laporan praktikum koefisien distribusi

33
KOEFISIEN DISTRIBUSI I. TUJUAN 1. Menentukan harga koefisien distribusi senyawa dalam dua pelarut yang tidak saling campur. 2. Mengenal pemisahan berdasarkan ekstraksi cair-cair. 3. Menentukan tetapan distribusi (K D ) asam asetat dalam sistem organik-air. II. DASAR TEORI Pada ekstraksi cair-cair, satu komponen bahan atau lebih dari suatu campuran dipisahkan dengan bantuan pelarut. Ekstraksi cair-cair terutama digunakan, bila pemisahan campuran dengan cara destilasi tidak mungkin dilakukan (misalnya karena pembentukan azeotrop atau karena kepekaannya terhadap panas) atau tidak ekonomis. Seperti ekstraksi padat-cair, ekstraksi cair-cair selalu terdiri dari sedikitnya dua tahap, yaitu pencampuran secara intensif bahan ekstraksi dengan pelarut dan pemisahan kedua fase cair itu sesempurna mungkin. Metode ekstraksi cair- cair merupakan distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur seperti benzena, karbon tetraklorida atau kloroform. Batasannya adalah zat terlarut dapat ditransfer pada jumlah yang berbeda dalam kedua fase pelarut. Dalam metode ini, sampel yang mengandung analit merupakan suatu larutan (umumnya dalam air) yang juga mengandung zat-zat terlarut lainnya. Teknik ini melibatkan dua fase cair yaitu cairan

Upload: susita-pratiwi

Post on 29-Oct-2015

1.709 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

LAPORAN KIMIA FISIKA KOEFISIEN DISTRIBUSI

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

KOEFISIEN DISTRIBUSI

I. TUJUAN

1. Menentukan harga koefisien distribusi senyawa dalam dua pelarut yang tidak

saling campur.

2. Mengenal pemisahan berdasarkan ekstraksi cair-cair.

3. Menentukan tetapan distribusi (KD) asam asetat dalam sistem organik-air.

II. DASAR TEORI

Pada ekstraksi cair-cair, satu komponen bahan atau lebih dari

suatu campuran dipisahkan dengan bantuan pelarut. Ekstraksi cair-

cair terutama digunakan, bila pemisahan campuran dengan cara

destilasi tidak mungkin dilakukan (misalnya karena pembentukan

azeotrop atau karena kepekaannya terhadap panas) atau tidak

ekonomis. Seperti ekstraksi padat-cair, ekstraksi cair-cair selalu terdiri

dari sedikitnya dua tahap, yaitu pencampuran secara intensif bahan

ekstraksi dengan pelarut dan pemisahan kedua fase cair itu

sesempurna mungkin. Metode ekstraksi cair-cair merupakan distribusi zat terlarut

dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur seperti

benzena, karbon tetraklorida atau kloroform. Batasannya adalah zat terlarut dapat

ditransfer pada jumlah yang berbeda dalam kedua fase pelarut. Dalam metode ini, sampel

yang mengandung analit merupakan suatu larutan (umumnya dalam air) yang juga

mengandung zat-zat terlarut lainnya. Teknik ini melibatkan dua fase cair yaitu cairan asal

(sampel) dan satunya lagi adalah pelarut pengekstraknya (pelarut). Syarat agar

pemisahan analit dapat dilakukan dengan baik yaitu:

1. Kedua campuran tidak saling campur

2. Analitnya sendiri lebih larut dalam pelarut pengekstraknya dari pada dalam

pelarut asalnya.

Sebagai molekul terdisosiasi dalam ion-ion salah satu dari fase tersebut. Hukum

distribusi digunakan hanya untuk yang umum konsentrasinya pada kedua fase, yaitu

monomer atau molekul sederhana dari zat tersebut. Apabila ditinjau dari suatu zat

tunggal yang tidak bercampur dalam suatu corong pisah maka dalam sistem tersebut

akan terjadi suatu keseimbangan sebagai suatu zat terlarut dalam fase bawah dan zat

Page 2: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

terlarut dalam fase atas. Menurut hukum Termodinamika, pada keadaan seimbang dan

rasio aktivitas species terlarut dalam kedua fase itu merupakan suatu ketetapan atau

konstanta. Hal ini disebut sebagai Hukum Distribusi Nerst. Nilai K tergantung pada

suhu, bukan merupakan fungsi konstanta absolut zat atau volume kedua fase itu. Menurut

hukum distribusi Nernst, bila ke dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur

dimasukkan solute yang dapat larut dalam kedua pelarut tersebut, maka akan terjadi

pembagian solut dengan perbandingan tertentu. Kedua pelarut tersebut umumnya pelarut

organik dan air. Dalam praktek solut akan terdistribusi dengan sendirinya ke dalam dua

pelarut tersebut setelah dikocok dan dibiarkan terpisah. Perbandingan konsentrasi solut

didalam kedua fasa pelarut pada suhu konstan merupakan suatu tetapan yang disebut

koefisien distribusi (KD), jika didalam kedua fasa pelarut tidak terjadi reaksi-reaksi

apapun. Selain itu dalam hukum distribusi Nernst dikatakan bahwa perbandingan antara

konsentrasi solut dalam dua pelarut selalu tetap pada suhu tertentu. Hal tersebut dapat

dinyatakan dengan:

K D=[ S ]1[ S ]1

Keterangan:

KD = koefisien distribusi atau koefisien partisi

[S]1 = konsentrasi zat terlarut dalam fase cairan pertama yaitu pelarut organik.

[S]2 = konsentrasi zat terlarut dalam fase cairan kedua yaitu air.

Karena melibatkan konsentrasi, bukan aktivitas maka pernyataan diatas tidak

menggambarkan kesetimbangan. Jika bobot suatu molekul solut berbeda diantara kedua

fase, serta koefisien dihitung berdasarkan konsentrasi, maka nilai koefisien distribusi

tidak akan selalu tetap (akan berubah). Misalnya untuk senyawa organik yang berasosiasi

membentuk polimer atau dimer dalam fase organik, maka persamaan reaksinya adalah:

An nA

fase air fase organik

K D=Cnorg

Cair

Keterangan:

KD = Koefisien distribusi

Cn org = Konsentrasi solut dalam fase organik

Cair = Konsentrasi solut dalam fase air

n = Tetapan

Page 3: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

Bila koefisien distribusi suatu zat besar maka zat terlarut akan cenderung untuk

terdistribusi secara kuantitatif ke dalam pelarut pertama yaitu air. Yang paling sering

adalah zat terlarut diekstraksi dari larutan air ke dalam pelarut organik yang tidak saling

campur. Setelah terjadi pemisahan, lapisan bawah (pelarut yang lebih berat) dikeluarkan.

Adapun alat yang dipergunakan dalam melakukan ekstraksi cair-cair ini adalah corong

pemisah.

Koefisien distribusi hanya memperhitungkan spesies tunggal dari molekul atau ion

dalam kedua fase cairan, tidak memperhitungkan kemungkinan hasil reaksi sampingnya.

Perbandingan distribusi yang merupakan perbandingan konsentrasi semua spesies zat

terlarut dalam setiap fase. Perbandingan ini dapat dirumuskan dengan :

Konsentrasi total spesies zat terlarut dalam fase organik

D = Konsentrasi total spesies zat terlarut dalam fase air

Fenomena distribusi adalah suatu fenomena dimana distribusi suatu senyawa

antara dua fase cair yang tidak saling bercampur, tergantung pada interaksi fisik dan

kimia antara pelarut dan senyawa terlarut dalam dua fase yaitu struktur molekul. Suatu

zat dapat larut dalam dua macam pelarut yang keduanya tidak saling bercampur. Jika

kelebihan campuran atau zat padat ditambahkan ke dalam cairan yang tidak saling

bercampur tersebut maka zat tersebut akan mendistribusi diri di antara dua fase sehingga

masing-masing menjadi jenuh. Ada beberapa istilah yang digunakan dalam larutan yaitu

larutan jenuh, larutan tidak jenuh dan larutan lewat jenuh. Larutan jenuh adalah suatu

larutan di mana zat terlarut berada dalam kesetimbangan dengan fase padat (zat terlarut),

larutan tidak jenuh atau hampir jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut

dalam konsentrasi yang dibutuhkan untuk penjenuhan sempurna pada temperatur

tertentu, sedangkan larutan lewat jenuh adalah larutan yang mengandung jumlah zat

terlarut dalam konsentrasi yang lebih banyak daripada yang seharusnya pada temperatur

tertentu. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi distribusi zat dalam larutan,

yaitu :

a. Temperatur

Kecepatan berbagai reaksi bertambah kira-kira 2 atau 3 tiap kenaikan suhu 10oC.

Kekuatan IonSemakin kecil konsentrasi suatu larutan maka laju distribusi makin

kecil.

b. Konstanta Dielektrik

Efek konstanta dielektrik terhadap konstanta laju reaksi ionik diekstrapolarkan

sampai pengenceran tak terbatas, yang pengaruh kekuatan ionnya 0. Untuk reaktan

Page 4: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

ion yang kekuatannya bermuatan berlawanan maka laju distribusi reaktan tersebut

adalah positif dan untuk reaktan yang muatannya sama maka laju distribusinya

negatif.

c. Katalisis

Katalisis dapat menurunkan laju - laju distribusi (Katalis negatif). Katalis dapat juga

menurunkan energi aktivitas dengan mengubah mekanisme reaksi sehingga

kecepatan bertambah.

d. Katalis Asam Basa Spesifik

Laju distribusi dapat dipercepat dengan penambahan asam atau basa. Jika laju

peruraian ini terdapat bagian yang mengandung konsentrasi ion hidrogen atau

hidroksi.

e. Cahaya Energi

Cahaya seperti panas dapat memberikan keaktifan yang diperlukan untuk terjadi

reaksi. Radisi dengan frekuensi yang sesuai dengan energi yang cukup akan

diabsorbsi untuk mengaktifkan molekul – molekul.

Suatu zat dapat larut ke dalam dua macam pelarut yang keduanya tidak saling

bercampur. Jika kelebihan cairan atau zat padat ditambahkan ke dalam campuran dari

dua cairan tidak bercampur, zat itu akan mendistribusi diri diantara dua fase sehingga

masing-masing menjadi jenuh. Jika zat itu ditambahkan kedalam pelarut tidak tercampur

dalam jumlah yang tidak cukup untuk menjenuhkan larutan, maka zat tersebut akan tetap

terdistribusikan diantara kedua lapisan dengan konsentrasi tertentu.

Pelarut secara umum dibedakan atas dua pelarut, yaitu pelarut air dan bukan air.

Salah satu ciri penting dari pelarut tetapan dielektriknya (E), yaitu gaya yang bekerja

antara dua muatan itu dalam ruang hampa dengan gaya yang bekerja pada muatan itu

dalam dua pelarut. Tetapan ini menunjukkan sampai sejauh mana tingkat kemampuan

melarutkan pelarut tersebut. Misalnya air dengan tetapan dielektriknya yang tinggi (E =

78,5) pada suhu 25oC, merupakan pelaruit yang baik untuk zat-zat yang bersifat polar,

tetapi juga merupakan pelarut yang kurang baik untuk zat-zat non polar. Sebaliknya,

pelarut yang mempunyai tetapan dielektrik yang rendah merupakan pelarut yang baik

untuk zat non polar dan merupakan pelarut yang kurang baik untuk zat berpolar.

III. ALAT DAN BAHAN

3.1 Alat :

Corong pemisah

Page 5: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

Erlenmeyer

Pipet volume 10 mL

Pipet volume 25 mL

Bola hisap (ball filler)

Gelas beker

Buret

Statif

Tiang penyangga

Stopwatch

3.2 Bahan:

Larutan Asam Asetat 1 M dan 0,5 M

Dietil eter

Larutan NaOH 0,5 M

Indikator fenolftalein (pp)

IV. CARA KERJA

1. Masing-masing sebanyak 50 mL larutan asam asetat dengan konsentrasi 1 M ;

0,5 M dan 0,1 M disiapkan. Masing-masing larutan tersebut dipipet sebanyak

25 mL dan dimasukkan kedalam corong pemisah. Setiap larutan diberi tanda

atau nomor.

2. 25 mL dietil eter dituangkan ke dalam masing-masing corong pemisah, lalu

ditutup dan dikocok (kecepatan pengocokan diatur demikian juga waktunya)

selama 30 menit.

3. Setelah pengocokan selesai, campuran dibiarkan agar terjadi pemisahan

lapisan. Lapisan air dipisahkan dan sebanyak 10 mL air dipipet dan

dimasukkan ke dalam labu titrasi serta dititrasi dengan larutan NaOH yang

sesuai (kadarnya diperhitungkan) dengan menggunakan indikator fenolftalein

V. DATA PENGAMATAN

a. Pencampuran 2 buah pelarut

Volume Asam Asetat Konsentrasi Asam Asetat Volume Dietil Eter

25 mL 0,5 M 25 mL

25 mL 1 M 25 mL

Page 6: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

Setelah pencampuran, larutan dikocok selama 30 menit terjadi pemisahan

larutan (terbentuk dua lapisan larutan). Larutan berwarna bening.

o Lapisan bawah adalah air

o Lapisan atas adalah dietil eter

Lapisan air dipisahkan dengan lapisan dietil eter.

Larutan air yang mengandung asam asetat diambil sebanyak 10 mL dan

dititrasi dengan NaOH 0,5 M

Konsentrasi Asam

AsetatVolume Asam Asetat (mL)

Volume NaOH (mL)

I II x

0,5 M 10 mL 8,90 8,90 8,90

1,0 M 10 mL 19,20 19,10 19,15

VI. PERHITUNGAN

CH3COOH 1 M (Pengulangan I)

Diketahui : M NaOH = 0,5 M

V NaOH = 19,20 mL

V HCl awal = 25 mL

M CH3COOH awal = 1 M

V CH3COOH pada titrasi = 10 mL

Ditanya : a. C0 asetat = . . . . . . . . ?

b. C1 (lapisan air) = . . . . . . . . ?

c. C2 (lapisan eter) = . . . . . . . . .?

d. KD = . . . . . . . . .?

e. n = . . . . . . . . .?

Jawab :

CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O

mmol NaOH = M NaOH x V NaOH

= 0,5 M x 19,20 mL

= 9,20 mmol

mmol NaOH = mmol CH3COOH (setelah pengocokan) = 9,20 mmol

Konsentrasi CH3COOH dalam 10 mL dalam fase air (C1)

Page 7: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

[ CH3 COOH ]=nCH3COOH

V CH3 COOH =9 ,20 mmol

10 mL[ CH3 COOH ]=0 ,920 mmol /mL

mmol CH3COOH dalam 25 mL dalam fase air

mmol CH3COOH = M CH3COOH x V CH3COOH

= 0,920 mmol/mL x 25 mL

= 23 mmol

Jadi, mmol CH3COOH awal (sebelum pengocokan) = M CH3COOH x V CH3COOH

= 1 M x 25 mL

= 25 mmol

mmol fase organik = mmol CH3COOH sebelum pengocokan - mmol CH3COOH

setelah pengocokan

= 25 mmol – 23 mmol

= 2 mmol

[ fase organik ]=n fase organik V fase organik

=2 mmol25 mL

[ fase organik ]=0 ,08 mmol /mL(C2)

K D=[ faseorganik ][ faseair ]

=C2

C1

=0 , 08 M0 , 920 M

K D=0 ,0869

Adapun n = 1, karena pada percobaan ini dilakukan penambahan dietil eter sebanyak

satu kali.

CH3COOH 1 M (Pengulangan II)

Diketahui : M NaOH = 0,5 M

V NaOH = 19,10 mL

V HCl awal = 25 mL

M CH3COOH awal = 1 M

V CH3COOH pada titrasi = 10 mL

Ditanya : a. C0 asetat = . . . . . . . . ?

f. C1 (lapisan air) = . . . . . . . . ?

g. C2 (lapisan eter) = . . . . . . . . .?

h. KD = . . . . . . . . .?

i. n = . . . . . . . . .?

Page 8: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

Jawab :

CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O

mmol NaOH = M NaOH x V NaOH

= 0,5 M x 19,10 mL

= 9,55 mmol

mmol NaOH = mmol CH3COOH (setelah pengocokan) = 9,55 mmol

Konsentrasi CH3COOH dalam 10 mL dalam fase air (C1)

[ CH3 COOH ]=n CH3 COOH

V CH3 COOH =9 ,55 mmol

10 mL[ CH3 COOH ]=0 ,9550 mmol /mL

mmol CH3COOH dalam 25 mL dalam fase air

mmol CH3COOH = M CH3COOH x V CH3COOH

= 0,9550 mmol/mL x 25 mL

= 23,8750 mmol

Jadi, mmol CH3COOH awal (sebelum pengocokan) = M CH3COOH x V CH3COOH

= 1 M x 25 mL

= 25 mmol

mmol fase organik = mmol CH3COOH sebelum pengocokan - mmol CH3COOH

setelah pengocokan

= 25 mmol – 23,8750 mmol

= 1,1250 mmol

[ fase organik ]=n fase organik V fase organik

=1 ,1250mmol25mL

[ fase organik ]=0 ,0450mmol /mL(C2)

K D=[ faseorganik ][ faseair ]

=C2

C1

=0 ,0450 M0 ,9550 M

K D=0 ,0471

Adapun n = 1, karena pada percobaan ini dilakukan penambahan dietil eter sebanyak

satu kali.

CH3COOH 0,5 M ( Pengulangan I)

Diketahui:M NaOH = 0,5 M

V NaOH = 8,90 mL

V CH3COOH awal = 25 mL

Page 9: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

M CH3COOH awal = 0,5 M

V CH3COOH pada titrasi = 10 mL

Ditanya : a. C0 asetat = . . . . . . . . ?

b. C1 (lapisan air) = . . . . . . . . ?

c. C2 (lapisan eter) = . . . . . . . . .?

d. KD = . . . . . . . . .?

e. n = . . . . . . . . .?

Jawab :

CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O

mmol NaOH = M NaOH x V NaOH

= 0,5 M x 8,90 mL

= 4,45 mmol

mmol NaOH = mmol CH3COOH (setelah pengocokan) = 4,45 mmol

Konsentrasi CH3COOH dalam 10 mL dalam fase air (C1)

[ CH3 COOH ]=n CH3 COOH

V CH3 COOH =4 , 45 mmol

10 mL

[ CH3 COOH ]=0 , 4450 mmol /mL(C1)

mmol CH3COOH dalam 25 mL dalam fase air

mmol CH3COOH = M CH3COOH x V CH3COOH

= 0,4450 mmol/mL x 25 mL

= 11,1250 mmol

Jadi, mmol CH3COOH awal (sebelum pengocokan) = M CH3COOH x V CH3COOH

= 0,5 M x 25 mL

= 12,5 mmol

mmol fase organik = mmol CH3COOH sebelum pengocokan - mmol CH3COOH

setelah pengocokan

= 12,5 mmol – 11,1250 mmol

= 1,375 mmol

[ fase organik ]=n fase organik V fase organik

=1 ,375 mmol25 mL

[ fase organik ]=0 ,0550 mmol /mL(C2)

K D=[ faseorganik ][ faseair ]

=C2

C1

=0 ,0550 M0 ,4450 M

K D=0 ,1236

Page 10: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

Adapun n = 1, karena pada percobaan ini dilakukan penambahan dietil eter sebanyak satu

kali.

CH3COOH 0,5 M ( Pengulangan I)

Diketahui:M NaOH = 0,5 M

V NaOH = 8,90 mL

V CH3COOH awal = 25 mL

M CH3COOH awal = 0,5 M

V CH3COOH pada titrasi = 10 mL

Ditanya : a. C0 asetat = . . . . . . . . ?

d. C1 (lapisan air) = . . . . . . . . ?

e. C2 (lapisan eter) = . . . . . . . . .?

f. KD = . . . . . . . . .?

g. n = . . . . . . . . .?

Jawab :

CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O

mmol NaOH = M NaOH x V NaOH

= 0,5 M x 8,90 mL

= 4,45 mmol

mmol NaOH = mmol CH3COOH (setelah pengocokan) = 4,45 mmol

Konsentrasi CH3COOH dalam 10 mL dalam fase air (C1)

[ CH3 COOH ]=n CH3 COOH

V CH3 COOH =4 , 45 mmol

10 mL

[ CH3 COOH ]=0 , 4450 mmol /mL(C1)

mmol CH3COOH dalam 25 mL dalam fase air

mmol CH3COOH = M CH3COOH x V CH3COOH

= 0,4450 mmol/mL x 25 mL

= 11,1250 mmol

Jadi, mmol CH3COOH awal (sebelum pengocokan) = M CH3COOH x V CH3COOH

= 0,5 M x 25 mL

= 12,5 mmol

mmol fase organik = mmol CH3COOH sebelum pengocokan - mmol CH3COOH

setelah pengocokan

= 12,5 mmol – 11,1250 mmol

= 1,375 mmol

Page 11: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

[ fase organik ]=n fase organik V fase organik

=1 ,375 mmol25 mL

[ fase organik ]=0 ,0550 mmol /mL(C2)

K D=[ faseorganik ][ faseair ]

=C2

C1

=0 ,0550 M0 ,4450 M

K D=0 ,1236

Adapun n = 1, karena pada percobaan ini dilakukan penambahan dietil eter sebanyak satu

kali.

VII. PEMBAHASAN

Praktikum kali ini yaitu penentuan koefisien distribusi, dimana tujuan dari

praktikum koefisien distribusi ini yaitu untuk menentukan harga koefisien distribusi

senyawa dalam dua pelarut yang tidak saling campur, mengenal pemisahan berdasarkan

ekstraksi cair-cair serta menentukan tetapan distribusi (KD) asam asetat dalam sistem

organik-air. Adapun prinsip metode ekstraksi cair-cair adalah distribusi zat terlarut

dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur.

Fenomena distribusi adalah suatu fenomena dimana distribusi suatu senyawa

antara dua fase cair yang tidak saling bercampur, tergantung pada interaksi fisik dan

kimia antara pelarut dan senyawa terlarut dalam dua fase yaitu struktur molekul. Suatu

zat dapat larut dalam dua macam pelarut yang keduanya tidak saling bercampur. Jika

kelebihan campuran atau zat padat ditambahkan ke dalam cairan yang tidak saling

bercampur tersebut maka zat tersebut akan mendistribusi diri di antara dua fase

sehingga masing-masing menjadi jenuh.

Dalam metode ini, sampel yang mengandung analit merupakan suatu larutan

(umumnya dalam air) yang juga mengandung zat-zat terlarut lainnya. Teknik ini

melibatkan dua fase cair yaitu cairan asal (sampel) dan satunya lagi adalah pelarut

pengekstraknya (pelarut). Menurut hukum distribusi Nernst, bila ke dalam dua pelarut

yang tidak saling bercampur dimasukkan solute yang dapat larut dalam kedua pelarut

tersebut maka akan terjadi pembagian kelarutan. Kedua pelarut tersebut umumnya

pelarut organik dan air. Perbandingan konsentrasi solute di dalam kedua pelarut

tersebut tetap, dan merupakan suatu tetapan pada suhu tetap. Tetapan tersebut disebut

tetapan distribusi atau koefisien distribusi yang dinyatakan sebagai perbandingan antara

fasa organic dan fasa air (Sodiq,2004:34).

Page 12: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

Pada pemisahan dua komponen yang tidak saling larut ini digunakan pelarut asam

asetat (CH3COOH) dan dietil eter (C4H10O). Pelarut asam asetat yang digunakan

tergolong asam lemah sehingga dapat terionisasi sebagian dalam air dan nilai ionisasi

asam tersebut dalam air dapat diabaikan. Pelarut dietil eter merupakan senyawa organik

yang bersifat volatil (mudah menguap) dan non polar. Selain itu dietil eter mudah

meledak dan terbakar. Dietil eter merupakan sebuah pelarut laboratorium yang umum

dan memiliki kelarutan terbatas di dalam air, sehingga sering digunakan untuk ekstrasi

cair-cair. Karena kurang rapat bila dibandingkan dengan air, lapisa eter biasanya berada

paling atas. Larutan asam asetat yang digunakan dalam percobaan ini memiliki

konsentrasi yang berbeda yaitu 0,5 mL dan 1 mL. Pertama-tama larutan asam asetat

sebanyak 25 mL dengan konsentrasi 1 M dimasukkan ke dalam corong pemisah,

kemudian ditambahkan dengan 25 mL dietil eter. Demikian halnya dengan larutan

asam asetat 1 M diberi perlakuan yang sama. Setelah dilakukan penambahan, campuran

tersebut kemudian dikocok selama 30 menit. Fungsi dari pengocokan yaitu agar

terjadinya distribusi asam asetat ke dalam fasa organik dan fasa air, serta untuk

memperbesar luas permukaan untuk membantu proses distribusi asam asetat pada

kedua fasa. Selain itu proses pengocokan dilakukan agar zat dapat mengadakan

keseimbangan antara yang larut dalam air dan yang larut dalam dietil eter. Pada

percobaan ini dilakukan pengocokan yang kuat dan agak lama agar gugus polar dan non

(kurang) polar dari asam asetat dapat bereaksi dengan fase air minyak. Gugus benzen

dari asam asetat merupakan gugus karbon yang memiliki momen dipol yang kecil

sehingga konsentrasi dielektiknya juga kecil dan gugus ini akan bereaksi dengan dietil

eter. Air memiliki momen dipol dan konstanta dielektriknya yang besar sehingga

bersifat polar jadi mudah menarik gugus polar dari asam asetat.

Setelah pencampuran asam asetat dengan dietil eter dalam corong pemisah,

terjadi penurunan temperatur larutan yang menyebabkan larutan terasa dingin dan saat

pengocokan dilakukan, larutan sering menghasilkan gas dimana gas yang terbentuk itu

berasal dari larutan dietil eter yang bersifat mudah menguap. Oleh sebab itu ketika

pengocokan dilakukan, sesekali gas harus dikeluarkan melalui kran. Pengeluaran gas

dilakukan saat gas memberikan tekanan yang kuat pada tutup corong pemisah. Jika gas

tidak dikeluarkan, dapat menyebabkan terjadinya ledakan pada corong pemisah. Dalam

prosedur percobaan seharusnya dilakukan pengocokan dilakukan selama 30 menit

dengan menggunakan pengocok magnetik sehingga kecepatan pengocokan konstan

namun prosedur tersebut tidak dapat dilakukan dengan baik karena pengocokan

Page 13: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

dilakukan secara manual sehingga kecepatan pengocokan tidak dapat berjalan dengan

konstan.

Apabila proses pengocokan selama 30 menit telah selesai, maka campuran asam

asetat dengan dietil eter dalam corong pemisah dibiarkan beberapa saat agar terjadi

pemisahan yang sempurna. Pemisahan larutan dapat terjadi karena campuran telah

mencapai keadaan setimbang. Pemisahan lapisan larutan menghasilkan 2 lapisan

larutan, dimana pada bagian bawah merupakan lapisan air yang mengandung asam

asetat atau disebut juga fase air sedangkan di bagian atas merupakan lapisan dietil eter

(fase organik). Pemisahan lapisan larutan ini menunjukkan bobot molekul dari larutan

yang terpisah, dimana larutan yang memiliki bobot molekul yang lebih bert berada di

bagian bawah sedangkan larutan yang memiliki bobot molekul yang lebih ringan

berada dibagian atas. Berdasarkan hasil pemisahan diketahui bahwa lapisan air yang

mengandung asam asetat memiliki bobot molekul lebih berat dibandingkan lapisan

dietil eter.

Proses selanjutnya yaitu proses pengeluaran lapisan air yang mengandung asam

asetat. Asam asetat yang keluar ditampung pada erlenmeyer yang kemudian akan

dipipet sebanyak 10 mL dan dititrasi dengan NaOH 0,5 M. Sedangkan lapisan dietil

eter dibuang, apabila lapisan dietil eter yang dititrasi maka akan terjadi saponifikasi.

Metode titrasi yang digunakan yaitu alkalimetri (penetralan) dimana asam asetat

bertindak sebagai titrat sedangkan NaOH bertindak sebagai titran. Pada titrasi ini, juga

terjadi reaksi netralisasi yaitu asam asetat yang dititrasi dengan titran basa akan

bereaksi sempurna dengan semua asam sehingga dapat diperoleh titik akhir titrasi yang

ditunjukkan dengan terjadinya perubahan warna larutan dari bening menjadi merah

muda. Indikator yang digunakan dalam titrasi ini adalah indikator fenolftalein.

Indikator ini merupakan asam diprotik dan tidak berwarna. Pada saat direaksikan,

fenolftalein terurai dahulu menjadi bentuk tidak berwarnanya dan kemudian, dengan

menghilangnya proton kedua dari indikator ini menjadi ion terkonjugat maka akan

dihasilkan warna merah muda. Adapun reaksi yang terjadi pada saat titrasi yaitu :

CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O

Proses titrasi dilakukan pengulangan sebanyak dua kali. Volume NaOH 0,5 M

yang diperlukan untuk menetralkan asam dalam larutan asam asetat 1 M secara

berturut-turut yaitu 19,20 mL dan 19,10 mL. Sedangkan untuk konsentrasi asam asetat

0,5 M volume NaOH yang diperlukan yaitu 8,90 mL dan 8,90 mL. Berdasarkan hasil

Page 14: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

tersebut dapat dilihat hubungan bahwa konsentrasi dengan volume NaOH yang

diperlukan adalah sebanding. Semakin besar konsentrasi asam (asam asetat) maka

semakin banyak volume basa (NaOH) yang diperlukan untuk menetralkan asam asetat

tersebut semakin banyak.

Dari volume NaOH yang diperoleh dapat dilakukan perhitungan untuk mencari

nilai koefisien distribusi dari percobaan yang dilakukan, sehingga diperoleh nilai KD

seperti yang tertera pada tabel dibawah ini.

B

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi asam asetat

maka volume NaOH yang diperlukan untuk menetralkan asam asetat tersebut semakin

banyak sehingga nilai koefisien distribusi semakin kecil. Demikian pula sebaliknya,

apabila semakin rendah konsentrasi asam asetat maka volume NaOH yang diperlukan

untuk menetralkan asam asetat tersebut semakin sedikit sehingga nilai koefisien

distribusi semakin besar. Koefisien distribusi suatu senyawa dalam dua larutan yang

tidak bercampur harus sama dengan dengan 1. Artinya bahwa senyawa tersebut

terdistribusi secara merata pada dua fase yaitu fase organik dan fase air. Jika nilai

koefisien distribusi kecil dari 1 maka senyawa tersebut cenderung untuk terdistribusi

dalam fase air dari pada fase organiknya ( dietil eter). Berdasarkan perhitungan yang

telah dilakukan, asam asetat dengan konsentrasi 0,5 M memiliki nilai koefisien

distribusi terbesar. Hal ini menunjukkan bahwa pada larutan asam asetat dengan

konsentrasi 0,5 M terjadi pemisahan yang sempurna. Hal ini sesuai dengan literatur,

dimana dinyatakan bahwa semakin besar nilai koefisien distribusi (KD) maka

pemisahan yang terjadi akan semakin sempurna. Dalam percobaan ini terjadi suatu

keadaan dimana sampel yang digunakan yaitu asam asetat mempunyai kecenderungan

untuk menuju ke salah satu fase yaitu fasa air.

VIII. KESIMPULAN

Konsentrasi Asam Asetat

Volume Asam Asetat (mL)Volume NaOH (mL)

I II K D I K D II

0,5 M 10 mL 8,90 8,90 0,1236 0,12361,0 M 10 mL 19,20 19,10 0,0869 0,0471

Page 15: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

1. Fase yang terbentuk setelah proses pemisahan yaitu fase air berada di bagian

bawah dan fase organik (larutan dietil eter) berada di bagian atas.

2. Fungsi pengocokan adalah untuk membesar luas permukaan untuk membantu

proses distribusi asam asetat pada kedua fasa.

3. Pelarut yang memiliki bobot molekul yang lebih besar akan berada di lapisan

bawah, sedangkan pelarut yang memiliki bobot molekul yang lebih kecil akan

berada di lapisan atas.

4. Titrasi yang dilakukan termasuk jenis titrasi alkalimetri yaitu reaksi penetralan

dengan menggunakan indikator fenolftalein sebagai pendeteksi titik akhir titrasi.

5. Volume larutan NaOH yang dipergunakan dalam titrasi secara berturut-turut

untuk asam asetat 0,5 M yaitu 8,90 mL dan 8,90 mL. Sedangkan untuk asam

asetat 1 M volume NaOH yang diperlukan yaitu 19,20 mL dan 19,10 mL.

6. Volume larutan NaOH yang diperlukan dalam titrasi sebanding dengan

konsentrasi asam asetat yang digunakan. Semakin besar konsentrasi asam asetat

maka volume NaOH yang diperlukan semakin besar, demikian pula sebaliknya.

7. Nilai Kd yang diperoleh dari hasil perhitungan untuk asam asetat dengan

konsentrasi 0,5 M diperoleh hasil yang sama yaitu 0,1236. Sedangkan untuk asam

asetat 0,1 M, nilai Kd yang diperoleh yaitu 0,0869 dan 0,0471.

8. Semakin besar nilai koefien distribusi (KD) maka pemisahan yang dihasilkan akan

semakin sempurna.

Page 16: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

DAFTAR PUSTAKA

Day, JR and A, L, Underwood.2002.Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam.Erlangga. Jakarta.

Ibn,Shodiq.2004. Kimia Analitik II.Malang:UNM Press.

Nur, A. M dan Hendra A. J. 1989.Tehnik Pemisahan dalam Analisis Biologis. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, IPB: Bogor.]

Subjadi. 1986. Metode Pemisahan.Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada: Yogyakarta

Tim Laboratorium Kimia Fisika. 2012.Penuntun Praktikum Kimia Fisika III. Jurusan Kimia

F.MIFA Universitas Udayana: Bukit Jimbaran.

Page 17: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

LAMPIRAN

A. Jawaban Pertanyaan

1. Konsentrasi awal larutan asam asetat sebelum diekstraksi (C0) adalah sebesar 0,5 M

dan 1 M.

2.

CH3COOH 1 M (Pengulangan I)

Diketahui : M NaOH = 0,5 M

V NaOH = 19,20 mL

V HCl awal = 25 mL

M CH3COOH awal = 1 M

V CH3COOH pada titrasi = 10 mL

Ditanya : a. C0 asetat = . . . . . . . . ?

j. C1 (lapisan air) = . . . . . . . . ?

k. C2 (lapisan eter) = . . . . . . . . .?

l. KD = . . . . . . . . .?

m. n = . . . . . . . . .?

Jawab :

CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O

mmol NaOH = M NaOH x V NaOH

= 0,5 M x 19,20 mL

= 9,20 mmol

mmol NaOH = mmol CH3COOH (setelah pengocokan) = 9,20 mmol

Konsentrasi CH3COOH dalam 10 mL dalam fase air (C1)

[ CH3 COOH ]=nCH3COOH

V CH3 COOH =9 ,20 mmol

10 mL[ CH3 COOH ]=0 ,920 mmol /mL

Page 18: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

mmol CH3COOH dalam 25 mL dalam fase air

mmol CH3COOH = M CH3COOH x V CH3COOH

= 0,920 mmol/mL x 25 mL

= 23 mmol

Jadi, mmol CH3COOH awal (sebelum pengocokan) = M CH3COOH x V CH3COOH

= 1 M x 25 mL

= 25 mmol

mmol fase organik = mmol CH3COOH sebelum pengocokan - mmol CH3COOH

setelah pengocokan

= 25 mmol – 23 mmol

= 2 mmol

[ fase organik ]=n fase organik V fase organik

=2 mmol25 mL

[ fase organik ]=0 ,08 mmol /mL(C2)

K D=[ faseorganik ][ faseair ]

=C2

C1

=0 ,08 M0 ,920 M

K D=0 ,0869

Adapun n = 1, karena pada percobaan ini dilakukan penambahan dietil eter sebanyak

satu kali.

CH3COOH 1 M (Pengulangan II)

Diketahui : M NaOH = 0,5 M

V NaOH = 19,10 mL

V HCl awal = 25 mL

M CH3COOH awal = 1 M

V CH3COOH pada titrasi = 10 mL

Ditanya : a. C0 asetat = . . . . . . . . ?

n. C1 (lapisan air) = . . . . . . . . ?

o. C2 (lapisan eter) = . . . . . . . . .?

p. KD = . . . . . . . . .?

q. n = . . . . . . . . .?

Jawab :

CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O

mmol NaOH = M NaOH x V NaOH

Page 19: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

= 0,5 M x 19,10 mL

= 9,55 mmol

mmol NaOH = mmol CH3COOH (setelah pengocokan) = 9,55 mmol

Konsentrasi CH3COOH dalam 10 mL dalam fase air (C1)

[ CH3 COOH ]=n CH3 COOH

V CH3 COOH =9 ,55 mmol

10 mL[ CH3 COOH ]=0 ,9550 mmol /mL

mmol CH3COOH dalam 25 mL dalam fase air

mmol CH3COOH = M CH3COOH x V CH3COOH

= 0,9550 mmol/mL x 25 mL

= 23,8750 mmol

Jadi, mmol CH3COOH awal (sebelum pengocokan) = M CH3COOH x V CH3COOH

= 1 M x 25 mL

= 25 mmol

mmol fase organik = mmol CH3COOH sebelum pengocokan - mmol CH3COOH

setelah pengocokan

= 25 mmol – 23,8750 mmol

= 1,1250 mmol

[ fase organik ]=n fase organik V fase organik

=1 ,1250mmol25mL

[ fase organik ]=0 ,0450mmol /mL(C2)

K D=[ faseorganik ][ faseair ]

=C2

C1

=0 ,0450 M0 ,9550 M

K D=0 ,0471

Adapun n = 1, karena pada percobaan ini dilakukan penambahan dietil eter sebanyak

satu kali.

CH3COOH 0,5 M ( Pengulangan I)

Diketahui:M NaOH = 0,5 M

V NaOH = 8,90 mL

V CH3COOH awal = 25 mL

M CH3COOH awal = 0,5 M

V CH3COOH pada titrasi = 10 mL

Ditanya : a. C0 asetat = . . . . . . . . ?

Page 20: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

f. C1 (lapisan air) = . . . . . . . . ?

g. C2 (lapisan eter) = . . . . . . . . .?

h. KD = . . . . . . . . .?

i. n = . . . . . . . . .?

Jawab :

CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O

mmol NaOH = M NaOH x V NaOH

= 0,5 M x 8,90 mL

= 4,45 mmol

mmol NaOH = mmol CH3COOH (setelah pengocokan) = 4,45 mmol

Konsentrasi CH3COOH dalam 10 mL dalam fase air (C1)

[ CH3 COOH ]=n CH3 COOH

V CH3 COOH =4 , 45 mmol

10 mL

[ CH3 COOH ]=0 , 4450 mmol /mL(C1)

mmol CH3COOH dalam 25 mL dalam fase air

mmol CH3COOH = M CH3COOH x V CH3COOH

= 0,4450 mmol/mL x 25 mL

= 11,1250 mmol

Jadi, mmol CH3COOH awal (sebelum pengocokan) = M CH3COOH x V CH3COOH

= 0,5 M x 25 mL

= 12,5 mmol

mmol fase organik = mmol CH3COOH sebelum pengocokan - mmol CH3COOH

setelah pengocokan

= 12,5 mmol – 11,1250 mmol

= 1,375 mmol

[ fase organik ]=n fase organik V fase organik

=1 ,375 mmol25 mL

[ fase organik ]=0 ,0550 mmol /mL(C2)

K D=[ faseorganik ][ faseair ]

=C2

C1

=0 ,0550 M0 ,4450 M

K D=0 ,1236

Adapun n = 1, karena pada percobaan ini dilakukan penambahan dietil eter sebanyak satu

kali.

CH3COOH 0,5 M ( Pengulangan I)

Page 21: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

Diketahui:M NaOH = 0,5 M

V NaOH = 8,90 mL

V CH3COOH awal = 25 mL

M CH3COOH awal = 0,5 M

V CH3COOH pada titrasi = 10 mL

Ditanya : a. C0 asetat = . . . . . . . . ?

h. C1 (lapisan air) = . . . . . . . . ?

i. C2 (lapisan eter) = . . . . . . . . .?

j. KD = . . . . . . . . .?

k. n = . . . . . . . . .?

Jawab :

CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O

mmol NaOH = M NaOH x V NaOH

= 0,5 M x 8,90 mL

= 4,45 mmol

mmol NaOH = mmol CH3COOH (setelah pengocokan) = 4,45 mmol

Konsentrasi CH3COOH dalam 10 mL dalam fase air (C1)

[ CH3 COOH ]=n CH3 COOH

V CH3 COOH =4 , 45 mmol

10 mL

[ CH3 COOH ]=0 , 4450 mmol /mL(C1)

mmol CH3COOH dalam 25 mL dalam fase air

mmol CH3COOH = M CH3COOH x V CH3COOH

= 0,4450 mmol/mL x 25 mL

= 11,1250 mmol

Jadi, mmol CH3COOH awal (sebelum pengocokan) = M CH3COOH x V CH3COOH

= 0,5 M x 25 mL

= 12,5 mmol

mmol fase organik = mmol CH3COOH sebelum pengocokan - mmol CH3COOH

setelah pengocokan

= 12,5 mmol – 11,1250 mmol

= 1,375 mmol

[ fase organik ]=n fase organik V fase organik

=1 ,375 mmol25 mL

[ fase organik ]=0 ,0550 mmol /mL(C2)

Page 22: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

K D=[ faseorganik ][ faseair ]

=C2

C1

=0 , 0550 M0 , 4450 M

K D=0 ,1236

Adapun n = 1, karena pada percobaan ini dilakukan penambahan dietil eter sebanyak satu

kali.

3. Asam asetat dalam pelarut non polar tidak membentuk n-mer, karena asam asetat

merupakan pelarut polar yang tidak larut dalam pelarut non polar.

Page 23: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA II

KOEFISIEN DISTRIBUSI

Oleh :

Nama : Ni Made Susita Pratiwi

Nim : 1008105005

Kelompok : II

Tanggal Praktikum : 23 Oktober 2012

Page 24: Laporan Praktikum Koefisien Distribusi

LABORATORIUM KIMIA FISIK

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2012