makalah 29 anty

15
Sindrom Gangguan Pernapasan Akut Julianti Dewisarty Ranyabar 102011167 [email protected] Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat Pendahuluan Sindrom gangguan pernapasan akut (Acute respiratory distress syndrome - ARDS) merupakan manifestasi cedera akut paru-paru, biasanya akibat sepsis, trauma, dan infeksi paru berat. Secara klinis, hal ini ditandai dengan dyspnea, hipoksemia, fungsi paru-paru yang menurun, dan infiltrat difus bilateral pada radiografi dada. Oksigenasi yang adekuat, pengistirahatan paru-paru, dan perawatan suportif adalah dasar-dasar terapi. Pengelolaan sindrom gangguan pernapasan akut sering membutuhkan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik. Pemberian volume tidal yang rendah dan tekanan ventilator yang rendah dianjurkan untuk menghindari cedera akibat ventilator. Koreksi tepat waktu dari kondisi klinis sangat penting untuk mencegah cedera lebih lanjut. Percobaan eksperimental menunjukkan penggunaan berbagai obat-obatan yang diberikan sesuai patofisiologi belum berkhasiat secara klinis. Komplikasi seperti pneumotoraks, efusi pleura, dan pneumonia fokal harus diidentifikasi dan 1

Upload: emiliana-leeya-lhiya

Post on 20-Dec-2015

19 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

eeee

TRANSCRIPT

Page 1: makalah 29 anty

Sindrom Gangguan Pernapasan AkutJulianti Dewisarty Ranyabar

[email protected]

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat

Pendahuluan

Sindrom gangguan pernapasan akut (Acute respiratory distress syndrome -ARDS)

merupakan manifestasi cedera akut paru-paru, biasanya akibat sepsis, trauma, dan infeksi

paru berat. Secara klinis, hal ini ditandai dengan dyspnea, hipoksemia, fungsi paru-paru yang

menurun, dan infiltrat difus bilateral pada radiografi dada. Oksigenasi yang adekuat,

pengistirahatan paru-paru, dan perawatan suportif adalah dasar-dasar terapi. Pengelolaan

sindrom gangguan pernapasan akut sering membutuhkan intubasi endotrakeal dan ventilasi

mekanik. Pemberian volume tidal yang rendah dan tekanan ventilator yang rendah dianjurkan

untuk menghindari cedera akibat ventilator. Koreksi tepat waktu dari kondisi klinis sangat

penting untuk mencegah cedera lebih lanjut. Percobaan eksperimental menunjukkan

penggunaan berbagai obat-obatan yang diberikan sesuai patofisiologi belum berkhasiat secara

klinis. Komplikasi seperti pneumotoraks, efusi pleura, dan pneumonia fokal harus

diidentifikasi dan segera diobati. Selama dekade terakhir, angka kematian telah menurun dari

lebih dari 50% menjadi 32-45%. Kematian biasanya terjadi akibat kegagalan organ

multisystem daripada kegagalan pernapasan saja.1

1

Page 2: makalah 29 anty

Pembahasan

Anamnesis

Pemeriksaan fisik

B1 (breathing)

Inspeksi : Sputum encer, berbusa, frekuensi pernapasan meningkat dengan ventilasi tinggi, dispnea dengan disertai sesak karena retraksi interkostal, timbul sianosis, Penurunan dan tidak seimbangnya ekpansi dada.

Perkusi dada : Dull diatas area konsolidasi. Auskultasi : Didapatkan bunyi napas. crakles (adanya cairan tapi banyak), ronchi (adanya sekret), dan suara nafas bronkhial (bunyi ekspirasi lebih lama dibanding inspirasi). Palpasi dada : Peningkatan fremitus(tremor vibrator pada dada).

B2 (blood)

Auskultasi jantung tidak ditemukan bunyi abnormal kecuali bila ada penyakit jantung atau akibat trauma.

Hipoksemia

Heart rate : takikardi terjadi hipoksemia sehinnga memacu jantung untuk bekerja lebih, hipotensi terjadi pada stadium lanjut (shock) Kulit dan membran mukosa : mungkin pucat, dingin sampai pada Cyanosis biasa terjadi (stadium lanjut)

B3 (brain)

Gejala truma kepala menyebabkan TIK meningkat Penurunan kesadaran karena adanya syok, Pengukuran tingkat kesadaran dengan GCS.

B4 (bladder)

Penurunan volume urine akibat dari akumulasi cairan pada interstisial paru/alveolar.

B5 (bowel)

Bising usus menurun, Retraksi otot-otot abdomen.

B6 (bone)

Perubahan pada jari adanya clubbing neil, respon adanya hipoksemia.pengukuran kekuatan otot kemudian dibandingkan antara ekstremitas kiri dengan kanan.

2

Page 3: makalah 29 anty

PEMERIKSAAN PENUNJANG1,2,3

1. Laboratorium

Pulse oximetry

Digunakan untuk mengukur saturasi hemoglobin yang meningkat palsu akibat

ikatan CO terhadap hemoglobin sehingga kadar karboksihemoglobin

seringkali diartikan sebagai oksihemaglon

Analisa Gas Darah

Untuk mengukur kadar karboksihemoglobin, keseimbangan asam basa dan

kadar sianida. Sianida dihasilkan dari kebakaran rumah tangga dan biasanya

terjadi peningkatan kadar laktat plasma

Elektrolit

Untuk memonitor abnormalitas elektrolit sebagai hasil dari resusitasi cairan

dalam jumlah besar

Darah lengkap

Hemokonsentrasi akibat kehilangan cairan biasanya terjadi sesaat setelah

trauma. Hematokrit yang menurun secara progresif akibat pemulihan volume

intravaskular. Anemia berat biasanya terjadi akibat hipoksia atau

ketidakseimbangan hemodinamik. Peningkatan sel darah putih untuk melihat

adanya infeksi.

2. Foto Thoraks

Biasanya normal dalam 3-5 hari, gambaran yang dapat muncul sesudahnya termasuk

atelektasis, edema paru, dan ARDS

3. Laringoskopi dan bronkoskopi fiberoptik

Keduanya dapat digunakan sebagai alat diagnostik maupun terapeutik. Pada

bronkoskopi biasanya didapatkan gambaran jelaga, eritema, sputum dengan arang,

petekie, daerah pink sampai abu-abu karena nekrosis, ulserasi, sekresi, mukopurulen.

Bronkoskopi serial berguna untuk menghilangkan debris dan sel-sel nekrotik pada

kasus-kasus paru atau jika suction dan ventilasi tekanan positif tidak cukup memadai.

Gambaran Klinis

ARDS biasanya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal pada

paru. Setelah 72 jam 80% pasienn menunjukkan gejala klinis ARDS yang jelas. Awalnya

3

Page 4: makalah 29 anty

pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan pernapasan yang cepat

dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda yang khas pada ARDS

ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah diberi oksigen. Sedangkan pada

auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar, serta kadang wheezing. 4

Diagnosis dini dapat ditegakkan jika pasien mengeluhkan dispnea, sebagai gejala

pendahulu ARDS. Diagnosis presumtif dapat ditegakkan dengan pemeriksaan analisa gas

darah serta foto toraks. Analisa ini pada awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO2

sangat rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks biasanya

memperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau batas-

batas jantung, namun siluet jantung biasanya normal. Bagaimanapun, belum tentu kelainan

pada foto toraks dapat menjelaskan perjalanan penyakit sebab perubahan anatomis yang

terlihat pada gambaran sinar X terjadi melalui proses panjang di balik perubahan fungsi yang

sudah lebih dahulu terjadi.4

PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun konsentrasi

oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan indikasi adanya pintas

paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit paru yang tidak terjadi ventilasi.

Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru pasien sudah mengalami bocor di sana-sini,

bentuk yang tidak karuan, serta perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat.4

Setelah dilakukan perawatan hipoksemia, diagnosis selanjutnya ditegakkan dengan

bantuan beberapa alat. Untuk menginvestigasi adanya gagal jantung dapat dipasang kateter

Swan-Ganz, dari sini dapat dilihat bahwa pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) akan

terukur rendah (<18 mmHg) pada ARDS serta meningkat (>20 mmHg) pada gagal jantung.

Jika terdapat emboli paru (keadaan yang menyerupai ARDS) mesti dieksplorasi hingga

pasien stabil sambil mencari sumber trombus yang mungkin terdapat pada pasien, misalnya

dari DVT. Pneumosystis carinii dan infeksi-infeksi paru lainnya patut dijadikan diagnosis

diferensial, terutama pada pasien-pasien imunokompromais.4

Diagnosis Banding

Pneumonia Berat

Pneumonia biasanya disebabkan oleh virus atau bakteria. Sebagian besar episode yang serius

disebabkan oleh bakteria. Biasanya sulit untuk menentukan penyebab spesifik melalui

gambaran klinis atau gambaran foto dada. Dalam program penanggulangan penyakit ISPA,

pneumonia diklasifikasikan sebagai pneumonia sangat berat, pneumonia berat, pneumonia

4

Page 5: makalah 29 anty

dan bukan pneumonia, berdasarkan ada tidaknya tanda bahaya, tarikan dinding dada bagian

bawah ke dalam dan frekuensi napas, dan dengan pengobatan yang spesifik untuk masing-

masing derajat penyakit.

Dalam MTBS/IMCI, anak dengan batuk di”klasifikasi”kan sebagai penyakit sangat berat

(pneumonia berat) dan pasien harus dirawat-inap; pneumonia yang berobat jalan, dan batuk:

bukan pneumonia yang cukup diberi nasihat untuk perawatan di rumah. Derajat keparahan

dalam diagnosis pneumonia dalam buku ini dapat dibagi menjadi pneumonia berat yang harus

di rawat inap dan pneumonia ringan yang bisa rawat jalan.

Tabel 9. Hubungan antara Diagnosis klinis dan Klasifikasi-Pneumonia (MTBS)

DIAGNOSIS (KLINIS) KLASIFIKASI (MTBS)

Pneumonia berat (rawat inap):

- tanpa gejala hipoksemia

- dengan gejala hipoksemia

- dengan komplikasi

Penyakit sangat berat

(Pneumonia berat)

Pneumonia ringan (rawat jalan) Pneumonia

Infeksi respiratorik akut atas Batuk: bukan pneumonia

Etiologi

Beberapa penyebab terjadinya akut respiratori distres sindrom ialah:5

Syok sepsis , hemoragis, kardiogenik dan analfilatik

Trauma ; kontusio pulmonal dan non pulmonal

Infeksi : pneumonia dan tuberculosis

Koagulasi intravaskuler diseminata

Emboli lemak

Aspirasi kandungan lambung yang sangat asam

Menghirup agen beracun, asap dan nitrogen oksida dan atau bahan korosif

Pankreatitis

Toksisitas oksigen

Penyalahgunaan obat-obatan dan narkotika

Epidemiologi

5

Page 6: makalah 29 anty

Estimasi yang akurat tentang insiden ARDS terhalang oleh kurangnya definisi yang

seragam dan heterogenitas penyebab dan manifestasi klinis. Perkiraan awal oleh Institut

Kesehatan Nasional (NIH) di Amerika Serikat adalah 75 per 100.000 populasi. Studi terbaru

melaporkan insiden lebih rendah 1,5-8,3 per 100,000.27-29 Namun, studi epidemiologi

pertama yang menggunakan definisi konsensus tahun 1994 melaporkan kejadian jauh lebih

tinggi di Skandinavia: 17,9 per 100.000 untuk ALI dan 13,5 per 100.000 untuk ARDS.5

Faktor Resiko

Faktor risiko untuk terjadinya ARDS telah diidentifikasi (Tabel 1.2). Sindrom sepsis

tampaknya menjadi faktor resiko paling umum, tetapi secara keseluruhan risiko akan

meningkat secara multifaktor. Transfusi darah merupakan risiko independen faktor. Usia

lanjut dan rokok berhubungan dengan peningkatan risiko ARDS, sementara konsumsi

alkohol tampaknya tidak memiliki pengaruh. Sebuah studi menunjukkan bahwa kematian

akibat ARDS pertahun mengalami penurunan, tetapi pria dan orang kulit hitam memiliki

angka kematian lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan dan groups. ras lainnya.6

Tabel 1.2 Kondisi Klinis yang berkaitan dengan kejadian ARDS

Cedera paru-paru langsung Cedera paru-paru tidak langsung

Pneumonia

Aspirasi gaster

Trauma inhalasi

Tenggelam

Kontusi paru

Emboli lemak

Reperfusi edema paru pasca

transplantasi paru-paru atau

embolectomy paru

Sepsis

Trauma berat

Pankreatitis Akut

Bypass kardiopulmonal

Tranfusi massif

Overdosis obat

Patofisiologi

Ketika kapiler paru dan epitel alveoli mengalami kerusakan, plasma dan darah akan

bocor menuju ke interstisial dan ruang-ruang intraalveolar. Hasilnya, terjadi penumpukan

cairan dan atelektasis pada alveolus. Atelektasis merupakan mekanisme yang mengikuti

upaya paru untuk mengurangi aktivitas surfaktan. Kerusakan ini tidak bersifat homogen dan

hanya mempengaruhi daerah paru yang terkena. Dalam dua sampai tiga hari, terjadi inflamasi

interstisial dan bronkoalveolar serta proliferasi sel-sel interstisial. Kemudian akan terjadi

6

Page 7: makalah 29 anty

akumulasi kolagen secara cepat sehingga berakibat fibrosis interstisial dua hingga tiga

minggu kemudian. Perubahan patologis ini mengakibatkan penurunan komplians paru,

menurunkan kapasitas residual fungsional, ketidakseimbangan ventilasi/perfusi, hipoksemia

hebat, serta hipertensi pulmonal.6

Dalam ARDS, paru-paru akan melalui tiga fase: eksudatif, proliferasi, dan fibrosis,

tetapi tentu saja masing-masing fase dan perkembangan penyakit secara keseluruhan

bervariasi. Pada tahap eksudatif, kerusakan pada epitel alveolar dan endotelium vaskular

mengakibatkankan kebocoran cairan, protein, sel inflamasi dan sel darah merah ke lumen

alveolus dan interstitium. Perubahan ini disebabkan oleh interaksi kompleks dari mediator

pro-inflamasi dan anti-inflamasi.6

Sel alveolar tipe I mengalami kerusakan ireversibel dan ruang yang rusak diisi oleh

protein, fibrin, dan debris sel, dan memproduksi membran hialin, sementara cedera pada sel-

sel penghasil surfaktan tipe II mengakibatkan kolaps alveolar. Pada fase proliferatif, sel tipe

II berproliferasi dengan beberapa regenerasi, reaksi fibroblastik, dan remodeling sel epitel.

Pada beberapa pasien, ini berkembang menjadi fase fibrosis ireversibel melibatkan deposisi

kolagen pada alveolar, vaskular, dan interstisial dengan pengembangan microcysts.6

ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami trauma fisik,

meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat segera sebelum awitan,

misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut. Biasanya terdapat periode laten sekitar 18- 24

jam dari waktu cedera paru. Durasi sindrom dapat dapat beragam dari beberapa hari sampai

beberapa minggu.

Pada ARDS dipikirkan bahwa kaskade inflamasi timbul beberapa jam kemudian yang

berasal dari suatu fokus kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan beragregasi

dan melekat pada sel endotel yang kemudian menyebabkan pelepasan berbagai toksin, radikal

bebas, dan mediator inflamasi seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks

ini dapat diinisiasi oleh berbagai macam keadaan atau penyakit dan hasilnya adalah

kerusakan endotel yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli

menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan banyak mengandung neutrofil

dan sel inflamasi sehingga terbentuk membran hialin.

Penatalaksanaan.7

1. Airway

7

Page 8: makalah 29 anty

Jika dicurigai seseorang dengan trauma inhalasi maka sebelum dikirim ke pusat luka

bakar sebaiknya dilakukan intubasi cepat untuk melindungi jalan nafas sebelum

terjadi pembengkakan wajah dan faring yang biasanya terjadi 24-48 jam setelah

kejadian, dimana jika terjadi edema maka yang diperlukan adalah trakeostomi atau

krikotiroidotomi jika intubasi oral tidak dapat dilakukan.

2. Breathing

Jika didapatkan tanda-tanda insufisiensi pernapasan, susah bernapas, stridor, batuk,

retraksi suara nafas bilateral atau tanda-tanda keracunan CO maka dibutuhkan oksigen

100% atau oksigen tekanan tinggi yang akan menurunkan waktu paruh dari CO dalam

darah.

3. Circulation

Pengukuran tekanan darah dan nadi untuk mengetahui stabilitas hemodinamik. Untuk

mencegah syok hipovolemik diperlukan resusitasi cairan intravena. Pada pasien

dengan trauma inhalasi biasanya dalam 24 jam pertama digunakan cairan kristaloid

40-75% lebih banyak dibandingkan pasien yang hanya luka bakar saja.

4. Neurologik

Pasien yang berespon/sadar membantu untuk mengetahui kemampuan mereka untuk

melindungi jalan nafas dan merupakan indikator yang baik untuk mengukur

kesuksesan resusitasi. Pasien dengan kelainan neurologik seringkali memerlukan

analgetik poten.

5. Luka bakar

Periksa seluruh tubuh untuk mengetahui adanya trauma lain dan luka bakar. Cuci

NaCl kulit yang tidak terbakar untuk menghindari sisa zat toksik yang bermakna.

6. Medikasi

Kortikosteroid : digunakan untuk menekan inflamasi dan menurunkan edema

Antibiotik : Mengobati infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh

Staphylococcus Aureus dan Pseudomonas Aeruginosa pada pasien-pasien

dengan kerusakan paru

Amyl dan Sodium Nitrit untuk mengobati keracunan sianida tetapi harus

berhati-hati jika ditemukan pula tanda-tanda keracunan CO karena obat ini

dapat menyebabkan methahemoglobinemia. Oksigen dan Sodium tiosulfat

juga dapat sebagai antidotum sianida, antidotum yang lain adalah

hidroksikobalamin dan EDTA.

8

Page 9: makalah 29 anty

Bronkodilator untuk pasien-pasien dengan bronkokonstriksi. Pada kasus-kasus

berat bronkodilator digunakan secara intavena.

Pencegahan

Meskipun faktor risiko untuk ARDS telah banyak diketahui, namun tidak ada

tindakan pencegahan yang ditemukan. Manajemen cairan yang tepat pada pasien dengan

risiko tinggi dapat membantu mencegah terjadinya ARDS karena pneumonitis aspirasi

merupakan faktor risiko untuk ARDS. Tindakan yang tepat untuk mencegah aspirasi

(misalnya, mengangkat kepala tempat tidur) juga dapat mencegah beberapa kasus ARDS.2

Prognosis

Survival rate pasien dengan ARDS parah yang mendapatkan perawatan ialah 60%.

Sedangkan jika ARDS dengan hipoksemia hebat tidak dikenali dan ditangani dengan cepat,

hampir 90% pasien akan mengalami cardiac arrest. Pasien yang mendapatkan pengobatan

efektif biasanya tidak mengalami disfungsi kapasitas residual paru, meskipun pasien yang

memerlukan ventilator dalam waktu lama dengan FiO2>50% cenderung akan mengalami

fibrosis paru. Sedangkan pasien-pasien ARDS lainnya lama-kelamaan juga akan mengalami

fibrosis paru.3

Biasanya, pasien mulai pulih dalam waktu dua minggu sejak onset ARDS. Angka

kematian keseluruhan di ARDS sekarang sekitar 32 sampai 45 persen, dibandingkan dengan

53-68 persen pada tahun 1980. Ada kemungkinan bahwa cedera yang disebabkan ventilator

bisa telah menyumbang angka kematian yang tinggi. Pengelolaan agresif terhadap kedaan

klinis, infeksi yang timbul dan dukungan nutrisi juga memainkan peran dalam menurunkan

angka kematian.1

Populasi yang dikaitkan dengan tingkat kematian yang lebih tinggi adalah orang tua,

pasien dengan imunosupresi dan pasien dengan penyakit kronis. Umur kurang dari 55 tahun

dan etiologi trauma diprediksi memberikan outcome lebih menguntungkan. Pada ARDS,

kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan organ multisystem yang progresif daripada

kegagalan pernapasan. Kebanyakan pasien yang membaik dapat menjalani kehidupan yang

cukup normal. Obstruksi ringan sampai moderat, difusi, dan kelainan restriktif dapat

bertahan, dan follow up diperlukan. Uji neuropsychologic dapat menunjukkan defisit yang

signifikan pada pasien yang mengalami hypoxemia. parah dan berlarut-larut.1

Daftar Pustaka

9

Page 10: makalah 29 anty

1. Rajpura A., Inhalation Injury, available at www.burncenter.com, Januari 2011

2. Emily B Nazarian., Inhalation Injury, available at www.emedicine.com, Januari 2011

3. Herold, L Cerny, Inhalation Injury, available at www.ynovaburnandreconstructive

surgery.com, Januari 2011

4. Harman EM. Acute Respiratory Distress Syndrome Overview. Updated: Juli 2011.

Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/165139-overview

5. Ware LB, Matthay MA. The Acute Respiratory Distress Syndrome. N Engl J Med

2000; 342:1334-1349

6. Udobi KF, Touijer K. Acute Respiratory Distress Syndrome. Am Fam Physician.

2003 Januari 15; 67 (2) :315-322.

7. Way, LW., Burn and Other Thermal Injuries, Current Surgical Diagnosis and

Treatment, 11th Edition, McGraw Hill, Boston, 2003

10