lingkaran wina - wilopo | university of...

19
1 | Hal LINGKARAN WINA 1 Oleh Wilopo I. PENDAHULUAN Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan yang merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasa diterima secara tidak kritis dan merupakan suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat dijunjung tinggi. Filsafat juga merupakan suatu usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan yang artinya filsafat berusaha untuk mengkombinasikan bermacam-macam ilm dan pengetahuan tentang manusia sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa filsafat merupakan suatu refleksi yang kritis dan rasional tentang pengalaman kehidupan manusia, karena filsafat berbeda dengan ilmu empiris lainnya. Perbedaan antara filsafat dengan dengan Ilmu empiris adalah tentang pengalaman. Empiris membicarakan tentang data-data yang diperoleh lewat observasi dengan mengadakan analisis tentang data-data empiris yaitu dengan pendekatan teori dan metodologi, yang mendatangkan atau menghasilkan temuan-temuan. Filsafat juga sebenarnya bertolak dari pengalaman dan data juga tapi tujuannya tidak hanya berhenti sampai pada data alami tapi dilakukan analisis lebih lanjut untuk mendapatkan pengetahuan dasar. Oleh karena itu filsafat tidak berhenti pada fenomena-fenomena atau data empiris karena tujuannya adalah untuk mendapatkan dasar-dasarnya atau unsure-unsur yang hakiki atau bicara tentang hakekatnya. Jadi, filsafat adalah untuk mendapatkan pengetahuan yang hakiki atau memperoleh hakekat, misalnya ilmu sosiologi akan membicarakan tentang hakikat dari masyarakat. Kelahiran pemikiran filsafat Barat diawali pada abad ke-6 sebelum masehi yang ditandai hilangnya mitos dan dongeng yang menjadi pembenaran terhadap setiap gejala alam. Manusia waktu itu mencari asal usul alam semesta melalui mitos dan dongeng. Namun pemikiran tersebut yang tidak didasarkan oleh control akal sehat, maka orang mulai mencari jawaban yang rasional tentang asal usul dan kejadian alam semesta. Ciri yang menonjol dari filsafat Yunani kuno adalah dengan 1 Disampaikan pada Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan, Program Doktor Ilmu Administrasi, FISIP, UI, Jakarta, Oktober 2009

Upload: vanduong

Post on 06-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1 | H a l

LINGKARAN WINA1

Oleh Wilopo

I. PENDAHULUAN

Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan yang

merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan

kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasa diterima secara tidak kritis dan merupakan

suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat dijunjung tinggi.

Filsafat juga merupakan suatu usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan yang artinya

filsafat berusaha untuk mengkombinasikan bermacam-macam ilm dan pengetahuan tentang

manusia sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa filsafat merupakan suatu refleksi yang kritis dan rasional

tentang pengalaman kehidupan manusia, karena filsafat berbeda dengan ilmu empiris lainnya.

Perbedaan antara filsafat dengan dengan Ilmu empiris adalah tentang pengalaman. Empiris

membicarakan tentang data-data yang diperoleh lewat observasi dengan mengadakan analisis

tentang data-data empiris yaitu dengan pendekatan teori dan metodologi, yang mendatangkan atau

menghasilkan temuan-temuan.

Filsafat juga sebenarnya bertolak dari pengalaman dan data juga tapi tujuannya tidak hanya

berhenti sampai pada data alami tapi dilakukan analisis lebih lanjut untuk mendapatkan

pengetahuan dasar. Oleh karena itu filsafat tidak berhenti pada fenomena-fenomena atau data

empiris karena tujuannya adalah untuk mendapatkan dasar-dasarnya atau unsure-unsur yang

hakiki atau bicara tentang hakekatnya. Jadi, filsafat adalah untuk mendapatkan pengetahuan yang

hakiki atau memperoleh hakekat, misalnya ilmu sosiologi akan membicarakan tentang hakikat dari

masyarakat.

Kelahiran pemikiran filsafat Barat diawali pada abad ke-6 sebelum masehi yang ditandai hilangnya

mitos dan dongeng yang menjadi pembenaran terhadap setiap gejala alam. Manusia waktu itu

mencari asal usul alam semesta melalui mitos dan dongeng. Namun pemikiran tersebut yang tidak

didasarkan oleh control akal sehat, maka orang mulai mencari jawaban yang rasional tentang asal

usul dan kejadian alam semesta. Ciri yang menonjol dari filsafat Yunani kuno adalah dengan

1 Disampaikan pada Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan, Program Doktor Ilmu Administrasi, FISIP, UI, Jakarta, Oktober

2009

2 | H a l

ditunjukkannya pengamatan pada gejala kosmik dan fisik sebagai iktiar untuk mendapatkan gejala,

seperti air (Thales, 640-550 SM), udara (Anaximenes, 588-524 SM) maupun angka-angka

(Pythagoras, 580-500 SM). Perkembangan selanjutnya dengan munculnya gagasan tentang ‘ada’

(Parmenides, 540-475 SM) yang merupakan cikal bakal munculnya filsafat ‘metafisika’, tentang

pluralism dan monism dalam bidang epistomologi antara ‘empirisme’ dan rasionalisme’.

Perkembangan filsafat selanjutnya semakin semarak dengan tampilnya filsuf Demokritos (460-370

SM) dengan konsep atomnya yang menjadi cikal bakal perkembangan ilmu fisika, kimia dan biologi.

Filsuf Socrates (470-399 SM) tidak memberikan suatu ajaran yang sistematis tapi langsung

menerapkan metode filsafat langsung dalam kehidupan sehari-hari dimana metode yang

diuraikannya disebut dialetika. Yang berarti bercakap-cakap, yang kemudian diteruskan oleh

muridnya Plato (428-348 SM) tentang tradisi dialog dalam bersfilsafat. Pemikiran filsafat Yunani

mencapai puncak pada murid Plato yaitu Aristoteles (384 – 322 SM) dimana menurutnya tugas

ilmu pengetahuan adalah mencari penyebab obyek yang diselidiki.

Perkembangan filsafat terus berlanjut sampai pada Zaman pertengahan (6-16 M) dimana muncul

para filsuf, seperti Thomas Aquinas. Selanjutnya berkembang sampai pada Zaman Renaisans (14-

16 M) yang memunculkan para Tokoh seperti Nicolaus Copernicus (1473-1543) dan Francis Bacon

(1561-1626). Setelah itu perkembangannya dimatangkan dengan munculnya gerakan Aufklaerung

pada abad 18, yang mana pengaruhnya bersama dengan Zaman Renaisans telah menyebabkan

peradaban dan kebudayaan barat modern berkembang dengan pesat dan semakin bebas.

Dari dasar inilah muncullah wacana filsafat yang menjadi topic dalam abad 17 yaitu persoalan

epistemology yaitu tentang bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan dan apakah sarana

yang paling memadai untuk mencapai pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud dengan

kebenaran itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan ini memunculkan dua aliran filsafat yang berbeda

yaitu rasionalisme dan empirisme. Aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan

yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio). Para tokoh dalam aliran ini sepert

Descrates, Spinoza dan Leibniz. Sedangkan dan aliran empirisme mengatakan bahwa sumber

pengetahuan yang memadai adalah pengalaman yang menyangkut dunia dan pengalaman probadi

manusia. Filsuf Jerman yang bernama Immanuel Kant (1724-1804) menjembatani kedua pendapat

ini dengan melahirkan aliran yang disebut Kritisime. Perkembangan selanjutnya, muncullah aliran

filsafat positivisme oleh Auguste Comte (1798-1857), dimana inti filsafatnya adalah anti-metafisis.

3 | H a l

Perkembangan filsafat sejak awal sampai pada abad-abad modern telah meletakkan dasar dalam

perkembangan filsafat ilmu pengetahuan. Filsafat Ilmu Pengetahuan merefleksikan tentang ilmu

pengetahuan untuk mebicarakan tentang struktur ilmu pengetahuan atau unsure-unsur dan

hakikat dari suatu ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pengetahuan lebih luas sekedar sejarah ilmu

pengetahuan. Sejarah ilmu pengetahuan berguna untuk memahami proses penemuan berbagai

macam hal dalam ilmu pengetahuan. Banyak ahli berpendapat bahwa beberapa problematika

dalam filsafat ilmu pengetahuan tidak dapat dipahami secara memadai terpisah dari sejarah ilmu

pengetahuan.

Perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri terjadi pada saat revolusi ilmu pengetahuan pada abad

17, ketika terjadi penemuan-penemuan oleh beberapa ahli tentang teori-teorinya seperti, Newton

dan Kepller. Pada abad ke-17 itu telah terjadi perubahan pemikiran yang sangat revolusioner

dibandingkan dengan sebelumnya. Revolusi Budaya, sebagai salah satu contoh yang mendorong

orang berpikir rasional dan empiris yang mengakibatkan perubaha cara orang berpikir. Revolusi

ilmu pengetahuan telah membuat orang berpikir mekanistik yang sifatnya matematika, fisika dan

astronomi. Revolusi ilmu pengetahuan juga memberikan dinamika dalam ilmu pengetahuan

empiris, maka dengan adanya lompatan ini munculah ilmu pengetahuan.

Sistem ilmu pengetahuan berkembang hingga sampai pada abad 19, dimana Auguste Comte

memberikan sumbangan kreatif yang khas terhadap perkembangan sosiologi sebagai suatu sintesa

antara dua perspektif yang saling bertentangan mengenai keteraturan sosial: positivisme dan

organisme. Orang positivis percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengadakan perubahan sosial

dan politik untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu. Hasilnya

akan berupa suatu takhayul, kekuatan, kebodohan, paksaan, dan konflik akan dilenyapkan. Titik

pandangan ini sangat mendasar dalam gagasan-gagasan Comte mengenai kemajuan yang mantap

positivisme.

Sumbangan pikiran penting lain yang diberikan Comte ialah pembagian sosiologi kedalam dua

bagian besar: statika sosial (social statics) dan dinamika sosial (social dynamics). Statika mewakili

stabilitas, sedangkan dinamaika mewakili perubahan. Dengan memakai analogi dari biologi, Comte

menyatakan bahwa hubungan antara statika sosial dapat disamakan dengan hubungan antara

anatomi dan fisiologi. Hal ini membuat Comte membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga yaitu :

Teologi yaitu pengetahuan yang didapat didasarkan pada Teologis (iman dan kepercayaan),

Metafisis yaitu pengetahuan yang didasarkan pada akal budi (reasoning), spekulatif dan abstrak

serta Positif yaitu ilmu pengetahuan didasarkan pada fakta yang didapat yang sifatnya empiris.

4 | H a l

Comte dapat dikatakan sebagai seorang tokoh bagi Ilmu pengetahuan yang positif, dimana Comte

mendapat dukungan dari para ilmuwan pada saat itu, karena banyak dari mereka yang berpikir

positif. Sejak saat itu positivism mendapat pengaruh yang sangat besar dalam ilmu pengetahuan

dan pada awal abad 19, muncul kelompok berkumpul di Wina yang berorientasi positivisme untuk

membicarakan tentang struktur ilmu pengetahuan tersebut, dimana kelompok ini lebih dikenal

sebagai Lingkaran Wina (Wina Circle).

II. SEJARAH PERKEMBANGAN

Positivisme merupakan istilah yang digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar tahun 1825).

Positivisme berakar pada empirisme karena kedekatan keduanya yang menekankan logika

simbolik sebagai dasar. Prinsip filosofik tentang Positivisme dikembangkan pertama kali oleh

empiris Inggris Francis Bacon. Dalam psikologi pendekatan positif erat dikaitkan dengan

behaviorisme, dengan fokus pada observasi objektif sebagai dasar pembentukan hukum. Tesis

Positivisme bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang

mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan.

Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis

ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk,

maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan

positivisme, yaitu:

1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun

perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan

tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P.

Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun

1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan

pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri

positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut

pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.

3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-

tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut

5 | H a l

berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin.

Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme

logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang

bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Pendiri dan sekaligus tokoh terpenting dari aliran filsafat positivism adalah Auguste Comte (1798-

1857). Filsafat Comte adalah anti-metafisis, ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara

positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu

positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savior pour prvoir (mengetahui supaya siap untuk

bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-

gejala ini supaya ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.

Filsafat positivism Comte disebut juga faham empirisisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori

berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran

atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara ‘terisolasi’, dalam arti

harus dikaitkan dengan suatu teori. Metode positif Auguste Comte juga menekankan

pandangannya pada hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. Baginya persoalan

filsafat yang penting bukan pada masalah hakikat atau asal-mula pertama dan tujuan akhir gejala-

gejala, melainkan bagaimana hubungan antara gejala yang satu dengan gejala yang lain.

Fisafat Comte terutama penting sebagai pencipta ilmu sosiologi. Kebanyakan konsep, prinsip dan

metode yang sekarang dipakai dalam sosiologi, berasal dari Comte. Comte membagi masyarakat

atas ‘statika sosial’ dan ‘dinamika sosial’. Statika social adalah teori tentang susunan masyarakat,

sedangkan dinamika social adalah teori tentang perkembangan dan kemajuan. Sosiologi ini

sekaligus suatu ‘filsafat sejarah’, karena Comte memberikan tempat kepada fakta-fakta individual

sejarah dalam suatu teori umum, sehingga terjadi sintesis yang menerangkan fakta-fakta tersebut.

Fakta-fakta itu dapat bersifat politik, yuridis, ilmiah, tetapi juga falsafi, religious atau cultural.

Istilah positivisme dipopulerkan oleh August Comte dalam sebuah karyanya “Cours de Philosophic

Positive" sebanyak enam jilid. Dari Comte inilah orang banyak mengenal tentang positivisme secara

luas. Positivisme berakar pada empirisme." Prinsip filosofis tentang positivisme dikembangkan

pertama kali oleh empirist Inggris Francis Bacon (sekitar 1600). Di samping itu juga bersama-sama

John Locke dan David Hume, kelompok positivis Prancis (Auguste Comte), kelompok logikal

positivis dan kelompok Wina serta aliran-aliran fisika analisis dari Inggris sangat concern terhadap

tradisi empiris. Sesungguhnya positivisme tidak dapat dipisahkan dengan empirisme. Oleh karena

6 | H a l

itu tidak salah bila Hector Hawton menyebut positivisme tersebut bersinonim dengan empirisme

ilmiah. Tesis positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-

fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Dengan demikian positivisme

menolak keberadaan segala kekuatan atau subyek di belakang fakta, menolak segala penggunaan

metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta.

Atas kesuksesan teknologi industry abad ke-18 positivisme mengembangkan pemikiran tentang

ilmu universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan juga agama

sebagai disiplin ilmu. Tentu menjadi etika, politik dan agama yang positivistik. Dalam

perkembangan filsafat, ada tiga bentuk positivisme, yaitu positivisme sosial, positivisme evolusioner,

dan positivisme kritis. Ketiga aliran itu kemudian berkembang lebih lanjut menjadi positivisime

modern, yang dibagi kepada dua aliran besar, yaitu positivisme linguistik dan positivisme fungsional.

Selain itu juga berkembang aliran positivisme logik (logical positivisme) yang dikenal dengan

neopositivisme.

1. Positivisme Sosial

Posivisme sosial merupakan penjabaran lebih jauh dari kebutuhan masyarakat dan sejarah.

August Comte dan John Stuart Mill merupakan tokoh-tokoh utama positisme sosial. Sedangkan para

perintisnya adalah Saint Simon dan para penults sosialistik dan utilitarian; yang karyanya Juga

dekat dengan tokoh besar dalam ekonomi: Thomas Malthus dan David Ricardo.

a. Filsafat Positivistik August Comte

August Comte (1798-1875) terkenal dengan penjenjangan sejarah alam piker manusia,

yaitu: teologi, metafisik dan positif. Pertama,tahap teologis. Disini , peristiwa-peristiwa

dalam alam dijelaskan dengan istilah-istilah kehendak atau tingkah dewa-dewi. Kedua,

tahap metafisik. Disini, peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan melalui hukum-hukum

umum tentang alam. Dan ketiga, tahap positif. Disini, peristiwa-peristiwa tersebut

dijelaskan secara ilmiah. Pada jenjang teologi, manusia memandang bahwa segala sesuatu

itu hidup dengan kemauan dan kehidupan seperti dirinya.

Jenjang teologi ini dibagi lagi kepada tiga tahap, yaitu: pertama tahap animisme atau

fetishisme, yang memandang bahwa setiap benda itu memiliki kemauannya sendiri, kedua

tahap polytheisme yang memandang sejumlah dewa menampilkan kemauannya pada

sejumlah obyek; dan ketiga tahap monotheisms yang memandang bahwa ada satu Tuhan

yang menampilkan kemauannya pada beragam obyek. Pada jenjang alam fikir metafisik

7 | H a l

abstraksi kemauan pribadi berubah menjadi abstraksi tentang sebab dan kekuatan alam

semesta. Dan pada jenjang positif, yakni yang terakhir dan tertinggi, alam fikir manusia

mengadakan pencarian pada ilmu absolut, mencari kemauan terakhir atau sebab pertama.

Ilmu pengetahuan positif model Comte adalah rasionalisme Descartes dan ilmu

pengetahuan alam seperti yang dikembangkan oleh Galileo Galilei, Isaac Newton dan

Francis Bacon. Comte menyebutkan ada enam ilmu pokok yaitu: matematika, astronomi,

fisika, kimia, biologi dan sosiologi.

Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis percaya bahwa

masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat

dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial memasyarakatan. Aliran ini

tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan

kemajuan dari revolusi Perancis.

Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi

guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus

mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan.

Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan

masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode

absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri.

Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph,

yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan

merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap

akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika,

dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari

de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat

sehjarah Condorcet).

Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang

kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :

1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta

2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup

3. Metode ini berusaha ke arah kepastian

4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.

8 | H a l

Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan,

eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu

alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan

hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.

b. Positivisme Jeremy Bentham dan John Stuart Mill

Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873) adalah dua orang tokoh

yang memberikan landasan positivisme. Menurut keduanya ilmu yang valid adalah ilmu

yang dilandaskan pada fakta. Etik tradisional vang dilandaskan pada moral, diganti dengan

etik yang dilandaskan pada motif perilaku, pada kepatuhan manusia terhadap aturan.

Sebagat seorang utilitarian Mill menolak kekuasaan absolute dari agama. Mill berpendapat

bahwa kebebasan manusia itu bagaikan a sacred fortress (benteng suci) yang aman dari

penyusupan otoritas apapun. Wawasan yang menjadi marak pada, akhir abad 20 ini. Sistem

positivis dipergunakan Mill untuk segala ilmu, baik logika, psikologi maupun etika.

2. Positivisme Evolusioner

Positivisme evolusioner berangkat dari fisika dan biologi. Digunakan doktrin evolusi biologik.

a. Herbert Spencer

Konsep evolusi Spencer diilhami konsep evolusi biologi. Dalam konsepnya, evolusi

merupakan proses dari sederhana ke kompleks, Pengetahuan manusia menurut Spencer

terbatas pada kawasan fenomena. Agama yang otentik mengunakan kawasan yang penuh

misteri, yang tak diketahui, yang tak terbatas, hal mana yang fenomena tunduk kepada

misteri. Sebagai perintis sosiologi, Spencer berpendapat bahwa sosiologi merupakan

disiplin umu teoritik yang mendeskripsikan perkembangan masyarakat manusia.

Pandangan tersebut diterima oleh sosiolog positivistik seperti Emile Durkheim, Spencer,

dan selanjutnya positivist lainnya menerima penafsiran evolusi yang bersifat hal dan

abstrak yang materialistik ataupun kesadaran yang spritualistik.

b. Haeckel

Agama sering melihat materi dan ruh sebagai dua yang dualistik. Haeckel memandang

bahwa hal dan kesadaran itu menampilkan sifat yang berbeda, tetapi mengenai

substansinva yang satu, monistik. Berbeda dengan Lombrosso yang berpendapat bahwa

perilaku kriminal itu bersifat positivistik biologik deterministik.

9 | H a l

3. Positivisme Kritis

Yang termasuk tokoh-tokoh positivisme kritis adalah Ernst Mach, Richard Avenarius, Karl

Pearson dan Joseph Petzoldt.

a. Ernst Mach dan Richard Avenarius

Richard Avenarius dan Ernst Mach, dua tokoh yang dianggap sebagai pelopor kaum

neopositivisme, mencoba memberikan fundamen bagi kepastian filsafat dengan derajat

kepastian yang sama dengan ilmu pasti. Caranya adalah dengan menggunakan metode

matematik yang dikombinasikan dengan eksperimen. Penggunaan proposisi matematik ini

dapat menjauhkan filsafat dari segala suasana perasaan, subyektivitas dan metafisika

(Beerling, 1994: 96).

Di akhir abad 19 positivisme menampilkan bentuk yang lebih kritis dalam beberapa karya

Mach dan Avenarius, yang lebih dikenal dengan empiriocritistme. Bagi keduanya fakta

adalah satu-satunva unsur untuk membangun realitas. Realitas baginya adalah sejumlah

rangkaian hubungan beragam hal indrawi yang relative stabil. Unsur indrawi itu bisa

berupa fisik dan bisa pula psikis. Dengan demikian sesuatu itu adalah serangkaian relasi

indrawi, dan pemikiran kita adalah persepsi kita atau representasi dari sesuatu itu.

b. Pearson

Konsep hukum menurut positivisme klasik merupakan relasi konstan sejumlah fakta,

sedangkan menurut Kad Pearson merupakan suatu deskripsi tentang dunia luar, bukan

persepsi. Sementara Mach memandang hukum sebagai preskripsi tentang fenomena yang

diharapkan.

c. Petzoldt

Segaris dengan Marc, Joseph Petzoldt mengajukan konsep law of univocal determanition

sebagai pengganti prinsip kausalitas. Menurut Petzoldt hukum ini memungkinkan orang

memilih kondisi mana yang diperhatikan lebih efektif terhadap determinasi suatu

fenomena. Pearsen menyimpulkan hukum ilmiah adalah hukum yang hanya memberi efek

logis dan tidak perlu sampai kepada efek fisik."

4. Positivisme Linguistik

Yang mula-mula mengembangkan positivisme linguistik pada awal abad 20 adalah de

Saussure. Dia mengaplikasikan sistem logika yang menggunakan bahasa sebagai sistem logika

untuk pengembangan ilmu. Sistem logika bahasa ini disebut sebagai second order of logic yang pada

era sekarang dikenal dengan positivisme linguistik.

10 | H a l

5. Positivisme Fungsional

Positivisme fungsional yang merupakan positivisme modem, masih tetap menggunakan

paradigma kuatitaif matematik yang diasumsikan isomorphic dengan ilmu pengetahuan alam.

Disebut positivisme fungsional karena ia mengadopsi analogi biologik dan analogi mekanik dalam

menelaah manusia. Sistem biologik dan sistem mekanik dipakai untuk memahami prilaku manusia.

6. Positivisme Logik (Neopositivisme)

Positivisme modern dikembangkan oleh filosof abad 20 dan dikenal sebagai positivistik

logik. Yang memberi nama positivisme logik adalah A.E. Blumberg dan Herbert Feigel pada tahun

1932. Nama lain dari empirisme logik adalah neopositivisme. Tradisi kelompok Wina yang

empiristik mengembangkan terus diskusinya. Moritz Schlik dan Rudolph Camap ikut bergabung

pula, dan mereka menjadi tokoh sentralnya. Perlu dicatat di sini bahwa kelompok Wina ini

minoritas di Eropa; yang dominan adalah tradisi Jerman yang menganut idealism Kant.

Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-

positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an.

Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains.

Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan

adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.

Lingkaran Wina (Vienna Circle) adalah tonggak monumen sejarah bagi para filsuf yang ingin

membentuk 'unified science', yang mempunyai program untuk menjadikan metode-metode yang

berlaku dalam ilmu pasti-alam sebagai metode pendekatan dan penelitian ilmu-ilmu kemanusiaan,

termasuk di dalamnya filsafat. Gerakan para filsuf dalam Lingkaran Wina ini disebut oleh sejarah

pemikiran sebagai Positivisme-Logik. Meskipun aliran ini mendapat tantangan luas dari berbagai

kalangan, tapi gaung pemikiran yang dilontarkan oleh aliran positivisme logik masih terasa hingga

saat sekarang ini.

Perkembangan filsafat ilmu, berawal di sekitar abad 19, diperkenalkan oleh sekelompok ahli ilmu

pengetahuan alam yang berasal dari Universitas Wina. Kemudian filsafat ilmu dijadikan mata

ajaran di universitas tersebut. Para ahli tersebut tergabung dalam kelompok diskusi ilmiah yang

dikenal sebagai lingkaran Wina (Wina circle). Kelompok Wina menginginkan adanya unsur

pemersatu dalam ilmu pengetahuan. Dan unsur pemersatu tersebut harus beracuan pada bahasa

ilmiah dan cara kerja ilmiah yang pasti dan logis. Dan pemersatu tersebut adalah filsafat ilmu.

11 | H a l

Lingkaran Wina adalah suatu kelompok yang terdiri dari sarjana-sarjana ilmu-ilmu pasti dan alam

di Wina, ibukota Austria. Kelompok ini didirikan oelh Moritz Schlick pada tahun 1924, namun

pertemuan-pertemuannya sudah berlangsung sejak tahun 1922, dan berlangsung terus menerus

sampai tahun 1938. Anggota-anggotanya antara lain: Moritz Schlick (1882-1936), Hans Hahn

(1880-1934), Otto Neurath (1882-1945), Hans Reichenbach (1891-1955), dan Victor Kraft (1880-

1975)

Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap,

Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran

Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini. Secara umum, para

penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis

terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu

pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga,

penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme, naturalisme filsafat dan

empirisme.

III. ASAL DAN GAGASAN POSITIVISME LOGIS

Para anggota Lingkaan Wina ini mendapat pengaruh dari tiga arah. Pertama, dari empirisme dan

positivism, terutama Hume, Mill, dan Ernst Mach (1838-1916). Kedua, dari metodologi ilmu empiris

yang dikembangkan oleh para ilmuwan semenjak abad ke-19, misalnya: Helmholz, Mach, Poencare,

Duhem, Boltzmann, dan Einsten. Ketiga, perkembangan logika simbolik dan analisa logis yang

dikembangkan terutama oleh Frege, Whitehead dan Russell, serta Wittgenstein. Salah satu gerakan

ini adalah ingin memperbaharui positivisme klasik ciptaan Comte, sekaligus memperbaiki

kekurangan-kekurangan.

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan

mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka

meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan

12 | H a l

fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme,2

materialisme3 naturalisme filsafat dan empirisme4.

Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat

dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan

hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini

adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya

adalah etika5 dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam

bidang metafisika6. Secara garis besar mereka berpendapat bahwa hanya ada satu sumber

pengalaman saja, yaitu pengalaman. Yang dimaksud adalah pengalaman yang mengenal data-data

inderawi.

Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal

yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-

istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah.

Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan

ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.

Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk

mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan

2 Realisme adalah aliran yang berpacu pada pandangan konkret, jadi "ada" menurut pandangan realisme adalah "ada" yang bersifat konkret. aliran ini mempunyai hubungan dengan aliran materialistik, dimana pandangan ini juga mempunyai pandangan bahwa segala sesuatu yang ada itu adalah bersifat konkret.

3 Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-satunya substansi. Sebagai teori materialisme termasuk paham ontologi monistik. Materialisme berbeda dengan teori ontologis yang didasarkan pada dualisme atau pluralisme. Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang realitas, materialisme berseberangan dengan idealisme

4 Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke

5 Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).

6 Metafisika (Bahasa Yunani: μετά (meta) = "setelah atau di balik", υύσικα (phúsika) = "hal-hal di alam") adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?

13 | H a l

”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang

terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.

Kesatuan ilmu pengetahuan, berdasarkan pendapat Neurath, oleh Camap disebut dengan "

fisikalisme" (psysicalism). Istilah ini diciptakan oleh Carnap dalam suatu artikel yang berjudul "Die

psysikalische Sprache als Universalprache der Wissenschaft" terbit pada tahun 1931. Fisikalisme

bermaksud menyangkal setiap perbedaan prinsipil antara ilmu pengetahuan alam dan ilmu

pengetahuan kultural. Karena semua ucapan empiris dapat diungkapkan dalam bahasa fisika, tidak

ada ilmu pengetahuan kultural (geistewissenschaften) yang berbeda dari ilmu pengetahuan alam.

Semua ilmu pengetahuan sama-sama bersifat "nsis" dan justru itulah memungkinkan kesatuan di

antaranya.

Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu

bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan

keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa

observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam

bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke

dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.

IV. PENGAJARAN UTAMA POSITIVISME LOGIS

Tugas pertama bagi logika positivisme adalah mendefinisikan apa yang menjadi tuntutan dalam

penyusunan suatu ilmu pengetahuan. Hasilnya adalah untuk menganalisis bentuk logika dari suatu

pernyataan. Pernyataan yang tidak hanya analitis (sebagai contoh: definisi) atau sintetis

(pernyataan yang merupakan bukti dari fakta) yang digolongkan sebagai nyata secara kognitif

(cognitively significant) atau bermakna. Semua pernyataan lain tidak nyata secara kognitif bila: tidak

bermakna, bersifat metafisik, dan tidak ilmiah. Analisis filosofi yang menggunakan pernyataan

seperti itu mungkin sebagai ekspresi sikap emosi, atau sikap umum mengenai kehidupan, atau nilai

moral, tetapi tidak dapat dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan.

Untuk menjalankan program ini, para pengikut logika positivisme membutuhkan kriteria yang

obyektif yang dapat membedakan antara pernyataan sintetis yang tidak bermakna. Salah satu

pemikiran awal untuk menjawabnya adalah mengemukakan prinsip dapat diverifikasi

14 | H a l

(verifiability): pernyataan hanya bermakna bila dapat diverifikasi. Sayangnya, pernyataan dalam

bentuk universal (seperti: semua burung gagak berwarna hitam), yang sering digunakan dalam

ilmu pengetahuan ternyata tidak dapat diverifikasi. Kriteria lainnya adalah dapat ditolak

(falsifiability), sedangkan Ayer berpendapat harus dapat diverifikasi meskipun lemah, Carnap

menambahkan dapat diubah bentuknya (translatability) ke dalam bahasa empiris dan dapat

dikonfirmasi (confirmability). Tetapi, tidak ada satupun dari kriteria tersebut yang mampu

membenarkan dalam memutuskan suatu persoalan. Dilema lain adalah adanya terminologi teori

dalam pernyataan yang dibuat oleh ilmuwan. Beberapa ilmuwan positivis mengikuti Mach dalam

mendesak untuk menghilangkan kriteria tersebut dalam dunia ilmiah, tetapi beberapa ilmuwan lain

memegang teguh pernyataan tersebut. Program akhir dari para ilmuwan positivis adalah

menggabungkan tesis dalam ilmu pengetahuan, yaitu semua ilmu pengetahuan dapat

memanfaatkan metode yang sama.

Ada enam program pengajaran utama dalam logika empirisme. Program pertama adalah

menyatukan tesis ilmu pengetahuan. Tiga program berikutnya adalah berhubungan dengan

struktur dan tafsir terhadap teori. Model hipotetik-deduktif (hypothetical-deductive) dari struktur

teori menyatakan bahwa setiap ilmu pengetahuan mempergunakan teori, yang dinyatakan dalam

bentuk formal seperti aksioma, struktur dari hipotetik-deduktif seperti itu tidak mempunyai arti

empiris sampai beberapa elemennya (biasanya kesimpulan teori atau prediksi dari teori) diberi

interpretasi empiris melalui penggunaan aturan yang sesuai. Tidak semua pernyataan mempunyai

interpretasi empiris. Yang hanya mengandung terminologi teoritis, pada khususnya, tidak dapat

diinterpretasikan. Apakah pernyataan seperti itu tidak bermakna? Tidak semuanya, sesuai dengan

tesis yang dapat diuji secara langsung (indirect testability thesis) pernyataan seperti itu mendapat

nilai nyata kognitif secara tidak langsung jika teori yang menyertainya dapat memperkuat.

Akhirnya, memperhatikan pernyataan tentang batas dan pengkajian teori, logika empiris

membentuk konfirmationisme (confirmationism) sebagai kriteria utama dalam penafsiran teori.

Teori mempunyai arti ilmiah jika dapat diuji. Pengujian segera dapat mengesahkan atau

membatalkan suatu teori. Penerimaan suatu teori tergantung dari derajat pengesahannya. Derajat

pengesahan diukur dari:

1. suatu kuantitas dan ketelitian dari hasil pengujian yang mendukung,

2. ketelitian prosedur observasi dan pengukuran,

3. bermacam-macam bukti yang mendukung, dan bahkan

4. situasi uji yang mendukung hipotesis.

15 | H a l

Kriteria non-empiris tambahan dalam penafsiran (seperti: kesederhanaan, kebagusan, bermanfaat,

berlaku umum, dapat dikembangkan) perlu diungkapkan jika teori yang dipilih belum mempunyai

dasar empiris. Dua pengajaran terakhir dari logika empirisme membahas logika dari penjelasan

ilmiah. Semua penjelasan dalam ilmu pengetahuan harus dinyatakan dalam bentuk bukti deduktif.

Kalimat penjelas terdiri atas kelompok kalimat, beberapa diantaranya menyatakan kondisi awal

dan salah satunya berisi pernyataan umum atau hukum statistik. Deduktif-nomologis (deductive-

nomological) mencakup model suatu hukum dalam penjelasan ilmiah. Sebagai tambahan penganut

logika empiris percaya tentang tesis simetri; penjelasan dan prediksi merupakan hal yang simetri

secara struktur, perbedaannya hanya dalam hal waktu. Pada penjelasan, fenomena yang dijelaskan

telah terjadi, sedangkan dalam prediksi, fenomena tersebut belum terjadi.

V. CIRI-CIRI POSITIVISME

Beberapa ciri-ciri dari positivisme yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Penekanan pada metode ilmiah. Metode ilmiah adalah satu-satunya sumber pengetahuan

yang benar tentang realitas. Telah ada upaya-upaya untuk membangun sebuah sistem yang

menyatukan seluruh sains di bawah satu metodologi logis, matematis dan eksperiensial.

2. Positivisme mendasarkan sesuatu pengetahuan atas prinsip verifikasi, sebuah kriteria

untuk menentukan bahwa sebuah pemyataan meniiliki makna kognitif. Sebuah pernyataan

dikatakan bermakna Jika dapat diverifikasi secara empiris. Segala pengetahuan haruslah

sampai pada tingkat positif, barulah ia dapat memiliki makna kognitif.

3. Filsafat dalam pandangan positivisme hanyalah sebagai analisis dan penjelasan makna

dengan menggunakan logika dan metode ilmiah. Karena matematika dan logika sangat

diperlukan untuk menganalisa pemyataan-pemyataan yang bermakna.

4. Bahasa filsafat mereka bangun dalam sebuah bahasa yang artifisial dan sempuma secara

formal untuk filsafat, sehingga memperoleh efisiensi, ketelitian, kelengkapan seperti yang

dimiliki sains-sains fisika.

5. Ciri positivisme yang cukup radikal adalah penolakan terhadap metafisika. Mereka menolak

metafisika disebabkan hal-hal yang metafisika tersebut tidak dapat diverifikasi secara

empiris dan bukan merupakan tautologi yang bermanfaat. Sesungguhnya tidak ada cara

untuk menentukan kebenaran atau kesalahannya dengan merujuk pada pengalaman.

6. Penolakan positivisme yang sedemikian rupa terhadap metafisika ini juga mempengaruhi

pandangan mereka terhadap agama dan ctika. Bentuk agama yang tertinggi dalam

16 | H a l

evolusinya adalah agama kemanusiaan (religion of humanity) agama yang tiada merujuk

pada Tuhan. Sedangkan etika bagi mereka adalah bentuk dari pernyataan emosi manusia

yang mendiskripsikan sikap penolakan atau pencrimaan terhadap sesuatu, yang semuanya

tidak ada standamya dan hubungannya dengan suatu yang transcnden.

Beberapa pandangan positivisme logis dapat diuraikan antara lain sebagai berikut:

1. Hanya ada satu sumber pengalaman, yaitu pengalaman. Yang dimaksud ialah mengenal

data-data inderawi

2. Berangkat dari pengalaman, dikembangkan metode induksi dalam menyusun suatu ilmu

penegetahuan melalui siklus empiris, yaitu observasi, hukum-hukum empiris, teori, dan

hipotesa.

3. Selain pengalaman, diakui pula adanya dalil-dalil logika dan matematika yang tidak

dihasilkan lewat pengalaman. Dalil-dalil itu hanya memuat serentetan tautologi – subjek-

predikat- saja, yang berguna untuk mengolah data pengalaman (inderawi) menjadi satu

keseluruhan yang meliputi segala data.

4. Memiliki minat besar untuk mencari garis batas atau damarkasi antara pernyataan yang

bermakna (meanigful) dan yang tidak bermakna (meaningless). Oleh karena itu, filsafat

tradisional haruslah ditolak karena ungkapan-ungkapannya melampaui pengalaman.

5. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai logika. Konsekuensinya, Ilmu harus disusun

berdasarkan logika formal, sebagaimana halnya yang dilakukan Aristoteles.

6. Tidak ada konteks penemuan (context of discovery) . Yang ada hanya konteks pengujian

dan pembenaran (context of justification).

VI. KRITIK POSITIVISME LOGIS

Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh

Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang

teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat

dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah

yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau

dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan

mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk

eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif

17 | H a l

(misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan. Karl

Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der

Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari

teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang

dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang

membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara

pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik

tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu

masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan

selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode

penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti

berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat

digolongkan sebagai ilmiah. Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial

lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut

asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara

pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini

bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat

dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.

Penolakan positivisme terhadap sumber-sumber pengetahuan yang nonempirik di sini

sesesungguhnya dapat mengakibatkan kemiskinan sumber pengetahuan, mengakibatkan reduksi

atas kebenaran. Padahal kebenaran suatu pengetahuan bukan hanya empirik, namun juga terkait

dengan rasionalistik, intuitif bahkan otoritas— kesaksian orang lain. Di antara sumber-sumber

pengetahuan yang bermacam-macam itu saling melengkapi dan tidak bertentangan dalam

usahanya mencapai kebanaran.

VII. PENUTUP

Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan yang

merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia jadi filsafat merupakan suatu refleksi yang kritis

dan rasional tentang pengalaman kehidupan manusia, karena filsafat berbeda dengan ilmu empiris

lainnya. Perkembangan filsafat sejak awal sampai pada abad-abad modern telah meletakkan dasar

dalam perkembangan filsafat ilmu pengetahuan.

18 | H a l

Pemikiran filsafat Barat diawali pada abad ke-6 sebelum masehi yang ditandai hilangnya mitos dan

dongeng yang menjadi pembenaran terhadap setiap gejala alam yang terus berlanjut Zaman

pertengahan (6-16 M) dan selanjutnya berkembang sampai pada Zaman Renaisans dan dalam abad

17 muncul persoalan epistemology yang memunculkan dua pandangan berbeda yaitu rasionalisme

dan empirisme, dimana akhirnya muncul pandangan kritisisme yang menjembatani kedua

pendangan yang berbeda tersebut. Pada abad 17 inilah dapat dikatakan sebagai Revolusi ilmu

Pengetahuan dengan dengan cara berpikir yang mekanistik (matematika, fisika dan astronomi).

Perkembangan selanjutnya, muncullah aliran filsafat yang positivisme yang inti filsafatnya adalah

anti-metafisis.

Tesis positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta

sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Dengan demikian positivisme menolak

keberadaan segala kekuatan atau subyek di belakang fakta, menolak segala penggunaan metode di

luar yang digunakan untuk menelaah fakta.

Selanjtnya Ilmu pengetahuan yang positivisme memberikan pengaruh yang sangat besar dalam

ilmu pengetahuan terlebih pada awal abad 19, muncul kelompok berkumpul di Wina yang

berorientasi positivisme untuk membicarakan tentang struktur ilmu pengetahuan tersebut, dimana

kelompok ini lebih dikenal sebagai Lingkaran Wina (Wina Circle).

Positivisme modern dikembangkan oleh filosof abad 20 dan dikenal sebagai positivisme logis.

Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-

positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an.

Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains.

Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan

adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.

Lingkaran Wina (Vienna Circle) adalah tonggak monumen sejarah bagi para filsuf yang ingin

membentuk 'unified science', yang mempunyai program untuk menjadikan metode-metode yang

berlaku dalam ilmu pasti-alam sebagai metode pendekatan dan penelitian ilmu-ilmu kemanusiaan,

termasuk di dalamnya filsafat.

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai

sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa

semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas.

19 | H a l

Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme, naturalisme

filsafat dan empirisme.

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan

mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka

meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan

fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme,

materialisme, naturalisme filsafat dan empirisme.

Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat

dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan

hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini

adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya

adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam

bidang metafisika. Secara garis besar mereka berpendapat bahwa hanya ada satu sumber

pengalaman saja, yaitu pengalaman. Yang dimaksud adalah pengalaman yang mengenal data-data

inderawi.

Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal

yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-

istilah.

Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh

Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten.

Sumber Bacaan

1. ABDUL HAKIM, Epistemologi Positivistik dalam Kajian Historis dan Metodologis, limn Ushtiluddin, Vol. 5. No.l, Januari-Juni 2006, hal. 72-84

2. http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_logis 3. Mustansyir. R. ; Munir, M., Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008. 4. Verhaak, C.; Iman Haartini, R.; Filsafat Ilmu Pengetahuan, Grmaedia Pustaka Utama,

Jakarta, 1995 5. Wattimena, R.A.A; Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar, Grasindo, Jakarta, 2008 Wibowo

Arief, Positivisme dan Perkembangannya, http://staff.blog.ui.ac.id/arif51