makalah dan askep kk 6
TRANSCRIPT
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anemia penyakit kronis merupakan bentuk anemia derajat ringan sampai
sedang yang terjadi akibat infeksi kronis, peradangan trauma atau penyakit
neoplastik yang telah berlangsung 1-2 bulan dan tidak disertai penyakit hati,
ginjal, dan endokrin.Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolisme besi,
sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Secara garis
besar patogenesis anemia penyakit kronis dititikberatkan pada 3 abnormalitas
utama: (1) ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis
eritrosit lebih dini, (2) adanya respon sumsusm tulang akibat respon eritropoetin
yang terganggu atau menurun, (3) gangguan metabolisme berupa gangguan
reutilisasi besi.
Pada anemia penyakit kronis ini, ada beberapa studi menyatakan adanya
peran suatu hormon peptida yang kecil bernama hepcidin pada patogenesis
anemia penyakit kronis.Beberapa studi menyimpulkan bahwa hepcidin menjadi
negative regulator penyerapan besi pada usus dan pelepasan oleh makrofag
sehingga pemenuhan kebutuhan besi untuk eritropoesis tidak adekuat.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan anemia penyakit kronis.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Memahami definisi anemia penyakit kronis;
b. Mengetahui penyebab dari anemia penyakit kronis;
c. Mengetahui tanda dan gejala anemia penyakit kronis;
d. Mengetahui proses terjadinya dari anemia penyakit kronis;
e. Mengetahui komplikasi dari anemia penyakit kronis;
f. Mengetahui pemeriksaan diagnosis anemia penyakit kronis;
g. Mengetahui pencegahan anemia penyakit kronis;
1
h. Mengetahui bagaimana pengobatan anemia penyakit kronis;
i. Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan anemia penyakit
kronis.
1.3 Implikasi Keperawatan
1. Perawat sebagai edukator
Perawat memberikan informasi kepada keluarga dan masyarakat mengenai
anemia penyakit kronis, etiologi, komplikasi sehingga keluarga dan
masyarakat dapat mengidentifikasi anggota keluarganya yang mungkin
menderita dan bisa segera dilakukan pencegahan dan penanganannya.
2. Perawat sebagai konselor
Perawat membantu klien dengan memberikan konseling dalam
memecahkan masalah dengan memberikan pilihan-pilihan yang terbaik
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan pengobatan penyakitnya dan
memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan pasien.
3. Perawat sebagai advokasi
Perawat melindungi hak-hak pasien yang menderita anemia penyakit
kronis dalam mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai prosedur.Selain itu
apabila keluarga klien ataupun klien mendapatkan masalah, perawat bisa
memberikan saran serta pilihan yang tepat untuk klien.
4. Perawat sebagai caregiver
Perawat memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada keluarga dan
masyarakat yang menderita anemia penyakit kronis.
2
BAB 2. TINJAUAN TEORI
2.1 Anatomi sistem hematologi
Sistem hematologi tersusun atas darah dan tempat darah diproduksi
termasuk sumsum tulang dan nodus limpa. Darah adalah organ khusus yang
berbeda dengan orang lain karena berbentuk cairan. Darah merupakan
medium transpor tubuh, volume darah manusia sekitar 7%-10% berat badan
normal dan berjumlah sekitar 5 liter. Keadaan jumlah darah pada tiap-tiap
orang tidak sama, bergantung pada usia, pekerjaan serta keadaan jantung atau
pembuluh darah. Darah terdiri atas 2 komponen utama, yaitu sebagai berikut.
1. Plasma darah, bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas air,
elektrolit dan protein darah.
2. Butir-butir darah (blood corpuscles) yang terdiri atas komponen-
komponen berikut ini.
a. Eritrosit : sel darah merah (SDM – red blood cell)
b. Leukosit: sel darah putih (SDP – white blood cell)
c. Trombosit : butir pembeku darah – latelet
2.1.1 Sel Darah Merah (Eritrosit)
a. Struktur Eritrosit
Sel darah merah (eritrosit) merupakan cairan bikonkaf dengan
diameter sekitar 7 mikron. Bikonkavitis memungkinkan gerakan oksigen
masuk dan keluar sel secara cepat dengan jarak yang pendek antara
membran dan inti sel. Warnanya kuning kemerah-merahan, karena
didalamnya mengandun suatu zat yang disebut hemogloin.
Sel darah merah tidak memiliki inti se, mitokondria dan riosom,
serta tidak dapat bergerak.Sel ini tidak dapat melakukan mitosis,
fosforilasi oksidatif sel atau pembentukan protein.
3
Komponen eritrosit adalah sebagai berikut
1. Membran eritrosit
2. Sistem enzim; enzim G6PD (Glucose 6-Phosphatedehydrogenase)
3. Hemoglobin, komponennya terdiri atas:
a. Heme yang merupakan gabungan protoporfirin dengan besi;
b. Gobin: bagian protein yang terdiri atas 2 rantai alfa dan 2 rantai
beta.
Terdapat sekitar 300 molekul hemoglobin dalam setiap sel darah
merah. Hemoglobin berfungsi untuk mengikat oksigen, satu gram
hemoglobin akan bergabung dengan 1,34 ml oksigen.
Oksihemoglobin merupakan hemoglobin yang berkombinasi /
berikatan dengan oksigen.Tugas akhir hemoglobin adalah menyerap
karbondioksida dan ion hidrogen serta membawanya ke paru tempat zat-
zat tersebut dilepaskan dari hemoglbin.
b. Produksi sel darah merah (eritropoesis)
Dalam keadaan normal, eritropoesis pada orang dewasa terutama
terjadi didalam sumsum tulang, dimana sistem eritrosit menempati 20-
30% bagian jaringan sumsum tulang yang aktif membantu sel darah.Sel
eritrosit berinti berasal dari sel induk multipoensial dala sumsum tulang.
4
Sel induk multipotensial ini mampu berdiferensiasi menjadi sel
darah sistem eritrosit, mieloid dan megakariosibila yang dirangsang oleh
eritropoetin. Sel induk multipotensial akan berdiferensiasi menjadi sl
induk unipotensial. Sel induk unipotensial tidak mampu berdiferensiasi
lebih lanjut, sehingga sel induk unipotensial seri eritrosit hanya akan
berdiferensiasi menjadi sel pronormoblas. Sel pronormoblas akan
membentuk DNA yang diperlukan untuk tiga sampai dengan empat kali
fase mitosis. Melalui empat kali mitosis dari tiap sel pronormoblas akan
terbentuk 16 eritrosit. Eritrosit matang kemudian dilepaskan dalam
sirkulasi.Pada produksi eritrosit normal sumsum tulang memerlukan besi,
vitamin B12, Asam folat, Piridoksin (vitamin B6), kobal, asam amino dan
tembaga.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa perubahan morfologi
sel yang terjadi selama proses diferensiasi sel pronormoblas smpai eritrosit
maang dapat dikelompokan ke dalam 3 kelompok, yaitu sebagai berikut.
1. Ukuran sel semakin kecil akibat mengecilnya inti sel.
2. Inti sel menjadi semakin padat dan akhirnya dikeluarkan paa tingkatan
eritroblas asdosis
3. Dalam sitoplasma dibentuk hemoglobin yang diikuti dengan hilangnya
RNA dri dalam sitoplasma sel
c. Lama hidup eritrosit
Eritrosit hidup selama 74-154 hari. Pada usia ini sistem enzim
mereka gagal, membran sel berhenti berfungsi dengan adekuat dan sel ini
dihancurkan oleh sel sistem retikulo endotial.
5
d. Jumlah Eritrosit
Jumlah normal pada orang dewasa kira-kira 11,5-15 gram dalam
100cc darah. Normal Hb wanita 11,5 mg% dan Hb laki-laki 13,0 mg%
e. Sifat-sifat sel darah merah
Sel darah merah biasanya digabaran berdasarkan ukuran dan jumlah
hemoglobin yang terdapat di dalam sel seperti berikut ini.
1. Normositik : sel yang ukurannya normal
2. Normokromik : sel dengan jumlah hemoglobin yang normal
3. Mikrositik : sel yang ukurannya terlalu kecil
4. Mkrositik : sel yang ukurannya terlalu besar
5. Hipokromik : sel yang jumlah hemoglobinnya terlalu sedikit
6. Hiperkromik : sel yang jumlah hemoglobinnya terlalu banyak.
Dalam keadaan normal, bentuk sel darah merah dapat berubah-ubah,
sifat ini memungkinkan sel tersebut masuk ke mikrosirkulasi kapiler tanpa
kerusakan.Apanila sel darah merah suit berubah bentuknya (kaku), maka
sel tersebut tidak dapat bertahan selama peredarannya dalam sirkulasi.
6
f. Antigen Sel Darah Merah
Sel darah merah memiliki bermacam-macam antigen spesifik yang
terdapat dimembran selnya dan tidak ditemukan di sel lain. Antigen-
antigen itu adalah A,B,O dan Rh.
Antigen A,B,O
Seseorang memiliki dua alel (gen) yng masing=masing mengode
antigen A atau B atau tidak memiliki keduannya yang diberi nama O.
Antigen Adan B bersifat ko-dminan, orang yang memiliki antigen A
dan B akan memiliki golongan drah AB, sedangkan orang yang
memiliki dua antigen A (AA) atau satu A dan satu O (AO) akan
mmiliki darah A. Orang yang memiliki dua antigen B (BB)atau satu B
dan satu O (BO) akan memiliki dara B. Orang yang tidak memiliki
kedua antigen (oo) akan memiliki darah O.
Antigen Rh
Antigen Rh merupakan kelompok antigen utama lainnya pada sel darh
merah yang juga diariskan sebagai gen-gen dari masing-masing
orangtua. Antigen Rh utama disebut faktor Rh (Rh+), orang yang
memiliki antign Rh dianggap positif Rh (Rh+) Sedangkan orang yang
tidak memiliki antign Rh dianggap Rh negatif (Rh-)
g. Penghancuran Sel Darah Merah
Proses peghancuran eritrosit terjadi karena proses penuaan
(senencence) dan proses patologis (hemolisis). Hemolisis yang terjadi
pada eritrosit akan mengakibatkan teruraianya komonen-komponen
hemoglobin menjadi dua komponn sebagai berikut.
1. Komponen protein, yaitu globin yang akan dikembaikan ke oo protein
dan dapat digunakan kembali.
2. Komponen heme akan dipecah menjadi dua, yaitu:
Besi yang akan dikembalikn ke pool esi dan digunakan ulang
Bilirubin yang akan dieskresikan melalui hati dan empedu
7
Eritrosit hemolisis atau proses penuaan
Hemoglobin
Globin Heme
Asam amino Fe Co Protoporfin
Pool Protein Pool besi Bilirubin Indireks
Disimpan / digunakan lagi Disimpan/ digunakan lagi Hati
Bilirubin direk
Feses:sterkobilinogen Uriobilirubinogen
Skema Penghancuran Eritrosit
2.1.2 Sel Darah Putih (Leukosit)
Bahasan mengenai sel darah putih yang akan dibahas mencakup struktur
leukosit, fungsi sel dara putih, jenis-jenis sel darah putih, dan jumlah sel darah
putih.
a. Struktur Leukosit
Bentuknya dapat berubah-ubah dan dapat bergerak dengan
perantaraan kaki palsu (Pseudopodia), mempunyai bermacam-macam inti
8
sel sehingga ia dapat dibedakan menurut inti selnya serta warnanya bening
(tidak berwarna).
Sel darah putih dibentuk di sumsum tulang dari sel-sel bakal. Jenis
jenis dari golongan sel ini adalah golongan yang tidak bergranula, yaitu
limfosit T dan B, monosit dan makrofag serta golongan yang bergranula,
yaitu eosinofil, basofil, dan neutrofil
b. Fungsi Sel Darah Putih
Fungsi dari sel darah putih adalah sebagai berikut:
1. Sebagai serdadu tubuh, yaitu membunuh dan memakan bibit
penyakit/bakteri yang masuk ke dalam tubuh jaringan RES (Sistem
Retikulo Endotel)
2. Sebagai pengangkut, yaitu mengangkut/membawa zat lemak dari
dinding usus melalui limpa terus ke pembuluh darah
c. Jenis-jenis Sel Darah Putih
Sel Darah Putih terdiri atas beberapa jenis sel darah sebagai berikut:
1. Agranulosit
Memilki granula kecil didalam protoplasmanya, memiliki
diameter sekitar 10-12 mikron. Berdasarkan pewarnaan granula,
granulosit terbagi menjadi tiga kelompok berikut ini
a) Neutrofil : Granula yang tidak berwarna mempunyai inti sel
yang terangkai, kadang seperti terpisah-pisah,
protoplasmanya banyak berbintik-bintik halus/granula,
serta banyaknya sekitar 60-70%.
9
b) Eosinofil : Granula berwarna merah dengan pewarnaan
asam, ukuran dan berbentuk hampir sama dengan neutrofil,
tetapi granula dalam sitoplasmanya lebih besar, banyaknya
kira-kira 24%
c) Basofil : Granula berwarna biru dengan pewarnaan basa,
sel ini lebih kecil daripada eosinofil, tetapi mempunyai inti
yang bentuknya teratur, didalam protoplasmanya terdapat
granula-granula yang besar, banyaknya kira-kira 0,5% di
sumsum merah.
10
Neutrofil, eosinofil dan basofil berfungsi sebagai fagosit untuk
mencerna dan menghancurkan mikroorganisme dan sisa-sisa sel.
Selain itu, basofil bekerja sebagai sel mast dan mengeluarkan peptida
vasoaktif.
2. Granulosit
Granulosit terdiri atas limfosit dan monosit.
a) Limfosit
Limfosit memiliki nukleus besar bulat dengan menempati
sebagian besar sel limfosit berkembang dalam jaringan limfe.
Ukuran bervariasi dari 7 sampai dengan 15 mikron. Banyaknya
20-25% dan fungsinya membunuh dan memakan bakteri yang
masuk kedalam jaringan tubuh.
Limfosit ada 2 macam yaitu, limfosit T dan Limfosit B
a. Limfosit T
Limfosit T meninggalkan sumsum tulang dan berkembang
lama, kemudian bermigrasi menuju ke timus. Setelah
meninggalkan timus, sel-sel ini beredar dalam darah sampai
mereka bertemu dengan antigen-antigen dimana mereka telah
diprogram untuk mengenalinya. Setelah dirangsang oleh
antigennya, sel-sel ini menghasilkan bahan-bahan kimia yang
menghancurkan mikroorganisme dan memberitahu sel-sel darh
putih lainnya bahwa telah terjadi infeksi.
11
b. Limfosit B
Terbentuk di sumsum tulang lalu bersikulasi dalam darah
sampai menjumpai antigen dimana meraka telah diprogram
untuk mengenalinya. Pada tahap ini, limfosit B mengalami
pematangan lebih lanjut dan menjadi sel plasma serta
menghasilkan antibodi.
b) Monosit
1) Ukuran
Ukurannya lebih besar dari limfosit, protoplasmanya
besar, warna biru sedikit abu-abu, serta mempunyai bintik-
bintik sedikit kemerahan. Inti selnya bulat atau panjang.
Monosit dibentuk di dalam sumsum tulang, masuk ke dalam
sirkulasi dalam bentuk imatur dan mengalami proses
pematangan menjadi makrofag setelah masuk ke jaringan.
Fungsinya sebagai fagosit. Jumlahnya 34% dari total
komponen yang ada di sel darah putih
12
d. Jumlah sel darah putih
Pada orang dewasa, jumlah sel darah putih total 4,0-11,0 x 109/l yang
terbagi sebagai berikut
Granulosit
Neutrofil 2,5-7,5 x 109
Eosinofil 0,04-0,44 x 109
Basofil 0-0,10 x 109
Limfosit 1,5-3,5 x 109
Monosit 0,2-0,8 x 109
2.1.3 Keping darah (Trombosit)
Trombosit yang akan dibahas mencakup struktur trombosit, jumlah
trombosit, fungsi trombosit dan pembatasan fungsi trombosit
a. Struktur Trombosit
Trombosit adalah bagian dari beberapa sel-sel besar dalam sumsum
tulang yang terbentuk cakram bulat, oval, bikonveks, tidak berinti, dan
hidup sekitar 10 hari
b. Jumlah Trombosit
Jumlah trombosit antara 150 dan 400 x 109/liter (150.000-
400.000/mililiter), sekitar 30-40% terkonsentrasi di dalam limpa dan
sisanya bersirkulasi dalam darah.
13
c. Fungsi Trombosit
Trombosit berperan penting dalam pembentukan bekuan
darah.Trombosit dalam keadaan normal bersirkulasi ke seluruh tubuh
melalui aliran darah.Namun, dalam beberapa detik setelah kerusakan
suatu pembuluh, trombosit tertarik ke daerah tersebut sebagai respons
terhadap kolagen yang terpajan di lapisan subendotel
pembuluh.Trombosit melekat ke permukaan yang rusak dan
mengeluarkan beberapa zat (serotonin dan histamin) yang
menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh. Fungsi lain dari
trombosit yaitu untuk mengubah bentuk dan kualitas setelah berikatan
dengan pembuluh yang cedera. Trombosit akan secara efektif
menambal daerah yang luka.
d. Pembatasan Fungsi Trombosit
Penimbunan trombosit yang berlebihan dapat menyebabkan
penurunan aliran darh ke jaringan atau sumbat menjadi sangat besar,
sehingga lepas dari tempat semula dan mengalir ke hilir sebagai suatu
embolus dan menyumbat aliran ke hilir.
Guna mencegah pembentukan suatu emboli, maka trombosit-
trombosit tersebut mengeluarkan bahan-bahan yang membatasi luas
penggumpalan mereka sendiri.Bahan utama yang dikeluarkan oleh
trombosit untuk membatasi pembekuan adalah prostaglandin
tromboksan A2 dan prostasiklin I2.Tromboksan A2 merangsang
penguraian trombosit dan menyebabkan vasokontriksi lebih lanjut pada
pembuluh darah.Sedangkan prostasiklin I2 merangsang agregasi
trombosit dan pelebaran pembuluh sehingga semakin meningkatkan
respons trombosit.
14
2.1.4 Plasma darah
Plasma adalah bagian darah yang encer tanpa sel-sel darah, warnanya
bening kekuning-kuningan. Hampir 90% dari plasma darah terdiri atas air.
Zat-zat yang terdapat dalam plasma darah adalah sebagai berikut:
a. Fibrinogen yang berguna dalam peristiwa pembekuan darah
b. Garam-garam mineral (garam kalsium, kalium, natrium, dan lain-
lain) yang berguna dalam metabolisme dan juga mengadakan
osmotik
c. Protein darah (albumin, globulin) meningkatkan viskositas darah
juga menimbulkan tekanan osmotik untuk memelihara
keseimbangan cairan dalam tubuh
d. Zat makanan (asam amino, glukosa, lemak, mineral, dan vitamin)
e. Hormon yaitu suatu zat yang dihasilkan dari kelenjar tubuh
f. Antibodi
15
Plasma diperoleh dengan memutar sel darah, plasma diberikan
secara intravena untuk (1) mengembalikan volume darah; (2) menyediakan
substansi yang hilang dari darah klien.Misalnya faktor pembekuan darah I,
VIII, dan XI untuk klien yang tidak mendapatkannya.
2.2 Definisi Anemia dan Anemia Penyakit Kronis
2.2.1 Anemia
Anemia adalah istilah yang menunjukkan rendahnya hitung sel darah merah
dan kadar hemoglobin dan hematocrit di bawah nilai normal. Anemia bukan
merupakan penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit
atau gangguan fungsi tubuh.Secara fisiologis, anemia terjadi apabila terdapat
kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan.
Terdapat berbagai macam anemia.Sebagian akibat produksi dari sel darah
merah tidak mencukupi, dan sebagian lagi akibat sel darah merah premature atau
penghancuran sel darah merah yang berlebihan.Faktor penyebab lainnya meliputi
kehilangan darah, kekurangan nutrisi, factor keturunan, dan penyakt
kronis.Anemia kekurangan besi adalah anemia yang terbanyak di seluruh dunia.
(Brunner & Suddarth)
Seseorang dikatakan menderita anemia apabila konsentrasi hemoglobin
pada orang tersebut lebih rendah dari nilai normal hemoglobin yang sesuai dengan
jenis kelamin dan umur dari orang tersebut. Oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO:
World Health Organization) telah ditetapkan batasan anemia yaitu untuk wanita
apabila konsentrasi hemoglobinnya di bawah 12 gr/dL (7,5 mmol/L) dan untuk
pria apabila konsentrasi hemoglobinnya di bawah 13 gr / dL (8,1 mmol / L).
(Leonardo, 2002)
2.2.2 Anemia Pada Penyakit Kronis
Anemia penyakit kronis yaitu berbagai penyakit inflamasi kronis
berhubungan dengan anemia jenis normositik normokromik (sel darah merah
dengan ukuran dan warna yang normal).Kelainan ini meliputi arthritis rematoid,
abses paru, osteomyelitis, tuberculosis, dan berbagai ginjal.
16
Anemia biasanya ringan atau tidak progresif. Berkembang secara bertahap
selama periode waktu 6 sampai 8 minggu dan kemudian stabil pada kadar
hematocrit tidak kurang dari 25%. Hemoglobin jarang turun sampai di bawah 9
g/dl, dan sumsum tulang mempunyai selularitas poetin rendah, mungkin karena
turunnya produksi, dan adanya penyekat pada penggunaan besi oleh sel
eritroid.Juga terjadi penurunan sedang ketahanan hidup sel darah merah.
Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala dan tidak memerlukan
penanganan kelainan yang mendasarinya, besi sumsum tulang digunakan untuk
membuat darah, sehingga hemoglobin meningkat.
2.2.3 Kriteria Anemia
Untuk memenuhi definisi anemia, maka perlu ditetapkan batas hemoglobin
atau hematocrit yang dianggap sudah terjadi anemia. Batas tersebut sangat
dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan Batasan yang umum digunakan adalah
kriteria WHO pada tahun 1968. Dinyatakan sebagai anemia bila terdapat nilai
dengan kriteria sebagai berikut :
Laki-laki dewasa Hb<13 gr/dl
Perempuan dewasa tidak hamil Hb<12 gr/dl
Perempuan hamil Hb<11 gr/dl
Anak usia 6-14 tahun Hb<12 gr/dl
Anak usia 6 bulan-6 tahun Hb<11 gr/dl
Catatan : Hb dihitung dari ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut.
Untuk kriteria anemia di klinik, rumah sakit, atau praktik klinik pada
umumnya dinyatakan anemia bila terdapat nilai sebagai berikut:
1. Hb<10 gr/dl
2. Hematokrit<30%
3. Eritrosit<2,8 juta/mm3
17
2.2.4 Derajat Anemia
Derajat Anemia ditentukan oleh kadar Hb. Klasifikasi derajat anemia yang
umum dipakai adalah sebagai berikut :
Ringan sekali Hb 10 gr/dl-13 gr/dl
Ringan Hb 8 gr/dl-9,9 gr/dl
Sedang Hb 6 gr/dl-7,9 gr/dl
Berat Hb <6 gr/dl
2.2.5 Klasifikasi Anemia
Anemia dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara. Pendekatan fisiologis
akan menentukan apakah defisiensi jumlah sel darah merah disebabkan oleh defek
produksi sel darah merah (anemia hipoproliferatife) atau oleh destruksi sel darah
merah (anemia hemolitika).
Pada anemia hipoproliferatife, sel darah merah biasanya bertahan dalam
jangka waktu yang normal, tetapi sumsum tulang tidak mampu menghasilkan
jumlah sel yang adekuat; jadi, jumlah retikulositnya menurun. Keadaan ini
mungkin disebabkan oleh adanya kerusakan sumsum tulang akibat obat atau
bahan kimia (misal : chloramphenicol, benzene) atau mungkin karena kekurangan
hemoproetin (seperti pada penyakit ginjal), besi, vitamin B 12, atau asam folat.
Apabila hemolysis (disolusi sel darah merah dengan pembebasan
hemoglobin ke plasma disekitarnya) merupakan penyebab utama, maka
abnomarlitas biasanya terdapat dalam sel darah merah itu sendiri (seperti pada
anemia sel sabit atau defisiensi G-6-PD (glukosa-6-phospate
dehydrogenasel).Dalam plasma (seperti pada anemia hemolitika imunologis), atau
dalam sirkulasi (seperti pada hemolitis katup jantung).
18
Pada anemia hemolitika, angka retikulosit dan kadar bilirubin indirek
meningkat, dan telah mampu menyebabkan ikterik klinis.
1. Anemia Hipoproliferatif
a. Anemia Aplastik
b. Anemia Pada Penyakit Ginjal
c. Anemia Pada Penyakit Kronis
2. Anemia Defisiensi Besi
a. Anemia Megaloblastik
3. Defisiensi B 12
4. Anemia Asam Folat
5. Anemia Hemolitika
6. Anemia Hemolitika Turunan
a. Sferositosis Turunan
b. Anemia sel sabit (Brunner & Suddarth)
2.3 Epidemiologi
Perkiraan prevalensi anemia di Indonesia menurut Husaini,dkk.
Kelompok Populasi Angka Prevalensi
1. Anak prasekolah 30-40%
2. Anak Usia Sekolah 25-35%
3. Dewasa Tidak Hamil 30-40%
4. Hamil 50-70%
5. Laki-laki dewasa 20-30%
6. Pekerja
berpenghasilan rendah
30-40%
Tabel Prevalensi Anemia di Indonesia
Catatan : Untuk angka prevalensi anemia di dunia sangat bervariasi, bergantung
pada geografi dan taraf sosial ekonomi masyarakat.
19
Tingginya prevalensi penyakit menular di seluruh dunia dan prevalensi
tinggi.gangguan inflamasi dan ganas di negara-negara industri menunjukkan
bahwa Anemia Penyakit Kronis (ACD) adalah bentuk paling umum kedua atau
ketiga anemia setelah anemia defisiensi besi (ADB) dan thalassemia. Meskipun
prevalensi defisiensi zat besi di negara-negara industri yang cepat menurun, ACD
diperkirakan akan meningkat, sebagai proporsi dari orang tua dalam
meningkatkan populasi.
2.4 Etiologi Anemia Akibat Penyakit Kronik
Sejumlah penyakit kronik dapat menyebabkan anemia. Sebagian
diantaranya adalah penyakit gagal ginjal kronik, penyakit usus meradang, lupus
eritematosus sistemik (SLE), infeksi granulomatosa, neoplasma ganas, dan artritis
reumatoid. Anemia ini biasanya semakin intensif seiring dengan bertambahnya
volume plasma yang melebihi ekspansi massa sel darah merah.
Banyak proses penyakit kronis menghasilkan sitokinin inflamasi, yang
menekan hemopoiesis, dengan mengurangi transfer besi ke eritrosit yang sedang
berkembang dan mengurangi efek eritropoitein terhadap sumsum tulang. Masa
hidup eritrosit juga memendek. Proses penyakit yang mendasari adalah : (i)
infeksi kronis : endocarditis infeksi, abses, terutama pada paru, osteomyelitis ; (ii)
inflamasi kronis, misalnya arthritis rheumatoid, artritis temporal, dan vaskulitid
lainnya, misalnya lupus eritematosus sistemik (SLE), poliarteritis nodusum); (iii)
Penyakit inflamasi usus menyebabkan penyakit kronis dan anemia defisiensi besi;
(iv) keganasan; dan (v) gagal ginjal kronis menyebabkan anemia terutama dengan
mengganggu produksi eritropoetin, walaupun mekanisme lain juga terimplikasi.
2.5 Patofisologi
2.5.1 Insufisiensi Produksi (Penurunan Retikulosit)
a. Anemia defisiensi zat besi :
1. Normalnya, sekitar 1 mg zat besi diabsorbsi dan hilang per hari;
ketidakseimbangan antara asupan, kebutuhan, dan kehilangan zat
besi mengakibatkan defisiensi zat besi.
20
2. Defsiensi zat besi diet umum terjadi pada kondisi yang
membutuhkan peningkatan zat besi seperti pada masa bayi dan
kehamilan; kekurangan absorbs zat besi dapat terjadi setelah
gastrektomi parsial, gastritis atropikans (seperti pada H.pylori) dan
pada penyakit usus (penyakit seliak).
3. Peningkatan kehilangan zat besi terjadi pada menstruasi (sampai 20
mg pada setiap kali menstruasi) dan pada kehilangan darah yang
kronis (misal penyakit tukak peptic, kanker kolon, flebotomi
repetitive).
4. Defisiensi zat besi mengakibatkan penurunan ferritin (sebagai respon
terhadap gen protein 1 pengatur zat besi) dan penurunan zat besi di
sumsum tulang sehingga menyebabkan produksi SDM yang
abnormal.
5. SDM menjadi kecil (mikrositik; penurunan rerata volume
korpuskuler (MCV) dan pucat (hipokromik; penurunan rerata
konsentrasi hemoglobin korpuskular (MCHC)).
b. Anemia pada penyakit kronis (ACD) merupakan anema yang umum
terjadi pada pasien rawat inap.
1. Anemia dihubungkan dengan kondisi inflamasi dan neoplastic yang
mendasari
2. Mekanisme anemia belum dipahami dengan baik,tetapi melibatkan
gangguan eritroposis, defisiensi eritropoetin relative, penurunan
pemakaian zat besi, sintesis hemoglobin abnormal dan penurunan
ketahanan hidup SDM.
3. Karena merupakan protein fase akut, ferritin sering kali normal atau
meninggi pada ACD.
Berbagai penyakit inflamasi kronis berhubungan dengan anemia
jenis normositik normokromik (sel darah merah dengan ukuran dan warna
yang normal).Kelainan ini meliputi arthritis rematoid, abses paru,
osteomyelitis, tuberculosis, dan berbagai ginjal.
21
Anemia biasanya ringan atau tidak progresif. Berkembang secara
bertahap selama periode waktu 6 sampai 8 minggu dan kemudian stabil
pada kadar hematocrit tidak kurang dari 25%. Hemoglobin jarang turun
sampai di bawah 9 g/dl, dan sumsum tulang mempunyai selularitas poetin
rendah, mungkin karena turunnya produksi, dan adanya penyekat pada
penggunaan besi oleh sel eritroid.Juga terjadi penurunan sedang ketahanan
hidup sel darah merah.
Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala dan tidak memerlukan
penanganan kelainan yang mendasarinya, besi sumsum tulang digunakan
untuk membuat darah, sehingga hemoglobin meningkat.
Pada pasien HIV-positif yang mendapat zidovudine (Retrovir)
mempunyai risiko tinggi mengalami anemia akibat supresi sumsum tulang.
Epoetin alfa, suatu bentuk rekombinan eritropoetin manusia, sangat berguna
untuk menangani anemia ini apabila kadar eritropoetin endogen pasien
sangat rendah. Cadangan besi serum yang memadai sangat diperlukan agar
obat ini efektif meningkatkan kadar hematocrit. (Sylvia Price)
Banyak proses penyakit kronis menghasilkan sitokinin inflamasi,
yang menekan hemopoiesis, dengan mengurangi transfer besi ke eritrosit
yang sedang berkembang dan mengurangi efek eritropoitein terhadap
sumsum tulang. Masa hidup eritrosit juga memendek. Proses penyakit yang
mendasari adalah : (i) infeksi kronis : endocarditis infeksi, abses, terutama
pada paru, osteomyelitis ; (ii) inflamasi kronis, misalnya arthritis
rheumatoid, artritis temporal, dan vaskulitid lainnya, misalnya lupus
eritematosus sistemik (SLE), poliarteritis nodusum); (iii) Penyakit inflamasi
usus menyebabkan penyakit kronis dan anemia defisiensi besi; (iv)
keganasan; dan (v) gagal ginjal kronis menyebabkan anemia terutama
dengan mengganggu produksi eritropoetin, walaupun mekanisme lain juga
terimplikasi. Anemia biasanya ringan (Hb biasanya ≥8 g/dl), dan volume
rata-rata (MCV) normal (80-90 Fl).
22
Kadar besi dalam serum dan protein transfer (yang diukur sebagai
total iron binding capacity (TIBC) rendah. Pemeriksaan sumsum tulang,
yang diindikasikan bila kemungkinan defisiensi besi tidak dapat
disingkirkan secara non-invasif, akan menunjukkan adanya persediaan besi
yang melimpah. Anemia tidak enunjukkan respons terhadap pemberian besi
tambahan, tapi menunjukkan respons terhadap terapi penyakit yang
mendasari.Eritropoetin dapat membantu pada kasus gagal ginjal dan pada
beberapa penyakit lainnya, misalnya anemia atau keganasan.Tranfusi darah
dapat membantu keadaan pasien yang simptomatik.
2.6 Tanda dan Gejala
Temuan klinik pada anemia penyakit kronistentunya bergantung pada
penyebabnya.Diagnosis yang harus dilakukan pada suspek yang menderita
penyakit kronik adalah mengkonfirmasi penurunan serum besi, penurunan TIBC,
dan normal atau meningkatnya serum feritin.Selain itu juga perlu dilakukan
pemeriksaan penyerapan asam folat dan besi.Karena pada penyakit kronik sering
ditemukan gangguan penyerapan besi dan folat, dan hal ini diperparah dengan
perdarahan saluran pencernaan. Pada penderita yang ”cuci darah” biasanya terjadi
kekurangan besi dan asam folan selama cuci darah berlangsung.
Selain tanda dan gejala diatas, juga terdapat tanda dan gejala lainnya.
diantaranya:
1. kelelahan, lemah, pucat, dan kurang bergairah
2. sakit kepala, dan mudah marah
3. tidak mampu berkonsentrasi, dan rentan terhadap infeksi
4. pada anemia yang kronis menunjukkan bentuk kuku seperti sendok dan
rapuh, pecah-pecah pada sudut mulut, lidah lunak dan sulit menelan.
Karena faktor-faktor seperti pigmentasi kulit, suhu dan kedalaman serta
distribusi kapiler mempengaruhi warna kulit, maka warna kulit bukan merupakan
indeks pucat yang dapat diandalkan.Warna kuku, telapak tangan, dan membran
mukosa mulut serta konjungtiva dapat digunakan lebih baik guna menilai
kepucatan.
23
Takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh kecepatan aliran
darah yang meningkat) menggambarkan beban kerja dan curah jantung yang
meningkat.Angina (sakit dada), khususnya pada penderita yang tua dengan
stenosis koroner, dapat diakibatkan karena iskemia miokardium. Pada anemia
berat, dapat menimbulkan payah jantung kongesif sebab otot jantung yang
kekurangan oksigen tidak dapat menyesuaikan diri dengan beban kerja jantung
yang meningkat. Dispnea (kesulitan bernafas), nafas pendek, dan cepat lelah
waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan manifestasi berkurangnya
pengiriman O2. Sakit kepala, pusing, kelemahan dan tinnitus (telinga berdengung)
dapat menggambarkan berkurangnya oksigenasi pada susunan saraf pusat. Pada
anemia yang berat dapat juga timbul gejala saluran cerna yang umumnya
berhubungan dengan keadaan defisiensi. Gejala-gejala ini adalah anoreksia,
nausea, konstipasi atau diare dan stomatitis (sariawan lidah dan mulut).
2.7 Hasil Pemeriksaan Diagnostik
Karena dapat bermanifestasi sebagai anemia hipokromik mikrositik,
penyakit-prnyakit kronis perlu dibedakan dari anemia defisiensi besi. Infeksi
kronis, proses peradangan, dan keganasan dapat menimbulkan anemia hipokromik
mikrositik. Defek dasarnya adalah pemakaian besi untuk eritropoeisis.Tampaknya
terjadi hambatan penyaluran besi dari simpanan di retikuloendotel ke sel-sel darah
merah yang sedang terbentuk.Akibatnya sel-sel darah merah mengalami
kekurangan besi, sedangkan simpanan besi tubuh berlebihan.
Biasanya apusan darah tepi memperlihatkan gambaran normosiltik, tetapi
pada tahap yang lebih lanjut sel-sel dapat menjadi hipokromik dan mikrositik.
Mikrositik biasanya tidak Separah pada anemia defisiensi besi. Dan volume sel
rerata yang kurang dari 70 samapi 75 Fl jarang dijumpai.Tingkat keparahan
anemia biasanya sedang, dengan hemoglobin berkisar 7 sampai 11 g/Dl.
24
Pada table 3.3 memperlihatkan profil pemeriksaan besi pada anemia pada
penyakit kronis. Biasanya kadar besi serum rendah, demikian juga kapasitas
mengikat besi total. Yang terakhir ini menunjukkan perbedaan bentuk anemia
hipokromik ini dari anemia defisiensi besi.Presentasi saturasi transferrin biasanya
lebih tinggi daripada yang dijumpai pada anemia defisiensi besi dan berada dalam
kisaran 7 sampai 15%. Gambaran pembeda yang utama, tentu saja, adalah
kenyataan bahwa kadar ferritin serum meningkat menjadi 50 sampai 200 mg/Ml.
Temuan ini dapat digunakan untuk membedakan antara penyakit kronis dan
anemia defisiensi besi karena kadar ferritin serum pada keadaan defisiensi besi
kurang dari 10 mg/Ml.
Tabel Temuan Laboraturium Pada Defisiensi Besi
25
Tabel Diagnosis Banding Anemia Hipokromik Mikrositik
Hematokrit jarang kurang dari 60%.MCV biasanya normal atau menurun
sedikit.Morfologi sel darah merah tidak bisa dijadikan untuk diagnosis dan
retikulosit kadang meningkat dan kadang menurun.Serum besi mungkin tidak
teratur.Penurunan transferin sangat extrim, oleh karena itu sering terjadi salah
diagnosis dengan anemia defisiensi besi.Perbedaan dengan anemia defisiensi besi
adalah serum feritin yang normal atau meningkat.Serum feritin yang kurang dari
10 ug/L menunjukkan defisiensi besi.
2.8 Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi umum anemia meliputi gagal jantung, parestesia, dan kejang.
Pada setiap tingkat anemia, pasien dengan penyakit jantung cenderung lebih besar
kemungkinannya mengalami angina atau gagal jantung kongestif daripada
seseorang yang tidak mempunyai penyakit jantung.
26
2.9 Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan untuk menghindari anemia dengan
mengkonsumsi makanan yang sehat, variasi makanan, termasuk:
a. Zat Besi.
Sumber terbaik zat besi adalah daging sapi dan daging lainnya. Makanan
lain yang kaya zat besi, termasuk kacang-kacangan, sayuran berdaun hijau
tua, selai kacang dan kacang-kacangan.
b. Asam Folat
Dapat ditemukan di jus jeruk dan buah-buahan, pisang, sayuran berdaun
hijau tua, kacang polong dan dibentengi roti, sereal dan pasta.
c. Vitamin B-12. Vitamin ini banyak dalam daging dan produk susu.
d. Vitamin C. Makanan yang mengandung vitamin C, seperti jeruk, melon
dan beri, membantu meningkatkan penyerapan zat besi.
e. Mengonsumsi makanan yang tinggi protein tinggi kalori
f. Membatasi konsumsi minuman beralkohol, karena alkohol akan
mempengaruhi penggunaan nutrisi esensial
g. Menjaga suasana istirahat yang sering dan tetap bergerak aktif sejauh yang
dapat ditoleransi.
2.10 Penatalaksanaan
Anemia penyakit kronik berespons terhadap pemberian eritropoietin
rekombinan. Obat ini telah berhasil digunakan untuk mengobati anemia pada
insufisiensi ginjal kronis, peradangan kronik, dan keganasan. Selain itu obat ini
juga dinilai mampu untuk mengobati beberapa wanita hamil yang mengalami
anemia yang disebabkan oleh insufisiensi ginjal kronik. Meskipun massa sel darah
merah biasanya meningkat selama beberapa minggu, namun timbul efek samping
eritropoietin rekombinan, yaitu hipertensi yang sudah sering terjadi pada ibu
hamil.
27
Terapi utama pada penyakit kronis adalah mengobati penyakit dasarnya.
Selain itu terdapat pilihan juga dalam mengobati penyakit ini:
a. Transfusi
Merupakan pilihan pada kasus yang disertai gangguan hemodinamik. Tidak
adabatasan pasti pada kadar Hb berapa kita memberikan transfusi. Namun
kadarHb sebaiknya dipertahankan berkisar antara 10-11 gr/dL.b.
b. Preparat besi
Pemberian preparat besi pada anemia pada penyakit kronis
masihdiperdebatkan. Meskipun ada beberapa bukti yang menunjukkan
bahwa pemberian preparat besi dapat mencegah pembentukan TNF-alfa
sertameningkatkan kadar Hb pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal.
c. Eritropoietin
Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian eritropoietin bermanfaat
dansudah disepakati pada pasien kanker, gagal ginjal, multipel
mieloma,rheumatoid artritis dan HIV/AIDS. Eritropoietin yang dapat
diberikan terbagidalam 3 jenis :Eritropoietin alfa, Eritropoietin beta dan
Darbopoietin. Keuntungan pemberian eritropoeitin yaitu dapat menghindari
efek samping dari transfusi dan memiliki efek antiinflamasi (menekan
produksi TNF-alfa dan IFN-gamma)
28
BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
A. Identitas pasien
Identitas pasien terdiri dari nama pasien, umur, jenis kelamin, agama,
suku, dan alamat.
B. Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama pasien atau alasan utama mengapa ia datang ke rumah
sakit.
2. Riwayat kesehatan sekarang
d. Adanya rasa nyeri: kaji lokasi ( nyeri yang dirasakan pasien
tergantung dari tingkat keganasan penyakit yang tengah dialami
pasien), karakter, durasi, faktor-faktor yang memicu rasa nyeri
dan yang meringankannya. Adanya gejala panas atau menggigil
(disebabkan adanya proses inflamasi atau agen infeksi penyakit),
sering lelah, perubahan berat badan, perubahan nafsu makan,
sakit kepala, mual, malaise, sesak napas, nyeri dada, atau tanpa
gejala (gejala biasanya bisa secara mendadak atau bertahap).
e. Tanda-tanda yang dialami pasien tergantung dari penyakit yang
dideritanya, penyakit tersebut bisa berhubungan dengan
kehilangan darah dari saluran cerna (tinja berwarna gelap, darah
per rektal, muntah “butiran kopi”)
f. Untuk pasien wanita :Jika pasien wanita : Tanda-tanda yang
dialami pasien berhubungan dengan kehilangan darah yang
berlebih pada saat pasien menstruasi, semua tergantung dari
frekuensi dan durasi menstruasi serta penggunaan tampon atau
pembalut saat pasien menstruasi.
31
3. Riwayat kesehatan masa lalu
a. Riwayat penyakit gagal ginjal kronis sebelumnya atau riwayat
penyakit kronis (misalnya artritis reumatoid atau gejala yang
menunjukkan keganasan penyakit)
b. Terapi atau perawatan rumah sakit yang pernah dialami untuk
menanggani artritis reumatoid atau gejala yang menunjukkan
keganasan penyakit, berapa lama dirawat.
c. Terdapat tanda-tanda kegagalan terhadap sumsum tulang (memar,
perdarahan, dan infeksi)
d. Riwayat anemia sebelumnya atau pemeriksaan laboratorium
e. Riwayat Pengobatan : Obat-obatan tertentu berhubungan dengan
kehilangan darah (misalnya AINS menyebabkan erosi lambung
atau supresi sumsum tulang akibat obat sitolitik).
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
a. Tanyakan adanya riwayat anemia pada keluarga, khususnya
pertimbangkan penyakit sel sabit, talasemia, dan anemia hemolitik
yang diturunkan.
5. Pola fungsi kesehatan
a. Aktifitas / Istirahat
Keletihan, kelemahan, malaise umum.
Kehilangan produktifitas, penurunan semangat untuk bekerja
Toleransi terhadap latihan rendah.
Kebutuhan untuk istirahat dan tidur lebih banyak
b. Sirkulasi
Riwayat kehilangan darah kronis,
Riwayat endokarditis infektif kronis.
Palpitasi.
c. Integritas ego
Keyakinan agama atau budaya mempengaruhi pemilihan
pengobatan, misalnya: penolakan tranfusi darah.
32
d. Eliminasi
Riwayat pielonenepritis, gagal ginjal.
Flatulen, sindrom malabsobsi.
Hematemesi, melana.
Diare atau konstipasi
e. Makanan / cairan
Nafsu makan menurun
Mual/ muntah
Berat badan menurun
f. Nyeri / kenyamanan
Lokasinyeri terutama di daerah abdomen dan kepala.
g. Pernapasan
Napas pendek pada saat istirahat maupun aktifitas
h. Seksualitas
Perubahan menstuasi misalnya menoragia, amenore
Menurunnya fungsi seksual
Impotent
4.2 Diagnosa Keperawatan
DATA ETIOLOGI MASALAH
DO : Pasien terlihat pucat,
lemah, ekstremitas dingin
perubahan tekanan darah,
pengisian kapiler lambat
DS : Pasien mengatakan, ”Sus,
badan saya terasa lemah sekali
”
Anemia
Tergantung pada
jenis penyakit
Suplai O2 ke sel inadekuat
Lemah, pucat
Gangguan Perfusi Jaringan
Gangguan
Perfusi
Jaringan
33
DO : Pasien tampak lemah dan
kelelahan
Mengeluh penurunan
aktifitas /latihan
Lebih banyak memerlukan
istirahat /tidur
DS : Pasien mengatakan, ” Sus,
badan saya terasa letih sekali,
akhir-akhir ini saya mengalami
penurunan aktivitas”.
Anemia
Tergantung pada
jenis penyakit
Suplai O2 ke sel inadekuat
Lemah, letih
penurunan aktifitas /latihan
Lebih banyak memerlukan
istirahat /tidur
Intoleransi Aktivitas
Intolerasi
aktifitas
DO : Penurunan berat badan
Penurunan
turgor kulit,
perubahan
mukosa mulut.
Nafsu makan
menurun, mual
Kehilangan
tonus otot
DS : Keluarga pasien
mengeluh, ” Sus, suami saya
sering mengeluh mual dan
sehingga tidak nafsu makan”
Anemia
Tergantung pada
jenis penyakit
Suplai O2 ke sel inadekuat
Mempengaruhi hipotalamus
nausea & vomiting
Gangguan pemenuhan
nutrisi
Intake nutrisi inadekuat
Intake nutrisi
inadekuat
34
4.3 Intervensi Keperawatan
PROBLEM Gangguan Perfusi Jaringan
INTERVENTION 1. Kaji tanda-tanda vital, warna kulit, membrane
mukosa, dasar kuku
2. Beri posisi semi fowler
3. Pertahankan suhu lingkungan dan tubuh pasien
4. Monitor pemeriksaan laboratorium misal Hb/Ht
dan jumlah SDM
5. Berikan SDM darah lengkap
6. Berikan O2 tambahan sesuai dengan indikasi
CRITERIA Perfusi jaringan yang adekuat ditunjukkan oleh pasien
OUTCOME Pasien sudah tidak merasa lemah dan letih lagi
TIME Pasien diharapkan tidak merasakan lemah dan letih
setelah pemberian SDM dan O2 dalam waktu 1x24
jam.
PROBLEM Intolerasi aktivitas
INTERVENTION 1 Kaji kemampuan aktifitas pasien
2 Kaji tanda-tanda vital saat
melakukan aktifitas
3. Bantu kebutuhan aktifitas pasien jika
diperlukan
4. Anjurkan kepada pasien untuk
menghentikan aktifitas jika terjadi
palpitasi
5 Gunakan tehnik penghematan energi
misalnya mandi dengan duduk.
CRITERIA Aktivitas yang adekuat ditunjukkan
35
oleh pasien
OUTCOME Pasien sudah tidak merasa lemah dan
letih lagi
TIME Pasien diharapkan tidak merasakan
lemah dan letih setelah menggunakan
teknik penghematan energi selama
3x24 jam.
PROBLEM Intake Nutrisi Inadekuat
INTERVENTION 1 Kaji riwayat nutrisi termasuk
makanan yang disukai
2 Observasi dan catat masukan
makanan pasien
3 Timbang berat badan tiap hari
4 Berikan makanan sedikit dan
frekuensi yang sering
5 Observasi mual, muntah , flatus
dan gejala lain yang berhubungan
6 Bantu dan berikan hygiene mulut
yang baik
7 Konsultasikan pada ahli gizi
mengenai pemberian diet dan
nutrisi pasien
8 Konsultasikan dengan dokter
mengenai pemberian obat sesuai
dengan indikasi misalnya: vitamin
dan mineral suplemen.
CRITERIA Nutrisi yang adekuat ditunjukkan oleh
pasien
36
OUTCOME Pasien sudah tidak mual dan muntah
lagi
TIME Pasien diharapkan tidak merasakan
mual dan muntah setelah
pemberianobat sesuai dengan indikasi
misalnya: vitamin dan mineral
suplemen.
selama 1x24 jam.
4.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan dilakukan sesuai dengan pelaksanaan intervensi
keperawatan pada pasien.
4.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dilakukan pada setiap diagnose dengan menggunakan metode SOAP,
yaitu:
S: kondisi pasien secara subyektif setelah dilakukan tindakan asuhan
keperawatan, data dapat didapatkan melalui kata-kata dari respon pasien
O: kondisi pasien secara obyektif setelah dilakukan tindakan asuhan
keperawatan, data dapat didapatkan melalui kondisi fisik pasien
A: analisis data, apakah tindakan asuhan keperawatan yang diberikan sudah
berhasil secara keseluruhan, hanya sebagaian, atau gagal total
P: rencana yang akan dilakuakn selanjutnya
BAB 4. INTERVENSI YANG DISARANKAN
37
A. PICOT FAMEWORK
Intervensi penatalaksanaan yang berhubungan dengan anemia
penyakit kronis adalah Terapi Eritropoetin. Terapi Eritropoetin adalah
suatu tindakan pemberian obat pada pasien anemia terutama pada pasien
anemia kronis akibat penyakit ginjal kronis. Anemia hampir selalu
menyertai gagal ginjal kronik dan banyak faktor terbukti sebagai penyebab
terjadinya anemia tersebut. Menurunnya kadar eritropoetin dianggap
sebagai penyebab utama anemia. Pemakaian eritropoetin rekombinan
dilaporkan memberikan hasil dan harapan yang baik. Disamping
menaikkan HB, kualitas hidup penderita juga dapat diperbaiki. Di
Indonesia sendiri, meskipun sudah mulai dipasarkan sejak tahun 1985 dan
terbukti efektif mengatasi anemia pada penyakit ginjal kronis, penggunaan
EPO masih tidak sebanyak di negara maju. Hal ini terutama karena
harganya yang sangat mahal, sehingga transfusi sel darah merah meskipun
telah diketahui banyak memiliki kekurangan sebagai pilihan terapi, masih
cukup banyak digunakan untuk mengatasi anemia pada pasien – pasien
hemodialisis reguler.
B. SUMBER LITERATUR
Literatur didapatkan dari buku-buku dan melakukan searching di
internet menggunakan website www.google.com khususnya
www.books.google.co.id, dengan kata kunci penatalaksanaan anemia
penyakit kronis dan terapi eritropoetin. Selain itu, materi yang
berhubungan dengan pembahasan ditemukan di Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume II yang diterbitkan
oleh EGC. Jurnal, artikel, dan laporan penelitian juga menjadi sumber
tambahan dalam mencari informasi mengenai tindakan terapi eritropoetin
ini
38
C. TEORI KONSEP INERVENSI
1. Definisi
Terapi Eritropoetin merupakan penanganan alternatif yang efektif
pada pasien anemia kronis akibat penyakit ginjal kronis. Terapi EPO
tediri dari 2 fase, yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Fase
koreksi bertujuan mengoreksi anemia sampai target Hb /Ht tercapai.
Efek utama dari terapi ini adalah merangsang eritropoesis.
2. Mekanisme Kerja
Terapi EPO tediri dari 2 fase, yaitu fase koreksi dan fase
pemeliharaan.
a. Fase koreksi bertujuan mengoreksi anemia sampai target
Hb /Ht tercapai.
Umumnya dimulai dengan 2.000-4.000 IU (International
Unit) subkutan, 2-3 kali/ minggu selama 4 minggu.
Target respon yang diharapkan : Hb naik 1-2 gr/dl dalam 4
minggu atau Ht naik 2-4% dalam 2-4 minggu.
Bila target tercapai pertahankan dosis EPO sampai target
Hb tercapai (>10gr/dl)
Bila target respon belum tercapai, naikkan dosis 50%
Bila Hb naik > 2,5 gr/dl atau Ht naik >8% dalam 4 minggu,
turunkan dosis 25%
Pemantauan status besi : selama terapi EPO pantau status
besi, berikan suplemen sesuai panduan terapi besi
b. Terapi EPO fase pemeliharaan dilakukan bila target Hb sudah
tercapai (>10gr/dl) dengan dosis 1-2x 2000 IU/ minggu.
Pemantauan Hb dan Ht tiap bulan serta periksa status besi
tiap 3 bulan. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai
>12 gr/dl dan status besi cukup, maka dosis EPO diturunkan
25%.
39
3. Indikasi dan Kontraindikasi
EPO menurut Persatuan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
diindikasikan bila didapat Hb ≤ 10 gr/dl, Ht ≤ 30%, penyebab anemia
lain sudah disingkirkan dan status besi yang cukup. Selain itu “The
Renal Association of Great Britain” memakai kriteria sebagai berikut:
a. Hemogobin dibawah 8 g/dl
b. Penderita memerlukan transfusi berkala
c. Anemia yang memperberat angina atau payah jantung
d. Anemia yang membahayakan jiwa serta berhubungan dengan
gangguan fungsi tubuh.
e. Penderita dimana transfusi harus dihindarkan untuk
mengurangi sensitisasi pada waktu transplantasi.
Untuk kontraindikasi dari terapi eritropoetin yaitu:
a. Pasien dengan perdarahan
b. Pasien dengan defisiensi Fe, asam folat serta vitamin B12
4. Komplikasi
Pada umumnya pemberian terapi dapat ditoleransi tubuh dengan baik.
Kadang timbul seperti “flu” beberapa saat setelah pemberian obat.
Komplikasi yang bisa sering terjadi antara lain:
a. Defisiensi Fe
Merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat penigkatan
produksi eritrosit dimana dibutuhkan Fe. Penderita dengan feritin
kurang dari 50 ng/ml dan saturasi trsnferin <20% harus dierikan
terlebih dahulu preparat Fe sebelum dimulai pengobatan. Demikian
pula untuk menjaga respon pengobatan agar tetap baik defisiensi Fe
harus segera dikoreksi. Pemeriksaan hematokrit dan retikulosit
dilakukan tiap minggu. Sedangkan pemeriksaan feritin dan saturasi
transfersin tiap 2 minggu.
b. Hipertensi
40
Tekanan darah meningkat pada 30-50 % penderita. Pada 32%
penderita hipertensi terdapat 32% yang memerlukan pengobatan
lebih agresif. Sedangkan pada penderita yang normotensi terdapat
kenaikan tekanan diastolik 10 mmHg, dimana sepetiganya
memerlukan terapi. Walaupun jarang dapat pula terjadi krisis
hipertensi disertai kejang-kejang.
c. Trombosis
Dilaporkan terjadinya peningkatan jumah kasus thrombosis pada
akses vaskuler dan dialiser pada pemberian rHupo. Diduga
disamping peningkatan hematokrit terdapat pula perbaikan fungsi
trmbosit yang memudahkan timbulnya trombosis.
5. Keamanan dan Efektivitas
Pemakaian EPO dapat dilakukan secara intravena (IV) atau
subkutan, pasien – pasien yang menjalani hemodialisis biasanya
menggunakan EPO secara IV sedangkan pasien CAPD (Continous
Ambulatory Peritoneal Dialysis) atau penyakit ginjal kronik pre-
dialisis umumnya menggunakan EPO secara subkutan. Pemakaian
secara subkutan biasanya menggunakan dosis 30% lebih rendah
daripada dosis IV.
Beberapa peneliti melaporkan penggunaan dosis yang lebih rendah
masih efektif. Pemberian subcutan dibanding intravena memberikan
hasil yang lebih baik sehingga dosis subkutan dapat lebih kecil
dibanding dosis intravena. Hal ini disebabkan konsentrasi dalam
plasma dapat lebih panjang. Area suntikan subcutan di pha
menunjukkan absorbsi yang lebih baik dibanding pada pemberian di
lengan atau perut.
Disamping manfaat perbaikan anemia, ternyata terapi EPO
dilaporkan pula dapat emberikan keuntungan yang lain diantaranya:
a. Perbaikan persaan “enak”
b. Kemampuan fisik meningkat
41
c. Nafsu makan meningkat
d. Kemampuan seksual membaik
e. Perbaikan hemostatis.
D. IMPLIKASI DAN REKOMENDASI INTERVENSI
Pengobatan anemia penyakit kronis tidak hanya menggunakan
terapi EPO (Eritropoetin), tetapi masih banyak tindakan pengobatan lain
seperti pengobatan preparat Fe, Asam Folat, Steroid anabolik dan transfusi
darah. Masing-masing tindakan tersebut tentunya memiliki keuntungan
dan kerugian yang baraneka ragam. Hal ini harus ditentukan dengan
kebutuhan dari penderita anemia itu sendiri. Terapi-terapi tersebut
merupakan salah satu pencetus dimunculkannya terapi eritropoetin.
Anemia sering dijumpai pada pasien – pasien dengan penyakit
inflamasi akut atau kronis, insufisiensi ginjal dan hipotiroid. Pada kondisi –
kondisi tersebut terjadi kegagalan rangsangan eritropoetin terhadap sumsum
tulang. Kadar eritropoetin di dalam serum meskipun tidak menurun di bawah
kadar basal, tidak meningkat sesuai dengan derajat anemia. Respon
proliferatif normal sumsum tulang terhadap anemia dipengaruhi oleh
respon eritropoetin, rangsangan terhadap sumsum tulang dan zat besi yang
cukup. Penurunan hemoglobin di bawah 12 gr/dl akan merangsang
peningkatan produksi eritropoetin. Tindakan terapi eritropoetin merupakan
langkah yang tepat untuk penanganan anemia pada penyakit kronis. Terapi
eritropoetin bertujuan untuk memberikan pengobatan dengan cara
merangsang eritropoesis sehingga dapat mencegah kadar eritropoetin agar
tidak menurun.
Salah satu komplikasi yang sering terjadi adalah EPO dapat
menyebabkan hipertensi dan meningkatkan viskositas darah. Perlu adanya
pemahaman mengenai komplikasi yang dapat timbul pada pasien dari
tindakan ini karena efek yang ditimbulkan oleh tiap pasien dapat berbeda-
42
beda. Salah satunya dengan cara melakukan monitoring rutin terhadap
kondisi pasien. Oleh karena itu peran perawat dalam hal pelaksana
tindakan haruslah peka terhadap apa seharusnya dilaksanakan terutama
dengan memenuhi kebutuhan pasien anemia tersebut.
BAB 5. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
43
Sistem hematologi tersusun atas darah dan tempat darah diproduksi
termasuk sumsum tulang dan nodus limpa. Darah adalah organ khusus yang
berbeda dengan orang lain karena berbentuk cairan. Darah merupakan medium
transpor tubuh, volume darah manusia sekitar 7%-10% berat badan normal dan
berjumlah sekitar 5 liter. Keadaan jumlah darah pada tiap-tiap orang tidak sama,
bergantung pada usia, pekerjaan serta keadaan jantung atau pembuluh darah.
Anemia penyakit kronis yaitu berbagai penyakit inflamasi kronis berhubungan
dengan anemia jenis normositik normokromik (sel darah merah dengan ukuran
dan warna yang normal).Kelainan ini meliputi arthritis rematoid, abses paru,
osteomyelitis, tuberculosis, dan berbagai ginjal.
Anemia biasanya ringan atau tidak progresif. Berkembang secara bertahap
selama periode waktu 6 sampai 8 minggu dan kemudian stabil pada kadar
hematocrit tidak kurang dari 25%. Hemoglobin jarang turun sampai di bawah 9
g/dl, dan sumsum tulang mempunyai selularitas poetin rendah, mungkin karena
turunnya produksi, dan adanya penyekat pada penggunaan besi oleh sel
eritroid.Juga terjadi penurunan sedang ketahanan hidup sel darah merah.
Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala dan tidak memerlukan penanganan
kelainan yang mendasarinya, besi sumsum tulang digunakan untuk membuat
darah, sehingga hemoglobin meningkat.
3.2 Saran
Diharapkan kepada mahasiswa keperawatan agar dapat mengerti, memahami
dan dapat menjelaskan tentang anemia penyakit kronis baik dari pengertian
hingga penerapan asuhan keperawatan. Tidak hanya mengetahui saja, akan lebih
bermanfaat apabila mahasiswa bisa menerapkan ilmu dan pengetahuan yang
dimilikinya dalam kehidupan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
44
Brunner and Suddarth’s (2002).Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah.(Edisi
kedelapan).Jakarta : EGC.
Chang, Ester. 2009. Patofisiologi Aplikasi pada Praktek Keperawatan. EGC:
Jakarta
Doengoes, Marilyn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta EGC.
Gleadle, Jonathan. 2005. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik.
Surabaya: Erlangga
Richard N. Mitchell. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta: EGC
Sacher, Roland A. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzzane. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikan Bedah Brunner
Suddart. Volume 2. Jakarta: EGC.
45