lp striktura uretra

20
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN STRIKTURA URETRA A. Definisi Uretra merupakan bagian terpenting dari saluran kemih. Pada pria dan wanita, uretra mempunyai fungsi utama untuk mengalirkan urin keluar dari tubuh. Saluran uretra juga penting dalam proses ejakulasi semen dari saluran reproduksi pria. Uretra pria berbentuk pipa yang menyerupai alat penyiram bunga. Pada striktur uretra terjadi penyempitan dari lumen uretra akibat terbentuknya jaringan fibrotik pada dinding uretra. Striktur uretra menyebabkan gangguan dalam berkemih, mulai dari aliran berkemih yang mengecil sampai sama sekali tidak dapat mengalirkan urin keluar dari tubuh. Urin yang tidak dapat keluar dari tubuh dapat menyebabkan banyak komplikasi, dengan komplikasi terberat adalah gagal ginjal. Dapat disimpulkan bahwa Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada dindingnya. B. Epidemiologi Striktur uretra masih merupakan masalah yang sering ditemukan pada bagian duniatertentu. Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita, karena uretra pada wanitalebih pendek dan jarang terkena infeksi. Segala sesuatu yang melukai uretra dapat menyebabkanstriktur.

Upload: harevcuutyiezz-cndyiez-zzaenxzeunx

Post on 28-Dec-2015

116 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

keperawatan

TRANSCRIPT

Page 1: Lp Striktura Uretra

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN STRIKTURA URETRA

A. Definisi

Uretra merupakan bagian terpenting dari saluran kemih. Pada pria dan wanita,

uretra mempunyai fungsi utama untuk mengalirkan urin keluar dari tubuh. Saluran uretra

juga penting dalam proses ejakulasi semen dari saluran reproduksi pria. Uretra pria

berbentuk pipa yang menyerupai alat penyiram bunga.

Pada striktur uretra terjadi penyempitan dari lumen uretra akibat terbentuknya

jaringan fibrotik pada dinding uretra. Striktur uretra menyebabkan gangguan dalam

berkemih, mulai dari aliran berkemih yang mengecil sampai sama sekali tidak dapat

mengalirkan urin keluar dari tubuh. Urin yang tidak dapat keluar dari tubuh dapat

menyebabkan banyak komplikasi, dengan komplikasi terberat adalah gagal ginjal.

Dapat disimpulkan bahwa Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena

fibrosis pada dindingnya.

B. Epidemiologi

Striktur uretra masih merupakan masalah yang sering ditemukan pada bagian

duniatertentu. Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita, karena uretra

pada wanitalebih pendek dan jarang terkena infeksi. Segala sesuatu yang melukai uretra

dapat menyebabkanstriktur. Orang dapat terlahir dengan striktur uretra, meskipun hal itu

jarang terjadi.

C. Etiologi

Striktur uretra dapat terjadi pada :

1. Kelainan Kongenital, misalnya kongenital meatus stenosis, klep uretra posterior

2. Operasi rekonstruksi dari kelainan kongenital seperti hipospadia, epispadia

3. Trauma, misalnya fraktur tulang pelvis yang mengenai uretra pars membranasea;

trauma tumpul pada selangkangan (straddle injuries) yang mengenai uretra pars

bulbosa, dapat terjadi pada anak yang naik sepeda dan kakinya terpeleset dari pedal

sepeda sehingga jatuh dengan uretra pada bingkai sepeda pria; trauma langsung pada

Page 2: Lp Striktura Uretra

penis; instrumentasi transuretra yang kurang hati-hati (iatrogenik) seperti

pemasangan kateter yang kasar, fiksasi kateter yang salah.

4. Post operasi, beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan striktur

uretra, seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi.

5. Infeksi, merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur uretra, seperti

infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan uretritis gonorrhoika atau non

gonorrhoika telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya namun sekarang

sudah jarang akibat pemakaian antibiotik, kebanyakan striktur ini terletak di pars

membranasea, walaupun juga terdapat pada tempat lain; infeksi chlamidia sekarang

merupakan penyebab utama tapi dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan

individu yang terinfeksi atau menggunakan kondom.

D. Patofisiologi

Struktur uretra terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan

mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli, ureter dan ginjal.

Mukosanya terdiri dari epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium eksterna

epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosanya terdiri dari lapisan erektil vaskular.

Apabila terjadi perlukaan pada uretra, maka akan terjadi penyembuhan cara epimorfosis,

artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan lain (jaringan ikat) yang tidak sama

dengan semula. Jaringan ikat ini menyebabkan hilangnya elastisitas dan memperkecil

lumen uretra, sehingga terjadi striktur uretra.

Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi tiga

tingkatan, yaitu derajat:

1. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra

2. Sedang: jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra

3. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra

Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus

spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.

E. Manifestasi Klinis

1. Pancaran air kencing lemah.

2. Pancaran air kencing bercabang. Pada pemeriksaan sangat penting untuk ditanyakan

bagaimana pancaran urin. Normalnya, pancaran urin jauh dan diameternya besar,

Page 3: Lp Striktura Uretra

tetapi kalau terjadi penyempitan karena striktur, maka pancarannya akan jadi

turbulen.

3. Frekuensi. Disebut frekuensi apabila kencing lebih sering dari normal, yaitu lebih

dari tujuh kali. Apabila sering kencing di malam hari disebut nocturia. Dikatakan

nocturi apabila di malam hari, kencing lebih dari satu kali, dan keinginan kecingnya

itu sampai membangunkannya dari tidur sehingga mengganggu tidurnya.

4. Overflow incontience (inkontinensia paradoxa). Terjadi karena meningkatnya

tekanan di vesica akibat penumpukan urin yang terus menerus. Tekanan di vesika

lebih tinggi daripada tekanan di uretra. Akibatnya urin tidak terkontrol dan dapat

keluar sendiri. Jadi di sini terlihat adanya perbedaan antara overflow inkontinensia

dengan flow inkontinensia. Pada flow incontinensia, misalnya akibat paralisis

musculus spshincter uretra, urin keluar tanpa adanya keinginan untuk kencing. Kalau

pada overflow inkontinensia, pasien merasa ingin kencing (karena vesicanya penuh),

namun urin keluar tanpa bisa dikontrol. Itulah sebabnya disebut inkontinensia

paradoxal.

5. Dysuria dan hematuria.

6. Keadaan umum pasien buruk jika lama akibat adanya perubahan pada faal ginjal :

infeksi, striktur, refluks, hidroureter, hidronefrosis, faal ginjal turun.

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium :

a. Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi

b. Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal

2. Uroflowmetri : Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan

pancaran urin. Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan

lamanya proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik

dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal

menandakan ada obstruksi.

3. Radiologi : Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak

penyempitan dan besarnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap

mengenai panjang striktur adalah dengan membuat foto bipolar sistouretrografi

dengan cara memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara

retrograd dari uretra. Dengan pemeriksaan ini panjang striktur dapat diketahui

sehingga penting untuk perencanaan terapi atau operasi.

Page 4: Lp Striktura Uretra

4. Instrumentasi. Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan

memasukkan kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba dengan kateter

dengan ukuran yang lebih kecil sampai dapat masuk ke buli-buli. Apabila dengan

kateter ukuran kecil dapat masuk menandakan adanya penyempitan lumen uretra.

5. Uretroskopi. Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra. Jika

diketemukan adanya striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu

memotong jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse.

G. Penatalaksanaan Medis

Striktur uretra tidak dapat dihilangkan dengan jenis obat-obatan apapun. Pasien

yang datang dengan retensi urin, secepatnya dilakukan sistostomi suprapubik untuk

mengeluarkan urin, jika dijumpai abses periuretra dilakukan insisi dan pemberian

antibiotika. Pengobatan striktur uretra banyak pilihan dan bervariasi tergantung panjang

dan lokasi dari striktur, serta derajat penyempitan lumen uretra.

Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur uretra adalah:

1. Bougie (Dilatasi)

Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien dan periksa

adanya glukosa dan protein dalam urin. Tersedia beberapa jenis bougie (Gbr.4F).

Bougie bengkok merupakan satu batang logam yang ditekuk sesuai dengan

kelengkungan uretra pria; bougie lurus, yang juga terbuat dari logam, mempunyai

ujung yang tumpul dan umumnya hanya sedikit melengkung; bougie filiformis

mempunyai diameter yang lebih kecil dan terbuat dari bahan yang lebih lunak.

Berikan sedatif ringan sebelum memulai prosedur dan mulailah pengobatan

dengan antibiotik, yang diteruskan selama 3 hari. Bersihkan glans penis dan meatus

uretra dengan cermat dan persiapkan kulit dengan antiseptik yang lembut. Masukkan

gel lidokain ke dalam uretra dan dipertahankan selama 5 menit. Tutupi pasien dengan

sebuah duk lubang untuk mengisolasi penis.

Apabila striktur sangat tidak teratur, mulailah dengan memasukkan sebuah

bougie filiformis; biarkan bougie di dalam uretra dan teruskan memasukkan bougie

filiformis lain sampai bougie dapat melewati striktur tersebut (Gbr.3A-D). Kemudian

lanjutkan dengan dilatasi menggunakan bougie lurus (Gbr.3E).

Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie bengkok atau

lurus ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan ukurannya. Dilatasi dengan

bougie logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang kasar tambah akan

Page 5: Lp Striktura Uretra

merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada akhirnya menimbulkan

striktur lagi yang lebih berat. Karena itu, setiap dokter yang bertugas di pusat

kesehatan yang terpencil harus dilatih dengan baik untuk memasukkan bougie.

Penyulit dapat mencakup trauma dengan perdarahan dan bahkan dengan

pembentukan jalan yang salah (false passage). Perkecil kemungkinan terjadinya

bakteremi, septikemi, dan syok septic dengan tindakan asepsis dan dengan

penggunaan antibiotik.

Gambar 3. Dilatasi Uretra dengan Bougie

Gambar 3. Dilatasi uretra pada pasien pria. Melakukan dilatasi pada striktur tidak

teratur dengan menggunakan bougie filiformis (A,B); begitu bougie filiformis

berjalan melewati striktur (C,D), dilatasi progresif dapat dimulai (E).

 

Gambar 4. Dilatasi uretra pada pasien pria (lanjutan). Bougie lurus dan bougie

bengkok (F); dilatasi strikur anterior dengan sebuah bougie lurus (G); dilatasi dengan

sebuah bougie bengkok (H-J).

Page 6: Lp Striktura Uretra

2. Uretrotomi Interna

Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang memotong

jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau Sachse, laser atau

elektrokoter.

Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur uretra anterior terutama bagian distal

dari pendulans uretra dan fossa navicularis, otis uretrotomi juga dilakukan pada

wanita dengan striktur uretra.

Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse adalah striktur

uretra anterior atau posterior masih ada lumen walaupun kecil dan panjang tidak

lebih dari 2 cm serta tidak ada fistel, kateter dipasang selama 2-3 hari pasca tindakan.

Setelah pasien dipulangkan, pasien harus kontrol tiap minggu selama 1 bulan

kemudian 2 minggu sekali selama 6 bulan dan tiap 6 bulan sekali seumur hidup. Pada

waktu kontrol dilakukan pemeriksaan uroflowmetri, bila pancaran urinnya < 10

ml/det dilakukan bouginasi.

3. Uretrotomi Eksterna

Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis kemudian

dilakukan anastomosis end-to-end di antara jaringan uretra yang masih sehat, cara ini

tidak dapat dilakukan bila daerah strikur lebih dari 1 cm.

Cara Johansson; dilakukan bila daerah striktur panjang dan banyak jaringan

fibrotik.

Stadium I, daerah striktur disayat longitudinal dengan menyertakan sedikit

jaringan sehat di proksimal dan distalnya, lalu jaringan fibrotik dieksisi. Mukosa

uretra dijahit ke penis pendulans dan dipasang kateter selama 5-7 hari.

Stadium II, beberapa bulan kemudian bila daerah striktur telah melunak,

dilakukan pembuatan uretra baru.

Uretroplasty dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari

2 cm atau dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif striktur pasca Uretrotomi

Sachse. Operasi uretroplasty ini bermacam-macam, pada umumnya setelah daerah

striktur di eksisi, uretra diganti dengan kulit preputium atau kulit penis dan dengan

free graft atau pedikel graft yaitu dibuat tabung uretra baru dari kulit preputium/kulit

penis dengan menyertakan pembuluh darahnya.

Page 7: Lp Striktura Uretra

H. Komplikasi

1. Trabekulasi, Sakulasi dan Divertikel

Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat, maka otot

kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada suatu saat kemudian

akan melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-buli mula-mula akan menebal terjadi

trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada fase dekompensasi timbul sakulasi

dan divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan divertikel adalah penonjolan mukosa

buli pada sakulasi masih di dalam otot buli sedangkan divertikel menonjol di luar

buli-buli, jadi divertikel buli-buli adalah tonjolan mukosa keluar buli-buli tanpa

dinding otot.

2. Residu Urine

Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat tidak

timbul residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu. Residu adalah

keadaan dimana setelah kencing masih ada urine dalam kandung kencing. Dalam

keadaan normal residu ini tidak ada.

3. Refluks Vesiko Ureteral

Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine dikeluarkan buli-buli

melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan intravesika yang meninggi

maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urine dari buli-buli akan masuk

kembali ke ureter bahkan sampai ginjal.

4. Infeksi Saluran Kemih dan Gagal Ginjal

Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu cara tubuh

mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan setiap saat

mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam keadaan dekompensasi maka

akan timbul residu, akibatnya maka buli-buli mudah terkena infeksi.

Adanya kuman yang berkembang biak di buli-buli dan timbul refluks, maka akan

timbul pyelonefritis akut maupun kronik yang akhirnya timbul gagal ginjal dengan

segala akibatnya.

5. Infiltrat Urine, Abses dan Fistulasi

Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi maka bisa

timbul inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal dari striktur. Urine yang

terinfeksi keluar dari buli-buli atau uretra menyebabkan timbulnya infiltrat urine,

kalau tidak diobati infiltrat urine akan timbul abses, abses pecah timbul fistula di

supra pubis atau uretra proksimal dari striktur.

Page 8: Lp Striktura Uretra

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN STRIKTURA URETRA

A. Pengkajian

Pengkajian terhadap pasien dengan gangguan urologi meliputi pengumpulan data

dan analisa data. Dalam pengumpulan data, sumber data pasien diperoleh dari diri pasien

sendiri, keluarga, perawat, dokter ataupun dari catatan medis.

1. Pengumpulan data meliputi : Biodata pasien dan penanggung jawab pasien. Biodata

pasien terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status, agama,

alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, dan diagnosa medik.

2. Biodata penanggung jawab meliputi : umur, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan

hubungan keluarga.

3. Keluhan utama merupakan keluhan pasien pada saat dikaji, pasien yang mengatakan

tidak dapat BAK seperti biasa dan merasakan nyeri pada daerah post op striktur

uretra (cystostomi). Riwayat kesehatan masa lalu/lampau akan memberikan

informasi-informasi tentang kesehatan atau penyakit masa lalu yang pernah diderita

pada masa lalu.

4. Pemeriksaan fisik : Dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi

terhadap bagian sistem tubuh, makan akan ditemukan hal-hal sebagai berikut :

Keadaan umum Pada pasien post op striktur uretra perlu dilihat dalam hal : keadaan

umumnya meliputi penampilan, kesadaran, gaya bicara. Pada post op striktur uretra

mengalami gangguan pola eliminasi BAK sehingga dilakukan pemasangan kateter

tetap.

5. Sistem pernafasan : Perlu dikaji mulai dari bentuk hidung, ada tidaknya sakit pada

lubang hidung, pergerakan cuping hidung pada waktu bernafas, kesimetrisan gerakan

dada pada saat bernafas, auskultasi bunyi nafas dan gangguan pernafasan yang

timbul. Apakah bersih atau ada ronchi, serta frekuensi nafas. hal ini penting karena

imobilisasi berpengaruh pada pengembangan paru dan mobilisasi secret pada jalan

nafas.

6. Sistem kardiovaskuler : Mulai dikaji warna konjungtiva, warna bibir, ada tidaknya

peninggian vena jugularis dengan auskultasi dapat dikaji bunyi jantung pada dada

dan pengukuran tekanan darah dengan palpasi dapat dihitung frekuensi denyut nadi.

Page 9: Lp Striktura Uretra

7. Sistem pencernaan : Yang dikaji meliputi keadaan gigi, bibir, lidah, nafsu makan,

peristaltik usus, dan BAB. Tujuan pengkajian ini untuk mengetahui secara dini

penyimpangan pada sistem ini. Sistem genitourinaria Dapat dikaji dari ada tidaknya

pembengkakan dan nyeri pada daerah pinggang, observasi dan palpasi pada daerah

abdomen bawah untuk mengetahui adanya retensi urine dan kaji tentang keadaan

alat-alat genitourinaria bagian luar mengenai bentuknya ada tidaknya nyeri tekan dan

benjolan serta bagaimana pengeluaran urinenya, lancar atau ada nyeri waktu miksi,

serta bagaimana warna urine.

8. Sistem muskuloskeletal : Yang perlu dikaji pada sistem ini adalah derajat Range of

Motion dari pergerakan sendi mulai dari kepala sampai anggota gerak bawah,

ketidaknyamanan atau nyeri yang dilaporkan pasien waktu bergerak, toleransi pasien

waktu bergerak dan observasi adanya luka pada otot harus dikaji juga, karena pasien

imobilitas biasanya tonus dan kekuatan ototnya menurun.

9. Sistem integumen : Yang perlu dikaji adalah keadaan kulitnya, rambut dan kuku,

pemeriksaan kulit meliputi : tekstur, kelembaban, turgor, warna dan fungsi perabaan.

10. Sistem neurosensori : Sisten neurosensori yang dikaji adalah fungsi serebral, fungsi

saraf cranial, fungsi sensori serta fungsi refleks.

11. Pola aktivitas sehari-hari : Pola aktivitas sehari-hari pada pasien yang mengalami

post op striktur uretra meliputi frekuensi makan, jenis makanan, porsi makan, jenis

dan kuantitas minum dan eliminasi yang meliputi BAB (Frekuensi, warna,

konsistensi) serta BAK (frekuensi, banyaknya urine yang keluar setiap hari dan

warna urine). Personal hygiene (frekuensi mandi, mencuci rambut, gosok gigi, ganti

pakaian, menyisir rambut dan menggunting kuku). Olahraga (frekuensi dan jenis)

serta rekreasi (frekuensi dan tempat rekreasi).

12. Data psikososial :Pengkajian yang dilakukan pada pasien imobilisasi pada dasarnya

sama dengan pengkajian psikososial pada gangguan sistem lain yaitu mengenai

konsep diri (gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri, dan identitas diri) dan

hubungan interaksi pasien baik dengan anggota keluarganya maupun dengan

lingkungan dimana ia berada. Pada pasien dengan post op striktur uretra dan

imobilisasi adanya perubahan pada konsep diri secara perlahan-lahan yang mana

dapat dikenali melalui observasi terhadap adanya perubahan yang kurang wajar dan

status emosional perubahan tingkah laku, menurunnya kemampuan dalam

pemecahan masalah dan perubahan status tidur. Data spiritual Pasien dengan post op

striktur uretra perlu dikaji tentang agama dan kepribadiannya, keyakinan : harapan

Page 10: Lp Striktura Uretra

serta semangat yang terkandung dalam diri pasien yang merupakan aspek penting

untuk kesembuhan penyakitnya.

B. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan pada pasien striktur uretra post op adalah sebagai berikut :

1. Gangguan pola eliminasi BAK berhubungan dengan post op cystostomi.

2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan post op cystostomi.

3. Resiko volume cairan berlebih berhubungan dengan larutan irigasi kandung kemih

diabsorbsi.

4. Resiko infeksi, hemoragi berhubungan dengan pembedahan.

5. Inkontinen, stress atau mendesak berhubungan dengan pengangkatan kateter setelah

bedah.

C. Nursing Care Plan

1. Gangguan pola eliminasi BAK berhubungan dengan post op cystostomi.

Tujuan : Tidak terjadi gangguan pola eliminasi BAK

Intervensi keperawatan :

a. Pemantauan output urine dan karateristik.

Rasional : Mendeteksi gangguan pola eliminasi BAK secara dini.

b. Mempertahankan irigasi kemih yang konstan selama 24 jam.

Rasional : Mencegah bekuan darah menyumbat aliran urine.

c. Mempertahankan kepatenan dauer kateter dengan irigasi.

Rasional : Mencegah bekuan darah menyumbat kateter.

d. Mengusahakan intake cairan (2500 – 3000).

Rasional : Melancarkan aliran urine.

e. Setelah kateter diangkat, terus memantau gejala-gejala gangguan pola eliminasi

BAK

Rasional : Mendeteksi dini gangguan pola eliminasi BAK.

2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan post op cystostomi.

Tujuan : Pasien mengatakan perasaannya lebih nyaman.

Intervensi keperawatan :

a. Penyuluhan kepada pasien agar tidak berkemih ke seputar kateter.

Rasional : Mengurangi kemungkinan spasmus.

Page 11: Lp Striktura Uretra

b. Pemantauan pasien pada interval yang teratur selama 24 jam, untuk mengenal

gejala-gejala dini spasmus kandung kemih.

Rasional : Menentukan terdapatnya spasmus kandung kemih sehingga obat-

obatan bisa diberikan.

c. Memberikan obat-obatan yang dipesankan (analgetik, antispasmodik).

Rasional : Gejala menghilang.

d. Katakan pada pasien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang dalam 24

jam sampai 28 jam.

Rasional : Memberitahu pasien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.

3. Resiko volume cairan berlebihan berhubungan dengan larutan irigasi kandung kemih

diabsorbsi.

Tujuan : Gejala – gejala dini intoksikasi air secara dini dikenal.

Intervensi Keperawatan :

a. Pemantauan pasien mengenai gejala-gejala keracunan air dalam 24 jam pertama :

bingung, agitasi, kulit hangat, lembab, anoreksia, mual dan muntah.

Rasional : Deteksi dini kemungkinan pengobatan dini.

4. Resiko infeksi, hemoragi dengan pembedahan.

Tujuan : Tidak terjadi infeksi, perdarahan minim.

Intervensi Keperawatan :

a. Pemantauan tanda-tanda vital, melaporkan gejala-gejala shock dan demam.

Rasional : Mencegah sebelum terjadi shock.

b. Pemantauan warna urine darah merah segar bukan merah tua beberapa jam

setelah bedah baru.

Rasional : Warna urine berubah dari merah segar menjadi merah tua pada hari ke

2 dan ke 3 setelah operasi.

c. Penyuluhan kepada pasien agar mencegah manuver valsava.

Rasional : Dapat mengiritasi, perdarahan prostat pada periode dini pasca bedah

akibat tekanan.

d. Mencegah pemakaian termometer rectal, pemeriksaan rectal atau huknah

sekurang-kurangnya 1 minggu.

Rasional : Dapat menimbulkan perdarahan.

e. Mempertahankan teknik aseptik dari sistem drainase urine, irigasi bila perlu saja.

Rasional : Meminimalkan resiko masuknya kuman yang bisa menyebabkan

infeksi.

Page 12: Lp Striktura Uretra

f. Mengusahakan intake yang banyak.

Rasional : Dapat menurunkan resiko infeksi.

5. Inkontinen, stress atau mendesak berhubungan dengan pengangkatan kateter setelah

bedah.

Tujuan : Pasien dapat mengendalikan berkemih.

Intervensi Keperawatan :

a. Pengkajian terjadi tetesan urine setelah kateter diangkat.

Rasional : Mendeteksi kontinen.

b. Katakan kepada pasien bahwa itu biasa dan kontinen akan pulih.

Rasional : Pasien harus dibesarkan harapannya bahwa ia itu normal.

c. Penyuluhan latihan-latihan perineal.

Rasional : Bantuan untuk mengendalikan kandung kemih.

Page 13: Lp Striktura Uretra

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta.

Media Aesculaipius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. Kapita Selekta

Kedokteran, Edisi Ke 3, Jilid 2. Jakarta.

Suddarth & Brunner. 2001. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 2. EGC: Jakarta.

Susanto H. Fitri. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Widya Medika : Jakarta.

Rochani. Striktur Urethra, dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Binarupa Aksara, Jakarta, 2001.

Purnomo Basuki B. Striktura uretra, dalam: Dasar-dasar UROLOGI. Ed 2. CV. Sagung,

Jakarta, 2003.

Purwadianto A, Sampurna B. Retensi Urin, dalam: Kedaruratan Medik,“Pedoman

Penatalaksanaan Praktis”. Ed Revisi. Binarupa Aksara, Jakarta, 2000.

Urethral Stricture, Disease http://www.urologyhealth.org/urethralstricturedisease.