lp striktura uretra
DESCRIPTION
keperawatanTRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN STRIKTURA URETRA
A. Definisi
Uretra merupakan bagian terpenting dari saluran kemih. Pada pria dan wanita,
uretra mempunyai fungsi utama untuk mengalirkan urin keluar dari tubuh. Saluran uretra
juga penting dalam proses ejakulasi semen dari saluran reproduksi pria. Uretra pria
berbentuk pipa yang menyerupai alat penyiram bunga.
Pada striktur uretra terjadi penyempitan dari lumen uretra akibat terbentuknya
jaringan fibrotik pada dinding uretra. Striktur uretra menyebabkan gangguan dalam
berkemih, mulai dari aliran berkemih yang mengecil sampai sama sekali tidak dapat
mengalirkan urin keluar dari tubuh. Urin yang tidak dapat keluar dari tubuh dapat
menyebabkan banyak komplikasi, dengan komplikasi terberat adalah gagal ginjal.
Dapat disimpulkan bahwa Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena
fibrosis pada dindingnya.
B. Epidemiologi
Striktur uretra masih merupakan masalah yang sering ditemukan pada bagian
duniatertentu. Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita, karena uretra
pada wanitalebih pendek dan jarang terkena infeksi. Segala sesuatu yang melukai uretra
dapat menyebabkanstriktur. Orang dapat terlahir dengan striktur uretra, meskipun hal itu
jarang terjadi.
C. Etiologi
Striktur uretra dapat terjadi pada :
1. Kelainan Kongenital, misalnya kongenital meatus stenosis, klep uretra posterior
2. Operasi rekonstruksi dari kelainan kongenital seperti hipospadia, epispadia
3. Trauma, misalnya fraktur tulang pelvis yang mengenai uretra pars membranasea;
trauma tumpul pada selangkangan (straddle injuries) yang mengenai uretra pars
bulbosa, dapat terjadi pada anak yang naik sepeda dan kakinya terpeleset dari pedal
sepeda sehingga jatuh dengan uretra pada bingkai sepeda pria; trauma langsung pada
penis; instrumentasi transuretra yang kurang hati-hati (iatrogenik) seperti
pemasangan kateter yang kasar, fiksasi kateter yang salah.
4. Post operasi, beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan striktur
uretra, seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi.
5. Infeksi, merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur uretra, seperti
infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan uretritis gonorrhoika atau non
gonorrhoika telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya namun sekarang
sudah jarang akibat pemakaian antibiotik, kebanyakan striktur ini terletak di pars
membranasea, walaupun juga terdapat pada tempat lain; infeksi chlamidia sekarang
merupakan penyebab utama tapi dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
individu yang terinfeksi atau menggunakan kondom.
D. Patofisiologi
Struktur uretra terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan
mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli, ureter dan ginjal.
Mukosanya terdiri dari epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium eksterna
epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosanya terdiri dari lapisan erektil vaskular.
Apabila terjadi perlukaan pada uretra, maka akan terjadi penyembuhan cara epimorfosis,
artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan lain (jaringan ikat) yang tidak sama
dengan semula. Jaringan ikat ini menyebabkan hilangnya elastisitas dan memperkecil
lumen uretra, sehingga terjadi striktur uretra.
Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu derajat:
1. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra
2. Sedang: jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra
3. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra
Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus
spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.
E. Manifestasi Klinis
1. Pancaran air kencing lemah.
2. Pancaran air kencing bercabang. Pada pemeriksaan sangat penting untuk ditanyakan
bagaimana pancaran urin. Normalnya, pancaran urin jauh dan diameternya besar,
tetapi kalau terjadi penyempitan karena striktur, maka pancarannya akan jadi
turbulen.
3. Frekuensi. Disebut frekuensi apabila kencing lebih sering dari normal, yaitu lebih
dari tujuh kali. Apabila sering kencing di malam hari disebut nocturia. Dikatakan
nocturi apabila di malam hari, kencing lebih dari satu kali, dan keinginan kecingnya
itu sampai membangunkannya dari tidur sehingga mengganggu tidurnya.
4. Overflow incontience (inkontinensia paradoxa). Terjadi karena meningkatnya
tekanan di vesica akibat penumpukan urin yang terus menerus. Tekanan di vesika
lebih tinggi daripada tekanan di uretra. Akibatnya urin tidak terkontrol dan dapat
keluar sendiri. Jadi di sini terlihat adanya perbedaan antara overflow inkontinensia
dengan flow inkontinensia. Pada flow incontinensia, misalnya akibat paralisis
musculus spshincter uretra, urin keluar tanpa adanya keinginan untuk kencing. Kalau
pada overflow inkontinensia, pasien merasa ingin kencing (karena vesicanya penuh),
namun urin keluar tanpa bisa dikontrol. Itulah sebabnya disebut inkontinensia
paradoxal.
5. Dysuria dan hematuria.
6. Keadaan umum pasien buruk jika lama akibat adanya perubahan pada faal ginjal :
infeksi, striktur, refluks, hidroureter, hidronefrosis, faal ginjal turun.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium :
a. Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi
b. Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal
2. Uroflowmetri : Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan
pancaran urin. Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan
lamanya proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik
dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal
menandakan ada obstruksi.
3. Radiologi : Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak
penyempitan dan besarnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap
mengenai panjang striktur adalah dengan membuat foto bipolar sistouretrografi
dengan cara memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara
retrograd dari uretra. Dengan pemeriksaan ini panjang striktur dapat diketahui
sehingga penting untuk perencanaan terapi atau operasi.
4. Instrumentasi. Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan
memasukkan kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba dengan kateter
dengan ukuran yang lebih kecil sampai dapat masuk ke buli-buli. Apabila dengan
kateter ukuran kecil dapat masuk menandakan adanya penyempitan lumen uretra.
5. Uretroskopi. Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra. Jika
diketemukan adanya striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu
memotong jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse.
G. Penatalaksanaan Medis
Striktur uretra tidak dapat dihilangkan dengan jenis obat-obatan apapun. Pasien
yang datang dengan retensi urin, secepatnya dilakukan sistostomi suprapubik untuk
mengeluarkan urin, jika dijumpai abses periuretra dilakukan insisi dan pemberian
antibiotika. Pengobatan striktur uretra banyak pilihan dan bervariasi tergantung panjang
dan lokasi dari striktur, serta derajat penyempitan lumen uretra.
Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur uretra adalah:
1. Bougie (Dilatasi)
Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien dan periksa
adanya glukosa dan protein dalam urin. Tersedia beberapa jenis bougie (Gbr.4F).
Bougie bengkok merupakan satu batang logam yang ditekuk sesuai dengan
kelengkungan uretra pria; bougie lurus, yang juga terbuat dari logam, mempunyai
ujung yang tumpul dan umumnya hanya sedikit melengkung; bougie filiformis
mempunyai diameter yang lebih kecil dan terbuat dari bahan yang lebih lunak.
Berikan sedatif ringan sebelum memulai prosedur dan mulailah pengobatan
dengan antibiotik, yang diteruskan selama 3 hari. Bersihkan glans penis dan meatus
uretra dengan cermat dan persiapkan kulit dengan antiseptik yang lembut. Masukkan
gel lidokain ke dalam uretra dan dipertahankan selama 5 menit. Tutupi pasien dengan
sebuah duk lubang untuk mengisolasi penis.
Apabila striktur sangat tidak teratur, mulailah dengan memasukkan sebuah
bougie filiformis; biarkan bougie di dalam uretra dan teruskan memasukkan bougie
filiformis lain sampai bougie dapat melewati striktur tersebut (Gbr.3A-D). Kemudian
lanjutkan dengan dilatasi menggunakan bougie lurus (Gbr.3E).
Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie bengkok atau
lurus ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan ukurannya. Dilatasi dengan
bougie logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang kasar tambah akan
merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada akhirnya menimbulkan
striktur lagi yang lebih berat. Karena itu, setiap dokter yang bertugas di pusat
kesehatan yang terpencil harus dilatih dengan baik untuk memasukkan bougie.
Penyulit dapat mencakup trauma dengan perdarahan dan bahkan dengan
pembentukan jalan yang salah (false passage). Perkecil kemungkinan terjadinya
bakteremi, septikemi, dan syok septic dengan tindakan asepsis dan dengan
penggunaan antibiotik.
Gambar 3. Dilatasi Uretra dengan Bougie
Gambar 3. Dilatasi uretra pada pasien pria. Melakukan dilatasi pada striktur tidak
teratur dengan menggunakan bougie filiformis (A,B); begitu bougie filiformis
berjalan melewati striktur (C,D), dilatasi progresif dapat dimulai (E).
Gambar 4. Dilatasi uretra pada pasien pria (lanjutan). Bougie lurus dan bougie
bengkok (F); dilatasi strikur anterior dengan sebuah bougie lurus (G); dilatasi dengan
sebuah bougie bengkok (H-J).
2. Uretrotomi Interna
Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang memotong
jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau Sachse, laser atau
elektrokoter.
Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur uretra anterior terutama bagian distal
dari pendulans uretra dan fossa navicularis, otis uretrotomi juga dilakukan pada
wanita dengan striktur uretra.
Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse adalah striktur
uretra anterior atau posterior masih ada lumen walaupun kecil dan panjang tidak
lebih dari 2 cm serta tidak ada fistel, kateter dipasang selama 2-3 hari pasca tindakan.
Setelah pasien dipulangkan, pasien harus kontrol tiap minggu selama 1 bulan
kemudian 2 minggu sekali selama 6 bulan dan tiap 6 bulan sekali seumur hidup. Pada
waktu kontrol dilakukan pemeriksaan uroflowmetri, bila pancaran urinnya < 10
ml/det dilakukan bouginasi.
3. Uretrotomi Eksterna
Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis kemudian
dilakukan anastomosis end-to-end di antara jaringan uretra yang masih sehat, cara ini
tidak dapat dilakukan bila daerah strikur lebih dari 1 cm.
Cara Johansson; dilakukan bila daerah striktur panjang dan banyak jaringan
fibrotik.
Stadium I, daerah striktur disayat longitudinal dengan menyertakan sedikit
jaringan sehat di proksimal dan distalnya, lalu jaringan fibrotik dieksisi. Mukosa
uretra dijahit ke penis pendulans dan dipasang kateter selama 5-7 hari.
Stadium II, beberapa bulan kemudian bila daerah striktur telah melunak,
dilakukan pembuatan uretra baru.
Uretroplasty dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari
2 cm atau dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif striktur pasca Uretrotomi
Sachse. Operasi uretroplasty ini bermacam-macam, pada umumnya setelah daerah
striktur di eksisi, uretra diganti dengan kulit preputium atau kulit penis dan dengan
free graft atau pedikel graft yaitu dibuat tabung uretra baru dari kulit preputium/kulit
penis dengan menyertakan pembuluh darahnya.
H. Komplikasi
1. Trabekulasi, Sakulasi dan Divertikel
Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat, maka otot
kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada suatu saat kemudian
akan melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-buli mula-mula akan menebal terjadi
trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada fase dekompensasi timbul sakulasi
dan divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan divertikel adalah penonjolan mukosa
buli pada sakulasi masih di dalam otot buli sedangkan divertikel menonjol di luar
buli-buli, jadi divertikel buli-buli adalah tonjolan mukosa keluar buli-buli tanpa
dinding otot.
2. Residu Urine
Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat tidak
timbul residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu. Residu adalah
keadaan dimana setelah kencing masih ada urine dalam kandung kencing. Dalam
keadaan normal residu ini tidak ada.
3. Refluks Vesiko Ureteral
Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine dikeluarkan buli-buli
melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan intravesika yang meninggi
maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urine dari buli-buli akan masuk
kembali ke ureter bahkan sampai ginjal.
4. Infeksi Saluran Kemih dan Gagal Ginjal
Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu cara tubuh
mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan setiap saat
mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam keadaan dekompensasi maka
akan timbul residu, akibatnya maka buli-buli mudah terkena infeksi.
Adanya kuman yang berkembang biak di buli-buli dan timbul refluks, maka akan
timbul pyelonefritis akut maupun kronik yang akhirnya timbul gagal ginjal dengan
segala akibatnya.
5. Infiltrat Urine, Abses dan Fistulasi
Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi maka bisa
timbul inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal dari striktur. Urine yang
terinfeksi keluar dari buli-buli atau uretra menyebabkan timbulnya infiltrat urine,
kalau tidak diobati infiltrat urine akan timbul abses, abses pecah timbul fistula di
supra pubis atau uretra proksimal dari striktur.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN STRIKTURA URETRA
A. Pengkajian
Pengkajian terhadap pasien dengan gangguan urologi meliputi pengumpulan data
dan analisa data. Dalam pengumpulan data, sumber data pasien diperoleh dari diri pasien
sendiri, keluarga, perawat, dokter ataupun dari catatan medis.
1. Pengumpulan data meliputi : Biodata pasien dan penanggung jawab pasien. Biodata
pasien terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status, agama,
alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, dan diagnosa medik.
2. Biodata penanggung jawab meliputi : umur, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan
hubungan keluarga.
3. Keluhan utama merupakan keluhan pasien pada saat dikaji, pasien yang mengatakan
tidak dapat BAK seperti biasa dan merasakan nyeri pada daerah post op striktur
uretra (cystostomi). Riwayat kesehatan masa lalu/lampau akan memberikan
informasi-informasi tentang kesehatan atau penyakit masa lalu yang pernah diderita
pada masa lalu.
4. Pemeriksaan fisik : Dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi
terhadap bagian sistem tubuh, makan akan ditemukan hal-hal sebagai berikut :
Keadaan umum Pada pasien post op striktur uretra perlu dilihat dalam hal : keadaan
umumnya meliputi penampilan, kesadaran, gaya bicara. Pada post op striktur uretra
mengalami gangguan pola eliminasi BAK sehingga dilakukan pemasangan kateter
tetap.
5. Sistem pernafasan : Perlu dikaji mulai dari bentuk hidung, ada tidaknya sakit pada
lubang hidung, pergerakan cuping hidung pada waktu bernafas, kesimetrisan gerakan
dada pada saat bernafas, auskultasi bunyi nafas dan gangguan pernafasan yang
timbul. Apakah bersih atau ada ronchi, serta frekuensi nafas. hal ini penting karena
imobilisasi berpengaruh pada pengembangan paru dan mobilisasi secret pada jalan
nafas.
6. Sistem kardiovaskuler : Mulai dikaji warna konjungtiva, warna bibir, ada tidaknya
peninggian vena jugularis dengan auskultasi dapat dikaji bunyi jantung pada dada
dan pengukuran tekanan darah dengan palpasi dapat dihitung frekuensi denyut nadi.
7. Sistem pencernaan : Yang dikaji meliputi keadaan gigi, bibir, lidah, nafsu makan,
peristaltik usus, dan BAB. Tujuan pengkajian ini untuk mengetahui secara dini
penyimpangan pada sistem ini. Sistem genitourinaria Dapat dikaji dari ada tidaknya
pembengkakan dan nyeri pada daerah pinggang, observasi dan palpasi pada daerah
abdomen bawah untuk mengetahui adanya retensi urine dan kaji tentang keadaan
alat-alat genitourinaria bagian luar mengenai bentuknya ada tidaknya nyeri tekan dan
benjolan serta bagaimana pengeluaran urinenya, lancar atau ada nyeri waktu miksi,
serta bagaimana warna urine.
8. Sistem muskuloskeletal : Yang perlu dikaji pada sistem ini adalah derajat Range of
Motion dari pergerakan sendi mulai dari kepala sampai anggota gerak bawah,
ketidaknyamanan atau nyeri yang dilaporkan pasien waktu bergerak, toleransi pasien
waktu bergerak dan observasi adanya luka pada otot harus dikaji juga, karena pasien
imobilitas biasanya tonus dan kekuatan ototnya menurun.
9. Sistem integumen : Yang perlu dikaji adalah keadaan kulitnya, rambut dan kuku,
pemeriksaan kulit meliputi : tekstur, kelembaban, turgor, warna dan fungsi perabaan.
10. Sistem neurosensori : Sisten neurosensori yang dikaji adalah fungsi serebral, fungsi
saraf cranial, fungsi sensori serta fungsi refleks.
11. Pola aktivitas sehari-hari : Pola aktivitas sehari-hari pada pasien yang mengalami
post op striktur uretra meliputi frekuensi makan, jenis makanan, porsi makan, jenis
dan kuantitas minum dan eliminasi yang meliputi BAB (Frekuensi, warna,
konsistensi) serta BAK (frekuensi, banyaknya urine yang keluar setiap hari dan
warna urine). Personal hygiene (frekuensi mandi, mencuci rambut, gosok gigi, ganti
pakaian, menyisir rambut dan menggunting kuku). Olahraga (frekuensi dan jenis)
serta rekreasi (frekuensi dan tempat rekreasi).
12. Data psikososial :Pengkajian yang dilakukan pada pasien imobilisasi pada dasarnya
sama dengan pengkajian psikososial pada gangguan sistem lain yaitu mengenai
konsep diri (gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri, dan identitas diri) dan
hubungan interaksi pasien baik dengan anggota keluarganya maupun dengan
lingkungan dimana ia berada. Pada pasien dengan post op striktur uretra dan
imobilisasi adanya perubahan pada konsep diri secara perlahan-lahan yang mana
dapat dikenali melalui observasi terhadap adanya perubahan yang kurang wajar dan
status emosional perubahan tingkah laku, menurunnya kemampuan dalam
pemecahan masalah dan perubahan status tidur. Data spiritual Pasien dengan post op
striktur uretra perlu dikaji tentang agama dan kepribadiannya, keyakinan : harapan
serta semangat yang terkandung dalam diri pasien yang merupakan aspek penting
untuk kesembuhan penyakitnya.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien striktur uretra post op adalah sebagai berikut :
1. Gangguan pola eliminasi BAK berhubungan dengan post op cystostomi.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan post op cystostomi.
3. Resiko volume cairan berlebih berhubungan dengan larutan irigasi kandung kemih
diabsorbsi.
4. Resiko infeksi, hemoragi berhubungan dengan pembedahan.
5. Inkontinen, stress atau mendesak berhubungan dengan pengangkatan kateter setelah
bedah.
C. Nursing Care Plan
1. Gangguan pola eliminasi BAK berhubungan dengan post op cystostomi.
Tujuan : Tidak terjadi gangguan pola eliminasi BAK
Intervensi keperawatan :
a. Pemantauan output urine dan karateristik.
Rasional : Mendeteksi gangguan pola eliminasi BAK secara dini.
b. Mempertahankan irigasi kemih yang konstan selama 24 jam.
Rasional : Mencegah bekuan darah menyumbat aliran urine.
c. Mempertahankan kepatenan dauer kateter dengan irigasi.
Rasional : Mencegah bekuan darah menyumbat kateter.
d. Mengusahakan intake cairan (2500 – 3000).
Rasional : Melancarkan aliran urine.
e. Setelah kateter diangkat, terus memantau gejala-gejala gangguan pola eliminasi
BAK
Rasional : Mendeteksi dini gangguan pola eliminasi BAK.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan post op cystostomi.
Tujuan : Pasien mengatakan perasaannya lebih nyaman.
Intervensi keperawatan :
a. Penyuluhan kepada pasien agar tidak berkemih ke seputar kateter.
Rasional : Mengurangi kemungkinan spasmus.
b. Pemantauan pasien pada interval yang teratur selama 24 jam, untuk mengenal
gejala-gejala dini spasmus kandung kemih.
Rasional : Menentukan terdapatnya spasmus kandung kemih sehingga obat-
obatan bisa diberikan.
c. Memberikan obat-obatan yang dipesankan (analgetik, antispasmodik).
Rasional : Gejala menghilang.
d. Katakan pada pasien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang dalam 24
jam sampai 28 jam.
Rasional : Memberitahu pasien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
3. Resiko volume cairan berlebihan berhubungan dengan larutan irigasi kandung kemih
diabsorbsi.
Tujuan : Gejala – gejala dini intoksikasi air secara dini dikenal.
Intervensi Keperawatan :
a. Pemantauan pasien mengenai gejala-gejala keracunan air dalam 24 jam pertama :
bingung, agitasi, kulit hangat, lembab, anoreksia, mual dan muntah.
Rasional : Deteksi dini kemungkinan pengobatan dini.
4. Resiko infeksi, hemoragi dengan pembedahan.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi, perdarahan minim.
Intervensi Keperawatan :
a. Pemantauan tanda-tanda vital, melaporkan gejala-gejala shock dan demam.
Rasional : Mencegah sebelum terjadi shock.
b. Pemantauan warna urine darah merah segar bukan merah tua beberapa jam
setelah bedah baru.
Rasional : Warna urine berubah dari merah segar menjadi merah tua pada hari ke
2 dan ke 3 setelah operasi.
c. Penyuluhan kepada pasien agar mencegah manuver valsava.
Rasional : Dapat mengiritasi, perdarahan prostat pada periode dini pasca bedah
akibat tekanan.
d. Mencegah pemakaian termometer rectal, pemeriksaan rectal atau huknah
sekurang-kurangnya 1 minggu.
Rasional : Dapat menimbulkan perdarahan.
e. Mempertahankan teknik aseptik dari sistem drainase urine, irigasi bila perlu saja.
Rasional : Meminimalkan resiko masuknya kuman yang bisa menyebabkan
infeksi.
f. Mengusahakan intake yang banyak.
Rasional : Dapat menurunkan resiko infeksi.
5. Inkontinen, stress atau mendesak berhubungan dengan pengangkatan kateter setelah
bedah.
Tujuan : Pasien dapat mengendalikan berkemih.
Intervensi Keperawatan :
a. Pengkajian terjadi tetesan urine setelah kateter diangkat.
Rasional : Mendeteksi kontinen.
b. Katakan kepada pasien bahwa itu biasa dan kontinen akan pulih.
Rasional : Pasien harus dibesarkan harapannya bahwa ia itu normal.
c. Penyuluhan latihan-latihan perineal.
Rasional : Bantuan untuk mengendalikan kandung kemih.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta.
Media Aesculaipius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran, Edisi Ke 3, Jilid 2. Jakarta.
Suddarth & Brunner. 2001. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 2. EGC: Jakarta.
Susanto H. Fitri. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Widya Medika : Jakarta.
Rochani. Striktur Urethra, dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Binarupa Aksara, Jakarta, 2001.
Purnomo Basuki B. Striktura uretra, dalam: Dasar-dasar UROLOGI. Ed 2. CV. Sagung,
Jakarta, 2003.
Purwadianto A, Sampurna B. Retensi Urin, dalam: Kedaruratan Medik,“Pedoman
Penatalaksanaan Praktis”. Ed Revisi. Binarupa Aksara, Jakarta, 2000.
Urethral Stricture, Disease http://www.urologyhealth.org/urethralstricturedisease.