laporan pendahuluan polip nasal

19
LAPORAN PENDAHULUAN POLIP NASAL Disusun Oleh: DINA MUKMILAH MAHARIKA 115070201131024 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Upload: dinapurplelovers

Post on 13-Dec-2015

185 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

polip nasal

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Pendahuluan Polip Nasal

LAPORAN PENDAHULUAN

POLIP NASAL

Disusun Oleh:

DINA MUKMILAH MAHARIKA 115070201131024

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2015

Page 2: Laporan Pendahuluan Polip Nasal

1. DEFINISI

Polip nasi adalah suatu proses inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus

paranasi yang ditandai dengan adanya massa yang edematous pada rongga hidung (Kern

et.al, 2013).

Polip adalah penyakit yang menyerang rongga hidung. Penyebabnya adalah

tumbuhnya daging kecil (tumor lunak) di dalam rongga hidung akibat peradangan rinitis

alergica yang tidak segera diobati. Di samping harus menjalani pengobatan, penderita

penyakit ini juga harus menghindari pajanan berupa debu, serbuk sari (polen), bulu

binatang, asap rokok dan asap pabrik.

Polip nasi muncul seperti anggur pada rongga hidung bagian atas, yang berasal dari

dalam kompleks ostiomeatal. Polip nasi terdiri dari jaringan ikat longgar, edema, sel-sel

inflamasi dan beberapa kelenjar dan kapiler dan ditutupi dengan berbagai jenis epitel,

terutama epitel pernafasan pseudostratified dengan silia dan sel goblet (Chojnowska, 2013).

Sebelumnya polip nasal disebutkan dalam catatan Hippocrates dari abad ke-4 SM

(Ślifirski, 2008) kemudian terjadinya polip nasal dikonfirmasi pada prasasti batu nisan Raja

Sabur yang bertuliskan “Nostril Freed” oleh dokter Mesir Ni-Ankh Sekhmed.

Gambar polip nasal dengan menggunakan

endoskopi di Departemen Laryngology, Rumah

Białystok. (Chojnowska, 2013).

Gambar polip nasal yang telah berhasil diambil dari

rongga hidung di Departemen Laryngology, Rumah

Białystok. (Chojnowska, 2013).

Page 3: Laporan Pendahuluan Polip Nasal

2. EPIDEMIOLOGI

Insidensi polip nasi sulit diperkirakan. Di Amerika Serikat diperkirakan 0,3%

penduduk dewasanya menderita kelainan ini, sedangkan di Inggris lebih tinggi lagi, yaitu

sekitar 0,2-3% (Becker, 2007). Frekuensi kejadian polip nasi meningkat sesuai dengan

umur, dimana mencapai puncaknya pada umur sekitar 50 tahun. Kejadian polip nasi lebih

banyak dialami pria dibanding wanita dengan perbandingan 2,2:1. Polip nasi jarang

ditemukan pada anak-anak. Anak dengan polip nasi harus dilakukan pemeriksaan terhadap

kemungkinan adanya cystic fibrosis karena cystic fibrosis merupakan faktor resiko bagi

anak-anak untuk menderita polip.

Prevalensi polip nasal dalam populasi diperkirakan 1-4%, walaupun bukti pendukung

untuk temuan ini adalah langka (Larsen, 2002). Laporan yang terdahulu menyebutkan

bahwa prevalensi polip nasal mulai dari 0,2 (Falliers, 1974) sampai 2,2% (Havas, 1988), dan

studi otopsi telah melaporkan kejadian bilateral polip nasal berkisar antara 1,5 (Suttner,

1992) sampai 2% (Larsen, 1991).

Page 4: Laporan Pendahuluan Polip Nasal

3. KLASIFIKASI

Menurut Chojnowska (2013), klasifikasi polip nasal berdasarkan derajatnya dibagi

menjadi tiga yaitu sebagai berikut:

Derajat Gambar Keterangan

0o Tidak terdapat polip

1o Polip ringan (polip kecil yang

tidak mencapai tepi atas

bagian bawah concha nasal)

2o Polip sedang (polip yang

letaknya di antara bagian

atas dan bawah dari concha

nasal. Polip jenis ini

menyebabkan penurunan

yang signifikan dari

permeabilitas rongga

hidung).

3o Polip berat (polip yang

menutupi seluruh area

concha nasalI, dari tepi atas

hingga tepi bawah. Polip ini

menyebabkan jumlah oklusi

aliran udara, di bagian

rongga hidung. Aliran udara

tidak mampu masuk melalui

hidung yang terkena polip)

Page 5: Laporan Pendahuluan Polip Nasal

Menurut Tos (1992), berdasarkan histologisnya terdapat 4 tipe dari polip nasi:

Eosinofilik edematous. Tipe ini merupakan jenis yang paling banyak ditemui yang

meliputi kira-kira 85% kasus. Tipe ini ditandai dengan adanya stroma yang edema,

peningkatan sel goblet dalam jumlah normal, jumlah eosinofil yang meningkat tinggi,

sel mast dalam stroma, dan penebalan membran basement.

Polip inflamasi kronik. Tipe ini hanya terdapat kurang dari 10% kasus polip nasi. Tipe

ini ditandai dengan tidak ditemukannya edema stroma dan penurunan jumlah dari sel

goblet. Penebalan dari membran basement tidak nyata. Tanda dari respon inflamasi

mungkin dapat ditemukan walaupun yang dominan adalah limfosit. Stroma terdiri

atas fibroblas.

Polip dengan hiperplasia dari glandula seromusinous. Tipe ini hanya terdapat kurang

dari 5% dari seluruh kasus. Gambaran utama dari tipe ini adalah adanya glandula

dan duktus dalam jumlah yang banyak.

Polip dengan atipia stromal  Tipe ini merupakan jenis yang jarang ditemui dan dapat

mengalami misdiagnosis dengan neoplasma. Sel stroma abnormal atau

menunjukkan gambaran atipikal, tetapi tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai

suatu neoplasma.

Pada polip nasi, tapi peningkatan IgE merupakan jenis yang paling tinggi ditemukan

bahkan apabila dibandingkan dengan tonsil dan serum sekalipun. Kadar IgG, IgA, IgM

terdapat dalam jumlah bervariasi, dimana peningkatan jumlah memperlihatkan adanya

infeksi pada saluran napas.

Beberapa mediator inflamasi juga dapat ditemukan di dalam polip. Histamin

merupakan mediator terbesar yang konsentrasinya di dalam stroma polip 100-1000

konsentrasi serum. Mediator kimia lain yang ikut dalam patogenesis dari nasal polip adalah

Gamma Interferon (IFN-γ) dan Tumour Growth Factor β (TGF-β). IFN-γ menyebabkan

migrasi dan aktivasi eosinofil yang melalui pelepasan toksiknya bertanggungjawab atas

kerusakan epitel dan sintesis kolagen oleh fibroblas . TGF-β yang umumnya tidak ditemukan

dalam mukosa normal merupakan faktor paling kuat dalam menarik fibroblas dan

meransang sintesis matrik ekstraseluler. Peningkatan mediator ini pada akhirnya akan

merusak mukosa rinosinusal yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap

natrium sehingga mencetuskan terjadinya edema submukosa pada polip nasi.

Page 6: Laporan Pendahuluan Polip Nasal

4. ETIOLOGI

Banyak teori yang menyatakan bahwa polip merupakan manifestasi utama dari

inflamasi kronis, oleh karena itu kondisi yang menyebabkan inflamasi kronis dapat

menyebabkan polip nasi. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan polip nasi seperti

alergi dan non alergi, sinusitis alergi jamur, intoleransi aspirin, asma, sindrom Churg-Strauss

(demam, asma, vaskulitis eosinofilik, granuloma), fibrosis kistik, Primary ciliary dyskinesia,

Kartagener syndrome (rinosinusitis kronis, bronkiektasis, situs inversus), dan Young

syndrome (sinopulmonary disease, azoospermia, polip nasi) (Kirtreesakul 2002).

Beberapa mekanisme lain terbentuknya polip nasi juga telah dikemukakan antara

lain ketidak seimbangan vasomotor, gas NO, superantigen, gangguan transportasi ion

transepitel, gangguan polisakarida, dan ruptur epitel (Assanasen 2001, Kirtreesakul 2002).

Patogenesis polip nasi masih belum diketahui. Perkembangan polip telah

dihubungkan dengan inflamasi kronik, disfungsi sistem saraf autonom dan predisposisi

genetik. Berbagai keadaan telah dihubungkan dengan polip nasi, yang dibagi menjadi

rinosinusitis kronik dengan polip nasi eosinofilik dan rinosinuritis kronik dengan polip nasi

non eosinofilik, biasanya neutrofilik (Drake Lee,1997; Ferguson & Orlandi,2006;

Mangunkusumo & Wardani 2007).

Pada penelitian akhir-akhir ini dikatakan bahwa polip berasal dari adanya epitel

mukosa yang rupture oleh karena trauma, infeksi, dan alergi yang menyebabkan edema

mukosa, sehingga jaringan menjadi prolaps (King 1998). Fenomena Bernoulli menyatakan

bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan

negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terisap oleh tekanan negatif

sehingga mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip. Fenomena ini

menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari area yang sempit di kompleks

ostiomeatal di meatus media. Walaupun demikian polip dapat timbul dari tiap bagian

mukosa hidung atau sinus paranasi dan sering kali bilateral atau multiple (Nizar &

Mangunkusumo 2001).

5. FAKTOR RESIKO

A. Alergi dan Asma

Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa pembentukan polip nasal terjadi karena

respons alergi (atopi) dari alergen melalui inhalasi. Namun menurut penelitian baru-baru ini

dinyatakan bahwa hubungan antara polip nasal dan respon alergi adalah lemah. Prevalensi

polip nasal pada pasien dengan rhinitis alergi diperkirakan antara 1,5 (Settipane, 1977) -

1,7% (Grigoreas, 2002).

Page 7: Laporan Pendahuluan Polip Nasal

Dalam salah satu penyelidikan yang melibatkan lebih dari 2.000 pasien, Settipane

melaporkan bahwa polip nasal lebih umum terdapat pada penderita nonallergic

asma dari pada penderita asma alergi (13 vs 5%, p <0,01) (Settipane, 1996). Data ini

diperkuat oleh Grigoeras et.al yang menganalisis 3.817 pasien Yunani

dengan rinitis kronis dan asma. Secara keseluruhan, insiden polip nasal pada populasi ini

adalah pada penderita asma nonallergic dibanding penderita asma alergi (13 vs 2,4%).

Patofisiologi kronik rhinosinusitis dan asma mungkin mencerminkan respons

inflamasi kronis baik di saluran nafas atas maupun bawah. Peningkatan eusinofil terjadi

pada polip nasal dengan kronik rhinosinusitis (Jankowski, 2002). Infiltrat inflamasi seluler

pada penderita asma juga terdiri dari eosinofil, sel mast, dan limfosit CD4+ T (Sutherland,

2003). Bachert et.al. menyatakan bahwa hubungan antara kronik rhinosinusitis yang parah

dan asma mungkin karena produksi sitokin inflamasi di saluran udara yang menginduksi

peningkatan regulasi eosinofil, sel mast, basofil dan oleh peningkatan regulasi sumsum

tulang. Sel-sel inflamasi ini kemudian bermigrasi ke mukosa jalan napas menghasilkan

espon inflamasi reaktif yang mengarah ke pembentukan polip nasal (Bachert, 2006).

B. Jenis Kelamin dan Usia

Penelitian-penelitian sebelumnya telah mengemukakan bahwa kejadian polip nasal

meningkat seiring dengan meningkatnya usia (Grigoreas, 2002 dan Settipane, 1996).

Settipane melaporkan bahwa frekuensi polip nasal

mencapai puncaknya pada pasien yang berusia 50 tahun ke atas

(Settipane, 1996). Selain itu, ia melaporkan bahwa penderita asma yang berusia lebih dari

40 tahun empat kali lebih mungkin untuk mengalami polip nasal dari pada

mereka yang berusia di bawah 40 (12,4 vs 3,1%, p <0,01) (Settipane, 1996). Larsen et.al

menyatakan bahwa dari 252 pasien, mereka mengamati polip nasal

paling sering terjadi pada pasien yang berusia 40-60 tahun.

Selain itu, pasien yang berusia lebih dari 80 tahun tidak mungkin

untuk memiliki polip nasal. Usia rata-rata diagnosis adalah polip nasal adalah 51 tahun

pada laki-laki dan 49 tahun pada perempuan.

Penemuan polip nasal pada anak-anak sangat jarang.

Kejadian polip nasal diperkirakan pada pasien yang berusia kurang dari 16

tahun adalah 0,1 (Settipane, 1996) sampai 0,216% (Larsen, 2002). Dalam sebuah studi dari

1.051 pasien alergi pediatrik, hanya satu pasien yang memiliki polip nasal [40].

Jika NP ditemukan pada anak, hasil pemeriksaan untuk cystic fibrosis

(CF) harus dilakukan.

Page 8: Laporan Pendahuluan Polip Nasal

Sama halnya dengan usia, terdapat literatur yang beragam dalam kaitannya dengan

dampak jenis kelamin pada pengembangan polip nasal. Pada penelitian Settipane ini dari

211 pasien polip nasal, prevalensi polip nasal pada laki-laki dan perempuan adalah 50,2

dibanding 49,8% (Settipane, 1977). Resiko perempuan pasien dengan polip nasal adalah

2,9 di usia 40-50 dan maksimal 6,0 untuk pasien yang berusia antara 80-89 tahun (Larsen,

2002). Kejadian polip nasal yang terbesar pada laki-laki dan perempuan dalam rentang usia

40-69 tahun. Dalam kelompok ini, polip hadir di 1,68 laki-laki dan 0,82 pasien perempuan

per seribu per tahun.

C. Genetik

Penelitian telah menunjukkan bahwa sampai 14%

pasien dengan NP memiliki riwayat keluarga NP (Greisner, 1995).

Dalam kohort yang melibatkan 174 pasien polip nasal, 25% memiliki hubungan utama

dengan keluarga yang memiliki polip (orang tua, saudara, atau anak) (Cohen, 2006).

Ada berbagai gangguan secara genetik yang dapat mendasari terjadinya polip nasal.

Cystic fibrosis adalah gangguan resesif autosomal disebabkan oleh mutasi pada gen cystic

fibrosis conductance regulator (CFTR). Produk gen dari CFTR adalah saluran ion klorida

terutama di eksokrin yang kelenjar paru-paru, hati, pankreas, dan usus. Sekitar, 20% pasien

dengan cystic fibrosis memiliki polip nasal (Settipane, 1996).

D. Intoleran Aspirin

Polip nasal sering diamati pada pasien yang tidak sensitif aspirin (asam aseti

lsalisilat) atau NSAID. Obat ini dapat menginduksi respon asma akut dalam 30-90 menit dari

konsumsi (Samter, 1968). Tiga gejala yang meliputi asma bronkial, kronik rhinosinusitis

dengan polip nasal dan ketidakpekaan aspirin sering disebut sebagai triad Samter atau

ASA-triad. Dalam sebagian besar pasien yang terkena, aspirin dapat

menghasilkan respon akut bronkus dengan rhinorrhea

dan sumbatan hidung (Pleskow, 1983). Telah diperkirakan bahwa sampai

50% pasien intoleran aspirin memiliki polip nasal dan bahwa

36% pasien dengan polip nasal mungkin memiliki beberapa bentuk intoleran terhadap

analgesik lain (Settipane, 1996).

Perkembangan sepenuhnya menyadari triad-ASA kemungkinan terjadi dari waktu ke

waktu. Awalnya, pasien mungkin hadir dengan rhinitis kronis. Dalam 5-10 tahun, aspirin

menginduksi asma akan menjadi jelas. Tak lama kemudian, polip nasal

menjadi menonjol (Probst, 1992). Sel epitel dari pasien dengan triad-ASA memiliki kelainan

Page 9: Laporan Pendahuluan Polip Nasal

pada basal dan aspirin-induced generation of eicosanoid (produk yang berasal dari

metabolisme asam arakidonat termasuk prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien),

akhirnya menyebabkan sensitivitas aspirin (Kowalski, 2000). Polip nasal dari

pasien triad-ASA menunjukkan peningkatan edema dan infiltrat inflamasi dibandingkan

dengan pasien polip nasal dengan aspirin toleran (Batra, 2003).

E. Allergic Fungal Rhinosinusitis (AFRS)

Sekitar 5-10% dari kronik rhinosinusitis dengan pasien polip nasal memiliki AFRS.

Penyakit ini biasanya penyakit orang dewasa muda, dengan usia rata-rata diagnosis antara

22-28 tahun, yang secara signifikan lebih rendah dari pada yang diamati pada pasien non-

AFRS. Penelitian telah menunjukkan bahwa ada peningkatan prevalensi AFRS di daerah

yang lebih beriklim lembab. Dimungkinkan juga bahwa status sosial ekonomi yang rendah,

kurangnya akses perawatan kesehatan, mungkin juga telah memungkinkan untuk

perkembangan penyakit ini.

F. Etnis dan Geografis

Pada ras Kaukasia, polip nasal telah terbukti memiliki komponen eosinophilic kuat,

kemungkinan karena regulasi interleukin (IL)-5 yang tinggi (Bachert, 1997). Selain

peningkatan IL-5, eotaksin dan eosinofilik kationik protein (ECP) secara signifikan meningkat

pada pasien polip nasal dan mengindikasikan eosinophilic inflamasi diperkuat [45]. Selain

itu, Transforming Growth Factor (TGF) β1, sebuah sitokin yang dikenal untuk merangsang

matriks ekstraselular dan menghambat sintesis IL-5 mengalami penurunan pada pasien

dengan polip nasal. Oleh karena itu, kaskade sitokin

berpuncak pada kelebihan produksi IL-5, dengan

downregulation TGF-b1, mungkin mempotensiasi respon eosinophilic dan memiliki efek

merusak pada matriks ekstraselular secara bersamaan.

6. MANIFESTASI KLINIS

Penderita polip menunjukkan gejala sebagai berikut:

1. Hidung seperti tersumbat

2. Rongga hidung terasa gatal dan pedih

3. Sering bersin

4. Mata berair akibat alergi

5. Terkadang disertai dengan demam

Page 10: Laporan Pendahuluan Polip Nasal

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Dengan pemeriksaan rhinoskopi anterior  biasanya polip sudah dapat dilihat, polip

yang masif seringkali menciptakan kelainan pada hidung bagian luar. Pemeriksaan Rontgen

dan CT scan dapat dilakukan untuk

Polip biasanya tumbuh di daerah dimana selaput lendir membengkak akibat

penimbunan cairan, seperti daerah di sekitar lubang sinus pada rongga hidung. Ketika baru

terbentuk, sebuah polip tampak seperti air mata dan jika telah matang, bentuknya

menyerupai buah anggur yang berwarna keabu-abuan.

Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung

tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat

terlihat adanya massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah

digerakkan.

A. Naso-endoskopi

Naso-endoskopi memberikan gambaran yang baik dari polip, khususnya polip

berukuran kecil di meatus media. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada

pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksan naso-endoskopi. Pada

kasus polip koanal juga dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus

maksila. Dengan naso-endoskopi dapat juga dilakukan biopsi pada layanan rawat jalan

tanpa harus ke meja operasi.

B. Pemeriksaan Radiologi

Foto polos sinus paranasal (posisi water, AP, caldwell, dan lateral) dapat memperlihatkan

penebalan mukosa dan adanya batas udara dan cairan di dalam sinus, tetapi pemeriksaan

ini kurang bermanfaat pada pada kasus polip. Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat

untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada kelainan

anatomi, polip, atau sumbatan pada komplek osteomeatal. CT scan terutama diindikasikan

pada kasus polip yang gagal diterapi dengan medikamentosa.

Page 11: Laporan Pendahuluan Polip Nasal

8. PENATALAKSANAAN

Polip nasi sangat mengganggu pada kebanyakan pasien. Penyakit ini sering

berulang dan memerlukan pengobatan yang lama sampai bertahun-tahun. Dengan demikian

pengobatannya bertujuan untuk mengurangi besarnya atau menghilangkan polip agar aliran

udara hidung menjadi lapang dan penderita dapat bernafas dengan baik. Selanjutnya

gejala-gejala rinitis dapat dihilangkan dan fungsi penciuman kembali normal. Terdapat

beberapa pilihan pengobatan untuk polip nasi mulai dari pemberian obat-obatan,

pembedahan konvensional sederhana dengan menggunakan snare polip sampai pada

bedah endoskopi yang memakai alat lebih lengkap. Walaupun demikian, angka

kekambuhan masih tetap tinggi sehingga memerlukan sejumlah operasi ulang (Munir 2006).

Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi adalah menghilangkan keluhan-

keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. Pemberian kortikosteroid

untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi medikamentosa. Dapat di berikan

topikal atau sistemik. Polip eosinofilik memberikan respon yang lebih baik terhadap

pengobatan kortikosteroid intranasi dibandingkan polip tipe neutrofilik. Kasus polip yang

tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan

untuk terapi bedah (Mangunkusumo, Wardani 2007).

A. Pembedahan (Polypectomy)

Nasal Polypectomy adalah prosedur pembedahan untuk menghilangkan polip

terletak di bagian hidung. Polypectomy hidung diindikasikan untuk gejala yang tidak

terkontrol atau yang telah melakukan terapi medis namun gagal (Fokkens, 2005 dan

Guilemany, 2010). Polypectomy hidung merupakan kontraindikasi untuk penyakit tanpa

gejala atau dengan komorbiditas pasien yang signifikan termasuk, namun tidak terbatas

pada, penyakit jantung dan paru, gangguan perdarahan yang signifikan, atau diabetes tidak

terkontrol atau asma.

Perencanaan pra-Prosedur

Penilaian pra operasi CT scan adalah kriteria standar. Beberapa ahli bedah juga

menggunakan pencitraan computed tomography intraoperatif atau peralatan

neuronavigational untuk membantu mengidentifikasi landmark dan / atau selama kasus

revisi untuk lebih meningkatkan keselamatan pasien.

Page 12: Laporan Pendahuluan Polip Nasal

Peralatan

Instrumentasi Sinus umumnya meliputi:

Cup forceps

Through-cutting forceps

Backbiting instruments

Curettes

Probes

Suctions

Powered instrumentation

Sinus rigid endoscopes of varying degrees

Persiapan Pasien

a) Anestesi

Topikal intranasal oxymetazoline atau kokain cair dapat diterapkan untuk pledgets

ditempatkan ke dalam hidung. Lidocaine dengan epinephrine dapat disuntikkan ke

dalam septum, sinus anatomi, dan polip. Anestesi umum digunakan selama prosedur.

b) Positioning

Pasien diposisikan telentang di meja ruang operasi.

Pemantauan & Tindak lanjut

Setelah operasi, sebagian besar pasien terus memerlukan penggunaan obat untuk

menghindari kekambuhan dan batas peradangan (Patiar , 2007; Mullol , 2009 dan Joe ,

2008). Nasal irigasi dengan saline nasal isotonik yang dilakukan dengan mulai 1-3 hari

setelah operasi dan harus dilakukan beberapa kali setiap hari. Sebuah banyak rejimen obat

untuk manajemen kedua perawatan pra operasi dan pasca operasi telah dijelaskan

(Schlosser, 2013; Naclerio, 2013 dan Kalish, 2012). Kunjungan pasca operasi dengan

endoskopi hidung dan debridement dilakukan sampai mukosa hidung telah sembuh dan

setiap krusta atau sinekia telah diselesaikan. Rejimen tindak lanjut bervariasi dari mingguan

menjadi setiap 3 minggu. Jangka panjang tindak lanjut dianjurkan untuk menilai dan

mengobati kekambuhan polip.

Page 13: Laporan Pendahuluan Polip Nasal

Komplikasi

Kemungkinan komplikasi meliputi:

Cerebral kebocoran cairan tulang belakang

Masalah mata

Pendarahan

Synechia

Infeksi lokal

Nasofrontal saluran stenosis

Mucocele

Pencegahan komplikasi bedah mungkin dengan seksama terhadap computed

tomography scan, pengetahuan tentang anatomi bedah, dan kemungkinan penambahan

intraoperatif pencitraan computed tomography atau peralatan neuronavigational.

Tindakan/ Prosedur Pembedahan

Pasien diinduksi dengan anestesi umum. Hidung didekongesti secara topikal dengan

oxymetazoline atau kokain. Anestesi lokal dengan lidokain dan epinefrin disuntikkan ke

dalam septum, sinus anatomi, dan polip. Jika neuronavigation akan digunakan, peralatan

yang disiapkan. Dengan menggunakan endoskopi yang terdapat kamera, anatomi

divisualisasikan di layar video. Jaringan polypoid dapat dihapus dengan forsep polip, melalui

pemotongan instrumen, atau microdebrider. Hati-hati dengan anatomi sekitarnya agar tidak

melukai orbit, dasar tengkorak, atau struktur pembuluh darah.

Polip biasanya dihapus dari posterior ke anterior untuk mengimbangi efek menutupi

perdarahan. Beberapa ahli bedah juga melakukan jumlah ethmoidectomy, uncinectomy,

antrostomy meatus tengah, sinusotomy frontal atau prosedur draf, dan sphenoidotomy. Jika

rongga sinus juga mengandung polip, ini dapat dihapus pada saat operasi.

Packing diserap dapat ditempatkan lateral konka atau di meatus tengah. Pendarahan

ditemui dapat diatasi dengan vasoconstrictants topikal, hemostatik matriks komersial, atau

kemasan hidung.

Kauter biasanya tidak diterapkan; jika diperlukan, harus digunakan dengan sangat

hati-hati, terutama di sekitar orbit dan tengkorak dasar, sehingga tidak menyebabkan

Page 14: Laporan Pendahuluan Polip Nasal

komplikasi yang tidak diinginkan (Ramakrishnan, 2011; Jankowski, 1997; Jankowski, 2006,

Masterson, 2010 dan Marchioni, 2008).

Post-operasi

Perawatan sinus Postprocedural bervariasi sesuai dengan preferensi ahli bedah.

Beberapa ahli bedah melakukan mingguan, dua mingguan atau bulanan debridement sinus

endoskopi. Manajemen obat pasca operasi mungkin termasuk irigasi sinus, hidung atau

steroid oral, hidung atau antihistamin oral antibiotik oral atau topikal, antileukotrienes, dan

imunoterapi [20, 21, 22]