lp mg

37
Definisi Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunteer) . Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial (Brunner and Suddarth 2002) Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun saaf perifer berupa terbentuknya antibody terhadap reseptor pascasinaptik asetilkolin (ACH) nikotinik pada myoneural junction.Diaman penurunan jumlah reseptor ACH ini menyebabkan penurunan kekuatan otot yang progesif dan terjadi pemulihan setelah istirahat (Dewanto dkk,2009:62) Pada penyakit ini terdapat antibodi terhadap reseptor asetilkolin pada sinaps neuromuskular. Dapat disertai patologi timus, seperti hiperplasia, atrofi, atau tumor-timoma (Lionel Ginsberg, 2005: 156). Mistenia gravis juga dikatakan penyakit autoimun dimana persambungan otot dan saraf (neuromuscular junction) berfungsi tidak normal, menyebabkan kelemahan otot menahun, kelemahan progresif dan sporadis, kelemahan abnormal pada otot skeletal, dan bertambah buruk setelah latihan dan pengulangan gerakan. Jumlah reseptor asetilkolin yang ditemukan pada kondisi ini sedikit. Gangguan ini menyerang otot yang dikendalikan saraf kranial (wajah, bibir, lidah, leher dan tenggorokan), dan 1

Upload: farida-agustiningrum

Post on 18-Dec-2015

106 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

essay

TRANSCRIPT

DefinisiMiastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunteer) . Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial (Brunner and Suddarth 2002)Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun saaf perifer berupa terbentuknya antibody terhadap reseptor pascasinaptik asetilkolin (ACH) nikotinik pada myoneural junction.Diaman penurunan jumlah reseptor ACH ini menyebabkan penurunan kekuatan otot yang progesif dan terjadi pemulihan setelah istirahat (Dewanto dkk,2009:62)Pada penyakit ini terdapat antibodi terhadap reseptor asetilkolin pada sinaps neuromuskular. Dapat disertai patologi timus, seperti hiperplasia, atrofi, atau tumor-timoma (Lionel Ginsberg, 2005: 156). Mistenia gravis juga dikatakan penyakit autoimun dimana persambungan otot dan saraf (neuromuscular junction) berfungsi tidak normal, menyebabkan kelemahan otot menahun, kelemahan progresif dan sporadis, kelemahan abnormal pada otot skeletal, dan bertambah buruk setelah latihan dan pengulangan gerakan. Jumlah reseptor asetilkolin yang ditemukan pada kondisi ini sedikit. Gangguan ini menyerang otot yang dikendalikan saraf kranial (wajah, bibir, lidah, leher dan tenggorokan), dan dapat menyerang otot lain. Penyakit ini juga berbahaya karena juga melibatkan sistem pernapasan.

EtiologiSeperti yang telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga merupakan gangguan otoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuskular.Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat.Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok otot tertentu saja.Gangguan tersebut kemungkinan dipicu oleh infeksi, operasi, atau penggunaan obat-obatan tertentu, seperti nifedipine atau verapamil (digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi), quinine (digunakan untuk mengobati malaria), dan procainamide (digunakan untuk mengobati kelainan ritme jantung).Neonatal myasthenia terjadi pada 12% bayi yang dilahirkan oleh wanita yang mengalami myasthenia gravis.Antibodi melawan acetylcholine, yang beredar di dalam darah, bisa lewat dari wanita hamil terus ke plasenta menuju janin.Pada beberapa kasus, bayi mengalami kelemahan otot yang hilang beberapa hari sampai beberapa minggu setelah lahir.Sisa 88% bayi tidak terkena.

PatofisiologiDasar Ketidaknormalan pada Miastenia Gravis adalah adanya kerusakan pada transmisi impuls syaraf menuju sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada sambungan neuromuskular. Pada orang normal , jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan potensial aksi.

http://www.netambulancia.hu/img/upload/galeria/myasthenia_gravis/200909011757349512.jpgPada Miastenia Gravis , konduksi neuromuskular terganggu, Jumlah asetilkolin berkurang , mungkin akibat cedera autoimun. Antibodi terhadap protein neuro reseptor asetilkolin ditemukan alam penderita Miastenia Gravis. Pada Klien Miastenia Gravis secara makroskopis otot-ototnya tampak normal.Jika ada Atropi, akibat otot yang tidak dipakai. Secara Mikroskopis pada beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot dan organ organ lain, tetapi pada otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten.( price and wilson,1995 dalam Muttaqin,2000;229)Pathway keperawatan miatenia Gravis

Klasifikasi Klasifikasi klinis miastenia gravis dapat dibagi menjadi:1. Kelompok I: Miastenia okularHanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia.Sangat ringan, tidak ada kasus kematian.1. Kelompok IIA: Miastenia umum ringanAwitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar.Sistem pernapasan tidak terkena.Respon terhadap terapi obat baik.Angka kematian rendah.1. Kelompok IIB: Miastenia umum sedangAwitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar.Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan.Otot-otot pernapasan tidak terkena.Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.1. Kelompok III: Miastenia berat akutAwitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernapasan.Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan.Respons terhadap obat buruk.Insiden krisis miastenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi.Tingkat kematian tinggi.1. Kelompok IV: Miastenia berat lanjutMiastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-gejala kelompok I atau II.Miastenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-tiba.Respons terhadap obat dan prognosis buruk.Disamping klasifikasi tersebut di atas, dikenal pula adanya beberapa bentuk varian miastenia gravis, yaitu:1. Miastenia neonatusJenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari bulan. Jenis ini terjadi pada bayi yang ibunya menderita miastenia gravis, dengan kemungkinan 1:8, dan disebabkan oleh masuknya antibodi antireseptor asetilkolin ke dalam melalui plasenta. 2. Miastenia anak-anak (juvenile myastenia)Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis pada dewasa.3. Miastenia kongenitalBiasanya muncul pada saat tidak lama setelah bayi lahir.Tidak ada kelainan imunologik dan antibodi antireseptor asetilkolin tidak ditemukan.Jenis ini biasanya tidak progresif.4. Miastenia familialSebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas.Biasa terjadi pada miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis dewasa.5. Sindrom miastenik (Eaton-Lambert Syndrome)Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh terganggunya pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf.Sering kali berkaitan dengan karsinoma bronkus (small-cell carsinoma).Gambaran kliniknya berbeda dengan miastenia gravis.Pada umumnya penderita mengalami kelemahan otot-otot proksimal tanpa disertai atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan okular tidak mencolok, dan refleks tendo menurun atau negatif.Seringkali penderita mengeluh mulutnya kering.6. Miastenia gravis antibodi-negatifKurang lebih daripada penderita miastenia gravis tidak menunjukkan adanya antibodi.Pada umumnya keadaan demikian terdapat pada pria dari golongan I dan IIB. Tidak adanya antibodi menunjukkan bahwa penderita tidak akan memberi respons terhadap pemberian prednison, obat sitostatik, plasmaferesis, atau timektomi.7. Miastenia gravis terinduksi penisilaminD-penisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid, penyakit Wilson, dan sistinuria. Setelah penderita menerima D-P beberapa bulan, penderita mengalami miastenia gravis yang secara perlahan-lahan akan menghilang setelah D-P dihentikan.8. BotulismeBotulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum, yang menghalangi pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf motorik.Akibatnya adalah paralisis berat otot-otot skelet dalam waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin botulinum, tipe A dan B paling sering menimbulkan kasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut (see food).Intoksikasi biasanya terjadi setelah makan makanan dalam kaleng yang tidak disterilisasi secara sempurna.Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin. Kemudian muncul pandangan kabur, disfagia, dan disartri.Pupil dapat dilatasi maksimal.Kelemahan terjadi pola desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil (plateau).Paralisis otot pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat fatal.Pada kasus yang berat biasanya terjadi kelemahan otot ocular dan lidah.Sebagian besar penderita mengalami disfungsi otonom (mulut kering, konstipasi, retensi urin).Miastenia gravis juga menyerang otot-otot, wajah, dan laring.Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal, dan pasien tak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang menggantung.Pada sistem pernapasan, terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak lagi mampu membersihkan lender dari trakea dan cabang-cabangnya.Pada kasus yang lebih lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang hingga terjadi kelemahan pada semua otot-otot rangka.Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis.Meskipun secara radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan.Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus.Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-menerus.

Manifestasi KlinisMiastenia Gravis memiliki gambaran khas yaitu kelemahan dan kelelahan otot terutama setelah beraktifitas . Pada derajat ringan gambaran klinisnya seringkali tidak jelas , seperti Ptosis.kelemahan otot timbul saat diprovokasi oleh aktivitas berulang. Secara umum gejala Miatenia gravis sebagai berikut:1. Ptosis (kelopak mata terkulai) karena kelemahan otot2. Diplopia (penglihatan ganda) karena ketidakmampuan untuk menjaga kedua mata fokus pada objek yang sama3. Kesulitan menutup mata sama sekali, mata kering karena kelemahan otot4. Kesulitan menelan (disfagia) karena kelemahan otot5. Kelemahan otot di kemudian hari karena kelelahan6. Kelemahan otot proksimal7. Kelelahan / Fatique8. Dalam lanjutan penyakit hilangnya kontrol kandung kemih dan usus; kesulitan dengan fungsi pernapasan

Gambar 1. Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot esktraokular (ptosis).

DiagnosisPemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal.Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki.Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan.Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi.Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.

Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain :1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.2. Uji Prostigmin (neostigmin)Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.3. Uji KininDiberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti1.Pemeriksaan Laboratorium Anti-asetilkolin reseptor antibodiHasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody4.Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut4:Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia GravisOsserman ClassMean antibody TiterPercent Positive

R0.7924

I2.1755

IIA49.880

IIB57.9100

III78.5100

IV205.389

Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB = moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe4Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis. Antistriated muscle (anti-SM) antibodyMerupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab. Antistriational antibodiesDalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.2.Imaging Chest x-ray (foto roentgen thorak)Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.

CT scan of chest showing an anterior mediastinal mass (thymoma) in a patient with myasthenia gravis.

3.Pendekatan ElektrodiagnostikPendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui 2 teknik4 : Repetitive Nerve Stimulation (RNS)Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

A typical recording of compound muscle action potentials with repetitive nerve stimulation at low frequency in a patient with myasthenia gravis. Note the gradual decline in the amplitude of the compound muscle action potential with slight improvement after the fifth or sixth potential.

Single-fiber Electromyography (SFEMG)Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber

PenatalaksanaanWalaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada psien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombainasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mapu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terpai yang memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut1 Plasma Exchange (PE)Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi.PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode postoperative.Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu.Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan.

2.Intravenous Immunoglobulin (IVIG)Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.3 Intravenous Methylprednisolone (IVMp)IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.

Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang1 KortikosteroidKortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan.Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya.Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.2.AzathioprineAzathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya.Respon Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.3 CyclosporineCyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.4 Cyclophosphamide (CPM)CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin. Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat lainnya.Thymectomy (Surgical Care)Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia gravis.Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien8.Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan8.

Gambar 2. Kelenjar Thymus

KomplikasiFaktor yang yang harus diperhatikan dalam pengobatan Miatenia Gravis adalah terjadinya Krisis Miatenia akibat terapi yang tidak adequate dan terjadinya krisi kolinergik yang terjadi akibat penumpukan penghambat kolinerase ( Neotigmin,Pyridostigmin) dan keracunan organfosfat. Pada kasus risi Kolinergik terdi stimulus Ach berlebihan di Myoneural junction yang menyebabkan paralisis oto yang bersifat flaksid (Dewanto dkk,2009:63).Sedangkan Digiulo (2001:241)mendeskripsikan symptom atau gejala Krisi Miatenia dan Krisi Kolinergik sebagai berikut 1. Krisis Myasthenic :a. Takikardiab. Takipneac. Peningkatan tekanan darahd. Sianosise. Penurunan output urinf. Inkontinensia usus dan kandung kemihg. Hilangnya refleks muntah2. Krisis kolinergik :a. penglihatan kaburb. Mual, muntah, diarec. perut kramd. kepucatane. otot wajah Berkedut f. Pupil Kecil(miosis)g. Tekanan darah rendah

Pengkajian KeperawatanPengkajian pada Miastenia Gravis , meliputi: 1. B1 (Breating)Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk efektif, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan sering didapatkan pada klien yang disertai adanya kelemahan otot-otot pernafasan. Auskultasi bunyi nafas tambahan seperti ronchi atau stridor pada klien menandakan adanya akumulasi sekret pada jalan nafas dan penurunan kemampuan otot-otot pernapasan.2. B2 (Blood)Pengkajian pada sistem kardiovaskular terutama dilakukan untuk memantau perkembangan status kardiovaskular, terutama denyut nadi dan tekanan darah yang secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi tidak membaiknya status pernafasan.3. B3 (Brain)Kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi ocular, jatuhnya kelopak mata atau dislopia intermien, bicara klien mungkin disatrik.4. B4 (Bladder)Pengkajian terutama ditujukan pada sistem perkemihan. Biasanya terjadi kondisi dimana fungsi kandung kemih menurun, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.5. B5 (Bowel)Ditunjukkan dengan kesulitan menelan-mengunyah, disfagia, kelemahan otot diafragma dan peristaltic usus turun.6. B6 (Bone)Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui adanya gangguan aktifitas atau mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebihan.

A. Diagnose Keperawatan1. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan.2. Jalan Napas Tidak efektif yang berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun.3. Gangguan Aktifitas hidup sehari-hari yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum,keletihan.4. Gangguan Komunikasi verbal yang berhubungan dengan disfonia,gangguan bicara.5. Gangguan citra diri yang berhubungan dengan ptosis,ketidakmampuan komunikasi verbal.

B. Intervensi Keperawatan 1. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan.a. TujuanDalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi ,pola pernapasan klien kembali efektif.b. Kriteria HasilIrama,Frekwensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal, bunyi napas terdengar jelas,respirator terpasang dengan optimal.c. Intervensii. Kaji Kemampuan VentilasiRasionalUntuk klien dengan penurunan kapasitas ventilasi, perawat mengkaji frekwensi pernapasan ,kedalaman dan bunyi napas ,pantau hasil teng fungsi paru paru ( Volumer tidal ,kapasitas vital,kekuatan inspirasi) dengan interval yang sering dalam mendeteksi masalah paru paru,sebelum perubahan kadar gas darah arteri dan sebelum tampak gejala klinikii. Kaji Kualitas ,frekwensi dan kedalaman pernapasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi.RasionalUntuk mengetahui sejauh mana perubahan kondisi klien berkaitan dengan kemungkinan adanya paralise pada otot pernapasaniii. Baringkan klien dalam posisi yang nyaman dalam posisi dudukRasionalPenurunan Diafragma memperluas daerah dada sehingga expansi paru bisaa maksimaliv. Observasi tanda-tanda vitalPeningkatan RR dan takikardia merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru2. Jalan Napas Tidak efektif yang berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk menuruna. Tujuan Dalam waktu 3 x 24 jam setelah dilakukan intervensi jalan napas kembali efektif. Menghilangkan kuantitas dari viskositas sputum untuk memperbaiki ventilasi paru dan pertukaran gasb. Kriteria Hasil Dapat mendemonstrasikan batuk efektif Dapat menyatakan stategi untuk menurunkan kekentalan sekresi Tidak ada suara napas atambahan Pernapasan klien Normal ( 16-20 x / menit) tanpa ada penggunaan otot bantu pernapasanc. Intervensii. Kaji warna , kekentalan dan jumlah sputumRasionalKarasteristik sputum dapat menunjukkan berat ringannya obstruksiii. Atur osisi semiflowerRasionalMeningkatkan expansi dadaiii. Pertahankan asupan cairan sedikitnya 2500 ml / hari kecuali tidak diindikasikanRasionalHidrasi yang adequate membantu mengencerkan secret dan mengefektifkan pembersihan jalan napas.iv. Lakukan fisioterapi dada dengan teknik drainage postural,perkusi,fibrasi dada, serta lakukan suctionRasionalBila ada Kelemahan otot abdominal , interkostal dan faring yang hebat,mengakibatkan klien tidak mampu batuk dan anapas dalam atau membersihkan sekresi

3. Gangguan Aktifitas hidup sehari-hari yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum,keletihana. TujuanInfeksi bronkopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan edema inflamasi dan memungkinkan penyembuhan aksi siliaris normalb. Kriteria Hasil Frekwensi Napas 16-0 x / menit Frekwensi nadi 70-90 x menit Kemampuan batuk efektif dapat optimal Tidak ada peningkatan suhu tubuhc. Intervensii. Kaji Kemampuan klien dalam melakukan aktifitas.RasionalMenjadi data dasar dalam melakukan intervensi selanjutnyaii. Atur cara beraktifitas klien sesuai dengan kemampuanRasionalMemperbaiki kekuatan dan daya tahan penderitaiii. Evaluasi kemampuan aktifitas motorik.RasionalMenilai tingkat keberhasilan dari terapi yang telah diberikan

4. Gangguan Komunikasi verbal yang berhubungan dengan disfonia,gangguan bicaraa. TujuanKlien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu mengekspresikan perasaannya , mampu menggunkan bahasa isyaratb. Kriteria HasilTerciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien dapat dipenuhi,klien mampu merespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyaratc. Intervensii. Kaji kemampuan komunikasi klienRasionalKelemahan otot otot bicara pada klien krisis mistenia gravis dapat berakibat pada gangguan komunikasiii. Lakukan metode komunikasi yang ideal sesuai dengan kondisi klienRasionalAdanya gangguan verbal menjadikan hambatan komunikasi perawat dan klien sehingga menggunakan metode komunikasi yang ideal dengan kondisi pasien seperti penggunaan komunikasi non verbal dengan goyangan telapak tangan untuk mengatakan tidaiii. Beri peringatan bahwa klien di ruang ini mengalami gangguan berbicara sediakan bel khusus bila perluRasionalUntuk memberikan rasa nyaman pada klieniv. Antisipasi dan bantu kebutuhan klienRasionalMembantu menurunkan frustasi oleh karena ketergantungan atau ketidakmampua berkomunikasiv. Ucapkan langsung kepada klien berbicara pelan dan tenang,gunakan pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak perhatikan respon klienRasionalMengurangi kebingungan atau kecemasan terhadap banyaknya informasi, memajukan simulasi komunikasi ingatan dan kata-katavi. Kolaborasi konsul ke terapis bicaraRasionalMengkaji kemampuan verbal individual,sensorik motorik serta fungsi kognitif untuk mengidentifikasikan defisit dan kebutuhan terapi.

5. Gangguan citra diri yang berhubungan dengan ptosis,ketidakmampuan komunikasi verbala. TujuanCitra diri klien meningkatb. Kriteria HasilMampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tetang situasi dan perubahan yang terjadi mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi ,mengakui dan menggabungkan perubahan yang terjadi ke dalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negatifc. Intervensii. Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuanRasionalMenentukan bantuan individual dalam menyusun rencana perawatan atau pemilihan intervensiii. Identifikasikan arti dari kehilangan atau disfungi pada klienRasionalDengan identifikasi persepsi dari klien dapat membantu Perawat untuk menentukan bantuan yang tepat untuk memulihkan rasa percaya diri pasien.iii. Catat ketika klien menyatakan terpengaruh seperti sekarat atau mengingkari dan menyatakan inilah kematianRasionalMendukung penolakan terhadap bagian tubuh atau perasaan negatif terhadap gambaran tubuh menunjukkan kebutuhan adan intervensi serta dukungan emosionaliv. Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki kebiasaanRasionalMembantu klien untuk meningkatkan harga diri pasienv. Anjurkan orang yang terdekat untuk mengizinkan klien melakukan hal-hal untuk dirinya sebanyak-banyaknyaRasionalMembantu klien untuk menghidupkan perasaan kemandirian serta mempengaruhi proses rehabilitasivi. Dukung perilaku atau usaha seperti peningkatan minat maupun partisipasi dalam aktifitas rehabilitasiRasionalKlien dapat beradaptasi terhadap perubahan dan pengertian tentang peran individu dimasa mendatangvii. Monitor gangguan tidur peningkatan kesulitan konsentrasi,letargi dan withdrawlRasionalMenunjukkan adanya depresi karena adanya efek sekunder penyakit yang memperlukan tindakan intervensi

viii. Kolaborasi : Rujuk Pada ahli neuropsikologi dan konseling bila ada indikasiRasionalMenfasilitasi klien untuk perubahan peran penting untuk perkembangan perasaan

Ketidakseimbangan nutrisikurang dari keb. tubuh

Penurunan keinginan makan gangguan rasa nyaman diafagia perubahan pola lemah menutup matagangguan CN 9 persepsi sensori gangguan CN 3 sakit tenggorokan(glosofaringeal) diplopia (okulomotorik) batuk gangguan CN 2 (optik) perubahan pola napasperubahan pola aktivitas dispneakelemahan otot menyerang CN. Kranial gangguan sist. napas Mistenia gravisImpuls saraf tidak sampai ke ototGangguan neuromuskular junction

DAFTAR PUSTAKA Muttaqin,arif, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan,Jakarta Salemba Medika,2008 Gleadle,Jonathan, History and Examination at a Glance, Blackwell Science Ltd,2003, ditranslansikan Penerbit Erlangga, 2007 Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia, sejarah Myasthenia Gravis,diunduh dari http://www.Miastenia Gravisindonesia.org/ pada tanggal 11 Desember 2011 Aashit K Shah ,MD, Myasthenia Gravis,Emedicine, diunduh dari http://emedicine.medscape.com update 18 November 2011 diunduh 11 Desember 2011 Guyton,Arthur C, Fisiologi dan Mekanisme Pnyakit ( Human Physiology and mechanism of disease 3rd edition @1982 by Saunder Company) , Jakarta , EGC 1990 DiGiulio, Mary, RN, MSN, APRN dan Donna Jackson, RN, MSN, APRN , Medical-Surgical Nursing Demystified Copyright 2007 by The McGraw-Hill Companies, Inc. Corwin,J Elizabeth , Buku Patofisiologi ed 3 terjemahan dari Handbook of Patophysiology 3 rd ED copyright 2008 , Jakarta ,EGC,2009 Dewanto,dr George,dkk, Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit yaraf,Jakarta ,EGC,200926