lapran paleozoologi

19
0 LAPORAN PRAKTIKUM PALEOZOOLOGI STUDI FOSIL DI LABORATORIUM BIOANTHROPOLOGI DAN PALEOANTHROPOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM UNIVERSITAS GADJAH MADA DAN DI MUSEUM SEJARAH SANGIRAN SRAGEN JAWA TENGAH OLEH : NAMA : Indah Riwantrisna Dewi NIM : 07/252523/BI/8032 FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2011

Upload: indah-riwantrisna-dewi

Post on 05-Aug-2015

151 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lapran Paleozoologi

0

LAPORAN PRAKTIKUM PALEOZOOLOGI

STUDI FOSIL DI LABORATORIUM BIOANTHROPOLOGI DAN

PALEOANTHROPOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM

UNIVERSITAS GADJAH MADA DAN DI MUSEUM SEJARAH SANGIRAN

SRAGEN JAWA TENGAH

OLEH :

NAMA : Indah Riwantrisna Dewi

NIM : 07/252523/BI/8032

FAKULTAS BIOLOGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2011

Page 2: Lapran Paleozoologi

1

BAB I

PENDAHULUAN

Paleozoologi merupakan cabang dari ilmu biologi yang memperlajari hewan pada

jaman purbakala. Secara bahasa, Paleozoologi berasal dari kata Paleon yang artinya tua atau

purba, Zoon artinya hewan dan Logos yang artinya ilmu. Jadi yang dipelajari dalam

paleozoologi adalah peninggalan hewan – hewan purbakala yang telah menjadi fosil. Fosil

adalah sisa – sisa atau tinggalan setiap organisme yang hidup di masa lalu dan terawetkan

selama lebih dari 11.000 tahun yang lalu. Artinya, objek kajian paleozoologi adalah hewan –

hewan purbakala yang hanya berupa peninggalan dan telah terawetkan menjadi fosil berumur

lebih dari 11.000 tahun yang lalu.

Paleozoologi penting dipelajari untuk mengetahui sejarah perkembangan hewan

beserta evolusinya, hubungan kekerabatan yang dilihat dari perkembangan hewan tersebut,

serta persebaran hewan dan daerah dimana hewan tersebut berasal untuk pertama kalinya.

Dengan melihat fosil baik itu berupa bagian keras dari hewan seperti tulang, gigi, tanduk,

kuku karapaks atau bagian keras lainnya, maupun bekas – bekas akativitasnya berupa jejak,

tempat tinggal, sarang, goresan gigi dan lain sebagainya, kita bisa menggambarkan keadaan

masa lalu ketika hewan tersebut masih hidup, termasuk keadaan lingkungannya, yang dapat

dilihat dari bentuk adaptasi morfologi hewan tersebut. Dengan mengetahui gambaran hewan

tersebut ketika masih hidup, kita bisa menghubungkan kekerabatannya dengan hewan pada

masa sekarang, termasuk juga evolusi dan perkembangannya. Hal tersebut dapat dilakukan

dengan rekonstruksi fosil – fosil yang ditemukan. Dari lokasi penemuan fosil, dapat diketahui

daerah asal mula hewan tersebut tinggal, jalur migrasinya pada jaman dahulu sampai tersebar

sampai seperti saat ini, serta mengetahui apakah suatu spesies hewan merupakan fauna asli

atau hanya feral.

Studi mengenai paleozoologi perlu ditunjang mengenai pengetahuan dasar dari

zoologi itu sendiri terutama osteologi, anatomi hewan, dan sistematika hewan, selain itu

diperlukan juga pengetahuan dasar tentang ekologi, stratigrafi batuan, geografi wilayah, dan

paleontologi dasar.

Untuk lebih memahami dalam mempelajari paleozoologi, perlu dilakukan praktek.

Praktikum kali ini dilakukan di dua tempat yaitu di Lab di Laboratorium Bioanthropologi dan

Paleoanthropologi Fakultas Kedokteran UGM dan di museum sejarah Sangiran Sragen Jawa

Tengah dan di sekitarnya.

Page 3: Lapran Paleozoologi

2

I.1. Wilayah Sangiran

Sangiran adalah sebuah situs arkeologi yang terbentuk secara alami

di Jawa, Indonesia. Area ini memiliki luas 48 km² dan terletak di Jawa Tengah, 10 kilometer

sebelah utara Surakarta di lembah Sungai Bengawan Solo dan terletak di kaki gunung Lawu

di sekitar perbatasan Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar. Situs ini mencakup 4

kecamatan dari dua kabupaten, antara lain Kecamatan Kalijambe, Kecamatan Gemolong, dan

Kecamatan Plupuh yang berada dalam wilayah Kabupaten Sragen dan Kecamatan

Gondangrejo yang berada dalam wilayah Kabupaten Karanganyar. Secara administratif

Sangiran terletak di kabupaten Sragen dan kabupaten Karanganyar di Jawa Tengah. Pada

tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai

cagar budaya. Pada tahun 1996 situs ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO.

Pada awalnya penelitian Sangiran adalah sebuah kubah yang dinamakan Kubah

Sangiran yang kemudian pada bagian puncaknya mengalami erosi dan patahan. Puncak kubah

ini kemudian terbuka melalui proses erosi sehingga membentuk depresi. Erosi yang terjadi

tersebut mengakibatkan lapisan batuan yang tua yang berada pada bagian bawah lapisan tanah

muda menjadi tersingkap. Fosil hewan baik berupa bagian keras maupun jejak dan

peninggalan menjadi mudah ditemukan. Pada wilayah Sangiran jaman dulu merupakan

habitat dari bermacam – macam hewan. Dari fosil binatang laut yang ditemukan,

menunjukkan bahwa Sangiran pada jaman purba merupakan daerah laut, yang kemudian

berubah menjadi daratan, dengan rawa – rawa. Sehingga pada daerah ini banyak ditemukan

sisa – sisa kehidupan, karena banyak hewan yang berkumpul pada sumber air. Maka karena

depresi itulah dapat ditemukan informasi tentang kehidupan di masa lampau.

Dari patahan yang terjadi, tersingkap lapisan tanah yang menyusun wilayah Sangiran

ini, yang secara umum dibedakan menjadi empat formasi yaitu Formasi Notopuro, Formasi

Kabuh, Formasi Pucangan, dan Formasi Kalibeng. Tiap formasi tersimpan fosil yang berbeda

karena formasi ini terbentuk dari jaman yang berbeda- beda pula. Pada jaman yang berbeda –

beda itu, kehidupan di Sangiran juga berbeda – beda modelnya.

Formasi yang paling atas adalah Formasi Notopuro. Formasi ini adalah formasi yang

paling muda. Hal ini sesuai dengan hukum superposisi yang menyebutkan bahwa, lapisan

batuan yang paling muda akan berada pada lapisan yang paling atas apabila tidak terjadi suatu

patahan dan gangguan lainnya. Formasi Notopuro tersusun oleh tuf dari gunung api dan batu

pasir serta batuan breksi dari lahar. Formasi ini terbentuk pada Kala Pleistosen tengah sampai

pleistosen atas, yaitu antara 10.000-125.000 tahun yg lalu. Pada formasi ini tidak dijumpai

adanya fosil karena mungkin sisa – sisa hewan telah hancur oleh panas dari lahar gunung api.

Page 4: Lapran Paleozoologi

3

Di bawah formasi Notopuro adalah Formasi Kabuh. Formasi ini tersusun oleh

pelapisan tanah yang simpang siur, penyusunnya adalah batu pasir, konglomerat, aglomerat,

dan tuf. Dari pelapisan batuan dan batuan penyusunnya, diperkirakan dahulu daerah tersebut

merupakan sungai purba induk Bengawan Solo, dicirikan dengan pelapisan yang simpang

siur. Fosil yang ditemukan pada formasi ini adalah fosil fragmen dari hewan yang cukup

besar. Diperkirakan umur dari formasi ini adalah 125.000-700.000 thn yg lalu.

Formasi selanjutnya adalah Formasi Pucangan. Formasi ini berasal dari kala pleistosen

bawah yaitu 700.000-1.800.000 tahun yang lalu. Formasi ini dicirikan dengan adanya

lempung hitam dan breksi vulkanik sebagai penyusunnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada

jaman tersebut daerah Sangiran adalah rawa – rawa dengan dasar rawa adalah lempung. Fosil

yang ditemukan pada daerah ini adalah fosil fragmen hewan.

Formasi yang paling bawah adalah formasi Kalibeng. Formasi ini adalah formasi yang

paling tua, diperkirakan berasal dari kala pleiosen tengah sampai pleiosen bawah yaitu

1.800.000-5 juta tahun yang lalu. Lapisan ini disusun oleh napal dan batu gamping. Pada

formasi ini, banyak ditemukan fosil foraminifera, dan moluska laut. Penemuan fosil tersebut

menunjukkan bahwa pada kala tersebut, daerah Sangiran adalah laut dangkal.

I.2. Museum Sangiran

Museum Sangiran didirikan dengan tujuan untuk menyimpan dan memamerkan fosil –

fosil yang ditemukan di wilayah tersebut. Selain untuk dinikmati wisatawan, fosil – fosil

tersebut juga dimanfaatkan untuk database yang sewaktu – waktu digunakan peneliti untuk

meneliti mengenai fosil – fosil tersebut atau yang terkait dengannya. Museum ini didirikan

pada tahun 1974 di Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen di Jawa Tengah.

Lokasi museum ini adalah 10 km ke utara dari Surakarta.

Di museum serta situs Sangiran bisa didapatkan informasi lengkap tentang pola

kehidupan manusia purba yang ada di Jawa yang menyumbang perkembangan ilmu

pengetahuan misalnya Antropologi, Arkeologi, Geologi, Paleoanthropologi. Pada lokasi situs

Sangiran tersebut, untuk pertama kalinya didapatkan fosil rahang bawah Pithecantropus

erectus yang merupakan salah satu spesies dalam takson Homo erectus yaitu oleh arkeolog

Jerman, Profesor Von Koenigswald. Lebih menarik lagi, pada area situs Sangiran tersebut

pula, jejak tinggalan berumur 2 juta tahun hingga 200.000 tahun masih bisa ditemukan hingga

saat ini. Relatif utuh pula. Sehingga para ahli bisa merangkai sebuah benang merah sejarah

yang sempat terjadi di Sangiran secara berurutan.

Page 5: Lapran Paleozoologi

4

Banyaknya fosil yang ditemukan di Situs Sangiran dan sekitarnya, apabila tidak

disimpan maka tidak akan terpublikasi ke masyarakat. Akibatnya, eksistensi situs purbakala

menjadi tidak diakuai, maka dari itu, maka pada tahun 1977, menteri Pendidikan dan Budaya

mengeluarkan surat keputusan dengan nomor 070/07/1977 yang menetapkan daerah Sangiran

dan sekitarnya menjadi situs purbakala nasional. Dan Museum Purbakala Sangiran pun

dibangun untuk kepentingan aktivitas pendidikan dan penelitian, di atas tanah sumbangan dari

dinas pariwisata Jawa Tengah atas ide dari Suparjo Rustam, Gubernur Jawa Tengah pada saat

itu. Dengan dana APBN sebesar Rp.150.000.000,00. Namun begitu, museum ini baru

diresmikan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan nasional pada tanggal 1 Agustus 1988.

Di dalam museum ini, ditampilkan koleksi dari fragmen hewan purba yang ditemukan

pada wilayah Situs Sangiran dari berbagai masa. Selain fosil juga ditampilkan beberapa

informasi mengenai persebaran hewan dan manusia, sejarah museum, pelapisan tanah di

Sangiran, gambaran kehidupan jaman purba berupa diorama, dan gambaran evolusi manusia

yang berasal dari kera menjadi manusia modern.

Gambar 1. Gambaran evolusi manusia yang berasal dari kera menjadi manusia modern.

I.3. Tujuan Studi

Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mempelajari proses pengambilan

fosil (manajemen koleksi fosil), pemisahan fosil dari matriks batuan, pengukuran

(morfometri), tabulasi data, identifikasi dan penyimpanan. Kunjungan ke situs sangiran

dilakukan untuk mengamati lokasi penemuan fosil dan melihat berbagai formasi yang

menyusun Sangiran. Kunjungan ke museum Sangiran bertujuan untuk mengamati dan

mempelajari berbagai macam fosil fragmen hewan dan manusia yang diperoleh dari Situs

Sangiran.

Page 6: Lapran Paleozoologi

5

BAB II

Page 7: Lapran Paleozoologi

6

METODE

II.1. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan

A. Manajemen Koleksi Fosil

Praktikum mengenai manajemen koleksi fosil dilakukan di dalam laboratorium, yaitu

di Laboratorium Bioanthropologi dan Paleoanthropologi Fakultas Kedokteran UGM.

Dilaksanakan selama dua hari hari yaitu pada tanggal 13 dan 20 Desember 2011.

B. Kunjungan ke Situs Purbakala Sangiran dan Museum Purbakala Sangiran.

Praktikum dengan mengamati daerah situs purbakala dilakukan di Desa Ngampon.

Pengamatan dilakukan pada singkapan lapisan tanah yang terletak pada tebing di sekitar

sungai. Daerah di depan tebing tersebut telah diolah oleh masyarakat sekitar menjadi sawah.

Pada lapisan bawah tebing terdapat berbagai macam fosil moluska laut yang menunjukkan

bahwan daerah tersebut dulunya adalah daerah laut dangkal. Singkapan tersebut juga

menunjukkan bahwa terjadi peralihan antara ekosistem laut menjadi ekosistem rawa.

Kunjungan juga dilakukan di museum purbakala Sangiran, di Desa Krikilan,

Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen di Jawa Tengah. Lokasi museum ini adalah 10 km

ke utara dari Surakarta. Kunjungan di kedua tempat ini dilakukan pada tanggal 29 Desember

2011.

II.2. Alat dan Bahan

A. Manajemen Koleksi Fosil

Untuk melakukan praktikum manajemen koleksi fosil meliputi pengambilan fosil,

pemisahan dari matriks batuan, pengukuran (morfometri), tabulasi data, identifikasi dan

penyimpanan, alat dan bahan yang digunakan adalah sikat gigi bekas, kuas kecil dan sedang,

serok kecil/obeng (-) dan dental tools untuk membersihkan fosil dari matriksnya; kamera

untuk dokumentasi; alas hitam sebagai background foto; penggaris/ meteran dan jangka

sorong/ caliper untuk morfometri; alat tulis untuk tabulasi data; malam/was untuk membantu

menegakkan fosil; lem UHU untuk melekatkan fosil dan aseton untuk pengencer, lidi untuk

membantu mengoleskan lem; meja pasir untuk menegakkan fosil yang telah dilem. Bahan

yang diproses adalah fosil koleksi Laboratorium Bioanthropologi dan Paleoanthropologi

Fakultas Kedokteran UGM, dan fosil yang didatangkan dari Sangiran.

Page 8: Lapran Paleozoologi

7

B. Kunjungan ke Situs Purbakala Sangiran dan Museum Purbakala Sangiran.

Alat dan bahan yang diperlukan adalah alat tulis dan notebook untuk mencatat segala

informasi yang ada dan kamera untuk mendokumentasikan hasil pengamatan.

II.3. Cara Kerja

A. . Manajemen Koleksi Fosil

Manajemen koleksi fosil meliputi pengambilan fosil, pemisahan dari matriks batuan

dan pengeleman, pengukuran (morfometri), tabulasi data, identifikasi dan penyimpanan. Akan

tetapi pada praktikum ini, kami tidak melakukan pengambilan fosil, pemisahan dari matriks

batuan dan pengeleman, melainkan hanya meliputi pengukuran (morfometri), tabulasi data,

identifikasi dan penyimpanan saja karena ketika kami praktikum, fosil-fosil tersebut sudah

bersih dari matriks batuan dan siap untuk di identifikasi.

Pengukuran dilakukan pada koleksi Laboratorium Bioanthropologi dan

Paleoanthropologi Fakultas Kedokteran UGM dengan menggunakan penggaris dan jangka

sorong / caliper. Dimensi yang diukur meliputi panjang, lebar dan tebal. Untuk pengukuran

cranium digunakan craniometer, namun karena alat tersebut tidak tersedia, maka pengukuran

ini tidak dilakukan. Kemudian data yang diperoleh ditabulasikan kedalam suatu catatan.

Penyimpanan fosil dilakukan dengan cara memasukkan fragmen fosil ke dalam plastik

obat kecil, atau diletakkan begitu saja di rak koleksi, atau bisa juga disimpan dalam kotak

plastik yang ditutup rapat.

Identifikasi fosil dilakukan dengan bantuan buku petunjuk sebagai acuan. Fosil yang

telah teridentifikasi kemudian didokumentasikan dengan kamera. Fosil diletakkan di alas

hitam agar cahaya blitz kamera tidak memantul, diatur sedemikian rupa dengan bantuan

malam, keterangan fosil juga disertakan untuk difoto.

B. Kunjungan ke Situs Purbakala Sangiran dan Museum Purbakala Sangiran.

Pada stasiun pengamatan, yaitu di Desa Ngampon dilakukan pengamatan pada patahan

yang membentuk tebing. Lapisan batuan yang terlihat kemudian didokumentasikan dengan

kamera dan dicatat informasinya. Sedangkan disana juga terdapat proses penggalian fosil

sedalam ± 6 meter yang dilakukan di tepi sungai. Adapun, hasil galian yang ditemukan adalah

berupa fosil gajah yang diperkirakan dari jenis tulang-tulang costae-nya. Akan tetapi kami

tidak sempat mendokumentasikan galian fosil tersebut dikarenakan pada saat dilakukan

pengamatan, hujan turun sangat deras.

Page 9: Lapran Paleozoologi

8

Sedangkan di dalam Museum Purbakala Sangiran, dilakukan pengamatan terhadap

spesimen – spesimen yang ada, informasi yang ada dicatat ke dalam note book, dan dilakukan

dokumentasi untuk tiap spesimen. Kemudian dibuat laporannya.

Page 10: Lapran Paleozoologi

9

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

III.1. Studi fosil di lab. Bioanthro dan Paleoanthropologi UGM

Pada praktikum di Laboratorium Bioanthropologi dan Paleoanthropologi Fakultas

Kedokteran UGM, spesimen yang digunakan adalah koleksi dari laboratorium. Kemudian

difoto dan diamati morfologinya.

A. Astragalus Cerviidae dan Bovidae,

Gambar 2. Astragalus Cerviidae (kecil) dan Bovidae (besar)

Taksonomi Cerviidae:

Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Artiodactyla

Familia : Cerviidae

Genus : Cervus

Spesies : Cervus Sp.

Taksonomi : Bovidae

Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Artiodactyla

Familia : Bovidae

Astragalus merupakan salah satu tulang pendek pada mamal. Astragalus pada

Cervidae dan pada Bovidae, dapat dibedakan dari ukurannya. Pada spesimen, astragalus

Cervidae berukuran 5,6 x 3,4 x 2,89 cm, sedangkan pada Bovidae, ukuran dimensinya 7,2 x

5,6 x 4,4 cm. Selain ukuran, juga dapat dibedakan dari bentuknya, meskipun kedua family ini

masih berada pada ordo yang sama yaitu Artiodactyla. Untuk identifikasi bentuk digunakan

buku panduan sebagai acuan. Preparat dibandingkan dengan gambar yang ada di buku

panduan dan dilihat mana yang cocok.

Page 11: Lapran Paleozoologi

10

B. Metatarsal Bovidae

Gambar 3. Metatarsal Bovidae

Metatarsal merupakan salah satu tulang yang pendek, preparat ini memiliki ukuran

dimensi yaitu 26 x 8,1 x 4,5 cm. Fosil ini bisa diidentifikasi sebagai metatarsal dari lekukan

pada bagian anteriornya atau bisa disebut lekukan medialis posterior yang lebih panjang di

bandingkan anterior. Bagian ini berfungsi sebagai tempat perlekatan antar otot. Preparat ini

dapat diketahui milik spesies anggota Famili Bovidae, dari ukurannya yang besar. Namun

tidak dapat diketahui lagi dalam tingkat genus.

C. Ranggah dan Tanduk

Gambar 4.Ranggah Cerviidae (kiri) dan Tanduk Bovidae (kanan)

Ranggah dan tanduk berbeda asal dan bahan penyusunnya. Ranggah berasal dari

penandukan kulit, sedangkan tanduk berasal dari tonjolan tulang cranium. Sehingga ranggah

menjadi lebih mudah tanggal daripada tanduk. Ranggah terdapat pada Famili Cerviidae,

sedangkan tanduk terdapat pada Famili Bovidae. Kebanyakan fosil ranggah yang ditemukan

sudah tidak menyatu lagi dengan kepala, melainkan lepas bersama dengan plate tempat

menempelnya ranggah ini di kepala, sedangkan tanduk biasanya ditemukan bersama dengan

Page 12: Lapran Paleozoologi

11

kranium hewan pemiliknya. Ukuran ranggah berbeda – beda tergantung usia hewan

pemiliknya, tiap spesies pun memiliki ukuran dan bentuk rangah yang berbeda.

Pada praktikum ini, terdapat dua fosil ranggah yang berbeda ukuran. Diduga fosil

ranggah tersebut berasal dari spesies yang berbeda. Ukuran fosil ranggah yang besar

mencapai panjang 29 cm sedangkan ranggah yang kecil sekitar 12,1 cm. Terdapat juga

spesimen fragmen fosil tanduk Bovidae yang berukuran besar, yang panjangnya mencapai

35cm. Dengan diameter yang besar pada bagian pangkal tempat menempelnya tanduk dan

mengecil pada bagian ujung.

D. Gigi Crocodilus dan Gigi Gavialis

Gambar 5.Gigi Crocodilus (atas) dan gigi Gavialis (bawah)

Gambar 6.Mandibula Crocodilus (sebelah kiri) dan mandibula Gavialis(sebelah kanan)

Pada laboratorium terdapat spesimen gigi Crocodilia , spesimen tersebut berasal dari

dua famili yang berbeda walaupun sama – sama dari ordo Crocodilia. Tipe gigi pada

Crocodilia adalah konus, atau berbentuk kerucut, berfungsi untuk mencabik–cabik

mangsanya, dan tidak di disain untuk mengunyah. Tipe penempelan gigi pada rahang bertipe

thecodont. Apabila gigi tanggal maka akan digantikan oleh gigi yang baru.

Page 13: Lapran Paleozoologi

12

Pada Famili Crocodilidae, ukuran gigi lebih lebar dan lebih tumpul, gigi ini digunakan

untuk menggigit mangsa yang besar, sehingga diperlukan gigi yang kuat. Sedangkan pada

Gavialidae, bentuk gigi lebih ramping, gigi ini spesifik untuk memangsa ikan yang kecil

sebagai makanan utama Gavial. Perbedaan juga terlihat pada rahangnya. Pada rahang terlihat

tempat melekatnya gigi. Pada Crocodilidae, lubang tempat perlekatannya lebih besar untuk

melekatnya gigi yang besar, sedangkan pada Gavialidae lubang tempat perlekatannya lebih

kecil. Sehingga walaupun hanya ditemukan fragmen saja sudah bisa dibedakan antara rahang

dan gigi Crocodilidae dan Gavialidae.

Taksonomi Crocodilus dan Gavialis:

Filum : Chordata

Sub filum: Vertebrata

Kelas : Reptilia

Ordo : Crocodilia

Familia: Crocodilidae

Genus : Crocodilus

Filum : Chordata

Sub filum: Vertebrata

Kelas : Reptilia

Ordo : Crocodilia

Familia: Gavialidae

Genus : Gavialis

Page 14: Lapran Paleozoologi

13

E. Karapaks Testudinidae

Gambar 7. Plastron Testudinidae

Suatu fosil dapat diketahui sebagi plastron dari ketebalannya. Plastron perlu ketebalan

lebih karena untuk melindungi tubuh kura – kura dari gesekan dengan tanah. Terdapat juga

tonjolan – tonjolan untuk perlekatan otot. Tonjolan ini merupakan perpanjangan dari tulang

rusuk. Secara umum, plastron terbagi menjadi 6 fragmen, sehingga lebih mudah diidentifikasi

apabila menemukan salah satu bagian fragmennya. Namun dari fragmen tersebut masih sangat

sulit untuk menetukan tingkat genus.

Page 15: Lapran Paleozoologi

14

Taksonomi Testudinidae

Filum : Chordata

Sub filum: Vertebrata

Kelas : Reptilia

Ordo : Testudinata

Familia: Testudinidae

F. Karnivora

Gambar 8. Caninus Carnivor (kiri) dan Mandibula Carnivora (kanan).

Preparat diatas adalah gigi taring bawah. Dapat diketahui dari tingkat keausan gigi

terletak pada dalam gigi. Preparat yang lain adalah berupa fosil mandibula . Gigi taring atau

caninus pada carnivor memerlukan akar gigi yang kuat, untuk mencabik – cabik mangsanya.

Bentuk gigi taring tersebut seperti kerucut, runcing di bagian ujung. Apabila menemukan gigi

dengan ciri – ciri seperti itu, maka dapat dipastikan bahwa gigi tersebut adalah gigi dari karnivor,

namun hanya dengan potongan tersbut tidak dapat ditentukan gigi dari famili apa.

Page 16: Lapran Paleozoologi

15

III.2. Studi fosil di Museum Sejarah Sangiran

1. Ordo Artiodactyla

A.Hippopotamidae

Gambar 9. Mandibula Hippopotamus

Gambar 10. Gambaran kerangka utuh Hippopotamus

Ada dua spesies dari kuda sungai, yaitu Hippopotamus dan Hexaprotodon. Kedua hewan

ini dapat hidup di dua alam, dimana kebanyakan akivitas darat dilakukan pada malam hari,

sedangkan siang harinya dihabiskan dengan berendam di dalam air atau lumpur.

Fosil yang berupa fragmen ini diidentifikasi sebagai Mandibula Hipopotamus dari bentuk

rahangnya yang melebar di bagian anteriornya. Selain itu juga dapat diketahui dari bentuk

giginya. Fosil ini ditemukan pada formasi pucangan. Diduga fosil berasal dari kala pleistosen

bawah sekitar 1,8 juta tahun yang lalu.

Taksonomi Hippopotamus

Filum : Chordata

Sub filum: Vertebrata

Kelas : Mamalia

Page 17: Lapran Paleozoologi

16

Ordo : Artiodactyla

Familia: Hippopotamidae

Genus : Hippopotamus

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum kali ini adalah dalam memproses fosil

menjadi suatu koleksi, melalui tahap – tahap meliputi pengambilan fosil, pemisahan dari matriks

batuan, pengukuran (morfometri), tabulasi data, identifikasi dan penyimpanan. Daerah Sangiran

merupakan situs purbakala dimana dahulu ditinggali bermacam – macam hewan purba. Situs ini

tersusun atas 4 formasi yaitu Formasi Notopuro, Formasi Kabuh, Formasi Pucangan, dan Formasi

Kalibeng.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Sangiran Tambang Fosil Binatang Purba. Dinas Pariwisata Pemda Propinsi Jawa

Tengah, Semarang. 1975.

Colbert, E.H. 1980. Evolution of The Vertebrates. 3rd

edition. John Wiley and Sons, Inc. New

York, USA. Pp. 230-243.

Kent, George C., and Robert K. Carr. 2001. Comparative Anatomy of The Vertebrates. 9th

edition. Mc.Graw-Hill International edition.

Rauf, D.M. & Stanley S.M. 1971. Principles of Paleontology. W.H. Freeman Company, Inc.

San Fransisco. Pp. 16-106.

Matthews, W.H. 1962. Fossils : An Introduction to Prehistoric Life. Barnes and Noble, Inc.

New York.

Page 18: Lapran Paleozoologi

17

LAMPIRAN

Gambar 11. Praktikum di Laboratorium laboratorium bioanthropologi dan

Paleoanthropologi FK UGM

Gambar 12. Stratigrafi lapisan tanah di wilayah Sangiran

Page 19: Lapran Paleozoologi

18

Gambar 13. Peta Wilayah Sangiran

Gambar 14. Stratigrafi di Sangiran