makalah geo industri(1)
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Johann Heinrich von Thunen merupakan seorang ekonom yang menjanjikan pada abad ke-19. Von Thunen adalah seorang tuan tanah asal Mecklenburg (sebelah utara Jerman) yang merupakan pionir teori pemanfaatan tanah. Dalam buku karangannya yang berjudul Der Isolierte Staat in Beziehug suf Land Wirtshaft (1826) yang kemudian dialihbahasakan oleh Peter Hall menjadi The Isolated State to Agriculture (1966), beliau mengembangkan rumusan pertama mengenai teori ekonomi keruangan yang kemudian dihubungkan dengan teori sewa (rent).
Von Thunen mengidentifikasi perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan atas dasar perbedaan sewa lahan. Beliau menyatakan bahwa semakin dekat dengan pusat, maka harga sewa tanah akan semakin mahal, dan semakin jauh jarak dari pusat, harga sewa tanah akan semakin rendah.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dibuat dalam penulisan makalah ini ialah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah dasar-dasar dari Teori Lokasi Von Thunen?
2. Bagaimanakah relevansi Teori Lokasi Von Thunen dengan bidang industri dan
relevansi Teori Von Thunen dengan kondisi saat ini?
3. Bagaimanakah penerapan Teori Lokasi Von Thunen di Indonesia?
C. Tujuan
Tujuan dibuatnya penulisan makalah ini ialah sebagai berikut:
1. Untuk memahami dasar-dasar dari Teori Lokasi Von Thunen.
2. Untuk memahami relevansi Teori Lokasi Von Thunen dengan bidang industri dan
relevansi Teori Von Thunen dengan kondisi saat ini.
1
3. Untuk memahami penerapan Teori Lokasi Von Thunen di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar-Dasar Teori Von Thunen
Von Thunen adalah orang pertama yang membuat analitik dasar dari hubungan
antara pasar, produksi dan jarak. Dalam teorinya Von Thunen menggunakan contoh kasus
tanah pertanian. Dengan pertimbangan kegiatan pertanian memerlukan lahan yang cukup
luas dan besar, serta pertanian selalu memiliki pasar diluar wilayah pertaniannya sendiri.
Inti dari teori Von Thunen adalah, ia menitikberatkan pada 2 hal utama tentang pola
keruangan pertanian yaitu:
1) Jarak lokasi pertanian ke pasar
2) Sifat produk pertanian (keawetan, harga, beban angkut)
Pada zaman itu banyak wilayah pertanian terletak di wilayah yang tidak strategis.
Petani yang berada di lokasi jauh dari pusat pasar atau kota, harus menempuh jarak yang
cukup jauh untuk menjual hasil panennya. Padahal di zaman tersebut alat transportasi yang
digunakan untuk mengangkut hasil pertanian masih berupa gerobak yang ditarik oleh sapi,
kuda atau keledai. Biaya transportasi yang dikerahkan tidak sebanding dengan upah yang di
dapat. Hal ini menunjukkan betapa mahalnya kota sebagai pusat pasar. Dari hasil studi
inilah Von Thunen mengeluarkan teori lokasi pertanian.
Von Thunen berpendapat bahwa suatu pola produksi pertanian berhubungan
dengan pola tata guna lahan di wilayah sekitar pusat pasar atau kota. Ia mengeluarkan
asumsi-asumsi sebagai berikut :
1) Pusat pasar atau kota harus berada di lokasi paling pusat suatu wilayah
2) Setiap petani yang berada di lokasi sekitar pusat pasar atau kota akan menjual
kelebihan hasil pertaniannya ke kota, dan biaya transportasi di tanggung pihak
penjual.
2
3) Berlaku pada wilayah yang bersifat homogen secara geografis.
4) Petani cenderung akan memilih jenis tanaman yang dapat menghasilkan manfaat
dan profit maksimal. Jenis tanaman yang di tanam rata-rata mengikuti
permintaan pasar.
5) Jenis kendaraan yang digunakan memiliki kemampuan yang relatif sama (daya
angkut dan kecepatannya).
6) Biaya transportasi berbanding lurus dengan jarak. Biaya tersebut ditanggung
oleh petani, tetapi sudah dimasukkan dalam biaya penjualan.
Pola keruangan pertanian menurut Von Thunen akan berbentuk seperti lingkaran
pada gambar berikut.
Gambar tersebut terbagi 2, yang pertama mencirikan "isolated area" yang
memperlihatkan daerah yang teratur, sedangkan gambar kedua memerlihatkan adanya moda
transportasi sungai . Zona-zona yang konsentris yang dibentuk menggambarkan penggunaan
lahan sebagai berikut :
3
1) Zona kesatu yang paling mendekati kota/pasar, diusahakan tanaman yang mudah rusak
(highly perishable) seperti sayuran dan kentang (free cash cropping).
2) Zona kedua merupakan hutan dengan hasil kayu (foresting).
3) Zona ketiga menghasilkan biji-biji seperti gandum, dg hasil yang relatif tahan lama dan
ongkos transportasi murah.
4) Zona keempat merupakan lahan garapan dan rerumputan, yang ditekankan pada hasil
perahan seperti susu, mentega dan keju.
5) Zona kelima untuk pertanian yang berubah-ubah, dua sampai tiga jenis tanaman.
6) Zona keenam, berupa lahan yang paling jauh dari pusat, digunakan untuk rerumputan
dan peternakan domba dan sapi.
Inti dari teori Von Thunen adalah bahwa sewa suatu lahan akan berbeda-beda
nilainya tergantung tata guna lahannya. Lahan yang berada di dekat pusat pasar atau kota
tentunya lebih mahal di bandingkan lahan yang jauh dari pusat pasar. Karena jarak yang
makin jauh dari pusat pasar, akan meningkatkan biaya transportasi. Semua kegiatan yang
selalu perpusat pada kota menjadikan kota memiliki tata guna lahan yang menggiurkan
untuk mendapat keuntungan bagi petani, investor, pedagang, dan lain-lain. Terbukti saat ini
kota di penuhi pemandangan banyak bermunculan bangunan pertokoan, mall, industri
besar, industi kecil, perkantoran, dan pemukiman penduduk. Berbeda dengan desa,
infrastruktur yang di miliki desa masih jauh dari skala kota.
B. Relevansi Teori Von Thunen dengan Bidang Perindustrian
Di bidang industri, teori lokasi Von Thunen ini dapat diterapkan dalam hal lokasi
lahan yang disewa untuk kegiatan industri dan kesesuaian jenis industri dengan permintaan
pasar.
Harga sewa lahan di lokasi yang berdekatan dengan pusat perkotaan atau central
business District (CBD) tentunya akan lebih mahal jika dibandingkan dengan harga sewa
lahan di lokasi yang jauh dengan pusat kota. Hal ini disebabkan, industri yang terletak di
4
dekat pusat kota, produsen selaku pelaku industri akan lebih mudah untuk menjangkau
konsumen yang lebih banyak berada di pusat kota. Semakin jauh lokasi industri dari pusat
kota akan semakin besar biaya transportasi yang dikeluarkan untuk memasarkan hasil
produksinya ke konsumen. Selain jaraknya yang lebih dekat dengan konsumen sehingga
biaya transportasi untuk memasarkan hasil produksinya menjadi lebih murah, faktor
ketersediaan tenaga kerja juga mempengaruhi pemilihan lokasi industri menurut teori Von
Thunen ini. Industri yang berada di dekat pusat kota akan lebih mudah untuk memperoleh
tenaga kerja karena umumnya kota memiliki jumlah penduduk yang lebih padat
dibandingkan dengan daerah pinggiran dan desa. Selain itu, penduduk kota secara umum
memiliki pendidikan yang lebih tinggi dan memiliki kemampuan yang lebih berkualitas
dibandingkan dengan penduduk desa.
Teori Von Thunen ini juga membahas mengenai pemilihan jenis industri yang sesuai
dengan kebutuhan atau permintaan pasar. Untuk di kawasan Central Business District (CBD)
jenis industri yang dibutuhkan ialah industri jasa. Misalnya di kawasan CBD banyak
bermunculan industri jasa dibidang keuangan seperti jasa money changer mengingat di
kawasan CBD banyak pelaku bisnis yang membutuhkan jasa penukaran uang tersebut.
Industri yang bergerak dibidang kuliner juga menjamur di kawasann CBD ini sebab
kebanyakan penduduk yang tinggal di kawasan ini memiliki kesibukan yang tinggi sehingga
mereka lebih memilih untuk membeli makanan siap saji dibandingkan harus memasak
sendiri dengan alasan kepraktisan. Sedangkan untuk industri berat, seperti industri
pengolahan baja umumnya berlokasi jauh dari pusat kota untuk menghindari kebisingan
dan polusi udara yang ditimbulkan pada saat proses produksi berlangsung. Selain itu,
industri berat tersebut memilih lokasi yang berdekatan dengan bahan baku produksi
sehingga dapat menghemat biaya produksi.
C. Relevansi Teori Von Thunen Pada Masa Sekarang
Secara umum teori ini masih relevan di beberapa wilayah, terutama daerah yang
tertinggal. Minimnya sarana komunikasi dan transportasi pada suatu wilayah akan
5
membuat teori ini relevan dengan wilayah tersebut. Namun, pada kota-kota besar yang
telah maju dan mendapat berbagai sentuhan teknologi dan juga sarana transportasi yang
canggih membuat teori ini kurang relevan lagi untuk diterapkan.
Terjadinya perubahan teknologi menuju lebih hemat, praktis, dan canggih secara
umum mempengaruhi pengurangan peranan pusat kota atau Central Business District
(CBD), melainkan mendatangkan keuntungan bagi daerah di luar kawasan CBD. Dengan
adanya kemajuan teknologi, sarana dan prasarana transportasi menjadi lebih baik dan lebih
menghemat waktu sehigga biaya transportasi sudah tidak begitu dipermasalahkan.
Harga sewa atau jual lahan di sekitar kawasan CBD sangat menjadi sangat mahal
sehingga mendorong pelaku industri untuk mencari lokasi yang berada di luar kawasan CBD
dengan agar mendapatkan harga lahan yang lebih murah. Selain itu, saat sekarang ini,
jumlah tenaga kerja di pedesaan sudah cukup banyak dan lebih murah. Pertumbuhan
industri di luar kawasan CBD lebih meningkat sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan
daerah tersebut dan mendorong daerah itu menjadi sub-perkotaan. Kawasan di luar CBD
menjadi lebih padat . Dengan demikian pemasaran produk tidak hanya terfokus pada
pusat-pusat kota melainkan dapat dipasarkan di sub-perkotaan dengan biaya produksi yang
lebih murah. Seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, pada umumnya tidak hanya terdapat
satu market center tetapi sudah bermunculan dua atau lebih pusat pasar dimana produsen
dapat menjual hasil produksinya ke konsumen.
D. Penerapan Teori Lokasi Von Thunen Pada Kawasan Perbatasan Kalimantan
Timur – Malaysia (Perbatasan Sebatik – Tawau).
Gambaran Umum Pulau Sebatik
Pulau ini terletak di dua negara, bagian utaranya masuk kedalam wilayah Negara
Malaysia dan bagian selatannya masuk kedalam wilayah Indonesia. Sehingga sebelah
utara Pulau yang berada di kawasan Kalimantan Timur ini berbatasan langsung dengan
Malaysia dimana dibagi menjadi Kecamatan Sebatik dan Sebatik Barat dengan total luas
6
246,61 km2. Letak geografis tersebut merupakan potensi besar bagi daerah ini untuk
mengembangkan jalinan hubungan internasional dengan dunia luar khususnya negara
Malaysia, sehingga mampu memcerminkan kemajuan pembangunan di wilayah
Republik Indonesia. Kawasan perbatasan Kalimantan memiliki aksesibilitas yang tinggi
terhadap kota-kota di Malaysia seperti Kota Tawau, sedangkan aksesibilitas antar kota-
kota di Kalimantan Timur sendiri masih sangat rendah. Kepadatan penduduk tertinggi
terdapat di Kecamatan Sebatik sebesar 194,24 jiwa/km2, kemudian di Kecamatan
Sebatik Barat sebesar 77,56 jiwa/km2.
Secara keseluruhan, persentase penduduk yang bekerja menurut lapangan
pekerjaan utama tahun 2010 yang paling banyak pada sektor pertambangan penggalian,
pertanian dan perdagangan dengan persentase masing-masing untuk pertambangan
7
sebesar 51,478 %, pertanian sebesar 24,823 % dan perdagangan 11,277 %. Persentase
penduduk yang bekerja pada sektor keuangan, listrik, gas dan air minum, bangunan,
komunikasi/transportasi, listrik, gas dan air serta yang lainnya sebesar 0 % - 5 %.
Selain itu dari segi transportasi, untuk menjangkau Kota Tarakan dibutuhkan
waktu sekitar 3 jam dengan keberangkatan pada waktu tertentu, sedangkan untuk
menjangkau Kota Nunukan harus melakukan perjalanan darat selama 2 jam kemudian
ke dermaga Bambangan dan menempuh Kota Nunukan sekitar 15 menit. Dermaga yang
ada di Sebatik yaitu Sungai Nyamuk dimana selain bisa menjangkau Tarakan bisa
menjangkau Tawau, Malaysia. Sedangkan untuk menempuh perjalanan ke Tawau cukup
perjalanan 15 menit menggunakan speedboat, dan jam keberangkatan pun dari pagi
hingga sore. Oleh karena itu, tidak mengherankan masyarakat Sebatik memilih
melakukan aktivitas ekonomi ke Tawau dibanding ke Tarakan atau kota-kota lainnya di
Kalimantan Timur (Noveria, 2006:35).
Aplikasi Teori Von Thunen
Sebenarnya pusat kota di Kabupaten Nunukan yaitu di Kecamatan Nunukan,
sedangkan Kecamatan Sebatik lebih bersifat sebagai daerah yang memproduksi hasil
komoditas pertanian atau perkebunan. Hasil komoditas yang masih berupa barang
mentah dari Sebatik diekspor ke Malaysia kemudian diolah menjadi barang jadi yang
kemudian dibeli dari Malaysia. Hasil komoditas pertanian di Sebatik berupa padi sawah,
sedangkan hasil bumi lainnya yaitu kelapa sawit, kakao, pisang, sayur-sayuran, dan ikan,
dimana hasil komoditas tersebut dijual ke Malaysia (Tawau/Sebatik Malaysia),
sedangkan kebutuhan sehari-hari seperti gula, telur, elpiji, minyak goreng, hingga daging
sapi dibeli oleh masyarakat Sebatik dari Malaysia. Misalnya, kelapa sawit dari Sebatik
kemudian diolah di Malaysia menjadi minyak goreng yang kemudian dibeli lagi oleh
masyarakat Sebatik untuk kebutuhan sehari-hari. Masyarakat Sebatik menjual hasil
bumi ke Tawau karena pasar yang lebih menjanjikan, misalnya untuk kelapa sawit,
pabrik pengolahan di Tawau menawarkan harga sekitar 600 RM atau Rp 1,7 juta per ton
8
tandan buah segar (TBS), sedangkan pabrik di Semanggaris, Nunukan, hanya berani
membeli Rp 1 juta per ton TBS (Susilo, 2011).
Hal tersebut menyebabkan aktivitas Sebatik dan Tawau lebih tinggi bila
dibandingkan Sebatik dengan kota lain di Kalimantan Timur. Adanya aksesibilitas yang
tinggi ke Malaysia, maka produk yang ada di Sebatik didominasi oleh produk-produk
Malaysia, mulai dari makanan, minuman (susu, minuman coklat), barang keperluan
rumah tangga, seperti gula, minyak goreng, gas untuk memasak, ember, dan lain-lain.
Sangat sedikit sekali masyarakat Sebatik yang mengambil barang jadi dari Nunukan,
ataupun menjual hasil pertanian/perkebunan ke Nunukan. Bahkan, yang seharusnya
masyarakat Nunukan menikmati hasil pertanian Sebatik justru harus menikmati hasil
pertanian dari daerah lain yaitu dari Pare-Pare, Sulawesi Selatan (Ruru, 2011).
Pada bagian sebelumnya telah disebutkan mengenai enam asumsi Von Thunen
dalam penerapan teorinya. Pada teori tersebut masih bisa berlaku di Sebatik, dimana
beberapa asumsi dari Teori Von Thunen membentuk guna lahan di Sebatik. Pada asumsi
pertama, Sebatik merupakan daerah terpencil karena sulit untuk mengakses kota-kota
besar di Kalimantan Timur, apalagi pada jarak yang dekat, seperti Nunukan dan Tarakan,
sedangkan potensi sumberdaya alam Sebatik bisa untuk memenuhi daerahnya dan
daerah lainnya. Akan tetapi, potensi tersebut justru untuk memenuhi kebutuhan negara
tetangga. Pada asumsi kedua, sudah sesuai dengan kondisi di Sebatik, dimana Sebatik
tidak menerima penjualan pertanian dari daerah lain, akan tetapi Sebatik hanya
menerima penjualan barang-barang yang telah diolah dan menjual hasil pertaniannya ke
daerah perkotaan yaitu ke Kota Tawau, Malaysia. Sedangkan asumsi ketiga juga sesuai
karena Sebatik datarannya homogen. Sebagian besar masyarakat Sebatik bekerja
sebagai petani seperti pada asumsi keempat, dan petani berusaha mencari keuntungan
dari hasil pertanian yang dijual ke Tawau. Pada asumsi kelima, tidak berlaku lagi
angkutan darat untuk mengangkut hasil komoditas, karena pengangkutan dilakukan
9
dengan angkutan laut. Pada asumsi keenam, biaya ditanggung oleh petani, tetapi sudah
dimasukkan dalam biaya penjualan.
Gambar penggunaan lahan Pulau Sibatik dan
diagram teori lokasi Von Thunen
Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya teori Von Thunen masih
bisa diaplikasikan di Sebatik sebagai daerah yang terpencil. Masyarakat Sebatik tidak
menjual hasil pertaniannya ke Nunukan, Tarakan, atau kota besar lainnya, karena jarak yang
ditempuh cukup jauh. Apabila dilakukan penjualan pada jarak yang jauh, maka keuntungan
yang diperoleh juga sedikit, sedangkan pada jarak dengan pasar yang dekat, dalam hal ini
adalah Tawau, maka akan memperoleh keuntungan yang besar. Misalnya saja diterapkan
harga komoditas sesuai jarak tempuh transportasi, maka semakin jauh lokasi pemasaran
maka akan semakin mahal juga harga jualnya, sedangkan belum tentu daerah pemasaran
10
yang dituju akan membeli dengan harga yang tinggi tersebut seperti yang diungkapkan
Susilo (2011), bahwa pedagang kelapa sawit di Sebatik lebih memilih menjual hasil
perkebunannya di Tawau karena memperoleh hasil jual Rp 1,7 juta per ton tandan buah
segar (TBS), sedangkan di Nunukan hanya membeli Rp 1 juta per ton TBS. Dalam jarak yang
dekat pedagang Sebatik sudah memperoleh harga jual yang lebih tinggi daripada menjual
dagangan pada jarak yang jauh. Oleh karena itu, bila ingin meningkatkan pemasaran hasil
komoditas di Sebatik, maka perlu perbaikan prasarana transportasi/jaringan jalan antara
penyedia bahan baku dengan pasar/wilayah lainnya, sehingga aksesibiltas antar daerah
semakin tinggi. Dengan akses yang cepat ke daerah lainnya kemungkinan hasil penjualan
juga akan meningkat.
11
KESIMPULAN
Von Thunen adalah orang pertama yang membuat analitik dasar dari hubungan
antara pasar, produksi dan jarak. Dalam teorinya Von Thunen menggunakan contoh kasus
tanah pertanian. Dengan pertimbangan kegiatan pertanian memerlukan lahan yang cukup luas
dan besar, serta pertanian selalu memiliki pasar diluar wilayah pertaniannya sendiri. Inti dari
teori Von Thunen adalah, ia menitikberatkan pada 2 hal utama tentang pola keruangan
pertanian yaitu:
1) Jarak lokasi pertanian ke pasar
2) Sifat produk pertanian (keawetan, harga, beban angkut)
Inti dari teori Von Thunen adalah bahwa sewa suatu lahan akan berbeda-beda nilainya
tergantung tata guna lahannya. Lahan yang berada di dekat pusat pasar atau kota tentunya
lebih mahal di bandingkan lahan yang jauh dari pusat pasar. Karena jarak yang makin jauh dari
pusat pasar, akan meningkatkan biaya transportasi. Semua kegiatan yang selalu perpusat pada
kota menjadikan kota memiliki tata guna lahan yang menggiurkan untuk mendapat keuntungan
bagi petani, investor, pedagang, dan lain-lain.
Di bidang industri, teori lokasi Von Thunen ini dapat diterapkan dalam hal lokasi lahan
yang disewa untuk kegiatan industri dan kesesuaian jenis industri dengan permintaan pasar.
Teori Von Thunen ini juga membahas mengenai pemilihan jenis industri yang sesuai dengan
kebutuhan atau permintaan pasar. Untuk di kawasan Central Business District (CBD) jenis
industri yang dibutuhkan ialah industri jasa.
Enam asumsi Von Thunen dalam penerapannya yang berlaku di Sebatik, dimana
beberapa asumsi dari Teori Von Thunen membentuk guna lahan di Sebatik. Pada asumsi
12
pertama, Sebatik merupakan daerah terpencil karena sulit untuk mengakses kota-kota besar di
Kalimantan Timur, apalagi pada jarak yang dekat, seperti Nunukan dan Tarakan, sedangkan
potensi sumberdaya alam Sebatik bisa untuk memenuhi daerahnya dan daerah lainnya. Akan
tetapi, potensi tersebut justru untuk memenuhi kebutuhan negara tetangga. Pada asumsi
kedua, sudah sesuai dengan kondisi di Sebatik, dimana Sebatik tidak menerima penjualan
pertanian dari daerah lain, akan tetapi Sebatik hanya menerima penjualan barang-barang yang
telah diolah dan menjual hasil pertaniannya ke daerah perkotaan yaitu ke Kota Tawau,
Malaysia, seperti pada asumsi ketiga. Sedangkan asumsi ke empat juga sesuai karena Sebatik
datarannya homogen. Sebagian besar masyarakat Sebatik bekerja sebagai petani seperti pada
asumsi kelima, dan petani berusaha mencari keuntungan dari hasil pertanian yang dijual ke
Tawau. Pada asumsi keenam, tidak berlaku lagi angkutan darat untuk mengangkut hasil
komoditas, karena pengangkutan dilakukan dengan angkutan laut. Pada asumsi ke tujuh, biaya
ditanggung oleh petani, tetapi sudah dimasukkan dalam biaya penjualan.
13
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, William. 2013. Teori Von Thunen dan Aplikasinya. (online)
http://atmajaindustries.blogspot.com/2013/07/teori-von-thunen-aplikasinya.html?m=1.
Diakses tanggal 15 Maret 2014 jam 08.15 WIB.
Bachri, Saiful. 2007. Evaluasi Lokasi Lahan Industri di Kota Kragilan Kabupaten Serang. Tesis
Program Pasca Sarjana. Universitas Diponegoro
Lyeta. 2011. PENERAPAN TEORI LOKASI VON THUNEN PADA KAWASAN PERBATASAN
KALIMANTAN TIMUR – MALAYSIA (Studi Kasus: Perbatasan Sebatik – Tawau). (online)
http://lyeta12.blogspot.com/2011/12/penerapan-teori-lokasi-von-thunen-pada.html?m=1.
Diakses tanggal 16 Maret 2014 jam 07.30 WIB
Sibet. 2010. Teori Lokasi Johann Heinrich Von Thunen . (online) http://sibet.blogspot.com/teori-
lokasi-johann-heinrich-von-thunen.html?m=1. Diakses tanggal 15 Maret 2014 jam 06.40
WIB.
14