makalah 29 anty
DESCRIPTION
eeeeTRANSCRIPT
Sindrom Gangguan Pernapasan AkutJulianti Dewisarty Ranyabar
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat
Pendahuluan
Sindrom gangguan pernapasan akut (Acute respiratory distress syndrome -ARDS)
merupakan manifestasi cedera akut paru-paru, biasanya akibat sepsis, trauma, dan infeksi
paru berat. Secara klinis, hal ini ditandai dengan dyspnea, hipoksemia, fungsi paru-paru yang
menurun, dan infiltrat difus bilateral pada radiografi dada. Oksigenasi yang adekuat,
pengistirahatan paru-paru, dan perawatan suportif adalah dasar-dasar terapi. Pengelolaan
sindrom gangguan pernapasan akut sering membutuhkan intubasi endotrakeal dan ventilasi
mekanik. Pemberian volume tidal yang rendah dan tekanan ventilator yang rendah dianjurkan
untuk menghindari cedera akibat ventilator. Koreksi tepat waktu dari kondisi klinis sangat
penting untuk mencegah cedera lebih lanjut. Percobaan eksperimental menunjukkan
penggunaan berbagai obat-obatan yang diberikan sesuai patofisiologi belum berkhasiat secara
klinis. Komplikasi seperti pneumotoraks, efusi pleura, dan pneumonia fokal harus
diidentifikasi dan segera diobati. Selama dekade terakhir, angka kematian telah menurun dari
lebih dari 50% menjadi 32-45%. Kematian biasanya terjadi akibat kegagalan organ
multisystem daripada kegagalan pernapasan saja.1
1
Pembahasan
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
B1 (breathing)
Inspeksi : Sputum encer, berbusa, frekuensi pernapasan meningkat dengan ventilasi tinggi, dispnea dengan disertai sesak karena retraksi interkostal, timbul sianosis, Penurunan dan tidak seimbangnya ekpansi dada.
Perkusi dada : Dull diatas area konsolidasi. Auskultasi : Didapatkan bunyi napas. crakles (adanya cairan tapi banyak), ronchi (adanya sekret), dan suara nafas bronkhial (bunyi ekspirasi lebih lama dibanding inspirasi). Palpasi dada : Peningkatan fremitus(tremor vibrator pada dada).
B2 (blood)
Auskultasi jantung tidak ditemukan bunyi abnormal kecuali bila ada penyakit jantung atau akibat trauma.
Hipoksemia
Heart rate : takikardi terjadi hipoksemia sehinnga memacu jantung untuk bekerja lebih, hipotensi terjadi pada stadium lanjut (shock) Kulit dan membran mukosa : mungkin pucat, dingin sampai pada Cyanosis biasa terjadi (stadium lanjut)
B3 (brain)
Gejala truma kepala menyebabkan TIK meningkat Penurunan kesadaran karena adanya syok, Pengukuran tingkat kesadaran dengan GCS.
B4 (bladder)
Penurunan volume urine akibat dari akumulasi cairan pada interstisial paru/alveolar.
B5 (bowel)
Bising usus menurun, Retraksi otot-otot abdomen.
B6 (bone)
Perubahan pada jari adanya clubbing neil, respon adanya hipoksemia.pengukuran kekuatan otot kemudian dibandingkan antara ekstremitas kiri dengan kanan.
2
PEMERIKSAAN PENUNJANG1,2,3
1. Laboratorium
Pulse oximetry
Digunakan untuk mengukur saturasi hemoglobin yang meningkat palsu akibat
ikatan CO terhadap hemoglobin sehingga kadar karboksihemoglobin
seringkali diartikan sebagai oksihemaglon
Analisa Gas Darah
Untuk mengukur kadar karboksihemoglobin, keseimbangan asam basa dan
kadar sianida. Sianida dihasilkan dari kebakaran rumah tangga dan biasanya
terjadi peningkatan kadar laktat plasma
Elektrolit
Untuk memonitor abnormalitas elektrolit sebagai hasil dari resusitasi cairan
dalam jumlah besar
Darah lengkap
Hemokonsentrasi akibat kehilangan cairan biasanya terjadi sesaat setelah
trauma. Hematokrit yang menurun secara progresif akibat pemulihan volume
intravaskular. Anemia berat biasanya terjadi akibat hipoksia atau
ketidakseimbangan hemodinamik. Peningkatan sel darah putih untuk melihat
adanya infeksi.
2. Foto Thoraks
Biasanya normal dalam 3-5 hari, gambaran yang dapat muncul sesudahnya termasuk
atelektasis, edema paru, dan ARDS
3. Laringoskopi dan bronkoskopi fiberoptik
Keduanya dapat digunakan sebagai alat diagnostik maupun terapeutik. Pada
bronkoskopi biasanya didapatkan gambaran jelaga, eritema, sputum dengan arang,
petekie, daerah pink sampai abu-abu karena nekrosis, ulserasi, sekresi, mukopurulen.
Bronkoskopi serial berguna untuk menghilangkan debris dan sel-sel nekrotik pada
kasus-kasus paru atau jika suction dan ventilasi tekanan positif tidak cukup memadai.
Gambaran Klinis
ARDS biasanya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal pada
paru. Setelah 72 jam 80% pasienn menunjukkan gejala klinis ARDS yang jelas. Awalnya
3
pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan pernapasan yang cepat
dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda yang khas pada ARDS
ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah diberi oksigen. Sedangkan pada
auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar, serta kadang wheezing. 4
Diagnosis dini dapat ditegakkan jika pasien mengeluhkan dispnea, sebagai gejala
pendahulu ARDS. Diagnosis presumtif dapat ditegakkan dengan pemeriksaan analisa gas
darah serta foto toraks. Analisa ini pada awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO2
sangat rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks biasanya
memperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau batas-
batas jantung, namun siluet jantung biasanya normal. Bagaimanapun, belum tentu kelainan
pada foto toraks dapat menjelaskan perjalanan penyakit sebab perubahan anatomis yang
terlihat pada gambaran sinar X terjadi melalui proses panjang di balik perubahan fungsi yang
sudah lebih dahulu terjadi.4
PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun konsentrasi
oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan indikasi adanya pintas
paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit paru yang tidak terjadi ventilasi.
Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru pasien sudah mengalami bocor di sana-sini,
bentuk yang tidak karuan, serta perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat.4
Setelah dilakukan perawatan hipoksemia, diagnosis selanjutnya ditegakkan dengan
bantuan beberapa alat. Untuk menginvestigasi adanya gagal jantung dapat dipasang kateter
Swan-Ganz, dari sini dapat dilihat bahwa pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) akan
terukur rendah (<18 mmHg) pada ARDS serta meningkat (>20 mmHg) pada gagal jantung.
Jika terdapat emboli paru (keadaan yang menyerupai ARDS) mesti dieksplorasi hingga
pasien stabil sambil mencari sumber trombus yang mungkin terdapat pada pasien, misalnya
dari DVT. Pneumosystis carinii dan infeksi-infeksi paru lainnya patut dijadikan diagnosis
diferensial, terutama pada pasien-pasien imunokompromais.4
Diagnosis Banding
Pneumonia Berat
Pneumonia biasanya disebabkan oleh virus atau bakteria. Sebagian besar episode yang serius
disebabkan oleh bakteria. Biasanya sulit untuk menentukan penyebab spesifik melalui
gambaran klinis atau gambaran foto dada. Dalam program penanggulangan penyakit ISPA,
pneumonia diklasifikasikan sebagai pneumonia sangat berat, pneumonia berat, pneumonia
4
dan bukan pneumonia, berdasarkan ada tidaknya tanda bahaya, tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam dan frekuensi napas, dan dengan pengobatan yang spesifik untuk masing-
masing derajat penyakit.
Dalam MTBS/IMCI, anak dengan batuk di”klasifikasi”kan sebagai penyakit sangat berat
(pneumonia berat) dan pasien harus dirawat-inap; pneumonia yang berobat jalan, dan batuk:
bukan pneumonia yang cukup diberi nasihat untuk perawatan di rumah. Derajat keparahan
dalam diagnosis pneumonia dalam buku ini dapat dibagi menjadi pneumonia berat yang harus
di rawat inap dan pneumonia ringan yang bisa rawat jalan.
Tabel 9. Hubungan antara Diagnosis klinis dan Klasifikasi-Pneumonia (MTBS)
DIAGNOSIS (KLINIS) KLASIFIKASI (MTBS)
Pneumonia berat (rawat inap):
- tanpa gejala hipoksemia
- dengan gejala hipoksemia
- dengan komplikasi
Penyakit sangat berat
(Pneumonia berat)
Pneumonia ringan (rawat jalan) Pneumonia
Infeksi respiratorik akut atas Batuk: bukan pneumonia
Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya akut respiratori distres sindrom ialah:5
Syok sepsis , hemoragis, kardiogenik dan analfilatik
Trauma ; kontusio pulmonal dan non pulmonal
Infeksi : pneumonia dan tuberculosis
Koagulasi intravaskuler diseminata
Emboli lemak
Aspirasi kandungan lambung yang sangat asam
Menghirup agen beracun, asap dan nitrogen oksida dan atau bahan korosif
Pankreatitis
Toksisitas oksigen
Penyalahgunaan obat-obatan dan narkotika
Epidemiologi
5
Estimasi yang akurat tentang insiden ARDS terhalang oleh kurangnya definisi yang
seragam dan heterogenitas penyebab dan manifestasi klinis. Perkiraan awal oleh Institut
Kesehatan Nasional (NIH) di Amerika Serikat adalah 75 per 100.000 populasi. Studi terbaru
melaporkan insiden lebih rendah 1,5-8,3 per 100,000.27-29 Namun, studi epidemiologi
pertama yang menggunakan definisi konsensus tahun 1994 melaporkan kejadian jauh lebih
tinggi di Skandinavia: 17,9 per 100.000 untuk ALI dan 13,5 per 100.000 untuk ARDS.5
Faktor Resiko
Faktor risiko untuk terjadinya ARDS telah diidentifikasi (Tabel 1.2). Sindrom sepsis
tampaknya menjadi faktor resiko paling umum, tetapi secara keseluruhan risiko akan
meningkat secara multifaktor. Transfusi darah merupakan risiko independen faktor. Usia
lanjut dan rokok berhubungan dengan peningkatan risiko ARDS, sementara konsumsi
alkohol tampaknya tidak memiliki pengaruh. Sebuah studi menunjukkan bahwa kematian
akibat ARDS pertahun mengalami penurunan, tetapi pria dan orang kulit hitam memiliki
angka kematian lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan dan groups. ras lainnya.6
Tabel 1.2 Kondisi Klinis yang berkaitan dengan kejadian ARDS
Cedera paru-paru langsung Cedera paru-paru tidak langsung
Pneumonia
Aspirasi gaster
Trauma inhalasi
Tenggelam
Kontusi paru
Emboli lemak
Reperfusi edema paru pasca
transplantasi paru-paru atau
embolectomy paru
Sepsis
Trauma berat
Pankreatitis Akut
Bypass kardiopulmonal
Tranfusi massif
Overdosis obat
Patofisiologi
Ketika kapiler paru dan epitel alveoli mengalami kerusakan, plasma dan darah akan
bocor menuju ke interstisial dan ruang-ruang intraalveolar. Hasilnya, terjadi penumpukan
cairan dan atelektasis pada alveolus. Atelektasis merupakan mekanisme yang mengikuti
upaya paru untuk mengurangi aktivitas surfaktan. Kerusakan ini tidak bersifat homogen dan
hanya mempengaruhi daerah paru yang terkena. Dalam dua sampai tiga hari, terjadi inflamasi
interstisial dan bronkoalveolar serta proliferasi sel-sel interstisial. Kemudian akan terjadi
6
akumulasi kolagen secara cepat sehingga berakibat fibrosis interstisial dua hingga tiga
minggu kemudian. Perubahan patologis ini mengakibatkan penurunan komplians paru,
menurunkan kapasitas residual fungsional, ketidakseimbangan ventilasi/perfusi, hipoksemia
hebat, serta hipertensi pulmonal.6
Dalam ARDS, paru-paru akan melalui tiga fase: eksudatif, proliferasi, dan fibrosis,
tetapi tentu saja masing-masing fase dan perkembangan penyakit secara keseluruhan
bervariasi. Pada tahap eksudatif, kerusakan pada epitel alveolar dan endotelium vaskular
mengakibatkankan kebocoran cairan, protein, sel inflamasi dan sel darah merah ke lumen
alveolus dan interstitium. Perubahan ini disebabkan oleh interaksi kompleks dari mediator
pro-inflamasi dan anti-inflamasi.6
Sel alveolar tipe I mengalami kerusakan ireversibel dan ruang yang rusak diisi oleh
protein, fibrin, dan debris sel, dan memproduksi membran hialin, sementara cedera pada sel-
sel penghasil surfaktan tipe II mengakibatkan kolaps alveolar. Pada fase proliferatif, sel tipe
II berproliferasi dengan beberapa regenerasi, reaksi fibroblastik, dan remodeling sel epitel.
Pada beberapa pasien, ini berkembang menjadi fase fibrosis ireversibel melibatkan deposisi
kolagen pada alveolar, vaskular, dan interstisial dengan pengembangan microcysts.6
ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami trauma fisik,
meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat segera sebelum awitan,
misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut. Biasanya terdapat periode laten sekitar 18- 24
jam dari waktu cedera paru. Durasi sindrom dapat dapat beragam dari beberapa hari sampai
beberapa minggu.
Pada ARDS dipikirkan bahwa kaskade inflamasi timbul beberapa jam kemudian yang
berasal dari suatu fokus kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan beragregasi
dan melekat pada sel endotel yang kemudian menyebabkan pelepasan berbagai toksin, radikal
bebas, dan mediator inflamasi seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks
ini dapat diinisiasi oleh berbagai macam keadaan atau penyakit dan hasilnya adalah
kerusakan endotel yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli
menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan banyak mengandung neutrofil
dan sel inflamasi sehingga terbentuk membran hialin.
Penatalaksanaan.7
1. Airway
7
Jika dicurigai seseorang dengan trauma inhalasi maka sebelum dikirim ke pusat luka
bakar sebaiknya dilakukan intubasi cepat untuk melindungi jalan nafas sebelum
terjadi pembengkakan wajah dan faring yang biasanya terjadi 24-48 jam setelah
kejadian, dimana jika terjadi edema maka yang diperlukan adalah trakeostomi atau
krikotiroidotomi jika intubasi oral tidak dapat dilakukan.
2. Breathing
Jika didapatkan tanda-tanda insufisiensi pernapasan, susah bernapas, stridor, batuk,
retraksi suara nafas bilateral atau tanda-tanda keracunan CO maka dibutuhkan oksigen
100% atau oksigen tekanan tinggi yang akan menurunkan waktu paruh dari CO dalam
darah.
3. Circulation
Pengukuran tekanan darah dan nadi untuk mengetahui stabilitas hemodinamik. Untuk
mencegah syok hipovolemik diperlukan resusitasi cairan intravena. Pada pasien
dengan trauma inhalasi biasanya dalam 24 jam pertama digunakan cairan kristaloid
40-75% lebih banyak dibandingkan pasien yang hanya luka bakar saja.
4. Neurologik
Pasien yang berespon/sadar membantu untuk mengetahui kemampuan mereka untuk
melindungi jalan nafas dan merupakan indikator yang baik untuk mengukur
kesuksesan resusitasi. Pasien dengan kelainan neurologik seringkali memerlukan
analgetik poten.
5. Luka bakar
Periksa seluruh tubuh untuk mengetahui adanya trauma lain dan luka bakar. Cuci
NaCl kulit yang tidak terbakar untuk menghindari sisa zat toksik yang bermakna.
6. Medikasi
Kortikosteroid : digunakan untuk menekan inflamasi dan menurunkan edema
Antibiotik : Mengobati infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh
Staphylococcus Aureus dan Pseudomonas Aeruginosa pada pasien-pasien
dengan kerusakan paru
Amyl dan Sodium Nitrit untuk mengobati keracunan sianida tetapi harus
berhati-hati jika ditemukan pula tanda-tanda keracunan CO karena obat ini
dapat menyebabkan methahemoglobinemia. Oksigen dan Sodium tiosulfat
juga dapat sebagai antidotum sianida, antidotum yang lain adalah
hidroksikobalamin dan EDTA.
8
Bronkodilator untuk pasien-pasien dengan bronkokonstriksi. Pada kasus-kasus
berat bronkodilator digunakan secara intavena.
Pencegahan
Meskipun faktor risiko untuk ARDS telah banyak diketahui, namun tidak ada
tindakan pencegahan yang ditemukan. Manajemen cairan yang tepat pada pasien dengan
risiko tinggi dapat membantu mencegah terjadinya ARDS karena pneumonitis aspirasi
merupakan faktor risiko untuk ARDS. Tindakan yang tepat untuk mencegah aspirasi
(misalnya, mengangkat kepala tempat tidur) juga dapat mencegah beberapa kasus ARDS.2
Prognosis
Survival rate pasien dengan ARDS parah yang mendapatkan perawatan ialah 60%.
Sedangkan jika ARDS dengan hipoksemia hebat tidak dikenali dan ditangani dengan cepat,
hampir 90% pasien akan mengalami cardiac arrest. Pasien yang mendapatkan pengobatan
efektif biasanya tidak mengalami disfungsi kapasitas residual paru, meskipun pasien yang
memerlukan ventilator dalam waktu lama dengan FiO2>50% cenderung akan mengalami
fibrosis paru. Sedangkan pasien-pasien ARDS lainnya lama-kelamaan juga akan mengalami
fibrosis paru.3
Biasanya, pasien mulai pulih dalam waktu dua minggu sejak onset ARDS. Angka
kematian keseluruhan di ARDS sekarang sekitar 32 sampai 45 persen, dibandingkan dengan
53-68 persen pada tahun 1980. Ada kemungkinan bahwa cedera yang disebabkan ventilator
bisa telah menyumbang angka kematian yang tinggi. Pengelolaan agresif terhadap kedaan
klinis, infeksi yang timbul dan dukungan nutrisi juga memainkan peran dalam menurunkan
angka kematian.1
Populasi yang dikaitkan dengan tingkat kematian yang lebih tinggi adalah orang tua,
pasien dengan imunosupresi dan pasien dengan penyakit kronis. Umur kurang dari 55 tahun
dan etiologi trauma diprediksi memberikan outcome lebih menguntungkan. Pada ARDS,
kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan organ multisystem yang progresif daripada
kegagalan pernapasan. Kebanyakan pasien yang membaik dapat menjalani kehidupan yang
cukup normal. Obstruksi ringan sampai moderat, difusi, dan kelainan restriktif dapat
bertahan, dan follow up diperlukan. Uji neuropsychologic dapat menunjukkan defisit yang
signifikan pada pasien yang mengalami hypoxemia. parah dan berlarut-larut.1
Daftar Pustaka
9
1. Rajpura A., Inhalation Injury, available at www.burncenter.com, Januari 2011
2. Emily B Nazarian., Inhalation Injury, available at www.emedicine.com, Januari 2011
3. Herold, L Cerny, Inhalation Injury, available at www.ynovaburnandreconstructive
surgery.com, Januari 2011
4. Harman EM. Acute Respiratory Distress Syndrome Overview. Updated: Juli 2011.
Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/165139-overview
5. Ware LB, Matthay MA. The Acute Respiratory Distress Syndrome. N Engl J Med
2000; 342:1334-1349
6. Udobi KF, Touijer K. Acute Respiratory Distress Syndrome. Am Fam Physician.
2003 Januari 15; 67 (2) :315-322.
7. Way, LW., Burn and Other Thermal Injuries, Current Surgical Diagnosis and
Treatment, 11th Edition, McGraw Hill, Boston, 2003
10