lp fistel enterokutan
DESCRIPTION
mTRANSCRIPT
I. DEFINISI
Fistula adalah suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara dua
organ dalam atau berjalan dari suatu organ dalam ke permukaan
tubuh.Fistula enterokutaneous adalah suatu saluran abnormal yang
menghubungkan antara organ gastrointestinal dan kulit. Fistel berarti adanya
hubungan abnormal antara ruang yang satu dengan ruang yang lainnya. Jadi
Fistel enterokutaneus adalah celah atau saluran abnormal antara usus
dengan kulit abdomen. Berdasarkan atas hubungan dengan dunia luar, maka
fistel dibagi menjadi 2 bagian yaitu fistel external dan fistel internal. Fistel
eksternal dimaksudkan pada fistel yang salurannya menghubungkan antara
organ dalam tubuh dengan dunia luar, contohnya fistel enterokutaneus, fistel
umbilikalis. Sedangkan fistel internal adalah fistel yng menghubungkan dua
bagian tubuh yang kedua-duanya masih berada dalam tubuh, contohnya fistel
vesicorectal, fistel rektovaginal, fistel vesikokolik (Brunner & Suddarth, 2002)
Gambar 1. Fistula enterokutaneous
II. KLASIFIKASI
Fistula enterokutaneous dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria anatomi,
fisiologi yaitu sebagai berikut:
1. Berdasarkan kriteria anatomi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 2 yaitu
fistula internal dan eksternal. Fistula internal yaitu fistula yang menghubungkan
antara dua viscera, sedangkan fistula eksternal adalah fistula yang
menghubungkan antara viscera dengan kulit.
2. Berdasarkan kriteria fisiologi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 3 yaitu high-
output, moderate-output dan low output.
Fistula enterokutaneous dapat menyebabkan pengeluaran cairan
intestinal ke dunia luar, dimana cairan tersebut banyak mengandung elektrolit,
mineral dan protein sehingga dapat menyebabkan komplikasi fisiologis yaitu
terjadi ketidak-seimbangan elektrolit dan dapat menyebabkan malnutrisi pada
pasien.Fistula dengan high-output apabila pengeluaran cairan intestinal sebanyak
>500ml perhari, moderate-output sebanyak 200-500 ml per hari dan low-output
sebanyak <200 ml per hari.
III. ETIOLOGI
Berdasarkan kriteria etiologi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 2 yaitu
fistula yang terjadi secara spontan dan akibat komplikasi postoperasi.
Fistula yang terjadi secara spontan, terjadi sekitar 15-25% dari seluruh
fistula enterokutaneous.Fistula ini dapat disebabkan oleh berbagai hal terutama
pada kanker dan penyakit radang pada usus.Selain itu dapat juga disebabkan oleh
radiasi, penyakit divertikular, appendicitis, dan ulkus perforasi atau iskhemi pada
usus.
Penyebab utama fistula enterokutaneous adalah akibat komplikasi
postoperasi (sekitar 75-85%).Faktor penyebab timbulnya fistula enterokutaneous
akibat postoperasi dapat disebabkan oleh faktor pasien dan faktor tehnik.Faktor
pasien yaitu malnutrisi, infeksi atau sepsis, anemia, dan hypothermia.Sedangkan
faktor tehnik yaitu pada tindakan-tindakan preoperasi. Sebelum dilakukan
operasi, harus dievaluasi terlebih dahulu keadaan nutrisi pasien karena
kehilangan 10-15% berat badan, kadar albumin kurang dari 3,0 gr/dL, rendahnya
kadar transferin dan total limposit dapat meningkatkan resiko terjadinya fistula
enterokutaneous. Selain itu, fistula enterokutaneous dapat disebabkan oleh
kurangnya vaskularisasi pada daerah operasi, hipotensi sistemik, tekanan berlebih
pada anastomosis, dan membuat anastomosis dari usus yang tidak sehat.Untuk
mengurangi resiko timbulnya fistula, keadaan pasien harus normovolemia / tidak
anemis agar aliran oksigen menjadi lebih optimal.Selain itu pada saat operasi
harus diberikan antibiotik profilaksis untuk mencegah timbulnya infeksi dan abses
yang dapat menimbulkan fistula.
IV. GEJALA/MANIFESTASI KLINIS
Gejala awal dari fistula enterokutaneous adalah demam, leukositosis,
prolonged ileus, rasa tidak nyaman pada abdomen, dan infeksi pada luka. Diagnosis
menjadi jelas bila didapatkan drainase material usus pada luka di abdomen.
Penyempitan lumen usus tadi mempengaruhi kemampuan usus untuk mentranspor
produk dari pencernaan usus atas melalui lumen terkonstriksi dan akhirnya
mengakibatkan nyeri abdomen berupa kram. Karena peristaltic usus dirangsang oleh
makana, maka nyeri biasanya timbul setelah makan. Untuk menghindari nyeri ini,
maka sebagian pasien cenderung untuk membatasi masukan makanan, mengurangi
jumlah dan jenis makanan sehingga kebutuhan nutrisi normal tidak terpenuhi.
Akibatnya penurunan berat badan, malnutrisi, dan anemia sekunder (Brunner &
Suddarth, 2002).
Selain itu, pembentukan ulkus di lapisan membrane usus dan ditempat
terjadinya inflamasi, akan menghasilkan rabas pengiritasi konstan yang dialirkan ke
kolon dari usus yang tipis, bengkak, yang menyebabkan diare kronis. Kekurangan
nutria juga bisa terjadi karena gangguan pada absorbs. Akibanya adalah individu
menjadi kurus karena masukan makanan tidak adekuat dan cairan hilang secara
terusmenerus. Pada beberapa pasien, usus yang terinflamasi dapat mengalami
demam dan leukositosis (Brunner & Suddarth, 2002).
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada kasus Fistula yaitu sebagai berikut:
a. Test methylen blue
Test ini digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan fistula
enterokutaneous dan kebocoran segmen usus. Tehnik ini kurang mampu untuk
mengetahui fungsi anatomi dan jarang digunakan pada praktek.
b. USG
USG dapat digunakan untuk mengetahui ada-tidaknya abses dan
penimbunan cairan pada saluran fistula
c. Fistulogram
Tehnik ini menggunakan water soluble kontras.Kontras disuntikkan
melalui pembukaan eksternal, kemudian melakukan foto x-ray. Dengan
menggunakan tehnik pemeriksaan ini, dapat diketahui berbagai hal yaitu :
Sumber fistula, jalur fistula, ada-tidaknya kontinuitas usus, ada-tidaknya obstruksi
di bagian distal, keadaan usus yang berdekatan dengan fistula (striktur, inflamasi)
dan ada-tidaknya abses yang berhubungan dengan fistula.
d. Barium enema
Pemeriksaan ini menggunakan kontras, untuk mengevaluasi lambung,
usus halus, dan kolon. Tujuannya untuk mengetahui penyebab timbulnya fistula
seperti penyakit divertikula, penyakit Crohn's, dan neoplasma
e. CT scan
VI. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan fistula enterokutaneous dapat dibagi menjadi 5 tahapan,
yaitu stabilization, investigation, decision making, definitive therapy, dan healing.
1. Stabilization
Tahap ini dibagi menjadi 5 yaitu: identification, resuscitation, control of sepsis,
nutritional support, control of fistula drainage
a. Identification
Pada tahap ini, yang dilakukan adalah mengidentifikasi pasien dengan
fistula enterokutaneous. Pada minggu pertama postoperasi, pasien menunjukkan
tanda-tanda demam dan prolonged ileus serta terbentuk erythema pada luka.
Luka akan terbuka dan terdapat drainase cairan purulen yang terdiri dari cairan
usus. Pasien dapat mengalami malnutrisi yang disebabkan karena sedikit atau
tidak diberikan nutrisi dalam waktu lama. Pasien dapat menjadi dehidrasi,
anemis, dan kadar albumin yang rendah.
b. Resuscitation
Tujuan utama pada tahap ini yaitu pemulihan volume sirkulasi.Pada tahap
ini, pemberian kristaloid dibutuhkan untuk memperbaiki volume sirkulasi.
Transfusi sel darah merah dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen
dan pemberian infuse albumin dapat mengembalikan tekanan onkotik plasma.
c. Control of sepsis
Pada tahap ini, melakukan pencegahan terhadap timbulnya sepsis dengan
pemberian obat antibiotik.
d. Nutritional support
Pemberian nutrisi pada pasien dengan fistula enterokutaneous
merupakan komponen kunci penatalaksanaan pada fase stabilization.Fistula
enterokutaneous dapat menimbulkan malnutrisi pada pasien karena intake
nutrisi kurang, hiperkatabolisme akibat sepsis dan banyaknya komponen usus
kaya protein yang keluar melalui fistula. Pasien dengan fistula enterokutaneous
membutuhkan kalori total sebanyak 25-32kcal/kg perhari dengan rasio kalori-
nitrogen 150:1 sampai 200:1, protein minimal 1,5g/kg perhari. Jalur pemberian
nutrisi ini dilakukan melalui parenteral.Selain itu, perlu diberikan elektrolit dan
vitamin seperti vitamin C, vitamin B12, zinc, asam folat.
e. Control of fistula drainage
Terdapat berbagai tehnik yang digunakan untuk managemen drainase
fistula yaitu simple gauze dressing, skin barriers, pauches, dan suction
catheter.Selain itu, untuk mencegah terjadinya maserasi pada kulit akibat cairan
fistula, dapat diberikan karaya powder, stomahesive atau glyserin.Beberapa
penulis melaporkan keberhasilan menggunakan Vacuum Assisted Closure (VAC)
system untuk penatalaksanaan fistula enterokutaneous.Obat-obatan
(Somatostatin, Octreotide dan H2 Antagonis) dapat juga diberikan untuk
menghambat sekresi asam lambung, sekresi kelenjar pankreas, usus, dan traktus
biliaris.
2. Investigation
Pada tahap ini, dilakukan investigasi terhadap sumber dan jalur fistula.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu:
a. Test methylen blue
b. USG
c. Fistulogram
d. Barium enema
e. CT scan
3. Decision
Fistula enterokutaneous dapat menutup secara spontan dalam 4-6 minggu
pada pasien dengan pemberian nutrisi adekuat dan terbebas dari
sepsis.Penutupan spontan dapat terjadi pada sekitar 30% kasus.Fistula yang
terdapat pada lambung, ileum, dan ligamentum of Treiz memiliki kemampuan
yang rendah untuk menutup secara spontan.Hal ini berlaku juga pada fistula
dengan keadaan terdapat abses besar, traktus fistula yang pendek, striktur usus,
diskontinuitas usus, dan obstruksi distal. Pada kasus-kasus tersebut, apabila
fistula tidak menutup (output tidak berkurang) setelah 4 minggu, maka dapat
direncanakan untuk melakukan operasi reseksi. Pada rencana melakukan tidakan
operasi, ahli bedah harus mempertimbangkan untuk menjaga keseimbangan
nutrisi dengan memberikan nutrisi secara adekuat, kemungkinan terjadinya
penutupan spontan dan tehnik-tehnik operasi yang akan digunakan.
4. Definitive therapy
Keputusan untuk melakukan operasi pada pasien dengan fistula
enterokutaneous yang tidak dapat menutup secara spontan adalah tindakan yang
tepat.Sebelumnya, pasien harus dalam kondisi nutrisi yang optimal dan terbebas
dari sepsis.
Pada saat operasi, abdomen dibuka menggunakan insisi baru.Insisi secara
transversal pada abdomen di daerah yang terbebas dari perlekatan.Tujuan
tindakan operasi selanjutnya adalah membebaskan usus sampai
rektumdariligamentum Treiz.Kemudian melakukan eksplorasi pada usus untuk
menemukan seluruh abses dan sumber obstruksi untuk mencegah kegagalan
dalam melakukan anastomosis.
Pada saat isolasi segmen usus yang mengandung fistula, reseksi pada
segmen tersebut merupakan tindakan yang tepat.Pada kasus-kasus yang berat,
dapat digunakan tehnik exteriorization, bypass, Roux-en-Y drainase, dan serosal
patches.Namun tindakan- tindakan tersebut tidak menjamin hasil yang
optimal.Berbagai kreasi seperti two-layer, interrupted, end-to-end anastomosis
menggunakan segmen usus yang sehat dapat meningkatkan kemungikan
anastomosis yang aman.
5. Healing
Penutupan fistula secara spontan ataupun operasi, pemberian nutrisi
harus terus dilakukan untuk menjamin pemeliharaan kontinuitas usus dan
penutupan dinding abdomen. Tahap penyembuhan (terutama pada kasus
postoperasi) ini membutuhkan keseimbangan nitrogen, pemberian kalori dan
protein yang adekuat untuk meningkatkan proses penyembuhan dan penutupan
luka.
VII. KOMPLIKASI
Edmund et al mengidentifikasi trias klasik untuk komplikasi yang dapat
ditimbulkan oleh fistula enterokutaneous, yaitu sepsis, malnutrisi, serta
berkurangnya elektrolit dan cairan tubuh. Fistula dapat menimbulkan abses local,
infeksi jaringan, peritonitis hingga sepsis. Selain itu, fistula enterokutaneous dapat
meningkatkan pengeluaran isi usus yang kaya akan protein dan cairan tubuh serta
elektrolit sehingga dapat menimbulkan malnutrisi dan berkurangnya kadar elektrolit
dan cairan tubuh. Pemberian nutrisi parenteral (TPN) sangat diperlukan, karena TPN
dapat meningkatkan penutupan fistula secara spontan. Pada pasien yang
membutuhkan penutupan fistula dengan operasi, TPN dapat meningkatkan status
nutrisi sehingga dapat mempertahankan kontinuitas usus dengan cara meningkatkan
proses penyembuhan luka dan meningkatkan system imun.
ASUHAN KEPERAWATAN/ASKEP
A. Pengkajian Keperawatan
Riwayat kesehatan diambil untuk mengidentifikasi awitan, durasi dan
karakteristik nyeri abdomen, adanya diare atau dorongan fekal, mual,
anoreksia atau penurunan berat badan dan riwayat keluarga tentang penyakit
usus inflamasi. Pengkajian pola eliminasi usus mencakup karakter, frekuensi
dan adanya darah, pus, lemak, atau mucus. Alergi penting untuk dokumnetasi,
khususnya intoleransi usus atau lactose. Pasien menunjukkan gangguan pola
tidur bila diare atau nyeri terjadi padamalam hari.
Pengkajian objektif mencakup auskultasi abdomen terhadap bising usus dan
karakteristiknya, palpasi abdomen terhadap distensi, nyeri tekan, atau nyeri
dan inspeksi kulit terhadap bukti adanya saluran fistula atau gejala dehidrasi.
Feses di inspeksi terhadap adanya darah dan mucus. Gejala paling utama
adalah nyeri intermitten yang terjadi pada diare tetapi tidak hilang setelah
defekasi. Nyeri pada daerah periumbilikal biasanya menunjukkan keterlibatan
ileum terminalis (Brunner & Suddarth, 2002).
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan utama mencakup (Doengoes Marylynn, 2002):
1. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
pembatasna diet, mual dan malabsorbsi.
2. Nyeri abdomen berhubungan dengan peningkatan peristaltic dan
inflamasi
3. Kurang volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan anoreksia mual
dan diare
4. Perubahan suhu tubuh : hipertermia berhubungan dengan inflamasi.
5. Gangguan pola tidur berhubungan dengan demam dan nyeri
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa I : Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan pembatasan diet, mual dan malabsorbsi.
Intervensi:
1. Kaji pola makan klien.
2. Buat jadwal masukan tiap jam. Anjurkan cairan / makanan dan minum
sedikit demi sedikit.
3. Beri makanan yang bervariasi.
4. Anjurkan klien untuk makan makanan lunak dengan porsi sedikit tapi
sering.
5. Mengukur BB tiap hari dengan timbangan yang sama.
6. Berikan Health Education tentang pentingnya nutrisi.
7. Pantau status nutrisi melalui nilai laboratorium khususnya albumin dan Hb
8. Kolaborasikan dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan protein
untuk klien.
Diagnosa 2 : Nyeri abdomen berhubungan dengan peningkatan peristaltic dan
inflamasi
Intervensi :
1. Minta pasien untuk menilai nyeri/ ketidaknyamanan pada skala 0 – 10 ( 0
= tidak ada nyeri, 10 = nyeri yang sangat)
2. Gunakan lembar alur nyeri untuk memantau pengurangan nyeri dari
analgesik dan kemungkinan efek sampingnya
3. Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan dan lingkungan terhadap nyeri
dan respon pasien
4. Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif meliputi lokasi, karakteristis,
waitan/ durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri dan
faktor presipitasinya
5. Observasi isyarat ketidaknyamanan nonverbal, khususnya pada mereka
yang tidak mampu mengkomunikasikannya secara efektif.
6. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi misalnya teknik relaksasi,
imajinasi terbimbing, kompres dan masase.
7. Kolaborasikan dengan pemberian obat analgesic
Diagnosa 3 : Kurang volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan
anoreksia mual dan diare
Intervensi:
1. Kaji pasien tentang adanya tanda kekurangan volume cairan : kulit dan
membrane mukosa kering, penurunan turgor kulit, oliguria, kelelahan,
penuruanan suhu, peningkatan hematokrit, peningkatan berat jebis urin,
dan hipotensi.
2. Anjurkan paisen untuk meningkatkan intake cairan peroral
3. Catat intake dan output cairan tubuh seperti cairan oral, muntah, drainase
luka dan cairan yang dikeluarkan melalui fistel
4. Timbanglah berat badan klien stiap hari karena hal ini dapat menunjukkan
adanya penambahan atau kehilangan cairan yang terjadi secara cepat.
5. Berikan tindakan yang dapat menurunkan frekuensi diare seprti
pemberian obat antidiare, pengurangan stress.
Diagnosa 4 : Perubahan suhu tubuh : hipertermia berhubungan dengan
inflamasi.
Intervensi :
1. Pantau terjadinya aktifitas kejang
2. Pantau adanya hidrasi pada klien dengan mengkaji turgor kulit,
kelembapan membran mukosa
3. Pantau tekanan darah, nadi dan pernapasan
4. Anjurkan klien untuk meningkatkan asupan cairan peroral
5. Anjurkan keluarga untuk membantu menurunkan demam klien dengan
memberikan kompres hangat
6. Kolaborasikan dalam pemberian antibiotik
Diagnosa 5 : Gangguan pola tidur berhubungan dengan demam dan nyeri
Intervensi :
1. Hindari suara keras dan penggunaan lampu saat tidur malam, berikan
lingkungan yang tenang, damai, dan minimalkan gangguan.
2. Bantu pasien untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin
menyebabkan kurang tidur seperti ketakutan, masalah yang tak
terselesaikan dan konflik.
3. Ajarkan pasien untuk menghindari makanan dan minuman pada jam tidur
yang dapat mengganggu tidur
4. Berikan tidur siang, jika diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tidur
5. Lakukan pijatan yang nyaman, pengaturan posisi, dan sentuhan afektif.
Daftar Pustaka
Mansjoer, Arif, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2, Medika Aesculapius FKUI : Jakarta
Medeiros, Aldo Cunha.,dkk. 2004. Perawatan Postoperative Enterocutaneous Fistulas oleh High-Pressure Vacuum dengan lisan Diet Normal. http://content.karger.com/ProdukteDB/produkte.asp?Doi=82317
Price A, Sylvia., Loraiine M. Wilson. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 6 EGC : Jakarta
Smeltzer, Suzanne C.,Brenda G. Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart edisi 8. Vol. 2, EGC : Jakarta