laporan tutorial kelompok 3
TRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIAL
MODUL I DEMAM
DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK III
1. Akmal Mukmin Mustari 2. Alfiani Nur 3. Amalia Ferbrianti Utami 4. Maya Lia Zohra 5. Melisa Budi Selawati 6. Pangeran Baso 7. Andi Ririn Yani Sidik 8. Nurul Waasi u Pallawarukka
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
Scenario
Seorang laki-laki berumur 22 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan demam selama seminggu,
selera makan kurang dan disertai sakit kepala. Sepuluh hari yang lalu penderita baru datang dari papua.
Kata Kunci
1. Laki-laki 22 tahun
2. Demam seminggu
3. Selera makan kurang
4. Sakit kepala
5. Baru datang dari papua 10 hari lalu
DEMAM
Beberapa tipe demam yang sering kita jumpai, antara lain:
a. Demam septik : pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan mengigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.
b. Demam remiten : pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.
c. Demam intermiten : pada tipe demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tertiana dan bila terjadi dua hari bebas demam di anatra dua serangan demam disebut kuartana.
d. Demam kontinyu : pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.
e. Demam siklik : pada tipe demam siklik terajdi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.1
A. DEMAM TIFOID
1. Pendahuluan
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemic di Indonesia. Penyakit ini termasuk
penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah.
Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang
banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.1
2. Epidemiologi
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990
sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000
penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986
memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606
kasus.
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan, di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah
urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidensi di perkotaan berhubungan
erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan
pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di
Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil survey kesehatan rumah tangga Departemen
Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit
dengan mortalitas tinggi.1
3. Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai
flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik
(O) yang terdiri dari oligosakarida, flager antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope
antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida
kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella
typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap
mulitipel antibiotik.2
4. Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.typhi) dan Salmonella paratyphi (S.paratyphi)
ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang
baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel
fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama
hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-
tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular,
gangguan mental dan koagulasi
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan
(S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh sekitar plaque Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini
dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan dan gangguan
organ lainnya.1
5. Gambaran Klinis
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi
yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini
sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu
dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, disertai asimptomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.1
Setelah 7-14 hari tanpa keluhan atau gejala, dapat muncul keluhan atau gejala yang
bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam yang tidak tinggi, malaise, dan batuk
kering sampai dengan gejala yang berat dengan demam yang berangsur makin tinggi
setiap harinya, rasa tidak nyaman di perut, serta beraneka ragam keluhan lainnya. Gejala
yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian keluhan klinis,
seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen, dan obstipasi. Dapat disertai dengan lidah
kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada stadium lebih lanjut dari hati atau limpa
atau kedua-duanya. Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru,
kemudian dilanjutkan dengan konstipasi. Konstipasi pada permulaan sering dijumpai
pada orang dewasa. Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat demam tinggi
dapat dijadikan indikator demam tifoid. Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau
makulopapular (rose spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit
putih, dan terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15 serta
menetap selama 2-3 hari.
Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada yang sudah
sakit selama lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang sering dijumpai adalah reaktif
hepatitis, perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan
pada sistem tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen. Bila
tidak terdapat komplikasi, gejala klinis akan mengalami perbaikan dalam waktu 2-4
minggu.3
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk,
dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat
demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari.
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia
relative (bradikardia relative adalah peningkatan suhu 1 C tidak diikuti peningkatan⁰
denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepid an ujung
merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang
Indonesia.1
6. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leucopenia,
dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat tejadi
walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan
dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia
maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid darah meningkat.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPTtidak memerlukan penanganan khusus.
Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji Widal dan kultur organism. Sampai
sekarang, kultur masih menjadi standar baku dalam penegakkan diagnostic. Selain uji
widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan dengan
cepat dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dari antara lain uji
TUBEX, Typhidot dan dipstick.1
Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S.typhi. Pada uji
Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibody
yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam
tifoid yaitu :
a). Aglutinin O (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagella kuman) dan c).
Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini.
Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan
tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase aktif mula-mula timbul agglutinin O,
kemudian diikuti dengan agglutinin H. Pada orang yang telah sembuh agglutinin O
masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H menetap lebih lama
antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan
penyakit.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi uji Widal yaitu : 1). Pengobatan dini
dengan antibiotic, 2). Gangguan pembentukan antibody, dan pemberian
kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah, 4). Daerah endemic atau non-endemik,
5). Riwayat vaksinasi, 6). Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada
infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, 7).
Factor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain
Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna
diagnostic untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan
saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai
laboratorium setempat.
Uji TUBEX
Uji TUBEX merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa
menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti-S.typhi O9 pada
serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi
pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida. S.typhi yang terkonjugasi
pada partikel magnetic latex. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi
Salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi
oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negative.
Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhoid didapatkan 2-3 hari
setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan igG
terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.
Uji IgM Dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap S.typhi pada
specimen serum atau whole blood. Uji inimenggunakan strip yang mengandung
antigen lipopolisakarida (LPS) S.typhoid dan anti IgM (sebagai control), reagen
deteksi yang mengandung antibody anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna,
cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung
uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-
25 C di tempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan⁰
inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada
suhu kamar. Stelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan.
Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan
membandingkannya dengan reference strip. Garis control harus terwarna dengan
baik.
Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa
hal sebagai berikut ; 1). Telah mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum
dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media
biakan terhambat dan hasil mungkin negative, 2). Volume darah yang kurang
(diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil
biakan bisa negative. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung
dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman; 3).
Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibody dalam darah
pasien. Antibody (agglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah
dapat negative, 4). Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat
aglutinin semakin meningkat.1
7. Penatalaksanaan
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala,
mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah penting adalah
eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier. Pemilihan
antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat.
Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik
(kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2
kategori resistensi antibiotic yaitu resisten terhadap antibiotik kelompok
chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprim sulfamethoxazole (kelompok MDR) dan
resisten terhadap antibiotik fluoroquinolone. Nalidixic acid resistant Salmonella typhi
(NARST) merupakan petanda berkurangnya sensitivitas terhadap
fluoroquinolone. Terapi antibiotik yang diberikan untuk demam tifoid tanpa
komplikasi berdasarkan WHO tahun 2003 dapat dilihat pada tabel 1
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin)
merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten
terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu
penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%.
Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat membunuh
S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam
kandung empedu dibandingkan antibiotik lain.
Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan salah
satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas yang baik adalah
levofloxacin. Studi komparatif, acak, dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk
levofloxacin terhadap obat standar ciprofloxacin untuk terapi demam tifoid tanpa
komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari dan ciprofloxacin
diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-masing selama 7 hari. Kesimpulan
dari studi ini adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih bermanfaat dibandingkan
ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam, hasil mikrobiologi dan secara
bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ciprofloxacin.
Selain itu, pernah juga dilakukan studi terbuka di lingkungan FKUI mengenai efikasi
dan keamanan levofloxacin pada terapi demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin
diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari selama 7 hari. Efikasi klinis yang dijumpai
pada studi ini adalah 100% dengan efek samping yang minimal. Dari studi ini juga
terdapat table perbandingan rata-rata waktu penurunan demam di antara berbagai jenis
fluoroquinolone yang beredar di Indonesia di mana penurunan demam pada levofloxacin
paling cepat, yaitu 2,4 hari.
Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa
pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih baik dibandingkan chloramphenicol
untuk mencegah kekambuhan.
Namun, fluoroquinolone tidak diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan
gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi. Chloramphenicol sudah sejak lama
digunakan dan menjadi terapi standar pada demam tifoid namun kekurangan dari
chloramphenicol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier
juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang.
Azithromycin dan cefi xime memiliki angka kesembuhan klinis lebih dari 90% dengan
waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka
kekambuhan serta fecal carrier terjadi pada kurang dari 4%.
Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau kesadaran
menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai
pasien demam tifoid yang berat. Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid
berat menurut WHO tahun 2003 dapat dilihat di tabel 2. Walaupun di tabel ini tertera
cefotaxime untuk terapi demam tifoid tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak
terdapat laporan keberhasilan terapi demam tifoid dengan cefotaxime. Selain pemberian
antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi suportif. Yang diberikan antara lain
cairan untuk mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan antipiretik.
Nutrisi yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet makanan yang lembut dan
mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan.3
8. Penyulit (Komplikasi)
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5 – 3%, sedangkan perdarahan usus pada
1- 10% kasus demam tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit, walau
pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan suhu,
tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh nyeri
abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga nyeri yang menyelubung.
Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defance muskulare, hilangnya
keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain. Beberapa kasus perforasi usus halus
mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.
Dilaporkan pada kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar bermanifestasi
gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan koma. Beberapa penulis
mengaitkan manifestasi klinis meuropsikiatri dengan prognosis buruk. Penyakit neurologi lain
adalah trombosis serebral akut, tuli, mielitis transversal, neuritis perifer maupun kranial,
meningitis, ensefalomielitis, sindrom Guillain-Barre. Dari berbagai penyulit neurologik yang
terjadi, jarang dilaporkan gejala sisa yang permanen (sekuele).
Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T pada
EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa
asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar
transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa diserati kenaikan kadar
transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang
terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu
empedu dan fenomena pembawa kuman (karier).
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada saat
sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam
tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat
bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
Pneumonia sebagai penyulit sering dijumpai pada demam tifoid. Keadaan ini dapat ditimbulkan
oleh kuman Salmonella typhi, namun seringkali sebagai akibat infeksi sekunder oleh kuman lain.
Penyulit lain yang dapat dijumpai adalah trompositopenia, koagulasi intravaskular diseminata,
hemolytic uremic syndrome (HUS), fokal infeksi dibeberapa lokasi sebagai akibat bakteremia
misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, oto, kelenjar ludah dan persendian.
Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang lebih
jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali dua minggu setelah penghentian
antibiotik. Namun pernah juga dilaporkan relaps timbul saat stadium konvalesens, saat pasien
tidak demam akan tetapi gejala lain masih jelas dan masih dalam pengobatan antibiotik. Pada
umumnnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya dan lebih singkat.2
9. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketetapan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju dengan terapi antibiotik yang adekuat,
angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya 10%, biasanya karena
keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komlikasi, seperti perforasi
gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser.Typhi >3 bulan setelah
infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan
meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.
Insidens penyakit traktus biliarislebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi
umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada
individu dengan skistosomiasis.2
10. Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap individu harus
memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di
dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57o C beberapa menit dan secara merata juga dapat
mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung baik
buruknya pengadaan saran air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran
individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian
demam tifoid.2
11. Vaksin Demam Tifoid
Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi
kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi
kuman Salmonella typhi, S.paratyphi A, S.paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah
puluhan tahaun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan; namun vaksin ini hanya
memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan
yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a)
diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan
6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur di atas 2 tahun. Pada penelitian di lapangan
didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin
yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intarmuskular
memberikan perlindungan 60 – 70% selama 3 tahun.2
B. DEMAM BERDARAH DENGUE
1. Pendahuluan
Adalah penyakit demam akut yang dapat menyebabkan kematian dan disebabkan oleh
empat serotype virus dari genus Flavivirus, virus RNA dari keluarga Flaviviridae. Infeksi
oleh satu serotype virus dengue menyebabkan terjadinya kekebalan yang lama terhadap
serotype virus tersebut, dan kekebalan sementara dalam waktu pendek terhadap serotype
virus dengue lainnya.
Dengue ditularkan oleh genus Aedes, nyamuk yang tersebar luas di daerah tropis dan
subtropics diseluruh dunia. Demam dengue juga disebut breakbone fever dan merupakan
penyakit virus yang ditularkan oleh nyamuk yang terpenting pada manusia.4
2. Epidemiologi
Sekitar 2,5 miliar manusia yang merupakan duaperlima dari penduduk dunia
mempunyai resiko tinggi tertular demam dengue. Setiap tahunnya sekitar 50-100 juta
penderita dengue dan 500.000 penderita DBD dilaporkan oleh WHO di seluruh dunia,
dengan jumlah kematian sekitar 22.000 jiwa, terutama anak-anak. Sekitar 2,5-3 miliyar
manusia yang hidup di 112 negara tropis dan subtropics berada dalam keadaan terancam
infeksi dengue. Hanya benua Eropa dan Antartika yang secara alami bebas dari infeksi
dengue.
Daerah sebaran demam dengue meliputi :
Argentina, Australia
Bangladesh, Barbados, Bolivia, Belize, Brazil
Cambodia,l Cina, Casta Rica
Dominika
El Salvador
Guatemala, Guyana
Honduras
India, Indonesia
Jamaika
Laos
Malaysia, Mexico, Micronesia
Panama, Paraguay, Philipina, Puerto Rico
Samoa, Singapura, Suriname
Taiwan, Thailand
Venezuela, Vietnam.4
3. Virus Penyebab Dengue
Demam dengue disebabkan oleh virus dengue (DEN), yang termasuk genus
flavivirus. Virus yang ditularkan oleh nyamuk ini tergolong ss RNA positive-strand virus
dari keluarga Flaviviridae.
Terdapat 4 serotipe virus DEN yang sifat antigeniknya berbeda, yaitu virus dengue-1
(DEN1), virus dengue-2 (DEN2), virus dengue-3 (DEN3), dan virus dengue-4 (DEN4).
Spesifikasi virus dengue yang dilakukan oleh Albert Sabin pada tahun 1944
menunjukkan bahwa masing-masing serotype virus dengue memiliki genotype yang
berbeda antara serotype-serotype tersebut.4
Virus penyebab demam Dengue termasuk arbovirus (arthropod – borne viruses) yang
merupakan virus kedua yang dikenal menimbulkan penyakit pada manusia. Virus ini
merupakan anggota keluarga dari Flaviviridae ( flavi = kuning ) bersama-sama dengan
virus demam kuning. Morfologi virion Dengue berupa partikel sferis dengan diameter
nukleokapsid 30 nm dan ketebalan selubung 10 nm. Genomnya berupa RNA (ribonucleic
acid). Protein virus Dengue terdiri dari protein C untuk kapsid dan core, protein M untuk
membran, protein E untuk selubung dan protein NS untuk protein non struktural.
Saat ini telah diketahui ada 4 tipe virus Dengue10,18 Tipe-tipe virus ini baru
diketahui setelah Perang Dunia II oleh Sabin yang berhasil mengisolasinya dari darah
pasien pada epidemi di Hawai, yang disebut sebagai tipe 1 (1952 ). Tipe 2 juga diisolasi
oleh Sabin ( 1956 ) dari pasien di New Guinea. Tipe 3 dan 4 diperoleh tahun 1960 dari
pasien yang mengalami DHF di Filipina pada tahun 1953
Virus Dengue memiliki tiga jenis antigen yang menunjukkan reaksi spesifik terhadap
antibodi yang sesuai yaitu (i) antigen yang dijumpai pada semua virus dalam genus
Flavivirus dan terdapat di dalam kapsid, (ii) antigen yang khas untuk virus Dengue saja
dan terdapat pada semua tipe, 1 sampai 4, di dalamselubung, (iii) antigen yang spesifik
untuk virus Dengue tipe tertentu saja, terdapat di dalam selubung.5
4. Penularan Dengue
Dengue ditularkan pada manusia terutama oleh nyamuk Aedes aegypty dan nyamuk
Aedes albopictus, dan juga kadaang-kadang ditularkan oleh Aedes polynesiensis dan
beberapa spesies nyamuk lainnya yang juga aktif mengisap darah pada waktu siang hari.
Sesudah darah yang infektif terhisap nyamuk, virus memasuki kelenjar liur nyamuk lalu
berkembang biak menjadi infektif dalam Waktu 8-10 hari, yang disebut masa inkubasi
ekstrinsik. Sesekali virus memasuki tubuh nyamuk dan berkembang biak, nyamuk akan tetap
infektif seumur hidup.
Virus dengue ditularkan dari seorang penderita ke orang lain melalui gigitan nyamuk
Aedes. Dalam tubuh manusia virus dengue akan berkembang biak, dan memerlukan
waktu inkubasi sekitar 45 hari sebelum dapat menimbulkan penyakit dengue. Penularan
virus dengue terjadi memlalui 2 pola umum, yaitu dengue epidemic dan dengue
hiperendemik. Penularan dengue epidemic jika virus dengue memasuki suatu daerah
terisolasi, meskiun hanya melibatkan satu serotype virus dengue. Jika jumlah hospes
yang peka (anak-anak maupun orang dewasa) mencukupi jumlahnya, juga jika vector
besar populasinya, ledakan penularan dapat terjadi dengan insiden mencapai 25%-50%.
Dalam pengendalian epidemi dengue, pemberantasan vector, factor iklim dan imunitas
penduduk turut serta mempengaruhinya. Penularan virus dengue yang dimulai dari
daerah urban kemudian menyebar kedaerah lain, merupakan pola penularan dengue
dibeberapa Negara afrika, amerika selatan dan Negara-negara asia yang mengalami
epidemic yang berulang, serta dinegara atau pulau yang kecil. Penyebaran dengue
hiperendemik memiliki ciri khas berupa sirkulasi beberapa serotype virus dengue disuatu
daerah dimana jumlah besar hospes yang peka dan vector penularannnya terus-menerus
dijumpai didaerah tersebut dan tidak dipengaruhi oleh musim. Pola penularan ini
merupakan pola utama Dalam penyebaran global infeksi dengue. Didaerah dengue
hiperendemik, prevalensi antibody meningkat sesxuai dengan pertambahan umur, dan
sebagian besar orang dewasa telah imun terhadap virus ini. Penularan hiperendemik
merupakan pemicu utama terjadinya demam berdarah dengue.4
5. Gejala Klinis
Infeksi Dengue selama hampir dua abad digolongkan sebagai “flu” dengan gejala
demam atau pilek atau mencret biasa, yaitu sebagai kelainan yang timbul karena
penyesuaian diri seseorang terhadap iklim tropis. Akan tetapi sejak timbulnya wabah
demam di Filipina tahun 1953 yang disertai dengan perdarahan dan renjatan serta banyak
yang berakhir dengan kematian, pandangan itu berubah. Saat itulah istilah hemorrhagic
fever mulai digunakan. Kasus DHF yang pertama kali di Indonesia ditemukan di
Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi serologisnya baru diperoleh tahun
1970. Di Jakarta laporan pertama diberikan oleh Kho dkk tahun 1969 sebagaimana
dikutip oleh Socanof. Penyakit ini biasanya menyebar dari suatu pusat sumber penularan
- umumnya kota besar – dan mengikuti lalu lintas penduduk. Semakin ramai lalu lintas
itu, semakin besar kemungkinan penyebaran.
Spektrum manifestasi klinis infeksi virus Dengue begitu bervariasi mulai dari infeksi
subklinis atau asimtomatik yang hanya dapat diketahui dari adanya antibodi dalam darah;
demam Dengue klasik; dan demam Dengue berdarah tanpa atau dengan renjatan10,15,18.
Infeksi Dengue dapat menyerang segala usia. Bayi dan anak yang terkena akan
mengalami demam disertai timbulnya bercak makulo papular. Pada anak besar dan orang
dewasa terdapat sindrom trias berupa demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan
timbulnya bercak makulo papular. Demam berdarah Dengue merupakan demam akut
yang ditandai oleh 4 manifestasi klinis yaitu demam tinggi, perdarahan, hepatomegali,
dan kegagalan sirkulasi.
Kriteria diagnosis DHF menurut WHO (1975) adalah :
Demam tinggi yang mendadak dan terus menerus selama 2 – 7 hari.
Manifestasi perdarahan, baik dengan uji tourniquet positif ata dalam bentuk lain
seperti petekia, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis atau melena.
Hepatomegali.
Renjatan.
Secara laboratoris didapatkan trombositopeni kurang dari 100.000 / μl dan
hemokonsentrasi di mana hematokrit meningkat lebih dari 20%. Sumarmo (1983)
menambahkan dua gejala klinis lain yang perlu diingat untuk memikirkan DHF yaitu
gejala-gejala ke arah ensefalopati, dan nyeri perut.5
Pada infeksi terutama oleh virus dengue, sebagian besar penderita tidak menunjukkan
gejala (asimptomatik), atau hanya menimbulkan demam yang tidak khas. Dapat juga
terjadi kumpulan gejala demam dengue (DD) yang klasik antara lain berupa demam
tinggi yang terjadi mendadak, sakit kepala, nyeri dibelakang bola mata (retro-orbital),
rasa sakit pada otot dan tulang, lemah badan, muntah, sakit tenggorokan, ruang kulit
makulopapuler. Beratnya nyeri otot dan tulang yang dialami penderita menyebabkan
demam dengue dikenal sebagai demam patah tulang (breakbone fever). Sebagian kecil
penderita yang sebelumnya telah pernah terinfeksi salah satu serotype virus dengue jika
mengalami infeksi yang kedua oleh serotype lainnya dapat mengalami terjadinya
hemokonsentrasi dan efusi cairan yang dapat menimbulkan kolaps sirkulasi. Keadaan ini
dapat memicu terjadinya sindrom syok dengue (dengue syok syndrome : DSS), penyebab
kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan perdarahan itu sendiri.
Karena gejala klinis demam dengue tidak spesifik, diperlukan pemeriksaan
laboratorium untuk memastikan terjadinya imfeksi dengue. Diagnosis serologi dilakukan
berdasar pada meningkatnya titer antibody IgG dan IgM. Hasil dipengaruhi apakah
infeksi dengue terjadi Secara Primer Atau Sekunder.4
6. Penatalaksanaan
Pengobatan DBD dengan terapi suportif ditujukan untuk mengatasi syok akibat
hemokonsentrasi dan perdarahan. Pengawasan intensif atas tanda vital dilakukan pada
masa krisis, yaitu antara hari kedua sampai hari ketujuh. Untuk rehidrasi penderita harus
minum banyak cairan dan jika tidak dapat minum diberikan cairan intravenous dan
elektrolit untuk mengatasi dehidrasi dan mengoreksi gangguan keseimbangan elekktrolit.
Transfuse darah atau trombosit jika angka trombosit kurang 20.000 atau jika terjadi
perdarahan berat. Jika terjadi melena, yang menunjukkan adanya perdarahan
gastrointestinal, doberikan transfusi trombosit atau sel darah merah. Terapi oksigen
diberikan untuk meningkatkan oksigen darah yang rendah. Perawatan suportif diberikan
diruang ICU (intesice care unit). Aspirin dan obat anti radang non steroid tidak boleh
diberikan, dapat diganti dengan paracetamol atau asetaminofen.
Pengobatan penderita sebagai kasus darurat diberikan jika pada fase kritis penderita
menunjukkan :
Terjadinya perembesan plasma yang berat yang menjurus terjadinya syok dan atsu
penimbunan cairan yang menyebabkan gangguan pernafasan (respiratory distress)
Adanya perdarahan hebat
Gangguan berat fungsi organ (kerusakan hati, gangguan ginjal, kardiomiopati,
ensefalopati, atau ensefalitis).4
7. Pencegahan
Kunci pencegahan penyakit DBD adalah pengawasan yang ketat untuk pelaporan dini
hasil pemantauan kepadatan vektor sehingga pengambilan tindakan tidak terlambat saat
menerima laporan kasus dari lokasi wabah. Keberadaan jumantik memiliki peran vital
dalam pemberantasan DBD karena bertugas memantau populasi nyamuk penular DBD
dan jentiknya. Pemeriksaan jentik berkala dilakukan oleh jumantik yang bertugas
melakukan kunjungan rumah setiap 3 bulan. Hasil yang didapat jumantik dilaporkan
dalam bentuk Angka Bebas Jentik (ABJ) yaitu rasio antara jumlah rumah/bangunan yang
tidak ditemukan jentik dengan jumlah rumah/ bangunan yang diperiksa dikali 100%. ABJ
merupakan indikator penyebaran Aedes aegypti. ABJ yang ditargetkan secara nasional
mencapai lebih dari 95%. ABJ sesungguhnya bukan jaminan akan adanya penurunan
jumlah kasus karena bisa saja daerah berpotensi sarang nyamuk yang tersembunyi atau
tidak terpantauseperti kaleng bekas di jalan, rumah kosong, lubang bambu/pohon, dan
sebagainya. Oleh karena itu, pada saat survei jentik memerlukan ketelitian dalam
memeriksatempat-tempat perkembangbiakan nyamuk.
Berdasarkan hasil penelitian di daerah Jakarta Utara disebutkan beberapa daerah
melaporkan bahwa ABJ telah mencapai 90%, bahkan ada pula yang mencapai 95%.
Namun pada kenyataannya, angka kasus penderita DBD masih tetap tinggi. Kenyataan
tersebut bermakna angka kasus penderita DBD tidak semata-mata berhubungan langsung
dengan ABJ. Berdasarkan kenyataan tersebut dapat diduga angka ABJ yang tinggi
mungkin disebabkan oleh jumantik yang kinerjanya kurangbaik. Salah satu indikatornya
adalah jumantik kurang teliti dalam melakukan survei. Jumantik mungkin hanya
memeriksa tempat penampungan air yang besar seperti bak mandi, ember, dan drum,
sedangkan wadah yang kecil misalnya vas bunga, penampungan air di belakang kulkas,
penampungan tetesan air conditioner (AC), dan penampungan tetesan dispenser tidak
diperiksa. Tempat penampungan air di luar rumah seperti talangair, tangki air, botol
bekas, kaleng, wadah plastik, dan sebagainyaterkadang juga tidak diperiksa. Hal tersebut
mengakibatkan lepasnya jentik Aedes aegypti dari pemeriksaan.
Selain itu, sebagian pemilik rumah tidak mengijinkan rumahnya disurvei. Ada pula
rumah atau bangunan yang dikunci karena tidak dihuni atau penghuninya sedang pergi
sehingga terlewat dari pemeriksaan. Secara umum, peran jumantik dinilai cukup berhasil
dalam pencegahan DBD, namun terdapat beberapa hal yang menjadi bahan evaluasi.
Pengalaman di lapangan dalam melakukan evaluasi kinerja jumantik biasanya mereka
tidak memberikan informasi yang cukup kepada masyarakat mengenai DBD dan
pencegahannya. Motivasi kepada masyarakat juga jarang diberikan padahal, ini penting
sekali untuk selalu diberikan dan diingatkan kepada masyarakat tentang pencegahan
DBD. Kalau program ini berjalan dengan baik maka masyarakat akan memiliki
pengetahuan yang cukup tentang DBD dan perilaku mereka terkontrol. Jumantik juga
perlu melakukan pengawasan pada tanah kosong seperti kebun dan kuburan yang sering
kali terlewati. Tempat-tempat seperti ini juga berpotensi menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.
Pada beberapa daerah endemis DBD, program jumantik berperan cukup efektif dalam
menurunkan kasus DBD. Salah satu daerah endemis yang memiliki kasus DBD tertinggi
pada tahun 2011 adalah Provinsi Bali. Program jumantik cukup berperan dalam
memantau kondisi lingkungan masyarakat di Kota Denpasar Bali. Ada petugas khusus
yang bergerak untuk bekerja ekstra dalam upaya pencegahan DBD. Fokus utamanya
adalah daerah perkotaan yang masyarakatnya cukup padat dan memiliki mobilitas tinggi.
Program jumantik dengan tenaga khusus tersebut dijalankan dan digaji setiap bulan.
Pemerintah Kota Denpasar memang dibebankan dana yang besar dalam pelaksanaan
program tersebut, namun bila dibandingkan anggaran untuk pengobatan DBD jika
kasusnya meledak diperkirakan akan jauh lebih besar. Contohnya, pada tahun 2010 di
Kota Denpasar kasusnya sempat meningkat drastis menjadi 4.431 kasus dengan 41
kematian. Saat ini, kasusnya sudah jauh menurun setelah program jumantik ini berjalan
lebih dari 2 tahun.4
C. MALARIA
1. Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yan disebabkan oleh plasmodium yang menyerang
eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. Infeksi malaria
memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia, dan splenomegali. Dapat berlangsung akut
ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi sistemik yang dikenal
sebagai malaria berat.1
Penyakit malaria telah diketahui sejak zaman Yunani. Gejala klinis penyakit malaria khas dan
mudah dikenal, karena demam yang naik turun an teratur dan disertai menggigil. Pada waktu itu
sudah dikenal febris tertiana dan febris kuartana. Selain itu ditemukan kelainan limpa, yaitu
splenomegali: limpa membesar dan menjadi keras, sehingga dahulu penyakit malaria disebut juga
sebagai demam kura.7
2. Hospes
Parasit malaria termasuk genus Plasmodium dan pada manuai ditemukan empat spesies:
Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae, dan Plamodium ovale.7
3. Transmisi dan Epidemiologi
Morfologi dan Daur Hidup
Daur hidup keempat spesies Plasmodium pada manusia umunya sama. Proses tersebut terdiri
ataspase seksual eksogen (sporogoni) dalan badan nyamuk Anopheles dan fase aseksual
(skizogoni) dalam badan hospes vertebrata.
Fase aseksual mempunyai dua daur, yaitu; 1) daur eritrosit dalam darah (skizogoni eritrosit)
dan 2) daur dalam sel parenkim hati (skizogoni eksoeritrosit) ataustadium jaringan dengan a)
skizogoni praeritrosit (skizogoni eksoeritrosit primer) setelah sporozoit masuk ke dalam sel hati
dan b) skizogoni eksoeritrosit sekunder yang berlangsung dalam hati. Hasil penelitian pada
malaria menunjukkan bahwa ada dua populasi sporozoit yang berbeda, yaitu sporozoit yang
secara langsung mengalami pertumbuhan dan sporozoit yang tetap “tidur” (dormant) selama
periode tertentu (disebut hipnozoit), sampai menjadi aktif kembali dan mengalami skozogoni.
Pada infeksi P.falciparum dan P.malariae hanya terdaat satu generasi aseksual dalam hati sebelum
daur dalam darah dimulai; sesudah itu daur dalam hati tidak dilanjutkan lagi. Pada infeksi P.vivax
dan P.ovale daur eksoeritrosit berlangsung terus menerus sampai bertahun-tahun melengkapi
perjalanan penyakit yang dapat berlangsung lama (bila tidak diobati) serta banyak relaps.7
Infeksi parasit malaria pada manusia mulai bila nyamuk anopheles betina mengigit manusia
dan nyamuk akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah di mana sebagian besar dalam
waktu 45 menit akan menuju ke hati dan sebagian kecil sisanya akan mati di darah. Di dalam sel
parenkim hati mulailah perkembangan aseksual (intrahepatic schizogony atau pre-erythrocytes
schizogony). Perkembangan ini memerlukan waktu 5,5 hari untuk plasmodium falciparum, dan
15 hari untuk plasmodium malariae. Setelah sel parenkim hati terinfeksi, terbentuk skizon hati
yang apabila pecah akan mengeluarkan banyak merozit ke sirkulasi darah. Pada plasmodium
vivax dan plamodium ovale, sebagian skizon di dalam sel hati membentuk hionozoit yang dapat
bertahan sampai bertahun-tahun, dan bentuk ini yang akan menyebabkan terjadinya relaps pada
malaria.
Setelah berada di dalam sirkulasi darah merozoit akan meynerang eritrosit dan masuk melalui
reseptor permukaan eritrosit. Pada Plasmodium vivax reseptor in berhubungan dengan antigen
Duffy Fya atau Fyb. Hal ini menyebabkan individu dengan golongan darah Duffy negatif tidak
terinfeksi malaria vivax. Reseptor untuk Plasmodium falciparum diduga suatu glycophorins,
sedangkan pada Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale beulum diketahui. Dalam waktu
kurang dari 12 jam parasit berubah menjadi bentuk ring dan pada Plasmodium falciparum
menjadi stereo – headphones, yang mengandung kromatin dalam intinya dikelilingi sitoplasma.
Parasit tumbuh setelah memakan hemoglobin dan dalam metabolismenya membentuk pigmen
yang disebut hemozoin yang dapat dilihat secara mikroskopik. Eritrosit yang berparasit menjadi
lebih elastik dan dinding berubah lonjong, pada plasmodium falciparum dinding eritrosit
membentuk tonjolan yng disebut knobyang nantiny penting dalam proses cytoadherence dan
rosetting. Setelah 36 jam invasi ke dalam eritrosit, parasit berubah menjadi skizon dan bila skizon
pecah akan mengerluarkan 6-36 merozoitdan siap menginfeksi eritrosit yang lain. Sikluas
aseksual ini pada Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, dan Plasmodium ovale ialah 48
jam dan Plasmodium malariae adalah 72 jam.
Di dalam darah sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan betina, dan bila nyamuk
megnhisap darah manusia yang sakit akan terjadi siklus seksual di dalam tubuh nyamuk. Setelah
terjadi perkawinan akan terbentuk zigot dan menjadi ookinet yang menembus dinding perut
nyamuk dan akhirnya menjadi bentuk oocyst yang akan menjadi masak dan mengeluarkan
sporozoit yang akan berimigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan siap menginfeksi manusia.
Tingginya side positive rate (SPR) menetukan endemisitas suatu daerah dan pola klinis
penyakit malaria akan berbeda. Secara tradisi endemisitas daerah di bagi menjadi:
Hipoemdemik ; bila parasit rate atau spleen rate 0 – 10%
Mesoendemik; bila parasit rate atau spleen rate 10 - 50%
Hiperendemik; bila parasit rate atau spleen rate 50 – 75%
Holoendemik; bila parasit rate atau spleen rate > 75%
Parasit rate dan spleen rate ditentukan pada pemriksaan anak-anak usia 2 – 9 tahun. Pada
daerah holoendemik banyak penderita anak-anak dengan anemia berat, pada daerah hiperendemik
dan mesoendemik mulai banyak malaria serebral pada usia kanak-kanak (2 – 10 tahun),
sedangkan pada daerah hipoendemik/daerah tidak stabil banyak dijumpai malaria serebral,
malaria dengan gangguan fungsi hati atau gangguan fungsi ginjal pada usia dewasa.1
4. Patogenesis dan Patologi
Setelah melalui jaringan hati Plasmodium falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke dalam
sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk ke dalam sel RES di limpa dan mengalami
fagositosis di limpa akan menginvasi eritrosit. Selanjutnya parasit berkembang biak secara
aseksual dalam eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritrodit (EP) inilah yang bertanggung
jawab dalam patogenesis terjadinya malaria pada manusia.
Sitoadherensi. Sitoadherensi adalah perlekatan anatara EP stadium matur pada permukaan
endotel vaskular. Perlekatan terjadi dengan cara molekul adhesif yang terletak di permukaan knob
EPmelekat dengan molekul-molekul adhesif yang terletak di permukaan endotel vaskular.
Sekuestrasi. Sitoadherensi menyebabakan EP matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi.
Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular disebut EP matur yang
mengalami sekuestrasi. Hanya Plasmodium falciparum yang mengalami sekuestrasi, karena pada
plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada
organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalam tubuh.
Rosetting ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau eritrosit yang non-parasit.
Plasmodium yang dapat mengalami sitodherensi juga yang dapat melakukan rosetting. Rosetting
menyebabkan obstruksi aliran darah lokal/dalam jaringan sehingga mempermudah terjadinya
sitoadheren.
Sitokin. Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit, dan makrofag setelah mendapat stimulasi
dari malaria toksin (LPS, GPI). Sitokin ini antara lain TNF-α, IL-1, IL-6, IL-3, LT, dan INF-g.1
5. Gejala Klinis
Manifestasi klinis malaria tergantung pada imunitas penderita, tingginya transmisi infeksi
penderita. Berat/ringannya infeksi dipengaruhi oelh jenis plasmodium, daerah asal infeksi (pola
resistensi terhadap pengobatan), umur, ada dugaan konstitusi genetik, keadaan kesehatan dan
nutrisi, kemoprofilaksis, dan pengobatan sebelumya.1
Asimptomatik Demam (spesifik) Malaria Berat Kematian
Manifestasi umum malaria
Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia dan splenomegali. Masa
inkubasi bervariasi pada masing-masing plasmodium. Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum
terjadinya demam berupa kelesuhan, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin di
punggung, nyeri sendi dan tulang, anoreksia, demam ringan, perut tidak enak, diare ringan,
kadang-kadang dingin. Keluhan prodromal sering terjadi pada plasmodium vivax dan
plasmodium ovale, sedangkan pada plasmodium falciparumdan malariae keluhan prodromal tidak
jelas bahkan gejala dapat mendadak.
Gejala klasik yaitu terjadinya “Trias Malaria” secara berurutan: periode dingin (15-60 menit);
mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau sarung pada saat
mengigilsering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, diikuti dengan menignkatnya
temperatur, diikuti periode panas; penderita muka merah , nadi cepat dan panas badan tetap tinggi
beberapa jam, diikuti dengan keadaan berkeringat, kemudian periode berkeringat; penderita
berkeringat banyak dan temperatur menurun, dan penderita merasa sehat. Trias malaria lebih
sering terjadi pada infeksi plasmodium vivax, pada Plasmodium falciparum menggigil dapat
berlangsung berat ataupun tidak ada. Periode tidak panas berlangsung 12 jam pada P.falciparum,
36 jam pada P.vivax dan P.ovale, dan 60 jam pada P.malariae.
Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Beberapa mekanisme
terjadinya anemia adalah: pengerusakan eritrosit oleh parasit, hambatan eritropoiesis sementara,
Faktor parasit:
- Resistensi obat
- Kecepatan multiplikasi
- Cara invasi
- Sitoadherensi
- Rosetting
- Polimorfisme antogenik
- Variasi antigenik
- Toksin malaria
Faktor penjamu:
- Imunisasi
- Sitokin proinflamasi
- Genetik
- Umur
- Kehamilan
faktor sosial dan geografi:
- Akses mendapat pengobatan
- Faktor-faktor budaya dan ekonomi
- Stabilitas politik
- Intensitas trasnimisi nyamuk
Manifestasi Klinis
hemolisis oleh karena prses complement mediated immune complex, eritrofagositosis,
penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin. Splenomegali sering dijumpai pada
penderita malaria, limpa akan teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi akut, limfa menjadi
bengkak, nyeri, dan hiperemis. Limpa merupakan organ penting dalam pertahanan tubuh terhadap
infeksi malaria
Beberapa keadaan klinis dalam perjalanan infeksi malaria ialah:
Serangan primer ; yaitu keadaan mulai dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi serangan
paroksismal yang terdiri dari dingin/mengigil, panas, dan berkeringat. Serangan paroksismal ini
dapat pendek atau panjang tergantung dari perbanyakan parasit dan keadaan imunitas penderita.
Periode latent; periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya infeksi malaria.
Biasanya terjadi di antara dua serangan paroksismal.
Recrudenscense; berulangnya gejala klinis dan parasitemia dalam masa 8 minggu sesudah
berakhirnya serangan primer. Recrudenscense dapat terjadi berupa berulangnya gejala klinis
sesudah periode laten dari serangan primer
Recurrence; berulangnya gejala klinis atau parasitemia setelah 24 minggu berakhirnya serangan
primer.
Relaps atau Rechute; berulangnya gejala klinis atau parasitemia yang lebih lama dari waktu di
antara serangan periodic dari infeksi primer yaitu setelah periode yang lama dari masa laten
(sampai 5 tahun).1
Manifestasi Klinis Malaria Tertian
Inkubasi 12-17 hari, terkadang lebih panjang 12-20 hari. Pada hari-hari pertama panas ireguler,
kadang-kadang remiten atau intermiten, pada saat tersebut perasaan dingin atau mengigil jarang
terjadi. Pada akhir minggu panas menjaji intermiten atau periodic tiap 48 jam dengan gejala klinis
trias malaria. Serangan paroksismal biasanya terjadi pada saat sore hari.
Manifestasi Klinis Malaria Falciparum / Malaria Tropika
Malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat, ditandai dengan panas yang ireguler,
anemis, splenomegali, parasitemia, sering terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria
tropika mempunyai perlangsungan yang cepat dan parasitemia yang tinggi dan menyerang semua
bentuk eritrosit.
Manifestasi Klinis Malaria Quartana / M.Malariae
Manifestasi klinis seperti pada malaria tertian hanya berlangsung lebih ringan, anemia jarang
terjadi, splenomegali sering dijumpai, walaupun pembesaran ringan. Serangan paroksismal terjadi
tiap 3-4 hari, biasanya pada waktu sore.
Manifestasi Klinis Malaria Ovale
Merupakan bentuk paling ringan. Masai inkubasi 11-16 hari, serangan paroksismal 3-4 hari
terjadi malam hari dan jarang lebih dari 10 kali walaupun tanpa terapi.1
6. Diagnosis Malaria
Diagnosis dapat ditegakkan dari pemeriksaan yang dilakukan dengan temuan spesifik malaria
Apusan darah tebal
(-) : SDr negative (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB)
(+) : SDr positif 1 (ditemukan 1-10 parasit / 100 LPB)
(++) : SDr positif 2 (ditemukan 11-100 parasit / 100 LPB)
(+++) : SDr positif 3 (ditemukan 1-10 parasit / 1 LPB)
(++++) : SDr positif 4 (ditemukan 11-100 parasit / 1 LPB.8
7. Terapi
ACT yaitu Artesdiaquin yang merupakan komnbinasi artesunat dengan amodiakuin. Setiap
kemasan trdiri dari 2 blister. Pertama adalah blister amodiakuin yang terdiri dari 12 tablet, tiap
tablet mengandung 153 mg amodiakuin basa setara dengan 200 mg amodiakuin. Yang kedua
adalah blister artesunat yang terdiri dari 12 tablet @ 50 mg. obat kombinasi diberikan peroral
selama 3 hari dengan dosis tunggal harian amodiakuin basa 10 mg/kgBB dan artesunat 4
mg/kgBB. Primakuin tablet berwarna jingga kecoklatan mengandung 15 mg primakuin basa yang
setara dengan 25 mg primakuin, peroral dengan dosis tunggal 0,75 basa mg/kgBB, diberikan
pada hari petama. Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil, bayi < 1 tahun, dan penderita
def.G6PD
No. Jenis Obat Jumlah Tablet per Hari Menurut Kelompok Usia
0-1 bl 2-11 bln 1-4 thn 5-9 thn 10-11 thn >15 thn
I Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
amodiakuin ¼ - 1 2 3 4
Primakuin - ½ ¼ ½ 2 2-3
II Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
III Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
D. CHIKUNGUNYA
1. Pendahuluan
Chikungunya merupakan penyakit mirip demam dengue yang disebabkan oeh virus
chikungunya dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedes africanus. Untuk
pertama kalinya, virus chikungunya berhasil diidentifikasi di Afrika Timur pada tahun
1952. Dalam bahasa Swahili istilah chikungunya berarti kejang urat, berubah bentuk atau
bungkuk.Suku Swahili adalah suku yang bermukim di Negara Tanganyika di daerah
dataran tinggi Makonde, provinsi Newala. Istilah lain dari penyakit ini adalah dengue,
dyenga, abu rokap dan demam 3 hari. Istilah dengue pertama kali digunakan di Kuba
pada tahun 1928 karena kemiripan chikungunya dengan DBD.
Chikungunya ditandai dengan demam, myalgia atau atralgia, ruam-ruam, leukopeni,
dan limfadenopati.Meskipun wilayah serangannya luas dan penyebarannya cepat,
chikungunya jarang menimbulkan kematian, setidaknya dari berbagai laporan KLB yang
terjadi di Indonesia. Penyakit ini akan sembuh sendiri (self-limiting disease). Karena
vektornya nyamuk, chikungunya tergolong arthropoda-bornedisease, yaitu penyakit
yang disebarkan oleh arthropoda.
Sebenarnya chikungunya sudah lama kenal di Indonesia.Seorang dokter
berkebangsaan Belanda melaporkan penyakit ini pada abad ke-18. Penyakit yang
disebabkan oleh virus ini dilaporkan sebagai demam sendi (knokkel emerging koorts)
atau demam 5 hari (vijfdaagse koorts).Chikungunya tergolong “re-emerging disease”
karena setelah sekian lama mengalami penurunan, kasusnya kembali meningkat dan
penyebarannya semakin meluas di Indonesia mulai tahun 2004.7
2. Epidemiologi
Chikungunya tersebar di daerah tropis dan subtropis yang berpenduduk pada seperti
Afrika, India, dan Asia Tenggara.Di Afrika, virus ini dilaporkan menyerang di
Zimbabwe, Kongo, Angola, Kenya dan Uganda.Negara selanjutnya yang terserang
adalah Thailand pada tahun 1958; Kamboja, Vietnam, Sri Lanka, dan India pada tahun
1964.Pada tahun 1973 chikungunya dilaporkan menyerang di Philipina dan Indonesia.
Lokasi penyebaran penyakit ini tidak berbeda jauh dengan DBD karena vector
utamanya sama, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Di daerah endemis DBD sangat mungkin
terjadi juga endemis chikungunya.
Demam chikungunya biasanya tidak berakibat fatal. Akan tetapi, dalam kurun waktu
2005-2006 telah terjadi 200 kematian yang dihubungkan dengan chikungunya di Pulau
Reunion dan KLB yang tersebar luas di India, terutama di Tamil dan Kerala. Ribuan
kasus terdeteksi diberbagai daerah di India dan di Negara-negara yang bertetangga
dengan Sri Lanka setelah hujan lebat dan banjir pada Agustus 2006.Di selatan India
(Negara bagian Kerala), 125 kematian dihubungkan dengan chikungunya. Pada
Desembar 2006, di laporkan terjadi 3500 kasus di Maladewa dan lebih dari 60.000 kasus
di Sri Lanka dengan kematian lebih dari 80 orang.Di Pakistan telah terjadi lebih dari 12
kasus chikungunya pada Oktober 2006.Data terbaru Juni 2007 telah mencatat terjadinya
KLB yang menyerang sekitar 7000 penderita Kerala, India
Angka insidensi di Indonesia sangat terbatas.Demam chikungunya pertama kali
terjadi di Samarinda pada tahun 1973.Kasus selanjutnya terjadi di Kuala Tungkal (Jambi)
pada tahun 1980, diikuti Martapura, Ternate, dan Yogyakarta pada tahun 1983. Selama
hamper 20 tahun (1983-2000), belum ada laporan berjangkitnya penyakit ini, hingga
adanya laporan KLB demam chikungunya di Sumatera Selatan dan Aceh, di lanjutkan di
Bogor dan Bekasi, serta Purworejo dan Klaten pada tahun 2002. Pada 2004 KLB
menyerang sekitar 120 orang Semarang.7
3. Etiologi
Virus chikungunya adalah virus yang termasuk dalam genus alfa dari family
Togaviridae. Virus ini berbentuk sferis dengan ukuran diameter sekitar 42 mm. Virus ini
bersama virus O;nyong-nyong dari genus virus alfa dan virus penyebab penyakit ‘Demam
nil Barat’ dari genus virus flavi menyebabkan gejala penyakit mirip dengue.
Sebelum menyerang manusia, 200-300 tahun yang lalu, virus ini telah menyerang
primate di hutan dan padang savanna di Afrika. Hewan pimata yang sering terjangkit
adalah Babon (Papio sp.) dan Cercopithecus sp. Meskipun belum ada penjelasan tentang
perubahan siklus serangan hewan primata → nyamuk → hewan primate menjadi manusia
→ nyamuk → manusia, karena tidak semua virus hewan dapat mengalami perubahan
tersebut, kemungkinan hal ini terjadi karena mutasi pada virus.7
4. Penularan
Seperti DBD,chikungunya endemic di daerah yang banyak di temukan kasus DBD.
Kasus DBD pada wanita dan anak-anak lebih tinggi dengan alas an mereka lebih banyak
berada di rumah pada siang hari saat nyamuk menggigit. KLB chikungunya bersifat
mendadak dengan jumlah penderita relative banyak.Selain manusia, virus chikungunya
juga dapat menyerang tikus, kelinci, monyet, babun dan simpanse.
Belum ada laporan jelas tentang penularan transovarial pada virus chikungunya.
Namun dengan adanya laporan tentang kemampuan nyamuk Aedes sp. yang bisa
menularkan penyakit secara transovarial pada kasus DBD, maka secara teoritis nyamuk
pun bisa menularkan penyakit chikungunya tanpa perlu menggigit manusia yang
terinfeksi terlebih dahulu.
Mekanisme penularan klasik terjadi apabila manusia yang sedang viremia, yaitu
biasanya terjadi 2 hari sebelumnya demam sampai 5 hari setelah demam, digigit oleh
nyamuk Aedes sp. dalam waktu8-10 hari (extrinsic incubation period). Virus dalam
kelenjar air liur nyamuk akan berkembang biak dan kemudian di tularkan ke manusia lain
yang digigt oleh nyamuk pada gigitan berikutnya. Dalam tubuh manusia,virus
memerlukan waktu 3-7 hari untuk berkembang, sebelum akhirnya menimbulkan gejala
klinis.
Kekebalan individu akan terjadi setelah penyembuhan penyakit ini. Namun belum
ada kejelasan yang pasti tentang lamanya kekebalan ini bisa bertahan meskipun ada
laporan tentang epiddemi setiap 20 tahunan yang dikaitkan dengan perubahan
iklim.Serangan ulang chikungunya juga belum banyak dilaporkan. Belum begitu jelas
adanya kepekaan individu terhadap chikungunya, termasuk ada atau tidaknya faktor ras,
gender, atau karakteristik lain yang berpengaruh.
Penularan chikungunya yang cepat hingga terjadinya KLB dipengaruhi oleh :
Perubahan iklim dan cuaca yang mempengaruhi perkembangan populasi nyamuk.
Mobilisasi penduduk dari dan ke daerah yang terinfeksi.
Perilaku masyarakat.
Sanitasi lingkungan yang berhubungan dengan tempat berkembang biaknya nyamuk.7
5. Gejala, Tanda Dan Diagnosis
Masa inkubasi chikungunya adalah 2-12 hari dengan rata-rata 3-7 hari.Gejala
penyakit di awali dengan demam (>40oC) mendadak, disertai menggigil 2-5 hari,
kemudian munculnya ruam kulit dan limfodenopati, atralgia, myalgia, atau artritis yang
merupakan tanda dan gejala khas chikungunya.Penderita dapat mengeluhkan nyeri atau
ngilu saat berjalan kaki karena serangan pada sendi-sendi kaki.Keluhan arthralgia ini
ditemukan sekitar 80% pada penderita chikungunya dan biasanya sendi yang sering
dikeluhkan adalah sendi lutut,siku, pergelangan, jari kaki dan tangan serta tulang
belakang. Pada posisi berbaring biasanya penderita miring dengan lutut tertekuk dan
berusaha mengurangi dan membatasi gerakan. Gejala ini dapat bertahan selama beberapa
minggu, bulan bahkan ada yang sampai bertahan beberapa tahun sehingga dapat
menyerupai Rheumatoid Artritis. Nyeri otot pula bisa terjadi pada seluruh otot terutama
pada otot penyangga berat badan seperti pada otot bagian leher, daerah bahu dan anggota
gerak (Ng, K.W., et al 2009).Dibandingkan dengan DBD, gejala chikungunya muncul
lebih dini. Perdarahan jarang terjadi.7
Infeksi CHIK merupakan penyakit infeksi yang melumpuhkan penderita ditandai
dengan gejala demam, sakit kepala, mual, muntah dan nyeri otot dan sendi. Dilaporkan
bahwa attack rate pada populasi yang rentan berkisar antara 40-85% dan rasio
simtomatik terhadap asimtomatik adalah 1,2:1. Masa inkubasi penyakit antara 2-12 hari,
tetapi umumnya 3-7 hari. Setelah masa inkubasi, suhu badan mendadak meningkat
sampai 390-400C diikuti gejala menggigil yang intermiten. Fase akut ini berlangsung 2-3
hari, selanjutnya demam menghilang untuk 1-2 hari dan kemudian timbul lagi sehingga
memberi kurve demam dengan gambaran seperti “pelana” (saddle-back fever). Demam
pada CHIK secara tipikal berlangsung beberapa hari tetapi pada beberapa kasus rasa
lemah (fatigue) yang menyertai penyakit ini dapat berlangsung lama seperti pada dengue,
O’nyong-nyong, West Nile atau infeksi arbovirus lain. Selain demam, gejala klasik CHIK
adalah myalgia, arthralgia, dan rash. Arthralgia yang terjadi sifatnya poliartikuler,
berpindah (migratory), dan terutama mengenai sendi-sendi kecil dari tangan, pergelangan
tangan, pergelangan kaki dan kaki, sedangkan sendisendi besar sedikit saja dikenai.
Pembengkakan sendi terjadi sebagai akibat pengumpulan cairan. Myalgia umum dan
nyeri otot bagian belakang dan bahu adalah gejala yang biasa dijumpai. Anak-anak jarang
sekali mengalami nyeri sendi. Penderita dengan manifestasi artikuler ringan biasanya
bebas dari gejala nyeri sendi setelah beberapa minggu, tetapi mereka yang gejala gejala
artikulernya berat memerlukan waktu beberapa bulan untuk sembuh secara menyeluruh.
Manifestasi kulit adalah tipikal untuk penyakit ini dan pada banyak penderita berupa
kemerahan (flush) di daerah muka dan badan. Suatu kelainan berupa ruam (rash)
makulopapuler mengikuti gejala flushing tersebut. Ruam makulopapuler terutama
terdapat pada badan dan lengan tetapi telapak tangan dan kaki dapat juga dikenai. Rasa
gatal dan iritasi dapat menyertai erupsi ini. Pada saat berlangsungnya keadaan akut dari
penyakit, kebanyakan penderita mengeluh sakit kepala.
Fotofobia dan nyeri retro-orbital dapat dijumpai. Pada bayi dan anak-anak, flushing
yang jelas dan adanya ruam makulopapuler secara dini atau urtikaria adalah petunjuk
yang bermanfaat. Namun, gejala-gejala yang ditampilkan oleh CHIK sering kali secara
klinis tidak dapat dibedakan dari demam dengue. Isolasi yang simultan dari kedua virus
tersebut dari sera penderita pernah dilaporkan sebelumnya dan merupakan petunjuk
adanya infeksi gabungan (dual infection). Oleh karena itu sangat penting untuk
membedakan infeksi virus CHIK dari demam dengue. Secara umum, manifestasi
perdarahan tidak dijumpai pada infeksi virus CHIK. Pada infeksi yang tanpa komplikasi,
gejala akut akan menghilang dalam waktu sekitar 10 hari dan mayoritas penderita akan
sembuh secara total tetapi ada laporan mengenai beberapa kasus yang masih menderita
nyeri sendi selama beberapa tahun setelah sembuh.
Komplikasi yang serius sangat jarang dan kasus-kasus yang fatal belum pernah secara
konklusif ditemukan.10
Diagnosis di tegakkan berdasarkan gambaran klinis dan laboratorium, yaitu adanya
antibody IgM dan IgG dalam darah.
Definisi kasus terdiri dari :
Kasus tersangka
Di tandai dengan gejala klinis seperti yang telah disebutkan diatas, mulai dari demam
mendadak hingga fotopobia.
Kasus probable
Ini merupakan gejala pada kasus tersangka, di tambah hasil laboratorium serologi
positif dari sampel darah tunggal yang di ambel pada fase akut maupun
penyembuhan.
Kasus confirm
Ini merupakan kasus probable dan salah satu dari hal berikut :
Peningkatan titer antibody 4 kali pada pasangan sampel serum darah.
Antibody IgM positif
Isolasi virus
Hasil pemeriksaan RT-PCR positif asam nukleat virus chikungunya.
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosis,dengan bahan
darah vena 5 cc pada fase akut (utama) dan fase penyembuhan. Pada pemeriksaan
hematologi rutin dapat dijumpai kadar hemoglobin yang normal, trombositopenia,
leukopenia atau leukositosis, relative limfositosis pada hitung jenis dan peningkatan
LED. Pemeriksaan kimia klinis menunjukkan fungsi hati bisa terganggu apabila terjadi
hepatomegaly yang ditandai dengan SGOT/SGPT dan bilirubin direk atau total yang
meningkat.
Pemeriksaan serologi yang lebih pasti dilakukan dengan rapid diagnostic test (RDT),
ELISA, Hemaglutinase Inhibisi (HI), Immunofluorescent assay (IFA) untuk mendeteksi
IgM dan IgG atau dengan polymerase chain reaction (PCR) untuk memeriksa materi
genetic virus.
Metode pemeriksaan RDT dapat dilakukan di hamper semua rumah sakit, meskipun
dengan akurasi hasil yang terbatas. Pemeriksaan ELISA dan HI dapat dilakukan oleh
Balitbankes Jakarta, Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) sentinel di provinsi tertentu,
dan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL).7
6. Pengobatan
Karena belum ada vaksin dan obat untuk virus chikungunya, maka pengobatan yang
di berikan meliputi :
a. Pengobatan suportif
Istirahat tirah baring dilakukan untuk mempercepat penyembuhan, bersama dengan
penambahan vitamin yang meningkatkan daya tahan tubuh.penderita di beri minum
cukup.rehabilitasi dengan fisioterapi untuk nyeri sendi juga perlu di pertimbangkan.
b. Pengobatan analgetik
Obat antipiretik atau analgesic non-aspirin dan anti-inflamasi non steroid (OAINS)
diberikan untuk mengurangi demam dan rasa sakit pada persendian serta mencegah
kejang.
c. Infus
Diberikan apabila perlu, terutama bagi penderita malas minum, berguna untuk
menjaga keseimbangan cairan.
Indikasi rawat tergantung dari berat atau ringannya penyakit.Meskipun demam sudah
redah, keluhan pada sendi mungkin bisa berlangsung lama. Suatu penelitian
melaporkan bahwa dari 107 penderita, sekitar 88% sembuh sempurna, 4% mengalami
kekakuan sendi, 3% mengalami kekakuan sendi menetap tapi tidak merasa nyeri,
serta 5% mengalami kekakuan sendi yang menetap dan mengalami efusi persendian.7
7. Komplikasi
Komplikasi sampai kematian sangat jarang terjadi, meskipun kemungkinan
neuroinvasif dan perdarahan bisa saja terjadi.Pada anak-anak, komplikasi yang mungkin
terjadi berupa syok, miokarditis dan kolapsya pembuluh darah atau ensefalopati.7
Penyebab morbiditas yang tertinggi adalah dehidrasi berat, ketidakseimbangan
elektrolit dan hipoglikemia. Beberapa komplikasi lain yang dapat terjadi meskipun jarang
berupa gangguan perdarahan, komplikasi neurologis, pneumonia dan gagal nafas.9
8. Pencegahan
Upaya pencegahan chikungunya hamper semua dengan pencegahan untuk penyakit
DBD. Penting bagi masyarakat untuk melakukan gerakan pemberantasan sarang nyamuk
secara rutin, menggunakan obat anti nyamuk pada jam-jam saat nyamuk banyak mengigit
dan mengoleskan losion anti-nyamuk pada anak sekolah.Karena penyakit ini berpotensi
menyebabkan KLB, penderita chikungunya perlu diisolasi meskipun tidak di rawat di
rumah sakit. Isolasi yang tepat akan sangat beguna untuk mencegah penularan cepat
penyakit ini.
Setiap laporan kasus harus segera ditindak lanjuti dengan penyelidikan epidemiologis
(PE) untuk memastikan diagnosis kasus dan pencegahan KLB.Setelah definisi kasus di
selesaikan, masyarakat perlu dikumpulkan untuk diberi penyuluhan tentang pencegahan,
seperti pemberantasan sarang nyamuk, pemeriksaan jentik secara rutin, dan tindakan dini
jika terjadi gejala dan tanda-tanda seperti chikungunya.
Secara umum, upaya pengendalian penyakit terdiri dari :
a. Pencegahan gigitan nyamuk
Dilakukan dengan pemasangan kelambu, penggunaan anti nyamuk, dan pemakaian
obat nyamuk oles, bakar atau semprot.Berdasarkan laporan hasil penelitian, tidur
siang berhubungan dengan gigitan nyamuk Aedes, sehingga memakaikan baju lengan
panjang dan celana panjang kepada anak yang tidur siang merupakan upaya
perlindungan yang penting.
b. Pemberantasan jentik
Istilah pemberantasan sarang nyamuk (PSN) sebenarnya kurang tepat karena nyamuk
beristirahat disemak-semak, gantungan baju bekas pakai, gorden dan tempat sejuk
dan lembap lainnya. Nyamuk Aedes sp akan bertelur dipermukaan air yang jernih,
seperti tempat penampungan air, vas atau pot bunga, air buangan dispenser,
penampungan air AC, dan tempat minum burung. Pemberantasan jentik dibagi
menjadi 3 cara, yaitu :
Fisik, dengan 3 M plus
Biologi, dengan menebar ikan pemakan jentik dipempungan air
Kimiawi, dengan pemberian larvasida berupa :
Temephos, berbentuk granul, dosis 1 ppm atau 10 gram (± 1 sendok makan)
untuk 100 liter air yang diberikan setiap 3 bulan.
Insec growth regulator (ISG), seperti methroprene dan phyriroxiphene yang
bisa menjaga jentik sampai 3-6 bulan.
c. Pemberantasan nyamuk
Dilakukan untuk memutuskan rantai penularan dengan penyemprotan (fogging)
massal menggunakan insektisida cair 2 kali dengan selang waktu 1 minggu.7
9. Prognosis
Penyakit ini bersifat self limiting diseases, tidak pernah dilaporkan adanya kematian
sedangkan keluhan sendi mungkin berlangsung lama. Penelitian sebelumnya pada 107 kasus
infeksi Chikungunya menunjukkan 87,9% sembuh sempurna, 3,7% mengalami kekakuan
sendi atau mild discomfort, 2,8% mempunyai persistent residual joint stiffness tapi tidak
nyeri dan 5,6% mempunyai keluhan sendi yang persistent, kaku dan sering mengalami efusi
sendi.9
Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III, Edisi V. Jakarta : Interna Publishing.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatrik Tropis Edisi Kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
3. Nelwan, RHH. 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Jakarta : Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
4. Soedarto. 2012. Demam Berdarah Dengue. Jakarta : CV Sagung Seto.5. Wiradharma, Danny. 1999. Diagnosis Cepat Dema Berdarah Dengue. Jakarta : Bagian
Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.6. Pratamawati, Diana Andriyani. 2012. Peran Juru Pantau Jentik dalam Sistem
Kewaspadaan Dini Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit.
7. Sutanto,Inge & Suhariah, Is, dkk. 2013. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi IV. Jakarta : FKUI
8. Widoyono. 2011. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya Edisi II. Jakarta : Penerbit Erlangga
9. Fakultas Kedokteran Sumatera Utara. 2012. Chikungunya.
10. Suriptiastuti. 2007. Re-emergensi Chikungunya : Epidemiologi dan Peran Vektor pada
Penyebaran Penyakit. Jakarta : Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.