dan pipih; sisik kecil-kecil; garis rusuk tidak sempurna terdiri dari 2 baris; jumlah sisik pada garis rusuk bagian atas antara 18 - 21 buah, bagian bawah antara 10 - 15 buah; hidup di air tawar, juga di air payau; mudah berkembang biak dalam semua tipe perairan; telur menetas di dalam mulut 3 - 5 hari; makanannya terdiri dari lumut-lumutan dan tumbuh-tumbuhan; dan badan berwarna kehijauan/ kecoklatan/ kehitaman (Djajadiredja, Hatimah, dan Arifin 1977). Soeseno (1982) menambahkan bahwa pada umur 3 bulan, ukuran ikan ini mencapai 8 - 10 cm, warna pada ikan betina lebih pucat keabu-abuan sedangkan yang jantan menjadi gelap hitam, rahang dan pipi bawahnya putih kuning, sedang sirip dada, punggung dan ekornya mempunyai tepi yang merah merona. Selain itu, pada umur 3 bulan ini ikan mujair betina sudah bisa dikawinkan dan selanjutnya setiap satu setengah bulan sekali ia bisa beranak lagi. Ikan pipih ini mempunyai rendemen berupa fillet sebesar 28%. Daging ikan mujair ini agak padat dan lebih kering daripada ikan mas. Kalau dimasak mudah rusak dan tak banyak duri. Lendir pelindung kulit badan ikan mujair itu tidak begitu tebal, maka tubuhnya juga mudah sekali rusak, sehingga mengurangi daya tahannya. Mujair yang sering terpegang tangan, sebentar saja akan nampak pucat dan ikan yang seperti itu tidak laku dijual (Soeseno 1982). Berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan, ikan mujair segar mempunyai komposisi kimia sebagai berikut:

Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Ikan Mujair Segar

Kandungan Zat GiziJumlah

Energi89 kal

Protein18.7 g

Lemak1 g

Karbohidrat0 g

Kalsium96 mg

Fosfor29 mg

Besi1.5 mg

Vitamin A6 RE

Vitamin C0 mg

Vitamin B0.03 mg

Air79.7 g

BDD80%

Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan (2004)

2.3.Penggorengan Penggorengan merupakan salah satu proses pemasakan yang popular karena masakan hasil penggorengan menjadi lebih gurih, berwarna lebih menarik, nilai gizi meningkat dan waktu pemasakan yang lebih cepat (Damayanthi 1994). Pada umumnya sistem menggoreng bahan pangan ada dua macam yaitu sistem gangsa (pan frying) dan menggoreng biasa (deep frying). Ciri khas dari proses gangsa adalah bahan pangan yang digoreng tidak sampai terendam minyak serta suhu pemanasan umumnya lebih rendah dari suhu pemanasan pada sistem deep frying. Pada proses penggorengan dengan sistem deep frying, bahan pangan yang digoreng terendam dalam minyak dan suhu minyak dapat mencapai 2000C - 2050C (Ketaren 1986). Pada saat penggorengan terjadi perubahan kimiawi baik pada bahan makanannya maupun pada minyak gorengnya (Damayanthi 1994). Permukaan lapisan luar akan berwarna coklat keemasan akibat penggorengan. Timbulnya warna pada permukaan bahan disebabkan oleh reaksi browning atau reaksi maillard. Tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama dan suhu menggoreng dan juga komposisi kimia pada permukaan luar bahan pangan sedangkan jenis minyak yang digunakan berpengaruh sangat kecil (Ketaren 1986). Selama proses penggorengan, sebagian minyak masuk ke dalam bahan pangan dan mengisi ruang kosong yang pada mulanya diisi oleh air. Penyerapan minyak oleh ikan pada saat penggorengan adalah sekitar 10% - 12%. Penyerapan minyak ini berfungsi untuk mengempukkan kerak (bagian luar bahan pangan) dan untuk membasahi bahan pangan yang digoreng sehingga menambah rasa lezat dan gurih (Ketaren 1986).

BAB IIIPEMBAHASAN

Ikan mujair ini termasuk ke dalam ikan berlemak rendah. Hal ini dikarenakan daging pada ikan mujair adalah daging putih. Menurut Muchtadi, et al. (2007), daging ikan segar yang berwarna putih mempunyai kadar lemak lebih rendah dibandingkan dengan daging merah. Daging merah mengandung lemak yang lebih tinggi karena terdapat lateral line tempat urat syaraf yang dilindungi lemak.Penggorengan dilakukan dengan cara deep fat frying yaitu proses penggorengan seluruh tubuh ikan mujair terendam dalam minyak goreng. Penggorengan dilakukan dengan tiga kali uji coba yaitu selama 7 menit pada suhu 1770C 1850C (3500F 3650F), 9 menit pada suhu 1710C 1820C (3400F 3600F), dan 15 menit pada suhu 1270C 1770C (2600F 3500F). Volume minyak goreng yang digunakan adalah 200 500 ml dan berat ikan mujair yang digunakan adalah 86-115 gram. Penggorengan pertama dan kedua relatif sama dengan metode penggorengan Niles (1976) yang menggunakan suhu 365-370 0F (185-188 0C) selama 5-10 menit sedangkan penggorengan ketiga relatif sama dengan metode penggorengan Susilawati (2002) dan Samsudin (2003) yaitu suhu 130_1750C selama 15 menit. Berdasarkan hasil uji coba, ikan mujair hasil penggorengan metode pertama (selama 7 menit) dikategorikan belum matang karena bagian dalam ikan mujair masih mentah tetapi bagian luar sudah kering. Hasil penggorengan dengan metode kedua (selama 9 menit) dikategorikan terlalu matang karena ikan mujair yang dihasilkan berwarna coklat tua dan terlihat uap minyak yang berlebihan dari ketel. Hal ini disebabkan karena suhu yang digunakan cukup tinggi dengan waktu yang lama sehingga panas yang dihantarkan kepada ikan mujair berlebihan. Ikan mujair yang digoreng dengan metode ketiga (selama 15 menit) dikategorikan mujair sudah matang dengan ciri-ciri bagian luar berwarna kuning kecoklatan dan daging ikan mujair sudah matang dan empuk. Selanjutnya ikan mujair yang digunakan pada penelitian utama adalah ikan mujair yang berkategori matang atau ikan mujair yang digoreng selama 15 menit pada 1270C 1770C.Protein ikan mudah rusak selama penanganan dan pengolahan seperti degradasi, denaturasi, dan koagulasi. Penyebab utama ketidakstabilan protein ikan adalah miosinnya, namun tidak semua miosin ikan bersifat tidak stabil. Kestabilan protein ini berhubungan dengan suhu tubuh dari mana miosin diperoleh. Miosin dari hewan berdarah hangat relatif stabil, sedangkan dari ikan yang hidup di daerah dingin bersifat sangat tidak stabil (Muchtadi 1989b).Mutu CernaMutu cerna protein merupakan kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam amino oleh enzim pencernaan (protease). Faktor yang dapat mempengaruhi mutu cerna protein adalah pengolahan panas misalnya reaksi maillard, faktor anti nutrisi, serta reaksi antara protein (asam amino) dengan komponen lain (Muchtadi 1989a). Menurut Damayanthi (1994), selama pengolahan berbagai reaksi antara asam amino dengan komponen-komponen lain mengakibatkan nilai gizi protein menurun. Salah satu penyebab kerusakan langsung pada asam amino akibat pemanasan membentuk asam amino baru yang tidak dapat dicerna.Mudjajanto (1991), menyatakan bahwa penggunaan suhu 180oC - 3000C seperti pada penggorengan dan pemanggangan ikan, protein yang ada akan mengalami kerusakan yang cukup besar atau terjadi rasemisasi. Protein yang mengalami rasemisasi akan kehilangan fungsi biologisnya atau mutu cerna proteinnya menurun dan juga mempunyai flavor yang berbeda.Protein akan mengalami perubahan struktur kimia akibat pemanasan atau denaturasi yaitu putusnya ikatan dalam molekul sehingga molekul protein ini akan cenderung mudah diserang oleh enzim pencernaan. Langkah awal pencernaan protein di dalam tubuh adalah denaturasi protein oleh enzim proteolitik yaitu yang terjadi di dalam lambung oleh enzim pepsin dan asam khlorida (HCl). Dengan demikian denaturasi merupakan faktor yang menguntungkan dalam sistem pencernaan protein meskipun hal ini tidak selalu berlaku secara umum (Damayanthi, 1994).

BAB IVKESIMPULAN

1. Pengolahan pada suhu 180oC - 3000C akan mengakibatkan menurunnya nilai mutu cerna protein.2. Penggorengan deep fat frying pada suhu 1270C 1770C selama 15 menit dikategorikan matang.3. Protein ikan mudah rusak selama penanganan dan pengolahan seperti degradasi, denaturasi, dan koagulasi.4. Protein yang mengalami rasemisasi akan kehilangan fungsi biologisnya atau mutu cerna proteinnya menurun dan juga mempunyai flavor yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKAAfrianto, E., dan E. Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.Djajadiredja, R., S. Hatimah, dan Z. Arifin. 1977. Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Darat Bagian I (Jenis-Jenis Ikan Ekonomis Penting). Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian. Jakarta.Damayanthi, E. 1994. Pengaruh Pengolahan terhadap Zat Gizi Bahan Pangan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.Muchtadi, D. 1989a. Petunjuk Laboratorium Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Muchtadi, D. 1989b. Protein: Sumber dan Teknologi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Muchtadi, D., M. Astawan, dan N.S. Palupi. 2006. Metabolisme Zat Gizi Pangan. Universitas Terbuka. Jakarta.Muchtadi, D., M. Astawan, dan N.S. Palupi. 2007. Pengetahuan Bahan Pangan Hewani. Universitas Terbuka. Jakarta.Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor.Mudjajanto, E.S. 1991. Pengaruh Pengolahan Pangan terhadap Zat Gizi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.Niles, K.B. 1976. Food Preparation Recipes. John Wiley & Sons, Inc. New York.Samsudin, R. 2003. Pengaruh Penggorengan Terhadap Kualitas Protein Beberapa Jenis Ikan. [Skripsi]. Jurusan Gizi Masyarakat Dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.Soeseno, S. 1982. Pemeliharaan Ikan Mujair. Cetakan ke 3. CV. Yasaguna. Jakarta.Tarwotjo, C.S. 1998. Dasar-Dasar Gizi Kuliner. Penerbit Grasindo. Jakarta.