makalah forensik

74
PERANAN ILMU FORENSIK DALAM MEMBANTU MENGUNGKAPKAN KASUS PEMBUNUHAN GUNA KEPASTIAN HUKUM DI MASYARAKAT (Makalah) Disusun Oleh : Deby Purwanto Ayu Kesuma Wardhani Agustya Dwi Ariani Trio Wicaksono Maharani Dewi Caropeboka M. Taufik Perwira W Mega Lestari Indah Ayu Ramadhini M. Alessandri Perdana P. Haryani Dwita KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

Upload: agustya-dwi-ariani

Post on 30-Nov-2015

692 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

forensik

TRANSCRIPT

PERANAN ILMU FORENSIK DALAM MEMBANTU

MENGUNGKAPKAN KASUS PEMBUNUHAN GUNA KEPASTIAN

HUKUM DI MASYARAKAT

(Makalah)

Disusun Oleh :

Deby Purwanto

Ayu Kesuma Wardhani

Agustya Dwi Ariani

Trio Wicaksono

Maharani Dewi Caropeboka

M. Taufik Perwira W

Mega Lestari Indah

Ayu Ramadhini M.

Alessandri Perdana P.

Haryani Dwita

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. H. ABDUL MOELOEK

BANDAR LAMPUNG

2013

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dunia sekarang ini terasa semakin sempit saja, hal ini disebabkan dengan

adanya berbagai kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan transportasi,

bahkan istilah “ buku adalah jendela dunia “ rasa-rasanya sudah tidak tepat

untuk dipakai di masa sekarang ini, karena buku bukanlah satu-satunya lagi

sumber pengetahuan kita untuk mengetahui isi dunia ini.

Kriminalitas adalah tindakan melawan hukum yang nampaknya di masyarakat

kita sekarang ini sudah menjadi suatu hal yang tidak ditabukan lagi dan biasa,

hal ini dapat kita lihat dengan makin banyaknya berita-berita tentang

kriminalitas di berbagai media, bahkan sampai membuat media-media tersebut

memberikan tempat tersendiri terhadap berita-berita tentang kriminalitas. Ini

merupakan suatu hal yang sangat meresahkan, bahkan sekarang ini

kriminalitas seolah-olah telah menjadi sebuah subculture atau salah satu

bagian tersendiri dari budaya dalam masayarakat moderen (bukan lagi hanya

sebuah penyimpangan pranata sosial belaka).

Karena kriminalitas di dalam masyarakat sekarang ini bukan lagi merupakan

sesuatu yang dirahasiakan lagi, melainkan sudah menjadi bagian yang tak

terpisahkan dari masyarakat moderen, bahkan para pelaku kriminalitas

sekarang ini tidak lagi malu akan perbuatan yang telah mereka lakukan, tetapi

malah bangga dengan apa yang telah mereka lakukan, dengan anggapan

sebagian dari mereka “bahwa ini adalah lahan pekerjaan baru di tengah

persaingan pencarian pekerjaan yang sangat ketat di jaman moderen ini“. Hal

ini juga yang akhirnya mendasari para pelaku kriminal menjadikan perbuatan

mereka lebih profesional dengan berbagai cara, bahkan merekapun mendirikan

organisasi-organisasi untuk mewadahi atau memperlancar aktifitas mereka,

walaupun tidak semua tindakan kriminal bertendensi atau bermotif ekonomi

atau mencari untung, ada juga yang bermotif dendam, nafsu, dan bahkan ada

pula yang hanya bermotif iseng belaka.

Tindak kriminal di jaman moderen ini sudah sangat bervariasi, berbeda

dengan jaman dahulu yang hanya mengenal tindak kriminal hanya sebatas

pencurian, pembunuhan, pemerkosaan dan tindakan-tindakan lain yang

sejenis, tetapi di jaman moderen ini tindak kriminal juga menjadi sangat

beragam, mulai dari tindak-tindak kriminal umum semacam contoh di atas,

hingga muncul juga tindak-tindak kriminal jenis baru seperti pemalsuan uang,

pemalsuan surat-surat penting, kejahatan-kejahatan dalam dunia maya atau

lebih dikenal dengan istilah cyber crime, dan masih banyak lagi. Hal ini

berakibat semakin sulitnya kasus-kasus tentang kriminal yang ada untuk

dipecahkan karena selain kasus yang ada semakin banyak, kasus-kasus

tersebut juga berkaitan dengan kemajuan teknologi yang ada.

Untuk itulah diperlukan adanya penanggulangan terhadap kejahatan atau

kriminalitas, sehingga hal-hal seperti yang telah disebutkan diatas tidak perlu

terjadi. Tentu saja untuk melakukan penanggulangan diperlukan berbagai

sarana dan prasarana ditambah dengan ilmu pengetahuan yang menunjang

penanggulangan terjadinya tindak kejahatan. Dalam bidang sarana dan

prasarana penanggulangan kejahatan dapat disebutkan antara lain pihak

kepolisian, adanya siskamling (sistem keamanan lingkungan), pembentukan

hansip (pertahanan sipil) atau linmas (perlindungan masyarakat), adanya pos

ronda, serta sarana dan prasarana yang lain. Sedangkan dari segi ilmu

pengetahuan terdapat beberapa ilmu penunjang untuk menanggulangi adanya

tindak kejahatan, antara lain kriminologi (mempelajari proses terjadinya

kejahatan di masyarakat), kriminalistik (mempelajari berbagai macam tindak

kejahatan), ilmu pengetahuan agama (untuk mencegah manusia berbuat jahat),

pendidikan moral, dan lain sebagainya.

Pencegahan ataupun penanggulangan saja tidaklah cukup, dibutuhkan juga

hal-hal untuk menghadapi kejahatan yang telah terjadi, karena jika telah

terjadi kita tidak bisa mencegah lagi, melainkan harus mengusutnya hingga

tuntas, untuk itu diperlukan ilmu pengetahuan seperti ilmu hukum pidana

(untuk menghadapi atau menentukan hukuman tindak kejahatan yang telah

terjadi) ilmu hukum acara pidana (mengatur tata cara penyelesaian kasus

pidana), dan ilmu forensik (untuk membantu mempermudah pengungkapan

suatu kasus kejahatan).

Jika dilihat secara sekilas, nampaknya ilmu forensik memiliki peranan yang

penting dalam pengungkapan sebuah tindak kejahatan yang telah terjadi,

terutama terhadap kasus-kasus yang sulit dipecahkan atau membutuhkan

teknik khusus dalam pengungkapannya. Hal ini karena ilmu forensik memang

diciptakan untuk mempermudah proses peradilan terutama dalam hal

pembuktian, yang mana ilmu forensik sendiri terdiri dari berbagai macam ilmu

pengetahuan seperti pathologi dan biologi, toksikologi, kriminalistik,

kedokteran forensik, antropologi, jurisprudensi, psikologi dan masih banyak

lagi, sehingga orang sering menyebut ilmu forensik sebagai ilmu dewa, karena

dengan ilmu forensik kita dapat mengetahui berbagai macam hal yang

sebelumnya tidak kita ketahui (William G. Eckert, 1980: 2).

Dilihat dari hal-hal yang telah dibahas di atas sebenarnya seberapa pentingkah

arti dari ilmu forensik hingga kita terutama pihak peradilan sangat

membutuhkannya? Ilmu forensik amatlah penting bagi peradilan, terutama

pihak kepolisian karena untuk membantu memecahkan kasus atau tindak

kejahatan yang terjadi, terutama kasus-kasus yang sulit untuk menentukan

tersangkanya ataupun pembuktiannya. Dari hal-hal di atas dapat kita lihat

bahwa sebenarnya ilmu forensik adalah ilmu pengetahuan yang amat vital dan

penting terutama dalam hal penegakan hukum, karena tanpa adanya ilmu

pengetahuan forensik maka penegakan hukum akan berjalan lambat sebagai

akibat dari banyaknya kasus kejahatan yang tak terpecahkan. Tetapi sepertinya

hal ini kurang disadari oleh masyarakat di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari

sedikitnya bahan-bahan pengetahuan tentang ilmu pengetahuan forensik

berbahasa Indonesia yang khusus diterbitkan untuk khalayak umum, buku-

buku yang ada masih dikhususkan untuk para akademisi dan para praktisi di

bidang ini, selain itu masih ditambah pengetahuan masyarakat yang masih

sempit terhadap arti dari ilmu pengetahuan forensik itu sendiri, mereka

menganggap ilmu pengetahuan forensik hanya sebatas pemeriksaan mayat

untuk mengetahui sebab-sebab kematiannya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka peneliti

membuat sebuah penelitian mengenai ilmu pengetahuan forensik secara dasar

yang didalamnya menyangkut tentang proses-proses kerja dasar yang

dilakukan oleh ilmu forensik dalam meneliti sebuah kasus tindak kejahatan

sehingga dapat diketahui tentang berbagai macam hal yang pada akhirnya

akan dapat menuntun ataupun langsung menunjukkan siapa pelaku dari tindak

kejahatan tersebut.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritik

1. Penegakan Hukum Pidana dan Kriminalitas

Hukum pidana adalah hukum sanksi (bijzondersanksi). Sifat sanksi ini

menempatkan hukum pidana sebagai sarana untuk menjamin keamanan,

ketertiban, dan keadilan. Untuk itu hukum pidana dapat membatasi

kemerdekaan manusia dengan menjatuhkan atau menetapkan hukuman

penjara (kurungan) dan bahkan lebih dari itu hukuman pidana dapat

menghabiskan hidup manusia dengan hukuman matinya (S. Tanusubroto,

1983: 5).

Dari hal diatas secara sekilas dapat kita simpulkan bahwa tujuan dari

adanya hukum pidana adalah untuk menjamin keamanan, ketertiban dan

keadilan bagi masyarakat, dan tugasnya adalah menjatuhkan atau

menetapkan hukuman bagi setiap tindakan yang dianggap dapat

mengganggu keamanan, ketertiban, dan keadilan bagi masyarakat,

sedangkan tindakan yang dapat menyebabkan terganggunya keamanan,

ketertiban, dan keadilan bagi masyarakat biasa disebut sebagai tindak

kejahatan ataupun kriminalitas.

Kriminalitas di jaman moderen seperti sekarang ini sudah bukan

merupakan sesuatu hal yang aneh lagi. Hal ini dapat kita lihat dalam

media-media yang ada sekarang ini dimana mereka memberikan porsi

tersendiri bagi berbagai kasus kriminalitas yang terjadi. Kriminalitas

sendiri terjadi karena berbagai macam sebab atas ketidak puasan

seseorang ataupun kelompok akan sesuatu. Tetapi bukan berarti karena

kriminalitas sudah tidak aneh lagi maka kriminalitas dibiarkan begitu

saja. Kriminalitas harus tetap di tanggulangi, hukum harus tetap

ditegakkan. Di sinilah peran dari hukum pidana, yaitu memberi hukuman

bagi setiap tindak kriminalitas yang terjadi.

Walaupun hukum pidana ditujukan untuk menghadapi tindak kejahatan

atau kriminalitas, hukum pidana dalam penegakannya tidak boleh

dilakukan secara asal-asalan. Melihat besarnya kekuasaan hukum pidana

atas kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, maka kewenangan

menjatuhkan hukuman ini sangat dibatasi, juga alasan penjatuhan

hukuman harus demi kehidupan bermasyarakat (untuk keaman, ketertiban

dan keadilan), sehingga kewenangan tersebut hanya dipegang oleh

penguasa tertinggi dari suatu bangsa yaitu negara.

Negaralah yang berhak dan berwenang menjatuhkan hukuman demi

menegakkan ketertiban masyaarakat ,seperti menurut BEYSENS bahwa

telah menjadi kodrat alam, negara itu bertujuan dan berkewajiban

mempertahankan tata tertib masyarakat atau ketertiban negara.

Dengan demikian hukum pidana termasuk hukum “publiek” atau dapat

disebut hukum umum, karena mengatur perhubungan antara negara, atau

masyarakat dengan rakyat atau negara dengan bagian-bagiannya. Segala

sesuatu ditinjau dari sudut “kepentingan umum”, sebab itu dimana perlu

sering diikuti dengan sanksi hukuman atau pidana, apabila peraturan

mengenai perhubungan itu dilanggar.

Adanya sanksi itu dimaksudkan sebagai alat untuk menjaga atau

menegakkan tata tertib dan keamanan dalam negara. Dalam hal ini negara

atau pemerintah (wakil kepentingan umum) langsung bertindak karena

mempunyai kepentingan langsung untuk menjaga kepentingan umum (S.

Tanusubroto, 1983: 6 ).

2. Pembuktian Dalam Proses Acara Pidana

Penanganan suatu perkara pidana mulai dilakukan oleh penyidik setelah

menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat ataupun diketahui

sendiri tentang terjadinya tindak pidana, kemudian dituntut oleh penuntut

umum dengan jalan melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan negeri.

Selanjutnya hakim melakukan pemeriksaan apakah dakwaan penuntut

umum terhadap terdakwa terbukti atau tidak.

Bagian terpenting dari tiap-tiap proses pidana adalah, persoalan mengenai

pembuktian, karena dari jawaban soal inilah tertuduh akan dinyatakan

bersalah atau dibebaskan.

Pasal enam ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa

tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana kecuali karena alat pembuktian

yang sah menurut Undang-undang hakim mendapat keyakinan bahwa

seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas

perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.

Selanjutnya ketentuan tersebut diatas ditegaskan lagi dalam pasal 183

KUHAP yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana

kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangya dua alat

bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana

benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dalam penjelasan pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa ketentuan ini

adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian

hukum bagi seseorang adanya ketentuan tersebut dalam pasal 183

KUHAP menunjukkan bahwa negara kita menganut sistem atau teori

pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatif wettelijk),

dimana hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman apabila sedikit-

dikitnya dua alat bukti yang telah ditentukan dalam kesalahan terdakwa

terhadap peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya. Walaupun alat

bukti lengkap, akan tetapi jika hakim tidak yakin tentang kesalahan

terdakwa maka harus diputus bebas.

Alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai

berikut:

Keterangan saksi

Keterangan ahli

Surat

Petunjuk

Keterangan terdakwa

Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup di dukung oleh

satu alat bukti yang sah. Dengan kata lain walaupun hanya didukung oleh

satu alat bukti yang sah, dan hakim yakin atas kesalahan terdakwa maka

terdakwa tersebut dapat dihukum.

Dengan demikian hakim baru boleh menghukum seorang terdakwa

apabila kesalahaannya terbukti secara sah menurut undang-undang.

Keterbuktian itu harus pula diperkuat dan didukung oleh keyakinan

hakim . jadi walaupun alat bukti sebagaimana tersebut dalam pasal 184

ayat (1) KUHAP terpenuhi, namun apabila hakim tidak berkeyakinan atas

kesalahan terdakwa, maka terdakwa tersebut harus dibebaskan. Hal ini

sejalan dengan tugas hakim dalam pengadilan pidana yaitu mengadili

dalam arti menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana

berdasarkan asas bebas jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan

(pasal satu butir sembilan KUHAP) (Ratna Nurul Afiah, 1988: 14).

3. Penyelidikan

Untuk penyelidikan kita dapat melihatnya dalam Pasal empat KUHAP

yang berbunyi “Penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik

Indonesia, yang berwenang untuk melakukan penyelidikan“. Sedangkan

arti penyelidikan menurut Pasal satu butir lima KUHAP adalah “

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang

diatur dalam undang-undang “.

Seperti halnya penyidik, penyelidik juga memiliki wewenang dalam

menjalankan tugasnya, hal ini diatur dalam Pasal lima KUHAP yang

berisi tentang wewenang penyelidik :

Karena jabatannya, untuk :

(1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya

tindak pidana,

(2) Mencari keterangan dan barang bukti;

(3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan

serta memeriksa tanda pengenal diri;

(4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.

Yang dimaksud dengan “Tindakan Lain“ adalah tindakan dari

penyelidik untuk kepentingan penyelidik, dengan syarat:

i) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

ii) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan

dilakukannya tindakan jabatan;

iii) Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk

dalam lingkungan jabatannya;

iv) Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan

memaksa;

v) Menghormati hak asasi manusia (S. Tanusubroto, 1983:24).

b) Atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa:

(1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan

penyitaan;

(2) Pemeriksaan dan penyitaan surat

(3) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

(4) Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.

Selain itu dalam Pasal 102 KUHAP dijelaskan bahwa penyelidik wajib

melakukan tindakan penyelidikan dalam hal penyelidik mengetahui,

menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang

patut diduga merupakan tindak pidana. Demikian juga dalam hal

tertangkap tangan, penyelidik tanpa menunggu perintah dari penyidik

wajib segera melakukan penyelidikan, dan untuk melakukan tindakan-

tindakan itu, penyelidik harus membuat berita acaranya.

Untuk melakukan tugas-tugasnya penyelidik wajib menunjukkan tanda

pengenalnya (Pasal 104 KUHAP), dan dalam melaksanakan tugas-

tugasnya itu penyelidik di koordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh

penyidik (Pasal 105 KUHAP).

4. Penyidikan

Mengenai penyidikan kita dapat melihat pada Pasal satu butir satu

KUHAP yang berbunyi “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik

Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi

wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan“ jo

Pasal enam ayat (1) dan (2) KUHAP, sedangkan kepangkatan untuk

menjadi penyidik adalah :

1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang

sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi atau

jenis kepangkatan yang sederajat sekarang ini.

2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang

sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I/

Golongan II-b, atau yang disamakan dengan itu.

Akan tetapi di tempat-tempat tidak ada penyidik seperti yang ditentukan

oleh undang-undang, maka tugas penyidik tersebut dilakukan oleh

penyidik pembantu. Penyidik pembantu adalah: pejabat Kepolisian

Negara RI, yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas

penyidikan yang diatur dalam KUHAP (Pasal satu butir tiga KUHAP).

Bahkan dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik,

maka komandan sektor Kepolisian yang berpangkat “Bintara“ dibawah

Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik ( Pasal

dua ayat dua PPRI No. 27/ 1983 ).

Untuk menjabat sebagai penyidik yaitu berdasarkan penunjukan oleh

Kepala Kepolisian RI (Kapolri), sesuai peraturan perundang-undangan

yang berlaku, sedangkan untuk penyidik pembantu kepangkatannya

adalah :

a) Pejabat Polisi Negara RI tertentu, yang

sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi atau jenis

kepangkatan yang sederajat sekarang ini.

b) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam

lingkungan Kepolisian Negara RI, yang sekurang-kurangnya

berpangkat Pengatur Muda/ Golongan II-a, atau yang disamakan

dengan itu.

Pengangkatan seseorang menjadi penyidik pembantu, yang berasal

dari Kepolisian diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul dari

komandan atau pimpinan kesatuannya masing-masing. Sedangkan

pengangkatan penyidik pembantu yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil

dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara RI, sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Dalam menjalankan tugasnya penyidik mempunyai wewenang, yang

dalam hal ini diatur dalam Pasal tujuh KUHAP yang berbunyi :

a) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal enam ayat (1)

huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang:

(a) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang

adanya tindak pidana;

(b) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

(c) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka;

(d) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan

penyitaan;

(e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

(f) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

(g) Memanggil orang untuk di dengar dan diperiksa sebagai

tersangka atau saksi;

(h) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam

hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

(i) Mengadakan penghentian penyidikan;

(j) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab.

b) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal enam ayat (1) huruf b

mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi

dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya

berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam

Pasal enam ayat (1) huruf a.

c) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan

ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

Sebagaimana kita ketahui Penyidik tunggal untuk tindak pidana umum

menurut KUHAP adalah Polisi. Akan tetapi penjelasan Pasal tujuh ayat

(2) KUHAP menentukan, bahwa yang dimaksud sebagai Penyidik

termasuk juga misalnya: Pejabat bea dan cukai, Pejabat Imigrasi dan

Pejabat Kehutanan. Mereka ini melakukan tugas penyidikan dengan

wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi

dasar hukumnya masing-masing (S. Tanusubroto, 1983:20).

5. Barang Bukti

Barang bukti (corpus delicti) disini adalah barang bukti kejahatan,

meskipun barang bukti itu mempunyai peranan yang sangat penting

dalam proses pidana, namun apabila kita simak dan perhatikan satu

persatu peraturan perundang-undangan yang bernafaskan pidana (KUHP,

KUHAP, dan peraturan perundangan pendukung lainnya) tidak ada satu

pasal pun yang memberikan definisi/ pengertian mengenai barang bukti,

tetapi Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul Kamus Hukum

memberikan definisi mengenai barang bukti adalah sebagai berikut

“Istilah barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana

delik dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan

yaitu alat yang dipakai untuk melakukan delik misalnya pisau yang

dipakai menikam orang. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari

delik, misalnya uang negara yang dipakai (korupsi) untuk membeli

rumah pribadi itu merupakan barang bukti atau hasil delik”. (Andi

Hamzah, 1998: 100 ).

Disamping itu ada pula barang yang bukan merupakan obyek, alat atau

hasil delik, tetapi dapat dijadikan barang bukti sepanjang barang tersebut

mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana misalnya pakaian

yang dipakai korban pada saat ia dianiaya atau dibunuh.

Dalam Pasal enam ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970

tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman menyebutkan

bahwa tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila karena

alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang hakim mendapat

keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab,

telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.

Dari hal di atas dapat kita ketahui betapa vitalnya fungsi barang bukti,

sehingga hal ini menjadi tugas utama bagi penyidik maupun penyelidik,

atau lebih khusus lagi bagi bagian forensik untuk dapat menemukan

suatu barang bukti dalam sebuah delik, terutama jika delik tersebut

merupakan delik yang amat rumit/ sangat sulit dalam pembuktiannya.

6. Ilmu Pengetahuan Forensik

Pada jaman dahulu, penyelidikan dalam kasus-kasus yang melibatkan

ilmu pengetahuan forensik hanya mengandalkan bukti fisik yang ada,

barulah pada akhir pertengahan abad ke-19 dimana mulai banyak

ditemukan alat-alat baru di bidang ilmu pengetahuan, penelitian di

bidang ilmu forensik mulai menggunakan berbagai macam ilmu

pengetahuan yang dirasa dapat membantu dalam melakukan investigasi

atau penyelidikannya. Ilmu-ilmu itu antara lain adalah kimia,

mikroskopi, dan fotografi. Hal ini menyebabkan revolusi dalam kasus-

kasus yang sedang diselidiki pada waktu itu, dan meningkatkan validitas

hasil dari penyelidikan yang sedang dilakukan.

Kemajuan ilmu pengetahuan forensik di atas mendorong kerjasama

antara pihak kepolisian dengan pihak forensik yang biasanya terdiri dari

para ilmuwan atau akademisi di bidang kimia ataupun pharmakologi,

dimana pihak kepolisian yang mencari data atau bukti yang ada

sedangkan para ilmuwan di bidang forensik yang akan meneliti bukti

yang diberikan oleh pihak polisi (William G. Eckert, 1980:1).

Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya penduduk maka

jumlah kejahatan pun semakin meningkat, hal ini mendorong polisi

mendirikan sendiri sebuah biro yang khusus untuk meneliti masalah

forensik, dengan maksud untuk lebih menjangkau dan lebih fokus

terhadap kasus-kasus yang ada.

Perkembangan ilmu pengetahuan forensik moderen mulai tampak pada

akhir abad ke-19. Secara pelan tapi pasti para ilmuwan forensik Amerika

mendirikan American Academy of Forensic Sciences pada tahun 1950

yang dipimpn oleh Dr. R. H. Gradwohl of St. Louis, di Missouri. Di

dalam American Academy of Forensic Sciences dapat dipelajari tentang

pathologi dan biologi, toksikologi, kriminalistik, dokumen yang

dipertanyakan, kedokteran gigi, antropologi, jurisprudensi, psikologi dan

berbagai macam pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu

forensik(William G. Eckert, 1980:2).

7. Ilmu Kedokteran Kehakiman

Ilmu kedokteran kehakiman mulai muncul kira-kira 2000 tahun S.M. di

Mesir yakni di Babylon yang mana terdapat undang-undang dari raja

Hammurabi (codex Hammurabi) dan di dalamnya sudah terdapat

konstitusi mengenai dasar ilmu kedokteran kehakiman. Kemudian pada

jaman Romawi sewaktu pemerintahan Julius Caesar sudah ada kemajuan

dalam ilmu kedokteran kehakiman, sehingga pada waktu Julius Caesar di

bunuh oleh Brutus maka dapat diketahui bahwa dari 23 luka tusukan

yang ada di tubuhnya hanya satu tusukan saja yang menyebabkan

kematiannya yaitu tusukan di dadanya(R. Atang Ranumihardja,1983:10).

Di masa sekarang ini ilmu kedokteran kehakiman diartikan sebagai ilmu

yang menggunakan pengetahuan ilmu kedokteran untuk membantu

peradilan baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata. Ilmu

kedokteran kehakiman juga memiliki tujuan dan kewajiban yaitu

membantu kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dalam menghadapi

kasus-kasus perkara yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu

pengetahuan kedokteran. Sebagian besar masalah yang diteliti dalam

ilmu kedokteran kehakiman bersangkutan dengan suatu tindak pidana,

dan yang terpenting dalam hal ini ialah kebanyakan untuk meneliti sebab

akibat (causal verband) antara suatu tindak pidana dengan luka pada

tubuh, gangguan kesehatan atau matinya seseorang.

Di masa sekarang ini ilmu kedokteran Kehakiman atau juga disebut ilmu

kedokteran forensik tidak semata-mata bermanfaat dalam urusan

penegakan hukum dan keadilan di lingkup pengadilan saja, tetapi juga

bermanfaat dalam segi kehidupan bermasyarakat lain, misalnya dalam

membantu penyelesaian klaim asuransi yang adil baik bagi pihak yang

mengasuransi maupun yang diasuransi, dalam membantu memecahkan

masalah paternitas (penetuan ke ayah-an), dan masih banyak hal lagi.

Agar hal-hal di atas dapat berjalan dengan baik maka di dalam bidang

ilmu kedokteran forensik dipelajari tata laksana mediko legal, tanatologi,

traumatologi, toksikologi, teknik pemeriksaan dan segala sesuatu yang

terkait, hal ini agar semua dokter dalam memenuhi kewajibannya

membantu penyidik, dapat benar-benar memanfaatkan segala

pengetahuan kedokterannya untuk kepentingan peradilan serta

kepentingan lain yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat.

8. Visum et Repertum

Tugas pokok seorang dokter dalam membantu pengusutan tindak pidana

terhadap kesehatan dan nyawa manusia adalah pembuatan Visum et

Repertum.

Sedangkan pengertian dari Visum et Repertum sendiri adalah “yang

dilihat dan diketemukan”. Jadi Visum et Repertum adalah suatu

keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan diketemukan di dalam

melakukan pemeriksaan terhadap orang yang luka atau terhadap mayat.

Jadi merupakan kesaksian tertulis.

Menurut pendapat Dr. Tjan Han Tjong Visum et Repertum merupakan

suatu hal yang penting dalam pembuktian karena menggantikan

sepenuhnya Corpus Delicti (tanda bukti). Seperti diketahui dalam

kejahatan yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta

membinasakan nyawa manusia, maka tubuh korban merupakan Corpus

Delicti.

Dalam perkara pidana yang lain dimana Corpus Delicti nya suatu benda

(tak bernyawa) pada umumnya selalu dapat diajukan di muka

persidangan pengadilan sebagai barang bukti, akan tetapi tidak demikian

halnya dengan Corpus Delicti yang berupa tubuh manusia, karena

kondisinya tidak akan pernah tetap seperti pada waktu dilakukannya

pemeriksaan., maka karenanya Corpus Delicti yang demikian itu tidak

mungkin disediakan/ diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak

harus digantikan oleh Visum et Repertum(R. Atang

Ranumihardja,1983:10).

9. Toksikologi Forensik

Toksikologi Forensik adalah salah satu cabang dari ilmu forensik yang

meneliti tentang racun. Istilah Toksikologi berasal dari bahasa yunani

yaitu Toxicon yang berarti racun.

Dalam dunia hukum di Indonesia batasan mengenai racun belum begitu

jelas, walaupun tindakan meracuni seseorang dapat dikenai hukuman

(Pasal 340 KUHP tentang penghilangan nyawa seseorang secara

terencana). Tetapi baik di dalam KUHP maupun KUHAP tidak

dijelaskan mengenai batasan atau definisi dari racun tersebut.

Menurut Taylor, racun adalah setiap bahan/ zat yang dalam jumlah relatif

kecil bila masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan reaksi kimiawi yang

akan menyebabkan penyakit dan kematian.

Adapula yang mengartikan racun itu berdasarkan maksud dari si

pemberi, misalnya: luminal jika diberikan dengan maksud sebagai

pengobatan tidak dapat dikatakan sebagai racun, tetapi jika maksud

pemberian adalah untuk menyakiti atau membunuh orang, maka luminal

dapat dikatakan sebagai racun.

Forensik toksikologi terbagi dalam tiga bagian:

a) Toksikologi klinis (clinical toxicology)

Obyeknya berupa orang hidup yang keracunan dan diusahakan

ditolong dan dipunahkan racunnya.

b) Toksikologi Industri (Industrial toxicology)

Berusaha mencegah terjadinya keracunan-keracunan akibat industri

baik bagi buruhnya ataupun orang-orang yang tinggal di sekitarnya.

c) Toksikologi Forensik

Termasuk dalam bagian kimia forensik (forensic chemistry).

Obyeknya kebanyakan berupa mayat yang akan ditentukan sebab

kematiannya, apakah akibat racun atau akibat lainnya yang ada

hubungannya dengan perkara pidana. (R. Atang

Ranumihardja,1983:58).

Walaupun tidak secara jelas atau langsung dalam membuat batasan

tentang racun, di dalam KUHP juga terdapat beberapa pasal yang

mengatur tentang masalah racun, yaitu pada pasal :

a) 202 ayat (1) dan (2)

b) 203 ayat (1) dan (2)

c) 204 ayat (1) dan (2)

d) 205 ayat (1) dan (2)

Pasal-pasal di atas kesemuanya mengatur tentang berbagai tindakan yang

dapat melukai ataupun mematikan seseorang dengan cara pemberian

bahan tertentu kepada orang lain baik sengaja atau tidak .

10. Psikiatri Forensik

Psikiatri (Ilmu Kedokteran Jiwa) dan Hukum, kedua-duanya

menghadapi dan menanggulangi tingkah laku manusia, Psikiatri lebih

banyak daripada hukum. Psikiatri mencari dan menentukan tenaga-

tenaga dan daya-daya yang mengakibatkan perubahan-perubahan,

penyimpangan-penyimpangan (deviasi-deviasi), tingkah laku dan

berusaha bagaimana caranya untuk mengalihkan dan mengubahnya,

sehingga menuju kepada hubungan antar pribadi yang jelas, tenang dan

baik, kepada tujuan-tujuan yang lebih konstruktif dan lebih tersosialisasi,

sedangkan Hukum lebih banyak menghadapi kontrol sosial tingkah laku

manusia (Tan Pariaman, Hasan Basri Saanin, 1983:13).

Di dalam psikiatri sendiri terdapat cabang psikiatri yang khusus

mempelajari psikiatri tentang kehakiman atau sering disebut psikiatri

forensik. Masalah yang dihadapi oleh psikiatri forensik adalah masalah-

masalah legal dan masalah medis, atau secara singkatnya dapat dikatakan

bahwa tugas psikiatri forensik adalah mendukung hal-hal legal atau

hukum melalui ilmu psikiatri. Untuk lebih jelasnya ruang lingkup dari

psikiatri forensik adalah sebagai berikut:

a) memasukkan penderita ke dalam Rumah Sakit Jiwa

b) Psikiater dan hukum pidana

c) Psikiater dan hukum perdata

d) Indikasi bagi pemeriksaan psikiatris

e) Psikiater sebagai saksi ahli.

Dewasa ini tugas seorang psikiatri forensik tidak hanya berhubungan

dengan hukum dan undang-undang saja tetapi juga berhubungan dengan

sosiologi, psikologi, pekerjaan sosial dan ilmu pengetahuan tingkah laku

yang lain. (Tan Pariaman, Hasan Basri Saanin, 1983:19).

11. Antropologi Forensik

Antropologi forensik adalah cabang dari antropologi fisik. Di dalam

antropologi fisik kita lebih meneliti ciri-ciri dari manusia secara fisik. Ini

pulalah yang dilakukan oleh antropolog forensik, tetapi dalam

antropologi forensik penelitian yang dilakukan lebih bersifat untuk

kepentingan hukum.

Antropologi forensik amat berguna dalam hal-hal sebagai berikut:

a) penyidikan pembunuhan

b) kasus-kasus kriminal

c) bencana massal

d) kecelakaan penerbangan

e) korban kekerasan perang

f) dan lain lain.

Sedangkan yang menjadi bidang penyidikan antropologi forensik adalah :

a) identifikasi kerangka

b) identifikasi korban yang terbakar

c) identifikasi rambut

d) identifikasi foto pelaku kejahatan

e) identifikasi jejak kaki manusia

f) identifikasi kuku jari manusia

g) identifikasi sidik jari manusia

h) identifikasi darah

(William G. Eckert, 1980:102)

Selain bidang-bidang di atas ternyata masih ada bidang baru yang

menjadi bagian dari antropologi forensik, bidang tersebut adalah

identifkasi sidik bibir, walaupun tergolong sebagai bidang baru,

identifikasi sidik bibir ini penelitiannya telah dilakukan sejak tahun 1970

an di Jepang dan telah dipakai dalam beberapa penyidikan kasus

mengenai kejahatan seksual. Di Indonesia sendiri hal ini masih sangat

asing dan baru sebatas wacana akademik, wacana sidik bibir di Indonesia

digulirkan oleh Munakhir Mudjosemedi seorang dokter dan pengajar di

Fakultas Kedokteran Gigi UGM. Wacana ini mulai digulirkan pada

medio 1980 an.

Walaupun di indonesia masih sebatas wacana, identifikasi sidik bibir

akan memeiliki masa depan yang cerah kedepannya nanti sama halnya

dengan identifikasi sidik jari.

12. Masa Depan Ilmu Pengetahuan Forensik

Mulai dari sejak diaplikasikannya ilmu pengetahuan forensik hingga

sekarang ini, ilmu pengetahuan forensik telah berkembang dengan

pesatnya, ini merupakan hal yang sangat menjanjikan di masa depan,

menyediakan mengenai kelogisan dan ketepatan. Selain kemajuan pada

ilmu pengetahuannya, juga terjadi kemajuan yang sama pesatnya pada

bidang teknologi pendukungnya, mulai dari fotografi, sinar x, mikroskop,

komputer, dan berbagai teknologi lain yang dibutuhkan oleh ilmu

forensik.

Ilmu forensik memiliki masa depan yang amat cerah karena kedepannya

nanti kita akan sangat bergantung pada ilmu forensik dalam hal

pengungkapan tindak-tindak kejahatan yang semakin banyak dan juga

semakin canggih, apalagi ditambah dengan berbagai penemuan baru di

bidang forensik seperti identifikasi dengan suara, identifikasi sidik bibir,

proses identifikasi wajah sacara digital, dan masih banyak hal-hal yang

lain.

Sekarang ini seseorang dapat dengan mudahnya diidentifikasi dengan

berbagai teknik. Mulai dari DNA sampai analisis sidik jari, identifikasi

suara menggunakan garis dan bentuk print resonansi suara, scan retina,

bahkan keringat pun dapat dijadikan alat untuk pengidentifikasian.

Berikut ini beberapa kemajuan di bidang teknologi yang turut

meningkatkan perkembangan ilmu pengetahuan forensik. Berbicara

mengenai kemajuan di bidang teknologi pastilah tidak dapat dipisahkan

dari komputer, salah satu penemuan abad 20 yang paling berpengaruh

pada perkembangan peradaban umat manusia di dunia. Adanya komputer

juga berimbas pada dunia ilmu pengetahuan forensik. Ketika data hanya

disimpan di kertas, tugas pencocokan sidik jari yang diambil di TKP

dengan yang ada pada data polisi terlalu lama dan sulit, dan harus

ditangani oleh petugas dengan kemampuan khusus, berbeda ketika

penyimpanan data terpusat pada suatu sistem komputerisasi maka

pencarian akan lebih mudah dan singkat, jika pelaku kriminal pindah ke

area operasi yang baru maka tidak perlu bingung sebab data yang ada

dapat diakses dari manapun juga.

Penggunaan komputer di bidang forensik pertama kali dilakukan oleh

pasukan kepolisisan pegunungan Kanada, mereka telah melengkapi

proses komputerisasi untuk sidik jari mulai pada tahun 1973. Swedia

mengikutinya di tahhun 1975, dan setahun kemudian di Jerman 17 juta

data kriminal polisi telah dipindah ke data base komputer. Pada tahun

1990 komputer telah dapat men scan rata-rata 10 ribu sidik jari per detik.

Waktu dan area pencarian pun dapat dengan mudah di rubah.

Peran komputer dalam ilmu pengetahuan forensik tidak hanya sebatas

untuk menyimpan sidik jari, tetapi juga untuk menyimpan data-data lain

dari para pelaku kejahatan yang berguna dalam proses penyidikan. Selain

komputer kemajuan yang lain adalah identifikasi dengan retina, belum

banyak diketahui orang bahwa retina manusia tidak sama, sehingga hal

ini bisa dijadikan alat identifikasi, ini telah dipraktekkan pada sistem-

sistem keamanan tingkat tinggi dimana pengguna memakai pemindaian

retina sebagai indentitas personal. Lalu penggunaan infra merah untuk

mengamati keaslian suatu tulisan, dengan melihat tekanan pemakaian

pena. Kemudian pengidentifikasian menggunakan suara, setiap orang

memiliki karakter suara yang tersendiri, dengan merekam pada pita

magnetic maka akan diketahui perbedaan frekuensi yang ada, sehingga

ketika dilihat akan membentuk garis dan pola bentuk suara. Di amerika

pemakaian identifikasi suara telah dipakai dalam beberapa kasus yang

mana tersangka hanya diketahui berdasar suaranya saja. Kemudian ada

lagi identifikasi menggunakan keringat, hal ini dilakukan dengan teknik

chromatography, yaitu pemindaian keringat menggunakan alat yang

sangat sensitif yang dapat menghasilkan berbagai macam warna dari

sebuah keringat seseorang, ini sama uniknya dengan identifikasi sidik

jari.

Itu semua adalah beberapa kemajuan dari ilmu pengetahuan forensik

sampai dengan saat ini, dan sampai sekarang pun ilmu pengetahuan

forensik terus dikembangkan baik dari segi keilmuannya ataupun dari

segi teknologinya. Bukan tidak mungkin nantinya semua kasus tindak

kejahatan akan dapat diungkap oleh ilmu pengetahuan forensik, hal ini

dilihat dari perkembangan ilmu pengetahuan forensik yang semakin maju

sekarang ini.

Tetapi masa depan yang cerah ini akan menjadi suram jika ilmu

pengetahuan forensik tidak dapat berinovasi mengikuti perkembangan

yang ada, karena nantinya dapat dipastikan tindak kejahatan juga akan

berinovasi untuk mencoba melangkah lebih maju dari teknik yang

mereka pakai sekarang ini ataupun teknik yang di pakai oleh para

penegak hukum.

B. Kerangka Pemikiran

Orang sering menyebut ilmu pengetahuan forensik sebagai ilmu pengetahuan

dewa, hal ini karena dengan ilmu forensik kita menjadi tahu segala sesuatu

yang tak diketahui, atau mengetahui sesuatu yang tadinya tidak kita ketahui.

Dalam dunia penegakan hukum di jaman yang moderen ini ilmu pengetahuan

forensik merupakan hal yang vital bagi kelangsungan penegakan hukum di

dunia, karena tanpa ilmu pengetahuan forensik akan banyak kasus-kasus

kejahatan yang tak akan terungkap. Untuk contoh kasus yang sederhana kita

dapat melihat dari kasus kematian Munir sang pahlawan hak asasi manusia di

Indonesia yang meninggal dalam penerbangan pesawat Garuda menuju

Belanda. Coba kita bayangkan jika tidak ada ilmu pengetahuan forensik di

dunia ini, tentunya kita akan menganggap kasus kematian Munir hanyalah

sebuah kematian biasa yang disebabkan oleh serangan jantung, tetapi dengan

adanya ilmu pengetahuan forensik, kita jadi mengetahui bahwa kematian

Munir disebabkan oleh Arsenic sebuah zat kimia yang sering digunakan untuk

membunuh karena sangat sulit dilacak dan menyebabkan kematian

menyerupai gejala gastrointestinal yang hebat, atau orang awam

menganggapnya terkena suatu penyakit ( jantung ).

Seperti dalam sebuah serial yang cukup ternama di televisi (X-files) kita dapat

menemukan istilah “the truth is out there” (kenyataan/ kebenaran ada di luar

sana), hal ini dapat menggambarkan bagaimana penyidikan forensik di dasari

atau berdasar. Kalimat tersebut menggambarkan bahwa kenyataan atau

kebenaran ada dalam setiap Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan untuk

menemukannya dilakukan dengan langkah ilmiah, yaitu mengumpulkan data,

mengamati data, mengetes data, kemudian memformulasikan data,

memodifikasi data dan membuat hipotesa hingga pada akhirnya hanya

terdapat satu kesimpulan.

Itulah ilmu pengetahuan forensik, sebuah ilmu pengetahuan yang sangat

memberikan andil dalam sejarah perkembangan umat manusia di dunia ini

dan sangat menarik untuk diteliti.

Kriminalitas

Penegakan Hukum Pidana

Ilmu Bantu Proses Acara Pidana

Ilmu Forensik Penyelidikan/ Penyidikan

Pembuktian

Fakta

A. Fungsi Ilmu Pengetahuan Forensik

1. Pengertian Dasar Tentang Ilmu Pengetahuan Forensik

Ilmu pengetahuan forensik adalah sebuah ilmu pengetahuan yang

ditujukan untuk membantu proses peradilan, terutama dalam bidang

pembuktian (David Owen, 2000:12). Sehingga di dapat bukti-bukti yang

sulit ditemukan dengan cara biasa, dan memerlukan metode-metode

tertentu dalam pencariannya. Dengan ditemukannya bukti tersebut

diharapkan pengadilan dapat memberi putusan yang tepat, sehingga

hukum dapat ditegakkan dengan benar. Ilmu pengetahuan forensik

berkembang seiring dengan semakin banyaknya tindak kejahatan yang

terjadi dalam masyarakat.

Dalam ilmu pengetahuan forensik itu sendiri terdapat berbagai cabang

ilmu yang berasal dari ilmu pengetahuan lain (hukum, kedokteran, kimia,

psikologi, antropologi) sehingga menjadikan obyek kajian ilmu

pengetahuan forensik sangat luas (kedokteran forensik, kimia forensik,

psikologi forensik, antropologi forensik, dan lain-lain). Berdasarkan

kenyataan, hal tersebut tidak begitu diketahui orang, sehingga

kebanyakan orang menganggap forensik hanyalah sebuah ilmu untuk

memeriksa mayat, walaupun anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah.

Pada dekade-dekade akhir ini kemajuan ilmu pengetahuan forensik sangat

cepat, karena ditunjang oleh kemajuan teknologi yang juga cukup pesat,

sehingga menjadikan obyek kajian ilmu pengetahuan forensik semakin

luas yaitu dengan masuknya berbagai teknik identifikasi menggunakan

teknologi tinggi, dan kini penggunaan ilmu pengetahuan forensik tidaklah

hanya terbatas pada lingkungan pidana, lingkungan perdata pun juga ikut

memakai ilmu pengetahuan forensik untuk melakukan pembuktian

(pembuktian keaslian suatu kontrak atau tulisan, pembuktian hubungan ke

ayah-an atau paternitas).

2. Sejarah Ilmu Pengetahuan Forensik

Ilmu forensik yang ada sekarang ini sebenarnya berasal dari peradaban

cina kuno. Hal ini diketahui dari sebuah arsip yang ditemukan pada abad

ke-17 yang menunjukkan tentang seorang hakim yang hidup seribu tahun

sebelumnya pada masa pemerintahan dinasti Tang. Hakim ini bernama Ti

Jen Chieh, dia dikenal selalu menggunakan logika dan bukti atau

petunjuk forensik untuk membantu memecahkan misteri berbagai tindak

kejahatan di akhir abad ke tujuh sesudah masehi. Dalam kerjanya Ti

menggunakan tim penyelidik atau investigator untuk memepelajari

tempat tindak kejahatan, memeriksa dan menguji bukti fisik, dan

mewawancarai saksi-saksi atau tersangka. Metode dan peralatan yang

digunakan oleh Ti terdapat sedikit kemiripan dengan metode dan

peralatan forensik sekarang ini.

Perkembangan ilmu forensik mulai terlihat banyak pada masa penemuan

ilmiah yaitu di abad 16, 17, dan 18. Hal ini diawali dengan penemuan

mikroskop oleh Zacharias Jansen di tahun 1590, sebuah penggunaan

penggabungan dari lensa-lensa untuk menghasilkan gambar yang lebih

besar dari kaca pembesar biasa, alat ini kemudian digunakan untuk

meneliti atau menganalisa sidik jari secara lebih dekat dan kemudian

dibandingkan dengan sidik jari yang ada di catatan ataupun yang ada di

tempat kejadian, tetapi mikroskop ini baru bisa menghasilkan pembesaran

sebesar 10 kali. Pada abad 17 muncullah pengembangan dari mikroskop

terdahulu, mikroskop ini dapat menghasilkan pembesaran 300 kali,

kemampuan yang sedemikian besar memungkinkan para ahli forensik

untuk menganalisa benda-benda yang kecil seperti rambut dan serat-serat,

contoh darah, atau potongan dan sisa-sisa bahan yang lain. Pada tahun

1880 dikembangkanlah mikroskop yang mampu menghasilkan

pembesaran sampai dengan 2000 kali, kemudian disebut dengan

mikroskop stereoskopik karena menggunakan sistem mata dan lensa

ganda, hal ini semakin memudahkan kerja para ahli forensik. Pada tahun

1920 an Phillip Gravelle dan Calvin Goddard yang bekerja di biro

forensik dan balistik New York, telah mengembangkan mikroskop yang

dapat menghasilkan gambaran secara tiga dimensi, sehingga makin

mempermudah tugas para ahli forensik dalam menganalisa suatu bukti

atau petunjuk. Bahkan sekarang ini juga terdapat mikroskop yang dapat

digunakan dengan sinar infra merah sehingga dapat untuk menunjukkan

sama atau tidaknya dokumen yang telah dirusak.

Perkembangan ilmu pengetahuan forensik juga tidak dapat dilepaskan

dari fotografi, prinsip pada film fotografi telah ditemukan pertama kali

oleh seorang penemu Jerman yang bernama Johan Heinrich Schultze,

tetapi penemuannya belum sempurna sampai kemudian pada tahun 1826

disempurnakan oleh seorang purnawirawan Perancis yang bernama

Joseph Nicephore Niepce yang 13 tahun kemudian bekerjasama dengan

Louis Daguerre untuk lebih menyempurnakan konsep fotografi, yang

kemudian disebut dengan “Daguerrotype“. Dalam perkembangannya

“Daguerrotype“ dirasa kurang sempurna karena hanya bisa menghasilkan

satu gambar dalam sekali pencahayaan, akhirnya teknik negatif

ditemukan oleh William Fox Talbot, teknik negatif memungkinkan

pembuatan gambar positif yang lebih banyak dan lebih cepat, dan hingga

kini teknik negatif telah mengalami berbagai perkembangan yang cukup

pesat, akhirnya fotografi telah digunakan secara rutin untuk merekam

bukti atau petunjuk di tempat kejadian perkara (TKP), detail dari korban,

dan memgambil gambar subjek-subjek yang terlibat dalam tindak

kejahatan sehingga dapat mempermudah proses pengidentifikasian

nantinya, bahkan kini telah ada teknologi fotografi yang lebih maju dari

teknik negatif yaitu teknik fotografi digital yang dapat menghasilkan

gambar lebih murah dan lebih mudah dari fotografi negatif.

Selain berbagai kemajuan yang telah disebutkan di atas ada satu lagi

teknik penyidikan yang paling dasar yang tidak dapat ditinggalkan dalam

setiap proses penyidikan, hal tersebut adalah penyidikan menggunakan

sidik jari. Teknik dasar penyidikan menggunakan sidik jari telah

berkembang sejak tiga ribu tahun yang lalu di Cina kuno, dimana telah

dilakukan penggunaan cap jempol para pihak yang terlibat dalam

perjanjian-perjanjian legal yang mereka buat, budaya ini juga terjadi di

Jepang. Barulah pada abad ke-19 seorang Inggris yang telah

meninggalkan negerinya, bernama Dr. Henry Faulds yang bekerja di

sebuah rumah sakit di Tokyo mulai mengembangkan teknik penyidikan

sidik jari setelah ia terlibat penyidikan terhadap sebuah kasus pencurian

yang meninggalkan sidik jari si pencuri, bahkan kemudian Dr. Henry

Faulds menjadi sukarelawan pendanaan biro sidik jari (fingerprints

beareau) pada Scotlands Yard markas besar kepolisian London.

Perkembangan ilmu pengetahuan forensik modern mulai tampak pada

akhir abad ke-19. Secara pelan tapi pasti para ilmuwan forensik Amerika

mendirikan American Academy of Forensic Sciences pada tahun 1950

yang dipimpin oleh Dr. R. H. Gradwohl of St. Louis, di Missouri. Di

dalam American Academy of Forensic Sciences dapat dipelajari tentang

pathologi dan biologi, toksikologi, kriminalistik, dokumen yang

dipertanyakan, kedokteran gigi, antropologi, jurisprudensi, psikologi dan

berbagai macam pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu forensik.

Masih banyak penemuan-penemuan lain yang turut mengembangkan ilmu

pengetahuan forensik, mulai dari munculnya ilmu Toxicology

(mempelajari tentang racun), lalu mulai dikenalnya ilmu balistic

(mempelajari tentang akibat dari senjata), kemudian diperkenalkannya

sistem pendokumentasian pelaku kejahatan secara detail pada akhir abad

19, yang dikenal dengan istilah Bertillon system, karena dikembangkan

oleh seorang Perancis yang bernama Alphonse Bertillon. Kemudian pada

tahun 1970-an di Jepang telah dikembangkan teknik penyidikan baru

yaitu menggunakan sidik bibir dan sudah di coba digunakan sebagai alat

identifikasi dalam kasus kejahatan, biasanya terjadi pada kejahatan-

kejahatan seksual(David Owen, 2000:13).

3. Fungsi Ilmu Forensik

Fungsi ilmu forensik adalah membuat suatu perkara menjadi jelas, yaitu

dengan mencari dan menemukan kebenaran materiil yang selengkap-

lengkapnya tentang suatu perbuatan ataupun tindak pidana yang telah

terjadi (David Owen, 2000: 26).

Sedangkan ilmu forensik adalah bagian dari penyidikan, dan penyidikan

itu sendiri adalah suatu proses untuk mempelajari dan mengetahui apa

yang telah terjadi di masa yang lampau dan dalam kaitannya dengan

tujuan dari penyidikan itu sendiri, sehingga untuk menghasilkan

penyidikan yang benar-benar valid penyidik dengan seyogianya harus

melakukan penyidikan dengan sebaik-baiknya.

Dalam menjalankan tugas yang dibebankan pada penyidik, umumnya

penyidik memanfaatkan ilmu forensik untuk mendapatkan sumber-

sumber informasi yang dapat membuat jelas dan terang suatu perkara,

sesuai dengan fungsi dari ilmu forensik itu sendiri. Sumber-sumber

informasi yang dipakai untuk mengetahui apa yang telah terjadi antara

lain adalah :

1. Barang-barang bukti (physical evidence) seperti :

a. Anak peluru

b. Bercak darah

c. Jejak (impression) dari alat, jejak ban, jejak sepatu

d. Narkotika

e. Tumbuh-tumbuhan

2. Dokumen serta catatan-catatan,seperti:

a. Cek palsu

b. Surat penculikan

c. Tanda-tanda pengenal diri lainnya

d. Catatan tentang ancaman

3. Orang-orang seperti:

a. Korban

b. Saksi-saksi mata

c. Si-tersangka pelaku kejahatan

d. Hal-hal lain yang berhubungan dengan korban, tersangka dan

keadaan di TKP (Abdul Mun’im Idries, Agung Legowo

Tjiptomartono, 1982: 4).

Untuk dapat memanfaatkan sumber-sumber informasi tersebut tentu

dibutuhkan pemahaman dan bantuan dari ilmu forensik yang memiliki

berbagai bidang kajian, seperti pathologi dan biologi, toksikologi,

kriminalistik, dokumen yang dipertanyakan, kedokteran gigi, antropologi,

jurisprudensi, psikologi, kimia, fisika, dan khususnya dalam tindak pidana

yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia diperlukan

pemahaman serta penguasaan prinsip-prinsip dasar dari ilmu kedokteran

forensik yang praktis (Baik secara tersendiri yaitu pemahaman serta

penguasaan prinsip-prinsip dasar ilmu kedokteran kehakiman yang praktis

oleh penyidik, maupun secara keseluruhan dalam arti bantuan dokter

dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya merupakan sumbangan yang

besar artinya dalam penyidikan demi terwujudanya tujuan dari penyidikan

itu sendiri, yaitu membuat terang dan jelas suatu perkara).

Seperti diketahui bahwa penyidik adalah merupakan pusat dan pimpinan

dalam penyidikan. Semua aktifitas atau kegiatan serta tindakan yang

diambil dalam mencari kejelasan seperti yang dimaksud adalah

sepenuhnya tergantung dari kebutuhan atau sesuai dengan kebutuhan bagi

penyidikan. Perlu tidaknya suatu pemeriksaan atau langkah-langkah yang

harus diambil dan sampai sejauh mana bantuan ahli diperlukan dalam

usaha mencari kejelasan seperti yang dimaksud dalam fungsi ilmu

forensik, penyidikan yang menentukan. Ini tidaklah berarti bahwa

penyidik menutup diri dari setiap pendapat atau saran yang disampaikan

oleh ahli, yang sesungguhnya merupakan partner yang berguna dalam

penyidikan suatu perkara tindak pidana.

Berpijak pada kenyataan diatas, berhasil atau tidaknya penggunaan ilmu

forensik dalam penyidikan ditentukan oleh kualitas penyidik, dan

mengingat bahwa dalam penyidikan sering dibutuhkan bantuan dari

berbagai ilmu pengetahuan maka dengan demikian diperlukan kriteria

yang harus ada pada setiap penyidik, agar dapat menjadi seorang penyidik

yang baik, yaitu:

1. Cerdas

2. Mempunyai keinginan untuk mengetahui dan memiliki imajinasi

3. Memiliki pengamatan yang tajam serta ingatan yang kuat

4. Mengetahui tentang kehidupan dan masysrakatnya

5. Menguasai teknik yang dibutuhkan

6. Memiliki ketabahan

7. Harus bebas dari prasangka dan sikap berat sebelah

8. Memiliki kejujuran dan keberanian

9. Cukup peka dan tanggap serta penuh pertimbangan

10. Memiliki kondisi fisik yang baik dan penampilan yang rapih

11. Mempunyai kemampuan membuat laporan tertulis dengan baik

Bantuan ilmu forensik dalam penyidikan perkara tindak pidana yang

menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia dalam garis besarnya

dapat dibagi menurut tahapan-tahapan sebagai berikut, yaitu:

1. Pada pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP)

2. Pada pemeriksaan korban baik pemeriksaan terhadap korban yang

telah menjadi mayat maupun pada pemeriksaan korban kejahatan

seksual

3. Penganiayaan dan dan lain sebagainya

4. Pada saat dilakukannya rekonstruksi suatu kejahatan dan interogasi

(Abdul Mun’im Idries, Agung Legowo Tjiptomartono, 1982: 6).

B. Peranan Ilmu Forensik Dalam Usaha Untuk Memecahkan Kasus-kasus

Kriminalitas

Berdasar dari hal-hal diatas dapat kita amati bahwa ilmu forensik merupakan

ilmu yang sangat menarik untuk dikaji, hal ini karena sejarah yang panjang

dari ilmu forensik itu sendiri, lalu dukungan kemajuan teknologi terhadap

kemajuan ilmu forensik, dan selain itu tentu saja karena ilmu forensik

memiliki bidang kajian yang sangat banyak. Untuk itu berikut ini akan

dibahas beberapa contoh kasus yang berhasil dipecahkan oleh ilmu forensik

ataupun bagian-bagiannya.

1. Psikiatri Forensik dan Peranannya Dalam Memecahkan Kasus

Kriminalitas

Pada bagian ini akan dibahas kasus mengenai “karena kurang sempurna

akalnya dan sakit berubah akal” atau dalam bahasa medisnya skizofrenia

kronis dan debilitas mentis.

M. bin S., laki-laki Sunda, umur 27 tahun, telah dikirim oleh Jaksa

Tasikmalaya dengan Surat Ketetapan Hhtng ggakim Pengadilan Negeri

Tasikmalaya, untuk diperiksa kesehatan jiwanya. Dituduh telah

membunuh seorang guru sampai meninggal.

Mulai dirawat tanggal 19 Maret 1970, pernah dirawat di Rumah Sakit

Jiwa Pusat Bogor tanggal 21 Mei 1969 dan melarikan diri pada tanggal 22

Agustus 1969.

M. adalah seorang pendiam, sedikit sedih, menjawab seperlunya. Perasaan

datar, acuh tak acuh dan hormat, sopan. Pakaiannya bagi orang kampung

cukup bersih dan teratur. Pendidikan hanya sampai kelas Lima Sekolah

Dasar (SD) dan kemudian membantu ibunya jualan di warung.

Sebab dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa Pusat Bogor: banyak bicara,

melempari rumah orang, karena merasa selalu panas dan selalu pusing ,

rasa distroom, segan dan malas, kurang tidur.

Halusinasi dengar: mendengar suara perempuan dalam jiwanya sendiri

yang merayu, mengajak, menghina.

Halusinasi lihat : bayangan laki-laki dan wanita itu.

Halusinasi cium : bau makanan, bau obat, bau rokok, bau minyak.

Halusinasi raba : pernah merasa dipegang 1x, di iga dan lengan.

Lari dari bogor karena kesal

Sebab membunuh:

Halusinasi-halusinasi tidak ada lagi dan tidak pusing. Sebelumnya ingin

pacaran dengan tetangganya, yang bekerja bersamanya pada ibunya di

warung. Wanita itu tinggal bersama ibunya dan ia sendiri, tetapi ia tidak

pernah mengadakan hubungan kelamin dengannya, sungguhpun banyak

kesempatan, malahan tidak pernah menyentuhnya. Lama-kelamaan ia

merasa pusing.

Kemudian ke warung datang isteri guru itu. Ia sering mengobrol

dengannya. Dalam ingatannya ia merasa cinta terhadap nyonya itu. “saya

melayaninya karena ia terus melayani saya”. Mereka sering berdua-duaan,

tetapi tidak pernah pergi bersama-saama. Hanya di halaman saja, karena

nyonya itu sering datang untuk menagih.

Pukul setengah delapan malam itu, ia secara mendadak pergi ke rumah

nyonya itu. Sepulangnya dari warung, tiba-tiba ia merasa panas dalam

pikiran, lalu mengambil pisau dapur dan pergi ke rumah nyonya itu. Di

rumah nyonya itu si suami sedang menghadapi dua orang tamu. Pintu di

dobrak dengan kaki dan terus masuk. Guru itu mengejarnya, lalu pisau

ditusukkan. Tidak ada suara-suara yang menyuruhnya. Yang ada hanya

suara perempuan merayu, mengajak mati dan menghina.

Ada perasaan menyesal karena telah melakukan pembunuhan, tetapi tidak

kelihatan di air mukanya. Ia banyak pikiran sedih. Ia telah membunuh

karena cinta isteri orang lain. Ia sadar bahwa tidak boleh membunuh

seseorang, karena cinta kepada isteri orang itu.

Sebabnya ia membunuh, karena kegelapan, karena tidak tahan gangguan-

gannguan, karena pikiran-pikiran saja. Pikiran banyak, terus saja ingat

pada perempuan itu.

Pemeriksaan psikologis:

M. memiliki kecerdasan yang agak rendah. IQ kurang dari 70.

Pengalamannya tidak mengikuti perkembangan umurnya, sehingga

kecerdasannya tidak sesuai umurnya. Kehidupan emosional juga

terhambat dan masih bersifat infantil. Juga tingkah lakunya bersifat

kekanak-kanakan. Ia tidak sanggup menilai kenyataan dengan baik.

Mudah terpengaruh (suggestibel) dan suka lari ke dalam khayalan. Karena

perkembangan kepribadiannya tidak baik, ia tidak dapat menyelesaikan

masalah-masalah hidup, sering mengalami kekecwewaan dan konflik-

konflik batin.

Selama dalam observasi terlihat pola regresi. Ia selalu mengasingkan diri,

sulit mengadakan hubungan dengan perawat-perawatnya. Pikiran dan

tingkah laku seperti anak-anak.

Pemeriksaan psikiatris:

Pikiran dan tingkah lakunya seperti kanak-kanak. Ia dikuasai oleh nafsu-

nafsu dasar dan libidineus yang berasal dari asadar, yang tidak

dipengaruhi oleh hukum-hukum logika, waktu dan nilai-nilai masyarakat

yang teratur. Terdapat pembelahan emosi dan intelegensi seperti pada

masa kanak-kanak, karena pada masa kanak-kanak belum lagi terdapat

diferensiasi tegas dan wajar antara kedua-duanya.

Masalah adolesensi dan kedewasaan, yang membawa ketegangan dan

konflik-konflik tidak dapat dihadapinya dengan wajar, yang menyebabkan

ia lari kepada pola-pola regresi (kekanak-kanakan; infantil), yang bersifat

skizofrenia. Dengan cara demikian ia dapat menghindarkan diri dari apa-

apa yang tidak dapat diterima dalam tingkatan asadar.

Sampai berapa jauhnya ia sembuh dari pengobatan di Bogor, tidak

diketahui. Rupa-rupanya penyembuhan hanya sampai pada tingkatan

sembuh sosial, dalam arti ia sudah dapat berjualan di warung ibunya, tidak

mengganggu, tidak merusak.

Tetapi pikirannya masaih infantil atau autistis, banyak mengkhayal, tidak

memperdulikan kenyataan. Ketika sering bertemu dengan nyonya, isteri

guru itu, timbul pikiran dan dalam khayalannya, bahwa nyonya itu

mencintainya dan ia mencintai pula perempuan itu.

Cinta disini harus diartikan bukan cinta yang berwarna seksual., tetapi

cinta untuk memiliki. Apakah ia sepenuhnya mengerti apa sebenarnya

hubungan kelamin, disangsikan. Selama hidup dengan pembantu ibunya,

yang serumah dengannya, ia tidak melakukan hubungan kelamin dan tidak

pernah pula menyentuhnya, sungguhpun kesempatan banyak terdapat

untuk melakukannya.

Karena ingin memiliki perempuan isteri guru itu, timbul halusinasi dan

waham, bahwa nyonya itu selalu merayunya, mengejek dan menghina.

Nyonya itu mencintanya. Sementara itu ia menyadari, bahwa perempuan

itu sudah bersuami. Ia cukup menyadari, bahwa suami nyonya itu menjadi

penghalang bagi memenuhi keinginannya untuk memilki perempuan yang

“dicintainya” itu. Apa yang terjadi sebelum pembunuhan, tidaklah begitu

jelas. Ia bermaksud untuk berpacaran dengan tetangganya. Tetapi ia

kemudian mengambil pisau ke dapur dan terus pergi ke rumah guru itu.

Apa yang dirasakannya tidak dapat ia menerangkannya.

Dalam keadaan tegang bercampur takut sering terjadi, bahwa seseorang

melakukan pembunuhan (Raptus: reaksi terhadap ketegangan yang tak

tertahankan). Pada skizofrenia, juga dijumpa raptus, tanpa ada ketegangan

afek. Ditambah lagi, bahwa tertuduh adalah seseorang yang debil sering

melakukan kejahatan yang dasarnya adalah, kurang kemampuan untuk

memperkirakan akibat dari perbuatannya. Ia tidak cukup memiliki

kecerdasan untuk dapat mengetahui dan menyadari sepenuhnya apa yang

akan terjadi, sebagai akibat akan perbuatannya dan akibat bagi dirinya.

Apakah kekurangan kecerdasan disebabkan oleh debilitas mentis, ataukah

karena skizofrenia yang menahun , dapat diperdebatkan.

Diagnosa: skizofrenia yang menahun (kronis) dengan debilitas mentis.

Kesimpulan: tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena

kurang sempurna akalnya dan sakit berubah akal. Maka menurut pasal 44

ayat (1) KUHPidana, penderita M. sewaktu melakukan perbuatannya

berada dalam keadaan jiwa terganggu, sehingga ia tidak

bertanggungjawab atas perbuatannya sehingga ia tidak dipidana (Hasan

Basri Saanin Dt. Tan Pariaman,1983:252).

2. Peranan Ilmu Forensik Dalam Identifikasi Korban Bencana Massal

Seringkali dalam suatu kecelakaan ataupun bencana alam yang

mengakibatkan korban amat banyak, terutama jika para korban sudah

tidak dapat dikenali lagi, hal ini sangat menyulitkan dalam hal identifikasi

para korban, seperti pada tragedi bom Bali di Paddy’s dan Sari Cafe

ataupun tragedi jatuhnya pesawat terbang milik maskapai penerbangan

Mandala Airlines di Polonia Medan.

Pada dua kecelakaan diatas korban mencapai puluhan sampai ratusan

orang, yang mana sebagian besar dari korban sudah tidak dapat dikenali

lagi karena berbagai hal, mulai dari hangus terbakar sampai organ tubuh

yang sudah tidak lengkap ataupun tercerai berai.

Disinilah tugas ilmu forensik, yaitu untuk mengidentifikasi para korban

terutama korban yang sudah tidak dapat dikenali lagi. Untuk masalah

pengidentifikasian adalah bagian dari tugas kedokteran forensik maupun

antropologi forensik.

Identifikasi korban penting sekali untuk keluarganya terutama untuk

mengetahui keberadaan korban dan juga sehubungan dengan akta

kematian, warisan, dan perkara perdata lainnya.

Identifikasi mayat yang masih utuh dan baru tidak akan memberi

kesukaran. Identifikasi mayat tidak berbeda dari orang hidup, yaitu dari

foto, sidik jari, ciri tubuh, dan benda milik pribadi seperti pakaian, cincin

kawin, SIM (Surat Izin Mengemudi), KTP(Kartu Tanda Penduduk).

Untuk identifikasi perlu ditentukan, yaitu barang bukti yang berasal dari

tubuh manusia, apa kelaminnya, berapa panjang badannya, berapa

umurnya, data gigi, warna kulit, mata, rambut, kelainan kulit, penyakit,

cacat badan, sidik jari atapun kaki, benda milik pribadi, dan DNA

mitokondria.

Pada dua kasus diatas yakni tragedi bom Bali di Paddy’s dan Sari cafe

serta kecelakaan pesawat milik Mandala Airlines pihak forensik dalam

melakukan tugasnya mengidentifikasi korban menggunakan beberapa cara

di bawah ini.

Yang pertama kali dilakukan adalah mencari identitas umum yang mudah

dikenali seperti foto, sidik jari, ciri tubuh, dan benda milik pribadi seperti

pakaian, cincin kawin, SIM, KTP serta tanda pengenal lainnya. Bila bukti

cukup banyak tidak menimbulkan kesukaran dalam pengidentifikasiannya.

Baru setelah tanda pengenal yang umum tidak dapat ditemukan maka

dilakukan langkah-langkah pengidentifikasian antara lain sebagai berikut.

Ilmu urai dapat membuktikan bahwa bukti berasal dari manusia atau

bukan. Bila ditemukan tulang kecil pembuktian jadi sukar dan perlu

bantuan ahli ilmu urai. Sepotong daging dapat dibuktikan berasal dari

manusia dengan tes presipitin. Tes presipitin sangat peka, diperlukan

hanya sedikit jaringan untuk pemeriksaan. Tes ini berdasarkan ikatan

antigen antibodi yang membentuk presipitat putih seperti awan.

Kelamin dapat dengan mudah ditentukan. Pada laki-laki dapat dilihat dari

kelenjar prostat, zakar, buah zakar, dan pada perempuan dilihat dari rahim,

indung telur, payudara, bibir kemaluan. Rahim yang tidak hamil dan

kelenjar prostat adalah dua jaringan yang paling tahan lama terhadap

pembusukan.

Tulang adalah bahan yang baik untuk menentukan kelamin. Pada

umumnya tulang seorang laki-laki lebih besar dan lebih kasar

dibandingkan tulang seorang perempuan. Tulang yang baik untuk

menentukan seks atau jenis kelamin adalah tulang tengkorak, tulang

pinggul dan tulang kelangkang, tulang paha, tulang kering, tulang lengan

atas dan tulang dada. Penentuan seks juga dapat dilakukan dengan

pemeriksaan histopatologik dari tonjolan sel selaput lendir rongga mulut.

Pada sel perempuan ditemukan satu atau lebih tonjolan kecil kromatin

yang dinamakan Barr body. Inti lekosit polimorf pada perempuan

menunjukkan tonjolan menyerupai pemukul drum, drumstick projection

atau Davidson body.

Panjang badan dapat diperkirakan dari tulang panjang seperti tulang paha,

tulang kering , tulang lengan atas dan pengumpil dengan menggunakan

rumus Dupertuis dan Hadden, Karl person, Trotter dan Gleser.

Untuk penentuan umur dapat dilihat dari pertumbuhan kumis pada laki-

laki, pertumbuhan payudara pada perempuan, pertumbuhan rambut ketiak,

pertumbuhan rambut kemaluan, pertumbuhan lekum pada laki-laki, selain

itu tengkorak juga dapat dipakai untuk menentukan umur, yaitu dengan

memperhatikan menutupnya sambungan masing-masing tulang kepala.

Teknik penentuan umur yang lain dapat dilakukan dengan pengamatan

susunan gigi, pada bayi dilakukan dengan mengamati susunan gigi susu,

sedang pada anak-anak sampai dewasa dilihat dari susunan gigi permanen.

Data gigi harus diambil dari tiap korban yang idetitasnya tidak dikenal,

bila perlu otot maseter dipotong supaya rahang bawah dapat dibuka lebih

lebar. Gigi yang tidak rata, gigi yang dibungkus logam, gigi palsu,

jembatan gigi, merupakan ciri yang mudah dikenal kembali oleh

keluarganya.

Sidik jari merupakan bukti jati diri seseorang yang dapat dipercaya 100%.

Di dunia tidak ada dua orang yang memiliki sidik jari yang sama, bahkan

juga tidak pada kembar monozygot (identical twins). Sehingga pada dua

kejadian diatas para keluarga korban diminta untuk membawa tanda

pengenal milik korban yang terdapat cap sidik jarinya, dengan tujuan

untuk dicocokkan dengan sidik jari milik korban(Njowito Hamdani, 1992:

83).

Inilah teknik identifikasi yang paling final yaitu pemeriksaan DNA

mitokondria. Ini dilakukan jika korban benar-benar sudah tidak dapat

dikenali dan sudah tidak memungkinkan dilakukan proses-proses

pengidentifikasian di atas. Teknik pengidentifikasian menggunakan DNA

dilakukan dengan cara korban-korban yang sudah tidak dapat dikenali

diambil DNA nya masing-masing, kemudian dicocokkan dengan para

DNA dari para pihak keluarga yang mengklaim keluarga mereka ikut

menjadi korban. DNA digunakan sebagai teknik final karena pada

manusia di setiap bagian tubuhnya terdapat jaringan genetik yang sama

dengan milik keturunannya, sehingga dari DNA dapat diketahui hubungan

genetika seseorang. Sehingga tidak mengherankan jika pada dua kejadian

diatas banyak keluarga yang merasa keluaraganya menjadi korban

diperiksa DNA nya untuk kemudian dicocokkan dengan data-data DNA

milik para korban.

Hasil dari pengidentifikasian terhadap para korban dua kejadian diatas

terutama pada kasus bom Bali di Paddy’s dan Sari cafe dapat kita lihat

pada monumen yang didirikan untuk memperingati kejadian tersebut, pada

monumen tersebut dapat kita lihat semua nama dan negara asal dari para

korban, yang mana hal ini tidak akan diketahui tanpa adanya teknik-teknik

pengidentifikasian diatas.

3. Peranan Ilmu Forensik Dalam Menemukan Tersangka

Kasus-kasus diatas adalah contoh kasus yang ada di Indonesia. Dari

contoh diatas kita dapat mengetahui sejauh manakah perkembangan ilmu

forensik di negara ini. Lalu bagaimanakah perkembangan ilmu forensik di

luar negeri, terutama di negara dimana akademi forensik pertama kali di

dirikan (Amerika), dapat kita lihat dari contoh kasus berikut ini dimana

kasus berikut terjadi pada tahun 1923, sebuah masa yang mana Indonesia

masih dalam kondisi terjajah dan belum mengenal ilmu forensik.

Kasus ini adalah salah satu dari contoh keberhasilan yang spektakuler dari

ilmu forensik dalam memecahkan suatu kasus kejahatan. Kasus yang

sangat menarik dimana penjahat lihai bertemu dengan para ahli yang ulet.

Kasus ini penyelidikannya dipimpin oleh Edward Heinrich yang bertugas

di laboratorium forensik di Berkeley, California. Dimana pada saat itu

terdapat kelompok perampok yang mencoba merampok sebuah kereta

surat pada rel milik Union Pacific Rail Road. Tempat kejadian adalah di

sebuah pengendali perpindahan jalur di pegunungan selatan Oregon.

Gerbong surat diledakkan dengan dinamit dan seluruh petugas kereta

dibunuh dengan keji sebelum korban panik, dan pergi tanpa meninggalkan

jejak apapun.

Setelah itu melalui sebuah pencarian yang hati-hati di TKP, ditemukan

sebuah revolver, baterai pemberi tenaga detonator yang digunakan untuk

peledakan, sepasang pelindung sepatu yang dibuat dari karung yang

dibasahi cairan seperti minyak yang dibuat dari ter kayu untuk

menghilangkan bau pelarian yang dapat ditangkap oleh anjing-anjing

pelacak yang digunakan, dan sebuah setelan pakaian kerja. Setelah tidak

dapat lagi menemukan petunjuk yang berguna, polisi kemudian

mengirimkan pakaian kerja tersebut kepada Heinrich, yang menelitinya

hingga detil terkecil.

Heinrich mengambil contoh reruntuhan atau puing dari saku pakaian kerja

tersebut, yang beberapa diantaranya menunjukkan jejak atau bekas

pelumas. Hal tersebut membuat penyelidik memiliki petunjuk bahwa

pemilik pakaian tersebut kemungkinan seorang montir bengkel, tetapi

analisa Heinrich menunjukkan bahwa pelumas tersebut berasal dari pohon

cemara. Pada saat itu ia juga telah meneliti setiap detail dari pakaian kerja

tersebut menggunkan mikroskop, hingga dia telah mampu

menggambarkan karakteristik si pemilik secara detail.

Heinrich membuat pernyataan yang mengejutkan para petugas bahwa

mereka mencari seorang penebang kayu yang kidal dengan tinggi sekitar

lima kaki 10 inci, memiliki rambut coklat terang dan berat sekitar 165

pound. Orang ini berusia sekitar awal 20 an, menggulung rokoknya

sendiri, sangat berhati-hati dengan penampilannya, dan bekerja pada

penebangan di barat laut pasifik.

Kehadiran ter pelumas dari pohon cemara, dan biji dari cemara douglas

yang ditemukan di pakaian kerja, mengindikasikan seorang penebang

kayu yang bekerja di barat laut pasifik dimana cemara douglas banyak

digunakan. Kantong dari sisi kiri pakaian kerja menunjukkan lebih sering

dipakai daripada kantong sisi kanan, dan pakaian tersebut dikancingkan

dari kiri, menunjukkan si pemakai adalah seorang kidal. Sehelai rambut

coklat terang tertinggal di salah satu kancing menunjukkan warna rambut

dan usia tersangka, dan ukuran dari pakaian tersebut menunjukkan tinggi

sekaligus berat dari si pemakai.

Beberapa helai tembakau ditemukan di kantong, yang menunjukkan si

pemakai menggulung sendiri rokoknya. Pemotong kuku juga ditemukan

yang menunjukkan seseorang yang memotong kukunya secara rutin,

sebuah kepribadian yang unik diantara penebang kayu. Akhirnya Heinrich

menemukan pada dasar kantong yang tak tersentuh sebuah lembaran

kertas amplop rapat yang hampir hancur karena dicuci bersama pakaian

tersebut. Ketika dengan hati-hati diambil dan di beri larutan iodine untuk

memunculkan tulisan, hal itu menunjukkan pada tanda terima kantor pos

Amerika untuk sebuah paket surat terdaftar yang dikirimkan ke seorang

bernama Roy d’Autremont di Eugene, Oregon.

Ketika polisi mengecek alamat terakhir yang diketahui, tetangganya

mengatakan bahwa d’Autremont cocok dengan gambaran Heinrich dari

berbagai sisi. mereka juga menemukan bahwa dia telah menghilang

bersamaan dengan kembarannya Ray dan saudaranya Hugh, sejak hari

dari perampokan. Penggambaran juga melibatkan Ray dan Hugh, dan

mereka semua bertiga telah menjadi orang yang dicari.

Pelacakan bersaudara membuktikan lebih sulit daripada pelacakan

tunggal. Dan itu telah lewat empat tahun sebelum seorang sersan di

angkatan darat Amerika mengidentifikasikan Hugh d’Autremont sebagai

seorang prajurit yang bertugas bersamanya di Filipina. Dia kemudian di

tahan di Manila, dan saudaranya kemudian terlacak di sebuah peleburan

baja di Ohio dimana mereka bekerja dengan nama samaran. Akhirnya

ketiga bersaudara tersebut telah mengaku, dan mempertanggung

jawabkannya dengan hukuman seumur hidup (David Owen, 2000: 36).

BAB III

KESIMPULAN

1. Fungsi ilmu forensik adalah membuat suatu perkara menjadi jelas, yaitu

dengan mencari dan menemukan kebenaran materiil yang selengkap-

lengkapnya tentang suatu perbuatan ataupun tindak pidana yang telah

terjadi. Ilmu forensik adalah bagian dari penyidikan, dan penyidikan itu

sendiri adalah suatu proses untuk mempelajari dan mengetahui apa yang

telah terjadi di masa yang lampau dan dalam kaitannya dengan tujuan dari

penyidikan itu sendiri, sehingga untuk menghasilkan penyidikan yang

benar-benar valid penyidik dengan seyogianya harus melakukan

penyidikan dengan sebaik-baiknya.

Penyidik memanfaatkan ilmu forensik untuk mendapatkan sumber-sumber

informasi yang dapat membuat jelas dan terang suatu perkara, sesuai

dengan fungsi dari ilmu forensik itu sendiri. Sumber-sumber informasi

tersebut adalah (barang bukti fisik yang ada di tempat kejadian, dokumen

serta catatan yang ada di tempat kejadian atau yang berhubungan dengan

kejadian,orang-orang yang mengetahui atau dapat membantu memberi

informasi tentang kejadian yang ada).

Untuk dapat memanfaatkan sumber-sumber informasi tersebut tentu

dibutuhkan pemahaman dan bantuan dari ilmu forensik yang memiliki

berbagai bidang kajian, seperti pathologi dan biologi, toksikologi,

kriminalistik, dokumen yang dipertanyakan, kedokteran gigi, antropologi,

jurisprudensi, psikologi, kimia, fisika.

Agar fungsi dari ilmu forensik diatas dapat berjalan dengan baik, maka

diperlukan penyidik yang berkualitas dalam melakukan tugasnya.

2. Peranan ilmu forensik dalam usaha untuk memecahkan kasus-kasus

kriminalitas adalah sangat besar, hal ini dapat dilihat dari berbagai kasus

yang ada dimana ilmu forensik dipakai untuk menentukan apakah si

tersangka bisa dikenai hukuman atau tidak menyangkut kesehatan

jiwanya, kemudian ilmu forensik dapat digunakan untuk menentukan

keaslian suatu tulisan ataupun dokumen, lalu penggunaan ilmu forensik

untuk mengidentifikasi korban kejahatan ataupun bencana, dan yang

paling utama adalah penggunaan ilmu forensik untuk mengetahui

tersangka dari suatu tindak kejahatan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mun’im Idries dan Agung Legowo Tjiptomartono. 1982. Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan. Jakarta: PT Karya Unipres

Abdul Mun’im Idries, Sidhi, Sutomo Slamet Iman Santoso. 1985. Ilmu Kedokteran Kehakiman (Toksikologi Kehakiman/ Psikiatri Kehakiman). Jakarta: PT Gunung Agung

Andi Hamzah. 1987. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1981. Naskah Akademik Rencana Undang-undang tentang Kedokteran Kehakiman. Jakarta: Departemen Kehakiman

Bagian Kedokteran Forensik. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktek. Jakarta: Djambatan

David Owen. 2000. Hidden Evidence. London: Quintet Publishing Limited

Handoko Tjondroputranto. 1982. Ilmu Kedokteran Forensik dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta

Hasan Basri Saanin Dt. Tan Pariaman. 1983. Psikiater dan Pengadilan (Psikiatri Forensik Indionesia). Jakarta: Ghalia Indonesia

H.B. Sutopo. 1993. Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif. Solo: UNS.

John M. Echols dan Hassan Shadily. 1995. An English Indonesian Dictionary. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Koentjaraningrat. 1994. Metode-metode Penelitiaan Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Mardalis. 1990. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.

Munakhir Mudjosemedi. 2003. Bibir, Sidik Bibir, Ilmu Kesehatan dan Antropologi Ragawi: Integrasi antara Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Banyu Biru Offset

M. Yahya Harahap. 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Pustaka Kartini.

Njowito Hamdani. 1992. Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Panitia Seminar FK UGM. 1999. Seminar Sehari Aplikasi Ilmu Kedokteran Forensik Untuk Identifikasi. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Posman Simanjuntak. 1997. Berkenalan Dengan Antropologi. Jakarta: Erlangga

Ratna Nurul Afiah. 1998. Barang Bukti Dalam Proses Pidana. Jakarta: Sinar Grafika

R. Atang Ranoemihardja. 1983. Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science). Bandung: Tarsito

Riduan Syahrani. 1983. Beberapa Hal Tentang Hukum Acara Pidana. Bandung: Alumni

Soerjono Soekanto. 1986. PengantarPenelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sofwan Dahlan. 2004. Ilmu Kedokteran Forensik (Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum). Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro

S. Tanusubroto. 1983. Peranan Pra Peradilan Dalam Hukum Acara Pidana. Bandung: Alumni

Sutrisno Hadi. 1979. Metodologi Riset. Yogyakarta: UGM Press.

Team Forensik. 1979. Bagaimana Dokter Mengetahui Sebab Kematian (Forensic Medicine). Jakarta: Penerbit Lancar

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981. Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Waluyadi. 2000. Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta: Djambatan

William G. Eckert. 1980. Introduction to Forensic Sciences. United States of America: C. V. Mosby Company