makalah psi forensik fix.doc

74
PSIKOLOGI FORENSIK : PSIKOLOGI DAN PENEGAKAN HUKUM (SELEKSI, PELATIHAN, DAN EVALUASI) Oleh: Adhi Dharma Kristanto 15010112140175 Dessi Rusliana Dewi 15010112140141 Fatihatun N. Karimah 15010112140117 Galang Adi Prakoso 15010112140154 Indraswari Nur Imaniati 15010112140181 Sri Mulyati 15010112130068

Upload: adhidharmakristanto

Post on 22-Dec-2015

315 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Psi Forensik fix.doc

PSIKOLOGI FORENSIK :

PSIKOLOGI DAN PENEGAKAN HUKUM

(SELEKSI, PELATIHAN, DAN EVALUASI)

Oleh:

Adhi Dharma Kristanto 15010112140175

Dessi Rusliana Dewi 15010112140141

Fatihatun N. Karimah 15010112140117

Galang Adi Prakoso 15010112140154

Indraswari Nur Imaniati 15010112140181

Sri Mulyati 15010112130068

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2015

Page 2: Makalah Psi Forensik fix.doc

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut tercantum pada penjelasan UUD

1945. Sebagai negara hukum, tentunya segala sesuatu yang ada di Indonesia diatur

oleh hukum yang berlaku (Hardjono, 2004). Dengan demikian, hukum memiliki

peran penting di Indonesia dalam kehidupan bermasyarkat agar keadilan dapat

terwujud. Akan tetapi, penegakan hukum di Indonesia saat ini kurang berfungsi

secara maksimal sehingga keadilan di Indonesia belum tercipta secara merata.

Menurut Barimbing (dalam Sunarmi, 2004) bahwa masalah utama hukum adalah

pada pembuatan hukum dan penegakan hukum. Semenjak era reformasi tahun

1998, permasalahan yang menjadi sorotan yaitu permasalahan hukum Indonesia

terutama dalam hal penegakan hukum. Hasil survei 'World Justice Project 2011

Rule of Law’ terhadap penegakan supremasi hukum di 65 negara di dunia

menempatkan Indoensia berada pada rangking bawah, yaitu berada di posisi

kedua dari terakhir untuk wilayah regional dan di posisi 47 secara global (dari

total 65 negara (http://news.detik.com). Hasil survei Lembaga Survei Indonesia

(LSI) yang mengukur pendapat 2.050 responden dari 33 provinsi tahun 2012 di

Indonesia mengenai penegakan hukum diperoleh hasil minus, artinya banyak dari

responden yang menilai negatif (buruk) terhadap penegakan hukum Indonesia.

Hasil tersebut konsisten dengan hasil survel LSI tahun 2011 juga menunjukkan

bahwa praktek mafia hukum banyak terdapat di kepolisian, kejaksaan dan

pengadilan. Indikatornya banyak kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat

publik tidak diselesaikan secara adil. Mereka dihukum ringan dan bahkan ada

yang dibebaskan. Menurut Rahardjo (2006) kompleksnya permasalahan hukum

tidak hanya semata peramasahan hukum saja melainkan masalah perilaku

manusia.

Oleh karena itu, saat ini peran psikologi forensik diperlukan dalam

penegakan hukum. Menurut Suprapti & Sumarmo Markam (2003), Psikologi

Forensik adalah gabungan dari Psikologi dan Hukum, dan merupakan aplikasi

pengetahuan psikologi khususnya psikologi klinis, pada masalah-masalah yang

Page 3: Makalah Psi Forensik fix.doc

dihadapi jaksa, polisi dan penegak hukum lainnya untuk penyelesaian masalah

yang berhubungan dengan keadaan sipil, kriminal dan administrasi (sipil dan

kriminal). Peran psikologi forensik mencakup tiga macam, yaitu (Markam, 2003):

1. Psikolog dapat menjadi saksi ahli. Ada perbedaan antara saksi ahli dan saksi

biasa. Saksi ahli harus mempunyai kualifikasi (Clinical Expertise), meliputi

pendidikan, lisensi, pengalaman, kedudukan, penelitian, publikasi, pengetahuan,

aplikasi, aplikasi prinsip-prinsip ilmiah serta penggunaan alat tes khusus.

2. Psikolog dapat menjadi penilai dalam kasus-kasus criminal, misalnya

menentukan waras/tidaknya (sane/insane) pelaku criminal, bukan dalam arti

psikologis, namun dalam arti legal/hokum.

3. Psikolog dapat menjadi penilai bagi kasus-kasus madani/sipil. Termasuk

didalamnya menentukan layak tidaknya seseorang masuk RSJ, kekerasan dalam

keluarga dll.

Page 4: Makalah Psi Forensik fix.doc

BAB II

ISI

2.1. Psikologi di Bidang Penegakan Hukum

Lebih dari 40 tahun yang lalu, sebuah laporan dari pemerintahan Amerika

Serikat yang cukup berpengaruh pada organisasi kepolisian (Komisi Presiden

tentang Penegakan Hukum dan Administrasi Peradilan, 1967 dalam Fulero &

Wrightsman, 2009) memberitakan kepada organisasi polisi bahwa setidaknya

departemen kepolisian menyediakan sebuah tempat untuk bidang psikologi (hanya

di satu aspek di dalam penegakan hukum), yaitu seleksi dan perekrutan polisi.

Bab ini mencoba untuk menunjukkan bahwa bidang psikologi dapat

memainkan peranannya secara signifikan di hampir semua aspek dalam kinerja

polisi, mulai dari seleksi dan perekrutan, pelatihan untuk polisi dan penegakan

hukum lainnya, sampai kepada evaluasi performansi kerja para polisi dan penegak

hukum lainnya. Psikolog forensik dapat memberikan bantuan dalam menjawab

pertanyaan-pertanyaan utama seputar keluhan mengenai polisi seperti korupsi,

rasisme, dan brutalitas.

Selanjutnya, psikologi dan ilmu sosial lainnya telah mengevaluasi

perubahan terakhir dalam prosedur kepolisian, seperti regu penjaga ketertiban,

atau tugas-tugas anggota polisi khususnya di lingkungan terdekatnya, sehingga

mereka menjadi lebih akrab dengan urusan daerah setempat. Bab ini bertujuan

untuk menguji apa yang bisa ditawarkan oleh psikologi dalam mencapai tujuan

terkait meningkatkan prosedur-prosedur penegakan hukum.

2.2. Klien Psikolog Forensik

Korupsi dan kekejaman yang dilakukan polisi di New York City dan Los

Angeles merupakan salah satu dari banyak kasus yang membuat masyarakat

umum memberi perhatian lebih atau ‘mengawasi’ departemen kepolisian, yang

mana dapat menciptakan masalah-masalah pada kepolisian. Sedangkan, sedikit

masyarakat yang mengetahui sisi lain dari penegakan hukum, misalnya aksi

heroik oleh anggota penegak hukum dengan resiko terluka atau kematian. Selain

Page 5: Makalah Psi Forensik fix.doc

itu, pernah terjadi suatu kasus bahwa stres pada polisi juga dapat mengakibatkan

korban: dalam waktu satu tahun, sebanyak 12 anggota polisi baru di New York

City merencanakan bunuh diri.

Dalam mengidentifikasi kemungkinan kontribusi dari bidang psikologi

untuk penertiban hukum, kami memulai dengan bertanya: siapakah si klien?” atau

untuk siapa psikolog forensik bertanggung jawab, ketika mereka mencari

pengaplikasian ilmu psikologi di dalam sistem perkara pidana? Kemungkinan,

seorang psikolog forensik dipekerjakan oleh bagian kepolisian atau sheriff, lebih

sering sebagai konsultan dengan terlebih dahulu menjadi salah satu anggota atau

pegawai, tetapi psikolog forensik juga layak mendapat tanggung jawab untuk

menjawab perhatian masyarakat mengenai kepolisian. Seperti yang kita tahu,

keberhasilan dalam kedua tanggung jawab ini dalam satu waktu acapkali

menantang.

Klien psikolog forensik dalam penegakan hukum adalah sebagai berikut:

a. Masyarakat

Apa yang masyarakat inginkan dari aparat penegak hukum?

Masing-masing individu akan menjawab pertanyaan tersebut dengan

respon yang berbeda, tetapi terdapat dua keinginan yang bersifat

umum yaitu rasa hormat dan berkurangnya prasangka. The Christopher

Commision yang mempelajari Departemen Kepolisian Los Angeles

setelah pemukulan petugas dari Rodney King menyimpulkan bahwa

"terlalu banyak. . . petugas patroli melihat warga dengan kebencian

dan permusuhan; terlalu banyak memperlakukan masyarakat dengan

kasar dan tidak menghormati "(kutipan oleh Schmalleger, 1995, hal.

202 dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Sebuah keinginan untuk

keadilan yang khas (Tyler & Folger, 1980; Vermunt, Blaauw, & Lind,

1998 dalam Fulero & Wrightsman, 2009); jelas, keluhan yang sering

tentang polisi diskriminasi melawan Afrika Amerika dan minoritas

lainnya. Selama beberapa dekade, anggota kelompok ras minoritas

telah merasakan bahwa diri mereka telah menjadi korban ketidakadilan

oleh polisi dan aparat penegak hukum lainnya, termasuk petugas

Page 6: Makalah Psi Forensik fix.doc

patroli jalan raya dan deputi sheriff '(Decker & Wagner, 1982 dalam

Fulero & Wrightsman, 2009). Orang Afrika dan Amerika percaya

bahwa mereka disiksa oleh polisi jauh lebih parah daripada orang kulit

putih dalam beberapa cara yaitu, mengasari hal-hal yang tidak perlu,

dihentikan dan digeledah tanpa pembenaran, dan menjadi objek olok-

olok dengan bahasa kasar. Kekhawatiran anggota kelompok minoritas

yang tercermin dalam tingkat keluhan; misalnya, di Philadelphia 70%

keluhan terhadap polisi dari Afrika Amerika, meskipun penduduk kota

pada saat itu adalah 75% berkulit putih (Hudson, 1970 dalam Fulero &

Wrightsman, 2009).

Keprihatinan ini begitu besar sehingga korban kejahatan

mengembangkan singkatan klasifikasi kejahatan yaitu DWB ("drive

while black"), untuk mencerminkan kecenderungan beberapa petugas

patroli yang lebih memberikan perhatian kepada kaum minoritas

sebagai seseorang yang dituduh pelaku suatu tindak pelanggaran. Pada

tahun 1998, 11 orang pengendara dari Afrika dan Amerika, dengan

dukungan dari ACLU dan NAACP, mengajukan gugatan class action

terhadap negara bagian Maryland, mengklaim profil berbasis ras oleh

tentara negara dalam upaya mereka untuk menangkap obat-obatan dan

senjata terlarang. Biasanya, penggugat tersebut dilaporkan untuk

kemudian ditahan selama hampir satu jam ketika sedang diberikan

pertanyaan-pertanyaan. Catatan polisi negara Maryland menyatakan

bahwa polisi-polisi sendiri selama periode tiga tahun yang berakhir

pada Desember 1997 menunjukkan bahwa meskipun 75% dari

pengendara di Interstate 95 di Maryland adalah masyarakat kulit putih

dan 17% adalah hitam, 70% dari mereka menepi dan mencari yang

masyarakat dengan kulit hitam sementara hanya 23% yang putih

(Borovik, 1998; Janofsky, 1998). Keluhan serupa telah diajukan

terhadap lembaga penegak hukum di negara-negara lain, termasuk

Colorado, Illinois, Indiana, New Jersey, Oklahoma, dan Pennsylvania

(Johnson, 1999 dalam Fulero & Wrightsman, 2009).

Page 7: Makalah Psi Forensik fix.doc

Di Amerika Serikat pengadilan membahas penyitaan obat terlarang

dari kendaraan dekat perbatasan AS-Meksiko di El Centro, California.

Di antara faktor-faktor yang digunakan oleh Patroli Perbatasan untuk

membenarkan pemberhentian kendaraan adalah bahwa penghuni

kendaraan yang Hispanik. Pengadilan ditegakkan untuk kasus

penyitaan berdasarkan faktor lain (seperti fakta bahwa terdakwa dibuat

U-turn di daerah dengan tidak ada jalan samping dan di dataran

mengingat stasiun Patroli Perbatasan), tetapi menyatakan bahwa ras

tidak dapat digunakan bahkan sebagai salah satu faktor di antara

banyak dalam keputusan untuk menghentikan kendaraan. Masalahnya

masih cukup meresap bahwa pada bulan Juni 2001, Biro Bantuan

Hukum, komponen dari Kantor Program Keadilan, Departemen

Kehakiman Amerika Serikat, dianugerahi Northeastern University

Institute di Ras dan Keadilan hibah untuk membuat website yang

disebut Sumber Utama Koleksi Data Profiling Ras untuk memantau

masalah ini (lihat www.racial profil analysis.neu.edu).

Apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi kekhawatiran ini?

Apakah bidang psikologi memiliki sesuatu untuk ditawarkan?

Meskipun demikian topik ini penting untuk mendapatkan perhatian

lebih, salah satu intervensi adalah penggunaan psikolog untuk

membantu dalam keterlibatan masyarakat dalam pemilihan polisi.

Seringkali, tujuan dalam seleksi oleh departemen kepolisian

mencerminkan kriteria tradisional; mereka gagal untuk mengenali

tujuan keanekaragaman dalam susunan lembaga penegak hukum,

khususnya mempekerjakan kaum minoritas dan perempuan.

Anggota kelompok kepentingan khusus ingin mengungkapkan

agenda mereka sendiri dalam kegiatan departemen kepolisian. Banyak

departemen ini, bagaimanapun, telah "menolak apa yang mereka

anggap gangguan yang tidak beralasan dari orang-orang yang mereka

percaya memiliki sedikit pemahaman tentang sifat pekerjaan, dan,

pada kenyataannya, bermusuhan dengan polisi dan definisi mereka

Page 8: Makalah Psi Forensik fix.doc

sifat pekerjaan mereka" (Ellison, 1985, hal. 77, dalam Fulero &

Wrightsman, 2009). Katherine W. Ellison (1985, dalam Fulero &

Wrightsman, 2009) adalah seorang psikolog masyarakat yang

diundang untuk mengembangkan prosedur baru untuk memilih polisi

untuk Montclair, New Jersey, kepolisian. Dalam melakukannya, ia

memanfaatkan konsep stakeholder, yaitu orang-orang yang memiliki

pengetahuan khusus dan bunga, atau "saham," dalam menjalankan

departemen. Para pemangku kepentingan termasuk petugas dari

departemen, terutama petugas patroli. Anggota Dewan Kotapraja dan

pejabat kota lainnya, serta anggota media lokal, ulama, dan tokoh

lainnya, dimasukkan. Namun Ellison juga diminta wawancara dari

sampel kuota bertingkat dari 100 warga dari masyarakat dan termasuk

wakil-wakil masyarakat dalam panel yang diwawancarai calon untuk

pelatihan polisi. Sebuah sisi manfaat, selain memilih petugas yang

mencerminkan demografi masyarakat, adalah peningkatan komunikasi

antara polisi dan para anggota masyarakat yang bersifat mengeluh

tentang sikap mereka tidak tanggap untuk merespon.

Kekhawatiran masyarakat kedua adalah korupsi oleh polisi.

Perilaku menyimpang oleh polisi sifatnya bervariasi. Dalam periode

empat tahun di pertengahan 1990-an, lebih dari 500 petugas polisi di

47 kota dihukum karena kejahatan federal (Johnson, 1998 dalam

Fulero & Wrightsman, 2009). Penangkapan untuk pelanggaran

undang-undang negara yang lebih tinggi. Pelanggaran baru-baru ini

berbeda dengan dari beberapakali sebelumnya, ketika beberapa

petugas menerima suap maka beberapa kass seperti pelanggaran

perjudian, prostitusi, atau minuman keras tentu diabaikan. Sekarang,

korupsi memanifestasikan dalam petugas yang merupakan peserta aktif

dalam kejahatan; beberapa hal tersebut, dalam kata-kata mantan

komisaris polisi New York City, William Bratton, memiliki "benar-

benar menjadi tokoh predator" (dikutip Johnson, 1998, hal. 8A dalam

Fulero & Wrightsman, 2009).

Page 9: Makalah Psi Forensik fix.doc

Dalam beberapa kasus, petugas yang terlibat dalam perilaku

korupi, sebagian melakukannya karena konflik dalam mencapai

kesuksesan profesional. Polisi di kota besar yang diberi tugas

menangkap pengedar narkoba harus sering mengandalkan informan,

tetapi ketika polisi tergelincir informan uang untuk mengadukan

(biasanya $ 10 sampai $ 20), supervisor mereka mengejek permintaan

mereka untuk penggantian, mengatakan kepada mereka bahwa hanya

bagian dari melakukan bisnis (Kramer, 1997 dalam Fulero &

Wrightsman, 2009). Namun, godaan untuk menjadi pelanggar hukum

juga merupakan bagian dari mengejar pengedar narkoba. Seorang

polisi, terpidana korupsi, mengatakan kepada wartawan:

Jadi ketika kita menggerebek suatu tempat, kita akan

mengambil uang untuk mengganti pembayaran informan

kami. Setelah beberapa saat, dengan begitu banyak uang yang

ada di sekitar Anda, Anda hanya mengambil lebih, dan maka

Anda mulai bisa menggunakan untuk itu. Kecuali jika Anda

menghabiskan uang tersebut, Anda berhati-hati. Jika Anda

mendapatkan yang sebesar 10, katakanlah, Anda mengambil

hanya tiga atau empat. Anda tidak dapat menggrebek drug

house dan kembali dan tidak menyerahkan uang. Itu akan

menjadi pemberi petunjuk yang meyakinkan. (dikutip

Kramer, 1997, hal. 83 dalam Fulero & Wrightsman, 2009).

Michael Dowd adalah seorang polisi New York City sebagai

contoh bagaimana korupsi dimulai dengan tindakan ilegal yang kecil,

seperti mengambil uang dari tubuh korban, pindah ke patung besar,

untuk akhirnya merekrut petugas lainnya untuk berpartisipasi dalam

sistem yang rumit penyuapan dan pemerasan dan jaring Dowd sudar

berkembang untuk menghasilkan lebih dari $ 15.000 per minggu

(McAlary, 1994 dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Akhirnya Dowd

dan polisi lainnya mulai menangani kokain ke pinggiran kota anak-

Page 10: Makalah Psi Forensik fix.doc

anak Long Island. Dikarenakan tindakan-tindakan itu ia tertangkap,

ditangkap, dan dihukum; dia sekarang menjalani hukuman penjara 14

tahun.

Mengapa brutalitas dan korupsi terjadi, mengingat skrining yang

dituntut dari calon untuk pelatihan sebagai aparat penegak hukum

telah dilaksanakan? Apakah perilaku ini hasil dari karakteristik

kepribadian, atau mereka mengembangkan dari adanya subkultur

(polisi setempat, skuad petugas) rentan terhadap korupsi? Pertanyaan-

pertanyaan penting tersebut belum dapat dibuktikan dari karena

penelitian yang masih kurang. Jerome Skolnick (1966 dalam Fulero &

Wrightsman, 2009) menyimpulkan bahwa proses sosialisasi informal

yang khusus, interaksi dengan petugas yang berpengalaman-mungkin

lebih penting daripada pelatihan polisi-akademi dalam menentukan

bagaimana pemula dilihat pekerjaan mereka dan masyarakat. Dalam

analisis klasik tentang kehidupan polisi, Arthur Niederhoffer (1967

dalam Fulero & Wrightsman, 2009) menyatakan bahwa subkultur

(kebudayaan) polisi mengubah seorang polisi menjadi kepribadian

otoriter, dan kecenderungan seperti itu juga terdapat di beberapa studi

tentang perubahan yang terjadi dari merekrut dengan dukungan

pengalaman polisi (Carlson & Sutton, 1975; Genz & Lester, 1976;

Hageman, 1979; McNamara, 1967 dalam Fulero & Wrightsman,

2009). Tuntutan peran dapat menyebabkan peningkatan

otoritarianisme dan kemauan yang lebih besar untuk menggunakan

kekerasan; bekerja di daerah yang memiliki tingkat kejahatan yang

tinggi tampaknya mendorong otoritarianisme di polisi (Brown &

Willis, 1985 dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Salah satu upaya

empiris untuk menentukan apakah nilai otoritarianisme polisi terkait

dengan berapa kali mereka telah disiplin tidak menghasilkan

hubungan yang signifikan (Henkel, Sheehan, & Reichel, 1997 dalam

Fulero & Wrightsman, 2009), tetapi pendekatan perlu diperpanjang.

Page 11: Makalah Psi Forensik fix.doc

Aksi brutalitas dan korupsi dapat mencerminkan interaksi antara

predisposisi untuk pelanggaran hukum dalam petugas individu,

dikombinasikan dengan berada di sebuah subkultur yang membuat

tindakan tersebut mudah dilakukan dan mudah untuk lolos dengan

melakukan-subkultur yang bahkan mungkin memiliki norma-norma

yang mendorong perilaku tersebut.

b. Bagian Kepolisian

Klien kedua dari psikolog forensik adalah, tentu saja, department

kepolisian itu senduru, Seorang psikolog dapat membantu departemen

kepolisian dan badan penegakan hukum lain dalam menjawab

beberapa pertanyaan penting, seperti:

Apa yang harus disertakan dalam program pelatihan untuk

perekrutan? Apakah keberhasilan dalam program pelatihan dapat

memprediksi efektifvitas sebagai anggota polisis?

Apakah ada cara untuk mencegah atau mengurangi burnout pada

polisi? Apa cara yang efektif untuk menghadapai stress kerja pada

polisi?

Bagaimana perbedaan strategi untuk melawan tindak criminal?

apakah berpatroli dengan jalan kaki lebih efektif daripada dengan

menggunakan mobil polisi?

Bagian berikutnya dari bab ini adalah mengidentifikasi apa yang

ilmu psikologi tawarkan untuk menjawab beberapa pertanyaan

tersebut, sebaik konflik antara pendekatan untuk dijawab oleh psikolog

dan polisi.

2.3. Seleksi Polisi

Sementara Lewis Terman dan L. L. Thurstone merintis penggunaan tes

psikologi untuk mengklasifikasikan pelamar polisi di awal 1900-an (lihat Super,

1999; Scrivner, 2006 dalam Fulero & Wrightsman, 2009), hal tersebut tidak akan

terjadi sampai Penegakan Hukum Administrasi Bantuan yang diberikan dana

Page 12: Makalah Psi Forensik fix.doc

untuk lembaga lokal penegak hukum mulai tahun 1967 yang mana psikolog mulai

terlibat serius dalam pemilihan polisi.

Apa yang harus menjadi tujuan dari program untuk memilih calon untuk

pelatihan penegakan hukum? Terutama untuk kepala polisi yang telah berupaya

untuk menyaring pelamar yang tidak dibutuhkan daripada untuk memilih orang-

orang dengan profil yang diinginkan (Reiser, 1982c dalam Fulero & Wrightsman,

2009). Dalam waktu yang lama, psikolog (misalnya, Smith & Stotland, 1973

dalam Fulero & Wrightsman, 2009) memiliki tujuan bahwa kami harus bergerak

melampaui fokus dari hal-hal seputar patologi. Sebagai contoh, apa karakteristik

dari petugas penegak hukum yang ideal dan bagaimana mereka dapat

diperhitungkan (lihat Scrivner, 2006 dalam Fulero & Wrightsman, 2009)?

Psikologi telah membuat langkah ke arah jawaban dari pertanyaan-

pertanyaan yang muncul selama 90 tahun terakhir, namun jawaban yang pasti

tetap sulit dipahami, sebagian karena kurangnya kesepakatan tentang bagaimana

yang seharusnya dan juga karena beberapa karakter yang diinginkan tidak dapat

diukur secara tepat (Ainsworth, 1995 dalam Fulero & Wrightsman, 2009).

Hasil yang dicapai dalam memilih polisi yang diinginkan untuk pelatihan

merupakan hal yang sangat menggiurkan karena, dalam banyak yurisdiksi,

kelompok pertama merupakan salah satu yang terbesar. Rachlin (1991 dalam

Fulero & Wrightsman, 2009) menunjukkan bahwa di New York City antara

30.000 dan 50.000 orang mengambil tes polisi pamong praja setiap kali diberikan.

Dari kelompok besar ini, mereka yang mendapat skor yang cukup tinggi masih

harus melalui serangkaian evaluasi yang cukup sebelum mereka dipilih untuk

pelatihan di akademi polisi. Hal tersebut termasuk (Rachlin, 1991 dalam Fulero &

Wrightsman, 2009):

1. Sebuah tinjauan transkrip akademik, pajak, dan catatan militer serta

catatan pekerjaan.

2. Mengecek latar belakang dengan Departemen Kendaraan Bermotor, dan

cek sidik jari dengan FBI dan sidik jari tengah pendaftar New York State.

3. Wawancara dengan tetangga, keluarga, teman, dan atasan.

Page 13: Makalah Psi Forensik fix.doc

4. Sebuah skrining pemeriksaan medis, di mana calon peserta dapat

digugurkan karena jantung yang tidak normal, tekanan darah tinggi,

masalah punggung, atau gangguan pendengaran maupun penglihatan.

Bakal calon harus sehat secara fisik, dan mempunyai standar yang tinggi.

Misalnya, untuk lulus 1.991 fisik untuk Departemen Kepolisian Chicago,

seorang pria harus mampu melakukan bench press 98% dari berat badan,

berjalan 1,5 mil dalam 13,46 menit, dan melakukan 37 sit ups dalam satu

menit; sementara seorang wanita harus menekan 57% dari berat badannya

dan berlari 1,5 kilometer dalam waktu 16:21 menit (Kaplan, 1991). Sejak

saat itu, dan saat ini, terdapat tes kebugaran fisik di negara bagian Illinois

yang dikenal sebagai POWER (the Peace Officer Wellness Evaluation

Report; lihat www.chicagopolice.org/recruitment/power.pdf).

5. Tes psikologis (4 jam lamanya).

6. Wawancara dengan seorang psikolog klinis.

7. Pemeriksaan medis lengkap.

Hanya setelah melewati semua rintangan ini, pemohon akan dipilih untuk

pelatihan. Di suatu tempat antara 500 dan 1.500 pelamar dipilih untuk 5 ½ bulan

pelatihan di New York City Police Academy. Bahkan setelah seleksi yang ketat,

sekitar 10% pelamar dikeluarkan selama periode pelatihan (Rachlin, 1991 dalam

Fulero & Wrightsman, 2009).

2.4. Sejarah Psikologi dan Seleksi Polisi

Keterlibatan psikolog dalam evaluasi karakteristik polisi meluas kembali,

Tes intelegensi Stranford Binet yang diciptakan Lewis Terman banyak digunakan

(Scrivner, 2006 dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Terman (1917 dalam Fulero

& Wrightsman, 2009), penerbitan edisi pertama dari Journal of Applied

Psychology, menguji intelijensi sebanyak 30 pelamar polisi dan petugas pemadam

kebakaran di San Jose, California. Dari pengujian tersebut, ditemukan bahwa IQ

rata-rata adalah 84, ia merekomendasikan bahwa tidak ada orang yang IQ nya di

bawah 80 bisa diterima untuk posisi-posisi tersebut (Spielberger, 1979 dalam

Fulero & Wrightsman, 2009).

Page 14: Makalah Psi Forensik fix.doc

Beberapa dekade kemudian, penekanan bergeser kepada karakteristik

kepribadian; di tahun 1940-an, upaya yang dilakukan untuk menggunakan Skala

Temperamen Humm-Wadsworth sebagai dasar untuk memilih pelamar polisi di

Los Angeles (Humm & Humm, 1950 dalam Fulero & Wrightsman, 2009),

meskipun kurangnya bukti untuk validitas (Ostrov,1986 dalam Fulero &

Wrightsman, 2009). Sejak saat itu, psikolog telah mempekerjakan berbagai

prosedur. Meskipun mereka terus menggunakan tes kepribadian inventory, mereka

juga menggunakan wawancara dan tes situasional sebagai alat. Kami

mengevaluasi setiap pendekatan ini pada bagian berikutnya.

2.5. Alat untuk Seleksi Psikologis

Alat yang digunakan untuk seleksi psikologis para calon anggota

kepolisian dan penegak hukum lainnya adalah sebagai berikut:

a. Wawancara

Teknik wawancara dipakai dalam berbagai bidang, seperti

jurnalistik, hukum, kedokteran, pekerjaan sosial, psikologi klinis,

konseling, pendapat umum, dan riset konsumen (Anastasi, 1993).

Seperti dalam pemilihan karyawan untuk kebanyakan profesi,

wawancara pribadi telah menjadi bagian utama dari proses seleksi

untuk aparat penegak hukum. Biasanya, seorang psikolog klinis atau

psikiater melakukan brief interview atau wawancara singkat. Pada

pendekatan tradisional, wawancara digunakan untuk mencari patologi

(Silverstein, 1985 dalam Fulero & Wightsman, 2009). Apakah ada

karakteristik atau ciri-ciri kepribadian yang menyiratkan perilaku

abnormal? Baru-baru ini, bagaimanapun, penekanan telah bergeser

dengan menggunakan wawancara untuk menilai kualitas yang

diinginkan seperti kematangan sosial, stabilitas, dan keterampilan

dalam hubungan interpersonal (Janik, 1993 dalam Fulero &

Wightsman, 2009). Chandler (1990 dalam Fulero & Wightsman,

2009) memandang bahwa wawancara menyediakan jawaban atas

pertanyaan tentang "Sikap militer," rasa humor, dan absence of anger.

Page 15: Makalah Psi Forensik fix.doc

Dikarenakan wawancara ini merupakan interaksi dinamis antara dua

orang, maka dapat diperoleh informasi tentang karakteristik yang

tidak terlihat melalui prosedur lain, misalnya sifat-sifat sosial yang

bersifat kompleks seperti ketenangan, keunggulan, pengendalian

emosi, dan kepekaan sosial (Anastasi, 1993). Selain itu, dapat juga

menggali bahasa tubuh, kesesuaian emosi yang diungkapkan oleh

orang yang diwawancarai, wawasan seseorang mengenai perilakunya

sendiri, dan kemampuan untuk menyampaikan perasaan dirinya

sendiri (Silverstein, 1985 dalam Fulero & Wightsman, 2009).

Keuntungan dilakukannya wawancara adalah diperoleh data

riwayat hidup yang lebih lengkap daripada melalui blanko lamaran.

Melalui pemeriksaan selektif, wawancara memungkinkan penelitian

bagian-bagian tertentu karena diperoleh petunjuk dari jawaban-

jawaban individu itu sendiri. Keuntungan lain dari wawancara

meliputi penggabungan data untuk memperoleh evaluasi akhir atau

dalam pembuatan keputusan. Pada hakikatnya, interviewer

mempergunakan pendekatan klinis dalam menggabungkan data

wawancara dan informasi yang diperoleh dari tes-tes maupun sumber

lain. Selain itu, dengan wawancara dapat memberi informasi yang

tepat mengenai pekerjaan dalam bidang penegakan hukum. Para

pelamar akan lebih mudah memutuskan apakah pekerjaan tersebut

cocok dengan minat, tujuan, dan kecakapan mereka (Anastasi, 1993).

Namun, wawancara, sebagai perangkat pilihan masih memiliki

beberapa kelemahan. Tujuan dari wawancara klinis secara tradisional

tidak begitu banyak membawa keuntungan untuk dapat memprediksi

dalam hal seleksi. Sebaliknya, tujuannya adalah untuk mendapatkan

pemahaman yang mendalam tentang individu. Keabsahan sering

dinilai dengan membandingkan satu klinisi dengan klinisi yang lain.

Literatur dari psikologi industri organisasi dalam penggunaan

wawancara klinis tidak memberikan indikasi bahwa hal tersebut sah

Page 16: Makalah Psi Forensik fix.doc

sebagai prediktor kinerja pekerjaan (Ulrich & Trumbo, 1965 dalam

Fulero & Wightsman, 2009).

Masalah lain adalah bahwa tidak ada persetujuan mengenai format

untuk wawancara. Beberapa keinginan muncul untuk menstandarisasi

atau membakukan wawancara sehingga apa yang disampakan dalam

wawancara selalu mencakup isu yang relevan dengan kriteria

pekerjaan (Hibler &Kurke, 1995 dalam Fulero & Wightsman, 2009);

pendekatan terstruktur juga memungkinkan perbandingan antara

pelamar. Tapi psikolog lain dan psikiater lebih memilih kesempatan

untuk menyelidiki topik yang menjadi perhatian, karena hal tersebut

muncul dari tanggapan masing-masing calon. Bagaimanapun prosedur

yang digunakan, adalah penting bahwa wawancara dilakukan secara

adil dan merata (Jones, 1995 dalam Fulero & Wightsman, 2009).

Pelamar yang tergabung dalam kelompok minoritas kelompok ras dan

etnis yang sensitif terhadap kemungkinan bias rasial oleh

pewawancara, dan beberapa komentator (Jones, 1995; Milano, 1989)

menyarankan bahwa bentuk wawancara perlu disiapkan, yaitu

menentukan topik yang dibahas dalam wawancara.

Sebuah artikel penelitian oleh Hargrave dan Hiatt (1987, hal. 111

dalam Fulero & Wightsman, 2009) yang dikutip terkait dengan

wawancara psikiatri untuk seleksi polisi menyatakan bahwa salah satu

masalah dalam wawancara yang peneliti catat adalah kecenderungan

yang kuat bagi orang-orang untuk memerankan diri lebih positif

dalam wawancara tatap muka daripada tes-tes kepribadian, yang

mengakibatkan peningkatan jumlah false positive (poor risks who are

hired) dan tidak berdampak pada tujuan mengurangi false negative

(those not hired who would have displayed acceptable performance).

Dua masalah tertentu menghalangi pencapaian validitas untuk

wawancara dalam seleksi polisi, meskipun masing-masing masalah ini

adalah karakteristik dari beberapa pekerjaan lain (Spielberger, 1979

dalam Fulero & Wightsman, 2009). Pertama, kurangnya kriteria

Page 17: Makalah Psi Forensik fix.doc

terhadap prediktor penentu (Hargrave & Hiatt, 1987 dalam Fulero &

Wightsman, 2009). Polisi dan aparat penegak hukum lainnya memiliki

banyak otonomi dalam kegiatan mereka; juga, jumlah aktivitas yang

mereka lakukan sehari-hari mungkin beragam. Kedua, skrining pada

pelamar melalui wawancara klinis menyebabkan pengguguran kepada

mereka yang dianggap tidak memenuhi syarat; studi yang dihasilkan

sehingga telah dibatasi berbagai calon, dari siapa perbedaan individu

dalam efektivitas dibandingkan dengan hasil wawancara antara satu

pelamar dengan pelamar yang lain.

b. Tes psikologi

Administrasi tes psikologi untuk peserta pelatihan polisi

merupakan salah satu perangkat untuk seleksi penerimaan; tes dapat

dikelola secara berkelompok, dinilai dengan menggunakan komputer,

dan mudah diinterpretasikan. Tentu saja masyarakat tampaknya

berharap bahwa polisi akan disaring dengan menggunakan tes

psikologi. Tapi apakah tes psikologis memiliki validitas dalam

konteks ini?

Pengukuran kepribadian secara umum, seperti Minnesota

Multiphasic Personality Inventory (Hathaway & McKinley, 1983

dalam Fulero & Wightsman, 2009) dan California Psychological

Inventory (Gough, 1975 dalam Fulero & Wightsman, 2009), adalah

pokok dari pengujian tersebut. Telah diketahui secara luas bahwa

kegagalan dalam pekerjaan adalah akibat dari kekurangan

kepribadian. Memiliki tingkat kecerdasan yang diperlukan,

pengetahuan dan keterampilan bukan merupakan jaminan bahwa

seseorang akan menjadi seorang pemimpin yang baik, pekerja yang

memuaskan ataupun rekan kerja yang menyenangkan. Sifat-sifat

kepribadian mungkin dapat mengakibatkan sukses atau kegagalan

dalam suatu pekerjaan. Meskipun demikian, ternyata sifat-sifat

kepribadian memegang peranan penting dalam pekerjaan-pekerjaan

Page 18: Makalah Psi Forensik fix.doc

yang menuntut hubungan yang luas dengan sesama, termasuk anggota

penegak hukum (Anastasi, 1993).

Tes MMPI pada awalnya dirancang, pada awal 1940, untuk

mengidentifikasi individu dengan psikotik atau masalah neurotik. As

Blau (1994 dalam Fulero & Wightsman, 2009) mengamati bahwa tes

tersebut merupakan tes kepribadian paper and pencil yang digunakan

untuk penilaian selama lebih dari setengah abad. Tes ini terdiri dari

550 item benar-salah dan biasanya dibutuhkan waktu satu jam untuk

menyelesaikan. Pada akhir 1980-an, MMPI-2 dikembangkan dari

kebutuhan untuk memperbarui dan distandarisasi ulang instrumen asli

(Butcher, Dahlstrom, Graham, Tellegen, & Kaemmer, 1989 dalam

Fulero & Wightsman, 2009). Apakah MMPI-2 adalah peningkatan

dari MMPI asli telah dihasilkan banyak didiskusikan. Satu studi yang

diberikan oleh kedua skala untuk 166 petugas polisi menemukan

bahwa 70% dari mereka menghasilkan profil normal pada kedua tes

(Hargrave, Hiatt, Ogard, & Karr, 1993 dalam Fulero & Wightsman,

2009). Tapi responden individu tidak selalu mendapat skor tertinggi

pada subskala yang sama dari satu bentuk tes untuk tes yang lain.

Minnesota Multiphasic Personality Inventories (MMPI) Tes MMPI

Tes MMPI adalah tes kepribadian yang digunakan untuk mengukur

psikopatologi orang dewasa di dunia. Tujuan dari tes ini adalah

memberikan gambaran tentang dimensi-dimensi kepribadian dan

psikopatologi yang penting dalam klinik psikiatri secara akurat.

MMPI merupakan hasil kolaborasi yang dikembangkan pada awal

tahun 1940-an dari seorang psikolog dan psikiater bernama Starke R

Hathaway PhD dan Dr JC McKinley di Universitas Minnesota. Pada

tahun 1960-an, MMPI dipandang sebagai tes kepribadian terkemuka

yang yang sering digunakan pada subjek-subjek yang normal dalam

lingkungan konseling, pekerjaan, medis, militer, dan forensik. Untuk

Page 19: Makalah Psi Forensik fix.doc

pertama kali MMPI direvisi pada tahun 1989 menjadi MMPI-2 dan

versi untuk remaja dikembangkan menjadi MMPI-A.

Tes MMPI-2 terdiri dari 567 pertanyaan afirmatif yang

ditanggapi peserta tes “Benar” atau “Salah”. 370 butir soal pertama,

pada dasarnya sama dengan butir-butir soal dalam MMPI. 197 butir

soal tersisa (107 diantaranya baru) diperlukam umtuk menskor seluruh

komponen yang terdiri dari 104 validitas baru, yang direvisi dan

dipertahankan, serta skala dan subskala suplementar yang membangun

inventori secara lengkap. Butir-butir soal mempunyai rentang luas

dalam isi, mencakup bidang-bidang seprti kesehatan umum, simptom-

simptom afeksi, neurologis, dan motorik, sikap seksual, politis dan

sosial, pertanyaan-pertayaan tentang pendidikan, pekerjaan, keluarga

dan pernikahan, serta banyak menifestasi perilaku neurotis, ide-ide

rujukan, fobia dan kecenderungan sadistik serta masokhistis. Inovasi

lain yang dikenalkan dalam MMPI-2 adalah penggunaan skkor Y

yang seragam (Anastasi & Susana, 2007).

Tes MMPI-A adalah bentuk baru dari MMPI yang dikembangkan

secara spesifik untuk digunakan pada remaja. MMPI-A memuat

hampir semua segi dari MMPI dan MMPI-2, mencakup 13 skala

dasar, tetapi menanmpumg peserta lebih muda melalui pengurangan

panjang keseluruhan inventori menjadi hanya 478 butir soal,

dimasukkannya butir-butir soal dan skala-skala baru yang mencakup

bidang yang secara spesifik relevan bagi remaja, seperti masalah

sekolah dan keluarga. MMPI-A memiliki skala valididtas sendiri (F1

dan F2), juga skala dan subskala isi serta suplementer yang unik untuk

MMPI-A dan bebrapa hal yang umum bagi kedua instrumen tersebut

dalam Fulero & Wrightsman, 2009.

The California Psychological Inventory (CPI)

Tes ini mirip dengan MMPI dalam hal format, tetapi subskala pada

CPI mencerminkan sifat-sifat pribadi seperti dominansi, sosialisasi,

Page 20: Makalah Psi Forensik fix.doc

dan fleksibilitas, berbeda dengan kategori diagnostic (misalnya,

Psychopathic Deviate, Hypomania) dari MMPI. Sebuah survei dari 72

lembaga penegak hukum utama (Strawbridge & Strawbridge, 1990

dalam Fulero & Wightsman, 2009) menemukan bahwa MMPI adalah

yang paling sering digunakan –sebanyak 33 instrumen, atau 46%, dari

departemen-departemen tersebut. Berikutnya yang paling sering

adalah CPI (11 dari 72 departemen) dan Inwald Personality Inventory

(IPI) (digunakan dalam 5 departemen). Dua departemen

menggunakan Rorschach Teknik Inkblot, dan dua menggunakan DAP;

sedangkan 37 (atau 51%) dari departemen tidak menggunakan tes

sama sekali. Survei ini dilakukan pada tahun 1989, dan departemen

yang menggunakan tes rata-rata memiliki peningkatan akreditasi yang

diberikan oleh Komisi Akreditasi untuk Instansi Penegakan (Blau,

1994).

Meninjau penggunaan tes psikologis di kepolisian seleksi,

Hargrave dan Hiatt (1987 dalam Fulero & Wightsman, 2009)

melaporkan studi menemukan hubungan yang signifikan antara Skala

MMPI dan penguasaan pekerjaan polisi ', mobil kecelakaan, peringkat

atasan, dan masalah pekerjaan. Meskipun CPI telah digunakan lebih

jarang, nilai skala yang terkait dengan kinerja akademi trainee ' dan

untuk peringkat pengawas '. (Studi Tertentu dikutip tercantum dalam

Hargrave dan Hiatt, 1987, p. 110, dan Bartol, 1991, hal. 127). Dalam

review lain, Bartol (1991) adalah kurang optimis, menggambarkan

track record MMPI dalam penyaringan dan pemilihan personil

penegak hukum sebagai "Dicampur." Namun, Bartol (1991)

menyimpulkan bahwa MMPI, meskipun keterbatasannya, terus

menjadi ukuran kepribadian yang paling umum digunakan untuk

pemilihan polisi.

The Inwald Personality Inventory

Page 21: Makalah Psi Forensik fix.doc

MMPI dan CPI merupakan instrumen umum. Sebaliknya, Inwald

Personality Inventory (IPI) dikembangkan untuk tujuan yang lebih

spesifik dan terbatas: untuk mengukur sesuai tidaknya sifat

kepribadian dan pola perilaku kandidat penegak hukum (Inwald,

Knatz, & Shusman, 1983; Inwald, 1992; Detrick & Chibnall, 2002

dalam Fulero & Wrightsman, 2009).

The Inwald Personality Inventory (IPI) terdiri dari 3010 pertanyaan

"benar-salah" persediaan yang dirancang untuk mengidentifikasi

berbagai kepribadian dan karakteristik perilaku. Hal ini terutama

digunakan untuk menyaring pelamar untuk posisi berisiko tinggi

seperti calon polisi. Penilaian ini, atau tes, dikembangkan sebagai

tanggapan terhadap persyaratan keselamatan / hukum proses seleksi

penegakan publik (Kitaeff, 2011).

IPI dikembangkan oleh Dr Robin Inwald dan pertama kali

diterbitkan pada tahun 1980 oleh Hilson Research, Inc. Pada bulan

Maret 2007, penilaian dari Hilson Penelitian diakuisisi oleh IPAT

Keselamatan Publik dan Divisi Keamanan. IPI merupakan hak cipta

dan merek dagang. Dokter harus membayar biaya setiap kali diberikan

(Kitaeff, 2011).

Dua puluh lima skala klinis dan satu skala validitas, Guardedness,

digunakan dalam penilaian. Timbangan klinis yang kaku Type,

Alkohol, Obat Terlarang, Penyalahgunaan Zat Mengemudi

Pelanggaran, Kesulitan Kerja, Masalah dengan Hukum dan

Masyarakat, Sikap antisosial, Hiperaktif, Absen Penyalahgunaan,

Kekhawatiran Penyakit, Pengobatan Program, Kecemasan, Type "A",

fobia Kepribadian, Kurangnya Ketegasan, Kepribadian Obsesif,

Depresi, Loner Jenis, Kesulitan interpersonal, Konflik Keluarga,

Kekhawatiran seksual, Kekhawatiran Pasangan/Mate, tidak

semestinya kecurigaan, Pengalaman yang tidak biasa / Pikiran

(Kitaeff, 2011).

Page 22: Makalah Psi Forensik fix.doc

IPI dikembangkan dari lebih dari 2.500 wawancara pra-kerja

dengan calon petugas keselamatan publik. Item yang dirancang untuk

mendeteksi reaksi stres dalam konteks penegakan hukum serta pola

perilaku menyimpang. IPI dikembangkan sebagian untuk melawan

penggunaan tes psikopatologi (seperti MMPI) untuk digunakan

sebagai tes seleksi keselamatan publik. The Inwald Personality

Inventory (IPI) dikembangkan dengan tujuan mengungkapkan

langsung mempertanyakan keselamatan publik calon penegak hukum

dan mendokumentasikan perilaku mereka mengakui, daripada

menyimpulkan thosebeaviors dari indikator kepribadian berasal

statistik khusus untuk pra-kerja screening kepribadian pelamar polisi

(Inwald, 1992). Instrumen ini terdiri dari 310-item, kuesioner benar-

salah terdiri dari 26 skala (25 skala yang asli dan 1 validitas skala) 25

konstruksi diukur dengan IPI adalah (Kitaeff, 2011):

a. memerankan perilaku: penggunaan alkohol (AL), penggunaan

narkoba (DG), pelanggaran drivig (DV), kesulitan pekerjaan (JD).

masalah dengan masyarakat dan hukum (TL), dan penyalahgunaan

adanya (AA)

b. Memerankan sikap: penyalahgunaan zat (SA), sikap antisosial

(AS), Hyperactivity (HP), gaya kaku (RT), dan tipe A (TA).

c. Diinternalisasi konflik: illnes perhatian (IC), program pengobatan,

kecemasan (AN), kepribadian fobia, kepribadian obsesif, depresi,

tipe penyendiri, dan pengalaman yang tidak biasa dan pikiran.

d. Konflik interpersonal: kurangnya ketegasan, kesulitan

interpersonal, kecurigaan berlebihan, konflik keluarga, masalah

seksual, dan konflik pasangan / pasangan.

Instrumen ini terdiri dari 310-item, kuesioner benar-salah terdiri

dari 26 skala (25 skala yang asli dan 1 validitas skala) dirancang untuk

mengukur, antara lain reaksi stres dan pola perilaku menyimpang,

termasuk ada atau tidak adanya masalah keterlambatan, kesulitan

berelasi, perilaku antisosial, dan penggunaan alkohol serta narkoba.

Page 23: Makalah Psi Forensik fix.doc

Subskala IPI juga mengukur kecurigaan, kecemasan, dan karakteristik

kaku. Tes ini biasanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit.

Perbedaan signifikan antara IPI dan tes yang telah dijelaskan

sebelumnya adalah bahwa IPI dikembangkan "dengan tujuan

mengungkapkan secara langsung, mempertanyakan keamanan

publik/calon penegak hukum dan mendokumentasikan perilaku untuk

mengakui, bukan menyimpulkan perilaku orang-orang dari data asal

indikator kepribadian "(Inwald, 1992, hal. 4 dalam Fulero &

Wrightsman, 2009). Blau (1994 dalam Fulero & Wrightsman, 2009)

mencatat, pada dasarnya sebuah hasil tes screening bertujuan untuk

menilai perilaku antisosial dan maladjustments emosional yang

mungkin ber pengaruh buruk pada kinerja polisi.

Item IPI mengukur karakteristik kepribadian dan pola perilaku.

Skala ini mengandung pernyataan yang menilai kedua jenis pola

perilaku yang tidak biasa serta mencerminkan masalah berat dan

mencerminkan kesulitan penyesuaian. Item ini dirancang untuk

mengidentifikasi, misalnya, " sangat menjaga citra dirinya tetapi naif,

hiperaktif atau kecenderungan antisosial hanya didasarkan pada

penerimaan perilaku "(Inwald, 1992, hal. 3 dalam Fulero &

Wrightsman, 2009). Skala ini juga memiliki tujuan membedakan

antara individu yang mengekspresikan sikap menyimpang secara

sosial dan orang-orang yang bertindak terhadap mereka (Inwald, 1992

dalam Fulero & Wrightsman, 2009).

IPI berisi skala validitas (Guardedness) serupa dengan validitas

skala pada inventori lainnya, tapi berbeda dengan L skala MMPI, 19

pernyataan pada skala Guardedness mengandung kekurangan kecil

yang umum untuk hampir semua orang. Inwald mencatat, "Ketika

seorang calon menyangkal item tersebut, maka akan tampak sangat

kuat untuk menunjukkan budi pekertinya " (1992, hal. 4 dalam Fulero

& Wrightsman, 2009). Inwald mengembangkan item IPI setelah

meninjau lebih dari 2.500 wawancara pra kerja dengan kandidat untuk

Page 24: Makalah Psi Forensik fix.doc

posisi penegakan hukum. Tidak hanya memunculkan karakteistik

termasuk orang-orang kualitas yang berhubungan dengan fungsi polisi

yang efektif, tetapi mereka juga termasuk laporan diri

mengungkapkan dibuat oleh pelamar selama wawancara yang

sebenarnya. Sebuah analisis faktor (Inwald, 1992) dari skala IPI,

menggunakan 2.397 laki-laki dan 147 perempuan kandidat polisi,

dilakukan untuk menentukan kesamaan antara tanggapan terhadap

item yang berbeda, menemukan hal berikut:

Faktor 1, untuk kedua jenis kelamin, diukur secara ketat,

kecurigaan, dan perilaku antisosial. Ini termasuk Rigid Type,

kecurigaan yang tidak semestinya, dan Sikap antisosial.

Untuk laki-laki, Faktor ke 2 terdiri dari dua skala, Penyalahgunaan

Zat dan Hiperaktif, mencerminkan pengambilan resiko dan

perilaku impulsif. Sedangkan untuk sampel perempuan, skala

Alkohol dan Depresi juga memberikan kontribusi untuk faktor ini.

Untuk faktor ketiga, perbedaan jenis kelamin lebih besar muncul.

Bagi para pria skala fobia Kepribadian, Kurangnya Ketegasan,

Depresi, dan Loner Type dimasukkan pada faktor, tapi untuk

perempuan, ini digantikan dengan pekerjaan Difficulties and

Absence Abuse.

Upaya awal untuk memvalidasi IPI membandingkannya dengan

MMPI dalam sebuah studi dari 716 petugas koreksi laki-laki direkrut;

Tindakan kriteria termasuk retensi pekerjaan atauterminasi, adanya,

keterlambatan, dan disiplin tindakan dalam 10 bulan pertama layanan

(Shusman, Inwald, & Landa, 1984). Penelitian ini menyimpulkan

bahwa untuk sebagian besar kriteria, timbangan IPI memprediksi

status petugas lebih sering daripada skala MMPI, dan bahwa

kombinasi dari skala IPI dan MMPI meningkatkan ketepatan

klasifikasi. Suatu peningkatan kinerja ketika dua skala yang digunakan

bersama-sama dapat menciptakan kesimpulan yang konsisten dari

penelitian validasi dilaporkan di manual tes (Inwald, 1992 dalam

Page 25: Makalah Psi Forensik fix.doc

Fulero & Wrightsman, 2009), bersama dengan kekuatan relatif dari IPI

atas MMPI (Scogin, Schumacher, Howland, & McGee, 1989 dalam

Fulero & Wrightsman, 2009).

Studi validasi lebih lanjut (Inwald & Shusman,1984; Shusman &

Inwald, 1991a dalam Fulero & Wrightsman, 2009) menggunakan 329

polisi merekrut dan 246 petugas pemasyarakatan; lagi, peneliti

menyimpulkan bahwa lebih dari IPI MMPI skala diskriminasi berhasil.

Sebagai contoh, IPI menghasilkan 82% klasifikasi yang benar untuk

absensi, sedangkan MMPI menghasilkan 69% klasifikasi yang benar.

Dua skala, ketika digabungkan, meningkat tingkat akurasi hingga 85%.

Terutama berguna sebagai prediktor perilaku bermasalah adalah skala

IPI mengukur masalah dengan hukum, kesulitan pekerjaan

sebelumnya, dan keterlibatan dengan obat-obatan.

Jenis lain dari studi (Shusman, Inwald, & Knatz, 1987 dalam

Fulero & Wrightsman, 2009), cross-validasi, melibatkan 698 polisi

pria yang menyelesaikan enam bulan pelatihan di akademi kepolisian.

Dalam validasi sampel (N = 421), skala IPI ditetapkan dari 61%

sampai 77% dari petugas menjadi anggota kelompok yang benar,

berdasarkan delapan kriteria kinerja, sementara skala MMPI

diidentifikasi hanya antara 50% dan 70%. Dalam sampel lintas-

validasi, peneliti mengamati sedikit lebih menurun untuk IPI daripada

MMPI mengenai sebagian besar kriteria. tapi bahkan dengan gelar ini

agak lebih besar dari penyusutan, tingkat klasifikasi silang validasi

untuk IPI yang sama atau lebih besar dari validasi asli persentase dari

MMPI saja untuk semua tapi salah satu dari delapan kriteria.

Beberapa item IPI meminta pengakuan perilaku yang, setidaknya,

sosial tidak dapat diterima, dan sering pelanggaran hukum. akan

pelamar untuk posisi dalam penegakan hukum siap mengakui perilaku

seperti itu? Sebuah studi pintar oleh Ostrov (1985 dalam Fulero &

Wrightsman, 2009) memberikan jawaban yang provokatif.

Page 26: Makalah Psi Forensik fix.doc

Departemen Kepolisian Chigago menyaring dua kelompok sekitar

200 pelamar masing-masing, dengan menggunakan IPI. Setiap calon

juga memberikan sampel urin untuk analisis. Dalam sampel pertama,

43 calon memiliki Hasil urinalisis positif; dalam sampel kedua, 34 juga

melakukannya. Subkelompok ini ditemukan berbeda dari sampel acak

dari kandidat lainnya (misalnya, mereka dengan urinalisis negatif)

pada beberapa Item skala obat (perbedaan yang signifikan pada 3 item

untuk sampel 1 dan 5 item untuk sampel 2). Tertentu item disebut baik

ganja dan penggunaan narkoba keras. Meskipun beberapa temuan

validasi mengesankan, keandalan skala IPI tidak selalu kuat. Inwald

(1992 dalam Fulero & Wrightsman, 2009) telah melaporkan Cronbach

alpha koefisien (Ukuran konsistensi internal) dari 0,41 ke 0.82 untuk

calon polisi laki-laki dan 0,32 untuk 0.80 untuk calon perempuan.

Salah satu upaya untuk menggabungkan asli 26 skala menjadi 12 skala

lebih panjang untuk meningkatkan reliabilitas tidak berhasil dalam arti

Gelar (Shusman & Inwald, 1991b dalam Fulero & Wrightsman, 2009).

c. Tes situasional

Pendekatan ketiga dalam penggunaan alat seleksi adalah

menggunakan tes situasional. Pada pokoknya tes situasi

menggambarkan keadaan situasi “dalam hidup sebenarnya”. Dikarena

penerapannya yang luas, tes-tes tidak bisa digeneralisasikan secara

umum karena tergantung prosedur tertentu yang digunakan. Sifat,

kriteria, dan kualifikasi penguji/penaksir tes. 

Secara umum, koefisien validitas cenderung paling tinggi ketika

metodologinya paling baik, seperti menggunakan banyak sarana

termasuk evaluasi antar penguji dan antar rekan sebaya serta

memusatkan diri pada dimensi perilaku yang relevan dan langsung

dapat diamati. Defenisi lain tes situasional adalah sebagai berikut

(Psychologymania, 2015):

Page 27: Makalah Psi Forensik fix.doc

Tes situasional adalah semacam simulasi dari pekerjaan yang

sebenarnya yang dapat menggambarkan keberhasilan seseorang

yang nantinya diperjakan pada pekerjaan tersebut. 

Situasi dalam tes situasinal biasanya kompleks sehingga

menimbulkan kelebihan tes ini, dapat mengukur aspek-aspek yang

tidak dapat diukur pada tes tradisional. 

Tes ini digunakan dan pelaksanaannya dirancang khusus sesuai

kebutuhan setiap perusahaan.

Sedangkan, macam-macam situasional yang relevan dengan

perekrutan anggota penegak humum adalah ebagai berikut

(Psychologymania, 2015):

1. Test Stress Situasional  

Dirancang untuk mengetahui perilaku individu dibawah kondisi

penuh stress, frustasi, atau terganggu secara emosional. Peserta

diberi tugas untuk dilaksanakan dengan “dua penolong” yang

bersifat mengganggu serta tidak kooperatif.

2. Diskusi Kelompok (tanpa pemimpin) 

Digunakan untuk menguji sifat-sifat individu seperti: kerja tim,

kecerdikan/pola piker analisis dan pemahaman, intuitif dan

kepemimpinan. Tugas  tes menuntut kooperatif dari kelompok

peserta tes. Tidak seorang pun ditunjuk sebagai pemimpin dengan

tangungjawab tertentu. 

3. Leader Group Discussion (LGD) 

Mengunakan syarat dan waktu yang dibatasi dan digunakan secara

luas dalam seleksi kelompok; seperti: seleksi perwira militer,

supervisor, petugas administrasi, CEO, Manager, peserta pelatihan,

guru dan pekerja social.  Kelompok diberi tugas topik untuk

dibahas selama waktu tertentu (waktu dibatasi). Penguji mengamati

dan mmberik peringkat kinerja masing-masing orang (anggota

kelompok diskusi) dan tidak ikut ambil bagian dalam diskusi.

4. Roll Play (bermain peran) 

Page 28: Makalah Psi Forensik fix.doc

Digunakan untuk tujuan mengetahui perilaku minat. Individu

secara eksplesit diberik instruksi untuk memainkan suatu bagian

secara tertutup (dengan atau tanpa orang lain) atau dengan

melaporkan secara verbal apa yang akan dilakukan atau dikatakan. 

Situasi bisa disajikan secara realistik. Penggunaan disesuaikan

dengan situasi/lingkungan khusus dan kondisi lokal.Penerapan

penaksiran pekerjaan personel terutama ketika perilaku dan pribadi

penting bagi fungsi-fungsi pekerjaan.

Tes situasional atau sampel kecil dari perilaku seperti ketika

seorang polisi akan benar-benar menunjukkan pekerjaan. Salah satu

contoh adalah karya Dunnette dan Motowidlo (1976 dalam Fulero &

Wrightsman, 2009), yang berusaha untuk menentukan dimensi-

dimensi penting pekerjaan kinerja untuk setiap empat pekerjaan polisi:

(1) Petugas patroli umum, (2) patroli sersan, (3) detektif (penyidik),

dan (4) Komandan tingkat menengah. Studi menemukan cara menilai

dengan pendekatan dimensi khusus tersebut ketika mereka mulai

bekerja diawal 1970-an, para peneliti merancang serangkaian simulasi

dan tugas situasional standar, seperti latihan role-playing pada

perilaku diyakini perwakilan dari tugas polisi yang genting atau kritis;

yaitu, mereka mencoba untuk menilai bagaimana polisi yang direkruit

akan merespon pada kegiatan di mana dapat membentuk kriteria polisi

yang efektif bekerja. Misalnya, mereka meminta direkrut untuk

campur tangan dalam sengketa antara suami dan istrinya, untuk

melakukan penyelidikan pencurian, dan untuk membantu sebuah

orang yang terluka di sebuah hotel. Pemilihan calon pelatihan polisi

didasarkan pada kinerja ini dan jenis lain dari tugas.

Pada kesempatan lain, tes situasional telah digunakan dalam

pemilihan polisi. Salah satu contoh adalah pekerjaan Mills, McDevitt,

dan Tonkin (1966 dalam Fulero & Wrightsman, 2009), yang diberikan

tiga tes dimaksudkan untuk mensimulasikan polisi kemampuan

Page 29: Makalah Psi Forensik fix.doc

kepada sekelompok Cincinnati calon polisi. The Foot Patrol

Observation Test memerintahkan para calon berjalan di pusat kota

dengan enam blok dan kemudian menjawab pertanyaan tentang apa

yang mereka ingat dari hal-hal yang baru saja mereka amati. Dalam

Petunjuk Test, calon memiliki 10 menit untuk menyelidiki

serangkaian petunjuk yang ditanam tentang hilangnya sebuah kota

hipotetis pekerja dari kantornya. Mereka diamati ketika mereka

melakukan tugas ini dan dinilai pada informasi yang dapat mereka

kumpulkan. The Bull Sesion adalah diskusi kelompok yang dilakukan

selama dua jam dari beberapa topik penting yang berkaitan dengan

pekerjaan polisi.

Meskipun tes situasional memiliki daya tarik intuitif sebagai

perangkat pilihan, tes ini belum terbukti sebagai prediktor atau

penentu yang unggul dalam melihat kinerja calon dibandingkan

dengan hasil tes kepribadian yang dijelaskan pada bagian sebelumnya.

Hal tersebut dikarenakan tes situasional memakan waktu dan mahal.

Tes ini sebenarnya digunakan terutama untuk melengkapi tes

psikologi.

2.6. Pelatihan Polisi

Semua lembaga penegak hukum memiliki beberapa bentuk program

pelatihan untuk merekrut anggotanya. Apa peran yang psikolog lakukan dalam

program pelatihan tersebut, dan apa yang klien inginkan dari psikolog di sini?

Seorang psikolog forensik dengan pelatihan di organisasi psikologi dapat

mengevaluasi program pelatihan polisi untuk melihat apakah para polisi konsisten

dengan tanggung jawab serta menanyakan tanggapan dari polisi saat mereka

melakukan tugas mereka. Program pelatihan yang khas telah dikritik karena hanya

menekankan aspek yang didefinisikan secara sempit, yaitu pekerjaan yang

berhubungan dengan kegiatan kriminal, pengertian hukum yang relevan, pelatihan

senjata api yang efektif, pertahanan diri, dan teknik bertahan hidup lainnya

(Stratton,1980, p. 38 dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Meskipun hal tersebut

Page 30: Makalah Psi Forensik fix.doc

penting, psikolog mendesak departemen yang akan disertakan dalam strategi

pelatihan yang diperlukan untuk mengatasi stres yang berhubungan dengan

pekerjaan dan skill interpersonal lainnya serta keterampilan komunikasi (lihat

Scrivner, 2006; Toch, 2002;Sheehan & Van Hasselt, 2003 dalam Fulero &

Wrightsman, 2009). Polisi perlu memiliki keterampilan human-rellations,

termasuk kesadaran keragaman dan kemampuan untuk berkomunikasi

yang efektif. Pelatihan untuk polisi mencakup:

a. Kegiatan Psikolog pada sebuah Departemen Kepolisian

Diperkirakan bahwa pada tahun 1995, lebih dari 150 psikolog

diberikan waktu yang pentuh atau paruh waktu sebagai police psychologist

(Reese, 1995 dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Psikolog tersebut

membentuk Law Enforcement Behavioral Science Association (LEBSA),

dan bagian dari Divisi 18 dari American Psychological Association (Divisi

Psikolog di Pelayanan Publik) yang berjudul Police Psychology Section.

Organisasi-organisasi ini mensponsori presentasi dan workshop di tingkat

konvensi nasional serta prosedur saham, pengalaman, dan data.

Martin Reiser mulai menjabat sebagai psikolog departemen dengan

Departemen Kepolisian Los Angeles pada tahun 1968. Ia mengamati

bahwa departemen kepolisian biasanya meminta psikolog untuk

berpartisipasi dalam program pelatihan polisi dalam dua cara, yaitu

sebagai guru dan sebagai konsultan (Reiser, 1972 dalam Fulero &

Wrightsman, 2009). Sebagai seorang guru, psikolog mungkin diminta

untuk menginstruksikan pada penanganan orang sakit mental, hubungan

masyarakat, di bagian psikologi tindak pindana, atau hubungan dengan

figur otoritas. Sebagai konsultan, "psikolog diharapkan memiliki beberapa

keahlian tentang proses pendidikan, teknik mengajar, belajar sistem, dan

teknologi" (Reiser, 1972, p. 33 dalam Fulero & Wrightsman, 2009).

Psikolog yang menjabat sebagai konsultan untuk kepolisian umumnya

menyediakan layanan on call kepada pekerja yang berada di departemen.

Kegiatan termasuk berikut (Reiser, 1982b dalam Fulero & Wrightsman,

2009):

Page 31: Makalah Psi Forensik fix.doc

Kepala kepolisian ingin mengadakan survei kegiatan dan penembakan.

Seorang sersan meminta bantuan dalam mengembangkan Program

sikologis berbasis pelatihan mengemudi untuk mengurangi kecelakaan

dimana polisi yang terlibat.

Detektif pembunuhan mungkin ingin untuk bekonsultasi tentang

kejadian pembunuhan yang aneh.

Seorang petugas tertentu mungkin perlu konseling psikologis.

Psikolog yang bertindak sebagai konsultan untuk departemen

kepolisian harus fleksibel dan mudah beradaptasi; harus memodifikasi

kerangka acuan mereka untuk mengakomodasi berbagai permintaan

layanan (Reiser, 1982a, 1982b dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Salah

satu masalah utama bagi psikolog atau konsultan adalah apakah psikolog

di departemen penegakan hukum bertindak sebagai spesialis kesehatan

mental, sosial agen perubahan, seorang spesialis staf organisasi, atau

seorang karyawan yang masuk dalam hirarki? Reiser (1982b dalam Fulero

& Wrightsman, 2009) telah mengusulkan bahwa tingkat organisasi di

mana konsultan “akan ditempatkan di” akan menentukan bagaimana ia

dilihat oleh anggota lain dari organisasi, khususnya mereka yang berkuasa.

Biasanya, polisi telah waspada kepada psikolog. Polisi kemungkinan

telah menemui psikolog atau profesi kesehatan mental lain sebelumnya,

semuanya menghambat perkembangan sehubungan petugas untuk profesi

psikologi. White dan Honig (1995, hlm. 258-259 dalam Fulero &

Wrightsman, 2009) menjelaskaninteraksi ini sebagai berikut:

Memantau "do-gooder" psikolog dalam memberikan kesaksian dari

suatu kepentingan kejahatan.

Pengamatan psikolog tampaknya melindungi polisi yang mengklaim

cacat tetapi dirasakan oleh sesama perwira sebagai lemah atau tidak

menyalahgunakan sistem.

Melihat psikolog sebagai "lawan" yang memiliki kekuatan untuk

menjaga pejabat atau potensi petugas dari pasukan polisi melalui

Page 32: Makalah Psi Forensik fix.doc

peran psikolog dalam pemilihan polisi atau sebagai pengevaluasi tugas

yang telah dilakukan polisi.

Pada saat tertentu, psikolog menangani gangguan mental yang telah

dirilis setelah polisi membawa mereka untuk rawat inap bukan dengan

sukarela.

Dengan demikian, tugas awal untuk seorang psikolog polisi adalah

untuk mendengarkan dan belajar. Ia harus berusaha untuk memahami

budaya kepolisian dengan berpartisipasi di dalam perjalanan bersama

(lihat Gelber, 2003 dalam Fulero & Wrightsman, 2009), meminta

pertanyaan, dan dalam semua cara memahami dunia penegakan hukum

dan bukan "mengumpulkan amunisi untuk mengubahnya" (White &

Honig, 1995, p. 259 dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Seorang

administrator polisi mungkin takut bahwa psikolog memiliki kekuatan

magis dan konsultan entah bagaimana mungkin merebut administrator

mengontrol atau mencuci otak administrator polisi daribeberapa cara.

Reiser (1982b dalam Fulero & Wrightsman, 2009) telah menekankan

bahwa atribut pribadi dari konsultan-menjadi pragmatis, menunjukkan

adaptasi-sangat penting untuk keberhasilan; apa psikolog mampu

mencapai keberhasilan adalah "fungsi harapan peran organisasi, ditambah

apa konsultan individu membawa ke situasi di bentuk nya [atau dia]

atribut pribadi”.

Masing-masing tanggung jawab ini mungkin memiliki banyak

manifestasi. Seperti yang terjadi di banyak organisasi, departemen

kepolisian rentan terhadap mengadopsi inovatif dan program unik,

sebagian karena mereka baru dan berbeda. Seringkali program tersebut

tidak menerima evaluasi internal yang memadai, jika ada evaluasi pada

semua. Psikolog dapat memainkan peran yang berguna dalam

mengevaluasi efektivitas inovasi tersebut, apakah mereka menjadi tim

kepolisian, pelatihan sensitivitas, atau komunitas sesi orientasi.

b. Kurikulum Program Pelatihan

Page 33: Makalah Psi Forensik fix.doc

Seorang kepala polisi baru dapat meminta psikolog untuk merancang

program pelatihan untuk merekrut anggotanya. Pertanyaan penting

psikolog adalah: Apa yang Polisi lakukan? Apa yang mereka perlu tahu

dan mampu mereka lakukan? Studi kepolisian telah secara konsisten

menemukan bahwa peran polisi salah satunya adalah menyediakan

layanan dan menjaga perdamaian daripada penanganan kejahatan

(Meadows, 1987 dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Namun, pelatihan

polisi mungkin tidak konsisten dengan tugas mereka berikutnya. Germann

(1969 dalam Fulero & Wrightsman, 2009) telah mencatat bahwa

kebanyakan entry-level pelatihan polisi dikhususkan untuk "menangkap

penjahat" seperti sebanyak 90% dari waktu pelatihan-sedangkan petugas

hanya menghabiskan 10-15% dari tugas pekerjaan mereka pada kegiatan

ini. The National Advisory Commission on Criminal Justice Standards and

Goals (1973, hal. 392 dalam Fulero & Wrightsman, 2009) menyarankan

program pelatihan selama 400 jam, terorganisir sekitar enam bidang

subjek sebagai berikut:

1. Pengantar Sistem Peradilan Pidana: Sebuah pemeriksaan dasar dan

fungsi sistem peradilan pidana dengan perhatian khusus kepada peran

polisi dalam sistem dan pemerintah.

2. Undang-Undang: Pengantar pengembangan, filsafat, dan jenis hukum;

hukum pidana;acara pidana dan hukum pembuktian; diskresioner

keadilan; penerapan AS Undang-Undang Dasar; sistem pengadilan dan

prosedur; dan terkait hukum perdata.

3. Human values and probems: Pelayanan publik dan kepolisian non

criminal; kesadaran budaya; mengubah peran polisi; perilaku manusia

dan manajemen konflik; psikologi yang berkaitan dengan fungsi

kepolisian; penyebab kejahatan dan kenakalan; dan polisi-hubungan

masyarakat.

4. Prosedur Patroli dan Investigasi: Fundamental fungsi patroli termasuk

lalu lintas, remaja, dan penyelidikan awal; pelaporan dan komunikasi;

penangkapan dan penahanan tata cara; wawancara; investigasi kriminal

Page 34: Makalah Psi Forensik fix.doc

dan persiapan kasus; peralatan dan Penggunaan fasilitas; dan tanggung

jawab sehari-hari dan tugas.

5. Kecakapan Polisi: Filosofi kapan Penggunaan kekuatan dan tekad yang

tepat sekadarnya; pertahanan bersenjata dan tidak bersenjata;

kerumunan, kerusuhan, dan tahanan kontrol;

6. Administrasi: Evaluasi, pemeriksaan, dan proses konseling; kebijakan

departemen, aturan, peraturan, organisasi, dan personil masalah.

Komisi tersebut merekomendasikan distribusi waktu pelatihan seperti

yang ditunjukkan dalam kotak di atas Meadows (1987 dalam Fulero &

Wrightsman, 2009) disurvei 234 kepala polisi dan 355 pendidik pidana

keadilan tentang pentingnya pelatihan di masing-masing kategori. Kedua

kelompok merasa perlu untuk meningkatkan pelatihan hukum dan secara

tertulis dan komunikasi lisan, menyiratkan bahwa polisi mungkin tidak

melakukan pekerjaan yang baik untuk berkomunikasi dengan publik.

c. On the Job Training (Latihan Sambil Bekerja)

Setelah petugas polisi bisa dipercaya dan berada di pekerjaan,

kebutuhan akan pelatihan tidak berakhir. Bab A oleh White dan Honig

(1995 dalam Fulero & Wrightsman, 2009) pada peran psikolog polisi

dalam kegiatan pelatihan dibagi menjadi tiga kategori: kesehatan

Page 35: Makalah Psi Forensik fix.doc

pelatihan, pelatihan yang menyediakan informasi atau keterampilan, dan

pelatihan yang berhubungan individu untuk berorganisasi.

d. Pelatihan Khusus

Selain formal dan pelatihan on-the-job, polisi petugas mungkin perlu

pelatihan dalam kegiatan khusus; dua jenis dijelaskan di bagian berikut.

Respon kepada serangan oleh pasangan. Studi Komprehensif

menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, sekitar 10% dari perempuan

diserang oleh suami dan hampir 7% diserang berulang kali (Straus, Gelles,

& Steinmetz, 1980 dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Hanya sekitar

satu dari setiap tujuh Serangan ini dilaporkan ke polisi (Schulman, 1979;

Straus, & Gelles, 1986 dalam Fulero & Wrightsman, 2009); salah satu

alasannya adalah bahwa korban menganggap polisi tidak akan bersimpati

atau membantu.

Harapan ini setidaknya kadang-kadang realistis. Pada tahun 1979,

Oakland, California, Buletin Departemen Pelatihan Polisi

Page 36: Makalah Psi Forensik fix.doc

menginstruksikan polisi bahwa pasangan tidak boleh ditangkap karena

pelaku serangan terhadap pasangan maupun korban akan "kehilangan

muka" (Paterson, 1979, dikutip oleh Jaffe, Hastings, Reitzel, & Austin,

1993 dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Levens dan Dutton (1980

dalam Fulero & Wrightsman, 2009) menemukan bahwa polisi telah

bersikap negatif terhadap intervensi perselisihan di dalam negeri. Pelatihan

polisi oleh psikolog dibayangkan dapat meningkatkan bagaimana polisi

merespon dan akhirnya apakah korban memilih untuk meminta bantuan.

Karya oleh Donald Dutton dan rekan-rekannya (Dutton, 1981, 1988;

Dutton & Levens, 1977 dalam Fulero & Wrightsman, 2009) menemukan

bahwa pelatihan secara signifikan meningkatkan peran oleh polisi dalam

mediasi dan rujukan teknik.

Satu review (Jaffe, Hastings, Reitzel, & Austin, 1993) mengemukakan

bahwa program pelatihan untuk polisi harus mencakup informasi tentang

"biaya sosial serangan istri, statistik prevalensi, informasi tentang mengapa

korban tinggal atau kembali, dan deskripsi dari lokal layanan "(hal. 89).

Hal ini juga menyarankan bahwa polisi telah menyediakan panduan

sumber daya serta kartu bisnis dengan nomor telepon 24 jam.

Tentu saja, banyak yurisdiksi sekarang memiliki undang-undang

mandat penangkapan pelaku, sehingga mengambil kebijaksanaan polisi

jauh lebih dalam pada hal itu. Pada tahun 1984, sebuah laporan yang

diterbitkan oleh Jaksa Amerika Serikat Task Force Umum di Keluarga

Kekerasan direkomendasikan penangkapan yang menjadi kebijakan

disukai dalam menangani dengan insiden kekerasan dalam rumah tangga.

Hasil Penelitian yang dipublikasikan pada tahun yang sama, karena disebut

sebagai "The Minneapolis Experiment," pungkas penangkapan itu terbukti

jauh lebih efektif dalam membatasi pelanggaran penyalahgunaan pasangan

daripada nasihat salah satu atau pemisahan (Sherman & Berk, 1984 dalam

Fulero & Wrightsman, 2009). Sementara penulis penelitian ini

merekomendasikan bahwa penangkapan dugaan dan penangkapan tidak

wajib kebijakan dilembagakan berdasarkan temuan mereka, Percobaan

Page 37: Makalah Psi Forensik fix.doc

telah dilakukan sejak dikutip oleh banyak pendukung kebijakan

penangkapan wajib. Menurut hasil penelitian selanjutnya, Percobaan

Minneapolis telah mempengaruhi departemen penangkapan polisi

kebijakan di seluruh negeri (Binder & Meeker, 1988; Cohn & Sherman,

1986 dalam Fulero & Wrightsman, 2009).

Negosiasi dengan Teroris dan Penyandera. Terorisme sekarang

hampir bagian rutin masyarakat industri modern; setiap kali kita melewati

detektor logam di bandara, kita dapat diingatkan kemungkinan. Psikolog

dan ilmuwan sosial lainnya mulai mempelajari Fenomena sistematis

(Crenshaw, 1986; Friedland & Merari, 1985; Smith & Damphousse, 2002

dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Sebagai tanggapan pertama, polisi,

FBI, dan lembaga-lembaga publik-keselamatan lainnya memainkan peran

sentral (Greenstone, 1995b dalam Fulero & Wrightsman, 2009).

Masalah yang berulang lain adalah orang yang mengambil sandera.

Aparat penegak hukum harus memilih apakah akan bernegosiasi dengan

penyandera atau menggunakan cara langsung dan fisik intervensi. Sebuah

contoh dilema ini terjadi di Kansas City, Kansas, pada tahun 1994.

Seorang pria memegang anak tirinya di todongan senjata di dalam rumah

keluarga. Selama diperpanjang kebuntuan dengan polisi, istri penyandera

melarikan diri dari rumah aman bersama dengan dua orang lainnya. Polisi

masuk rumah dan bernegosiasi dengan penyandera, yang mengurung diri

dan sandera di lantai atas kamar tidur. Setelah sekitar tiga jam, polisi

memutuskan mereka memiliki kesempatan untuk melompat sandera

pengambil dan melucuti dia. Tapi saat mereka mulai melakukan, sandera

(remaja) kabur dari ruangan; seorang Polisi perwira-berhadapan dengan

seorang pria dari lurus ruangan ke arahnya-takut akan keselamatannya dan

dipecat. 18 tahun ditembak di perut dan luka parah (Alm, 1994 dalam

Fulero & Wrightsman, 2009).

Negosiasi dengan teroris dan penyandera telah menjadi konsep mapan

di hampir semua departemen kepolisian di Amerika Serikat, dan menerima

penekanan oleh FBI dan banyak negara departemen kepolisian. Sebuah

Page 38: Makalah Psi Forensik fix.doc

survei dari 34 departemen polisi menemukan bahwa 31 (91%) memiliki

negosiasi yang ditunjuk Tim (Fuselier, 1988 dalam Fulero & Wrightsman,

2009). Kursus Pelatihan sandera negosiasi sering merekomendasikan

konsultasi dengan psikolog klinis (Fuselier, 1988). Apa bisa psikologi

tawarkan?

Siapa yang membawa sandera? Penegakan hukum dan literatur

klinis membedakan empat tipe dasar penyandera: aktivis politik atau

teroris, terpidana, orang yang terganggu mentalnya, dan tahanan. Hassel

(1975, dikutip oleh Fuselier, 1988 dalam Fulero & Wrightsman, 2009)

menyimpulkan bahwa jenis yang paling sering adalah pidana terjebak saat

melakukan kejahatan, sementara Stratton (1978 dalam Fulero &

Wrightsman, 2009) mengidentifikasi teroris politik yang paling sulit untuk

bernegosiasi karena "total komitmen mereka, perencanaan lengkap, dan

kemampuan untuk mengerahkan kekuasaan efektif ". Tapi Maher (1977

dalam Fulero & Wrightsman, 2009) dianggap mental penyandera

terganggu sebagai ancaman terbesar. Kesimpulan ini bertentangan

mencerminkan, untuk Fuselier (1988 dalam Fulero & Wrightsman, 2009),

kebutuhan untuk "sistematis Koleksi nasional atau kompilasi. . . informasi

pada insiden penyanderaan oleh penegak hukum lembaga.

Mengapa pelaku mengambil sandera? Fuselier (1988 dalam Fulero

& Wrightsman, 2009) menyarankan empat alasan teroris politik

mengambil sandera: (1) untuk menunjukkan kepada publik

ketidakmampuan dari pemerintah untuk melindungi warga negaranya

sendiri, (2) memastikan peningkatan publisitas untuk agenda politik

mereka, (3) untuk membuat ketidakpuasan sipil secara tidak langsung

dengan menyebabkan pemerintah bereaksi berlebihan dan membatasi

warganya, dan (4) untuk menuntut pembebasan anggota Kelompok mereka

yang berada di tahanan.

Alasan-alasan ini mencerminkan kegiatan yang direncanakan;

sebaliknya, penjahat mungkin secara spontan mengambil sandera ketika

kebebasan sendiri terancam, mencerminkan kebutuhan untuk perjalanan

Page 39: Makalah Psi Forensik fix.doc

yang aman atau sarana untuk melarikan diri. Tahanan biasanya

menggunakan sandera sebagai sarana protes kondisi di dalam penjara.

Mental penyandera orang terganggu untuk berbagai alasan, meskipun

masing-masing berasal dari pandangan penyandera itu sendiri di dunia.

Contoh paling pedih ini adalah 2007, penembakan massal di Virginia

Tech.

Peran Psikolog Klinis. Apakah psikolog memiliki sesuatu yang

berharga untuk menawarkan ketika sandera diambil? Jawabannya

tampaknya menjadi sangat berkualitas. Mereka polisi yang terbaik terlatih

dalam prosedur negosiasi sandera lebih mungkin untuk membawa resolusi

sukses insiden (Borum, 1988 dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Sukses

dalam situasi seperti biasanya didefinisikan sebagai "resolusi di mana tidak

ada kehilangan kehidupan salah satu dari mereka yang terlibat dalam

insiden termasuk Polisi, penyandera, dan sandera "(Greenstone, 1995b,

hal. 358 dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Pertimbangan psikologis

sentral dalam mengevaluasi kemajuan dalam negosiasi; misalnya,

Greenstone (1995a dalam Fulero & Wrightsman, 2009) menyarankan

bahwa jika pengambil sandera berbicara lebih, lebih bersedia untuk

berbicara tentang atau kehidupan pribadinya, dan mencerminkan kurang

kekerasannya di negosiasi, kemajuan sedang dicapai. Selain itu, McMains

(1988) mengidentifikasi tiga peran: profesional, yang merupakan sumber

yang berlaku Informasi ilmu perilaku; konsultan, yang mengembangkan

program pelatihan, bahan, dan latihan; dan peserta / pengamat, yang

membuat saran tetapi mengakui otoritas personil penegak hukum.

Namun para ahli tidak setuju. Beberapa perspektif yang dapat dapat

diidentifikasi adalah sebagai berikut:

1. Powitsky (1979 dalam Fulero & Wrightsman, 2009) berpendapat

bahwa psikolog mungkin relevan melakukan beberapa tugas: seperti

mengumpulkan informasi yang akan digunakan dalam Strategi

bernegosiasi, tetapi itu ditujukkan untuk sebagian besar psikolog yang

Page 40: Makalah Psi Forensik fix.doc

terlatih. Jika psikolog yang diluar peradilan pidana tidak akan sangat

membantu.

2. Poythress (1980 dalam Fulero & Wrightsman, 2009), menjelaskan

bahwa dirinya sebagai “guarded optimist,” selain itu "psikolog

kesehatan yang profesioanl boleh saja menawarkan sesuatu dalam

situasi penyanderaan, tetapi kemungkinan kurang membantu

komandan dalam lapangan. Saya telah terdaftar tiga alasan mengapa

pertanggung jawaban polisi seharusnya tidak meminta seorang

psikolog memberi umpan balik pada keputusan untuk bernegosiasi

daripada serangan: hanya sedikit pelatihan psikologi dalam topik ini.

Terdapat sebuah penelitian bahwa, hanya beberapa psikolog yang

memiliki banyak pengalaman lapangan di dalam topik ini.

Pelatihan Akademi FBI di Quantico, Virginia, telah

mengembangkan modul pelatihan 30 jam bernegosiasi Sandra

(Greenstone, 1995a dalam Fulero & Wrightsman, 2009).

Predictors of the probable dangerousness of a given person in a

given situation are notoriously bad (Poythress, 1980 dalam Fulero

& Wrightsman, 2009)

Meehl (1954 dalam Fulero & Wrightsman, 2009) menunjukkan

bahwa bertahun-tahun yang lalu metode statisik merupakan

metode yang lebih akurat daripada penilaian klinis pada

umumnya.

3. Lebih positif dalam pandangan adalah Reiser (1982a,1982b dalam

Fulero & Wrightsman, 2009), melihat kontribusi psikolog sebagai

cadangan dan penasihat tim negosiasi serta memberikan pelatihan

pada topik penilaian motif penyandra dan kepribadian, perkembangan

komunikasi keterampilan, dan tantangan berurusan dengan stres dan

kelelahan.

4. Fusilier (1988 dalam Fulero & Wrightsman, 2009), penulis review

yang berguna, menerima nilai psikologi sebagai konsultan, tetapi

hanya setelah mereka telah menerima pelatihan di konsep negosiasi

Page 41: Makalah Psi Forensik fix.doc

tentang penyandraan. Setelah menghadiri Seminar negosiasi sandra,

psikolog "Keduanya dapat membantu dalam menentukan apakah ada

gangguan mental dan memutuskan pemilik pendekatan negosiasi”.

Tapi Fusilier menekankan bahwa psikolog tidak digunakan sebagai

negosiator utama; Sebaliknya, Menjadi konsultan Memungkinkan

psikolog berperan lebih obyektif dalam Menilai Status mental dan

kinerja negosiator (1988, hal. 177 dalam Fulero & Wrightsman,

2009).

Psikolog, jika tidak sebagai Negosiator utama, bisa memainkan peran

dengan menawarkan kritik pasca-insiden tim serta konseling bagi polisi

dan korban. Efek pada partisipasi polisi mungkin mirip negosiasi dengan

mereka yang mengalami situasi stress seperti: kecemasan, respon somatik,

Subjektif dan rasa kelebihan beban kerja (Beutler,Nussbaum, & Meredith,

1988; Dietrich & Smith, 1986; Zizzo, 1985 dalam Fulero & Wrightsman,

2009).

Peran Psikolog sebagai peneliti untuk mengevaluasi. Dengan

RESPECT peran lain untuk sandera Negosiasi adalah evaluasi dari

psikolog. Apa yang berhasil dan apa yang tidak bekerja? Allen, Cutler, dan

Berman (1993 dalam Fulero & Wrightsman, 2009) mengumpulkan jenis

tanggapan yang digunakan oleh polisi tim taktis dalam semua 130 situasi

mencerminkan upaya penyanderaan atau bunuh diri di Miami, Florida,

selama lima tahun; Mereka berfokus pada 48 kasus di mana beberapa

bentuk negosiasi digunakan. Melihat langsung negosiasi (Dibandingkan

untuk penggunaan dari pengeras suara, sistem alamat publik, atau melalui

telepon) adalah metode yang efektif Sedikitnya menangkap para

penyandra. Polisi Sering melihat langsung negosiasi sebagai jalan terakhir.

Analisis ini juga menunjukkan bahwa penyandera bawah pengaruh obat

apakah sangat kecil kemungkinannya untuk keluar tanpa kekerasan.

2.7. Mengevaluasi Efektivitas Kegiatan Polisi

Banyak evaluasi yang terpisah dari kegiatan polisi dan inovasi kebijakan

yang dikeluarkan kepolisian dengan tingkat bunga oleh orang-orang tidak terlatih

Page 42: Makalah Psi Forensik fix.doc

dalam ilmu metodologí psikologi sosial. Namun psikolog, dapat melakukan peran

utama dalam evaluasi kegiatan polisi. Misalnya dengan dua contoh ini: satu di

tingkat tunggal polisi (the fitness for duty evalution atau tugas evaluasi untuk

kebugaran), dan yang lain pada tingkat inovasi kebijakan keseluruhan

(Community policing).

a. Fitness for duty evaluation

Setelah Berpartisipasi dalam insiden kritis melibatkan kematian

pasangan serta cedera selama pengejaran atau adu tembak, petugas

penegak hukum yang memperlihatkan reaksi emosional atau perilaku

dari reaksi insiden tersebut. supervisor dapat meminta fitness for duty

evaluation (Inwald, 1990; Scrivner, 2006 dalam Fulero &

Wrightsman, 2009). Keluhan Terhadap petugas,: seperti tuduhan

agresivitas, dapat juga dilihat dengan melakukan penyelidikan

kestabilan emosi para petugas. Hal ini dipahami untuk polisi yang

menghadapi masalah-masalah khusus. Seorang psikolog mungkin

dipanggil untuk melakukan evaluasi (Delprino & Bahn, 1988 dalam

Fulero & Wrightsman, 2009). Robin Inwald (1990 dalam Fulero &

Wrightsman, 2009) ditawarkan seperangkat pedoman untuk evaluasi

terpisah seperti, yang meliputi:

1) Evaluasi hanya akan dilakukan hanya oleh psikolog yang

memenuhi syarat Psikiater yang berlisensi atau WHO di negara

bagian itu.

2) Evaluator harus akrab dengan penelitian, pengujian, dan evaluasi di

bidang polisi psikologi.

3) Sejauh mungkin, evaluasi tidak boleh dilakukan oleh seorang

psikolog atau psikiater yang memberikan konseling dalam

departemen yang sama.

4) Masalah kerahasiaan harus dibuat eksplisit secara tertulis sebelum

melakukan fitness for duty evaluation, dan formulir persetujuan

harus diperoleh dari petugas.

Page 43: Makalah Psi Forensik fix.doc

5) Fitness for duty evaluation harus mencakup setidaknya satu

wawancara dengan Petugas; dengan berkas tes psikologi;

wawancara dengan supervisor, anggota keluarga, dan rekan kerja;

dan untuk review setiap masa lalu psikologis dan medis evaluasi.

6) Tugas evaluator dalam fitness for duty evaluation harus

memberikan laporan tertulis serta mendokumentasikan temuan

seiring cengan rekomendasi evaluasi yang lebih spesifik mengenai

kelanjutan hubungan kerja dan rehabilitasi.

2.8. Community Policing

Tahun 1970-an dan 1980-an terdapat peningkatan dalam penggunaan

narkoba dan kejahatan yang dihasilkan, bersama dengan kejahatan yang

meningkat di Amerika Serikat. Seperti lembaga lainnya kekhawatiran lembaga

yang bersangkutan, lembaga penegak hukum mencari cara baru untuk berurusan

dengan masalah ini. Konsep community policing dikembangkan sebagai respon;

seperti namanya, tujuannya adalah untuk menyatukan kembali polisi dengan

Masyarakat (Puncak & Glensor, 1996 dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Salah

satu penulis mendefinisikan masyarakat kepolisian sebagai "perpanjangan dari

polisi-masyarakat hubungan yang konsep membayangkan kemitraan kerja yang

efektif antara polisi dan anggota masyarakat untuk memecahkan masalah "

(Schmalleger, 1995, hal. 200 dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Sebagai contoh,

beberapa penduduk sekitar yang marah dengan proliferasi "crack house" di jalan-

jalan dan pengedar narkoba di taman umum; di Polmas, fokus pada peningkatan

kualitas hidup dan responsif (bahkan proaktif) menimbulkan keprihatinan warga.

Polmas telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda di kota yang berbeda

(Skolnik & Bayley, 1986 dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Sebagai contoh, di

San Francisco, polisi mulai naik di bus kota; di kota-kota lain, polisi mulai

melakukan program atletik bagi kaum muda di-kejahatan tinggi daerah, patroli

sepeda dibentuk atau dibangun kembali.

Bukti efektivitas program-program ini cukup menggembirakan, tapi yang

lebih menggembirakan adalah evaluasi yang lebih handal sulit untuk dilakukan.

Page 44: Makalah Psi Forensik fix.doc

Sering masyarakat akan memulai beberapa perubahan dan, karena itu, tidak dapat

diandalkan untuk mengevaluasi dampak masing-masing secara lebih spesifik.

Tujuan dari perubahan-apakah itu respon cepat oleh polisi untuk kejahatan,

pengurangan tingkat kejahatan, tingkat clearance yang lebih tinggi untuk

kejahatan itu apakah-berkomitmen, atau kepuasan masyarakat yang lebih besar

dengan Polisi dan ketakutan dapat mengurangi kejahatan? Beberapa Warga tetap

curiga terhadap polisi dan tidak bersedia menerima kehadiran mereka disekitar

lingkungan (Schmalleger, 1995 dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Selain itu,

beberapa polisi yang lebih nyaman dengan tugas dalam penegakan hukum

tradisional daripada dengan hubungan masyarakat (Sparrow, Moore, & Kennedy,

1990 dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Psikolog forensik sebagai peneliti

evaluasi pdapat membantu izin departemen kepolisian itu dalam merancang

intervensi tes lebih jelas Efektivitas mereka; juga peneliti evaluasi dan

menjelaskan tindakan outcome serta bagaimana pentingnya masyarakat beratnya

kejahatan Control, kepuasan warga, atau pekerjaan kepuasan Polisi.

Page 45: Makalah Psi Forensik fix.doc

BAB III

KESIMPULAN

Psikolog forensik dapat berkontribusi banyak dalam berbagai aspek untuk

membantu kinerja polisi, yaitu: prosedur memilih petugas untuk pelatihan,

sebagai preservice dan on-the-job training, dan evaluasi kinerja individu serta

membuat program inovatif program dengan lembaga penegak hukum. Dalam

melakukannya, psikolog forensik memiliki tugas sulit menjadi responsif kepada

tidak hanya untuk departemen kepolisian, tetapi juga responsive terhadap

kekhawatiran dari masyarakat terhadap permasalahan di beberapa departemen,

termasuk korupsi, rasisme, dan brutalitas.

Pemilihan kandidat untuk memilih penegak hukum terlatihan biasanya

dengan proses yang luas. Psikolog berperan dalam mewawancarai kandidat dan

dalam memberi masukan mengenai instrumen yang akan dipakai untuk mengelola

kandidat. Di antaranya ada Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI)

yang paling banyak digunakan, tetapi Inwald Personality Inventory (IPI) patut

dipertimbangkan sebagai alat tes psikologi yang dirancang khusus untuk seleksi

petugas penegakan hukum. Psikolog dapat berkontribusi untuk langsung terjun

dalam pelatihan polisi secara keseluruhan. Pelatihan kesehatan adalah hal yang

penting, mengingat tingginya tingkat stres dan akibat alkoholisme, kelelahan, dan

perselisihan dalam pernikahan polisi sebagai kelompok kerja. Psikolog forensik

juga telah berkontribusi terhadap pelatihan khusus dalam menanggapi

penyanderaan dan penyerangan domestik. Peran peneliti evaluasi dapat

dibutuhkan ketika psikolog diminta untuk mengasesmen kelayakan kebijakan

yang baru-baru ini diadopsi, seperti community policing.

Page 46: Makalah Psi Forensik fix.doc

DAFTAR PUSTAKA

Anastasi, A. (1993). Bidang-bidang psikologi terapan. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Anastasi, A., Susana, U. (2007). Tes psikologi edisi ketujuh. Jakarta: Indeks.

Fulero, S. M., & Wrightsman, L. S. (2009). Forensic psychology. USA:

Wadsworth.

Kitaeff, J. (2011). Handbook of police psychology. New York: Taylor and

Francais Group.

Psychologymania. (2015, Maret 8). Retrieved from Psychologymania.com:

http://www.psychologymania.com/2011/09/tes-situasional.html