makalah filsafat islam
DESCRIPTION
SERANGAN AL-GHAZALI TERHADAP PARA FILOSOFTRANSCRIPT
SERANGAN AL-GHAZALI TERHADAP PARA
FILOSOF
MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MAKALAH
FILSAFAT ISLAM
DOSEN PEMBIMBING :
Dr. Hery Noer Aly. MA
DISUSUN OLEH :
1. LENI GUSTINI (2103227005)
2. MARDALENA KUSTANTI (2103227006)
3. SUDEXA PRIOMITA (2103226609)
JURUSAN TARBIYAH PENDIDIKAN BAHASA ARAB
STAIN BENGKULU
2011
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr.Wb
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Filsafat Islam
“SERANGAN AL-GHAZALI TERHADAP PARA FILOSOF” kemudian Shalawat beserta salam kita do’akan
kepada Nabi Muhammad SAW, yang mana Beliau telah membawa umat manusia dari zaman Jahiliyyah
kepada zaman Ilmu Pengetahuan, seperti yang kita rasakan saat sekarang ini.
Kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Hery Noer Aly.MA selaku Dosen
Pembimbing mata kuliah Filsafat Islam dan kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan makalah ini.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang kekurangan dan kesalahan dalam
menyelesaikan makalah ini, karena penulis menyadari banyak terdapat kekurangan dan keterbatasan
kemampuan. Semoga makalah yang penulis buat bermanfaat bagi para pembaca dalam meningkatkan
pengetahuannya.
Wassalamu’alaikum. Wr.Wb
Penulis
Bengkulu, November 2011
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
2.1
2.2
2.3
2.4
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bersamaan dengan berputarnya dunia dan kemajuan modernisasi serta pengembangan Ilmu
Pengetahuan yang semakin berkembang yang akhir-akhir ini, banyak kita lihat para generasi Islam
khususnya sudah kecanduan dan keracunan dengan tidak mengenal para tokoh Islam yang sangat dan
dapat memberi pengaruh terhadap kemajuan dunia pendidikan, mereka kadang hanya bisa menghina,
meremehkan bahkan mengatakan dimana tokoh Islam? Ini sebenarnya terjadi karena mereka tidak
kenal sama sekali terhadap beberapa tokoh Islam yang telah berhasil mencetak generasi yang berakhlaq
al-karim, disiplin dan terhormat, serta bermanfaat untuk kepentingan Agama Nusa dan Bangsa.
Dengan berpandangan pada beberapa hal tersebut mengenal para tokoh pendidikan Islam adalah
merupakan salah satu langkah yang seharusnya kita lakukan dan kita miliki dan kita hayati serta
merupakan kebanggaan kita sebagai orang Islam yang dengan semestinya untuk selalu mengangkat dan
mensosialisasikan dikalangan umum. Sehingga generasi penerus Islam bisa bersuara lantang bahwa kita
mempunyai tokoh yang pantas untuk dijunjung tinggi dan salah satu tokoh pendidikan yang tidak kalah
tangkas dan metodenya serta konsep dan pemikirannya adalah Al-Ghazali.
Al-Ghazali adalah salah satu tokoh Muslim yang pemikirannya sangat luas dan mendalam dalam
berbagai hal diantaranya dalam masalah pendidikan. Pada hakekatnya usaha pendidikan menurut Al-
Ghazali adalah dengan mementingkan beberapa hal yang terkait dan mewujudkan secara utuh dan
terpadu karena konsep pendidikan yang dikembnagkannya berawal dari kandungan ajaran Islam dan
tradisi Islam yang berprinsip pada pendidikan manusia seutuhnya. Sehingga dizaman yang modern ini
perlu kiranya untuk mengetahui konsep pendidikan dari tokoh Muslim terkemuka ini.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, kami ingin menyajikan karya tulis tentang :
1. Riwayat Hidup Al-Ghazali
2. Serangan Al-Ghazali Terhadap Para Filosof
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Al-Ghazali
Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, gelar Hujjatul
Islam, lahir tahun 450 H / 1058 M di Thus, suatu kota kecil di Khurrasan (Iran). Kata-kata Al-Ghazali
kadang-kadang di ucapkan Al-Ghazzali. Dengan menduakalikan Z, kata-kata Al-Ghazzali di ambil dari
kata-kata Ghazzal, artinya tukang pemintal benang, karena pekerjaan ayah Al-Ghazali ialah memintal
benang wol, sedang Al-Ghazali dengan satu Z, di ambil dari kata-kata Ghazzala, nama kampung kelahiran
Al-Ghazali.
Ayah Al-Ghazali, adalah seorang tasawuf yang saleh dan meninggal dunia ketika Al-Ghazali
beserta saudaranya masih kecil. Akan tetapi sebelum wafatnya ia telah menitipkan kedua anknya
tersebut kepada seorang tasawuf pula untuk mendapatkan bimbingan dan pemeliharaan dalam
hidupnya.1
Pada masa kecil, Al-Ghazali belajar ilmu fiqh pada Syekh Ahmad bin Muhammad ar-Rasikani dan
kemudian belajar pada imam Abi Nasr al-Ismaili di negri Jurjan. Setelah mempelajari beberapa ilmu di
negrinya, Al-Ghazali berangkat ke Nishabur untuk belajar pada imam Al-Haramain. Dari sini, Al-Ghazali
dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantiq (logika), filsafat
dan fiqh mazhab Syafi’i.
Setelah Imam Al-Haramain wafat, Al-Ghazali pergi ke Al-Ashar untuk berkunjung kepada menteri
Nizam Al-Muluk dari pemerintah Dinasti Saljuk. Ia di sambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang
ulama besar, kemudian di pertemukan dengan para ulama dan ilmuan. Semuanya mengakui ketinggian
ilmu yang dimiliki imam Al-Ghazali. Menteri Nizam Al-Muluk akhirnya melantik Al-Ghazali pada tahun
484 H / 1091 M sebagai guru besar (profesor)pada perguruan tinggi Nizamiah yang berada di kota
Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi selama 4 tahun. Selama menyampaikan
pengajarannya, Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang dekat atau
dari tempat yang jauh.
Namun demikian, Al-Ghazali sendiri tertimpa keragu-raguan tentang pekerjaannya, sehingga ia
menderita penyakit yang tidak bisa di obati. Pekerjaannya itu kemudian ia tinggalkan dan pergi ke
Damsyik. Di kota ini ia merenung, membaca dan menulis, selama kurang lebih 2 tahun, dengan tasawuf
sebagai jalan hidupnya. Kemudian ia pindah ke Palestina dengan tetap merenung, membaca dan 1 Ahamad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, hlm 135
menulis di Masjid Baitul Maqdis. Sesudah itu, tergeraklah hatinya untuk menjalankan ibadah haji.
Setelah selesai ibadah haji, kemudian ia pulang ke negri kelahirannya, yaitu kota Thus. Disana, ia tetap
berkhalwat dan beribadah. Keadaan itu berlangsung selama 10 tahun sejak di pindahkannya ke Damsyik.
Dalam masa-masa tersebut, ia banyak menulis buku-buku yang terkenal, antara lain Ihya Ulumuddin.
Setelah penulisan Ihya Ulumuddin selesai, Al-Ghazali kembali ke Baghdad, untuk mengadakan
majlis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya itu. Akan tetapi karena ada desakan
dari penguasa, Al-Ghazali di minta kembali ke Naisibur dan mengajar di perguruan tinggi Nizamiah.
Pekerjaan ini hanya berlangsung 2 tahun dan akhirnya ia kembali ke kampung asalnya (Thus). Di
kampungnya, Al-Ghazali mendirikan sebuah sekolah yang berada di samping rumahnya sebagai tempat
belajar para fuqaha dan para mutashawwifin (ahli tasawuf). Ia membagi waktunya guna membaca al-
Qur’an, mengadakan pertemuan dengan fuqaha dan ahli tasawuf. Memberikan pelajaran bagi orang
yang ingin mengambil pelajaran darinya dan memperbanyak ibadah(shalat). Imam Al-Ghazali meninggal
dunia pada hari senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H / 1111 M di Thusia. Jenazahnya di
kebumikan di makam Al-Thahirin, berdekatan makam Al-Firdausi, seorang ahli sya’ir yang termasyhur.2
B. Karya-Karya Al-Ghazali
Al-Ghazali merupakan salah seorang pemikir besar dalam islam yang memberikan pengaruh
besar dan wajah baru dalam islam. Ia hidup pada masa berlangsungnya kemerosotan jiwa keislaman
yang menimpa mayoritas umat islam. Karena itu, al-Ghazali memandang untuk melakukan
pembaharuan nilai-nilai rohaniah, serta moral kepada mereka agar perbuatan rohaniah dan lahiriah
mereka tetap terjaga dari nilai-nilai islam. Al-Ghazali juga di kenal sebagai seorang kutub tasawuf dan
pejuang spritual. Di samping itu, al-Ghazali juga di kenal sebagai seorang ensiklopedis pada masanya.
Menurut Syekh Muhammad Musthafa al-Maraghi, al-Ghazali bukan hanya menguasai satu bidang ilmu
tertentu, tetapi juga menguasai banyak bidang antara lain ushul fiqh, fiqh, ilmu kalam, sosiologi dan
sebagai filosof.
Karya-karya Al-Ghazali dapat di kelompokkan sebagai berikut :
a. kelompok filsafat dan ilmu kalam :
1) Maqashid al- falasifah ( tujuan para pilosof)
2) Tahafut al-falasifah (kekacauan para pilosof)
3) Al- Iqtishad fi al-I’tiqad (Moderasi dalam aqidah)2 Dr. Ilyas Supena, M.Ag, Pengantar Filsafat Islam, hlm 108
4) Al- Muqids min al-Dhalal (pembebasan dari kesesatan)
5) Faishal al-Tariqah bain al-islam wa al-Zindiqah (perbedaan islam dan atheis)
b. Kelompok ilmu fiqh dan ushul fiqh
1) Al-Basith (pembahasan yang mendalam)
2) Al-wasith (perantara)
3) Al- Dzari’ah ila Makarim al-Syari’ah (jalan menuju kemulian Syari’ah)
4) Khulashah Al- Mukhtasar (intisari ringkasan karangan)
5) Al-Mankhul (adat kebiasaan)
c. Kelompok ilmu akhlak dan tasawuf
1) Ihya Ulum Al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama)
2) Mizan Al-Amal (timbangan amal)
3) Kimya’ Al- Sa’adah (kimia kebahagian)
4) Misykat Al- Anwar (relung-relung cahaya)
5) Minhaj Al- Abidin (pedoman orang yang beribadah)
d. Kelompok ilmu tafsir
1) Yaqut Al- Ta’wil fi tafsir al-Tanzil (metode ta’wil dalam menafsirkan Al-quran)
2) Jawahir Al-quran (Rahasia-rahasia Al-quran)
C. Konsep Pendidikan Al-Ghazali
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali, dapat diketahui dengan cara memahami
pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu tujuan,
kurikulum, metode, etika guru dan etika murid.
1. Tujuan Pendidikan
Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan
akhir yang ingin dicapai melalui pendidikan ada dua, pertama : tercapainya kesempurnaan insani yang
bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT, kedua : kesempurnaan insani yang bermuara pada
kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, beliau bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai
pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan ini tampak bernuansa
religius dan normal, tanpa mengabaikan masalah duniawi.
2. Kurikulum Pendidikan
Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu :
a. Ilmu yang tercela : sedikit atau banyak. Ilmu tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun
di akhirat, seperti ilmu Nujam, Sihir dan Ilmu Pendukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa
Mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain, dan akan maragukan Allah SWT.
b. Ilmu yang terpuji : sedikit atau banyak, misalnya Ilmu Tauhid dan Ilmu Agama. Bila ilmu
ini dipelajari akan membawa orang kepada jiwa yang suci dan bersih dari kerendahan serta dapat
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, dan tidak boleh dialami, karena dapat membawa
kepada goncangan Iman seperti Ilmu Filsafat.
3. Metode Pengajaran
Perhatian Al-Ghazali akan pendidikan Agama dan Moral sejalan dengan kecenderungan
pendidikannya secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus dengan sifat yang harus
dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya.
Tentang pentingnya keteladanan utama dari seorang guru, juga dikaitkan dengan
pandangannya tentang pekerjaan mengajar. Menurutnya mengajar adalah pekerjaan yang paling mulia
sekaligus yang paling agung. Pendapat ini, ia kuatkan dengan beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadist Nabi
yang mengatakan status guru sejajar dengan tugas Kenabian. Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan bahwa
wujud termulia dimuka bumi adalah manusia, dan bagian inti manusia yang termulia adalah hatinya.
Guru bertugas menyempurnakan, menghias, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Bahkan, kaum muslimin pada dahulu amat mementingkan menuntut ilmu yang langsung
diterima dari mulut seorang guru. Mereka tidak suka menuntut ilmu dari buku-buku dan kitab-kitab saja,
sebagian mereka berkata : “Diantara mala petaka yang besar yaitu berguru pada buku, maksudnya
belajar dengan membaca buku tanpa guru”, dalam sebuah kitab dikatakan “Barang siapa yang tiada
guru, maka Setan lah Imamnya.
4. Kriteria Guru Yang Baik
Menurut Al-Ghazali, bahwa guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah selain guru
yang cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan
kesempurnaan akal ia dapat memiliki barbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan
akhlaknya guru dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan kuat fisiknya guru dapat
melaksanakan tugasnya mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
5. Sifat Murid Yang Baik
Sejalan dengan tujuan pendidikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka
belajar termasuk Ibadah. Dengan dasar pemikiran ini, maka seorang murid yang baik memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
a. Seorang murid harus memuliakan guru dan bersikap rendah hati
b. Harus saling menyayangi dan tolong menolong sesama teman
c. Mempelajari brmacam-macam ilmu dari tiap-tiap ilmu tersebut
d. Seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari perbuatan hina dan tercela
e. Seorang murid hendaknya mendahulukan mempelajari yang wajib, mempelajari ilmu
secara bertahap, dan mengetahui nilai setiap ilmu yang dipelajarinya.
6. Ganjaran Dan Hukuman
Selanjutnya Al-Ghazali berkata : “Apabila anak-anak itu, berkelakuan baik dan melakukan
pekerjaan yang bagus, hormatilah ia dan hendaknya diberi penghargaan dengan sesuatu yang
menggembirakannya, serta dipuji dihadapan orang banyak. Jika ia melakukan kesalahan satu kali,
hendaknya pendidik membiarkan dan jangan dibuka rahasianya. Jika anak itu mengulanginya lagi,
hendaknya pendidik memarahinya dengan tersembunyi, bukan dinasehati didepan orang banyak, dan
janganlah pendidik seringkali memarahi anak-anak itu, karena hal itu dapat menghilangkan pengaruh
pada diri anak, sebab sudah terbiasa telinganya mendengarkan amarah itu.3
D. Sanggahan Al-Ghazali Terhadap Para Filosof
Al-Ghazali melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para filosof. Adapun
yang dimaksudkan para filosof disini dalam berbagai literatur disebutkan ialah selain Aristoteles dan
Plato, dan juga Al-Farabi dan Ibnu Sina karena kedua filosof muslim ini di pandang Al- Ghazali sangat
bertanggung jawab dalam menerima dan menyebarluaskan pemikiran filosof dari Yunani di dunia islam.
Kritik pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal Tahafut al-Falasifat. Dalam buku ini ia
mendemonstrasikan kepalsuan para filosof beserta doktrin- doktrin mereka. Sebelumnya, ia
mempelajari filsafat tanpa bantuan seorang guru selama 2 tahun. Setelah berhasil di hayati dengan
seksama, lalu ia tuangkan dalam bukunya Maqashid al-Falasifat. Dengan adanya buku ini orang
mengatakan bahwa ia benar-benar menguasai argumen yang di pergunakan para filosof. Hal ini di
dukung oleh pendapat Al-Ghazali yang menegaskan bahwa menolak semua mazhab sebelum
3 Ibid
memahaminya dan menelaahnya dengan seksama dan sedalam – dalamnya berarti menolak dalam
kebutaan.
Buku Maqashid al-Falasifat itu dapat dikatakan bahwa Al-Ghazali menjelaskan maksud dan
tujuan filsafat para filosof, yang tentu saja menurut Al-Ghazali dan belum tentu cocok dengan pendapat
para filosof itu sendiri. Pendapat ini dapat di buktikan ketika ia mengkritik bahkan mengkafirkan para
filosof yang sebenarnya berbeda dari maksud para filosof itu sendiri.
Dalam buku Munqiz min al-Dhalal, Al-Ghazali mengelompokkan filosof menjadi 3 golongan :
1. Filosof Materialis (Dahriyyun)
2. Filosof Naturalis (Thabi’iyyun)
3. Filosof Ketuhanan (Ilahiyun)
Menurut Al-Ghazali, filsafat Aristoteles yang disalin dan disebarluaskan Al-Farabi dan Ibnu Sina terbagi
menjadi 3 kelompok :
1. Filsafatnya yang tidak perlu disangkal, dengan arti dapat diterima
2. Filsafatnya yang harus dipandang bid’ah
3. Filsafatnya yang harus dipandang kafir
Dalam buku Tahafut al-Falasifat, Al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-Bid’at dan
kafir. Kesalahan para filosof tersebut dalam bidang Ketuhanan ada 8 masalah, yaitu :
1. Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini kekal
2. Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali
3. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat
4. Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di
luar hukum alam
5. Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya Fana (Lenyap) jiwa
manusia
6. Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan
7. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui Juz’iyyat
8. Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang Juz’iyyat
Tiga dari delapan masalah diatas, menurut Al-Ghazali, membuat filosof menjadi kafir, yaitu :
1. Alam dan semua substansi kadim
2. Allah tidak mengetahui yang Juz’iyyat (perincian) yang terjadi di alam
3. Pembangkitan jasmani tidak ada
Menurut Al-Ghazali kepercayaan dalam tiga masalah ini bertentangan dengan kepercayaan ummat Islam
dan dipandang mendustakan Rasul-rasul Allah, padahal tidak ada golongan Islam manapun yang
berpendapat seperti ini.
1. Masalah Kekadiman Alam
Pada umumnya para filosof muslim berpendapat bahwa alam ini kadim, artinya wujud alam
bersamaan dengan wujud Allah. Unuk menopang pendapat ini, menurut Al-Ghazali, para filosof Muslim
mengemukakan argumen sebagai berikut:
a. Mustahil timbulnya yang baharu dari yang kadim. Proposisi ini berlaku bagi sebab akibat,
dengan arti, jika Allah kadim, maka terjadinya alam merupakan suatu keniscayaan dan hal ini akan
menjadi kadim kedua-duanya (Allah dan alam). Jika di andaikan Allah yang kadim sudah ada, sedangkan
alam belum ada, karena merupakan kemungkinan semata, dan setelah itu alam di adakan-Nya, maka
apa alasannya bahwa alam di adakan sekarang, tidak sebelumnya.
Menurut Al-ghazali, tidak ada halangan apapun bagi Allah menciptakan alam sejak Azali dengan
iradah-Nya yang kadim pada waktu di adakan –Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya
karena memang belum di kehendaki-Nya. Iradah, menurut Al-Ghazali, adalah suatu sifat bagi Allah yang
berfungsi yang membedakan sesuatu dari lainnya yang sama.
b. Keterdahuluan wujud Allah dari alam hanya dari segi esensi, sedangkan dari segi zaman antara
keduanya adalah sama. Hal ini sama seperti keterdahuluan bilangan satu dari dua, atau keterdahuluan
gerakan tangan dari cincin. Kedua jenis ini serupa tingkatanya dalam zaman. Jika demikian keadaan
antara Allah dan Alam, harus keduanya kadim atau baharu dan tidak mungkin salah satunya kadim dan
yang lainnya baharu.
Menurut Al-Ghazali, memang wujud Allah lebih dahulu dari alam dan zaman. Zaman baharu dan
di ciptakan. Sebelum di ciptakan tidak ada zaman. Pertama kali ada Allah, kemudian ada alam karena di
ciptakan Allah. Jadi, dalam keadaan pertama kita bayangkan adanya Allah saja, dan dalam keadaan yang
kedua kita bayangkan ada dua esensi, yakni Allah dan alam, dan tidak perlu kita bayangkan adanya
esesnsi yang ketiga, yakni zaman.
c. Alam sebelum wujudnya merupakan suatu yang mungkin. Kemungkinan ini tidak ada awalnya,
dengan arti selalu abadi.
Al-Ghazali menjawab sendiri dari pendapat para filosof yang ia kemukakan tersebut.
Menurutnya alam ini senantiasa mungkin terjadinya, dan setiap saat dapat di gambarkan terjadinya. Jika
di katakan bahwa alam ini ada selama-lamanya (kadim) tentu ia tidak beharu. Kenyataan ini jelas
bertentangan dengan kenyataan yang tidak serasi dengan teori kemungkinan.
Sebenarnya pertentangan antara Al-Ghazali dan filosof Muslim tentang kadimnya alam hanya
pertentangan penafsiran antara teolog Muslim dan filosof Muslim. Memang filosof Muslim
berkeyakinan bahwa penciptaan dari tiada (nihil) adalah suatu kemustahilan sedangkan menurut Al-
Ghazali bahwa yang kadim hanya Allah, sedangkan selain Allah adalah hadis (baharu). Justru itulah
dalam ilmu kalam syahadat la ilaha illa Allah, berarti la qadima illa Allah. Implikasi paham ini akan
membawa pada :
a. Paham syirik karena banyak yang kadim, banyak tuhan
b. Paham ateisme, alam yang kadim tidak ada pencipta
Kedua paham ini menurut Al-Ghazali, secara tegas tentu saja bertentangan dengan ajaran
dasar dan absolut dalam Islam. Oleh karena itu, menurutnya, alam ini di ciptakan oleh Allah dari nihil
menjadi ada dan hal ini bisa di demonstrasikan secara rasional.
2. Tuhan Tidak Mengetahui Yang Juz’iyyat
Para filosof Muslim, menurut Al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya
dan tidak mengetahui selain-Nya. Ibnu Sina menggatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu
dengan ilmu-Nya yang kulli. Alasan para filosof Muslim, Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat, bahwa di
alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu
akan membawa perubahan kepada zat-Nya.
Pendapat para filosof Muslim yang di kemukakan Al-Ghazali di atas di jawabnya sendiri.
Menurutnya, pendapat para filosof itu merupakan kesalahan fatal. Menurut Al-Ghazali lebih lanjut,
perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu merupakan idhafah. Jika
ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dengan arti keadaan orang yang mempunyai ilmu
tidak berubah.
Sebenarnya terdapat kesamaan antara Al-Ghazali dan para filosof Muslim, bahwa ilmu dan zat
Allah tidak mungkin mengalami perubahan dan Allah maha mengetahui. Perbedaan antara mereka
terletak pada cara Allah mengetahui yang juz’iyyat. Bagi para filosof Muslim Allah mengetahui yang
juz’iyyat lewat kulli dan mereka tidak pernah menggatakan, Allah tidak mengetahui. Hal ini terjadi di
sebabkan perbedaan mereka dalam menetapkan sifat dan zat Tuhan. Para filosof Muslim
mengidentikkan antara sifat dan zat. Sementara Al-Ghazali membedakan antara zat dan sifat. Lebih
lanjut di tegaskannya (Al-Ghazali), Allah memiliki zat beserta sifat, bukan zat tanpa sifat. Nama Allah
tidak bisa di benarkan tanpa sifat-sifat ilahiyyat. Sifat-sifat tersebut kadim dan mempunyai wujud di luar
zat. Atas dasar itulah Al-Ghazali menolak pendapat para filosof Muslim yang mengindetikkan antara sifat
dan zat Allah.4
3. Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Menurut para filosof Muslim yang akan dibangkitkan diakhirat nanti adalah rohani, sedangkan
jasmani akan hancur. Jadi yang akan merasakan kebahagiaan atau kesedihan adalah rohani saja.
Kendatipun ada gambaran dari agama berupa materi di akhirat seperti surga dan neraka. Semua itu
pada dasarnya simbol-simbol untuk memudahkan pemahaman orang awam.
Al-Ghazali pada dasarnya tidak menolak adanya bermacam-macam kelezatan diakhirat yang
lebih tinggi dari pada kelezatan didunia yang bersifat empiris atau indrawi. Juga ia tidak menolak ke-
kekalan roh setelah terpisah dari jasad. Semua itu dapat diketahui berdsarkan otoritas dari jasad, akan
tetapi ia membantah bahwa hanya akal saja dapat memberikan pengetahuan final dalam masalah
metafisika.
Menurut Al-Ghazali, kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hadist-
hadist menyebutkan bahwa roh manusia merasakan adanya kebaikan atau siksa kubur dan lainnya.
Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sementara itu kebangkitan jasmani secara eksplisit
telah ditegaskan syara’ (agama) dengan arti jiwa dikembalikan pada tubuh. Baik tubuh semula maupun
tubuh yang lain atau tubuh yang baru dijadikan. Tubuh manusia dapat berganti bentuk seperti dari kecil
menjadi besar, dari kurus menjadi gemuk dan sebaliknya. Ada suatu tubuh berbentuk jasmani yang
dapat merasakan kepedihan dan kebahagiaan. Allah Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu, dengan
Maha Kuasa-Nya ia tidak merasa sulit menjadikan manusia dari setitik sperma menjadi aneka macam
organ tubuh seperti tulang, daging, kulit, otot dan sebagainya. Bagi Allah jauh lebih mudah
mengembalikan rohani pada tubuh jasmani diakhirat dari pada penciptaan pertama kali.
Pertentangan antara Al-Ghazali dengan para filosof Muslim hanya perbedaan interpretasi
tentang dasar-dasar ajaran Islam yakni bentuk kebangkitan di akhirat bukan pertentangan dasar-dasar
Islam itu sendiri yakni kebangkitan diakhirat.5
4 Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, Filsafat Islam Filosof Dan Filsafatnya, hlm 159 5 Ibid
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa Al-Ghazali itu adalah seorang ahli
fikir yang telah meninggalkan pengaruh yang besar dan memberikan wajah baru dalam Islam.
Didalam bukunya Tahafut al-Falasifat, ia telah menguji pikiran filsafat dan menunjukkan
kelemahannya. Meskipun ia memerangi filsafat, ia tetap seorang filosof yang kadang-kadang
menjelaskan kepercayaan Islam berdasarkan teori-teori Neo Platonisme dan ia juga mengikuti pikiran-
pikiran al-Farabi dan Ibnu Sina.
Pertentangan dan kesalahpahaman antara Filosof Muslim dengan Al-Ghazali dalam masalah
qadimnya alam, Tuhan tidak mengetahui Juz’iyyat dan kebangkitan jasmani diakhirat. Hal ini terjadi
karena Al-Ghazali, al-Farabi dan Ibnu Sina tidak satu masa. Mereka tidak bertemu tatap muka sehingga
muncul pemahaman yang berbeda. Bisa jadi apa yang dimaksudkan oleh salah satu dari mereka
dipahami dengan penafsiran yang berbeda.
Namun demikian, dalam setiap langkahnya, baik berhadapan dengan para filosof atau dengan
ulama kalam atau orang-orang tasawuf, ia hanya mempunyai tujuan satu saja, yaitu menghidupkan
semangat baru bagi Islam.
Saran
Penulis mengharapkan maaf yang sebesar-besarnya kepada pembaca jika terdapat kesalahan atau pun
kekeliruan dalam penyusunan makalah ini, hanya ini yang bisa penulis torehkan dalam makalah ini, dan
penulis sangat mengharapkan kritik-kritik kreatif dari pembaca, guna pengembangan diri dan berharap
dapat berguna dimasa yang akan datang, mudah-mudahan dengan tersusunnya makalah ini dapat
menambah pengetahuan bagi pembaca , serta bermanfaat bagi semua.
DAFTAR PUSTAKA
Zar, Sirajuddin, 2004, Filsafat Islam Filosof Dan Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Supena, Ilyas, 2010, Pengantar Filsafat Islam, Semarang: Walisongo Press
Hanafi, Ahmad, 1991, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang
http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/08/konsep-pendidikan-dalam-perspektif-al-ghazali.html
http://s4h4.wordpress.com/2008/11/30/biografi-imam-ghazal
http://shofiulloh.blogspot.com/2009/04/serangan-al-ghazali-terhadap-para-filosof.html