makalah blok 13 geriatri

Upload: girt-lamberth-robert-uniplaita

Post on 13-Oct-2015

31 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Penyakit Geriatri McGirt Lamberth Robert Uniplaita102011088Mahasiswa FK UKRIDA FK UKRIDA 2013Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510

Latar belakang

Pasien Geriatri atau lansia adalah penderita dengan usia 60 tahun ke atas dan memiliki karakteristik khusus, antara lain menderita beberapa penyakit akibat ganguan fungsi jasmani dan rohani, dan sering disertai masalah psikososial.

Semuanya akan menyebabkan kemunduran, keterbatasan dan ketergantungan serta diberikan banyak obat-obatan yang sering malah akan berakibat merugikan.

Berada dengan pasien usia muda, stres fisik seperti infeksi atau stres psikososial, yang relatif ringan, dapat memicu timbulnya penyakit serius pada usia lanjut. Karenamya dibutuhkan perawatan khusus yang bermutu tinggi untuk pengelolaan pasien geriatri.Tujuan

Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk menginformasikan tentang penyakit-penyakit multiorgan yang biasanya diderita lansia, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, diagnosis, etiologi, epidemiologi, patogenesis, penatalaksanaan, komplikasi, preventif, dan prognosisnya.

BAB IIISI

VERTIGOVertigo adalah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitarnya dengan gejala lain yang timbul terutama dari jaringan otonomik yang disebabkan gangguan alat keseimbangan tubuh. Vertigo bukan gejala pusing saja, tetapi merupakan kumpulan gejala atau satu sindroma yang terdiri dari gejala somatik (nistagmus, unstable), otonomik (pucat, keringat dingin, mual, muntah), dan pusing.1Anamnesis

Dari anamnesis, penderita mengalami vertigo kronis paroksismal jika memiliki gejala memberat dengan perubahan posisi kepala serta keluhan telinga. Beberapa penyebab yang mungkin pada pasien ini adalah vertigo servikalis, hipotensi orthostatik atau vertigo posisional paroksismal benigna. Pada kasus ini didapatkan keluhan pusing berputar jika penderita terlalu cepat menggerakkan kepala, disertai mual dan muntah. Keluhan ini timbul secara paroksismal.2Pemeriksaan fisik dan penunjangPemeriksaan fisik dasar dan neurologis sangat penting untuk membantu menegakkan diagnosis vertigo. Pemeriksaan fisik dasar yang terutama adalah menilai perbedaan besar tekanan darah pada perubahan posisi. Secara garis besar, pemeriksaan neurologis dilakukan untuk menilai fungsi vestibular, saraf kranial, dan motorik-sensorik. Sistem vestibular dapat dinilai dengan tes Romberg, tandem gait test, uji jalan di tempat (fukuda test) atau berdiri dengan satu atau dua kaki. Uji-uji ini biasanya berguna untuk menilai stabilitas postural jika mata ditutup atau dibuka. Sensitivitas uji-uji ini dapat ditingkatkan dengan teknik-teknik tertentu seperti melakukan tes Romberg dengan berdiri di alas foam yang liat.Pemeriksaan saraf kranial I dapat dibantu dengan funduskopi untuk melihat ada tidaknya papiledema atau atrofi optik. Saraf kranial III, IV dan VI ditujukan untuk menilai pergerakan bola mata. Saraf kranial V untuk refleks kornea dan VII untuk pergerakan wajah. Fungsi serebelum tidak boleh luput dari pemeriksaan. Untuk menguji fungsi serebelum dapat dilakukan past pointing dan diadokokinesia. Pergerakan (range of motion) leher perlu diperhatikan untuk menilai rigiditas atau spasme dari otot leher. Pemeriksaan telinga ditekankan pada pencarian adanya proses infeksi atau inflamasi pada telinga luar atau tengah. Sementara itu, uji pendengaran diperiksa dengan garputala dan tes berbisik.Pemeriksaan selanjutnya adalah menilai pergerakan mata seperti adakah nistagmus spontan atau gaze-evoked nystagmus dan atau pergerakan abnormal bola mata. Penting untuk membedakan apakah nistagmus yang terjadi perifer atau sentral. Nistagmus sentral biasanya hanya vertikal atau horizontal saja dan dapat terlihat dengan fiksasi visual. Nistagmus perifer dapat berputar atau rotasional dan dapat terlihat dengan memindahkan fiksasi visual. Timbulnya nistagmus dan gejala lain setelah pergerakan kepala yang cepat, menandakan adanya input vestibular yang asimetris, biasanya sekunder akibat neuronitis vestibular yang tidak terkompensasi atau penyakit Meniere.Uji fungsi motorik juga harus dilakukan antara lalin dengan cara pasien menekuk lengannya di depan dada lalu pemeriksa menariknya dan tahan hingga hitungan ke sepuluh lalu pemeriksa melepasnya dengan tiba-tiba dan lihat apakah pasien dapat menahan lengannya atau tidak. Pasien dengan gangguan perifer dan sentral tidak dapat menghentikan lengannya dengan cepat. Tetapi uji ini kualitatif dan tergantung pada subjektifitas pemeriksa, kondisi muskuloskeletal pasien dan kerjasama pasien itu sendiri.Pemeriksaan khusus neuro-otologi yang umum dilakukan adalah uji Dix-Hallpike dan electronystagmography (ENG). Uji ENG terdiri dari gerak sakadik, nistagmus posisional, nistagmus akibat gerakan kepala, positioning nystagmus, dan uji kalori.Pada dasarnya pemeriksaan penunjang tidak menjadi hal mutlak pada vertigo. Namun pada beberapa kasus memang diperlukan. Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap dapat memberitahu ada tidaknya proses infeksi. Profil lipid dan hemostasis dapat membantu kita untuk menduga iskemia. Foto rontgen, CT-scan, atau MRI dapat digunakan untuk mendeteksi kehadiran neoplasma/tumor. Arteriografi untuk menilai sirkulasi vertebrobasilar.3Etiologi

Asal terjadinya vertigo dikarenakan adanya gangguan pada sistem keseimbangan tubuh. Bisa berupa trauma, infeksi, keganasan, metabolik, toksik, vaskular, atau autoimun. Sistem keseimbangan tubuh kita dibagi menjadi 2 yaitu sistem vestibular (pusat dan perifer) serta non vestibular (visual [retina, otot bola mata], dan somatokinetik [kulit, sendi, otot]).2Patofisiologi

Sistem vestibular sentral terletak pada batang otak, serebelum dan serebrum. Sebaliknya, sistem vestibular perifer meliputi labirin dan saraf vestibular. Labirin tersusun dari 3 kanalis semisirkularis dan otolit (sakulus dan utrikulus) yang berperan sebagai reseptor sensori keseimbangan, serta koklea sebagai reseptor sensori pendengaran. Sementara itu, krista pada kanalis semisirkularis mengatur akselerasi angular, seperti gerakan berputar, sedangkan makula pada otolit mengatur akselerasi linear.

Segala input yang diterima oleh sistem vestibular akan diolah. Kemudian, diteruskan ke sistem visual dan somatokinetik untuk merespon informasi tersebut. Gejala yang timbul akibat gangguan pada komponen sistem keseimbangan tubuh itu berbeda-beda.2Tabel 1. Perbedaan vertigo vestibular dan non vestibular

GejalaVertigo VestibularVertigo Non Vestibular

Sifat vertigo

Serangan

Mual/muntah

Gangguan pendengaran

Gerakan pencetus

Situasi pencetusrasa berputar

episodik

+

+/-

gerakan kepala

-melayang, hilang keseimbangan

kontinu

-

-

gerakan obyek visual

keramaian, lalu lintas

Tabel 2. Perbedaan vertigo vestibular perifer dan sentral

GejalaVertigo Vestibular PeriferVertigo Vestibular Sentral

Bangkitan vertigo

Derajat vertigo

Pengaruh gerakan kepala

Gejala otonom (mual, muntah, keringat)

Gangguan pendengaran (tinitus, tuli)

Tanda fokal otaklebih mendadak

berat

++

++

+

-lebih lambat

ringan

+/-

+

-

+

Berdasarkan awitan serangan, vertigo dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu paroksismal, kronik, dan akut. Serangan pada vertigo paroksismal terjadi mendadak, berlangsung beberapa menit atau hari, lalu menghilang sempurna. Suatu saat serangan itu dapat muncul lagi. Namun diantara serangan, pasien sama sekali tidak merasakan gejala. Lain halnya dengan vertigo kronis. Dikatakan kronis karena serangannya menetap lama dan intensitasnya konstan. Pada vertigo akut, serangannya mendadak, intensitasnya perlahan berkurang namun pasien tidak pernah mengalami periode bebas sempurna dari keluhan.

Epidemiologi

Berdasarkan survey neurologus dari populasi umum, prevalesnsi dalam satu tahun pada penderita vertigo adalah 4,9%, pada penderita vertigo migrain adalah 0,89%, dan Benign Proxymal Positional Vertigo adalah 1,6 %.4Penatalaksanaan

Terapi vertigo meliputi:1. Terapi kausatif Kebanyakan kasus vertigo tidak diketahui penyebabnya, walaupun demikian jika penyebabnya dapat diketemukan, maka terapi kausal merupakan pilihan utama.2. Terapi simptomatikDitujukan untuk 2 hal utama, yaitu rasa vertigo dan gejala otonom (mual, muntah). Berkat adanya mekanisme kompensasi sentral, maka gejala akan berkurang, namun pada fase akut terapi simptomatis sangat diperlukan untuk kenyamanan, ketenangan pasien dan segera dapat memobilisasi pasien dalam rangka rehabilitasi. Terapi simptomatis hendaknya tidak berlebihan agar mekanisme kompensasi tidak terhalang. Pemilihan obat vertigo tergantung dari titik tangkap kerja obat, berat vertigo, fase dan tipe vertigo.3. Terapi RehabilitatifTujuan adalah untuk meningkatkan kompensasi sentral dan habituasi pada pasien dengan gangguan vestibuler. Mekanisme kerja melalui: Substitusi sentral oleh sistem visual dan somatosensori untuk fungsi vestibuler yang terganggu. Mengaktifkan kendali tonus n. Vestibularis oleh serebelum, sistem visual dan somatosensori. Menimbulkan habituasi, yaitu berkurangnya respon terhadap stimuli sensorik yang berulang-ulang.2Preventif

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah vertigo, misalnya :

Biasakan untuk tidur dengan posisi kepala lebih tinggi dari tubuh. Ketika bangun tidur, bangkitlah secara perlahan-lahan. Baiknya jangan langsung berdiri, melainkan gunakan beberapa menit untuk duduk dulu. Jangan mengangkat barang dengan posisi membungkuk. Gerakkan kepala secara hati-hati, terutama ketika sedang mendongak. Konsumsi obat dengan teratur untuk memperkuat kekebalan tubuh terhadap infeksi bakteri atau virus yang mampu mengganggu organ pendengaran.5Prognosis

death : dubia ad bonamdisease : dubia ad bonamdisability : dubia ad bonamdiscomfort : dubia ad bonamdissatisfaction : dubia ad bonamdistitution : dubia ad bonamOSTEOARTHRITISOsteoarthritis adalah penyakit sendi degeneratif, dimana terjadi suatu gangguan yang seakan-akan merupakan proses penuaan dan ditandai dengan adanya degenerasi pada tulang rawan sendi, disertai pertumbuhan tulang baru pada tepi sendi atau boy spur. Osteoarthritis genu bilateral sering terjadi pada mereka yang sudah lanjut usia, terutama di atas 40 tahun.

Anamnesis Pasien dengan osteoarthritis biasanya adalah pasien setengah baya atau tua dan mengeluh sakit di pinggul, tangan lutut, atau tulang belakang. Paling sering, pasien mengalami rasa sakit dan kekakuan di dalam dan sekitar sendi yang terkena, disertai dengan beberapa pembatasan fungsi. Gejala sering membahayakan di awal.Nyeri biasanya memburuk saat menggunakan sendi dan akan berkurang dengan istirahat. Nyeri pada saat istirahat atau sakit pada malam hari adalah suatu gelaja dari osteoarthritis yang parah. Pada kekakuan pagi hari yang berlangsung kurang dari 30 menit adalah wajar. Sebaliknya, bila kekakuan pagi hari pada pasien dengan rheumatoid arthritis aktif berlangsung lebih lama dari 45 menit.Pasien dengan osteoarthritis lutut sering mengeluh ketidakstabilan atau buckling, terutama ketika mereka turun tangga atau melangkah di tepi jalan. Pasien dengan osteoarthritis dari tangan mungkin mengalami masalah dengan ketangkasan manual, terutama jika sendi carpometacarpal pertama yang terlibat.Pasien dengan osteoartritis erosif mungkin memiliki tanda-tanda peradangan pada sendi interphalangeal tangan. Peradangan ini bisa menjadi salah satu gejala untuk rheumatoid arthritis, yang menyebabkan interphalangeal proksimal serupa sendi menjadi bengkak. Namun, osteoartritis umumnya tidak memiliki komponen inflamasi, kecuali pada penyakit lanjut. Kehadirannya bersama dengan panas erythematous, bengkak dengan septik atau arthropathy kristal seperti gout, pseudogout atau arthritis hidroksiapatit.6Pemeriksaan fisik dan penunjangPada pemeriksaan fisik, gejala klinik yang paling menonjol adalah nyeri yang menghebat dan adanya kaku sendi. Selain itu, ditemukan juga krepitus, pembengkakan sendi, nyeri tekan, rasa panas lokal, terbatasnya pergerakan, dan pada keadaan yang lanjut dapat terjadi deformitas sendi.7Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan radiologi. Gambaran radiologic osteoarthritis dapat berupa :

Pembentukan osteofit pada tepi sendi

Penyempitan celah sendi akibat penipisan rawan sendi

Kista dengan dinding sklerotik pada daerah subchondral

Perubahan bentuk ujung tulang

EtiologiSampai saat ini, etiologi pasti dari osteoarthritis belum diketahui dengan jelas. Ternyata tidak ada satu faktor pun yang jelas sebagai proses destruksi rawan sendi, akan tetapi beberapa faktor predeposisi terjadinya osteoarthritis telah diketahui.

Faktor resiko yang berperan dalam osteoarthritis dibedakan menjadi :

1. Faktor predisposisi umum, antara lain umur, jenis kelamin, kegemukan, hereditas, hipermobilitas, merokok, densitas tulang, humoral, dan penyakit rematik lainnya.

2. Faktor mekanik, antara lain trauma, bentuk sendi, penggunaan sendi yang berlebihan karena aktivitas atau kurang gerak.PatofisiologiPada kondisi osteoarthritis terjadi perubahan lokal pada kartilago, berupa timbulnya bulla atau blister yang menyebabkan serabut kolagen terputus dan proteoglikan mengalami pembengkakan pada tahap laju dan terjadi perubahan komposisi air pada proteoglikan, sehingga menyebabkan struktur tulang rawan sendi rusak.Tulang rawan sendi akan mengadakan reaksi hipereaktivitas pembentukan jaringan kolagen baru dan proteoglikan. Namun reaksi ini kadang tidak menolong.

Pada osteoarthritis terdapat proses degradasi, reparasi, dan inflamasi yang terjadi dalam jaringan ikat, lapisan tulang rawan, sinovium, dan tulang subchondral.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada osteoarthritis adalah sebagai berikut :

1. Degradasi tulang rawan sendi yang timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara regenerasi dan degenerasi rawan sendi melalui beberapa tahap, yaitu fibrasi, pelunakan, permecahan, dan pengelupasan. Proses ini berlangsung cepat dan lambat. Untuk proses cepat akan terjadi dalam waktu 10-15 tahun, sedangkan yang lambat terjadi dalam 20-30 tahun. Akhirnya permukaan sendi menjadi botak tanpa lapisan rawan sendi.

2. Osteofit, bersama timbulnya degenerasi tulang rawan sendi, selanjutnya diikuti reparasi tulang rawan sendi. Reparasi berupa pembentukan osteofit di tulang subchondral.

3. Skierosis subchondral, pada tulang subchondral terjadi reparasi berupa sklerosis, yaitu pemadatan atau penguatan tulang tepat di bawah lapisan rawan yang mulai rusak.

4. Sinovitis adalah inflamasi. Sinovitis dapat meningkatkan cairan sendi. Cairan lutut yang mengandung bermacam-macam enzim akan tertekan ke dalam celah-celah rawan. Hal ini akan mempercepat proses perusakan tulang rawan.

EpidemiologiOsteoarthritis adalah penyakit sendi yang paling umum di dunia. Di populasi Barat, penyakit ini merupakan penyakit tersering yang menyebabkan nyeri, kehilangan fungsi dan kemampuan pada orang dewasa. Bukti radiologi osteoarthritis terlihat pada mayoritas manusia di atas 65 tahun dan 80% dari mereka berusia di atas 75 tahun.8PenatalaksanaanTujuan penatalaksaan osteoarthritis lutut adalah untuk menghilangkan nyeri dan radang, menstabilkan sendi lutut, dan meringankan beban sendi lutut. Penatalaksanaan sebaikanya dilakukan pada stadium dini, terutama sebelum terjadi deformitas.Untuk meringankan beban sendi lutut, maka dalam aktivitas sehari-hari adala beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain jangan memilih olahraga berjalan atau jogging, tetapi berenang dan bersepeda. Hindari naik atau turun tangga bila mungkin. Duduk lebih baik daripada berdiri, dan duduk di kursi yang lebih tinggi lebih baik daripada kursi yang rendah. Selain itu, hidari juga berlutut atau berjongkok.

Terapi fisik memegang peranan sangat penting. Latihan otot yang teratur akan memperbaiki gangguan fungsional penderita, mengurangi ketergantungan pada orang lain, dan mengurangi nyeri. Terapi pemanasan dapat dilakaukan dengan cara : diaterm, ultrasound, sinar infra merah, dsb. Pemanasan selama 15-20 menit dikatakan cukup efektif untuk mengurangi nyeri dan kaku sendi.Obat-obatan umumnya hanya bersifat simptomatik untuk mengurangi nyeri. Pada tahap awal dapat dicoba dengan analgetik sederhana, bila tidak ada perbaikan dapat diberikan anti-inflamasi non steroid.7KomplikasiPenyakit ini apabila tidak mendapat penanganan yang baik dan tepat, maka menimbulkan berbagai madalah baru yang akan terjadi akibat proses penyakit it sendiri. Seperti adanya spur (osteofit), sehingga terjadi proses penghancuran tulang rawan sendi. Tulang subchondral lama-kelamaan dapat menusuk metafisis dari tulang tibia dan femur dan mengakibatkan nyeri kaki, atrofi otot, terganggunya aktivitas sehari-hari.PreventifBeberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah osteoarthritis :1. Kontrol berat badan. Berat badan berlebihan dapat menyebabkan stress pada sendi, khususnya pada sendi pinggul, lutut, punggung, dan kaki.

2. Bergeraklah. Olahraga yang melatih kekuatan otot di sekitar sendi akan membantu mencegah kerusakan kartilago pada sendi.

3. Aturlah postur tubuh. Postur tubuh yang baik akan melindungi sendi Anda dari tekanan yang berlebihan, terutama pada leher, punggung, pinggul, dan lutut.

4. Lakukan variasi berbagai aktifitas fisik atau olahraga. Berikan waktu untuk istirahat bagi tubu setelah melakukan olahraga berat seperti angkat beban. Stress yang berulang pada sendi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan osteoartritis.5. Perhatikan tingkat nyeri. Jika mengalami nyeri sendi, jangan mengabaikannya. Nyeri yang timbul setelah beraktifitas atau berolahraga dapat menjadi indikasi bahwa sendi mengalami stress oksidatif yang berlebihan dan membutuhkan istirahat yang cukup.

6. Beristirahatlah. Mulailah suatu aktifitas baru secara perlahan dan aman hingga memahami bahwa kondisi tubuh telah pulih. Hal ini akan mengurangi risiko terjadinya cidera pada sendi.

7. Hindari luka pada sendi. Gunakan peralatan dengan baik dan benar. Jangan lupa kenakan helm, sabuk pengaman, dan perlengkapan berkendara lainnya. Pastikan keamanan terjaga dengan nyaman dan benar.

PrognosisMengingat osteoarthritis adalah penyakit degeneratif, maka dapat dimengerti bahwa penyakit ini bersifat progresif sesuai dengan usia. Namun jika diketahui secara dini dan belum menimbulkan deformitas, maka perjalanan penyakit dapat dihambat dengan cara membuat atau berusaha memperbaiki stabilitas sendi.

Gambar 1. Osteoarthritis

Gambar 2. Osteoarthritis pada sendi tangan

HIPOTENSI ORTOSTATIKTekanan darah merupakan faktor yang sangat penting bagi sistem sirkulasi. Peningkatan atau penurunan tekanan darah akan mempengaruhi homeostasis tubuh. Jika sirkulasi darah menjadi tidak memadai lagi, maka akan terjadi gangguan pada sistem transpor O2, CO3, serta hasil metabolisme lainnya.

Tekanan darah memiliki sifat yang dinamis. Pada perubahan posisi tubuh, dari tidur ke berdiri, tekanan darah akan mengadakan penyesuaian untuk dapat menunjang kegiatan tubuh. Hal tersebut adalah normal bila penurunan tekanan darah sistolik kurang dari 30 mmHg yang disertai peningkatan frekuensi denyut jantung 11 hingga 20 kali permenit.Anamnesis

Kewaspadaan tinggi adalah hal yang sangat utama untuk mendiagnosis hipotensi ortostatik, mengingat brgitu banyaknya kasus yang tidak terdeteksi. Anamnesis yang terarah dan mendalam sangatlah diperlukan. Riwayat pemakaian obat dan penyakit sebelumnya, tidak boleh dilupakan.9Riwayat penyakit jatuh : penyebab jatuh, gejala penyerta, seperti sesak, pusing, nyeri dada.

Kondisi komorbid : stroke, parkinson, osteoporosis.

Riwayat obat : diuretik antidepressan, analgetik, antidiabetik.

Psikososial : keadaan lingkunganPemeriksaan fisik dan penunjang

Untuk menegakkan diagnosis, pengukuran tekanan darah hendaknya dilakukan pada dua kondisi berbeda. Pada saat berbarang dan berdiri, tekanan darah dan nadi diukur dengan interval 12 menit setelah masing-masing berbaring dan berdiri selama 10 menit. Tekanan darah selama berdiri diukur setiap 20 menit. Untuk mendeteksi adanya ortostatik postural yang terjadi setelah aktivitas, makan pengukuran tekanan darah dilakukan setelah penderita melakukan kegiatan fisik ringan sangat diperlukan.10Adanya kecurigaan gangguan fungsi autonom akan memerlukan pemeriksaan neurologis.

Tabel 3. Pemeriksaan neurologis

Prosedur responNormal

Manuver ValsalvaPeningkatan tekanan darah

Perubahan posisi

(berbaring ke tegak)

Takikardi

Inhalasi Amyl Nitrit Hiperventilasi HipotensiTakikardi

Tes pacu dinginKenaikan tekanan darah sistolik

Tes keringatKeringat merata

Noradrenalin plasmaNormal saat istirahat, meningkat saat posisi tubuh berdiri

Tes Atropin SulfatPeningkatan frekuensi denyut jantung

Pemeriksaan penunjangnya dapat dilakukan foto rontgen pada thorak dan lumbosakral juga tes gula darah sewaktu.Etiologi

Penurunan tekananan darah yang drastis saat perubahan posisi dapat terjadi oleh banyak penyebab. Penyakit diabetes mellitus dan penggunaan obat yang berkepanjangan merupakan penyebab yang paling sering ditemukan.10Patofisiologi

Pada perubahan posisi tubuh, misalnya dari tidur ke berdiri, maka tekanan darah pada bagian atas tubuh akan menurun karena pengaruh gravitasi. Pada orang dewasa normal, tekanan darah arteri rata-rata pada kaki adalah 180-200 mmHg. Tekanan darah arteri setinggi kepala adalah 60-75 mmHg dan tekanan venanya 0.Pada dasarnya, darah akan mengumpul pada pembuluh vena ekstremitas inferior, dimana 650-750 mL darah akan terlokalisir pada suatu tempat. Pengisian atrium kanan jantung akan berkurang, dengan sendirinya curah jantung juga akan berkurang, sehingga pada posisi berdiri akan terjadi penurunan sementara tekanan sistolik hingga 25 mmHg, sedangkan tekanan diastoliknya tidak berubah atau meningkat ringan hingga 10 mmHg.

Penurunan curah jantung akibat pengumpulan darah pada anggota tubuh bagian bawah akan cenderung mengurangi darah ke otak. Tekanan arteri kepala akan turun mencapai 20-30 mmHg. Penurunan tekanan ini akan diikuti kenaikan tekanan parsial CO2 dan penurunan parsial O2, serta pH jaringan otak.

Secara reflektoris, hal ini akan merangsang baroreseptor yang terdapat di dalam dinding dan hampir setiap arteri besar di daerah dada dan leher, namun dalam jumlah banyak didapatkan di dalam dinding arteri carotis interna, sedikit di atas bifurcatio carotus, daerah yang dikenal sebagai sinus karotikus dan dinding arkus aorta.

Respon yang ditimbulkan baroreseptor berupa peningkatan tahanan pembuluh darah perifer, peningkatan tekanan jaringan pada otot kaki dan abdomen, peningkatan frekuensi respirasi, kenaikan frekuensi denyut jantung, serta sekresi zat-zat vasoaktif. Sekresi zat vasoaktif berupa katekolamin, pengaktifan sistem RAA, pelepasan ADH dan neurohipofisis.

Kegagalan fungsi refleks autonom inilah yang menjadi penyebab timbulnya hipotensi ortostatik, selain oleh penurunan curah jantung akibat berbagai sebab dan kontraksi volume intravaskular baik yang relatif, maupun absolut.10Tingginya kasus hipotensi ortostatik pada usia lanjut berkaitan dengan :

Penurunan sensitivitas baroreseptor yang diakibatkan oleh proses atheroskeloris sekitar sinus karotikus dan arkus aorta. Hal ini akan menyebabkan tidak berfungsinya refleks vasokonstriksi dan peningkatan frekuensi denyut jantung, sehingga mengakibatkan kegagalan pemeliharaan tekanan arteri sistemik saat berdiri. Menurunnya daya elastisitas serta kekuatan otot ekstremitas inferior.EpidemiologiHipotensi ortostatik dapat terjadi pada segala tingkatan usia. Hanya saja kecenderungan peningkatan jumlah kasusnya menunjukkan seiring dengan pertambahan usia. Diduga 20% pasien yang berobat jalan dengan usia di atas 60 tahun dan 30% dengan usia di atas 75 tahun menderita gangguan ini. Morbiditas dan mortalitas akibat jatuh pada usia lanjut sering berhubungan dengan gangguan ini.10Penatalaksanaan

Pemberian obat-obat yang dapat menyebabkan hipotensi ortostatik hendaknya dikurangi atau dihentikan sama sekali. Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur, seperti berjalan, cukup mampu mengurangi timbulnya gejala. Tidur dengan posisi kepala terangkat kurang lebih 30 cm dan alas tidur dapat memperbaiki hipotensi ortostatik melalui mekanisme berkurangnya tekanan arteri ginjal yang selanjutnya akan merangsang pelepasan renin dan meningkatkan volume darah.

Pada penderita yang tidak memiliki penyakit jantung, penambahan garam dalam menu sangat berguna. Jumlah yang diberikan terbatas 200 mmol perhari.

Menghindari mengejan saat miksi atau defekasi dan perubahan mendadak dari posisi berbaring ke berdiri akan menolong mengatasi gejala.

Pada penderita hipotensi ortostatik, setelah makan, dianjurkan untuk mempersering frekuensi makan makanan ringan. Selain itu, perlu juga pembatasan aktivitas fisik segera setelag makan.

Adanya pengumpulan volume darah secara berlebihan pada ekstremiras inferior, dapat dikurangi dengan pemakaian stocking.

Obat turut memegang peranan cukup penting untuk mengatasi hipotensi ortostatik dan hendaknya diberikan setelah pengelolaan umum tidak membuahkan hasil.10Pada kasus-kasus neurologis, pmeberian obat hanya bersifat simptomatis. Jenis obat yang diberikan adalah :

1. Fludrokortison

Efek yang ditimbulkan berupa peningkatan sensitivitas vaskular terhadap noradrenalin endogen, pertambahan volume cairan ekstraseluler akibat retensi garam, peningkatan osmolaritas dan tahanan vaskular.

2. Preparat vasokonstriktor

Preparat simpatomimetik seperti efedrin, amfetamin, hidroksiamfetamin, fenilefrin, tiramin, etilefrin, dan inetilphenidate dilaporkan cukup memadai untuk mengatasi hipotensi ortostatik yang diakibaykan oleh gangguan fungsi autonom.

3. Preparat lain

Preparat inhibitor sintesis prostaglandin, seperti indomethasin dan flurbiprofen. Dilaporkan indomethasin meningkatkan tahanan pembuluh darah perifer pada penderita neuropati autonom. Kedua preparat tersebut juag meningkatkan tonus otot halus pada kasus neuropati autonim dengan menghambat sintesis prostaglandin.

4. Dihidroergotamin

Merupakan turunan ergot dilaporkan cukup memadai untuk kasus yang disebabkan oleh kegagalan fungsi autonom. Efek pemberian preparat ini adalah konstriksi selektif dinding vena.

5. Preparat beta blocker

Seperti pinodol dilaporkan memberikan efek positif pula dalam penangan penderita neuropati autonom kronis yang disertai hipotensi ortostatik.Komplikasi

Komplikasi jatuh pada lansia antara lain :

1. Perlukaan/injury

2. Disabilitas

3. Meninggal

4. Nursing home

5. Perawatan rumah sakit.9Preventif

Tindakan pencegahannya dapat dibedakan menjadi :

Primer : menghindari faktor penyebab, yaitu penggunaan obat yang memicu terjadinya jatuh, penyakit medis, dan lingkungan yang mendukung atau sesuai untuk lansia.

Sekunder : mengobati penyakit medis, menghindari atau mengatur dosis untuk pemakaian obat-obat berisiko, mengobati dampak yang timbul akibat jatuh, mengatur lingkungan yang sesuai dengan lansia, melaith kemandirian pasien.

Tertier : rehabilitasi, antara lain penggunaan tongkat, pengoptimalan AKS, dukungan lingkungan sekitar, melatih kemandirian pasien.9Prognosis

Penderita diabetes dengan tekanan darah tinggi yang juga mengalami hipotensi ortostatik, memiliki prognosis yang buruk. Jika penyebabnya adalah volume darah yang rendah atau obat tertentu, keadaan ini bisa diatasi dengan segera.11DIABETES MELLITUS

Diabetes mellitus adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan gula darah tinggi (glukosa) yang dihasilkan dari kerusakan sekresi insulin, atau gangguan kerja insulin, atau keduanya.Anamnesis

Pada anamnesis untuk mendiagnosis diabetes mellitus, beberapa hal yang penting untuk ditanyakan adalah :

1. Riwayat penyakit keluargaAdanya riwayat penyakit hipertensi pada kedua orang tua memperbesar dugaan ke arah diabetes. 2. Usia penderita:Gejala-gejala diabetes tipe 1 biasanya akan dirasakan penderita di usia dini (anak-anak hingga remaja hingga usia 30 tahun), sementara diabetes tipe 2 seringkali muncul pada penderita di usia 40 tahun ke atas. 3. Data-data penunjangData-data penunjang lain berupa faktor resiko lain seperti gaya hidup, pola makan dan berat badan. Untuk memperkuat diagnosis yang mengarah pada tahap komplikasi diperlukan pemeriksaan tekanan darah, kadar kolesterol, fungsi ginjal, foto dada dan rekam jantung.12Pemeriksaan fisik dan penunjang

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal , belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan menddapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal.Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan glukosa darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya . Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai bahan darah kapiler. Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala , hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.13Etiologi

Etiologi diabetes mellitus tipe II (non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM) bahkan kurang jelas dipahami. Namun ada dua faktor telah diidentifikasi : 1. Gangguan sekresi insulin basal. Pelepasan insulin seringkali normal, tapi cepatnya pelepasan insulin tidak sesuai dengan makanan yang masuk, mengakibatkan kegagalan penanganan normal beban karbohidrat. 2. Resistensi insulin. Kecacatan respon jaringan terhadap insulin diyakini memainkan peran utama. Fenomena ini disebut resistensi insulin dan disebabkan oleh reseptor insulin cacat pada sel target atau tidak mampu mengenali sel target. Resistensi insulin terjadi pada pasien dnegan obesitas dan kehamilan. Pada individu normal yang menjadi gemuk atau hamil, sel B akan meningkatkan jumlah insulinnya untuk mengimbangi kondisi tersebut. Pasien yang mempunyai kerentanan genetik untuk diabetes tidak dapat mengkompensasi karena cacat pada sekresi insulin.14Patofisiologi

Pada pasien paruh baya dan tua, terdapat predisposisi genetik yang kuat untuk diabetes tipe 2. Gen tertentu yang bertanggung jawab dalam munculnya diabetes mellitus tipe 2 belum ditemukan. Pasien dengan riwayat keluarga diabetes memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengembangkan penyakit ini dengan bertambahnya usia mereka. Pasien lansia dengan resistensi insulin perifer dan glukosa, pelepasan insulin akan berkurang dan berisiko mengembangkan diabetes tipe 2 dibandingkan yang tidak resisten. Fisiologis dan faktor lingkungan menyebabkan predisposisi genetik majemuk. Kadar testosteron rendah pada pria dan kadar testosteron yang lebih tinggi pada wanita merupakan faktor risiko untuk pengembangan diabetes. Lansia individu yang memiliki asupan tinggi lemak dan gula dan asupan rendah karbohidrat kompleks lebih mungkin untuk mengembangkan diabetes.Aktivitas fisik dan distribusi lemak pusat menyebabkan predisposisi diabetes pada lansia. Tidak seperti pasien yang lebih muda, saat puasa produksi glukosa hepatik menunjukkan hasil normal. Lansia penderita diabetes tipe 2 mengalami perubahan spesifik pada metabolisme karbohidrat. Cacat metabolik utama pada subyek lansia kurus adalah penurunan nilai glukosa karena pelepasan insulin, sedangkan kelainan utama pada subyek lansia gemuk resistensi terhadap pembuangan glukosa insulin-mediated.Penyerapan glukosa terjadi dengan mekanisme insulin-mediated dan noninsulin-dimediasi. Baru-baru ini, penelitian telah menunjukkan bahwa penyerapan glukosa nonmediated (efektivitas glukosa) yang mencolok terganggu pada pasien usia lanjut dengan diabetes tipe 2. Mekanisme cacat ini tidak jelas, tetapi efektivitas glukosa merupakan faktor yang berkontribusi terhadap kadar glukosa yang meningkat pada pasien diabetes usia lanjut. Mengingat bahwa beberapa intervensi, termasuk peptida glukagon 1 (GLP-1), telah menunjukkan peningkatan efektivitas glukosa pada pasien yang lebih muda, temuan ini mungkin memiliki relevansi terapi penting untuk pasien tua dengan diabetes.Beberapa penelitian kelainan biologis molekuler pada pasien usia lanjut dengan diabetes masih perlu dievaluasi. Gen glukokinase adalah sensor glukosa untuk sel -. Beberapa studi telah menemukan bahwa gen ini bertindak sebagai penanda untuk toleransi glukosa abnormal pada orang tua, tetapi yang lain tidak. Jumlah insulin dan afinitas reseptor adalah normal pada pasien lanjut usia, tetapi reseptor insulin tirosin kinase di otot rangka malah berkurang.15Epidemiologi

Prevalensi diabetes mellitus akan meningkat dengan pertambahan usia. Kesehatan dan Gizi Ujian Nasional Survei (NHANES III) menunjukkan bahwa, pada populasi lebih dari 65 tahun, hampir 18% sampai 20% mengidap diabetes. Satu-setengah dari mereka dengan diabetes mellitus tidak sadar mereka memiliki penyakit ini. Pasien dengan kelainan metabolisme karbohidrat yang telah diamati termasuk pasien lansia 20% menjadi 25% yang memenuhi kriteria untuk toleransi glukosa. Insiden diabetes mellitus adalah sekitar 2 per 1.000 di antara mereka yang lebih tua dari 45 dan meningkat bagi individu lebih dari 75 tahun. Prevalensi jauh lebih tinggi di Hispanik yang lebih tua, Afrika Amerika, penduduk asli Amerika (Indian), Skandinavia, Jepang, dan Mikronesia.

Individu dengan diabetes mellitus yang lebih tua dari 65 biasanya memiliki diabetes noninsulin-dependent diabetes (NIDDM). Insulin dependent diabetes (IDDM) hanya 5% sampai 10% baru didiagnosa diabetes mellitus dalam kehidupan akhir. 15Penatalaksanaan

Tujuan utama pengolahan pasien DM :1.Jangka pendek : menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat.

2.Jangka panjang : mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortilitas DM.

3.Cara : menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin.

Mengingat mekanisme dasar kelainan DM tipe-2 adalah terdapatnya faktor genetik, tekanan darah, resistensi insulin dan insufisiensi sel beta pankreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi harus tercermin pada langkah pengelolaan.

4. Kegiatan : mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan mandiri dan melakukan promosi perubahan perilaku.Pilar utama pengelolaan DM :1. Edukasi 2. Perencanaan makan 3. Latihan jasmani4. Obat-obatan

Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat anti diabetes oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan sesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu.13Komplikasi

Pada penderita DM, komplikasi yang biasanya terjadi adalah :

1. Mata

2. Kaki

3. Kulit

4. Jantung

5. Tekanan darah tinggi

6. Kesehatan mental

7. PendengaranPreventif

Diabetes mellitus mempengaruhi lebih dari 100 juta orang di seluruh dunia dan, karena faktor-faktor risiko yang diketahui dapat dimanipulasi, misalnya pengembangan diabetes tipe 2 berpotensi dapat dimodifikasi. Sejumlah uji klinis telah membahas hipotesis ini melalui modifikasi diet, aktivitas fisik, dan terapi obat. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan perlindungan terhadap pengembangan diabetes, kesimpulan tetap terbatas karena alasan masalah desain penelitian dengan pengacakan, pemilihan subjek, atau intensitas intervensi.Dalam subkelompok pasien lebih dari 60 tahun, pengurangan resiko diabetes melalui perubahan gaya hidup, setidaknya sama besar seperti yang diamati dalam populasi penelitian secara keseluruhan. Dengan demikian, pengurangan substansial dalam kejadian diabetes diproduksi oleh gaya hidup (58%) atau metformin (31%).15PrognosisTerapi intensif dan agresif berpotensi menguntungkan. Baru-baru ini, dua penelitian besar telah memberikan pembenaran dan klarifikasi untuk kontrol diabetes mellitus dengan cara ini. 15DEMENSIADemensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju, dan telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya penyakit-penyakit degeneratif serta makin meningkatnya usia harapan hidup di hampir seluruh belahan dunia.

Secara klinis munculnya demensia pada seorang usia lanjut sering tidak disadari karena awitannya yang tidak jelas dan perjalanan penyakitnya yang progesif namun perlahan. Selain itu pasien dan keluarga juga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada awal demensia merupakan suatu hal yang wajar pada seorang yang sudah menua. Akibatnya, penurunan fungsi kognitif terus akan berlanjut sampai akhirnya mulai mempengaruhi status fungsional pasien dan pasien akan jatuh pada ketergantungan kepada lingkungan sekitarnya.

AnamnesisAnamnesis harus terfokus pada awitan (onset), lamanya, dan bagaimana laju progresi penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Kebingungan (confusion) yang terjadi akut dan subakut mungkin merupakan manifestasi delirium dan harus dicari kemungkinan penyebabnya seperti intoksikasi, infeksi, atau perubahan metabolik. Hampir 75% pasien penyakit Alzheimer dimulai dengan gejala memori, tetapi gejala awal juga dapat melipiti kesulitan mengurus keuangan, berbelanja, mengikuti perintah, menemukan kata, atau mengemudi. Perubahan kepribadian, disinhibisi, peningkatan berat badan, atau obsesi terhadap makanan mengarah pada fronto-temporal dementia (FTD),FTD juga patut diduga bila ditemukan apati, hilangnya fungsi eksekutif, abnormalitas progresif fungsi berbicara, atau keterbatasan kemampuan memori atau spasial. Diagnosis demensia dengan Lewy body (DLB) adanya gejala awal berupa halusinasi visual, parkinsonism, delirium, gangguan tidur REM (rapid-eye movement), atau sindrom Capgras, yaitu delusi bahwa seseorang yang dikenal digantikan oleh penipu.

Riwayat adanya strok dengan progresi bertahap dan tidak teratur mengarah pada demensia multi-infrak. Pada pasien yang menderita penyakit serebrovaskular dapat sulit ditentukan apakah demensia yang terjadi adalah penyakit Alzheimer, demensia multi-infark, atau campuran keduanya. Bila dikaitkan dengan berbagai penyebab demensia, maka anamnesis harus diarahkan pula pada berbagai faktor risiko seperti trauma kepala berulang, infeksi susunansaraf pusat akibat sifilis (neurosifilis), konsumsi alkohol berlebihan, intoksikasi bahan kimia pada pekerja pabrik, serta penggunaan obat-obat jangka panjang. Riwayat keluarga juga juga harus selalu menjadi bagian dari evaluasi.16Pemeriksaan fisik dan penunjang

Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif adalah the mini mental status examination (MMSE). MMSE merupakan pemeriksaan yang mudah dan cepat dikerjakan, berupa 30 point-test terhadap fungsi kognitif dan berisikan pula uji orientasi, memori kerja dan memori episodik, komprehensi bahasa, menyebutkan kata, dan mengulang kata. Pada penyakit Alzheimer defisit yang terlibat berupa memori episodik, category generation, dan kemampuan visuokonstruktif. Pada FTD defisit awal sering melibatkan fungsi eksekutif frontal atau bahasa (berbicara atau menyebutkan kata). Pasien DLB mempunyai defisit lebih berat pada fungsi visuospasial tetapi melakukan tugas memori episodik lebih baik dibandingkan pasien dengan penyakit Alzheimer. Pasien dengan demensia vaskular sering menunjukkan campuran defisit eksekutif frontal dan visuospasial. Pada delirium, defisit cenderung terjadi pada area pemusatan perhatian, memori kerja, dan fungsi frontal.

Pemeriksaan fisik dan neurologis dilakukan untuk mencari keterlibatan sistem saraf dan penyakit sistemik yang mungkin dapat dihubungkan dengan gangguan kognitifnya. Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukan gangguan sistem motorik kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial, hemiparesis, parkinsonisme, mioklonus, atau berbagai gangguan motorik lain umumnya timbul pada FTD, DLB, atau demensia multi-infark. Yang tidak boleh dilupakan adalah adanya gangguan pendengaran dan penglihatan yang menimbulkan kebingungan dan disorientasi pada pasien yang sering disalahartikan sebagai demensia. Pada usia lanjut defisit sensorik seperti ini sering terjadi.

Pemilihan tes laboratorium pada pasien dengan demensia is not straightforward. Pemeriksaan fungsi tiroid, kadar vitamin B12, darah lengkap, elektrolit, dan VDRL direkomendasikan untuk diperiksa secara rutin. Pemeriksaan tambahan yang perlu dipertimbangkan adalah pungsi lumbal, fungsi hati, fungsi ginjal, pemeriksaan toksin di urin/darah, dan Apolipoprotein E.

Pemeriksaan penunjang yang juga direkomendasikan adalah CT/MRI kepala dapat mengidentifikasi tumor primer atau sekunder, lokasi area infark, hematoma subdural, dan memperkirakan adanya hidrosefalus bertekanan-normal atau penyakit white matter yang luas. SPECT dan PET scanning dapat menunjukkan hipoperfusi atau hipometabolisme temporalparietal pada penyakit Alzheimer dan hipoperfusi atau hipometabolisme frontotemporal pada FTD. 16EtiologiBeberapa kelainan otak struktural (misalnya, hydrocephalus tekanan normal, hematoma subdural), gangguan metabolisme (misalnya, hipotiroidisme, kekurangan vitamin B12), dan racun (misalnya, memimpin) menyebabkan kerusakan lambat kognisi yang dapat mengatasi dengan pengobatan. Penurunan ini kadang-kadang disebut demensia reversibel, tetapi beberapa ahli membatasi istilah demensia kerusakan kognitif ireversibel.17PatofisiologiKomponen utama patologi penyakit Alzheimer adalah plak senilis dan neuritik, neurofibrilarry tangles, hilangnya neuron/sinaps, degenerasi granulovakuolar, dan Hirano bodies.

Adanya dan jumlah plak senilis adalah satu gambaran patologis utama yang penting untuk diagnosis penyakit Alzheimer. Sebenarnya jumlah plak meningkat seiring usia, dan plak ini juga muncul di jaringan otak orang usia lanjut yang tidak demensia. Neurofibrilarry tangles merupakan struktur intraneuron yang mengandung tau yang terhiperfosforilasi pada pasangan filament helix. Individu usia lanjut yang normal juga diketahui mempunyai neurofibrilarry tangles di beberapa lapisan hipokampus dan korteks entorhinal, tapi struktur ini jarang ditemukan di neokorteks pada seseorang tanpa demensia. Neorofibrilarry tangle ini tidak spesifik untuk penyakit Alzheimer dan juga timbul pada penyakit lain.

Pada demensia vaskular patologi yang dominan adalah adanya infark multipel dan abnormalitas substansia alba (white matter). Infark jaringan otak yang terjadi pasca strok dapat menyebabkan demensia bergantung pada volume total korteks yang rusak dan bagian (hemisfer) mana yang terkena.

Petanda anatomis pada fronto-temporal dementia (FTD) adalah terjadinya atrofi yang jelas pada lobus temporal daun/ atau frontal, yang dapat dilihat pada pemeriksaan pencitraan saraf ( neuroimaging) seperti MRI dan CT. secara mikroskopis selalu didapatkan gliosis dan hilangnya neuron, serta pada beberapa kasus terjadi pembengkakan dan penggelembungan neuron yang berisi cytoplasmic inclusion. Sementara pada demensia dengan Lewy body, gambaran neuropatologinya adalah adanya Lewy body di seluruh korteks, amigdala, cingulated cortex, dan substansia nigra. Lewy body adalah cytoplasmic inclusion intraneuron yang terwarnai dengan periodic acid-Schiff (PAS) dan ubiquitin, terdiri dari neurofilamen lurus ssepanjang 7 sampai 20 mm dikelilingi material amorfik.Pemeriksaan fisis dan neurologis. Pemeriksaan fisis dan neurologis dilakukan untuk mencari keterlibatan sistem saraf dan penyakit sistemik yang mungkin dapat dihubungkan dengan gangguan kognitifnya. Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukan gangguan sistem motorik kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial, hemiparesis, parkinsonisme, mioklonus, atau berbagai gangguan motorik lain umumnya timbul pada FTD, DLB, atau demensia multi-infark. Yang tidak boleh dilupakan adalah adanya gangguan pendengaran dan penglihatan yang menimbulkan kebingungan dan disorientasi pada pasien yang sering disalahartikan sebagai demensia. Pada usia lanjut deficit sensorik seperti ini sering terjadi. 16Epidemiologi

Setelah usia 65 tahun, prevalensi demensia meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia 5 tahun. Secara keseluruhan prevalensi demensia pada populasi berusia lebih dari 60 tahun adalah 5,6%. Penyebab tersering demensia di Amerika Serikat dan Eropa adalah penyakit Alzheimer, di Asia diperkirakan demensia vaskular merupakan penyebab tersering demensia. Tipe demensia lain yang lebih jarang adalah demensia tipe Lewy body, demensia fronto-temporal (FTD), dan demensia pada penyakit Parkinson. 16Penatalaksanaan

Penatalaksanaan umum

Tujuan utama penatalaksanaan pada seorang pasien dengan demensia adalah mengobati penyebab demensia yang dapat dikoreksi dan menyediakan situasi yang nyaman dan mendukung bagi pasien dan pramuwerdhanya. 16Pengobatan untuk mempertahankan fungsi kognitif

Penyakit Alzheimer tidak dapat disembuhkan dan belum ada obat yang terbukti tinggi efektivitasnya. Berapa penelitian klinis juga mencoba mengarah pada terapi lain yang disesuaikan dengan patofisiologi timbulnya demensia yang melibatkan berbagai mekanisme. 16Kolinesterase inhibitor

Efek farmakologik obat-obatan ini adalah dengan menghambat enzim kolinesterase, dengan hasil meningkatnya kadar asetilkolin di jaringan otak.

Antioksidan Antioksidan yang telah diteliti dan memberikan hasil yang cukup baik adalah alfa tokoferol (vitamin E). pemberian vitamin E dapat mmperlambat progresi penyakit Alzheimer menjadi lebih berat.

Memantin

Efek terapinya diduga adalah melalui pengaruhnya pada glutaminergic excitotoxicity dan fungsi neuron di hipokampus.

Terapi lain

Beberapa penelitian mencoba mendapatkan manfaat obat-obat antiinflamasi baik dalam hal pencegahan maupun terapi demensia Alzheimer. 16Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah :

1. Cedera otak ireversibel

2. Ketidakmampuan untuk fungsi atau merawat diri

3. Ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain4. Peningkatan terjadinya infeksi di mana saja di tubuh

5. Efek samping dari obat yang digunakan untuk mengobati gangguan.18PrognosisDemensia biasanya progresif. Namun, tingkat perkembangan bervariasi secara luas dan tergantung pada penyebabnya. Demensia memperpendek harapan hidup, tetapi perkiraan kelangsungan hidup bervariasi.16PENYAKIT PARKINSONPenyakit Parkinson (PP) adalah suatu kelainan fungsi otak yang disebabkan oleh proses degenerative progresif sehubungan dengan proses menua di sel-sel substansia nigra pars compacta (SNc) dan karakteristik ditandai dengan tremor waktu istirahat, kekuatan otot dan sendi (rigidity), kelambanan gerak dan bicara (bradikinesia), dan instabilitas posisi tegak (postural instability).

Anamnesis

Terdapat dua istilah yang harus dibedakan yaitu Penyakit Parkinson dan Parkinsonism. Dengan anamnesis yang tepat akan diketahui seseorang menderita Penyakit Parkinson atau Parkinsonism saja.

Penyakit Parkinson adalah bagian dari Parkinsonism yang secara patologis ditandai oleh degenerasi ganglia basalis terutama substansia nigra pars compacta disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik yang disebut Lewy bodies.

Parkinsonism adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor waktu istirahat, kekakuan, bradikinesia, dan hilangnya reflek postural akibat penurunan kadar dopamine dengan berbagai macam sebab. Sindrom ini sering disebut sebagai Sindrom Parkinson.16Pemeriksaan fisik dan penunjang

Diagnosis PP dibuat terutama berdasarkan gambaran klinis.

Kriteria diagnosis klinis :

1. Didapatkan 2 dari 3 tanda cardinal gangguan motorik: tremor, rigiditas, bradikinesia, atau

2. Didapatkan 3 dari 4 tanda motorik: tremor, rigiditas, bradikinesia, ketidakstabilan postural

Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti CT-scan, MRI, dan PET atas indikasi untuk menyingkirkan diagnosis Sindrom Parkinson selain PP. 16Etiologi

Sampai saat ini penyebab kematian sel-sel SNc belum diketahui dengan pasti. Beberapa penelitian menghasilkan beberapa dugaan penyebab PP seperti tersebut di bawah ini :

Faktor genetik

Ditemukan 3 gen yang menjadi penyebab gangguan degradasi protein dan mengakibatkan protein beracun tak dapat didegradasi di ubiquitinproteasomal pathway. Kegagalan degradasi ini menyebabkan peningkatan apoptosis di sel-sel SNc sehingga meningkatkan kematian sel neuron di SNc.

Faktor lingkungan

Faktor lingkungan sebagai penyebab terjadinya PP bahan-bahan beracun seperti carbon disulfide, manganese, dan pelarut hidrokarbon yang menyebabkan Sindrom Parkinson; demikian juga pasca ensefalitis.

Umur (proses menua)Pada penderita PP terdapat suatu tanda reaksi mikroglial pada neuron yang rusak dan tanda ini tidak terdapat pada proses menua yang normal, sehingga disimpulkan bahwa proses menua merupakan faktor risiko yang mempermudah terjadinya proses degenerasi di SNc.

Ras

Angka kejadian PP lebih tinggi pada orang kulit putih dibandingkan kulit berwarna.

Patofisiologi

Secara umum dapat dikatakan bahwa Penyakit Parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamin akibat kematian neuron di substansia nigra pars compacta (SNc) sebesar 40-50% yang disertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies) dengan penyebab multifaktor.

Substansia nigra adalah suatu region kecil di otak yang terletak sedikit di atas medulla spinalis. Bagian ini menjadi pusat kontrol/koordinasi dari seluruh pergerakan. Sel-selnya menghasilkan neurotransmitter yang disebut dopamin, yang berfungsi untuk mengatur seluruh pergerakan otot dan keseimbangan badan yang dilakukan oleh sistem saraf pusat. Dopamin diperlukan untuk komunikasi elektrokimia anatara sel-sel neuron di otak terutama dalam mengatur pergerakan, keseimbangan dan refleks postural, serta kelancaran komunikasi (bicara). Pada PP sel neuron di SNc mengalami degenerasi, sehingga produksi dopamine menurun, akibatnya semua fungsi neuron di sistem saraf pusat (SSP) menurun dan menghasilkan kelambanan gerak, kelambanan bicara dan berpikir, tremor, dan kekakuan. 16Epidemiologi

Di Amerika Serikat, ada sekitar 500.000 penderita parkinson. Di Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk 210 juta orang, diperkirakan ada sekitar 200.000-400.000 penderita. Rata-rata usia penderita di atas 50 tahun dengan rentang usia-sesuai dengan penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Sumatera dan Jawa- 18 hingga 85 tahun. Statistik menunjukkan, baik di luar negeri maupun di dalam negeri, lelaki lebih banyak terkena dibanding perempuan (3:2) dengan alasan yang belum diketahui. 13Penatalaksanaan

Secara garis besar konsep terapi farmakologis maupun pembedahan pada PP dibedakan menjadi 3 hal yaitu:1. Simptomatis, untuk memperbaiki gejala dan tanda penyakit 2. Protektif, dengan cara mempengaruhi patofisiologi penyakit3. Restoratif, mendorong neuron baru atau merangsang pertumbuhan dan fungsi sel neuron yang masih ada

Tujuan utama terapi PP adalah memulihkan disabilitas fungsional yang disandang penderita. Biasanya penatalaksanaan dilakukan secara komprehensif baik dengan obat, perbaikan diet dengan mengurangi asupan protein sampai 0,5-0,8 gram/kg BB per hari, terapi fisik berupa latihan teratur untuk mempertahankan penderita tetap dapat berjalan.

Untuk dapat memahami pemilihan terapi obat kita perlu mengetahui proses degradasi dopamin (DA) di otak. Dopamin memiliki 2 reseptor yaitu D1 yang bersifat eksitatorik dan reseptor D2 yang bersifat inhibitorik. 16Ada 6 macam obat utama yang dipergunakan untuk penatalaksanaan PP :

1. Obat yang mengganti dopamin (Levodopa, Carbidopa)2. Agonis dopamin (bromocriptine, pergolide, pramipexole, ropinirol)3. Antikolinergik (benztropin, triheksifenidil, biperiden)4. Penghambat Monoamin oxidase/MAO (selegiline)5. Amantadin6. Penghambat Cetechol 0-Methyl Transferase/COMT (tolcapone, entacapone)

Terapi pembedahan Sebagian besar penderita PP ada juga yang tidak dapat dikendalikan dengan obat, terutama efek fluktuasi motorik (fenomena on-off). Pada saatn on penderita dapat bergerak dengan mudah, terdapat perbaikan pada gejala tremor dan kekakuannya. Pada saat off penderita akan sangat sulit bergerak, tremor dan kekakuan tubuhnya meningkat.

Ada beberapa tipe prosedur pembedahan yang dikerjakan untuk penderita PP, yaitu:

1. Terapi ablasi lesi di otak2. Terapi stimulasi otak dalam (deep brain stimulation, DBS)3. Tranpantasi otak (brain grafting)

Terapi rehabilitas

Rehabilitas penderita PP sangat penting. Tanpa terapi rehabilitasi penderita PP akan kehilangan kemampuan aktivitas fungsional kehidupan sehari-hari (AKS).

Dalam pelaksanaan latihan dipakai berbagai macam strategi, antara lain:

1. Strategi kognitif2. Strategi gerak3. Strategi keseimbangan

KomplikasiKomplikasi terbanyak dan tersering dari penyakit Parkinson yaitu demensia, aspirasi, dan trauma karena jatuh.Preventif

Sampai sekarang, penelitian ilmiah belum menemukan obat untuk Parkinson atau ditentukan penyebab pasti dari penyakit ini, sehingga membuat pencegahan yang nyaris mustahil. Penyakit Parkinson terjadi ketika sekitar 80 persen dari sel-sel saraf tertentu dalam otak menjadi terganggu karena tidak mampu memproduksi cukup dopamin. Dopamine adalah kimia yang diperlukan yang membantu dalam fungsi otot, keseimbangan gerakan dan koordinasi. Parkinson tidak terfokus pada setiap etnis dan mempengaruhi baik pria maupun wanita. PrognosisObat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson, sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali terkena parkinson, maka penyakit ini akan menemani sepanjang hidupnya.

Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progress hingga terjadi total disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak general, dan dapat menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada setiap pasien berbeda-berbeda. Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi. Perluasan gejala berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi. Efek samping pengobatan terkadang dapat sangat parah.

PD sendiri tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal, tetapi berkembang sejalan dengan waktu. Rata-rata harapan hidup pada pasien PD pada umumnya lebih rendah dibandingkan yang tidak menderita PD. Pada tahap akhir, PD dapat menyebabkan komplikasi seperti tersedak, pneumoni, dan memburuk yang dapat menyebabkan kematian.

Progresifitas gejala pada PD dapat berlangsung 20 tahun atau lebih. Namun demikian pada beberapa orang dapat lebih singkat. Tidak ada cara yang tepat untuk memprediksikan lamanya penyakit ini pada masing-masing individu. Dengan treatment yang tepat, kebanyakn pasien PD dapat hidup produktif beberapa tahun setelah diagnosis. 19-21BAB IIIPENUTUP

Dari gejala-gejala yang dialami oleh Tuan S menunjukkan bahwa Tuan S menderita penyakit yang biasanya menyerang lansia, yaitu demensia, Parkinson, vertigo, osteoarthritis, hipotensi ortostatik, diabetes mellitus.

Hal tersebut terjadi karena pada lansia biasanya penyakit yang terjadi adalah multiorgan karena pada lansia organ-organ tubuhnya mengalami degenerasi, sehingga rentan sekali terhadap penyakit.BAB IV

REFERENSI

1. Greenberg, S.. The rise of the only child. Newsweek. Retrieved on June 4, 2001, from : http://stacks.msnbc.com2. Vertigo perifer pada pasien dengan riwayat trauma kepala [Homepage on the Internet]. Jakarta ; [updated 2010 August 26 ; cited 2013 December 15]. Available from: http://www.fkumyecase.net3. Pemeriksaan vertigo [Homepage on the Internet]. Jakarta ; [updated 2007 January ; cited 2013 December 15]. Available from: http://www.majalah-farmacia.com4. Neuhauser, HK. Epidemiology of vertigo. Curr Opin Neurol [Internet] 2007 Feb;20(1):40-6. Available from: U.S National Library of Medicine

5. Tangkis serangan vertigo [Homepage on the Internet]. Jakarta ; [cited 2013 December 15]. Available from: http://www.hdindonesia.com6. Manek, NJ. Osteoarthritis: Current Concepts in Diagnosis and Management. American Family Physician [Internet] 2000 March 15. Available from: The American Academy of Family Physician

7. Akupuntur pada osteoarthritis [Homepage on the Internet]. Jakarta ; [cited 2013 December 15]. Available from: http://www.kalbe.co.id8. Arden N, Nevitt MC. Osteoarthritis: Epidemiology. Best Pract Res Clin Rheumatol [Internet] 2006 Feb;20(1):3-25. Available from: U.S National Library of Medicine

9. Jatuh pada geriatri [Homepage on the Internet]. Jakarta ; [cited 2013 December 15]. Available from: www.docstoc.com10. Hipotensi orthostatik. [Homepage on the Internet]. Jakarta ; [cited 2013 December 15]. Available from: http://www.kalbe.co.id11. Prognosis hipotensi orthostatik. [Homepage on the Internet]. Jakarta ; [cited 2013 December 15]. Available from: http://www.mentorhealthcare.com12. Diagnosis diabetes. [Homepage on the Internet]. Jakarta ; [cited 2013 December 15]. Available from: http://www.100diabetes.com13. Diabetes. [Homepage on the Internet]. Jakarta ; [cited 2013 December 15]. Available from: http://dokter-alwi.com14. The etiology of diabetes mellitus. [Homepage on the Internet]. Jakarta ; [cited 2013 December 15]. Available from: http://www.disability-resource.com15. Pathogenesis of diabetes mellitus in the elderly. [Homepage on the Internet]. Jakarta ; [cited 2013 December 15]. Available from: http://www.health.am16. Sudoyo et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.17. Etiology of dementia. [Homepage on the Internet]. Jakarta ; [cited 2013 December 15]. Available from: http://www.merckmanuals.com18. Complication of dementia. [Homepage on the Internet]. Jakarta ; [cited 2013 December 15]. Available from: http://www.healthcentral.com19. Sobha S. Rao, M.D., Laura A. Hofmann, M.D., and Amer Shakil, M.D. Parkinsons Disease: Diagnosis and Treatment [Internet] 2013 December 15. Available from : http://www.aafp.org20. Maurice Victor, Allan H. Ropper, Raymond D, 2000. Adams & Victor's Principles Of Neurology 7th edition. Parkinson Disease (Paralysis Agitans)

21. Greg Juhn, M.T.P.W., David R. Eltz, Kelli A. Stacy, Daniel Kantor, M.D., 2006. University of Florida Health Science Center, Jacksonville, FL. Parkinsons disease. http://www.nlm.nih.gov37