lp 2012 8 kajian kebutuhan.pdf

47
1 Kajian Kebutuhan (need assessment) terhadap Mekanisme Pembinaan, Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial bagi Anak Dalam Sistem Pemasyarakatan di Indonesia Laporan Penelitian Individual Disusun Oleh SEMIARTO AJI PURWANTO untuk PUSAT KAJIAN PERLINDUNGAN ANAK, UI THE ASIA FONDATION Januari Maret 2011 Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Upload: hoangbao

Post on 28-Jan-2017

249 views

Category:

Documents


19 download

TRANSCRIPT

Page 1: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

1

Kajian Kebutuhan (need assessment) terhadap

Mekanisme Pembinaan, Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial

bagi Anak Dalam Sistem Pemasyarakatan di Indonesia

Laporan Penelitian Individual

Disusun Oleh

SEMIARTO AJI PURWANTO

untuk

PUSAT KAJIAN PERLINDUNGAN ANAK, UI

THE ASIA FONDATION

Januari – Maret

2011

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 2: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

2

BAB I. Pendahuluan

Latar belakang dan tujuan

Kegiatan kajian kebutuhan ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang akurat dengan berbasis

kepada pengalaman, kebutuhan dan keinginan subjek penelitian yang akan mendapat manfaat

dari kegiatan ini yaitu anak-anak, baik anak perempuan maupun anak laki-laki, yang terkena

dampak pemenjaraan baik di dalam Rutan maupun Lapas, dalam hal:

1. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi anak yang khususnya berkaitan dengan

pembinaan, rehabilitasi dan reintegrasi sosial dalam sistem pemasyarakatan Indonesia

2. Menganalisis permasalahan yang teridentifikasi secara deskriptif melalui pendekatan

sistem perlindungan anak (child protection system) dan menyusun rekomendasi guna

menyusun pengembangan model pembinaan, rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang

berpihak pada Perlindungan Anak dalam kerangka reformasi Sistem Pemasyarakatan

Indonesia.

3. Model akan dibangun berdasarkan hasil kajian terhadap:

a. Kerangka Hukum dan Kebijakan pembinaan dan reintegrasi di Indonesia bagi

anak dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia

b. Struktur penyedia layanan pembinaan dan reintegrasi di Indonesia bagi anak

dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia

c. Kapasitas struktur/lembaga penyedia layanan pembinaan, rehabilitasi dan

reintegrasi sosial bagi anak dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia

d. Praktik-praktik pembinaan, rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi anak dalam

Sistem Pemasyarakatan Indonesia

e. Dampak praktik-praktik program pembinaan, rehabilitasi dan reintegrasi sosial

terhadap Anak di Indonesia

f. Model-model penanganan baik bagi anak-anak dalam lembaga yang berkembang

di negara lain

Pengembangan model yang dimaksud di atas tidak menjadi bagian dari kegiatan penelitian tetapi

merupakan langkah lanjutan berdasarkan hasil dan rekomendasi penelitian ini nantinya.

Metode Pengumpulan Data

Penelitian dilakukan dengan dua cara utama yaitu dengan memanfaatkan data pustaka dan

penelitian lapangan. Penelitian pustaka ditujukan untuk mendapatkan data dan informasi terkait

dengan pemahaman kerangka hukum dan kebijakan pembinaan dan reintegrasi di Indonesia bagi

anak dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia dan upaya menyusun model penanganan yang

baik bagi anak-anak dalam lembaga pemasyarakatan. Model tersebut disusun melalui telaah

pustaka yang menyajikan kasus komparatif di negara-negara lain.

Untuk mendapatkan data mengenai lembaga penyedia layanan pembinaan dan reintegrasi di

Indonesia bagi anak dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia, kapasitas struktur/lembaga,

praktik-praktik pembinaan, rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi anak dan dampaknya,

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 3: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

3

dilakukan penelitian lapangan. Dalam penelitian lapangan tersebut, diturunkan seorang peneliti

dan beberapa asisten peneliti untuk mengumpulkan data primer melalui wawancara, observasi

dan diskusi kelompok; dan mengumpulkan data sekunder berupa catatan atau dokumentasi di

lembaga pemasyarakatan.

Wawancara dengan panduan pedoman wawancara dilakukan pada informan anak-anak untuk

menghimpun informasi yang terkait dengan pengalaman, opini dan harapan mereka. Sementara

kepada para petugas, wawancara serupa juga dilakukan untuk mendapat data mengenai kondisi

lapas. Untuk melengkapi wawancara, diskusi kelompok juga dilakukan. Ada beberapa varian

dari metode mendapatkan data secara kelompok ini, pertama untuk mendiskusikan satu isu

kepada beberapa peserta dan ke dua melakukan wawancara berkelompok untuk efisiensi dan

peluang melakukan cek-silang.

Metode pengamatan dilakukan untuk mendapatkan data fasilitas yang tersedia di lapas dan

mendeskripsikan jalannya interaksi sosial antar penghuni dan antara penghuni dengan

petugas.Data sekunder berupa catatan administrasi dikumpulkan sebagai bagian data untuk

menentukan informan dan untuk analisis kondisi lapas. Untuk melengkapi deskripsi dari

wawancara, studi dokumen dari media massa secara terbatas juga dilakukan.

Proses Penelitian

Kegiatan penelitian ini mendapat dukungan penuh dari Dirjen PAS dengan antara lain

mengirimkan seorang aparat untuk membatntu tim peneliti melakukan pendekatan pada institusi

di lapangan. Kehadiran mereka sangat mempermudah urusan perijinan dan perkenalan dengan

pimpinan di Lapas, Bapas dan Kanwil Depkumham.

Di Jawa Tengah, peneliti mendapat kemudahan untuk mengakses lapas Kedung Pane dan

Kutoarjo berkat introduksi dari petugas Dirjen PAS yang menyertai kunjungan lapangan. Di

Kutoarjo, peneliti dapat langsung masuk ke lingkungan lapas, memeriksa, mengamati dan

mewawancarai semua informan anak dan petugas sesuai kriteria. Bahkan untuk mendokumentasi

dengan kamera tidak ada halangan sama sekali; petgas lapas Kutoarjo sangat kooperatif.

Sebaliknya di Kedung Pane, suasana perkenalan awal yang ramah dan terbuka pada akhirnya

berakhir dengan sejumlah keterbatasan untuk melakukan observasi langsung ke dalam sel dan

mendokumentasikan kondisi sel tahanan. Data adminsitratif juga baru diperoleh saat-saat

terakhir. Sekalipun demikian wawancara dengan anak yang ada dalam lapas Kedung Pane dapat

berjalan lancar.

Wawancara kepada anak merupakan kegiatan yang selalu penuh tantangan; sering kali mereka

mempunyai logika yang berbeda dengan orang dewasa dan merespons pertanyaan dengan reaksi

yang mengejutkan. Kondisi ini semakin menantang ketika anak yang diwawancara adalah

mereka yang berada dalam tahanan. Melakukan wawancara secara langsung, tatap muka antara

seorang peneliti dan seorang anak, tidak semudah wawancara dalam konteks natural di luar

Lapas. Seringkali anak ragu untuk berbicara namun di saat lain sering juga nampak seperti

mendapatkan kesempatan bercerita. Peneliti harus tetap sadar dengan kondisi ini. Di Semarang

dan Kutoarjo, wawancara dilakukan melalui dua cara yaitu wawancara berkelompok dan

wawancara personal dengan satu anak sebagai informan. Wawancara kelompok membuat

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 4: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

4

mereka lebih berani ketika berhadapan dengan pihak luar, walaupun di awal peneliti harus

meyakinkan mereka agar tidak ragu bercerita. Sayangnya, seperti di Kutoarjo, wawancara

berkelompok ini terhambat karena ada satu-dua anak yang nampak berada dalam subordinasi

rekan lainnya sehingga hanya mengikuti jawaban temannya. Sebagai kontrol, setelah wawancara

bersama, informan tertentu dikonfirmasi lagi jawabannya di saat yang lain secara personal.

Melakukan ice-breaking dengan membuka pembicaraan yang bersifat netral di awal pertemuan

dan di kapanpun saat anak mulai terlihat bosan, menyodorkan makanan kecil dan minuman,

meminta informan untuk membuat gambar, atau sejenak menghentikan wawancara merupakan

sejumlah cara untuk memfokuskan kembali konsentrasi informan pada wawancara.

Hambatan juga muncul saat mewawancara orang dewasa baik petugas, keluarga maupun

tetangga mantan napi anak. Petugas Lapas seringkali bersifat defensif dan normatif dalam

memberikan jawaban. Salah satu cara yang dilakukan adalah menegaskan kembali pentingnya

penelitian ini bagi institusi lapas. Di Kutoarjo, cara ini berhasil membuat petugas relatif terbuka

terhadap berbagai pertanyaan yang bersifat mendalam. Cek-silang jawaban dari anak kepada

petugas dalam banyak hal juga membuat petugas nyaman untuk memberikan informasi

tambahan. Di Semarang, cara-cara tersebut tidak begitu optimal karena petugas berkeras

menunggu surat ijin dari Kanwil Depkumham Jawa Tengah yang tak kunjung tiba sampai

penelitian usai.

Orang tua mantan napi yang ditemui di rumah mereka, walaupun harus diyakinkan terlebih

dahulu, pada akhirnya justru seperti mendapatkan peluang untuk menceritakan pengalaman

mereka berhadapan dengan institusi Lapas dan Bapas selama anak mereka berada dalam masa

tahanan. Cukup banyak data tambahan yang diperoleh pada satu kali pertemuan, yang umumnya

memberikan cek-silang dan penegasan atas informasi dari anak dan petugas. Di Kutoarjo,

peneliti sempat menduga orang tua tidak mengijinkan anaknya ditemui dan menyatakan bahwa

anak tersebut sudah berhari-hari tidak pulang ke rumah tanpa mereka ketahui keberadaannya.

Namun ketika beberapa hari kemudian kembali ditemui di rumahnya, terbukti anak tersebut

memang tidak berada di rumah tanpa diketahui dimana tinggalnya. Walapun gagal menemui

anak tersebut, namun kunjungan ke dua pada orangtuanya menegaskan kembali isu penting yang

ditemukan dalam wawancara pertama.

Salah satu kendala utama untuk dapat memahami kehidupan sehari-hari di lapas dan budaya

penjara yang melibatkan interaksi anak-petugas dalam konteks pemasyarakatan adalah

kurangnya waktu. Sebagian besar data diperoleh dengan hanya satu kali wawancara. Di

Semarang, karena keterbatasan ijin yang diberikan, wawancara hanya dilakukan sekali.

Sementara di Kutoarjo, wawancara formal dilakukan sekali namun ada kesempatan untuk

bertemu dan mengkonfirmasi beberapa jawaban di hari-hari akhir kunjungan. Alokasi waktu

yang relatif lama, sembilan hari, berinteraksi di lapas juga membuat hubungan dengan petugas

menjadi lebih nyaman. Wawancara dengan petugas dapat berlangsung dalam konteks yang lebih

alamiah juga karena peneliti telah mengenal wilayah penelitian dengan baik. Sekalipun

demikian, secara umum, sifat temuan umumnya berada dalam tingkat pengenalan awal.

Berbagai temuan pada lapas anak di Kutoarjo dan kondisi tahanan anak di laas dewasa

Kedungpane menunjukkan adanya masalah dalam penanganan anak yang berhadapan dengan

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 5: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

5

hukum. Masalah yang muncul itu terkait dengan dua hal utama yaitu sistem pemasyarakatan dan

kelembagaan lapas.

Sistem pemasyarakatan di lapas anak, seperti temuan di Kutoarjo, menunjukkan adanya upaya

untuk mengembalikan anak pada posisi yang dapat diterma masyarakat. Pandangan ini

sebenarnya sudah merupakan persoalan bagi anak karena alumni lapas seperti mengalami

stigmatisasi. Petugas menganggap anak memang bermasalah, guru sukarelawan di lapas

menganggap anak didik sangat nakal dan susah diatur, dan anak sendiri menganggap dirinya

memang bermasalah. Lapas menjadi tempat berkumpulnya masalah dan stigma terhadap anak.

Ke dua, di Kutoarjo, misalnya, sistem pemasyarakatan terlihat belum menemukan bentuka yang

pas walaupun sudah mengarah ke kondisi ideal. Sekolah sudah ada, tetapi tenaga pengajar tetap

belum tersedia; berbagai pelatihan terselenggara tetapi tidak reguler; klinik memadai walaupun

dokter tetap belum ada. Menurut para petugas, kekurangan tersebut dapat dirujuk pada alokasi

dan yang peruntukannya memang belum menuju ke arah yang lebih baik. Barangkali perlu

restrukturisasi program dan alokasi anggaran untuk mengisinya.

Kondisi anak di lapas dewasa, seperti Kedungpane, jauh lebih mengerikan. Sistem

pemasyarakatan yang mengedepankan isu anak masih jauh dari harapan. Fasilitas tahanan khusus

anak belum diupayakan maksimal, sementara fasilitas dan kegiatan pembinaan untuk anak tidak

dirancang dengan baik. Dalam lapas, dikhawatirkan justru tejadi proses belajar dengan rujukan

pada napi dewasa karena minimnya pembinaan pada tahanan anak. Alasan bahwa anak hanya

akan berada sebentar di lapas Kedungpane mengingkari fakta bahwa proses kontaminasi sikap

bisa terjadi cepat sekali dalam wadah lapas.

Sistem pemasyarakatn untuk anak yang masih mencari bentuk ideal dalam proses penahanan

anak di Indonesia, seperti diperparah dengan program pengembangan kapasitas petugas. Cara

mengelola tahanan anak belum banyak diketahui petugas secara detail dan utuh. Umumnya

mereka hanya mereka-reka bentuk penanganan tahanan anak melalui pengalaman beriteraksi

dengan tahaan dewasa atau dalam kehidupan sehari-hari di luar lapas. Padahal perlu diingat

bahwa anak-anak di lapas itu mengalami persoalan dengan hukum sehingga harus mendapat

perhatan khusus. Isu kelembagaan lapas juga terkait dengan tingkat pemahaman petugas akan

tugasnya, terkait dengan proses perkembangan anak.

Selain melalui upaya peningkatan kapasitas petugas, juga bisa dilakukan dengan upaya

profesionalisasi petugas dari sisi manajerial. Barangkali perlu ditinjau birokrasi lapas yang

kompleks dan gemuk, mencakup empat eselon dalam struktur organisasinya. Di lapas Kutoarjo,

misalnya, setelah posisi kalapas, ada kepala sub bagian yang membawahi dua kepala urusan.

Lalu untuk kegiatan fungsional, sesudah kalapas ada tiga kepala seksi dengan masing-masing

dua kepala sub seksi. Kalapas juga langsung membawa kepala KPLP dengan kordinasi yang

berbeda. Komposisi antara staf administrasi dan staf fungsional mesti lebih menitikberatkan

pada fungsi sistem pemasyarakatan. Atau setidaknya memberikan bekal fungsional untuk

menghadapi pesoalan anak-anak pada seluruh staf lapas.

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 6: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

6

BAB II. Deskripsi Lokasi Penelitian

A. Lapas khusus Anak Kutoarjo

Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo di Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo,

terletak di Jalan P. Diponegoro No. 36 A, tepat di tepi ruas jalan raya yang menghubungkan

Purwokerto-Yogyakarta. Lokasinya berada di sebelah timur alun-alun, di sekitar kompleks

sekolah mulai jenjang TK, SD, SMP dan SMU.

Bangunan LP didirikan di atas tanah seluas 6.843 m² dengan luas bangunan 1.289 m². Sel-sel

tahanan berada dalam blok tiga bangunan yang menyerupai huruf „u‟ dengan fasilitas olah raga

di tengahnya. Di bagian depan terdapat bangunan dua lantai yang dipakai sebagai ruang kantor

yang dihubungkan dengan bangunan besar dua lantai untuk sebagai aula serbaguna di bagian

bawah dan aula kegiatan kesenian di atasnya. Tembok setinggi tiga meter mengelilingi kompleks

bangunan ini. Di belakang bangunan sel, dihubungkan dengan sebuah pintu gerbang, terdapat 4

lokal bangunan untuk kegiatan pendidikan. Tiga bangunan kelas dan satu bangunan kantor

administrasi. Sementara di sisi kiri depan LP terdapat rumah dinas Kepala Lapas. Untuk

mendapatkan gambaran mengenai kondisi lapa Kutoarjo, berikut adalah denah lapas

gudang gudang

Kelas

paket

B1

Kelas

paket B2

Kelas

paket A

rudin

pgwai

Kegiatan

kerja

Kantor Aula/ Kelas

paket C

rudin

pgwai

rudin

pgwai

rudin Ruang

jemur

sel

Ruang

TV

sel sel Ruang

mandi/cuci

workshop

conblock

pgwai

rudin sel sel

pgwai sel Lapangan voli sel

rudin sel Badminton sel

pgwai sel sel

rudin sel sel

pgwai sel Aula Serbaguna

Ruang bezoek

Ruang ibadah

sel

rudin sel sel

pgwai sel sel

Dapur

rumah

Kantor utama dinas

kalapas

Jalan Diponegoro, Kutoarjo

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 7: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

7

Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo merupakan Lembaga Pemasyarakatan di bawah

Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Tengah. Memiliki fungsi dan tugas untuk

menampung, merawat dan membina Anak Didik Pemasyarakatan dan sebagai Tempat Tahanan

Anak Purworejo. Sepanjang sejarah gedung dan fungsi bangunan penjara ini telah beberapa kalai

berganti fungsi. Berikut adalah rekapitulasi sejarah penggunaan dan fungsi penjara di Kutoarjo.

Tahun 1880 Gedung Lembaga Pemasyarakatan Anak didirikan/dibangun oleh

Pemerintah Belanda.

Tahun 1917 gedung digunakan sebagai Rumah Tahanan Perang.

Tahun 1945-

1948

menjadi milik Pemerintah Republik Indonesia dalam keadaan kosong

Tahun 1948 sebagai Tangsi Tentara Indonesia,

1948-1960 dikembalikan kepada Jawatan Kepenjaraan untuk digunakan sebagai

Rumah Penjara

Tahun 1962-

1964

sebagai Rumah Penjara Jompo.

Tahun 1964-

1979

menjadi Lembaga Pemasyarakatan Klas III.

1979-1983 Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI tanggal 8 Juni 1979

Nomor : JS.4/5/16 Tahun 1979 tentang Pembentukan Lembaga

Pemasyarakatan Anak Negara di Kutoarjo ( LP AN ).

1983-1991 Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI tanggal 16

Desember 1983 Nomor : M.03-UM.01.06, tentang Penetapan Lembaga

Pemasyarakatan tertentu sebagai Rumah Tahanan, dalam hal ini LP AN

Kutoarjo beralih status menjadi Cabang Rumah Tahanan Purworejo di

Kutoarjo.

1991-1993 Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI tanggal 5 Pebruari 1991,

Nomor: M.01.PR.07.03 tentang Pemindahan tempat kedudukan Lembaga

Pemasyarakatan Anak Jawa Tengah dari Ambarawa ke Kutoarjo dan

penghapusan cabang Rutan Purworejo di Kutoarjo.

1993-sekarang berfungsi penuh sebagai Lembaga Pemasyarakatan Anak di Kutoarjo

hingga sekarang.

Orientasi pembinaan di Lapas Kutoarjo diarahkan untuk meuwujudkan visi “Memulihkan

kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai

individu, anggota masyarakat dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa (membangun manusia

mandiri )”. Dalam misi ini terkandung pengertian mengenai kondisi yang perlu dipulihkan pada

diri warga binaan agar dapat hidup lebih baik. Sesuai dengan visi tersebut, misi yang diemban

adalah untuk “Melaksanakan perawatan Tahanan, Pembinaan dan Pembimbingan Warga

Binaan Pemasyarakatan”. Posisi lapas dengan demikian merupakan organisasi pelaksana atau

unit kerja dari instansi yang lebih tinggi, dalam hal ini Dirjen PAS Departemen Hukum dan

Perundang-undangan.

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 8: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

8

Sesuai dengan visi dan misinya, tujuan umum pembinaan adalah untuk (1) membentuk Warga

Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki

diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan

masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai

warga yang baik dan bertanggung jawab dan (2) memberikan jaminan perlindungan Hak Asasi

Tahanan, Narapidana dan Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka memperlancar proses

Pembinaan dan Pembimbingan

Jenis Pembinaan di Lapas Kutoarjo terdiri dari empat kegiatan yaitu penyelenggaraan pendidikan

umum, kesegaran jasmani dan kesenian, pelayanan kesehatan dan perawatan, dan latihan

ketrampilan dan kemandirian. Pendidikan Umum diperlukan agar pengetahuan dan cara berfikir

Warga Binaan Pemasyarakatan meningkat sehingga dapat menunjang kegiatan-kegiatan positif

yang diperlukan selama masa pembinaan. Pembinaan intelektual dilakukan melalui pendidikan

formal dan nonformal. Untuk mengejar ketinggalan dibidang pendidikan diupayakan cara belajar

melalui Program Kelompok Belajar (Kejar) Paket A, B, dan C. Pembinaan umum lainnya yang

dilaksanakan untuk menunjang pembinaan adalah penyediaan perpustakaan dan pemberantasan

buta huruf.

Pembinaan kesegaran jasmani ditujukan guna menjaga kesehatan dan kebugaran warga binaan,

antara lain dengan menyediakan fasilitas olahraga senam, bola voli, bulutangkis tenis meja dan

catur. Sedangkan kegiatan kesenian dapat digunakan sebagai wahana rekreasi dan penambahan

ketrampilan, antara lain dilakukan dengan menyediakan fasilitas alat musik/band seperti gitar,

organ, ketipung.

Untuk pelayanan kesehatan dan perawatan di Lapas Anak Kutoarjo terdapat sebuah ruangan

klinik kesehatan yang bertujuan untuk menolong dan mengobati para anak didik yang

membutuhkan pengobatan atau dalam keadaan sakit. Dalam hal pengadaan obat-obatan selama

ini Lapas Anak Kutoarjo bekerjasama dengan Instansi Kesehatan Kabupaten Purworejo,

permintaan atau pengadaan obat-obatan serta rujukan bagi anak didik diteruskan pada Puskesmas

Kutoarjo. Pelayanan makanan bagi anak didik yang ada di Lapas Anak Kutoarjo diberikan

secara rutin tiga kali makan utama dan dua kali makan tambahan.sesuai dengan jadwal. Pasokan

kebutuhan gizi dan kalori makanan anak juga diperhatikan dengan menu standar 2.250 kalori per

hari per anak.

Latihan keterampilan/kemandirian dilakukan agar anak dapat memiliki keterampilan yang

bermanfaat dimasyarakat, dapat dikembangkan lebih lanjut. Keterampilan yang dikembangkan

disesuaikan dengan kemampuan, bakat, serta minat anak didik, antara lain: pertukangan, las,

perbengkelan, peternakan, menjahit, perikanan, elektronika, montir motor, gitar, prosessing,

sandal batik, dan pertanian.

Berbagai lembaga yang terlibat dalam kerjasama pembinaan dengan lapas Kutoarjo selama ini

adalah kantor dan instansi pemerintah seperti Dinas Pendidikan Kabupaten Purworejo,

Departemen Agama Purworejo, Kepolisian Resort Purworejo, Pengadilan Negeri Purworejo,

Kejaksaan Negeri Purworejo, Dinas Sosial Kabupaten Purworejo, Dinas Kesehatan Kabupaten

Purworejo, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purworejo; perguruan tinggi negeri

dan swasta seperti Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, UGM Yogyakarta, UNDIP

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 9: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

9

Semarang, UMM Magelang dan Unsoed Purwokerto, UMY Yogyakarta, UKSW Salatiga dan

lembaga lain seperti PKBM Sawunggalih Kutoarjo, Yayasan Sekretariat Anak Merdeka

Indonesia Yogyakarta, Yayasan SETARA Semarang,

Saat penelitian berlangsung, sekitar 100 anak menghuni lapas Kutoarjo. Selama kunjungan

beberapa kali terjadi mutasi penghuni, walaupun hanya satu-dua anak. Data per tanggal 10

Februari 2011 yang menunjukkan jumlah tahanan anak menurut golongan pidana adalah:

No. Golongan Jumlah Keterangan

1 B I (> satu tahun) 68 Tambah 1 perempuan

2 B IIa (3-12 bulan) 9 Semua laki-laki

3 B IIb (0-3 bulan) 1 Semua laki-laki

4 Anak negara 21 Semua laki-laki

5 Tahanan 3 Semua laki-laki

103

Tabel di atas memperlihatkan hanya ada satu tahanan perempuan yang baru masuk satu minggu

sebelum penelitian. Sehari sebelum penelitian berakhir, masuk lagi satu tahanan titipan dari

Polres Kota Yogyakarta. Persentase tahanan golongan B I dengan hukuman di atas satu tahun

relatif besar, mencapai 65% sementara mereka yang ditahan dengan masa singkat di bawah satu

tahun kurang dari 10%. Sisanya, hampir 20% adalah tahanan dengan status anak tahanan.

Mereka menguni lapas sebagai akibat pelanggaran hukum yang bervariasi sebagaimana dapat

dilihat dalam tabel berikut.

No. Jenis kejahatan Pasal Jumlah

1 Ketertiban 159-181 KUHP 5

2 Kesusilaan 281-297 KUHP 4

3 Perlindungan anak 81-82 UU No. 23/2002 42

4 Pembunuhan 338-340 KUHP 11

5 Penganiayaan 351-356 KUHP 0

6 Pencurian 362-364 KUHP 28

7 Perampokan 365 KUHP 3

8 Lain-lain :

a. Narkotika 127 UU No. 35/1999 3

b. Perlindungan anak 80 UU No. 23/2002 5

c. KDRT 44 UU No. 23/2004 1

d. Penggelapan 372 KUHP 1

Jumlah 103

Hampir 40% penghuni lapas Kutoarjo merupakan mereka yang terlibat dalam pelanggaran

perlindungan anak menurut Pasal 81-82 UU No. 23/2002. Pasal ini biasanya mengatur urusan

pelanggaran kesusilaan dengan korban anak di bawah umur. Sementara lebih dari 30% penghuni

terlibat dalam perkara pencurian mulai dari mencuri bebek sampai perampokan. Kualitas

pelanggaran hukum yang dihadapi anak lebih memperlihatkan figur yang seram manakala

menilik adanya 11 anak atau 10% dari penghuni yang masuk lapas akibat pembunuhan.

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 10: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

10

Dari sisi umur, gambaran masalah relatif muncul kalau kita perhatikan ada 38 orang atau sekitar

36% dari penghuni yang berusia 12-15 tahun atau anak menjelang remaja. Sisanya, sebanyak 65

0rang atau 64% berada dala kategori usia 16-18 tahun. Pembicaraan mengenai umur penguni

lapas tidak bisa hanya sekedar membacar kategori usia, tetapi terkait dengan tahapan

perkembangan anak. Mereka biasanya tengah berada dalam kondisi belajar, terutama melalui

sekolah. Tabel berikut memperlihatkan golongan pendidikan penghuni lapas.

No. Kelompok umur Jumlah

1 SD/sederajat 27

2 SMP/sederajat 52

3 SMU/sederajat 24

Jumlah 103

Separuh anak tengah menjalani pendidikan di tingkat SMP, sementara masing-masing

seperempat berada di tingkat SD dan SMU. Dalam konteks penyediaan fasilitas pendidikan di

lapas, kategori pendidikan inilah yang patut mendapat perhatian ekstra. Beruntung di lapas

Kutoarjo sekarang telah tersedia ruang kelas untuk masing-masing jenjang sekolah; hanya saja

regularitas kegiatan belajar mengajar dan ketersediaan tenaga pengajar tetap yang perlu

ditingkatkan.

Lokasi lapas anak di Kutoarjo boleh dibilang strategis karena berada di bagian tengah provinsi

Jawa Tengah dan DIY. Walaupun berada di bagian selatan, namun akses jalan raya utama yang

merupakan poros jalan Purworeto-Yogyakarta menyebabkan lapas ini relatif mudah dijangkau.

Sekalipun demikian, sejumlah anak ternyata tidak pernah ditengok oleh orang tua, keluarga atau

teman. Tabel berikut menunjukkan jumlah anak yang tidak pernah ditengok, glongan pidana dan

daerah asal mereka.

No. Golongan

Pidana

Alamat Jumlah

1 B I 13

Jepara 1

Demak 5

Kendal 1

Kudus 1

Boyolali 1

Banjarnegara 2

Wonogiri 1

Pati 1

2 B II a 6

Magelang 1

Mungkid 4

Kendal 1

3 Anak negara 15

Purworejo 2

Yogyakarya 4

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 11: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

11

Bantul 3

Sragen 1

Temanggung 1

Klaten 1

Wates 2

Brebes 1

Jumlah 34

Angka di atas, terutama pada kategori anak negara sungguh memprihatinkan karena 15 dari 21

anak negara, artinya lebih dari 75%, tidak pernah dikunjungi. Memang kurang jelas alasannya,

hanya diduga karena jarak dan keengganan keluarga untuk menengok anak yang menjadi

penyebabnya. Kalau anak negara baru bebas setelah umur 18 tahun, artinya selama waktu ang

panjang mereka lepas dari kontak keluarga. Susah untuk membayangkan bagaimana setelah nanti

mereka keluar, kemana mereka hendak pulang? Ini menjadi persoalan tersendiri untuk petugas

yang sering menemukan anak yang justru tertekan menjelang bebas dan beberapa berulah

sehingga masa penahanannya menjadi lebih panjang. Rupanya masa bebas yang dinantikan

banyak tahanan tidak semuanya merupakan masa yang mudah untuk dilalui oleh sebagian di

antara mereka. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir sampai januari 2011, 46 anak telah

mendapakan PB dan satu orang menikmati fasilitas CB, sebagaimana tabel di bawah ini.

Tahun

2008 2009 2010 2011 (Januari)

Pembebasan bersyarat 8 16 20 2

CMB 0 0 0 0

CB 0 0 0 1

Kapasitas lapas anak Kutoarjo menurut para petugas masih mencukupi; menurut Kalapas,

dengan perhitungan kebutuhan ruang minimal yang lama, (3.25 m2 per anak) kapasitas lapas

adalah 118 anak, sehingga bila diisi 103 anak masih dalam batas muat. Berdasar peraturan ruang

minimal yang baru (5.4 m2 per anak), lapas Kutoarjo telah menghitung ulang kapasitasnya.

Tanggal 24 Maret 2010, menurut penghitungan Pejabat Kalapas saat itu, dengan rumus baru,

diperoleh hasil bahwa kapasitas lapas adalah 61 anak. Komposisi sel yang terdiri dari tiga blok

dan perhitungan kapasitasnya menurut versi baru adalah sbb.:

kamar lebar panjang luas pembagi hasil kapasitas

1 2 3 4 (2x3) 5 6 (4:5) 7

A1 5 2.5 12.5 5.4 2.315 2

A2 5 5 25 5.4 4.630 5

A3 5 2.5 12.5 5.4 2.315 2

A4 5 2.5 12.5 5.4 2.315 2

A5 5 5 25 5.4 4.630 5

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 12: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

12

A6 5 2.5 12.5 5.4 2.315 2

A7 5 2.5 12.5 5.4 2.315 2

A8 5 5 25 5.4 4.630 5

25

kamar lebar panjang luas pembagi hasil kapasitas

1 2 3 4 (2x3) 5 6 (4:5) 7

B1 5 7 35 5.4 6.481 6

B2 5 7 35 5.4 6.481 6

B3 5 7 35 5.4 6.481 6

18

kamar lebar panjang luas pembagi hasil kapasitas

1 2 3 4 (2x3) 5 6 (4:5) 7

C1 5 2.5 12.5 5.4 2.315 2

C2 5 5 25 5.4 4.630 5

C3 5 2.5 12.5 5.4 2.315 2

C4 5 2.5 12.5 5.4 2.315 2

C5 5 5 25 5.4 4.630 5

C6 5 2.5 12.5 5.4 2.315 2

C7 5 2.5 12.5 5.4 2.315 2

C8 5 5 25 5.4 4.630 5

25

Tabel-tabel di atas memperlihatkan luas ruangan sel, angka standar ruang dan hasil pembagian

yang dianggap sebagai kapasitas ideal ruangan sel. Pada ketiga blok A. B dan C, terdapat total 19

ruang sel dengan total luas ruangan 381 m2. Kapastias ideal per kamar sel yang terletak di lajur

(7) pada bagian total menunjukkan kapasitas blok A 25 sebanyak anak, Blok B sebanyak 18 anak

dan blok C sebanyak 25 atau keseluruhan 61 anak. Dengan rujukan angka ini maka lapas

Kutoarjo, sebenarnya mengalami over-capacity.

B. Lapas Kedungpane Semarang

Lembaga Pemasyarakatan Kedungpane Semarang letaknya di bagian barat kota Semarang,

tepatnya di Jalan Raya Semarang Boja Km 4. Jarak tempuh kurang lebih 30 menit dari simpang

lima dengan menggunakan kendaraan mobil pribadi. Lapas kelas I Semarang yang lebih dikenal

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 13: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

13

dengan LP Kedungpane ini di dirikan untuk melakukan pembinaan terhadap nara pidana dewasa.

Pada kenyataanya lapas ini difungsikan pula sebagai tempat tahanan anak dan dewasa , beserta

nara pidana dewasa. Pencatatan register tahahan dengan kode A I (penahanan Polisi), A II

(Penahan Kejaksaan), A III (Penahanan Pengadilan), A IV (Penahanan Pengadilan Tinggi) , dan

A V (Penahan Makamah Agung). Sedangkan untuk napi dengan kode B II b/A untuk hukuman

3 bulan kebawah (kurang dari 3 bulan), B II a/Anak untuk hukuman dibawah 1 tahun (kurang

dari 1 tahun), dan B I anak untuk hukuman di atas 1 tahun.

Penghuni lapas Kedungpane per Januari 2011 adalah 760 orang dengan rincian tahanan titipan

280 orang, termasuk tahanan anak yang berjumlah 8 anak dan narapidana 480 orang termasuk

narapidana anak yang berjumlah 8 anak. Selama penelitian, tim mengidentifikasi adanya 5 anak

yang berada dalam lapas Kedungpane dengan status narapidana.

NO. S T A T U S DEWASA PEMUDA

ANAK DIDIK

ANAK

PIDANA

ANAK

NEGARA ANAK SIPIL

JUMLAH

P W P W P W P W P W P W

A. TAHANAN

1. A - I 44 1 45

2. A - II 50 4 54

3. A - III 175 3 178

4. A - IV 2 2

5. A - V 1 1

6. Titipan UPT

J U M L A H 272 8 280

B. NARAPIDANA

6. PIDANA MATI -

7. SEUMUR HIDUP 6 6

8. B - I 296 41 5 342

9. B - II - a 93 24 2 119

10. B - II - b 1 1

11. B - III 11 11

12. BI / AS 1 1

13. TITIPAN

18. Merusak Barang

14. LAIN - LAIN

Jumlah B 407 65 8 480

C ANAK NEGARA

JUMAH C

D ANAK SIPIL

JUMLAH D

JUMLAH A,B,C,D 679 65 16 760

Melihat data di atas, kita dapat perhitungkan bahwa lapas Kedungpane merupakan salah satu

tempat penitipan tahanan yang cukup tinggi, sebelum kasusnya diputus pengadilan. Tercatat

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 14: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

14

lebih dari 36% penghuninya merupakan tahanan dari berbagai instansi. Tabel berikut

menjelaskan komposisi tahanan di Kedungpane berikut jenis kejahatannya:

NO. JENIS

KEJAHATAN

PASAL

KUHP/UU TAHANAN

AI AII AIII AIV AV JML

P W P W P W P W P W P W

TTL

1. Politik 104 -129 9 9 9

2. Thd Ketertiban 154 - 181 2 3 2 7 7

3 Pembakaran 187 - 188 3 3 3

4. Penyuapan 209 -210 2 2 4 4

5. Mata Uang 244 - 251 3 3 3

6. Memalsu Meterai, Surat 253 - 275 2 4 6 6

7. Kesusilaan 281 - 297 4 4 4

8. Perjudian 303 3 22 25 25

9. Penculikan 324 - 393 1 1 1

10. Pembunuhan 338 - 350 1 4 5 5

11. Penganiayaan 351 - 356 2 1 13 16 16

12. Pencurian 362 - 364 3 6 5 1 15 15

13. Perampokan 365 1 6 17 24 24

14. Memeras / Mengancam 368 - 369 4 3 30 37 37

15. Penggelapan 372 - 375 2 28 30 30

16. Penipuan 378 - 395 3 13 2 18 18

17. Penadahan 480 - 481 6 1 7 7

18. UU Darurat UU No. 12 9 3 12 12

19. Narkotika UU. No. 9/91 5 15 13 33 33

20. Lain Lain - 2 5 10 17 17

J U M L A H 45 54 178 2 1 280 280

Tahanan dengan status titipan pengadilan negeri (A III) menempati posisi paling banyak, disusul

titipan polisi (A I) dan kejaksaan (A II). Tidak ada tahanan titipan wanita di lapas Kedungpane,

kemungkinan besar mereka ditempatkan di lapas wanita Bulu. Sementara, tahanan yang sudah

menerima putusan pengadilan dan menjalani masa tahanannya atau menjadi narapidana tercatat

ada 472 orang, sebagamana tabel di bawah ini.

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 15: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

15

NO. JENIS

KEJAHATAN

PASAL

KUHP/UU NARAPIDANA

SH BI BIIa BIIb BIII JML

P W P W P W P W P W P W

TTL

1. Politik 104 -129 6 1 7 7

2. Thd Ketertiban 154 - 181 5 3 8 8

3. Pembakaran 187 - 188 3 3 3

4. Mata Uang 244 - 251 4 4 8 8

5. Memalsu Meterai, Surat 253 - 275 4 7 11 11

6. Kesusilaan 281 - 297 35 35 35

7. perjudian 303 9 1 10 10

8. Penculikan 324 - 393 4 4 8 8

9. Pembunuhan 338 - 350 3 43 46 46

10. Penganiayaan 351 - 356 7 8 15 15

11. Pencurian 362 - 364 23 22 45 45

12. Perampokan 365 1 27 3 31 31

13. Memeras / Mengancam 368 - 369 7 6 13 13

14. Penggelapan 372 - 375 4 8 12 12

15. Penipuan 378 - 395 9 4 13 13

16. Dalam Jabatan 413 - 438 2 2 2

17. Penadahan 480 - 481 7 7 7

18. UU Darurat UU No. 12 1 1 1

19. Ekonomi - 1 1 1

20. Narkotika UU. No. 9/91 94 29 4 127 127

21. Korupsi UU. No. 3/71 4 4 4

22. Penyelundupan Psl 26h. Ro.

23. Kecelakaan 359 - 360 1 1 1

24. Teroris UU No. 15

Thn 2004 2 3 5 5

25. Lain Lain - 39 13 7 59 59

J U M L A H 6 338 117 11 472 472

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 16: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

16

Tidak ada narapidana dengan hukuman mati di Kedungpane saat penelitian berlangsung, namun

ada empat narapidana seumur hidup. Narapidana dengan kategori hukuman B I dan BIIa

menempati urutan paling tinggi yang menunjukkan tingkat hukuman di atas satu tahun. Dari

jumlah tahanan dan narapidana, tahanan anak nampaknya merupakan minoritas. Di bulan Januari

2011 tercatat ada 8 anak didik pemasyarakatan, tetapi ketika penelitian berlangsung tinggal 5

orang karena ada yang telah bebas. Semuanya laki-laki dengan semuanya berstatus anak pidana.

Tidak ada anak sipil dan anak negara karena fungsi lapas Kedungpane bukan lapas anak.

NO. JENIS

KEJAHATAN

PASAL

KUHP/UU ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Anak BI BIIa BIIb BIII JML

sipil ngr P W P W P W P W P W

TTL

1 Thd Ketertiban 154 - 181 1 1 1

2 Penganiayaan 351 - 356 1 1 1

3 Pencurian 362 - 364 2 1 1 4 4

4. Narkotika UU. No. 9/91 2 2 2

J U M L A H 5 2 1 8 8

Empat anak masuk ke lapas karena persoalan pencurian, dua karena narkoba dan masing-masing

satu karena melanggar letertiban dan melakukan penganiayaan. Terdapat lima anak dengan masa

penahanan di atas satu tahun, seharusnya dikirim ke lapas anak Kutoarjo. Petugas menerangkan

dua kemungkinan mereka tetap di Kedungpane; pertama karena orangtua mereka meminta tetap

di Kedungpane dengan alasan jarak lebih dekat. Ke dua, karena masa tahanan yang tinggal

sedikit karena terpotong masa tahanan sebelum vonis.

Lapas ini memiliki bangunan ruang yang difungsikan untuk: ruang besuk, koperasi, ruang dapur,

ruang bimker, tempat ibadah (masjid, gereja, pura dan wihara), sarana olahraga (ping pong,

volly, badminton) , Rumah Sakit dan ruang pelatihan kerja. Mekanisme masuk ke dalam ruang

lapas harus melewati beberapa pintu, pintu pertama adalah portir, kemudian pemeriksaan (cek

tubuh dan barang bawaan), masuk kedalam pintu kedua, ke ruangan besuk napi. Setelah

melewati pintu kedua ada pintu menuju bagian ruang Bimpas (Bimbingan Pemasyarakatan).

Sekilas kehidupan napi dari pintu pertama sampai kedua terlihat mereka melakukan aktivitas

bekerja di area lapas seperti kerja bakti, melakukan cat tembok, ada juga yang bertugas

membantu petugas untuk menjadi tamping tugasnya memanggil napi yang akan dibesuk oleh

keluarga/kerabatnya. Jadwal besuk dalam seminggu dibagi menjadi 2 tahap untuk hari senin,

rabu, Jum‟at untuk tahanan baik dewasa maupun anak, sedangkan hari selasa, kamis dan sabtu

untuk nara pidana. Waktu berkunjungan dari pukul 09.00 sampai 13.00. setiap napi mendapatkan

kesempatan bertemu dengan tamu sekitar 15-20 menit, waktu habis jika ada tanda bel yang

dibunyikan oleh petugas. Setelah napi ataupun tahanan selesai menemui kerabatnya mereka

biasanya membawa sesuatu barang makanan atau pun lainnya sebelum masuk pintuk blok

diperiksa oleh tamping di depan pintu. Seringpula para tamping meminta kompensasi dalam

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 17: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

17

bentuk barang ataupun uang dari tahanan/napi. Konsekuensi jika tidak diberi maka untuk

kunjungan keluarga/kerabat akan dipersulit.

Berkaitan dengan pembinaan yang ada di Lapas Kedungpane yang khusus di tujukan kepada

anak memang belum ada, karena konsep pembinaaan yang ada lebih terfokus pada napi dewasa.

Jadwal kegiatan harian khususnya napi maupun tahanan anak disana mereka bangun tidur,

membersihkan kamar, mengambil air, mendapatkan jatah makan, bermain ke blok lain/olah raga,

menjalankan ibadah, bersih-bersih kamar dan kembali lagi tidur. Untuk beberapa anak ada yang

memiliki kegiatan berbeda yaitu mereka menjadi “kurve” yang tugasnya mengambilkan air ke

blok atau kamar lain dengan mendapat upah uang maupun barang/makanan. Namun memang

tidak semua anak menjadi kurve hanya yang mau saja.

Petugas memberikan kesempatan anak untuk berinteraksi dengan napi luar antara pukul 07.30

sampai 13.30 ( up plus/absen), kemudian tutup blok pukul 16.00 WIB sampai pukul 07.30 WIB.

Anak-anak memiliki jadwal yang tidak jauh berbeda, mulai dari bangun tidur sampai tidur

kembali. Untuk kegiatan sekolah, pelatihan maupun ketrampilan tidak ada yang mengikuti.

Kegiatan tersebut lebih difokuskan untuk pembinaan orang dewasa. Tahanan Anak/ napi anak

lebih melakukan kegiatan ibadah (masjid) untuk mengaji, olah raga dan kegiatan santai lainnya.

Ada kegiatan rutin tiap pagi yang wajib di ikuti oleh semua napi anak/dewasa dan tahanan yaitu

senam pagi bersama yang di pandu oleh petugas bimpas.

Fasilitas yang berkaitan dengan program pembinaan napi ada ketrampilan membuat sabun, keset,

menjahit dan pertukangan. Selain ketrampilan fasilitas kesehatannya lapas memiliki rumah sakit

yang dilengkapi dengan 2 dokter ( dokter umum dan dokter gigi) yang dibantu 3 perawat laki-

laki dan satu orang psikolog. Fasilitas sel yang ada memiliki 11 blok dan blok pidana khusus (

napi teroris), setiap blok ada 21 kamar. Penamaan blok menggunakan nama abjad dari huruf I –

J. Setiap kamar memiliki kapasitas orang yang berbeda,namun khusus untuk anak di tempatkan 1

blok dengan maksimal 5- 7 anak. Rata-rata anak yang menjalani hukuman di lapas kedungpane

hukumanya dibawah satu tahun, meskipun ada anak dengan kasus narkoba yang menjalani

hukuman lebih 1 tahun berada dilapas kedungpane.

Lapas juga memiliki sel yang di fungsikan untuk menjalani karantina dan menghukum ketika

napi melanggar aturan. Sel karantina memiliki kapasitas 7- 9 orang namun kadang-kadang di isi

lebih dari itu. Setiap orang ataupun anak yang baru kali pertama masuk Lapas kedungpane selalu

dimasukan ke sel karantina. Selain itu ada sel yang disebut “sel tikus” yang digunakan untuk

menghukum napi yang melanggar aturan. Kedua sel tersebut digunakan untuk semua napi baik

dewasa maupun usia anak.

Pembinaan napi di lapas kedungpane bekerja sama dengan Departemen Agama dan IAIN

(Institut Agama Islam Negeri) Semarang. Petugas yang ada di sana memiliki latar pendidikan

yang berbeda mulai dari ilmu hukum, ekonomi, elektro dan pendidikan dengan jenjang S1

(sekitar 34-40 %), SMU dan SMP ( sekitar 2 %), S2 ada 4 orang.

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 18: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

18

BAB III.

Praktik Layanan, Perlakuan Dan Program Pembinaan

A. Lapas khusus Anak Kutoarjo

Ketika masuk pertama kali, umumnya anak-anak tidak begitu tahu peraturan dalam lapas secara

jelas. Mereka menyatakan bahwa peraturan tersebut mereka pahami setelah beberapa saat berada

di dalam. Menurut Aji (16 tahun), ketika masuk pertama kali dia belum tahu secara detail

mengenai peraturan di lapas. Dia hanya memahami aturan mengenai tata tertib, “belum tau,

cuma dibacakan aja, ya peraturan-peraturan ketertiban di lapas”. Anak lain yang telah lama

berada di lapas umumnya tidak yakin betul mereka tahu peraturan di awal, sebagaimana

dituturkan Arifudin (14 tahun) yang berstatus sebagai Anak Negara. Sudah mendiami lapas

selama empat tahun, dia agak lupa bahwa pernah mengetahui adanya peraturan yang dibacakan

ketika pertam kali masuk ke lapas, walaupun sekarang dia tahu apa yang mesti dilakukan dan

tidak dilakukan di dalam lapas.

Peraturan di lapas diberikan secara lisan oleh petugas dan

dipelajari anak selama mereka tidanggal di dalam lapas.

Hidayat (17 tahun) seorang Anak Negara yang ketika

masuk berstatus titipan tidak merima salinan peraturan

tertulis mengenai berbagai fasilitas di lapas. Setelah

beberapa saat baru ia mempelajari dari lingkungan

sekitarnya, “Belum tau, dua bulan setelah disini baru tau,

selesai sidang”. Kondisi ini tentu berbeda dengan mereka

yang sebelumnya pernah masuk penjara. Walaupun

berada dalam lapas yang berbeda, Andi (18 tahun),

misalnya, menerangkan bahwa ia hanya tahu kalau

peraturan di lapas ketat. Detailnya tidak begitu jelas, tetapi

pasti ketat. Ia berpengalaman tinggal di lapas Demak

sebelumnya sehingga mempunyai perbandingan mengenai

peraturan lapas, “Ya pasti kan kalo peraturan di lapas

ketat apalagi di Demak”.

Detail peraturan tidak diketahui secara pasti oleh anak

pada saat pertama masuk tetapi ada salinan peraturan yang

dapat mereka pelajari ditempel di dinding sel, jendela, pintu dan tempat-tempat strategis di

dalam lapas. Hanya saja anak-anak tersebut memang tidak mendapat penjelasan secara tepat.

Nugroho, 15 tahun, menyatakan bahwa peraturan tentang lapas yang diketahui hanya ketertiban

saja, “...ya ketertiban aja diberitahu … peraturan tertulis ada di lingkungan LP...”.

Kepala Lapas dan Ketua KPLP juga menyatakan bahwa anak-anak hanya diberi orientasi umum

mengenai peraturan di dalam lapas secara lisan. Namun mereka telah menempel peraturan di

tempat-tempat strategis. Menilik penggunaan bahasa dalam peraturan tersebut, Kepala KPLP

sendiri tidak yakin setiap anak akan tahu. Peraturan no. 9 dari tata terib yang ditempel di dinding,

keluaran September 2010, menegaskan „Tidak membentuk kelompok atau golongan berdasar

Peraturan di Dinding Lapas

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 19: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

19

SARA (Suku Agama dan Ras) dan berdasarkan ikatan emosional lainnya yang eksklusif dan

diskriminatif‟. Bahasa dalam poin tersebut menurutnya susah dimengerti anak tetapi dengan

memberikan contoh ia yakin anak akan mengerti, “ya sebaiknya anak semarang jangan cuma

kumpul dengan kelompok semarang saja...bergaul dengan yang dari banyumas...”.

Kepala Lapas menyatakan, sesuai aturan anak-anak itu ditempatkan dalam satu sel dengan

pertimbangan tertentu, yaitu status anak: anak negara menempati sel terpisah dengan anak

pidana. Kepala KPLP menambahkan pertimbangan situasional lain seperti jenis kejahatan,

daerah asal, dan jenis kelamin. Seorang anak negara, Hidayat, mengkonfirmasi bahwa

sepengetahuannya tahanan anak-anak ditempatkan terpisah sesuai umur dan sebagai Anak

Negara, ia ditempatkan satu kamar dalam blok Anak Negara dengan rekan-rekan yang berstatus

sama, “...kalo saya kan sebagai anak negara sudah dikhususkan, satu kamar anak negara

semua, ngga dicampur sama yang lain, gitu”.

Segera setelah cek administrasi dan kesehatan, anak dimasukkan ke dalam sel isolasi selama

seminggu. Pemeriksaan administrasi penting dilakukan untuk memastikan anak masuk ke lapas

dengan status yang tepat. Selain kelengkapan berkas perkara, juga diteliti usia anak. Di Kutoarjo

pernah ada orang tua yang mengklaim anaknya telah berusia 20 tahun sesuai dengan akta

kelahiran, namun lapas menganggapnya masih di bawah 18 tahun sesuai dengan salinan berkas

perkara. Kepala Lapas merujuk pada dokumen yang membawa anak ke lapas, “ saya memakai

dasar hukum yang mempunyai kekuatan tetap yaitu berita acara pemeriksaan polisi dan putusan

hakim...”. Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh pihak lapas yaitu meneliti kemungkinan

penyakit, mengukur tinggi dan berat badan. Oky (28 tahun) paramedis di lapas menjelaskan

prosedur baku yang harus dilalui, “...kita mengukur tinggi badan, beratnya...riwayat penyakit”,

lalu memeriksa kondisi fisiknya apakah ada cacat atau kelainan. Semuanya ditulis dalam buku

registrasi.

Anak perempuan ditempatkan di sel bagian paling depan, terpisah dari sel tahanan lain. Sel

tersebut menghadap ke arah dapur dan tepat berseberangan dengan meja jaga para petugas blok.

Saat peneliti tiba di lapas, hanya ada seorang tahanan perempuan yang baru seminggu masuk

lapas, namun dua hari sebelum penelitian usai masuk lagi seorang anak perempuan yang

kemudian ditempatkan dalam satu sel yang sama.

Di dalam lapas, anak-anak diperkenankan membawa barang-barang pribdai sepanjang tidak

membahayakan penghuni lai. Senjata tajam dan alat dari logam yang mungkin dapat mencederai

dilarang keras dibawa masuk, “...sendok garpu gak boleh”. Benda-benda dari logam itu

dikhawatirkan dapat menjadi senjata tajam di tangan penghuni lapas. Demikian pula dengan alat

telekomunikasi dan hiburan. Menurut Andi, 18 tahun, setiap anak mendapat fasilitas yang bersih,

mulai dari ruangan, baju tahanan tiga stel, selimut, alat mandi dan kasur. “Bersih pada awalnya

tapi tergantung orangnya,” katanya. Semua barang pribadi yang tidak boleh dibawa masuk

disimpan oleh petugas tanpa ada bukti yang mereka terima. Sekalipun demikian Andi melihat

bahwa semua barang itu nantinya akan dikembalikan sewaktu bebas, “itu ditulis aja....kan kalo

keluar bisa dibalikin”.

Selama menjalani masa tahanan, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan latihan

ketrampilan yang sesuai usia dan minat mereka. Lapas menyediakan unit pendidikan kejar paket

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 20: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

20

A, B1 dan B2 untuk penghuni serta berbagai kursus ketrampilan. Wahyu, Aji (16 tahun), Arif,

(14 tahun), Nugroho (15 tahun) menikmati program kejar paket B-1. Beberapa anak menyatakan

sisi positif dari keberadaan di lapas dalam hal pendidikan. Ari, anak negara yang sudah

mendiami lapas selama empat tahun merasa beruntung karena sebelumnya ia hanya sempat

duduk di kelas satu SD. Ia meneruskan pendidikan selama di lapas melalui program paket.

Demikian pula dengan Hidayat, anak negara berusia 17 tahun, yang berkesempatan meneruskan

pendidikan setingkat SMU melalui paket C.

Namun, ada pula yang pendidikannya terpaksa putus karena masuk lapas. Purnomo, mantan napi

di lapas Kutoarjo, menceritakan bahwa sebelum masuk ia tengah menanti ujian akhir di STM.

Ketika masuk lapas, ia tdak bisa lagi meneruskan sekolah dan terpaksa putus pendidikannya.

Kasus Purnomo ini sangat menyedihkan dan membuat petugas lebih memperhatikan aspek

pendidikan bagi anak-anak, terlebih mereka yang tinggal menghadapi ujian akhir.

Kalapas menerangkan bahwa lapas Kutoarjo baru-baru ini memfasilitasi ujian akhir penghuni

setingkat SMP. Dua siswa SMP Bakti Karya Pituruh, Kabupaten Purworejo yang menjadi

tahanan Lapas Anak Kutoarjo menikmati fasilitas Ujian Nasional setara SMP di dalam Lapas

Anak Kutoarjo. Keduanya tengah menjalani proses pengadilan dengan sangkaan melanggar pasal

363 KUHP tentang pencurian. Selama empat hari pada akhir bulan Maret 2010, mereka

mengerjakan ujian setelah sebelumnya ikut program Kejar Paket B yang diselenggarakan di

Lapas Kutoarjo. Ujian akhir untuk peserta program paket dilakukan beberapa bulan berikutnya.

Sebanyak 19 anak mengerjakan Ujian Nasional Paket Kesetaraan Paket C di lapas anak Kutoarjo

tanggal 22 Juni 2010. Dalam ujian tersebut, 12 warga binaan Lapas Anak Kutoarjo dan 7

masyarakat umum di sekitar lembaga permasyarakatan mengikuti ujian bersama.

Apabila pendidikan sekolah umumnya ditanggapi positif oleh anak-anak, program kursus agak

berbeda sifatnya. Penghuni lapas menilai kegiatan ini hanya merupakan bantuan dari pihak

ketiga tanpa ada program yang terencana dai lapas. Sebagaimana dinyatakan Andi, lapas

Kutoarjo relatif lengkap sarana pendidikannya, “ada perpustakaan di atas...ada macem-macem

kegiatan, ada karawitan, kursus-kursus yang lain juga ada, prosesing (memasak kue), menjahit,

otomotif, musik”. Lama kursus yang ditawarkan beragam antara satu-dua bulan; ia

mencontohkan selama ikut kursus menjahit dan membuat kue “...menjahit itu satu bulan

setengah, kalo prosesing satu bulan”. Namu ia menyayangkan bahwa program pelatihan tidak

reguler tetapi berdasar kemauan petugas belaka, walaupun ada lembaga dari luar yang

menawarkan program, “itu tergantung dari pusatnya, kalo pusatnya ngadain lagi ya kerjasama

lagi.”

Selain mendapatkan pendidikan dan ketrampilan, penghuni lapas juga berkesempatan bekerja.

Anak dapat bekerja dalam arti membantu petugas mengelola kegiatan tertentu, seperti Dwi (17

tahun) bekerja di klinik untuk membantu paramedis melakukan registrasi dan memberikan obat

pada penghuni yang sakit. Sebagai PMO (pengawas minum obat), Dwi tidak mendapat upah

tetapi ia relatif mempunyai waktu lebih lama berada di luar sel ketika bekerja. Kemudian ada

juga anak-anak yang berada dalam korve dapur, bangunan dan cuci mobil/motor. Purnomo,

mantan napi, berkisah bahwa ia termasuk tahanan yang merintis usaha jasa cuci mobil/motor.

Anak yang bertugas mendapat upah 2000 untuk cuci mobil dan 1000 untuk cuci motor. Namun,

semenjak masa kepemimpinan lapas yang baru, semua pekerjaan yang memberikan upah ada

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 21: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

21

anak ditutup. Usaha cuci mobil/motor baru buka lagi ketika penelitian berlangsung dengan

sistem kemitraan dengan investor dari luar. Tak ada lag anak yang bekerja.

Walaupun sedikit sekali peluang bagi anak untuk mendapat uang, Hidayat (17 tahun)

menemukan celah untuk mendapat uang seperti, “ya mungkin pijit, kadang lima ribu...sepuluh

ribu...sama pegawai”. Uang sejumlah itu bukan penghasilan rutin, hanya kadang-kadang saja

dan hanya dipergunakan untuk keperluan tersier, “kadang buat beli mie...”.

Berada dalam lapas selama kurun waktu yang panjang membuat jenuh para penghuni. Berbagai

kegiatan harus dirancang untuk menghalau kejenuhan penghuni dan membuatnya menjadi lebih

positif. Salah satu fasilitas untuk menyalurkan tenaga muda yang berlebih sekaligus untuk

mengisi waktu luang adalah dengan berolahraga. Di lapas Kutoarjo tersedia lapangan bola voli

dan bulutangkis yang selalu ramai dipakai di sore hari. Setiap hari Jumat, penghuni bebas

kegiatan sekolah dan kursus, seharian dipergunakan untuk rekreasi yang biasanya berupa

permainan voli dan bulutangkis. Sayangnya, menurut sebagian anak, lapangan itu terlalu kecil

hanya satu ukuran lapangan bola voli. Di tengah lapangan voli itu, ada pula garis-garis untuk

lapangan bulutangkis. Bila hanya untuk bermain-main, di kedua ujung lapangan voli, dapat

dipakai untuk dua lapangan bulutangkis. Alhasil anak-anak hanya dapat bermain olahraga secara

bergantian.

Pembinaan mental spiritual dilakukan melalui kegiatan keagamaan. Lapas memfasilitasi anak

yang beraga Islam dan Katolik untuk secara berkala menjalani pembinaan. Anak yang beragama

Islam secara rutin diikutsertakan dalam pengajian miingguan; sementara yang Katolik secara

tidak berkala didatangi rohaniawan. Karena mayoritas beragama Islam, pengajian agama Islam

mendapat prioritas dari petugas; ada kejasama dengan Kanwil Depag yang mengirimkan petugas

untuk pengajian rutin setiap hari Rabu pagi. Di samping itu ada juga kelompok dakwah Islam

yang secara tidak berkala mengunjungi lapas untuk berceramah. Pengajian wajib ini bagi

sebagian anak dianggap sebagai selingan saja, karena merupakan suatu hal yang wajib. Menurut

Andi (18 tahun), pengajian itu tidak begitu berpengaruh ke dalam diri anak, hanya menjadi

selingan kegiatan semata, “kalo berkaitan dengan saya yang jadi masukan saya dengerin, kelo

lelucon buat hiburan aja”. Aji (16 tahun) juga berpendapat serupa, “kadang-kadang dimasukkan,

kadang-kadang klo pikirannya ngga fit ya ngga mau nangkep, tak tinggal tidur”. Bahkan

sebagian dari anak berusaha mencari alasan untuk tidak ikut dengan berpura-pura sakit.

Selama berada di lapas adakalanya anak mengalami gangguan kesehatan atau sakit. Menurut

Arifudin (14 tahun) umumnya penyakit dibedakan antara sakit yang ringan dan sakit yang berat;

untuk sakit-sakit ringan biasanya ada tamping yang memeriksa apakah ada anak yang sakit,

“...ada yang ngecek, tamping yang membantu petugas di klinik...”, jika ada yang sakit barulah

tamping tadi memberitahu kepada petugas kesehatan lapas. Di lapas ini terdapat klinik untuk

memeriksakan kesehatan anak jika sakit serta ada dokter yang datang (walaupun tidak setiap

hari). Di ata Andi, setiap penghuni memiliki hak mendapatkan perawatan kesehatan yang bagus,

“Hak kesehatan terjamin, ada perawat khusus, kalo sakitnya parah bisa keluar, misalnya sakit

jantung”. Hidayat pernah mengalami sakit ringan dan berat selama di lapas dan mendapat

perawatan untuk dua jenis penyakit yang diderita selama ini, “...yang pertama gatel-gatel, yang

kedua asma, ya dibawa ke rumah sakit, keluar…”.

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 22: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

22

Karena penyakit yang diderita biasanya menular, terutama penyakit kulit dan ISPA, maka

pengobatannya cenderung serupa. Hal ini sering ditanggapi sinis oleh anak yang merasa hanya

diobati seadanya di klinik. Nugroho (15 tahun) bercerita pengalamannya berobat di klinik namun

ketika ditanya obat apa yang diberikan, dia berkata “...paling amoxilin, lagi-lagi amoxilin...”.

Menurut paramedik, standar pengobatan untuk penyakit tertentu memang antibiotik, anti jamur

dan vitamin. Hal ini terutama dikaitkan dengan penyakit kulit yang menjadi panyakit paling

umum diderita penghuni lapas.

Kontak dan informasi mengenai kondisi orangtua atau keluarga di luar tahanan relatif terbuka.

Mereka tidak kesulitan memperoleh kabar mengenai kondisi keluarga melalui petugas. Sarkowi

(42 tahun) seorang ayah mantan napi di Kutoarjo berkata bahwa sepanjang menjalani hukuman,

Ekky (anaknya) tidak pernah mendapat kesempatan untuk keluar, berkunjung ke keluarga atau

untuk mendapat pendidikan. Sarkowi juga tidak tahu kalau ada aturan yang memperbolehkan

begitu. Namun salah satu sarana komunikasi yang dapat menghubungkan bapak-anak itu di lapas

adalah HP. Meskipun Ekky tidak punya HP dan memang dilarang untuk membawa tetapi ada

saja napi yang memiliki HP. Dari rekannya itu Ekky bisa memberi kabar ke keluarga atau dari

petugas yang kenal keluarga, “Kadang-kadang dia dekat sama orang-orang tetangga sini,

kadang Pak pinjem HP sebentar untuk telepon Bapak…”

Keluhan bukan terutama pada kontak dengan orang tua, saudara atau teman di luar tetapi pada

kesempatan untuk keluar lapas bertemu dengan mereka. Mengenai hal tersebut, Andi yang

pernah menghuni Lapas di Demak, mengatakan bahwa

…ia masuk lapas Kutoarjo bersama saudara sepupunya. Ketika orangtua

saudaranya meninggal, saudaranya mendapat ijin pulang tetapi ia tidak. Peraturan

di lapas Kutoarjo mengenai hal ini tidak begitu ia ketahui, tetapi dari

pengalamannya di lapas Demak, penghuni dapat keluar untuk kepentingan

keluarga asal memberi uang pada petugas, “...ada hal penting misalnya ada yang

nikah, tapi ada bayar 500 ribu....kalo disini kurang tau”.

Dalam hal komunikasi dengan dunia luar, lapas mengatur lalulintas surat dari anak yang

dititipkan ke wali untuk diberikan pada orang tuanya. Anak juga disediakan berbagai bacaan

hiburan dan berita yang dapat dibaca di ruang serbaguna lapas. Keluarga yang menjenguk pun

diperkenankan membawa koran atau majalah. Sementara televisi hanya satu yang tersedia untuk

ditonton beramai-ramai. Menurut Andi, “...koran biasanya orang tua besuk bawa koran, klo dari

sini ngga ada, kebanyakan majalah, televisi juga ada, satu buat semua.”

Kalapas bukannya tidak mengetahui kebutuhan komunikasi tersebut namun ia tak hendak

melanggar aturan. Pak Rasyid (kalapas Kutoarjo) mengaku sering sedih melihat betapa anak-

anak itu ingin melihat kondisi luar, “saya lihat anak-anak sering duduk-duduk di beranda depan

kantor administrasi...untuk melihat kendaraan lewat”. Dari beranda itu, ada celah yang

memungkinkan anak melihat jalan raya, walaupun dari kejauhan dan sempit sudut

pandangannya.

Sebagai sebuah lembaga pemasyarakatan, Lapas Anak Kutoarjo menerapkan sistem penegakan

disiplin standar. Meskipun banyak di antara petugas yang kemungknan tidak mengetahui persis,

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 23: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

23

menurut Kalapas Rasyid, pengalaman membuat petugas paham bahwa penanganan tahanan anak

dan dewasa itu berbeda. Di lapas tidak boleh ada kekerasan fisik pada anak. Memberikan

hukuman sebagai sanksi atas pelanggaran juga harus terkontrol. Paling sering adalah dengan

menyuruh anak-anak lari atau push up; sementara yang paling berat adalah dengan memasukkan

mereka ke sel isolasi selama enam hari, “bawa ke sel tutupan sunyi...”. Masuk ke sel isolasi,

sepengetahuan Pak Rasyid sangat menyiksa sampai-sampai beberapa anak yang dihukum

memilih lebih baik dipukul saja sebagai hukumana daripada harus masuk sel isolasi.

Wahyu, Andi, Arif dan Aji menilai lapas Kutoarjo cukup disiplin dalam menegakkan peraturan.

Andi pernah dihukum hanya karena persoalan sepele, “lari duapuluh kali muterin lapangan,

gara-gara ngga pake seragam”. Sekalipun demikian, bagi Arif tidak ada peraturan yang dibuat

yang tidak dilanggar. Walaupun sudah jelas ada peraturan yang melarang adanya alat

komunikasi seperti handphone, tetap saja ada yang melanggar peraturan tersebut. Sanksi yang

diberikan untuk anak yang melanggar hal tersebut biasanya dimasukan ke dalam sel isolasi,

“...pernah, di sel selama tiga hari...”. Jika ditanya kenapa dihukum anak sudah tahu bahwa itu

adalah akibat perbuatannya dan menurut Arif hukuman sel isolasi cukup membuat dia berpikir

untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Walaupun mengklaim tidak lagi ada penanganan secara fisik, Nugroho mengaku pernah kena

pukul petugas ketika suatu kali tidak mengenakan baju seragam. Ia ditampar dan dipukul sebagai

hukuman. Kalapas dan Kepala KPLP tidak menutupi kenyataan bahwa dalam tingkat tertentu

memang masih ada perilaku kekerasan, bahkan mereka menganggap tetap perlunya ada satu

figur petugas yang membuat anak takut atau berpikir untuk berbuat negatif. Menurut Kepala

KPLP sebagian anak dibesarkan dalam budaya kekerasan di jalanan, “...susah ngomong baik-

baik ke mereka...seperti hanya lewat saja omongan kita”. Peran petugas yang ditakuti

menurutnya penting sebagai penyeimbang karena pola pembinaan yang persuasif belaka ia yakin

tidak akan sepenuhnya efektif. Harus tetap ada sosok yang disegani atau ditakuti, “yaaa...begitu

memang. Anak butuh orang yang ditakuti...iya Pak XXX itu yang sering nggulung kalo kata

anak-anak ya...”..

Setiap anak mempunya wali yang ditunjuk lapas, antara lain untuk menangani berbagai masalah

pada anak. Satu wali membawahi beberapa anak dalam tiga sel. Dalam tabel yang tertempel di

salah satu dinding blok terampang nama wali dan anak-anak yang menjadi tanggungjawabnya.

Ada tujuh karyawan lapas yang menjadi wali dengan distribusi satu wali membawahi 10-18

anak. Namun perhatian dan kepekaannya dalam memahami anak berbeda-beda. Andi beruntung

mendapat wali yang sangat memperhatikan kebutuhannya, “...alhamdulillah perhatian sih,

ditawarin mo ngubungin apa ngga”, ujarnya menerangkan saat wali menawarinya untuk

menghubungi keluarga. Demikian pula dengan Aji yang merasa cukup diperhatikan seperti

ketika dia mau mengirim pesan singkat melalui handphone, “perhatian...misalnya mo minta

sms”.

Aspirasi dan harapan anak terkait dengan keberadaan mereka di lapas dan di masa mendatang

umumnya bersifat ideal. Ketika diminta untuk menyebut harapan bagi kondisi yang lebih baik di

dalam lapas, muncul sederet harapan: “Saya ingin ditambah alat-alat band...di tambah lapangan

untuk sepak bola...ditambah fasilitas kamar...ditambah fasilitas tv...ditambah kegiatan

karawitan....ditambah fasilitas kegiatan kerja” (Andi), “...saya ingin ditambah alat-alat band,

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 24: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

24

ditambah lapangan untuk sepak bola, ditambah fasilitas kamar, ditambah fasilitas tv, ditambah

kegiatan karawitan, ditambah fasilitas kegiatan kerja...” (Aji) , “...pakaian, peralatan mandi,

makanan (makanannya yang lebih bervariasi, lebih enak) tvnya 1 kamar 1, kamar mandi ada

kran, buahnya diganti jeruk...” (Nugroho), “...sabun mandi dan sabun cuci, pingin keluar,

pakaian, peralatan makan, pingin kamar kecil (kamar kecil yang bersih dan layak), Anak

Negara jangan dicampur, dipencar...” (Wahyu). Umumnya mereka mengharap fasilitas lapas

yang lebih baik, walaupun muncul pula keinginan yang sangat persoanal sebagaimana

diungkapkan Nugroho yang ingin buahnya diganti dengan jeruk, tidak pisang terus menerus.

Sementara setelah menjalani pembinaan di lapas, hal-hal yang sifatnya personal lebih banyak

lagi kemunculannya, “Aku butuh kerja....butuh kebutuhan hidup saya.... pendidikan....butuh

kasih sayang orangtua... ingin lanjutin sekolah ke universitas.... ingin kerja untuk hidup

keluarga” (Andi), “...aku butuh kerja, saya butuh kebutuhan hidup saya, saya butuh pendidikan,

saya butuh kasih sayang ortu, saya ingin lanjutin sekolah ke universitas, saya ingin kerja untuk

hidup keluarga...” (Aji), “...saya bisa diterima di pesantren kilat, saya bisa bekerja,

membahagiakan orang tua...” (Nugroho), “...pingin melanjutkan sekolah, pingin bisa bekerja,

pingin minta maaf sama orang tua...” (Wahyu). Ada keinginan untuk hidup lebih baik,

meneruskan sekolah atau bekerja; namun muncul pula keinginan personal yang sentimental

seperti ingin membahagiakan orang tua atau sekedar minta maaf kepada mereka. Mereka juga

tetap berharap diterima oelah masyarakat dan terutama orangtua.

B. Lapas Dewasa Kedung Pane, Semarang

Anak-anak di lapas Kedungpane umumnya memahami aturan setelah beberapa saat tinggal di

lapas. Petugas hanya menerangkan secara lisan, tanpa ada pemberitahuan aturan tertulis pada

anak kecuali lembar aturan yang ditempel di dinding. Agung Ipung, 17 tahun, tahanan yang

sedang mengajukan PB (Pembebasan Bersyarat) terkena kasus menyembunyikan kejahatan

mengetahui bahwa ada peraturan tertulis yang terpampang di dalam lapas namun tidak menerima

peraturan dalam bentuk tertulis, ”... Disuruh sholat, waktu mau masuk kan di data dulu di pos

mba... Ada kok...dibaca sendiri di pendopo di sana kamar-kamar, terus di tengah pendopo, meja

pingpong terus di sana ada papan peraturan...”. Agung Buchori (17 tahun) salah satu anak

penghuni Lapas Kedungpane Semarang, karena pasal pencurian juga hanya menerima peraturan

secara lisan, “...ya menaati peraturan, mengikuti kegiatan...ngga boleh memancing keributan,

mencuri...”. Hal serupa juga dialami oleh Andi Kurniawan (17 tahun) yang menjalani tiga bulan

hukuman dan sudah menjalani setengah dari masa hukumannya. Ia juga hanya menerima

sosialisasi secara lisan

Apa yang terjadi di Kedungpane terkait dengan masa orientasi anak di lapas menunjukkan

keumuman bahwa anak tidak menerima atau mengetahui adanya aturan tertulis yang diberikan

kepada mereka. Namun, aturan tersebut ada dan ada upaya dari lapas untuk memberikannya

kepada anak melalui lisan dan melalui media dinding. Aturan tersebut ditempelkan di lokasi

strategis agar dapat dibaca dan dipelajari anak.

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 25: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

25

Setiap anak, ketika pertama kali masuk diperiksa kesehatannya dan melewati beberapa prosedur,

“... Dibawa ke sini mbak, registrasi, difoto, didata nama-namanya, habis itu dibawa ke blok J...

Iya mba, mulai regitrasi, terus di RS. Sehari langsung selesai, kesehatan, bagian tubuh di

timbang, ditanya kamu umur berapa, kamu masuk karena kasus apa...” kata Agung Ipung yang

sekarang berada di sel bersama enam orang lainnya. Walaupun masuk kategori anak, tahanan

anak tetap mengalami masa orientasi yang sama. Setelah registrasi mereka masuk ke sel

karantina. Agung Buchori ditempatkan bersama 7 orang, termasuk tahanan dewasa, setelah 11

hari baru dipindahkan ke sel anak. Selama masa karantina, Agung Buchori ditanya kasus yang

menimpa dirinya, “...Ya ditanyain kasus, biodata, berapa kali masuk sini, badannya ada yang

digambar atau nggak....”, dia harus bertahan di dalam sel tersebut selama masa karantina, ”...

dibawa ke karantina lagi, ya satu blok, saya kan di blok J, Iya kamar karantina. Tapi saya

karantinanya di kamar 1. Makannya kalo mau minta air sama ambil makanan. Ya sekitar 14

sampai 25 hari. Tergantung airnya ngalirnya...”. Saat penelitian, Agung sudah menempati sel

anak bersama enam anak lainnya.

Anak-anak di Kedungpane sempat mengalami beberapa kali perpindahan sel karena sel anak

yang mereka tempati dijadikan sel tahanan tipikor. Andi menjelaskan, “...Ini lho...kemarin di

blok J, 2 minggu dipindah semua, karena blok J kan dikosongi, buat..dari blok J pindah blok H.

yang blok H dipindah disebar ke blok D , Nah yang blok F udah dapat hukumn berapa pindah ke

napi...”. Saat itu dia bersama 17 orang di dalam satu sel tetapi kemudian dipindahkan ke kamar

anak yang berisi 9 orang, “...16 sampai 17 orang, dewasa semua, (setelah 2 haru dipindahkan),

ada 9 orang, pindah ke kamar anak-anak...”.

Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa walaupun ada sel khusus anak, tahanan anak sempat

menempati sel bersama tahanan dewasa. Status sel tahanan anak yang lebih nyaman itu juga

kemudian dialihfungsikan menjadi tahanan tipikor dan untuk mereka disiapkan sel lain yang

baru. Perlu dipertimbangkan lebih lanjut untuk memperhatikan aspek interaksi anak dengan

tahanan dewasa, baik selama dalam sel karantina maupun dalam pergaulan sehari-hari.

Di sel karatina, Agung Buchori sempat heran dengan kondisi bahwa untuk mendapat kasur napi

harus membeli dari petugas. Untung, Agung mendapatkan kasur dari temannya yang bebas,

“...Nggak ada, usaha sendiri, nggak ada, beli....sekitar Rp 60.000,00 – Rp 100.000,00...”.

Sekalipun demikian di sel anak, terdapat fasilitas seperti kasur, bantal, tikar sudah tersedia dan

kondisi sel tidak terlalu bersih, ”... ada, sudah ada kasurnya, Tikar, bantal, ada T-nya, ada

karpet juga buat makan-makan... Nggak terlalu (kondisi kebersihan sel)...”. Hal yang sama juga

diterima Agung Ipung yang memperoleh fasilitas, “...kasur ada, selain itu sabun dikasih, sikat

gigi, odol piring buat makan, gelas. Tapi gelas tidak boleh beling, Kan kalau beling bisa buat

marah-marah mukul kepala bisa bocor,.... Ada karpet, ambennya dari besi terus ada lemari,

kamar mandi...”.

Agung Buchori menjelaskan klasifikasi barang-barang yang diperbolehkan ada di lingkungan sel

dan yang tidak boleh sudah pasti alat komunikasi, walaupun secara diam-diam memasukkan

handphone ke dalam sel, ”... Bawa HP boleh tapi umpet-umpetan petugas, Ya kalo kayak gitu

paling nggak ngasih uang rokok (jika ketahuan),... Radio boleh. Kipas angin boleh. Dispenser

boleh,... Magic com, kalo kamar anak-anak itu khusus dibeliin...”.

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 26: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

26

Kondisi fasilitas yang mereka terima umumnya bagus dan bersih, walaupun ada juga yang

kecewa dengan kondisi awalnya. Andi Kurniawan menjelaskan bagaimana kasur yang ia terima

tidak bersih, “...gak ada tempat tidur..cuma lesehan mbak, kasur tu ada semut, kalau ada temen

pinjem kasur, kebanyakan pake karpet atau tikar, gak ada kasur...”. Selanjutnya, soal kebersihan

memang sangat tergantung dari pribadi orang yang tinggal di dalam sel, menurut Agung

Buchori, “...Biasa seh mba, tergantung orangnya mba...“.

Fasilitas di lapas memang terbatas, dalam beberapa kasus napi harus mengeluarkan uang untuk

mendapatkannya, terutama di sel karantina. Di sel anak, fasilitas lebih baik walaupun tingkat

kebersihannya masih harus ditingkatkan. Berbagai barang yang seharusnya tidak boleh masuk sel

bisa diperoleh dengan membayar kepada petugas. Walaupun ini mempermudah anak tetapi harus

ditertibkan.

Selama berada di lapas, anak-anak tidak berkesempatan melanjutkan pendidikan karena tidak

tersedia fasilitas demikian. Buku-buku tersedia di masjid namun tidak ada ruangan khusus serupa

perpustakaan. Agung Ipung menjelaskan untuk membaca buku harus sering-sering ke masjid,

“...Ya da di masjid, Ya paling kalau mau ke masjid baca-baca buku terus sudah...”.

Ada beberapa kegiatan yang diadakan di dalam lapas tapi itu terbatas hanya untuk napi dewasa

sedangkan napi anak tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan itu. Menurut Agung Ipung,

berbagai jenis pelatihan tersedia hanya untuk napi dewasa.“...Ada mba, pelatihan penjahitan,

membuat keset, sabun cuci, mandi, cuci pakaian, buat kasur bantal guling, almari, Nggak mba

itu kan untuk orang dewasa...”, kata Agung Ipung. Sementara Agung Buchori menjelaskan, “Di

sini ada jahit, les bikin keset, sabun, alat elektronik, untuk dewasa...”.

Minimnya fasilitas pendidikan dan pelatihan untuk anak memang merupakan masalah utama.

Sebagai lapas dewasa, Kedungpane tidak dirancang menyediakan fasilitas demikian bagi anak

karena akan mempertemukan anak dalam satu arena. Justru pertemuan kegiatan demikian yang

diminimalkan terjadi. Sementara dalam pandangan Muhtadi (43 tahun) petugas registrasi lapas

Kedungpane, pendidikan dan latihan untuk anak terkendala oleh keberlangsungan program

mengingat status anak di lapas itu hanya sementara, titipan atau tidak lama. Menurutnya,

“Seharusnya iya untuk anak, tapi masalahnya kan gini posisi mereka tahanan yang putusan pendek

kemudian langsung bebas apa bisa mereka , kan pembinaan setelah jadi napi, jadi selama ini paling

anak-anak putus lima bulan , empat bulan yang B1 satu tahun ke atas jarang, misalnya ada ya kita kirim

ke Kutoarjo.”

Di dalam lapas, walaupun tidak legal, ada saja kemungkinan anak-anak bekerja untuk

mendapatkan upah. Arif (16 tahun) yang terkena kasus narkotika jenis ganja, mengatakan bahwa

ia bekerja dan mendapatkan imbalan dari napi dewasa lainnya, “...iya mbak, saya bantu-bantu,

kayak rumah tangga gitu mbak, kalau pagi ngangsu cari air, dapat, seratus. Ngisi bak, ngisi air.

Nyuci, ngepel, (membantu napi) iya, kayak curve gitu lho mbak. Kayak bantu-bantu gitu lho

mbak, saya minta sendiri daripada nganggur…”. Pada awalnya dia tidak mengetahui bagaimana

caranya bisa mendapatkan uang namun setelah mengamati beberapa napi akhirnya dia menawarkan diri

untuk bekerja di dalam sel, “…pertama saya di kamar sendirian terus,terus saya nglihat orang-orang

diluar tu kok pada ngangsu, terus saya Tanya kok bisa, jawabnya kerjo. Terus akhirnya saya cari kamar

yang belum ngangsu. Saya tangya, “ Mas, ini gak ada yang ngangsu tho?, “ terus bilang gak ada, terus

langsung tak kurvi ni, terus kerja disini…”, dan uang hasil kerjanya tersebut dibelanjakan untuk

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 27: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

27

kebutuhan dirinya selama berada di dalam lapas, “…ya buat saya tho mbak, buat nyuci, beli sabun, buat

makan, langsung dibelanjakan, koperasi khan ada…”

Anak-anak di lapas Kedungpane terlihat kurang memanfaatkan fasilitas olahraga untuk mengisi

waktu luang mereka. Tdak jelas betul apa alasannya, Agung Ipung, Agung Buchori dan Andi

sempat mengidentifikasi adanya sarana meja pingpong, bola voli, bulutangkis dan fasilitas alat

musik tapi dia tidak pernah menggunakan fasilitas itu, “...Di sini ada band mba, tapi tidak

pernah makai...”, kata Agung Ipung. Permainan tersebut didominasi tahanan dewasa, tidak ada

pengaturan atau alokasi waktu untuk anak-anak sehingga kebanyakan waktu luang hanya

dimanfaatkan untuk menonton kegiatan tersebut atau ke masjid sekedar untuk membaca atau

duduk-duduk saja.

Terkait dengan fasilitas dan kegiatan agama, pengalaman Agung Ipung menunjukkan adanya

sedikit hambatan, “...Nggak boleh...”, menurutnya ada aturan tidak boleh mengikuti kegiatan

agama)...”. Aturan itu merujuk pada kegiatan pengajian yang dikhawatirkan justru memperkuat

nilai-nilai yang lain yang dapat mengganggu ketenangan. Agung Buchori membenarkan dengan

menunjuk tidak adanya kegiatan agama rutin yang difasilitasi lapas, yang ada hanya kegiatan

individu dalam melaksanakan kegiatan beribadah, “...Ya di mesjid waktu mujadahan...”. Tak

heran bila Andi menganggap di Kedungpane hanya merupakan masalah individual, kebetulan ia

cukup rajin ke masjid, “...Ya. Sering sholat, dhuhur sama isyak, boleh kan diperbolehkan

semua...”.

Menurut Muhtadi, petugas lapas, fasilitas dan kegiatan keagamaan bukannya tidak ada tetapi

lebih merupakan kegiatan mandiri, tidak terkait dengan kegiatan lapas. Ia mengklaim lapas

Kedungpane memfasilitasi kegiatan peribatan semua agama, bahkan termasuk penyediaan

vihara. Namun diakuinya itu semua sangat terbatas; semua fasilitas itu hanya berupa satu

ruangan yang disekat-sekat sehingga dapat dpakai untuk beribadah semua agama. “Yo wis mboh,

opo pure po opo. Tapi ruangane kan podo kuwi. Bentuknya sama, 1 bangunan di bagi 4, di sekat”,

katanya sambil menambahkan tersedianya ruangan untuk agama minoritas, “Ada, Konghucu ae ada....”

walaupun seringkali tidak sesuai kategorinya, “Eh,tapi kita masukkan ke budha...”

Dari kasus-kasus di atas terlihat bahwa pembinaan dalam hal keagamaan memang tidak begitu

terlihat intensif. Agama masuk ke dalam ranah pribadi dan dilakukan sebagai kegiatan

individual. Implikasinya adalah, walaupun terdapat sebuah masjid, tetapi kegiatan ibadah agama

lain ditempatkan dalam satu ruangan untuk dipergunakan bersama.

Di sisi lain, fasilitas kesehatan juga tersedia dalam kondisi yang terbatas. Menurut Agung Ipung

jika ada napi yang sakit bisa ditangani oleh petugas lapas walaupun dia selama berada disini

tidak pernah mengalami sakit, “...Ada, Kan biasanya ada mba kaya pelayan trus laporan trus

datang ke RS. Tapi tergantung obatnya mba kalau nggak cocok ya tidak sembuh, Bilang sama

dokter kalau obat tidak cocok, ada oksigen juga...”. Beruntung bahwa anak-anak tidak terlalu

sering sakit, untuk perawatan kesehatannya, Andi paling hanya mengkonsumsi tolak angin,

“...Tolak angin thok mbak, Itu mbeli sendiri, kan ada koperasi...”. Kendati demikian dia tahu

jika ada yang sakit bisa ditangani oleh pihak lapas tergantung kondisi penyakit napi, “...Yo kan

kalau ada yang sakit diobatke ning RS, dokter ada kadang dua kadang satu...”.

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 28: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

28

RS atau rumah sakit yang diacu oleh anak-anak adalah sebuah poliklinik fasilitas lapas. Ada

seorang dokter umum dan seorang dokter gigi yang bertugas enam hari seminggu pada jam kerja

dan tiga paramedik yang menangani sewaktu-waktu. Menurut Muhtadi yang telah bekerja

sebagai pegawai di Kedungpane selama 17 tahun, fasiltas kesehatan relatif komplit mulai dari

peralatan, obat sampai tenaga medis. Sekalipun demikian, berita mengenai napi sakit atau

meninggal dunia selama dalam tahanan relatif sering terdengar di media massa.

Mengenai informasi dan kontak dengan dunia luar, tahanan anak penghuni lapas Kedungpane

menyatakan keprihatinannya. Agung Ipung menceritakan betapa seorang temannya pernah

mengalami kejadian menyedihkan: tidak diperbolehkan untuk keluar dari lapas untuk menjenguk

kerabatnya, “...waktu ada anaknya teman meninggal habis melahirkan meninggal, ya ngga boleh

(menghadiri pemakaman), ya taunya pas besuk (kabar beritanya yang mengenai kabar itu)...”.

Kalau Agung Ipung dan Andi belum pernah menerima pemberitahuan mengenai kondisi

kesehatan keluarga/kerabat di luar, Agung Buchori pernah mendapatkan kabar menenai

keluarganya melalui petugas, “...lewat HP, tahu dari petugas...”. Mekanisme itu memang tidak

standar, biasanya diperoleh melalui hubungan baik dengan petugas yang tidak tertutup

kemungkinan adanya kompensasi lain.

Kehidupan dalam lapas, menurut Agung Ipung memang sangat terbatas, seorang napi tidak

diperbolehkan keluar dari lapas kecuali dengan alasan tertentu. Sekalipun begitu, ia sama sekali

belum pernah keluar dari lapas, hanya bisa menerima kunjungan dari keluarga dan teman-

temannya, “...Keluarga dan teman-teman...ngga ibu aja, dua minggu sekali...”. Pendapat serupa

dikemukanan Andi terkadang yang juga relatif sering menerima kunjungan oleh keluarganya dan

teman-temannya, “...Kadang seminggu sekali kadang dua kali (bapaknya), temen-temen...”,

Andi tidak pernah berkirim surat kepada keluarganya apalagi menggunakan telepon. Berbeda

dengan kedua rekannya, Agung Buchori tidak pernah dikunjungi keluarganya walaupun dia

sudah minta agar dia dikunjungi ketika berada di lapas, ”...ngga boleh (keluar lapas), ngga

(kunjungan keluarga)... Saya mintanya sebulan sekali”.

Untuk mendapatkan informasi ataupun hiburan dari luar paling dari menonton televisi atau

pinjam surat kabar dari petugas, “...(koran) pinjam petugas, jawa pos, suara merdeka,

tergantung petugas... (tv) ada, music film, ya film, sinetron, saya gak suka sinetron, palijg trans

tv,...”, kata Andi sambil menambahkan bahwa untuk membawa radio sendiri juga bisa, tetapi

harus menyogok petugas, “...(radio) gak ada, sebenernya boleh, (gak di denda) gak, kan udah

bayar petugas”. Ihwal sogok menyogok atau membayar untuk fasilitas tertentu dibenarkan

Agung Buchori, “...Kalau di blok saya ada (televisi), dulu empat sekarang tinggal tiga. Seperti

kamar samping, kamar 17, sama satu untuk semua bisa disewa. Iya, di dalam, yang satu keliling,

bayar Rp 10.000,00, -(koran) pesen petugas... Pesen minuman keras Rp 1.200.000,00 dapat 12

botol, Orang tertentu. Padahal di luar bisa dapet dua krat. Bisa dua kali lipat...”

Dari kacamata anak-anak, keterbatasan dan keketatan hidup di lapas tergambar oleh sangat

sulitnya mendapat kesempatan keluar lapas untuk kepentingan tertentu. Kabar dari keluarga di

luar belum tentu mereka terima, informasi dari media massa juga sangat terbatas. Namun itu

semua dapat diatasi manakala ada kesanggupan untuk memberi uang pelicin pada petugas atau

membayar jasa pada penghuni lain yang menikmati keuntungan tertentu dari kedekatan mereka

pada petugas.

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 29: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

29

Aturan yang ketat dengan implikasi penangguhan pembebasa, hukuman tambahan atau masuk ke

sel isolasi membuat anak-anak sedikit banyak berpikir untuk melanggar aturan. Apalagi apabila

masa bebas telah dekat. Agung Ipung yang sedang mengajukan PB mengaku tidak pernah

melakukan hal-hal yang bisa menyebabkan tertundanya pengajuan itu, “ngga pernah (tidak

pernah melakukan pelanggaran disiplin)...”. Sekalipun demikian dia tahu bahwa ada beberapa

peraturan dan sanksi yang diberikan jika ada napi yang melanggar, “...Tahanan tidak boleh

bertengkar, tidak boleh menggelar judi, terus tidak boleh mengasingkan, Tidak boleh bawa alat2

elektronik termasuk hp, (tapi ada temannya yg melanggar disiplin) Ada tadi mba yang dua anak

tadi mba, kesalahannya dia mencuri terus di sel, Kalau pagi sampai sore disel nanti dikeluarkan

terus di sel lagi, Ya tergantung petugasnya mba...”.

Walapun belum pernah dihukum, Agung Buchori, Andi dan Arief juga paham jenis-jenis

hukuman bagi yang melanggar. Variasi hukum bisa relatif ringan tergantung kesalahannya,

sebagaimana dituturkan Arief, “...Pernah, waktu itu pas disuruh beli rokok, tameng gak tahu

kalau aku, terus masuk, dihitung ada berapa, genap pa gak, terus habis itu disuruh push up...”.

Bila lebih berat kesalahannya, Agung Buchori mencatat jenis hukumannya bisa jadi, “...bisa

disel. Nggak boleh keluar sel, Sedikit 3 sampai 1 minggu. Paling lama 1 bulan, Ya ada, kalau

melanggar itu kita di sel, kalau nggak ya tidak…”. Walaupun terkadan ada juga hukuman fisik

seperti dipukuli sama petugas, “…Ya taunya itu mba dipukulin, di sel tikus tidurnya juga sempit,

Namanya sel tikus. Ya itu di sel tikus. Dipukulin pakai kabel...”. Implikasinya bisa jadi lebih

berta bagi napi, yaitu susah mendapatkan pembebasan, seperti dituturkan Arief, ”...ada mbak,

disel dua minggu, ya tadi kalau melanggar tata tertib lapas, kalau ngurus PB, sulit…”

Aturan ketat dan hukuman yang berat adalah mekanisme untuk menekan pelanggaran. Pada

kasus anak-anak di lapas Kedungpane, nampaknya cara ini cukup efektif. Salah satu

kemungkinan jawabannya, sebagaimana kasus-kasus di atas adalah harapan untuk segera bebas

yang akan terpengaruh oleh tindakan indisipliner.

Sebagai sesama napi, anak-anak bisa mengerti apa yang dirasa oleh napi lainnya oleh sebab itu

mengadu atau 'curhat' seringkali menjadi perilaku umum di kalangan mereka. Agung Ipung

mengatakan bahwa kadang ia bercerita ke napi lainnya, bukan pada petugas atau wali, “...ngga

(disini tidak ada wali), ada tamping (untuk mengadu biasanya ke tamping),... Bukan mba,

tamping blok masing-masing mba. Kalau ada apa-apa bilang tamping. Ya mereka napi juga...”.

Bercerita dengan sesama napi yang dituakan, dipercaya atau yang memiliki kuasa seperti para

tamping rupanya menjadi salah satu di antara sedikit pilihan untuk napi anak. Tidak ada wali

atau petugas khusus yang mendengar keluhan mereka. Menurut Andi, tidak ada napi

menyalurkan keluhan atau saran kepada petugas, yang ada hanya sebuah kotak saran yang tidak

pernah digunakan, “...tidak ada,...di luar ada kotak saran, (pernah digunakan?) gak...”.

Mengeluh pada pihak luar juga nyaris tidak mungkin; pandamping dari luar, seperti lembaga

swadaya masyarakat bukan merupakan pilihan utama. Selama di lapas, Agung Buchori tidak

pernah meminta bantuan dari pihak luar, ia hanya minta bantuan dari blok lainnya, “...Kalau

bantuan dari luar nggak pernah. Ya ada tapi kan kalau nunggu bebas kelamaan. Minta bantuan

dari blok lain...”.

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 30: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

30

Temuan kasus di atas nampaknya menjadi hal penting ketika kita menempatkan lapas sebagai

wahana pembinaan bukan semata penghukuman. Meknisme terkait dengan penyampaian keluhan

atas apa yang mereka alami, hubungan antar sesama napi atau dengan petugas tidak terfasilitasi

dengan baik. Tidak ada aturan dan petugas khusus; mekanisme peyampaian keluahan melalui

surat atau kotak pengaduan tidak efektif. Pendamping dari luar bukan dianggap sebagai pilihan.

Sementara di sisi lain, Muhtadi menginformasikan bahwa lapas Kedungpane telah memiliki

pegawai dengan kualifikasi psikologi. Juga terdapat dua orang petugas yang masuk dalam

kualifikasi pembina agama atau ustadz yang memungkinkan menjadi orang yang mampu

mendengar keluhan napi. Ia juga menambahkan beberapa pegawai akrab dengan pekerjaan sosial

karena beberapa di antara pegawai merupakan limpahahn dari Depsos. Masalahnya, menurut

Muhtadi, latar belakang pendidikan dan ketrampilan mereka tidak berjalan mulus, “Background

pendidikanne bener, tapi kan mereka kan rata-rata masuk e lewate kan SMA atau sarjana...”.

Tahanan anak-anak di lapas Kedungpane mengungkapkan aspirasi dan keinginannya selama

berada dalam tahanan. Hal-hal yang muncul bervariasi namun mengerucut pada permintaan

tambahan fasilitas yang merujuk pada kegiatan mengisi waktu. Arif mempunyai sepuluh

kebutuhan yang menurutnya harus ada di dalam lapas, yaitu sebagai berikut: (1). Aku ingin di

sini ada wartel, (2). Aku ingin setiap kamar mandi di beri kran, (3). Aku ingin setiap kamar

diberi fasilitas tv, (4). Aku ingin menu makanan di sini lebih enak, (5). Aku ingin fasilitas di LP

di kasih lapangan sepak bola, (6). Aku ingin ada kegiatan senam di lapas, (7). Aku ingin ada

kompor di setiap kamar, (8). Aku ingin di setiap blok ada wartel, (9). Aku ingin setiap kamar ada

dispenser, (10). Ada fasilitas musik.

Sementara Agung Ipung yang sedang menunggu pengajuan Pembebasan Bersyaratnya, berharap

agar di lapas tersedia (1) ...wartel, kan bisa untuk komunikas gimana keadaan keluarga, (2)

sekolah. Agung Buchori yang merasakan semacam penyesalan dan juga perlunya mendekatkan

diri dengan Tuhan mulai rajin beribadah. Aspirasinya menggambarkan hal itu “...Penyesalan.

Nggak ingin mengulanginya lagi... Kayak keagamaan. Dulu sholat nggak terlalu sering. Kalau

sekarang, ya ada bolong paling satu...”. Kebutuhan khusus selama di lapas menurutnya meliputi:

(1) pakaian dan perlengkapan sholat, (2) peralatan mandi dan besih-bersih kamar, (3)

Perlengkapan buat istirahat yang layak, (3) Makanan yang bergizi, (4) Kamar yang bersih dan

tidak dalam keadaan rusak/kotor, (5) Perlengkapan kamar yang layak (kamar mandi, dapur,

tempat alat makan). Hal serupa terkait dengan upaya menyembuhkan batin juga dirasakan Andi,

“...gak ada, paling penambahan rohani, dispilin, pengajian dan takziah...”. Secara umum

kebutuhan yang mesti dipenuhi dalam lapas menurutnya adalah (1). Baju dan sarung, (2)

Makanan yang bergizi seperti daging, telur, buah, (3) Peralatan mandi, (4) Tempat tidur yang

layak, kasur, bantal, (5) Hiburan yang lain: radio, olah raga

Kedua kategori jawaban di atas menunjukkan adanya persepsi yang berbeda dalam mengisi

kehidupan di lapas. Ada anak yang merasa bahwa kehidupan normal harus tetap berjalan

karenanya lapas perlu memfasilitasi dengan berbagai sarana seperti yang tersedia di luar.

Kategori lainnya menyatakan bahwa lapas adalah tempat untuk merenungkan kembali kesalahan

mereka dengan lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Oleh karena itu fasilitas dan kegiatan terkait

seharusnya mencukupi.

Selain kebutuhan selama di lapas, Arif juga mengidentifiksi sepuluh kebutuhan sesudah bebas

dari lapas nanti: (1). Butuh modal buat usaha kecil-kecilan, (2). Uang, (3). Pelatihan ngeband,

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 31: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

31

(4). Dorongan untuk maju, (5). Bimbingan kursus, (6). Butuh semangat, (7). Butuh motor untuk

bekerja, (8). Butuh bantuan uang, (9). Pengen punya usaha warung di rumah, (10). Pengen punya

usaha angkutan bus. Tigkat dan jenis kebutuhan Arif menunjukkan orientasinya pada kehidupan

kekinian dan materi yang barangkali bisa ditelusuri dari gaya hidup Arif yang hedonis sebelum

masuk lapas. Oleh karena itu sesudah keluar, nampaknya, ia ingin mengembangkan pemenuhan

kebutuhan duniawinya. Investasi yang ia bayangkan lebih ke pekerjaan, karir dan akumulasi

kekayaan. Ini berbeda dengan Agung Ipung yang setelah nanti bebas ingin, “...sekolah

pelayaran...”, untuk mencapai cita-citanya. Hal yang serupa diceritakan Andi dan Agung

Buchori yang mempunyai rencana investasi di bidang pendidikan. Selepas tahanan Andi

ingin,“...mengikuti kursus bengkel, ingin sekolah lagi...” sementara Agung Buchori “...ingin

meneruskan pendidikan setinggi mungkin, Kursus komputer ma English/Spain, Meneruskan

kegiatan tuk main game online ma menggambar dan menulis...”. Walaupun unsur permainan

juga menjadi harapannya setelah ke luar namun investasi di bidang pekerjaan kreatif cukup

tinggi pada dirinya.

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 32: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

32

BAB IV.

Kapasitas Kelembagaan Penyedia Layanan

A. Lapas khusus Anak Kutoarjo

Pak Rasyid (Kepala Lapas Anak Kutoarjo sejak pertengahan tahun yang lalu) dan Pak Taufik

(Kepala KPLP) menjelaskan bahwa setiap anak ketika masuk lapas selalu ditempatkan terlebih

dahulu di sel karantina selama sekitar seminggu. Selama itu, anak diberi sosialisasi mengenai

peraturan lapas dengan secara lisan menerangkan hak-hak dan kewajiban mereka secara

berulang-ulang setiap kesempatan. Mereka menyatakan bahwa anak tidak menerima salinan

aturan tertulis tetapi dapat membaca peraturan tersebut di dinding/tembok sel di setiap blok.

Walaupun demikia, Pak Taufik mengakui seringkali harus menterjemahkan maksud kata-kata

dalam peraturan tersebut dalam bahasa yang lebih sederhana

Melalui respons anak-anak SMA yang seringkali melakukan study tour ke lapas, Pak Rasyid

yakin bahwa anak didiknya paham arti kehidupan di lapas, “...ada testimoni dari anak-anak

kalau hidup di lapas itu susah, diluar lebih enak”. Pernyataan itu diucapkan anak didik ke siswa

SMA yang berkunjung dengan harapan mereka tidak membuat kesalahan sehingga harus masuk

lapas.

Ketika datang pertama kali, seorang anak, menurut Pak Rasyid akan diperiksa kesehatan, fisik

dan usianya. Pemeriksaan adminsitrasi terkait usia sangat penting karena lapas harus memastikan

batasan usia anak. Pernah ada kasus keluarga anak negara mengklaim usia anak sudah 21 tahun,

artinya ia harus dibebaskan. Mereka mengajukan data dari Akta Kelahiran. Tetapi Pak Rasyid

tidak menjadikannya pertimbangan, “ saya memakai dasar hukum yang mempunyai kekuatan

tetap yaitu berita acara pemeriksaan polisi dan putusan hakim...”.

Sebagai Kepala KPLP, Pak Taufik menjelaskan bahwa urusan menerima, mengarahkan dan

menentukan sel tahanan berada di bawah kendalinya. Oleh karena itu dia menegaskan bahwa

setiap anak yang masuk lapas Kutoarjo diteliti terlebih dahulu administrasi kasusnya. Anak-anak

dipisahkan selnya berdasarkan kasus. Menurutnya, klasifikasi ini sudah baku, ada aturannya. Hal

yang menjadikan pertimbangan tambahan adalah menghindarkan anak berkumpul hanya dengan

kelompok asal mereka saja. Sering terjadi bentrok antar sel yang dasarnya adalah daerah asal.

Oleh karena itu, secara berkala komposisi penghuni sel pidana diacak.

Lapas Kutoarjo mempunyai kapastias 116 orang sehingga kalau sekarang ditempati 102 anak

artinya masih dalam batas normal. Sel tahanan sudah disiapkan dengan baik, demikian pula

dengan perawatan sehari-hari. Anak-anak dibekali dengan alat-alat kebersihan dan jadwal

membersihkan sel. Fasilitas yang disediakan meliputi tikar, karpet dan kasur palembang. Secara

teratur barang-barang itu dibersihkan dan dijemur.

Anak-anak tidak diperbolehkan membawa barang-barang apapun kecuali baju. Barang-barang

pribadi disita dan disimpan lapas untuk dikembalikan saat mereka keluar. Beberapa bulan lalu,

menurut Pak Rasyid, lapas sempat memberikan toleransi untuk setiap kamar menyimpan radio.

Namun akhir bulan Oktober 2010, saat hujan abu Gunung Merapi, ada tahan lepas dengan

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 33: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

33

menggergaji terali besi. Suara gergaji disamarkan oleh suara radio. Setelah itu radio sempat

dilarang, namun sekarang sudah diijinkan lagi.

Secara diam-diam, ada juga penghuni yang memiliki telepon genggam. Setiap kali pemeriksaan

telepon itu disimpan di langit-langit sehingga susah ditemukan. Aliran listrik diperoleh dengan

mencuri listrik dari lampu di sel. Pak Rasyid mengaku sering kagum dengan kemampuan anak

mencuri listrik, sering dengan hanya seutas kawat kecil mereka menyambungkan listrik dari

lampu ke charger telepon mereka.

Anak-anak mendapat pendidikan di lapas melalui program kejar paket. Dari hari senin sampai

kamis mereka belajar di ruangan kelas yang disediakan di bagian belakang kompleks lapas. Pak

Rasyid menengarai ada anak yang buta huruf saat ada sebuah penelitian dari pelatihan yang

mensyaratkan anak mengisi lembar pertanyaan pre-test. Saat itu petugas menjumpai seorang

anak yang tidak bisa menulis kecuali menuliskan namanya. Sesudahnya anak tersebut diberi

latihan khusus membaca oleh rekan-rekannya. Menurut Pak Bambang (52 tahun, Kepala

Bimkesmas Lapas Kutoarjo) di lapas tersedia program Kejar Paker A, B dan C, “ya waktu saya

dateng belum (maksudnya belum ada paket A dan C), jadinya hanya satu B…alhamdulillah pas

saya masuk, kerjasama dengan ibu lestari, A bisa, C bisa, tadinya B aja…saya masuk 2009

September”. Saat ini sedang dirintis membuat sanggar kegiatan mandiri dengan pengelola

pegawai lapas yang memiliki kualifikasi pendidikan sesuai. Anak-anak yang lulus dari program

kejar paket dan kursus di lapas memperoleh ijazah dan sertifikat yang menenrangkan jenis

kursus tanpa mencantumkan lokasi di lapas.

Pelatihan dilakukan tidak berkala, seringkali tergantung pihak luar yang mempunyai rogram di

lapas. Pelatihan karawitan, misalnya, merupakan inisiatif STSI Solo karena mereka mempunyai

program pelayanan sosial ke lapas. Sesudah program selesai, maka pelatihan juga selesai.

Seorang mahasiswi STSI dari Jepang yang melihat pentingnya program tersebut sesekali masih

datang dengan biaya sendiri untuk melatih. Dari anggaran lapas alokasi untuk pelatihan sangat

terbatas. Untuk kegiatan pelatihan yang paling sering mereka bekerjasama dengan PKBM

Sawunggalih yang lokasinya bertetangga dengan lapas.

Terkait dengan program pelatihan yang tidak reguler, Pak Bambang menjelaskan bahwa kegiatan

tersebut dilakukan dengan koordinasi Kantor Depnaker. Pihak lapas mengajukan proposal

kegiatan dan kantor Depnaker memfasilitasi dana dan instruktur. Sayangnya, seringkali proposal

tidak diterima atau diterima dengan penyesuaian, “banyak, memang mengajukan beberapa

proposal biar dia latihan, mebler, kerajinan-kerajinan, sablon…nah kemaren saya minta mebel

ternyata yang keluar dapetnya membuat makanan…”. Pak Bambang menduga hal tersbeut

terjadi karena di Kantor Depnaker juga ada program dan alokasi dana yang sudah baku, “ya

karena kan disana mungkin jatahnya abis, ya saya pikir apa ajalah yang penting anak bisa

trampil ada pembinaannya…”.

Ada dua buah perpustakaan yang ditempatkan di lantai dua, ruang serbaguna tempat latihan

musik dan karawitan dan satu lagi di ruang pembinaan. Keduanya lebih banyak berisi buku-buku

pelajaran untuk materi kejar paket. Setiap anak yang mengikuti program kejar paket

diperkenankan mengakses koleksi perpustakaan. Pak Rasyid yakin bahwa bekal pendidikan dan

ketrampilan dari lapas dapat dipakai di masyarakat. Minimal anak mempunyai satu bidang

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 34: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

34

ketrampilan. Demikian pula denan Pak Taufik; ia mengaku sangat kaget ketika suatu saat berada

di kota Wonosobo dan disapa oleh seorang montir di bengkel. Montir itu menjelaskan bahwa ia

mantan penghuni lapas Kutoarjo yang merasa beruntung memperoleh ketrampilan selama dala

lapas sehingga setelah bebas dapat membuka usaha bengkel.

Terkait dengan bekerja selama di lapas, Pak Rasyid berpegang pada aturan yang mengatur jenis

pekerjaan bagi tahanan anak. Merujuk pada aturan tersebut ia menegaskan bahwa anak-anak

tidak boleh bekerja dan mendapatkan upah dari pekerjaan tersebut; mereka hanya bekerja dalam

konteks latihan. Salah satu implikasinya adalah jasa cuci mobil-motor yang selalma ini dikelola

lapas dengan mempekerjakan anak ditutup. Tadinya anak-anak menerima upah 5000 untuk

mencuci mobil dan 1000 untuk motor. Uang tersebut sepengetahuannya dipakai untuk membeli

jajan di koperasi lapas. Sekarang jasa cuci mobil-motor itu sudah buka kembali tetapi dengan

sistem sewa dan dikelola operator dari luar tanpa pekerja lapas.

Sarana olahraga cukup tersedia di dalam lapas: lapangan bola voli dan bulutangkis yang berada

di ruang terbuka di halaman dalam lapas. Untuk kegiatan lain yang terkait dengan ketrampilan,

anak dibebaskan untuk memilih jenis pekerjaan tertentu. Lapas mempunyai usaha pembuatan

kon-blok yang bengkelnya ada di belakang blok C tetapi masih di halaman kompleks. Empat

posisi juga diberikan pada anak untuk membantu di dapur.

Pelayanan agama diberikan terbatas kepada anak pemeluk agama Islam, Kristen dan Katolik

dengan prioritas pada yang beragama Islam karena jauh lebih banyak. Mereka dikumpulkan

setiap minggu untuk pengajian dengan ustadz dari Departemen Agama. Ada kerjasam antar

kedua instansi untuk pembinaan mental-keagamaan. Setiap hari Rabu selama sekitar dua jam

ereka diberi santapan rohani.

Sejak awal tahun lalu, Pak Rasyid melihat bahwa ada kelompok organsisasi lain yang masuk dan

ikut memberikan bimbingan mental spriritual melaui pengajian. Ia tidak begitu jelas asal

kelompok itu, tetapi sudah ada sejak ia menjabat, “...orang-orang berjenggot yang memberi

ceramah agama”. Walaupun tidak reguler tetapi mereka kerap datang di hari Selasa. “Susah ya

menolak kedatangan orang untuk dakwah...jadi kita pantau saja”. Karena kekhawatiran

penyalahgunaan misi dakwah, beberapa kali lapas tidak mengijinkan kelompok tersebut memberi

pengajian dengan alasan sedang ada kegiatan lain. minggu lalu pengajian selasa ditiadakan kaena

petugas tidak memberi ijin. Tidak ada argumentasi atau pertanyaan dari kelompok yang biasanya

datang 3-4 orang tersebut, mereka langsung pergi dan menyatakan akan kembali lagi minggu

depan.

Tiga bulan yang lalu, di akhir tahun, lapas Kutoarjo menerima paket fasilitas kesehatan yang

lengkap. Dua buah tempat tidur, meja dan kursi petugas, bangku pasien, tabung oksigen dan

peralatan medis standar diperoleh dari anggaran mereka. Dengan peralatan ini lapas dapat

melayani kesehatan anak didik. Kerjasama dengan Puskesmas Kutoarjo dilakukan untuk

memfasilitasi tenaga dokter di lapas. Dua kali dalam sebulan seorang dokter datang dan

memeriksa anak-anak.

Petugas medik di lapas, Oky (28 tahun) menjelaskan kerjasama yang dijalin lapas dengan

puskesmas dan rumahsakit Palang Biru dalam melayan kesehatan narapidana. Ia berkisah bahwa

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 35: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

35

kerjasama itu tidak selalu mulus, beberapa kali salah paham terjadi, misalnya antara dirinya dan

dokter puskesmas yang ditugaskan ke lapas. Menurutnya, kesalahpahaman itu disebabkan oleh

sikap keras dan tinggi hati dokter. Ia pernah terlibat pertengkaran mulut yang berakhir dengan

peang dingin saat menangani seorang pasien. Ada keluhan dan gejala sakit liver, badan si sakit

mulai menguning. Ia berinisiatif melapor ke dokter tetapi justru ia mendapat omelan karena

dianggap lalai mengamati kondisi tahanan. Tidak terima dengan tudingan itu, mereka bertengkar.

Ujungnya kerjasama dengan puskesmas sempat terputus beberapa bulan. Lapas mengandalkan

paramedis internal dan berkonsultasi ke dokter praktek swasta kalau ada masalah. Ketika kepala

puskesmas Kutoarjo ganti, lapas kembali menjalin kerjasama dan sudah dua bulan ini berjalan

dengan lancar.

Kondisi kesehatan pasien umumnya baik, tidak ada penyakit dalam yang mengkahwatirakn

kecuali pada kasus gejala liver di atas. Hasil pemeriksaan medis ketika anak berobat tercatat rapi

dalam karti berobat yang memuat nama dan informasi pasien, tanggal kunjungan dan dilengkapi

dengan anamnese, diagnosis dokter dan terapi obat yang diberikan. Semua anak yang berobat di

klinik juga diregister dalam buku tersendiri oleh Oky. Hampir semua tahanan terserang penyakit

kulit, bintil-bintil kecil dan banyak yang berkerumun di sekitar tangan, sela-sela ketiak dan

pangkal paha. Penyakit kulit yang didiagnosis sebagai scabies ini menurut Oky disebabkan oleh

kebersihan yang kurang, “anak-anak itu tidak tau hygiene...”. baginya dapat dimenegrti bila

tahanan tidak begitu peduli dengan kebersiahan, “anak kecil aja susah sekali disuruh mandi,

apalagi mereka...”. Semula ada dugaan bahwa sumber air bersihlah penyebab penyakit ini. Lapas

kemudian mengganti sumber air dari sumur dengan air dari PDAM. Upaya ini tidak begitu

efektif mengurangi tingkat jangkit scabies; tetap tinggi. Bahkan menurut anak-anak, air

PDAMnya tidak asli karena masih berbau kaporit. Menurut Oky anak-anak itu curiga bukan air

PDAM yang mereka konsumsi tetapi air sumur yg dibubuhi kaporit oleh petugas.

Sakit dan penyakit seringkali menjadi alasan bagi anak di lapas untuk mendapat perhatian,

bernteraksi dengan orang lain atau kalau beruntung malah dapat keluar lapas periksa ke

rumahsakit. Oky menceritakan bagaimana seorang anak tiba-tiba mengeluh sesak nafas dan

asmanya kumat. Karena terlihat parah, anak itu dikonsul ke dokter di puskesmas. Setelah dirawat

sebentar, diberi oksigen, nafasnya mulai teratur. Petugas puskesmas tahu kalau di lapas ada

fasilitas oksigen sehingga mengirim balik anak itu ke lapas dan dirawat di lapas. Beberapa saat

setelah itu kondisinya membaik. Oky menduga anak itu tidak sungguh-sungguh sakit atau hanya

mendramatisir keadaan dengan harapan akan dirawat di luar, “begitu tahu bisa dirawat di sini ya

sembuh...”.

Kondisi kesehatan anak, terutama bila sakit yang sekiranya berat selalu dikabarkan ke keluarga;

sementara dalam lapas, wali selalu memantau anak-anak mereka. Di sisi lain, kondisi dan kabar

mengenai keluarga anak diperoleh terutama saat besuk, tetapi bila ada keadaan darurat, lapas

membuka diri untuk menyampaikan kabar keluarga pada anak. Bila ada keluarga atau kerabat

yang sakit atau meninggal dunia, selama masih adalam batas yang diijinkan oleh peraturan, lapas

tidak keberatan untuk mengijinkan anak berkunjung. Namun selama menjabat di Kutoarjo, Pak

Rasyid belum menemukan permintaan ijin demikian.

Kontak dengan dunia luar sangat dibatasi di lapas. HP dilarang digunakan, telpon umum tak

tersedia. Anak-anak menerima informasi mengenai kondisi keluarga terutama dari kesempatan

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 36: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

36

besuk. Informasi lain sering juga diberikan melalui pelayanan sms dari petugas kepada keluarga.

Pak Rasyid menjelaskan bahwa mekanisme ini tidak standar karena HP dilarang penggunaannya

di lapas. Ia menyatakan akan memikirkan adanya telepon umum di lapas. Anak yang ingin

berkirim surat difasilitasi melalui wali.

Waktu besuk dialokasikan selama dua hari seminggu yaitu Senin dan Kamis setiap jam kerja

antara pukul 07.00-13.30. Dalam kenyataannya seringkali petugas memberikan kesempatan

pengunjujng yang datang di luar waktu tersebut untuk menemui tahanan, terutama bila mereka

baru datang pertama kali atau karena rumahnya jauh. Fasilitas media massa yang dapat dinikmati

bersama adalah sebuah TV di satu sel yang digunakan sebagai ruang TV. Radio ada di hampir

semua kamar. Koran dan majalah terbatas jumlahnya, biasanya diawa pembesuk

Untuk kepentingan pendidikan, ibadah dan kegiatan lain di luar lapas, Pak Rasyid menyatakan

dalam peraturan memang tidak diperbolehkan. Apalagi fasilitas pendidikan sudah disediakan di

lapas. Seringkali juga anak-anak mengikuti pertandingan olahraga dalam rangka 17-an. Siswa

sekolah yang menjadi lawannya datang ke lapas dan mereka bertanding. Sebalikanya anak dari

lapas tidak bertanding di sekolah lain. Salah satu cara untuk melihat dunia luar adalah dengan

bekerja dalam korve tertentu. Pak Taufik menceritakan bagaimana anak yang bekerja sebagai

korve pembuatan konblok untuk mengangkut pasir dan semen, secara sangat terbatas

memperoleh kesempatan keluar penjara untuk mengangkut material ke dalam. Itu pun mereka

terus diawasi dengan ketat dan masih di halaman depan kompleks penjara.

Satu hal yang sampai sekarang dirasa berat oleh Pak Taufik adalah penerapan pola pembinaan

pada anak. Hukuman fisik dan kekerasan yang sekiranya mengganggu perkembangan mental dan

kepribadian dilarang sama sekali. Hanya batasan untuk itu seringkali tidak operasional.

Karenanya petugas hanya menerjemahkan sebagai, “...tidak boleh mukul, mencubit...nampar”. Di

sisi lain ia menjelaskan bahwa sebgian anak dibesarkan dalam budaya kekerasan di jalanan,

“...susah ngomong baik-baik ke mereka...seperti hanya lewat saja omongan kita”. Sekalipun

demikian ia tetap meminta bawahannya memperhatikan aspek penanganan anak ini sesuai

dengan aturan.

Ketika disinggung mengenai pemukulan yang sering diterima anak sebagai hukuman, Pak Taufik

menyatakan sudah tidak ada lagi. Tapi ia mengakui praktik tersebut tidak sama sekali hilang,

“yaaa...begitu memang. Anak butuh orang yang ditakuti...iya Pak XXX itu yang sering nggulung

kalo kata anak-anak ya...”. Peran petugas yang ditakuti seperti Pak XXX ini menurutnya penting

sebagai penyeimbang karena pola pembinaan yang persuasif belaka ia yakin tidak akan

sepenuhnya efektif. Harus tetap ada sosok yang disegani atau ditakuti. Oleh karena asumsi

bahwa perlu ada tokoh yang ditakuti anak-anak, Pak Taufik mentolerir tindakan Pak XXX

menerapkan sanksi fisik kepada anak yang melanggar aturan. Sekalipun begitu ia tetap

mengontrol agar aksi tersebut tidak membahayakan anak. Pelanggaran yang sering menimbulkan

sanksi fisik biasanya bersifat berat, seperti perkelahian, pemukulan/penganiayaan terhadap

tahanan lain dan lari/mencoba lari.

Bagi Pak Rasyid, pengalamannya bertugas di beberapa lapas membuat paham bahwa

penanganan tahanan anak dan dewasa itu berbeda. Menurutnya di lapas tidak boleh ada

kekerasan fisik pada anak. Memberikan hukuman sebagai sanksi atas pelanggaran juga harus

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 37: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

37

terkontrol. Paling sering adalah dengan menyuruh anak-anak lari atau push up; sementara yang

paling berat adalah dengan memasukkan mereka ke sel isolasi selama enam hari, “bawa ke sel

tutupan sunyi...”. Sementara Pak Taufik beruntung sempat mengikuti lokakarya tentang

penanganan tahanan anak.

Apabila ada tindakan rekan atau petugas lapas yang tidak disukai tahanan maka ia berhak lapor

ke wali. Wali kemudian membahas masalah itu dengan kalapas. Selama ini belum ada laporan

mengenai keberatan anak atas perlakuan rekan maupun petugas. Pak Rasyid menjelaskan bahwa

ada beberapa lembaga, seperti Setara Semarang yang memberikan dukungan pada anak yang

bermasalah, sejak ditangkap, diadili maupun selama di lapas. Dari seorang aktivis Setara

terungkap bahwa ada kegiatan pendampingan pada anak yang dilakukan sebuah konsorsium

yang antara lain terdiri dari Yayasan Samin Yogyakarta dan Setara Semarang. Kerjasama

dengan Lapas Kutoarjo itu berlangsung dari bulan Juli 2006 sampai JUli 2007 dalam bentuk

fasilitasi pendidikan alternatif. Kunjungan aktivis Samin dan Setara dilakukan empat kali

sebulan setiap akhir pekan. Walaupun sebagian besar kurang ekspresif menyampaikan pendapat,

tetapi metode menuliskan cerita dalam kertas. Berhasil mengungkapkan pengalaman pribadi

dalam bentuk simbol, misalnya pernah ada anak yang ketika diminta menggambarkan suasana

hati ketika di dalam lapas dia menggambar pohon beringin. Ketika ditanya, anak menjelaskan

bahwa ia sangat membenci gambar tersebut karena merupakan salah satu simbol yanga ada

dibaju petugas lapas. Anak tersebut sering mendapatkan hukuman fisik dari petugas jalan bebek

dan push up. Saat melakukan hukuman itu anak melihat gambar pohon beringin yang ada di baju

lengan kiri petugas.

Menjelan bebas, anak diantar ke Bapas atau ada petugas Bapas yang datang untuk memfasilitasi

anak kembali ke masyarakat. Menurutnya, Bapas akan bekerja dalam jangka waktu tertentu,

yaitu memantau perkembangan mereka sampai satu tahun setelah bebas murni atau satu tahun

plus 1/3 asa hukuman bagi yang menerima PB. Fasilitasi itu lebih berupa pemantauan kondisi

anak.

Persoalan tempat tinggal, sekolah dan pekerjaan biasanya diserahkan pada keluarga. Dalam hal

keluarga atau lingkungan tidak menerima, lapas Kutoarjo pernah mengarahkan anak tinggal di

saudaranlain yang mau menerima. Ia menceritakan anak yang menerima PB, dan untuk itu perlu

surat dari penjamin dan kelurahan. Surat dari penjamin tidak begitu mudah diperoleh karena

tidak banyak orang/lembaga yang mau menerima mantan napi. Kasus yang dia ceritakan menima

anak yang Kepala Dssanya bersedia menandatangani usulan PB tetapi meminta anak itu untuk

tinggal di luar desa.

Beberapa petugas mempunya kualifikasi tertentu, di lapas Kutoarjo ada dua orang dengan gelar

sarjana pendidikan (S.Pd.) tetapi tidak bertugas di bagian pembinaan. Umumnya gelar tersebut

diambil untuk mengejar titel sarjana agar karir dapat meningkat. Pak Taufik, misalnya,

menyandang gelar Sarjana Pendidikan namun gelar tersebut tidak begitu relevan dengan posisi

Kepala KPLP. Pengetahuannya mengenai pendidikan baru operasional ketika isunya dikaitkan

degan pembinaan anak di lapas; sebagai penanggungjawab keamanan lapas, pengetahuan itu

membuatnya mampu memahami tahapan perkembangan anak. Tambahan pengetahuan mengenai

anak-anak ia peroleh ketika tahun lalu mengikuti kursus mengenai psikologi dan perkembangan

anak yang dikaitkan dengan isu hak-hak anak. Kursus yang terdiri dari tiga kali workshop selama

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 38: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

38

rentang 6 bulan ini diselenggarakan oleh Universitas Surabaya bekerjasama dengan Plan

Fondation. Dari sini Pak Taufik mendapat bekal tentang pentingnya penanganan napi anak

secara tepat sesuai umur, “mereka masih rentan...sedang membentuk pengalaman menjadi

dewasa”.

Di Lapas Kutoarjo ada juga seorang petugas yang mempunyai sertifikat instruktur untuk

meubelair. Tidak ada yang berkualifikasi pekerja sosial dan yang berlatarbelakang psikologi.

Akan tetapi Pak Rasyid mengatakan ada beberapa yang tadinya bekerja di Departemen Sosial

sebelum akhirnya bubar dan bergabung dengan Depkumham.

Semua petugas yang berdinas di lapas Kutoarjo sudah menjadi pegawai tetap, tidak ada yang

berstatus magang atau honorer. Mereka direkrut melalui pendaftara untuk formasi PNS di

lingkungan Depkumham dan ditempatkan berdasar SK. Jenjang karir dan kepangkatan sesuai

dengan peraturan yang berlaku

Menurut Kalapas, besaran gaji, kompensasi dan tunjangan khusus diberikan sesuai dengan

pangkat dan golongan pegawai. Gaji mengikuti standar penggajian PNS tetapi ada klasifikasi

tunjanganpemasyarakatan sekitar 200-300.000,- perbulan dan tunjangan resiko yang besarnya

diatur berdasarkan fungsi pegawai. Sipir atau penjaga menerima tunjangan resiko yang sama

yaitu 600.000,- pebulan, bagian administrasi dan teknis menerima 400.000,- dan tatausaha

menerima 350.000,-. Pak Taufik menyatakan dapat menerima gaji dan insentifnya sebagai

Kepala KPLP. Isu mengenai pungutan pada pembesuk dan uang pelicin untuk mengurus status

penghuni lapas menurutnya mungkin saja muncul. Tetapi ia melihat itu sebagai omongan orang

luar saja, bukan sesuatu yang parah, “bukan korupsi, istilahnya hanya tanda terimakasih...”. Dia

meyakinkan bahwa tidak ada pungutan bagi pembesuk.

Tidak seperti Pak Taufik, dua petugas menyatakan bahwa lapas Kutoarjo adalah tempat yang

minus untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Pak Bambang sempat kaget dan merasa

kecewa ketika ditempatkan di Kutoarjo; sebelumnya ia bertugas di rutan Purworejo. Di rutan,

menurutnya, banyak sumber pendapatan sampingan, “pernah dulu sampai ada dua mantan

bupati yang masuk…mereka butuh fasilitas saya yang kasih…”. Pak Bambang bercerita betapa

para mantan pejabat itu masih membutuhkan suasana kerja kantor di lapas. Walaupun hanya

untuk membaca koran, seorang mantan bupati, menurutnya, perlu meja dan kursi. Maka, setiap

pagi sesudah membereskan laporan administrasi, meja dan kursi di kantor Pak Bambang

diserahkan pada sang mantan bupati untuk berkantor. Dari „penyewaan‟ meja-kursi ini Pak

Bambang dapat komisi cukup tinggi, sampai 25.000 rupiah perhari. Ketika pindah ke lapas

Kutoarjo, sekalipun naik jabatan dan pangkat, sambil tertawa Pak Bambang mengatakan tidak

ada sama sekali penghasilan sampingan, “Iya itu…saya promosi di sini, tambah pangkat

saya…tapi rejeki mah seret…makan tuh jabatan..…”.

Lain lagi pendapat Oky yang sempat berkunjung ke lapas Nusakambangan dan melihat

bagaimana petugas memperoleh peluang mendapat penghasilan tambahan. Kondisi yang sama

sekali tidak ia rasakan selama bertugas di Kutoarjo. Dalam sebuah wawancara terkait dengan

eksistensi lapas anak, ia menguaraikan keberatannya dengan berbagai alasan terkait dengan

HAM dan perkembangan anak. Namun jawabannya kemudian melenceng ke arah kesejahteraan

petugas, “betul itu pak...bubarkan saja lapas anak...biar aja mereka ke panti sosial...nanti

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 39: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

39

karyawannya kan bisa pindah tugas...ke nusakambanganlah, ke LP dewasa manalah...enak

itu...teleeesss...”, katanya diiringi tawa. Ia menjelaskan bahwa kemungkinan mendapatkan

penghasilan tambahan dari kutipan pengunjung atau sogokan dari napi di lapas anak-anak seperti

Kutoarjo sangat kecil, sangat berbeda dengan di lapas dewasa yang „teles‟ (=basah)

B. Lapas Dewasa Kedungpane Semarang

Kondisi lapas Kedungpane menurut Kalapas Kedungpane sudah melebihi kapasitas. Dalam

sebuah wawancara dengan kantor berita Antara tanggal 13 September 2010, Nyoman Putra

Surya menjelaskan, "Saat ini jumlah warga binaan di Lapas Kedungpane mencapai 742 orang yang

terdiri atas 476 narapidana dan 266 tahanan sehingga ada kelebihan penghuni sebanyak 212 orang."

Sebagai tindak lanjut, ia mengungkapkan rencana penambahan jumlah sel tahanan yang sudah melebihi

kapasitas sebanyak 530 orang. Ada sebelas blok tahanan di lapas menurut Muhtadi, staf di Kedungpane,

“Semua total tahanan sama napi ada sepuluh ehm sebelas blok. Sampai I-J plus blok pidsus pidana

khusus depan itu”

Terkait dengan sel untuk anak-anak, Pak Muhtadi, staf register lapas yang sudah bekerja di posisi tersebut

selama 11 tahun dan sebelumnya selama 6 tahun di bagian penjagaan, menjelaskan bahwa lapas

sebenarnya tidak memiliki sel khusus, “Kapasitas sebetulnya kita tidak punya blok untuk anak-anak ya,

itu istilah dipisahkan dalam satu blok dengan orang dewasa tapi dipisahkan kamarnya saja.” Kamar

tahanan untuk anak itu bukan prioritas sehingga ketika ada jenis tahanan baru, yaitu tahanan pidana

tipikor, kamar anak dipindah, “Dulu kita tempatkan di blok J, karena sekarang blok J itu tipikor sekarang

di pindah ke blok G”.

Karena tidak dirancang untuk menampung tahanan anak, maka sel karantina untuk orientasi penghuni

baru bagi anak juga disatukan dengan tahanan dewasa. Menurut Muhtadi hal itu disebabkan oleh jumlah

tahanan anak yang sedikit dan hakekat penempatan tahanan anak yang hanya sementara atau titipan

sebelum mereka dialihkan ke lapas anak di Kutoarjo, “Iya, karena istilahnya anak-anak jarang ya

maksimal 5-7 anak, kayak kemarin kan banyak yang putus karena pidananya pendek. Nunggu berpa

hari bebas, kalau yang putus tahunan kiat pindah ke blok napi dulu baru ditangguhkan dan kita usulkan

ke kutoarjo.” Kalau ada anak dengan masa tahanan lama dan hukuman sudah putus, maka anak akan

segera dikirim ke lapas anak Kutoarjo. Proses administrasinya bisa memakan waktu satu bulan karena

harus melalui Kanwil Depkumham tetapi sepanjang masa tahanannya panjang (di atas satu tahun)

permintaan pindah lapas itu selalu dikabulkan

Setiap anak akan masuk ke sel karantina terlebih dahulu sebelum ditempatkan di sel mereka. Pada saat

pertama kali masuk itulah, justru, mereka langsung berhadapan dengan penghuni dewasa. Muhtadi

mengatakan bahwa pada masa awal petugas melakukan sosialisasi aturan secara lisan pada anak, terutama

saat berada di sel karantina, “Ya kamu harus baik-baik jaga diri, nggak boleh, ya larangan-larangan,

jangan sampai melanggar”. Aturan lisan tersebut dituliskan juga dan dipampang di tembok dinding blok

tahanan, “Iya, secara lesan. Tapi kita tulis di blok juga...”

Menarik untuk memperhatikan bahwa pada kasus anak-anak di Kedungpane di atas, umumnya mereka

tidak mendapat salinan peraturan kehidupan di lapas. Padahal sejak setahun yang lalu, pada bulan

Februari 2010, kepala Lapas Kedungpane, I Nyoman Putra Surya Atmaja. Bc.IP, SH., MH telah

mengeluarkan Ketentuan Tentang Kewajiban dan Larangan bagi Narapidana dan Tahanan di Lembaga

Pemasyarakatan Klas I Semarang', yang selengkapnya berbunyi sbb:

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 40: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

40

HAK-HAK :

1. Mendapat pengayoman dan perlindungan terhadap segala ancaman baik dari luar maupun

dari dalam lapas dan bilamana merasa ada ancaman melapor kepada petugas.

2. Mendapat pelayanan dan perlakuan yang sama.

3. Mengadakan hubungan dengan keluarga melalui surat-menyurat atau kunjungan sesuai

dengan peraturan yang berlaku.

4. Menjalankan ibadah sesuai dengan agama atau keyakinan masing-masing.

5. Memperoleh pendidikan dan ketrampilan dengan menggunakan sarana yang tersedia

sesuai dengan peraturan yang berlaku.

6. Memperoleh premi,bagi yang bekerja pada bidang produksi yang menghasilkan sesuai

dengan peraturan yang berlaku.

7. Bagi tahanan yang menginginkan bekerja dapat dilayani melalui surat permohonan.

8. Melakukan kegiatan sosial atau kemanusiaan.

9. Khusus untuk tahanan berhak mendapatkan kunjungan dari penasehat hukum,dokter

pribadi dan rohaniawan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

10. Mengisi waktu luang dengan kegiatan yang positif.

11. Berkreatif untuk mengembangkan budaya kesenian,olah raga sepanjang tidak

bertentangan dengan ideologi negara (Pancasila dan UUD 1945)

Lain-lain :

1. Hal-hal yang belum diatur dalam peraturan ini tetap berlaku ketentuan umum /

perundang-undangan yang ada.

2. Setiap pelanggaran terhadap ketentuan yang dimaksud dapat dikenakan tindakan /

hukuman disiplin atau dikenakan sanksi dengan ketentuan hukum yang berlaku.

3. Ketentuan ini berlaku sejak tanggal dikeluarkan dengan harapan diketahui dan

dilaksanakan.

KEWAJIBAN-KEWAJIBAN :

1. Menjaga ketertiban dalam lembaga pemasyarakatan.

2. Menjaga kerukunan sesama penghuni.

3. Memberi jawaban yang sopan dan menghormati semua petugas.

4. Sanggup menerima bimbingan dari petugas.

5. Menjaga dan memelihara semua barang-barang milik negara.

6. Menjaga ketertiban dan kebersihan lingkungan agar terjamin kesehatannya.

7. Wajib bekerja bagi narapidana, sedangkan untuk tahanan sukarela.

8. Wajib menjalankan ibadah agama atau kepercayaan yang diyakini serta menjaga

kerukunan beragama.

9. Membantu petugas dalam hal-hal tertentu bila diperlukan (sesuai dengan peraturan yang

berlaku).

10. Melaporkan kepada petugas terhadap hal-hal tertentu yang akan menimbulkan keresahan

antar penghuni.

11. Ikut mempertahankan ideologi negara dan UUD1945.

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 41: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

41

LARANGAN-LARANGAN :

1. Menimbulkan kegaduhan,keributan,keresahan yang berakibat terganggunya keamanan

dan ketertiban (suasana tidak kondusif)

2. Melakukan ancaman, kekerasan, penganiayaan dan perbuatan yang merugikan sesama

penghuni.

3. Mengadakan persekongkolan untuk berbuat melawan hukum atau mengadakan pelarian

dari lembaga pemasyarakatan.

4. Membawa uang dan benda-benda terlarang ( obat terlarng, narkotka, senjata tajam, korek

api, dsb).

5. Mengadakan perjudian.

6. Merusak barang-barang milik negara atau inventaris.

7. Mengadakan jual beli barang bekas.

8. Mempemasalahkan perbedaan suku, ras maupun agama (berdasarkan pancasila).

9. Merusak kelestarian alam dan lingkungan.

10. Mendekati pos penjagaan dan ruang-ruang tertentu tanpa seijin petugas.

11. Merongrong kewibawaan pemerintah yang berdasarkan pancasila dan undang-undan

dasar 1945

12. Dilarang keras membawa atau mempergunakan barang-barang elektronik ( hp, tv, rice

cooker, kipas angin dll).

13. Dilarang keras merubah atau merusak menyambung aliran listrik yang telah ada.

14. Apabila barang-barang yang menjadi larangan tersebut masih dimiliki akan dikenakan

sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku dan barang tersebut disita untuk

dimusnahkan.

Setiap anak mendapat fasilitas standar di kamarnya: tempat tidur, kamar mandi, sapu dan tempat sampah

kecil. Tempat tidur dari besi dibuat seperti bertingkat; bagian atas untuk tidur dan bawahnya untuk tempat

pakaian. Selama menjalani hukuman, anak boleh membawa pakaian mereka sendiri dan buku-buku

bacaan. Senjata tajam dan benda logam yang mungkin dapat dipakai sebagai senjata dilarang keras

masuk, demikian pula dengan alat komunikasi seperti HP. Petugas secara berkala melakukan razia untuk

menyita barang-barang terlarang. Mereka yang melanggar, menrut Pak Muhtadi, “Ya diadakan

pembinaan napinya...Ya kita kasih tahu kalau ini barang larangan jangan sampai sekali lagi melakukan

lagi”. Tidam tertutup kemungkinan barang terlarang itu datang dari luar; pada para tahanan dewasa,

pengunjung seringkali membawanya dan berkilah barang tersebut tertinggal. Namun seringkali ada

memang yang meninggalkan narkoba dan mengedarkannya di lapas.

Masalah tahanan narkoba memang cukup serius di Kedungpane. Menurut Muhtadi kapasitas sel yang

hanya 51 untuk tahanan narkoba berisi dua kali lipat sekarang sehingga ia ragu bagaimana dengan kasus

anak yang terkena kasus narkoba, “Waduh itu KPLP aku nggak tahu….seharusnya untuk 51 orang jadi

seratus lebih sedikit bepra gitu, dua kali lipat. Makanya kalau ditaruh di narkoba ya sudah over

kapasitas. Ya solusinya kita buang ke kutoarjo gitu kan.”

Mengenai fasilitas rekreasi dan olahraga di lapas, menurut Muhtadi sudah cukup tersedia. Seperti yang

telah diidentifikasi anak-anak di muka, Muhtadi merinci sejumlah fasilitas yang ada. Namun ia sadar

bahwa keterlibatan anak dalam penggunaannya masih terbatas. Menurutnya ini tergantung pada

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 42: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

42

kemampuan anak, apakah mereka dapat bergabung main dengan tahanan dewasa, “Tapi gerek anaknya

mampu apa nggak itu. Kayak tenis nggak mampu dia...voli kan nggak mungkin dia”. Kegiatan olahraga

rutin yang selama ini dilakukan anak terbatas pada senam yang dilakukan setiap pagi dengan supervisi

bagian bimpas. Walaupun sifatnya wajib tetapi tidak sanksi bila ada yang mangkir, “Ya, kita oprak –

oprak wae, nggak ada sanksinya.”.

Fasilitas dan kegiatan rekreasi dan olahraga untuk anak yang terbatas mengakibatkan anak hanya pasif di

lapas. Pihak lapas mesti memikirkan kembali mengingat, walaupun sedikit, tahanan anak ternyata selalu

ada dan butuh perhatian. Pengaturan kamar sel, waktu berada di luar dan kesempatan berolahraga

mestinya dapat dilakukan justru karena jumlah anak relatif sedikit.

Kesempatan bagi anak untuk bekerja dengan mendapat upah, menurut Muhtadi juga sangat terbatas,

nyaris tidak ada secara formal. Ia melihat tidak adanya aturan untuk itu, di samping tahanan yang akan

menghuni lapas cukup laa akan diarahkan untuk pindah ke Kutoarjo. Sekalipun begitu, sebagai kegiata

produktif, anak dapat bekerja membantu petugas sebaga kurve dan tamping, “Kurve itukan, kurve itu

seharusnya di situ kan yang membantu pegawai. Iya thow, membantu pegawai dalam arti pelaksanaan

tugas pegawai kadang dibantu untuk, misalkan kurve bersih – bersih, bersih – bersih ruangan...Kalau

tamping, ya itu pembantu pegawai untuk mengatur semua dalam satu blok itu”.

Berdasar pengalaman bekerja di lapas Kedungpane selama sekitar 17 tahun, Muhtadi menilai lapas cukup

rawan dalam hal penjagaan. Walaupun pengamanan ketat tetapi anagka tahanan lari cukup tinggi. Selama

enam tahun di bagian penjagaan, sekitar 10-an tahanan lari. Mereka biasanya adalah tahanan yang sudah

menjalani masa asimilasi sehingga penjagaan tidak begitu ketat. Ada saja alasan untuk lari, utamanya

kejenuhan dan kesempatan yang muncul. Dalam hal pelarian demikian, kesalahan tetap ditimpakan pada

petugas dengan kemungkinan hukuman atau sanksi berupa, “Penundaan pangkat, gaji berkala,

penurunan pangkat, maksimalnya dipecat.” Sementara bagi napi, bila tertangkap akan masuk ke sel

isolasi atau sel tius yang gelap dan sempit dalam jangka waktu tertentu. Masuk ke sel tikus ini merupakan

mekanisme hukuman di lapas, mengingat lapas tak memiliki kewenangan menambah hukuman bagi napi

yang melanggar sehingga hukuman tambahan diberikan dalam bentuk isolasi. Sebagai penjaga tahanan,

Muhtadi pernah mengalami peristiwa pelarian napi, “Pernah. Yang tak jogo kuwi mlayu. Mlayu tapi

posisi, baru ke luar blok mau menuju ke tembok....Udah konangan duluan. Tetapi apapun bentuknya

walaupun berlum ke tembok, tetapi saya salahkan? Karena dia sudah ke luar.” Walaupun napi itu belum

lari jauh dan kemudian tertangkap, tetap saja ia menerima sanksi tingkat ringan berupa teguran dan surat

pernyataan untuk lebih waspada.

Sebagai petugas blok, setiap petugas tahu persis pedoman berikut: (1) pintu blok harus selalu terkunci. (2)

pintu kamar dibuka dan ditutup pada waktunya. (3) matikan lampu pagi sampai sore hari. (4) waspada

bila penghuni sedang melakukan kegiatan. (5) yakinkan bahwa semua pintu sudah terkunci sebelum anda

serah-terima. Kelima hal itu merupakan 'Petunjuk Petugas Blok' yang harus dijaga betul oleh setiap

petugas. Kesalahan sedikit dapat berakibat fatal dan dianggap sebagai tindak indisipliner atau kelalaian

petugas yang ada sanksinya.

Di sisi lain, kemungkinan jenuh atau ada persoalan berat yang membat napi lari bukannya tak disadari

petugas namun Muhtadi menjelaskan hal itu sebagai bagian dari hukuman. Lapas memang memiliki

tenaga untuk mengatasi masalah demikian, ada kualifikasi petugas yang berlatar belakang psikologi.

Namun, nampaknya petugas seperti Muhtadi belum begitu maksimal memahami pera psikolog,

“Satu....Lha kan belum mesti ono sing edan. Paling edan yo siji , loro...”. Ia mengkaitkan profesi ini

dengan orang yang mengurusi sakit jiwa kronis. Itupun hanya dimanfaatkan untuk tahanan dewasa,

karena tahanan anak-anak memang bukan prioritas, Muhtadi menegaskan sekali lagi “Ini begini ya, kan

bilang. Ini memang untuk napi dewasa, anak kan tidak di program untuk di situ. Setelah putus kita kirim

ke Kutoharjo. Kan begitu, jadi kan ya tidak ada kita.

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 43: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

43

Kapasitas petugas lapas Kedungpane ditinjau dari jenjang pendidikan relatif baik. Menurut Muhtadi,

sekitar 35-40% petugas berpendidikan sarjana, sisanya SMA, “Sing SMP wae wong piro tok, saiki malah

wis sekolah maneh”. Petugas berpendidikan magister tercatat ada empat termasuk kalapas, seorang kasie

dan dua anggotanya. Upaya peningkatan pendidikan karyawan dilakukan individual sesuai dengan

keinginan untuk meningkatkan karir, kepangkatan dan golongan gaji, bukan terutama untuk kepentingan

lembaga lapas. Namun dalam pemahamannya, lapas Kedungpane termasuk lengkap karena ada petugas

dengan latar belakang sarjana hukum, dokter, perawat, psikologi, ekonomi dan pendidikan; ada juga

bahkan yang sarjana teknik, tetapi ia tak yakin apakah dapat disesuaikan jenjang kepangkatannya.

Muhtadi juga menerangkan minimnya kursus dan peluang untuk meningkatkan ketrampilan tertentu yang

terkait dengan pekerjaan di lapas. Sampai-sampai ia berpendapat kalu untuk urusan pendataan yang

selama ini mengandalkan catatan pada buku harus dikomputerisasi pasti akan membingungkannya, “Ki

ngene yo, kerjaan neng LP buku2 itu, Kalo mau dikerjake kayak modern, peralatan modern saiki malah

kebingungan.”

Jenjang kepangkatan pegawai lapas sesuai dengan jenjang PNS umumnya, yaitu promosi setiap empat

tahun sekali. Sebagai pegawai golongan III-C, Pak Muhtadi mengaku bergaji tak lebih dari 3.7 juta

termasuk berbagai tunjangan. Dengan satu anak berusia dua tahun dan satu istri menurutnya gaji tersebut

harus dikelola dengan baik, karena minimnya penghasilan tambahan, “Dicukup – cukupke.Yo, cukup ala

kadare.” Kepuasan kerja memang bukan hanya diukur dari gaji, menurut Muhtadi juga ditentukan oleh

kemungkinan kita dapat mengaktualisasikan diri. Sekalipun dengan gaji yang sama, ia membandingkan

masa kalapas lama lebih nyaman dibanding kalaas sekarang, “Ya kerja itu, istilahnya piye ya? Seakan –

akan Kita berimprovisasi ki iso ngunu lho. Kita mau buat konsep seperti – ini – ini ok. Kalau Pak

Nyoman , ndak , harus sesuai konsepnya dia.” Kalapas sekarang juga dinilainya tidak terlalu hirau

dengan jam kerja, bisa sabtu malam atau minggu tetap masuk kerja.

Menjadi petugas lapas menurut Muhtadi juga harus awas dan waspada jangan sampai terpengaruh oleh

kejahatan yang mereka dengarkan dari penghuni sehari-hari. Ia mencontohkan bagaimana peluang untuk

mengkorup uang atau menerima suap selalu ada, demikian pula dengan mengedarkan narkoba. Ia merasa

mampu mengatasinya namun tidak menutup kemungkinan ada petugas lain yang terpengaruh. Misalnya,

“.....kita kan tahu narkoba kan barang merupakan tindak pidana. Suatu contoh karena bujuk rayu, dia

bisa membawa narkoba ke dalem. ...Heeh, ikukan otomatis dia di hukum. Karena satu dia bisa menjadi

kurir, ikut – ikut membantu. Bisa itu. Pernah terjadi.”. Hukuman bagi petugas yang melanggar berjenjang

mulai teguran, penundaan kenaikan pangkat, dipecat sampai diproses secara hukum dan masuk penjara

Menilik penuturan petugas lapas, memang sukaduka dan tantangannya cukup berat. Media massa

melaporkan adanya pungutan liar di lapas Kedungpane,

“Reformasi hukum yang dilakukan oleh pihak terkait ternyata tidak banyak memberi

perubahan, seperti halnya yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I

Kedungpane Semarang.

Cerita mengenai pungutan liar di balik penjara yang selama ini beredar di masyarakat

ternyata masih saja terjadi, namun memang ada sedikit perubahan agar tidak terlalu

transparan.

Uang di Lapas masih menjadi sesuatu yang mampu mengubah segalanya agar para

penghuni bisa menikmati sejumlah fasilitas ilegal yang diduga disediakan beberapa

oknum petugas Lapas yang tidak bertanggung jawab dan ingin memperoleh keuntungan

pribadi.

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 44: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

44

Ketika masuk, narapidana akan ditawari kamar sel seperti apa yang akan dihuni. Tentu

saja hal itu ada tarifnya sendiri, seperti sel ukuran 2,5 x 3 meter dengan tarif sekitar Rp2

juta yang biasa dikenal sebagai blok elite dan terpisah dari narapidana lainnya”.

(http://www.antarajateng.com, tanggal 23 November 2010)

Berita-berita negatif mengenai lapas Kedungpane masih bertambah dengan cerita mengenai tahanan yang

tewas karena sakit, bunuh diri, atau sakit; napi yang melarikan diri; petugas yang terlibat kejahatan atau

yang meninggal di lokalisasi, dsb. Berita tersebut semestinya dianggap sebagai upaya pihak luar untuk

memberikan perhatian pada kondisi lapas, walaupun memang sangat mencoreng muka para petuas terkait.

Sejauh ini barangkali yang diparlukan, selain melakukan balasan klarifikasi melalui media juga

melakukan pembenahan.

Petugas di lapas Kedungpane yang tengah mendapat sorotan publik tentunya mesti lebih peka terhadap

perubahan menuju kebaikan. Mereka perlu lebih membuka diri dengan dengan merujukan pada Tri

Dharma Petugas Pemasyarakatan1; dharma pertama jelas menunjuk posisi istimewa mereka sebagai abdi

hukum yang bertugas sebagai pembina narapidana dan pengayom masyarakat.

C. Bapas Semarang

Bapas atau Balai Pemasyarakatan merupakan sebuah lembaga di bawah Departemen Hukum dan

Perundangan dengan visi “terwujudnya pembimbing kemasyarakatan yang professional, handal

dan tanggung jawab untuk mewujudkan pulihnya kesatuan hubungan hidup, penghidupan dan

kehidupan sebagai individu, anggota masyarakat dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa”. Dengan

demikian, bapas menjadi mitra lapas yang bergerak di komunitas dalam rangka memulihkan

interaksi sosial yang melibatkan mantan narapidana.

Orientasi pekerjaan yang menjadi misi dari bapas adalah (1) mewujudkan litmas yang objektif,

akurat dan tepat waktu, (2) melaksanakan program pembimbingan secara berdaya guna, tepat

sasaran dan memiliki prospek ke depan, (3) mewujudkan pembimbingan klien pemasyarakatan

dalam rangka penegakan hukum, pencegahan dan penanggulangan kejahatan, serta pemajuan dan

perlindungan HAM, (4) pendampingan klien anak yang berhadapan dengan hukum.

Misi ini diwujudkan dengan (1) melaksanakan penelitian kemasyarakatan, (2) melaksanakan

registrasi klien pemasyarakatan, (3) melaksanakan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan

anak, (4) mengikuti sidang peradilan anak di Pengadilan Negeri, Sidang TPP BAPAS, LAPAS

dan RUTAN, (5) memberikan bantuan bimbingan kepada bekas narapidana, anak didik dan klien

pemasyarakatan, (6) melaksanakan urusan tata usaha BAPAS.

Dalam penjelasan Falikha, petugas Bapas Semarang yang telah bekerja selama 11 tahun, bapas

merupakan lembaga yang berwenang melakukan litmas atau penelitian kemasyarakatan, yang

memverifikasi kebenaran informasi saat sidang atau untuk permintaan PB atau. Dalam hal PB,

litmas dari Bapas memastikan antara lain, kalau anak keluar ada pihak keluarga atau orang lain

yang menampung atau tidak. Bapas mencoba memastikan siapa yang menjadi penjamin bagi

1 Selengkapnya, Tri Dharma itu berbunyi: (1) Kami Petugas Pemasyarakatan adalah abdi hukum, pembina

narapidana, dan pengayom pemasyarakatan, (2) Kami Petugas Pemasyarakatan wajib bersikap dan bertindak adil

dalam melaksanakan tugas, (3) Kami Petugas Pemasyarakatan bertekad menjadi suri tauladan dalam mewujudkan

tujuan Sistem Pemasyarakatan yang berdasarkan Pancasila.

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 45: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

45

anak yang mengajukan PB, “Iya, penjamin istilahnya, itu kemana. Soalnya kalau begitu pulang

dari LP kan memang harus dipastikan dia ada penjamin yang bener – bener bersedia

menerima. Trus yang kedua, pihak masyarakat merespon ,menerima juga ngga gitu lho

maksudnya di sana, apalagi untuk kasus-kasus yang persetubuhan , pemerkosaan itu memang

harus ditanyakan ...Karena kalau masyarakat tidak bisa, tidak mau menerima, dari pihak

kelurahan, atau pun dia tidak punya penjamin, itu tidak akan bisa mendapat PB.”

Dalam melakukan kegiatannya, bapas seringkali menjalin kerjasama dengan lembaga lain, “Lha

itu kan di profil Bapas udah ada. PNPM... bantuan modal usaha untuk dewasa. Kalau untuk

anak dari LPK Permata itu...Lha ini lagi mau dirintis sama Diknas. Proposalnya belum masuk,

baru dalam proses, itu nanti jadi, mereka yang kurang biaya untuk sekolah, diberi biaya untuk

sekolah gitu lho. Tapi itu belum selesai baru tahap penjajakan”.

Menurut Falikha, di Kedungpane jarang atau bahkan tidak ada permintaan litmas untuk anak,

karena biasanya yang meminta litmas anak adalah lapas anak. Mereka yang harus diverifikasi

adalah tahanan dengan kasus tergolong berat, “....Pembunuhan ada, persetubuhan, biasanya

yang rata – rata hukumannya panjang kan pembunuhan dan persetubuhan. Nek pencurian itu

sangat jarang...”

Selain untuk keperluan vrifikasi data di saat sidang dan untuk PB, menurut Falikha hasil litmas

mestinya juga dapat dipergunakan sebagai bahan pembinaan anak selama di lapas. “Ya bisa tho.

Harusnya. Karena sebenarnya dulu sebelum peraturan yang ini, dulu kan ada bahwa litmas itu

dilakukan lebih dari sekali waktu peraturan menterinya siapa aku lupa, sekarang tu ada

peraturan Litmas cukup 1 kali.... “ namun sayangnya sekarang, “....sudah ditiadakan. Mungkin

karena penghematan anggaran ya atau mungkin untuk lebih memper singkat prosedurnya,

mungkin ya biar prosesnya lebih cepat gitu lho, karena dulu dulukan dihitungnya bukan dari

masa penahanan, dihitung dua per tiganya bukan dari masa penahanan....”. Sekarang masa

litmas dipersingkat dan hanya dilakukan untuk kepentingan PB dan CMB bagi kepentingan

lapas; dan sesudah napi keluar, yang artinya sudah urusan Bapas.

Peran bapas penting dalam hal ini karena PB diajukan oleh napi yang telah menjalani masa 2/3

hukuman, sisa 1/3 hukuman diawasi oleh bapas, “...Dalam bentuk home visit, trus kadang dalam

bentuk kita, pas apa hubungan dengan penjaminnya, orang tuanya kan. Kadang- kadang pada

saat itu kita berhubungan dengan RT nya. Pada saat itu kan kalo setiap kita melakukan home

visit kan, kita pasti ketemu tokoh masyarakat di sana bagaimana...bagaimana anaknya ini....”.

hal yang sama juga berlaku untuk yang mengajukan CMB; fasilitas ini merujuk pada masa sisa

tahanan yang 1/3 dihitung dari remisi terakhir, bukan dari keseluruhan hukuman.

Mengenai kaitan kerja antara bapas dengan isu anak, Falikha tidak melihat adanya program

khusus. Ia mengakui hal itu semestinya penting dan bisa dilakukan bapas, tetapi sampai saat ini

belum ada, “Sekarang mau, mungkin opo yo,ada petunjuknya untuk LP dewasa kan tidak ada

jatah bagian untuk pembinaan anak. Iku aku yo gak mudeng kok, kesalahane terletak di mana

kok sampai sepert itu...Belum bisa gitu, anak tidak boleh dipidana kan angel sekarang, masih

belum bisa gitu. Trend anak tidak boleh dipidana masih bentuk pidana kan?...Kudune kan wis

mulai memikirkan, ada pembinaan kusus untuk anak”. Ia menganggap sekarang saatnya untuk

memikirkan pola pembinaan bagian tahanan anak

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 46: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

46

Falikha sering merasa hubungan bapas dan lapas tidak begitu jelas dalam hal input dan output

materi yang diperoleh dari litmas. Ia bisa saja memberi masukan untuk pembinaan anak di lapas,

“...dengan memasukan saran-saran, nanti anaknya kalau dapat PB akan mau saya masukkan

saya ikutkan begini, kalau itu saya akan ikutkan begitu. Tapi, inovasi-inovasi seperti itu belum

bisa diakomodir, oleh pimpinan- pimpinan.... tapi ternyata tidak diperbolehkan dengan alasan

memang belum ada ketentuan secara yuridis yang mengatur masalah seperti itu”.

Pembinaan kepada tahanan anak menurut Falikha sama saja walaupun status hukumannya

berbeda, “...sama podo kabeh...” Anak pidana bersyaat, yang tidak masuk lapas, pembinaannya

dimulai segera setalah vonis dijatuhkan dan jaksa mengeluarkan P-51 sebagai bentuk penyerahan

dari Kejaksaan ke Bapas. Sekalipun demikian, pengawasan tetap ada pada jaksa. Ketika diminta

menjelaskan perbedaan status Falikha bergeming bahwa semuanya sama. Mengenai anak sipil,

yang oleh orang tuanya diserahkan pada negara, ternyata tidak ada koordinasi dengan bapas,

“Harusnya dinas sosial apa lembaga instansinya itukan mengirim laporan perkembangan

anaknya itu ke kita...”. Sementara anak negara, dalam pandangan Falikha mestinya menjadi

urusan negara untuk mebinanya dengan baik, bukannya ditempatkan di lapas, “...cuman

masalahe nek isuk sekolah, nanti, domisilinya di LP. Tetapi tidak di terali besi....Sama aja thow,

wong dee masuk ke dalam LP kok. Tidurnya kan di dalam LP....Haruse anak Negara kui di urusi

oleh panti sosial yang punya pemerintah.” Apabila dalam pengadilan diputuskan bahwa anak

bersalah namun pembinaannya dikembalikan pada orangtuanya, bapas juga akan memantau

dengan pola serupa, “

Dalam pelaksanaan kegiatan, bapas membentuk TPP atau tim pengawas pemasyarakatan yang

terdiri dari ketua, wakil ketua, dua sekretaris didampingi oleh 6 anggota yang terdiri dari unsur

Kasi BKA (Bimbingan Klien Anak) dan BKD (Bimbingan Klien Dewasa) serta sejumlah tim

teknis. TPP inilah yang bekerja mengolah hasil litmas dan meneruskannya sebagai program

untuk memecahkan masalah. Sayangnya, seringkali hasil dan saran yang keluar sudah mengikuti

format tertentu, tidak detail dan nyaris sama untuk kasus-kasus tertentu, “Musti isine podo kabeh,

berdasarkan eh, sesuai kalo itu sudah sesuai adminstratif dan substantif maka, diusulkan

pembebasan bersyarat nek ora diusulkan CMB wis ngono tok. Ora ono kepiye... Nanti ini

kliennya bagaimana? Nak nanti ke luar mau diapake? Sudah punya rencana apa PK nya? Orak

ono”. Menurut Falikha hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh sidang-sidang verifikasi hasil

litmas yang terlalu banyak, sekitar 15-20 kasus setiap kali sidang. Biasanya sidang dilakukan dua

kali dalam satu bulan, dengan jarak sekitar dua minggu.

Pembahasan di TPP untuk pengajuan PB seorang napi juga berjalan singkat dengan standar yang

sama, “Apabila persyaratan administratif dan substantif sudah terpenuhi, ya sudah diusulkan

PB, CMB....”. Syarat mencakup catatan dari lapas yang berupa tidak adanya Register F, yang

berisi catatan mengenai kelakuan anak dan catatan pelanggaran yang dilakukan mereka. Juga

diperiksa kemungkinan adanya ekstra vonis yang membuat hukuman lebih lama.

Menurut Falikha, TPP dapat juga berfungsi sebagai media untuk menerima keluhan dari warga

binaan, namun sayangnya lembaga TPP di bapas Semarang ini seringkali hanya asal dibentuk

untuk verifikasi data saja, bukan untuk fungsi lainnya. Akibatnya, keluhan dari warga binaan

hanya dihadapi tim litmas tanpa ada kelanjutannya di TPP.

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 47: LP 2012 8 Kajian kebutuhan.pdf

47

Latar belakang pendidikan para petugas bapas umumnya masih kurang sesuai dengan urusan

teknis pekerjaan. Falikha sendiri walaupun lulusan STKS mengaku bahwa ilmunya seringkali

harus diperbaiki lagi. Memang ia mempelajari dasar-dasar psikologi dan mampu berkomunikasi

di muka umum tetapi tetap harus diasah. Ia juga melihat beberapa petugas tidak sesuai latar

belakang pendidikannya, “Yo ono, sarjana ekonomi dadi PK2 Trus kebanyakan dari SMA juga

banyak. Jadi mereka menerapkannya metode-metodenya belum begitu paham, cuman saya

menghargai niatnya”. Sangat disayangkan bahwa sampai saat ini belum ada upaya dari lembaga

untuk meningkatkan kapasitas mereka. Secara terbatas beberapa kali ada upgrading dari pusat

tetapi hanya menjangkau sedikit petugas tanpa kriteria rekrutmen yang jelas dan terbuka.

Ada tiga hal penting menurut Falikha yang mesti dimiliki oleh petugas kemasyarakatan, pertama

integritas moral, lalu kemampuan berkomunikasi dan ke tiga kemampuan persuasif untuk

mengajak piak lain bekerjasama. Khusus petugas kemasyarakatan yang mengurus klien anak, ia

juga harus paham hak-hak dasar anak.

2 PK adalah pembimbing kemasyarakatan, petugas fungsional pemasyarakatan di Bapas yang diangkat

Menkumham dengan tugas sbb: (1) Melakukan Penelitian Kemasyarakatan, (2) Menyusun laporan atas hasil

Penelitian Kemasyarakatan yang telah dilakukannya, (3) Mengikuti sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan guna

memberikan data, saran dan pertimbangan atas hasil penelitian dan pengamatan yang dilakukannya, (4)

Mengikuti sidang pengadilan yang memeriksa perkara anak nakal yang sedang diperiksa di pengadilan

berdasarkan hasil Penelitian Kemasyarakatan yang telah dilakukannya, (5) Melaksanakan bimbingan

kemasyarakatan dan bimbingan kerja bagi klien pemasyarakatan, (6) Memberikan pelayanan terhadap instansi

lain dan masyarakat yang meminta data atau hasil Penelitian Kemasyarakatan klien tertentu, (7)

Mengkoordinasikan pekerja sosial dan pekerja sukarela yang melaksanakan tugas pembimbingan, (8)

Melaksanakan pengawasan terhadap terpidana anak yang dijatuhi pidana pengawasan, anak didik

pemasyarakatan yang diserahkan kepada orangtua, wali dan orangtua asuh yang diberi tugas pembimbingan. Dan

(9) Melaporkan setiap pelaksanaan tugas kepada Kepala BAPAS.

Kajian kebutuhan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011