leng kap

22

Click here to load reader

Upload: marthin-tori

Post on 24-Oct-2015

15 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Leng Kap

Anestesi untuk Anak dengan Infeksi

Saluran Nafas Atas : Masihkan suatu

dilema?Alan R. Tait, PhD dan Shobha Malviya,MD

Departemen Anestesiologi, Universitas Michigan

Oleh :

Marthin Tori

0210710085

Pembimbing :

Dr. Hari Bagianto SpAnk IC

LAB/SMF ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT Dr. SAIFUL ANWAR

MALANG

2007

Page 2: Leng Kap

Anastesi untuk Anak dengan Infeksi Saluran Nafas Atas : Masihkah suatu

dilema?

Dulu seorang anak yang akan menjalani operasi, namun didapatkan

menderita infeksi saluran nafas atas atau baru saja menderita infeksi saluran

nafas atas kebanyakan harus menunda operasinya. Hal ini disebabkan ketakutan

akan timbul komplikasi, yang paling sering adalah laringospasme,

bronkospasme, dan desaturasi oksigen. Komplikasi lain yang pernah dilaporkan

adalah croup, pneumonia, atelektasis, dan kematian. Meskipun belum jelas

apakah infeksi saluran nafas atas adalah satu-satunya yang faktor yang

menimbulkan komplikasi atau terdapat faktor lain.

Hingga saat ini belum ada konsensus yang dapat digunakan sebagai

pegangan bersama untuk menentukan apakah seorang anak dengan infeksi

saluran nafas atas layak naik operasi atau harus ditunda. Beberapa penelitian

mengatakan tidak banyak perbedaan atau bahkan tidak ada perbedaan antara

menunda atau tidak, sementara itu tidak sedikit juga penelitian yang menemukan

peningkatan resiko komplikasi pada operasi anak dengan infeksi saluran nafas

atas. Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan desain penelitian yang berbeda

serta kriteria yang dipakai untuk infeksi saluran nafas atas tidak sama.

Keuntungan yang diperoleh bila operasi ditunda adalah berkurang resiko

komplikasi operasi yang dapat membahayakan nyawa serta dapat

memperpanjang lamanya perawatan dirumah sakit. Sedangkan kerugiannya

adalah semakin banyak biaya yang harus dikeluarkan, beban emosi, serta

semakin banyak jadwal tunggu operasi.

Sebagian besar penyebab infeksi saluran nafas atas adalah virus.

Penyakit ini umumnya sembuh sendiri, namun menyebabkan timbulnya

hiperreaktifitas dari jalan nafas yang bertahan hingga beberapa minggu setelah

infeksi sembuh. Invasi virus menyebabkan mukosa jalan nafas menjadi sensitif

terhadap sekret atau gas anestesi. Dikatakan juga pelepasan mediator radang

seperti bradikinin, prostaglandin, histamin dan interleukin dapat menyebabkan

bronkokonstriksi. Reseptor muskarinik (M2) normalnya menghambat pelepasan

asetilkolin, namun neuraminidase dari virus dapat menghambat reseptor ini

sehingga asetilkolin meningkat dan menyebabkan bronkokonstriksi. Ada juga

teori bahwa infeksi virus meningkatkan respon otot polos jalan nafas terhadap

2

Page 3: Leng Kap

takikinin. Takikinin adalah suatu grup neuropeptida yang terletak di serabut C

aferen vagus dari jalan nafas dan penting bagi kontraksi otot polos. Pada

keadaan normal takikinin diinaktivasi oleh endopeptidase netral, namun selama

infeksi virus aktivitas enzim ini dihambat sehingga terjadi peningkatan respon

konstriksi pada otot polos oleh takikinin. Anestesi juga menurunkan gerakan

mukosiliar yang berfungsi untuk membersihkan jalan nafas, apabila diberikan

tekanan positif maka dapat membuat infeksi menyebar ke saluran nafas bawah.

Selain menyebabkan restriksi pada saluran nafas, beberapa studi juga

menyebutkan infeksi saluran nafas atas menyebabkan gangguan fungsi paru.

Collier dkk menemukan pada pemeriksaan spirometri anak dengan infeksi

saluran nafas atas terdapat penurunan forced vital capacity, forced expired

volume, dan peak expiratory flow. Cate dkk menemukan pada orang yang

terinfeksi rhinovirus terjadi penurunan kapasitas difusi. Dueck dkk menunjukkan

pada domba perubahan fungsi paru berkaitan dengan anestesi, misalnya

penurunan functional residual capacity dan peningkatan intrapulmonary shunting,

hal-hal ini timbul saat terinfeksi virus parainfluenza.

Dalam mengambil keputusan harus diawali pemeriksaan yang lebih teliti

pada anak dengan infeksi saluran nafas atas, antara lain anamnesa dan

pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan radiologi dada dan laboratorium.

Anamnesa orang tua sangatlah penting karena mereka lebih tahu tentang kondisi

anak sehari-harinya sehingga dapat diketahui seberapa parah kondisi anak bila

dibandingkan saat sehat.

Secara umum, anak dengan gejala infeksi saluran nafas atas tanpa

komplikasi, tanpa demam, sekret jernih, serta penampilan nampak sehat atau

noninfeksius dapat menjalani operasinya. Rolf dan Cote berpendapat anak

dengan infeksi saluran nafas atas ringan bisa dianestesi dengan aman sebab

masalah yang timbul dapat diatasi dengan mudah. Anak dengan gejala berat

seperti sekret mukopurulen, batuk produktif, hidung tersumbat, demam > 38o C,

letargis serta tampak gangguan paru sebaiknya menunda operasi minimal 4

minggu. Anak dengan penyakit jantung atau operasi jantung umumnya punya

prognosa yang lebih jelek karena kondisi jantungnya yang sudah tidak baik

sebelumnya.

3

Page 4: Leng Kap

Dari survey pada ahli anestesi saat ini penundaan operasi akibat infeksi

saluran nafas atas sudah tidak terlalu banyak, hal ini disebabkan perkembangan

alat-alat dan obat dalam dunia kedokteran, sehingga bila timbul masalah saat

operasi bisa langsung diatasi. Misalnya pelumpuh otot bila timbul laringospasme,

bronkodilator bila timbul bronkokonstriksi, laryngeal mask airway (LMA) sebagai

pengganti endotracheal tube (ETT), oksigen bila timbul hipoksia. Penundaan

baru dilakukan bila gejala yang timbul berat, paling tidak ditunda sekitar 4

minggu.

Apabila tetap dilakukan operasi maka manajemen anestesi harus

memperhatikan supaya sekret minimal dan menghindari stimulasi pada jalan

nafas supaya tidak berlebihan. Suction sangat penting untuk mengurangi sekret

dan mencegah sumbatan. Hidrasi adekuat penting. Walau belum ada data

tentang efikasinya, humidifikasi diharapkan membantu meminimalkan kekeringan

akibat gas anestesi dan mempertahankan mekanisme pembersihan silia yang

4

Page 5: Leng Kap

adekuat. Penggunaan antikolinergik seperti glikopirolat atau atropin mungkin bisa

mengurangi sekresi dan hiperreaktif yang dimediasi sistem vagal. Premedikasi

dengan bronkodilator juga diharapkan bisa mengurangi komplikasi yang

dimediasi saraf otonom. Namun Elwood dkk menyatakan bahwa premedikasi

dengan albuterol atau ipratropium tidak punya efek terhadap komplikasi respirasi

yang berkaitan dengan infeksi saluran nafas atas. Sedangkan Silvanus dkk

mengatakan pada pasien dewasa dengan hiperreaktif bronkial yang diberikan

kombinasi kortikosteroid dan salbutamol saat premedikasi dapat meminimalkan

bronkokonstriksi yang dipicu intubasi dibandingkan hanya dengan salbutamol

Penggunaan ETT sebaiknya dihindari jika bisa, karena penggunaan ETT

pada anak lebih muda secara signifikan meningkatkan resiko timbul komplikasi.

Face mask dikatakan mempunyai angka insiden komplikasi paling kecil, namun

tidak semua kasus dapat menggunakan face mask. Misalnya ETT merupakan

pilihan utama pada operasi orofaring dan leher, operasi besar torak dan

abdomen, dan operasi yang memerlukan waktu lama. LMA dikatakan merupakan

alternatif yang aman untuk menggantikan ETT. Sebuah studi menunjukkan

penggunaan LMA berkaitan dengan jumlah komplikasi yang lebih sedikit. Tantari

dkk menunjukkan pernggunaan LMA secara signifikan mengurangi insiden

komplikasi post-operatif. Semua pasien harus dimonitor terus menggunakan

pulse oxymetry, terutama saat intubasi dan ekstubasi ETT, juga selama masa

post-operatif.

Keputusan diambil berdasarkan pertimbangan kasus per kasus,

memperhatikan faktor resiko yang ada (penyakit saluran nafas reaktif,

penggunaan ETT, jenis operasi, adanya sputum dan hidung tersumbat),

kepentingan operasi, dan pengalaman ahli anestesi. Dengan memperhatikan hal-

hal ini diharapkan dapat mengoptimalkan manajemen anestesi.

5

Page 6: Leng Kap

ARTIKEL

Anestesi pada Anak dengan Infeksi Saluran Nafas Atas : Masihkah suatu

Dilema?

Alan R. Tait PhD dan Shobha Malviya MD

Dulu anak-anak yang direncanakan operasi elektif dengan adanya infeksi

saluran nafas atas maka operasinya ditunda sampai tidak ada gejala. Alasan hal

ini adalah berdasarkan data secara empiris yang menyebutkan adanya

hubungan antara proses anastesi pada anak dengan infeksi saluran nafas atas

terhadap munculnya komplikasi pernafasan. Banyak data-data yang juga

mendukung hal tersebut walaupun beberapa penelitian ada juga yang

menyatakan tidak ada peningkatan resiko. Penelitian-penelitian ini juga

menunjukkan walaupun ada peningkatan resiko komplikasi pernafasan selama

operasi pada anak dengan infeksi saluran nafas atas hampir kebanyakan dapat

diatasi dengan angka morbiditas yang minimal.

Meski merupakan masalah klinis yang penting, masih belum ada

konsensus tentang manajemen anestesi yang optimal pada anak dengan infeksi

saluran nafas atas yang memerlukan operasi elektif. Meski banyak penelitian

yang mengangkat masalah ini masih sulit untuk membuat pedoman berdasarkan

fakta karena perbedaan bentuk penelitian, kriteria infeksi saluran nafas atas dan

hasil.

Pedebatan tentang keputusan apakah suatu operasi elektif pada pasien

dengan infeksi saluran nafas atas harus ditunda atau tidak bukanlah suatu hal

baru. Tahun 1955 Ellis selain mengenalkan potensi terjadinya komplikasi,

membuat sebuah kasus tentang dilakukannya operasi walaupun terdapat infeksi

saluran nafas atas: “... walaupun anestesi mungkin bukan pengobatan yang baik

bagi flu biasa, apakah menunggu sampai flu itu hilang juga merupakan hal yang

tidak baik?”

Walaupun ada beberapa penelitian yang menemukan komplikasi

berkaitan dengan infeksi saluran nafas, pendorong utama untuk menunda

operasi pada anaka dengan infeksi saluran nafas atas baru muncul setelah tahun

1979 McGill melaporkan bahwa pada 11 orang anak didapatkan komplikasi

6

Page 7: Leng Kap

selama operasi termasuk atelektasis. Dari 11 orang ini semuanya kecuali 1 orang

dilaporkan memiliki infeksi saluran nafas pada bulan saat operasi.

Tahun 1987 Trait dan Knight melaporkan 2 seri kasus-kasus anak-anak

yang dilakukan operasi elektif. Yang pertama 3585 kasus didata secara

retrospektif dari data medis. Hasilnya tidak didapatkan peningkatan resiko

komplikasi pada anak dengan infeksi saluran nafas atas, namun menunjukkan

peningkatan 3,5 kali prevalensi komplikasi saluran nafas pada anak yang baru

saja menderita infeksi saluran nafas atas ( kurang dari 2 minggu) dibandingkan

kontrol. Karena berpotensi menimbulkan bias maka dilakukan penelitian

berikutnya, dari 489 anak yang dianestesi dengan halotan menggunakan face

mask untuk myringotomi. Dibagi menjadi 3 grup (kontrol, baru menderita infeksi

saluran nafas atas, dan sedang aktif menderita infeksi saluran nafas atas)

berdasarkan ada tidaknya kriteria gejala. Hasilnya tidak ada perbedaan antar

grup. Penulisnya menyimpulkan tidak ada gunanya penundaan operasi prosedur

pendek dengan anestesi halotan tanpa instrumentasi pada trakea.

Berbeda dengan ke-2 penelitian tersebut, De Soto dkk menemukan

bahwa anak-anak dengan gejala infeksi saluran nafas atas memiliki resiko tinggi

terjadi desaturasi oksigen arteri post-operasi. Temuan lain mendukung hal ini,

tapi perlu diperhatikan bahwa anak-anak tersebut berespon cepat setelah

dilakukan pemberian oksigen dengan cepat. Pada studi terkait Kinouchi dkk

menyatakan bahwa anak-anak dengan infeksi saluran nafas atas lebih cepat

terjadi desaturasi dibanding anak-anak yang tidak terinfeksi setelah episode

apneu. Komplikasi spesifik lainnya yang dihubungkan dengan infeksi saluran

nafas atas adalah bronkospasme dan laringospasme. Pada penelitian oleh

Cohen dan Cameron dengan 20.000 anak menunjukkan infeksi saluran nafas

atas memilki peningkatan resiko 2-7 kali terjadi komplikasi saluran nafas, dan

meningkat 11 kali bila trakeanya diintubasi. Meskipun penting, studi ini terbatas

akibat kurang lengkapnya dokumentasi waktu dan gejala infeksi saluran nafas

atas.

Meskipun studi-studi ini bermanfaat menunjukkan komplikasi yang timbul

pada anak-anak dengan infeksi saluran nafas atas namun tak ada satupun yang

mengidentifikasikan faktor resiko untuk memprediksi komplikasi. Parnis dkk

dalam studi pada 2051 operasi mengidentifikasikan 8 prediktor klinis dari

komplikasi anestesi. Antara lain manajemen jalan nafas ( endotracheal tube >

7

Page 8: Leng Kap

laryngeal mask airway > face mask), pernyataan orang tua bahwa anaknya

menderita flu, riwayat mendengkur, perokok pasif, induksi anestesi ( tiopental >

halotan > sevofluran > propofol), adanya sputum, adanya kongesti hidung, dan

penggunaan antikolinestrase ( pelumpuh otot non reversed > pelumpuh otot

reversed) adanya infeksi saluran nafas juga berpengaruh sebagai faktor resiko

komplikasi jalan nafas dalam penelitian Bordet dkk.

Mirip dengan penelitian Parnis dkk, Tait dkk meneliti insiden dan faktor

resiko komplikasi saluran nafas pada 1078 anak-anak yang menjalani operasi.

Hasilnya meninjukkan anak-anak dengan infeksi saluran nafas atas aktif atau

baru saja menderita infeksi saluran nafas atas ( dalam 4 mingu terakhir) secara

signifikan memiliki episode ganguan respirasi lebih sering, sesak, desaturasi

oksigen ( Spo2 < 90%) serta batuk yang parah dbandingkan anak-anak yang

tidak menderita infeksi saluran nafas atas. Faktor resiko independen yang ikut

berpengaruh antara lain penggunaan ETT pada anak < 5 tahun, prematur (< 37

minggu), riwayat penyakit saluran nafas aktif, orang tua merokok, operasi pada

jalan nafas, adanya sekret kental dan adanya kongesti hidung.

Berdasarkan studi-studi sebelumnya mengatakan penundaan operasi

memiliki efek yang kecil terhadap kondisi operasi maupun hasil akhirnya.

Bagaimanapun juga, banyak anak dengan operasi yang bijaksana mendapatkan

hasil yang lebih baik meski ada resiko sehubungan dengan infeksi saluran nafas

atas. Anak-anak yang memerlukan koreksi segera atau operasi paliatif untuk

penyakit jantung kongenital, misalnya mungkin bisa membahayakan sistem

kardiovaskularnya yang dicetuskan infeksi saluran nafas atas. Hanya ada sedikit

data anak yang menjalani operasi jantung saat menderita infeksi saluran nafas

atas. Dari penelitian Malviya dkk menunjukkan adanya infeksi saluran nafas atas

bisa menjadi prediksi timbulnya infeksi bakterial post-operasi dan bermacam-

macam komplikasi pada anak yang menjalani operasi jantung. Meskipun

demikian adanya infeksi saluran nafas atas tidak mempengaruhi lamanya masuk

rumah sakit secara keseluruhan maupun timbulnya gejala ikutan.

Meskipun ada peningkatan resiko gangguan pernafasan pada anak

dengan infeksi saluran nafas atas tetapi hanya sedikit angka morbiditas yang

muncul. Belum ada literatur yang mengklaim kejadian yang serius sehubungan

dengan infeksi saluran nafas atas. Namun ada beberapa laporan timbulnya

8

Page 9: Leng Kap

atelektasis pada anak dengan infeksi saluran nafas atas. Dua penelitian skala

besar hanya menemukan angka morbiditas yang minimal. Dari salah satu

penelitian terdapat 3 orang anak dari 1078 anak yang memerlukan perawatan

dirumah sakit kembali akibat muncul sekuel. 2 anak dengan infeksi saluran nafas

atas didapatkan pneumonia setelah operasi, dan 1 anak dengan riwayat infeksi

saluran nafas atas didapatkan stridor.

Meskipun angka morbiditasnya minimal, pernah dilaporkan beberapa

kematian setelah operasi pada anak dengan infeksi saluran nafas atas. Dalam

suatu laporan seorang anak perempuan 15 tahun dengan riwayat infeksi saluran

nafas atas dalam 2 minggu sebelum operasi mengalami laringospasme setelah

ekstubasi serta henti jantung berulang. Walaupun infeksi saluran nafas atas ikut

berpengaruh terhadap kematiannya juga ada faktor-faktor lain yaitu ekstubasi

yang telalu cepat dan monitor yang tidak ketat. Kasus lainnya seorang anak 3

tahun meninggal setelah dianestesi untuk kauter hidung. Anak tersebut memliki

riwayat infeksi saluran nafas atas dalam 2 mingu sebelum operasi. Operasi

jantung walaupun beresiko tinggi pada anak dengan infeksi saluran nafas atas

Malviya dkk tidak menemukan peningkatan resiko mortalitas.

Hiperreaktifitas jalan nafas

Biasanya anak-anak mengalami 6-8 kali infeksi saluran nafas atas tiap

tahun, dan menjadi lebih sering pada saat mulai sekolah. 95 % etiologinya

adalah virus. Sekitar 30-40% disebabkan rhinovirus, sisanya coronavirus, RSV,

dan parainfluenzavirus. Diagnosa banding infeksi saluran nafas atas sangat

banyak karena banyak penyakit dengan gejala mirip infeksi saluran nafas atas.

Kadang pasien dikira hanya menderita flu biasa (nasofaringitis) padahal

menderita infeksi seperti croup ( laringotrakeobronkitis), bronkiolitis, herpes

simpleks, pneumonia, epiglotitis, dan infeksi streptokokus. Bisa juga pasien

datang dengan gejala mirip infeksi saluran nafas atas dengan etiologi nonifeksi

seperti rinitis vaomotor atau alergika.

Kebanyakan infeksi virus dapat sembuh sendiri, namun infeksi ini bisa

menimbulkan hiperreaktifitas jalan nefas yang menetap sampai beberapa minggu

setelah infeksi. Beberapa studi mendemonstrasikan adanya penurunan yang

signifikan pada hantaran jalan nafas orang dengan infeksi saluran nafas atas bila

dipapar udara dingain, histamin, atau aerosol asam sitrat. Efek ini bertahan

hingga 6 minggu setelah infeksi dan mungkin punya implikasi penting terhadap

9

Page 10: Leng Kap

anak yang dianestesi saat periode akut atau konvalens, terutama bila perlu

intubasi trakea.

Invasi virus pada mukosa jalan nafas mungkin dapat membuat jalan nafas

menjadi sensitif terhadap sekresi atau gas anestesi yang iritan. juga terdapat

mediator kimiawi dan reflek neurologis yang berperan dalam menyebabkan

bronkokonstriksi. Misalnya pelepasan mediator inflamasi seperti bradikinin,

prostaglandin, histamin, dan interleukin. Daerah yang dirusak oleh virus juga

dihubungkan dengan bronkokonstriksi. Beberapa studi menunjukkan hiperreaktif

bronkus yang disebabkan virus mungkin dimediasi melalui persarafan. Misalnya

atropin terbukti dapat memblok hiperreaktifitas jalan nafas, hal ini diperkirakan

respon terhadap komponen vagal. Normalnya stimulasi pada reseptor muskarinik

(M2) nervus vagus akan menghambat pelepasan asetil kolin, tetapi pada individu

yang terinfeksi diperkirakan reseptor ini dihambat oleh neuraminidase virus,

akibatnya terjadi peningkatan pelepasan asetilkolin dan timbul bronkokonstriksi.

Pendapat lain tentang mekanisme respon berlebih akibat infeksi virus adalah

meningkatnya respon otot polos jalan nafas terhadap takikinin. Takikinin adalah

suatu grup neuropeptida yang terletak di serabut C aferen vagus dari jalan nafas

dan penting bagi kontraksi otot polos. Pada keadaan normal takikinin diinaktivasi

oleh endopeptidase netral, namun selama infeksi virus aktivitas enzim ini

dihambat sehingga terjadi peningkatan respon konstriksi pada otot polos oleh

takikinin.

Selain menyebabkan restriksi pada saluran nafas, beberapa studi juga

menyebutkan infeksi saluran nafas atas menyebabkan gangguan fungsi paru.

Collier dkk menemukan pada pemeriksaan spirometri anak dengan infeksi

saluran nafas atas terdapat penurunan forced vital capacity, forced expired

volume, dan peak expiratory flow. Cate dkk menemukan pada orang yang

terinfeksi rhinovirus terjadi penurunan kapasitas difusi. Dueck dkk menunjukkan

pada domba perubahan fungsi paru berkaitan dengan anestesi, misalnya

penurunan functional residual capacity dan peningkatan intrapulmonary shunting,

hal-hal ini timbul saat terinfeksi virus parainfluenza.

Preoperative assessment

Suatu alogaritma yang diusulkan dalam mengambil keputusan dan

manajemen pada anak dengan infeksi saluran nafas atas dapat dilihat pada

10

Page 11: Leng Kap

gambar 1. jika seorang anak akan menjalani operasi darurat maka adanya dapat

diabaikan jika bisa, sebab hal ini sudah harus diantisipasi oleh ahli anestesiologi

akan komplikasi yang mungkin terjadi serta dapat memanajemen anestesi yang

dilakukan agar dapat mengurangi resiko. Anak dengan operasi elektif disertai

gejala infeksi saluran nafas atas memerlukan pengambilan keputusan yang

cermat sebelum operasi, termasuk anamnesa dan pemeriksaan fisik yang

lengkap. Paru harus diauskultasi untuk menyingkirkan gangguan saluran nafas

bawah, dan mungkin diperlukan pemeriksaan radiologi dada. Pasien harus

dievaluasi demam, sesak, batuk produktif, adanya sputum, hidung tersumbat,

letargi dan mengi. Dalam 2 studi skala besar, hidung tersumbat, adanya sputum

dan riwayat penyakit respirasi reaktif dapat dijadikan sebagai alat prediksi

timbulnya gangguan respirasi. Informasi penting lainnya tentang gejala dapat

diperoleh dari orang tua, karena mereka selalu bersama si anak sehingga dapat

membantu membedakan antara kondisi infeksi atau bukan. Studi oleh Schreiner

dkk mengatakan bahwa konfirmasi infeksi saluran nafas atas dari orang tua lebih

punya nilai prediktor lebih dalam memprediksi laringospasme dibandingkan

hanya melihat gejala saja. Pada anak dengan penyakit jantung bawaan diagnosa

infeksi saluran nafas atas menjadi lebih kompleks karena sering dibingungkan

dengan gejala penyakit jantungnya.

11

Page 12: Leng Kap

Secara umum, anak dengan gejala infeksi saluran nafas atas tanpa

komplikasi, tanpa demam, sekret jernih, serta penampilan nampak sehat atau

noninfeksius dapat menjalani operasinya. Rolf dan Cote berpendapat anak

dengan infeksi saluran nafas atas ringan bisa dianestesi dengan aman sebab

masalah yang timbul dapat diatasi dengan mudah. Anak dengan gejala berat

seperti sekret mukopurulen, batuk produktif, demam > 38o C, letargis serta

tampak gangguan paru sebaiknya menunda operasi minimal 4 minggu. Sama

halnya bila diduga infeksi bakterial maka pasien diterapi antibiotik dan menunda

operasi minimal 4 minggu. Relatif mudah untuk mebuat keputusan pada anak

yang sehat atau gejala minimal serta pada anak yang sangat sakit, tapi

keputusan menjadi sukar bila anak hanya menderita beberapa gejala seperti

hidung tersumbat dan batuk sedikit produktif yang memerlukan prosedur dengan

ETT.

12

Page 13: Leng Kap

Meskipun pemeriksaan laboratorium bisa digunakan sebagai konfirmasi

diagnosa infeksi saluran nafas atas tetapi kurang efektif dalam hal biaya. Analisa

hapusan tenggorok atau aspirasi untuk isolasi virus sangat tidak praktis dan

tergantung tempat sampel diambil serta fase infeksi. Penghitungan lekosit

sebagai indikator infeksi juga terbatas sebab pasien dengan infeksi saluran nafas

atas tidak selalu didapatkan peningkatan lekosit. Radiologi dada juga hanya

sedikit membantu kecuali keadaan tertentu seperti operasi jantung. Lagipula

temuan pada radiologi dada muncul lebih lambat dibanding gejala infeksi saluran

nafas atas.

Dalam menentukan operasi pada anak dengan infeksi saluran nafas atas

sangat penting memperhatikan perbandingan keuntungan dan resiko yang

mungkin terjadi. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah gejala yang muncul,usia,

kepentingan operasi, kondisi penyerta (misalnya asma atau penyakit jantung),

dan jenis operasi. Hal lain yang juga diperhatikan adalah seberapa sering si anak

menderita infeksi saluran nafas atas, bila sampai 6-8 kali stahun akan sulit

memperkirakan periode bebas gejala untuk menentukan waktu operasinya.

Keputusan menunda atau meneruskan operasi harus dibuat kasus per kasus

berdasarkan pertimbangan faktor resiko dan pengalaman ahli anestesi dalam

menangani operasi pada anak dengan infeksi saluran nafas atas, sehingga bisa

dimanejemen dengan baik.

Penundaan operasi pada naka dengan infeksi saluran nafas atas

Seperti yang disebutkan sebelumnya, penundaan operasi karena infeksi

saluran nafas atas dulunya cukup sering. Meskipun dapat mencegah komplikasi

yang mungkun terjadi hal ini juga berpengaruh pada faktor emosional dan

ekonomi dari orang tua. Lagipula dapat menyebabkan peningkatan jumlah

antrian dan tekanan supaya jadwal operasi tetap lancar. Dari suat survey

didapatkan saat ini hanya sedikit ahli anestesi yang menunda operasi akibat

infeksi saluran nafas atas. Dari survey ini 40,4% ahli anestesi dengan

pengalaman < 10 tahun jarang menunda operasi (hanya 1-25%) dibandingkan

dengan ahli anestesi dengan pengalaman > 10 tahun menunda sekitar 27,2%.

Keputusan berapa lama menunda operasi perlu dipertimbangkan berapa

waktu yang diperlukan sampai gejala hilang . sayangnya belum ada konsensus

waktu yang optimal menunggu sampai dijadwalkan ulang operasinya. Dari survey

13

Page 14: Leng Kap

kepada ahli anestesi kebanyakan menunggu 3-4 minggu. Alasannya adalah

didapatkan hiperreaktivias yang bertahan beberapa minggu setelah infeksi

saluran nafas atas. Skolnick dkk mengatakan bahwa resiko komplikasi mencapai

puncak pada 3 hari setelah infeksi saluran nafas atas, tetapi tetap tinggi hingga 6

minggu pasca infeksi saluran nafas atas. Walaupun data-data menyebutkan

penundaan hingga 4 minggu adalah bijaksana, Berry menyebutkan untuk anak

dengan nasofaringitis tanpa komplikasi cukup ditunda 1-2 minggu.

Manajemen anestesi

Manajeman pada anak dengan infeksi saluran nafas atas ditujukan untuk

meminimalkan sekret dan mencegah rangsangan berlebih pada jalan nafas yang

sensitif. Karena sputum dan sekret yang sangat banyak merupakan faktor resiko,

sangat penting untuk melakukan penghisapan (suction) pada anestesi yang

dalam dengan tujuan mengeluarkan sekret. Hal ini tidak hanya mengurangi iritasi

jalan nafas, tapi juga mencegah penyumbatan oleh mukus pada brokus atau

ETT.

Karena infeksi virus mempengaruhi kualitas dan sifat sekret maka penting

supaya pasien medapat cairan yang adekuat. Hidrasi melalui intravena harus

selalu dikerjakan pada semua pasien kecuali pada prosedur yang sangat

pendek. Humidifikasi juga penting pada anak dengan infeksi saluran nafas atas

terlebih pada kasus yang memakan waktu lama. Walau belum ada data tentang

efikasinya, humidifikasi diharapkan membantu meminimalkan kekeringan akibat

gas anestesi dan mempertahankan mekanisme pembersihan silia yang adekuat.

Dilaporkan sekitar 35,2% ahli anestesi menggunakan humidifikasi pada anak

dengan infeksi saluran nafas atas. Penggunaan antikolinergik seperti glikopirolat

atau atropin mungkin bisa mengurangi sekresi dan hiperreaktif yang dimediasi

sistem vagal. 1/3 dari ahli anestesi sering menggunakan antikolinergik.

Keuntungan antikolinergik pada masa perioperatif masih dalam penelitian.

Premedikasi dengan bronkodilator juga diharapkan bisa mengurangi komplikasi

yang dimediasi saraf otonom. Namun Elwood dkk menyatakan bahwa

premedikasi dengan albuterol atau ipratropium tidak punya efek terhadap

komplikasi respirasi yang berkaitan dengan infeksi saluran nafas atas.

Sedangkan Silvanus dkk mengatakan pada pasien dewasa dengan hiperreaktif

bronkial yang diberikan kombinasi kortikosteroid dan salbutamol saat

14

Page 15: Leng Kap

premedikasi dapat meminimalkan bronkokonstriksi yang dipicu intubasi

dibandingkan hanya dengan salbutamol.

Penggunaan ETT sebaiknya dihindari jika bisa, karena penggunaan ETT

pada anak lebih muda secara signifikan meningkatkan resiko timbul komplikasi.

Face mask dikatakan mempunyai angka insiden komplikasi paling kecil, namun

tidak semua kasus dapat menggunakan face mask. Misalnya ETT merupakan

pilihan utama pada operasi orofaring dan leher, operasi besar torak dan

abdomen, dan operasi yang memerlukan waktu lama. LMA (Laryngeal Mask

Airway) dikatakan merupakan alternatif yang aman untuk menggantikan ETT.

Sebuah studi menunjukkan penggunaan LMA berkaitan dengan jumlah

komplikasi yang lebih sedikit. Tantari dkk menunjukkan pernggunaan LMA

secara signifikan mengurangi insiden komplikasi post-operatif. Semua pasien

harus dimonitor terus menggunakan pulse oxymetry, terutama saat intubasi dan

ekstubasi ETT, juga selama masa post-operatif.

Pilihan anestesi untuk induksi dan pemeliharaan penting untuk anak

dengan infeksi saluran nafas atas. Dulu halotan merupakan pilihan utama,

namun saat ini sudah banyak digantikan sevofluran, terutama untuk induksi.

Rieger dkk mengatakan insiden komplikasi antara halotan dan sevofluran adalah

sama, tetapi sevofluran memiliki masa pulih lebih cepat. Studi lain mengatakan

insiden komplikasi dengan sevofluran lebih kecil, terutama bila sevofluran

digunakan untuk induksi maupun pemeliharaan.

Selain pilihan obat induksi, sangat penting memperhatikan kedalaman

anestesi menurunkan reflek jalan nafas terutama saat intubasi. Beberapa ahli

memilih ekstubasi saat masih teranestesi untuk menghindari reflek konstriksi,

sementara yang lain lebih suka melakukan ekstubasi sat pasien sadar sebab

pasien dengan reflek lebih mudah dalam membersihkan sekret dan berespon

terhadap rangsang taktil dari pengeluaran ETT. Data ekstubasi saat teranestesi

atau sadar berbanding seimbang. Patel dkk menemukan tidak ada perbedaan

terhadap komplikasi pada ekstubasi sadar dan teranestesi, sedangkan Pounder

dkk menunjukkan ekstubasi saat sadar beresiko lebih tinggi terjadi desaturasi

oksigen. Kitching dkk menunjukkan pelepasan LMA saat sadar lebih sering

terjadi insiden batuk. Pappas dkk mengatakan komplikasi pelepasan LMA saat

sadar menjadi meningkat bila digunakan isofluran, hal ini tidak meningkat bila

menggunakan sevofluran.

15

Page 16: Leng Kap

Saat ini sudah lebih dimengerti resiko yang berhubungan dengan

anestesi pada anak dengan infeksi saluran nafas atas serta mekanisme

hiperreaktifitas jalan nafas akibat infeksi virus, sehingga kita bisa lebih proaktif

dalam meminimalkan resiko. Walaupun antikolinergik kemungkinan mempunyai

keuntungan pada anak dengan infeksi saluran nafas atas, obat ini tidak selektif

terhadap reseptor muskarinik saluran nafas (M2 dan M3). Jacoby dan Hirshman

membahas pengembangan obat antikolinergik yang selektif memblok reseptor M3

pada otot polos jalan nafas yang menyebabkan bronkokonstriksi tanpa

menghambat reseptor M2 yang dapat mengakibatkan hambatan asetilkolin.

Penemuan lainnya yang menjanjikan adalah penggunaan recombinant human

neutral endopeptidase.

Ringkasan

Maskipun dimasa lalu lebih banyak dipilih menunda operasi pada anak

dengan infeksi saluran nafas atas, saat ini ada literatur yang mendukung

penundaan secara selektif. Dimana semua setuju bahwa anak baru saja

menderita atau sedang aktif infeksi saluran nafas atas memiliki resiko lebih tinggi

terjadi komplikasi perioperatif, namun sebagian besar dapat diatasi dan tidak

menjadi berkelanjutan. Banyak penelitian mengidentifikasikan faktor-faktor resiko

sehingga ahli anestesi menjadi lebih mudah dalam membuat keputusan.

Kebanyakan praktisi setuju bahwa anak dengan infeksi ringan tanpa

komplikasi dan tidak memerlukan manipulasi pada jalan nafas bisa dianestesi

dengan aman tanpa meningkatkan resiko. Kebanyakan juga setuju bahwa anak

dengan gejala berat sebaiknya menunda operasi hingga 4 minggu. Dilema yang

muncul adalah pada anak tampak sehat sehingga gejala tidak kelihatan, pada

anak yang memiliki faktor resiko, atau pada anak tanpa gejala tetapi memiliki

riwayat baru saja menderita infeksi. Keputusan diambil berdasarkan

pertimbangan kasus per kasus, memperhatikan faktor resiko yang ada ( penyakit

saluran nafas reaktif, penggunaan ETT, jenis operasi, adanya sputum dan

hidung tersumbat), kepentingan operasi, dan pengalaman ahli anestesi. Dengan

memperhatikan hal-hal ini diharapkan dapat mengoptimalkan manajemen

anestesi.

16