makalah geo industri(1)

20
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Johann Heinrich von Thunen merupakan seorang ekonom yang menjanjikan pada abad ke-19. Von Thunen adalah seorang tuan tanah asal Mecklenburg (sebelah utara Jerman) yang merupakan pionir teori pemanfaatan tanah. Dalam buku karangannya yang berjudul Der Isolierte Staat in Beziehug suf Land Wirtshaft (1826) yang kemudian dialihbahasakan oleh Peter Hall menjadi The Isolated State to Agriculture (1966), beliau mengembangkan rumusan pertama mengenai teori ekonomi keruangan yang kemudian dihubungkan dengan teori sewa (rent). Von Thunen mengidentifikasi perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan atas dasar perbedaan sewa lahan. Beliau menyatakan bahwa semakin dekat dengan pusat, maka harga sewa tanah akan semakin mahal, dan semakin jauh jarak dari pusat, harga sewa tanah akan semakin rendah. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang dibuat dalam penulisan makalah ini ialah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah dasar-dasar dari Teori Lokasi Von Thunen? 2. Bagaimanakah relevansi Teori Lokasi Von Thunen dengan bidang industri dan relevansi Teori Von Thunen dengan kondisi saat ini? 1

Upload: naufal-faruq

Post on 28-Dec-2015

105 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Johann Heinrich von Thunen merupakan seorang ekonom yang menjanjikan pada abad ke-19. Von Thunen adalah seorang tuan tanah asal Mecklenburg (sebelah utara Jerman) yang merupakan pionir teori pemanfaatan tanah. Dalam buku karangannya yang berjudul Der Isolierte Staat in Beziehug suf Land Wirtshaft (1826) yang kemudian dialihbahasakan oleh Peter Hall menjadi The Isolated State to Agriculture (1966), beliau mengembangkan rumusan pertama mengenai teori ekonomi keruangan yang kemudian dihubungkan dengan teori sewa (rent).

Von Thunen mengidentifikasi perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan atas dasar perbedaan sewa lahan. Beliau menyatakan bahwa semakin dekat dengan pusat, maka harga sewa tanah akan semakin mahal, dan semakin jauh jarak dari pusat, harga sewa tanah akan semakin rendah.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dibuat dalam penulisan makalah ini ialah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah dasar-dasar dari Teori Lokasi Von Thunen?

2. Bagaimanakah relevansi Teori Lokasi Von Thunen dengan bidang industri dan

relevansi Teori Von Thunen dengan kondisi saat ini?

3. Bagaimanakah penerapan Teori Lokasi Von Thunen di Indonesia?

C. Tujuan

Tujuan dibuatnya penulisan makalah ini ialah sebagai berikut:

1. Untuk memahami dasar-dasar dari Teori Lokasi Von Thunen.

2. Untuk memahami relevansi Teori Lokasi Von Thunen dengan bidang industri dan

relevansi Teori Von Thunen dengan kondisi saat ini.

1

3. Untuk memahami penerapan Teori Lokasi Von Thunen di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar-Dasar Teori Von Thunen

Von Thunen adalah orang pertama yang membuat analitik dasar dari hubungan

antara pasar, produksi dan jarak. Dalam teorinya Von Thunen menggunakan contoh kasus

tanah pertanian. Dengan pertimbangan kegiatan pertanian memerlukan lahan yang cukup

luas dan besar, serta pertanian selalu memiliki pasar diluar wilayah pertaniannya sendiri.

Inti dari teori Von Thunen adalah, ia menitikberatkan pada 2 hal utama tentang pola

keruangan pertanian yaitu:

1) Jarak lokasi pertanian ke pasar

2) Sifat produk pertanian (keawetan, harga, beban angkut)

Pada zaman itu banyak wilayah pertanian terletak di wilayah yang tidak strategis.

Petani yang berada di lokasi jauh dari pusat pasar atau kota, harus menempuh jarak yang

cukup jauh untuk menjual hasil panennya. Padahal di zaman tersebut alat transportasi yang

digunakan untuk mengangkut hasil pertanian masih berupa gerobak yang ditarik oleh sapi,

kuda atau keledai. Biaya transportasi yang dikerahkan tidak sebanding dengan upah yang di

dapat. Hal ini menunjukkan betapa mahalnya kota sebagai pusat pasar. Dari hasil studi

inilah Von Thunen mengeluarkan teori lokasi pertanian.

Von Thunen berpendapat bahwa suatu pola produksi pertanian berhubungan

dengan pola tata guna lahan di wilayah sekitar pusat pasar atau kota. Ia mengeluarkan

asumsi-asumsi sebagai berikut :

1) Pusat pasar atau kota harus berada di lokasi paling pusat suatu wilayah

2) Setiap petani yang berada di lokasi sekitar pusat pasar atau kota akan menjual

kelebihan hasil pertaniannya ke kota, dan biaya transportasi di tanggung pihak

penjual.

2

3) Berlaku pada wilayah yang bersifat homogen secara geografis.

4) Petani cenderung akan memilih jenis tanaman yang dapat menghasilkan manfaat

dan profit maksimal. Jenis tanaman yang di tanam rata-rata mengikuti

permintaan pasar.

5) Jenis kendaraan yang digunakan memiliki kemampuan yang relatif sama (daya

angkut dan kecepatannya).

6) Biaya transportasi berbanding lurus dengan jarak. Biaya tersebut ditanggung

oleh petani, tetapi sudah dimasukkan dalam biaya penjualan.

Pola keruangan pertanian menurut Von Thunen akan berbentuk seperti lingkaran

pada gambar berikut.

Gambar tersebut terbagi 2, yang pertama mencirikan "isolated area" yang

memperlihatkan daerah yang teratur, sedangkan gambar kedua memerlihatkan adanya moda

transportasi sungai . Zona-zona yang konsentris yang dibentuk menggambarkan penggunaan

lahan sebagai berikut :

3

1) Zona kesatu yang paling mendekati kota/pasar, diusahakan tanaman yang mudah rusak

(highly perishable) seperti sayuran dan kentang (free cash cropping).

2) Zona kedua merupakan hutan dengan hasil kayu (foresting).

3) Zona ketiga menghasilkan biji-biji seperti gandum, dg hasil yang relatif tahan lama dan

ongkos transportasi murah.

4) Zona keempat merupakan lahan garapan dan rerumputan, yang ditekankan pada hasil

perahan seperti susu, mentega dan keju.

5) Zona kelima untuk pertanian yang berubah-ubah, dua sampai tiga jenis tanaman.

6) Zona keenam, berupa lahan yang paling jauh dari pusat, digunakan untuk rerumputan

dan peternakan domba dan sapi.

Inti dari teori Von Thunen adalah bahwa sewa suatu lahan akan berbeda-beda

nilainya tergantung tata guna lahannya. Lahan yang berada di dekat pusat pasar atau kota

tentunya lebih mahal di bandingkan lahan yang jauh dari pusat pasar. Karena jarak yang

makin jauh dari pusat pasar, akan meningkatkan biaya transportasi. Semua kegiatan yang

selalu perpusat pada kota menjadikan kota memiliki tata guna lahan yang menggiurkan

untuk mendapat keuntungan bagi petani, investor, pedagang, dan lain-lain. Terbukti saat ini

kota di penuhi pemandangan banyak bermunculan bangunan pertokoan, mall, industri

besar, industi kecil, perkantoran, dan pemukiman penduduk. Berbeda dengan desa,

infrastruktur yang di miliki desa masih jauh dari skala kota.

B. Relevansi Teori Von Thunen dengan Bidang Perindustrian

Di bidang industri, teori lokasi Von Thunen ini dapat diterapkan dalam hal lokasi

lahan yang disewa untuk kegiatan industri dan kesesuaian jenis industri dengan permintaan

pasar.

Harga sewa lahan di lokasi yang berdekatan dengan pusat perkotaan atau central

business District (CBD) tentunya akan lebih mahal jika dibandingkan dengan harga sewa

lahan di lokasi yang jauh dengan pusat kota. Hal ini disebabkan, industri yang terletak di

4

dekat pusat kota, produsen selaku pelaku industri akan lebih mudah untuk menjangkau

konsumen yang lebih banyak berada di pusat kota. Semakin jauh lokasi industri dari pusat

kota akan semakin besar biaya transportasi yang dikeluarkan untuk memasarkan hasil

produksinya ke konsumen. Selain jaraknya yang lebih dekat dengan konsumen sehingga

biaya transportasi untuk memasarkan hasil produksinya menjadi lebih murah, faktor

ketersediaan tenaga kerja juga mempengaruhi pemilihan lokasi industri menurut teori Von

Thunen ini. Industri yang berada di dekat pusat kota akan lebih mudah untuk memperoleh

tenaga kerja karena umumnya kota memiliki jumlah penduduk yang lebih padat

dibandingkan dengan daerah pinggiran dan desa. Selain itu, penduduk kota secara umum

memiliki pendidikan yang lebih tinggi dan memiliki kemampuan yang lebih berkualitas

dibandingkan dengan penduduk desa.

Teori Von Thunen ini juga membahas mengenai pemilihan jenis industri yang sesuai

dengan kebutuhan atau permintaan pasar. Untuk di kawasan Central Business District (CBD)

jenis industri yang dibutuhkan ialah industri jasa. Misalnya di kawasan CBD banyak

bermunculan industri jasa dibidang keuangan seperti jasa money changer mengingat di

kawasan CBD banyak pelaku bisnis yang membutuhkan jasa penukaran uang tersebut.

Industri yang bergerak dibidang kuliner juga menjamur di kawasann CBD ini sebab

kebanyakan penduduk yang tinggal di kawasan ini memiliki kesibukan yang tinggi sehingga

mereka lebih memilih untuk membeli makanan siap saji dibandingkan harus memasak

sendiri dengan alasan kepraktisan. Sedangkan untuk industri berat, seperti industri

pengolahan baja umumnya berlokasi jauh dari pusat kota untuk menghindari kebisingan

dan polusi udara yang ditimbulkan pada saat proses produksi berlangsung. Selain itu,

industri berat tersebut memilih lokasi yang berdekatan dengan bahan baku produksi

sehingga dapat menghemat biaya produksi.

C. Relevansi Teori Von Thunen Pada Masa Sekarang

Secara umum teori ini masih relevan di beberapa wilayah, terutama daerah yang

tertinggal. Minimnya sarana komunikasi dan transportasi pada suatu wilayah akan

5

membuat teori ini relevan dengan wilayah tersebut. Namun, pada kota-kota besar yang

telah maju dan mendapat berbagai sentuhan teknologi dan juga sarana transportasi yang

canggih membuat teori ini kurang relevan lagi untuk diterapkan.

Terjadinya perubahan teknologi menuju lebih hemat, praktis, dan canggih secara

umum mempengaruhi pengurangan peranan pusat kota atau Central Business District

(CBD), melainkan mendatangkan keuntungan bagi daerah di luar kawasan CBD. Dengan

adanya kemajuan teknologi, sarana dan prasarana transportasi menjadi lebih baik dan lebih

menghemat waktu sehigga biaya transportasi sudah tidak begitu dipermasalahkan.

Harga sewa atau jual lahan di sekitar kawasan CBD sangat menjadi sangat mahal

sehingga mendorong pelaku industri untuk mencari lokasi yang berada di luar kawasan CBD

dengan agar mendapatkan harga lahan yang lebih murah. Selain itu, saat sekarang ini,

jumlah tenaga kerja di pedesaan sudah cukup banyak dan lebih murah. Pertumbuhan

industri di luar kawasan CBD lebih meningkat sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan

daerah tersebut dan mendorong daerah itu menjadi sub-perkotaan. Kawasan di luar CBD

menjadi lebih padat . Dengan demikian pemasaran produk tidak hanya terfokus pada

pusat-pusat kota melainkan dapat dipasarkan di sub-perkotaan dengan biaya produksi yang

lebih murah. Seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, pada umumnya tidak hanya terdapat

satu market center tetapi sudah bermunculan dua atau lebih pusat pasar dimana produsen

dapat menjual hasil produksinya ke konsumen.

D. Penerapan Teori Lokasi Von Thunen Pada Kawasan Perbatasan Kalimantan

Timur – Malaysia (Perbatasan Sebatik – Tawau).

Gambaran Umum Pulau Sebatik

Pulau ini terletak di dua negara, bagian utaranya masuk kedalam wilayah Negara

Malaysia dan bagian selatannya masuk kedalam wilayah Indonesia. Sehingga sebelah

utara Pulau yang berada di kawasan Kalimantan Timur ini berbatasan langsung dengan

Malaysia dimana dibagi menjadi Kecamatan Sebatik dan Sebatik Barat dengan total luas

6

246,61 km2. Letak geografis tersebut merupakan potensi besar bagi daerah ini untuk

mengembangkan jalinan hubungan internasional dengan dunia luar khususnya negara

Malaysia, sehingga mampu memcerminkan kemajuan pembangunan di wilayah

Republik Indonesia. Kawasan perbatasan Kalimantan memiliki aksesibilitas yang tinggi

terhadap kota-kota di Malaysia seperti Kota Tawau, sedangkan aksesibilitas antar kota-

kota di Kalimantan Timur sendiri masih sangat rendah. Kepadatan penduduk tertinggi

terdapat di Kecamatan Sebatik sebesar 194,24 jiwa/km2, kemudian di Kecamatan

Sebatik Barat sebesar 77,56 jiwa/km2.

Secara keseluruhan, persentase penduduk yang bekerja menurut lapangan

pekerjaan utama tahun 2010 yang paling banyak pada sektor pertambangan penggalian,

pertanian dan perdagangan dengan persentase masing-masing untuk pertambangan

7

sebesar 51,478 %, pertanian sebesar 24,823 % dan perdagangan 11,277 %. Persentase

penduduk yang bekerja pada sektor keuangan, listrik, gas dan air minum, bangunan,

komunikasi/transportasi, listrik, gas dan air serta yang lainnya sebesar 0 % - 5 %.

Selain itu dari segi transportasi, untuk menjangkau Kota Tarakan dibutuhkan

waktu sekitar 3 jam dengan keberangkatan pada waktu tertentu, sedangkan untuk

menjangkau Kota Nunukan harus melakukan perjalanan darat selama 2 jam kemudian

ke dermaga Bambangan dan menempuh Kota Nunukan sekitar 15 menit. Dermaga yang

ada di Sebatik yaitu Sungai Nyamuk dimana selain bisa menjangkau Tarakan bisa

menjangkau Tawau, Malaysia. Sedangkan untuk menempuh perjalanan ke Tawau cukup

perjalanan 15 menit menggunakan speedboat, dan jam keberangkatan pun dari pagi

hingga sore. Oleh karena itu, tidak mengherankan masyarakat Sebatik memilih

melakukan aktivitas ekonomi ke Tawau dibanding ke Tarakan atau kota-kota lainnya di

Kalimantan Timur (Noveria, 2006:35).

Aplikasi Teori Von Thunen

Sebenarnya pusat kota di Kabupaten Nunukan yaitu di Kecamatan Nunukan,

sedangkan Kecamatan Sebatik lebih bersifat sebagai daerah yang memproduksi hasil

komoditas pertanian atau perkebunan. Hasil komoditas yang masih berupa barang

mentah dari Sebatik diekspor ke Malaysia kemudian diolah menjadi barang jadi yang

kemudian dibeli dari Malaysia. Hasil komoditas pertanian di Sebatik berupa padi sawah,

sedangkan hasil bumi lainnya yaitu kelapa sawit, kakao, pisang, sayur-sayuran, dan ikan,

dimana hasil komoditas tersebut dijual ke Malaysia (Tawau/Sebatik Malaysia),

sedangkan kebutuhan sehari-hari seperti gula, telur, elpiji, minyak goreng, hingga daging

sapi dibeli oleh masyarakat Sebatik dari Malaysia. Misalnya, kelapa sawit dari Sebatik

kemudian diolah di Malaysia menjadi minyak goreng yang kemudian dibeli lagi oleh

masyarakat Sebatik untuk kebutuhan sehari-hari. Masyarakat Sebatik menjual hasil

bumi ke Tawau karena pasar yang lebih menjanjikan, misalnya untuk kelapa sawit,

pabrik pengolahan di Tawau menawarkan harga sekitar 600 RM atau Rp 1,7 juta per ton

8

tandan buah segar (TBS), sedangkan pabrik di Semanggaris, Nunukan, hanya berani

membeli Rp 1 juta per ton TBS (Susilo, 2011).

Hal tersebut menyebabkan aktivitas Sebatik dan Tawau lebih tinggi bila

dibandingkan Sebatik dengan kota lain di Kalimantan Timur. Adanya aksesibilitas yang

tinggi ke Malaysia, maka produk yang ada di Sebatik didominasi oleh produk-produk

Malaysia, mulai dari makanan, minuman (susu, minuman coklat), barang keperluan

rumah tangga, seperti gula, minyak goreng, gas untuk memasak, ember, dan lain-lain.

Sangat sedikit sekali masyarakat Sebatik yang mengambil barang jadi dari Nunukan,

ataupun menjual hasil pertanian/perkebunan ke Nunukan. Bahkan, yang seharusnya

masyarakat Nunukan menikmati hasil pertanian Sebatik justru harus menikmati hasil

pertanian dari daerah lain yaitu dari Pare-Pare, Sulawesi Selatan (Ruru, 2011).

Pada bagian sebelumnya telah disebutkan mengenai enam asumsi Von Thunen

dalam penerapan teorinya. Pada teori tersebut masih bisa berlaku di Sebatik, dimana

beberapa asumsi dari Teori Von Thunen membentuk guna lahan di Sebatik. Pada asumsi

pertama, Sebatik merupakan daerah terpencil karena sulit untuk mengakses kota-kota

besar di Kalimantan Timur, apalagi pada jarak yang dekat, seperti Nunukan dan Tarakan,

sedangkan potensi sumberdaya alam Sebatik bisa untuk memenuhi daerahnya dan

daerah lainnya. Akan tetapi, potensi tersebut justru untuk memenuhi kebutuhan negara

tetangga. Pada asumsi kedua, sudah sesuai dengan kondisi di Sebatik, dimana Sebatik

tidak menerima penjualan pertanian dari daerah lain, akan tetapi Sebatik hanya

menerima penjualan barang-barang yang telah diolah dan menjual hasil pertaniannya ke

daerah perkotaan yaitu ke Kota Tawau, Malaysia. Sedangkan asumsi ketiga juga sesuai

karena Sebatik datarannya homogen. Sebagian besar masyarakat Sebatik bekerja

sebagai petani seperti pada asumsi keempat, dan petani berusaha mencari keuntungan

dari hasil pertanian yang dijual ke Tawau. Pada asumsi kelima, tidak berlaku lagi

angkutan darat untuk mengangkut hasil komoditas, karena pengangkutan dilakukan

9

dengan angkutan laut. Pada asumsi keenam, biaya ditanggung oleh petani, tetapi sudah

dimasukkan dalam biaya penjualan.

Gambar penggunaan lahan Pulau Sibatik dan

diagram teori lokasi Von Thunen

Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya teori Von Thunen masih

bisa diaplikasikan di Sebatik sebagai daerah yang terpencil. Masyarakat Sebatik tidak

menjual hasil pertaniannya ke Nunukan, Tarakan, atau kota besar lainnya, karena jarak yang

ditempuh cukup jauh. Apabila dilakukan penjualan pada jarak yang jauh, maka keuntungan

yang diperoleh juga sedikit, sedangkan pada jarak dengan pasar yang dekat, dalam hal ini

adalah Tawau, maka akan memperoleh keuntungan yang besar. Misalnya saja diterapkan

harga komoditas sesuai jarak tempuh transportasi, maka semakin jauh lokasi pemasaran

maka akan semakin mahal juga harga jualnya, sedangkan belum tentu daerah pemasaran

10

yang dituju akan membeli dengan harga yang tinggi tersebut seperti yang diungkapkan

Susilo (2011), bahwa pedagang kelapa sawit di Sebatik lebih memilih menjual hasil

perkebunannya di Tawau karena memperoleh hasil jual Rp 1,7 juta per ton tandan buah

segar (TBS), sedangkan di Nunukan hanya membeli Rp 1 juta per ton TBS. Dalam jarak yang

dekat pedagang Sebatik sudah memperoleh harga jual yang lebih tinggi daripada menjual

dagangan pada jarak yang jauh. Oleh karena itu, bila ingin meningkatkan pemasaran hasil

komoditas di Sebatik, maka perlu perbaikan prasarana transportasi/jaringan jalan antara

penyedia bahan baku dengan pasar/wilayah lainnya, sehingga aksesibiltas antar daerah

semakin tinggi. Dengan akses yang cepat ke daerah lainnya kemungkinan hasil penjualan

juga akan meningkat.

11

KESIMPULAN

Von Thunen adalah orang pertama yang membuat analitik dasar dari hubungan

antara pasar, produksi dan jarak. Dalam teorinya Von Thunen menggunakan contoh kasus

tanah pertanian. Dengan pertimbangan kegiatan pertanian memerlukan lahan yang cukup luas

dan besar, serta pertanian selalu memiliki pasar diluar wilayah pertaniannya sendiri. Inti dari

teori Von Thunen adalah, ia menitikberatkan pada 2 hal utama tentang pola keruangan

pertanian yaitu:

1) Jarak lokasi pertanian ke pasar

2) Sifat produk pertanian (keawetan, harga, beban angkut)

Inti dari teori Von Thunen adalah bahwa sewa suatu lahan akan berbeda-beda nilainya

tergantung tata guna lahannya. Lahan yang berada di dekat pusat pasar atau kota tentunya

lebih mahal di bandingkan lahan yang jauh dari pusat pasar. Karena jarak yang makin jauh dari

pusat pasar, akan meningkatkan biaya transportasi. Semua kegiatan yang selalu perpusat pada

kota menjadikan kota memiliki tata guna lahan yang menggiurkan untuk mendapat keuntungan

bagi petani, investor, pedagang, dan lain-lain.

Di bidang industri, teori lokasi Von Thunen ini dapat diterapkan dalam hal lokasi lahan

yang disewa untuk kegiatan industri dan kesesuaian jenis industri dengan permintaan pasar.

Teori Von Thunen ini juga membahas mengenai pemilihan jenis industri yang sesuai dengan

kebutuhan atau permintaan pasar. Untuk di kawasan Central Business District (CBD) jenis

industri yang dibutuhkan ialah industri jasa.

Enam asumsi Von Thunen dalam penerapannya yang berlaku di Sebatik, dimana

beberapa asumsi dari Teori Von Thunen membentuk guna lahan di Sebatik. Pada asumsi

12

pertama, Sebatik merupakan daerah terpencil karena sulit untuk mengakses kota-kota besar di

Kalimantan Timur, apalagi pada jarak yang dekat, seperti Nunukan dan Tarakan, sedangkan

potensi sumberdaya alam Sebatik bisa untuk memenuhi daerahnya dan daerah lainnya. Akan

tetapi, potensi tersebut justru untuk memenuhi kebutuhan negara tetangga. Pada asumsi

kedua, sudah sesuai dengan kondisi di Sebatik, dimana Sebatik tidak menerima penjualan

pertanian dari daerah lain, akan tetapi Sebatik hanya menerima penjualan barang-barang yang

telah diolah dan menjual hasil pertaniannya ke daerah perkotaan yaitu ke Kota Tawau,

Malaysia, seperti pada asumsi ketiga. Sedangkan asumsi ke empat juga sesuai karena Sebatik

datarannya homogen. Sebagian besar masyarakat Sebatik bekerja sebagai petani seperti pada

asumsi kelima, dan petani berusaha mencari keuntungan dari hasil pertanian yang dijual ke

Tawau. Pada asumsi keenam, tidak berlaku lagi angkutan darat untuk mengangkut hasil

komoditas, karena pengangkutan dilakukan dengan angkutan laut. Pada asumsi ke tujuh, biaya

ditanggung oleh petani, tetapi sudah dimasukkan dalam biaya penjualan.

13

DAFTAR PUSTAKA

Atmaja, William. 2013. Teori Von Thunen dan Aplikasinya. (online)

http://atmajaindustries.blogspot.com/2013/07/teori-von-thunen-aplikasinya.html?m=1.

Diakses tanggal 15 Maret 2014 jam 08.15 WIB.

Bachri, Saiful. 2007. Evaluasi Lokasi Lahan Industri di Kota Kragilan Kabupaten Serang. Tesis

Program Pasca Sarjana. Universitas Diponegoro

Lyeta. 2011. PENERAPAN TEORI LOKASI VON THUNEN PADA KAWASAN PERBATASAN

KALIMANTAN TIMUR – MALAYSIA (Studi Kasus: Perbatasan Sebatik – Tawau). (online)

http://lyeta12.blogspot.com/2011/12/penerapan-teori-lokasi-von-thunen-pada.html?m=1.

Diakses tanggal 16 Maret 2014 jam 07.30 WIB

Sibet. 2010. Teori Lokasi Johann Heinrich Von Thunen . (online) http://sibet.blogspot.com/teori-

lokasi-johann-heinrich-von-thunen.html?m=1. Diakses tanggal 15 Maret 2014 jam 06.40

WIB.

14