makalah agama kel 5

40
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penerapan hukum Islam di Indonesia memang menjadi perbincangan cukup hangat beberapa tahun terakhir. Gagasan itu muncul sebab sebagian besar masyarakat Indonesia memeluk agama Islam. Indonesia merupakan negara penganut Islam terbesar di dunia. Dengan demikian, muncul anggapan bahwa Indonesia dan Islam dapat berjalan selaras dan seiring sehingga tepat jika Indonesia menerapkan hukum Islam. Wacana penerapan hukum Islam di Indonesia tidak bisa serta merta direalisasikan begitu saja. Banyak yang harus dipertimbangkan. Indonesia pada awalnya bukanlah negara Islam. Indonesia mengenal agama Hindu terlebih dahulu. Itu sebabnya banyak percampuran budaya dan ritual-ritual Hindu dalam pelaksanaan agama Islam oleh sebagian penduduk di Indonesia. Negara Indonesia yang terdiri dari ragam etnis dan agama tidak mungkin semena-mena menerapkan hukum Islam. Jika hukum Islam di Indonesia diterapkan begitu saja, akan ada banyak penduduk Indonesia yang merasa dirampas haknya dalam kebebasan beragama dan mereka akan terkena imbas dari penerapan hukum Islam di Indonesia. Oleh karena itu, penulis hendak membahas mengenai implementasi hukum Islam di Indonesia dan kontribusi umat Islam Indonesia. 1

Upload: arum-vilia-utami

Post on 24-Jul-2015

198 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Agama Kel 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penerapan hukum Islam di Indonesia memang menjadi perbincangan cukup hangat

beberapa tahun terakhir. Gagasan itu muncul sebab sebagian besar masyarakat Indonesia

memeluk agama Islam. Indonesia merupakan negara penganut Islam terbesar di dunia.

Dengan demikian, muncul anggapan bahwa Indonesia dan Islam dapat berjalan selaras dan

seiring sehingga tepat jika Indonesia menerapkan hukum Islam.

Wacana penerapan hukum Islam di Indonesia tidak bisa serta merta direalisasikan

begitu saja. Banyak yang harus dipertimbangkan. Indonesia pada awalnya bukanlah negara

Islam. Indonesia mengenal agama Hindu terlebih dahulu. Itu sebabnya banyak percampuran

budaya dan ritual-ritual Hindu dalam pelaksanaan agama Islam oleh sebagian penduduk di

Indonesia. Negara Indonesia yang terdiri dari ragam etnis dan agama tidak mungkin semena-

mena menerapkan hukum Islam. Jika hukum Islam di Indonesia diterapkan begitu saja, akan

ada banyak penduduk Indonesia yang merasa dirampas haknya dalam kebebasan beragama

dan mereka akan terkena imbas dari penerapan hukum Islam di Indonesia. Oleh karena itu,

penulis hendak membahas mengenai implementasi hukum Islam di Indonesia dan kontribusi

umat Islam Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, ada beberapa masalah yang akan penulis

bahas, yaitu:

Apa saja definisi, ruang lingkup, tujuan, dan sumber hukum Islam?

Bagaimana Kedudukan Al-Qur’an sebagai pedoman kegiatan umat Islam?

Apa arti, fungsi, dan peranan dari As-Sunnah?

Bagaimana kedudukan akal pikiran manusia dalam berijtihad?

Apa saja fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat?

Bagaimana implementasi hukum Islam di Indonesia?

1

Page 2: Makalah Agama Kel 5

Apa saja kontribusi hukum Islam dalam perundang-undangan di Indonesia?

1.3. Tujuan

Untuk mengetahui dan memahami macam-macam hukum Islam, implementasi hukum

Islam di Indonesia, dan kontribusi umat Islam dalam Perundang-undangan di Indonesia.

BAB II

2

Page 3: Makalah Agama Kel 5

PEMBAHASAN

2.1 Hukum Islam

2.1.1 Batasan definisi hukum Islam

Hukum merupakan seperangkat norma/peraturan yang mengatur tingkah laku manusia

guna menciptakan masyarakat yang aman, tenteram dan bertingkah laku sesuai dengan aturan

hukum. Hukum bisa dibuat melalui berbagai kesepakatan baik itu kesepakatan adat,

perundingan maupun ketetapan agama. Salah satu hukum yang berdasarkan pada ketetapan

agama adalah hukum Islam. Adapun pengertian hukum Islam adalah hukum yang bersumber

pada nilai-nilai keislaman dimana konsep, dasar, dan hukumnya berasal dari Allah,

ditetapkan berdasarkan wahyu-wahyu Allah, dan mengatur hubungan manusia dengan

manusia lain (masyarakat), manusia dengan diri sendiri, serta manusia dengan Allah.

Istilah hukum Islam berkaitan dengan syariat, hukum syara’, dan fiqh.

a. Syariat (addiin atau almillah): Segala sesuatu yang ditetapkan Allah, dibawa para Nabi

termasuk nabi Muhammad, yang berkaitan dengan teknik amal perbuatan (ilmu fiqh),

keimanan (ilmu kalam).

b. Hukum syara’: Firman Allah yang mengikat orang mukallaf, berupa:

- Hukum taklifi (hukum pembebanan)

Macam hukum taklifi:

1. Wajib/ijab : dilakukan +, ditinggalkan -

2. Sunnah/mandub : dilakukan +, ditinggalkan 0

3. Mubah/ibahah : dilakukan 0, ditinggalkan 0

4. Makruh/karahah : dilakukan 0, ditinggalkan +

5. Haram/tahrim : dilakukan -, ditinggalkan +

(ket: +=berpahala; -=berdosa; 0=tidak apa-apa/tidak berpahala maupun tidak berdosa)

- Hukum wadl’iy (hukum penetapan khusus)

Macam hukum wadl’iy:

1. As-sabab (sebab) : datangnya suatu faktor sebagai sebab datangnya hukum. Misal,

kegiatan musafir menjadi sebab gugurnya kewajiban puasa ramadhan hari itu

3

Page 4: Makalah Agama Kel 5

2. As-syarath (syarat) : suatu faktor sebagai syarat datangnya hukum. Misal, akad nikah

sebagai syarat adanya talak/perceraian

3. Al-mani’ (penghalang) : suatu faktor sebagai penghalang datangnya hukum. Misal,

membunuh sebagai penghalang seseorang memiliki hak waris dari orang yang

dibunuh

4. ‘Azimah (ketetapan reguler) : hukum tanpa ada relevansi khusus dengan hal apapun.

Misal, hukum wajibnya rakaat shalat lima waktu tidak disebabkan, disyaratkan, atau

dihalangi oleh relevansi apapun

5. Rukhsoh (dispensasi) : suatu faktor sebagai hal yang memperingan suatu hukum.

Misal, perjalanan (shafar) menjadi faktor memperingan dalam bentuk jama’ qoshor

6. As-shihhah (valid/absah) : suatu kriteria syarat dan rukun sebagai faktor absahnya

hukum . Misal, syarat rukun shalat yang telah dipenuhi sebagai faktor sahnya shalat

7. Al-Buthlan (batal) : suatu faktor sebagai pembatal datangnya hukum . Misal, tidak

dibacanya Al Fatihah menjadi faktor batalnya shalat

c. Fiqh:

- Pengetahuan yang berkaitan dengan hukum syara’ yang praktis dan terperinci

- Dihasilkan dari proses rasional dan ijtihad manusia

- Bersifat instrumental dengan ruang lingkup terbatas pada perbuatan manusia

- Tidak berlaku abadi, tergantung tempat dan masa

Contoh Fiqh: empat madzab,

1. Syafii : oleh Muhammad idris As-syafi’i

2. Hanafi : oleh Abu Hanifah

3. Maliki : oleh Malik bin Anas

4. Hambali : oleh Ahmad bin Hanbal

4

Page 5: Makalah Agama Kel 5

Menurut Tahir Azhari, hukum Islam bersifat bidimensional (mengandung aspek

kemanusiaan dan ketuhanan sekaligus), adil (mengutamakan keadilan), dan transendental

(diikat oleh wahyu Allah).

2.1.2 Ruang lingkup hukum Islam

Menurut HM Rasyidi, hukum Islam meliputi berbagai aspek, yaitu:

1. Munakahah : hukum perkawinan

2. Wirasah : hukum waris

3. Jinayat : hukum tindak pidana

4. Al-ahkam as-sulthoniyah : hukum ketatanegaraan

5. Siyar : hukum peperangan

6. Mukhassamat : hukum tata peradilan

Sedangkan Menurut Fathi Osman, cakupan hukum islam adalah:

1. Al ahkam as-syakhsiyah : hukum perorangan

2. Al ahkam al-madaniyah : hukum kebendaan

3. Al ahkam al-jinaiyah : hukum pidana

4. Al ahkam al-murafaat : hukum perdata

5. Al ahkam al-dusturiyah : hukum tata negara

6. Al ahkam al-iqtishadiyah : hukum ekonomi dan keuangan

2.1.3 Tujuan hukum Islam

Menurut Abu Ishaq as-Shatibi hukum Islam bertujuan untuk:

1. Memelihara agama

2. Memelihara jiwa

3. Memelihara akal

4. Memelihara keturunan

5. Memelihara harta

2.1.4 Sumber Hukum Islam

Adapun sumber-sumber yang dapat dijadikan sebagai dalil-dalil hukum Islam adalah

sebagai berikut:

5

Page 6: Makalah Agama Kel 5

1. Al-Qur’an

a. Definisi Al-Qur’an dan akar dari kata “Al-Qur’an”

Secara etimologis, Al Qur’an berasal dari kata “qara’a”, yaqra’u, qiraa’atan atau

qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al jam’u) dan menghimpun (al dlammu) huruf-

huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain secara teratur. Dikatakan Al Qur’an

karena ia berisikan intisari dari semua kitab Allah dan intisari dari ilmu pengetahuan.

Allah berfirman : “ Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya

(dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai

membacakannya

maka ikutilah bacaannya”. (al Qiyamah [75]:17-18).

Qur’anan dalam hal ini berarti juga qira’atahu (bacaannya/cara membacanya).

Jadi kata itu adalah masdar menurut wazan (tasrif, konjugasi) “fu’lan” dengan vocal “u”

seperti “gufran” dan “syukran”. Kita dapat mengatakan qara’tuhu, qur’an, qira’atan wa

qur’anan, artinya sama saja yakni maqru’ (apa yang dibaca) atau nama Qur’an (bacaan).

Qur’an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada

Muhammad s.a.w., sehingga Qur’an menjadi nama khas kitab itu, sebagai nama diri. Dan

secara gabungan kata itu dipakai untuk nama qur’an secara keseluruhan, begitu juga

untuk penamaan ayat-ayatnya. Maka jika kita mendengar orang membaca ayat Qur’an,

kita boleh mengatakan bahwa ia sedang membaca Qur’an.

Firman Allah dalam surat Al-A’raf:“dan apabila dibacakan Qur’an, maka

dengarkanlah dan perhatikanlah …(Al-A’raf [7]:204).

Sedangkan secara terminologi, Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada

Nabi Muhammad SAW yang pembacaannya merupakan ibadah. (Al-Qathan,1998;18).

Definisi ini mengandung 3 pengertian, yaitu:

a. “Kalam” merupakan kelompok jenis yang meliputi segala kalam, dan dengan

menghubungkannya kepada Allah (Kalamullah) yang berarti tidak termasuk kalam

manusia, jin, dan malaikat.

b. Kata yang diturunkan maksudnya membatasi apa yang diturunkan itu hanya “kepada

Nabi Muhammad SAW”. Tidak termasuk yang diturunkan kepada Nabi-nabi

sebelumnya seperti Taurat, Zabur, dan Injil.

c. Sedangkan pembacaannya, merupakan suatu ibadah. Artinya, perintah untuk

membacanya di dalam sholat atau kegiatan lainnya adalah ibadah.

6

Page 7: Makalah Agama Kel 5

Al-Qur’an diriwayatkan dengan cara tawatur (mutawatir) yang artinya diriwayatkan

oleh orang sangat banyak semenjak dari generasi shahabat ke generasinya selanjutnya

secara berjamaah. Jadi apa yang diriwayatkan oleh orang per orang tidak dapat dikatakan

sebagai Al-Qur’an. Orang-orang yang memusuhi Al-Qur’an dan membenci Islam telah

berkali-kali mencoba menggugat nilai keasliannya. Akan tetapi realitas sejarah dan

pembuktian ilmiah telah menolak segala bentuk tuduhan yang mereka lontarkan. Al-

Qur’an adalah kalamullah, bukan ciptaan manusia, bukan karangan Muhammad saw

ataupun saduran dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an tetap menjadi mu’jizat sekaligus

sebagai bukti keabadian dan keabsahan risalah Islam sepanjang masa dan sebagai sumber

dari segala sumber hukum bagi setiap bentuk kehidupan manusia di dunia.

b. Kehujjahan Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan hujjah bagi manusia, serta hukum-hukum yang terkandung di

dalamnya merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena Al-Qur’an merupakan

kalam Al-Khaliq, yang diturunkannya dengan jalan qath’i dan tidak dapat diragukan lagi

sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu

datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat yang mampu menundukkan manusia dan

tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang yang menjadi kemusykilan manusia untuk

menandingi Al-Qur’an adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi

oleh para ahli syi’ir orang Arab atau siapa pun.

Allah SWT berfirman:

“Katakanlah: Sesungguhnya apabila jin dan manusia apabila berkumpul untuk

membuat yang serupa dengan Al-Qur’an ini. Pasti mereka tidak akan dapat membuat

yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sekalian

yang lain.” (QS. Al-Isra: 88)

“(Dan) apabila kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami wahyukan

kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-

Qur’an, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang

benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)

Pernyataan Walid bin Mughirah, salah seorang bangsa Quraisy di masa Rasulullah saw,

seorang ahli syair yang tak tertandingi, yang menjadi musuh nabi pada awalnya berkata:

7

Page 8: Makalah Agama Kel 5

“Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an itu terdapat sesuatu yang lezat, dan pula

keindahannya, apabila di bawah menyuburkan dan apabila di atas menghasilkan buah.

Dan manusia tidak akan mungkin mampu berucap seperti Al-Qur’an.”

Selain dari bahasanya, isi Al-Qur’an sekaligus menjadi hujjah atas kebenarannya.

Misalnya perihal akan menangnya kaum Muslimin memasuki Makkah dengan aman

(QS. Al-Fath), juga tentang akan menangnya pasukan Romawi atas Parsi (QS. Ar-Ruum)

dan sebagainya. Selain isi Al-Qur’an menunjukkan tentang kejadian sejarah terdahulu

yang sesuai dengan fakta, atau kisah tentang sebagian Iptek, misalnya penyerbukan oleh

lebah, terkawinkannya bunga-bunga oleh bantuan angin dan sebagainya. Yang pada

akhirnya terbukti kebenarannya.

c. Fungsi Al-Qur’an

Al-Qur’an berfungsi sebagai:

1. Petunjuk bagi Manusia. Allah swt menurunkan Al-Qur’an sebagai petujuk umat

manusia, seperti yang dijelaskan dalam surat (Q.S Al-Baqarah 2:185 (QS Al-Baqarah

2:2) dan (Q.S Al-Fusilat 41:44)

2. Sumber pokok ajaran islam. Fungsi Al-Qur’an sebagai sumber ajaran islam sudah

diyakini dan diakui kebenarannya oleh segenap hukum islam.Adapun ajarannya

meliputi persoalan kemanusiaan secara umum seperti hukum, ibadah, ekonomi,

politik, sosial, budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan dan seni.

3. Peringatan dan pelajaran bagi manusia. Dalam Al-Qur’an banyak diterangkan tentang

kisah para nabi dan umat terdahulu, baik umat yang taat melaksanakan perintah Allah

maupun yang mereka yang menentang dan mengingkari ajaran-Nya. Bagi kita,umat

yang akan datang kemudian rentu harus pandai mengambil hikmah dan pelajaran dari

kisah-kisah yang diterangkan dalam Al-Qur’an.

4. Mukjizat Nabi Muhammad saw. Turunnya Al-Qur’an merupakan salah satu mukjizat

yang dimilki oleh nabi Muhammad saw.

8

Page 9: Makalah Agama Kel 5

Kesimpulan kedudukan Al-Qur’an bagi umat Islam

Semua uraian di atas menunjukkan bahwa Al-Qur’an memang bukan datang dari

manusia melainkan dari Allah SWT; Sang Pencipta dan Pengatur Alam Semesta. Karenanya

memang sudah menjadi kelayakan bahkan keharusan untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai

landasan kehidupan dan hukum manusia.

2. As-Sunnah

a. Definisi dan kedudukan Sunnah sebagai petunjuk bagi umat muslim

Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan/persetujuan/diamnya)

Rasulullah saw terhadap sesuatu hal/perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya.

Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang nilai kebenarannya sama dengan Al-

Qur’an karena sebenarnya Sunnah juga berasal dari wahyu.

Firman Allah SWT: “(Dan) Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu

menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang

diwahyukan (kepadanya).”  (QS. An-Najm: 3-4)

Makna ayat di atas bahwa apa yang disampaikan Rasulullah saw (Al-Qur’an dan As-

Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah SWT, bukan dari dirinya maupun

kemauan hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah SWT: “(Katakanlah

Muhammad) ...aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (QS. Al-

An’am 50)

Ayat ini bermakna bahwa Rasulullah saw tidak melakukan suatu tindakan kecuali

berdasarkan wahyu dari Allah SWT dan agar manusia mengikuti apa yang

disampaikannya.

Al-Qur’an telah menegaskan bahwa selain dari Al-Qur’an, Rasulullah saw juga

menerima wahyu yang lain, yaitu Al Hikmah yang pengertiannya sama dengan As-

Sunnah, baik perkataan, perbuatan atau pun ketetapan (diamnya). Pengertian Al Hikmah

yang bermakna As-Sunnah dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran: 164, QS. Al-Jumu’ah:

3, dan QS. Al-Ahzab: 34.

Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami dan diyakini bahwa kehujjahan As-Sunnah

sebagai sumber hukum/syariat Islam bersifat pasti ( qath’i ) kebenarannya ; sebagaimana

Al-Qur’an itu sendiri.

9

Page 10: Makalah Agama Kel 5

b. Fungsi Sunnah terhadap Al-Qur’an

Adapun mengenai fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an dapat diuraikan sebagai

berikut:

1. Menguraikan Kemujmalan (keumuman) Al-Qur’an.

Mujmal adalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya (dalalah/penunjukannya)

yaitu dalil yang belum jelas maksud dan perinciannya. Misalnya perintah shalat,

membayar zakat dan menunaikan haji. Al-Qur’an hanya menjelaskannya secara global,

tidak dijelaskan tata cara pelaksanaannya. Kemudian Sunnah secara terperinci

menerangkan tata cara pelaksanaan shalat, jumlah raka’at, aturan waktunya, serta hal-hal

lain yang berkaitan dengan shalat; begitu pula dengan ibadah-ibadah yang lain.

Imam Ibnu Hazm, salah seorang ulama besar dari Andalusia pada masa Abbasiyah

menjelaskan: “Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an terdapat ungkapan yang seandainya

tidak ada penjelasan lain, maka kita tidak mungkin melaksanakannya. Dalam hal ini

rujukan kita hanya kepada Sunnah Nabi saw. Adapun ijma’ hanya terdapat dalam kasus-

kasus tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu secara pasti wajib kembali kepada

Sunnah.”

2. Pengkhususan Keumuman Al-Qur’an.

Umum (‘Aam) ialah lafadz yang mencakup segala sesuatu makna yang pantas dengan

satu ucapan saja. Misalnya ‘Al Muslimun’ (orang-orang Islam), ‘Ar rijaalu’ (orang-orang

laki-laki) dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an itu terdapat banyak lafadz yang bermakna

umum kemudian Sunnah mengkhususkan keumumannya Al-Qur’an tersebut. Misalnya

firman Allah SWT: “Allah mewajibkan kamu tentang anak-anakmu, untuk seorang anak

laki-laki adalah dua bagian dari anak perempuan.” (QS. An-Nisaa’: 11)

Menurut ayat tersebut di atas, setiap anak secara umum berhak mendapatkan warisan

dari ayahnya. Jadi setiap anak adalah pewaris ayahnya. Kemudian datang Sunnah yang

mengkhususkannya. Sabda Rasulullah saw: “Kami seluruh Nabi tidak meninggalkan

warisan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.” (HR Imam Bukhari).

“Seorang pembunuh tidak mendapat warisan.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Menurut hadits di atas Nabi tidak meninggalkan warisan bagi anak-anaknya serta

melarang seorang anak yang membunuh ayahnya mendapat warisan dari ayahnya.

10

Page 11: Makalah Agama Kel 5

3. Taqyid (Pensyaratan) terhadap ayat Al-Qur’an yang Mutlak

Mutlak ialah lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih umum pada suatu jenis,

misalnya lafadz budak, mukmin, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an banyak

dijumpai ayat-ayat yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya: “Laki-

laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah kamu potong tangan

(keduanya).” (QS. Al-Maidah: 38)

Ayat ini berlaku mutlak pada setiap pencurian (baik besar maupun kecil). Kemudian

Sunnah memberikan persyaratan nilai barang curian itu sebanyak seperempat dinar emas

ke atas. Sabda Rasulullah saw: “Potonglah dalam pencurian seharga seperempat dinar

dan janganlah dipotong yang kurang dari itu.” (HR Ahmad).

Begitu pula halnya dengan batas pemotongan tangan bagi pencuri (sebagimana ayat 38

Surat Al Maidah), yaitu pada pergelangan tangan dan bukan dari tempat lainnya,

sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw.

4. Pelengkap Keterangan Sebagian dari Hukum-Hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an.

Peranan Sunnah yang lain adalah untuk memperkuat dan menetapkan apa yang

telah tercantum dalam Al-Qur’an disamping melengkapi sebagian cabang-cabang hukum

yang asalnya dari Al-Qur’an. Al-Qur’an menegaskan tentang pengharaman memperisteri

dua orang sekaligus. “(Dan diharamkan bagimu) menghimpun (dalam perkawinan) dua

perempuan bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” (QS. An-Nisaa’:

23)

Di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan tentang haramnya seseorang

mengumpulkan (memadu) seorang wanita saudara ibu, atau anak perempuan dari saudara

laki-laki istri (kemenakan). Sunnah menjelaskan mengenai hal ini melalui sabda Nabi:

“Tidak boleh seseorang memadu wanita dengan ‘ammah (saudara bapaknya), atau

dengan saudara ibu (khala) atau anak perempuan dari saudara perempuannya

(kemenakan) dan tidak boleh memadu dengan anak perempuan saudara laki-lakinya,

sebab kalau itu kalian lakukan, akan memutuskan tali persaudaraan.”(HR .An Nasa’i

dan Ibnu Majah).

5. Sunnah Menetapkan Hukum-hukum Baru, yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.

Sunnah juga berfungsi menetapkan hukum-hukum yang baru yang tidak ditemukan

dalam Al-Qur’an dan bukan merupakan penjabaran dari nash yang sudah ada dalam Al-

11

Page 12: Makalah Agama Kel 5

Qur’an, akan tetapi merupakan aturan-aturan baru yang hanya terdapat dalam Sunnah.

Misalnya, diharamkannya ‘keledai jinak’ untuk dimakan, setiap binatang yang bertaring,

dan setiap burung yang bercakar. Begitu pula tentang keharaman memungut pajak (bea

cukai), penarikan hak milik atas tanah pertanian yang selama tiga tahun berturut-turut

tidak dikelola, maka diambil oleh negara, tidak bolehnya individu memiliki kepentingan

umum seperti air, rumput, api, minyak bumi, tambang emas, perak, besi, sungai, laut,

tempat penggembalaan ternak dan lain-lain.

Demikian antara lain ketentuan tambahan (penyempurnaan) yang dilakukan Rasulullah

saw. Maka sikap seorang Muslim terhadap hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:

“Ucapan orang-orang beriman, manakala mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya

supaya Dia memberikan ketentuan hukum diantara mereka, tidak lain hanya

mengatakan: Kami mendengar dan Kami mematuhinya. Mereka itulah orang-orang

yang berbahagia.” (QS. An-Nur: 51)

Penggunaan nash As-Sunnah untuk masalah aqidah haruslah nash yang bersifat qath’i,

karena tidak boleh adanya keraguan sedikitpun dalam masalah aqidah/i’tiqadiyah.

Sedangkan untuk masalah hukum/Syari’ah masih dapat digunakan nash As-Sunnah yang

mencapai derajat dzanni (prasangka kuat atas kebenarannya). Hal ini karena dalam

masalah Syari’ah tidak diharuskan suatu keyakinan yang pasti terhadap hasil ijtihad yang

akan dijadikan sumber amaliah tersebut (bukan sumber untuk masalah i’tiqadiyah).

3. Ijtihad

Ijtihad merupakan metode atau cara para mujtahid dalam merumuskan suatu hukum

secara rinci yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber utama dalam

memutuskan suatu hukum. Dengan berijtihad, berarti menggunakan seluruh kesanggupan

berpikir untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan mengeluarkan hukum dari Al-Qur’an

dan Sunnah. Akal manusia memegang peranan penting dalam melakukan ijtihad. Ijtihad

dipandang sebagai aktivitas penelitian ilmiah karena bersifat relatif. Relativitas ijtihad

menjadikannya sumber nilai yang bersifat dinamis. Ini berarti pintu ijtihad selalu terbuka

selama ilmu pengetahuan manusia terus berkembang khususnya di bidang ekonomi,

keuangan, dan kedokteran.

Mayoritas ulama sepakat bahwa ijtihad merupakan sumber hukum sesudah al-Qur’an

dan as-Sunnah. Ada beberapa metode yang digunakan ulama dalam memutuskan suatu

hukum, yaitu:

12

Page 13: Makalah Agama Kel 5

a. Ijma’

Ijma’ ulama adalah kesepakatan dari para ulama yang mengambil kesimpulan

berdasarkan dalil-dalil yang terdapat pada Alquran dan Hadis. Para ulama mengambil

langkah ini karena perkara atau kasus yang ada tidak dijelaskan secara terperinci baik di

dalam Alquran maupun Hadis. Yang menjadi penting adalah hasil Ijma’ yang dilakukan oleh

para ulama tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Alquran dan Hadis.

b. Qiyas

Qiyas adalah menjelaskan sesuatu yang tidak mempunyai dalil nashnya dalam Alquran

maupun as-Sunnah yang dilakukan dengan cara membandingkan sesuatu yang serupa/hampir

sama dengan sesuatu yang hendak diketahui hukumnya tersebut dan sudah jelas hukumnya di

Alquran maupun hadis. Misalnya, dalam Alquran dijelaskan bahwa segala sesuatu yang dapat

memabukkan adalah haram hukumnya. Di sini, Alquran tidak menyebutkan bahwa arak/bir

itu haram, karena arak dan bir dapat menyebabkan mabuk, maka hukum dari arak itu sendiri

menjadi haram.

c. Istishhab

Yaitu pemberian hukum berdasarkan keberadaannya pada masa lampau.

d. Maslahal al-mursalah

Adalah pencetusan hukum berdasarkan prinsip kemaslahatan secara bebas

e. ‘Urf

Yaitu penetapan hukum berdasarkan tradisi/kebiasaan umum/adat-istiadat

2.2 Fungsi Hukum Islam di dalam Kehidupan Bermasyarakat

Hukum Islam mencakup semua aspek kehidupan di dalam masyarakat. Hukum

Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur

hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dan dengan makhluk

lainnya.

13

Page 14: Makalah Agama Kel 5

Dalam kehidupan bermasyarakat, peranan utama fungsi hukum Islam adalah :

- Fungsi ibadah yaitu fungsi hukum Islam dalam beribadah kepada Allah (sebagai alat

untuk menegakkan ibadah) dan fungsi ini adalah fungsi yang utama.

- Fungsi Amar ma`ruf nahi munkar yaitu di dalam hukum Islam terdapat hukum yang

mengatur kehidupan manusia (perintah kebaikan dan mencegah kemunkaran).

- Fungsi Zawazir yaitu adanya sanksi yang diberikan kepada pelaku apabila melakukan

perbuatan pidana misalnya mencuri atau berzina yang telah ditetapkan sangsinya

(sebagai alat penjeraan).

- Fungsi tanzim wal islah al-Ummah yaitu fungsi untuk mengatur kehidupan di dalam

masyarakat (penataan organisasi dan rehabilitasi masyarakat) misalnya dalam masalah

muamalah (Ibrahim Hosen, 1996 : 90)

Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin

dan memperlancar proses interaksi sosial sehingga terwujudlah masyarakat yang

harmonis, aman dan sejahtera

2.3 Implementasi Hukum Islam di Indonesia

a. Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda

Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai

pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan Masehi.

Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah

yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim.

Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di

Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian

diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas.

Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.

Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara

kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan

Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau

Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan

Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.

14

Page 15: Makalah Agama Kel 5

Kesultanan-kesultanan tersebut –sebagaimana tercatat dalam sejarah- itu tentu saja

kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan

hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan

pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu.

Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para

ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para

pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.

b. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda

Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran

Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal

dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran

yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan

Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia

Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili

Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan

menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.

Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini

disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi

mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa

yang selama ini telah mereka jalankan.

Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan

oleh pihak VOC, yaitu:

2.4 Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa

hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.

2.5 Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah

masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal

dengan Compendium Freijer.

2.6 Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon,

Gowa dan Bone. Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab

Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki

15

Page 16: Makalah Agama Kel 5

kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum

pidana Islam.

Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang

peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah

Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan

Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin

nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku

kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya

perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam

yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah

Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya

dengan menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan membatasi keberlakuan

hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.

Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh

Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut:

1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum

yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah

kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.

2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda

menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan

pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak

bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini

kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.

3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia

Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang

pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia

belum diterima oleh hukum adat setempat).

4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling

(yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata

sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima

oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.

16

Page 17: Makalah Agama Kel 5

Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya

kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.

c. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang

Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima

militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah

Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala

kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan

baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam

sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.

Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai

kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:

1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama

mayoritas penduduk pulau Jawa.

2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa

Indonesia sendiri.

3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.

4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober

1943.

5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi

berdirinya PETA.

6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan

Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan

Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian

“dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga

Indonesia merdeka.

Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama

masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan

Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para

17

Page 18: Makalah Agama Kel 5

pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso

menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam.

Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau

pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang

memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa

Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.

d. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)

Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para

pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya

langkah strategis Jepang memenangkan perang –yang kemudian membuat mereka

membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang mulai mengubah arah

kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh

nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok

nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika

beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI

(Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga

Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang

mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa

BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis,

meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup

representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”.

Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan

lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting

Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad

Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan

bukan pula negara Islam.

Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang

mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam

bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal

ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak

kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada

18

Page 19: Makalah Agama Kel 5

Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur.

Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut

Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima –satu-

satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia

bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan

tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary –bersama dengan Maramis,

seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan

kompromi itu saat sidang BPUPKI.

Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary

mengatakan, Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai

suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia. Suatu politik pengepungan

kepada cita-cita umat Islam.

e. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit

Presiden 5 Juli 1950

Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-

masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu,

Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran,

Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian

mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik

Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya

tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia

Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.

Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku

sebagai konstitusi Republik Indonesia –yang merupakan satu dari 16 bagian negara

Republik Indonesia Serikat-. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk

dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah

Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana

rancangan UUD’45 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang

tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan

Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.

19

Page 20: Makalah Agama Kel 5

Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI,

negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam,

Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral

Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada

tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik

Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS

dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.

Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa

dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam

Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang

rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang

Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan

agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara

dalam urusan-urusan keagamaan. “Kelebihan” lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah

terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan

undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950.

Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan

rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun

upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan

rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik

kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena

konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan

undang-undang yang bersifat tetap.

Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan

Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955.

Majlis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10

November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini

dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal

penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya

yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan

merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat

dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan –menurut Anwar Harjono-

lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”. Namun bagaiamana dalam tataran

20

Page 21: Makalah Agama Kel 5

aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini.

Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak

didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.

Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang

diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan

DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya

telah memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari

sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia

melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi

ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama

setelah diproklamirkannya negara-boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun

memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu

konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut

sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap

strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan

Belanda kembali, dan bukan atas dasar –apa yang mereka sebut dengan- “kesadaran

teologis-politis”nya.

f. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru

Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum

nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk

dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat

Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno,

dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat).

Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno bersama

dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa

Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2

ketetapan; salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus

memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.

Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di

Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan

hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian”

21

Page 22: Makalah Agama Kel 5

itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak

mendapatkan tempat yang semestinya.

Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak

pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik

mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum

di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi

yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan

perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto

menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai

Masyumi. Lalu bagaimana dengan hukum Islam?

Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak

begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap

terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri

agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang

Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR.

Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum

formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini

kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui

Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah

Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya –menurut Hazairin- hukum Islam telah

berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.

Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun

1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha

intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini

membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima

hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.

g. Hukum Islam di Era Reformasi

Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh

pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum

Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR

No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-

undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan

22

Page 23: Makalah Agama Kel 5

hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan

daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa

peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.

Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan

hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang

nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan

Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor

11 Tahun 2002.

Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum

Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan

langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan

berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum

positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.

2.4 Kontribusi Hukum Islam dalam Perundang-undangan Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan yang penduduknya sangat beragam dari

segi etnik, budaya dan agama. Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Hukum

agama datang ke Indonesia bersamaan dengan hadirnya agama. Oleh karena itu sebagai

mayoritas beragama Islam, maka hukum Islam merupakan salah satu sistem yang berlaku

di tengah-tengah masyarakat Indonesia. (A.Qodri Azizy. 2004 : 138).

Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini

semakin nampak jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan

baik berupa undang-undang peraturan pemerintah, keputusan presiden yang didalamnya

berisi tentang hukum Islam, diantaranya adalah :

1. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Banyak pasal dalam

undang-undang ini berasal dari hukum Islam.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan dan tanah milik.

3. Instruksi presiden No 13 tahun 1980 tentang perjanjian bagi hasil.

4. Undang-undang No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama merupakan salah satu

perundang-undangan pelaksanaan dari undang-undang No 14 tahun 1970 tentang pokok-

pokok kekuasaan hakim.

23

Page 24: Makalah Agama Kel 5

5. Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Komplikasi Hukum Islam (KHI). KHI

berisi tentang himpunan hukum Islam yang berkenaan dengan perkawinan, waris dan

wakaf.

6. Undang-undang No 7 tahun 1992 dan peraturan pemerintah No 70 dan 72 tentang

bagi hasil pada bank.

7. Undang-undang No 38 tahun 1999 tentang penyelenggaran ibadah haji.

24

Page 25: Makalah Agama Kel 5

BAB III

PENUTUP

Al-Qur’an merupakan pedoman dan dasar dari Hukum Islam yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril. Tetapi apabila manusia

belum mendapatkan petunjuk atau jawaban secara khusus dan terperinci terhadap

masalah yang dihadapinya, hendaklah manusia mencari jawaban dari Sunnah Rasul

SAW. Tetapi apabila manusia masih belum mendapat pemecahan masalahnya dalam

Sunnah Rasul SAW, hendaklah manusia berusaha sendiri dan menggunakan akal

pikiranya seperti yag tertuang pada hadits Sunan Abu Daud. Dari hadist tersebut, dapat

kita simpulkan bahwa sumber hukum Islam ada tiga yaitu Al-Qur’an, as-Sunnah, dan

Ijtihad.

Fungsi as-Sunnah adalah sebagai penguat hukum yang telah ditetapkan oleh Al-

Qur’an, memberikan rincian terhadap pernyataan Al-Qur’an yang bersifat global,

membatasi kemutlakan yang dinyatakan didalam Al-Qur’an, memberikan penyesuaian

terhadap pernyataan Al-Qur’an yang bersifat umum dan menetapkan hukum baru yang

tidak ditetapkan oleh Al-Qur’an.

Ijtihad dipandang sebagai aktivitas ilmiah karena bersifat relativ. Relativitas

ijtihad menjadikannya sumber yang bersifat dinamis. Ini berarti pintu ijtihad selalu

terbuka selama ilmu pengetahuan manusia terus berkembang khususnya di bidang

ekonomi, keuangan, dan kedokteran.

Hukum Islam juga berfungsi sebagai bentuk ibadah, fungsi amar ma’ruf nahi

munkar, fungsi zawazir, dan fungsi tanzim wa Islah al Ummah. Sebagian besar

penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Oleh karena itu, hukum Islam merupakan

salah satu sistem yang berlaku di Indonesia dan memberikan kontribusi yang besar dalam

penentuan hukum nasional.

25

Page 26: Makalah Agama Kel 5

Daftar Pustaka

Al-quran-sebagai-sumber-hukum-islam. Diakses tanggal 15 Desember 2011. http://hbis.wordpress.com/2009/11/11/makalah-al-quran-sebagai-sumber-hukum-islam/

Haditssunnah-sebagai-sumber-hukum kedua. Diakses tanggal 15 Desember 2011 . http://iaibcommunity.wordpress.com/2008/05/10/haditssunnah-sebagai-sumber-hukum-kedua/

http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195604201983011-SOFYAN_SAURI/BUKU_PAI_REVISI/BAB_XV.pdf

Hurhasan, dkk. 2011. Buku Ajar Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Agama Islam – Pendidikan Agama Islam. Unit Pelaksana Teknis Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) Universitas sriwijaya.

Sejarah Al-Quran . Diakses tanggal 15 Desember 2011. http://joerzack.tripod.com/SEJARAH_AL_QURAN.htm

Sumber-sumber hukum islam. Diakses tanggal 15 Desember 2011. http://mardiunj.blogspot.com/2010/06/sumber-sumber-hukum-islam.html

26