makalah antropologi hukum (hukum adat di desa sai).pdf
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Hukum adat dapat diartikan sebagai sebuah peraturan yang mengatur
hubungan antara orang seorang dengan orang lain atau seorang dengan
makhluk sekitar, yang dulunya tidak tertulis, apabila dilanggar dikenakan
sanksi hukuman dan sanksi adat. Dalam hal ini akan dijelaskan atau dijabarkan
perihal pengimplementasian hukum adat dalam kehidupan masyarakat desa
Sai,Kec.Soromandi,Kab.Bima. Penting untuk diketahui bahwa hukum adat
yang akan dijabarkan berikut ini sesungguhnya sudah tidak berlaku sekarang,
namun dipandang perlu untuk dikupas dan dipelajari.
Masyarakat Bima yang sekarang kita kenal merupakan perpaduan dari
berbagai suku etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok
tanah air akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang lebih dominan
adalah berasal dari imigrasi yang masuk di Bima,maka tak heran agama pun
cukup beragam meskipun 90% lebih masyarakat Bima sekarang beragama
islam.Untuk itu,dalam pembahasan berikut akan kita lihat bagaimana
keragaman masyarakat Bima tersebut,baik dilihat dari cara pemilihan kepala
adat,cara pemberian sanksi terhadap pencuri,dan cara pembagian harta waris
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara masyarakat Desa sai memilih Kepala suku atau seorang
yang dianggap sebagai pemimpin?
2. Bagaimana cara pembagian harta waris oleh masyarakat desa sai?
3. Bagaimana bentuk pemberian sanksi terhadap pelanggaran hukum adat
khususnya dalam kasus pencurian?
C. TUJUAN
1. Untuk mengatuhui cara masyarakat Desa Sai memilih pemimpinya
2. Untuk mengetahui bentuk pengaturan pembagian harta warisan
dilingkungan masyarakat Desa Sai
3. Untuk mengetahui bentuk pemberian sanksi terhadap pelaku penggaran
hukum khususnya dalam kasus pencurian.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERIHAL PEMILIHAN PEMIMPIN
Penting untuk diketahui terlebih dahulu bahwa sesungguhnya masyarkat
Desa Sai tidak mengenal istilah Kepala Suku. Sebutan untuk orang menjadi
pemimpin di lingkungan masyarakat tersebut adalah “Bumi Leu” akan tetapi
oleh masyarakat lebih sering dipanggil dengan sebutan “Ompu”. Orang yang
menjadi pemimpin di kalangan masyarakat tersebut mendapat pengakuan dari
masyarakat lalu disahkan oleh sultan atau “Sangaji”. Pengakuan yang
diberikan oleh masyarakat kepada orang yang akan menjadi pemimpin tersebut
tidaklah berupa ungkapan lisan atau sistem pemilihan seperti yang kita kenal
sekarang ini. Melainkan pengakuan tersebut didapat secara alamiah.
Pemberian pengakuan terhadap orang yang akan menjadi pemimpin
tersebut akan nampak dari sikap dan tingkah laku masyarakat atau orang-orang
disekilingnya terhadap dirinya. Sikap yang dimaksud biasanya berupa rasa
rohmat, segan, takjub bahkan cenderung diprioritaskan. Sedangkan tingkah
laku yang dimaksud misalnya orang tersebut merupakan tempat untuk meminta
solusi akan suatu permasalahan selain solusi dari “Bumi Leu” yang telah ada.
Juga orang yang akan menjadi pemimpin tersebut seringkali diberi
kepercayaan akan urusan-urusan tertentu oleh “Bumi Leu” yang ada pada saat
itu. Pengakuan masyarakat sebagaimana yang telah dijabarkan di atas biasanya
diberikan kepada orang yang memenuhi criteria-kriteria tertentu, diantaranya :
seorang lelaki, cakap, jujur, berani, berusia matang (minimal + 40 tahun), taat
beribadah, dipercayai memiliki kemampuan spritiual-spritual tertentu, dan
memiliki kehidupan rumah tangga yang ideal (monogami). Setelah kandidat
pemimpin tersebut mendapat pengakuan dan kepercayaan dari masyarakat
dilingkunganya, dan apabila “Bumi Leu” terdahulu sudah dianggap tidak bisa
menjalankan tugasnya karena faktor usia atau mati maka sultan akan
mengesahkan atau melantik pemimpin baru tersebut berdasarkan pengakuan
atau kepercayaan masyarakat terhadap orang yang dimaksud. Setelah
pemimpin baru tersebut dilantik oleh Sultan maka akan dilakukan lagi
pengesahan oleh masyarakat yaitu dengan dibangunkanya rumah untuk
pemimpin baru tersebut beserta penyerahan hasil bumi secara sukarela dari
masyarakat.
B. PERIHAL PEMBAGIAN HARTA WARIS
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa tiap-tiap komunitas masyarakat
di berbagai daerah memiliki aturan-aturan masing-masing dalam pembagian
harta waris. Demikian pula halnya yang di Desa Sai, aturan pembagian harta
waris yang terdapat di masyarakat Desa Sai adalah menggunakan asas
“Salemba ma Mone, Sa Ncu’u Ma Siwe” yang dalam bahasa Indonesia berarti
sepikul untuk laki-laki, sesunggi untuk perempuan, maksud dari asas ini adalah
porsi harta untuk anak laki-laki berjumlah 2 (dua) kali lebih banyak daripada
porsi harta untuk anak perempuan. Aturan pembagian harta waris tersebut
berlaku untuk semua harta warisan kecuali rumah milik orang tua, sedangkan
rumah milik orang tua wajib diserahkan kepada anak terakhir tanpa
memandang perbedaan Gender (anak laki-laki maupun perempuan sama saja).
C. PERIHAL PEMBERIAN SANKSI TERHADAP PENCURIAN
Kasus pencurian merupakan tindakan yang tidak dibenarkan oleh agama
apapun maupun oleh masyarakat adat di manapun. Demikian pula halnya yang
berlaku di masyarakat Desa Sai. Bentuk sanksi yang diberlakukan bagi para
pelaku pencurian adalah hukuman yang disebut “baja” hukuman tersebut
berupa peng-arak-an terhadap para pelaku pencurian. Biasanya mereka yang
dikenai hukuman “baja” akan diarak keliling kampung sambil membawa
barang yang mereka curi dan dalam keadaan telanjang dada seraya berteriak
sekencang-kencangnya tentang penyesalan mereka maupun peringatan kepada
khayalak agar tidak berbuat seperti mereka.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. KRITIK
C. SARAN