kasus forensik

54
BAB I PENDAHULUAN Pernapasan secara harafiah berarti pergerakan oksigen dari atmosfer menuju ke sel dan keluarnya karbon dioksida dari sel ke udara bebas. Pemakaian oksigen dan karbon dioksida diperlukan untuk menjalankan fungsi normal sel dalam tubuh. Saluran napas yang membawa oksigen ke paru – paru adalah hidung, faring, laring, trakea, bronks dan bronkilus. 1 Pentingnya penatalaksanaan jalan nafas tidak selalu di pandang mudah. Kesulitan terbesar yang paling sering ditemukan adalah bila jalan nafas tidak dapat diamankan. Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas normal adalah kunci penting dalam latihan penanganan pasien. 2 Berbagai penelitian melaporkan bahwa 1-8% memiliki anatomi jalan nafas yang sulit, dari jumlah ini sebagian kasus pasien tidak dapat di intubasi dengan baik. Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam hingga 1

Upload: yunitairham

Post on 04-Jan-2016

301 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: kasus forensik

BAB I

PENDAHULUAN

Pernapasan secara harafiah berarti pergerakan oksigen dari atmosfer menuju

ke sel dan keluarnya karbon dioksida dari sel ke udara bebas. Pemakaian oksigen dan

karbon dioksida diperlukan untuk menjalankan fungsi normal sel dalam tubuh.

Saluran napas yang membawa oksigen ke paru – paru adalah hidung, faring, laring,

trakea, bronks dan bronkilus.1

Pentingnya penatalaksanaan jalan nafas tidak selalu di pandang mudah.

Kesulitan terbesar yang paling sering ditemukan adalah bila jalan nafas tidak dapat

diamankan. Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas normal adalah kunci penting

dalam latihan penanganan pasien.2

Berbagai penelitian melaporkan bahwa 1-8% memiliki anatomi jalan nafas

yang sulit, dari jumlah ini sebagian kasus pasien tidak dapat di intubasi dengan baik.

Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam hingga kerusakan otak hingga

kematian. Salah satu usaha mutlak yang harus dilakukan adalah menjaga berjalannya

fungsi organ tubuh pasien secara normal tanpa pengaruh berarti akibat proses

pembedahan.

Kesalahan yang paling sering ditemukan dalam pengelolaan jalan napas

adalah bahwa penolong tidak menyadari adanya sumbatan jalan napas, keterlambatan

memberikan pertolongan, kesulitan teknik dan kurangnya keterampilan. 2

1

Page 2: kasus forensik

Sumbatan jalan napas dapat disebabkan oleh tindakan anestesi (penderita

tidak sadar, obat pelumpuh otot, muntahan), suatu penyakit (koma apapun sebabnya,

stroke, radang otak), trauma/kecelakaan (trauma maksilofasial, trauma kepala,

keracunan). Tetapi apapun penyebabnya dasar-dasar pengelolaannya tetap sama.2

Berdasarkan hal itu, maka pada kasus ini, akan dibahas mengenai pengelolaan jalan

nafas pada pasien tumor subglotis yang penting diketahui bagaimana manajemen

airway saat dilakukannya operasi.

2

Page 3: kasus forensik

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tumor Kelenjar Saliva

Pada kasus ini diagnosis pasien ialah tumor subglotis dengan diferensial

diagnosis ranula/papiloma. Tumor subglotis merupakan contoh dari beberapa

penyakit mulut yang melibatkan glandula saliva. Kelenjar saliva merupakan suatu

kelenjar eksokrin yang berperan penting dalam mempertahankan kesehatan

jaringan mulut. Kelenjar saliva mensekresi saliva ke dalam rongga mulut. Saliva

terdiri dari cairan encer yang mengandung enzim dan cairan kental yang

mengandung mukus. Menurut struktur anatomis dan letaknya, kelenjar saliva

dapat dibagi dalam dua kelompok besar yairu kelenjar saliva mayor dan kelenjar

saliva minor. Kelenjar saliva mayor dan minor menghasilkan saliva yang berbeda-

beda menurut rangsangan yang diterimanya. Rangsangan ini dapat berupa

rangsangan mekanis (mastikasi), kimiawi (manis, asam, asin dan pahit), neural,

psikis (emosi dan stress), dan rangsangan sakit. Besarnya sekresi saliva normal

yang dihasilkan oleh semua kelenjar ini kira-kira 1-1,5 liter per hari.

a. Anatomi

Glandula saliva terbagi dua, yaitu glandula saliva mayor dan glandula saliva

minor. Glandula saliva mayor terdiri dari:1,2

1. Glandula parotis

Merupakan glandula terbesar yang letaknya pada permukaan otot masseter

yang berada di belakang ramus mandibula, di anterior dan inferior telinga.

Glandula parotis menghasilkan hanya 25% dari volume total saliva yang

sebagian besar merupakan cairan serous.

2. Glandula submandibula

Merupakan glandula terbesar kedua setelah glandula parotis. Letaknya di

bagian medial sudut bawah mandibula. Glandula submandibula

3

Page 4: kasus forensik

menghasilkan 60-65% dari volume total saliva di rongga mulut, yang

merupakan campuran cairan serus dan mukus.

3. Glandula sublingual

Glandula yang letaknya pada fossa sublingual, yaitu dasar mulut bagian

anterior. Merupakan glandula saliva mayor yang terkecil yang menghasilkan

10% dari volume total saliva di rongga mulut dimana sekresinya didominasi

oleh cairan mukus. Perdarahan glandula sublingualis berasal dari arteri

sublingualis cabang arteri lingualis.

Anatomi:

- Kelenjar ini terletak antara dasar mulut dan muskulus mylohyoid

merupakan suatu kelenjar kecil diantara kelenjar–kelenjar mayor lainnya.

- Duktus utama yang membantu sekresi disebut duktus Bhartolin yang

terletak berdekatan dengan duktus mandibular dan duktus Rivinus yang

berjumlah 8-20 buah.

- Kelenjar ini tidak memiliki kapsul yang dapat melindunginya.

Histologi:

- Kelenjar sublingualis adalah kelenjar tubuloasinosa dan kelenjar tubulosa

kompleks. Pada manusia kelenjar ini adalah kelenjar campur meskipun

terutama kelenjar mukosa karena itu disebut seromukosa. Sel-sel serosa

yang sedikit hampir seluruhnya ikut membentuk demilune. Duktus

interkalaris dan duktus striata jaringan terlihat.

- Kapsula jaringan ikat tidak berkembang baik, tetapi kelenjar ini lobular

halus biasanya terdapat 10-12 saluran luar yaitu duktus sublingualis, yang

bermuara kesepanjang lipatan mukosa yaitu plika sublingualis, masing-

masing mempunyai muara sendiri. Saluran keluar yang lebih besar yaitu

duktus sublingualis mayor bartholin bermuara pada karunkula

sublingualis bersama-sama dengan duktus wharton, kadang-kadang

keduanya menjadi satu.

4

Page 5: kasus forensik

Fisiologi:

- Kelenjar sublingualis menghasilkan sekret yang mukous dan

konsistensinya kental.

- Saliva pada manusia terdiri atas 5% sekresi kelenjar sublingualis

Sedangkan glandula saliva minor terdiri dari 1000 kelenjar yang tersebar

pada lapisan mukosa rongga mulut, terutama di mukosa pipi, palatum, baik

palatum durum maupun palatum molle, mukosa lingual, mukosa bibir, dan juga

terdapat di uvula, dasar mulut, bagian posterior lidah, dasar atau ventral lidah,

daerah sekitar retromolar, daerah peritonsillar, dan sistem lakrimal. Glandula

saliva minor terutama menghasilkan cairan mukus, kecuali pada glandula Von

Ebner’s (glandula yang berada pada papilla circumvalata lidah) menghasilkan

sekret mucous. Kebanyakan tumor kelenjar liur berasal dari kelenjar parotis

(70%). Selanjutnya berasal dari kelenjar submandibula (8%) dan kelenjar liur

minor (22%). Meskipun demikian 75% tumor kelenjar parotis adalah jinak,

sedangkan 50% tumor kelenjar submandibula dan 80% tumor kelenjar minor

merupakan tumor ganas.

5

Page 6: kasus forensik

b. Etiologi

Sebagian besar tumor pada kelenjar saliva terjadi pada kelenjar parotis, dimana

75% - 85% dari seluruh tumor berasal dari parotis dan 80% dari tumor ini adalah

adenoma pleomorphic jinak (benign pleomorphic adenomas)2

Paparan radiasi merupakan factor risiko untuk terjadinya tumor kelenjar liur

khususnya karsinoma mukoepidermoid. Tumor warthin memiliki hubugan yang kuat

dengan merokok, walaupun tumor jinak ini lebih sering ditemukan pada pria, ternyata

insidennya meningkat pada wanita yang merokok, pekerjaan terutama penata rambut,

nutrisi, genetic, dan factor lingkungan seperti paparan serbuk gergaji, pestisida, dan

bahan kimia untuk industry kulit.3

Epstein-Barr virus mungkin merupakan salah satu faktor pemicu timbulnya

tumor limfoepitelial kelenar liur. kelainan genetik, misalnya monosomi dan

polisomi sedang diteliti sebagai faktor timbulnya tumor kelenjar liur.4

c. Gejala Klinik

6

Page 7: kasus forensik

Gambaran klinis ditentukan oleh lokasi tumor. Mayoritas tumor muncul di

parotis (90%), dan mayoritas diantaranya benigna (80%). Umumnya tumor

kelenjar parotis muncul sebagai masa noduler kenyal di pre-aurikula dekat

sudut mandibula. Tumor ini tumbuh lambat, betahun-tahun tanpa keluhan

kecuali kosmetik. Sekitar 10% tumor muncul di bawah plane n.fasialis dalam

lobus profunda, selebihnya adalah di lobus superfisialis (mayoritas di pool

bawah). Umumnya sulit menentukan apakah muncul dari lateral dari nervus.

Sekitar 1 % tumor muncul dari asesorius, anterior dari kelenjar parotis dekat

dengan duktus Stenson’s. Tumor yang berasal dari retromandibula dari lobus

profunda adalah jarang dan ditandai oleh adanya tonjolan di soft palate atau

pharing atau kombinasi dengan masa eksterna terkadang muncul sebagai

pembesaran difus dan mengisi bagian retromandibular.5

Neoplasma parotis yang kecil sulit membedakan jinak atau ganas namun

diagnosis ganas semakin jelas bila terdapat parese/paralisis p.fasialis,

pembesaran kelenjar getah bening atau infiltrasi ke kulit. paralisis nervus

fasialis tidak pernah terjadi pada benign mixed tumor. Secara klinis kita dapat

membedakan neoplasma ganas dan neoplasma jinak berdasarkan beberapa

keadaan sebagai berikut:4,5

Pertumbuhan tumor ganas relatif lebih cepat dari yang jinak

Rasa nyeri ditemukan pada sebagian neoplasma ganas, namun nyeri juga

dapat ditemukan pada lesi benigna (parotitis, Wegner granolumatous,

Sjogren’s syndrome)

Neoplasma ganas umumnya terfiksir karena ada infiltrasi ke jaringan sekitar

Kelumpuhan nervusVII ditemukan pada sebagian tumor ganas akibat

infiltrasi tumor ke nervus, pada tumor jinak tidak ada kelumpuhan saraf

Konsistensi padat keras pada yang ganas pada yang jinak kenyal kadang-

kadang kistik

7

Page 8: kasus forensik

Dapat ditemukan metastasis regional atau metastasis jauh pada yang ganas,

jinak tentunya tidak ada metastasis

Tumor parotis jinak lebih berbatas tegas dibanding tumor ganas

Metastasis tumor di parotis dari karsinoma sel skuamous atau Melanoma

maligna di scalp atau forehead adalah penting untuk diagnosa banding. Tumor

di kelenjar submandibula baik jinak maupun ganas umumnya muncul sebagai

masa tumor yang disertai nyeri ringan di segj tiga submandibula. Palpasi

bimanual dapat mengkonfirmasi lokasi tumor dikelenjar submandibular dan

membetJakannya dengan kelenjar getah bening yang membesar. Paralisis

nervus jarang ada. Kulit terkadang terinfiltrasi pada lesi stadium lanjut. Masa

tumor umumnya terfiksir ke mandibula kecuali ukuran tumor sangat kecil.

Hilangnya mobilitas dapat terjadi pada lesi jinak maupun ganas.

Tumor di kelenjar sublingual secara klinis serupa dengan karsinoma sel

squamous dasar mulut. Tampilannya berupa masa tumor di submukosa yang

teraba oleh lidah. Terdapat perasaan tidak nyaman ringan terutama pada

stadium dini.

Tumor pada kelenjar liur minor minor paling sering terjadi di rongga mulut

dan oropharing (90% kasus) sisanya di rongga hidung, sinus paranasal, dan

nasopharing. Mayoritas tumor yang berasal dari kelenjarliur minor adalah

maligna. Palatum merupakan tempat tersering dari tumor di rongga mulut.

Keluhan umumnya berupa painless mass, namun nyeri, parastesia, disphagia,

gangguan fungsi bicara, dan otalgia terkadang ada. Tumor pada kelenjar liur

minor tipikal sebagai benjolan dibawah mukosa yang intact, ulserasi adalah

jarang terjadi. Lesi jinak biasanya mobil kecuali lokasi di palatum atau alveolar

ridge. Lesi di lidah, trigonum retromolar, dan dasar mulut lebih cenderung

ganas dibanding palatum.

Metastasis ke kelenjar getah bening ditemukan pada 26% kanker kelenjar

8

Page 9: kasus forensik

liur mayor dan pada 21% kanker di kelenjar fer minor, pembesaran ini

umumnya terlihat saat pertama penderita datang berobat. Metastasis ke kelenjar

getah bening ini sering terjadi pada tumor grading tinggi dan jarang pada

grading rendah atau adenoid cystic carcinoma.

d. Penatalaksanaan Bedah

Tumor Kelenjar Parotis

Pembedahan merupakan terapi utama untuk semua tumor parotis. Ada

beberapa jenis pembedahan parotis yaitu : parotidektomi superfisial.

parotidektomi total dan parotidektomi radikai (extended). Dikenal kenal

beberapa jenis insisi kulit, yang biasa dtpakai adalah insisi Blair, insisi Bailey

dan insisi Y. Konfirmasi diagnosis definif dilakukan saat operasi dengan potong

beku dari spesimen parotidektomi. Jika jinak cukup superfisial. kalau ganas

dilanjutkan dengan parotidektomi total. Eksisi pleomorphic adenoma harus

dilakukan dengan hati-hati untuk mengangkat jaringan jaringan sehat disekitar

tumor, menghindari rupture pseudocapsul dan spillage tumor, untuk

mengurangi risiko rekurrensi.

Untuk tumor jinak, parotidektomi superfisial dan adalah untuk diagnosis

dan kuratif. Tumor maligna dari kelenjar liur memeriukan terapi pembedahan

dan radiasi. kecuali neoplasma grading rendah (missal: low grade

mucoepidermoid carcinoma dan low grade adenocarcinoma), yang diterapi

dengan pembedahan saja. Superfisial parotidektomi (partial, lateral)

diindikasikan untuk lesi jinak di lobus superfisial. Enukleasi tumor tidak

dianjurkan karena sering terjadi residif (48%). Parotidektomi superfisial adalah

pangangkatan tumor beserta jaringan parotis dengan preservasi n.fasialis.

Untuk tumor parotis ganas, neoplasma di lobus profundus dan tumor

jinak yang residif, parotidektomi total adalah terapi pilihan. Parotidektomi total

adalah pengangkatan tumor beserta seluruh kelenjar parotis dengan preservasi

n. fasialis. Adakalanya ekstensi tumor demikian luasnya sehingga n.fasilais dan

9

Page 10: kasus forensik

jaringan di sekitamya seperti kulit dan otot harus diangkat, tindakan ini

dinamakan parotidektomi radikal. Tumor parotis dengan ekstensi lokal (kulit

atau saluran teinga luar) terkadang memeriukan mastoidektomi (untuk untuk

melacak nervus bagian proksimal) dan mengangkat bagian lateral dari tulang

Gambar . Insisi Blairs modifikasi (kiri) dan insisi Y

Pengorbanan nevus fasialis hanya diindikasikan bila makroskopis

nervus telah terinfiltrasi. Nervus fasialis yang makroskopis terinfiltrasi,

pengangkatanya harus sampai bebas tumor. Tindakan ini, khususnya dilakukan

pada adenoid cystic carcinoma, yang merupakan neurotropic tumor. Nervus

fasialis yang diangkai harus segera di rekonstruksi dengan interpositional nerve

grafting (menggunakan nervus sural dari tungkai, nervus cutaneus antebrachii

medial dari lengan atau nervus auricularis magnus) atau graft nervus XII ke n.

VII.

Tumor ganas dengan kelenjar getah bening klinis tidak teraba (NO) saat

10

Page 11: kasus forensik

operasi parotidektomi diambil samping kelenjar getah bening subdigastrikus

dan diperiksa potong beku jika positif mengandung metastasis dilakukan

diseksi leher radikal, jika negatif operasi cukup total parotidektomi saja. Tumor

ganas parotis yang disertai metastasis regional ke kelenjar getah bening leher

(N positif) dilakukan total parotidektomi disertai diseksi leher radikal. Apabila

disertai reseksi mandibula operasi dinamakan Operasi Commando (Combined

Mandibulectomy and Radical Neck Dissection Operation).1

Tumor kelejar submandibula.

Untuk tumor jinak, eksisi kelenjar submandibula adalah untuk diagnosis

dan kuratif tentunya dengan konfirmasi potong beku. Bila hasil potong beku

jinak operasi selesai, jika ganas dilajutkan diseksi submandibula (Eksisi

struktur limfatik level I) dan dilakukan potong beku. Jika kelenjar getah bening

mengandung metastasis dilanjutkan dengan radical neck dissection. Rangkaian

tindakan tersebut dilakukan bila klinis tidak ada pembesaran kelenjar getah

bening leher (NO). Jika tidak ada tulang yang teriibat dengan NO dilakukan

extended supraomohyoid dissection termasuk pengangkatan bed kelenjar, otot

dan saraf disekitarnya, jika kelenjar getah bening klinis teraba dilakukan diseksi

leher modifikasi. Diseksi leher dilakukan bila terdapat pembesaran kelenjar

getah bening yang teraba secara klinis (N positif). Jika ada infiltrasi mandibula

dilakukan composite resection (mandibulektomi dan diseksi leher satu

11

Page 12: kasus forensik

kesatuan). Seperti pada tumor parotis, pengangkatan nervus hipoglosus dan

nervus lingualis hanya dilakukan jika makroskopis telah terinfiltrasi tumor dan

ekstensi lokal ke jaringan sekitar (misal: dasar mulut, lidah) membutuhkan

eksisi lebih radikal.2,3

Tumor kelenjar sublingual dan kelenjar liur minor

Terapinya adalah eksisi dengan sayatan 1 cm dari tepi tumor. Untuk

tumor yang letaknya dekat dengan tulang misalnya palatum durum dan

ginggiva, eksisi luas dilakukan beserta reseksi tulang dibawahnya. Batas

sayatan harus dikonfirmasi dengan potong beku pada pasien dengan adenoid

cystic carcinoma k arena tumor inj cenderung menginfiltrasi jaringan sekitar.

Indiksai diseksi dan radiasi adjuvant adalah sama dengan kelenjar liur mayor

lainnya.

Kanker kelenjar liur yang tidak resectable atau metastasis jauh. Pasien

dengan tumor primer atau rekurren yang unresectable, terdapat metastasis jauh

atau ada problem medikal yang tidak memungkinkan operasi dapat diberikan

terapi paliadf dengan radiasi konvesional. Radiasi dengan neutron merupakan

pilihan lain yang dianjurkan. Cisplatin, doxorubicin dan 5-FU merupakan agent

aktif yang dapat digunakan pada pada kanker stadium lanjut atau ada metastasis

jauh, walaupun umumnya respon rendah. Reseksi terkadang dilakukan pada

kasus yang selektif dengan adenoid cystic carcinoma yang memiliki metastasis

12

Page 13: kasus forensik

soliter di paru.

B. Anatomi Jalan Napas

Hubungan jalan napas dengan dunia luar melalui 2 jalan :

Hidung (menuju nasofaring).

Mulut (menuju orofaring).

Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan

palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju

esophagus dan laring yang dipisahkan oleh epiglottis menuju ke trakea. Laring

terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglottis dan sepasang aritenoid,

kornikulata dan kuneiforme.3

Persyarafan

1. N. Trigeminus (V), mempersarafi mukosa hidung, palatum (N. Oftalmika),

daerah maksila (N.Maksilaris), lidah dan daerah mandibula (N. Mandibularis).

2. N. Fasialis (VII), mempersarafi palatum.

3. N. Glossofaringeus (IX), mempersarafi lidah, faring, palatum molle dan tonsil.

4. N.Vagus (X), mempersarafi daerah sekitar epiglottis dan pita suara.3

C. Obatruksi Jalan Napas

Obstruksi jalan napas dapat terjadi secara total maupun parsial. Keadaan ini

sering terjadi dan harus cepat di ketahui dan dikoreksi misalnya dengan triple

airway maneuver, pemasangan alat. Obstruksi jalan dapat disebabkan karena

spasme laring saat anesthesia ringan dan merangsang nyeri atau rangsangan oleh

sekret

D. Patofisiologi

Pada keadaan dimana ada penurunan kesadaran misalnya pada tindakan

anestesi, penderita trauma kepala atau oleh karena suatu penyakit, maka akan

13

Page 14: kasus forensik

terjadi relaksasi otot-otot termasuk otot lidah dan sphingter cardia akibatnya bial

posisi penderita terlentang maka pangkal lidah akan jatuh ke posterior menutup

orofaring, sehingga menimbulkan sumbatan jalan napas. Sphingter cardia yang

relaks, menyebabkan isi lambung mengalir kembali ke orofaring (regurgitasi). Hal

ini merupakan ancaman terjadinya sumbatan jalan napas oleh aspirat yang padat

dan aspirasi pneumonia oleh aspirat cair, sebab pada keadaan ini pada umumnya

refleks batuk sudah menutup atau hilang.

Trauma di daerah wajah dapat menyebabkan edema, patah tulang,

perdarahan, lepasnya gigi dan hipersekresi yang dapat menimbulakan

masalah/sumbatan jalan napas. Patah tulang mandibula bilateral dapat

menyebabkan lidah kehilangan penyanggga sehingga penderita sulit untuk

menelan dan bila berbaring lidah akan jatuh menutup jalan napas walaupun pasien

dalam keadaaan sadar. Pada keadaan seperti ini posisi penderita paling enak adalah

duduk agak membungkuk. Trauma tajam pada leher dapat menimbulkan

perdarahan dan hematoma yang dapat menggeser posisi jalan napas. Pendesakan

oleh hematoma dapat menyebabkan sumbatan jalan napas dan menyulitkan pada

waktu intubasi endotracheal. Apabila tidak memungkinkan dilakukan intubasi

endotracheal, harus segera dilakukan krikotiroidotomi atau tracheostomi. Trauma

tumpul pada leher juga dapat menyebabkan edema dan kerusakan pada laring dan

trakhea yang dapat menyumbat jalan napas.

Obstruksi jalan napas dapat terjadi secara total mapun partial, keadaan ini

sering terjadi dan harus cepat diketahui dan dikoreksi dengan beberapa cara,

misalnya maneuver triple jalan napas (Triple airway maneuver), pemasangan alat

jalan napas sungkup faring (Pharyngeal airway), pemasangan alat jalan sungkup

laring (Laryngeal airway), pemasangan pipa tracheal (Endotracheal tube).

Obstruksi dapat juga disebabkan karena spasme laring saat anesthesia ringan dan

mendapat rangsangan nyeri atau rangsangan oleh sekret.6,7

14

Page 15: kasus forensik

E. Tanda-Tanda dan Tatalaksana Obstruksi Jalan Napas

Pada keadaaan penderita yang masih bernapas, mengenali ada tidaknya

sumbatan jalan napas dapat dilakukan dengan cara Lihat (look), Dengar (listen), dan

Raba (feel).7,8

Lihat (Look)

Melakukan penilaian pada pergerakan dada dan perut waktu bernapas,

normalnya pada posisi berbaring waktu inspirasi dinding dada bergerak keatas

dinding-dinding perut bergerak keatas dan waktu ekspirasi dinding dada turun

dinding perut juga turun. Pada sumbatan jalan napas total atau partial berat, waktu

inspirasi dinding dada bergerak turun tapi dinding perut bergerak naik, sedangkan

waktu ekspirasi terjadi sebaliknya. Gerak napas ini disebut see saw atau rocking

respiration.

Melihat apakah penderita mengalami agitasi atau penurunan kesadaran.

Agitasi memberi kesan adanya hipoksemia yang mungkin disebabkan oleh karena

sumbatan jalan napas, sedangkan penurunan kesadaran memberikan kesan adanya

hiperkabia yang mungkin disebabkan oleh hipoventilasi akibat sumbatan jalan

napas.

Adanya retraksi sela iga, supraklavikular atau subkostal merupakan tanda

tambahan adanya sumbatan jalan napas. Sianosis yang terlihat dikuku atau bibir

menunjukan adanya hipoksemia akibat oksigenasi yang tidak adekuat. Pada

penderita perlu dilihat adanya deformitas daerah maksilofasial atau leher serta

adanya gumpalan darah, patah tulang, gigi dan muntahan yang dapat menymbat

jalan napas.

Dengar (Listen)

Pemeriksaan suara napas menunjukan ada tidaknya suara tambahan. Adanya

suara napas tambahan berarti ada sumbatan jalan napas partial. Suara napas

tambahan dapat berupa dengkuran (snowring), kumuran (gurgling), atau siulan

(crowing/stridor). Snowring disebabkan oleh lidah yang menutup orofaring,

15

Page 16: kasus forensik

Gurgling disebabkan karena adanya sekret, darah atau muntahan dan

Stridor/crowing disebabkan adanya penyempitan jalan napas oleh karena spasme,

edema, atau pendesakan. Suara bicara penderita yang normal menunjukan tidak

ada sumbatan jalan napas sedangkan suara yang parau menunjukan adanya

masalah didaerah laring.

Raba (Feel)

Meraba hawa ekspirasi yang keluar dari lubang hidung atau mulut, dan ada

tidaknya getaran dileher waktu bernapas. Adanya getaran dileher menunjukan

sumbatan partial ringan. Pada penderita trauma perlu diraba apakah adanya

fraktur didaerah maksilofasial dan bagaimana posisi trakhea penderita.

F. Pengelolaan Jalan Napas7,9

Penilaian dan pengelolaan jalan napas harus dilakukan dengan cepat, tepat

dan cermat untuk mencegah terjadinya hipoksemia.

Tindakan ditujukan untuk membuka dan menjaga jalan napas tetap terbuka

dan waspada terhadap keadaan klinis yang menyumbat atau potensial akan

menyumbat jalan napas. Pada penderita yang mengalami penurunan kesadaran

maka lidah akan jatuh ke belakang menyumbat hipofaring atau epiglottis jatuh

kebelakang menutup rima glottis. Pada keadaan seperti ini, pembebasan jalan

napas dilakukan tanpa alat maupun dilakukan dengan menggunakan jalan napas

buatan. Membuka jalan napas tanpa alay dilakukan dengan cara Head Tilt, Chin

Lift, dan Jaw Thrust. Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk mengatasi

sumbatan jalan napas karena lidah adalah jalan napas orofaringeal atau

nasofaringeal.

Pada penderita trauma, tindakan-tindakan yang dilakukan untuk membuka

jalan napas, dapat menyebabkan atau memperburuk cedera cervical. Oleh karena

itu pada penderita trauma dengan dugaan trauma cervical cara yang dianjurkan

16

Page 17: kasus forensik

hanya Jaw Thrust dengan imobilisasi kepala dan leher secara manual atau

memakai Neck Collar.

Tatalaksana Jalan Napas dengan Manual / Tanpa Alat

Head Tilt &Chin Lift

Cara melakukan metodeHead-tilt & chin-lift yaitu : 3,4

Letakkan telapak tangan Anda di dahi korban dan letakkan jari-jari tangan

anda yang lain dibawah dagu korban.

Kemudian tekan dahi ke bawah sambil angkat dagu keatas sehingga

kepala korban mendongak keatas dan mulut korban terbuka.

Empat jari salah satu tangan diletakkan dibawah rahang ibu jari diatas

dagu, kemudian secara hati- hati dagu diangkat kedepan. Bila perlu ibu

jari dipergunakan untuk membuka mulut/ bibir atau dikaitkan pada gigi

seri bagian bawah untuk mengangkat rahang bawah. Manuver chin lift ini

tidak boleh menyebabkan posisi kepala hiperekstensi.

Jaw Thrust

Mendorong angulus mandibula kanan dan kii ke depan dengan jari – jari

kedua tangan sehingga barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas,

kedua ibu membuka mulut dan kedua telapak tangan menempel pada kedua

pipi penderita untuk melakukan immobilisasi kepala.

Tindakan Jaw Thrust, Membuka mulut dan Head Tilt disebut Triple

Airway Maneuver.

17

Page 18: kasus forensik

Chin Lift, Head Tilt, and Jaw Thrust

Tatalaksana Jalan Napas dengan Alat

Oro-Pharyngeal Airway

Alat ini dipasang lewat mulut sampai ke faring sehingga menahan lidah

tidak jatuh menutup hipofaring. Ukuran harus tepat yaitu dari tengah mulut

sampai ke angulus mandibula atau tepi mulut sampai ke tragus. Bila

kekecilan malah akan mendorong lidah kebelakang hingga makin

menyumbat.

Alat ini berbentuk pipa bulat berlubang tengahnya dibuat dari bahan karet

lateks lembut. Pemasangan harus hati-hati dan untuk menghindari trauma

mukosa hidung pipa diolesi dengan jelly.6,8

18

Page 19: kasus forensik

Naso-Pharyngeal Airway

Alat dipasang lewat salah satu lubang hidung sampai ke faring yang akan

menahan jatuhnya pangkal lidah agar tidak menutup hipofaring.

Diameter disesuaikan dengan besarnya lubang hidung penderita. Pada

waktu memasang pelumasan harus baik agar tidak melukai pembuluh darah

yang ada di rongga hidung. Alat ini lebih dapat di terima oleh penderita dan

lebih kecil kemungkinan merangsang muntah dibandingkan jalan napas

oropharyngeal.

Alat ini berbentuk pipa gepeng lengkung seperti huruf C berlubang

ditengahnya dengan salah satu ujungnya bertangkai dengan dinding lebih

keras untuk mencegah kalau penderita menggigit lubang tetap paten,

sehingga aliran udara tetap terjamin. Alat ini juga dipasang bersama pipa

trachea atau sungkup laring untuk menjaga patensi kedua alat tersebut ari

gigitan pasien.

19

Page 20: kasus forensik

Laryngeal Mask Airway

Laryngeal Mask Airway atau sungkup laring ialah alat jalan napas berbentuk

sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok

yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa

trachea. Tangkai LMA dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek

dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.3

20

Page 21: kasus forensik

Jalan Napas Defenitif

Jalan napas defenitif adalah pipa jalan napas yang dilengkapi dengan

balon (Cuff) yang dapat dikembangkan yang dapat dipasang ditrakhea. Tujuan

pemasangan jalan napas defenitif untuk mempertahankan jalan napas,

pemberian ventilasi, oksigensasi dan pencegahan aspirasi.

Terdapat 2 macam jalan napas defenitif :

Intubasi Endotrakheal

Surgical Airway

o Krikotiroidotomi

o Trakheostomi

Beberapa keadaan klinik yang memerlukan jalan napas defenitif antara

lain apneu, tidak mampu mempertahankan jalan napas dengan cara-cara yang

lain, pencegahan aspirasi darah atau muntahan, ancaman terjadinya sumbatan

jalan napas (contoh : trauma inhalasi, status konvulsi, trauma maksilofasial,

trauma/cedera kepala tertutup dengan GCS kurang dari 8, tidak berhasil

memperoleh oksigenasi yang adekuat dengan menggunakan masker.2

Intubasi Endotrakheal

Intubasi endotrakheal adalah tindakan memasukkan pipa trachea ke dalam

trachea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira

dipertengahan trachea antara pita suara dan bifurkasio trachea. Indikasi

sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut :

o Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.

Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret

jalan napas, dan lain-lainnya.

o Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi.

Misalnya, saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan

efisien, ventilasi jangka panjang.

o Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.

21

Page 22: kasus forensik

Kesulitan Intubasi antara lain sebagai berikut :

o Leher pendek berotot

o Mandibula menonjol

o Maksila/gigi depan menonjol

o Uvula tidak terlihat (mallampati 3 atau 4)

o Gerak sendi temporo-mandibular terbatas.

o Gerak vertebra servikal terbatas.

Komplikasi selama dilakukan intubasi :

o Trauma gigi-geligi

o Laserasi bibir, gusi, laring

o Merangsang saraf simpatis (hipertensi-takikardia)

o Intubasi bronkus

o Intubasi esophagus

o Aspirasi

o Spasme bronkus

Komplikasi setelah ekstubasi :

o Spasme laring

o Aspirasi

o Gangguan fonasi

o Edema glottis-subglotis

o Infeksi laring, faring dan trachea.

22

Page 23: kasus forensik

23

Page 24: kasus forensik

24

Page 25: kasus forensik

Surgical Airway

Prosedur ini dilakukan bila tidak mungkin atau gagal melakukan intubasi

endotrakheal yang dapat berupa :

o Krikotiroidotomi (penusukan needle canula) ke trahkea kearah distal pada

membrane krikotiroidea. Cara ini disebut jet insufflations untuk

memberikan oksigen dengan cepat.

o Krikotiroidotomi dengan pembedahan, dilakukan insisi pada membrane

krikotiroidea dan kemudian dimasukan kanula trakheostomi atau pipa

endotracheal.

25

Page 26: kasus forensik

BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS

Nama : Nn. E

No. RM : 418531

Umur : 15 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

BB : 40 kg

Agama : Islam

Alamat : Ds Bulagidum, Dusun II, Buol

Tanggal Masuk : 14 Agustus 2015

B. ANAMNESIS

Riwayat Penyakit

1. Keluhan Utama : Benjolan dibawah lidah

2. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien masuk RSU.anutapura dengan keluhan benjolan dibawah lidah

yang semakin hari semakin membesar. Benjolan timbul tidak diketahui

persis kapan, namun pasien sadar ketika benjolan sudah menimbulkan rasa

yang tidak nyaman. Benjolan tersebut awalnya tidak menimbulkan

keluhan namun lama kelamaan benjolan tersebut terasa mengganggu

karena mengganjal dibawah lidah. Pasien sempat memeriksakan diri ke

Puskesmas yang berada di buol yang kemudian memberikan rujukan

untuk ke Rumah Sakit Anutapura. Demam (-), Mual dan muntah (-),

pusing dan sakit kepala (-). BAB baik. BAK lancar

3. Riwayat penyakit dahulu : Tidak ada.

4. Riwayat alergi : Tidak ada.

5. Riwayat penyakit dahulu: Tidak ada

26

Page 27: kasus forensik

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalis

Keadaan Umum : Sedang

Kesadaran : Compos mentis, GCS: E4V5M6

Vital Sign

- TD : 110/80 mmHg

- Nadi : 92 x/menit

- RR : 21 x/menit

- Suhu : 36,7 ºC

2. Pemeriksaan Kepala

- Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,

refleks cahaya +/+, pupil isokor diameter ±

3 mm

- Telinga : discharge (-)

- Hidung : Discharge (-), epistaksis (-)

- Mulut : sianosis (-) bibir kering (+), pembesaran

tonsil (-), skor Mallampati 1

3. Pemeriksaan leher : simetris, tidak ada deviasi trakea, pembesaran

kelenjar getah bening (-)

Tiroid : Tidak ada kelainan

Skor mallampati : Mallampati 1

4. Pemeriksaan Dada

a. Dinding dada/paru :

Inspeksi :

Bentuk : simetris

Retraksi : Tidak ada

27

Page 28: kasus forensik

Palpasi : Vokal Fremitus kanan sama

dengan kiri

Perkusi : Sonor kiri : kanan

Auskultasi :

Suara Napas Dasar : vesikuler +/+

Suara Napas Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

b. Jantung :

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V linea

midclavicula sinistra

Perkusi : Batas jantung normal

Auskultasi :

Suara dasar : S1 dan S2 murni, regular

Bising : tidak ada

5. Abdomen :

Inspeksi : Bentuk Datar

Auskultasi : bising usus (+) kesan normal

Perkusi : Bunyi : timpani

Asites : (-)

Palpasi : Nyeri tekan : nyeri tekan epigastrium (+)

Hati : tidak teraba

Lien : tidak teraba

Ginjal : tidak teraba

6. Ekstremitas : akral hangat, edem tidak ada, turgor melambat.

7. Genitalia : tidak tampak pembesaran pada genital

28

Page 29: kasus forensik

STATUS LOKALIS

Regio : Subglotis

Inspeksi: Massa (+), Tidak berbenjol - benjol, berbentuk bulat, uk: 3x2 Cm

Palpasi : Mobile (+), nyeri tekan (-), perabaan hangat (-).

DIAGNOSIS KERJA

PS ASA I

Prediksi : Tidak ada kesulitan intubasi

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

10 Agustus 2015

Hasil Rujukan Satuan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 13,00 L: 14-18, P: 12-16 g/dl

Leukosit 10.00 4.000-12.000 /mm3

Eritrosit 4,17 L: 4.5-6.5 P: 3.9-5.6 Juta/ul

Hematokrit 38,0 L: 40-46 P: 35-47 %

Trombosit 256.000 150.000-450.000 /mm3

Masa Pendarahan 230 1-4 Menit

Masa Pembekuan 730 4-12 Menit

29

Page 30: kasus forensik

10 Agustus 2015

Foto Thorax PA

- Corakan bronchovaskuler dalam batas normal

- Tidak tampak proses spesifik pada kedua paru

- Cor: dalam batas normal

- Dinus dan diagfragma baik

- Tulang-tulang intake

Kesan: Tidak tampak kelainan radiologi pada foto thoraks ini

E. KESIMPULAN KONSUL ANESTESI

- Status fisik ASA I

- Acc. Anestesi

PENATALAKSANAAN

Preoperatif : Manajemen jalan nafas dilakukan dengan intubasi setelah

dilakukan induksi General Anesthesia menggunakan sevofluran. Intubasi

endotracheal dilakukan dengan menggunakan endotracheal tube setelah itu

dilakukan pemasangan Guedel, kemudian dilakukan Injeksi propofol sebagai

anestesi intravena.

Pembedahan : Eksisi Tumor Subglotis

30

Page 31: kasus forensik

TINDAK LANJUT

Perawatan luka operasi di ruangan.

F. LAPORAN ANESTESI PASIEN

a) Diagnosis pra-bedah : Tumor Subglotis

b) Diagnosis post-bedah : Post Eksisi Tumor Subglotis

c) Jenis pembedahan : Eksisi/Ekstirpasi

Persiapan anestesi : informed consent

Jenis anestesi : General Anasthesia

(Intubasi Endotrakheal)

Teknik anestesi : Intubasi Semi Closed ETT No.6,5

Cuff (+)

Anestesi dengan : Sevofluran

Premedikasi anestesi : Midazolam 2 mg

Phetidin 30 mg

Medikasi : Propofol 100 mg

Pemeliharaan anestesi : O2 4 L/menit

Respirasi : Spontan

Status Fisik : ASA I

Pemeriksaan Fisik : Kesan Normal

Induksi mulai : 11.00 WITA

Operasi mulai : 11.10 WITA

Lama operasi : 30 menit

Input durante operasi (RL) : 1000 cc

31

Page 32: kasus forensik

Tekanan darah dan frekuensi nadi

Pukul (WITA) Tekanan Darah (mmHg) Nadi (kali/menit)

11.00 110/80 110

11.05 100/70 90

11.10 100/70 100

11.15 100/60 100

11.20 100/50 95

11.25 120/80 80

11.30 120/70 80

11.35 110/80 100

11.40 110/70 110

32

Page 33: kasus forensik

BAB IV

PEMBAHASAN

Salah satu manajemen untuk menangani Tumor kelenjar saliva dalam hal ini

tumor subglotis adalah dengan cara pembedahan. Dimana pada saat melakukan

pembedahan atau tindakan dibutuhkan manajemen airway untuk dapat mencegah

adanya sumbatan jalan nafas yang disebabkan oleh perdarahan akibat pembedahan.

Pasien yang akan dilakukan anestesi dan pembedahan dinilai status fisiknya

berdasarkan kriteria American Society of Anestesiologist ( ASA ) sebagai berikut:

a. Klas I Pasien tanpa gangguan organik,fisiologik maupun psikiatrik

b. Klas II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai sedang yang harus

diobatidengan pembedahan maupun olehproses patofisiologis

c. Klas III Pasien dengan gangguan sistemik berat apapun penyebabnya

d. Klas IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa

yang tidak selalu dapat dikoreksi dengan pembedahan

e. Klas V Pasien yang hanya mempunyai peluang hidup kecil

Dari penilaian status fisik berdasarkan ASA, maka pasien dalam kasus ini

tergolong dalam ASA klas I karena pasien tanpa gangguan organik, fisiologik

maupun psikiatrik Pada kasus ini, dilakukan teknik general anastesi dengan intubasi

endotrakeal. Berdasarkan kepustakaan, indikasi dari dilakukannya intubasi trakeal

adalah:

- Mengontrol jalan napas

- Menyediakan saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi jangka

panjang

- Meminimalkan risiko aspirasi

33

Page 34: kasus forensik

- Proteksi terhadap pasien dengan keadan gawat atau pasien dengan refleks

akibat sumbatan yang terjadi

- Trakeostomi

- Pasien dengan resiko mudah timbul laringospasme

- Dapat pula dilakukan pada pasien yang akan menjalani operasi atau tindakan

intraoral

Sehubungan dengan manajemen jalan nafas, riwayat sebelum intubasi seperti

riwayat anestesi, alergi obat dan penyakit lain dapat menghalangi akses jalan napas.

Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi, terutama gigi

ompong dan gigi seri yang menonjol.

Penilaian kesulitan intubasi dapat dilakukan dengan beberapa metode sebagai

berikut :

a. Mallampati Score

Mallampati I : nampak palatum durum, palatum Molle, uvula dan pilar faring

bilateral.

Mallampati II : nampak palatum durum, palatum Molle, uvula

Mallampati III : nampak palatum durum dan palatum Molle

Mallampati IV : nampak hanya palatum durum

b. Penilaian membuka mulut

Membuka mulut dengan 3 jari

Jarak hipomental 3 jari. 3jari antara ujung rahang dan dagu bawah

2 jari antara thyroid notch dan dasar mandibula

1 jari subluksasi anterior rahang bawah

c. Malformation of the skull, teeth, obstruction, pathology ( STOP)

S = Skull (hidrocephalus dan mikrocehpalus )

T =Teeth (buck, gigi ompong, gigi seri menonjol, makro & mikro

mandibula )

34

Page 35: kasus forensik

O = Obstruction (obesitas, leher pendek, edema sekitar kepala & leher )

P = Pathologi (kraniofacial abnormal & syndromes: Treacher Collins,

Goldenhars)

Faktor resiko lain yang digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi meliputi :

- Lidah besar

- Gerakan sendi tempro-mandibular terbatas

- Mandibula menonjol’

- Gigi ompong

- Maksilla atau gigi depan menonjol

- Mobilitas leher terbatas

- Tumor dan kista

- Trauma

- Benda asing jalan napas

- Sindrom kongenital seperti pada klippell-fell

- Penyakit endokrinopaty seperti acromegali, struma,

- Kurangnya keterampilan, pengalam atau terburu-buru

Pada kasus ini, saat dilakukan pemeriksaan pre operasi, didapatkan skoring

mallapati I. Dari pemeriksaan tidak terdapat masalah pada gigi ataupun mulut yang

menjadi penyulit pada pemasangan intubasi. Pada pasien ini, saat dilakukan intubasi,

tidak ditemukan adanya kesulitan.

Manajemen jalan nafas dilakukan dengan intubasi setelah dilakukan induksi

General Anesthesia menggunakan sevofluran. Sevofluran sebagai anastetik inhalasi.

Pemilihan intubasi endotrakheal dimaksudkan sebagai pemasangan jalan napas secara

definitif, Tujuan pemasangan jalan napas defenitif untuk mempertahankan jalan

napas, pemberian ventilasi, oksigensasi dan pencegahan aspirasi.

Pada endotrakeal intubasi digunakan alat berupa laringoskop dan pipa

endotrakeal ETT memiliki berbagai ukuran dan digunakan ukuran berdasarkan usia

pasien. ETT terbuat dari material silicon PVC. Jenis ETT ada yang dapat ditekuk dan

35

Page 36: kasus forensik

yang tidak mudah tertekuk( non kinking ). Pada wanita dewasa biasa digunakan ETT

ukuran 7,0 sedangkan pada pria dewasa biasanya 7,5.

Pada pasien ini dilakukan pemasangan intubasi endotrakheal. Intubasi

endotrakheal adalah tindakan memasukkan pipa trachea ke dalam trachea melalui

rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trachea antara

pita suara dan bifurkasio trachea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya

digolongkan sebagai berikut :

Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.

Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan

napas, dan lain-lainnya.

Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi.

Misalnya, saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien,

ventilasi jangka panjang.

Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.

Pada pasien ini indikasi pemasangan intubasi endotrakheal yaitu untuk menjaga

patensi jalan napas, mempermudah ventilasi dan oksigenasi sesuai dengan

referensi yang ada.

Pemasangan Guedel atau yang lebih dikenal dengan Oro-Pharyngeal Airway

yaitu untuk mencegah dan menahan lidah agar tidak jatuh menutup hipofaring selama

dilakukan operasi.

Komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukan intubasi endotrakeal yaitu

sebagai berikut :

a. Komplikasi tindakan laringskop dan intubasi

- Malposisi berupa intbasi esofagus dan endobrokial serta malposisi laringeal

cuff

- Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa

mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal

- Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intrakranial meningkat

- Malfungsi tuba berupa perforasi cuff

36

Page 37: kasus forensik

b. Komplikasi pemasukan pipa endotrakeal

- Malposisi berupa ekstubasi yang terjai sendiri, intubasi ke endotrakeal dan

malposis laringeal cuff

- Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan laserasi mukosa serta ekskoriasi kulit

- Malfungsi tuba berupa obstruksi

Pada saat operasi berakhir, pasien memsauki prosedur pemulihan yaitu

pengembalian fungsi respirasi pasien dari respirasi terkontrol menjadi respirasi

spontan. Adapun syarat untuk dilakukan ekstubasi yaitu :

- Pasien dalam keadaan sadar.

- Tidak ada insufisiensi nafas

- Tidak ada gangguan sirkulasi ( Tekanan darah stabil )

- Mampu bergerak bila diperintah

- Kekuatan otot telah pulih

- PaO2 diatas 80 mmHg

Pada pasien kasus ini, dilakukan ekstubasi saat pasien telah sadar penuh dan

dan memenuhi syarat ekstubasi diatas.

37

Page 38: kasus forensik

DAFTAR PUSTAKA

1. Suyatno, Pasaribu ET. Bedah onkologi : diagnostic dan terapi. Jakarta : Sagung

Seto ; 2009. P:121-147

2. Amerogen AV. Ludah dan Kelenjar Ludah Arti Bagi Kesehatan Gigi. Alih Bahasa

Rafiah Abyono. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. 1988

3. Guyton. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 7 th. Jakarta: EGC. 1994

4. Soegeng SM, Willy S, Dyah F. Aspek patologi tumor THT-Kepala. Perkembangan

terkini diagnosis dan penatalaksanaan tumor ganas THT-KL. In: Pendidikan

Kedokteran Berkelanjutan. Surabaya: FK UNAIR; 2002.p.8-36

5. Forastiere A, Koch W, Trotti A, et al. Head and Neck Cancer. NEJM 2001;

345:1890-900

6. Oedono T., 2002, Airway Obstruction, Emergency Case Respiratory, Gadjah Mada

University ; Yogyakarta

7. Wiryoatmodjo K., 2000, Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk

Pendidikan S1 Kedokteran, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen

Pendidikan Nasional : Jakarta

8. Latief dkk, 2001, Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua, Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :

Jakarta

9. Dobson M., 1994, Penuntun Praktis Anestesi, Penerbit Buku Kedokteran EGC :

Jakarta.

38